SKM Amanat Edisi 125

Page 1

AMANAT Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

“Fatamorgana� Kampus Riset

Ambisi menjadi kampus riset, tak diimbangi infrastruktur yang memadai. Kesiapannya perlu ditinjau kembali.

Edisi 125/April 2016 ISSN: 0853-497X


TERAS

SURAT KABAR MAHASISWA

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit:

Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Semarang Izin Terbit: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X

SALAM REDAKSI

Memilih Jalan Sepi

S

eperti pahit manis secangkir kopi, itulah kehidupan. Melintang berbagai bentuk persoalan yang tidak disangka-sangka. Pengetahuan yang kita miliki, buku yang kita baca, tidak lepas dari peran para ilmuan yang mencetuskan berbagai macam teori-teori sebagai bahan rujukan. Tidak berhenti disini, kita sebagai insan terpelajar sudah semestinya, melakukan penelitian atau riset yang terus dilakukan agar menemukan teori baru untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh generasi penerus kita. Tak peduli status sosial yang kita sandang, entah itu dosen atau pun mahasiswa. Walaupun mereka disibukkan dengan berbagai agenda kegiatan kampus bukan lantas melupakan tanggung jawab untuk melakukan eksperimen demi menghasilkan fakta baru. Sangat disayangkan, jika ilmu yang kita miliki hanya menjadi arsip pribadi, mengendap dalam otak dan suatu saat akan hilang karena lupa. Banyak jalan untuk menyalurkan apa yang sudah kita teliti dan ketahui. Salah satunya dalah dengan cara tulisan. Karena itu, semua orang dapat membaca pengetahuan baru, temuan-temuan baru yang sebelumnya belum mereka ketahui. Proses penelitian itulah, yang ingin dibicarakan oleh SKM AMANAT dalam Tabloid edisi 125 ini. Tema penelitian menjadi pokok utama dalam pembahasan kali ini. Tentu, semua mahasiswa UIN Walisongo tidak asing

2

April 2016

AMANAT Edisi 125

dengan kata itu. Karena sebagian dari mereka ada yang terlibat langsung dengan proses penelitian yang dilakukan oleh sebagian dosen. Sungguh tak terduga, penelitian yang kelihatannya keren itu, menyimpan fakta yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sayang, realita itu tidak melulu suatu yang baik. Justru sebaliknya, mengandung fakta-fakta yang sangat buruk dan memprihatinkan. Mulai dari minat peneliti yang rendah sampai dicabutnya salah satu akreditasi jurnal yang ada di kampus. Pembaca akan disugukan realita lain dibalik kemasan rapi sebuah penelitian, dari yang semula IAIN menjadi UIN Walisongo. Bagaimanapun tanggapan pembaca, itulah realita yang coba kami ungkap dari sebutan gagah istilah ”penelitian” melalui fakta-fakta yang kami temui dari berbagai sumber. Dengan kejujuran hati yang terendah, tidak sedikitpun terlintas dalam nurani kru AMANAT untuk memojokkan salah satu atau beberapa pihak. Merupakan niat kami yang paling tulus, menyempaikan temuan-temuan baru melalui deretan-deretan paragraf ini, dengan maksud agar dapat membuat perubahan yang lebih baik untuk mewujudkan kampus riset nomor satu. Salam hangat. Selamat membaca.

Sentilan Bang Aman UIN pasang kuda-kuda menuju Kampus Riset. Semoga lekas dibenahi fasilitas kampusnya. Amin. Tahun Ajaran baru UIN Ancam terima 1000 mahasiswa. Yakin, pak? Apa nggak rugi? UIN Walisongo darurat Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Tenang, juras masih luas, kok. UKT mahasiswa UIN Walisongo naik. Sudah biasa, kalau UKT turun baru luar biasa.

PELINDUNG Rektor UIN Walisongo Semarang PENANGGUNG JAWAB Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PEMBINA Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan PEMIMPIN UMUM Abdul Ghofur SEKRETARIS UMUM Robbiatul Addawiyah BENDAHARA Anissa Gina Nazda Chalia Mufida PEMIMPIN REDAKSI Fareh Hariyanto PEMIMPIN REDAKSI ONLINE Muhammad Hasan SEKRETARIS REDAKSI Sulistyowati REDAKTUR PELAKSANA Arifatun Khorida DESK BERITA Emala Sholikhah DESK ARTIKEL Siti Nurul Azizah DESK SASTRA BUDAYA Agus Susilo LAYOUTER Muhammad Syafiun Najib ILLUSTRATOR Ahmad Shodiq KOORDINATOR REPORTER Lina Rifatun Muwafiqoh Nur Khanifatun Ni’mah REPORTER Umi Alam Sari, Adkha Bukhori, Runik Rahayu, Anis Lud Fiana, Elidah, Enggar Ervanto, Etik Sulistyowati, Iva Nurlaili, Kristin Lutfiana, Luluk Munawaroh, Risda Kumalasari PUSAT DOKUMENTASI Najib Amin ADVERTISING DAN SIRKULASI Muhammad Syaiful Happy HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Muhammad Ulul Albab, Farah Diqsi, Fattahul Alim STAF AHLI Joko Tri Haryanto, Rosidi, Amin Fauzi, Musyafak

AMANAT Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

“Fatamorgana” Kampus Riset

Ambisi menjadi kampus riset, tak diimbangi infrastruktur yang memadai. Kesiapannya perlu ditinjau kembali.

Perpustakaan tutup lebih awal. Waduh, alamat makalah nggak kelar -kelar, nih. Jam kuliah malam lanjut terus. Adek lelah, bang. SK jam malam aktif lagi. Bubarkan saja UKM-nya. Bang Aman yang Kadang Pakewuh Ilustrasi: Ahmad Shodiq


L APORAN U TAMA

Terseret Kampus Riset

Cita-cita menjadi kampus riset mulai digaungkan. Namun, atmosfernya belum terasa, semangat meneliti perlu ditanamkan sejak dini.

S

“Tak kurang dari 700 karya ilmiah dosen telah masuk jurnal internasional. Sedangkan yang masuk jurnal nasional sudah ribuan. Karena semua dosen di Undip diwajibkan membuat karya ilmiah,” infonya. Yos menambahkan, penelitian yang produknya berupa teknologi dibuatkan prototipenya. Setelah itu dilakukan hilirisasi penelitian, yang selanjutnya dikembangkan ke wilayah industri. “Seperti tangan robotik, kaplar penahan peluru, penghisap asap dan lain sebagainya,” sebutnya. Undip punya cara jitu untuk mendorong dosen maupun mahasiswa aktif dalam penelitian. yaitu mendorong untuk terlibat aktif dalam event lomba karya ilmiah berskala nasional. Yos menuturkan, antusiasme mahasiswa dalam Pekan Ilmiah Nasional (Pimnas) cukup tinggi. “Sebagai penghargaan terhadap mahasiswa yang menang tingkat nasional, Undip membebaskan biaya SPP-nya,” tutur Yos. Tak hanya itu, visi menjadi kampus riset pun diimplementasikan dalam kegiatan perkuliahan. Ilmu pengetahuan harus Visi-Misi UIN Walisongo yang termaktub di Buku Laporan Rektor Tahun 2015 terus dikembangkan melalui ke-giatan riset. “Jadi ada dan Pengembangan (Balitbang) Agama update ilmu pe-ngetahuan,” tambahnya. Kota Semarang, Joko Tri Hariyanto, unPersiapkan Amunisi tuk mempersiapkan visi riset idealnya Menurut Ketua Lembaga Penelitian semua dosen punya jiwa meneliti. Jadi, dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) pengajaran yang dilakukan tidak hanya Sholehan, saat ini, UIN Walisongo te- bersumber dari buku saja, melainkan ngah memperbaiki kuantitas dan kuali- juga dari hasil penelitian. tas penelitian yang dimiliki. Karena visi “Bagaimana mengembangkan mamenjadi universitas riset tidak bisa dica- teri dan metode pembelajaran keilmuan pai dalam waktu yang singkat. yang berbasis riset jika tidak meneliti?” Sejumlah tahapan telah LP2M di- tanyanya. lalui. Di antaranya melaksanakan pelaSelain SDM, hal yang perlu diutatihan untuk melahirkan Sumber Daya makan juga tentang target tercapainya Manusia (SDM) berkompeten. visi tersebut. Menurut Joko target 2038 “Pelatihan terkait penelitian terus dirasa terlalu lamban. Karena jika visi diselenggarakan untuk menunjang kua- sampai melebihi 20 tahun, akan terlalu litas dosen,” katanya. tua dan termakan zaman. Dari segi kuantitas, lanjut Sholehan, Organisasi/lembaga yang sehat sehamulai tahun 2013 UIN melalui LP2M rusnya secara kontinu melakukan pemtelah menyediakan dana penelitian yang baharuan. “Apakah mau berjalan debisa diakses oleh dosen dan mahasiswa. ngan cara keong atau kancil, itu sebuah “Sehingga, dengan upaya ini di- pilihan,” tambah Joko. harapkan kuantitas penelitan di UIN Maka dari itu, harus ada kebijakan dapat meningkat,” harapnya. yang integral. Misalnya, untuk Fakultas Menurut Peneliti Balai Penelitian Ushuluddin dan Humaniora, temuan

Dok. SKM Amanat

ebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian menjadi hal yang tak terpisahkan dari agenda akademik sivitas kampus, termasuk mahasiswa. Itulah yang melatarbelakangi Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menetapkan visi menjadi kampus riset. Iktikad ini sudah dicanangkan sejak UIN masih berstatus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) melalui terbitnya Surat Keputusan (SK) Rektor IAIN Walisongo Nomor 10 Tahun 2014 tentang visi, misi, dan tujuan IAIN Walisongo. visi tersebut adalah “Perguruan Tinggi Islam Riset Terdepan Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban” Rektor UIN Walisongo Muhibbin Noor menjelaskan, untuk menanamkan visi misi itu, ia menghimbau kepada seluruh dosen agar menyampaikan visi tersebut kepada mahasiswa setiap kali memasuki ruang perkuliahan. “Penanaman visi sejak dini penting, agar mereka tahu ke mana arah dan tujuan kampus ini,” papar Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN Walisongo itu. Menurut Muhibbin, banyak mazhab perguruan tinggi riset di dunia ini. Salah satunya yaitu jumlah mahasiswa pascasarjana (S2) lebih banyak daripada mahasiswa sarjana (S1). Namun, Pria yang menjabat rektor selama dua periode ini menilai pandangan ini tidak mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Mengingat, perhatian masyarakat terhadap pendidikan masih minim. Sehingga populasi mahasiswa S1 dan S2 belum imbang. “Maka dari itu, UIN lebih memilih menghasilkan penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal internasional,” ujarnya. Untuk mengejar target menjadi kampus riset di 2038, menurutnya, banyak hal yang perlu ditingkatkan mulai dari infrastruktur, kualifikasi dosen, kapasitas input mahasiswa, dan lain sebagainya. dalam hal ini, sejak 2013, UIN sudah mengirim dosen-dosen ke luar negeri untuk mendalami riset di kampus ternama. Di antaranya Mesir, Australia, Amerika Serikat dan Malaysia. Muhibbin menyebut langkah itu sebagai investasi berbasis sumber daya manusia (SDM). Dengan upaya itu, besar kemungkinan akan terjadi interaksi antara dosen dengan dunia luar. Harapannya, dosen mampu melaksanakan riset berkelas internasional. “Sepulang dari sana mereka dapat membawa atsmofer riset di kampus,” ucapnya. Belajar dari Undip Sama halnya dengan UIN, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang juga memiliki visi kampus riset. Hanya saja sudah digaungkan sejak lama, yaitu sejak 2005 silam. Rektor Undip Yos Johan Utama mengatakan, untuk menjadi kampus riset, semua hal yang berhubungan dengan universitas harus berbasis riset, mulai dari kebijakan, bahan pengajaran, bahan pengabdian, dan produknya. Sejak awal penetapan visi, Undip sudah memiliki banyak produk. Baik berupa penelitian maupun karya ilmiah. Produk yang telah dihasilkan juga menjadi rujukan bagi peneliti lain. Hasil penelitian di Undip diseminarkan dan dipublikasikan secara luas. Publikasi dilakukan hingga ke seluruh dunia, melalui jurnal internasional yang terindeks Scopus dan Thompson.

terkait humanisme bisa dilakukan sebagai pengembangan pengayaan akademik. Sehingga, kampus bisa menjadi tempat rekayasa sosial untuk mengaplikasikan teori yang ada di kampus kepada masyarakat. Joko menambahkan, hal yang sama juga harus berlaku di disiplin keilmuan yang lain. Karena dengan penelitian, teori-teori yang ada di kampus bisa di verifikasi. Sebab, sebuah teori bisa diketahui masih bisa diberlakukan atau harus ada koreksi, dengan adanya riset. sama halnya dengan penelitian untuk pemberdayaan masyarakat bisa saja nanti dilakukan. “Seperti dulu, usulan adanya penelitian partisipatori di Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jadi, selain ada aspek pengabdian, KKN juga bisa digunakan sebagai ajang penelitian,” tutupnya. n Machya Afiyati Ulya

AMANAT Edisi 125

April 2016

3


TOKOH B ERBICARA

Mereka Bicara Kampus Riset

n TAJUK

P

Mimpi Kampus Riset

enelitian merupakan salah satu komponen terpenting bagi terwujudnya visi kampus riset 2038. Tonggak kemajuan pendidikan di perguruan tinggi riset dilihat dari berapa banyaknya penelitian. Pun begitu output penelitian juga harus memiliki wadah yang akseptabel dalam bentuk jurnal yang terakreditasi. Jika perguruan tinggi riset diukur dari penelitian, maka peneliti (Dosen dan mahasiswa) paling bertanggung jawab atas pencapaian mimpi kampus riset. Mengingat tugas penelitian merupakan bagian dari Tridharma Perguruan Tinggi. Prinsipnya, kualitas jurnal atau akreditasi ditentukan oleh kecakapan peneliti dalam melaksanakan tugas. Profesionalitas meniscayakan keahlian, kecakapan, dan ketepatan. Di antara prinsip itu antara lain, memiliki kesadaran dan semangat meneliti untuk memajukan kuantitas dan kualitas jurnal di UIN. Sayangnya, idealitas tersebut bagai jauh panggang dari api, dengan kenyataan yang terjadi di UIN Walisongo. Jika profesionalitas diukur dari beberapa indikator tersebut, maka sebagian besar dosen di UIN boleh dikatakan tak profesional. Pasalnya, penelitian dosen masih terbilang kecil jika dibanding jumlah seluruh dosen yang memang diwajibkan melakukan penelitian. Ihwal ini bukan persoalan sepele karena berdampak pada minimnya kuantitas penelitian yang ada di kampus UIN. Imbasnya, mimpi menjadi kampus riset dipertaruhkan karena kurangnya kesadaran meneliti. Bagaimanapun, kampus memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan tanggung jawab melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi. Pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan tersebut barangkali adalah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M). Butuh ketegasan dalam penyadaran “oknum dosen” yang masih berada di zona nyaman (enggan meneliti). Selain itu sinergistas seluruh sivitas akademika juga sangat diperlukan untuk merealisasikan mimpi itu. Sebab, jika hal ini tidak dimulai sejak dini, wacana kampus riset hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Alasan tersebut bukan isapan jempol belaka. Karena menyederhanakan persoalan tersebut dengan membiarkan “oknum dosen” tetap berada pada zona nyaman adalah solusi “keliru”. Asal dosen bisa memenuhi aspek pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, mimpi kampus riset dipertaruhkan, tak masalah? Jika problem penelitian menyangkut masalah kesadaran dosen, itu sebenarnya bisa diperbaiki dengan memperbaiki lingkungan dan budaya meneliti di UIN Walisongo. Meski tidak semudah membalikan telapak tangan namun alangah baiknya mekanisme pelatihan terkait penelitian harus dibarengi dengan mempertimbangkan asas “keberlanjutan”. Jika hanya pelatihan-pelatihan saja tanpa ada kebersinambungan untuk melakukan penelitian maka semua akan terasa hambar. Solusi lain, seperti diungkapkan Rektor Undip Yos Johan Utama dengan mewajibkan semua dosen di Undip membuat karya ilmiah. Serta terlibat aktif dalam event lomba karya ilmiah berskala nasional. Masalah penelitian tak boleh dianggap sepele. Ia menyangkut nasib dan mimpi UIN menjadi kampus riset. Ia bisa menghambat target yang sudah di tetapkan UIN. Gelora menghidupkan semangat meneliti perlu diperbaiki dan ditata. Kurangnya minat meneliti dosen harus dijadikan pertimbangan utama bagi pemangku kebijakan untuk menggaungkannya.n Redaksi

4

April 2016

AMANAT Edisi 125

Wacana menuju kampus riset mulai digaungkan. Kualitas jurnal mulai ditingkatkan. Karenanya, pejabat tinggi UIN Walisongo Semarang terus berbenah untuk mencapai tujuan mulia itu. Berikut komentar pihak-pihak terkait ihwal visi kampus riset.

Dr. H. Ruswan, MA.

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi

S

aat ditemui Amanat di kantornya, Dekan Sains dan Teknologi (Saintek) Ruswan, turut menyambut baik gagasan menjadi kampus riset. Ruswan mengatakan gagasan ini merupakan langkah ideal UIN untuk menjadi sebuah universitas riset. Meski untuk mencapai tahapan itu perlu proses. “Butuh waktu dan dukungan dari sivitas kampus ini” katanya. Sementara itu, kultur akademik yang kondusif juga membantu terwujudnya masyarakat akademik yang mempunyai riset unggul. “Dukungan sarana prasarana yang memadai di UIN dirasa perlu.” katanya. Menurut Ruswan, Riset itu diperlukan untuk pengembangan semua cabang ilmu, tidak mungkin ilmu berkembang tanpa adanya riset. Karena penelitian itu mengembangkan teori yang sudah ada. “Dari penelitian itulah ilmu bisa berkembang hingga se-karang,” katanya. Lebih lanjut Ruswan memaparkan, terkait fakultas yang ia pimpin dalam persiapan menuju kampus riset. Untuk saat ini Saintek dalam proses mengusulkan Program Studi (Prodi) baru untuk melengkapi jurusan teknologi. Karena prosedurnya tidak seperti dulu maka prosesnya cukup panjang. “Bukan hanya di Kementrian Agama saja, namun juga harus ke Kementerian Riset dan Teknologi,” paparnya. Ruswan menambahkan, Sejak awal sebenarnya Saintek sudah mengusulkan prodi-prodi yang terkait dengan teknologi, semisal teknologi observasi, teknik elektro dan teknik lingkungan. “Tapi, semua itu diputuskan secara sepihak oleh direktorat kelembagaan kemendikbud dikti,” tambahnya. Langkah terdekat Ruswan dalam bulan ini melalui Lembaga Penjamin Mutu (LPM) sering mengusulkan beberapa prodi baru, kalau dari Fakultas Saintek, Prodi Ekologi Informasi dan Lingkungan. “Sebenarnya kita ingin mengusulkan teknologi pangan, tetapi dalam sistem itu belum tercantum,” katanya.

Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

D

ekan Fakultas Syariah dan Hukum Arif Junaidi menyambut positif cita-cita kampus Riset. Menurut Arif, hal ini menjadi satu keniscayaan bagi sebuah lembaga yang ingin mengembangkan institusinya sebagai perguruan tinggi dengan level global internasional. Meskipun, Ibarat orang memanjat hal itu masih jauh, tetapi itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. “Sangat mungkin selama kita tetap berada dijalur yang benar,” katanya. Arif menambahkan, perlu persiapan matang dari sivitas akademik UIN Walisongo; Pertama, seluruh komponen yang ada di dalam kampus harus mulai menempa diri bukan hanya di level dosen tetapi juga level mahasiswa. “Penguasaan bahasa arab dan bahasa inggris saya rasa adalah suatu kewajiban,” ujarnya. Arif mencontohkan orang Arab dan Inggris, bagi mereka soal bahasa tidak ada masalah karena bahasa yang dipakainya merupakan bahasa internasional, sementara bahasa Indonesia belum mencapai taraf itu. Mau tidak mau mahasiswa UIN harus menguasai bahas itu. Pun dosennya harus juga menguasai. “Bahkan, jika perlu tenaga administrasi juga harus mahir berbahasa asing,” tegasnya. Kedua, Arif berpandangan terkait riset, namanya pelatihan riset bukan hanya berfokus untuk para dosen, tapi mahasiswa juga harus terlibat. Maka dengan ada penelitian kolaborasi antara mahasiswa dan dosen merupakan langkah untuk melatih mahasiswa. “Agar siap menjadi peneliti masa depan,” katanya.

Dr. H. Muhyar Fanani, M.Ag Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

D

ekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Muhyar Fanani berbicara banyak terkait kampus riset. Muhyar mengatakan, sebagai sebuah visi sah-sah saja, visi adalah sebuah cita-cita yang tidak akan tercapai pada waktu singkat. “Ini visi yang bagus dan UIN Walisongo akan mewujudkannya secara bertahap,” katanya. Yang harus dibenahi, lanjut Muhyar, adalah tugas hakiki terkait Tridharma Perguruan Tinggi. Menurut Muhyar, universitas riset adalah sebuah universitas dengan Tridharma Perguruan Tinggi dilakukan berdasarkan riset-riset. “Maka pendidikan, pengabdian masyarakat dan penelitian harus mengacu pada hasil-hasil riset,” imbuhnya. Menurut Muhyar, secara keseluruhan kampus riset belum terwujud di UIN dan masih menjadi cita-cita, yang setahap demi setahap akan diwujudkan. Salah satu usaha dengan penelitian-penelitian yang meningkat setiap tahunnya dan dikaitkan dengan visi UIN. Kemudian dosen-dosen didorong untuk meneliti “Agar saat mengajar sudah bisa menyajikan hasil penelitiannya,” katanya. Sementara itu, masa transisi dari IAIN ke UIN menjadikan beban dosen mengajar sangat padat. Sehingga waktunya habis untuk mengajar. Imbasnya, kesempatan untuk meneliti menjadi sedikit. Misalnya dia memaksakan diri melakukan riset, nanti bisa ditebak risetnya pasti dangkal tidak bisa mendalam, tidak bisa bagus. Maka kedepan sudah menjadi cita-cita bersama jumlah kelas akan diperbanyak, jumlah dosen akan diperbanyak. Sehingga seorang dosen tidak boleh mengajar lebih dari 12 sks. Kalau sudah begitu waktunya cukup untuk melakukan penelitian, membaca buku, mempublikasi hasil penelitian di jurnal.

Dr. Baidi Bukhoiri, S. Ag., M.Si Wakil Dekan I Fakultas Psikologi dan Kesehatan

W

akil Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo, Baidi Bukhori, menanggapi baik terkait visi riset. Menurutnya langkah menjadi kampus riset perlu dukungan dari seluruh civitas kampus. Mengingat perguruan tinggi riset harus memenuhi persyaratan tertentu. “Meski untuk sementara ini, UIN belum memenuhi syarat-syarat itu,” tuturnya. Di sisi lain, pendanaan untuk kegiatan riset di UIN juga masih minim, bahkan untuk tahun ini nilainya menurun dari tahun kemarin. “Anggaran penelitian itu kan harus 25% diperoleh dari riset, entah riset bersama perusahaan atau yang lain, kemudian hak cipta dan lain sebagainya itu bisa mencapai 25% untuk pembiayaan operasional perguruan tinggi,” paparnya. Sementara itu, persyaratan kampus riset dengan minimal 50 doktor dalam satu tahun, juga masih sulit untuk dicapai dalam waktu dekat. “Tapi nanti kalau tahun 2038, insyaallah, bisalah,” katanya. Pada dasarnya, lanjut Baidi, usaha yang dilakukan UIN sudah baik, ihwal ini terlihat dari seringnya diadakan pelatihan penelitian dengan mendatangkan narasumber dari luar negeri termasuk penyunting dari Scopus, meskipun hasilnya belum maksimal. “Karena baru beberapa orang yang berhasil menembus itu,” lanjutnya. Di sisi lain, beban mengajar dosen yang sangat tinggi, hingga sampai 20 sks membuat waktu meneliti sangat kurang apalagi bagi dosen yang memiliki jabatan. Baginya memiliki jabatan itu ada resikonya. Karena waktunya banyak untuk tugas-tugas administratif. “Jadi harus kerja keras untuk menyelesaikan semuanya, tanpa meninggalkan kewajiban meneliti,” katanya. n

M. Syafiun Najib - Ahmad Shodiq


Foto: Fareh Hariyanto

L APORAN U TAMA

“Fatamorgana” Kampus Riset Ambisi menjadi kampus riset tak diimbangi infrastruktur yang memadai. Kesiapannya perlu di tinjau kembali.

Suparman Syukur ketika menemui para demontran yang menuntut transparansi anggaran UKT dan tuntutan perbaikan fasilitas kampus.

J

ari Alfan Khoirul Huda begitu sibuk di gawai yang sedang dipegangnya Kamis pekan lalu. Pasalnya, janji kumpul anggota Aliansi Keluarga Besar Mahasiswa Walisongo (KBMW) di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) terancam molor. Kedudukannya sebagai Kordinator Aksi demonstrasi menuntut transparansi anggaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Gedung Rektorat dipertaruhkan. Benar saja, anggota KBMW yang tersebar di semua fakultas UIN Walisongo baru melancarkan aksinya pada pukul 10.30 Wib. dari rencana semula jam 09.00 Wib. Alfan pantas lega, aksi yang sudah direncanakan beberapa hari sebelumnya, akhirnya berjalan lancar, walaupun tidak bisa menemui Rektor UIN Walisongo yang sedang dinas di luar kota. “Hari ini Rektor harus segera pergi ke Jakarta,” info Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Suparman Syukur ketika menemui para demonstran yang disambut banyak teriakan dari anggota KBMW. Suparman juga menawarkan audiensi kepada para mahasiswa. Namun, ajakan itu tidak digubris para demonstran yang kadung naik pitam karena tidak bisa menemui Rektor. Akibatnya, aksi dorong antara pelaku aksi dan pihak keamanan kampus tak terhindarkan saat mereka memaksa masuk Gedung Rektorat dan berencana menyegel gedung itu selama satu minggu jika tuntunan mereka tidak dipenuhi. Dalam kesempatan lain, Alfan menjelaskan ihwal aksi yang melibatkan ratusan mahasiswa itu. Menurutnya, latar belakang adanya aksi adalah ingin meminta kejelasan transparansi anggaran dan penerapan regulasi UKT yang tidak tepat sasaran. “Hingga kini belum ada mekanisme yang jelas terkait UKT,” tambahnya. Tak hanya itu saja, KBMW juga menuntut penghapusan biaya lain di

luar UKT, larang tegas kuliah jam ke-0 (06.00), hapus kuliah malam dan Sabtu, gratiskan tes TOEFL dan IMKA, bebaskan sewa gedung dan bus, libatkan mahasiswa dalam pengambilan kebijakan, dan lengkapi fasilitas kampus dan ruang kuliah seperti AC, LCD, dan air bersih. “Tuntutan ini sebenarnya sudah diaudiensikan dengan pejabat kampus, tapi belum ada kejelasan sampai aksi ini berlangsung,” ungkapnya. Darurat Insfrastruktur Menurut Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Agus Makruf, masalah ketersediaan insfrastruktur memang menjadi polemik. Seperti di FITK, fasilitas penunjang seperti toilet, lahan parkir, dan juga ketersediaan air belum menjadi prioritas kebijakan kampus. Hal ini dibuktikan dengan hampir tidak adanya toilet yang layak pakai. Jikapun ada, itu hanya sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa FITK. “Toiletnya bau, kotor dan air sering mampet,” ungkapnya kesal. Di sisi lain, diberlakuakukannya jam kuliah di luar waktu yang semestinya juga menjadi masalah lain. Diakui atau tidak, kebijakan itu sangat memberatkan bagi mahasiswa dalam berorganisai. Seringkali mereka menggelar kegiatan namun terkendala jadwal perkuliahan yang padat. “Jika semua mahasiswa disibukkan oleh perkuliahan hingga malam hari, sementara izin berkegiatan di kampus hanya sampai jam 22.00 kapan waktu kami untuk berorganisasi,” keluhnya. Hal sama dikatakan Ketua DEMA Universitas Riski Prasetya. Ia cukup kesal dengan aturan yang menurutnya tidak manusiawi untuk mahasiswa. Baginya, ada indikasi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Pemadatan jam kuliah itu bagian dari nalar back

to campus ala NKK/BKK zaman orde baru. “Jika alasan pemadatan perkuliahan hanya didasarkan pada kekurangan kelas di UIN Walisongo, mengapa UIN tidak segera membangun gedung untuk perkuliahan?” tanyanya. Menanggpai pembangunan gedung baru ini, Rektor UIN Walisongo Muhibbin Noor saat di temui Amanat bulan lalu menjelaskan, masalah jam kuliah yang terjadi merupakan hal yang lumrah terjadi di kampus peralihan seperti UIN Walisongo. Hal yang sama juga berlaku di UIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2013. “Waktu itu UIN Sunan Ampel harus menggunakan masjid-masjid sekitar untuk proses perkuliahan karena gedung mereka di bongkar,” infonya. “Untungnya, UIN Walisongo tidak harus membongkar gedung, mengingat masih luasnya tanah yang tersedia,” katanya. Namun Muhibbin juga tidak diam begitu saja. Ia mengaku sudah beberapa kali mengusulkan pembangunan gedung kepada Direktur Jendral Pendidikan Islam (Dirjen Pendis). Bahkan Muhibbin mengancam jika tahun ini tak kunjung dibuatkan gedung baru, UIN hanya akan menerima 1000 mahasiswa untuk tahun ajaran baru. “Kami sudah bertekad dengan keputusan ini,” ujarnya. Ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Ahmad Thariq mengatakan, seharusnya UIN mempunyai rencana yang matang terkait pembangunan dan alokasi mahasiswa yang diterima. Sehingga tidak ada lagi pemaksaan jam kuliah diluar waktu yang semestinya. Namun yang terjadi, UIN Walisongo sepeti hanya sekedar menjalankan program sekedarnya. “UIN hanya sebatas formalitas saja untuk meningkatkan akreditasinya,” ujarnya. Yang paling parah tentu di peneri-

maan mahasiswa. Idealnya, antara mahasiswa yang masuk dengan jumlah gedung yang tersedia harus disesuaikan. “Kalau tidak mampu tapi dipaksa, itu tidak bisa dibenarkan,” imbuhnya. Suparman saat dihubungi Amanat via telepon mengatakan, terkait pengajuan gedung sudah ada kemajuan yang berarti. Tinggal tunggu persetujuan dari dinas terkait. “Terkait bulan saya tidak tahu. Tapi yang jelas 2016 ini,” ungkapnya. Dalam aturan Diktis ada target minimal yang harus dipenuhi sebuah universitas dalam jumlah mahasiswa. Yaitu harus punya mahasiswa minimal 15ribu. Makanya selama dua tahun ini, UIN selalu menerima sekitar 3.500 mahasiswa baru. “UIN masih berusaha mencapai target jumlah mahasiswa,” tambahnya. Thariq kemudian menyoroti masalah kesiapan UIN dalam mencapai visi risetnya yang agak dipaksakan. Menurutnya, UIN Walisongo perlu mengevaluasi sistem perkuliahan, infrastrukur, dan hal yang menunjang lainya. Karena kalau terus dipaksakan, kasihan para sivitas akademika yang jadi korban sistem. “Kalau ibarat memasak, makanan itu belum matang tapi dipaksakan untuk disajikan,” imbuhnya. Lebih baik ada evaluasi terlebih dahulu terhadap kekurangan yang belum diselesaikan oleh walisongo. Yang paling utama tentu infrastrukturnya, baru kemudian sistem perkuliahan dan hal yang menunjang lainnya. Seharusnya ada evaluasi bersama yang melibatkan mahasiswa. Karena yang merasakan sistem perkuliahan bukan pegawai tapi mahasiswa. “Kalau infrastruktur saja belum memadai, buat apa jadi kampus riset?” tutupnya. Fareh Hariyanto AMANAT Edisi 125

April 2016

5


Persiapan Sejak Dini N

ama Yos Johan Utama menjadi perhatian ketika terpilih menjadi Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menggantikan M. Nasir yang kala itu di percaya menjadi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Johan pun sepakat melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Undip untuk menjadi kampus riset di tahun 2020 mendatang yang sudah dirintis sejak 2005. Bagaimana persiapan Undip menapaki jalan terjal menuju Universitas Riset yang diimpikan. Berikut wawancara khusus bersama Rektor Undip Yos Johan Utama. Bagaimana awal cerita Visi Undip menjadi universitas riset? Niatan itu muncul karena ada kesadaran bersama sivitas akademika Undip. Produk dari universitas yang paling utama adalah adanya perubahan. Universitas itu mencetak sarjana yang diharapkan menjadi agen of change. Change itu diperoleh dari adanya novelty-novelty (sesuatu yang baru). Basis pembaruannya adalah riset, riset itulah yang kemudian diutamakan, karena negara tanpa adanya suatu pembaruan, maka dia akan tertinggal. Mengapa harus menjadi universitas riset? Undip menuju universitas riset agar menjadi salah satu tiang untuk menyangga perkembangan negara. Jadi, kita bisa unggul di bidang risetnya. Adanya riset ini diharapkan muncul pembaruan, yang kemudian menjadi salah satu daya saing bangsa. Kalau suatu negara tidak punya daya saing, karena tidak ada sesuatu yang baru, maka hanya menjadi negara pasar, bukan negara produsen. Nah, kita berusaha menjadi bangsa yang memproduksi sesuatu, bukan bangsa tempat orang berjualan. Apa bekal utama Undip ketika awal mewujudkan visi riset? Sejak awal merintis universitas riset

6

April 2016

AMANAT Edisi 125

kami sudah memiliki guru besar yang banyak, penelitian pun banyak, begitu juga produk karya ilmiah yang dihasilkan oleh Undip juga banyak sekali. Tidak hanya dilempar ke pasar saja bahwa ini produk Undip, tetapi karya ilmiah itu menjadi rujukan bagi penulis lain. Maka, Undip punya basis untuk riset. Kita Sumber Daya Manusia (SDM) ada, produknya ada, peralatannya mendukung, dan laboratoriumnya pun mendukung, itu bekal kami. Apa saja ranah riset yang dituju Undip? Semua hal di Undip kami arahkan pada ranah riset. Mulai pengajarannya pun berbasis riset. Tidak hanya sebatas riset itu sendiri, tapi Semuanya harus memiliki basis riset, seperti kebijakan, sampai buku pelajarannya, makalahnya juga berbasis riset. riset itu bukan hanya aksi risetnya saja. Tapi semua. Seperti apa bentuk pengajaran berbasis riset di Undip? Pengembangan dalam kuliah kita mulai dari buku-bukunya, lalu Ilmuilmu baru yang berbasis pada penelitian. Misalnya teori suhu didih air 100oc, terus ada hasil penelitian terbaru yang menunjukan 80oc. Maka kita sebutkan 80oc berdasarkan hasil penelitian tanggal sekian. Jadi ada update ilmu pengetahuan. Kadang juga dosen memberi penugasan mahasiswa untuk melakukan riset kecil. Bagaimana tahapan Undip menjadi universitas riset? Pertama tahap penguatan landasan riset (2005 – 2010), kemudian tahap menjadi universitas riset (2010 – 2015) dan terakhir tahap penguatan universitas riset (2015 – 2020). Apa tahapan itu sesuai dengan rencana? Meski tingkat kecapaian tidak sampe 100%. Tolak ukurnya juga tidak tercapai 100%, tapi hampir mendekati. Misalnya jumlah jurnal internasional, publikasi

internasional yang kita miliki, jumlah jurnal yg diakreditasi nasional dan internasional, itu semua belum 100%, tapi kita berproses menuju kesana. Harapannya di 2020 ada sebuah pengakuan bahwa Undip adalah universitas riset. Perubahan apa yang sudah dilakukan UNDIP untuk mencapa universitas riset? Banyak perubahan yang sudah kami lakukan. Sampai dalam hal kebijakan. Contohnya, dulu penelitian bersifat sukarela, namun sekarang penelitian masuk wilayah wajib. Berikutnya, naik ke tingkat mahasiswa, sekarang mahasiswa yang lulus doktor harus punya jurnal. Dari satu kebijakan yang voluntary menjadi monetary. Sehingga diharapkan semua ada hasilnya, doktornya ada hasilnya, bahkan yang tidak doktor pun ada hasilnya. Imbas dari perubahan ini adalah meningkatnya jumlah jurnal yang diakreditasi, meningkatnya hasil riset yang masuk jurnal internasional. Itu tahaptahapnya kelihatan dengan diikuti kebijakan-kebijakan dari kampus. Berapa banyak hasil riset yang masuk jurnal internasional? Ada sekitar 700 hasil riset yang masuk jurnal internasional dari dosen. Jika nasional sudah ribuan karena di Undip dosen dan mahasiswa S1, S2, dan S3 diwajibkan meneliti. Pun begitu kita masih kalah dengan universitas lain yang lebih tua di Indonesia karena kita rangking 6 nasional di Indonesia. Apa kendala yang dihadapi UNDIP dalam prosese riset? Kendalanya lebih pada persoalan pendanaan dan regulasi, kemudian Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) yang rumit, disini penelitian yang susah bukan penelitiannya melainkan bikin SPJ-nya. Itu yang membuat orang terkadang malas meneliti, padahal sebenarnya produknya terus dibayarkan selesai. Tapi aturan di Indonesia harus per item.

Dok. Facebook Yos Johan Utama

WAWANCARA

Lalu masalah kualitas, kalau tidak hati-hati nantinya penelitian hanya sekadar performa saja. Nah, itu kita tidak mau, penelitian harus betul-betul penelitian, marwahnya harus ada, bukan sekedar pokoke gawe penelitian. Apa yang dilakukan dari hasil penelitian Undip? Hasil penelitian atau riset itu kami seminarkan, kalau hasilnya berupa teknologi kita dibuat prototipe. Dengan itu kita bisa melakukan hilirisasi penelitian ke ranah industri. Jadi penelitian dari dosen atau mahasiswa kemudian dikembangkan ke industri. Produknya apa saja yang sudah dikembangkan? Ada banyak produk yang sudah dikembangkan salah satunya yang terbaru adalah berbasis etanol, kemudian tangan robotik, kaplar tahan peluru dan penghisap asap untuk ruangan perokok. Bagaimana antusias mahasiswa di Undip untuk meneliti? Antusias mahasiswa ketika awal dulu masih kecil sekitar 300 mahasiswa setiap tahun, namun dengan berjalannya waktu, semakin meningkat hingga kini sudah mencapai 4.000 mahasiswa. Karena bagi mahasiswa yang menang tingkat nasional, akan kami bebaskan SPP-nya. Tapi dengan jangka tertentu, ada setengah tahun, satu tahun, satu semester, tergantung tingkat kejuaraanya. Bagaimana pendanaan riset yang dilakukan Undip? Pendanaanya ada dua modal. Rupiah murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pemerintah dan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari uang kuliah mahasiswa. Disamping itu kami juga kerjasama dengan pihak ketiga dalam hal ini swasta. n Fareh Hariyanto


Foto: Khoirul Umam

LAPORAN P ENDUKUNG

Mahasiswi sedang mengamati jurnal di perpustakaan.

