Alsa Study Book

Page 1

i


KATA PENGANTAR Bismillahir rahmanirrahim, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya serta kesehatan yang begitu nikmat dan hidayahnya yang luas bagi hambanya. Tak lupa kita kirimkan shalawat beserta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang. Buku yang berjudul Intisari Materi Kuliah : Hukum Pidana dan Hukum Perdata ini menguraikan tentang materi inti dari mata kuliah Hukum Pidana dan Hukum Perdata yang secara umum diuraikan dalam buku ini. Penulis harapkan Buku ini dapat memberikan manfaat terhadap mahasiswa khususnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan terlebih lagi terhadap Internal UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) ALSA LC UNHAS. Tak banyak yang penulis ingin utarakan, semoga Buku ini mampu menambah khasazah keilmuan kita serta menambah referensi teman-teman Mahasiswa dan tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu proses penyelesaian Buku ini. Dan dengan rendah hati menyatkan Buku ini masih sangat sederhana dan oleh karenanya kami memohon kepada seluruh pihak atau para pembaca agar kesempurnaan Buku ini untuk memberikan kritikan dan masukan serta saran yang bersifat membangun terhadap materi atau isi dari Buku ini.

Makassar, Desember 2017

Penulis ii


DAFTAR ISI

HUKUM PIDANA 1. Pengertian Hukum Pidana ........................................................................................ 1 2. Pembagian Hukum Pidana ....................................................................................... 3 3. Sifat Hukum Pidana ................................................................................................. 8 4. Sumber Hukum Pidana ............................................................................................ 13 5. Sejarah Hukum Pidana Indonesia ............................................................................ 15 6. Asas Legalitas .......................................................................................................... 28 7. Subyek Hukum Pidana ............................................................................................. 33

HUKUM PERDATA 1. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata ..................................................................... 36 2. Luas Lapangan Hukum Perdata .............................................................................. 37 3. Sistematika KUHPer di Indonesia ........................................................................... 38 4. Sumber Hukum Perdata Indonesia ........................................................................... 39 5. Sejarah Hukum Perdata............................................................................................. 42 6. Hukum Tentang Orang ............................................................................................. 48 7. Hukum Keluarga ...................................................................................................... 62 8. Hukum Benda ........................................................................................................... 75 9. Hukum Waris ............................................................................................................ 87

iii


HUKUM PIDANA

A. PENGERTIAN HUKUM PIDANA Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam

masyarakat

dalam

melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugiansebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.1 Istilah Hukum Pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang juga sering disebut jus poenale meliputi :2 (1) Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;

1

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education, Yogyakarta, Cet. I 2012, hlm 1-2 2 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm 1

1


(2) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu; d.k.l. hukum penentiair atau hukum sanksi; (3) Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu. Disamping itu, hukum pidana juga dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut jus puniendi,yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana (Hazewinkel-Suringa, 1973:3).3 Moeljatno, Hukum pidana memberikan dasar-dasar dan atuan-aturan umtuk hal-hal sebagai berikut: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu (Hukum Pidana Materil) b. Menentukan kapan dan dalam hal apa, kepada mereka telah melanggar dapat dikenakan pidana (Hukum pidana materil) c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggarlarangan tersebut (Hukum Pidana Formil).4 Ius poenale secara singkat dapat dirumuskan sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.5 Ius poenale lazim dibagi atas hukum pidana materieel atau hukum pidana madi (madi adalah berasal dari bahasa Arab atau substantive criminal law) dan hukum pidana formeel 3

Ibid,hlm 1 Intisari kuliah Hukum Pidana oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Nur Azisa, S.H., M.H. 5 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,Op.Cit ,hlm 1 4

2


(dan bukan hukum pidana formal, karena berarti hukum pidana resmi). Istilah hukum pidana material yang biasa juga digunakan adalah tidak tepat, karena di negara-negara Anglo-Saxon dan di Amerika Serikat tidak dikenal istilah material criminal law, tetapi substantive criminal law (hukum pidana substantif) seperti misalnya digunakan oleh Clark & Marshall (1958: v,3).6 Hukum pidana formil (law of criminal of procedure) atau hukum acara pidana secara singkat dapat dirumuskan sebagai hukum yang menetapkan cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana, juga biasa disebut hukum pidana in concreto, karena mengandung peraturan bagaimana hukum pidana materieel atau hukum pidana in abstracto dituang ke dalam kenyataan (in concreto).7 Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk pengertian burgerlijkrecht atau privaatrecht dari bahasa Belanda.8 Pengertian hukum pidana, banyak dikemukakan oleh para sarjana hukum, diantaranya adalah Soedartoyang mengartikan bahwa:9 Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatanperbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.

6

Ibid, hlm 2 Ibid, hlm 2 8 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Op.Cit, hlm 2, lihat juga Wirjono Prodjodikoro 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung, hlm. 1. 9 Ibid, lihat juga Sofjan Sastrawidjaja, 1990, Hukum Pidana 1, CV. Armico, hlm. 9. 7

3


B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

10

Hukum pidana dapat di bagi dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:11 1) Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif. 2) Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil Menurut van Hattum, hukum pidana materiil, yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tindakan dapat dihukum. Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan tentang bagaimana cara hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.

10

Ibid, hlm 10 Intisari dalam Buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002). E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM, 1982). P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984). Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990). 11

4


Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut :12 a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan

pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara

mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orangorang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. 3) Hukum pidana yang dikodifikasi (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak di kodifikasi (nietgecodificeerd)13 4) Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);14 Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang 12

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Op.Cit, hlm 9 lihat juga Laden Marpaung, 2005, Asas-asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2. 13 Intisari dalam Buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Op.Cit. 14 Ibid,

5


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana. 5) Hukum pidana bagian umum (algemenedeel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel). Hukum pidana umum, memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yangmengatur tentang Ketentuan Umum. Sedangkan hukum pidana khusus itu memuat tentang kejahatan dan pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.15 Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang dapat diperlakukan terhadap setiap orang pada umumnya, sedangkan hukum pidana khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja, misalnya anggota-anggota Angkatan Perang (istilah U.U.D. 1945) atau anggota-anggota Angkatan Bersenjata (karena dimasukkannya Angkatan Kepolisian kemudian), ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tentang delik-delik tertentu saja, misalnya Hukum Fiskal (Pajak), Hukum Pidana Ekonomi, dan sebagainya. Hukum pidana khusus juga meliputi hukum pidana yang diberlakukan terhadap golongan orang-orang khusus (Sudarto, 1981 : 61), misalnya Angkatan Bersenjata tersebut diatas.16 6) Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

15

Ibid, Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,Op.Cit ,hlm 18-19

16

6


Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana, menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di daerah pedalaman, ada sisa peraturan kepidanaan berdasar atas kebiasaan, yang secara konkrit, dimungkinkan berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.17 Dengan demikian, hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan dalam Pasal 1 KUHP, dengan tidak mengesampingkan asas legalitas, sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat. 18 Hukum pidana tertulis meliputi KUH Pidana dan KUHAPidana yang merupakan kodifikasi hukum pidana materieel dan hukum pidana formeel (hukum acara pidana) termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan hukum pidana yang statusnya lebih rendah dari pada undang-undangdalam arti formil, termasuk perundang-undangan pidana daerahdaerah (lokal)19 Hukum pidana tak tertulis ialah sebagian besar Hukum Adat Pidana, yang berdasarkan pasal 5 ayat 3 Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 (L.N. 1951 No.9) masih berlaku di bekas daerah Swapraja dan bekas Pengadilan Adat, yang akan diuraikan secara ringkas kemudian.20 7) Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht)21 Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga disebut sebagai hukum pidana nasional. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang di bentuk oleh Pemerintah Negara 17

Intisari dalam Buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Op.Cit. Ibid, 19 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,Op.Cit ,hlm 22 20 Ibid, 21 Intisari dalam Buku : Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Op.Cit. 18

7


yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. Hukum pidana lokal dapat dijumpai dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota. C. SIFAT HUKUM PIDANA Sifat Hukum Pidana (Hukum Publik - Hukum Privat) Sudah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan kedudukan demikian kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan alat penegak hukumnya menjadi dominan.22 Tidak sedikit para ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa hukum pidana memang merupakan hukum publik. Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik. Pengertian hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Simons. Dia mengatakan bahwa hukum pidana mengatur hubungan antara para individu sebagai anggota masyarakat dengan warga negara, sehingga merupakan bagian dari hukum publik.23 Alga juga mengemukakan pendapatnya bahwa hukum pidana termasuk hukum publik, karena pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dengan eksistensi badan negara. Pernyataan tingkah laku yang dapat dipidana misalnya dinyatakan oleh badan perundang-undangan. Demikian juga penuntutan perkara pidana dilakukan oleh badan 22

Internet : Diakses pada hari minggu 12 November 2017 pada pukul 12.35 Wita http://prasko17.blogspot.co.id/2013/05/sifat-hukum-pidana-hukum-publik-hukum.html 23 Ibid,

8


lembaga kejaksaan. Sementara, Van Hamel berpendapat bahawa hukum pidana itu sebagai hukum publik, karena menjalankan hukum pidana itu sepenuhnya terletak di tangan pemerintah (negara).24 Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Andi Zainal Abidin yang mengatakan bahwa, sebagian besar kaidah-kaidah dalam hukum pidana bersifat (hukum) publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum publik dan hukum privat, memiliki sanksi istimewa karena sifatnya yang keras yang melebihi sanksi di bidang hukum lain, berdiri sendiri, dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa ketentuan hukum pidana memang bersifat publik dan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Sekalipun pihak yang dirugikan karena pencurian misalnya tidak melapor terjadinya tindak pidana, polisi tetap berkewajiban untuk menyidik dan memeriksa perkara tersebut, dan penuntut umum wajjib menuntut perkara tersebut di pengadilan.25 Secara teoritis terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan dasar apakah suatu bidang hukum itu merupakan hukum publik dan hukum privat. Pertama, kepentingan hukum yang dilindingi. Apabila substansi dari suatu bidang hukum itu lebih berorientasi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan, maka bidang hukum tersebut dapat dikatakan sebagai hukum privat. Namun jika yang hendak dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum, maka bidang hukum itu dikatakan sebagai hukum publik. Kedua, kedudukan para pihak di mata hukum (negara). Jika pihak-pihak yang berperkara dihadapan hukum negara memiliki kedudukan yang sejajar dan bersifat individual, hal demikian disebut sebagai hukum privat. Tetapi jika para pihak yang berperkara itu tidak 24

Ibid, Ibid,

25

9


dalam kedudukan yang sejajar, dalam arti satu pihak memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lain, maka hal demikian disebut sebagai hukum publik. Kedudukan jaksa sebagai wakil dari hukum negara memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan terdakwa di pengadilan.26 Ketiga, pihak yang mempertahankan kepentingan. Jika pihak yang mempertahankan kepentingan atas terjadinya pelanggaran hukum dihadapan hukum negara adalah adalah perseorangan, maka bidang hukum yang demikian disebut dengan bidang hukum privat. Namun bila pihak yang mempertahankan kepentingan atas terjadinya pelanggaran hukum adalah bukan perseorangan, tetapi negara, maka bidang hukum itu dikelompokkan kedalam hukum publik.27 Tiga kriteria tersebut yang kemudian memasukkan hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik ternyata menimbulkan implikasi yang luas terutama berkaitan dengan konsep pelanggaran, kedudukan hukum negara dan penegak hukumnya, dan proses penyelesaian pelanggaran. Tiga hal itu sesungguhnya merupakan implikasi yang secara langsung disebabkan oleh konstruksi bahwa hukum pidana sebagai bagian hukum publik.28 Mssanakala hukum pidana dikonsepsikan sebagai hukum publik, maka terjadinya pelanggaran esensinya merupakan pelanggaran terhadap tertib publik (public order) atau suatu perbuatan melawan masyarakat, melawan badan kolektif dari warga negara, dan menentang serangkaian standar oleh institusi-institusi demokratik masyarakat. Hanya perbuatanperbuatan tertentu yang secara eksplisit dinyatakan sebagai perbuatan terlarang oleh negara yang pantas disebut sebagai pelanggaran. Sedangkan eksistensi korban kejahatan tidak

