Surat Kabar Mahasiswa
AMANAT
Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa
Menuju Kampus Borju
LAPORAN P ENDUKUNG:
UIN Tanpa I Edisi 126/September 2016 ISSN: 0853-497X
TERAS
SURAT KABAR MAHASISWA
AMANAT
Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa
Penerbit:
Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Semarang Izin Terbit: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X
SALAM
REDAKSI
Libur Telah Usai
T
erlalu lama meliburkan otak cendrung membuat manusia bersantai dalam atmosfer kemalasan. Hal inilah yang berusaha kami hindari selama libur panjang. Meski kini suasana perkuliahan telah berubah. Kampus hijau yang sepi disaat liburan mulai berganti dengan suasana ramai. Wajah-wajah baru pun bermunculan menghiasi setiap sudut kampus. Kurang lebih 3,8 ribu Mahasiswa Baru (Maba) kini menjadi keluarga besar UIN Walisongo Semarang. Bagi Maba, perubahan itu niscaya. Ketika kita tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, ada dua hal yang mungkin terjadi. Tereliminasi atau hilang sama sekali. Pun begitu, bukan berarti keadaan lingkungan dapat dikambinghitamkan. Meski berpengaruh erat dalam perkembangan individu. Keadaan lingkungan tak semestinya dibiarkan mengganggu proses perkembangan. Selayaknya besi yang terus ditempa, jadikan hal itu sebagai pengalaman dalam hidup untuk menjadi lebih kuat. Belum lama ini, mafhum kabar bahwa penetapan golongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) banyak menuai protes dari
2
September 2016
AMANAT Edisi 126
mahasiswa. Meski cukup pahit, namun inilah “pil� yang harus ditelan oleh Maba. Pada edisi kali ini, AMANAT menyajikan liputan mengenai penetapan golongan UKT. Sistem pembiayaan yang bermaksud untuk pemerataan pendidikan, namun tak berjalan sesuai harapan. Ihwal ini disebabkan pembagian golongan yang sudah ditetapkan berdasarkan jalur penerimaan Maba. Jadi, niat pemerataan pendidikan bagi si miskin terancam gagal lantaran tak berdasarkan pada tingkat ekonomi. Bagi ekonomi bawah yang masuk melalu jalur mandiri, tetap saja ia akan mensubsidi kawannya yang masuk lewat jalur lain. Selain itu, ada beberapa laporan lain yang tak kalah pentingnya untuk dibaca. Diantaranya dalam Laporan Pendukung, redaksi mencoba menelisik tentang Peraturan Mentri Agama (PMA) No. 33 Tahun 2016 di UIN Walisongo Semarang. Tak cukup di situ, masih banyak sajian yang bisa pembaca nikmati sembari mengenali kampus hijau kita ini. Selamat membaca...!n Redaksi.
Sentilan Bang Aman Biaya UKT UIN Walisongo mahal. Yang miskin silakan minggir.. Mahasiswa kurang mampu dapat UKT Mahal. Maaf, anda belum beruntung. Coba lagi tahun ajaran depan! Orang kaya dapat UKT murah. Wah, jangan-jangan foto reot rumah tetangga yang di-upload. Selamat datang mahasiswa Fakultas Baru UIN Walisongo. Maaf, gedungnya nyusul, sabar ya.. Mahasiswa baru susah cari tempat kos Usul, BLU UIN bikin saja usaha koskosan..
PELINDUNG Rektor UIN Walisongo Semarang PENANGGUNG JAWAB Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PEMBINA Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan PEMIMPIN UMUM Abdul Ghofur SEKRETARIS UMUM Robbiatul Addawiyah BENDAHARA Anissa Gina Nazda Chalia Mufida PEMIMPIN REDAKSI Fareh Hariyanto PEMIMPIN REDAKSI ONLINE Muhammad Hasan SEKRETARIS REDAKSI Sulistyowati REDAKTUR PELAKSANA Arifatun Khorida DESK BERITA Emala Sholikhah DESK ARTIKEL Iva Nurlaili DESK SASTRA BUDAYA Fajar B. A. LAYOUTER Muhammad Syafiun Najib ILLUSTRATOR Ahmad Shodiq KOORDINATOR REPORTER Sigit A.F. REPORTER Ida Fauziatul, Kristin Lutfiana, Umi Nur M, Rustiana, Millati Aska, Siti Latifah R., PUSAT DOKUMENTASI Uswatun Hasanah ADVERTISING DAN SIRKULASI Diyah Nur Inayah HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Muhammad Ulul Albab, Fattahul Alim STAF AHLI Joko Tri Haryanto, Amin Fauzi, Musyafak, Khoirul Muzaki
Surat Kabar Mahasiswa
AMANAT
Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa
Menuju Kampus Borju
Huruf I pada gelar kesarjanaan UIN dihilangkan. Waduh, padahal itu bekal saya jadi ustadz pak Mahasiswi UIN semakin modis Siap pasang mata, jilboob merajalela UIN minim fasilitas toilet Tenang, masih banyak pohon di kampus bro! Bang Aman yang kadang pakewuh
LAPORAN P ENDUKUNG:
UIN Tanpa I Edisi 126/September 2016 ISSN: 0853-497X
Ilustrasi: Ahmad Shodiq
L APORAN U TAMA
Subsidi Silang Berujung Timpang Penetapan golongan UKT dipersoalkan. Sebagian mahasiswa mempertanyakan implementasi kebijakan UKT yang kurang tepat sasaran. Amanat. Foto Shodiq
N
ia Sulthoniyah sempat gembira lantaran diterima di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) Fakultas Tarbiyah melalui jalur Ujian Masuk–Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UMPTKIN). Namun, perasaan Nia berbalik 180 derajat saat mengetahui besaran UKT yang harus ia bayarkan, sebesar Rp 3.074.000.- Awalnya, berdasarkan informasi yang ia dapat sebelumnya, biaya kuliah di UIN Walisongo murah. Bagi Nia, biaya sebesar itu memberatkan lantaran orang tuanya hanya
Pembukaan Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) 2016 UIN Walisongo Semarang
melalui jalur UM-PTKIN jurusan PBA mendapatkan jatah UKT tinggi. “Dari jalur ini, mahasiswa PBA mayoritas UKT Golongan lima,” Ujarnya. Imam Sajidin, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Ilmu Falak UIN Walisongo juga mengalami nasib yang sama. Setelah diterima di UIN melalui jalur penerimaan Mandiri, Sajidin terperangah saat mengetahui besaran UKT yang harus dibayarkannya sebesar Rp 2.433.000,Bagaimana tidak, ia mengaku dibesarkan dari keluarga petani den-
Sebaran golongan UKT yang diolah AMANAT berdasarkan pengumuman jalur penerimaan Mahasiswa Baru 2016
hasiswa baru. Anehnya, sebaran besaran UKT yang didapat oleh mahasiswa jalur mandiri tidak dipublikasikan sebagaimana jalur seleksi lain. Mahasiswa yang diterima pada jalur tersebut hanya dapat mengetahui besaran UKT-nya dengan cara masuk atau login pada sistem UIN Walisongo sesuai saat ia mendaftar. Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan Imam Taufik mengakui, rata-rata mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri mendapat jatah UKT pada golongan 3, 4 dan 5. Imam berdalih, alokasi untuk golongan 1 dan 2 tidak ada pada penerimaan jalur mandiri, sebab kuotanya sudah habis pada penerimaan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM-PTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Seleksi Prestasi Akademik Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SPAN-PTKIN) dan UM-PTKIN.
bekerja sebagai petani. Meski prestasi akademiknya di Madrasah Aliah (MA) bagus, ia bukanlah golongan orang kaya. Nia mengungkapkan, saat melengkapi berkas pendaftaran, ia telah mengisi data diri sesuai ketentuan. Ia mengunggah foto rumah, slip gaji orang tua dengan keterangan dari Kepala Desa, jumlah tagihan listrik serta jumlah tanggungan keluarga. Mulanya ia optimis, melalui data mengenai kondisi ekonomi keluarganya itu, ia akan mendapatkan keringanan biaya kuliah. “Tapi ternyata tidak ada pengaruhnya,” katanya. Nia mengaku tak sendirian, menurut dia, banyak kawannya yang diterima di jurusan PBA juga bernasib sama. Mereka mendapat besaran UKT yang tak sebanding dengan kemampuan ekonomi keluarga. Berdasarkan data yang dihimpun Amanat, dari 68 mahasiswa yang diterima pada Jurusan PBA jalur UM-PTKIN, 58 diantaranya mendapat besaran UKT golongan 5, atau sebesar Rp 3.074.000. Sisanya, 10 mahasiswa memperoleh besaran UKT golongan 3, atau Rp 1.734.000 Nia pun mempertanyakan mekanisme penetapan UKT oleh birokrasi kampus yang dinilainya kurang tepat sasaran. Dia pun heran, kenapa kebanyakan mahasiswa yang masuk
Sistem Verifikasi Lemah Imam Taufik menjelaskan, proses penentuan golongan UKT mengacu pada data isian calon mahasiswa setelah diverifikasi. Calon mahasiswa sebelumnya diwajibkan mengunggah data diri, di antaranya berupa foto kondisi rumah, slip gaji orang tua, rekening listrik rumah dan jumlah tanggungan keluarga. Tahap selanjutnya, calon mahasiswa membawa data asli diri untuk menjalani proses verifikasi. Dari data isian yang telah terverifikasi itulah diketahui peringkat ekonomi mahasiswa. “Hasil itu menjadi acuan penentuan kelompok UKT,” katanya. Senada dengan Imam, Kepala Pusat Teknologi Informasi Pangkalan Data (P TIPD) Wenty Dwi Yuniarti mengatakan, penetapan besaran UKT Maba ditentukan berdasarkan data yang diunggah mahasiswa sendiri. Untuk verifikasi data, pihak PTIPD bekerjasama dengan pihak verifikator yang dibentuk oleh panitia penerimaan mahasiswa baru 2016. “Panitia ini bertugas mencocokan antara data yang diunggah dengan data asli yang dibawanya,” katanya Wenty menambahakan, data yang diunggah Maba harus merupakan data yang asli. Pihaknya tidak menerima bentuk fotokopi, semisal surat ketera-
gan penghasilan rata-rata hanya Rp 700.000.-perbulan. Tentu saja Sajidin keberatan, apalagi orang tuanya masih punya tanggungan biaya pendidikan adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sajidin mengaku memberanikan mendaftarkan diri ke UIN lantaran ia berpikir kampus tersebut “ramah” terhadap mahasiswa dari golongan menengah ke bawah. “Padahal tahun kemarin biayanya tak sebesar ini,” katanya. Menurut Sajidin, meningkatnya biaya perkuliahan di UIN adalah kado buruk bagi masyarakat dari golongan ekonomi lemah yang ingin melanjutkan kuliah di peguruan tinggi agama itu. Sebab selama ini, kata dia, UIN menjadi rujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin menempuh pendidikan tinggi. Di sisi lain, Sajidin merasa dibodohi lantaran tak tahu untuk apa perincian biaya UKT yang dibebankan padanya itu. “Inilah yang menambah kebingungan orang tua karena besarnya uang yang harus dibayar,” katanya. Seleksi penerimaan Mahasiswa Baru (Maba) 2016 menuai kontroversi lantaran jatah golongan UKT sudah ditetapkan berdasarkan jalur penerimaan ma-
ngan penghasilan orang tua maka stempelnya pun harus asli. Namun sebelum itu, mahasiswa harus mengisi formulir pernyataan bahwa data dibuat dengan sebenar-benarnya. “Ketika verifikasi belum ditemukan data Maba yang tak valid,” katanya. Ketua Penerimaan Mahasiswa Baru (Maba) 2016 Priyono mengatakan, UKT merupakan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 289 tentang Uang Kuliah Tunggal. Sebelum keputusan itu dibuat, setiap jurusan diberi kewenangan untuk menetapkan besaran UKT berdasarkan kalkulasi biaya yang dibutuhkan selama kurun waktu delapan semester. Menurut Pri, setiap jurusan memiliki kebutuhan berbeda-beda untuk pengembangan jurusannya. “Untuk Jurusan Tadris Biologi, misalnya, dana yang dibutuhkan untuk satu semester adalah 200 juta, maka dana itu akan dibagi, alokasi dana untuk kebutuhan bahan, alat, pratikum dan lain sebagainya. Jadi besaran UKT di setiap jurusan pasti berbeda-beda,” katanya UKT untuk Subsidi Silang Meski menuai kontroversi, UKT digadang sebagai solusi pemerataan pendidikan melalui sistem subsidi silang antar golongan. Imam Taufik menjelaskan, relasi antar golongan UKT itu diibaratkan layaknya sebuah kurva. Pada kurva tersebut, golongan 1 disubsidi golongan 5, sementara golongan 2 disubsidi golongan 4 dengan prosentase seimbang. Sedangkan sisanya, atau mayoritas berada di golongan 3. “Di golongan 3 inilah titik terbanyak golongan mahasiswa,” katanya. Imam menjelaskan, pada dasarnya, uang yang dibayarkan mahasiswa melalui UKT bakal kembali ke mahasiswa lagi untuk pembiayaan pendidikan mereka di kampus, di antaranya untuk biaya Kuliah Kerja Lapangan (KKL), Praktek Pengalaman Lapangan (PPL), Kuliah Kerja Nyata (KKN), pratikum dan wisuda. Imam memastikan, setelah membayar UKT, mahasiswa tidak akan dibebani pungutan-pungutan lain.n Fareh Hariyanto
AMANAT Edisi 126
September 2016
3
UANG
AMANAT D OELOE
KULIAH MAHAL S oal kenaikan biaya kuliah kembali menghangat, terutama setelah terbitnya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 289 Tahun 2016 tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebenarnya, aturan terkait UKT sudah ditetapkan sejak tahun akademik 2013-2014 semester ke dua di UIN Walisongo Semarang. Sistem itu merubah pembayaran kuliah menjadi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). BKT adalah keseluruhan biaya operasional tiap mahasiswa program diploma dan program sarjana tiap semester pada program studi tertentu. Sedangkan UKT ialah sebagian biaya kuliah tunggal yang di tanggung setiap mahasiswa pada program studi / jurusan tertentu. Beberapa kali Amanat menulis tentang kenaikan biaya kuliah, termasuk pada rubrik Sketsa Kampus Edisi 73 Juli 1998 dengan judul “Dan SPP pun Tak Terbayar”. Cerita berawal saat terjadinya krisis moneter ’98. Badai krisis yang terus menerpa negeri Indonesia kala itu, telah memporak-porandakan semua sektor kehidupan. Sampai dunia perguruan tinggi pun terkena dampaknya termasuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) (Sekarang UIN). Dampak itu dirasakan mahasiswa ketika tiba
waktunya untuk registrasi membayar Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP). Dalam catatan Kepala Sub Bagian (Kasubag) Registrasi, pada semester genap sejumlah 413 mahasiswa dari seluruh mahasiswa yang ada belum mendaftar her registrasi. Dengan rasionalisasi mahasiswa semester gasal dikurangi mahasiswa semester genap. Pada semester gasal, tercatat jumlah mahasiswa sebanyak 3866, sedangkan yang tercatat sebagai mahasiswa pada semester genap hanya 3453 orang. Dari hasil pengurangan tersebut terdapat 413 mahasiswa yang belum yang belum mendaftar. Jumlah itu dari empat fakultas, masing-masing Fakultas Syari’ah 133 orang, Fakultas Tarbiyah 121 orang dan Fakultas Ushuluddin 79 orang. Kasubag Registrasi, M. Fathurrahman mengatakan, mereka yang kesulitan tidak hanya mahasiswa aktif, tetapi sebagian juga yang telah merampungkan skripsinya dan wisuda bulan april. Karena untuk semester genap ini mereka masih harus registrasi, atau mengajukan permohonan cuti. “Kalau tidak, dengan sendirinya drop-out dan kalaupun ada yang di tolerir boleh tidak registrasi karena hanya menunggu wisuda saja, itupun jumlahnya tak sebanyak itu,” tuturnya. Tapi, sampai sekarang tampaknya mahasiswa yang mengajukan cuti jumlahnya sangat kecil. Upaya mahasiswa untuk menghindari Drop-out kurang antusias. Misalnya, dari 133 mahasiswa yang belum registrasi, tercatat hanya 8 mahasiswa yang mengajukan cuti. “Yang jelas masih sangat sedikit sekali, dan ini juga terjadi di semua fakultas,” tambahnya. Ketika dikonfirmasi,
Kepala Bagian Keuangan, Asro’i, membenarkan hal tersebut. Terkait status mahasiswa yang tidak her registrasi menurutnya, sesuai ketentuan yang ada, jika ia tidak mengajukan permohonan cuti maka dengan sendirinya dinyatakan drop-out. Meskipun sudah ada ketentuan yang ada, menurut Asro’i masih ada kebijakan Institut berupa perpanjangan masa pembayaran hingga satu bulan, tapi kesempatan itu tidak dimanfaatkan oleh mahasiswa. “Jadi, tidak ada lagi toleransi yang tertulis, yang ada hanya pertimbangan kemanusiaan k a r e n a Institut juga mengalami hal yang samaya,” Katanya. Sementara itu, untuk menangani masalah tersebut, Rektor IAIN Walisongo Dr Zamachsjari Dhoefir MA, menjelaskan bahwa pada tanggal 25 April 1998 bertempat di ruang sidang rektor Universitas Diponegoro (Undip) Tembalang, pihaknya telah menandatangani naskah kerja sama (MoU) dengan pengusaha di Semarang untuk membantu mahasiswa yang kesulitan membayar registrasi dan biaya penulisan skripsi. Pengusaha yang dimaksud adalah Ign Djajus Adi Saputra dan Presdir PT Sido Muncul, Irwan Hidayat. Naskah kerja sama juga ditandatangani Rektor Undip, Prof Dr Muladi SH dan Rektor Universitas Katolik (Unika) Dr Al Purwa Hadiwafdoyo MSF. Bantuan tahap I sebesar Rp
Cerita berawal saat terjadinya krisis moneter ’98. Badai krisis yang terus menerpa negeri Indonesia kala itu, telah memporak-porandakan semua sektor kehidupan. Sampai dunia perguruan tinggi pun terkena dampaknya.
Tabloid AMANAT Edisi 73 Juli 1998
4
September 2016
AMANAT Edisi 126
40 juta, jadi masing-masing pengusaha membantu sebesar Rp 20 juta dan rencananya akan disusul dengan tahap berikutnya. Ditanya mengenai teknis operasional dari penyaluran dana bantuan itu, Pembantu Rektor III, Drs Syafi’i AMS menjelaskan, bahwa bantuan yang akan diberikan pada semester gasal mendatang dibagikan dalam bentuk foucher, jadi mahasiswa tidak menerima dalam bentuk uang secara langsung. “Hal ini demi efisiensi,” katanya. Prioritas utama bantuan, kata Syafi’i, adalah m a h a siswa angkatan tua, hampir selesai benarbenar tidak mampu dan tidak sedang mendapat beasiswa. Mengenai siapa saja mahasiswa yang akan mendapat bantuan dana tersebut, pihak rektorat bersama-sama dengan fakultas telah mendata mereka (mahasiswa) yang benar-benar membutuhkan. “Setelah nama-nama itu masuk, nanti kita ajukan ke pihak donatur,” demikian papar Syafi’i. Adapun kuota untuk masing-masing fakultas yang sudah didata, tercatat mahasiswa Fakultas Dakwah sebanyak 38 orang, Fakultas Syari’ah 42 orang, Fakultas Tarbiyah 43 orang dan Fakultas Ushuluddin 37 orang. Ditambah mereka yang kesulitan dana penyelesaian skripsi. Melihat rincian kuota diatas, maka hanya 160 mahasiswa yang akan mendapat bantuan, sementara mahasiswa yang tidak registrasi mencapai empat ratus lebih. Bagaimana dengan nasib yang lainnya? “Kami masih mengusahakan MoU yang sama dengan Kodam Diponegoro untuk membantu yang lainnya,” masih menurut Syafi’i. Mudah-mudahan IAIN segera mendapatkan donatur yang lain, karena mahasiswa yang lain juga berhak untuk kuliah. Bagaimana mau cerdas kalau kuliah saja tidak bisa bayar.n Irin
OPINI
Menuju Kampus Borju Oleh: Abdul Ghofur
S
iang 28 Agustus 2016 lalu, pemandangan di kampus III UIN Walisongo Semarang nampak berbeda. Para mahasiswa baru yang belum genap hitungan jari masuk kampus tidak hanya diam terpaku mendengarkan orientasi senior-seniornya. Mereka turun di jalanjalan kampus, membentangkan posterposter protes, berteriak dan menuntut pajabat kampusnya menurunkan uang kuliah tunggal (UKT). Sebab, biaya kuliah yang harus dibayarkan mereka dianggap terlalu mahal. Ya, gerakan yang ditunjukkan mahasiswa-mahasiswa baru itu bukan isapan jempol belaka. Mereka berteriak karena ada sejumlah mahasiswa yang ekonominya menengah ke bawah, tapi mendapatkan jatah membayar UKT golongan V atau termahal. Sebaliknya, ada mahasiswa dari keluarga menengah ke atas yang mendapat jatah UKT golongan rendah. Sesuai Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 289 Tahun 2016 tentang UKT, di UIN Walisongo, ada lima golongan UKT. Golongan I sebesar Rp400.000, golongan II Rp1.000.000-Rp1.550.000, golongan III Rp1.597.000-Rp2.700.000, golongan IV Rp2.197.000- Rp3.850.000, golongan V Rp 2.797.000-Rp 4.850.000. Perbedaan nominal itu bertujuan untuk subsidi silang antara mahasiswa kaya dengan miskin. Idealnya, mahasiswa miskin mendapatkan UKT murah. Sebaliknya, mahasiswa kaya mendapat UKT mahal. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Ada mahasiswa berekonomi menengah ke bawah kecewa lantaran mendapat biaya UKT mahal. Padahal, data yang diunggah sudah sesuai kondisi ketidakkayaan ekonomi keluarganya. Parahnya, penetapan itu tidak sepenuhnya berdasarkan tingkat perekonomian keluarga. Misalnya, mahasiswa yang masuk melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), tidak ada yang masuk UKT golongan V. Mereka dimasukkan golongan menengah ke bawah a t a u golongan IV sampai I. S e mentara, mahasiswa yang masuk melalui jalur seleksi Ujian Mandiri, mayoritas masuk UKT golongan menenengah ke atas, alias harus membayar mahal. Fakta itu dibenarkan birokrasi UIN Walisongo. Alasannya, kuota untuk golongan satu dan dua sudah penuh
untuk mahasiswa jalur SNMPTN, SBMPTN, SPANPTKIN, UMPTKIN. Jadi seolah-olah mahasiswa jalur Ujian Mandiri dipaksa menempati UKT mahal apapun latar belakang ekonominya. Pertayaannya, apakah mahasiswa SNMPTN seluruhnya berekonomi menengah ke bawah, sehingga tidak m a s u k golongan termahal?. Lalu, mahasiswa jalur Ujian Mandiri berekonomi menengah ke atas, sehingga harus membayar UKT mahal?. Pertanyaan itu masih kontroversi dan pihak birokrasi UIN Walisongo belum dapat menjawab dengan tegas.
