0
1
0
UPAYA PEMERINTAH DALAM PEMENUHAN HAK PEREMPUAN NELAYAN DI KABUPATEN TAKALAR Tim Peneliti CLCC ALSA LC Universitas Hasanuddin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan entitas utama yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia setiap warga negaranya. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menuangkan jaminan tersebut dalam konstitusi negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab XA yang berisi tentang Hak Asasi Manusia. Salah satunya yaitu dalam Pasal 28D ayat (1), negara telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang sangat krusial dimiliki seseorang, khususnya dalam sektor pekerjaan. Namun, hak pekerja kerap kali masih dikesampingkan. Salah satunya dalam sektor kelautan perikanan, sehingga hal tersebut mendorong Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO untuk mengeluarkan beberapa konvensi yang berkaitan dengan hak-hak pekerja di sektor maritim, salah satunya adalah Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang saat ini sedang dalam proses diratifikasi oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Terobosan pemerintah untuk menegakkan hak pekerja dalam sektor kelautan dan perikanan yakni dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam (selanjutnya disebut dengan UU No. 7 Tahun 2016) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 tahun 2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan. Indonesia memiliki 17.499 pulau dengan luas total wilayah Indonesia sekitar 7,81 juta km². Dari total luas wilayah tersebut, 3,25 juta km² adalah lautan, dan 2,55 juta km² adalah Zona Ekonomi Eksklusif, dan hanya sekitar 2,01 juta km² yang berupa daratan.1 Sebagai negara yang memiliki kawasan pesisir yang cukup luas 1
Oki Pratama, “Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia”, <https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-potensi-kelautan-dan-perikan an-indonesia>, diakses pada 27 November 2021 pukul 10.24 WITA.
1
dengan garis pantai sepanjang 95.181 km,2 menjadikan sebagian penduduk Indonesia bermata pencarian sebagai nelayan. Pasalnya, pekerjaan sebagai nelayan merupakan salah satu pekerjaan yang tergolong risk-seekers, artinya nelayan tetap melakukan kegiatan penangkapan meskipun harus menghadapi ketidakpastian yang cukup tinggi.3 Kehadiran Kartu KUSUKA merupakan angin segar bagi para aktor sektor maritim. Kartu KUSUKA merupakan program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berguna sebagai identitas tunggal pelaku usaha kelautan dan perikanan. Kartu KUSUKA ini juga ditujukan untuk perlindungan dan pemberdayaan pelaku
usaha kelautan
dan perikanan,
percepatan pelayanan, peningkatan
kesejahteraan serta menciptakan efektivitas dan efisiensi program Kementerian Kelautan dan Perikanan agar tepat sasaran dan pendataan kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan.4 Ruang lingkup Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan yang berhak mendapatkan Kartu KUSUKA berbentuk orang perseorangan atau korporasi yang meliputi5: 1. Nelayan terdiri atas Nelayan kecil, Nelayan tradisional, Nelayan buruh, dan Nelayan pemilik; 2. Pembudidaya Ikan terdiri dari Pembudidaya Ikan kecil, penggarap lahan, dan pemilik lahan; 3. Petambak Garam terdiri atas Petambak Garam kecil, penggarap tambak garam, dan pemilik tambak garam; 4. Pengolah Ikan; 5. Pemasar Perikanan; dan 6. Penyedia Jasa Pengiriman Produk Kelautan dan Perikanan.
2
Operator KKP, “Laut Masa Depan Bangsa, Mari Jaga Bersama”, <https://kkp.go.id/artikel/12993-laut-masa-depan-bangsa-mari-jaga-bersama>, diakses pada 27 November 2021 pukul 11.15 WITA. 3 Lindawati dan Rikrik Rahadian, 2016, Identifikasi Faktor dan Penilaian Risiko Pada Usaha Perikanan Tangkap Di Kabupaten Sambas, Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 11 No. 1, Juni 2016, hlm. 100. 4 Ken, “Kenapa Harus Punya Kartu KUSUKA???”, <https://perikanan.pamekasankab.go.id/kenapa-harus-punya-kartu-KUSUKA.html>, diakses pada 27 November 2021 pukul 12.30 WITA. 5 Dida Daniarsyah, 2020, Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Program Kartu KUSUKA Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Journal of Indonesian Public Administration and Governance Studies (JIPAGS), hlm. 629.