26

Ibid, Ibid, 28 Ibid, 27

10


dianggap sebagai pihak dalam proses peradilan pidana, ia adalah the forgetten people in the system.29 Ketika suatu negara merupakan satu-satunya pihak yang berhak menentukan mana yang disebut pelanggaran dan mana yang tidak, maka kedudukan hukum negara dan aparat penegak hukumnya lebih tinggi dibandingkan dengan perseorangan dan korban yang dirugikan secara langsung akibat perbuatan pelaku. Hanya polisi yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan, hanya jaksa yang berhak melakukan penuntutan dan hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang. Hukum negara dan aparat penegak hukumnya memonopoli semua pelanggaran, dan korban hanya berhak menjadi penonton, tidak boleh masuk kedalam sistem yang dibuat dan ditentukan oleh hukum negara.30 Demikian halnya dengan proses penyelesaian semua pelanggaran tanpa melihat karakter dari masing-masing pelanggaran itu dan kerugian yang dialami oleh korban. Ketika terjadi pelanggaran yang bersifat publik, maka negara sudah menyediakan cara bagaimana menyelesaikan pelanggaran tersebut, pelanggar dijatuhi hukuman ketika terbukti bersalah dan hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh hukum negara. Singkatnya, penjatuhan hukuman oleh hukum negara bertujuan sebagai pembalasan, pencegahan, dan membuat jera, sehingga pelanggar tidak mengulangi perbuatannya itu.31 Padahal, konsepsi hukum pidana sebagai hukum publik sebenarnya merupakan warisan dari ilmu hukum Romawi dan sebelumnya tidak dikenal dalam ilmu hukum Eropa Barat. Pembagian hukum menjadi hukum privat dan hukum publik dan menjadikan hukum pidana

29

Ibid, Ibid, 31 Ibid, 30

11


sebagai bagian dari hukum publik bukanlah perbedaan yang asasi, melainkan karena tradisi atau hasil studi sistemik terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku.32 Kranenburg berpendapat bahwa pembagian tersebut dipengaruhi oleh suatu sistem tertentu yang diadakan berhubungan dengan proses diferensiasi yang sudah lama berkembang dalam ilmu hukum. Proses diferensiasi tersebut saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Kalaupun ada perbedaan, itu disebabkan karena peraturan perundang-undangan mengaturnya demikian, atau karena mengikuti tradisi. Oleh karena itu, pembagian hukum kedalam hukum privat dan hukum publik hanya mendatangkan kepuasan di tingkat teoretis, tetapi tidak demikian dalam kenyataan dalam praktik.33 Atas dasar itu, eksistensi hukum pidana sebagai hukum publik seyogyanya diganti karena kurang memiliki dasar legitimasi yang kuat. Penggantian tersebut di satu sisi dikaitkan dengan segi teoretis serta kenyataan dalam praktik dan di sisi lain dikaitkan dengan eksistensi nilai-nilai budaya masyarakat yang masih berlaku dan dipertahankan oleh mereka. Hukum pidana dalam konteks ini merupakan hukum publik yang berdimensi privat. Dimensi privat ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, diakuinya peradilan adat yang merupakan kekayaan budaya bangsa indonesia. Kedua, dimungkinkannya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan sehingga mediasi pidana (penal mediation).yang mempertemukan pelaku dan korban untuk menyelesaikan perkaranya bisa terwujud.34 Selama ini, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan ditabukan bahkan dianggap sebagai hal yang 'haram'. Hanya polisi yang berhak melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara pidana, dan hanya hakim yang berhak memutus bersalah tidaknya seseorang.

32

Ibid, Ibid, 34 Ibid, 33

12


Perdamaian antara pelaku dan korban tidak dikenal dalam hukum pidana karena ia merupakan bagian dari hukum publik. Padahal, di berbagai negara mediasi pidana telah banyak diakui dan diterapkan dalam proses peradilan pidana.35 D. SUMBER HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.36 Sumber Hukum Pidana37 Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :38 1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103). 2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488). 3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569). Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain :39

35

Ibid, Internet diakses pada tanggal 2 November 2017 Pukul 11.32 Wita http://artonang.blogspot.co.id/2016/04/sumber-hukum-pidana.html 37 Ibid, 38 Ibid, 39 Ibid, 36

13


1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi. 2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba. 3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme, dll 4. Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya. Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar kodifikasi. Sistem yang terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar KUHP, masih terdapat pula berbagai pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby Loqman membedakan sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia adalah :40 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP; 3. Undang-undang Hukum Pidana Khusus; 4. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana. Di negara-negara Anglo Saxon tidak dikenal satu kodifikasi atas kaidah-kaidah hukum pidana. Masing-masing tindak pidana diatur dalam satu Undang-undang saja. Hukum pidana Inggris misalnya, walupun bersumber dari Common Law dan Statute Law (undang-undang), hukum pidana Inggris terutama bersumber pada Common Law, yaitu bagian dari hukum

40

Ibid,

14


inggris yang bersumberdari kebiasaan atau adat istiadat masyarakat yang dikembangkan berdasarkan keputusan pengadilan. Jadi bersumber dari hukum tidak tertulis dan dalam memecahkan masalah atau kasus-kasus tertentu dikembangkan dan diunifikasikan dalam keputusan-keputusan pengadilan sehingga merupakan suatu precedent. Oleh karena itu, Common law ini sering juga disebut case law atau juga disebut hukum presedent.41 Lain halnya dalam negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Hukum pidana dikodifikasikan dalam suatu kitab Undang-undang. Berbagai tindak pidana diatur dalam satu kitab Undang-undang. Tetapi ternyata sistem hukum Indonesia juga mengenal adanya tindak pidana di luar KUHP. Inilah yang disebut sebagai tindak pidana khusus dalam arti sebenarnya. Contoh undang-undang ini adalah Undang-undang Anti Korupsi, Undang-undang Money Laundrey, UU Traficking dan lain sebagainya.42 E. SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA HUKUM ADAT

DILATARBELAKANGI OLEH SEJARAH PENJAJAHAN PERANCIS (CODE PENAL PERANCIS/TAHUN 1791) TERHADAP BELANDA DAN BELANDA (HET WETBOEK VAN STRAFRECHT/TAHUN 1809) TERHADAP INDONESIA.

ASAS KONKORDANSI : •

WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR EUROPEANEN Stb 1866/ 55 TANGGAL 1 JANUARI 1867

WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR INLANDER Stb 1972 /85 TGL 1 JANUARI 1873 DUALISME HUKUM PIDANA HINGGA 1 JANUARI 1918

41

Ibid, Ibid,

42

15


UNIFIKASI HUKUM PIDANA WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR NEDERLANDS INDIE ((WvS) 1 JAN 1918

SETELAH INDONESIA MERDEKA, ATURAN PERALIHAN UUD 1945: P’UU YANG ADA MASIH BERLAKU SELAMA BELUM DIADAKAN YANG BARU. WvS DIUNDANGKAN DENGAN UU NO. 1 TAHUN 1946 MENJADI KUHP.

A. Masa Sebelum Penjajahan Belanda43 Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu. Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat di Nusantara, 43

Internet: diakses pada tanggal 22 November 2017 pukul 21.18 Wita

http://rolifhumj.blogspot.co.id/2013/04/sejarah-hukum-pidana-di-indonesia.html. 16


hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali. B. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda44 1. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799 Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah� di Nusantara oleh pemerintah Belanda.Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.

44

Ibid,

17


Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Batavia) yang dibuat pada tahun 1642.45 Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.46 Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai berkuasa

mutlak,

namun

kekuasaannya

diatur

dalam

sebuah

konstitusi.

Untuk

mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid). Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundangundangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke 45

Ibid, Ibid,

46

18


Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata. 2. Masa Regering Reglement (1855-1926)47 Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, Karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang�. Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak sematamata ditetapkan raja dengan Konin klijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundangundangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini

47

Ibid,

19


berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:48 •

Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.

Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.

Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan dengan Staatblad No. 85 Tahun 1872.

Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.

Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

3. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)49 Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement(RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang. Pada

48

Ibid, Ibid,

49

20


masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakua nhukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918. 4. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)50 Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebu tmenyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undangundang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongangolongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.

50

Ibid,

21


Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah. C. Masa Setelah Kemerdekaan51 Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949. Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya,

51

Ibid,

22


mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.52 Oleh karena itu,untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu: Pasal 153 “Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru 52

Ibid,

53

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945 23


menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang Dasar tersebut�. Pasal 254 “Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945�. Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :�Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidanayang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningenvan hetmiliter gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua

54

Ibid,

24


peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militergezag) dicabut.55 Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya,

Belanda

sebenarnya

belum

selesai

atas

aksi

kolonialismenya

di

Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuanketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. 56 Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian,perubahan ini tidak

55

Internet: diakses pada tanggal 22 November 2017, Op. Cit. Ibid,

56

25


sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.57 Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda. KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo,dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the RomanoGermanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual right) Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.

57

Ibid

26


Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain:58 a. Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana-pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan pidana bagi anak. b. Tindak pidana dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengahtengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.Disamping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader). KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP.

58

Ibid.

27


Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. c. Pertanggungjawaban pidana beberapa masalah yang muncul dalam aspek pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS. Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah anak di bawah umur 16 tahun. Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi. Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan korporasi seperti pencemaran lingkungan.59 F. ASAS LEGALITAS 1. Arti dan Makna Asas Legalitas Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang- undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang 59

Ibid,

28


menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.60 Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.61 Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu :62 ➢ Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-

undang. ➢ Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana. ➢ Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut

undang-undang.

60

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Op.Cit, hlm 12 61 Ibid, hlm 12-13 62 Ibid, hlm 12 lihat juga Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, hlm. 39.

29


Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.63 Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :64 a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan

tersebut

tidak

diatur

dalam

suatu

pera-

turan

perundang-undangan

sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan; b. Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh

menggunakan analogi; dan c. Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut; 2. Tujuan Asas Legalitas

Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:65 a. Memperkuat adanya kepastian hukum; b. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa; c. MengefektiThan deterent function dari sanksi pidana;

63

Ibid, hlm 13 Ibid, hlm 13 65 Ibid, hlm 14 lihat juga Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, hlm. 39. 64

30


d. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan e. Memperkokoh penerapan “the rule of law�.

Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:66 1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundangundangan. Konsekuensinya adalah: 1. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak

pidana juga tidak dapat dipidana. 2. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.

2. Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa: 1. Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang- wenangan penguasa. 2. Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si

calon pelaku tindak pidanaakan terpengaruhi jiwanya, motif untuk berbuat tindak pidana akan ditekan, apabila ia mengetahui bahwa perbuatannya akan mengakibatkan pemidanaan terhadapnya. 3. Pengecualian Asas Legalitas

66

Ibid, hlm 14 lihat juga Ahmad Bahiej, 2009, Hukum Pidana, Teras, Yogyakarta, hlm. 18-19.