Kembang Kempis Jurnal Ilmiah Dari 23 Jurnal, baru dua jurnal yang terakreditasi. Visi-misi kampus riset dipertaruhkan.

S

ebelum merubah nomenklatur kampus, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo sempat memiliki tiga jurnal yang terakreditasi. Jurnal Teologia (Fakultas Ushuludin), Ihya Ulumudin (Pascasarjana) dan Walisongo (Universitas). Tapi sayang, akreditasinya dicabut 2012 silam. Hal inilah yang membuat Sholihan dan koleganya di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) panik. Padahal waktu itu, para pimpinan kampus tengah mempersiapkan peralihan Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi UIN. Saat itu juga, jajaran kampus yang dimotori oleh LP2M bergerak cepat dengan menggelar pelatihanpelatihan jurnal ilmiah. Pelatihan yang diikuti para dosen itu mendapat pendampingan dari LP2M untuk mengelola jurnal secara professional. “Kami datangkan pakar dari luar kampus,” kata Sholihan. Sholihan tidak bisa memungkiri bahwa lembaga yang menaungi tiga pusat penelitian yaitu Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitbit), Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) dan Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) ini menjadi sorotan utama demi tercapainya visi UIN yang baru. Sebab, LP2M bertanggungjawab melaksanakan, mengkoordinasikan, menilai, dan memantau kegiatan penelitian, pengkajian, dan pengabdian kepada masyarakat. Kalang-kabut aturan baru Menurut Sholihan, ada 23 jurnal ilmiah di UIN Walisongo, namun belum semua memenuhi standar akreditasi. Sampai sekarang baru dua jurnal UIN yang sudah memenuhi syarat, yakni Jurnal Walisongo yang berhasil mendapatkan akreditasinya tahun 2014 dan Jurnal Teologia pada tahun 2015. “Sisanya masih terkendala teknis untuk meraih akreditasi,” ujarnya. 2015 lalu, UIN sudah mengajukan

tiga jurnal yaitu Jurnal Ahkam dari untuk akreditasi sudah tidak berbasis Fakultas Syari’ah dan Hukum, Jurnal cetak lagi. “Akreditasi berlaku selama 5 tahun. Nadwa dari Fakultas Ilmu Tarbiyah Bila masa akreditasi habis, maka perlu dan Keguruan dan Jurnal Teologia dari Fakultas Ushuludin dan Humanoria. diajukan kembali. Jurnal yang sudah Tetapi dari ketiga jurnal itu hanya Jur- terakreditasi ini bisa saja jatuh bila tidak dipertahankan kualitasnya,” tunal Teologia yang terakreditasi. Dekan Fakultas Ushuludin dan Hu- turnya. Pemimpin Redaksi Jurnal Teologia maniora Mukhsin Jamil mengatakan, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora jurnal yang telah terakreditasi harus terus diperbanyak. Sedangkan untuk Sulaiman menambahkan, dalam penyang sudah terakreditasi agar terus gelolaan jurnal ilmiah, penulis dari dalam tidak boleh lebih dari meningkatkan kualitas jur40%. Agar mengurangi nalnya. image wajar dalam “Pelan-pelan dan Untuk jurnal itu bertahap, minimenuju kampus Islam Dulu, Jurnal mal setiap tayang terakrehun ada 3 jurberbasis riset, dibutuhkan ditasi mennal yang terdosen yang berstatus pengajar syaratkan akreditasi,” dan peneliti. Namun di UIN Wal40% penulis harapnya. isongo, keba-nyakan dosen hanya orang dalam Ia juga dan 60% berstatus se-bagai pengajar saja. menjelasorang luar. kan, penSedangkan cabutan Dr. H. Solihan untuk sekaakreditasi Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Marang, hanya sudah mensyarakat (LP2M) diperbolehjadi dinamika kan 10% orang dalam pedalam dan 90% nilaian jurnal. orang luar. Jika Bisa juga jurnal itu sebuah jurnal tidak tidak sesuai dengan sesuai dengan peraturan peraturan atau syaratyang baru ini, secara otomatis syarat yang sudah berubah. Perihal peraturan ini, Sholihan akreditasinya akan dicabut. “Terkait dengan peraturan, kritemenjelaskan, sulitnya jurnal-jurnal ria maupun hal-hal yang menyangkut itu terakreditasi karena syarat yang dibebankan memang terlalu tinggi. akreditasi jurnal sudah tercantum di Bahkan sering terjadi perubahan kebi- pedoman akreditasi yang dikeluarkan jakan penilaian yang tidak bisa diikuti oleh Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Dikti),” imbuhnya. dengan segera. Padahal, objek penilaian tidak Semangat Meneliti Rendah Untuk menuju kampus Islam berhanya meliputi penampilan luar dan basis riset, dibutuhkan dosen yang format isi tulisan saja, namun juga dari tata visual, redaksional, kompo- berstatus pengajar dan peneliti. Nasisi, manajemen, proses dan distri- mun seperti yang diakui Sholihan, di businya. Bahkan per April 2016 aturan UIN Walisongo, kebanyakan dosen terkait jurnal semakin ketat. Semua hanya berstatus sebagai pengajar saja. jurnal nantinya berbentuk online dan “Tentu menyulitkan. karena meneliti

itu juga bagian dari tugas dosen,” tambahnya. Padahal, LP2M sudah sering mengadakan pelatihan Metodologi Penelitian dan Penulisan Jurnal bagi dosen. Lembaga berusaha untuk selalu memberikan peluang kepada dosen untuk bisa meneliti. Sehingga kesempatannya untuk meneliti sangat besar. Sulaiman kemudian menuturkan, selama ini dosen sudah melakukan aktivitas riset setiap tahun. Dosen yang ingin mengajar pasti akan melakukan riset, dengan membaca buku, misalnya. Hanya saja seringkali kegiatan tersebut tidak dibukukan, dan hanya menjadi bahan dalam mengajar. “Dosen harus melakukan penelitian dan dipublikasikan dalam jurnal-jurnal, hal inilah yang diinginkan dalam Visi UIN Walisongo,” tegasnya. Sulaiman juga menekankan tiga fungsi dosen yakni Tridharma Perguruan Tinggi; Pertama, melakukan pengajaran atau pendidikan; kedua, penelitian; dan ketiga, pengabdian kepada masyarakat. “Bila seorang dosen hanya fokus pada mengajar saja, itu bukanlah seorang dosen, melainkan seorang guru,” tuturnya. Sulaiman mengaku sering menerbitkan jurnal-jurnalnya diluar kampus. Apalagi bila tema-tema yang menjadi bahan riset tidak sesuai dengan tema yang ada di beberapa jurnal UIN Walisongo. Maka dirinya harus menawarkan untuk kemudian diterbitkan di luar kampus. “Selain meningkatkan daya kompetisi dengan peneliti seluruh Indonesia, dosen akan memiliki eksistensi tinggi bila hasil risetnya mampu terbit di luar kampus,” tutupnya.n Anissa Gina Nazda

AMANAT Edisi 125

April 2016

7


LAPORAN P ENDUKUNG

Kuasa Koperasi Mahasiswa Kopma mewajibkan mahasiswa mengikuti Pendidikan Anggota (PAg). Bebas Kopma menjadi syarat lulus.

M

ochamad Saeful Anam terlihat sibuk di kantor Koperasi Mahasiswa (Kopma) UIN Walisongo pertengahan Desember lalu. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam itu sedang mengurus Surat Keterangan Bebas Kopma. Ia tak sendirian. Ada banyak mahasiswa yang kalang-kabut memenuhi salah satu syarat kelulusan yang harus dipenuhi sebagai syarat mengikuti wisuda. Surat Keterangan Bebas Kopma memang menjadi salah satu persyaratan yang harus diusahakan mahasiswa untuk mengikuti ritual akhir perkuliahan. Bersanding dengan persyaratan lainnya, termasuk Surat Keterangan Bebas Perpustakaan Universitas, Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Taman Pustaka Masyarakat 1 Semarang dan Perpustakaan Wilayah Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah. Ketua Kopma Ismawati menjelaskan, kedudukan Kopma sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKMU) menjadi istimewa dibandingkan dengan UKMU lainnya. Mahasiswa diwajibkan terdaftar di Kopma saat masuk dan keluar dari UIN Walisongo. “Semua mahasiswa UIN Walisongo secara otomatis menjadi anggota Kopma,” tambahnya. Hal ini sudah sesuai dengan peraturan yang termaktub dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Kopma bab III tentang keanggotaan pasal empat poin dua yang berbunyi “Anggota biasa adalah mahasiswa UIN Walisongo Semarang yang terdaftar sebagai anggota Kopma-Ws.” “Kopma mendapatkan dana dari mahasiswa untuk menjalankan usaha,” tambah perempuan yang biasa dipanggil Isma ini. Mekanismenya, ketika mahasiswa melakukan registrasi secara otomatis mereka sudah membayar simpanan pokok dan simpanan wajib kepada Kopma. Simpanan pokok dan simpanan wajib dapat diambil ketika sudah lulus berupa Sisa Hasil Usaha (SHU). Besarnya SHU yang diterima mahasiswa tergantung lama kuliah. Mahasiswa yang lulus semester delapan akan menerima jumlah yang berbeda dengan mahasiswa yang lulus semester sepuluh. Bebas Kopma merupakan bebas dari segala tanggungan Kopma. Selama kuliah bisa saja mahasiswa menghutang ke Kopma untuk konsumsi organisasi yang diikutinya atau konsumsi pribadi. Hal inilah yang menjadi landasan Kopma mewajibkan mahasiswa mengurusi Surat Bebas Kopma sebelum lulus. “Kalau mau bebas Kopma harus lunas dulu,” tegasnya. Kewajiban Mengikuti PAg Isma menjelaskan, persyaratan untuk mendapatkan surat keterangan bebas Kopma cukup membawa surat keterangan lulus munaqosah dan buku anggota dan atau sertifikat PAg. Buku anggota dan sertifikat bisa diperoleh melalui Pendidikan Anggota (PAg). “Boleh salah satu. Untuk mengantisipasi kalau salah satunya hilang,” imbuhnya. Dalam praktiknya, Isma sering mendapati mahasiswa yang terdesak dan tidak memiliki bukti pernah mengikuti PAg akhirnya mengambil jalan pintas. Kecurangan yang sering ditemukan berupa foto kopi buku Kopma dan scan sertifikat. Sekilas keduanya hampir mirip dengan aslinya, namun bagi kader Kopma sangat mudah membedakan yang asli dan palsu. “Kami akan mengembalikan dan memberi pengarahan,” ujarnya. Masalahnya, tidak banyak maha-

8

April 2016

AMANAT Edisi 125

Surat keterangan bebas Perpustakaan dan Kopma yang harus dipenuhi calon Wisudawan

siswa yang paham keuntungan menjadi anggota Kopma. Padahal semua mahasiswa baru diwajibkan mengikuti acara Pendidikan Anggota yang berbarengan dengan Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK). Isma mengakui, pernah ada mahasiswa yang tidak tahu SHU dan mengira untuk mengambil SHU harus membayar. SHU disamakan dengan Surat Keterangan Hasil Ujian (SKHU). “Bahkan ada mahasiswa yang tanya, harus bayar berapa jika mengambil SHU?” ungkapnya. Hal inilah yang terjadi pada Abu Bakar. Meski ikut PAg, Ia mengaku tidak tahu kalau penting dan wajib. Abu justru menanyakan dasar PAg menjadi suatu kewajiban. “Atas dasar apa, kok, wajib?” tanyanya. Abu Bakar menambahkan, belum mendapatkan sertifikat PAg dikarenakan jumlah peserta angkatan 2014 sangat banyak sehingga banyak peserta di luar gedung. “Di dalam gak muat. Jadi ya, di luar,” beber Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum ini. Senada dengan Abu, Sholeh juga mengakui tidak tahu pentingnya PAg. Pun begitu ia tetap mengikuti PAg dan menyimpan sertifikat serta buku Kopma. “Meski tak tahu gunanya, aku masih menyimpannya,” ungkap Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini. Siti Ulfah juga menyampaikan hal yang sama. Mahasiswa semester dua jurusan Ekonomi Islam ini mengaku sudah tahu kalau bebas Kopma menjadi

syarat wisuda. Informasi itu diperoleh dari Kopma dan angkatan sebelumnya. “Sudah tahu. Sebelumnya sudah dikasih tahu kakak kelas,” katanya. Isma mengklaim sejak tahun 2012 sosialisasi acara PAg sudah dilakukan secara maksimal. Mulai dari berkoordinasi dengan komting (Ketua kelas), Himpunan Mahasiswa Jurusan, sampai mengumpulkan semua ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas. “Anggota kami yang tersebar di setiap fakultas juga menyebarkan informasi ke koordinator,” imbuhnya. Usaha tambahan yang dilakukan yaitu mengirim pesan singkat ke semua nomor mahasiswa yang terdaftar di Kopma. Mahasiswa yang tidak bisa mengikuti PAg saat masih menjadi mahasiswa baru dibolehkan mengikuti pada tahun berikutnya. Misalnya, angkatan 2012 bisa ikut PAg tahun 2015. “Banyak angkatan 2012 yang ikut PAg tahun 2015 kemarin. Ikut PAg diakhir tidak masalah” ujarnya. Isma menghimbau agar mahasiswa mau mengikuti PAg mengingat pentingnya acara. Memberatkan Mahasiswa Mahasiswa yang masih bingung dengan persyaratan bebas Kopma dianjurkan langsung datang ke Kopma. “Mending langsung datang ke Kopma dari pada debat di media sosial dan menyebarkan berita buruk,” ujar Isma. Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah itu mengakui banyak mendapatkan komplain dari mahasiswa. Keluhan ma-

hasiswa rata-rata karena tidak tahu PAg dan buku anggota atau sertifikat hilang. Bagi mahasiswa yang belum mempunyai sertifikat atau buku Kopma harus mengikuti PAg. Sedangkan bagi mereka yang sudah pernah ikut PAg dan mengaku hilang mereka harus menunjukan surat keterangan kehilangan dari kepolisian. Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan Akhmad Fauzin malah mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Kopma dalam mewajibkan mahasiswa baru mengikuti PAg. Baginya, tidak ada kewajiban semua mahasiswa untuk mengikuti PAg. “Aturan dari mana itu?” sangkalnya. Senada dengan Fauzin, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Suparman Syukur, menilai syarat bebas Kopma memberatkan mahasiswa. Terlebih jika mahasiswa yang tidak pernah bersinggungan dengan Kopma. Syarat bebas Kopma seharusnya memiliki kekuatan hukum yang kuat. Suparman mencontohkan, aturan bebas Kopma harus disahkan dengan Surat Keputusan Rektor. Hal itu untuk mengantisipasi jika ada mahasiswa yang melanggar biar dari pihak akademik yang menegur. Ada dua pilihan yang ditawarkan Suparman; Pertama, Kopma berperan sebagai ko-perasi harus memberikan simpan-pinjam kepada mahasiswa; Kedua, jika bebas Kopma tetap diadakan karena kekhawatiran masih ada mahasiswa berhutang, maka Kopma harus memperbaharui data mahasiswa setiap tahun. Data yang dimiliki jangan hanya yang ikut PAg melainkan juga semua mahasiswa yang belum ikut PAg. “Harus ada konsistensi dari ART yang dibuatnya sendiri. Harus mau mengingatkan mahasiswa yang belum pernah ikut PAg,” kata Suparman mengingatkan. Dosen Fakultas Ushuludin dan Humaniora itu juga mempertanyakan urgensi bebas Kopma. “Kalau cuma simpan saja untuk apa ada bebas Kopma?” katanya. Suparman menyadari solusi itu sangat riskan. Karena kader Kopma bukan karyawan melainkan hanya pengurus yang setiap tahunnya diganti. Simpan pinjam yang dimaksud di sini adalah dalam bentuk uang bukan barang. “Namun, jika Kopma tidak bisa menyediakan simpan pinjam kepada mahasiswa maka bebas Kopma tidak dibutuhkan,” tutupnya. Hal yang sama juga dikatakan Fauzin. Menurutnya, Jika Surat Bebas Kopma disamakan dengan Surat Bebas Perpustakaan, maka tidak bisa. Karena di Kopma tidak ada praktik pinjammeminjam. “Kalau begitu, Kopma harus punya dasar hukum yang kuat,” ungkapnya. “Adanya Surat Bebas Kopma semestinya berlaku kalau mahasiswa meminjam uang di Kopma. Kalau tidak pinjam, apa yang harus dibebaskan?” ujarnya balik bertanya. Menurut Fauzin, yang punya kewajiban justru Kopma untuk mengembalikan simpanan wajib kepada mahasiswa yang sudah lulus. “Jadi mahasiswa bisa menuntut jika Kopma tidak mengembalikan Sisa Hasil Usahanya,” jelasnya.n Arifatun Khorida


Upaya Mengurangi Ketergantungan pada Jalanan

Anak jalanan yang sedang meminta-minta kepada pengendara

Banyak usaha telah dilakukan, namun para anak jalanan tetap bergeming

J

arang sekali Ali terlihat begitu sumringah ketika turun dari sebuah bus. Dengan ukulele usang yang terus dipeluknya, ia menyapa sebentar sekumpulan pengamen yang duduk-duduk di bawah jembatan penyeberangan kawasan pasar Johar Semarang. Ali pantas gembira, penghasilannya hari itu sudah cukup membuatnya terus mengulum senyum. Apalagi mengingat teman-temanya sesama pengamen yang begitu banyak. Ali memang tak sendirian mengais rezeki di jalanan. Karena menurut data Organisasi Sosial Lembaran Emas Murni, jumlah anak jalanan di Kota Semarang menembus angka 900 anak dengan 350 di antaranya adalah anak jalanan aktif. Para anak jalanan ini tersebar di berbagai jalan protokol. Seperti Jalan Ahmad Yani, Jalan Pemuda, Jalan Pahlawan, Kawasan Johar, Kawasan Tugu Muda, dan masih banyak yang lainnya. Dalam pengakuanya, Ali menuturkan, masih punya orang tua yang setiap hari memberikan uang jajan padanya. Tetapi ia tetap mengamen karena sudah menjadi hobi. “Berada di jalanan dan mengamen lebih menyenangkan dari pada sekolah dan berkumpul dengan keluarga di rumah,” ungkapnya polos. Lebih dari itu, pengamen yang baru berumur 14 tahun itu memilih jalanan dan emperan pasar karena menjadi tempat yang nyaman baginya. “Ada

kepuasan tersendiri saat melakukan aktivitas di jalanan,” tambahnya. Masalah inilah yang kemudian disoroti secara serius oleh Direktur Utama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Elisabet Setia Asih Widiastuti. Ia menjelaskan, pemerintah sudah melakukan upaya-upaya untuk meringankan beban anak-anak jalanan yakni dengan menyediakan tempat tinggal, ketrampilan-ketrampilan untuk mereka dan tuna wisma lainnya. Selain itu, pemerintah juga memberikan pendidikan gratis serta memberi jaminan makan sehari-hari untuk mereka. Namun, upaya pemerintah yang demikian tidak disambut hangat oleh mereka. “Mereka mengaku lebih nyaman hidup di jalan,” imbuhnya kecewa. Tak berhenti di situ, PKBI juga mendirikan Rumah Pintar Bangjo (RPB) sebagai lembaga pendidikan informal yang didesain khusus untuk melakukan pendampingan terhadap anak jalanan di Semarang. Lembaga yang didirikan pada tahun 2010 ini, sebagai bentuk kepedulian PKBI terhadap kurangnya pemenuhan hak pendidikan anak jalanan. Koordinator RPB Vivi Maryati mengatakan, awalnya lembaga ini berdiri untuk penanggulangan resiko HIV/ AIDS. Namun setelah melihat realitas di jalanan secara langsung, akhirnya lembaga ini berkembang luas ke beberapa ranah seperti, pemenuhan atas kurangnya hak pendidikan anak, ke-

