ANALISIS EFEKTIVITAS REGULASI DAN PERANAN PEMERINTAH TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA ANAK DI KOTA MAKASSAR
Tim Peneliti CLCC ALSA LC Universitas Hasanuddin
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara harus menjamin hak asasi warga negara dan rakyatnya dalam konstitusi negara, sebagai konsekuensi dari negara hukum kesejahteraan yang dianut Indonesia. Hal ini dilakukan dengan pencantuman hak asasi warga negara di dalam konstitusi, maka membawa konsekuensi bagi negara untuk mengakui, menghormati dan menghargai hakhak warga negara dan rakyatnya, termasuk pemenuhan hak-hak asasi tersebut dalam kehidupan nyata. Kewajiban ini tertuang di dalam ketentuan Pasal 28I UUD l945, yang menentukan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.1 Namun, kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih kerap terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Selain melanggar hak-hak anak, keberadaan pekerja anak ini juga dapat membawa dampak buruk kepada anak itu sendiri baik secara psikis maupun fisik, bahkan dikhawatirkan dapat mengganggu masa depan anak-anak yang seharusnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di usia 12 tahun untuk bekerja. Fenomena tersebut menjadi hal yang amat pelik untuk disaksikan. Bukan hanya karena negara berkewajiban melindungi haknya, melainkan sudah seyogyanya anak yang 1
Netty Endrawati, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Sektor Informal (Studi Kasus di Kota Kediri), Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2 (2020), hlm. 270.
merupakan salah satu aset bangsa mendapatkan pendidikan dan perawatan yang layak baik dari keluarga bahkan negara. Di atas kertas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) telah memuat ketentuan yang progresif mengenai pelarangan mempekerjakan anak. Hal tersebut tidak terlepas dari landasan filosofis bahwa anak di setiap masa memiliki masa depan dan merupakan pewaris sejarah zamannya. Pembentukan dan implementasinya seolah panggangan yang tidak pernah menyentuh api. Hingga pada usia UU 13/2003 yang telah hampir mencapai 20 tahun, akar-akar masalah tidak mengubah konstruksi konflik secara signifikan. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 di seluruh Indonesia yang melarang anak-anak (14 tahun kebawah) menjalankan pekerjaan macam apapun di perusahaan apapun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.2 Keterlibatan anak dalam bidang ketenagakerjaan di Indonesia masih terus berlanjut hingga kini dan masih belum menuai titik terang di berbagai wilayah di Indonesia. Kota Makassar adalah salah satu kota yang mempunyai pekerja anak yang terbilang tidak sedikit. Pekerja anak khususnya di Kota Makassar bisa ditemukan di pasar, Kawasan Industri Makassar (KIMA), Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS), di tempat pemotongan hewan, pekerja rumah tangga dan lain sebagainya. Sementara di lingkungan kerja informal, pekerja anak bekerja sebagai pedagang asongan, pengangkut barang di pasar, tukang parkir, pemulung di tempat sampah, pemulung jalanan, tukang batu dan sebagainya.3 Meskipun telah diatur sedemikian rupa, Pemkot Makassar melalui Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) masih terus berupaya meminimalisir eksploitasi anak kepada 168 anak
2
Hardius Usman dan Nachrowi Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi, Determinan dan Eksploitasi , Jakarta, Grasindo, 2004, hlm. 12. 3 Fivi Elfira Zulfikar, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pekerja Anak Dibawah Umur Pada Sektor Informal di Kota Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2018, hlm. 3.
yang terjaring sebagai pekerja anak.4 Angka 168 anak menjadi angka yang cukup besar mengingat telah diaturnya larangan mempekerjakan anak. Sungguh merupakan hal yang malang, ketentuan perundang-undangan yang seharusnya diterbitkan untuk ditaati dan diimplementasikan malah hanya dijadikan sebagai hiasan dalam lembaran negara semata tanpa diikuti oleh proses eksekusi ataupun pengimplementasian yang baik. Melihat kesenjangan antara das sollen dan das sein mengenai perlindungan anak dari eksploitasi pekerja anak maka ALSA LC Unhas berinisiatif untuk mengkaji lebih lanjut mengenai regulasi terkait perlindungan anak dari eksploitasi pekerja anak di Kota Makassar, menilik lebih dalam efektivitas pelaksanaan regulasi tersebut, serta menilai dampak yang akan timbul dari maraknya fenomena eksploitasi pekerja anak. B. Rumusan Masalah a. Bagaimana efektivitas regulasi mengenai pekerja anak dalam mengatasi problematika pekerja anak di Kota Makassar? b. Bagaimana faktor yang mempengaruhi maraknya pekerja anak di Kota Makassar? c. Bagaimana dampak yang dihasilkan dari maraknya pekerja anak di Kota Makassar? C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui efektivitas regulasi mengenai pekerja anak dalam mengatasi problematika pekerja anak di Kota Makassar. b. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi maraknya fenomena eksploitasi anak terkait pekerja anak di Kota Makassar. c. Untuk mengetahui dampak dari maraknya pekerja anak di Kota Makassar. D. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum dengan fokus kajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dalam penerapannya pada peristiwa hukum. Sedangkan untuk tipe penelitian hukum yakni deskriptif analitis, yaitu menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum serta pelaksanaan hukum dalam problematika pekerja anak di
4
Dessy Septiani Lubis, Hasbi, Eksploitasi Pekerja Anak: Kajian Terhadap Pekerja Anak di Perumahan BTP Kota Makassar, KRITIS : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Vol. 4 No.1 Juni 2018, hlm. 12.
Indonesia khususnya Kota Makassar,5 sehingga dalam penelitiannya selalu terdapat gabungan dua tahap kajian yakni tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku dan tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa inconcreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.6 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi wawancara, studi pustaka, focus group discussion (FGD), dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan proses tanya jawab secara langsung dengan informan pada saat audiensi untuk menilik lebih dalam mengenai regulasi dan urgensi tentang pekerja anak di Sulawesi Selatan khususnya Kota Makassar. Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif argumentatif dengan melihat berbagai norma-norma hukum yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari disertai dengan objek penelitian yang bersifat statistika deduktif yang merangkum sekumpulan data dalam bentuk tabel dan grafik. Tim peneliti juga menarik suatu kesimpulan yang berisikan intisari sesuai topik yang telah ditetapkan dari seluruh kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
E. Dasar Hukum a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. c. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. d. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak. e. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Hak-hak Anak. f. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. g. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 Tahun 2013 tentang Sistem 5
Fakriansa, Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik, Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Vol.1 Nomor 2 Tahun 2012, hlm. 205 6 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 40
Perlindungan Anak. h. Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 69 Tahun 2014 tentang Kawasan Industri sebagai Zona Bebas Pekerja Anak. i. Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengaturan, Perlindungan, dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan Dalam Wilayah Kota Makassar.
