April 2019: Legal Review by Law Development Subdivision

Page 1


Pengaruh Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Terhadap Jalannya Pemilu Serentak 2019 Disusun oleh: Sukma Fadilla Sub Divisi: Law Development ALSA LC Unpad 2019

Indonesia sebagai negara berprinsipkan demokrasi, menjalankan sistem permerintahan yang menjamin, melindungi, melaksanakan hak asasi manusia dan mengakui bahwa rakyat memiliki kedaulatan tertinggi dalam jalannya pemerintahan di suatu negara. Melalui sistem perwakilan atau representative democracy, rakyat diminta untuk memilih wakil rakyat secara langsung (direct democracy) melalui Pemilihan Umum (pemilu), sebagai ciri dari sistem demokrasi modern. Pemilu merupakan proses peralihan kepercayaan atau proses perebutan kekuasaan secara konstitusional. Sebagai tonggak dari sebuah negara demokrasi, pemilu selalu berkaitan dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Syarat sebuah Pemilu termasuk sebagai sarana demokrasi adalah kebebasan yaitu dalam hal kebebasan dari rasa takut, kebebasan dari intimidasi dan kebebasan mengemukakan suara, persamaan dan tersedianya alternatif pilihan dikarenakan semakin banyak pilihan akan menguntungkan rakyat. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 415­416, pemilu secara berkala memiliki alasan penting karena aspirasi rakyat yang terus berkembang atau bersifat dinamis terhadap kebijakan negara, kondisi kehidupan masyarakat dapat berubah, adanya new voters yang memiliki aspirasi baru dan menjamin pergantian kepemimpinan negara dengan siklus kekuasaan yang bersifat teratur. Pemilu di Indonesia bergerak ke arah yang lebih demokratis dengan penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga yang independen dengan pengawasan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan dilengkapi dengan lembaga penyelesaian sengketa yaitu DKPP, Bawaslu, Gakkumdu, Peradilan Pidana, Peradilan Tata Usaha Negara

1


dan Mahkamah Konstitusi. Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara Pemilu menangani jenis ­ jenis pelanggaran Pemilu baik Tindak Pidana Pemilu seperti politik uang, pemalsuan dokumen, kampanye diluar jadwal. Pelanggaran Administratif Pemilu seperti pelanggaran prosedur dan tatacara dan Pelanggaran Kode Etik. Sengketa Pemilu muncul jika adanya Surat Keputusan KPU atau Berita Acara KPU yang dijadikan sebagai objek sengketa yang selanjutnya hasil putusan tersebut bersifat final dan mengikat. Indonesia melaksanakan pemilu serentak berdasarkan Pasal 347 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, diamanatkan bahwa Pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak. Pemilu terpisah dianggap tidak efisien dan melanggar atau mengganggu pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin sesuai dengan Pasal 28 Undang – Undang Dasar 1945. Usulan diadakannya pemilu serentak juga memperjuangkan hak warga negara untuk memilih secara cerdas (konsep political efficacy dan konsep presidential coat­tail) pada pemilu serentak dengan dapat membuat check and balances menurut keyakinan sendiri. Pemilihan Umum 2019 diatur dalam Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017. Penetapan Pemilu serentak merupakan kebijakan yang bersifat monumental dengan menjamin adanya efisiensi terhadap penggunaan waktu, energi dan biaya warga negara untuk pemilihan umum. Selain itu juga banyak pertimbangan lain untuk melaksanakan pemilihan umum secara serentak yaitu efisiensi biaya pemilihan umum, penghematan dan pencegahan korupsi politik dan politik uang. Pemilu diatur dalam konstitusi pada Pasal 22E Undang ­ Undang Dasar 1945. Pada Ayat (1) dan (2) berbunyi: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali

2


(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pelaksanaan pemilu serentak yang telah dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 menimbulkan banyak permasalahan yang mucul baik dari segi dasar hukum, persiapan, proses pelaksanaan hingga rekapitulasi suara. Indonesia mencatat sejarah dengan melaksanakan Pemilihan Umum serentak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU­XI/2013, putusan ini merupakan Putusan Mahkamah Konsitusi kedua mengenai Pemilu serentak. Sebelumnya terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51­52­59/PUU­VI/2008 sebagai putusan Pemilu serentak pertama. Putusan ini di tolak dengan pertimbahan hakim mengenai pelaksanaa Pemilu presiden setelah Pemilu legislatif sudah menjadi sebuah konvensi ketatanegaraan dan MPR yang melantik presiden baru adalah MPR hasil Pemilu terbaru. Terdapat dissenting opinion mengenai putusan tersebut dengan memperhatikan bahwa Pemilu presiden setelah Pemilu legislatif belum bisa dinyatakan sebagai sebuah konvensi dikarenakan baru dilakukan sebanyak dua kali, penafsiran sistematis dari Pasal 6A Ayat 2 dan Pasal 22E Ayat 2 Undang – Undang Dasar 1945 dan menyatakan bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan original intent. Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU­XI/2013 yang dikabulkan mengenai pemilihan umum serentak. Menurut Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D dalam Seminar “Pemilu 2019: Kompleksitas pelaksanaan dan upaya penanganan” di Universitas Padjadjaran (26/4/2019), Legal standing pemohon sebagai pembayar pajak dipertanyakan dan dianggap tidak cukup untuk membuktikan kerugian konstitusional. Mahkamah Konstitiusi dianggap terlalu loose dalam menentukan legal standing, harus ada resistensi. Sebaiknya legal standing sebagai pembayar pajak tidak boleh dipergunakan didalam semua jenis perkara, melainkan dalam hanya dalam perkara terkait dengan