Seharusnya, apapun jalur seleksi yang ditempuh, mahasiswa miskin harus mendapatkan UKT rendah. Juga sebaliknya, mahasiswa yang kaya harus membayar UKT tinggi.
Seharusnya, apapun jalur seleksi yang ditempuh, mahasiswa miskin harus mendapatkan UKT rendah. Juga sebaliknya, mahasiswa yang kaya harus membayar UKT tinggi. Padahal, KMA nomor 289 Tahun 2016 tentang UKT, tidak menyinggung sedikit pun prestasi atau jalur seleksi sebagai pertimbangan dalam menentukan golongan UKT. Dalam regulasi itu, disebutkan UKT golongan I (termurah) harus diberikan minimal 5% dari jumlah mahasiswa yang diterima. Namun, dari sekitar 3769 mahasiswa baru UIN Walisongo 2016, yang mendapatkan UKT golongan termurah hanya 165 mahasiswa. Padahal seharusnya 5% dari 3769 adalah 190 mahasiswa mendapatkan UKT termurah. Jika demikian, kuota golongan termurah di UIN Walisongo kurang dari 5%. Angka 5% sesuai aturan KMA sebenarnya hanyalah batasan minimal, bukan maksimal. Artinya, porsinya bisa ditambah atau tidak terbatas. Dalam regulasi itu juga disebutkan, penatapan UKT itu berdasarkan kekayaan ekonomi, bukan prestasi akademik yang dibuktikan dengan jalur seleksi. Lalu, mengapa justru UIN Walisongo kuota untuk UKT golongan termurah kurang dari 5%.
UKT Bukan Beasiswa Seharusnya, birokrasi UIN Walisongo membedakan antara beasiswa dan UKT. Beasiswa dan UKT masingmasing memiliki cakupan yang berbeda. Beasiswa diperuntukkan bagi mahasiswa yang berprestasi baik miskin maupun kaya. Sementara, UKT sejak awal diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa berdasarkan tingkat ekonomi. Apapun jalur seleksinya jika miskin harus masuk golongan UKT murah. Sebaliknya, yang kaya masuk golongan UKT mahal. Jika tidak demikian, UIN Walisongo telah melanggar aturan yang ada. Melanggar KMA tentang UKT. Sebenarnya, adanya UKT difungsikan untuk menjembatani mahasiswa miskin agar sama-sama memperoleh pendidikan tinggi sebagaimana mahasiswa kaya. Tujuannya, tidak memberatkan biaya mahasiswa miskin. Sehingga akan muncul keserasian antara mahasiswa kaya dan miskin dalam mengenyam pendidikan tinggi. Tidak terjadi kesenjangan antara mereka. Menjadi ironis ketika mahasiswa miskin kebetulan membayar UKT tinggi dan tidak berprestasi, sehingga tidak mampu mengambil beasiswa. Bukannya hal ini justru akan menjadi sumber kesenjangan. Mahasiswa miskin makin tersisihkan dan jauh dari jangakauan kebijakan UKT. Mahasiswa makin terjepit dan keberatan membayar UKT. Merupakan bukti ketidakpedulian pada mahasiswa miskin. Berbenah Diri Birokasi UIN Walisongo harus berbenah diri. Kebijakan UKT harus dikembalikan marwahnya, yakni penetapan golongannya berdasarkan tingkar ekonomi. Selanjutnya, memperbaiki sistem. Karena, sistem yang berlaku selama ini hanya mengacu pada data-data yang diunggah ke website, sehingga bisa jadi data di manipulasi. Tidak cukup hanya melalui data isian yang diunggah, seperti foto slip gaji, rumah, rekening listrik. Birokrasi kampus harus melakukan survei langsung ke lapangan. Dengan demikian, varifikasi data benar-benar valid. Sehingga menolak segala kecurigaan. Selain sistem membenahi sistem, birokrasi juga tidak boleh membedabedakan jenis jalur seleksi mahasiswa baru. Prinsipnya apapun jalur seleksi yang mereka lalui, semuanya mahasiswa UIN Walisongo. Seharusnya mereka mendapat perlakuan yang sama juga. Terutama terkait pembayaran UKT. Jika tidak segera dibenahi, UKT selamanya akan kabur tidak jelas. Tidak sesuai harapan untuk menuntaskan kesenjangan antara miskin dan kaya. Justru yang terjadi akan menambah kesenjangan yang berkelanjutan.n
AMANAT Edisi 126
September 2016
5
MEREKA BICARA Mereka Bicara Uang Kuliah Tunggal (UKT)
Prof. Dr. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag.
G
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
uru Besar UIN Walisongo Mujibbatun mengakui biaya kuliah di UIN saat ini paling mahal selama ia mengajar di UIN Walisongo. Namun, ia berpandangan, meskipun mahal, biaya kuliah di UIN Walisongo masih rendah jika di banding dengan UIN lainnya. Menurutnya, jika dulu mayoritas mahasiswa UIN adalah kalangan ekonomi bawah, tapi untuk sekarang, lebih variatif dari semua kalangan. “Banyak juga dari keluarga mampu yang masuk disini,” katanya. Lebih lanjut, ia menyarankan, agar mahasiswa jangan kontra produktif terhadap kebijakan UKT. Mahasiswa harus memahami bahwa ini masa transisi dari IAIN ke UIN. Mahasiswa, kata dia, harus menggunakan hati dan fikiran, keduanya harus diolah agar lebih matang dan berkualitas. “Jangan hanya sekedar kalau gak demo gak gagah,” ujarnya. Dari segi pemerataan pendidikan, kata Mujibbatun, memang lebih tepat jika menggunakan pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Namun, selagi pemerintah belum mampu memberi fasilitas terhadap rakyatnya, kebijakan subsidi silang mungkin lebih tepat.
Rizki Prasetya
K
etua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Walisongo mengatakann prinsip awal UKT adalah subsidi silang untuk yang kurang mampu. Harapannya, supaya mahasiswa yang kurang mampu dapat ikut merasakan kuliah. Namun, dalam realisasinya justru menimbulkan berbagai permasalahan yang perlu disikapi tegas, terutama oleh pimpinan kampus sebagai penanggung jawab utama. Pendapatnya terkait dana UKT tinggi, lebih menyoroti penerapan Beban Kuliah Tunggal (BKT) sebagai komponen dalam menentukan (UKT). Dalam menentukan BKT, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, terutama menyangkut hal yang menjadikan penumpukan biaya UKT. Komponen yang dimasukkan dalam menentukan biaya UKT haruslah benar-benar kebutuhan pokok. “Paling tidak kebutuhan pokok dulu yang lebih diperhatikan. Nah, untuk kebutuhan sekunder dan yang lainnya, bisa setelahnya,” katanya. Kalau BKT itu tidak diperhatikan, besaran biaya UKT akan terus bertambah setiap tahunnya, sebagai contoh, perbandingan antara biaya UKT mahasiswa tahun 2013 dan 2016, perbedaannya sangat jauh. Proses penentuan besaran biaya UKT perlu melibatkan seluruh elemen kampus. baik birokrasi, dosen, pegawai maupun mahasisw
Umi Ma’rufah
Drs. Nur Syamsudin, M.Ag.
K
Kepala Pusat Pendampingan dan Pengembangan Mutu Mahasiswa
epala Pusat Pendampingan dan Pengembangan Mutu Mahasiswa, Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Walisongo, Nur Syamsudin, menanggapi positif penetapan biaya UKT saat ini. Menurutnya, itu merupakan prasyarat untuk mencapai tingkat kualitas pendidikan di UIN Walisongo. Dari peningkatan biaya UKT itu, lanjut Nur, UIN bisa mencapai peningkatan kualitas pengajaran, peningkatan sarana prasarana, hingga kualitas peningkatan Capaian Pembelajaran (CP). “Jadi dengan UKT itu, maka kita akan lebih bisa meningkatkan kualitas kampus,” katanya. Di sisi lain, ia sebetulnya kurang setuju terkait besaran UKT yang peningkatannya terlalu drastis. Harusnya, peningkatan itu secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rata rata mahasiswa UIN. Terkait penetapan golongan, kata Nur, memang semua Perguruan Tinggi (PT) mengalami hal yang sama dengan UIN Walisongo. Namun, ia menjelaskan, seluruh komponen UKT akan kembali lagi ke mahasiswa. Dana yang digunakan UIN hanya SPP sebesar 600 ribu saja. “Kita usul 900 tidak pernah disetujui pimpinan,” katanya.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Walisongo
K
Ketua UKM Kelompok Studi Mahasiswa
etua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) mengatakan, sistem UKT tidak tepat diterapkan di UIN Walisongo Semarang berdasarkan fakta yang ada. Menurutnya, kampus berdalih sistem UKT digolongkan berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga. Namun kenyataannya penggolongan UKT juga berdasarkan jalur masuk. “Ini sangat memberatkan mahasiswa jalur mandiri dari keluarga tidak mampu,” katanya. Besaran biaya UKT setiap semester sama, sementara penghasilan orang tua tidak stabil. Atau bisa saja pendapatannya tetap, namun kebutuhannya meningkat. Sehingga, tingkat ekonomi keluarga terhitung menurun. Karena itu, UKT justru menimbulkan permasalahan baru bagi mahasiswa itu sendiri. UKT, menurut dia, sebaiknya kembali pada sistem SPP atau disamaratakan. Dulu besaran biaya SPP merata, sehingga tidak terjadi kesenjangan. Untuk kapasitas UIN dengan mahasiswa menengah kebawah, menurut Umi, lebih baik model pembayaran biaya semesteran kembali menggunakan SPP, bukan UKT. Umi setuju UKT, dengan syarat benar-benar menerapkan sistem subsidi silang. Namun, kenyataannya, implementasinya sama sekali tidak mencerminkan demikian. Banyak mahasiswa kaya yang mendapat UKT rendah, dan mahasiswa miskin mendapat UKT tinggi. “Kuota yang diberikan untuk golongan 1 sangat membatasi mahasiswa miskin untuk kuliah. Karena kuotanya hanya 5%. Padahal mahasiswa miskin lebih dari itu,” katanya.
Muhammad Shoim, S.Ag, MH.
D
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
osen Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) menyambut positif sistem UKT. Menurutnya UKT memiliki prinsip agar mahasiswa mempunyai rencana biaya pendidikannya. Sehingga, ketika menjalani praktek, seluruh biaya sudah terakomodir dalam UKT tersebut. Selain itu, lanjut Shoim, UKT juga mendorong mahasiswa agar lebih cepat selesai kuliah. Malah, jika memungkinkan, ia dapat selesai pada semester tujuh. “Makin lama mahasiswa menyelesaikan perkuliahan maka semakin besar biaya yang ditanggung,” katanya. Namun, Shoim menyayangkan, kadang ada mahasiswa yang seharusnya memasukan data ketika mendaftar, karena keterbatasan dalam Teknologi Informasi (TI), ia tidak memasukan data isian, jadi yang seharusnya mendapat besaran UKT rendah malah menjadi tinggi. Ia menyarankan, mahasiswa yang punya potensi akademik tapi secara ekonomi kurang, dapat memanfaatkan beasiswa yang ada di UIN Walisongo.
6
September 2016
AMANAT Edisi 126
Nur Alif Ma’luf
Mahasiswa Baru 2016
Nur Alif Ma’luf Mahasiswa Baru 2016, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi mengaku kecewa atas penetapan biaya UKT saat ini. Ma’luf pun mengaku keberatan dengan jatah UKT yang didapatnya. Menurutnya, jika kampus ingin mencapai pemerataan pendidikan bagi mahasiswa. Lebih baik pembayaran antar mahasiswa disamaratakan. “Karena banyak juga dari kalangan bawah yang mendapat biaya UKT tinggi,” katanya. Disisi lain, menurut Ma’luf, akibat biaya kuliah tinggi, banyak mahasiswa baru yang tidak jadi kuliah di UIN karena mendapat besaran UKT yang tidak sesuai dengan tingkat ekonomi mereka. Ma’luf pun meminta birokrasi kampus agar transparan terkat perincian biaya UKT, sebab selama ini mahasiswa baru hanya menerima besaran biaya UKT tanpa mengetahui peruntukannya.n Fattahul Alim
LAPORAN P ENDUKUNG
UIN Tanpa I
Penghilangan huruf I pada gelar kesarjanaan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) sesuai Putusan Menteri Agama (PMA) No.33 Tahun 2016, dinilai lebih menjual. Di lain sisi, karakteristik sarjana keislaman ambyar.
A
Amanat. Foto Sigit
dam Alisaid, mahasiswa semester 9 Jurusan Tasawuf Psikoterapi (TP) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora sempat terkejut saat mendengar kabar perubahan gelar kesarjanaan pada fakultasnya. Adam khawatir, dengan perubahan gelar tersebut, masyarakat akan menganggapnya sebagai alumnus Jurusan ilmu agama. “Padahal jurusan saya lebih mempelajari ke terapinya, bukan agama,” ucap Adam. Baru-baru ini, Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Putusan Menteri Agama (PMA) No.33 Tahun 2016 yang ditetapkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim tertanggal 9 Agustus 2016 tentang Perubahan gelar kesarjanaan pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Ketetapan tersebut menimbang perkembangan lembaga PTAI sehingga perlu adanya pengintegrasian bidang-bidang keilmuan dan pengaturan mengenai gelar akademik. Dalam peraturan tersebut, tiap gelar sarjana yang bercirikan huruf I kini dihilangkan. Perubahan gelar disetarakan pada gelar kesarjanaan Perguruan Tinggi (PT) umum. Sarjana pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan akan menyadang gelar S.Pd. Lulusan Fakultas Syariah dan Hukum akan menyandang gelar S.H. Sarjana Fakultas Dakwah dan Komunikasi bergelar S.sos. Sedangkan lulusan Fakultas Ekonomi Bisnis dan Islam akan bergelar S.E. Lulusan Fakultas Ushuluddin juga bakal berubah gelar menjadi S.Ag. Tidak hanya Adam. Sa’dullah Nawawi, mahasiswa semester 9 Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin pun menyatakan keberatannya terhadap perubahan gelar pada fakultasnya. Sa’du menilai, perubahan gelar tersebut tidak pas dengan jurusan yang ditempuh. Sa’du lebih nyaman dengan gelar S.Th.I, karena lebih mencirikan bidang keilmuannya. “Seharusnya gelar mencirikan jurusan dan keilmuan yang kita miliki. Gelar S.Ag kurang spesifik,”, ujarnya. Ushuluddin Keberatan Perubahan gelar bukan hanya dikeluhkan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum). Dekan Fuhum Muchsin Jamil pun menyatakan ketidakpuasannya terhadap perubahan gelar tersebut. Menurut dia, perubahan gelar itu, tidak sinkron antara ilmu yang diperoleh mahasiswa dengan gelar yang disandang. Rupanya bukan hanya Fuhum UIN Walisongo yang keberatan atas perubahan gelar itu, dekan Fakultas Ushuluddin pada PTAIN lain pun menyatakan keberatannya. Hal tersebut terungkap pada forum dekan Ushuluddin seIndonesia di UIN Syarif Hidayatullah, (3/9/2016). Forum tersebut mengangkat topik perihal usulan revisi gelar sarjana yang disandang Fakultas Ushuluddin. Muchsin Jamil menyampaikan, PMA merupakan upaya penataan kelompok ilmu atau jurusan. Semangat PMA, menurut Muchsin, agar tidak terjadi perbedaan yang sangat tajam pada Perguruan Tinggi (PT) saat memberikan nama dan gelar keilmuannya. “Meskipun menyisakan beberapa persoalan, namun kemarin sudah diselesaikan di forum dekan ushuluddin”,
Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Ke- 39 UIN Walisongo Semarang
Perubahan gelar itu tak menguntungkan lantaran gelar kesarjanaan dan bidang keilmuan tak nyambung. Dr. Muchsin Jamil, M.Ag Dekan fakultas Ushuluddin dan Hummaniora
ucap Muchsin. Muchsin mengatakan, perubahan keseluruhan gelar Fuhum menjadi S.Ag, akan menimbulkan untung dan rugi. Gelar S.Ag. di satu sisi memberi peluang lebih luas bagi sarjana Fuhum untuk berkarir di dunia kerja yang membutuhkan sarjana keagamaan. Di sisi lain, perubahan gelar itu tak menguntungkan lantaran gelar kesarjanaan dan bidang keilmuan tak nyambung. “Karena alasan tersebut, kami dekan Fuhum mengusulkan revisi pada Kemenag”, ujar Muchsin saat ditemui di gedung dekanat Ushuluddin. Muchsin mengatakan, revisi perubahan gelar yang diusulkan pada forum dekan ushuluddin hanya pada jurusan Aqidah Filsafat dan Tasawuf Psikoterapi. Forum dekan menginginkan agar Jurusan Aqidah Filsafat bergelar S.Hum. Sedangkan Jurusan Tasawuf Psikoterapi bergelar S.Psit. Sementara gelar yang disandang Jurusan Perbandingan Agama dan Tafsir Hadits tetap S.Ag. “Revisi tersebut tinggal menunggu persetujuan Kemenag”, tambah Muchsin. Hal serupa disampaikan Wakil Dekan 1 Fuhum Musyafiq. Dia setuju untuk perubahan gelar pada Jurusan Perbandingan Agama dan Tafsir Hadits bergelar S.Ag, sementara untuk Jurusan
Aqidah Filsafat dan Tasawuf Psikoterapi perlu direvisi. Pihaknya menargetkan, pada 2017, gelar yang akan disandang Jurusan Aqidah Filsafat dan Tasawuf Psikoterapi sudah S.Hum. dan S.Psit. “Selagi menunggu respon usul perubahan gelar, kita dapat menggunakan SK Rektor terlebih dahulu”, ucap Musyafiq. Buka Peluang Kerja Sementara itu, sebagian kalangan optimis, tebitnya PMA No.33 Tahun 2016 membuat PTAI dapat bersaing dengan lulusan PT umum. Selain menyejajarkan sarjana PTAI dengan lulusan PT umum, putusan PMA tersebut juga membuka peluang lebih luas bagi lulusan PTAI memasuki dunia kerja. Sejumlah mahasiswa pun menyambut positif perubahan gelar kesarjanaan di UIN Walisongo. Tulus Indah Suryaningsih, mahasiswi semester 5 Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) mulanya kaget saat mendengar kabar perubahan gelar tersebut. Namun, akhirnya ia lega lantaran gelar baru yang akan ia sandang dinilainya lebih menjamin masa depannya. Pada gelar sebelumnya, kata Tulus, sebagian lulusan fakultasnya mendapatkan diskriminasi oleh perusahaan atau instansi penerima tenaga kerja. “Sangat membantu baik untuk prospek kerja ke depan ataupun untuk melanjutkan pendidikan di tingkat lanjut,” ujarnya. Demikian halnya dengan Falachuddin Kamal, mahasiswa semester 7 FSH tersebut optimis, perubahan gelar tersebut akan berpengaruh pada kepercayaan diri alumnus dalam mencari pekerjaan. “Dengan gelar SH, para sarjana akan lebih memiliki mental kuat dan tidak akan minder”, tutur Kamal. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Arif Junaidi mengapresiasi lahirnya PMA No. 33 Tahun 2016. Menurut dia, PMA tersebut sesuai dengan usaha dan cita-cita para civitas akademika FSH sejak dulu. Perubahan gelar SHI menjadi SH akan lebih memudahkan para alumni FSH memasuki dunia kerja yang sebelumnya tidak dapat dimasuki, misal
bidang kenotarisan ataupun Pengadilan Negeri. Penetapan PMA No. 33 Tahun 2016, kata Arif, tidak lepas dari usaha asosiasi para Dekan FSH Se-Indonesia. Pada pertemuan forum dekan FSH di Surabaya tahun 2014, dihasilkan rumusan perubahan gelar SH.I menjadi SH. Rumusan tersebut lalu direkomendasikan pada Kementrian Agama. “Karena itu saya yakin terbitnya PMA No.33 Tahun 2016 hasil perjuangan kami, ” tambah Arif. Kepala Jurusan Hukum Perdata Islam Anthin Lathifah mengatakan, perubahan gelar tersebut menguntungkan bagi UIN, terutama Fakultas Syariah dan Hukum. Selama ini, kata dia, alumnus Syariah kerap menemui hambatan saat akan memasuki dunia kerja maupun melanjutkan kuliah di Jurusan umum. Penyetaraan gelar dengan PT umum dinilai dapat menghapus hambatan tersebut. “Jika dibandingkan lulusan PT umum, muatan mata kuliah umum yang didapat UIN sedikit. Namun hal itu tidak lantas mudah menjadikan diskriminasi dan dikotomi bagi sarjana PTAI,”katanya Perubahan gelar di FSH, kata Anthin, juga dibarengi dengan penyesuaian kurikulum agar mata kuliah di FSH tidak berbeda jauh dengan PT umum. Alumnus FSH justru memiliki keunggulan lebih lantaran punya pengetahuan agama lebih luas di banding alumnus PT umum. “Lulusan UIN tetap dapat bersaing, bahkan bernilai lebih dengan muatan mata kuliah agama yang didapat”, tambah Anthin. Bahkan, Dekan FSH Arif Junaidi membantah FSH hanya menguasai hukum Islam saja. Arif tak menampik untuk Jurusan Perbandingan Madzhab dan Ilmu Falak lebih banyak muatan hukum Islamnya. Tapi untuk Jurusan Hukum Perdata Islam, Hukum Pidana Islam dan Hukum Ekonomi Islam materi yang diajarkan sama seperti yang ada di PT umum. “Bisa jadi bagi PT umum perubahan gelar ini musibah, mereka akan beranggapan lebih banyak kompetitor”, ujar Arif.n Fajar B.A.- Ida Faziyatul AMANAT Edisi 126
September 2016
7
SKETSA
Siasat Lulus Cepat
KKN Mandiri dianggap solusi bagi mahasiswa yang ingin lulus tepat waktu. Namun, substansinya terabaikan.
