August 2019: Urgensi Pembuktian Motif dalam Tindak Pidana Terorisme

Page 1

ASIAN LAW STUDENTS’ ASSOCIATION LOCAL CHAPTER UNIVERSITAS PADJADJARAN

LEGAL REVIEW RIPAEL TAMPUBOLON LAW DEVELOPMENT ALSA LC UNPAD 2019


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

URGENSI PEMBUKTIKAN MOTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME Created by: Ripael Tampubolon Faculty of Law, Padjajaran University I.

PENDAHULUAN

Paradigma “to protect and defend state interest”, “to protect the offenders”, dan “to protect and rehabilitate the victims” merupakan prinsip yang dipegang dalam pemberantasan terorisme di Indonesia yang dikenal dengan “triangle paradigms approach”. Terorisme sendiri merupakan kejahatan yang dipandang sebagai kejahatan terhadap peradapan dan merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, sehingga dalam penanganannya dibutuhkan pencegahan dan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan supaya hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Defenisi terorisme sampai hari ini masih menjadi kontroversi, meskipun telah banyak ahli yang merumuskan dan juga telah didefenisikan dalam perundang-undangan, akan tetapi tidak ditemukan defenisi baku yang dipakai secara internasional. Makna “terorisme” pada pokoknya selalu dikonotasikan negatif, sama halnya dengan “genosida” atau “tirani”. Berkenaan persoalan tersebut istilah ini rentan untuk dipolitisasi dan juga membuka peluang penyalahgunaan. Menurut Budi Hardiman, menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan, kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut ialah cara-cara yang identik dengan terorisme. 1 Namun, dapat dilihat pergeseran dan perluasan makna dari terorisme itu sendiri, yang semula hanya dikategorikan sebagai crime againt state sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan yang identik dengan crime againt humanity, yang semuanya dilakukan dengan kekerasan. Dewasa ini Tindak Pidana Terorisme telah dimasukkan dalam klasifikasi extra ordinary crime. Defenisi extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang mencakup crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma). Masalah terorisme di dunia mulai mencuak sejak peristiwa Word Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Terlebih lagi pada tanggal 12 Oktober 2002 di Indonesia terjadi Tragedi Bom Bali I, yang menimbulkan korban sipil terbersar di dunia, yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Atas hal tersebut, 1 Hardiman. Budi. 2003 Terorisme, Paradigma dan Defenisi. Imparasasi, Koalisi untuk Keselamatan Masyarat Sipil. Jakarta.

1


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

pemerintah Indonesia langsung melakukan pengusutan dan memprioritaskan penegakan hukum, sehingga pada saat itu perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme sangat dibutuhkan. Menyadari hal tersebut, apabila didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dirasa belum bisa menjangkau secara komprehensif pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sehingga pada saat itu Pemerintah Indonesia menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang kemudian pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (“selanjutnya disebut dengan UU Terorisme�). Berkaitan dengan regulasi yang mengatur Tindak Pidana Terorisme di Indonesia patut diperhatikan pergeseran dan perkembangan hukum pidana dan asas hukum pidana di Indonesia dari konvensional kearah modern dan harus disadari oleh pemerintah sebagai pembuat undang-undang untuk mengantisipasi langkah yang harus diambil dalam menyikapi tindak pidana yang tidak lagi umum sifatnya. Terutama harus diperhatikan keselarasan antara hukum materil yang dalam hal ini UU Terorisme dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum formil. Keselarasan yang dimaksud ialah bagaimana Penyidikan, Penuntutan, dan Penjatuhan Pidana tetap dalam koridor norma yang terdapat dalam UU Terorisme. Terkait Penjatuhan Pidana yang menjadi perhatian dalam hal ini ialah bagaimana motif yang merupakan titik pembeda Tindak Pidana Terorisme dengan kejahatan lain dapat digunakan dalam hukum pembuktian. Urgensi mengangkat masalah pembuktian motif ini ialah untuk menentukan sebuah kejahatan yang memuat kekerasan dapat dikatakan sebagai Tindak Pidana Terorisme atau tidak. II.