2
Kartu Nelayan diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang dikeluarkan tahun 2012 dan diperbaharui melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16/PERMEN-KP/2016 tentang Kartu Nelayan.6 Dalam Pasal 3 ayat (1) Permen tersebut, mengatur bahwa Kartu Nelayan diberikan kepada nelayan. Kartu Nelayan berfungsi sebagai identitas profesi nelayan, basis data untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, memberikan kemudahan dalam pembinaan nelayan, dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaan program Kementerian. Regulasi ini menjadi awal kehendak baik negara, dalam mengakui, dan menghormati profesi nelayan, serentak hak-haknya sebagai nelayan.7 Kemudian, jaminan perlindungan dan pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam diatur lebih spesifik dalam UU No. 7 Tahun 2016. Dalam UU No. 7 Tahun 2016 tersebut terdapat pasal kontroversial yang dianggap kurang memperhitungkan peran perempuan nelayan, yaitu pada Pasal 45 yang berbunyi “Kegiatan pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga Nelayan, rumah tangga Pembudidaya Ikan, rumah tangga Petambak Garam.” Rumusan pasal tersebut cukup menuai kontroversi, karena dianggap kurang memperhitungkan peran perempuan nelayan, yang juga ikut pergi menangkap ikan untuk menghidupi keluarganya, bukan hanya sekedar menjadi bagian rumah tangga,8 sehingga dukungan, dan perlindungan yang disebutkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 menjadi sulit diakses oleh perempuan nelayan. Padahal, dalam Pasal 1 angka 3 UU tersebut, dijelaskan bahwa nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Tidak ada pengecualian, atau pengkhususan jenis kelamin dalam profesi nelayan. Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, pada praktiknya, rata-rata perempuan nelayan bergerak dalam bidang pengolahan, pembudidaya, dan aktif sebagai pendamping, atau pembantu suami yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Meskipun demikian, nyatanya masih banyak yang belum mengetahui perihal fungsi dari Kartu KUSUKA. Dalam Pasal 5 6
Paulus Adrianus KLR dan Hendrikus LK, 2020, Pengakuan Formal dan Pemenuhan Hak Nelayan (Evaluasi Pelaksanaan Kartu Nelayan di Kota Kupang), JAP UNWIRA, Vol. 1 No. 1, hlm. 47. 7 Ibid, hlm. 47. 8 Renatha I. A, 2019, Skripsi, Perlindungan Terhadap Hak-Hak Perempuan Nelayan Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Dikaitkan Dengan Prinsip Non Diskriminasi Sebagai Perwujudan Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. hlm. 3.
3
ayat (4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan dijelaskan bahwa UPT dan dinas Kabupaten/Kota
berwenang
untuk
melakukan
pendataan,
sosialisasi,
dan
pendampingan distribusi Kartu KUSUKA, melakukan verifikasi kepada Pelaku Utama yang mengajukan permohonan, dan memberikan bimbingan teknis pendataan, sosialisasi, pemantauan, evaluasi, dan konsultasi pelaksanaan Kartu KUSUKA. Nyatanya, berdasarkan survei yang kami lakukan di Kabupaten Takalar, khususnya di Desa Aeng Batu-batu, masih banyak nelayan, terkhusus perempuan nelayan belum mengetahui terkait fungsi dari Kartu KUSUKA. Selain itu perempuan nelayan yang dominan berada pada kelompok budidaya dan pengolahan, khususnya di Desa Aeng Batu-batu, masih banyak yang belum mendapatkan Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA). Hal ini menunjukkan bahwa pengadaan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan belum merata. Padahal Kartu KUSUKA sangat penting untuk dimiliki oleh semua perempuan nelayan. Melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein mengenai pemenuhan hak perempuan nelayan, maka ALSA LC Unhas berinisiatif untuk mengkaji lebih lanjut mengenai fungsi dan peranan pemerintah dalam proses pembuatan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan, menilik lebih dalam terkait kedudukan dan perspektif masyarakat terkait perempuan nelayan di Kabupaten Takalar, serta mengetahui faktor yang menghambat partisipasi perempuan nelayan dalam pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar. B. Rumusan Masalah a. Bagaimanakah fungsi dan peranan pemerintah dalam proses pembuatan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan? b. Bagaimanakah kedudukan dan perspektif masyarakat terkait perempuan nelayan di Kabupaten Takalar? c. Bagaimanakah faktor yang menghambat partisipasi perempuan nelayan dalam pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar? C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui fungsi dan peranan pemerintah dalam proses pembuatan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan.