E
8
September 2016
AMANAT Edisi 126
Dok. LPPM
fi Luthfiana lega, setelah ia membaca pengumuman di pamflet yang tertempel di Dekanat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), (5/1). Pamflet itu berisi informasi pendaftaran Kuliah Kerja Nyata Mandiri Inisiatif Terprogram (KKN MIT). Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) itu mengapresiasi program KKN MIT yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengikuti kegiatan KKN, sekaligus mengambil mata kuliah dalam kelas. Kesempatan itu tidak didapatkannya jika mendaftar melalui KKN reguler. Padahal, Efi sebelumnya sempat bingung, sebab ia ingin mendaftar KKN reguler namun terkendala beberapa mata kuliah yang belum ia ambil. “KKN Reguler mensyaratkan, tidak boleh dibarengi dengan mengambil mata kuliah dalam kelas,” kata Efi. KKN MIT merupakan KKN mandiri yang program kegiatan, waktu dan volume pelaksanaannya didasarkan pada proposal yang disusun oleh calon mahasiswa peserta KKN. Perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan dilakukan oleh mahasiswa peserta KKN dengan bimbingan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), dan atas persetujuan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M). Untuk mengikuti program KKN MIT ini, mahasiswa diwajibkan mengajukan perencanaan kegiatan secara lengkap dengan membuat proposal kepada LP2M UIN Walisongo. Lokasi KKN dipilih berdasarkan pada fenomena dan kebutuhan masyarakat mitra dampingan yang akan diberikan oleh mahasiswa. KKN MIT dilaksanakan pada bulan Januari–Februari dan Juli–Agustus. Jadwal pelaksanaan KKN bertepatan dengan masa liburan semester. (Buku Panduan KKN Mandiri, 2015). Nur Takim, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) UIN Walisongo pun menyambut positif kehadiran KKN MIT. Takim mengeluhkan, selama ini, banyak mahasiswa semester tua yang mengalami kesulitan mengikuti KKN reguler karena terkendala beban mata kuliah yang belum diambil. “KKN MIT bisa menjadi satu alternatif,” ujarnya. Menurut dia, yang terpenting dalam pelaksanaan KKN MIT adalah tanggung jawab yang diemban mahasiswa. Pada KKN MIT, mahasiswa dituntut mempersiapkan segala hal berkaitan dengan urusan KKN secara mandiri sejak awal pengajuan proposal. Soal lokasi KKN MIT, dimanapun, bagi Takim tak jadi masalah. Yang terpenting, menurut dia, ketika berada di masyarakat, mahasiswa telah mempunyai bekal kemampuan dan pengetahuan yang memadai. Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah Zein Arifin berpandangan sama. Ia beranggapan, KKN MIT lebih menguntungkan mahasiswa. KKN MIT, kata dia, lebih menghemat ongkos hidup lantaran biaya dikelola langsung oleh mahasiswa. Ini berbeda dengan KKN reguler yang dirasa memberatkan mahasiswa sebab biaya hidup yang dibayarkan ke pihak kampus lebih mahal. “KKN MIT memberikan keleluasaan mahasiswa untuk mengatur keuangan sendiri,” katanya. Biaya KKN reguler yang disetorkan ke pihak kampus dianggapnya lebih boros ketimbang jika dikelola oleh mahasiswa sendiri. Biaya hidup yang dikelola sendiri oleh mahasiswa, kata Zein, bisa lebih irit karena mahasiswa dapat bernegosiasi langsung dengan warga atau pemilik rumah. “Pada KKN MIT, pihak kampus tidak mencampuri soal biaya hidup KKN,” katanya.
Alur pendaftaran KKN mandiri UIN Walisongo.
Efektivitas belum teruji Meski sebagian mahasiswa UIN menyambut baik program KKN MIT, tidak sedikit mahasiswa yang pesimis terhadap efektivitas KKN MIT bagi mahasiswa lantaran tak punya visi jelas. “Program KKN MIT tidak jelas, tidak terarah atau tematik seperti KKN regular,” ujar Evi Nugraihi, mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam ketika ditanya terkait Program KKN MIT. Apalagi, menurutnya, KKN MIT tidak membebankan mahasiswa untuk membuat program pos daya sebagaimana halnya KKN reguler. Hal itu, menurut dia, menjadikan misi pengabdian dalam KKN MIT diragukan. Keraguan terhadap efektivitas KKN MIT sama dirasakan M. Yasin, mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam. Ia menilai program KKN MIT hanya siasat kampus untuk mempercepat kelulusan mahasiswa UIN Walisongo tanpa mempertimbangkan semangat Tridarma Perguruan Tinggi. “Seharusnya kampus memberikan beban yang sama bagi peserta KKN MIT dengan KKN reguler,” ujarnya. Sementara itu, Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fachrur Rozi, menilai, KKN mandiri menjadikan program mahasiswa jadi lebih variatif. Karena bisa melakukan kreasi terkait program yang diinginkan. Namun, Fachrur memberikan catatan, mahasiswa harus memiliki semangat pengabdian masyarakat sesuai misi yang dicitakan dari awal dalam pelaksanaan program KKN. ”Agar mahasiswa tak gagal menerjemahkan makna pengabdian di setiap kegiatannya,” katanya. Tanpa semangat pengabdian masyarakat, menurut Razi, mahasiswa akan kesulitan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Spirit mengabdi membuat mahasiswa akan lebih peduli terhadap persoalan di masyarakat dan berupaya memecahkannya. Sekertaris LP2M, Moh Fauzi berpendapat, KKN MIT ini mempunyai nilai plus karena kemandirian mahasiswa sudah terbentuk sejak awal mengajukan proposal. “Semua inisiasi dari mahasiswa, LP2M
hanya memfasilitasi saja,” katanya. Program tematik pos daya, kata Fauzi, memang tidak ada pada KKN MIT. Namun, bukan berarti KKN MIT tak punya program jelas. Sebelum pemberangkatan LP2M, kata Fauzi, pihaknya juga memberikan pembekalan terhadap peserta KKN MIT terkait pos daya itu. “Semua tergantung bagaimana mahasiswa memberdayakan dirinya meski tanpa adanya pos daya,”katanya. Mahasiswa punya pilihan Program KKN yang ditawarkan UIN saat ini lebih variatif. Mahasiswa bisa memilih mengikuti program KKN mandiri atau KKN reguler. Selain membantu mempercepat kelulusan mahasiswa, KKN MIT sebagai alternatif untuk mengakomodir peserta KKN yang jumlahnya terus meningkat. “Jika hanya satu kali KKN dalam satu semester, tidak mencukupi,” ungkap Fauzi saat ditemui Amanat di sela-sela pembekalan KKN regular di Auditorium I Kampus I, (21/9). Fauzi menjelaskan, penyelenggaran program KKN MIT bukan keputusan sepihak LP2M, melainkan kesepakatan bersama antar fakultas. LP2M sebelumnya telah mengundang setiap perwakilan fakultas untuk membahas gagasan program KKN MIT dan merumuskannya. Gagasan KKN MIT lantas disepakati untuk direalisasikan dengan berbagai pertimbangan, di antaranya memberikan alternatif bagi mahasiswa, terutama bagi mereka yang memiliki kesibukan di luar jam kuliah dan ingin lulus tepat waktu. Dari sisi efisiensi, kata Fauzi, biaya yang di tanggung mahasiswa saat KKN MIT juga lebih murah. “Biaya hidup dikelola oleh mahasiswa sendiri,” ungkapnya. Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (Febi), Imam Yahya, menganggap KKN MIT sebagai terobosan baru UIN di bidang pengabdian masyarakat. Karena diberi hak untuk menentukan sendiri lokasi KKN, Imam meminta mahasiswa agar lebih selektif dalam menentukan lokasi KKN MIT. Mahasiswa harus memerhatikan kelayakan desa dampingan berdasar-
Tanpa semangat pengabdian masyarakat, mahasiswa akan kesulitan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Spirit mengabdi membuat mahasiswa akan lebih peduli terhadap persoalan di masyarakat dan berupaya memecahkannya. Drs. Fachrur Rozi, M. Ag. Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi kan problem sosial di lokasi tersebut. “Jangan diambil yang gampang, misal karena faktor kedekatan, karena rumahnya disitu ia mengambil KKN di tempat itu,” katanya. Menurut Imam, KKN tidak semata mengimplementasikan misi pengabdian di masyarakat, tapi juga membawa citra baik lembaga. Jadi, ia meminta peserta KKN MIT serius menjalankan program pengabdian, bukan sekedar formalitas untuk memenuhi kewajiban akademik. Menurut Imam, pelaksanaan KKN harus memerhatikan kompetensi setiap mahasiswa. Program KKN harus disesuaikan dengan disiplin keilmuan mahasiswa. Sementara program pos daya (tematik) pada KKN regular dinilainya cenderung memaksakan mahasiswa. Di sisi lain, KKN MIT memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas dan mengimplementasikan pengetahuan sesuai bidang keilmuannya. “Masak dari Saintek disuruh mengurusi Masjid,” katanya.n Chalia Mufida
SKETSA
Kampus Darurat Toilet
Sejumlah fasilitas toilet di gedung-gedung utama kampus kondisinya memprihatinkan. Penyediaan fasilitas kebersihan belum menjadi perhatian utama dalam proyek pembangunan.
Amanat. Foto Sigit
Mahasiswa baru sedang mengatre di mobil toilet depan Auditorium II
A
nang Syamsu Nihar, Mahasiswa Baru (Maba) Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah dan Hukum terlihat mondar-mandir di seputar Gedung Serba Guna (GSG ) UIN Walisongo saat jam istirahat Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) 2016, akhir Agustus lalu. Langkahnya terburu sambil sesekali memegangi perut. Setelah menemukan toilet yang ia cari, ia dipaksa bersabar lantaran harus mengantre panjang untuk dapat menggunakan toilet. Di hadapannya, banyak Maba yang juga mengantre dan saling berdesakan. “Padahal waktu istirahat terbatas, kami masih harus salat dan makan siang,” keluh Anang dengan nada kesal. Pada saat itu, ada sekitar empat kamar toilet gedung GSG yang dipakai Maba. Di luar itu, pengelola kampus memfasilitasi mobil toilet berisi empat kamar toilet untuk dipakai Maba. Setelah menunggu sekitar 15 menit, Anang memutuskan keluar dari antrean. Bersama tiga temannya, ia pergi mencari toilet ke gedung lain disekitar GSG. Anang pun sempat kebingungan lantaran minimnya papan petunjuk toilet di area kampus. “Saya pernah pergi ke universitas lain, dan disana itu ada banyak plang petunjuk arah ke toilet. Sehingga orang yang masih awam seperti saya tidak kebingunggan,” katanya. Hal yang sama pun dialami oleh Zumrotul Wakhidah, Maba Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Zumratul yang mengikuti kegiatan OPAK di Auditorium II Kampus III UIN Walisongo itu, merasa jengkel dengan minimnya toilet di lokasi kegiatan. Ia bersama dua temannya, Septi dan Zulfah terpaksa menahan nyeri lantaran harus mengantre sekitar setengah jam hanya untuk buang air kecil. “Padahal biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal, ternyata tidak diimbangi dengan fasiltas yang memadahi,” kata Zumrotul. Kepala Subbagian (Kasubag) Rumah Tangga UIN Walisongo Muhammad Munif mengatakan, pihaknya sudah berusaha menyiasati minimnya toilet yang ada
Jika mahasiswa mengeluhkan sarana dan pra sarana, bisa langsung melaporkan ke Kasubag Umum fakultas masing-masing, untuk selanjutnya dianggarkan oleh WD II. Karena, birokrasi tidak melakukan pengecekan tiap hari.
Dr. H. Agus Nurhadi, M.A Wakil Dekan II Fakultas Syariah dan Hukum
di GSG dan Auditorium II. Di antaranya dengan menyewa mobil toilet yang disediakan pada agenda-agenda besar kampus, di antaranya OPAK dan wisuda. Pada agenda OPAK tahun 2016 ini, kata Munif, birokrasi kampus menyediakan dua mobil toilet yang ditempatkan di Auditorium II dan GSG. “Mobil Toilet rutin didatangkan sejak 2014 dalam agenda wisuda, baru tahun ini kami sewa juga untuk OPAK selama empat hari,” papar Munif. Munif mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan untuk menyewa satu mobil toilet per hari sebesar dua juta dengan kapasitas satu mobil berisikan empat toilet. Munif menyadari, fasilitasi mobil toilet belum dapat menyelesaikan problem toilet sepenuhnya di auditorium II dan GSG saat ada even besar. Munif pun mengaku pihaknya sempat menggagas untuk membangun sepuluh toilet di sebelah timur Auditorium II pada tahun 2015, namun gagasan itu belum sempat disampaikan kepimpinan kampus. “Wacana ini hanya sebatas perbincangan kami di kantor, belum sampai kepimpinan,” katanya. Sebetulnya Munif merasa malu den-
gan kondisi kedua gedung tersebut yang masih banyak keterbatasan. Sebagai gedung berstatus Badan Layanan Umum (BLU), Auditorium II dan GSG bukan hanya dimanfaatkan oleh civitas akademika UIN, melainkan juga disewakan untuk masyarakat umum. Tiga milyar tanpa toilet Akhir Agustus lalu, Auditorium II kampus 3 mulai direnovasi. Sayangnya, proyek yang ditaksir akan menelan biaya lebih dari tiga milyar rupiah itu, ternyata tidak menjawab permasalahan toilet gedung. Kepala Unit Layanan dan Pengadaan (ULP) UIN Walisongo, Adnan menjelaskan, pembangunan Auditorium II bakal menambah daya tampung sebanyak 500 orang. Namun, ia memastikan tidak ada penambahan kapasitas toilet di gedung tersebut. “Renovasi Auditorium II tidak ada tambahan toilet, karena yang direnovasi hanya bentuk fisik. Dari sudut pandang kenyamanan dan keindahan tidak perlu penambahan toilet,” jelas Adnan saat ditemui di kantornya. Adnan mengakui pengadaan toilet belum menjadi perhatian utama saat sosialisasi proyek renovasi gedung ke pimpinan. Ia pun merespon positif wacana pengadaan toilet baru di Auditorium II. Ia meyakinkan, pada tahun 2017, pihaknya akan mengupayakan pembangunan toilet baru di sebelah timur Auditorium II dengan posisi terpisah dengan bangunan. “Jika tahun depan terdapat anggaran yang nilainya lebih dari 200 juta, maka akan kami lelangkan untuk pembangunan toilet,” papar Adnan. Toilet gedung kuliah memprihatinkan Problem toilet rupanya bukan hanya terjadi pada Auditorium II dan GSG. Kondisi fasilitas toilet pada beberapa gedung kuliah memprihatinkan. Nur Hamdi, mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) itu, mengaku bingung dengan sikap birokrasi yang terkesan kurang memerhatikan fasilitas toilet. Padahal, sebagai kampus berlabel agama, UIN seharusnya memberikan perhatian serius pada ke-
bersihan kampus, di antaranya melalui penyediaan toilet yang layak dan bersih. “Kurang etis jika kampus sekelas UIN Walisongo mengabaikan kebersihan,” jelas mahasiswa semester lima itu. Saat AMANAT mengecek kondisi toilet di gedung M dan G milik FSH, kondisi lantai tampak kotor dan berkerak. Air kulah pun nampak kotor dan berdebu. Pada salah satu kamar toilet, pintunya bahkan tak dapat dikunci. Gedung M berlantai dua hanya memiliki dua kamar toilet. Sementara gedung G pun hanya punya dua kamar toilet. Hamdi mengusulkan adanya penambahan petugas kebersihan di gedung M dan G yang saat ini hanya satu petugas. “Jika memang kurang ditambah saja,” jelasnya. Wakil Dekan II FSH Agus Nurhadi cenderung menyalahkan petugas kebersihan yang kurang memerhatikan kebersihan toilet di gedung tersebut. Ia mengeluhkan kinerja petugas kebersihan di area itu yang dianggapnya bermalas-malasan. Agus bahkan berniat akan mengganti petugas kebersihan tersebut dengan petugas yang lain, jika usulannya disetujui Dekan. “Saya panggil saja dia tidak mau menoleh, lalu harus bagaimana saya memperingatkannya,” keluh Agus yang mengaku geram dengan ulah petugas kebersihan itu. Agus mengungkapkan, ia sempat memerintahkan bawahannya untuk mengecek kelayakan gedung FSH, termasuk fasilitas toilet. Menurut laporan Bagian Umum, kata Agus, fasilitas di FSH dilaporkan masih layak pakai. Agus pun terkaget saat Amanat mengonfirmasi kondisi beberapa kamar toilet yang tanpa fasilitas penerangan, (20/9). Di hadapan Amanat, Agus langsung sigap menghubungi staf Bagian Umum untuk mengecek ulang kondisi penerangan toilet di gedung G dan memasanginya dengan lampu baru. “Jika mahasiswa mengeluhkan sarana dan prasarana, bisa langsung melaporkan ke Kasubag Umum fakultas masing-masing, untuk selanjutnya dianggarkan oleh WD II. Karena, birokrasi tidak melakukan pengecekan tiap hari,” papar Agus. Kondisi sama juga terjadi di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Pada fasilitas toilet gedung D misalnya, saat Amanat melakukan penelusuran, (23/9), ada delapan toilet di gedung tersebut yang sirkulasi airnya tak lancar alias macet. Parahnya, tidak ada fasilitas tong sampah pada setiap kamar toilet. M. Bahrul Ulum, mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) menyayangkan kondisi toilet gedung FITK yang kurang terawat, serta minimnya persediaan air. “Kampus kok minim fasilitas, menyusahkan mahasiswa,” kata Bahrul, mahasiswa semester lima tersebut. Kasubag Umum FITK, Ngaseri mengakui debit air di FITK sangat kurang. Minimnya debit air di FITK, menurut Ngaseri, lantaran sumur yang ada di fakultas tersebut hanya ada satu unit. Sumur tersebut bukan hanya dimanfaatkan FITK, namun harus berbagi dengan Fakultas Saintek dan Ma’had Walisongo. Untuk mengatasi keterbatasan pasokan air ini, kata Ngaseri, pihaknya akan mengupayakan pembangunan satu sumur lagi pada tahun 2017. “Tahun 2016 ini kami masih belum bisa membangun, karena tidak ada anggaran,” kata Ngaseri.n Sigit A. F.