PEMBAHASAN

Pelanggaran hukum merupakan bagian integral dari perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, pelanggaran hukum tidak mungkin untuk dihilangkan secara mutlak. Sehingga dalam hal yang demikian fungsi hukum diperlukan untuk mengatur tata tertib masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, ditemukan banyak perbedaan-perbedaan cara pandang tentang konsep hidup. Dari cara pandang konsep hidup tersebut juga tidak jarang menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku. Oleh karena itu, diharapkan hukum dapat mengkontrol setiap

2


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

pelanggaran baru yang muncul, sehingga perkembangan masyarakat tidak lebih cepat dari perkembangan hukum. Dalam konsep pemidanaan, sanksi pidana diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah yang didasarkan pada pembuktian melalui alat bukti yang ada. Jadi dalam hukum acara pidana, pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan, karena bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan dari pembuktian. Sehingga apabila alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan tidak pidana yang didakwakan maka terdakwa akan dibebasakan dari hukuman dan sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Terkait dengan Pembuktian, menurut Hari Sasangka sistem pembuktian merupakan pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan dan penguraian alat bukti dan cara-cara bagaimana alat bukti tersebut dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinan.2 Lebih lanjut, menurut Munir Fuady pembuktian ialah proses dalam penggunaan prosedur kewenangan hakim untuk menilai fakta atau pernyataan yang disengketakan di pengadilan untuk dapat dibuktikan kebenaranya.3 Oleh karena itu, pembuktian dapat dimaknai sebagai suatu rangkaian peraturan tata tertip yang harus dipedomani hakim dalam proses persidangan untuk menjatuhkan putusan bagi pencari keadilan. Sumbersumber hukum pembuktian ialah undang-undang, doktrin, dan yurispudensi.4 Selanjutnya, konsep dalam pembuktian dikenal dengan beberapa teori yakni; (i) teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positive wettelijk bewijstheorie), (ii) teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime), (iii) teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonne), (iv) teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). HIR, KUHAP, maupun Ned.Sv. yang lama dan yang baru semuanya menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk). Hal ini tercermin dari Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183 KUHAP pada pokoknya menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana ialah dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim.

2 Hari Sasangka, Lili Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana , Mandar Maju, Bandung 2003, halaman 11. 3 H.P.Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurispidensi Indonesia, Alumni Bandung, 2012, halaman 1. 4 Ibid, halaman 10.

3


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

Kemudian berdasarkan Pasal 184 KUHAP terdapat beberapa jenis alat bukti yakni; (i) keterangan saksi, yang merupakan alat bukti yang didapat dari apa yang didengar, lihat dan rasakan sendiri, (ii) keterangan ahli, yang merupakan keterangan seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara, (iii) surat, merupakan segala sesuatu yang dimuat dalam tulisan yang menerangkan suatu fakta hukum, (iv) petunjuk, merupakan perbuatan ataupun kejadian yang karena persesuaiannya dengan alat bukti lain menunjukkan bahwa telah terjadi tindak pidana.5 Dalam konsep pemidanaan untuk menyatakan seseorang telah terbukti melakukan tindak pidana dalam pembuktian ialah dengan cara menyesuaikan fakta-fakta hukum yang bersumber dari alat bukti dengan rumusan delik pasal. Dalam UU Terorisme kita ambil contoh rumusan delik Pasal UU Terorisme yang menyatakan bahwa, “Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.�6 Apabila pasal tersebut dianalisis rumusan deliknya, maka akan dibagi menjadi, pertama; Setiap Orang, kedua; Dengan Sengaja, ketiga; Mengunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, keempat; menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Dalam Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang diketuai oleh Prof.Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M bahwa yang membedakan Tindak Pidana Terorisme dengan kejahatan lain ialah bahwa Tindak Pidana Terorisme selalu dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti; perang suci, motif ekonomi, dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Terorisme yang menyatakan bahwa perbuatan yang suasana teror tersebut dilakukan dengan motif. 7 5 Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 6 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