3


perpajakan. Putusan kedua Mahkamah Konstitusi terkesan hanya untuk mematahkan Putusan Mahkamah Konstitusi pertama.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51­52­59/PUU­VI/2008 tidak menerima berlakunya konvensi ketatanegaraan dengan alasan baru dilaksanakan sebanyak dua kali, meskipun begitu statement tersebut menandakan bahwa Mahkamah Konstitusi mengakui adanya konvensi ketatanegaraan. Tetapi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU­XI/2013, Hakim memiliki pertimbangan bahwa konvensi ketatanegaraan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti konstitusi. Hal ini menimbulkan tanggapan bahwa konvensi ketatanegaraan meskipun non­legal tetapi dikatakan sebagai constitusional morality and ethic yang merupakan aspek penting di dalam jalannya hukum yang baik. Konvensi ketatanegaraan juga dapat timbul dari adanya pola berulang dan terdapat express agreement dengan arti bahwa jika telah disepakati maka sebuah kebiasaan ketatanegaraan sebagai konvensi dapat di akui meskipun tidak berulang lebih dari dua kali. Tak lupa juga bahwa konvensi ketatanegaraan merupakan bagian dari konstitusi dalam arti luas. Presidential threshold yang di atur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20% kursi di DPR atau 25% suara sah di level nasional terkesan membatasi masyarakat untuk masuk dalam kompetisi Pilpres dan dianggap merugikan rakyat dengan membatasi paslon yang bisa di usung dan ketersediaan akses baik informasi, data maupun akses lain. Syarat kemenangan presiden juga menjadi isu hukum dalam pemilu serentak 2019, syarat kemenangan secara konstitusional yaitu lebih dari 50% dan setidak­ tidaknya 20% dari setengah jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, jika di ikuti oleh dua pasangan calon, maka diambil suara terbanyak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi pertimbangan

4


apakah putusan tersebut melakukan penafsiran atau bisa jadi menghasilkan norma konstitusi baru. Pelaksanaan pemilihan umum serentak pertama di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai aspek. Menurut data Bawaslu hingga tanggal 25 April 2019, mencatat bahwa terdapat 6927 temuan dan laporan terkait pelanggaran pada Pemilu serentak 2019. Tercatat pula 343 pelanggaran pidana, 88 pelanggaran yang masih dalam proses, 5167 pelanggaran administrasi, 121 pelanggaran kode etik, 696 pelanggaran hukum lainnya, 729 kategori bukan pelanggaran. Bawaslu juga mencatat hingga tanggal 22 April 2019, sebanyak 160 orang pengawas Pemilu menjalani rawat inap, 117 pengawas Pemilu mengalami kecelakaan, 273 orang pengawas Pemilu menjalani rawat jalan dan 33 orang pengawas Pemilu menginggal dunia usai melakukan tugas pengawasan pada Pemilihan Umum 2019. Masalah yang timbul mayoritas dikarenakan kelelahan mengawal dan menjaga keberlangsungan pemilihan umum. Selain itu juga terdapat permasalahan seperti peningkatan daftar pemilih khusus yang datang ke TPS pada hari pemungutan suara tetapi tidak terdaftar di DPT dan tidak memiliki suket. KPU mencatat terdapat 7 juta warga negara Indonesia yang belum memiliki e­ktp, yang seharusnya perekaman e­ktp sudah selesai sebelum penetapan DPT. Pengamat politik dari LSI Denny JA, Aji Al Farabi, menilai bahwa Pemilu 2019 seperti dipaksanakan dan menghasilkan ketidakseimbangan antara kualitas pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg). Menurutnya, hampir 70% percakapan publik membahas mengenai pilpres dan terdapat ketimpangan partisipasi masyarakat di pilpres dengan pileg.