31


Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki penge- cualian khusus mengenai keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pasal tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundang- undangan setelah perbuatan itu dilakukan maka kepada ter- sangka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni memperlakukan ketentuan yang mengun- tungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian mengun- tungkan disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga mencakup penuntutan bagi si terdakwa.67 Ada bermacam-macam teori yang menyangkut masalah perubahan peraturan perundangaundangan yang dimaksud dalam hal ini. Yakni sebagai berikut :68 1. Teori formil yang di pelopori oleh Simons, berpendapat bahwa perubahan UU baru

terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana tersebut berubah. Perubahan undang-undang lain selain dari UU pidana walaupun berhubungan dengan uu pidana bukanlah perubahan undang-undang yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ini. 2. Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara lain

bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan keyakinan hukum dari pembuat undang-undang.perubahan karena zaman atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahandalam UU pidana. 3. Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5

desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah meliputi

67

Ibid, hlm 15 Ibid, hlm 15-16

68

32


semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang- undang yang meliputi perasaan hukum pembuat undang- undang maupun perubahan yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu). G. SUBYEK HUKUM PIDANA Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang sudah ketinggalan zaman itu, yang dapat menjadi subyek hukum pidana ialah natuurlijke persoon, atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiap pasal KUUHP, Buku II dan Buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah Hukum Pidana di dalam KUUHP dimulai dengan kata barangsiapa sebagai terjemahan dari kata Belanda hij. Di dalam beberapa pasal KUUHP kata barangsiapa itu harus ditafsirkan sempit berdasarkan logika, misalnya pasal-pasal 285, 286, 287, 288, dan 332 (1) 1e dan 2e KUUHP. Hanya laki-laki yang dapat bersetubuh dengan perempuan, yang menjadi korban seperti dimaksud oleh pasal-pasal 285, 286, 287, dan 288 KUUHP.69 Menurut Jonkers (op.cit: 177) bahwa di Nederland telah dibentuk rancangan Titel 8 N.W.v.S. oleh para sarjana hukum terkemuka yaitu Wynveldt, Pompe, dan van Rhijn van Alkemade. Pasal 1 rancangan tersebut menetapkan bahwa vennotschappen (firma, CV, PT), yayasan dan perkumpulan dapat dijatuhi pidana oleh karena telah mewujudkan delik.70 Menurut rancangan Wijveldt cs tersebut diatas bahwa jenis pidana yang akan dijatuhkan kepada korporasi atau badan hukum adalah sebagai berikut:71 a. Pengumuman keputusan pengadilan b. Pernyataan perampasan alat-alat atau benda tertentu.

69

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1,Op.Cit ,hlm 395 Ibid, hlm 397 71 Ibid, hlm 398 70

33


c. Maksimun denda uang 10.000 gulden untuk pembuat pelanggaran, dan maksimum denda uang 100.000 gulden untuk pembuat kejahatan. d. Pernyataan pembatalan kedudukan badan hukum untuk masa tertentu atau untuk selama-lamanya. e. Pembubaran.

34


Daftar Pertanyaan : 1. Apa Pengertian Hukum Pidana ? 2. Bagaimana Bentuk Pembagian Hukum Pidana ? 3. Bagaimana Sifat Hukum Pidana ? 4. Bagaimana Sumber Hukum Pidana ? 5. Bagaimana Sejarah Hukum Pidana Indonesia ? 6. Bagaimana Asas Legalitas Hukum Pidana ? 7. Siapa saja Subyek Hukum Pidana ?

35


HUKUM PERDATA

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA Pada dasarnya hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Hukum publik merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur kepentigan yang bersifat keperdataan. Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai terjemahan dari burgerlijkrecht pada masa pendudukan Jepang. Disamping istilah itu, sinonim hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht.72 Apakah isi KHUPer itu dan apakah yang dimaksudkan dengan Hukum Perdata ? Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. dalam buku (yang berasal dari kuliah beliau pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1954) yang berjudul Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Bagian I yang diterbitkan oleh PT Pembangunan, 195 mengatakan: “Yang menjadi isi dari pada KUHS (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, menurut istilah beliau untuk istilah KUHPer) itu adalah terutama hukum perdata material sedang yang dimaksudkan dengan hukum perdata materiil ini ialah kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata.

72

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika: Jakarta, hlm 5.

36


Lawannya ialah hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata tersebut.73 B. LUAS LAPANGAN HUKUM PERDATA Vollmar mengemukakan bahwa luas lapangan hukum perdata dibedakan menjadi dua macam, yaitu hukum perdata dalam arti luas dan hukum perdata dalam arti sempit (Vollmar, 1983: 3). Yang dimaksudkan dengan hukum perdata dalam arti luas ialah bahan hukum sebagaimana yang tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab UndangUndang Hukum Dagang (WvK), beserta sejumlah yang disebut undang-undang tambahan (UU nama perniagaan, UU mengenai perkumpulan koperasi dan sebagainya sedangkan yang dimaksukkan dalam pengertian itu juga, hukum kepailitan dan hukum acara). Pengertian hukum perdata dalam arti sempit ialah bahan hukum yang terdapat di dalam KUH Perdata saja.74 Hukum perdata dan hukum dagang mempunyai hubungan yang sangat erat antara yang satu dengan yang lainnya. Hukum perdata merupakan hukum yang umum, sedangkan hukum dagang merupakan hukum yang khusus (hanya mengatur hal-hal yang khusus, seperti cek, wesel, bilyet giro, dan lain-lain), sehingga berlaku suatu adagium lex specialis derogat legi generali (UU yang bersifat khusus mengesampingkan UU yang bersifat umum). Kedudukan hukum perdata sebagai hukum umum terhadap hukum dagang sebagai hukum khusus itu dapat dibaca dalam Pasal 1 KUHD yang berbunyi: BW berlaku atas hal-hal yang diatur dalam WvK, sekadar dalam WvK tidak diatur secara khusus. Pasal 15 WvK berbunyi: Perusahaanperusahaan yang tersebut dalam titel ini dikuasai oleh perjanjian antara para pihak oleh

73

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm 1 74 Salim HS, Op.Cit, hlm 7

37


ketentuan-ketentuan dalam WvK dan ketentuan-ketentuan dalam BW. Pasal 1319 BW berbunyi: Semua perjanjian yang bernama dan tidak bernama tunduk pada peraturanperaturan umum yang termuat dalam titel ini dan titel (judul) sebelumnya. Jelasnya, perjanjian yang bernama (diatur dalam BW dan WvK) maupun yang tidak bernama, kedua-duanya tunduk pada hukum umum (hukum perdata). Pasal-pasal di atas merupakan pasal penghubung antara BW dan WvK.75 C. SISTEMATIKA KUHPer INDONESIA Bagaimanakah sistematika KUHPer di Indonesia ? Adapun KUHPer yang masih berlaku di Indonesia dewasa ini, dibagi dalam 4 Kitab atau Buku (Boeken); masing-masing Buku itu dibagi dalam Bab (Titel), masing-masing Bab dibagi dalam Bagian (Afdeeling) dan masing-masing Bagian dibagi dalam pasal-pasal (pasal yang terakhir ialah pasal 1993). KUHPer terdiri atas empat Buku, yaitu : a. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (van Personen), yang memuat Hukum Perorangan (Personen Recht) dan Hukum Kekeluargaan (Familie Recht). b. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (van Zaken), yang memuat Hukum Benda (Zaken Recht) dan Hukum Waris ( erfrecht) c. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (van Verbittennissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

75

Ibid, hlm 7-8

38


d. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Lewat Waktu (van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibatakibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.76 Dalam KUH Perdata yang lama, tidak diatur tentang badan hukum secara khusus. Hal ini disebabkan orang mempelajari atau membicarakan masalah badan hukum dengan sebenarbenarnya, baru sesudah kodifikasi selesai dibuat. Pada waktu itu, orang sudah dapat menganggap cukup untuk memuat sebuah titel saja, seperti yang termuat dalam Titel IX Buku III KUH Perdata yang berjudul van Zedelijke Lichamen. Dalam NBW Belanda, badan hukum diatur dalam Buku Iitentang Badab Hukum, yang dimulai dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 404. Jumlah pasal yang mengatur tentang badan hukum sebanyak 404 pasal. Hal ini menunjukkan bahwa di negeri Belanda, institusi badan hukum mengalami peningkatan yang sangat pesat dan kontribusi terhadap negara juga cukup besar dalam rangka pembiayaan pembangunan negara yang bersangkutan.77 D. SUMBER HUKUM PERDATA INDONESIA Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.78 Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam: sumber hukum materiil dan sumber hukum formal (Algra, dkk. 1975: 74). Sumber hukum materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor

76

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit. hlm 2 Salim HS, Op.Cit, hlm 14 78 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2010, hlm 13 dan lihat juga C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,hlm 46. 77

39


yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber hukum formal merupaka tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formal ialah UU, perjanjian antarnegara, yurisprudensi, dan kebiasaan.79 Adapun yang menjadi sumber hukum perdata tertulis, disajikan berikut ini :80 1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) AB merupakan ketentuan-ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukandi Indonesia dengan Stb.1847 Nomor 23, tertanggal 30 April 1847 .AB terdiri atas 36 Pasal. 2. KUH Perdata (BW) KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk pemerintah Hindia Belanda yang diundangkan pada tahun 1848. Diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. 3. KUH Dagang KUH Dagang diatur dalam Stb. 1847 Nomor 23. KUH Dagang terdiri atas 2 buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada umumnya dan Buku II tentang Hak-Hak dan Kewajiban yang Timbul dalam Pelayaran. Jumlah Pasalnya, sebanyak 754 pasal. 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UU Pokok Agraria. UU ini telah mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata. Sepanjang mengenai hak atas tanah, kecuali mengenai hipotek. 79

Salim HS, Op.Cit, hlm 9 Ibid, hlm 9-11

80

40


5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan. Ketentuan ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan pelaksanaannya, seperti PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian. Bagi Pegawai Negeri Sipil. Dengan berlakunya ketentuan ini maka ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku KUH Perdata, khususnya tentang perkawinan menjadi tidak berlaku secara penuh. 6. UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. UU ini mencabut berlakunya Hipotek sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credietverband dalam Stb. 1908-542 sebagaimana telah diubah dalam Stb. 1937-190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam Buku II KUH Perdata dan Stb. 1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia. 7. UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia Ada tiga pertimbangan lahirnya UU Nomor 42 Tahun 1999, yaitu: (1) Adanya kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan, (2) jaminan fiducia sebagai salah bentuk lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif, (3) untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan nasional, dan untuk menjamin kepastian hukum, serta mampu memberikan perlindungan hukum,bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dbentuk ketentuan 41


yang kengkap mengenai jaminan fiducia, dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fiducia. UU ini terdiri atas 7 bab dan 41 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UU ini melipuyi pembebanan, pendaftaran, pengalihan dan hapusnya jaminan fiducia, hak mendahului, dan eksekusi jaminan fiducia. 8. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Ketentuan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.

E. SEJARAH HUKUM PERDATA Sebelum mengenal terlebih dahulu tentang sejarah hukum perdata, alangkah baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu hukum perdata. Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Menurut seorang pakar hukum Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan - kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang - orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.81 Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek

81

Ibid, hlm 5

42


hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.82 Secara Umum, kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.83 KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK). Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam

82

Ibid, Ibid,

83

43


menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut.84 Disamping itu, sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang di Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas Korkondansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah. Secara makrosubtansial, perubahan – perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia:Pertama, pada mulanya hukumperdata Indonesia merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang di berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB).Sesuai dengan stbll.No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di undangkan KUH perdata (BW) oleh pemerintah Belanda.Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23. Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia Merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang.

84

https://docs.google.com/document/d/1R7G1oRzVnzJWTBv_WvpJkYjxwRK_SE1FpZ06FrVIG80/edit?pli=1 Internet : Diakses pada hari selasa, 24-10-2017 jam 10:53 WIB.