Dalam perjalanannya, RPB mengusehatan dan makanan sehat bagi balipayakan rumah belajar, perpustakaan, ta, serta pemenuhan identitas. Dalam hal ini, selain pemenuhan pendidikan pengembangan bakat hak kesehatan, PKBI beserta lembaga dan minat, pendidikan kesehatan reyang berada di bawahnya sedang fokus produksi, pendidikan anti penyalahdengan pemenuhan hak identitas bagi gunaan obat-obat terlarang atau adikmereka. Hal ini sangat penting sebagai tif, makanan bagi balita dan pemenuupaya agar anak bisa melanjutkan ke han kesehatan bagi anak jalanan. sekolah formal. Selain itu, identitas di- “Pemenuhan kesehatan ini dilakukan perlukan untuk bisa mengakses ban- dengan cara mendatangkan dokter setiap bulannya,” terang Vivi. tuan dari pemerintah. “TanSelain itu, secara pa adanya identitas, khusus RPB juga secara otomatis tidak Pemerintah mendampingi bisa mendapatjuga memberikan kelompok usia kan bantuan dan pendidikan gratis serta remaja pada pemenuhan kememberi jaminan makan sepengembabutuhan yang ngan bakat lain,” ungkaphari-hari untuk mereka. Namun, dan minat. nya. upaya pemerintah yang demikian Seperti main Vivi ketidak disambut hangat oleh merbola, musik mudian meeka. dan lain senambahkan, bagainya. Hal terdapat emini kami lakupat lokasi di Elisabet Setia Asih Widiastuti kan, sebagai upaSemarang yang Direktur Utama Perkumpulan ya untuk meminidigunakan RPB Keluarga Berencana Indonemalisir kegiatan pesebagai sarana untuk sia (PKBI) nyalahgunaan zat adiktif memberikan pendidiyang mereka lakukan serta kan terhadap anak jalanan. Yakni, Kanjengan, Yaik, Berok dan berusaha untuk mengurangi kegiatan Kepodang. Lembaga yang beralamat mereka di jalanan. “Kami berharap, di Kampung Pungkuran No. 403 RT mereka berhenti meminta-minta dan 03 RW 02 Semarang ini, melakukan tidak di jalanan lagi. Serta mendapatpendampingan selama seminggu dua kan hak berkehidupan seelayaknya, kali. Model pembelajarannya sen- harap Vivi.n Runik Rahayu diri dibagi menjadi dua bagian yaitu, PAUD dan Pendidikan Anak Usia Sekolah. AMANAT Edisi 125

April 2016

9

Dok. Amanat

HUMANIORA


kepemimpinannya, dana WTV tidak dialokasikan untuk membeli peralatan, namun justru digunakan untuk mengembangkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu melalui pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan kepenyiaran televisi. “Kalau untuk pengadaan alat tidak mungkin cukup”, jelasnya. Selama ini dana untuk WTV hanya bersumber dari Fakultas. Padahal, imbuh Amelia, untuk menjadi stasiun siaran membutuhkan dana yang cukup besar. Namun, dikarenakan dana yang sangat tidak memadai, akhirnya WTV hanya digunakan untuk tempat praktikum mahasiswa KPI.

Walisongo TV Mati Suri Suasana di Kantor Walisongo TV ketika sedang mengerjakan sebuah progam

Dua tahun lebih WTV tidak mengudara. Dana Menjadi Kendala Utama.

S

udah sekitar satu jam Anis duduk di depan komputer. Dibantu Abbas temannya, ia sedang mengerjakan progam film pendek yang hampir selesai diedit. Walaupun Walisongo TV tidak mengudara lagi, mereka tetap antusias menyelesaikan film itu. “Tetap dikerjakan. Toh, kalau nanti Walisongo TV bisa mengudara lagi, kami punya stok banyak,” ungkapnya bergairah. Kepala Laboratorium Dakwah (Labda) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Widayat Mintarsih menuturkan, selama kurang lebih dua tahun ini, Walisongo TV memang tidak mengudara dikarenakan tower pemancar televisi mati tersambar petir. “Sampai sekarang belum diperbaiki atau dibelikan baru,” ungkapnya. Untuk perbaikan tower pemancar yang mati, Widayat belum mengusulkan adanya perbaikan, karena Ia baru menjabat sebagai kepala laboratorium pada awal 2015. “Proses pengajuannya butuh waktu yang lama,” ujarnya lagi. Belum lagi masalah minimnya fasilitas seperti yang diutarakan Direktur Walisongo TV Mohamad Subekhi. Ia menuturkan, di Walisongo TV hanya terdapat satu unit komputer yang bisa digunakan, sehingga harus bergantian. Padahal, walau-

10

April 2016

AMANAT Edisi 125

pun Walisongo TV sedang vakum, para kru sampai sekarang masih aktif berkarya. “Kami mengerjakan progam TV satu persatu,” keluh Subekhi. “Saya harus putar otak untuk menyemangati para kru,” tambahnya. Padahal program yang masih dikerjakan ada banyak, yaitu Walisongo News, Inspirasi Kita, Kepo dan Film Indie atau Film Pendek. Subekhi sebenarnya sudah mengajukan penambahan alat ke Fakultas. Tapi berhubung untuk mendatangkan alat baru harus menunggu anggaran tahun berikutnya yang disahkan di Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKAKL), maka Ia hanya bisa menunggu. “Kalau di RKAKL itu tidak disetujui, ya, menunggu tahun berikutnya lagi,” pasrahnya. Selain terkendala soal peralatan, Widayat mengatakan, untuk saat ini WTV sedang tidak mempunyai tenaga ahli. Lantaran Baharudin, Pembina WTV sebelumnya, sudah mengundurkan diri sejak Oktober 2015. Sedangkan untuk mendapatkan pengganti tidak mudah. Terlebih karena masalah pengangkatan karyawan merupakan kewenangan Lembaga UIN Walisongo, sehingga pihak fakultas tak bisa serta-merta mengangkat karyawan. “Karena mengangkat karyawan itu berarti harus menggaji, itu kewenangan BLU,” infonya. Ia juga menambahkan, WTV sebenarnya memerlukan tenaga ahli yang fokus mengurusi Production House (PH) sehingga WTV dapat terurus dengan baik. Selama ini yang menjadi tenaga ahli juga merangkap kesibukan lain, seperti mengajar dan tugas lainnya. “Padahal untuk sebuah stasiun TV seharusnya ada yang standby,” paparnya. Dana Seret Kedudukan Walisongo TV sebagai televisi komunitas, menurut Widayat memang ada dalam posisi sulit dalam hal pendanaan. Karena

dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), televisi komunitas tidak boleh menayangkan iklan yang bisa dijadikan sumber uang. “Anggaran TV komunitas sepenuhnya dari lembaga yang memiliki TV tersebut. Anggaran dalam satu tahun untuk WTV hanya Rp. 2,5juta,” jelasnya. Berbeda dengan Widayat, Subekhi mengatakan bahwa sepengetahuannya, anggaran untuk WTV yakni sebesar Rp. 3juta. “Setahu saya, dalam setahun, WTV mendapat tiga juta rupiah,” papar Subekhi. Padahal, menurutnya, meskipun WTV meru-

‘‘

Foto: Khoirul Umam

SKETSA

Uang dua setengah juta rupiah paling hanya cukup untuk memperbaiki peralatan yang sudah rusak. Itu pun harus sangat irit dalam menggunakan uang tersebut. Mohamad Subekhi Direktur Walisongo TV

pakan TV komunitas namun kegiatannya tidak jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan seperti yang ada di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yang artinya membutuhkan dana lebih dari dua setengah juta rupiah. “Apalagi jika untuk biaya peralatan yang harganya tidak murah, uang dua setengah juta rupiah paling hanya cukup untuk memperbaiki peralatan yang sudah rusak. Itu pun harus sangat irit dalam menggunakan uang tersebut.” ujar mahasiswa semester enam tersebut. Lain halnya dengan Amelia Rahmi, Mantan Kepala Laboratorium Dakwah itu menjelaskan, pada masa

Minim Harapan Pada awal berdirinya WTV, Amelia mengungkapkan, WTV turut disambut positif oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah Gubernur Jawa Tengah (pada saat itu Mardianto). Namun ketika masih dalam proses perizinan, WTV mendapat kendala. Dinas Perhubungan dan Komunikasi Informatika (Dishubkominfo) memberikan peringatan terhadap WTV. Lokasi WTV yang berada di dekat Bandara Ahmad Yani dikhawatirkan akan mengganggu penerbangan. “Sehingga yang awalnya berniat melegalkan menjadi TV siaran kami batalkan, proses regulasinya rumit,” tegas Amelia. Sementara Subekhi mengungkapkan, sejak tahun 2015 sebenarnya Walisongo TV sudah diwacanakan dapat mengudara lagi. Walisongo TV akan siaran dengan mengembangkan jaringan Local Area Network. Siaran dan program-programnya dapat dinikmati di seluruh area UIN Walisongo. Akan tetapi sampai saat ini rencana tersebut urung terlaksana. Kendala yang menyebabkan adalah tower yang belum diperbaiki, peralatan masih kurang dan untuk memperbaikinya butuh dana yang besar. Widayat mengatakan, agar tujuan yang diinginkan pada awal pendirian Walisongo TV dapat tercapai, maka perlu kerja keras dan dukungan dari beberapa pihak antara lain, mahasiswa, dosen, pimpinan dan dana. Walisongo TV sebagai tempat belajar tentang kepenyiaran TV dan pengembangan potensi sudah dilakukan. Akan tetapi untuk bisa tetap mengudara dan menjaga eksistensi belum bisa, disebabkan terdapat beberapa kendala yang belum bisa diatasi. “Pencapaian tujuan secara maksimal belum bisa terlaksana,” jelasnya. Widayat berharap Walisongo TV kedepannya bisa mengudara lagi. Dapat dilihat oleh mahasiswa khususnya mahasiswa FDK dan mendapat perhatian dari UIN. Terdapat alat-alat baru yang lebih canggih dan berstandar agar bisa dimanfaatkan. “Mendapatkan perhatian dari kampus agar bisa fokus ke Walisongo TV, baik moril maupun materil,” harapnya.n Lina Rifatun Muwafiqoh


WACANA

Kamuflase Pemilwa Kampus

Foto: Syafiun Najib

Oleh: Adkha Bukhori

W

adah ajang demokrasi bagi mahasiswa, Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) memiliki peran urgen sebagai ruang aplikasi pendidikan politik kampus. Pro-kontra seakan tidak lepas dari agenda pesta demokrasi kampus tersebut. Meski agenda suci tersebut menjadi jalan istikharah para mahasiswa untuk memilih pemimpin yang dianggap amanah. Kampus (universitas) seringkali dianggap sebagai miniatur sebuah negara atau bangsa. Sehingga pendidikan politik mutlak diwujudkan. Hal tersebut guna menjadi wahana praktik politik kampus secara riil. Oleh karena itu, pesta demokrasi kampus harus bersih, jujur dan adil. Jangan sampai nuansa kampus terasa hening, tetapi harus tampil dinamis. Salah satunya pendidikan politik kampus. Sebab, mahasiswa tidak hanya berputar di ranah akademis belaka, melainkan mereka harus sadar betapa urgen politik demi mengupayakan kemajuan visi-misi kampus. Maka, pemilwa menjadi piranti ikhtiar para mahasiswa untuk menjadi pemimpin, terutama di lingkup kampus. Pemilwa ialah momentum perayaan demokrasi yang diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa. Oleh sebab itu, selayaknya meraka berperan penuh dalam menyukseskan politik kampus. Baik menjadi calon pemimpin, pemilih, panitia, pengawas, dan lain sebagainya. Lazimnya, pemilwa bukanlah ritual tahunan belaka. Melainkan kegiatan yang semestinya mampu menjadi pintu gerbang para calon pemimpin untuk mencalonkan dirinya secara baik. Hal tersebut dilakukan guna mewujudkan pemilwa kampus yang cerdas dan bermartabat. Tak dapat dinafikkan, jika para pemilih dalam menentukan pemimpin pilihannya (presiden mahasiswa) harus dibutuhkan selektivitas. Jangan sampai pemilih salah dalam memilih pemimpin. bahkan mereka tidak tahu akan

memilih siapa (maksud: taqlid buta). Tragis, perasaan dilema pun seakan menghampiri intelektualitas mahasiswa. Semestinya mereka diharapkan dapat memilih dengan tepat. Namun realitasnya, mayoritas diantara mereka hanya sebatas menjadi ‘followers’ saja. Sehingga tujuan memilih seorang pemimpin bukan berasal dari hati nurani. Sebab, meraka tidak tahu siapa dan/atau bagaimana kualitas calon pemimpin yang ada. Spirit dan visi-misi yang menggebugebu seakan hanya muncul di kala kampanye. Akan tetapi, ketika mereka telah usai terpilih dan berkuasa, hal yang dulu didengung-dengungkan terasa sirna dan perlahan lenyap. Jangan sampai para calon pemimpin hanya mahir dalam beretorika belaka. Hakikinya, pemimpin harus mengemban amanah dengan baik. Kini, semarak pemilwa pun kian surut. Mengapa demikian? Sebab pemilih merasa jenuh dalam ikut andil dalam memilih seorang calon pemimpin (eksekutif ) maupun wakil mahasiswa (senat). Para pemimpin pilihannya seakan pikun terhadap janji-janji manisnya dahulu. Sehingga memantik rasa kekecewaan bagi para pemilih. Ironis, pemilih berharap pemimpin pilihan dapat merealisasikan visi-misinya. Pemimpin yang diharapkan mampu mengemban tugas dan tanggung jawab dengan baik. Sebaliknya, mereka hanya banyak bicara, namun nihil realisasi. Oleh sebab itu, para pemilih pun harus cerdas menyikapi kondisi ini. Apalagi sebagai mahasiswa, seharusnya mampu menjadi pribadi ‘tamzys’ (mampu membedakan baik dan buruk). Maka seharusnya pemilwa dimanfaatkan sepenuhnya untuk memilih pemimpin ‘real kompetence’ (berkompeten). Nuansa politik bermartabat harus diwujudkan. Jangan sampai mahasiswa tergerus oleh fanatisme buta yang mengaburkan hati nurani untuk memilih pemimpin pilihannya. Tak khayal, jika

selektivitas sangat diperlukan bagi para pemilih untuk mengenal lebih jauh sosok calon pemimpinnya. Disisi lain, pemilwa jangan pernah terkotori oleh tipu muslihat atau pedustaan. Apalagi hal tersebut dilakukan semata-mata untuk memenangkan calon pemimpinnya. Seperti halnya black campaign, politik transaksional, dan sebagainya. Meruwat Apatisme Paradigma keliru seakan telah menyemai pada kaum akademisi muda kampus. Maka keadaan apatisme politik harus segera diatasi. Jika kondisi ini dibiarkan, maka akan semakin parah. Oleh karena itu, pembinaan serius sangat diperlukan untuk merekonstrusi paradigma melenceng tersebut. Contoh saja, ketika para mahasiswa lebih suka ‘mejeng’ atau hura-hura. Ketika rasa apatisme mulai muncul, asumsi mereka politik bukan hal yang penting. Sehingga tidak ada rasa ingin tahu tentang siapa calon pemimpinnya, apalagi untuk memilihnya. Maka, problematika inilah yang kiranya perlu dibenahi. Ironis, para mahasiswa sebagai ‘agen social of change’, yang diharapkan mampu menjadi pionir penggerak. Sebaliknya, mereka seakan acuh dan tidak peduli terhadap masalah disekelilingnya. Begitu pula, di ranah politik. Kehidupan nyaman dan serba terpenuhi (safe zone) membuat mereka kehilangan daya inovasi dan kreatifitas. Oleh karena itu, kita perlu menilik sejarah untuk dijadikan teladan para pendiri bangsa dalam berjuang. Tekad dan kerja keras mereka dalam membangun bangsa begitu besar dan luar biasa. Misalnya, peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 (lahirlah: visi kesatuan bangsa, tanah air dan bahasa), gerakan Boedi Oetomo (1908), dan lain sebagainya. Kisah perjuangan para pemuda maupun mahasiswa tempo dulu dapat menjadi tolok ukur bagi pemuda kini.