BAB II PEMBAHASAN A. Efektivitas Regulasi Terkait Pekerja Anak dalam Mengatasi Problematika Pekerja Anak di Kota Makassar Isu terkait pekerja anak belum menjadi prioritas kebijakan pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari belum adanya struktur regulasi yang komprehensif dan solutif, disertai struktur pendukung dalam tataran implementasinya. Sementara itu, dalam sejarah manusia selalu ada anak yang bekerja. Pada tahun 1949 Pemerintah Indonesia telah melarang anak usia dibawah 15 tahun untuk bekerja, tetapi pada tahun 1987 dengan pertimbangan sosial dan ekonomi, pemerintah mencabut larangan bekerja bagi anak yang untuk alasan sosial dan ekonomi ‘terpaksa’ harus bekerja. Kebijakan ini secara implisit berkaitan dengan pengembangan iklim investasi di tanah air, dimana tenaga kerja anak adalah tenaga kerja murah yang menguntungkan investasi.7 Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tak dapat dilepaskan dengan hak asasi manusia, sebab secara konstitusional Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja dalam Pasal 28D Ayat (2) UUD l945 yang kemudian dimasukkan pada klasifikasi hak yang bersifat asasi. Pengaturan terhadap hak asasi ini dituangkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengatur mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, yaitu: “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.� Berdasarkan kualitas jaminan hak-haknya, UUD NRI 1945 hasil amandemen mengatur jauh lebih lengkap dibandingkan sebelum amandemen, dari 5 pasal menjadi setidaknya 17 pasal (dengan 38 substansi hak-hak yang beragam) yang terkait dengan hak asasi manusia.8 Salah satu upaya perlindungan hukum pemerintah terhadap pekerja anak dilakukan dengan memberi batasan jenis-jenis pekerjaan yang dilarang untuk dikerjakan 7
Sulikah Asmorowati, Efektivitas Kebijakan Perlindungan Pekerja Anak (Child Labour) Dengan Fokus Anak Jalanan di Surabaya, J. Penelit. Din. Sos. Vol. 7 No. 1, April 2008, hlm. 32. 8 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987 hlm. 11. Dikutip dari Netty Endrawati, Op. Cit., hlm. 274.
oleh pekerja anak, hal ini diatur di dalam Keputusan Presiden No. 59 Tahun 2002 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Yang Dilarang untuk Anak, dan juga Surat Keputusan Menteri tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-235/MEN/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, yang pada prinsipnya melarang anak untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan tertentu tersebut. Larangan pekerja anak ini, secara yuridis terkait dengan kewajiban pemerintah untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan. Hal ini telah diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, sebagaimana tertuang di dalam ketentuan Pasal 75 yaitu: (1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja; (2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kebijakan perlindungan anak terhadap penanggulangan pekerja anak dinilai belum efektif. UU Ketenagakerjaan memiliki kebijakan dasar untuk melindungi pihak yang lemah yaitu pekerja anak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 75 UU Ketenagakerjaan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Kebijakan yang dibuat seharusnya berkaitan dengan apa yang nyata dibutuhkan oleh masyarakat, bukan hanya sekedar keinginan dari individu maupun kelompok tertentu. Namun pada implementasinya, kebijakan ini belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi pekerja anak. Kesewenang-wenangan majikan maupun pengusaha masih kerap ditemukan pada pekerja anak. Negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, untuk itu setidaknya negara dapat menjamin terpenuhinya perlindungan bagi para pekerja anak. Hal ini bertujuan agar terciptanya keharmonisan antara pekerja anak dan pelaku usaha tanpa adanya paksaan maupun tekanan kepada pihak yang lemah. Tak hanya itu, perlindungan hukum terhadap pekerja anak dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa, hal ini dilakukan dengan memberi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang ingin mempekerjakan anak. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan, yang menentukan bahwa: “Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; g. menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini masih ada pengecualiannya dalam ayat (2) tersebut diatas huruf a, b, f dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.� Pelaku usaha sebenarnya dilarang untuk mempekerjakan anak sesuai yang diatur dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan. Namun terdapat pengecualian bagi anak-anak yang berusia 13 hingga 15 tahun dapat bekerja yang sifatnya ringan tanpa mengganggu aktivitas pendidikan dan kesehatan fisik maupun mental pada tenaga kerja anak tersebut. Untuk itu Pasal 69 UU Ketenagakerjaan mengatur beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pekerjaan ringan tersebut. Namun seringkali ditemukan pelanggaran ketentuan dalam mempekerjakan anak terutama dalam hal jam kerja dan upah yang diberikan tidak sebanding. Pemerintah seharusnya lebih aktif lagi dalam memperhatikan pelanggaran hak pekerja anak dengan mengoptimalkan lembaga-lembaga perlindungan HAM. Salah satu prinsip dasar yang terdapat di dalam undang-undang ini, bahwa siapapun warga negara di negeri ini berhak untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan dan mendapat upah yang layak, serta memperoleh perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Maka dari itu, pemerintah seharusnya lebih serius dan fokus dalam menangani permasalahan yang kerap terjadi pada pekerja anak. Pemerintah dapat mengadakan program yang tidak hanya bertujuan melindungi para pekerja anak namun dapat mengedukasi para pihak sehingga peraturan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan baik. Pemerintah juga seharusnya lebih tegas dan sigap dalam menangani pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi dengan memberikan sanksi yang tegas.
