Juni 2019: Legal Review by Law Development Subdivision

Page 1

KLAUSUL OBJEK JAMINAN DIJADIKAN SOLUSI TERHADAP PENAGIHAN INTIMIDATIF YANG KERAP

DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN FINANCIAL TECHNOLOGY

Disusun: Michael Gerin Denggu Pasau

Sub Divisi: Law Development ALSA LC UNPAD 2019

Abstrak

Financial Technology (Fintech) sederhananya adalah penerapan teknologi di bidang jasa keuangan. Pada saat ini, fintech menjadi alternatif sumber pendanaan bagi masyarakat Indonesia karena menawarkan cara yang lebih mudah dari pada bank sebagai ikon sumber pendanaan tradisional. Namun setelah beberapa tahun penyelenggaraannya, beberapa permasalahan dari fintech mulai muncul dan merugikan banyak dari masyarakat Indonesia yang menggunakannya. Salah satu permasalahannya adalah penagihan intimidatif yang kerap dilakukan oleh perusahaan fintech sebagai pemberi pinjaman kepada konsumennya yang berkedudukan sebagai penerima pinjaman. Melalu penilitian ini, penulis menyimpulkan bahwa permasalahan tersebut dapat diatasi dan dicegah jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para penyelenggara fintech untuk memasukkan klausul objek jaminan ke perjanjian Peer to Peer Lending (P2P Lending).

Kata Kunci: fintech, perusahaan fintech, penerima pinjaman, P2P Lending, OJK, dan jaminan.

Abstract

Financial Technology (Fintech) is simply the application of technology in the field of financial services. At present, fintech is an alternative source of funding for the people of Indonesia because it offers an easier way than banks as an icon of traditional funding sources. However, after several years of implementation, several problems from fintech began to appear and harming many of the Indonesian people who used them. One of the problems is intimidating billing that which is often carried out by fintech companies as lenders to consumers as loan recipients. Through this research, the authors conclude that these problems can be solved and prevented if Financial Services Authority (FSA) as an institution who has the authority to issue regulations requires fintech operators to enter collateral object clauses into the P2P Lending agreement.

Keywords: fintech, fintech company, consumers, P2P Lending, FSA, and collateral.

Pendahuluan

Pada saat ini, zaman semakin berkembang dengan adanya modernisasi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), modernisasi merupakan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.1 Dari definisi tersebut, modernisasi dipicu oleh tuntutan atau kebutuhan dari masyarakat. Moderniasi telah masuk ke berbagai macam bidang dalam kehidupan, yaitu Politik, Sosial, Hukum, dan Ekonomi. Kita pun mau tidak mau harus mengakui bahwa modernisasi tersebut telah membantu manusia untuk bisa memiliki hidup yang lebih baik dari pada sebelumnya.

Salah satu bentuk dari modernisasi adalah financial technology (fintech). McKinsey berpendapat bahwa fintech atau keuangan digital adalah jasa keuangan yang diantarkan melalui infrastruktur digital-termasuk telepon seluler dan internet-dengan penggunaan yang minim dari uang tunai dan

22 Mei 2019 pukul 8.56 WIB. 21
1 Diambil dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/modernisasi, pada tanggal

cabang bank tradisional.2 Sedangkan Bank Indonesia sendiri mendefinisikan fintech sebagai penerapan teknologi informasi di bidang keuangan.3 OJK berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13/ PJOK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital (PJOK IKD), menyatakan bahwa fintech yang disebut sebagai Inovasi Keuangan Digital adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, dan instrument keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. 4 Dari tiga definisi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa fintech merupakan suatu bentuk modernisasi pada bidang jasa keuangan dengan menggunakan bantuan teknologi.

Sekarang, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia yang terhubung dengan Internet telah menggunakan fintech. Penggunaan Fintech yang sedang besar-besarnya ini juga diakibatkan oleh munculnya beberapa perusahaan yang bergerak di fintech. Menjamurnya perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan kompetisi di antara mereka untuk memberikan layanan yang terbaik kepada konsumen. Beberapa bentuk fintech yang kita kenal adalah Go-Pay, T-Cash, dan Doku.