Sehingga melalui pemantik tersebut, mereka mampu membangun semangat nasionalisme yang kini tengah sirna. Harapannya, mereka mampu mewujudkan hakikat agen social of change (pembaharu) secara riil. Jangan sampai keadaan saat ini malah semakin merosot atau bobrok. Jika dahulu para pemuda secara heroik mampu memperjuangkan visi kemerdekaan dengan kerja keras. Kini, pemuda harus mampu membangun bangsa dengan segudang prestasi dan perjuangan, bukan malah menjadi parasit bangsa (merugikan). Maka dari itu, refleksi diri memang menjadi kunci untuk menata sikap dan prilaku para mahasiswa kini. Sebab, ditengah maraknya kriminalitas dan bobroknya moral. Rasa nasionalisme harus ditanamkan secara riil (nyata), guna memperbaiki diri untuk benar-benar tulus membangun negeri dengan sepenuh hati, jiwa dan raga. Sehingga pemuda (mahasiswa) bukan lagi menjadi parasit bangsa (benalu). Namun, dapat menjadi perintis pembaharu bangsa mendatang. Oleh karena itu, rekonstruksi paradigma pemuda sangat diperlukan. Sebab, jika paradigma yang buruk dibiarkan, kemajuan bangsa menjadi sebuah keniscayaan. Maka, kamuflase pemilwa kampus harus diluruskan. Pemilwa harus dapat berimplikasi positif bagi mahasiswa. Terutama dalam memahami pendidikan politik kampus secara praktis. Sebab, pendidikan tidak sebatas teoritis saja, melainkan praktik pula. Oleh sebab itu, pemilwa harus dijalankan dengan baik, jujur dan transparan. Hemat kata, proses ini bukan bahan pengelabuhan atas nama pemilwa. Sehingga pemilwa harus menjadi jalan ikhtiar yang riil bagi para calon maupun pemilih dalam memahami urgensitas politik secara masif. Amin. n

AMANAT Edisi 125

April 2016

11


12

April 2016

AMANAT Edisi 125


AMANAT Edisi 125

April 2016

13


T

aman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang sore itu tampak ramai oleh hilir-mudik pe-ngunjung. Ada yang sedang berlatih menari di Gedung Kesenian Ki Narto Sabdo. Ada pula yang lalu-lalang membawa alat musik ke gedung kesenian. Namun, banyak juga pengunjung yang sekadar melihat-lihat dan duduk bersantai sembari beristirahat. Sejak dijadikan pusat kegiatan dan pagelaran budaya pada tahun 1990, TBRS memang menjadi magnet para seniman serta penikmat seni di Semarang dan sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya acara seni yang digelar di tempat yang dulunya adalah kebun binatang itu. Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah (UPTD) TBRS Kristanto menjelaskan, pada tahun 1970-1980 TBRS digunakan untuk kebun binatang. Dengan berbagai pertimbangan yang salah satunya adalah karena Semarang belum punya tempat pertunjukan seni, maka pada tahun 1990, kebun binatang itu digunakan sebagai pusat kesenian dan kebudayaan dengan nama Taman Raden Saleh (TRS). “Barulah pada tahun 2009 namanya diganti Taman Budaya Raden Saleh (TBRS),” katanya. Senada dengan Kristanto, hal yang sama juga disampaikan Ketua Teater Lingkar Semarang Suhartono. Ia mengatakan, sebelum menjadi taman budaya, dulu kawasan TBRS adalah kebun binatang. Kemudian pada masa Hadijanto (1973-1980) menjabat sebagai Walikota Semarang, kawasan ini beralih menjadi TBRS dan taman hiburan keluarga (sekarang Wonderia). Sedangkan kebun binatang dipindahkan ke Mangkang. “Terkait penamaan taman budaya Kota Semarang ini, pemerintah kota masa itu melibatkan seniman-seniman Semarang,” tutur Pria yang kerap disapa Mas Ton tersebut. Menurut Suhartono, berdasarkan keputusan Pemerintah Kota Semarang pada waktu itu, dengan koordinasi bersama para seniman di Semarang akhirnya taman budaya ini menjadi pusat kesenian Kota Semarang, yang sebelumnya terletak di Genuksari. Suhartono, yang sudah 35 tahun menjadi Ketua Teater Lingkar itu mengaku menjadi saksi perjalanan TBRS. Bagi seniman seperti dirinya, TBRS merupakan tempat yang penting bagi perkembangan seni dan kebudayaan Kota Semarang. “TBRS itu tempatnya seniman mengekspresikan sebuah karya,” ucap pria berumur 62 tahun itu. Meski pada 2015 lalu TBRS diwacanakan akan dialihfungsikan menjadi Trans Studio, hingga saat ini acara kesenian di TBRS masih berjalan lancar. Salah satunya adalah pagelaran wa-yang kulit yang digelar setiap satu selapan sekali. Dalam acara-acara semacam itu, Teater Lingkar sebagai tuan rumahnya. Suhartono menambahkan, untuk kegiatan semacam pagelaran wayang kulit, tidak dipungut biaya ataupun tiket masuk. Orang-orang yang berjualan di area ini pun tidak dimintai biaya sewa. Jika nanti TBRS berada di bawah Trans Studio, dikhawatirkan semua akan dikomersialkan, masyarakat tidak dapat menikmati kesenian Kota Semarang dengan leluasa. Sedikit-sedikit akan dikenai tiket, tidak seperti saat ini. “Dikhawatirkan TBRS tidak merakyat lagi,” ujarnya.

14

April 2016

AMANAT Edisi 125

CERMIN

TBRS UNTUK RAKYAT

Kesenian di TBRS terus ada. Para seniman dan penikmat seni kompak menjaga eksistensinya.

Meski pada 2015 lalu TBRS diwacanakan akan dialihfungsikan menjadi Trans Studio, hingga saat ini acara kesenian di TBRS masih berjalan lancar. Salah satunya adalah pagelaran wayang kulit yang digelar setiap satu selapan sekali.

Meneladani Raden Saleh Penamaan TBRS, menurut Kristanto dinisbatkan pada nama seorang pelukis terkenal asal Kota Semarang yaitu Raden Saleh. Nama Raden Saleh dipakai sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya yang telah mengharumkan Semarang.

Raden Saleh yang bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Boestaman adalah pelukis Indonesia beretnis Arab-Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan romantisme yang sedang popular di Eropa pada zaman ia aktif sebagai pelukis (1829-1880) dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis ( Harsja W. Bachtiar, 2009). Dalam buku Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme disebutkan bahwa Raden Saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang Jawa Tengah, sekitar tahun 1814. Tanggal ini diperkirakan diberikan oleh Raden Saleh sendiri. Ayahnya bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama Mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Kertosobo (16811759), seorang asisten Residen Terboyo dan pendiri keluarga besar Bustaman yang menghasilkan para residen, patih dan anggota utama kelas priyayi bangsawan. Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang di Terboyo, hingga tahun 1822. Sang bupati adalah pamannya karena Soero adalah putra dari anak ketujuh kakek buyut Raden Saleh, yaitu Kyai Nga-behi Kertosobo Bustam. Sang bupati adalah seorang pamong yang berpe-ngetahuan luas dan berpikiran maju. Dia merupakan salah seorang anggota perkumpulan kecil yang eksklusif, yaitu Javaansch Weldadig Genootschap (masyarakat filantropi) yang didirikan pada 1816. Pada 1822, masyarakat ini hanya memiliki 21 orang anggota. Raden Saleh adalah pelukis Hindia Belanda pertama yang terdidik dalam teknik melukis Barat. Ia sangat terpengaruh Eugene Delacroix, tokoh utama

aliran romantisme di Prancis. Seperti Delacroix, ia pun banyak mengambil banyak inspirasi dari pemandangan Afrika, terutama dalam penggunaan cahaya dan warna. Selama 20 tahun tinggal di Eropa, Raden Saleh diditerima baik oleh kalangan elite Belanda dan Eropa. Ia bahkan diangkat menjadi pelukis Istana Belanda. Hal ini agak ganjil karena Belanda pernah mempunyai pelukispelukis besar semacam Rembrandt di abad ke-17. Melalui pelukis romantik Jawa itulah gambaran Hindia Belanda yang “mooi”—pemandangan, binatang dan orang-orang—mula-mula sampai ke Belanda pada pertengahan abad ke19 ( Harsja W. Bachtiar, 2009: 166). Karya-karya budaya hasil kejeniusan Raden Saleh menunjukkan, ia adalah seorang seniman yang berbakat dan kreatif serta seorang pelukis yang sangat berhasil. Semasa hidupnya Raden Saleh tidak berkembang se-suai dengan tren melukis Eropa saat itu, tetapi Raden Saleh bekerja untuk para klien yang sangat spesifik. Me-reka sangat menyukai karya-karya seni yang konservatif dan tradisional. Me-reka adalah para raja, pangeran, bangsawan, dan para borjuis ternama. Se-lera seni mereka sangat sesuai dengan kecenderungan, temperamen, rasa dan keterampilan Raden Saleh yang telah dikembangkan—atau dikondisikan—dalam sebuah lingkungan budaya yang sama dengan para aristokrat dan borjuis.n Chalia Mufida


RESENSI

J

MENGUNGKAP FAKTA SEJARAH

onathan Black adalah nama pena dari Mark Booth. Ia belajar di Ipswich School dan Oriel College, Oxford, mengambil Jurusan Filosofi dan Teologi. Ia telah bekerja dalam dunia penerbitan lebih dari dua puluh tahun, dan saat ini mengepalai Century, sebuah penerbit dari Random House UK. The Secret History Of The World (oleh penerbit Alvabet diterbitkan dengan judul Sejarah Dunia yang Disembunyikan) merupakan hasil dari pembacaan literatur sepanjang hidup dalam bidang ini, dan berkeliaran di toko-toko buku kuno. Adikarya yang telah diluncurkan oleh Jonathan Black telah menghidangkan rahasia-rahasia para jagoan jagat raya. Disajikan dalam sebuah tulisan yang berisi halhal yang menarik minat para anggota The Craft. The Secret History Of The World edisi Indonesia ini terdiri dari 28 kisah dari ranah penulisan yang sangat menarik membuat buku ini benar-benar asyik dibaca. Di samping profesinya yang sudah melekat dengan dunia penerbitan, wawasan Black tentang esoteris seperti ensiklopedia menjadikan para pembaca seolah-olah telah mengilhami para generasi orangorang hebat sejak Plato melalui Isaac Newton hingga George Washington. Ini adalah sebuah sejarah dunia yang telah diajarkan secara turun-temurun bertahun-tahun dalam perkumpulanperkumpulan rahasia tertentu. Di satu sisi, akan tampak gila jika ditelaah dari sudut pandang masa kini. Namun, di sisi lain terdapat sebuah perbandingan tinggi yang luar biasa dari laki-laki dan perempuan yang membuat sejarah adalah orangorang beriman. Kaca Mata Dunia Buku The Secret History Of The World menjadi kaca mata dunia bagi setiap pem-

Judul Buku Judul Asli Penulis Penerjemah Penerbit Tahun Terbit Tebal Buku Resentator

: Sejarah Dunia yang Disembunyikan : The Secret History Of The World : Jonathan Blach (Bestseller Internasional) : Isma B. Soekoto dan Adi Toha : Alvabet : 1, Mei 2015 : 636 halaman : Jannatun Naimah

bacanya. Buku ini berisi himpunan bukti untuk memperlihatkan bahwa sebuah filosofi kuno dan rahasia di dalam sekolah-sekolah misteri tetap dilestarikan dan dipelihara selama bertahun-tahun oleh perkumpulan-perkimpulan rahasia, termasuk Knights Templar dan Rosikrusian. Empat bab pertama akan memperlihatkan apa yang terjadi “pada awalnya”, mengungkap ajaran rahasia dengan pengusiran dari Surga dan Kejatuhan. Pada tujuh bab berikutnya banyak tokoh dari mitos dan legenda diperlakukan sebagai tokoh sejarah. Selain itu, kita akan melihat juga, bagaimana ajaran-ajaran rahasia pada sejarah dunia memengaruhi politik luar negeri dalam pemerintahan AS sekarang terhadap Eropa Tengah. Namun, jika boleh dikatakan hal terburuk yang telah muncul penilaian congkak tentang aliran-aliran pemikiran dan perkumpulan rahasia yang berasal dari tradisi aslinya. Jadi, Kabala, Hermetisisme, Sufisme, Templar, Rosikrusian, Freemasonry esoteris, Martinisme, Teosofi Madame Blavatsky dan Antroposofi sebuah pancaran modern dari dorongan Rosikrusian, Scientologi, bersama dengan segala pembelokan dari material.

Sehingga, seakan-akan buku ini menjauhi pertentangan. Bahkan membuat marah banyak orang dan bertentangan dengan akal sehat. Ini dapat dicermati dalam bab 8 berisi perubahan ke dalam apa yang secara lazim digagas sebagai periode sejarah, tetapi kisah tersebut terlanjur menceritakan kisah-kisah monster dan bintang-bintang menakjubkan, keajaibankeajaiban serta ramalan dan tokoh-tokoh sejarah yang berkomplot dengan makhluk tak berjasad untuk mengatur jalannya kejadian-kejadian. Dari sinilah segala pemikiran akan jungkir balik dan berkebalikan. Mengikuti alur kisah bait demi bait untuk berfiir keras mengenai gagasan-gagasan terlarang dan merasakan filosofi-filosofi yang dipercaya oleh pemimpin-pemimpin intelektual modern kita sebagai bidah, bodoh, dan gila. Teori dalam buku ini adalah bahwa kejadian-kejadian yang kita jelaskan dalam istilah politik, ekonomi atau bencana alam bisa dilihat lebih menguntungkan dalam istilah yang lain.Tak dapat dipungkiri bahwa The Secret History Of The World Mengajak para pembaca untuk mendekati satu persatu naskah dari kisah ini dengan

CERDAS MENGHADAPI POLA RADIKALISME BARU Judul Penulis Penerbit Tahun Tebit Halaman Resentatar

B

uku Deradikalisasi Dunia Maya karya Agus Surya Bakti ini mengingatkan setiap orang bahwa penyebaran radikalisme tidak lagi monoton face to face melalui tempat-tempat rahasia. Hadirnya media sosial (medsos) sangat efektif bagi kelompok teroris untuk menghadirkan propaganda, pembangunan jaringan, dan sarana rekrutmen anggota baru. Seseorang dapat terjangkit paham radikal melalui medsos yang tidak mengenal tempat dan waktu. Pola dan jaringan kelompok radikal mengalami perubahan ke arah modern. Penggunaan medsos untuk kepentingan terorisme dapat dilihat misalnya pada kelompok teroris ISIS. Kelompok yang dijuluki sebagai “Teroris dunia maya” ini sangat aktif dalam memanfaatkan medsos sebagai alat penyebaran propaganda dan kegiatan rekrutmen anggotanya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Brooking Institution dinyatakan bahwa pada akhir

: Deradikalisasi Dunia maya : Agus Surya Bakti : DaulatPress : 2016 : 222 halaman : Fattahul Alim

2014 terdapat sedikitnya 46.000 akun twitter yang terkait dengan ISIS. Akun-akun ISIS tersebut rata-rata memiliki follower lebih dari 1000.(Hal. 70) Youtube juga kerap digunakan kelompok ISIS dan kelompok radikal lainnya dalam mengumbar eksistensi dan kekuatan mereka kepada seluruh dunia. Seorang akan lebih mudah tertarik dan cepat paham saat menerima pesan lewat gambar dan suara. Untuk media interaktif, facebook dan twitter juga menjadi sasaran utama mengingat keduanya bisa dengan mudah diakses oleh masyarakat luas. Radikalisasi Dunia Maya Poin penting pertama dalam buku ini ialah penggunaan internet oleh kelompok teroris merupakan suatu pola, modus, dan strategi baru yang menggejala secara global. Setidaknya ada tiga bentuk baru dari fenomena ini. Pertama: radikalisme di lingkungan remaja. Kedua: Radikalisme pada kalangan terdidik. Ketiga: Radikalisme di ruang terbuka. Paham radikalisme memungkinkan menjangkiti setiap orang yang mengakses situs kelompok radikal. Tidak terbatas pada orang dewasa, pengangguran, putus sekolah, dan iming-iming uang. Namun banyak orang-orang terdidik, kaya, berpendidikan tinggi juga terpengaruh paham radikal. Paham radikal juga sudah tidak lagi secara rahasia melainkan dipamerkan didunia maya dan disebar luaskan melalui medsos. Dalam buku ini, Agus memaparkan

data-data hasil monitoring yang dilakukan selama hampir satu tahun bergulat dengan blog, situs, dan medsos yang mengandung unsur negatif. Radikal atau tidaknya sebuah situs dapat diidentifikasi dengan salah satu dari empat indikator umum berikut. Pertama: situs radikal biasanya menganut paham keagamaan takfiir (pengafiran). Kedua: situs radikal seringkali menurunkan konten bermuatan hasutan untuk membenci dan memusuhi pihak lain berupa kelompok komunitas lain yang dianggap sesat, liberal, atau pemeluk agama lain. Ketiga: melakukan pembenaran aksi kekerasan atas nama agama. Jihad dalam pengertian perang sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian masalah. Keempat: situs radikal selain puritan dan kaku juga mengajarkan pembacanya untuk meraih target yang diinginkan dengan cara cepat. Deradikalisasi Dunia Maya Poin penting kedua dalam buku ini ialah wacana deradikalisasi dunia maya. Deradikalisasi muncul sebagai reaksi atas proses masifitas penyebaran pesan radikal, propaganda, dan rekrutmen yang terjadi di dunia maya dengan asumsi bahwa media internet telah menjadi media efektif yang menyuburkan fenomena radikalisasi (hal128). Bagi Agus deradikalisasi dunia maya sebagai upaya melawan narasi, ideologi, dan propaganda kelompok radikal teror, menghilangkan pengaruh konten radikal,

cara yang baru yaitu memandangnya sebagai latihan berimajinasi dan semuanya mungkin saja benar. Sehingga, tak heran jika pada akhir pengantarnya, Black menyatakan bahwa “ketika seseorang yang setia pada filosofi kuno dan rahasia mengatakan hal yang sangat mudah diingat: kau pasti gila karena jika tidak, kau tidak akan datang ke sini”.n

menghiasi dunia maya dengan berbagai konten damai, dan ujungnya adalah meningkatkan daya tahan masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme yang disebarkan melalui media online. Agus juga mengungkapkan pentingnya litercy media. Secara sederhana diartikan sebagai kemampuan berpikir kritis yang harus dimiliki dalam membaca konten media massa secara aktif tidak pasif. Karena, pemilik media seringkakli mengisi konten media sesuai kepentingannya. Setidaknya, ada empat kelompok yang berpengaruh dalam upaya deradikalisasi. Pertama, Peran keluarga. Ini penting sebagai kontrol penggunaan medsos pada tingkat individu. Kedua, peran tokoh agama. Pusat kajian Radikalisasi di London mengatakan 100 pemuda yang bergabung dengan kelompok radikal bukan muslim yang saleh atau taat. Artinya, kebanyakan keagamaan mereka masih dangkal. Ketiga, peran lembaga pendidikan. Sekolah merupakan lingkungan yang mudah dijangkau dari berbagai sektor. Bahkan pemahaman dangkal dari guru dapat mempengaruhi siswa. Maka pihak sekolahan harus membekali siswa dengan pelatihan literasi Media. Keempat, Peran komunitas penggiat dunia maya. Asosiasi penyedia Jasa Internet Indonesia pada 2014 menyebutkan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta. Fakta tersebut menunjukkan ada peluang besar untuk mengampanyekan deradikalisasi dunia maya. Buku ini menarik dibaca, di dalamnya menjelaskan beberapa aspek terkait radikalisme dunia maya. Juga dilengkapi paparan tentang bagaimana upaya deradikalisasi dunia maya yang harus dilakukan oleh berbagai pihak. Sehingga buku ini dapat memberi pemahaman masyarakat akan perubahan gerakan paham radikal ke arah modern.n

AMANAT Edisi 125

April 2016

15


SURAT PEMBACA

Pegawai UIN Sandalan di Kantor

Resepsi di UIN Ganggu Perkuliahan

Pak Rektor yang terhormat, mohon tindakan tegas untuk pegawai-pegawai di lingkungan UIN Walisongo yang sengaja memakai sandal di dalam kantor. Saya sering menjumpai pegawai UIN sandalan pada jam kerja. Mungkin alasan pegawaipegawai itu karena jam istirahat. Namun, anehnya, meski jam istirahat sudah usai mereka tetap memakai sandal. Mungkin terlalu nyaman. Mahasiswa saja ketika kapergok memakai sandal di kantor mendapat teguran. Kami mohon, para pegawai yang masuk kantor juga bersedia tidak memakai sandal. Pegawai harus selalu memberi contoh baik pada para mahasiswa. Budiman Prastyo, Fakultas Sains dan Teknologi

Hari Sabtu, di Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) masih ada jam kuliah. Namun di saat jam kuliah berjalan, terganggu dengan suasana dan suara gaduh dari gedung Audit II yang sering digunakan resepsi atau mantu. Kami mohon kebijaksanaan dari pejabat kampus. Atas dasar kepentingan apa mengapa resepsi atau mantenan yang cenderung merusak keindahan dan ketertiban kampus, diperbolehkan di Hari Sabtu? Itu sangat mengganggu aktivitas perkuliahan kampus? Mochamad Sabidin, Fakultas Syariah dan Hukum