4
b. Untuk mengetahui kedudukan dan perspektif masyarakat terkait perempuan nelayan di Kabupaten Takalar. c. Untuk mengetahui faktor yang menghambat partisipasi perempuan nelayan dalam pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar. D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan socio-legal research. Penelitian ini mengkaji kesenjangan antara objek ilmu hukum yang berasal dari berbagai norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada di dalam masyarakat sebagai bahan hukum (das sollen), dengan objek ilmu sosial berupa kenyataan atau perilaku manusia yang berpedoman pada norma hukum (das sein) sebagai masalah utama dalam socio-legal research.9 Penelitian ini menggunakan data primer berupa hasil wawancara, observasi lapangan, data-data mengenai informan, dan data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dan dianalisis, dengan bahan berupa peraturan perundang-undangan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan topik permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data untuk penelitian ini adalah menggunakan teknik studi Pustaka dan teknik wawancara. Studi pustaka sebagai langkah awal pengumpulan data dilakukan dengan pencarian data dan informasi melalui media cetak maupun elektronik yang diarahkan kepada topik yang akan dibahas. Sementara melalui wawancara peneliti menggali data dan informasi berkaitan dengan topik permasalahan yang diteliti. Teknik wawancara yang dilakukan adalah wawancara bebas terpimpin, artinya pertanyaan yang dilontarkan tidak terpaku pada pedoman wawancara dan dapat diperdalam maupun dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan. Wawancara dilakukan kepada pihak Dinas Perikanan Kabupaten Takalar sebagai narasumber. Sedangkan, metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan pengolahan data secara mendalam dari hasil wawancara, observasi, dan literatur yang disajikan dalam data informasi berbentuk teks, kalimat verbal, dan narasi. E. Dasar Hukum a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 51.
5
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising the Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958). c. Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
2016
tentang
Perlindungan
dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. d. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16/PERMEN-KP/2016 tentang Kartu Nelayan. e. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39/PERMEN-KP/2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan. f. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan.
6
BAB II PEMBAHASAN A. Fungsi dan Peranan Pemerintah Dalam Proses Pembuatan Kartu KUSUKA Bagi Perempuan Nelayan Dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No. 7 Tahun 2016, yang dimaksud dengan nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam Pasal 2 ayat 3 Konvensi ILO No. 185 tahun 2003 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising the Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958), dijelaskan bahwa setiap anggota yang terikat pada Konvensi ini wajib menerbitkan dokumen identitas pelaut sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi ini untuk tiap-tiap warga negaranya yang berprofesi sebagai pelaut dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan dokumen tersebut. Meskipun dalam Pasal 1 ayat 1 Konvensi tersebut yang dikatakan sebagai pelaut adalah orang yang dipekerjakan atau dilibatkan atau bekerja dalam jenis pekerjaan apapun yang terdapat di kapal selain kapal perang, yang umumnya terlibat dalam kegiatan navigasi maritim. Namun, dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi tersebut disebutkan bahwa pihak berwenang yang kompeten dapat menerapkan Konvensi ini terhadap penangkap ikan komersial. Pihak berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi ILO 185, dijelaskan dalam Pasal 1 huruf (b) Konvensi ILO 188 yang berbunyi “pihak berwenang yang berkompeten berarti menteri, lembaga pemerintah atau pihak berwenang lain yang memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan dan memberlakukan peraturan, perintah atau instruksi lain yang memiliki kekuatan hukum yang terkait dengan judul ketentuan ini.”
7
Sebagai pengimplementasian Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, dikeluarkanlah UU No. 7 Tahun 2016. Sebagai perwujudan dari UU Nomor 7 Tahun 2016, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2016 tentang Kartu Nelayan. Kartu Nelayan selanjutnya diubah menjadi Kartu KUSUKA melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan yang kemudian diperbarui dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan. Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan (KUSUKA) merupakan salah satu program Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki fungsi sebagai identitas tunggal dan jaminan perlindungan pelaku utama sektor kelautan dan perikanan. Penerbitan Kartu KUSUKA juga merupakan bagian upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam melakukan pemberdayaan dan perlindungan bagi pelaku usaha perikanan, khususnya pembudidaya ikan, yakni melalui penyediaan data base yang akurat di bidang kelautan dan perikanan.10 Kartu ini diterbitkan langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, kemudian didistribusikan oleh Dinas Perikanan Kabupaten/Kota. Selain itu, pembuatan Kartu KUSUKA dapat dilakukan secara online atau datang langsung ke kantor Dinas Perikanan Kabupaten/Kota. Dinas Perikanan Kabupaten Takalar yang dalam hal ini merupakan bagian dari struktur pemerintah daerah berarti telah diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42 Tahun 2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan (selanjutnya disebut dengan Permen KP No. 42 Tahun 2019), tepatnya dalam Pasal 5 ayat (4), yang menjelaskan: “UPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan Dinas kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, berwenang: a. melakukan pendataan, sosialisasi, dan pendampingan distribusi Kartu KUSUKA; b. melakukan verifikasi kepada Pelaku Utama yang mengajukan permohonan; dan
10
DJPB1, “KKP Serahkan Kartu KUSUKA bagi Pembudidaya Ikan di Wilayah Jawa Tengah”, <https://kkp.go.id/djpb/artikel/5804-kkp-serahkan-kartu-kusuka-bagi-pembudidaya-ikan-di-wilayah-jawa-tenga h>, diakses pada 28 November 2021 pukul 23.14 WITA.