Perlindungan hukum terhadap anak, dalam ranah internasional, juga telah dilakukan melalui Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum Untuk Anak yang Diperbolehkan Bekerja dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 khususnya ayat (1) dan ayat (3), usia minimum yang diperbolehkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 tahun dan usia untuk melakukan pekerjaan yang bersifat ringan yaitu 16 tahun. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 20 Tahun 1999. Selain itu, perlindungan hukum terhadap anak menurut Konvensi International Labour Organisation (ILO) No. 182 Tahun 1999, tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 2000, secara khusus mengatur pembatasan dan pelarangan untuk melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk atau membahayakan.9 Pembatasan usia bagi pekerja anak merupakan hal yang sangat penting, karena hal ini berkaitan dengan perkembangan kesehatan fisik, mental dan sosial anak. Anak yang menjadi pekerja rentan terhadap eksploitasi maupun kekerasan. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya melalui pengesahan terhadap konvensi internasional tentang pekerja anak. Namun hal ini seringkali dilanggar dengan membuat identitas palsu mengenai usia tenaga kerja anak. Mengingat faktor ekonomi yang seringkali menjadi faktor utama keberadaan pekerja anak memicu dilema bagi pemerintah untuk menghapus keberadaan pekerja anak. Dalam melindungi pekerja anak, Pemerintah juga harus mengiringi dengan pengawasan dan penegakan sanksi terhadap para pelaku usaha yang mempekerjakan anak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara substansial dan prinsipil juga mengandung konsep perlindungan hukum terhadap anak secara utuh yang bertujuan untuk menciptakan atau mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus cita-cita bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa serta negara, namun realitanya keadaan 9
Ibid., hlm. 275.
anak belum seindah ungkapan verbal yang kerap kali memposisikan anak bernilai penting, penerus masa depan bangsa dan simbolik lainnya, karena masih banyak anak yang seharusnya bersekolah, bermain, dan menikmati masa kanak-kanak justru mereka terpaksa dan dipaksa untuk bekerja.10 Dari segi kebijakan dan perlindungan hak anak, pemerintah telah menunjukkan komitmen dan itikad baiknya dengan ditetapkannya Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002.11 Dengan UU ini maka pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan tindakantindakan baik secara hukum, politik, ekonomi maupun sosial untuk menjamin pelaksanaan perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesbilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan terarah. Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 telah mengatur bahwa “anak terlantar dipelihara oleh negara�. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan, pembinaan dan perlindungan anak, khususnya anak terlantar, termasuk anak jalanan. Di sisi lain, meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkaitan dengan anak, ratifikasi-ratifikasi ini dalam kenyataannya tidak berarti banyak bagi kelangsungan perlindungan pekerja anak di Indonesia. Beberapa konvensi yang telah diratifikasi adalah konvensi hak anak (the convention on the rights of the child) yaitu konvensi yang melindungi hak-hak esensial anak (disahkan pada tahun 1989) dan telah diratifikasi pemerintah Indonesia setahun setelahnya, dengan keputusan presiden No. 36/1990 tanggal 25 Agustus 1990. Indonesia merupakan salah satu negara peratifikasi awal konvensi ini. Selain itu pemerintah juga telah meratifikasi beberapa konvensi utama dari International Labour Organisation (ILO), seperti Konvensi No 138 tahun 1973 yang diratifikasi pada Mei 1999. Serta Konvensi ILO No 182 tahun 1999 yang diratifikasi pada 28 Maret 2000. Sayangnya, 10
Febrine Adriyani, Tinjauan Tentang Pekerja Anak Di Terminal Amplas(Studi Kasus Anak Yang Bekerja Sebagai Penyapu Angkutan Umum di Terminal Terpadu Amplas), Medan: USU, 2008, hlm. 10. 11 Ibid., hlm. 33.
konvensi ini tetap menjadi lembaran-lembaran ideal dengan konsekuensi praktis yang perlu ditanyakan, termasuk di negara-negara yang telah meratifikasinya, seperti di Indonesia.12 Karena masih sering ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak anak, Pemerintah seharusnya lebih dapat lebih responsif dalam menangani hal ini. Implementasi regulasi terkait pekerja anak harus lebih diperhatikan. Hak-hak asasi anak sama dengan sama dengan hak asasi manusia umumnya, seperti tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi hak Anak. Pemkot Makassar seharusnya membuat suatu Perda mengenai perlindungan anak sebagai skala prioritas dimana Perda ini akan menjamin upaya perlindungan hukum terkait hak-hak anak. Namun begitu, efektivitas kebijakan berkaitan dengan anak, khususnya bagi pekerja anak di sektor informal (anak jalanan) dalam implementasinya masih perlu dipertanyakan. Hal ini mengingat kecenderungan di mana lebih banyak anak yang bekerja overload berada dalam kondisi yang membahayakan/eksploitatif. Pekerja anak seperti inilah yang lebih banyak di Indonesia, mereka menjadi kelompok marginal dengan kesehatan dan pola makan tidak sehat, sehingga merampas masa kecil serta mengacaukan pengembangan mental dan kepribadian anak. Anak-anak menjadi sangat terancam ketika menjadi anak jalanan. Tidak jarang, mereka menjadi korban baik dari aparat kepolisian yang bertindak kasar, senior atau teman sebaya mereka, menjadi objek intimidasi, penyelewengan seksual, dan berbagai aktivitas brutal lain, seperti perampasan dan perampokan.
13
Jika hal ini terus berlanjut tanpa adanya penanganan yang efektif
maka bukan tidak mungkin kedepannya akan masalah seperti ini akan lebih sering terjadi. Pemerintah harus memfokuskan perhatiannya pada penanganan dan perlindungan yang dikhususkan bagi pekerja anak. Kurang efektifnya kebijakan pemerintah terkait pekerja anak dapat dibuktikan dengan data yang menunjukkan bahwa di Kota Makassar pada tahun 2012 silam tercatat bahwa jumlah pekerja yang masuk dalam kategori anak-anak usia bersekolah saat ini
12 13
Sulikah Asmorowati, Loc. Cit. Natalie Jette, Jakarta street kids abused and neglected, Jakarta Post, 27 Juli, 2002.