Perpustakaan Hanya Buka Delapan Jam Perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi. Tapi kalau jantungnya berhenti memompa apa yang terjadi? Sangat disayangkan, perpustakaan UIN Walisongo, cuma buka delapan jam. Padahal kuliah sampai larut malam. Lagi-lagi mahasiswa yang menjadi korban. Mohon kebijaksanaan dari pihak terkait untuk memaksimalkan pelayanan perpustakaan. Arif Widodo, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Juras Kurang Terawat Rumput hijau di Sekitar Juras (Jurang Asmara) atau jalan yang menghubungkan antara kampus dua dan kampus tiga tidak lagi indah. Rumput yang baru dipotong tidak berselang lama tumbuh lagi. Rumput menjulang tinggi hungga membuat suasana juras makin angker. Rumput di Juras sering menjulang tinggi lantaran pemotongan tidak dilakukan secara rutin. Supriyono, Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Sistem Akademik Di FEBI Simpang Siur Mata kuliah yang awalnya tidak wajib diambil tiba-tiba menjadi “fardhu ‘ain”. Hal ini menjadi penghambat mahasiswa yang seharusnya bisa lulus lebih awal. Alangkah bijaksananya jika birokrasi FEBI berbenah, agar angkatan berikutnya tidak menjadi korban. Uswatul Khoeriyah, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam

Perlu Kesadaran Berlalulintas

Saya kerap menjumpai mahasiswa yang mengendarai motor berlawanan arah dari yang semestinya. Tepatnya dari arah utara ke selatan memasuki kampus II UIN Walisongo Semarang. Padahal tindakan seperti itu dapat mengancam diri mereka dan pengguna jalan lain. Hemat saya, kesadaran mahasiswa akan keselamatan berlalulintas perlu ditingkatkan. Mahasiswa seharusnya juga memikirkan hak orang lain dalam menggunakan fasilitas umum. Karena dengan melawan arus lalulintas mereka telah merampas hak orang lain. Selain itu, pihak keamanan kampus dalam hal ini security juga perlu memberikan ketegasan terhadap mahasiswa yang melawan arus lalulintas. Misalnya dengan melarang mereka masuk lingkungan kampus dan meminta mereka putar balik sesuai jalur yang benar. Isma Mawarti, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum

Lembar Soal Test Imka Ajek Pak Ketua Pusat Pengembangan Bahasa (PBB), dulu pada saya mengikuti test IMKA, saya kaget. Soal yang saya terima kok sudah lama alas kawak dan sebagian halaman ada yang hilang alias jebrol. Lebih serius lagi, di sebagian soal sudah ada coret-coretan jawaban. Apakah sekarang lembar soal test IMKA masih seperti itu Pak? Jika masih, mohon segera diperbaiaki untuk kebaikan UIN Walisongo. Harga diri UIN Walisongo dipertaruhkan. Arif Wibowo, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Surat Kabar Mahasiswa SKM AMANAT

Mengucapkan: SELAMAT & SUKSES DIES NATALIS KE-46 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) WALISONGO

16

April 2016

AMANAT Edisi 125


OPINI M AHASISWA Mencetak Manusia Berakhlak

K

etika mendengar visi dan misi, pikiran setiap orang pasti menuju pada orientasi dan cita-cita yang ingin dicapai. Visi dan misi merupakan hal yang sangat urgen dalam sebuah instansi/organisasi/lembaga. Hal itu juga berlaku untuk UIN Walisongo. Salah satu misi dari UIN Walisongo adalah “Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran IPTEKS berbasis pada ilmu pengetahuan untuk menghasilkan lulusan profesional dan berakhlakul karimah.� Jika dipahami, substansi dari kalimat tersebut sangat luar biasa. Sebuah universitas islam negeri yang mampu menyelanggarakan pendidikan sejajar dengan perguruan tinggi lain, sehingga mampu mencetak generasi-generasi profesional. Tak sebatas itu, kampus ini adalah universitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman demi mewujudkan lulusan yang tidak sekedar pandai namun juga punya akhlakul karimah. Akhlakul karimah merupakan kunci utama untuk mencapai kesuksekan yang hakiki. Ketika seseorang hanya mengandalkan sisi profesional dari segi materi, namun akhlak dan tingkah laku masih

Perhatikan Infrastruktur Pendidikan

semrawut, sesungguhnya seseorang itu belum bisa dikatakan orang yang berilmu. Seperti diketahui, legitimasi dari masyarakat yang paling mendominasi ketika melihat mahasiswa atau para sarjana adalah dengan melihat tingkah laku, kesopanan, kesantunan, dan keahliannya dalam bidang tertentu. Setiap tahun mahasiswa UIN Walisongo terus bertambah. Akan tetapi kuantitas tersebut tidak diimbangi dengan kualitas. Baik dari gedung, kegiatan pembelajaran, dan moralitas dari para mahasiwa. Degradasi moral semakin tampak, nilai kesopanan, kesantunan sudah semakin jauh, baik kesopanan dalam berbusana maupun kesopanan dalam bertingkah laku. Ini merupakan PR kita semua untuk menjadikan kampus ini tetap membudidayakan nilai-nilai Islam bahkan meningkatkannya agar semakin maju. Sehingga bisa sejajar dan mampu bersaing dengan universitas-universitas favorit di Indonesia. Habba Zuhaida, Mahasiswi Program Studi Ahwalus Syasiyah UIN Walisongo Semarang

S

eorang penjelajah waktu memiliki tujuan penting dalam menentukan arah menuju cahaya kebahagiaan. Maka diperlukanlah kompas dan tekad yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut. Begitu pula dalam mewujudkan suatu visi misi. Ia harus memiliki tujuan terdepan bagi kehidupan sekarang maupun yang akan datang dan bagi generasi sekarang maupun untuk generasi selanjutnya. Supaya cita-cita itu tercapai, tentunya tidak hanya semata mewacanakan, tetapi juga harus diimbangi dengan praktek dan realisasi secara langsung agar bisa dirasakan oleh sivitas akademika UIN Walisongo. Apabila komponen sistem kurikulum termasuk buku ajar/ pedoman dan strategi belajar-mengajar sudah disiapkan secara cermat, namun mutu pendidikan tetap rendah, maka kemungkinan proses belajar-mengajar dan sistem evaluasi perlu mendapat perhatian serius. Di perguruan tinggi, seluruh kegiatan proses belajar-mengajar dimaksudkan untuk menumbuhkan cipta, rasa, karsa dan karya mahasiswa menuju terbentuknya manusia seutuh-

nya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas proses belajar-mengajar antara lain tingkat partisipasi aktif mahasiswa dalam proses belajar, belum tersedianya sarana/prasarana akademik seperti perpustakaan yang lengkap, laboratorium, dan lain-lain, masih menjadi kendala untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dosen sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan secara kualitatif masih harus ditingkatkan kualitasnya agar bisa menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, tangguh, maju, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan rohani. Kiranya untuk mencapai cita-cita UIN Walisongo, perlu dibangun kebersamaan untuk mencapai apa yang sudah direncanakan. Suci Wahyuni Arti, Mahasiswi Program Studi Perbankan Syariah UIN Walisongo Semarang

TEMA MENDATANG

Darurat Fasilitas Kampus

Kirim opini anda melalui email: skmamanat@yahoo.com. Naskah tidak lebih dari 2500 karakter. Sertakan biodata, foto terbaru dan nomor HP yang bisa dihubungi. Pengiriman naskah paling lambat Mei 2016. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan dan piagam penghargaan.

n KOMIK

AMANAT Edisi 125

April 2016

17


MIMBAR

Relasi Religiositas dan Tindakan Politik Jejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2015 masih hangat di sekitar kita. Bagi pecundang dan pemenang menemukan suasana batin yang berbeda. Religiositas—ketegaran batin menjadi kekuatan dan benteng menghadapi kekalahan dan kemenangan agar tidak sakit jiwa dan jumawa.

Dok. Pribadi

P

Siswanto AR

Dengan pengawalan ketat dari civil society termasuk agamawan, kegiatan (pelaku) politik yang sesuai ajaran agama akan lebih mendapat jaminan dan mendorong kesejahteraan yang memenuhi spiritualitas dan nasionalitas yang berkualitas.

ilkada serentak 2015 menelurkan pemimpin baru. Angin segar harapan pun menguntit sang pemenang “yang membawa semangat dan gairah menderu”. Namun kapasitas kepemimpinan mereka dalam mewujudkan kesejahteraan masih (selalu) dipertanyakan. Tak luput tentang kapasitas-religiositas para pemimpin menjadi sorotan: apakah mereka memiliki kualitas keagamaan yang mantap dan mampu dilaksanakan dalam tindakan nyata? Atau malah “seakan beragama” namun bertindak lepas dari aturan-aturannya sehingga menjadi “telur” yang tidak menetas dan bahkan membusuk? Bagi seorang “negarawan baru” yang berhasil menjadi pemimpin daerah atau kota tentu bersuka cita, kemudian menggelar tasyakuran dan ritual lain sebagai wujud kekuatan religiositas-formalnya untuk merayakan hati yang gembira. Bagi yang tidak terpilih juga menampakkan beragam “ekspresi”: ada yang tetap sabar dan legowo, ada yang melampiaskan kegagalannya malah dengan berjoget ria, ada pula yang melamun—menyendiri— sampai terganggu jiwanya. Religiositas sendiri terkait dengan ketahanan mental seseorang. Mental dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2007: 733) adalah sesuatu yang terkait dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Jadi, ketahanan mental adalah kekuatan yang berporos pada batin. Ini digunakan untuk menahan beban-beban psikologis disebabkan dari berbagai faktor yang melingkupi seseorang. Menurut Ibnu Djarir dalam Suara Merdeka (15 Juni 2004), religiositas adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekadar mengaku mempunyai agama (having religious). Religiositas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengalaman (ritual) agama, perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial keagamaan. Dalam Islam, religiositas pada garis besarnya tercermin dalam pengalaman akidah, syari’ah, dan akhlak, atau dengan ungkapan lain; Iman, Islam, dan Ihsan. Apabila semua unsur itu telah dimiliki oleh seseorang, “termasuk para pemimpin”, maka itulah insan beragama yang seutuh dan sesungguhnya. Ranah berpolitik dan bernegara pun diniscayakan berpijak kepada nilai-nilai agama yang juga tercakup dalam Pancasila, lebih-lebih Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ia adalah dasar dalam memaknai dan mengamalkan sila-sila berikutnya. Ini menegaskan bahwa nilainilai agama dan religiositas yang termaktub dalam Pancasila mutlak dijadikan basis dalam berpolitik dan bernegara demi kemakmuran rakyat, yang akhirnya menjadikan seseorang atau pemimpin sempurna beragama dan bernegara. Relasi Religiositas-Politik Aksi-reaksi seseorang menyikapi kekalahan dan kemenangan dalam Pilkada bisa terkait dengan kapasitas-religiositas para politikus. Religiositas mereka— yang gagal maupun berhasil—akan kaitmengait antara batin politikus dengan suasana sosial—lingkungan di mana mereka berkiprah. Apakah dari lingkup keluarga, tetangga, desa, kabupaten,

18

April 2016

AMANAT Edisi 125

provinsi, sampai negara, yang kemudian membentuk gumpalan aksi-reaksi (sebelum) setelah Pilkada. Jika mental mereka kuat akan menampilkan kampanye yang benar—menepis politik uang dan caracara yang tidak halal lain, kemudian jika menemui kekalahan menerima dengan jantan, pun jika mendapat kemenangan akan rendah hati dan lebih menanamkan niat mengabdi demi kesejahteraan sosial dan kemuliaan bersama. Berdasar inti filsafat George Simmel (1858-1918) mengenai relasionisme, bahwa semua hal harus dianggap berelasi atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain. Sehingga kaitan antara para (calon) bupati, walikota, dan gubernur dengan latar belakang religiositas mereka akan mempengaruhi sikap pengambilan “kebijakan”. Ditegaskan Max Weber (1864-1920), bahwa peran agama adalah mengarahkan perilaku individu (politikus) dan sosial, sehingga individu dan kelompok “saling mengait secara interaktif dalam membangun masyarakat” (Komaruddin, 2011). Sayangnya telah menjadi fakta sosial, bahwa masih banyak pelaku politik belum mengamalkan arahan nilai-nilai agama mereka sehingga tindakan atau “kebijakan” yang muncul banyak yang menyimpang dari aturan agama dan men yakiti hati rakyat. Ada cukup banyak kasus seseorang dikenal “beragama kuat”, malah menjadi politikus yang koruptif. Memang perilaku mengesampingkan agama seperti korupsi dan “permufakatan jahat” demi memenuhi keserakahan diri dan kelompok sering mencuat, sehingga (senantiasa) perlu dicari solusi. Apakah menggunakan penegakan hukum (law enforcement) atau dengan pendekatan agama dan budaya yang lebih tegas dan intensif. Tindakan yang melawan agama maupun pengingkaran janji politik yang dilakukan berulang-ulang oleh sekian banyak kepala daerah adalah realitas interaksi buruk dalam masyarakat yang (masih) cukup akut-naif. Itu sudah bisa ditebak sejak awal bila melihat prosesproses kotor Pilkada akhir-akhir ini— dari pelanggaran aturan main Pilkada; dengan pengerahan pegawai negeri sipil, kepala desa, bidan desa, bahkan pegawai honorer dengan berbagai ancaman: akan dipindah tugas ke tempat yang jauh, kucuran dana desa dibuat rumit, dan bahkan mempersulit posisi pegawai honorer jika tidak memilih “dia”, sampai “politik uang” yang “membudaya” dan melibatkan “hampir semua lini” termasuk yang disebut “agamawan”—. Lagi-lagi penegakan hukum pelanggaran Pilkada minim terealisasi, sehingga setiap hajatan Pilkada, pelanggaranpelanggaran yang sama (akan) terulang dan malah “membudaya”. Ini yang dimanfaatkan para politikus jahat untuk berkuasa dan mengangkangi rakyat dengan semena-mena. Padahal yang dirindukan bukan seorang penguasa namun pemimpin yang menjadi suri teladan dan mampu mendidik, membimbing, serta bersama rakyat meraih kemajuan yang penuh keberkahan. Karenanya, penegak hukum mendapat pekerjaan rumah besar yang tidak cuma janji-janji penanganan “bergula-gula” yang minim realisasi. Demikian juga “tokoh” agama dan budaya “di-

wajibkan” lebih melakukan pendekatan dengan arif menghadapi politik uang dan pelanggaran lain yang menghantui setiap Pilkada, mengawal pemerintahan— dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai negara—, serta memberi pengertian kepada rakyat tentang pendidikan kewarganegaraan (civic education) yang tepat. Dengan pengawalan ketat dari civil society termasuk agamawan, kegiatan (pelaku) politik yang sesuai ajaran agama akan lebih mendapat jaminan dan mendorong kesejahteraan yang memenuhi spiritualitas dan nasionalitas yang berkualitas. Religiositas dan Tindakan Sebagai umat beragama para (calon) pemimpin semestinya mendalami keberagamaan mereka untuk dimanifestasikan dalam “tindakan politik” menyejahterakan rakyat secara material dan spiritual. Jangan sampai (bertambah) seorang yang dianggap agamawan yang juga menjadi pemimpin suatu daerah malah dihukum karena korupsi. Ini akan “mementahkan” (lagi) “dalil” bahwa “religiositas seseorang menjamin kerahmatan bagi alam”. Padahal sudah menjadi rahasia umum, tingkah bejat seseorang atau para politikus itu dikarenakan mereka sendiri yang masih labil keagamaannya. Kemudian dalam berpolitik, negarabangsa kita telah memiliki ideologi yaitu Pancasila yang termaktub dalam Pemukaan UUD 1945. Ia menjadi kumpulan ide-ide the founding fathers sekaligus hasil pertukaran pemikiran di antara tokoh dari lintas agama dan budaya di Tanah Air—Nusantara. Ia memuat dasar berpolitik yang beradab dan memenuhi nilainilai religiositas dan moralitas. Pancasila menjadi antitesa dari paham-paham seperti kapitalisme-liberalisme yang dianut Amerika dan Eropa, komunisme yang dianut Rusia, atau fasisme yang dianut Jerman dan Jepang. Pancasila relevan dan otentik sebagai ideologi berpolitik dan bernegara bagi Bangsa Indonesia. Ia bisa dikatakan sebagai wujud “religiositas nusantara” yang patut kita jadikan rujukan dalam berbangsa dan bernegara. Dari semua itu, proses perbaikan politik-pengabdian untuk rakyat dapat dimulai dari perekrutan para politikus dengan memperhatikan kapasitas-integritas yang mumpuni dalam religiositas yang mewujud dalam tindakan nyata agar mudah mengangkat martabat rakyat. Sehingga para pemimpin memiliki performa yang laik menjadi khalifah di bumi dan bersama rakyatnya membangun negeri serta mewariskan pada anak-cucu sesuatu yang memenuhi manfaat-maslahat. Mari selalu minta tolong kepada Allah SWT dengan sabar dan taqwa, agar ibarat telur, para pemimpin kita bisa menetas dan berkembang-biak dengan sehat-kuatberani. Lalu membawa kesejahteraan berkeadilan, kedamaian, kegembiraan, dan kebahagiaan yang hakiki. Semoga pemimpin (generasi) sekarang meninggalkan keteladanan agung dan menghadirkan penerus bangsa yang kuat agama dan kaya tindakan penuh kebajikan. Siswanto AR, staf pengajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo.


KAJIAN

Saleh Darat, Kartini dan Feminisme Oleh: Abdul Ghofur

M

embayangkan Kartini, kita akan dihadapkan pada sosok paling kritis dan liberalis pada zamannya, dimana perempuan dalam posisi sangat tidak diuntungkan di tengah kuatnya budaya patriarki. Kartini menggugat keras budaya lokal (Jawa) yang kental dipengaruhi nilainilai Islam, dimana tidak ada ruang bagi perempuan untuk berekspresi selayaknya lelaki. Pemikiran feminis Kartini ini sangat terang benderang di dalam surat-surat Kartini yang dibukukan oleh Mr. J.H Abendanon, penganut paham liberal. Dengan meminjam tangan Kartini lewat buku Door Duisternis Tot Licht (1911), tentu akan lebih gampang bagi Abendanon untuk mempromosikan paham feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia. Padahal, feminisme adalah bagian dari proses pergulatan pemikiran Kartini yang masih meraba kebenaran. Feminisme hanyalah wacana yang bergolak dalam pikiran, menyisakan pertanyaanpertanyaan yang susah terjawab, kala itu. Ketika Kartini mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya pada agama, yang ia temukan justru kekecewaan. Agama seolah mendukung adat istiadat dan ikut melegalkan poligami. Wanita menjadi sasaran korban poligami yang saat itu banyak dipraktikkan para bangsawan. Seperti tidak ada pilihan bagi perempuan untuk mengembangkan pendidikan dan karir, kecuali kawin.

karena berkaitan dengan pengajaran al-Quran. Pengetahuan menulis bagi perempuan dikhawatirkan semakin membuka akses pergaulan perempuan dengan pria, terutama pria Belanda yang berpotensi melahirkan kemaksiatan, serta eksploitasi terhadap perempuan pribumi. Saleh Darat menganjurkan wanita untuk belajar skill seperti menjahit dan membatik, itu lebih produktif dan menunjang kebutuhan ekonomi. Kondisi masyarakat saat itu memang rentan terhadap pelecehan seksual pada wanita pribumi. Pemerintah kolonial tengah gencar mendekonstruksi budaya lokal karena dianggap menghambat im-

Saleh Darat adalah sosok yang belum pernah ia temui pada sosok ulama sebelumnya. Saleh membuka ruang dialog, segala pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran Kartini tumpah dalam dialog itu. “Kiai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (al-Fatihah) dan induk alQuran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubari. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam Bahasa Jawa.

perialisme. Saleh Darat bukan semata berpihak pada adat istiadat lokal yang terkesan mengesampingkan derajat wanita. Substansi pemikirannya, Saleh ingin melindungi martabat wanita dan membuatnya terpelihara dari eksploitasi kolonial. Sementara Kartini ingin membebaskan perempuan pribumi dari kungkungan budaya Jawa. Kartini berkiblat pada kehidupan perempuan kolonial yang diaggap telah menemukan kebebasannya. Ia mengajak wanita untuk memperoleh haknya mengenyam pendidikan dan bebas menentukan jalan hidup. Kedua pemikir perempuan ini akhirnya dipertemukan, dua tahun sebelum pernikahannya, dalam relasi guru-santri. Kartini mendapat pencerahan dan perspektif baru mengenai Islam setelah mengikuti pengajian tafsir Saleh Darat di Demak. Pikirannya yang selama ini gelap menjadi terang benderang.