44


Pada mulanya hukum perdata belanda di rancang oleh suatu panitia yang di bentuk tahun 1814 yang di ketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers menyampaikan rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi Presiden Pengadilan Belgia.Tahun 1824 Kempers meninggal,selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum di serahkan Nicolai.Akibat perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil Perancis sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari Justinianus.Dengan demikian hukum perdata belanda merupakan kombinasi dari hukum Kebiasaan/hukum Belanda kuno dan Code Civil Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi hukum perdata Belanda Di tetapkan dengan stbl.838.85 Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata belanda di berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848.Dan Tujuh tahun kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan stbl.1919.86 Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami

85

Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,(Jakarta:Kencana,2010),Cet,2.hlm 18-19. Ibid,

86

45


beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut di sesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.87 Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undangundang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.88 Isi KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu : 1.

Buku 1 tentang Orang / Personrecht89

Mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 2.

Buku 2 tentang Benda / Zakenrecht90

Mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu; (ii) benda berwujud yang

87

Ibid, http://refpangga.blogspot.co.id/2015/09/sejarah-hukum-perdata.html Internet : Diakses pada hari Rabu tanggal 25 Oktober 2017 pada pukul 11.03 Wita. 89 Ibid. 90 Ibid, 88

46


bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan. 3.

Buku 3 tentang Perikatan /Verbintenessenrecht91

Mengatur tentang hukum perikatan (perjanjian) walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda, yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan yang terdiri dari perikatan yang timbul dari undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian, syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer. 4.

Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian /Verjaring en Bewijs92

Mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

91

Ibid Ibid.

92

47


Hukum perdata merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu, hukum tata negara, kegiatan pemerintahan sehari-hari hukum administrasi atau tata usaha negara, kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakantindakan yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat, sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.93 F. HUKUM TENTANG ORANG

93

Ibid,

48


1. Subyek Hukum Subyek Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban hukum yang secara kodrati telah dimiliki oleh manusia sejak lahir sampai mati dan juga dimiliki oleh pribadi hukum yang secara sengaja diciptakan oleh hukum sebagai subyek hukum. 1) Manusia Sebagai Subyek Hukum (Person) Dalam hukum, manusia/orang berarti pembawa hak, yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban, atau disebut juga dengan subyek hukum. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak dimulai pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Terhadap hal ini terdapat suatu pengecualian, di mana anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 KUHPer). Ketemtuam Pasal 2 ayat 1 KUHPer ini mempunyai arti penting apabila dalam hal; a. Perwalian oleh bapak atau ibu (pasal 348 KUHPer) b. Mewarisi harta peninggalan (pasal 836 KUHPer) c. Menerima wasiat dari pewaris (pasal 899 KUHPer) d. Menerima hibah (pasal 1679 KUHPer) Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (2) KUHPer, apabila ia mati sewaktu dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Hal ini berarti, bahwa si anak sewaktu dilahirkan harus hidup walaupun hanya sebentar. Hal ini perlu karena untuk menentukan peranannya sebagai pendukung hak dan kewajiban. Mengenai hal ini, Prof. Soediman Kartohadiprodjo

49


mengatakan, bahwa manusia itu merupakan orang kalau ia hidup, tidak pandang berapa lama hidupnya, meskipun barang kali hanya untuk satu detik saja. Kemudian menurut Pasal 3 KUHPer disebutkan, bahwa tiada suatu hukum pun yang mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan. a. Kecakapan Bertindak dalam Hukum: Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hakhaknya, akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan semua hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, sehingga mereka harus diwakili dan dibantu oleh orang lain. Menurut Pasal 1330 KUHPer, mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum tersebut atau mungkin dalam pelaksanaan perbuatan hukumnya membutuhkan bantuan pihak/orang/badan hukum lain, yaitu : 1) Orang yang belum dewasa Orang-orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan perantara orang lain, atau sama sekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak di dalam hukum bagi orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut : Menurut Pasal 330 KUHPer, orang yang dikatakan belum dewasa apabila ia mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kwain. Apabila ia telah menikah, maka ia dianggap telah dewasa dan ia tidak lagi menjadi orang yang di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun. Untuk melangsungkan perkawinan : 50


1) Menurut Pasal 29 KUHPer, bagi seseorang laki-laki harus berumur 18 tahun dan bagi wanita berumur 15 tahun. 2) Menurut Pasal 7 ayat(1) UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, bagi seseorang laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita berumur 16 tahun. 3) Dalam Hukum Waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat membuat wasiat (pasal 897 KUHPer). 4) Menurut Pasal 19 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, untuk dapat memilih di dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.. -

Kekuasaan orang tua terhadap anak yang belum dewasa

Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkemabangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Kemudian ekuasaan terhadap harta kekayaan anak, bahwasanya orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur belum 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya( Pasal 48 UUP). -

Perwalian terhadap anak yang belum dewasa

Pengawasan terhadap anak yang belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak yang diatur oleh Undang-Undang. Perwalian dapat dilakukan terhadap anak syah yang orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum,atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya Pasal 33 ayat (1), anak syah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, anak syah yang orang tuanya telah bercerai, anak yang lahir diluar perkawinan (Natuurlijk Kind). 51


Orang/badan yang bisa ditunjuk sebagai wali ialah keluarga dari anak yang bersangkutan (Pasal 49 ayat(1) UUP), salah satu dari kedua orang tuanya, keluarga anak dalam garis keturunan lurus ke atas, saudara kandung yang sudah dewasa, orang lain atau Badan Hukum (Pasal 49 ayat(1) UUP, Pasal 33 UU Perlindungan anak), pejabat yang berwenang, orang lain yang bukan pejabat yang wenang serta Balai Harta Peninggalan berkedudukan sebagai wali pengawas/Dewan Perwalian. Syarat menjadi wali : a)

Sudah Dewasa

b)

Berpikiran sehat

c)

Dapat berlaku adil

d)

Berkelakuan baik

e)

Tidak sedang dicabut kekuasaannya sebagai orang tua

f)

Wali harus memiliki agama yang sama dengan agama anak

Kewajiban wali: a)

Wajib mengurus anak dan kekayaannya dengan sebaik-baiknya

b)

Wajib menghormati agama dan kepercayaan anak

c)

Wajib membuat daftar kekayaan dan perubahan kekayaan anak

d)

Wali wajib bertanggung jawab atas kepengurusan harta kekayaan anak serta

kerugian yang timbul karena kesalahan tau kelalaiannya

52


Berakhirnya perwalian jika: a)

Anak yang diwabah perwalian sudah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin

b)

Kekuasaan wali dicabut( karena wali tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau

menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali) c)

Wali atau anak di bawah perwalian meninggal dunia

2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan Menurut Pasal 433 KUHPer, orang yang di taruh di bawah pengampuan adalah orang yang boros, dungu, sakit ingatan dan mata gelap. Mengenai hal ini, diatur dalam ketetentuanketentuan berikut : Seseorang yang karena ketaksempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan, telah mengakibatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminya pembatalan perkawinan (Pasal 88 ayat 1 KUHPer). Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seseorang harus mempunyai akal budidaya (Pasal 895 KUHPer). Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1330 KUHPer. 3)

Kedudukan wanita yang telah kawin dalam hukum

Khusus untuk orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum mengenai hal : 53


1. Membuat perjanjian, memerlukan bantuan dan ijin dari suami (Pasal 108 KUHPer). 2. Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUHPer). Untuk masa sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPer ini telah dicabut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup bersama dengan masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat(2) UU No.1 Tahun 1974, mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Namun dalam hal tertentu, meskipun seorang istri yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dalam melakukan perbuatan terhadap harta bersama perkawinan harus dengan persetujuan suami (karena suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga). b.

Pendewasaan

Pendewasaan adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang-orang yang telah dewasa, baik untuk tindakan tertentu maupun semua tindakan. Dengan demikian, menurut Pasal 424 KUHPer, anak yang dinyatakan dewasa, dalam segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa. -

Macam-macam bentuk pendewasaan

Pada dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan, yaitu : 54


1)

Pendewasaan terbatas

Dengan pendewasaan terbatas, maka anak di bawah umur dinyatakan dewasa untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Syarat untuk mengajukan pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18 tahun dan permohonan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUHPer). 2)

Pendewasaan penuh

Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur, dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk mengajukan pendewasaan penuh adalah sudah harus berusia 20 tahun dan permohonan ini diajukan ke Presiden (Pasal 420-421 KUHPer). -

Pencabutan hak pendewasaan

Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh Pengadilan Negeri apabila anak yang belum dewasa ini menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau suatu alasan tertentu (pasal 431 KUHPer). Untuk masa sekarang ini, lembaga pendewasaan ini sudah tidak mempunyai arti lagi, karena batas usia dewasa menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun. c.

Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang telah dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan pengampuan disebut curatele. Menurut Pasal 433 KUHper, setiap orang dewasa yang menderita sakit ingatan, 55


boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan. Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan atau mata gelap, tidak boleh ditaruh di pengampuan, melainkan tetaplah ia berada di bawah pengawasan bapak dan ibunya atau walinya (Pasal 462 KUHPer). -

Pengajuan permohonan pengampuan

Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan ialah : 1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaan dungu, sakit ingatan atau mata gelap (434 KUHper). 2)

Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis

menyimpang sampai dengan derajat keempat, dalam hal keborosannya

(434 KUHper).

3) Suami dan isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (434 ayat(3) KUHPer). 4)

Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (434

ayat(4) KUHPer) 5) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaan dungu atau sakit ingatan (435 KUHPer). 1)

Akibat hukum dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah : Ia sama dengan orang yang belum dewasa(452 KUHPer)

2) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh di bawah pengampuan, batal demi hukum (446 ayat(2) KUHPer)

56


-

Berakhirnya pengampuan

Pengampuan berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkan telah hilang (460 KUHPer). Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal dunia. 2.

Perihal Badan Hukum

Disamping manusia sebagai pembawa hak, di dalam hukum terdapat pula badan-badan atau perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan hukum tersebut mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim. Badan atau perkumpulan yang demikian itu dinamakan badan hukum atau rechtpersoon, yang berarti orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain (Simanjuntak, 2009:hlm.143). a.

Syarat-syarat berdirinya badan hukum

Pada dasarnya, suatu badan hukum atau perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum jika telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan orang perseorangan yang bertindak. b. Adanya suatu tujuan tertentu. c. Adanya suatu kepentingan sendiri dari sekelompok orang. d. Adanya suatu organisasi yang teratur. 57


Badan hukum ini mulai berlaku sebagai subjek hukum sejak badan hukum itu disahkan oleh undang-undang dan berakhir saat dinyatakan bubar (pailit) oleh pengadilan. Dengan demikian, suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum melalui cara : a. Didirikan dengan akta notaris. b. Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat. c. Dimintakan pengesahan Anggaran Dasarnya kepada Menteri hukum dan HAM d. Diumumkan di dalam Berita Negara.

b.

Pembagian Badan Hukum

1)

Badan Hukum Publik

Badan hukum publik ialah badan hukum yang didirikan oleh negara untuk kepentingan publik atau negara, contoh : a)

Negara Republik Indonesia, yang diatur dalam UUD 45

b) Pemerintah Tingkat Daerah Tingkat I dan II, yang diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU lainya. c)

Bank Indonesia, yang diatur dalam UU No.23 tahun 1999 dan bank-bank milik

negara lainnya yang diatur oleh UU tersendiri. d) Perusahaan milik negara, yang diatur dlaam Undang-Undangnya masing-masing.