Meskipun kehadiran fintech sangat membantu dan memudahan masyarakat, tetap saja penyelenggaraan fintech masih memunculkan masalah-masalah yang merugikan konsumen. Sebagaimana yang dikutip dari hukumonline.com, terdapat 4 masalah hukum yang timbul dari penyelenggaraan fintech 5 Pertama, Adanya fintech yang belum mengantongi izin (illegal). Hal tersebut menjadi illegal karena berdasarkan Peraturan Otorias Jasa Keuangan Nomor 77 Tahun

2016 Tentang Layangan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi, perusahaan fintech harus mengantongi izin dari OJK terlebih dahulu. Kedua, Terjadinya Penagihan Intimidatif. Banyak laporan yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut sering kali menagih menggunakan kata-kata kasar hingga ancaman kekerasan dalam menuntuk pengembalian utang. Ketiga, suku bunga pinjaman yang ditawarkan oleh perusahaan fintech sangat tinggi. Keempat, Penggunaan Data Pribadi Konsumen. Hal ini dapat terjadi karena dengan kecanggihan teknologi, yang mana perusahaan fintech dapat mengakses data pribadi yang terdapat di smartphone konsumen.

Empat Masalah tersebut masih membayangi fintech hingga sekarang. Masalah-masalah tersebut harus ditemukan solusinya agar perusahaan fintech masih dapat memiliki image yang baik dan tentunya tidak kehilangan konsumen. Peran dari Fintech harus diakui sangat besar karena akan menggantikan posisi penyelenggara jasa keuangan yang tradisional sehingga seharusnya pemerintah lebih memberikan perhatiannya kepada perkembangan fintech. Akan tetapi peran pemerintah untuk menanggapi permasalahan di atas masih belum memuaskan. Selain minimnya peraturan yang dikeluarkan, pemerintah pun juga jarang mengkaji masalah-masalah ini. Pengkajian tersebut padahal sangat membantu untuk menemukan solusi yang dibutuhkan. Melalui legal review ini, penulis akan lebih fokus membahas masalah yang kedua yaitu penagihan yang intimidatif. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas dan untuk ditemukan solusinya karena kita harus mengkaji perjanjian yang timbul dari perusahaan fintech dengan konsumen-konsumennya. Oleh karena itu, pengkajian masalah tersebut akan lebih condong menggunakan perspektif hukum perdata, khususnya hukum perikatan dan hukum jaminan.

2 McKinsey & Company. 2016. Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity. Oktober 2016.

3 Berry A. Harahap. 2017. Working Paper Bank Indonesia: Perkembangan Financial Technology Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter dan Makroekonomi. Jakarta: Bank Indonesia.

4 Diambil dari https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/Inovasi-Keuangan-Digital-di-Sektor-Jasa-Keuangan/pojk%20132018.pdf, pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 8.56 WIB.

5 Diambil dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c1c9d0759592/ragam-masalah-hukum-fintech-yang-jadi-sorotan-di2018/ pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 8.56 WIB.

31

Pembahasan dan Analisis

Dikarenakan kita baru membahas fintech hanya sekedar definisi, maka perlu juga bagi kita untuk menguraikan fintech lebih mendalam. Berdasarkan pendapat Hsueh, terdapat tiga tipe fintech, yaitu:6

1. Sistem pembayaran melalui pihak ketiga (Third-party payment systems). Contoh dari tipe ini yang dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah Go-Pay, Pay-Pal, T-Cash, dan OVO.

2. Peer-to-Peer (P2P) Lending. Tipe ini merupakan platform yang mempertemukan pemberi pinjaman dan peminjaman melalui internet yang mana sangat membantu orang ketika sedang membutuhkan dana. Contohnya yaitu Amartha, Danamas, Modalku, dan Crowde.

3. Crowfunding. Ini adalah tipe fintech dimana sebuah konsep atau produk seperti desain, produk seperti desain, program, konten, dan karya kreatif dipublikasikan secara umum, pada akhirnya bagi masyarakat yang tertarik dan ingin mendukung konsep atau produk tersebut dapat memberikan dukungan secara finansial. Beberapa contoh tipe crowfunding yang terkenal ialah Kitabisa, Kickstarter, dan Crowdfunder.