Bukankah al-Quran itu kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahgtera bagi manusia?” (Imran Rasyadi:2010) Kartini takluk di tangan Saleh Darat, bersama dengan pemikiran-pemikiran feminis liberal yang telah lama bermukim di otaknya. Sampai menjelang pernikahannya, penilaian Kartini terhadap adat Jawa telah berubah. Ia menjadi lebih toleran dengan budaya lokal. Kartini pun bersedia dinikahi bupati Rembang mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ia tentang. Dalam surat-suratnya, Kartini bahkan menyebut sang suami mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan. Saleh Darat menulis tafsir berjudul Faidlurrahman Fi Bayani Asroril Qur’an berbahasa Jawa dengan aksara Arab yang dihadiahkan kepada Kartini sebagai kado pernikahannya. Perubahan pemikiran Kartini ini

“Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis bumiputra akan menempuh hidup, ialah “Kawin” (Surat kepada Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900). Keinginan Kartini untuk menemukan jawaban di kitab suci terhalang tembok sakralitas ayat-ayat berbahasa Arab yang susah ia mengerti. Keberadaan guru ngaji saat itu belum mampu memberikan pemahaman Islam yang baik kepada masyarakat, sebaliknya, lewat mereka, Islam digambarkan sebagai agama kaku dan menutup mata terhadap permasalahan sosial. Kartini menggugat model pengajaran Islam kala itu yang monoton karena sebatas mengajarkan cara baca al-Quran, tanpa pemaknaan. Pun tak ada ruang diskusi. “Karena al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke bahasa mana pun. Di sini tiada seorang pun yang tahu Bahas Arab. Orang di sini diajarkan membaca al- Quran , tetapi yang dibacanya tiada ia mengerti” (Stella Zeehandelaar pada 18 Agustus 1899). Pertemuan Kartini dengan Saleh Darat. Saleh Darat, ulama asal Semarang yang hidup sezaman dengan Kartini, mampu memecah kegalauan Kartini. Sebagaimana halnya Kartini, Saleh Darat menyaksikan perempuan pada waktu itu dalam keadaan sangat tertindas. Keduanya berangkat dari pemikiran sama, ingin mengangkat harkat dan martabat perempuan. Bedanya, Kartini ingin membebaskan perempuan dari belenggu adat istiadat lokal yang cenderung patriarki. Sementara Saleh Darat ingin membebaskan perempuan dari belenggu budaya kolonial yang cenderung liberal. Saleh Darat dalam salah satu kitab karangannya sampai melarang wanita belajar menulis, kecuali menulis Arab

membuktikan, Kartini telah menanggalkan ego rasionalnya, lalu bertransformasi menjadi manusia yang mengutamakan transendensi. “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.” (Surat kepada Nyonya Abendanon pada 15 Agustus 1902). Sayangnya, pemikiran-pemikiran Kartini pasca pertobatannya setelah bertemu dengan Saleh Darat jarang terungkap. Yang ada adalah pemikiranpemikiran feminis Kartini saat ia masih terpengaruh dengan pendidikan Kolonial dan teman-teman Belandanya. Pemikiran Saleh Darat mengenai Kesetaraan Gender. Sebagai tokoh yang berhasil memengaruhi dan membalikkan pemikiran Kartini, Saleh Darat dengan perspektifnya mengenai gender perlu ditelaah. Sebagaimana penelitian Prof. Sri Suhandjati dalam kitab Majmuat, Saleh Darat menekankan bahwa wanita dalam Islam mendapat kedudukan yang setara dengan laki-laki di hadapan Allah. Tinggi atau rendahnya manusia tidak diukur dari jenis kelamin, warna kulit, suku, ras, maupun golongan. Tuhan membedakan manusia pada tingkat ketaqwaan (al-Hujurat:13), yaitu sejauh mana manusia mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Di antara bukti keadilan yang menempatkan wanita dan laki-laki adalah dalam mendapatkan hak atas perbuatannya dengan tidak membedakan jenis kelamin. (an-Nahl:97). Saleh Darat menjelaskan tentang hak wanita yang patut menjadi pijakan berpikir. Pertama, hak untuk memeproleh ilmu pengetahuan. Kiai Saleh darat menyebutkan bahwa siapa saja yang dikehendaki Allah baik, akan mendapatkan petunjuk untuk menjalankan perintah serta menjauhi larangan. Petunjuk Allah akan diberikan kepada hamba-Nya, baik wanita maupun laki-laki yang mau mencari kebenaran lewat belajar. Artinya, secara aktif manusia harus berusaha menemukan kebenaran melalui petunjuk agama maupun ilmu pengetahuan. Kedua, kewajiban menjalankan Rukun Islam. Dengan kondisi umat islam pada masa itu yang masih terbelakang dalam pengetahuan maupun pengalaman agamanya, Saleh Darat meletakkan fondasi pemahaman agama yang utuh. Kewajiban menjalankan rukun Islam dengan memadukan antara Iman, Islam, dan Ihsan. Keimanan dan keislaman itu tidak akan sempurna tanpa disertai Ihsan atau perbuatan baik yang bersifat horizontal yang terkait dengan sesama manusia. Berangkat dari itu, pemikiran Saleh Darat tentang kedudukan dan hak wanita sebenarnya cukup sesuai dengan kampanye emansipasi wanita Kartini, yaitu tuntutan memperoleh pendidikan dan menentukan masa depannya. Setiap manusia dapat memperoleh derajat tinggi jika berusaha mencari kebenaran. Laki-laki jika tidak serius dalam berikhtiar akan mengalami nasib sengsara, begitu sebaliknya, wanita yang serius akan mengalami nasib baik. Terdapat benang merah antara pemikiran feminis Kartini dan Saleh Darat.n

AMANAT Edisi 125

April 2016

19


CERITA ERITA P ENDEK ENDEK

Wanita di Penghujung Malam n Cerpen Ahmad Muhlisin

M

asih ingatkah, Kau, Sri? Kita pernah menyelesaikan rindu di tempat ini. Ya, aku tak akan lupa raut wajahmu waktu itu. Kau nampak gugu, tak tahu apa yang akan kau katakan.” “Bagaimana aku akan melupakan momen itu, Mas. Hari itu adalah akhir dari penantianku selama satu tahun. Di terminal inilah pada akhirnya aku tahu, hati kita memang saling bertaut.” Sri tersenyum getir. “Aku berbicara banyak sekali waktu itu. membicarakan semua impianku selama ini jika hidup bersamamu. Hingga ketika aku selesai, Kau tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Kau hanya memandangi mataku lekat-lekat ... “Aku mencintaimu,” ucapmu yang membuatku terdiam. Ya, aku memang tak mau merespon. Aku hanya ingin mendengarnya lagi dan lagi. Itu pertama kalinya kau mengungkapkan perasaanmu padaku ... Itu satu tahun setelah aku mengungkapkan hal yang sama padamu. Butuh satu tahun untuk meyakinkanmu, Sri. Butuh satu tahun untuk menerima kepastian cintamu. Dan sekarang setelah lima tahun berlalu, Kau sudah tak mencintaiku lagi.” Lelaki itu tampak menahan gejolak hatinya yang remuk-redam. Sri memandangi suaminya lekat-lekat. Mencari-cari alasan yang membuatnya begitu mencintai laki-laki di hadapanya. Dulu, ia sering memandangi matanya. mengakrabi ketakutannya sendiri pada sebuah hubungan. Suaminya kadang merasa risi diperlakukan seperti itu, tapi lambat laun, ia mengerti, kata-kata tak selamanya bisa menerjemahkan kedekatan. Sesekali yang mereka butuhkan adalah diam. Menyelami kedalaman hati masing-masing sambil terus mempertanyakan sebuah alasan yang digunakan untuk mencintai satu sama lain. Bukankah begitu harusnya orang yang berusaha menjaga cintanya? *** “Harus kukatakan berapa kali lagi, Mas. Kau tak perlu ikut aku kerja!” Perempuan berdandan menor itu meradang. Kesabaran yang dipupuknya malam itu terus-terusan tergerus. Hampir setiap malam ia membujuk suaminya untuk tinggal. Tapi di setiap malam itu pula ia harus bertengkar terlebih dulu. “Aku hanya ingin menemanimu, Sri,” ucapnya lirih. “Kau tak perlu menemaniku, Mas,” sahutnya ketus. “Jika kau terus terang padaku perihal tempat kerjamu, aku tidak akan memaksa seperti ini, Sri!” Lelaki itu menjawab dengan nada agak tinggi. Ia seperti menjerit minta penjelasan yang tak kunjung didapatkan. Sri perlahan mendekatinya. Ia pegang pundak suaminya yang duduk di kursi rotan ruang tamu yang hanya ada dua buah itu. “Tahukah, Kau, Mas, mengapa aku ambil kerja di malam hari? Karna aku tak mungkin meninggalkanmu di siang hari. Siapa pula yang akan menemanimu seharian itu jika aku kerja. Sedangkan keadaan Mas sudah nggak memungkinkan untuk kerja.” Ia menghela nafas perlahan. “Kalau aku kerja di malam hari, Mas Yudi bisa tidur. Lha, nanti kalau sudah bangun, istrimu ini sudah di rumah lagi.” “Tapi, Sri …” Lelaki itu tak jadi melanjutkan perkataannya. Ia seperti enggan membuat istrinya tambah kalut “Kalau Mas Yudi memang mau tahu tempat kerjaku, ayo ikut. Tapi besok-besok Mas sudah nggak boleh ikut lagi.” Sri putus asa. Sri kemudian menuntunnya ke kamar. Mengganti pakaian sang suami yang menurutnya pantas dikenakan untuk pergi. Ia seperti tak menghiraukan lagi akibat

20

April 2016

AMANAT Edisi 125

yang akan ditanggung jika suaminya tahu pekerjaannya. “Nanti, kalau sudah tahu pekerjaanku, Mas jangan marah, ya?” ucap Sri di telinga suaminya sebelum menutup pintu rumah mereka. Suara itu serak, seperti ia tekan kuat-kuat. Lihatlah, muka Sri itu. Ia seperti menumpu kesedihan nan kelam. “Baumu harum sekali, Sri.” Suara itu tibatiba membelah sunyi. Sri terdiam sejenak, seperti mencari-cari kalimat yang pas. “Ah, tiap hari juga pakai parfum ini, Mas,” jawabnya hati-hati. “Nggak, Sri. Aku tahu kebiasaanmu menyemprotkan parfum di badanmu itu. Malam ini terlalu berlebihan saja kayaknya. Baunya lebih menyengat.” “Mas Yudi ini bisa aja,” sahutnya dengan nada suara yang dibuat agak genit. Mereka akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan bercat warna-warni dengan lampu kelap-kelip yang bertebaran di manamana. Rumah itu nampak centil jika dilihat dari luar, dengan kaca-kaca yang dibiarkan telanjang tanpa penutup. Ada banyak wanita yang duduk di sofa-sofa merah yang berjejer rapi memenuhi bangunan. Pakaian mereka begitu minim. Mempertontonkan keintiman bagi siapapun yang menginginkan mereka. Tapi Sri terlihat gamang untuk melangkahkan kakinya ke dalam. Ia pandangi lekat-lekat bangunan itu untuk kemudian memandangi suaminya. Matanya terpejam, tarikan nafasnya kasar. “Mas, kita sudah sampai,” ucapnya halus. “Mas Yudi nanti …” “Selvi!!! Cepat masuk!” suara wanita dari dalam itu menggelegar. Seperti menyimpan amarahnya cukup lama. “I… iya, Mi.” Sri buru-buru masuk. Menarik lengan sang suami untuk mengikutinya. “Mas duduk dulu di sini, ya. Kalau Mas ngantuk, tidur saja. Tongkat Mas saya taruh di atas meja,” ucap Sri sambil mendudukkan suaminya di sofa panjang berwarna merah. “Hei! Cepat ke sini!” wanita itu semakin beringas saja tampaknya. “Siapa itu?!” tanyanya kemudian penuh selidik. “Ng ... itu suamiku, Mi,” jawab Sri agak ragu. “O ... itu suamimu. Buta gitu!” Wanita itu tersenyum sinis. “Jangan keras-keras, Mi, ngomongnya. Kasihan Mas Yudi.” “Kenapa? Kamu malu? Iya!? Harusnya yang malu itu suamimu, bukan kamu!” sahut wanita setengah baya itu melotot ke arah Sri. “Cukup Mi!! Aku kesini untuk kerja, bukan untuk menjelek-jelekkan suamiku,” jawab Sri agak jengkel. “Ya sudah, temui tamumu! Dia sudah

nunggu kamu dari tadi,” sahutnya bersungutsungut. Sri ragu untuk melangkah. Ia pandangi suaminya yang nampak kebingungan di sofa. Ada seraut kekalahan di muka Sri. Raut wajah yang terus muram sejak ia memutuskan mengajak suaminya untuk turut. *** “Mas Yudi kok belum tidur? Ini hampir jam tiga pagi, lho.” Sri kaget mengetahui suaminya masih terjaga di tempat ia meninggalkannya tadi. Ia kemudian cepat-cepat menghampiri suaminya, berharap mendapat penjelasan. “Apa bedanya jam tiga, jam satu, ataupun jam empat bagiku, Sri? Oh iya, Selvi. Itu namamu di sini, kan?” Lelaki itu berbicara dalam nada agak keras. Tak tahu bahwa raut muka istrinya karut-marut. “Kenapa diam?! Kamu malu?!” lelaki itu menambahi dengan nada yang sama. Seperti tak memberi kesempatan Sri untuk menjawab. Sri menoleh ke sekeliling ruangan. Melihat orang-orang yang begitu jelas mendapatinya terpuruk. Mereka seakan sama-sama menertawakan dirinya yang jatuh. “Mas tahu nama itu dari siapa?” Sri akhirnya buka suara. “Tak penting nama itu dapat dari siapa, Selvi, yang jelas sekarang aku tahu kelakuanmu di luar rumah.” “Ayo kita pulang saja, Mas,” ajak Sri jengah sambil mengulurkan tangannya. “Ngapain pulang? Biasanya juga habis subuh.” Lelaki itu menepis uluran tangan istrinya. “Sampai malam tadi aku masih berpikir Kau kerja di pabrik, atau tempattempat lain yang memperkerjakan karyawan di malam hari. E, tak taunya ...” lelaki itu masih bicara dengan nada sarkastik. Entah sakit hati seperti apa yang tumbuh di hatinya sekarang. “Cukup, Mas! Kau bisa memarahiku sepuas hatimu, tapi tidak di sini,” kata Sri putus asa. Lelaki itu tersenyum sinis. “Aku sekarang tahu kebiasaanmu memakai parfum yang menyengat itu, Sri. Ya, parfum yang dulu sekali jarang Kau pakai, bahkan setahuku tidak pernah. Dulu, aku selalu suka baumu. Bau tubuhmu yang tidak dicampuri parfum terkutuk ini. Baru saja kau mengenal parfum, Sri, dan perilakumu berubah drastis.” Sri tak peduli lagi dengan ocehan suaminya. Ia begitu saja menyeret pendamping hidupnya itu keluar menghindari tatapantatapan penuh cacian dari koleganya. “Kita omongin baik-baik di sini, Mas.” Sri melepaskan pegangannya pada sang suami. “Ada di mana kita sekarang?” sahut lelaki itu kaku. “Aku tak tahu ini tempat apa. Tapi di sini

sepi, Mas. Jadi Mas Yudi bisa puas marahnya,” jawab Sri sekenanya. “Oh... antarkan saja aku ke terminal, Sri.” “Mas Yudi mau ngapain di terminal?” “Sudah, antarkan saja aku ke sana.” Lelaki itu menutup pembicaraan. *** “Lebih baik kita sudahi hubungan ini, Sri,” ucap lelaki itu singkat tanpa ekspresi. “Kenapa, Mas?” “Sesingkat itukah responmu? Kau masih wanita yang sama Sri, masih seseorang yang sulit mengekpresikan keinginanmu.” “Maafkan aku, Mas,” sahut Sri dengan ekspresi yang sama. Sri bukannya sulit mengekpresikan perasaannya sekarang. Ia hanya tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini. Haruskah ia marah? Tentu ia tak pantas melakukannya. Atau kecewa? Tentu juga bukan, jika melihat perbuatannya pada suami yang dicintainya. “Seharusnya bukan kamu yang minta maaf, Sri. Aku yang salah karena membiarkanmu bekerja.” Ucap lelaki itu datar. “Ayo, kita pulang saja, Mas. Besok kita omongkan baik-baik,” Sri masih menyimpan keinginan untuk bersama lelakinya itu. “Nggak, Sri. Aku sudah tak bisa. Aku tak bisa memaafkan diriku yang membiarkanmu dijamah laki-laki lain.” “Tapi aku ingin terus bersamamu, Mas,” jawab Sri memelas. “Jika kamu tidak bisa, aku saja yang pergi, Sri.” “Mas ...” “Jika aku tak bisa memilikimu lagi, biarkanlah kenangan kita yang memilikimu. Aku tak akan berharap lebih sekarang. Maafkan aku, Sri.” Lelaki itu berbalik. Berjalan menyusuri jalanan yang begitu lengang. Tidak ada Sri yang menunjukkan arah sekarang. Ia hanya bertemankan tongkat yang setia menemani langkahnya. Di sini mereka menyatukan cinta dan di sini pula mereka membagi cinta itu untuk diri masing-masing. “Aku akan selalu mencintaimu,” ucapnya lagi tanpa menoleh. Sri ambruk. Gejolak hati yang sedemikian ia tekan akhirnya runtuh berkeping-keping. Ia terus memandangi punggung suaminya yang lambat laun hilang ditelan gelap. Meninggalkannya sendiri dengan ingataningatan yang berloncatan di pikiran. “Sri, bagaimana jika nanti aku tak bisa melihat parasmu lagi? Bagaimana jika aku tak bisa melihat sorot matamu lagi?” “Sudah, sudah, Mas. Kita akan cari solusinya bersama. Aku akan bekerja lebih giat lagi, agar bisa menyembuhkan penyakit glaukoma, Mas Yudi.” “Tapi, Sri?” “Sekarang, Mas, tidur, ya? Besok kita bicarakan lagi masalah ini.” Sri memegang erat tangan suaminya. Tangan itu begitu dingin. Sudah tiga hari pendamping hidupnya itu terbaring lemah di rumah sakit. “Sri, jika aku buta nanti, apakah kau masih mencintaiku?” “Tentu, Mas. Aku akan selalu mencintaimu bagaimanapun keadaanmu.” “Terimakasih, Sri,” ucap lelaki itu pelan sebelum benar-benar terlelap dalam tidurnya. Sri bangun dari duduknya. Memegangi kedua pundak suaminya dan memberi kecupan manis di dahi lelaki pujaanya itu. Sorot mata Sri melemah, ia terus pandangi jalanan yang telah menelan suaminya. “Sampai sekarang aku tetap mencintaimu, Mas. Dan itu tak akan berubah sampai kapanpun.”n


Saatnya Batik Semarang Setara

SASTRA ASTRA B UDAYA UDAYA Luka dari mata pisau

Berapa ribu kali mata pisau Mengincar dadaku? deras air darah Ke hilir, ke senyap air mata, tapi Bisu aksaramu, kasih Mengantar aku ke dekatmu Ke dekat-dekat aksara, dingin pisau Dan kebisuanmu. Oktober 2015

Ini mimpi kita

Foto: Nur Khanifatun Ni’mah

Diam! Ini mimpi kita, kasih Lahir dari perdebatan Bunyi dengkur yang cemas Dan saling mendengarkan

Seorang pembatik sedang melakukan aktifitas hariannya.