58


2)

Badan Hukum Privat

Badan hukum privat ialah badan hukum yang didirikan untuk kepentingan individu. Badan hukum ini merupakan badan hukum milik swasta yang didirikan oleh individuindividu untuk tujuan tertentu dan sesuai menurut hukum yang berlaku secara sah. Contoh badan hukum privat adalah : a)

Perseroan Terbatas, yang diatur dalam KUHD dan UU No.40 Tahun 2007

b)

Firma, diatur dalam KUHD

c)

Persekutuan Comanditer (CV), yang diatur dalam KUHD

d)

Perbankan, yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998

e)

Koperasi, yang diatur dalam UU No.10 Tahun 1992

f)

Partai Politik, yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2008

g) Yayasan, yang diatur dalam UU No.28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

2. Domisili Hukum Setiap orang harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari (pasal 17 ayat 1 KUHPer). Tempat tinggal tersebut disebut domisili. Domisili adalah tempat di mana orang seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun sesungguhnya ia bertempat tinggal di tempat lain. 1.

Pentingnya Domisili 59


a.

Untuk mengetahui di mana seseorang harus menikah

b.

Untuk mengetahui di mana ia harus mengajukan gugatan perceraian

c.

Untuk mengetahui peradilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara

perdata seseorang. d. Untuk mengetahui di mana ia harus mengikuti PEMILU, apakan ia bertempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di luar negeri. e.

Untuk mengetahui tempat pembayaran suatu barang.

2.

Macam-macam Domisili

a.

Tempat tinggal yang sesungguhnya yaitu tempat tinggal yang sesungguhnya adalah

tempat tinggal di mana seseorang itu sesungguhnya berada. Tempat tinggal sesungguhnya ini dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1)

Tempat tinggal bebas : tempat tinggal atau tempat kediaman yang bebas adalah

tempat tinggal yang tidak terikat dan tidak tergantung pada orang lain. Ia bebas untuk menentukan tempat tinggalnya sendiri. 2) Tempat tinggal tidak bebas : tempat tinggal yang terikat atau tergantung atau mengikuti tempat tinggal orang lain. Menurut Pasal 21-22 KUHPer, ada orang yang mempunyai domisili orang lain, yaitu : 3)

Seorang isteri mengikuti domisili suaminya.

4)

Anak-anak yang belum dewasa mengikuti domisili orang tua/wali mereka.

5) Orang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan mengikuti domisili pengampunya. 60


6)

Para pekerja/buruh mengikuti domisili majikanya jika mereka ikut tinggal dalam

rumah majikannya. b.

Tempat tinggal pilihan

Hal ini berhubungan dengan hal-hal dalam melakukan perbuatan hukum tertentu saja, dan dipilihlah tempat tinggal tertentu. Dalam sengketa perdata di muka hakim, kedua belah pihak yang berperkara atau salah satu dari mereka, berhak bebas dengan suatu akta memilih tempat tinggal lain dari tempat tinggal mereka sebenarnya (Pasal 24 ayat1 KUHper).

3. CATATAN SIPIL Catatan sipil adalah catatan-catatan mengenai peristiwa-peristiwa keperdataan yang dialami /dilakukan oleh seseorang. Peristiwa yang harus dicatat ialah adanya: kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan penggantian nama. Pencatatan sipil ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap suatu peristiwa hukum tertentu yang dialami oleh seseorang,khususnya berkaitan dengan status keperdataannya serta sebagai alat bukti yang sah yang dapat dipergunakan untuk membuktikan suatu peristiwa hukum tertentu bahwa yang dialami oleh seseorang itu benarbenar terjadi. Lembaga yang menangani pencatatan sipi bi bagi menjadi dua, yaitu: -

Umum ( Kantor Catatan Sipil ) yang ditujukan untuk warganegara pada umumnya

-

Khusus ( Kantor Urusan Agama ) yang ditujukan khusus bagi yang beragama Islam,khusus mencatat tentang perkawinan dan perceraian.

61


Demikian dulu ya pembaca tulisan kecil saya kali ini, mudah-mudahan bisa membantu teman-teman dari berbagai kalangan untuk belajar mengenai Hukum Perdata, semoga bermanfaat dan akan saya lanjutkan menulis mengenai hukum perdata lebih lanjut..

G. HUKUM KELUARGA Hukum keluarga dapat diartikan sebagai keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir). Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya). Pengertian Hukum Keluarga itu ada bermacam-macam diantaranya : 1. Keluarga ialah kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami istri dan anak yang berdiam dalam suatu rumah tangga. 2. Hukum keluarga ialah mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dngan kekeluargaan sedarah dan perkawinan. 3. Jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam perkawinan, pewarisan dan perwakilan dalam keluarga.

62


Kekeluargaan disini terdapat dua macam, yang pertama di tinjau dari hubungan darah dan yang kedua ditinjau dari hubungan perkawinan. 1. Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. 2. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).

Sumber Hukum Keluarga 1. Sumber Hukum Keluarga tertulis: a. Kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari undang-undang, yurisprodensi dan traktat. b.

KUHPerdata.

c.

Peraturan perkawinan campuran.

d.

UU No.32./1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

2. Sumber Hukum Keluarga yang tidak tertulis: a. Kaidah-kaidah yang timbul, tambah dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Ruang Lingkup Hukum Keluarga Ruang Lingkup Hukum Keluarga ini ada tiga bagian: 63


a. Perkawinan b. Putusnya perkawinan c. Harta benda dalam perkawinan

Secara luas Hukum Keluarga mencakup atas : Keturunan Kekuasaan orang tua Perwalian Pendewasaan Pengampuan (Curatele) Perkawinan Dalam arti : Keturunan Masalah keturunan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan dalam pasal 55 nya bahwa “Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang�. Apabila akte kelahiran itu tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul anak itu. Atas penetapan Pengadilan itu, maka Pegawai Pencatat kelahiran dapat mengeluarkan akte kelahiran terhadap anak itu. Di dalam pasal 42 dinyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak 64


yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya serta keluarga ibunya. Kekuasaan Orang Tua (Puderlick Macht) Masalah kekuasaan orang tua yang berupa hak dan kewajiban menurut pasal 45 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa “kedua orang tua wajib untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya�. Semua anak yang masih dibawah umur (belum berumur 21 tahun atau belum kawin sebelumnya) berada dibawah kekuasaan orang tua. Artinya, bahwa selama si anak itu belum dewasa orang tua mempunyai kewajiban alimentasi yaitu kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah hingga anak-anak itu dewasa atau sudah kawin. Sebaliknya si anak juga wajib patuh terhadap orang tua dan apabila anak itu telah berkeluarga wajib membantu perekonomian orang tua yang tidak mampu menurut garis lurus keatas. Dalam melakukan kekuasaan orang tua, bapak atau ibu mempunyai hak menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil dari kekayaan itu. kekuasaan orang tua berakhir apabila. 1. Anak telah dewasa atau telah kawin. 2. Perkawinan orang tua putus. 3. Kekuasaan orang tua dicabut oleh hakim, karena alasan tertentu (misalnya:pemborosan, pendidikannya tidak baik dan sebagainya).

65


Anak dibebaskan dari kekuasan orang tua karena terlalu nakal hingga orang tua tidak mampu menguasai dan mendidik. Perwalian (Voogdij) Masalah perwalian diatur dalam pasal 50, 51, 52, 53, dan 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka berada di bawah kekuasaan wali. Pada dasarnya anak yatim piatu atau anak dibawah umur yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua memerlukan bimbingan dan pemeliharaan. Karena itu perlu ditunjuk wali yaitu orang atau yayasan-yayasan yang akan mengurus keperluan dan kepentingan hukum anak-anak tersebut. Hakim biasanya menetapkan seorang wali yang masih ada hubungan darah terdekat dengan si anak, atau ayah dari anak itu yang oleh karena sesuatu hal perkawinannya yang dianggap cakap untuk itu. Namun demikian , hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan misalnya yayasan sebagai wali. Perwalian dapat terjadi karena: a. Perkawinan orang tua putus baik karena kematian atau karena perceraian. b. Kekuasaan orang tua dicabut atau dibebaskan. Dalam keadaaan yang disebut terakhir ini hakim mengangkat seorang wali yang disebut dengan “wali

pengawas�. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh Balai Harta

Peninggalan. Pendewasaan (Handlichting)

66


Pendewasaan merupakan suatu pernyataan bahwa seseorang yang belum mencapai usia dewasa atau beberapa hal tertentu dipersamakan kedudukan atau hukumnya dengan seorang yang telah dewasa. Misalnya dalam hal mengurus perusahaan, pendewasaan itu dapat diberikan atas keputusan Pengadilan bagi yang telah berusia 18 tahun. Pengampuan ( Curatele) Orang yang perlu ditaruh dibawah pengampuan atau pengawasan (curatele) adalah orangorang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik. Mereka yang demikian itu, misalnya: a. Orang sakit ingatan. b. Orang yang pemboros. c. Orang yang lemah daya. d. Orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan baik, misalnya orang yang sering menggangu keamanan atau kelakuannya buruk sekali. Orang ditaruh dibawah pengampuan biasanya diminta oleh suami atau istri, keluarga sedarah, atau kejaksaan. Dalam hal orang yang lemah daya, yang dibenarkan meminta pengawasan adalah orang yang bersangkutan, kurator, atau pengampuan ditetapkan oleh hakim dengan mengangkat suami atau istri atau orang lain diluar keluarga atau perkumpulan dan disertai pengampu pengawas, yaitu balai harta peninggalan. Pengampuan terhadap orang itu (kuradus) berakhir apabila alasan-alasan untuk dimasukannya seseoorang dibawah curatele sudah tidak ada. Perkawinan 67


Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian : 1. Hukum perkawinan Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan. 2. Hukum kekayaan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan. Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW). Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami. II. Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW). Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil. III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga. 68


Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III. IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang. Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini dibeda-bedakan antara : a. Syarat materiil (syarat inti) Syarat ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat materil relatif. Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya. Syarat ini adalah sebagai berikut : 1. Monogamy 2. Persetujuan antara kedua calom suami istri 3. Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal (pasal 29) 4. Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (pasal 34) 5.Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (pasal 35-49) Syarat materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu. 69


Ketentuan-ketentuan ini ada 2 macam : 1. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan. 2. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan perbuatan zinah. 3. Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. b. Syarat Formal Ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah : 1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin 2. Pengumuman tentang maksud untuk kawin Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan : 1. Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing. 2. Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari pengadilan.