mencapai 8.200 orang.14 Perkembangan Kota Makassar yang begitu pesat juga diikuti dengan peningkatan pekerja anak yang kian hari kian bertambah, hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor yang kemudian menyebabkan para anak harus mencari nafkah sendiri demi kelangsungan hidupnya dan keluarganya. Kondisi pekerja anak di Kota Makassar sudah tergolong mengkhawatirkan, hal ini dapat dibuktikan dengan maraknya pekerja anak yang berada di sepanjang jalan Kota Makassar. Pada Pasal 33 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota Makassar No. 9 Tahun 2004 Tentang Pengaturan, Perlindungan, dan Jasa Pelayanan Ketenagakerjaan mengatur secara tegas bahwa dilarang mempekerjakan anak dibawah umur, namun tak dapat dipungkiri larangan ini justru diabaikan dan terdapat begitu banyak anak dibawah umur yang terpaksa bekerja demi kelangsungan hidupnya, mereka yang seharusnya berada dalam masa pertumbuhan terpaksa menanggung beban untuk mencari nafkah karena faktor ekonomi dan lingkungan yang tidak mendukung. Perusahaan dan atau pelaku usaha berkewajiban memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 36 Peraturan Daerah Kota Makassar No. 9 Tahun 2004. Tak hanya negara yang berkewajiban memberikan perlindungan terhadap pekerja anak, melainkan perusahaan dan atau pelaku usaha juga berkewajiban demikian. Hal ini diatur secara tegas agar hak-hak pekerja anak tidak dilanggar oleh pihak yang lebih kuat. Untuk itu pada 2015 silam, Pemkot Makassar menggandeng puluhan LSM dalam mencegah maraknya pekerja anak. Pemkot Makassar juga harus berperan aktif dalam mengatasi berbagai penyakit sosial terutama yang melibatkan anak di bawah umur, hal ini memerlukan koordinasi dan peran aktif dari semua elemen masyarakat. Selain itu, masih banyak pula ditemukan pelanggaran-pelanggaran hak pekerja anak. Persoalan pekerja anak pada dasarnya bukan persoalan perlu atau tidaknya anak dilarang bekerja, melainkan persoalan lemahnya kedudukan anak dalam pekerjaan. Pekerja anak kurang terlindungi, baik oleh Undang-Undang formal maupun kondisi dimana anak bekerja. Justru itulah letak persoalan yang dihadapi oleh pekerja anak. Konsentrasi
14
pada
upaya
memperkenalkan
langkah-langkah
perlindungan
akan
https://kabar24.bisnis.com/read/20120615/78/81644/pekerja-anak-di-makassar-sebanyak-8-dot-200-anak-sekolahcari-duit diakses pada 16 Desember 2020 pukul 21.42 WITA
memungkinkan anak-anak tumbuh dan berkembang secara normal.15 Dapat kita lihat bahwa permasalahan utama disini bukanlah anak yang bekerja, melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi pekerja anak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk dan tidak semestinya. Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih dirasakan belum memiliki dampak terhadap peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja. Hal ini terlihat dari masih adanya pelanggaran dalam hubungan kerja, jam kerja/kerja lembur, cuti, pembayaran upah di bawah UMK, kurangnya kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja, masih ditemukannya pekerja anak pada bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (BPTA) dan perlakukan diskriminasi bagi pekerja perempuan.16 Berdasarkan hasil penelitian, pemantauan oleh aparat Disnaker seringkali menemukan adanya sejumlah pabrik atau kegiatan usaha yang memanfaatkan tenaga kerja anak secara berlebihan. Namun demikian, aparatur pemerintah tidak dapat berbuat banyak, sebab aparatur pengawas sendiri memiliki jumlah yang terbatas, sehingga mereka tidak mampu melaksanakan pemantauan dengan efektif. Selain itu, dalam pengawasan ini juga terkendala oleh sikap pengusaha yang tertutup dan tidak bersedia memberikan informasi mengenai kondisi pekerjanya, khususnya pekerja anak, seringkali Disnaker tidak dapat berbuat terlalu banyak untuk menangani masalah pekerja anak. Kendala yang lain terletak pada kesulitan
bagi
aparatur pemerintah untuk
mengidentifikasi apakah seseorang itu termasuk kelompok anak-anak atau pekerja dewasa, karena tak jarang para pekerja memanfaatkan kelemahan sistem administrasi kependudukan dengan melakukan pemalsuan usia pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Terhambatnya penanganan yang efektif sering terjadi dikarenakan SDM yang tidak memadai, Pemerintah perlu menambahkan SDM yang bertugas untuk menangani masalah-masalah seperti yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Kinerja yang
15
Dwiyanti Hanandini, Tindak Kekerasan Di Lingkungan Pekerja Anak Sektor Informal Kota Padang, Jurnal Sosiologi SIGAI, Vol. 6 No. 9, Februari 2005, hlm 94-95. 16 Pemerintah Kota Makassar Dinas Tenaga Kerja, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), Tahun 2016
kurang juga berasal dari SDM yang kurang. Selain itu harus dibatasi pula pemberian surat keterangan bekerja bagi anak yang tidak memenuhi syarat. Kurangnya kesadaran hukum, baik kesadaran hukum pengusaha, maupun kesadaran hukum dari masyarakat pekerja dan terkait dengan pekerja anak adalah kesadaran hukum dari orang tua atau wali dari pekerja anak. Sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang bahwa dalam mempekerjakan anak diwajibkan untuk memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Namun dalam kenyataannya, banyak sekali hubungan kerja yang tidak dilandasi dengan persyaratan yang telah ditentukan, terutama terkait dengan syarat perjanjian kerja, jam kerja, izin orang tua atau wali. Pelanggaran ini semata-mata disebabkan oleh adanya anggapan yang kurang penting terhadap persyaratan kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, baik dari pengusaha maupun anak yang bekerja. Kondisi ini mengakibatkan Bangsa Indonesia berada dalam �keadaan tak berpengharapan�, karena pelanggaran hukum senantiasa dilakukan terus menerus atau menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai hal yang biasa dan pantas. Keadaan ini dapat dikatakan budaya atau kultur yang berada dalam kondisi yang menyedihkan.17 Pemerintah dalam hal ini harus memberikan sanksi yang tegas dan sanksi yang dapat memberikan efek jera, sehingga pelanggaran mengenai persyaratan kerja ini tidak terjadi terus-menerus akibat anggapan mereka yang menyatakan persyaratan ini kurang penting. Diharapkan dengan memberikan sanksi yang tegas, dapat mengubah pandangan mereka mengenai persyaratan kerja ini, sehingga mereka tidak lagi menganggap hal ini sebagai hal yang sepele atau tidak penting untuk dilaksanakan. Terdapat berbagai peraturan yang telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, namun pada kenyataannya masih banyak pengusaha atau majikan yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk, seperti: praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Pada kenyataannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun ke tahun pekerja anak di Indonesia sebagian besar berusia antara 13-14 tahun dan
17
Kasim Sembiring, Pengaruh Kebudayaan Dalam Penegakkan Hukum, Hukum Dan Masyarakat-Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 33 No. 1, 2008, hlm. 97-106.