5


Hasil riset juga menujukan, hanya 25,8% pemilih yang mengenal calon legislatif yang bertarung di pemilihan legislatif tahun ini. Sedangkan 70,6% responden mengaku tidak mengenal calon legislatif yang akan dipilih. Dari hasil riset tersebut menunjukan antusiasme masyarakat pada Pemilihan Umum Serentak tahun 2019 lebih condong kepada pemilihan presiden dibandingkan dengan pemilihan legislatif, padahal memilih eksekutif memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan memilih legislatif atau parlemen. Terlalu banyaknya jumlah calon legislatif dan ditambah dengan bersamaannya dengan pelaksanaan pemilihan presiden membuat masyarakat menjadi bingung dan tidak mengenal calon wakil rakyat yang akan menyuarakan hak hak rakyat dipemerintahan kelak. Dapat disimpulkan bahwa efektifitas dan efisiensi yang di cita – citakan dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden dan legislatif secara serentak tidak sebanding dengan segala permasalahan yang timbul bahkan hingga merenggang nyawa masyarakat yang membantu untuk menyukseskan pesta demokrasi pada tahun 2019. Seharusnya pemerintah dalam membuat sebuah regulasi perlu direncanakan secara matang – matang hingga ke aspek kecil seperti pendistribusian yang terhalang cuaca maupun akses jalan hingga kesehatan dari para pengawas Pemilu. Kurangnya pertimbangan konsekuensi dalam pemilihan umum serentak yang dapat mengakibatkan lebih banyak jumlah barang yang harus di distribusikan, jumlah surat suara yang harus di hitung dan hambatan hambatan lain yang bisa menghambat atau menggangu keberlangsungan Pemilu. Semakin banyaknya Pemilu dilaksanakan secara bersama – bersama, maka akan semakin banyak pula permasalahan yang akan timbul. Warga negara juga diharapkan untuk pro­aktif dalam pengurusan hal – hal administratif sebagai syarat pemilih dalam Pemilu kedepannya, sehingga tidak menghalangi hak konstitusional warga negara sebagai pemilih demi memperjuangkan hak suaranya. Dikarenakan, sebagaimanapun sosialisasi dari pemerintah mengenai persyaratan untuk terdaftar sebagai pemilih, jika tidak ada kemauan untuk

6


berkontribusi kepada pemilihan umum maka pemerintah tidak bisa disalahkan jika masyarakat tidak dapat memilih pada hari pemungutan suara. Menurut Hakim Konstitusi, Dr. Hamdan Zoelva, S.H. , M.H. pada seminar nasional “Menuju Pemilu Kepala Daerah yang Bersih dan Demokratis.” Di Universitas Muria Kudus (16/7/2011), Pemerintah yang berkualitas adalah cerminan dari Pemilu yang berkualitas. Demikian sebaliknya, apabila pemerintah dinilai tidak dapat menyejahterakan rakyat, maka hal tersebut adalah muara dari proses pemilihan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Pemilihan umum serentak 2019 perlu diadakan evaluasi luar dalam dari dasar dasar hukum hingga seluruh proses berlangsungnya rangkaian proses pemilihan umum serentak presiden dan legislatif 2019. Jika pemilihan umum kedepan akan tetap dilaksanakan serentak, maka perlu adanya perubahan secara signifikan sehingga kejadian traumatis ini tidak terulang kembali. Lalu jika hasil dari evaluasi menunjukan bahwa Indonesia tidak siap untuk melanjutkan Pemilu secara serentak, maka dirasa Pemilu terpisah akan kembali menjadi pertimbangan pelaksanaan Pemilu kedepannya. Referensi 1. Asshidiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006. 2.

Bayu Septianto, 2019, KPU Catat ada 54 Petugas KPPS Meninggal & 32 Sakit Saat Pemilu 2019, Tirto.id, https://tirto.id/kpu­catat­ada­54­petugas­kpps­ meninggal­32­sakit­saat­pemilu­2019­dmQK?

3.

utm_source=Tirtoid&utm_medium=Terkait Fitria Chusna Farisa, 2019, Bawaslu: 33 Pengawas Pemilu Meninggal, Kompas.com, https://nasional.kompas.com/read/2019/04/23/15594611/bawaslu­33­ pengawas­pemilu­meninggal

7


4.

Selfie Miftahul Jannah, 2019, Banyak Logistik Terlambat, Pemilu Serentak Perlu Dievaluasi, Tirto.id, https://tirto.id/banyak­logistik­terlambat­pemilu­ serentak­perlu­dievaluasi­dmPE?utm_source=Tirtoid&utm_medium=Terkait

5.

Haris Prabowo, 2019, MPR Setuju Pemisahan Pilpres & Pileg Sebagai Bahan Evaluasi Pemilu, Tirto.id, https://tirto.id/mpr­setuju­pemisahan­pilpres­pileg­ sebagai­bahan­evaluasi­pemilu­dmHx? utm_source=Tirtoid&utm_medium=Terkait

8


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.