8
c. memberikan bimbingan teknis pendataan, sosialisasi, pemantauan, evaluasi, dan konsultasi pelaksanaan Kartu KUSUKA.” Dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2016 juga dijelaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab atas perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, serta melakukan koordinasi dalam pelaksanaan perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk melaksanakan strategi perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) UU tersebut.11 Kemudian, dalam Pasal 18 ayat (1) UU yang sama menjelaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman. Fungsi dan peran pemerintah Kabupaten Takalar selaku pemerintah daerah dalam proses pembuatan Kartu KUSUKA dapat dilihat dari bagaimana upaya-upaya yang dilakukannya, upaya yang dimaksud dalam laporan penelitian ini adalah bagaimana bentuk penyebaran informasi terkait proses pembuatan dari Kartu KUSUKA. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Takalar saat ini yaitu menyusun Rancangan Peraturan Daerah terkait perlindungan hak-hak nelayan untuk mengoptimalkan kepemilikan Kartu KUSUKA yang mempunyai berbagai manfaat bagi para aktor sektor maritim, maka sudah seharusnya pemerintah daerah juga turut dalam mengupayakan dan menyukseskan pembuatan Kartu KUSUKA secara gratis dan merata agar segala kepentingan nelayan kedepannya, terutama perempuan nelayan dapat terpenuhi. Namun, berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, cara Dinas Perikanan Kabupaten Takalar melaksanakan fungsi dan perannya dalam penyebaran informasi terkait pembuatan dan fungsi Kartu KUSUKA ini, yaitu dengan mengadakan penyuluh perikanan yang berperan aktif dalam mensosialisasikan Kartu KUSUKA dan mendampingi kelompok-kelompok (tangkap, budidaya, dan pengolahan), sehingga Dinas Perikanan Kabupaten Takalar
11
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
9
mengatakan bahwa sekitar 80% nelayan di Kabupaten Takalar telah memiliki Kartu KUSUKA. B. Kedudukan dan Perspektif Masyarakat Terkait Perempuan Nelayan di Kabupaten Takalar Hak Perempuan merupakan hak yang termasuk ke dalam Hak Asasi Manusia yang dimiliki sejak dalam kandungan ibu. Frasa ini meliputi semua hak dasar yang dimiliki manusia yang termaktub dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945). Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global yang memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup dan supremasi sipil. Tak jarang pula, para perempuan sering mendapat diskriminasi dan anggapan sebelah mata dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih lagi, sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia.12 Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi.13 Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama.14 Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini, bahkan di tengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak-hak perempuan.15 Dalam Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dijelaskan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan 12
Ade Irma S dan Dessy Hasanah SA, 2020, Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia, Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran, Social Work Journal, Vol. 7 No. 1, hlm. 72 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Ibid.
10
dan manfaat yang sama tanpa adanya diskriminasi atau pembeda dalam memperoleh kemudahan dan manfaat yang sama tersebut. Terutama dalam bidang kelautan dan perikanan, aktivitas penangkapan ikan cenderung dilakukan oleh laki-laki, sedangkan budidaya perikanan dan pemasaran ataupun pengolahan dilakukan oleh perempuan. Laki-laki cenderung untuk melakukan aktivitas melaut, sedangkan perempuan tetap tinggal di daratan untuk pengolahan. Perempuan cenderung tidak terlalu aktif di bidang produktif karena pengolahan dapat dilakukan di tempat sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Partisipasi perempuan dalam rumah tangga perikanan cenderung lebih sedikit dibandingkan laki-laki karena adanya budaya patriarki.16 Selain itu, berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, mereka mengatakan bahwa masih ada stereotip di masyarakat bahwa perempuan tidak boleh melaut. Dalam hal ini, mungkin memang pandangan di kalangan masyarakat bahwa nelayan adalah pria masih terpampang nyata, namun pemerintah jelas bisa merubah pandangan itu dengan mendukung peran perempuan nelayan yang nyata-nyata sudah bekerja sebagai nelayan.17 Frasa Pasal 45 dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 justru menuai kontroversi. Dalam
pasal
tersebut
dijelaskan
bahwa
kegiatan pemberdayaan Nelayan,
Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam memperhatikan keterlibatan dan peran perempuan dalam rumah tangga nelayan, rumah tangga pembudidaya Ikan, dan rumah tangga petambak garam. Rumusan pasal tersebut dinilai kurang memperhitungkan peran perempuan nelayan. Diskursus tentang perempuan nelayan masih sangat minim dan tidak diperhitungkan sebab definisi nelayan cenderung diartikan sebagai yang menangkap ikan sedangkan perempuan berperan sebagian besar sebagai pembersih ikan untuk dikonsumsi di rumah atau menjualnya di pasar-pasar.18 Mereka kadang tidak menerima upah di dalam bisnis rumah tangga. Bila pun mereka menangkap ikan di laut mereka dianggap hanya menemani suami.19 Definisi nelayan inilah yang membuat perempuan tidak diperhitungkan di sektor perikanan.20 16
SMN Karnaen dan Siti Amanah, 2013, Peranan Gender dalam Rumah Tangga Perikanan Di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Jurnal Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologis Manusia, IPB, Vol. 01, No. 02, hlm. 153. 17 Renatha I. A., Op. Cit, hlm. 4. 18 Yayasan Jurnal Perempuan, 2017, Perempuan Nelayan, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan, Vol. 22, No. 4, hlm. iii. 19 Ibid. 20 Ibid.