bekerja rata-rata selama 6-7 jam sehari yang tentunya telah melanggar batasan waktu anak untuk dapat bekerja. Bahkan tak jarang kita lihat, pekerja anak tersebut bekerja di sektor berbahaya dan diperlakukan secara tidak manusiawi untuk ukuran anak-anak, seperti contoh pekerja kuli bangunan dan pemotong hewan di pasar. Akibatnya, pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka dapat kehilangan masa dimana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum efektif untuk melindungi pekerja anak. Pemerintah juga melakukan upaya lain yang diharapkan selain dapat memenuhi hak-hak anak, juga diharapkan dapat mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja, yaitu program Wajib Belajar (Wajar). Akan tetapi, hal ini juga dinilai belum efektif melihat masih banyaknya anak-anak yang terjun ke dunia kerja.18 Perlu adanya penekanan mengenai pemberdayaan pekerja anak yang harus dilakukan bersamaan dengan pemberdayaan keluarga mereka. Melihat faktor keluarga dan lingkungan sekitar merupakan hal yang penting, maka masalah anak perlu penanganan yang meliputi pula basis keluarga mengingat keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak. Terkhusus di Provinsi Sulawesi Selatan, tim kami telah melakukan wawancara dengan pihak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan tentang upaya pemerintah Sulawesi Selatan terkait upaya dalam pemenuhan hak anak dan diharapkan dapat mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja. Berdasarkan keterangan dari ibu Andi Yulia M, S.T., M.T. bahwa pemerintah telah membuat program Pengurangan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan (PPA-PKH). Melalui program tersebut diharap dapat menuai hasil yakni menurunkan tingkat pekerja anak di Sulawesi Selatan. Program kerja ini dilaksanakan dengan sistematika mengumpulkan anak-anak yang bekerja dibawah umur untuk selanjutnya dibawa ke shelter yang telah disiapkan oleh pihak pemerintah. Berdasarkan keterangan ibu Andi Yulia M, S.T., M.T. pada saat di shelter anak-anak tersebut diberikan pembinaan sekolah formil berdasarkan
18
Fatin Hamamah, Analisis Yuridis Sosiologis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Kasus Eksploitasi Pekerja Anak, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.2 No. 3 September-Desember 2015, hlm. 352-353.
usia sekolah yang seharusnya mereka jalani. Nantinya setelah mendapatkan pembinaan di shelter tersebut, anak-anak tersebut akan melaksanakan ujian paket untuk mendapatkan ijazah yang nantinya akan digunakan melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya. Hal ini tentunya diharapkan oleh pihak pemerintah dapat mengurangi jumlah anak yang terjun dalam dunia kerja dan berharap anak-anak tersebut dapat melanjutkan pendidikannya hingga selesai. Efektivitas regulasi terkait pekerja anak dalam mengatasi problematika pekerja anak di Kota Makassar dinilai masih kurang, sebab dalam implementasinya seringkali terdapat kesenjangan antara das sein dan das sollen terkait perlindungan hukum terhadap pekerja anak terutama di sektor informal di kota Makassar belum sesuai dengan perlindungan hukum tenaga kerja sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam praktek banyak pelanggaran terhadap persyaratan mempekerjakan anak, seperti tidak ada perjanjian kerja, izin orang tua, upah yang rendah, waktu kerja yang panjang. Hambatan yang dihadapi dalam perlindungan hukum terhadap pekerja anak diantaranya menyangkut belum adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang pekerja anak sektor informal, khususnya terkait dengan perlindungan hukumnya, juga disebabkan oleh faktor aparatur pemerintah sebagai pengawas ketenagakerjaan, terutama jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan yang harus diawasi, tidak adanya pelaporan berkala dari perusahaan terhadap kondisi ketenagakerjaan di perusahaan, kurang terbukanya perusahaan terhadap kondisi ketenagakerjaan terutama apabila dilakukan sidak, serta kultur budaya yang memandang bahwa anak yang bekerja dipandang sebagai hal yang biasa sebagai bentuk sosialisasi dan wujud darma bakti pada orang tua. Masyarakat kurang peduli, terutama dalam menyikapi penggunaan pekerja anak oleh perusahaan. Selain itu, disebabkan pula oleh lemahnya koordinasi dan kerjasama antar instansi atau lembaga terkait di bidang ketenagakerjaan, seperti Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, Pemerintah Daerah setempat dan dinas terkait lainnya.19 Melihat eksploitasi terhadap pekerja anak seringkali terjadi, Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih pada masalah-masalah yang terkait pekerja anak. 19
Netty Endrawati, Op. Cit., hlm. 282.
Seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya ada dalam pelaksanaannya. Berkaitan dengan perlindungan terhadap pekerja anak, pemerintah harus lebih serius dalam menangani hal ini. Pemerintah dapat mengadakan program perlindungan terhadap pekerja anak yang yang diharapkan dapat mengedukasi semua pihak yang terlibat terutama para pelaku usaha agar tidak lagi melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu dibentuk suatu peraturan khusus mengenai tenaga kerja anak dikarenakan adanya perbedaan penanganan terhadap tenaga kerja anak dan tenaga kerja biasa pada umumnya. Peraturan khusus ini dapat menjadi sebuah acuan yang memberikan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban dari pekerja anak sehingga apabila terdapat pelaku usaha yang melakukan pelanggaran maka hal tersebut dapat dicegah dan diatasi dengan sigap oleh pemerintah yang berwenang. Kebijakan saja tidak cukup untuk menangani masalah terkait pekerja anak, diperlukan penanganan yang meliputi basis keluarga mengingat keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak. Pemerintah diharapkan dapat menyediakan SDM yang memadai untuk menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada tenaga kerja anak, sehingga penanganan masalah dapat dilakukan dengan efektif.