Mekanisme dari tipe sistem pembayaran melalui pihak ketiga sangatlah sederhana. Biasanya terlebih dahulu kita harus membuka akun atau rekening. Apabila telah memiliki akun, kita harus memasukkan sejumlah uang sebagai saldo awal yang umumnya terdapat ketentuan minimal pemasukkannya. Setelah beberapa proses tersebut, barulah kita dapat melakukan transaksi dengan menggunakan saldo yang dimiliki. Sangat berbeda dengan sistem pembayaran pihak ketiga, tipe P2P Lending adalah sebuah proses menjalankan peminjaman uang antara dua individual yang tidak bersangkutan secara langsung melalui platform online, tanpa campur tangan dari para perantara keuangan yang tradisional seperti bank7. Dengan tipe ini, orang yang sedang membutuhkan uang dan ingin melakukan peminjaman uang (debitur) dapat dimudahkan tanpa harus bertemu dengan orang yang memiliki uang dan ingin meminjamkannya (kreditur) secara fisik. Sedangkan tipe Crowdfunding sendiri adalah platform yang menyelenggarakan pengumpulan uang secara langsung dari masyarakat luas dengan nominal uang yang relatif kecil melalui internet.

Dari penjelasan di atas, tipe fintech yang berfungsi sebagai sumber pendanaan adalah P2P Lending dan Crowfunding. Meskipun keduanya dalam prosesnya menghasilkan pihak-pihak yang menjadi kreditur dan debitur, mereka memiliki perbedaan yang cukup substantif. P2P Lending merupakan pendanaan yang bersifat peminjaman, maka kreditur harus memiliki kepastian bahwa uang yang telah dipinjamkan akan dikembalikan oleh debitur berdasarkan syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian. Sedangkan untuk Crowfunding, merupakan pendanaan yang berbentuk donasi dan investasi. Donasi adalah sumbangan dana kepada suatu proyek tertentu. Investasi adalah penanaman modal dalam suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu, risiko dari Crowfunding sendiri adalah tidak adanya kepastian pengembalian dana kepada kreditur.9 Perusahaan fintech yang menyelenggarakan crowdfunding tidak akan pernah bisa menjamin pengembalian dana kepada konsumen yang menjadi debitur. Melalui uraian-uraian di

6 Hsueh, SC. 2017. Effective Matching for P2P Lending by Mining Strong Association Rules. Proceedings of the 3rd International Conference on Industrial and Business Engineering. Hlm. 30-33.

7 Ibid.

8 Diambil dari https://www.ukcfa.org.uk/resources/faqs, pada tanggal 22 Mei 2019 pukul 10.50 WIB.

9 Ibid.,

8
41

atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang dibahas pada legal review ini, yaitu Penagihan Intimidatif, tentunya berasal dari fintech yang bertipe P2P Lending

Banyak perusahaan fintech yang telah melakukan penagihan intimidatif salah satunya adalah Rupiah Plus. Banyak nasabah (konsumen) dari Rupiah Plus (saat ini telah berganti nama menjadi Perdana) berkeluh kesah bahwa pihak Rupiah Plus bertindak seakan-akan seperti lintah darat. Sebagaimana yang dilansir lapor.go.id, salah satu konsumen mendapatkan ancaman bahwa preman-preman akan mendatangi rumahnya karena ia tak kunjung melakukan pengembalian dana ke Rupiah Plus.10 Selain itu, ada konsumen lain dari Rupiah Plus yang menceritakan pengalamannya ke situs mediakonsumen.com.11 Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa seorang konsumen sudah telat 11 hari untuk melakukan pengembalian dana, namun pihak dari Rupiah Plus menagih dengan cara mengancam dan menghubungi kontak-kontak yang memiliki hubungan konsumen sehingga membuat konsumen tersebut menjadi malu.