AMANAT Edisi 126
September 2016
9
HUMANIORA
Taman
Lele Kian
Terlantar Amanat. M. Syafiun Najib
Pengunjung Taman Lele semasa kejayaannya sempat mencapai seribu orang perhari. Kini, taman tersebut hanya dikunjungi kisaran 50 orang. Butuh inovasi untuk menyelamatkannya. Pintu masuk Taman Lele Semarang
I
smail Hasan, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) terlihat sibuk mengambil gambar dan mengamati panorama Taman Lele. Selanjutnya, ia ikut membersihkan sampah-sampah yang berserakan di taman. Hasan menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi Taman Lele yang dinilainya kurang terawat. “Saya berkunjung kesini untuk penelitian buat tugas akhir kuliah nanti,” katanya. Hasan menyayangkan tempat wisata sekelas Taman Lele minim kunjungan wisatawan. Padahal, jika dilihat dari segi lokasi, Taman Lele berada di Jalan Walisongo KM 10, atau jalur Pantai Utara (Pantura) Kota Semarang, yang strategis untuk menarik perhatian pengunjung. “Sekarang sudah beda, ketika masa kecil saya dulu, Taman Lele rame dan menjadi tempat kunjungan favorit saat libur sekolah,” ujar pria asal Kendal tersebut. Di sisi lain, berdasarkan pantauan Amanat, sebagian pengunjung Taman Lele justru didominasi anak muda. Ivan, siswa SMK Texmaco asyik bercanda ria dengan pasangannya saat Amanat hendak mewawancarainya. Ivan tak begitu memedulikan keindahan Taman Lele. Suasana sepi taman justru memberikan kenyamanan baginya untuk bercengkerama dengan pasangannya. “Kita kesini cuma ingin cari tempat ngobrol yang enak dan sunyi, tak ada niat lain,”ucapnya. Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Lele Kusno Ardi, membenarkan minimnya pengunjung Wisata Taman Lele. Untuk mendongkrak kunjungan wisatawan, Kusno mengusulkan, perlu adanya penambahan fasilitas bermain anak. Taman Lele tak boleh hanya terpusat pada wisata air atau sendang yang berisi ikan lele. Taman seluas 2,2 hektar itu saat ini memiliki beragam fasilitas, di antaranya hotel, kolam keceh , taman bermain, gazebo, aquarium dan tempat hiburan (panggung).
10
September 2016
AMANAT Edisi 126
“Jika tidak ditambah fasilitas lain, akan berdampak terhadap minat pengunjung,” ucap pria setengah baya itu. Untung saja, lanjut Kusno, kekurangan fasilitas itu bisa tertutupi dengan adanya koleksi satwa antara lain, burung unta, burung merak, buaya, ular dan hewan lainnya. Hewan tersebut, kata Kusno, merupakan titipan dari kebun binatang Mangkang. Meski terbilang sepi, dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Kusno mengungkapkan adanya peningkatan kunjungan wisatawan di Taman Lele. Dalam sehari, saat ini, Taman Lele rata-rata dikunjungi 50 orang. “Ini berbeda pada tahun 2010 sampai 2014 yang terus mengalami penurunan, bahkan sehari maksimal 20 orang pengunjung,” katanya. Padahal, harga tiket masuk taman terbilang murah. Atas dasar peraturan Daerah Kota Semarang NO. 3 Tahun 2012 harga tiket masuk pada hari biasa Rp 3.000,- per orang, hari minggu atau libur Rp 3.500,- per orang, sedangkan saat libur lebaran Rp 5000,- per orang. Meski begitu, kata Kusno, masih belum bisa menarik kunjungan wisatawan lebih banyak seperti halnya tempattempat wisata lain. “Kalau ada dari mahasiswa yang ingin melakukan Baksos akan kita beri ti ket gratis dan kebutuhan selama Baksos,” katanya. Berubah Bentuk Berdasarkan dokumentasi UPTD Taman Lele, tempat tersebut ditemukan oleh masyarakat pada tahun 1932. Awalnya tempat tersebut berupa sendang yang jernih dengan sumber mata air melimpah. Taman Lele kemudian dijadikan salah satu obyek wisata yang dikelola oleh pemerintah Kabupaten Kendal sampai pada tahun 1976. Setelah ada- nya pemekaran Kota Semarang, Taman Lele dikelola oleh pemerintah kota madya Semarang di bawah dinas Taman Hiburan Rakyat (THR) Semarang, yang dikenal dengan Kebun Binatang Tegalwareng. Pada waktu itu, Taman Lele masih menjadi bagian dari Unit Pengelola Dae-
Dua orang pengunjung duduk di tepi sendang yang berada di kawasan Taman Lele.
rah (UPD) Taman Margaraya dan jadi sub seksi dari seksi Marga Satwa yang bernama Taman Reptil dan Pisces. Kemudian pada tahun 2000, karena ada perampingan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), UPD taman Margaraya digabung dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Semarang. Taman Reptil dan Pisces kemudian menjadi berada di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Semarang menjadi UPTD Taman Lele. Tahun 2003, UPTD Taman Lele diganti menjadi UPTD Kampoeng Wisata Taman Lele. Daya tarik Taman Lele waktu itu masih mengandalkan sendang jernih yang di dalamnya terdapat ribuan ikan lele yang menarik perhatian masyarakat sekitar. Karena terlalu banyaknya ikan lele yang hidup di sendang itu, maka oleh masyarakat, sendang yang terletak di bawah pohon rindang itu dinamai Taman Lele. Namun, Taman Lele kini telah berubah wajah. Sumber mata air sendang yang dulu berlimpah kini menyusut. Permukaan sendang pun menjadi sangat dangkal. Jumlah ikan lele pun terus merosot, dan tercampur ikan jenis lain. Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubag TU) Taman Lele Lilis menyaksikan adanya perubahan besar pada Taman Lele jika ditilik dari sejarahnya. Sendang Taman Lele dilanda kekeringan, keberadaan ikan lele pun terancam punah, sementara tanaman yang menghiasi taman banyak yang mati. “Untung air sendang masih tersisa meskipun sedikit,” katanya. Lilis mengenang, kondisi Taman Lele dulu yang ramai dikunjungi wisatawan, sampai mencapai 1000 pengunjung, kala itu. Saat itu, di bagian belakang taman terdapat kebun jambu yang tumbuh
subur. Sehingga banyak dari masyarakat sekitar memetik dan menjualnya pada para pengunjung. “Sekarang kebun itu tak tersisa satu tanaman pun, jadi kita hanya bisa mengandalkan yang tersisa disini,” imbuhnya. Butuh Tenaga Ahli Taman di barat Kota Semarang itu ditangani oleh 14 Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan 3 Petugas Honorer. Semua itu tersusun dalam struktur Organisasi UPTD Kampoeng Wisata Taman Lele yang terdiri dari Kepala, Sub Bagian Tata Usaha, dan Kelompok Jabatan Fungsional. Semua itu dipimpin oleh kepala yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab pada Kepala Dinas. Bagi Kusno, tugas terpenting pengelola adalah mengelola dan melayani pengunjung tempat wisata. Sementara pembiayaan kebutuhan Taman Lele sudah diatur oleh Pemerintah Pusat Kota Semarang. Ia pun mengaku tidak mengetahui angka pasti anggaran itu. “Kita bisanya usul, namun usul saja belum tentu dikasih,”ujarnya. Kusno mengakui adanya keterbatasan tenaga yang mengurusi taman, maupun keterbatasan infrastuktur. Taman juga tidak punya ahli penelitian. Akibatnya, Taman Lele kurang terpelihara. “Secara tidak langsung kita hanya terfokus pada tugas sebagai pengelola dan pelayanan saja, selainnya tak lebih dari itu,” terangnya. Menurut dia, Taman Lele butuh penanganan khusus oleh ahli Botani, mengingat kondisi taman yang kini semakin memburuk.n Muhammad Ulul Albab
SURAT PEMBACA
Dosen Tak Bertanggung Jawab
Setiap pelajar ketika memasuki dunia kampus akan mendapat tuntutan untuk lebih aktif dan kreatif. Tidak seperti saat kita menduduki bangku SLTA, apapun yang menyangkut kegiatan belajar mengajar harus sesuai dengan bimbingan guru. Sedangkan Mahasiswa dalam kesehariannya, menumpuk tugas harian dan jadwal presentasi diskusi. Dan tak sedikit pula dosen yang terkadang melepas mahasiswa saat berada di kelas. Dosen merupakan sarana penting bagi mahasiswa dalam mengembangkan pola pikir. Sekalipun kami dituntut untuk aktif dan kreatif, dosen baiknya tetap menjadi konsultan bagi kami. Tapi apa jadinya jika dosen dalam menjalakan tugas seenaknya sendiri. Mengajar hanya membacakan materi, bahkan itu hanya membaca teks saja. ketika di berikan sebuah pertanyaan oleh kami, dosen tersebut bingung. Terkadang dosen tersebut dengan canda mengatakan tidak perlu bertanya, kita pulang saja. Lalu kekecewaan kami ditambah lagi ketika pak dosen tak memberikan silabi dan copy-an materi satupun. Bagaimana kami paham, materi yang diberikan saja tidak jelas. Saya dan teman-teman kelas kecewa saat mendapat dosen yang menurut kami tidak memahamkan. Kami paham, tidak semua dosen di UIN Walisongo hanya berprofesi menjadi dosen. Tak heran pula jika kebanyakan dosen lebih mementingkan profesi lain di luar kampus. Yang jelas, bagi kami dosen pun harus ada usaha untuk bisa membimbing dan menjadi konsultan bagi para mahasiswa. Naily Risqul Hanifah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Jalan Rusak, Kampus tetap Cuek Tiap kali saya berangkat kuliah dan melewati halaman depan kampus 3, rasanya miris. Sudah jelas ada lubang besar dengan kedalaman sekitar 10 cm, tapi belum ada tindakan dari kampus. Jika dibiarkan, lubang tersebut dapat membahayakan mahasiswa yang melintas. Terlebih lubang tersebut di sebalah barat, tepat arah kiri saat akan membelokkan motor. Lalu bagaimana jika ada mahasiswa yang celaka akibat lubang tersebut ? Pendapat saya, alangkah baiknya jika pihak kampus juga memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin diabaikan. Tak hanya lubang tersebut saja. Jika diperhatikan, di sebrang gedung Pusat Pengembangan Bahasa itu pun terjadi kerusakan jalan. Ada sebagian jalan sepanjang 2 meter yang condong masuk ke bawah akibat dilewati kendaraan bermuatan berat. Jika dari pihak kampus tetap membiarkan hal tersebut, itu dapat membahayakan. Untuk menjaga keselamatan bersama, kami berharap tiap-tiap jalan yang rusak segera diperbaiki Pradika Kusuma Fridayanto Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Perpustakaan Kami Menumpang
Pusat central kediaman ilmu terletak di sebuah perputakaan sebuah institusi/ lembaga. Di sisi lain perpustakaan merupakan media belajar mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Mungkin jika diilustrasikan seorang pelajar tanpa perpustakaan, maka ia hanya menatap satu arah yang ditunjukkan gurunya. Tentu, perpustakaan hal wajib yang harus ada disetiap lembaga pendidikan, baik sekolah dasar maupun sampai perguruan tinggi. Saya mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, jika dihitung hampir tiap hari selalu saja ada tugas dari dosen. Saya sangat menyayangkan, selalu saja ada kesulitan dalam mencari sumber referensi, baik atas saran dosen maupun tidak. Kesulitan tersebut beragam, terkadang sumber referensi yang dimiliki terlalu sedikit, terkadang buku hilang akibat ketidak tanggungjawaban mahasiswa dalam meminjam dan terkadang banyak buku yang memang sudah lama. Terlebih pada Fakultas FEBI, perpustakaan masih menumpang di Fakultas Syariah. Mungkin alangkah baik jika Fakultas FEBI membangun perpustakaan tersendiri. Selain memudahkan kami dalam mencari sumber referensi, perpustakaan tersebut memberi ruang penuh pada mahasiswa Fakultas FEBI agar tidak tumpah tindih saat ingin meminjam buku. Dan tentunya, hal itu sangat bernilai positif untuk perkembangan minat baca mahasiswa Fakultas Febi. Naela Muafidah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Disfungsi Fasilitas Keganjilan sering terjadi di gedung O Fakultas Ushuluddin dan Humaniora selama perkuliahan disana. Banyak dari kita heran tentang kondisi yang mana ruangan ber-AC tapi tidak difungsikan. Apa AC tersebut hanya sebagai variasi kelas hanya demi mendapat akreditasi kelayakan sistem perkuliahan? Kita merasa tidak nyaman kalau kuliah di kelas yang sudah didesain ber-AC tap tak digunakan sebagaimana mestinya. Kelas akan merasa panas dan tak teratur, karena mahasiswa sibuk dengan buku dan selembaran makalah untuk kipas-kipas. Saya sebagai mahasiswa baru berharap pada pihak terkait untuk bisa memahami bahwa fasilitas tersebut salah satu penunjang kelancaran belajar mengajar di gedung tersebut. Saepul Puad Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
AMANAT Edisi 126
September 2016
11
12
September 2016
AMANAT Edisi 126
AMANAT Edisi 126
September 2016
13
ARTIKEL
Menjadi Muslim di Akhir Zaman Oleh Dr. Abu Rokhmad, M.Ag.
S
aya sering merasa beruntung dilahirkan menjadi muslim di akhir zaman. Sudah pasti, saya tidak terlibat dalam semua peristiwa yang menyebabkan umat Islam menjadi terkotakkotak (setidaknya Sunni dan Syiah) waktu itu. Bahkan hingga kini, dampak perpecahan umat Islam masih terasa. Umat Nabi Muhammad Saw itu bukan hanya sulit disatukan, bahkan cenderung saling bermusuhan satu dengan lainnya. Atas kenyataan ini, saya bisa cuci tangan dan merasa bersih diri seraya menyalahkan umat terdahulu. Dilahirkan pada masa akhir juga memungkinkan saya untuk menilai
Apa iya, untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mendapatkan ridha-Nya, saya harus bisa menunjukkan tiket Sunni atau Syiah? Bukannya Sunni atau Syiah itu hanyalah permainan teologis para ahli agama untuk memuaskan rasa ingin tahunya? bahkan menghakimi, aliran Islam mana yang—menurut akal dangkal saya— dekat dengan surga dan mazhab mana yang mendorong orang untuk masuk neraka. Dua hal itu, seolah-olah jalan terang dan gampang dipilih. Tinggal ikuti salah satu, selesailah masalahnya. Merasa beruntung lama-lama hanya ilusi semata. Dua pilihan itu ternyata tidak membebaskan. Justru saya merasa terjebak dalam situasi yang tidak menyediakan banyak pilihan. Saya dipaksa untuk memilih dan dilarang untuk memilih mazhab. Saya merasa, setiap hari pemeluk agama Islam selalu berteriak di telinga ini: “Jika anda ingin selamat, pilihlah salah satu mazhab yang ada. Pilih Sunni atau Syiah.” Secara meyakinkan, mereka itu, orang-orang yang saya identifikasi sebagai saleh dan taat, mengutip dalil-dalil agama yang ditafsirkan sekena dan seenaknya. Mereka juga berargumen, yang ar-
14
September 2016
AMANAT Edisi 126
gumen ini membuat saya betulbetul ketakutan. Mereka bilang: “Jika anda memilih Syiah, maka musuh anda hanya satu, yaitu Sunni. Sebaliknya, jika anda memilih Sunni maka musuh anda hanyalah Syiah. Tetapi jika anda tidak memilih keduanya, maka bersiaplah untuk memiliki dua musuh sekaligus, yaitu Sunni dan Syiah.” Perasaan beruntung saya itu, ternyata tidak selalu menyenangkan batin. Pada akhirnya, saya harus merasakan kegalauan atas kebenaran yang saya yakini. Apa iya, untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dan mendapatkan ridha-Nya, saya harus bisa menunjukkan tiket Sunni atau Syiah? Bukannya Sunni atau Syiah itu hanyalah permainan teologis para ahli agama untuk memuaskan rasa ingin tahunya? Jika Allah Swt menghendaki, lalu akhirnya pengikut Sunni dan Syiah sama-sama dimasukkan ke dalam surga, apakah mereka bisa hidup rukun di surga atau tetap berkonflik di dalamnya? Apakah mereka akan menuntut dibuatkan surga yang berbeda? Pada akhirnya, pikiran dangkal saya sampai pada pertanyaan: untuk apa saya bermazhab jika hanya membuat saya hidup tidak tenang? Selalu terancam dan memusuhi mazhab lain dan terus merasa paling benar sendiri? Siapa yang akan saya tuntut, jika perasaan benar itu ternyata salah menurut Allah Swt. Jika saya masuk neraka, mazhab mana yang mau mengadvokasi dan meringankan siksaan saya: Sunni atau Syiah? Sejatinya, perbedaan pendapat merupakan hal yang lazim dalam kehidupan manusia. Keinginan untuk menyeragamkan manusia dalam satu pendapat, rasanya tidak mungkin terjadi. Perbedaan pendapat itu pasti terjadi, lebih-lebih manusia dikarunia kemampuan menalar yang tidak sama. Perbedaan pendapat tersebut dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan keyakinan. Perbedaan paham dalam masalah agama dan keyakinan bahkan pernah menjadi sejarah buram perjalanan umat manusia. Mereka saling menumpahkan darah untuk membela keyakinan yang kebenarannya—sejatinya bersifat misterius, dalam arti tidak dapat diverifikasi benar dan tidaknya pada masa hidup di dunia. Tidaklah mudah, kalau enggan mengatakan mustahil melakukan penyatuan mazhab dalam Islam. Karena itu, jangan berpikir, dan apalagi berusaha untuk itu. Bukan juga tujuan yang ingin dicapai adalah menyatakan hanya satu mazhab yang benar dan menganggap selainnya sebagai sesat atau salah. Ajakan untuk tidak bermazhab juga tidak menyelesaikan masalah
karena tidak bermazhab juga sejatinya telah menjadi satu mazhab tersendiri. Menurut Shihab, ajakan yang dikumandangkan adalah persatuan umat dalam arti membiarkan mazhabmazhab Islam yang ada untuk tumbuh dan berkembang secara bebas, sambil melakukan pendekatan agar semua mazhab dapat bergandengan tangan, meski berbeda keyakinan (Shihab, 2007: 259). Mengapa? Sebab ketika Syiah hidup susah, telunjuk selalu mengarah kepada kelompok Sunni. Merekalah penyebabnya. Melakukan atau tidak melakukan, posisi Sunni selalu tertuduh. Oleh karena itu, konflik Sunni-Syiah ini—jika memang betul terjadi—hanya akan merugikan kedua belah pihak. Apabila Sunni merasa memenangi ’konflik’ maka getah kerugian terbesar juga akan mereka terima.