11
Menurut Basilio yang kemudian mengutip pernyataan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang menyebutkan bahwa itu adalah pekerjaan yang paling kotor (dirty), berbahaya (dangerous), dan sulit (difficult).21 Dalam bahasa Jepang, ketiga istilah tersebut dikenal dengan sebutan Kitanai yang digunakan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan membersihkan sesuatu yang kotor, Kiken yang digunakan untuk pekerjaan yang memiliki resiko tinggi, dan Kitsui yang digunakan untuk pekerjaan yang membutuhkan fisik yang tangguh.22 Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, selain dari masih adanya stereotip yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh melaut, mereka juga mengatakan bahwa perempuan sebagai nelayan belum tervalidasi di Kabupaten Takalar dan mungkin ada nelayan perempuan di Kabupaten Takalar, tapi belum terdaftar di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar. Hal ini diakibatkan karena belum ada nelayan perempuan yang mendaftarkan dirinya untuk bergabung dalam kelompok nelayan (tangkap) sehingga belum mendapatkan Kartu KUSUKA. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa rata-rata perempuan bergerak dalam bidang pengolahan dan aktif sebagai pendamping dan atau pembantu suami yang berprofesi sebagai nelayan tangkap. Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan nelayan di Kabupaten Takalar belum sepenuhnya mendapatkan haknya sebagai nelayan yang disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat setempat mengenai hak-hak perempuan nelayan yang salah satunya untuk mendapatkan Kartu KUSUKA. Hal tersebut juga membuktikan bahwa budaya-budaya patriarki masih melekat pada masyarakat pesisir, khususnya di Kabupaten Takalar. C. Faktor yang Menghambat Partisipasi Perempuan Nelayan dalam Pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar Dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c Permen KP Nomor 42 Tahun 2019, disebutkan bahwa fungsi dari Kartu KUSUKA adalah sebagai basis data untuk memudahkan perlindungan dan/atau pemberdayaan bagi Pelaku Utama. Perlindungan dan/atau 21
M Ambari, “Nelayan, Profesi Mulia yang Masih Terabaikan”, <https://www.mongabay.co.id/2019/10/03/nelayan-profesi-mulia-yang-masih-terabaikan/>, diakses 13 Desember 2021 pukul 02.50 WITA. 22 Kompasiana, “Serba-serbi Bekerja di Jepang”, <https://www.kompasiana.com/tabibito/5bfb7a5d43322f113a1328b7/serba-serbi-bekerja-dan-pekerjaan-di-jepan g?page=all&page_images=1>, diakses 20 Desember 2021 pukul 22.41 WITA.
12
pemberdayaan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2016, yang menjelaskan: “Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam bertujuan untuk: a. menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; b. memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; c. meningkatkan kemampuan dan kapasitas Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; d. menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; e. melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan f. memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.” Kartu KUSUKA juga memiliki fungsi yang memudahkan pelaku utama dalam akses transaksi online dan juga dalam akses pembiayaan seperti KUR. Pasalnya, kartu ini juga bermitra dengan pihak perbankan, yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI) agar pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan dapat semakin mudah mendapatkan modal usaha dari perbankan. Selain itu, menurut Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo, melalui Kartu KUSUKA mereka dapat memperoleh pinjaman dengan bunga yang lebih rendah jika dibandingkan dengan rentenir yang bunganya dapat mencapai 200 persen.23 Secara prinsip Kartu KUSUKA ini juga berfungsi layaknya kartu debit, hanya saja tidak dikenakan biaya administrasi dan limit saldo yang lebih kecil yakni Rp. 20.000,-.24 Kemudian, dalam Pasal 27 ayat (3) Permen KP Nomor 42 Tahun 2019 juga dijelaskan bahwa setiap Pelaku Utama yang mengajukan permohonan penerbitan, perubahan, perpanjangan, atau penggantian Kartu KUSUKA dengan pencetakan Kartu KUSUKA dilakukan oleh Direktorat Jenderal tidak dikenakan biaya. 23
Ken, “Kenapa Harus Punya Kartu KUSUKA???”, <https://perikanan.pamekasankab.go.id/kenapa-harus-punya-kartu-KUSUKA.html>, diakses pada 29 November 2021 pukul 11.57 WITA. 24 Ibid.