Pada dasarnya konsep pinjam-meminjam yang diterapkan dalam P2P Lending berawal dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Ketentuan KUHPer yang mengatur Pinjam-meminjam terdapat dalam Pasal 1754-Pasal 1764 KUHPer. Berdasarkan Pasal 1754 KUHPer, Pinjam-meminjam diatur sebagai berikut:

“Pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”12

Perbedaan perjanjian pinjam-meminjam yang terdapat dalam KUHPer dengan P2P Lending terletak pada unsur penerapan teknologinya. Sebenarnya P2P Lending juga telah diatur oleh OJK melalui POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK P2P Lending). Dalam peraturan tersebut, OJK menggunakan istilah Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi untuk mengganti istilah P2P Lending yang umumnya digunakan. Pada Pasal 1 angka 3, dinyatakan bahwa:

“Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan jaringan internet.”13

Dikarenakan perjanjian P2P Lending berkonsep perjanjian pinjam-meminjam, maka perjanjian P2P Lending merupakan perjanjian yang bersifat riil. Merujuk pada pendapat Munir Fuady, perjanjian yang bersifat riil mengajarkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak baru dianggap sah dan mengikat jika perjanjian tersebut telah dilakukan secara riil.14 Maksudnya adalah perjanjian

10 Diambil dari https://www.lapor.go.id/laporan/detil/fintech-rupiah-plus-bertindak-seperti-debt-collector, pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 12.00 WIB.

11 Diambil dari https://mediakonsumen.com/2018/12/30/surat-pembaca/penagihan-rupiah-plus-perdana-atas-keterlambatanpembayaran, pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 12.15 WIB.

12 Subekti. 2014. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 451.

13 Diambil dari https://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/peraturan-ojk/Documents/Pages/POJK-Nomor-77POJK.01-2016/SAL%20-%20POJK%20Fintech.pdf, pada tanggal 23 Mei 2019 pukul 13.14 WIB.

14 Fuady, Munir. 2016. Konsep Hukum Perdata. Depok: PT Rajagrafindo Persada. Hlm. 184.

51

tersebut baru mengikat apabila sudah terdapat kesepakatan kehendak dan telah dilakukan penyerahan hak (levering) sekaligus.

Dalam hal perjanjian P2P Lending, perjanjian tersebut baru berlaku ketika pemberi pinjaman dan penerima pinjaman membuat kesepakatan dan pemberi pinjaman memberikan uangnya kepada penerima pinjaman. Pasal 6 ayat (2) POJK P2P Lending mengatur bahwa batas maksimum pemberian pinjaman ditetapkan sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 15 Berdasarkan Pasal 20 POJK P2P Lending, diatur bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam Dokumen Elektronik. 16 Dokumen tersebut wajib paling sedikit memuat nomor perjanjian, tanggal perjanjian, identitas para pihak, ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak, jumlah pinjaman, suku bunga pinjaman, nilai angsuran, jangka waktu, objek jaminan (jika ada), rincian biaya terkait, ketentuan mengenai denda (jika ada), dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Dalam POJK P2P Lending, diatur juga bahwa ketentuan kewajiban antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman diserahkan sepenuhnya kepada para pihak ketika membuat perjanjian. Meskipun demikian, para pihak tetap mengacu pada KUHPer karena berdasarkan KUHPer, kewajiban para pihak diatur Pada Pasal 1759-Pasal 1764 KUHPer, yaitu sebagai berikut: 17

Pemberi Pinjaman:

- Orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. (Pasal 1759)

- Jika tidak telah ditetapkan suatu waktu, Hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan menuntut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam. (Pasal 1760)

- Jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang telah meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang akan mengembalikannya bilamana ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktu pengembaliannya. (Pasal 1761)

- Ketentuan Pasal 1753 adalah berlaku terhadap pinjam mengganti. (Pasal 1762)

Penerima Pinjaman

- Siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan. (Pasal 1763)

- Jika ia tidak mampu memenuhi kewajiban ini, maka ia diwajibkan membayar harga barang yang dipinjamnya, dalam hal mana harus diperhatikan waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, sedianya harus dikembalikan. Jika waktu dan tempat ini tidak telah ditentukan, pelunasannya harus dilakukan menurut harga barang pinjaman pada waktu dan di tempat dimana pinjaman telah terjadi. (Pasal 1764)

15 Opcit.,

16 Ibid.,

17 Opcit., Subekti. Hlm. 452-453.

61

PJOK P2P Lending mewajibkan para pihak untuk menyertakan klausul jangka waktu ketika membuat perjanjiann. Terkait jangka waktu tersebut KUHPer telah mengaturnya dalam Pasal 1268Pasal 1271, berikut bunyinya:18

- Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. (Pasal 1268)

- Apa yang harusnya dibayar pada suatu waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu datang; tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang, tak dapat diminta kembali. (Pasal 1269, Pasal ini berkaitan dengan Pasal 1759)

- Suatu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan si berutang, kecuali jika dari sifat perikatan sendiri, atau dari keadaan, ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang. (Pasal 1970)

- Si berutang tak lagi dapat menarik manfaat dari suatu ketetapan waktu, jika ia telah dinyatakan pailit, atau jika karena kesalahannya jaminan yang diberikannya bagi si berpiutang telah merosot. (Pasal 1971)

Dengan adanya klausul tersebut, ketentuan jangka waktu akan membuat pelaksanaan perjanjian menjadi lebih baik. Dampaknya kepada Penerima pinjaman adalah ia akan tahu kapan terakhir harus melakukan pengembalian tersebut. Sedangkan untuk pemberi pinjaman adalah ia akan tahu kapan penerima pinjaman dapat dikatakan gagal melakukan pengembalian atau wanprestasi. Oleh sebab itu, keberadaan klausul jangka waktu dalam perjanjian P2P Lending akan memberikan kepastian hukum yang lebih kepada para pihak.

Akan tetapi, klasul jangka waktu bukan merupakan sesuatu yang solutif terhadap penagihan intimidatif yang sering dilakukan pemberi pinjaman dalam perjanjian P2P Lending. Jika ancaman terjadinya penagihan intimidatif masih membayangi penerima pinjaman, P2P Lending belum dapat dikategorikan sebagai lembaga pendanaan yang baik. Menurut penulis, suatu lembaga baru dapat dikategorikan sebagai lembaga pendanaan yang baik jika perjanjian yang dihasilkan memiliki risiko kecil akan terjadinya sengketa di antara para pihak. Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat harus menjauhkan para pihak dari terjadinya sengketa. Memang dalam perjanjian P2P diwajibkan pula untuk menyertakan klausul mekanisme penyelesaian sengketa, namun tetap saja jika pada akhirnya melahirkan sengketa, maka perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang baik.

Memang risiko terbesar dari terbentuknya suatu perjanjian adalah terjadinya wanprestasi kemudian hari. Ahmadi Miru berpendapat, wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditu dengan debitur19. Wanprestasi juga telah diatur dalam Pasal 1243 KUHPer, yang mana dinyatakan bahwa:20

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

20
.,
71
18 Ibid., 19 Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 74.
Opcit
Subekti. Hlm. 324.

Mengacu pada uraian-uraian di atas, penerima pinjaman dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) jika sampai jangka waktu dalam perjanjian P2P Lending berakhir ia tidak melakukan pengembalian dana. Oleh sebab itu pula, berdasarkan Pasal 1243 dan Pasal 1759 (kewajiban pemberi pinjaman) perusahaan fintech memiliki hak untuk menuntut pengembalian tersebut.

Meskipun kondisinya penerima pinjaman telah dinyatakan gagal karena tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam perjanjian P2P, tetap saja Penagihan Intimidatif yang dilakukan oleh perusahaan fintech tidak boleh dibiarkan terjadi. Karena jika dibiarkan, perusahaan fintech akan melanggar salah satu satu asas dari perjanjian, yaitu asas tidak boleh main hakim sendiri. Berdasarkan pendapat Muljadi, yang dimaksud dengan asas tidak boleh main hakim sendiri adalah pihak yang dirugikan tersebut tidak boleh main hakim sendiri untuk memperoleh haknya namun ia harus mengikuti prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku misalnya melalui pengadilan atau meminta bantuan hakim.21 Dengan demikian, kita sudah mengetahui mengapa penagihan intimidatif yang kerap dilakukan oleh perusahaan fintech untuk meminta pengembalian dana kepada penerima pinjaman tidak boleh dibiarkan dan harus dicari solusi yang tepat untuk mencegahnya.