4


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

Namun apabila dilihat dalam Inti Delik (delicts Bestandelen) dalam semua rumusan pasal UU Terorisme tidak ada yang memuat motif. Hal inilah yang menjadi kekwatiran, ketika seorang yang didakwakan melakukan Tindak Pidana Terorisme yang dengan nyata-nyata telah terbukti memenuhi rumusan inti delik pasal namun motifnya tidak diketahui atau tidak dibuktikan maka akan membuka kemungkinan orang yang melakukan kejahatan diluar UU Terorisme akan dipidana dengan UU Terorisme. Terkait dengan urgensi pembuktian motif sebenarnya dapat kita lihat dalam pembunuhan anak yang diatur dalam Pasal 341 KUHP yang pada pokoknya menyatakan, “Seorang ibu yang “karena takut akan diketahui ia sudah melahirkan anak”, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anaknya sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.8 Dalam rumusan pasal tersebut unsur objektifnya ialah seorang ibu merampas nyawa (membunuh) anaknya sendiri pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian karena takut diketahui bahwa dia melahirkan anak. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa motif atau alasan melakukan pembunuhan ialah “karena takut diketahui bahwa ia sudah melahirkan anak”. Sehinga konsekuensi logisnya apabila unsur tersebut tidak terbukti maka tidak dikenakan pasal 341, namun pasal pembunuhan lainnya yakni Pasal 338 KUHP atau Pasal 340 KUHP (apabila direncanakan). Namun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa pada hakikatnya semua tindak pidana memuat motif, dan apabila tidak dimuat dalam rumusan pasal secara gamblang maka motif tersebut dapat dilihat dari unsur subjektifya yakni “dengan sengaja”. Terkait dengan tidak wajibnya membuktikan motif pernah dikemukakan oleh Prof.Dr.Edward Omar Sharif Hiariej,SH.,MHum dalam keterangannya dalam persidangan atas nama Terdakwa Jessica Kumala Wongso atau yang lebih dikenal dengan kasus kopi mirna, belia menyatakan bahwa motif tidak perlu dibuktikan karena motif dalam tindak pidana itu termuat dalam corak kesengajaan.9 Tentu alasan tersebut sangat beralasan dalam konteks pembunuhan berencana(Pasal 340 KUHP). Namun apabila dilihat kembali dalam Tindak Pidana Terorisme konsepnya sangatlah berbeda dengan pembunuhan berencana, karena Tindak Pidana Terorisme tidak bisa dilepaskan dari motif dan logika sederhananya apabila motif dalam Tindak Pidana Terorisme tidak

7 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang 8 Pasal 341 KUHP 9 Putusan Nomor: 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST.

5


Jurnal Hukum, Law Development ALSA LC UNPAD 2019-Edisi Agustus 2019

dibuktikan atau tidak terbukti bisa jadi perbuatan tersebut bukanlah Tindak Pidana Terorisme. III.

KESIMPULAN

Seiring perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri bahwa banyak muncul kejahatan-kejahatan yang memiliki karasteristik baru, sehingga dalam penagananya juga dibutuhkan supremasi hukum yang baru. Sehingga, peraturan baru tersebut dapat menjawab dan mengurangi kekwatiran masyarakat terhadap bentuk-bentuk kejahatan baru. Dalam konteks Tindak Pidana Terorisme, yang mana setiap rumusan pasalnya tidak dimuat unsur motif, maka Penuntut Umum tidak dibebankan kewajiban untuk membuktikan motif. Sehingga diharapkan motif seharusnya dapat dibuktikan oleh hakim. Sama halnya dengan pembuktian unsur melawan hukum yang tidak dimuat dalam rumusan pasal. Sehingga dengan dibuktikannya motif dalam setiap perkara Tindak Pidana Terorisme akan menjamin kepasatian hukum dan keadilan.

6


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.