Sebaliknya, jika Syiah berhasil menguasai Sunni maka Syiah juga tidak mungkin akan tidur nyenyak karena ancaman selalu datang mengintai. Konflik Sunni-Syiah mengarah pada zero sum game. Tidak ada yang menang. Yang ada adalah kedua belah sama-sama mati dan kalah (tiji tibeh). Apakah ini satu-satunya pilihan? Rasanya tidak. Muncul kritik sangat keras dari kita sendiri, jika umat Islam bisa begitu hangat dan bersahabat dengan non-muslim, tapi dengan sesama muslim kenapa begitu keras sikapnya? Bukan hanya dengan Sunni-Syiah. Dengan kelompok muslim yang dianggap berbeda pun, kita sangat keras kepada mereka? Mengapa? Jawabannya ada pada diri kita sendiri. n Dr. Abu Rokhmad, M.Ag. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Walisongo
OPINI MAHASISWA
P
Tumbuhkan Kesadaran Bersama
Fasilitas Jadi Prioritas
erubahan nomenklatur Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) merupakan suatu tantangan besar. Bagaimana tidak, dengan menyandang predikat UIN sudah sepatutnya tenaga pengajar, sistem perkuliahan, dan fasilitasnya memadai. Universitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yg menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan atau profesional tertentu dan bersifat universal. Jika universitas tersebut adalah Universitas Islam, pihak birokrasi akan menambah jurusan umum dengan tidak menghilangkan studi pokoknya, yaitu kajian ke-islaman. Hal itulah yang melandasi UIN Walisongo memunculkan fakultas baru di luar Fakultas Islam agar layak disebut sebagai universitas, sehingga terkesan memaksakan keadaan. Hemat penulis, transformasi yang tidak dibarengi dengan peningkatan mutu akan tidak efektif, bahkan berdampak negatif. Seperti masalah fasilitas kampus, dengan munculnya fakultas baru maka peningkatan kebutuhan dan fasilitas dirasa perlu. Hal ini berfungsi untuk menunjang kegiatan perkuliahan, seperti gedung baru, laboratorium baru, dan tenaga
pengajar yang professional. Jika fasilitas tersebut tidak memadai, maka kembali mahasiswa menjadi korban yang dirugikan. Sementara itu, kondisi UIN Walisongo dengan gedung yang seadanya, laboratorium ala kadarnya, dan tenaga pengajar yang bukan ahli dalam bidangnya. Mengakibatkan kegiatan perkuliahan tidak efektif. Oleh karena itu, sudah seharusnya penyediaan fasilitas yang memadai menjadi prioritas UIN Walisongo. Agar mahasiswa dan dosen merasa nyaman saat perkuliahan. Secara tidak langsung, itu akan meningkatkan ketertarikan calon mahasiswa baru melihat mutu fasilitas yang ditawarkan. Jadi, alangkah bijak jika pihak birokrasi kampus tidak terburu-buru. Baik dalam pengambilan keputusan membuka fakultas atau menambah kuota mahasiswa baru jika memang fasilitasnya belum siap. Karena sedikit tapi berkualitas lebih baik daripada banyak tapi tak berkelas. Hasna Aulia, Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang
D
alam suatu keluarga, orang tua berkewajiban memenuhi nafkah dan mendidik moral dengan kasih sayang. Disisi lain, ketersediaan sarana pendidikan, serta fasilitas untuk menunjang tumbuh kembang buah hati juga menjadi suatu keharusan bagi orang tua. Hal ini dimaksudkan agar anak menjadi pribadi yang baik, hormat, berakhlak dan cerdas. Seorang mahasiswa adalah anak apabila dianalogikan dengan pernyataan di atas. Ia berhak atas fasilitas yang layak, namun juga berkewajiban menggunakan dan merawat dengan baik apa yang telah diberikan kepadanya. Kita dengan kesadaran penuh sebagai mahasiswa, berhak menuntut dengan bijak. Menuntut hak-hak yang kurang tersalurkan demi menunjang kepentingan dan kenyamanan dalam kaitannya belajar dan berorganisasi di kampus. Sebaliknya, kita juga mempunyai kewajiban secara moral, bukan untuk menggunakan atau menikmati saja, tetapi juga ikut serta merawat dengan baik. Sehingga fasilitas kampus dapat dinikmati bersama secara nyaman. Permasalahan di kampus dapat diselesaikan dengan kesadaran bersama. Semisal kebersihan toilet di dekat gedung perkuliahan, harus diperhatikan
bukan hanya oleh petugas kebersihan saja. Akan tetapi mahasiswa juga berkewajiban menjaga dan merawatnya. Hal ini di karenakan yang sering memanfaatkan adalah mahasiswa sendiri. Apabila mahasiswa acuh, disisi lain petugas sering telat membersihkan, maka jangan heran jika melihat toilet berbau tak sedap dan kotor. Persoalan lain yang lebih subtansial untuk mendukung meningkatkan kualitas mahasiswa, cukup banyak yang perlu diperhatikan. Diantaranya kurang memadainya gedung untuk perkuliahan, gedung yang kurang representatif, perpustakaan kurang memadai, proyektor rusak, dan lain sebagainya. Untuk semua persoalan tersebut sangat wajar apabila mahasiswa sebagai pengguna fasilitas merasa tidak nyaman. Tetapi sangat dimungkinkan juga berkurangnya daya fungsi fasilitas kampus disebabkan oleh sikap penggunanya. Untuk itu kita perlu bersinergi dalam menumbuhkan kesadaran bersama antara berbagai pihak untuk mewujudkan kampus yang berorientasi kepada kemanusiaan dan peradaban. Muhammad Khozin, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang
TEMA MENDATANG
Efektivitas Unik Kegiatan Mahasiswa (UKM)
Kirim opini anda melalui email: skmamanat@yahoo.com. Naskah tidak lebih dari 2500 karakter. Sertakan biodata, foto terbaru dan nomor HP yang bisa dihubungi. Pengiriman naskah paling lambat Mei 2016. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan dan piagam penghargaan.
n KOMIK
AMANAT Edisi 126
September 2016
15
RESENSI
Pemimpin Idealis Berbasis Kejawen Judul Penulis Penerbit Tahun terbit Jumlah halaman Resentator
S
elama bertahun-tahun kepemimpinan telah dipelajari secara rinci dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Kepemimpinan biasanya ditentukan oleh sifat, kualitas dan perilaku pemimpin. Studi kepemimpinan telah berlangsung di seluruh budaya beberapa dekade bahkan sejak zaman nenek moyang kita, para leluhur orang Jawa. Masyarakat dahulu telah mewarisi nilainilai kepemimpinan kepada anak cucunya, dengan kata lain telah turun temurun hingga sampai saat ini. Mungkin karena zamannya sudah berbeda maka menghasilkan pemikiran yang berbeda pula. Secara umum kriteria seorang pemimpin yaitu capable (memiliki kemampuan/cakap), credible (memiliki kredibilitas), acceptable (dapat diterima publik).
: Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa : Wawan Susetya : PT Elex Media Komputindo : 20 Juni 2016 : 402 : Rustiana
Kriteria seperti itu memang sangat positif dan baik, namun lebih baik jika pemimpin mau belajar menerapkan konsep kepemimpinan masyarakat Jawa. Selain itu, menerapkan konsepkonsep kepemimpinan dari para pujangga Jawa seperti Ki Hajdar Dewantoro; ing ngarsa sung tuladha (pemimpin yang didepan dapat memberikan teladan), ing madya mangun karsa (pemimpin yang ditengah memberikan ide gagasan yang positif ), dan tut wuri handayani (rakyat mengikuti pemimpin dari belakang). Pemimpin Masa Kini dan Budaya Jawa adalah sebuah buku yang terlahir dari goresan tangan Wawan Susetya. Dalam buku ini penulis berusaha menjelaskan makna-makna kepemimpinan dari khasanah budaya Jawa. Guna menghidupkan kembali ajaran-ajaran kepribadian dan kepemimpinan dalam perspektif Jawa yang telah terpinggirkan atau terlupakan oleh keadaan zaman. Dari buku inilah pentingnya mengungkap kembali ajaran kejawen (budaya jawa) dari para pujangga Jawa mengenai kepemimpinan yang bahkan mulai ditinggalkan oleh pemimpin kita sendiri. Meskipun pemimpin sudah memenuhi kriteria atau persyaratan menjadi seorang pemimpin dan etos kerja yang sangat tinggi, namun jika tidak bermoral akan menjadi percuma. Karena pemimpin tidak
sekedar dituntut untuk menyejahterakan dan mencerdaskan kehidupan anak bangsa, tetapi juga dapat dijadikan teladan bagi semua orang. Belajar kearifan lokal Di zaman sekarang banyak pemimpin yang melupakan kebudayaan leluhur. Keterbatasan pemahaman kebudayaan kejawen terhadap sesanti (nasihat bijak), menjadikan budaya Jawa tidaklah bermakna. Seolah-olah ia hanya sebagai hiasan dunia yang tidak memiliki peran yang signifikan dalam membangun masyarakat, terutama dalam bidang politik. Akibatnya, ketika masyarakat mendapat amanah atau kesempatan untuk memimpin, banyak di antara mereka yang salah arah dan akhirnya tersesat. Dari buku inilah penulis berusaha menjelaskan sejarah kepemimpinan pada zaman dahulu (menurut kejawen). Penulis membandingkan kepemimpinan di era modern dengan kepemimpinan lokal Jawa. Kenyataannya, pemimpin yang benarbenar bisa memposisikan kedudukannya sulit ditemukan di negara kita ini. Hingga akhirnya rakyat hanya bisa berharap lahirnya seorang pemimpin yang berjiwa besar demi kesejahteraan kaumnya. Penulis juga menyuguhkan berbagai kisah tentang kepemimpinan dalam cerita pewayangan. Salah satunya yaitu dari satria Raden Arjuna atau Raden Abimanyu yang memegang peranan penting. Singkat cerita Raden Arjuna selalu berperang menghadapi Buta Cakil (rak-
sasa). Perang itu terjadi setelah Raden Arjuna menghadap Begawan Abhiyasa di Pertapaan Saptarengga. Ini merupakan gambaran bahwa seorang pemimpin ketika ada kesulitan atau masalah tentu akan bermusyawarahkan dengan wong sepuh (A-bhiyasa). Hingga akhirnya seorang ksatria lah (Raden Arjuna) yang menang. Itu berarti Raden Arjuna telah mengemban amanat untuk memayu hayuning bawana. Dari peristiwa tersebut merupakan simbol dari ujian bagi seseorang yang tengah menjalankan amanat atau tugas mulia. Apakah ksatria tersebut mau berjuang demi masyarakat, negara, dan bangsanya atau tidak. Suatu bangsa jika tidak ada yang mewakili dalam berbuat kebajikan dan kemaslahatan, niscaya akan hancur. Perang kembali digelar, pertumpahan darah dimana-mana dan saling bunuh. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa, tugas seorang pemimpin memang dituntut untuk melakukan perjuangan di dalam kenegaraan atau berpolitik. Di samping cerita pewayangan penulis juga menyuguhkan berbagai pengertian tentang kepemimpinan nasional bangsa kita, Indonesia. Para pujangga Jawa memprediksi tentang sistem kepemimpinan bangsa Indonesia dimulai dari presiden pertama yaitu Soekarno, Soeharto, B.J Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko widodo. Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami semua kalangan sehingga semua orang bisa belajar dari buku ini. Hakikatnya semua orang adalah pemimpin, jadi tidak ada pengecualian untuk belajar memahami tentang kepemimpinan. Selain tepat bagi seorang pemimpin (raja atau presiden dan seterusnya), juga sangat cocok bagi seorang guru (pendidik), orang tua dan seterusnya. Semua orang dapat memperluas cakrawala dan menambah khasanah pengetahuan serta kemanfaatan kepada anak bangsa.n
Meraih Kedamaian Menuju Perdamaian
B
uku ini mengingatkan kepada setiap orang tentang sebuah perdamaian yang hakiki. Agar meraih sebuah kedamaian dalam setiap jiwa manusia berbasis kitabullah. Melihat banyaknya problematika sosial yang terjadi di Indonesia saat ini, fakta menunjukan bahwa jumlah kemiskinan, kekerasan, intimidasi, dan penyerangan antar kelompok terjadi hampir pada setiap lapisan masyarakat. Negara Indonesia yang kini disebut sebagai negara multi-krisis, itulah label yang acap kali disandangkan kepada bangsa yang dulunya gemah ripah loh jinawi. Negeri ini kini diliputi krisis kemanusiaan, moral, harga diri, dan kebangsaan. Bahkan, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang pemarah, tak bermoral, anarkis, dan brutal, hampir di setiap lini kehidupan. Berbeda dengan cerita zaman dahulu yang menyebut negara ini memiliki karakter kebersamaan, kekeluargaan, toleransi yang tinggi. Realita di atas menunjukan sebuah kesadaran akan pentingnya sebuah perdamaian dalam kehidupan. Oleh karennya, Al-Quran memberikan kontribusi menarik untuk menyelesaikan setiap problematika sosial yang terjadi di setiap lapisan kehidupan, dikemas dengan beberapa peristiwaperistiwa faktual yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Sebagai referensi utama umat Islam, ayat-ayat dalam kitab tersebut memberikan gagasan-gagasan Qur’ani untuk mewujudkan bina damai dalam masyarakat Indonesia yang begitu plural. Konsep dasar perdamaian qur’ani Poin penting dalam buku ini salah satunya, bahwa perdamaian adalah fitrah seorang insan. Pernyataan tersebut menghasilkan beberapa konstruksi yang dihasilkan oleh penulis, di antranya adalah cinta, syahadah (persaksian), dan keturunan. Ketika cinta membawa manusia ke
16
September 2016
AMANAT Edisi 126
dalam fitrah kasih dan damai. Sedangkan mengenai syahadah, menandakan bahwa persaksian manusia mengindikasikan semua peristiwa penting tentang adanya fitrah dalam beragama Islam dalam jiwa manusia sebelum ia dilahirkan. Kemudian konstruksi keturunan menggambarkan manusia diciptakan dari satu keturunan dan asal yang sama. Yakni berasal dari sari pati tanah. Hal ini mengartikan bahwa fitrah manusia sebenarnya sama. Namun, realitanya yang tidak demikian membuat kecenderungan menjadi sebab dari sebuah konflik dalam suatu masyarakat. Hingga akhirnya penulis menghasilkan prinsip-prinsip penting dalam pelaksanaan perdamaian diantaranya, adil, amanah, cinta (mahbbah), kasih sayang, sabar, musyawarah, dan salam. Alih kata, inti dari sebuah perdamaian adalah ketenangan dan keamanan dalam jiwa yang mana menggunakan beberapa komponen perdamaian yakni aktor, strategi dan tujuan. Perdamaian qur’ani dalam keluarga Al-Quranul Karim telah memberikan gagasan-gagasan menarik dalam mengaJudul : Al-Quran Bukan Kitab Teror tur sebuah tatanan dalam keluarga, baik dari segi agama, sosial, politik, budaya, Penulis : Imam Taufiq dan berbagai bidang lainnya. Terkhusus Penerbit : PT. Bentang Pustaka pada aktor seorang perempuan yang berperan sebagai seorang istri sekaligus ibu Tahun Terbit : 2016 dalam keluarga, telah dikhususkan oleh Halaman : 284 halaman surat dalam Al-Quran untuk manajemen kehidupannya. Resentator : Millati Azka Pengaplikasiannya dalam kehidupan seperti permasalahan hak seorang perempuan, permasalahan pernikahan, thalaq (perceraian), hak asuh anak dalam keluarga, massa iddah, permasalahan warisan, dan lain sebagainya. Salah satu penjabaran dari sebuah permasalahan yakni warisan, bahwa mediasi yang diberikan Al-Quran diantaranya; hukum warisan ditetapkan oleh syari’at
bukan pemilik harta tanpa mengabaikan keinginan pemilik, harta warisan yang ditetapkan Allah SWT serta pembagiannya itu diberikan kepada kerabat terdekat, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar. Kemudian, dalam pembagian diperhatikan juga sisi kebutuhan, ketentuan pembagian warisan ini adalah distribusi bukan monopoli, seorang wanita tidak dihalangi menerima warisan seperti yang terjadi dalam masyarakat Arab dahulu. Perdamaian qur’ani dalam masyarakat Manusia adalah makhluk sosial, yang pasti membutuhkan orang lain dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Manusia yang hidup bermsyarakat mengahasilkan berbagai macam bentuk komponen baik produktivitas atau sebauh problematika dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah dalam kegiatan dakwah mendakwah. Kegiatan mengajak, menyeru, membimbing, menyebarkan ajaran agama Islam dalam suatu masyarakat pasti akan ada suatu rintangan, tak lain dari kaki-kaki tikus pemerintahan ataupun dari orangorang non muslim. Namun, gagasan Al-Qur’an telah mengajarkan kepada umat Islam untuk berdakwah dalam beberapa mediasi diantaranya, prinsip kebijaksanaan (hikmah), nasihat yang santun (almauizhat al-hasanah), debat santun (wa jadilhum bil-al-lati hiya ahsan). Buku ini menarik untuk dibaca, berbagai gagasan-gagasan Qur’ani untuk menyelesaikan problematika sosial yang terjadi di setiap lapisan masyarakat tertuang di dalamnya, sehingga mampu meraih kedamaian untuk menuju perdamaian hakiki dalam setiap jiwa manusia.n
CERMIN
Bermula dari Tongkat Syeikh Jangkung Pohon asam raksasa di pelataran masjid agung Bringin, Ngaliyan, Semarang, dibiarkan tumbuh sampai kini. Di samping memiliki nilai sejarah yang kuat, pohon tersebut dikeramatkan.
Amanat. Sigit Amanat. Sigit
Jemaah Masjid Jami’ Assholihin bergegas meninggalkan masjid setelah melaksanakan sholat
U
sai memarkir motornya di pelataran masjid, Dwi Anang bergegas menuju tempat wudu di samping masjid. Perlahan ia membasuh anggota badan dengan air wudu. Pria asal Mangkang itu terbiasa berjama’ah salat Jumat di Masjid Agung Jami’ Assholihin usai pulang sekolah di SMA 13 Semarang. “Sholat di sini hawanya beda,” katanya. Meski sering mampir untuk salat jum’at, Anang mengaku tak mengerti seluk beluk masjid kebanggaan warga Bringin tersebut. Ia pun nampak gelagapan saat ditanya ihwal sejarah Masjid Agung Beringin.
Posisi Masjid yang berada di tepi Jalan Raya Beringin memang cukup strategis, sehingga sering dimanfaatkan penguna jalan untuk beristirahat atau beribadah. Namun, seperti halnya anang, banyak pengunjung yang tak tahu sejarah Masjid tersebut. Padahal masjid tertua di Kelurahan Beringin itu memiliki sejarah panjang. Terutama, kaitannya dengan proses penyebaran agama Islam di wilayah tersebut di masa lampau. Pohon dengan luas keliling sekitar lima depa orang dewasa itu menjadi bukti tempat tersebut punya sejarah panjang. Pohon besar itu tumbuh tepat di pelataran Masjid Jami’ Assholihin, Jalan Raya Beringin Tambakaji Ngaliyan Semarang. Saking besarnya, pohon berjenis asam Jawa itu sampai menutupi sebagian muka masjid. Ranting-rantingnya menjalar sampai ke atap masjid bercat hijau tersebut. Keberadaan pohon
Jami’ As-Sholihin disebut sebagai pohon asam terbesar di Beringin. Dikeramatkan
Sebagian orang menghubungkan asam tersebut dengan sejarah Kota Semarang yang namanya diambil dari kata Asam dan Arang, yang artinya asam jarangjarang
Ahmad Nadzir Ketua Takmir Masjid As-Sholihin
itu pun menambah teduh suasana area masjid. Pohon raksasa itu pun menjadi ikon yang melekat pada identitas masjid. Keberadaan pohon asam di depan Masjid itu rupanya memiliki sisi sejarah yang unik. Menurut Ketua Takmir Masjid Jami’ As-Sholihin, Ahmad Nadzir, asal mula pohon asam ini berawal dari kisah Syekh Jangkung yang berdakwah secara berkeliling atau pindah dari satu tempat ke tempat lain. Konon, ketika singgah di Daerah Beringin, Syekh Jangkung menanamkan tongkatnya di pelataran masjid. Ajaibnya, tongkat tersebut terus tumbuh menjadi sebuah pohon asam, hingga kini. Bahkan, sebagian orang menghubungkan asam tersebut dengan sejarah Kota Semarang yang namanya diambil dari kata Asam dan Arang, yang artinya asam jarang-jarang. Kini, pohon asam Masjid
Menurut Nadzir, pohon asam ini bukan pohon asam biasa. Bagi orang yang mampu melihat dengan mata batin, kata Nadzir, mereka akan mampu melihat keanehan serta keistimewaan tersendiri dari pohon asam ini. “Ada aura yang lebih kuat karena tempat itu punya keberkahan tersendiri,”katanya Menurut kepercayaan warga sekitar, kata Nadzir, ada yang ngrekso (menjaga ) keutuhan dan kelestarian pohon tersebut. Nadzir pun mengisahkan kemistisan pohon asam itu, saat santer wacana proyek tol Semarang - Batang yang melewati daerah Beringin, desain proyek jalan tol itu konon bakal menerabas masjid. Sehingga pohon harus ditebang atau dipindah ke tempat lain. Berbagai cerita mistis pun kemudian bermunculan. Ada yang menyebut, petugas proyek tol yang ingin menancapkan besi patok di sekitar masjid selalu gagal. Beberapa petugas bergantian, tetapi setiap kali melakukan pekerjaan, mereka merasa berada pada ruang gelap gulita. Padahal, pekerjaan itu dilakukan siang hari dan disaksikan tokoh-tokoh kampung Kelurahan Beringin. Pemancangan patok itu pun akhirnya dibatalkan, sementara lokasi rencana tol bergeser jauh ke sebelah utara masjid. Sejarah Masjid Selain keunikan pohon, masjid Jami Beringin punya nilai sejarah yang menarik. Menurut Ketua Takmir Masjid Jami’ As-Sholihin Ahmad Nadzir Masjid
Agung Beringin merupakan masjid tertua yang didirikan pertama kali di Ngaliyan, sekitar 500 tahun yang lalu semasa Sunan Kali Jaga. Tidak ada yang mengetahui pasti siapa yang mendirikan Masjid Jami’ Beringin. Namun, menurut Nadzir, mulanya kampung Beringin tidak ada. Penduduk kampung beringin ini mulanya tinggal di Daerah Sigogor, kini dikenal dengan Komplek Permata Puri. Nadzir mengisahkan, setiap waktu sholat, selalu terdengar suara bedug di sekitar wilayah Beringin yang pada saat itu masih berupa hutan belantara. Warga Sigogor kemudian menemukan sebuah Masjid yang masih berupa gubugan dan tidak terawat, namun di situ sudah ada sumber air serta sebuah bedug. Mengetahui ada keistimewaan pada masjid itu, warga kemudian memutuskan untuk merawat masjid tersebut dan bermukim di wilayah tersebut. Kondisi Masjid Jami As-Sholihin kini telah berubah bentuk setelah tiga kali mengalami pemugaran. Bahkan, menurut Nadzir, rencananya, masjid akan kembali direvitalisasi dengan menambah bangunan Masjid menjadi 2 lantai tanpa mengubah 4 tiang pokok yang masih asli. Saat ini, Masjid Jami’ As-Sholihin ramai oleh berbagai kegiatan keagamaan. Di antaranya, istighosah, kajian kitab kuning, tahlilan, dziba’an, serta kegiatan peringatan hari besar Islam.n Nur Isti Uswatun Khasanah
AMANAT Edisi 126
September 2016
17
MIMBAR Pendidikan Multikultural Berbasis Afektif Sufistik Oleh Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, M.A.