Menurut penulis, solusi untuk mencegah terjadinya penagihan intimidatif adalah menambah kepastian perusahaan fintech untuk mendapatkan kembali dananya. Dalam sistem hukum keperdataan, terdapat suatu lembaga yang dapat mencegah/ mengantisipasi penerima pinjamanan melakukan penagihan yang intimidatif yaitu dengan adanya jaminan yang disepakati oleh perusahaan fintech dengan penerima pinjaman. Jaminan yang sebagaimana dimaksud telah diatur oleh Pasal 1131 KUHper, yaitu berbunyi:22

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

Merujuk pada pasal di atas, harta kekayaan debitur (penerima pinjaman) akan melunasi utang di kemudian hari jika debitur tidak dapat memenuhi utangnya. Munir Fuady berpendapat bahwa jaminan utang adalah pemberian keyakinan kepada pihak kreditor (pihak yang berpiutang) atau pembayaran utang-utang yang telah diberikannya kepada debitur (pihak yang berutang). 23 Hal-hal yang dapat dijadikan jaminan adalah harta kekayaan penerima pinjaman yang bersifat kebendaan baik bergerak maupun tidak bergerak. Konstruksi hukumnya adalah jika penerima pinjaman tidak dapat melakukan pengembalian, perusahaan fintech dapat menuntut harta kekayaan debitur yang disepakati sebagai jaminan untuk melunasi pengembalian tersebut. Dengan adanya jaminan tentunya perusahaan fintech akan mendapat kepastian yang lebih untuk pengembalian dana yang telah dikeluarkan. Perusahaan fintech juga tidak perlu untuk melakukan penagihan intimidatif karena jika penerima pinjaman telah wanprestasi untuk melakukan pengembalian, maka perusahaan fintech hanya perlu melakukan proses pengeksekusian jaminan sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Akibat penting lainnya adalah perusahaan fintech tidak akan melanggar asas main hakim sendiri untuk mendapatkan pengembalian dana dari penerima jaminan jika ia tidak melakukan pengembalian hingga jangka waktu perjanjian P2P

Lending

22 Opcit., Hlm. 291.

23 Opcit

21 Muljadi. 2006. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hlm. 32.
81
., Fuady, Munir. Hlm. 53.

Sebenarnya, jaminan merupakan implementasi dari konsep hukum perikatan yang dikenal dengan Schuld dan Haftung. Intinya adalah pada suatu perikatan, debitur terdapat dua unsur yaitu Schuld dan Haftung Schuld adalah utang debitur kepada kreditur sedangkan Haftung adalahn harta kekayaan debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan utang debitur tersebut. 24 Dalam hal ini, yang dimaksud dengan schlud adalah kewajiban penerima pinjaman untuk melakukan pengembalian dana kepada perusahaan fintech. Sedangkan haftung-nya adalah harta kekayaan penerima pinjaman yang akan melunasi pengembalian tersebut jika ia tidak dapat melakukannya. Akan tetapi, berdasarkan konsep ini pula bahwa debitur bisa tidak mengemban kedua-duanya, berikut pembatasannya:25

1. Schuld tanpa haftung

2. Haftung tanpa schuld

3. Haftung dengan schuld pada orang lain

4. Schuld dan Haftung terbatas

Beberapa pembatasan tersebut lahir berdasarkan kenyataan praktik. Namun menurut penulis tetap saja untuk mengatasi dan mencegah penagihan yang intimidatif, penerima pinjaman harus dibebankan schuld dan haftung sekaligus.

Kembali mengacu pada POJK P2P Lending, sebenarnya OJK telah menyadari terkait hal ini dan berusaha untuk mengaturnya. Dalam Pasal 20 ayat (2) huruf I POJK P2P Lending, disebutkan bahwa:26

“objek jaminan (jika ada);”

Menurut penulis, ketentuan di atas bersifat rancu. Dalam ketentuan tersebut disebutkan adanya objek jaminan, akan tetapi terdapat penjelasan dalam kurung yang menyebutkan “jika ada”. Implikasi yuridis dari frasa tersebut adalah keberadaan objek jaminan dalam perjanjian P2P Lending bersifat alternatif. Jadi jika perjanjian P2P Lending telah dibuat dan tidak terdapat klausul objek jaminannnya, maka hal tersebut tidak memiliki akibat hukum apapun. Padahal pada uraian awal Pasal 20 ayat (2) POJK P2P Lending, dinyatakan secara tegas bahwa perjanjian P2P Lending (Dokumen Elektronik) wajib paling sedikit memuat hal-hal tersebut. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa OJK sendiri sebagai lembaga yang mengatur pelaksanaan layanan jasa fintech dalam P2P Lending, masih belum dapat menyediakan peraturan yang komprehensif.