13
Melihat fungsi dan fasilitas dari Kartu KUSUKA tentu menjadi angin segar bagi nelayan maupun pelaku usaha lainnya di sektor kelautan dan perikanan. Namun, dibalik segala kelebihan kartu ini, ternyata penyebaran kartu ini masih kurang merata sehingga masih banyak nelayan yang belum mendapatkan Kartu KUSUKA ini, khususnya bagi para perempuan nelayan di Kabupaten Takalar. Lantas, faktor apakah yang menghambat partisipasi perempuan nelayan dalam pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar? Berdasarkan data yang kami dapatkan per tanggal 2 November 2021 dari Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, jumlah nelayan yang telah mendapatkan Kartu KUSUKA di Desa Aeng Batu-batu berjumlah 651 orang dan diantaranya terdapat 47 perempuan nelayan yang mendaftarkan dirinya. Dari hasil survei yang kami lakukan, kendala yang paling sering ditemui yaitu rata-rata perempuan nelayan tidak mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan Kartu KUSUKA. Sepemahaman mereka, hanya suaminya yang berprofesi sebagai nelayan tangkap yang dapat menerima Kartu KUSUKA. Adanya kesalahan persepsi yang memandang bahwa Kartu KUSUKA hanya dapat dimiliki oleh suami/laki-laki yang berprofesi sebagai nelayan. Padahal, dalam hal kepemilikan Kartu KUSUKA tidak ada pengecualian atau pengkhususan jenis kelamin dalam profesi nelayan. Sebab, dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 7 Tahun 2016 dijelaskan bahwa nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Berdasarkan hasil survei yang kami lakukan di Desa Aeng Batu-batu, jarak antara Desa Aeng Batu-batu yang tergolong lumayan jauh dari Dinas Perikanan Kabupaten
Takalar
menjadi
faktor
kurangnya
perempuan
nelayan
dalam
mendaftarkan dirinya dalam pembuatan Kartu KUSUKA. Jarak yang jauh antara desa dengan kantor dinas juga dapat menjadi faktor penghambat di desa-desa lain di Kabupaten Takalar untuk membuat Kartu KUSUKA. Selain itu, faktor jarak yang jauh, Mengakibatkan masyarakat menjadi malas untuk mengurus administrasi di kantor dinas. Maka dari itu, sudah menjadi tugas dari penyuluh perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Takalar sebagai perpanjangan tangan dari dinas di lapangan. Faktor penghambat selanjutnya adalah kurangnya informasi yang diterima dan diketahui masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, mereka
14
mengatakan bahwa penyuluh perikanan mereka telah berperan aktif dalam mensosialisasikan Kartu KUSUKA dan mendampingi kelompok-kelompok (tangkap, budidaya, dan pengolahan). Namun realita yang terjadi di lapangan, masih begitu banyak perempuan nelayan yang tidak memiliki Kartu KUSUKA akibat keterbatasan informasi yang didapatkan, sehingga banyak perempuan nelayan yang tidak mengetahui dengan jelas bagaimana prosedur dalam pengurusan pembuatan Kartu KUSUKA. Bahkan, masih ada perempuan nelayan yang belum mengetahui terkait fungsi dari Kartu KUSUKA tersebut, serta masih ada persepsi di kalangan perempuan nelayan maupun istri nelayan yang mengira bahwa Kartu KUSUKA hanya diperuntukkan bagi suaminya atau laki-laki yang berprofesi sebagai nelayan. Hal ini membuktikan bahwa sosialisasi yang diadakan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Takalar belum optimal dalam meningkatkan angka kepemilikan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan di Kabupaten Takalar. Hal ini juga membuktikan bahwa penyuluh perikanan dari Dinas Perikanan Kabupaten Takalar belum memaksimalkan sosialisasi tentang fungsi dari Kartu KUSUKA, ketika melakukan pendataan kepada kelompok-kelompok nelayan, pembudidaya, dan pengolahan. Walaupun terbilang rutin dalam mengadakan sosialisasi, namun sayangnya sosialisasi tersebut belum mampu memberikan pemahaman yang komprehensif kepada warga setempat. Seharusnya pemerintah setempat mampu mengerahkan seluruh warganya untuk mengikuti sosialisasi yang mereka adakan, sehingga informasi yang seharusnya didapatkan oleh warga dapat tersalurkan dengan baik. Faktor kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam melakukan proses pembuatan Kartu KUSUKA juga menjadi hambatan. Hal ini juga berkaitan dengan persepsi masyarakat yang mengira bahwa adanya biaya yang dibebankan dalam pembuatan Kartu KUSUKA. Padahal, pembebasan biaya pembuatan Kartu KUSUKA sebenarnya sudah menjadi amanat dari Permen KP No. 42 Tahun 2019. Namun faktanya, mereka harus mengeluarkan biaya lainnya, seperti biaya transportasi akibat jauhnya jarak yang ditempuh dari desa ke kantor dinas. Persoalan mengenai biaya ini tentu menjadi hambatan bagi masyarakat dengan keterbatasan ekonomi. Adapun faktor kurangnya perempuan nelayan dalam mengurus pembuatan Kartu KUSUKA, diakibatkan karena proses yang ditempuh dalam pembuatan Kartu