S
ejarah munculnya ide tentang pendidikan multikultural pada awalnya adalah untuk menyempurnakan kekurangan pendidikan interkultural yang hanya peduli terhadap kelompok minoritas. Sejak itu, pendidikan multikultural mulai diperhatikan. Pendidikan ini dapat dijadikan sarana untuk memahami keragaman yang ada pada masyakarat, dalam rangka mengeliminir munculnya konflik sosial akibat kemajemukan dan keberbedaan budaya. Gagasan tentang pendidikan multikultural ini dilatarbelakangi oleh sebuah asumsi, bahwa tiap manusia memiliki identitas, sejarah, pengalaman hidup, dan kecenderungan psikologis yang beragam. Atas dasar pandangan ini, maka kemajemukan agama, keragaman pandangan, madzhab, partai, golongan, kultur, dan tradisi merupakan sebuah keniscayaan atau sunnatullah yang tidak bisa ditolak. Karena itu, hidup bersamaan dengan berbagai individu dan kelompok yang berbeda latarbelakangnya, menjadi tidak dapat dihindarkan. Kebersamaan dalam keberbedaan ini akan semakin penting, ketika kita dihadapkan pada realitas Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya, dengan adanya 200 bahasa dan dialek lokal, 350 kelompok etnis dan adat istiadat, serta enam agama (Islam, Katolik, Kritsten Protestan, Hindu Budha, Konghucu) dengan berbagai macam alirannya. Kemajemukan tersebut bila tidak ditangani secara baik dan arif, sangat berpotensi menimbulkan konflik dan tindak kekerasan antar kelompok masyarakat. Munculnya kasus kerusuhan sektarian antar umat beragama diberbagi tempat. menunjukkan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, minimnya peran pendidikan dan agama dalam kehidupan masyarakat. Sehingga diperlukan pendidikan yang mengedepankan aspek multikultural. Pentingnya Pendidikan Multikultural Model pendidikan ini, dianggap penting karena didasarkan atas berbagai pertimbangan. Pertama, Pendidikan yang jalankan selama ini, sebagian besar menghasilkan sikap keberagamaan yang kurang toleran terhadap perbedaan dan kurang peka terhadap realitas yang pluralistik multikultural. Kedua, adanya realitas pluralitas bangsa Indonesia yang ditandai dengan berbagai ragam suku, etnis, bahasa, golongan, partai, dan agama. Ketiga, adanya pemahaman dan pendekatan terhadap teks-teks agama yang bersifat monolitik, eksklusif dan apologetik, sehingga kadangkala mendorong tindakan semena-mena terhadap kelompok lain dengan alasan agama Pendidikan Berbasis Rasa Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, maka Sufistik menawarkan konsep pendidikan multikultural berbasis afektif (rasa) dengan karakteristik pada pengembangan paradigma keberagamaan yang inklusif. Pengembangan kesadaran untuk dapat belajar hidup dalam perbedaan, penanaman sikap toleran, cinta keharmonisan, kebaikan dan kemaslahatan, saling
18
September 2016
menghargai, menghormati dan saling menyayangi. Aktualisasi pemikiran tersebut, dapat dilihat pada tataran konsep pendidikan multikultural berbasis afektif yang dibangun oleh Imam al Ghazali. Secara konseptual, al Ghazali, salah satu tokoh Psikologi Sufistik, menawarkan ide tentang pendidikan fiqh yang bernuansa afektif multikultural. Model pembekalan ilmu fiqh yang dapat memberikan kontribusi bagi kesempurnaan psikologis dalam tiga hal: yaitu kesempurnaan dalam berfikir, kesempurnaan dalam berkeinginan dan kesempurnaan dalam berperasaan. Dengan model pembekalan keilmuan tersebut, anak didik diharapkan memiliki keseimbangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang berdampak positif bagi kedewasaan mental. Sehingga mampu memahami realitas hidup dalam keberbedaan. Konsep ini dapat diaktualisasikan, manakala proses pembelajaran fiqh menekankan integrasi pengembangan kognitif dan afektif yang dapat merespon terhadap substansi ajar, untuk kesempurnaan moral. Selain tersebut, al Ghazali juga menawarkan konsep pendidikan kalam (teologi) yang bernuansa afektif multikultural. Al Ghazali mengatakan, apabila anda mempelajari ilmu (kalam), maka seharusnya ilmu anda itu memiliki daya dorong terhadap hati anda untuk selalu baik dan bersih dari berbagai dorongan perilaku yang tercela, kemudian melahirkan implikasi positif untuk senantiasa beribadah kepada Allah dan mencintaiNya, serta mencintai terhadap segala tingkah laku yang baik dan terpuji. Apa yang disampaikan al Ghazali tersebut dapat dipahami arahnya, bahwa fokus pendidikan kalam tidak hanya diorientasikan pada pengembangan kecerdasan akal pikir secara kognitif, melainkan juga disertai penekanan pada pengembangan kecerdasan emosional dalam tataran afektif dan kecerdasan spiritual dalam tataran perasaan metafisik yang berkaitan dengan Allah. Hasil yang diharapkan dari pendidikan tersebut adalah kemampuan kognitif yang disertai rasa mahabbah (cinta) kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena, potensi mahabbah ini dalam pandangan Psikologi Sufistik dapat membentuk perilaku psikologis yang konstruktif, baik dalam ucapan, perbuatan, sikap, persepsi maupun pemikiran. Oleh karena itu, konsep pendidikan fiqh dan kalam yang bernuansa multikultural lebih diarahkan pada pengembangan afektif yang mampu merasakan berbagai realitas yang bersifat multikultural. Pengembangan yang dimaksud meliputi, pertama, pengembangan sikap toleran, empati dan simpati terhadap orang lain. Kedua, sikap mencintai nilai-nilai kebersamaan dan keharmonisan. Ketiga, nilai-nilai yang berpengaruh terhadap kedewasaan emosional. Keempat, sikap atas pengakuan terhadap kehadiran etnis, kelompok, budaya, agama, atau aliran paham lain. Kelima, sikap saling percaya satu dengan yang lain. Keenam, sikap setia untuk menerima perbedaan dan persamaan antar berbagai ragam pemikiran, pandangan dan pendapat. Ketujuh , sikap apresiasi terhadap tatanan sosial yang plural. Pendidikan berbasis tingkah laku afektif yang bernuansa multikultural tersebut, secara substansial sejalan dengan
AMANAT Edisi 126
semangat ajaran Sufistik yang mengembangkan moralitas multikultural melalui dua hal: pertama “al sidq ma‘a Allah” (jujur bersama Allah), kedua “husn al mu‘amalah ma‘a al nas” (berperilaku baik dengan sesama manusia). Solusi Pengembangan Ide tentang pendidikan multikultural awal mulanya dikembangkan di Amerika Serikat dan negera-negara Eropa Barat, saat muncul tuntutan untuk persamaan hak dari masyarakat kulit hitam sebagai minoritas kepada masyarakat kulit putih sebagai mayoritas. Gagasan pendidikan multikultural tersebut, kemudian dikembangkan di Indonesia, dengan pertimbangan karena Indonesia adalah negara yang memiliki potensi kemajemukan yang sangat beragam. Sehingga sering terjadi konflik sosial dalam bentuk kekerasan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui pendidikan multikultural ini, keanekaragaman kultural yang berpotensi konflik diharapkan dapat dikelola dengan baik, sehingga tercipta kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan. Namun dalam kenyataan, pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia, masih bersifat sekuler, dan belum efektif dalam menekan timbulnya konflik antar individu, kelompok dan masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan melalui catatan berbagai konflik antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh sentimen primordialisme. Atas dasar kenyataan tersebut, maka pengembangan pendidikan multikultural yang ada, perlu didesain ulang dalam model pembelajaran yang lebih menekankan pada penanaman norma-
norma etis kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan dalam tataran keduniaan dan keakhiratan. Pemikiran ini dapat dianggap coherent (masuk akal) bila dikaitkan dengan sebuah pandangan yang menyatakan bahwa realitas yang berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam hidupnya, tidak hanya bersifat duniawi yang teramati terukur, melainkan juga bercorak spiritual transendental yang tak terpikirkan. Desain pengembangan pendidikan multikultural tersebut, merupakan sebuah keniscayaan, karena manusia sebagai objek dan subjek pendidikan, memiliki kesadaran psikologis dalam tiga tahapan yaitu, tahap estetis, tahap etis, dan tahap religius. Setelah manusia sampai pada tahapan etis dan religius, secara psikologis muncullah kesadaran dari dalam dirinya untuk menghargai norma-norma etis dan keinginan untuk berhubungan dengan Adikodrati. Dalam istilah sufistik disebut sebagai keinginan untuk selalu taqarrub ila Allah. Untuk memenuhi kebutuhan akan kesadaran psikologis tersebut, maka pendidikan multikultural yang masih sekuler perlu diintegrasikan dengan pendidikan afektif yang bermuatan moral multikultural dalam bingkai Sufistik. Hasil yang diharapkan dari pengembangan pendidikan multikultural tersebut adalah terwujudnya output yang shalih, berakhlak mulia kepada Allah, kepada sesama manusia dan kepada makhluk Allah yang lain. Hal ini selain sejalan dengan landasan aksiologi Psikologi Sufistik yang menaruh perhatian pada nilai-nilai moral, juga sesuai dengan spirit ajaran sufistik yang lebih mengutamakan akhlak mulia.
Prof. Dr. H. Abdullah Hadziq, M.A.
Guru Besar bidang Tasawuf Psikoterapi UIN Walisongo Semarang
KAJIAN
Rekonstruksi Murtad di Era Modern Oleh Dr. Rokhmadi, M.Ag.
Pendapat jumhur ’ulama’ yang menetapkan hukuman bagi pelaku murtad adalah hukum mati (dibunuh) tidak tepat, jika dikaitkan atau diterapkan pada negara bangsa modern. Banyak bukti historis menunjukkan, Nabi Muhammad saw tidak menghukum mati atas orangorang yang murtad.
Di antara bukti sejarah pertama, berasal dari Hadits riwayat al-Bukhari yang menunjukkan Rasulullah tidak menghukum seorang Badui yang murtad. ‘Abdullah bin Maslamah menceritakan kepada kami dari Malik dari Muhammad bin al-Munkaridi dari Jabir bin ‘Abdullah berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Rasul dan menyatakan dirinya masuk Islam. Ia kemudian diserang penyakit wa’k (penyakit akibat terlalu lelah) di Madinah dan hari berikutnya datang lagi kepada Rasul dan berkata: Ya Rasulullah, kembalikan sumpahku, tetapi Nabi menolak, lalu ia datang lagi dan berkata kembalikan sumpahku (ia murtad), tetapi Nabi menolak permintannya. Lalu orang itu pun pergi. Lalu Nabi bersabda: “Madinah itu seperti alat peniup yang menghapus kotoran dan menjaga kemurniannya” (HR. al-Bukhari, VIII, 1981: 124) Bukti historis kedua, ketika terjadi peristiwa isra’ mi’raj yang terjadi sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Menurut Haekal, sebagian besar orang-orang Makkah yang sudah Islam berbalik menjadi kafir, karena Muhammad saw. yang mereka yakini sebagai pembawa risalah agama Islam
menceritakan pengalaman spiritual pribadinya dalam perjalanan isra miraj yang menurut mereka tidak masuk akal. Perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. hanya butuh waktu kurang dari semalam, sementara mereka (orang-orang Quraisy), jika melakukan perjalanan ke Palestina harus memerlukan waktu berbulan-bulan dengan mengendarai unta. Kendati demikan, Rasulullah tidak memberi sanksi apapun kepada mereka yang murtad, apalagi membunuhnya (Haekal, 1990: 159). Bukti sejarah berikutnya, pada saat peristiwa fath al-Makkah, setelah Nabi Muhammad saw. menguasai kaum Quraisy yang dilakukan tanpa perlawanan berarti. Berkat keluhuran budi perkertinya, Rasulullah memberikan pengampunan kepada semua orang Quraisy, kecuali 17 orang yang ditetapkan untuk dibunuh. Namun, mereka dibunuh, bukan karena kemurtadannya, tetapi karena kejahatannya yang begitu besar terhadap orang-orang Islam. Di antara mereka adalah ‘Abdullah bin Abi al-Sarh yang dulunya masuk Islam dan menjadi salah satu penulis wahyu, kemudian murtad dan bergabung dengan orang-orang Quraisy dengan menpropagandakan bahwa ia telah memalsukan wahyu ketika menuliskannya. Selain itu, ada Ikrimah bin Abi Jahl, ia dibunuh karena melakukan perlawanan kepada Nabi Muhammad saw. dan kaum muslimin ketika pasukan dipimpin oleh Khalid bin Walid (Haekal, 1990: 159). Menurut al-Alwani, adanya perintah membunuh atas mereka itu karena peran mereka yang selalu mengajak orang-orang musyrik untuk memerangi orang-orang Islam. Mereka juga menghalang-halangi orang-orang Islam dari jalan Allah, di antaranya, Muqais bin Ababah al-Laysi dan ‘Abdullah bin Kaththal (al-Alwani, 2006: 138). Hal tersebut menunjukkan, Nabi Muhammad saw. menjatuhkan hukuman mati bagi orang-orang murtad tersebut, tidak hanya karena perbuatan kemurtadannya, tetapi lebih disebabkan perbuatan kejahatannya yang besar kepada orangorang Islam. Sementara itu, pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra, ada beberapa faktor yang menyebabkan ia memerangi ahl al-riddah/murtad. Menurut Philip K. Hitti bahwa perang riddah yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. terhadap ahl al-riddah karena mereka melakukan pembangkangan dengan tidak mau membayar zakat serta melakukan pemberontakan kepada penguasa (Philip K. Hitti, 1990: 141). Selain itu, menurut Ira M. Lapidus, adanya beberapa suku Arab yang masuk konfederasi Nabi Muhammad saw. yang dilakukan secara terpaksa, mencoba memperoleh kembali independensi mereka untuk memisahkan diri dari pemerintahan Abu Bakar ra. dan mengikuti sejumlah nabi-nabi palsu yang ada di antara mereka (Ira M. Lapidus, 1988: 38), Menurut Ahmad Syalabi, orang-orang kafir tersebut juga merasa bahwa Islam telah menjadikan mereka di bawah kekuasaan orang-orang Quraisy. (Syalabi, 1987: 229). Beda Era Setting sosial pada saat Nabi Muhammad saw. menjabat sebagai kepala negara Madinah dan pada masa sesudahnya, yaitu khulafa al-rasyidin sampai abad pertengahan, bahwa dasar-
dasar negara (khususnya Negara Timur Tengah dan Eropa) tidak sama dengan dasar-dasar negara pada negara bangsa modern. Pada abad pertengahan, pemikiran mengenai hal-hal kenegaraan sangat terbatas, sehingga yang dijadikan dasar-dasar negara pada saat itu adalah agama yang dipeluknya. Dalam sejarahnya, Islam merupakan sebuah identitas nasionalisme di negara-negara Timur Tengah, sehingga Islam merupakan simbol Negara di Timur Tengah, sedangkan Kristen merupakan simbol Negara di Eropa. Orang Islam adalah rakyat dari setiap komunitas Islam dan merupakan anggota dari setiap jamaahnya, demikian halnya orang Kristen adalah rakyat dari setiap komunitas jamaahnya. Bagi minoritas keagamaan dalam setiap komunitas akan menerima perlindungan agama mayoritasnya, misalnya istilah kafir dzimmi adalah penduduk non Islam dalam negara Islam, tetapi mereka tunduk pada hukum Islam (al-‘Asymawi, 2012: 146). Jelas, pendapat jumhur ‘ulama’ yang telah menetapkan hukuman bagi pelaku murtad, yaitu hukuman mati (dibunuh) tidak tepat, terutama jika dikaitkan dengan negara bangsa modern. Meskipun, pendapat jumhur ‘ulama’ tersebut didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits. Menurut penulis, murtad yang bisa dijatuhi hukuman mati adalah murtad yang berkaitan dengan pembelotan kepada orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam, bukan murtad dalam keyakinan semata, karena hal itu justru bertentangan dengan keumuman ayat “la ikraha fi al-din” dalam QS. alBaqarah: 256. Pada era negara bangsa modern (nation state) saat ini, sudah tidak sesuai lagi, jika pelaku al-riddah (murtad) masuk dalam kategori tindak pidana (jarimah) dalam hukum pidana Islam, apalagi masuk kategori jarimah hudud yang menjadi hak Allah (publik), karena bertentangan dengan nilai-nilai al-Qur’an yang menjelaskan mengenai kebebasan beragama yang sudah menjadi hak asasi manusia, yang ditetapkan oleh piagam internasional maupun teks perundangundangan negara. Dasar Hukum Lemah Istinbath hukum yang digunakan jumhur ‘ulama’ dalam memberikan sanksi berupa hukuman mati bagi pelaku murtad, mengacu dasar Hadits Nabi Muhammad saw, riwayat alBukhari, dan Muslim yang artinya, “Dari Ibnu ‘Abbās ra. berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengganti agamanya (murtad), maka bunuhlah ia” (HR. Al-Bukhari, 1992, VIII: 372). “Dari ‘Abdillāh berkata: Rasūlullāh saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena tiga perkara; orang yang muhshan berzina, atau orang yang membunuh jiwa karenanya ia harus dibunuh, atau orang yang meninggalkan agamanya (murtad) dan berpisah dari jamaahnya” (Muslim, 1983, III: 1302-1303). Menjadikan kedua Hadits tersebut mejadi dasar istimbath hukum jumhur ulama tersebut adalah tidak tepat. Dasar hukum murtad berdasarkan Hadits yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas tersebut, menurut Thaha Jabir al-‘Alwani, tidak dapat digunakan se-
bagai hujjah (dalil) karena hadits tersebut statusnya hadits dlaif yang tergolong mursal (al-Alwani, 2006: 133). Menurut Darodji, hadits mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya seorang setelah thabiʻin (Darodji, 1986: 138). Hadits mursal statusnya tidak dapat dipakai sebagi dasar hujjah (dalil) untuk menetapkan hukum, apalagi untuk menetapkan hukuman mati bagi pelaku murtad karena keyakinan semata. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, yang dimaksud mengganti atau menukar agamanya adalah dalam hal dzahir, yaitu murtad yang berkaitan dengan pembelotan kepada orang-orang kafir dalam peperangan, bukan murtad dalam batin semata. (Ibnu Hajar, 2000: XII: 336-337). Menurut al-‘Asymawi, Nabi Muhammad saw. pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan mengganti agama (tabdil ad-din); apakah ia mengganti agama apa saja termasuk ia masuk Islam menggantikan agama sebelumnya, atau yang Nabi maksud hanya mengganti agama Islam menjadi agama lainnya. Meskipun hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, pernyataannnya itu bertentangan dengan al-Qur’an yang menjelaskan, sanksi hukuman bagi pelaku murtad/riddah adalah hanya berupa sanksi non-fisik, yaitu hukuman di akherat mereka akan merugi karena tidak diterima amalan ibadahnya dan akan dimasukkan ke dalam neraka (baca: QS. al-Baqarah: 217). Padahal jika ada hadits yang bertentangan isinya dengan al-Qur’an, maka ketentuan dalam al-Qur’an lah yang harus didahulukan. Al-Adhabi menegaskan, para ahli hadits telah sepakat bahwa setiap riwayat yang bertentangan dengan isi al-Qur’an harus ditolak, tidak dapat dipakai sebagai hujjah, karena al-Qur’an adalah kitab Allah yang telah terjamin kemurniannya dari segala perubahan dan pemalsuan (al-Adhabi, 2002: 104). Menurut al-‘Asymawi, belum ada kepastian Nabi Muhammad saw. telah menetapkan hukuman bagi orang yang keluar dari agama Islam kepada seorangpun. Sebaliknya, di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menjelaskan mengenai kebebasan beragama, sebagai berikut; QS. al-Baqarah (2): 62; QS. al-Baqarah (2): 256; QS. Yūnus (10): 99; dan QS. alKahfi (18): 29. Karena itu, jarimah murtad tidak dapat dikategorikan sebagai jarimah hudud, sebagaimana ayat-ayat al-Qur’an yang telah menjelaskan mengenai kebebasan beragama dan tidak secara khusus menjelaskan mengenai hukuman bagi orang yang murtad. Kebebasan beragama juga telah ditetapkan menjadi hak asasi manusia yang diatur di dalam piagam internasional maupun oleh teks undang-undang suatu negara. Sebagaimana Ketentuan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan MU dalam Resolusi 217A (HI) 1998 pasal 2 ayat (1), juga ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 3 (3), serta UUD 1945 pasal 28E ayat (1). n Dr. Rokhmadi, M.Ag. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo
AMANAT Edisi 126
September 2016
19
CERITA ERITA P ENDEK ENDEK S
20
September 2016
AMANAT Edisi 126
Sebungkus Kelaras di Pagar Bambu
Ilustrasi Ahmad Shodiq
ebagian orang sudah menyangka, kematian Sanarta akan berbuntut kecurigaan yang berbelit. Kakek tua yang seorang itu mati meninggalkan setumpuk riwayat perselisihan. Ia mewariskan permusuhan dengan keluarga Sukono. Sampai sore hampir habis, jasad Sanarta masih terbujur kaku di sudut kamarnya. Tak ada yang mengurus. Kepala agak miring ke sudut pintu, sedang mukanya tertutup bantal. Seperti dikatakan banyak orang, yang pertama direbutkan anak-cucu bukan sebuah bakti melainkan warisan. Adapun warisan yang ditinggalkan Sanarta ialah kecurigaan terhadap siapa yang sudah membunuhnya. Hanya ada Siti menunggui di kamar. Dia ada dalam persoalan yang sama tapi lain cara ia bersikap. Kitab majmu’ lekat di genggamannya sementara bibir merapal Yasin yang sudah ia selesaikan entah berapa kali. Sanak yang lain entahlah, hanya ribut di luar. “Kata istriku Minem, cucu Sukono seliweran sudah sejak malam menjelang.” Martin memulai kecurigaan. Di tangan kirinya ia tunjukkan ke banyak orang benda kecil dibungkus kelaras. Di luarnya diikat tali rotan. Ukurannya tiga kali ibu jari orang dewasa. Martin menunjukkannya setelah melapiskan sapu tangan putih polos pada telapaknya. “Ini isinya asma’, pasti bocah itu yang menaruh,” telunjuknya mengarah pagar bambu. Tetangga yang melihat tak bersuara. Hanya melihat raut Martin yang merah api. Barangkali begitulah wujud setan kalau terlihat secara nyata. Sesekali Siti keluar. Tak ada tandatanda ribut itu bakal selesai dalam sebentar. Sanak keluarga Sanarta sedang diguncang bungkusan kelaras. Bungkusan kecil yang karenanya seseorang kehilangan nyawa. “Roh! Siapkan dirimu, sore ini kita labrak Sukono!” nadanya tinggi dan pendek. Roh adik Martin yang kekar itu lantas berdiri. “Kapanpun siap kang!” “Sebentar,” Siti menyela, “apapun yang musti diselesaikan, selesaikanlah. Tapi apa tidak lebih baik berita duka ini diumumkan dulu di mushalla?” Roh berhenti, “bagaimana kang?” matanya menagih jawaban Martin. “Itu urusan belakang. Dicari dulu siapa pembunuhnya, sekalian keduanya diumumkan nanti!” jawab Martin nadanya tambah tinggi. Keduanya kembali berjalan. Langkahnya lebih cepat. Belum jauh Nyaman memanggil sambil berlari. Ia mendekati Roh. Menyingkapkan baju dari belakang. Menyelipkan tonggak kecil, “ini, untuk apapun yang membahayakan Martin dan kamu Roh.” Roh membetulkan posisi benda itu—parang. *** Sukono menyandarkan bahu pada saka Mahoni di teras rumahnya. Mata memandang jauh ke ujung jalan. Menunggu siapa bakal menuju rumahnya membawa ribut. Sesekali menengok anak istri di belakang. Aminah istri Sukono gelisah. Mengaduk gula dalam gelas pun tak beraturan. “Sebentar lagi pasti datang,” Sukono bicara sendiri dalam hati. Aminah mengintip dari celah sekesel. Matanya awas dan gelisah. Bola matanya bergerak ke pintu
Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin
dan suaminya bergantian. Sukono menatapnya tak sengaja. Kegelisahan yang sama. Begitu cepat, kini berkobar di seisi rumah. “Tidak ajak tetangga saja pak kemari?” Aminah menyarankan, bibirnya tak begitu lancar karena waswas. Dia tak banyak bicara. Ada ketakutan yang musti ia tekan dalamdalam. Dan itu membuat napasnya sesak dan berat saat berkata-kata. Pikirannya terbayang beberapa tahun lalu. Dalam keadaan yang barangkali tidak sebesar yang di depan ini. Sanarta dan Sukono menjadi orang yang hampir saling membunuh. Perkaranya hanya anak lelakinya bermain dengan Siti cucu Sanarta sampai lewat larut. Yang begitu saja keduanya sudah saling mengibliskan satu sama lain sambil mengacungkan parang. Ribut menjadi lebih besar sejak tanah di belakang rumah Sanarta kehilangan pemilik. Sukono dan Sanarta sama-sama mengakui itu tanah mereka. Maka panjanglah urusan itu. “Apa perlu melibatkan tetangga untuk urusan begini?” “Apapun yang terjadi, akan aman jika banyak yang menjadi saksi, Pak.” Sukono bangkit dari kursi. Pintu rumah tetangga sudah menunggu untuk dimintai tolong. Baru di teras rumah, dua orang dengan langkah kasar datang dari jauh. Tampak jelas lelaki kekar yang satu itu siap me-
mangkas apa saja yang menjegal. Bahkan untuk hal yang hanya menjegal telinga pun ia siap menumpas. “Ee kau! Mau lari ke mana!” suaranya keras. Dengan itu saja tetangga sudah keluar dan berkerumun di depan rumah masing-masing. “Datang dari jauh, tidakkah untuk bicara baik-baik di dalam?” sambut Sukono gemetar. “Tidak perlu!” Sukono mengawasi Roh yang kapanpun siap menerkam jika ia mau. Dari dalam rumah Aminah membawa beberapa gelas teh hangat. “Ini, monggo,” katanya. Sukono melanjutkan dengan mengarahkan telunjuknya ke arah Aminah. Martin menarik leher ke belakang. Membuat mulutnya sejajar telinga Roh, “barangkali racun di dalamnya.” Roh mengurut leher sambil mengangguk beberapa kali. “Tak perlu berlama-lama! Ini ulahmu kukembalikan!” Sukono menatap tajam benda itu. Bukan benda yang asing. Benda yang sering digunakan untuk mencelakai orang. Juga benda yang baru dipegangnya beberapa waktu lalu. “Cucumu yang kemarin membawa! Tak usah menyangkal, semua tahu!” “Kalau sudah banyak yang tahu, apa boleh buat.” “Kau tak menyangkal? Banyak saksi mendengar!” “Sama sekali tidak, tapi ada
penjelasan yang musti kau dengar, mumpung ada saksi,” Sukono kembali gemetar. “Kebohongan?” “Bukan, sama sekali bukan.” “Cepat selagi Roh masih sabar,” Roh menimpali sambil menekuk tangan ke belakang. “Pada dasarnya itu perbuatan Sanarta sendiri.” “Berani kau!” “Belum selesai,” Sukono mundur beberapa langkah. “Tengah malam itu, Sanarta sendiri yang meletakkan benda itu di rumahku. Tahu berbahaya, aku menyuruh cucuku mengembalikannya. Hanya kesalahannya satu, menaruh di pagar karena takut masuk ke dalam membawa urusan begitu. Belum lagi bisa saja nantinya Sanarta yang balik menuduh.” “Cerita bohong!” Roh melotot. Di sebelahnya Martin lebih melotot. “Demi apapun akan kusebut.” “Nampak sekali raut muka bohong!” Barangkali Sukono benar. Atau justru Martin yang benar. Antara takut dan tidak jujur. Semua tergambar di wajah Sukono. Juga para tetangga, tak dapat menilai mana yang benar. Mereka bukan saksi yang bisa diharapkan untuk urusan ini. Sukono mundur. Sebaliknya, Roh maju dan mengejar, “Ee! mau lari ke mana!” *** Sanarta bangun tiba-tiba. Siti terperanjat. Ia lantas keluar, memanggil Nyaman ayahnya. Nyaman segera masuk. “Bapak, lihat pak, kakek hidup lagi.” Sanarta celingukan menatap banyak orang di kamarnya. “Mana Martin?” “Di rumah Sukono.” “Perlu apa di sana?” Semua diam. Kecuali Siti, “tadi kakek meninggal, lalu paman ke rumah paman Sukono,” “Cepat suruh pulang! dan sampaikan beberapa hal pada Sukono.” *** Nyaman berlari menuju rumah Sukono. Membawa banyak keterangan. Juga banyak permintaan maaf dari Sanarta. Ya, maaf yang beribu jumlahnya. Terkait beberapa hal yang selama ini menjadi api antara kedua keluarga itu. Baru sekarang ini Sanarta mengakui bahwa tanah di kebun belakang sana itu milik keluarga Sukono. Sepenuhnya! Juga benda kecil berbungkus kelaras itu pun sebenarnya ulah Sanarta sendiri. Ingin kiranya saksi hidup atas kepemilikan tanah yang tiada lain adalah pemilik tanah itu sendiri agar segera mati. Tapi apa boleh diributkan lagi, senjata sudah memakan tuannya sendiri dan perkara sudah terlanjur panjang. Di sepanjang jalan orang melihat Nyaman berlari sekencang angin. “Cepat, tadi Roh lari pegang parang mengejar Sukono.” “Tak mengapa, itu parang palsu, tak dapat hilangkan nyawa,” Nyaman mempercepat lajunya. Barangkali Roh menemukan benda lebih tajam di jalan, pikirannya mulai kuatir dan ia terus berlari. Keterangan: majmu’: kitab kecil berisi Surat Yasin dan do’a-do’a asma’: kekuatan gaib, biasanya diisikan pada benda yang digunakan untuk melindungi diri atau mencelakai orang monggo(Jawa): silakan
SASTRA ASTRA B UDAYA UDAYA
n Risalah Mantra
“Bismillahirrahmanirrahim”
Mungkin pagi itu penuh aurah Masa yang masih dekat dengan malam Kusemayamkan mantra bersama gemuruh sejuk Kutekadkan untuk bergerak yang merindu fajar Ah, tentang semua itu tak berlaku di setiap pagiku yang tak berawal dengan mimpimu 19 September 2016
“Alhamdulillah”
Tradisi Syawalan di Kaliwungu menjadi destinasi wisata religi yang kian ramai. Sakralitas Syawalan memudar karena konsentrasi peziarah terpecah dengan pasar.
Para peziarah memadati kompleks pemakaman KY Guru di Protomulyo Kaliwungu Selatan
M
alam itu suasana kompleks pemakaman Jabal Desa Protomulyo Kaliwungu Kendal tampak berbeda dari biasanya. Dalam kesunyian yang makin larut, alunan dzikir, tahmid dan tahlil kepada Allah SWT menggema dari dalam kompleks makam. Suara itu berasal dari peziarah makam-makam aulia di kota santri Kaliwungu Kendal yang dikenal dengan tradisi Syawalan Kaliwungu, 13/07/2016. Salah seorang peziarah, Muhammad Rofiq yang tengah duduk di teras makam mengatakan, kedatangannya ke sana berniat bersilaturahmi, beribadah dan berkirim doa kepada para pendahulu. Rofiq percaya, silaturahmi selain dilakukan kepada sesama yang masih hidup, juga kepada orang yang sudah meninggal. “Tiap syawalan, saya ziarah ke makam ini,” katanya. Di makam itu Rofiq mendoakan para wali sekaligus mengharap berkah kebaikan dari Allah SWT melalui perantara aulia. Selain itu ia juga berusaha mengenang perjuangan dan ajaran dari mereka. ‘’Semoga ajaran para tokoh besar ini bisa menjadi teladan’’ ujar warga Brangsong itu. Tradisi syawalan tak asing di telinga masyarakat Jawa, karena biasa ditemui dalam ritus adat setelah bulan ramadhan. Tradisi syawalan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Ketika Islam hendak bersinggungan dengan budaya Jawa, timbul ketegangan yang muaranya menimbulkan ketidakharmonisan masyarakat. Melihat fenomena itu, para ulama Jawa lantas menciptakan akulturasi-akulturasi budaya, yang memungkinkan agama baru itu diterima oleh masyarakat Jawa. (Umar Kayam, 1997) Awal Mula Tradisi Tradisi syawalan dirintis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit,
dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Setelah sungkeman, biasanya dilakukan jamuan makan dengan menu utama ketupat yang disebut kupat luar. Bagi masyarakat Jawa, ketupat memiliki makna filosofi yang dalam. Ketupat biasanya dibuat dari tiga bahan utama, yaitu janur kuning, beras, dan santan. Janur kuning atau pelepah daun kelapa muda, merupakan lambang tolak bala atau penolak bahaya. Sementara beras sebagai simbol kemakmuran, dianggap sebagai doa agar masyarakat diberi kelimpahan kemakmuran setelah hari raya. Sedangkan santan (sari buah kelapa) yang dalam bahasa jawa disebut santen, berirama dengan kata ngapunten, yang berarti memohon maaf. Kata “Kupat Luar” berasal dari kata “Pat” atau “Lepat” (kesalahan) dan “Luar” yang berarti di luar, atau terbebas atau terlepas. Maknanya, dengan memakan ketupat, orang diharapkan akan ingat kembali bahwa mereka sudah terlepas dan terbebas dari kesalahan. (Ibnu Djarir, 2007). Dengan kearifannya, para ulama Jawa dulu mampu memadukan beragam budaya yang bertolak belakang, demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Makam Kiai Asy’ari Di Kaliwungu, tradisi syawalan diartikan berbeda. Juru kunci makam KH. Asy’ari, Syailani mengatakan, dalam tradisi masyarakat Kaliwungu, Syawalan berasal dari sebuah peringatan wafat (haul) Kiai Asy’ari (Kiai Guru) dengan cara menziarahi makamnya setiap tanggal 8 Syawal. “Tepat satu minggu setelah Hari Raya Idul Fitri,” ungkapnya. Syailani menjelaskan, Kiai Asy’ari adalah penyebar agama Islam di Kaliwungu Kendal setelah Sunan Katong. Kiai Asy’ari yang juga dikenal sebagai Kiai Guru, mulai menyebarkan agama Islam di Kaliwungu Kendal dan sekitarnya, pada tahun tahun 1.700 M. Sementara Sunan Katong menyebar agama Islam pada tahun 1.400-an. Awalnya, lanjut Syailani, kegiatan ziarah mengirim doa di makam Kiai Asy’ari ini hanya dilakukan oleh keluarga dan keturunan Kiai Asy’ari. Namun, lama kelamaan, tradisi ziarah itu diikuti oleh masyarakat muslim di Kaliwungu dan sekitarnya.
Kegiatan syawalan itu pun semakin meriah dengan jama’ah yang terus bertambah. Bahkan, objek ziarah yang dituju semakin meluas, bukan hanya di makam Kiai Asy’ari saja, tetapi juga sampai ke makam Sunan Katong, Kiai Mustafa, Kiai Musyafa’, dan Kiai Ahmad Rukyat. “Terbukti, dengan penuh sesaknya peziarah di tempat ini,” ujar Syailani. Prosesi syawalan biasanya dibuka oleh Bupati, dilanjutkan dengan jalan kaki bersama para Kiai dan masyarakat Kaliwungu menuju makam Kiai Asy’ari. Sesampai di makam, ada pembacaan riwayat hidup singkat Kiai Asy’ari, dilanjutkan tahlil. Amelioratif Makna Syawalan Camat Kaliwungu, Dwi Giri Pragito mengatakan Syawalan Kaliwungu merupakan penggabungan antara wisata religi dan wisata modern. “Antusias masyarakat sangat tinggi,” ujarnya Gito menilai, area kegiatan Syawalan cukup luas untuk ukuran Kota Kendal, mulai alun-alun depan masjid Agung Kaliwungu hingga lapangan Brimob depan eks gedung bioskop Kaliwungu. Sedangkan dari arah utara sampai selatan yaitu sepanjang pinggir jalan raya Soekarno-Hatta hingga lokasi makam Sunan Katong dan Kiai Guru. “Semua lokasi yang ada penuh dengan berbagai macam hiburan dan para pedagang musiman,” Tandasnya. Seiring perkembangan zaman makna syawalan semakin meluas. Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Pelajar Islam Kauman (APIK) Kaliwungu, Sholahuddin Humaidulloh, mengatakan, masih banyak yang memaknai Syawalan sebagai hal yang sakral, yakni perjalanan silaturahim rohaniah antara orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal. “Kita kenal dengan ziarah kubur,” ujarnya. Namun tidak dipungkiri, lanjut Sholahuddin, Syawalan telah mengalami perluasan makna (Amelioratif ). Jika dahulu kegiatan Syawalan ini benarbenar terasa sakral transendental, maka kini kesakralan ini telah terdegradasi oleh citra baru. Masyarakat kini mulai mengidentikkan Syawalan dengan jalan-jalan, tontonan atau hiburan, dan belanja. Bukan lagi momentum mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. “Disinilah kesakralan Syawalan perlahan mulai memudar,” katanya.n Ahmad Shodiq - Syafiun Najib
Amanat. Khoirul Umam
Menilik Tradisi di Kota Santri
Ketika terang menerpa raga Mata terbelalak pada warna-warni kehidupan Kurajut layaknya pelangi sembari mewujud kata yang terucap keluh ; “,,Alhamdulillah, meski semerbak warna luka membilu yang meredupkan hati” 19 September 2016
“Ya Rabbi Ya Ilahi”
JILID I Duh Gusti,! Ucap syukurku mengalir deras dari hati Membantu menutup kisah piluh yang membekas perih pada dinding batin ini Ya Rabbi Ya Ilahi Segeralah akhiri peran nestapa ini dengan tirai gelapmu Diiringi guyuran kepekatan malam JILID II Kelam menyelimuti Membungkus tubuh lemah ini dalam pelukan dingin menggigil Ingin kulucuti seperangkat beban luka yang menghiasi tubuh Dengan seru yang menderu luluh: “,,Rabbisrahli Shodri” JILID III Mata sayu semakin lesu Di setiap kedipan kuhapus bayangan sisa pada memori mata ini Hingga kuformat pada kedipan terakhirku tentang wajah kemilau sayunya Semilir kubisikkan do’aku: “,,Allahumma ahya wa bismika amuut” Ya Rabb, kusebut melata di sepanjang perjalanan tidurku Tak lain untuk temukan gairah di esok hari 20 September 2016
Surat teruntuk kekasih
Terlalu banyak kisah terukir Terlalu lama waktu tersita Kasih, sadarkah dirimu? Kini semua ditelan masa, yang mustahil termuntahkan oleh rasa Kilauan salutku terpancar mekar menanda kekalahanku Yang telah habis rasaku hanya untukmu 30 April 2013 Muhammad Ulul Albab, Lahir di kota Gresik 15 April 1993. Mahasiswa aktif jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. Keseharian di SKM Amanat sebagai Human Resources Departement (HRD) dan warga Kampoeng Sastra Soeket Teki. AMANAT Edisi 126
September 2016
21
PROFIL
Belajar
untuk Kemaslahatan
D
inobatkan sebagai wisudawati terbaik UIN Walisongo Semarang tak pernah terbayang di benak Fitri Kholilah bakal diraih. Bahkan ia mengaku baru mengenal istilah itu di semester akhir setelah beberapa kali melihat prosesi wisuda. Baginya, apa yang dicapai saat ini, terpenting adalah menjalani proses dengan usaha yang baik. “Jalani saja setiap prosesnya dengan usaha yang baik, sewajarnya, dan sesuai aturan,” katanya. Wisudawati Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Ilmu Falak itu, mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,93. Selain belajar ia juga tak lupa selalu berdoa serta minta restu dari kedua orang tua dan guru-gurunya. Fitri Kecil tinggal di daerah Sungai Lilin sebuah kota kecil di Kabupaten Musi Banyuasin. Sekitar tiga jam dari jembatan Ampera Kota Palembang, Sumatra Selatan.