B. Faktor yang Mempengaruhi Maraknya Pekerja Anak di Kota Makassar
Keberadaan pekerja anak menjadi problematika sosial di Indonesia termasuk Kota Makassar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi dari anak itu sendiri, latar belakang keluarganya, pengaruh orang tua, budaya, dan lingkungan sekitarnya20. Selain itu, Menurut Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Selatan, melalui Amhy sebagai perwakilan dalam audiensi pada penelitian ini mengatakan, yang menjadi faktor utama maraknya pekerja anak di Kota Makassar adalah kemiskinan dan pernikahan dini. Bisa dibayangkan dimana anak yang berada dalam keluarga dengan kondisi serba kesusahan terpaksa menjadi seorang pekerja untuk membantu beban kedua orang tuanya. Begitu pula dengan faktor pernikahan dini, dimana anak yang masih dibawah umur harus
Fivi Elvira, skripsi:�Analaisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pekerja Anak di Bawah Umur Pada Sektor Informal di Kota Makassar�(Makassar, UINAM,2018), Hal.3. 20
mencari kerja untuk menghasilkan uang demi keberlangsungan hidup keluarga kecilnya. Hal ini didukung dengan data penerima Program Pengurangan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan Dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai berikut:
Penerima Manfaat PPA-PKH
(Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Selatan,2018)21
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa penerima Program Pengurangan Pekerja Anak dan Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) di Kota Makassar pada tahun 2015 sebanyak 420, kemudian mengalami penurunan hingga 150 pada tahun 2018. Meskipun angka penerima PPAPKH mengalami penurunan, angka pekerja anak di Kota Makassar masih cukup tinggi. Hal ini berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa jumlah pekerja anak mencapai 456.989. Kategori Pekerja anak di Kota Makassar terbagi atas dua sektor, yaitu Formal dan Informal. Kategori sektor formal adalah pekerja anak yang rutin bekerja setiap hari dan gajinya tetap. Sektor ini bisa kita temukan di terminal, pelabuhan, kawasan perindustrian, restoran, tempat pemotongan hewan, pekerja rumah tangga, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk pekerja anak informal adalah pekerja anak yang waktu bekerjanya tidak tetap dan hasil (upah) yang didapat juga tidak tetap. Biasa pula tidak ada
21
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Selatan, Daftar Kab/Kota Penerima Manfaat PPA-PKH, (Makassar:Disnakertrans,2018)
relasi antara buruh dengan majikan karena pekerjaannya dapat dilakukan secara mandiri. Contohnya tukang parkir, kuli bangunan, pemulung jalanan, pedagang asongan, tukang becak motor, dan lain sebagainya. Fenomena pekerja anak di Indonesia termasuk Kota Makassar pada umumnya berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya dalam proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab.22 Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga. Seiring dengan berkembangnya waktu telah terjadi pergeseran dimana anak-anak tidak lagi bekerja karena alasan faktor budaya ataupun tradisi, melainkan karena masalah ekonomi orang tua. Selain alasan ekonomi dan budaya, struktur sosial juga ikut mempengaruhi maraknya pekerja anak. Hal ini sejalan dengan konsep kepemilikan anak yang diungkapkan oleh Dr. Irwanto dalam penelitiannya, bahwa anak merupakan milik orang tua secara mutlak sehingga mereka berhak melakukan apa saja atas diri anak-anak mereka. Dengan begitu, kontrol masyarakat dianggap sebagai intervensi atas wilayah pribadi keluarga.23 Kemudian faktor anak-anak memilih untuk tidak melanjutkan sekolah karena sadar bahwa orang tuanya tidak mampu lagi menanggung segala biaya pendidikannya. Akibatnya mereka tidak memiliki aktivitas sehingga lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Bahkan beberapa pekerja anak perempuan rela untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja dengan harapan penghasilan yang diperoleh dapat membantu orang tua sehingga dapat memberi kesempatan yang lebih luas kepada saudara laki-lakinya untuk dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik dibanding dirinya. Hal ini terjadi karena budaya patriarki (posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dan perempuan hanya menjadi second position) masih sangat melekat di masyarakat termasuk juga untuk mendapatkan kesempatan pendidikan. Akibatnya pengorbanan saudara perempuan terhadap saudara laki-laki dianggap sebagai sebuah kewajaran. Pendapatan rumah tangga, pendidikan anak, jenis kelamin anak, pendidikan kepala rumah tangga dan nilai upah anak adalah beberapa faktor yang juga
Argyo Dematoto, penelitian:�Karakteristik Sosial dan Ekonomi dan Faktor Faktor Penyebab Anak Bekerja di Sektor Informal�(Surakarta:UNS,2008), Hal 16. 23 Ibid, hlm.17. 22
memicu timbulnya pekerja anak. Pendapatan rumah tangga atau pendapatan keluarga yang rendah menjadikan keluarga akan mengerahkan seluruh anggota keluarga untuk bekerja agar mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk mengerahkan anak dibawah usia kerja24. Faktor tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga mempengaruhi maraknya pekerja anak di masyarakat Kota Makassar, Hal ini mengakibatkan pola didik orang tua terhadap anak menjadi sangat minim, seharusnya masyarakat kita sekalipun tidak memiliki pendidikan formal yang layak paling tidak memiliki skill dan pengetahuan yang dapat menjadi kemampuan mereka bertahan hidup. Pendidikan saat ini dianggap oleh beberapa kalangan masyarakat belum maksimal dalam menjawab permasalahan dan dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara khususnya di bidang perekonomian. Sehingga beberapa kalangan masyarakat kita yang tingkat ekonomi kebawah kurang antusias untuk mencari ilmu di bangku pendidikan. Hal tersebut mengakibatkan mereka berpikir secara instan dan melakukan pekerjaan apa saja yang dapat menghasilkan pemasukan secara spontan. Rendahnya pendidikan masyarakat ini memberikan ruang gerak terhadap eksploitasi anak, karena para orang tua tidak mengetahui tindakan apa yang seharusnya mereka lakukan dan diberikan kepada anak di bawah umur25.Maka dari itu sistem pendidikan harus menjadi fokus utama Pemerintah Daerah Kota Makassar demi mengatasi dan menekan angka pekerja anak dengan memaksimal Program wajib belajar selama 12 tahun.