15
KUSUKA rumit dan memakan waktu. Rumitnya prosedur dan persyaratannya bukan disebabkan oleh persyaratan administratif yang berlapis-lapis. Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, mereka mengatakan bahwa Kartu KUSUKA dapat dikeluarkan sepanjang kelompok mendaftarkan diri dan dalam satu kelompok bisa terisi dengan perempuan dan laki-laki dengan jumlah anggota minimal 10 orang. Perempuan nelayan yang ingin membuat Kartu KUSUKA harus membawa berkas identitas mereka seperti photocopy KTP dan kartu keluarga sebagai syarat untuk mendapat Kartu KUSUKA sementara dan akan dimasukkan di dalam data Kementerian Kelautan Perikanan untuk mendapat Kartu KUSUKA yang asli yang berlaku selama 5 tahun ke penyuluh yang ditugaskan oleh Dinas Perikanan Takalar ataupun langsung ke Dinas Perikanan Kabupaten Takalar. Namun, pada hasil wawancara kami dengan para perempuan nelayan, mereka tidak memiliki waktu untuk pergi langsung ke Penyuluh, maupun ke Dinas Perikanan Kabupaten Takalar. Hal ini disebabkan selain karena mereka melakukan pekerjaan mereka sebagai perempuan yang bekerja di sektor maritim, mereka juga mengemban tugas sebagai seorang ibu rumah tangga. .
16
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perempuan dalam sektor maritim menjadi aktor utama perkembangan pembudidayaan dan pengolahan hasil laut yang dikenal sebagai perempuan nelayan. Begitupun di Kabupaten Takalar masyarakat disana didominasi dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Hak perlindungan perempuan nelayan menjadi fokus pemerintah untuk terus diperhatikan berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang mendasari hak yang harus didapatkan oleh para perempuan di sektor maritim ataupun hak yang secara umum memang melekat pada diri perempuan sebagai pekerja. Maka hadir kartu KUSUKA sebagai terobosan pemerintah. Namun, kepemilikan kartu KUSUKA bagi masyarakat nelayan Kabupaten Takalar masih belum merata. Sosialisasi yang diadakan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Takalar belum optimal dalam meningkatkan angka kepemilikan Kartu KUSUKA bagi perempuan nelayan di Kabupaten Takalar. Sejauh ini pemerintah Kabupaten masih menyusun peraturan daerah mengenai hak-hak nelayan. Seharusnya hak dari perempuan lebih intens juga disosialisasikan karena peran dari perempuan nelayan menunjang kebutuhan sehari-hari warga setempat. 2. Dalam sektor kelautan dan perikanan, masih ada pandangan di kalangan masyarakat bahwa profesi nelayan dan aktivitas laut lainnya hanya ditekuni oleh laki-laki saja, sedangkan perempuan tetap tinggal di daratan untuk melakukan pengolahan. Diskursus tentang perempuan nelayan masih sangat minim dan tidak diperhitungkan sebab definisi nelayan cenderung diartikan sebagai yang menangkap ikan, sedangkan perempuan berperan sebagian besar sebagai pembersih ikan untuk dikonsumsi di rumah atau menjualnya di pasar-pasar. Di Kabupaten Takalar, selain dari masih adanya stereotip yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh melaut, perempuan sebagai nelayan belum tervalidasi eksistensinya dan mungkin ada nelayan perempuan di Kabupaten Takalar, tapi belum terdaftar di Dinas Perikanan Kabupaten Takalar. 3. Faktor yang menghambat partisipasi perempuan nelayan dalam pendaftaran Kartu KUSUKA di Kabupaten Takalar, antara lain yaitu rata-rata perempuan 17
nelayan tidak mengetahui bahwa mereka berhak mendapatkan Kartu KUSUKA. Jarak yang jauh antara desa dengan kantor dinas juga dapat menjadi faktor penghambat di desa-desa lain di Kabupaten Takalar untuk membuat Kartu KUSUKA. Kurangnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat dalam melakukan proses pembuatan Kartu KUSUKA juga menjadi hambatan, serta proses yang ditempuh dalam pembuatan Kartu KUSUKA rumit dan memakan waktu. Perempuan nelayan tidak memiliki waktu untuk pergi langsung ke Penyuluh maupun ke Dinas Perikanan Kabupaten Takalar, karena mereka melakukan pekerjaan mereka sebagai perempuan yang bekerja di sektor maritim, mereka juga mengemban tugas sebagai seorang ibu rumah tangga. B. Rekomendasi Berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisis yang dilakukan oleh Tim Legal ALSA Care and Legal Coaching Clinic, ALSA LC Unhas memiliki beberapa rekomendasi kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pembuatan Kartu KUSUKA, sebagai berikut: 1. Meminta kepada Pemerintah Kabupaten Takalar, khususnya Dinas Perikanan Kabupaten Takalar agar mengedukasi masyarakat melalui penyuluh perikanan untuk menjelaskan terkait fungsi Kartu KUSUKA sebelum melakukan pendataan dan juga memaksimalkan pendataan, sosialisasi, dan pendampingan distribusi Kartu KUSUKA. 2. Menegaskan