70


3. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin. 4. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan. 5. Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi itu diperlukan 6. Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding. Masalah perkawinan, ketentuannya secara rinci telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dilaksanakan dengan peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975. Perkawinan menurut hukum perdata (BW) adalah hubungan keperdataan antara seorang pria dan seorang wanita dalam hidup bersama sebagai suami istri. Menurut KUH Perdata (BW) perkawinan itu sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin. 2. Laki-laki berumur 18 tahun, perempuan 15 tahun. 3. Dilakukan dimuka pegawai Kantor Pencatatan Sipil. 4. Tidak ada pertalian darah yang terlarang antara kedua calon mempelai. 5. Dengan kemauan bebas tanpa ada paksaan dari pihak lain Sahnya perkawinan itu kalau memenuhi dua syarat :

71


Ayat 1: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu Ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan dapat putus oleh sebab-sebab tertentu yaitu: 1. Karena kematian salah satu pihak atau kedua-duanya. 2. Karena kepergian suami atau istri selama sepuluh tahun berturut-turut tanpa adanya pemberitahuan kabar. 3 Karena perpisahan meja dan ranjang 4. Karena perceraian. Setelah perkawinan terjadi, timbul hak dan kewajiban suami istri, Hak dan kewajiban itu ialah: 1. Suami mempunyai kekuasaaan marital, artinya suami sebagai kepala rumah tangga dan dan bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. 2. Adanya kewajian alimentasi (kewajiban memberi nafkah, memelihara, mendidik). 3. Istri wajib mengikuti kewarganegaraaan suami. 4. Istri wajib mengikuti tempat tinggal suami. Perceraian terjadi karena beberapa sebab: 1. Karena berzina 2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. 72


3. Karena salah satu pihak dihukum selama minimal 5 tahun. 4. Karena penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Perceraian sah setelah diumumkan dan didaftarkan pada pegawai kantor pencatatan sipil ditempat mana perkawinan itu berlangsung. Setelah perceraian terjadi, segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perkawinan tidak ada lagi. Perceraian juga membawa akibat hukum bagi anak-anak yang masih dibawah umur dan terhadap harta kekayaan. Setelah berkunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan yang diatur dalam Buku I KUH Perdata sebagian besar kini tidak berlaku lagi. Maka mengenai pengertian perkawinan, syarat-syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, putusnya perkawinan dan alasanalasan perceraian diatur menurut UU No. 1 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya. Penerapan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Indonesia telah melakukan konsultasi nasional tentang hukum keluarga yang bertujuan untuk membangun konsolidasi dan pemetaan kembali hukum keluarga di Indonesia, serta sebagai ruang membangun kerja bersama dan membangun rekomendasi-rekomendasi hukum keluarga yang memiliki prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan bagi perempuan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar, Islam dan ajaran-ajarannya memang relatif banyak mempengaruhi berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak terkecuali hukum keluarga. Saat ini, hukum keluarga di Indonesia sendiri mengacu pada UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Khusus untuk masyarakat muslim di Indonesia, selain UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam yang disahkan melalui Inpres No.1 tahun 1991 juga kerap kali diadopsi dan menjadi pedoman oleh para hakim agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dijustifikasi oleh Presiden Soeharto tersebut terdiri atas 299 pasal yang memuat hukum perkawinan (Munakahat); Hukum Kewarisan (Mawarits); dan hukum Perwakafan. 73


Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam UU hukum keluarga di negaranegara Muslim modern. Secara umum sanksi hukum tersebut terkait dengan pelanggaran berbagai masalah seputar perkawinan, perceraian, nafkah, perlakuan terhadap istri, hak perempuan pasca cerai, dan hak waris. Masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum dapat di atasi dengan bantuan pelayanan hukum keluarga. Pelayanan hukum keluarga merupakan pelayanan hukum yang berkenaan dengan ranah keluarga. Adapun bentuk layanan hukum keluarga yang kami berikan dalam hal ini adalah: – Perkawinan – Perjanjian pranikah – Perceraian – Sengketa harta gono-gini – Waris – Wasiat – Pengangkatan anak – Sengketa hak asuh anak – Kekerasan dalam rumah tangga – Penelantaran anak. – Serta ketentuan-ketentuan hukum lain yang berkenaan dengan keluarga 74


H. HUKUM BENDA 1. Pengaturan Hukum Benda dalam KUHPer Hukum benda merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum harta kekayaan ialah semua kaidah hukum yang mengatur hak-hak apakah yang didapatkan pada orang dalam hubungannya dengan orang lain, tertentu dan tidak tertentu yang mempunyai nilai uang. Sedangkan menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hukum harta kekayaan ialah semua peraturan hubungan-hubungan hukum yang bernilai uang. 2. Sistem Hukum Benda Sistem pengaturan hukum benda bersifat tertutup. Artinya orang tidak bisa atau tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan dalam UndangUndang. Jadi, hanya dapat mengadakan hak kebendaan terbatas yang sudah ditetapkan dalam undang-undang saja. 3. Pengertian Benda Menurut Pasal 499 KUHPer, benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan yang dimaksud benda dalam arti ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, yang dimaksudkan dengan benda ialah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik)(Kartohadiprodjo, 1984: hlm 92). Menurut Prof. Sri Soedewei Masjchoen Sofwan, pengertian benda pertama-tama ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indra, tapi barang yang tak berwujud termasuk 75


benda juga (Soedewi Masjchoen, 1981: hlm 13). Sedangkan menurut Prof. Subekti, perkataan benda (zaak) dalam arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki orang, dan perkataan benda dalam arti sempit ialah barang yang dapat terlihat saja. (Subekti, 2003: hlm 60). Jadi dalam sistem Hukum Perdata, kata zaak mempunyai 2 arti, yaitu : Barang yang berwujud Bagian daripada harta kekayaan Benda sebagai obyek hukum (Pasal 500 KUHPer) Benda sebagai kepentingan hukum (Pasal 1354 KUHPer) Benda sebagai kenyataan hukum (Pasal 1263 KUHPer)] Benda sebagai perbuatan hukum (Pasal 1792 KUHPer) 4. Pengertian Hukum Benda Hukum benda merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Zakenrecht�. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum kebendaan ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda. Sedangkan menurut Prof. L.J van Apeldoorn, hukum kebendaan ialah peraturan mengenai hak-hak kebendaan. Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang diatur dalam hukum benda adalah pertama-tam mengatur pengertian dari benda, kemudian perbedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Benda ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai hak-hak kebendaan yang sifatnya mutlak. 76


5. Macam-macam Benda Menurut Prof. Subekti, benda dapat dibagi atas beberapa macam, yaitu: Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan benda yang tidak dapat diganti (contoh: seekor kuda). Benda yang dapat diperdagangkan dan benda yang tidak dapat diperdagangkan (contoh: jalanjalanan dan lapangan umum). Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: seekor kuda). Benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan yang tidak dapat bergerak (contoh: tanah) (Subekti, 2003: hlm.61) Menurut Prof. Soedewi Masjchoen Sofwan, benda dapat dibedakan atas : Barang yang berwujud dan barang yang tidak berwujud. Barang-barang yang bergerak dan tidak bergerak. Barang yang dapat dipakai habis dan barang yang tidak dapat dipakai habis. Barang-barang yang sudah ada dan barang-barang yang masih akan ada (Soedewi Masjchoen, 1984: hlm 19) Barang yang akan ada dibedakan : Barang-barang yang suatu saat sama sekali belum ada, misal: panen yang akan datang.

77


Barang-barang yang akan ada relatif, yaitu barang-barang yang pada saat itu sudah ada, tetapi bagi orang-orang yang tertentu belum ada, misalnya barang-barang yang sudah dibeli, tapi belum diserahkan. Barang-barang yang dalam perdagangan dan barang-barang di luar perdagangan. Barang-barang yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.

6. Asas-asas Hukum Benda Menurut Prof. Sri Soedewi Majchoen Sofwan, ada 10 asas umum dari hukum benda : •

Merupakan hukum pemaksa. Menurut asas ini, atas sesuatu benda itu hanya dapat diadakan hak kebendaan sebagaimana yang telah disebutkan dalam undang-undang. Dengan kata lain kehendak pihak lain tidak dapat mempengaruhi isi hak kebendaan.

•

Dapat dipindahkan. Menurut asas ini, semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan hak mendiami. Jadi orang yang berhak tidak dapat menentukan bahwa tidak dapat dipindah-tangankan.

•

Asas individualiteit. Menurut asas ini, obyek dari hak kebendaan selalu adalah suatu barang yang dapat ditentukan. Artinya, orang hanya dapat sebagai pemilik dari barang-barang yang berwujud merupakan kesatuan. Jadi orang tidak mempunyai hak kebendaan di atas barang-barang yang ditentukan menurut jenis dan jumlahnya.

•

Asas totaliteit. Menurut asas ini, hak kebendaan selalu melekat atas keseluruhan sdaripada obyeknya. Dengan kata lain, bahwa siapa yang mempunyai hak kebendaan atas suatu barang, ia mempunyai hak kebendaan itu atas keseluruhan barang itu dan juga atas bagian-bagiannya yang tidak tersendiri. 78


Asas tidak dapat dipisahkan. Menurut asas ini, pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian daripada wewenang yang termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya. Jadi, pemisahan daripada hak kebendaan itu tidak diperkenankan.

Asas priotiteit. Menurut asas ini, semua hak kebendaan memberikan wewenang yang sejenis dengan wewenang-wewenang dari eigendom, sekalipun luasnya berbeda-beda.

Asas pencampuran. Menurut asas ini, hak kebendaan terbatas wewenangnya. Jadi, hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin atas hak miliknya sendiri.

Asas perlakuan yang berlainan terhadap benda bergerak dan tidak bergerak. Asas ini berhubungan dengan penyerahan, pembebanan, bezit dan verjaring mengenai bendabenda bergerak dan tak bergerak berlainan.

Asas publiciteit. Menurut asas ini, benda-benda yang tidak bergerak mengenai penyerahan dan pembebanannya berlaku kewajiban untuk didaftarkan dalam daftar (register) umum. Sedangkan untuk mengenai benda yang tidak bergerak, cukup dengan penyerahan nyata, tanpa pendaftaran dalam register umum.

Sifat perjanjian. Orang mengadakan hak kebendaan misalnya mengadakan hak memungut hasil, gadai, hipotik dan lain-lain, itu sebetulnya mengadakan perjanjian. Sifat perjanjiannya di sini merupakan perjanjian yang zakelijk, yaitu perjanjian untuk mengadakan hak kebendaan.(Soedewi Masjchoen, 1984:hlm 36-40).

7. Hak Kebendaan Pengertian Hak Kebendaan Hak Kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu hak yang dapat dipertahankan setiap orang (Subekti, 2003: hlm 62). Kemudian dapat disimpulkan bahwa hak kebendaan ialah hak mutlak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu 79


benda yang dapat dipertahankan setiap orang dan mempunyai sifat melekat (Simanjuntak, 2009: hlm. 210). 8. Ciri-ciri Hak Kebendaan Merupakan hak mutlak. Dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Mempunyai hak yang mengikuti. Artinya hak itu terus mengikuti bendanya di manapun juga barang itu berada. Mempunyai sistem. Sistem yang terdapat dalam hak kebendaan ialah mana yag lebih dulu terjadinya, tingkatnya lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. Mempunyai hak yang lebih didahulukan daripada hak lainnya. Mempunyai macam-macam actie (penuntutan kembali jika terjadi gangguan atas haknya. Mempunyai cara pemindahan yang berlainan Kemungkinan untuk

memindahkan hak

kebendaan

itu dapat

secara

sepenuhnya

dilakukan.(Simanjuntak, 2009:hlm 210-211) 9. Macam-macam Kebendaan Hak Bezit Pengertian Bezit Menurut KUHPer. Bezit diterjemahkan dengan kedudukan berkuasa, yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal 529 KUHPer). 80


Menurut Subekti. Bezit ialah suatu keadaan lahir, di mana seorang seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya apa pada siapa (Subekt, 2003: hlm 60). Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan bezit adalah hak seseorang yang menguasai auatu benda, baik langsung maupun dengan perantaraan orang lain untuk bertindak seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri (Simanjuntak, 2009: hlm 213). Syarat-syarat adanya bezit Untuk adanya suatu bezit, haruslah dipenuhi syarat-syarat, yaitu : Adanya Corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya. Adanya Animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut. Dengan demikian, untuk adanya bezit harus ada 2 unsur, yaitu kekuasaan datas suatu benda dan kemauan untuk memilikinya benda tersebut.