C. Dampak dari Maraknya Pekerja Anak di Kota Makassar
Filosofi larangan mempekerjakan anak atau larangan anak untuk bekerja sebagaimana diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan erat kaitannya dengan upaya melindungi hak asasi anak, yang juga dijamin perlindungannya dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hadirnya larangan terkait anak untuk bekerja tentu sudah melalui pertimbangan yang cukup panjang dari segala aspek yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Berbagai pekerjaan dilakukan oleh anak yang bersekolah, putus sekolah, bahkan ada yang tidak sempat bersekolah. Padahal di usia anak kebutuhan yang seharusnya dipenuhi oleh mereka adalah mendapatkan pendidikan dan juga waktu yang cukup untuk bermain dalam masa perkembangan 24
Ibid, hlm, 18. Wafda Vivid Izziyana, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak di Indonesia�. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.3 No 2, September 2019, hal. 106. 25
fisik dan mentalnya, serta yang paling terpenting adalah kasih sayang dari orang tua. Pada usia ini kemampuan fisik anak masih terbatas sesuai dengan pertumbuhannya. Tapi dikarenakan beberapa faktor mereka terpaksa bekerja. Dan terdapat pula anak yang ingin bekerja karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah. Dari berbagai faktor penyebab anak memilih untuk menjadi pekerja anak, tak dapat dipungkiri bahwa tumbuh kembang anak adalah hal yang terpenting. Hal ini akan mempengaruhi internal diri anak sendiri dan juga akan berdampak pada kondisi eksternal anak dalam hal ini terhadap lingkungan sekitar dan juga kontribusi yang akan diberikan di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil studi literatur dan penelitian, ditemukan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat seorang anak yang menjadi pekerja adalah sebagai berikut :26 1. Tidak memiliki waktu luang untuk bermain; Pada hakikatnya bermain bagi anak usia dini dapat digunakan untuk mempelajari dan belajar banyak hal, dapat mengenal aturan, bersosialisasi, menempatkan diri, menata emosi, toleransi, kerja sama, dan menjunjung tinggi sportivitas.27 Jika seorang anak menjadi pekerja di usia dini maka ia akna kehilangan kesempatan untuk mempelajari banyak hal untuk perkembangan emosi dan kehidupan sosialnya. 2. Terganggunya proses tumbuh kembang anak; Proses tumbuh kembang anak erat kaitannya dengan terpenuhinya kasih sayang serta kebutuhan jasmani dan rohaninya. Seorang anak yang memfokuskan dirinya untuk bekerja dan mengumpulkan uang akan mengenyampingkan hal tersebut demi sepeser rupiah. Tumbuh kembang anak merupakan aset bagi mereka di masa depan. Jika mereka tidak melalui proses tumbuh kembang yang baik maka mereka akan kewalahan di masa yang akan datang.
26
Emmy, Sugiyani, Perlindungan Hak Bagi Pekerja Anak Melalui Program Pendidikan Literacy Class, Jurnal dipublikasikan Yayasan Pemerhati Sosial Indonesia. (2000). hal. 256 baca juga : Fivi Elfira Zulfikar, Skripsi : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pekerja Anak Dibawah Umur pada Sektor Informal di Kota Makassar, Makassar : UIN Alauddin Makassar, 2018, hal. 20. 27 Naili Rohmah, Bermain dan Pemanfaatannya Dalam Perkembangan Anak Usia Dini, Jurnal Tarbawi Vol.13 No.2 2016, hlm.3
3. Terganggunya kesehatan fisik dan mental anak; Fisik anak menjadi hal yang sangat berharga bagi mereka kedepannya. Tidak hanya dimasa
kanak-kanak,
kesehatan
fisik
akan
sangat
berpengaruh
bagi
keberlangsungan hidup di masa yang akan datang. Jika seorang anak bekerja dengan keras tanpa mendapatkan pemenuhan gizi yang berkualitas mereka akan mudah mengalami gangguan terhadap fisiknya yang tentunya jika mengalami kekurangan atau gangguan akan turut mempengaruhi mental mereka. 4. Rentan terhadap perlakuan diskriminatif; Seorang anak yang bekerja belum memenuhi masa usia kerja dan dianggap belum siap dari aspek mental dan fisiknya. Mereka dinilai tidak akan siap menjalani dinamika kehidupan layaknya seorang pekerja dewasa. Hal demikian akan membuat anak tersebut sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari sesame pekerja maupun majikannya sendiri. Tindakan tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang yang menuntut akan terpenuhinya hak-hak perlindungan anak. 5. Rentan terhadap perlakuan tindak kekerasan, eksploitasi dan penganiayaan; dan 6. Rentan menciptakan generasi miskin (dari pekerja anak melahirkan pekerja anak pula). Dari berbagai macam dampak yang ditimbulkan dari seorang anak yang menjadi pekerja, dampak yang paling berpengaruh adalah dampak terhadap kondisi fisik, psikis, hingga kehidupan sosial anak. Dampak tersebut akan secara langsung mempengaruhi tumbuh kembang anak di masa yang akan datang. Menurut pandangan Brechendrige dan Vincent, apabila seorang anak harus bekerja berat, maka kondisinya pada umumnya akan lemah, karena pekerjaan yang ringan pun bila dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama, maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tubuh dan psikososialnya.�28
Seorang anak yang bekerja dengan
pekerjaan berat ataupun ringan akan merasakan dampaknya di masa yang akan datang. Hal tersebut sangat membawa pengaruh terhadap kontribusi anak tersebut kedepannya.
28
Ikawati dkk, Uji coba Pola Pencegahan Hilangnya Masa Perkembangan pada Pekerja Anak. Yogyakarta: B2P3KS, 2003.