kepada
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Takalar
untuk
mempertegas hak-hak dan kedudukan perempuan nelayan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Kabupaten Takalar untuk memperjelas hak-hak dan kedudukan perempuan nelayan di Kabupaten Takalar; 3. Mendorong pemerintah daerah, khususnya Dinas Perikanan Kabupaten Takalar agar dapat meningkatkan jangkauan kepada mereka yang sulit untuk mengakses hak mereka akan pembuatan Kartu KUSUKA dalam bentuk sosialisasi maupun program yang dapat menjangkau mereka terutama pada perempuan nelayan serta Menegaskan kepada pemerintah agar biaya yang dikeluarkan dalam pembuatan Kartu KUSUKA jelas dan transparan;
18
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan ILO Convention No. 185 Concerning Revising the Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958 (Konvensi ILO No. 185 Mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958). Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16/PERMEN-KP/2016 tentang Kartu Nelayan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39/PERMEN-KP/2017 tentang Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2019 tentang Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan. Buku Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Jurnal, Skripsi, Tesis dan Disertasi Ade Irma S dan Dessy Hasanah SA. 2017. Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia, Social Work Journal, Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran Vol. 7 No. 1. Dida Daniarsyah. 2020. Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Program Kartu KUSUKA Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, Journal of Indonesian Public Administration and Governance Studies (JIPAGS). Lindawati dan Rikrik Rahadian. 2016. Identifikasi Faktor dan Penilaian Risiko Pada Usaha Perikanan Tangkap Di Kabupaten Sambas. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 11 No. 1. Paulus Adrianus KLR dan Hendrikus LK. 2020. Pengakuan Formal dan Pemenuhan Hak Nelayan (Evaluasi Pelaksanaan Kartu Nelayan di Kota Kupang). JAP UNWIRA, Vol. 1 No. 1. Renatha I. A. 2019. Perlindungan Terhadap Hak-Hak Perempuan Nelayan Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 Dikaitkan Dengan Prinsip Non Diskriminasi Sebagai Perwujudan Hak Asasi Manusia. Skripsi. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. SMN Karnaen dan Siti Amanah. 2013. Peranan Gender dalam Rumah Tangga Perikanan Di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Jurnal
19
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologis Manusia, IPB, Vol. 01, No. 02. Yayasan Jurnal Perempuan. 2017. Perempuan Nelayan. Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan Vol. 22 No. 4. Laman DJPB1, KKP Serahkan Kartu KUSUKA bagi Pembudidaya Ikan di Wilayah Jawa Tengah, <https://kkp.go.id/djpb/artikel/5804-kkp-serahkan-kartu-kusuka-bagi-pembudidaya-ik an-di-wilayah-jawa-tengah>, diakses pada 28 November 2021. Ken,
Kenapa Harus Punya Kartu KUSUKA???, <https://perikanan.pamekasankab.go.id/kenapa-harus-punya-kartu-KUSUKA.html>, diakses pada 27 November 2021.
Kompasiana, Serba-serbi Bekerja di Jepang, <https://www.kompasiana.com/tabibito/5bfb7a5d43322f113a1328b7/serba-serbi-beke rja-dan-pekerjaan-di-jepang?page=all&page_images=1>, diakses 20 Desember 2021. M
Ambari, Nelayan, Profesi Mulia yang Masih Terabaikan, <https://www.mongabay.co.id/2019/10/03/nelayan-profesi-mulia-yang-masih-terabaik an/>, diakses 13 Desember 2021.
Oki Pratama, Konservasi Perairan Sebagai Upaya menjaga Potensi Kelautan dan Perikanan Indonesia, <https://kkp.go.id/djprl/artikel/21045-konservasi-perairan-sebagai-upaya-menjaga-pot ensi-kelautan-dan-perikanan-indonesia>, diakses pada 27 November 2021. Operator KKP, Laut Masa Depan Bangsa, Mari Jaga Bersama, <https://kkp.go.id/artikel/12993-laut-masa-depan-bangsa-mari-jaga-bersama>, diakses pada 27 November 2021.
20