Fungsi bezit Pada dasarnya, bezit mempunyai dua fungsi, yaitu : Fungsi polisionil. Bezit itu mendapat perlindungan hukum tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang membezit sesuatu benda, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Dengan demikian, bagi yang merasa haknya dilanggar, maka ia harus meminta penyelesaian melalui polisi atau pengadilan. 81


Fungsi zakenrechtelijk. Bezitter yang telah membezit suatu benda dan telah berjalan untuk beberapa waktu tertentu tanpa adanya protes dari pemilik sebelumnya, maka bezit itu berubah menjadi hak milik melalui lembaga verjaring (lewat waktu). Cara memperoleh bezit Menurut Pasal 540 KUHPer, cara mendapatkan bezit ada dua macam, yaitu : -Dengan jalan Occupatio. Memperoleh bezit dengan jalan ini artinya memperoleh bezut tanpa bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. -Dengan jalan traditio. Memperoleh bezit dengan jalan ini artinya memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. Hapusnya bezit -Kekuasaan atas benda itu berpindah pada orang lain -Benda yang dikuasai nyata telah ditinggalkan. Hak Eigendom Pengertian Menurut KUHPer. Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan UU dan tidak mengganggu hak-hak orang lain. Menurut Prof.

Subekti. Eigendom adalah hak paling sempurna atas suatu benda.

Seseorang yang mempunyai hak eigendom bebas berbuat apa saja dengan benda itu asal tidak melanggar UU dan hak-hak orang lain (Subekti, 2003:hlm. 69) 82


Dari perumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa hak eigendom adalah hak yang paling utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan yang lain (Simanjuntak, 2009: hlm. 217). Cara memperoleh hak milik Menurut Pasal 584 KUHPer, hak eigendom dapat diperoleh dengan: -Pendahuluan -Ikutan -Lewat waktu -Pewarisan -Penyerahan -Hapusnya hak milik Seseorang dapat kehilangan hak miliknya apabila : -Seseorang memperoleh hak milik itu melaui salah satu cara untuk memperoleh hak milik. -Binasanya benda itu. -Pemilik hak milik melepaskan benda itu. Hak Servituut Pengertian hak servituut

83


Menurut KUHPer. Hak servituut disebut juga dengan pengabdian, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, utnuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain Menurut Prof. Subekti, S.H. Yang dimaksud dengan servituut adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa hak servituut atau hak pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain. Macam-macam hak pekarangan : Menurut Pasal 677-678 KUHPer, hak pekarangan dapat dibedakan antara Hak pekarangan abadi, yaitu hak tersebut dapat dilangsungkan secara terus-menerus, tanpa bantuan orang lain atau manusia, misalnya: hak mengalirkan air, hak atas pemandangan ke luar, dan sebagainya. Hak pekarangan tak abadi, yaitu hak tersebut dalam penggunaannya memerlukan suatu perbuatan manusia, misalnya: hak melintas pekarangan, hak mengambil air, dan sebagainya. Hak pekarangan yang nampak, yaitu hak terhadap suatu benda yang nampak, misalnya: pintu, jendela, pipa air, dan sebagainya. Hak pekarangan yang tak nampak, yaitu hak terhadap suatu benda yang tak nampak, misalnya: larangan untuk mendirikan bangunan dan sebagainya. Syarat-syarat hak pekarangan Harus ada dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan yang dimiliki oleh berbagai pihak. 84


Kemanfaatan dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai pihak yang memiliki halaman tadi. Hak pekarangan harus bertujuan utnuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman penguasa. Beban yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu. Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan sesuatu, atau tidak membolehkan sesuatu.

Hapusnya hak pekarangan karena: Kedua pekarangan itu jatuh ke tangan seseorang (Pasal 706 KUHPer). Selama 30 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (Pasal 707 KUHPer). Hak Opstal Ialah suatu hak untuk memilki bangunan-banguna di atas tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Dapat diperoleh melalui titel ataupun juga karena lewat waktu. Hak opstal dapat hapus karena: Hak opstal jatuh ke dalam satu tangan Musnahnya pekarangan Selama 30 tahun tidak digunakan Waktu yang telah dijanjikan telah lampau Hak Erfpacht 85


Ialah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang tiap tahun.(PNH, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, 2009, hlm 224). Hak erfpacht dapat berakhir karena: Musnahnya pekarangan 30 tahun tidak dipergunakan Waktu yang dijanjikan telah lampau Diakhiri oleh pemilik tanah Hak Hipotik Dengan mengacu pada Pasal 1162 KUHper, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perutangan. Hak hipotik menurut pasal 1209 KUHPer, dapat hapus karena: Hapusnya perikatan pokoknya. Si berpiutang melepaskan hipotiknya. Penetapan tingkat oleh hakim.

I.

HUKUM WARIS 1. Pengertian Hukum Waris Di dalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian hukum waris, tetapi yang ada hanya

berbagai konsep-konsep tentang pewarisan, orang-orang yang berhak dan tidak berhak 86


menerima waris, dan lain-lain. Namun, di dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 berbunyi: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.94 Hukum waris dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1.

Hukum waris tertulis

Hukum waris tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan UU dan Yurisprudensi. 2.

Hukum waris adat

Hukum waris adat adalah hukum waris yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat. 2. Sistem Hukum Waris Islam dan BW 1. Sistem Hukum Waris Islam Hazarin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-quran mengemukakan bahwa “Sistem kewarisan islam adalah sistem individual bilateral.95Dikatakan demikian atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam al-quran diantranya seperti yang tercantum dalam masingmasing surat An-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 33, dan 176. Hazarin juga mengemukakan beberapa hal baru yang merupakan ciri sistem hukum waris islam menurut al-quran, yaitu:

94

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Op.Cit. hlm 137. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam perspektif islam, adat, dan BW, (Bandung: Refika Aditama), hlm 15. 95

87


- Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar al-quran hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin sebagai ahil waris jika pewaris meninggal dunia tampa keturunan. - Jika meninggal dunia tampa keturunan maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidak-tidaknya dengan ibunya. - Suami-istri saling mewarisi; artinya, pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris pihak lainnya. 2. Sistem Hukum Waris BW Sistem waris BW tidak mengenal istilah “Harta asal maupun harta gono gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli warisannya. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu: “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sedangkan dalam sistem hukum waris adat membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditingglkan pewaris. 3. Asas Hukum Waris Mengenai Pewaris dan Diri Ahli Waris. Terdapat lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta warisan, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta tersebut, yaitu:96

96

http://id.shvoong.com/law-and-politics/family-law/2242589-asas-asas-hukum-kewarisanislam/#ixzz26nizo6ru diakses pada hari selasa tanggal 19 Desember 2017 pada pukul 11.21. wita.

88


1.

Asas ijbari (paksaan) Dalam hukum waris Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang

telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya. Hal ini berbeda dengan hukum BW di mana pewaris dapat menunjuk ahli waris melalui wasiat. 2.

Asas Bilateral Asas ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah.

Setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu seorang lakilaki berhak mendapatkan warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, dan begitu juga sebaliknya. 3.

Asas Individual Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta

warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masingmasing. 4.

Asas keadilan berimbang Keadilan berimbang dalam hukum waris Islam adalah keseimbangan antara hak dan

kewajiban, dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Baik laki-laki

maupun perempuan mendapatkan hak yang sama kuat untuk 89


mendapatkan warisan, walaupun dari segi jumlah yang diperoleh memang tidak sama. Meskipun demikian, hal tersebut bukan berarti tidak adil. Karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanyadiukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan lakilaki dalam Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap istri (keluarganya). 5.

Asas semata akibat kematian Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat

kematian semata. Harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. 4. Penggolongan Ahli Waris Dan Tentang Ketidakpatuhan Ada dua macam ahli waris yang diatur dalam UU, yaitu: 1.

Ahli waris berdasarkan hubungan perkawinan dan hubungan darah (Ab Intestato)

Ahli waris Ab Intestato diatur dalam pasal 832 KUH Perdata yang berbunyi “Yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut UU maupun yang diluar pernikahan, dan suami istri yang hidup terlama.97 Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan istri (suami) digolongkan menjadi empat golongan sebagai berikut:98 97

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang HUkum Perdata, hlm, 216.

90


- Anak, atau keturunannya dan istri (suami) yang hidup. (pasal 852 KUH perdata) - Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris (pasal 854 KUH Perdata) - Nenek dan kakek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus keatas (pasal 853 KUH Perdata) - Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai tingkat ke enam. (pasal 861 ayat 1 KUH Perdata). a)

Ahli waris golongan pertama (Pasal 852 KUH Perdata) Menurut ketentuan pasal 852 KUH Perdata, anak-anak walaupun dilahirkan dari

perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki-laki atau perempuan mendapatkan bagian yang sama, mewarisi orang demi orang. Berhubungan dengan anak adopsi, menurut Ali Afandi, menyatakan bahwa anak adopsi ini kedudukannya di dalam hukum sama seperti anak yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya. Hal ini terdapat dikalangan orang Indonesia keturunan cina. b)

Ahli waris golongan kedua (Pasal 854 KUH Perdata) Menurut ketentuan pasal 854 KUH Perdata, apabila seseorang meninggal dunia tampa

meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah dan ibunya masih hidup, yang berhak mewarisi adalah ayah, ibu, dan saudaranya, yaitu: 1. Ayah dan ibu masing-masing mendapat sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mendapat sepertiga lebihnya.

98

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm, 284

91


2. Ayah dan ibu masing-masing mendapat seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mendapat dua perempat lebihnya. Selanjutnya, dalam pasal 855 KUH Perdata ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu tampa meninggalkan keturunan ataupun istri/suami, sedangkan ayah atau ibunya masih hidup, maka: 1. Ayah atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mendapat seperdua lebihnya. 2. Ayah atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara, yang mendapat dua pertiga lebihnya. 3. Ayah atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mendapat tiga perempat lebihnya. Jika ayah dan ibu telah meninggal dunia , seluruh harta warisan menjadi bagian saudarasaudara (Pasal 856 KHU Perdata). c)

Ahli waris golongan ketiga (Pasal 853 KUH Perdata) Menurut pasal 853 dan 858 KUH Perdata, apabila orang yang meninggal dunia itu tidak

meninggalkan, baik keturunan istri atau suami, saudara-saudara, maupun orang tua, harta warisan jatuh pada kakek dan nenek. d)

Ahli waris golongan keempat Keluarga sedarah dalam garis menyamping lebih dari derajat keenam tidak mewaris. Jika

dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang membolehkan untuk

92


mewaris, semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh harta warisan. (Pasal 861 KUH Perdata). 2.