Segala dampak tersebut muncul apabila anak telah bekerja dalam jangka waktu yang lama. Mengingat, jika kita meninjau hak-hak seorang anak dimana seorang anak sangat membutuhkan istirahat, bermain dengan teman sebaya, memperoleh pendidikan. Semua hak-hak tersebut sudah seharusnya didapatkan oleh anak. Namun, apabila karena bekerja sehingga kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akibatnya anak tersebut akan terhambat tumbuh kembangnya. Di mana anak yang bekerja pada usia muda, maka akan mengalami keterbatasan untuk mengenyam pendidikan, ketertinggalan wawasan hingga berpengaruh terhadap keterampilan kerja yang juga terbatas. Hal tersebut menyebabkan anak yang dalam melakukan pekerjaan banyak melakukan kesalahan. Kondisi inilah yang kemungkinan besar akan memicu kejengkelan majikan yang pada akhirnya anak kadang-kadang sampai dengan sering mendapatkan perlakuan kasar dan tindak kekerasan di tempat kerja. Bentuk tindak-tindak kekerasan tersebut bersifat fisik, psikis dan sosial. Menurut Suyanto, anak bekerja merupakan fenomena terjadinya trafficking karena telah terjadi terabaikannya hak-hak anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan optimal.29 Dengan demikian, jika kita meninjau beberapa dampak yang ditimbulkan akibat seorang anak yang bekerja di usia muda, maka sudah sangat terlihat jelas dampak yang ditimbulkan sangatlah merugikan sang anak. Anak yang bekerja di usia muda dapat terganggu perkembangan fisik, psikis, maupun kehidupan sosialnya. Dengan terganggunya perkembangan sang anak otomatis sang anak juga akan memiliki kepribadian yang berbeda dengan anak-anak lainnya yang telah mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak. Dampak-dampak tersebut tidak menutup kemungkinan akan memperburuk masa depan sang anak, sehingga sang anak tidak dapat menggapai impiannya kelak.
29
Ikawati, The Influential Factors of Children to Work, Jurnal PKS Vol 14 No 2 Juni 2015; 197 - 210, hal. 202.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Regulasi terkait pekerja anak dalam upaya mengatasi permasalahan pekerja anak di Kota Makassar masih belum efektif, sebab masih banyak kesenjangan antara das sein dan das sollen dari maraknya pekerja anak yang dapat dijumpai di berbagai pelosok kota. Hal ini berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan yang menyebutkan bahwa angka pekerja anak di Kota Makassar sebanyak 456.989 pada sektor formal maupun informal. Adapun faktor utama yang menjadi penyebab tingginya angka pekerja anak yaitu faktor, ekonomi, pendidikan, budaya, dan lingkungan. Padahal anak-anak yang bekerja memiliki dampak seperti tidak memiliki waktu untuk bermain, menghambat proses tumbuh kembang anak, serta terganggunya kesehatan fisik dan mental anak. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi baru dan langkah-langkah yang dapat menekan angka pekerja anak di Kota Makassar secara signifikan dengan memperkuat koordinasi dan kerjasama antar instansi atau lembaga dalam mengatasi permasalahan pekerja anak, seperti Pemerintah Daerah Kota Makassar, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, serta dinas terkait lainnya. Selain itu, Pemerintah Kota Makassar harus memberantas kemiskinan dan mensukseskan Program Pengurangan Pekerja Anak dalam rangka mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) demi terwujudnya peta jalan Indonesia bebas pekerja anak di tahun 2022.
B. Rekomendasi 1. Mendorong Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk meningkatkan sosialisasi maupun penyuluhan terkait larangan mempekerjakan anak di Kota Makassar.
2. Mendorong Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk menyelenggarakan program khusus dengan kolaborasi antara Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Sosial, dan Dinas Pendidikan dalam rangka mengatasi masalah pekerja anak. 3. Meminta Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk mencabut izin operasi perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak di Kota Makassar. 4. Menegaskan kepada Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk membuat regulasi khusus dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar terkait pekerja anak di sektor informal. 5. Mendorong Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk mengkaji efektifitas regulasi terkait pekerja anak di Kota Makassar dengan melibatkan pemangku kepentingan, akademisi, dan perwakilan masyarakat. 6. Meminta Pemerintah Daerah untuk mengatasi masalah kemiskinan di Kota Makassar sebagai salah satu faktor penyebab tingginya angka pekerja anak. 7. Meminta Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk memaksimalkan program wajib belajar sebagai langkah preventif terhadap anak untuk masuk ke dunia kerja. 8. Menegaskan Pemerintah Daerah Kota Makassar untuk berkomitmen mewujudkan salah satu Visi Nasional Indonesia yaitu “Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022�.
DAFTAR PUSTAKA Asmorowati, S. 2008. Efektivitas Kebijakan Perlindungan Pekerja Anak (Child Labour) Dengan Fokus Anak Jalanan di Surabaya.Jurnal Penelitian Dinas Sosial, Vol. 7 No. 1. Endrawati, N. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Sektor Informal (Studi Kasus di Kota Kediri. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 2. Fakriansa. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Event Organizer dalam Kontrak Penyelenggaraan Konser Musik. Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol. 1 No. 2. Hadjon, P. M.. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia.. Surabaya: Bina Ilmu, Hamamah, F. 2015. Analisis Yuridis Sosiologis Terhadap Perlindungan Anak Dalam Kasus Eksploitasi Pekerja Anak. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol. 2 No. 3. Hanandini, D. 2005. Tindak Kekerasan Di Lingkungan Pekerja Anak Sektor Informal Kota Padang. Jurnal Sosiologi SIGAI, Vol. 6 No. 9. Hasbi, D. S. 2018. Eksploitasi Pekerja Anak: Kajian Terhadap Pekerja Anak di Perumahan BTP Kota Makassar. KRITIS, Vol. 4 No. 1. Ikawati. (2015). The Influential Factors of Children to Work. Jurnal PKS,Vol. 14 No. 2. Izziyana, W. V. 2019. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Anak di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3 No. 2. Jette,
N.
(2002,
Juli
27).
Jakarta
Post.
Retrieved
from
Jakarta
Post:
https://kabar24.bisnis.com/read/20120615/78/81644/pekerja-anak-di-makassarsebanyak-8-dot-200-anak-sekolah-cari-duit
Kerja, P. K. (2016). Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Makassar: Dinas Tenaga Kerja Kota Makassar. Muhammad, A. K. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti Nachrowi, H. U. 2004. Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi, Determinan dan Eksploitasi. Jakarta: Grasindo. Sembiring, K. 2008. Pengaruh Kebudayaan Dalam Penegakkan Hukum Dan Masyarakat, Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 33 No. 1.