Menurut hemat penulis, keberadaan objek jaminan sangatlah penting agar perjanjian P2P Lending dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang baik. Karena dengan adanya objek jaminan, pastinya perusahaan fintech tidak perlu lagi untuk melakukan penagihan intimidatif. Oleh sebab itu, OJK seharusnya dapat mengeluarkan peraturan yang isinya mewajibkan perusahaan fintech dengan penerima pinjaman untuk memasukkan klausul objek jaminan ke dalam perjanjian P2P. Akan tetapi menurut penulis, saran ini juga akan menghadirkan tantangan. Tantangan tersebut ialah bagaimana menyepakati objek jaminan apabila antara perusahaan fintech dan penerima pinjaman tidak pernah bertemu secara langsung atau secara fisik. Inilah yang menjadi tugas OJK untuk dapat mengatasi hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan yang mencakupi itu semua.

24
25
26
91
R. Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra A Bardin. Hlm.6.
Opcit., Hlm. 177.
Opcit., PJOK Lending.

Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa fintech masih memunculkan masalah-masalah yang substansif. Masalah-masalah adalah masih banyaknya perusahaan fintech yang bodong (belum mengantungi izin dari OJK), suku bunga yang tinggi, penagihan intimidatif, serta penyalahgunaan data konsumen. Penagihan intimidatif merupakan permasalahan yang sangat penting karena menyangkut keamanan dari konsumen. Jika konsumen terus dibayangi dengan ketidakamanan ini dimana perusahaan fintech melakukan sesuatu di luar hukum untuk memenuhi haknya, maka dampaknya adalah minat masyarakat terhadap fintech pastinya juga akan menurun. Inilah yang harus dicari solusinya.

Setelah melakukan penilitian, penagihan intimidatif dapat dicegah dan diatasi dengan adanya klausul objek jaminan dalam perjanjian P2P Lending yang disepakati oleh perusahaan fintech (bisa mewakilkan atau bertindak sebagai pemberi pinjaman) dengan penerima pinjaman. Akan tetapi, OJK sebagai lembaga yang berwenang belum mengeluarkan peraturan yang secara tegas mengatur hal tersebut. Inilah yang menjadi tantangan kedepannya agar OJK dapat mengeluarkan peraturan yang komprehensif dan dapat mencangkup hal tersebut.

Daftar Pustaka

a. Buku

Hsueh, SC. 2017. Effective Matching for P2P Lending by Mining Strong Association Rules. Proceedings of the 3rd International Conference on Industrial and Business Engineering.

Fuady, Munir. 2016. Konsep Hukum Perdata. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Rajawali Pers.

Muljadi. 2006. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

R. Setiawan. 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Putra A Bardin.

b. Jurnal

McKinsey & Company. 2016. Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity. Oktober 2016.

Berry A. Harahap. 2017. Working Paper Bank Indonesia: Perkembangan Financial Technology

Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter dan Makroekonomi. Jakarta: Bank Indonesia.

c. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Subekti. 2014. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Jakarta: Balai Pustaka)

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13 /POJK.02/2018 Tentang Inovasi

Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77 /POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi.

101

d. Internet

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/modernisasi

https://www.lapor.go.id/laporan/detil/fintech-rupiah-plus-bertindak-seperti-debt-collector

https://mediakonsumen.com/2018/12/30/surat-pembaca/penagihan-rupiah-plus-perdana-atasketerlambatan-pembayaran

https://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/peraturan-ojk/Documents/Pages/POJKNomor-77-POJK.01-2016/SAL%20-%20POJK%20Fintech.pdf

https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/Inovasi-Keuangan-Digital-di-Sektor-JasaKeuangan/pojk%2013-2018.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c1c9d0759592/ragam-masalah-hukum-fintechyang-jadi-sorotan-di-2018/

https://www.ukcfa.org.uk/resources/faqs.

111

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.