Ahli waris berdasarkan surat wasiat (Testamentair) Sehubungan dengan pewaris, yang penting dipersoalkan adalah perbuatan pewaris pada

masa hidupnya mengenai harta kekayaannya apabila ia meninggal dunia, apakah sebelum ia meninggal dunia apa ada wasiat yang ditinggalkannya kepada seseorang mengenai harta kekayaannya yang disebut surat wasiat (testament). Surat wasiat (testament) adalah suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan olehnya dapat ditarik kembali (Pasal 875). Menurut UU, apabila pewaris mempunyai wasiat atau meninggalkan wasiat, maka wasiat itu harus ditulis yang berisi pernyataan apa yang dikehendaki pewaris setelah meninggal dunia sebagaimana dalam hadis dinyatakan bahwa: “Hak setiap orang muslim apabila memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, maka wasiatnya harus ditulis dan disimpan sebelum lewat dua malam�. Dan masalah ini dijelaskan dalam Pasal 875 KUH Perdata yang menyatakan bahwa surat wasiat (testamen) adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya. Berdasarkan ketentuan pasal 875 KUH Perdata surat wasiat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Surat wasiat menurut bentuknya Menurut ketentuan pasal 931 KUH Perdata, ada tiga macam surat wasiat menurut bentuknya, yaitu: 93


1. Surat wasiat olografis atau ditulis tangan sendiri. Surat wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris. Surat wasiat alografis harus disimpan pada seorang notaries. Penyimpanan tersebut harus dilakukan dengan akta penyimpanan, yang dibuat oleh notaries yang menyimpan surat wasiat, kemudian ditandatangani oleh notaries yang menyimpan surat wasiat tersebut, pewaris, dan dua orang saksi yang menghadiri peristiwa tersebut (Pasal 932 KUH Perdata). 2. Surat wasiat umum. Surat wasiat umum adalah surat wasiat dengan akta umum yang harus dibuat di hadapan Notaris dengan dihadiri oleh dua orang saksi. 3. Surat wasiat rahasia atau tertutup. Surat wasiat rahasia atau tertutup adalah surat wasiat yang dibuat oleh pewaris dengan tulisan sendiri atau ditulis dengan orang lain, yang ditandatangani oleh pewaris. b. Surat wasiat menurut isinya Menurut isinya ada dua macam surat wasiat, yaitu: 1. Surat wasiat pengangkatan waris (erfsteling) Menurut ketentuan Pasal 954 KUH Perdata, wasiat pengangkatan ahli waris adalah suatu wasiat, dimana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia, seluruh maupun sebagian, seperti seperdua atau sepertiga. 2. Surat wasiat hibah (legat) 94


Menurut ketentuan pasal 957 KUH Perdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dari macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya. Di dalam BW Sistem pembatasan dalam hal Ab Intestaat (hibah wasiat) tentang besar kecilnya harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli waris diatur dalam Pasal 913-929 BW. Adapun tentang ketidakpatuhan, menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris adalah 1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris 2. Mereka yang dengan keputusan hakim dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat. 3. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat surat wasiatnya 4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris Berbeda dengan KUH Perdata adalah hukum waris adat menurut uraian Prof. Hilman Hadikusuma, S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni, ia tetap bisa menerima warisan. Sedangkan menurut hukum waris islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah: 95


1.

Pembunuh pewaris

2.

Orang yang murtad

3.

Orang yang berbeda agama dengan pewaris

4.

Anak zina

E.

Pewarisan Dalam Hal Adanya Anak Diluar Kawin

Status kelahiran anak di luar pernikahan dapat dilihat melalui: 1.

Pandangan Hukum Adat Bila dipandang dari segi hukum adat, jika seorang wanita yang melahirkan anak

diluar pernikahan, maka hanya mempunyai hubungan dengan ibunya. Akan tetepi apabila pada waktu melahirkan anak, si ibu telah mempunyai suami, maka anak itu adalah anak sah, bukan anak yang lahir diluar pernikahan. Maka dalam hal ini apabila seorang wanita melahirkan anak diluar pernikahan, maka seorang anak itu hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya dan keluarga dari ibunya, sebaliknya apabila anak itu yang meninggal, maka harta peninggalannya hanya diwarisi oleh ibunya dan keluarga ibunya. 2.

Pandangan Hukum Islam Menurut hukum islam anak yang lahir diluar pernikahan ditetapkan adanya tenggang

waktu yaitu tenggang waktu nikah si isteri dengan kelahiran si anak dan tenggang yang selama-lamanya harus ada antara putusnya perkawinan dengan lahirnya si anak. 96


3.

Pandangan Hukum BW Dalam BW yang mengatur hubungan hukum tentang kewarisan antara si ibu dan si

anak diluar pernikahan, yaitu tercantum pada pasal-pasal 862/873 BW.Oleh BW ada kemungkinan seorang anak tidak hanya tidak mempunyai bapak, melainkan juga tidak mempunyai seorang ibu dalam pengertian, antara anak dengan seorang wanita yang melahirkannya itu, tidak ada perhubungan hukum sama sekali tentang pemberian nafkah, warisan dan lain-lain. Antara anak dan si ibu baru mempunyai perhubungan hukum, apabila si ibu mengakui anak itu sebagai anaknya, dimana pengakuan itu mesti dilaksanakan dengan sistem tertentu, yaitu menurut pasal 281 BW dalam akte kelahiran si anak atau dalam akte pernikahan bapak dan ibu di depan Pegawai Catatan Sipil (ambtenaar bijdi Burgerlijk stand), atau dengan akte otentik tersendiri ( akte notaries) atau jadi ½ dan tidak Ÿ dari bagian anak sah. Di dalam Burgerlijk Wetboek ada tiga jenis anak: -

Anak sah

-

Anak diluar pernikahan yang diakui sebagai anak

-

Anak diluar pernikahan yang tidak diakui Besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin adalah tergantung dari

dengan bersama-sama siapa anak luar kawin itu mewaris (dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris). Adapun besar warisan yang diperoleh dari anak yang diluar kawin adalah sebagai berikut:

97


1.

Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan I, bagiannya: 1/3 dari bagiannya

seandainya dia anak sah. 2.

Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan II dan III, bagiannya : ½ dari

seluruh warisan. 3.

Anak luar kawin mewarisi dengan ahli waris golongan IV, bagiannya: ž dari seluruh

warisan

F.

Legitieme Portie (Bagian Mutlak) Dalam Waris Legitieme Portie atau bagian waris menurut UU ialah suatu bagian dari harta benda

yang harus diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut UU, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh mendapatkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913) KUH Perdata. Maksud dari garis lurus itu adalah garis lurus ke bawah atau garis lurus ke atas, artinya jika tidak ada ahli waris lurus ke bawah, maka garis lurus ke atas berhak atas legitieme portie. yang berhak atas legitieme portie disebut legitimaris. Dalam pemabahasan legitieme portie ditempatkan dalam pokok bahasan mengenai harta warisan, sebab legitieme portie itu hanya akan ada artinya apabila pewaris meninggalkan harta warisan dan wasiat. Besarnya legitieme portie ahli waris dalam garis lurus ke bawah diatur dalam pasal 914 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditetapkan besarnya legitieme portie sebagai berikut: 98


1. Apabila hanya ada satu orang anak sah, legitieme portie adalah seperdua dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat. 2. Apabila ada dua orang anak sah, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah 2/3 dari harta warisan yang diperolehnya tampa ada surat wasiat. 3. Apabila ada tiga orang anak sah atau lebih, legitieme portie untuk masing-masing anak adalah ž dari harta warisan yang diperolehnya tampa surat wasiat. Menghitung besar legitieme portie harus memperhatikan ketentuan pasal 916a KUH Perdata. Dalam hal ada ahli waris mutlak dan ahli waris tak mutlak maka penghibahan harus tidak melanggar legitieme portie yang ditentukan. Penentuan legitieme portie itu tampa memperhitungkan adanya ahli warisa tak mutlak. Apabila penghibbahan itu melebihi jumlah legitieme portie yang ditentukan tampa memperhitungkan ahil waris tak mutlak, maka kelebihannya dituntut kembali oleh ahli waris mutlak. Maksudnya ketentuan pasal 916a ini ialah supaya ahli waris tak mutlak mendapat perlindungan dari ahli waris mutlak, sehingga bagian warisannya tidak dirugikan oleh penghibahan yang dilakukan oleh pewaris. Contoh cara menghitung besarnya legitieme portie dalam hal ada wasiat terhadap harta warisan. Pewaris meninggalkan seorang anak dan seorang istri. Anak adalah ahli waris mutlak, istri adalah ahli waris tak mutlak. Bagian anak dan ibu sama, bagian anak ½ warisan (pasal 852a ayat 1 KUH Perdata). Legitieme portie anak tersebut adalah seperdua kali seperdua warisan sama dengan seperempat warisan (pasal 914 KUH Perdata). Dengan demikian warisan yang dapat dihibahkan adalah semua warisan dikurangi seperempat warisan sama dengan tiga perempat warisan.

99


Dengan perhitungan ini jelas bahwa istri tidak memperoleh bagian apa-apa, sebab harta warisan setelah dikurangi dengan legitieme portie anak (seperempat warisan) dapat dihibahkan semua (tiga perempat warisan). Dengan adanya ketentuan pasal 916a KUH Perdata keadaan menjadi lain. Berdasarkan pasal ini, istri karena bukan ahli waris mutlak tidak dihitung dulu sebagai ahli waris. Yang dihitung hanya anak sebagai ahli waris mutlak. Dengan mengesampingkan istri tadi maka anak memperoleh seluruh warisan (pasal 852 KUH Perdata). Dengan demikian, legitieme portie anak adalah seperdua dari seluruh warisan (pasal 914 KUH Perdata). Yang dapat dihibahkan adalah seperdua harta warisan, sisanya ialah tiga perempat warisan. Karena yang dapat dihibahkan sekarang hanya seperdua warisan, maka masih terdapat seperdua warisan untuk para ahli waris, baik mutlak maupun tak mutlak. Seperdua warisan dibagi antara anak dan istri. Menurut pasal 852a KUH Perdata bagian istri sama dengan bagian anak. Dengan demikian istri mendapat seperempat warisan anak mendapat seperempat warisan. Jelaslah bahwa pasal 916a KUH Perdata memberi perlindungan terhadap ahli waris tak mutlak sehingga ia tidak dirugikan oleh penghibahan yang dilakukan oleh pewaris. Untuk menentukan besarnya legitieme portie dalam suatu kewarisan, maka akan diikuti ketentuan pasal 921 KUH Perdata. Menurut ketentuan pasal tersebut: 1. Harta peninggalan pada waktu pewaris meninggal dunia ditetapkan jumlahnya, bedasarkan harga pada waktu pewaris meniggal. 2. Jumlah itu harus ditambah dengan jumlah harga barang yang dihibahkan pada waktu pewaris masih hidup. Barang itu harus dinilai menurut keadaan waktu diadakan penghibahan dengan harga pada waktu pewaris meninggal dunia. 100


3. Jumlah yang terdapat tersebut dikurangi dengan segala hutang pewaris. 4. Sisa pengurangan ini dijadikan dasar untuk menghitung legitieme portie para ahli waris mutlak.

101


DAFTAR PUSTAKA BUKU : H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2014. Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana (Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan), Rangkang Education, Yogyakarta, Cet. I 2012.

SALIM HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta 2009. C.S.T. Kansil. Modul Hukum Perdata, Cet. Keempat, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. TITIK TRIWULAN TUTIK. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. Kedua , Jakarta, Kencana, 2010. SUBEKTI, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XXXI, 2003 SOFWAN, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, Cet. IV, 1981 MERTOKUSUMO, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, Cet. III, 2007. Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008. Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. 102


Algra et.al, Mula Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983. Marc Groenhuijen, "Conflict of Victims Interests and Offender's Rights in the Criminal Justice System", dalam Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001. Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Jakarta, 1964, sebagaimana dikutip oleh Mudzakkir, Korban Kejahatan dalam Perspektif Peradilan Pidana Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Bidang Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992. Barda Nawawi Arief, "Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan", makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Rangka Good Corporate Governance, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Tanggal 27 Maret 2007. SIMANJUNTAK, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2009 Djamali, R. Abdoel. SH, 1993. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada

INTERNET : 103


Tanpa nama. “Hukum Keluarga Adalah Bagian dari Hukum Perorangan”. (Online), (http://www.google.com diakses tanggal 9 Desember 2017) Suheri. 29 Juli 2010. “Hukum Keluarga”. (Online), (http://www.google.com diakses tanggal 9 Desember 2017) Yulianto, Joko Adi. 28 Oktober 2010. “Hukum Keluarga”. (Online), (http://www.google.com diakses tanggal 9 Desember 2010) Saleh, Muhammad Zaki. “ Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim”. (Online), (http://www.google.com diakses tanggal 9 Desember 2017)

104


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.