Sejak kecil Fitri memang dididik secara ketat oleh orang tuanya terutama Sang Ibu. Bahkan sebelum ia duduk di bangku sekolah ia sudah harus bisa membaca. Tak heran jika putri pasangan Kamsani dan Mutmainah itu selalu mendapatkan peringkat pertama. Terhitung sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs) ia selalu menjadi juara kelas. Meskipun saat di bangku Madrasah Aliyah (MA) sempat mengalami fluktuasi antara peringkat 1 dan 2. Tak hanya akademik, nilai-nilai religius juga sudah ditanamkan oleh orang tuanya sejak ia kecil. Ketika teman-teman sebayanya asyik bermain, fitri kecil harus belajar di TPQ saat sore hari. Bahkan orang tuanya sudah mewajibkan sholat sejak usianya tujuh tahun.
“Didikan agama saat kecil yang saya dapat sangat melekat,” ujarnya. Prestasinya yang baik sejak duduk di sekolah dasar membuatnya dipercaya menjadi perwakilan pesantrennya untuk mengikuti Pekan Olah Raga dan Seni Pondok Pesantren Daerah (POSPEDA) di tahun 2009, meski tak sampai tingkat nasional ia berhasil meraih juara ketiga di tingkat Provinsi. Sejak saat itu, kemampuannya berbicara di depan umum semakin meningkat, puncaknya di tahun 2010 Fitri berhasil menembus tingkat nasional saat mengikuti Pekan Olah Raga dan Seni Pondok Pesantren Nasional (POSPENAS), meskipun hanya menduduki peringkat keenam. Setelah menyelesaikan pendidikan MA, Fitri ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi dengan tetap memperdalam ilmu agama. Pilihan pertama jatuh ke- universitas swasta dan pesantren di Lirboyo, Jawa Timur. Namun belum sempat menye-
Nama: Fitri Kholilah TTL: Musi Banyuasin 26 Desember 1993 Alamat: Dusun 1 SPC 1 004/001, Sungai Lilin, Musi Banyuasin, Sumatra S Selatan Pendidikan: SDN SPC1 Musi Banyuasin (2006); MTs Mamba’ul Hisan Musi Banyuasin (2009); MA mamba’ul Hisan Musi Banyuasin (2012); UIN Walisongo Semarang (2016) Pengalaman: HMJ Ilmu Falak; CSS MORA UIN Walisongo; LPM Justisia Prestasi: Juara 3 lomba pidato bahasa Indonesia POSPEDA (2009); Peringakat 6 pidato bahasa Indonesia POSPENAS (2010) lesaikan registrasi, ia justru mendapat informasi untuk mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang diadakan oleh Kementrian Agama (Kemenag). Akhirnya Fitri bersama empat rekannya berangkat ke Palembang untuk mengikuti tes seleksi tersebut. Meski sempat dinyatakan tidak lolos ketika pengumuman awal, namun selang beberapa minggu ia mendapat informasi bahwa penerima PBSB di daerah Semarang ada yang tidak mengambil. Setelah dipertimbangkan, ternyata nilainya memenuhi persyaratan. “Saya tak menyangka bisa diterima di Jurusan Ilmu Falak,” katanya. Meskipun Ilmu Falak bukan pilihannya, ia tetap berangkat ke Semarang. Fitri mengaku belum pernah mengetahui apapun mengenai Ilmu Falak. Pun begitu ia juga tak punya gambaran mengenai Kota Semarang, saudaranyapun tidak ada yang disana. Namun nasib baik tetap berpihak, berkat seorang kenalan ibunya tinggal di daerah Demak. Berawal dari situlah ia sampai di UIN Walisongo Semarang. Tekad kuat untuk belajar lebih banyak dan menambah wawasan, menggugah kesadarannya untuk aktif di organisasi kampus. Ritme belajar dan diskusi bersama teman sekelas ataupun senior semakin menempa pengetahuannya. Tak lupa ia juga mengikuti seminar serta intensif membaca buku. Baginya, menjadi seorang wisudawati terbaik membuatnya merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk terus menjadi lebih baik. Kini wisudawati kelahiran Musi Banyuasin itu akan melanjutkan pendidikan S2-nya di UIN Walisongo Prodi Ilmu Falak. “Apapun yang kita pelajari baiknya diniati untuk kemaslahatan umat,” ujarnya.n
Umi Nur Mughiitsah
Ayo buka Amanat Online Bro...
Order Here:
!
Temukan info seputar kampusmu di sini Akses mudah, tinggal klik di ponsel pintarmu
22
September 2016
AMANAT Edisi 126
ARTIKEL
Karakter Transformasional Ahok Oleh: A. Fuadi NS.
R
upanya tidak ada kata lelah bagi lawan politik Basuki Tjahaja Purnama, yang populer disapa Ahok, terhadap kepemimpinannya sebagai gubernur DKI Jakarta. Namun semakin santer ditolak, kenyataannya semakin banyak dukungan masyarakat yang mengalir terhadap Ahok. Alasan yang dijadikan penolakan sejak awal kepemimpinannya, menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai presiden, mulai dari isu ras, agama sampai kebijakan yang dianggap kontroversial. Diantaranya, penolakan datang dari FPI ormas yang dikenal galak dan keras, dengan tiga dasar penolakan : (1) Ahok tidak beragama Islam, (2) Perilaku Ahok dianggap arogan, kasar, dan tidak bermoral, (3) Penolakan umat Islam Jakarta terhadap kepemimpinan Ahok. Penolakan berlangsung selama beberapa bulan dan berujung pada bentrokan. Tapi dasar Ahok, tidak gentar meladeni FPI, malah mengirimkan surat rekomendasi pembubaran FPI kepada Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Dalam Negeri RI. Ahok berpendapatan meskipun berorganisasi merupakan hak setiap warga negara, tetapi FPI menyalahi undang-undang dengan berlaku anarkistis saat berdemonstrasi. Begitupun geger jagat perpolitikan saat menjelang pemilihan gubernur tahun mendatang. Lawan-lawan politiknya akan terus menjegal menuju DKI 1. Mulai dari isu pengadaan tanah RS Sumber Waras sampai reklame teluk Jakarta. Ibaratnya makanan empuk ada
n KOLOM
H
idup di dunia sangat singkat. Begitu singkatnya, manusia Jawa mengungkapkan, urip iku mong mampir ngumbe. Meski singkat, namun menentukan kehidupan selanjutnya, akhirat. Baik atau buruk kehidupan di akhirat tergantung perbuatannya semasa hidup di dunia. Di akhirat nanti, seluruh manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya semasa di dunia. Bahkan kelak mulut akan dikunci kemudian anggota badan yang lain akan berbicara menjadi saksi setiap perbuatan di dunia. Manusia benar-benar tidak mampu mengelak dan beralasan atas segala perbuatannya. Ungkapan urip iku mong mampir ngumbe jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, hidup itu cuma mampir minum. Sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa kehidupan dunia itu sementara. Dengan ungkapan itu, manusia meyakini akan ada kehidupan yang lebih kekal setelah dunia yaitu akhirat. Sehingga memicu manusia untuk senantiasa berbuat baik untuk kemanfaatan orang banyak sebagai amal baik untuk bekal hidup di akhirat. Maka manusia dituntut bersikap moderat atau seimbang dalam men-
alasan menohok Ahok dengan isu korupsi agar diusut KPK, atau diseret ke pengadilan. Rupanya isu ras dan agama terbukti tidak mempan, maka digulirkan isu korupsi yang dianggap sensitif. Namun, alih-alih gentar, Ahok malah meladeni berbagai gempuran yang terus menghadang. Bahkan setelah berbagai pihak turun tangan mulai dari DPR RI, DPRD DKI, Menteri Kelautan bahkan sampai Wakil Presiden angkat bicara, semua ditanggapi dingin oleh Ahok. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memberikan teguran kepada Ahok atas pernyataannya yang menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ‘ngaco’ terkait hasil audit pembelian lahan RS Sumber Waras. Ucapan itu seharusnya tidak keluar dari seorang kepala daerah. Mestinya bila kurang setuju bisa berhubungan langsung dengan pimpinan BPK. Gaya komunikasi Ahok yang sering menyerang berbagai pihak, termasuk lembaga negara, tidak baik jika ditonton oleh masyarakat luas. Mendagri minta Ahok berhati-hati mengeluarkan kata, karena bila tidak dikontrol justru akan merugikan diri sendiri. Transformasional Dalam konteks kepemimpinan, meminjam teori Northouse (1997), Ahok memiliki pendekatan transformasional (transformasional approaches). Yakni pendekatan seorang pemimpin dalam mengambil tindakan untuk meningkatkan kesadaran rekan kerjanya tentang
apa yang benar dan apa yang penting. Juga untuk meningkatkan kematangan motivasi, serta mendorong untuk melampaui minat pribadi demi mencapai kemaslahatan kelompok, organisasi dan masyarakat. Meningkatkan kesadaran dan motivasi berprestasi agar melampaui minat pribadi, telah ditunjukkan Ahok dengan memenuhi kesejahteraan berupa standar penggajian tertinggi di Indonesia bagi para pejabat dan karyawan di lingkungan Pemprov DKI. Konsekuensinya bila ada pejabat atau pegawai yang masih melakukan pungli, korupsi dan lainnya akan diturunkan jabatannya (non job), diturunkan pangkat/golongan, atau malah dipecat dari status PNS. Begitupun motivasi kerja dan prestasi benar-benar ditargetkan agar melayani masyarakat dengan maksimal sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bukan abdi birokrasi atau partai politik. Sehingga, meskipun Ahok selama menjabat gubernur DKI tidak didukung partai politik di DPR, birokrasi yang dipimpinnya tetap berjalan lancar, efektif dan bisa melayani masyarakat secara maksimal dan prima. Sebagai pemimpin, Ahok ingin menjadikan dirinya, meminjam istilah Bass dan Avolio (1996), sebagai sumber motivasi inspiratif yang mampu mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dan memberikan inspirasi. Sehingga berdampak meningkatkan kesadaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan sandaran moralitas yang benar.
Kebijakan yang dilakukan bersikap riil, inspiratif, mantap dan berani, tanpa menghiraukan resiko politik yang akan menimpanya. Namun sebaik apapun konstruksi kepemimpinan Ahok, pasti akan dicari kelemahan dan kekurangannya, apalagi dalam konteks politik yang sarat dengan kepentingan dan hasrat yang tinggi untuk menjatuhkan lawan politik. Ketika mendagri menyatakan gaya komunikasi Ahok yang sering menyerang berbagai pihak, sebenarnya lebih menohok pada gaya kepemimpinannya. Karakter kepemimpinan Ahok tidak banyak dimiliki pihak lain, yakni : ceplas-ceplos, blak-blakan, apa adanya dan berani dalam menyampaikan pernyataan. Kadang membuat pihak lain panas kupingnya, sehingga bagi orang yang selalu mendasarkan pada etika jawa, dianggap tidak memiliki tata karma, unggah-ungguh atau sembrono. Tetapi, sebenarnya karakter jujur dan berani seperti ini di tengah situasi bangsa yang masa bodoh, malah dibutuhkan untuk menyadarkan tentang pentingnya bersikap jujur dan berani dalam mempertahankan kebenaran. Jadi bukan gaya komunikasi yang ditegur, sebab itu sudah menjadi karakter Ahok, mestinya yang ditegur para pejabat yang tidak memiliki integritas dan moralitas.n Fuadi NS, Dosen Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo - Jawa Tengah
Mampir Ngumbe jalani kehidupan. Satu sisi jangan berlebihan hanya mencari kesenangan dunia sehingga melalaikan tujuan akhirat. Di sisi lain, hidup di dunia menuntut keseriusan untuk menjadi bekal keselamatan hidup di akhirat. Karena, bagaimanapun, nasib di akhirat ditentukan sejauh mana prilaku semasa di dunia. Namun, ada sebagian manusia memaknai ungkapan itu menjadi prilaku pasif. Pasif karena tindakannya merugikan orang banyak. Dengan dalih hidup sementra, manusia menjadi serakah. Merampas hak orang lain dengan menghalalkan segala cara. Misal, korupsi merajalela. Sekarang, Indonesia sedang dihuni banyak manusia yang cenderung mengejar harta dengan menghalalkan segala cara. Hampir setiap hari ada pemberitaan korupsi. Korupsi merupakan keserakahan manusia dalam menjalani kehidupan. Mereka tidak segan menerabas batas moral dan melanggar hak orang lain untuk memenuhi hasrat memperbanyak harta. Mereka tidak lagi mengingat bahwa hidup di dunia hanya sementara. Sudah saatnya, manusia kembali
mengingat-ingat bahwa hidup di dunia hanya sementara. Semua harta benda tidak lagi berharga ketika batas waktu hidup di dunia berakhir. Ketika ajal tiba, tidak ada yang menyertai kecuali amal baik selama di dunia. Manusia harus mampu memaknai ungkapan mampir ngumbe dalam kehidupan yang sederhana. Kemudian menghindarkan dari keserakahan dan kesewengangan dalam menjalani kehidupan. Ungkapan urip iku mong mampir ngumbe, bukan berarti melarang manusia untuk bekerja. Ungkapan itu justru mengajak manusia untuk lebih aktif dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mengajak manusia untuk selalu berlomba-lomba berbuat baik. Fastabiqul Khoirot. Sehingga akan memberikan kemanfaatan di dunia dan akhirat. Menambah Takwa Makannya, urip iku mong mampir ngumbe bukan sekedar bentuk kalimat pendek yang selesai di ruang kosong. Di balik ungkapan itu, ada ajakan terhadap setiap manusia untuk meningkatkan takwa kepada Allah swt. Merasa selalu diawasi Allah swt sehingga senantiasa menjalani semua perintah dan men-
jauhi segala larangan-Nya. Sehingga akan selalu menjauhi perbuatan dosa. Misalnya, jika kalimat itu disandingkan dengan kasus korupsi, maka akan muncul, urip iku mong mampir ngumbe, ojo do korupsi, wedio Gustiallah. Jika disandingkan dengan orang kurangajar, akan muncul, urip iku mong mampir ngumbe, ojo do pencilakan, wedio Gustiallah. Begitu seterusnya sesuai keadaan yang terjadi. Manusia satu dengan yang lainnya merupakan makhluk sosial. Satu dengan lainnya saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Maka, manusia harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesama. Dari Mampir ngumbe, kemudian muncul kesadaran manusia yang memicu untuk selalu berbuat baik terhadap sesama. Kemudian diiringi usaha mengurangi setiap perbuatan ke arah dosa. Kemudia senantiasa bertaubat setelah melakukan dosa.n Abdul Ghofur
AMANAT Edisi 126
September 2016
23
SOSOK
D
Tekad Besarkan Ma’had
24
September 2016
AMANAT Edisi 126
ini tak pernah menyiakan waktunya. Hari-harinya ia isi denNama: DR. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., M.A. gan aktifitas yang berhubungan Dosen UIN Walisongo, Semarang. dengan kependidikan Islam dan Pendidikan: S3 Universitas Al-Neelain, sosial sesuai dengan konsenSudan 2009; S2 Universitas Al-Neelain, Sudan 2006; Deplom (Tamhidi S2) Universitas Ommu trasinya. Darman, Sudan 2004; Deplom (Tamhidi S2) “Seperti memenuhi amanah American Open University Cairo, Mesir 2003; S1 untuk mengelola Ma’had,” sahut (Licence) Universitas Al Azhar Kairo, Mesir 2001. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Organisasi & Aktivitas: Kepala Pusat Wilayah Jawa Tengah. Ma’had al-Jamiah UIN Walisongo Semarang; Sekretaris Komisi Fatwa MUI Wilayah Jawa Keterlibatan di Ma’had Ali Tengah 2011-2016; Katib ‘Am Syuriah PWNU bermula saat ia sedang bertugas Jawa Tengah 2013-2018; Ketua Ikatan Ilmuwan di Timur Tengah. Kala itu ia seIndonesia Internasional (I-4) Wilayah Timur dang menjabat Atase Pendidikan Tengah & Afrika, Periode 2009-2013; Pengurus dan Kebudayaan KBRI di Cairo, LTN- PBNU Periode 2010-2015; Ketua ISNU Provinsi Jateng 2013-2018; Rais Syuriah PCIMesir. Dia diberi mandat oleh NU Republik Arab Mesir, tahun 2008-2010. Prof. Abd Jamil, Rektor UIN WalKarya: Fiqh Kesehatan dan Reproduksi isongo tahun 2009, untuk menWanita Potret Islam Universal; gelola Ma’had Walisongo yang Shalat di Pesawat & Angkasa (terjemahan bahasa kala itu dalam proses pembanArab : As-Shalah Fi al-Hawa); NIKAH DINI, Sunah Nabi Solusi Problematika Remaja Masa gunan. Kini; NIKAH FRIENDLY, Solusi Halal Hindari Pemberian mandat itu pun Perzinahan; Perencanaan Nikah & Hidup Sukses; tidak dilakukan secara formal Dan lain-lain. layaknya pemberian jabatan pada umumnya. KH Fadlolan Musyaffa’ mengisahkan, beberapa kali ia Fadlolan menambahkan, sejak awal bertemu Prof. Abd Jamil dalam sebuah pendirian Ma’had Walisongo digagas unrapat di Timur Tengah hingga akhirnya tuk menjadi pesantren modern berbasis keduanya berbincang ringan seputar UIN salaf. Gagasan itu dimaksudkan agar maWalisongo. hasiswa tidak hanya diam dan berdiri di “Baru pada tahun 2010 saya pulang atas menara gading bongkahan keinteledan memenuhi mandat tersebut,” kata ktualanya, tapi ia juga harus membumipria yang juga menjabat Khatib ‘Am Sy- kan diri melalui ilmu yang tertera di kitab uriah PWNU Jawa Tengah itu. kuning, kitabnya santri salaf. Di tahun pertama, ujar Fadlolan, “Ini menjadi marwah ma’had untuk Ma’had Walisongo hanya mampu menja- melahirkan santri yang unggul,” ujarnya. ring kurang lebih 70 santri dari kalangan Berangkat dari itu, bagi pria dengan mahasiswa baru. Namun, dengan kegigi- tiga anak ini, hal terpenting yang perlu han dan beragam program yang ditawar- diagendakan oleh lembaga pendidikan kannya, kini Ma’had itu telah dihuni oleh Islam adalah harus mampu mempersiapkurang lebih 450 santri dari mahasiswi kan generasi yang berkarakter kuat sesuai UIN Walisongo Semarang. dengan kebutuhan masyarakat, agama
Amanat. M. Syafiun Najib
adi wong iku ojo pinterpinter, seng penting ngalim,” Itulah kalimat sederhana yang senantiasa dituturkan oleh K.H. Fadlolan Musyaffa’ Mu’thi LC. MA kepada mahasiswanya di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Kalimat itu memiliki arti, jadi orang jangan terlalu pintar, yang penting adalah menjadi orang yang alim. Menurutnya kepintaran saja tak cukup, jika tidak diimbangi dengan budi pekerti yang baik. Karena kepintaran hanya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri. Berbeda dengan orang alim, yang akan bermanfaat bagi dirinya, masyarakat dan akhiratnya. Sebagai Pengasuh Ma’had al-Jamiah UIN Walisongo Semarang, ia berucap, agar mahasiswa dapat menanamkan karakter yang didasari dengan nilai agama. Karakter tersebut tidak bisa muncul dengan sendirinya, ia timbul melalui kesadaran diri sendiri yang penuh keikhlasan. “Karakter yang kuat tidak akan mudah digoyahkan walaupun ia terjebak dilingkungan yang salah,” ujarnya ketika ditemui oleh AMANAT. Bagi Dosen Pasca Sarjana UIN Walisongo ini, mahasiswa adalah generasi pembawa perubahan yang harus mampu menjadi insan kamil. Tentunya hal itu memerlukan karakter yang kuat terhadap dinamika kehidupan. Untuk meraih kesuksesan, menurut pria kelahiran Grobogan, 7 April 1970 ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, perjuangan panjang dan berbagai cobaan tegar dihadapinya. Dalam usianya ke-46 tahun, pria jebolan Universitas Al-Neelain, Khartoum, Sudan.
“
dan bangsa. Fadlolan berpesan, agar santri Ma’had dan mahasiswa UIN Walisongo dapat menjadi orang yang bertanggungjawab terhadap Tuhannya, ilmunya, masyarakat, dan juga dirinya sendiri. Serta menjadi seorang sarjana ahli yang memberikan hasil untuk masyarakat dan memasukkan unsur dakwah islamiah di dalam perbuatan dan pekerjaannya. “Agar dapat meraih kesuksesan sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman disertai dengan nilai keislaman,” tuturnya.n Robbiatul Addawiyah