S

iang itu, Tri Utomo nampak sibuk. Dengan beberapa kain yang baru diambilnya dari jemuran, pria paruh baya itu bersiap melanjutkan pekerjaannya sebagai pembatik. Tri terlihat begitu telaten membuat pola-pola batik yang sudah hapal di luar kepala. Di tempat itu, Tri Utomo memang tak sendiri. Bersama dengan teman-temanya, Ia terus berusaha melestarikan budaya membatik di kelurahan Rejomulyo Semarang Timur. Kampung Batik yang sudah ada sejak zaman penjajahan ini memang terlihat sepi seperti tidak ada aktivitas membatik, padahal sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai pengrajin dan penjual batik. Pria yang juga berprofesi sebagai pengusaha Batik Semarang itu menjelaskan, sejak zaman penjajahan Belanda, kampungnya memang dikenal sebagai penghasil batik. Tapi akibat dari adanya penjajahan Belanda dan Jepang serta Pertempuran Lima Hari di Semarang, para pengrajin batik di Kampung Batik banyak yang meninggal. Sehingga eksistensi batik Semarang menjadi kian redup. “Sejak saat itu, tidak banyak orang yang bisa membatik di kampung ini,” ujar Tri. Seakan tahu kegelisahan warga Kampung Batik, pada tahun 2006 Pemerintah Kota Semarang melakukan upaya menghidupkan dan membangkitkan kembali kejayaan Batik Semarang. Hal ini berbarengan dengan ditetapkannya Batik Indonesia sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Pengakuan UNESCO ini kemudian menjadi momentum Pemerintah Kota Semarang kembali menghidupkan sentra Batik Semarang dengan mengajak seluruh masyarakat berbagai kalangan di Kota Semarang untuk mengikuti pelatihan membatik yang bekerjasama dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Semarang. Mulai dari kegiatan itulah seperti yang diakui oleh Tri, Kampung Batik kembali semarak. “Acara itu kembali menegaskan potensi Kampung Batik agar tak hanya menjadi label sejarah, melainkan menyemangati seluruh warga kampung batik supaya mampu menghasilkan batik khas Semarang,” jelasnya. Senada dengan Tri, hal yang sama juga disampaikan Siti Afifah. Ia menuturkan, sejak adanya perhatian dari Pemkot Semarang itu, antusiasme warga Kampung Batik begitu tinggi untuk kembali belajar membatik. “Para Ibu Rumah Tangga

di sini, sekarang punya kesibukan dan pekerjaan baru yang menghasilkan uang sebagai pengrajin ataupun pengusaha batik,” tambah wanita paruh baya itu. Selain membantu ekonomi keluarga, wanita yang kini berusia 55 tahun itu juga tak lupa menularkan ilmu yang dimiliki dengan membuka pelatihan membatik di rumahnya. Setiap hari tak hanya ibu-ibu yang belajar membatik, tapi juga ada anak-anak yang antusias untuk belajar membatik. “Senang rasanya bisa menyalurkan ilmu yang saya miliki kepada masyarkat yang benar-benar ingin belajar,” imbuhnya antusias. Desain Lebih Fleksibel Menurut Tri, batik Semarang dikenal karena tidak punya pakem yang tetap, sehingga para pengrajin bisa menghasilkan motif yang beragam. Ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan pengrajin batik di Solo ataupun Pekalongan. Solo mempunyai pakem dari keraton baik itu corak maupun pola tradisionalnya. Sedangkan Pekalongan punya pakem batik pesisir yang kaya akan warna dan punya ragam hias tetapi tetap mempertahankan sifat naturalisnya. Karena perajin Batik Semarang tidak pernah membakukan motif, mereka umumnya membatik dengan banyak motif dan corak. Mulai dari motif naturalis, flora fauna, dan ikon kota Semarang misalnya motif Lawang Sewu, motif Tugu Muda, motif Gambang Semarang, motif Warak Ngendog, motif Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Kong), motif Ngarak Warak, motif Wewe Gombel, motif Daun Asem dan Arang (Asam Arang), motif Pete dan Terong (Peterongan), serta Gereja Blenduk. “Sesuai dengan ide kreatif dan inovasi dari para pengrajin,” tambah Alumni Universitas Diponegoro ini. Selain itu, pengrajin batik Semarang juga membuat inovasi dengan membuat batik lebih fashionable dengan harga yang disesuaikan untuk semua kalangan. Baik anak-anak, remaja, maupun orangtua. Dengan desain yang kreatif, batik Semarang cocok digunakan dalam berbagai acara yang kemudian menarik minat kawula muda, sehingga mereka lebih mencintai produk buatan asli Indonesia. “Harga batik tulis berkisar antara Rp. 250ribu hingga Rp. 4juta yang disesuaikan dengan motif

yang dipesan. Untuk batik cap lebih murah, berkisar antara Rp. 85ribu hingga Rp. 300ribu,” jelas Tri. Menurutnya, proses membatik yang dilakukan masyarakat masih sangat tradisional. Sehingga pembuatan batik Semarang membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk batik tulis membutuhkan waktu dua sampai tiga minggu bahkan hingga satu bulan sesuai dengan tingkat kesulitan. “Kalau batik cap lebih mudah. Karena bisa kelar hanya dalam waktu satu sampai dua hari saja,” ujar Tri yang juga membuat terobosan baru dengan membuat canting elektrik untuk memudahkan masyarakat dalam proses pewarnaan. Perlu Dukungan dari Pemkot Dibandingkan batik Pekalongan, Yogyakarta ataupun Solo, batik Semarang seperti diakui Tri memang kurang dikenal. Kurangnya sosialisasi Pemerintah akan batik Semarang kepada masyarakat menjadi penyebab utama orang Semarang tak kenal dengan ciri khas batiknya sendiri. Hal ini diperparah dengan kurangnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan batik sebagai warisan budaya. “Batik dianggap kurang pas untuk kaum muda,” keluhnya. Masalah kemudian bertambah ketika masuk proses distribusi. Banyak masyarakat bisa membatik, namun tidak bisa memasarkan dan mendistribusikannya. Oleh karena itu, masyarakat kemudian lebih memilih bekerja sebagai karyawan atau buruh pabrik. Mereka beranggapan proses pembuatan batik yang membutuhkan waktu lama dan hasil yang tak seberapa menjadikan mereka rugi jika memasarkan produknya secara individu. “Padahal jika bisa menjual sendiri, untungnya jauh lebih besar,” ungkap Tri. Berbeda dengan Tri, Khotijah mengungkapkan, bahan baku batik sekarang ini sulit dicari. Jikapun ada harganya pasti mahal dan pemasarannya masih terbatas. Itulah mengapa orang lebih memilih menjadi karyawan karena tidak diribetkan urusan mencari bahan. “Kendala terbesar membatik ada di bahannya,” tambahnya. Tri utomo berharap, Kampung Batik bisa menjadi kampung tujuan wisata seperti di Yogyakarta, Solo dan Pekalongan. Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah sangat diperlukan. Dukungan ini bisa berupa penyelenggaraan pameran batik secara berkala, pelatihan-pelatihan membatik gratis, penyediaan bahan dalam membatik yang semakin langka, serta perbaikan akses jalan menuju Kampung Batik yang kurang representatif. “Kami berharap dukungan penuh dari pemerintah,” pungkasnya. n Nur Khanifatun Ni’mah

Tubuh kita bisu dalam gelap Tanpa bertanya: mengapa Kita dibawah bulan yang sama Langit bumi yang sama, lalu Bangun dalam bisu yang sama Oktober 2015

Jika aku pergi

Setiap kali kau rindu Bisikkan sajak ke dalam aku Ke dekat tidur yang pulas Tak satupun tahu aku terlelap sejenak Atau (mungkin) selamanya. Oktober 2015

Perihal lain dalam tidur

Pasang tubuhmu, Fiy Dekatkan kupingmu

Menceritakan perihal yang lain Dalam tidur Adalah memimpikanmu, fiy Melindap segala kenang Oktober 2015

Sisa perihal

Mati hanya lenyap, tandas Kecuali sebuah sajak Sisa-sisa perihal, fiy “adalah mencintaimu” Oktober 2015 Hasan Tarowan, lahir di sumenep 13 pebruari 1995. Aktif di komunitas kampong sastra soeket teki dan tercatat sebagai mahasiswa jurusan hukum pidana dan politik islam. Penulis sekarang menyelesaikan proyek antologi puisi pertamanya.

AMANAT Edisi 125

April 2016

21


PROFIL

Baik dalam Pelayanan

H

Nama : Ttl : Alamat : No Hp : Pendidikan : Jabatan

22

M. Munif Blora, 30 April 1969 Jalan Kaptu Suyono rt 01 rw 05 Wonosari Ngalian 08170586230 SDN Balungrejo Blora (1982), MTS Ma’arif Blora (1985), MAN Blora (1988), S1 Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat Walisongo Semarang (1994) Staf Personalia IAIN Walisongo Semarang (1996-1997) : Staf Perencanaan IAIN Walisong (1997-1999) Staf Aakademik Fakultas Ushuluddin (1999-2004) Kasubag Umum Fakultas Ushuluddin (2004-2009) Kasubag Keuangan Tarbiyah (2009-2012) Kasubag Kemahasiswaan Tarbiyah (2012-2013) Kasubag Umum Fakultas Syariah (2013-2014 Kasubag Umum dan Rumah Tangga UIN Walisongo (20014-Sekarang

April 2016

AMANAT Edisi 125

idup itu tak lain untuk melayani dan mengabdi kepada sesama.” Seperti itulah hidup yang diyakini Muhammmad Munif. Pria asal Kabupaten Blora ini memang mempunyai sifat kepedulian antar sesama sejak kecil. Baginya, pekerjaan itu sebuah kebutuhan hidup. Pekerjaan apapun jika dilakukan dengan sabar, ulet, dan bertanggung jawab, pasti ada manfaat di kemudian hari. Sehari-hari, Kepala sub Bagian Rumah Tangga UIN Walisongo Semarang ini selalu sabar dan lemah lembut dalam melayani keperluan mahasiswa atau dosen. Munif menegaskan, pekerjaan tak bisa dilakukan hanya dengan tenaga saja. Ada hal menarik lainnya yang tak kalah penting untuk dimiliki, yaitu cinta. Kalau bisa mencintai pekerjaan yang sudah diamanatkan, pasti akan menyenangkan. “Jika kita bisa menikmati pekerjaan, tak ada rasa bosan, apalagi mengeluh tentang kesulitan dalam pekerjaan,” ucapnya. Hal inilah yang membuat Munif kadang meyakini bahwa orang yang merasa terbebani, akan menjadi berat dalam bertugas. Maka, cintailah pekerjaan yang telah diamanatkan. Dia mengakui, berlatih mencintai tugas yang telah diberikan itu tidak mudah. Butuh waktu lama dan kesabaran untuk bisa mencapai titik tersebut. Pernah suatu ketika saking asiknya bertugas, dia lupa jam pulang kerja. Padahal waktu jam kerja sudah selesai. Begitulah yang dirasakan Munif saat asyik dengan tugasnya, seakan tak pernah stres kalau pekerjaannya sudah menjadi hal yang menyenangkan. Pelayanan Terbaik Pria yang mengawali karir di Fakultas Syariah ini memang sudah lihai dalam urusan pelayanan bagi mahasiswa atau dosen dari tingkat fakultas hingga universitas. Dia menegaskan, menangani pekerjaan ini harus bisa menjaga komunikasi yang sehat dan memberikan pelayanan sebagus mungkin, tentunya sesuai prosedur yang ada.

Munif hanya memikirkan bagaimana menjalankan tugasnya dengan baik. Karena dia merasakan kepuasan jika pelayanan yang diberikan dianggap baik oleh mahasiswa maupun dosen. Oleh sebab itu, ketika mahasiswa senang dan mau mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, tentu pihaknya juga ikut senang. Untuk kedepannya agar bisa saling bekerja sama dalam hal rumah tangga kampus, dia pun siap membantu sepenuh hati kalau memang keperluan itu demi kemajuan kampus. Tetapi, meskipun sudah berusaha memberi pelayanan yang baik, Munif juga sering mendapati pelanggaranpelanggaran dari mahasiswa yang kurang berkomitmen. Biasanya ia menegur dengan halus dan memberi wawasan tentang peraturan yang ada. Intinya, Munif selalu memilih memberikan solusi yang terbaik agar hubungan yang dibangun tetap terjaga dengan baik. Peminjaman Auditorium misalnya, banyak dari mahasiwa yang sudah diberi izin memesan auditorium malah membatalkan ketika sudah mendekati harinya. Kalau sudah seperti itu, pihak Kabag Umum biasanya hanya bisa menerima pembatalan tersebut. Ia selalu berprinsip, bahwasannya UIN ini bukan Madrasah Ibtidaiyah. Pastinya, dalam pelayanannya juga harus dengan standar UIN. Ada ketepatan waktu, kecepatan dan tepat sasaran. “Jadi sudah tidak boleh menunda-nunda lagi dalam bertugas,” imbuhnya. Munif selalu berusaha memberikan pelayanan prima bagi mahasiswa, dosen maupun pegawai yang membutuhkan. “Bagi mahasiswa yang belum tahu tentang prosedur yang telah ditetapkan, silahkan tanya, saya akan menjelaskan,” tutupnya.n M. Ulul Albab


ARTIKEL

Quo Vadis Gerakan Intelektual Oleh: Amin Fauzi

”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (Al-Hadits)

S

ejarah Indonesia adalah sejarah intelektual. Sejak zaman kolonial hingga perebutan kemerdekaan, intelektual selalu berada pada posisi penting sesuai dengan semangat zamannya masing-masing. Pada era kolonial, peran intelektual sangat jelas, semangatnya adalah melawan kekuatan represif kolonial Belanda dengan segenap daya dan tenaga intelekual mereka. Pada tahun 1908 misalnya, terbentuklah organisasi Boedi Oetama. Sebuah organisasi kepemudaan dari kumpulan para kaum terpelajar saat itu yang punya kesempatan meraih pendidikan tinggi. Pada organisasi ini, manifestasi gerakan intelektual mereka tersemburat dalam bentuk politik menentang kekuasaan kolonial. Komitmen mereka adalah menjungkirbalikkan kekuasaan asing dan membentuk kekuasan baru yang bebas penjajahan. Sebagaimana dicontohkan oleh Mohamad Hatta, tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soerjaningrat adalah sejumlah tokoh yang kekuatan intelektual mereka terlibat dalam proses pembentukan negara kebangsaan (nation state), yang kelak di sebut Indonesia. Tidak terpaut jauh dari massa-massa tokoh itu, muncul bapak-bapak bangsa seperti Soekarno, M. Natsir, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka adalah intelektual waktu itu yang dengan giggih memperjuangkan, mengkonsep, hingga membentuk bangsa di kepulauan nusantara ini. Mereka adalah momentum sekaligus teks suatu zaman, dimana kaum intelektual atau terdidik, menyalurkan tanggung jawab intelektualnya dengan membentuk sebuah negara bagi masyarakat mereka. Di tengah kebobrokan kekuasaan Orde Baru, pada tahun 1998 para intelektual melalui pergerakkan mahasiswa juga mampu menumbangkan rezim Soeharto. Ya, intelektual dengan segudang ilmu yang dimiliki, tidak hanya berdiri tenang di atas menara gading dengan sebongkaah kelilmuannya, tapi mampu terjun ke lapangan menyuarakan ketidakbena-

n KOLOM

‘’Nyuwun sewu, Mas. Bade nderek sadean caket njenengan. Panci panggenane nggeh namung niki.’’ Salah satu warga meminta izin pada pedagang Warung Lamongan di Desa Panjang, Kecamatan Bae, Kudus, belum lama ini. ‘’Mboten napa-napa, Bu. Mangke malah tambah rame,’’ jawab pedagang Warung Lamongan. ‘’Nyumanggaake. Menawi saget paringi ayam-ayam punapa lele. Kersane wonten pilihan,’’ lanjutnya. ‘’Kula mangke sadeane sing mboten same kalih njenengan. Kersane mboten ganggu,’’ warga itu menimpali. ‘’Sami mboten napa-napa, Bu. Mboten usah kuatir. Wong rizki niku Gusti Allah sing ngatur. Yen jatahe mesti mboten kleru,’’ kata pedagang Warung Lamongan. Narasi kecil dari cerita pedagang Warung Lamongan di atas, sungguh menarik karena bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja, agar meyakini bahwa rizki sudah ada yang mengatur. Manusia hanya tinggal

ran. Bahkan, Menurut Mohammad Hatta, ketika berpidato di kampus Universitas Indonesia tahun 1957 lalu, menyatakan bahwa, kaum intelegensia (intelektual) tidak bisa bersikap pasif, menyerahkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin dalam negera dan masyarakat. Kaum inteligensia adalah bagian dari rakyat, warga negara yang samasama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang berdemokrasi, ia ikut serta bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warganegara yang terpelajar, yang tahu menimbang buruk dan baik, yang tahu menguji benar dan salah dengan pendapat yang beralasan, tanggung jawabnya adalah intelektuil dan moril. (Cendikiawan dan Politik: 1984) Lebih jelas, Ali Syariati, tokoh sosiolog dan salah satu tokoh penting dalam Revolusi Islam Iran menyebutkan bahwa intelektual (cendikiawan) adalah orang orang yang tercerahkan (Raushan Fikrie), mereka bertanggung jawab secara sosial dan moral dalam membangun perubahan di negara dan bangsanya. Sebuah Ironi Akan tetapi bagaimana kiprah intelektual massa kini setelah Indonesia merdeka selama 70 tahun. Ribuan sarjana tercetak setiap tahunnya, tapi apakah ribuan sarjana itu mampu memberi keseimbangan untuk menjadikan Indonesia ini lebih baik dan bermartabat, atau jangan-jangan hanya justru menjadi beban bangsa. Memang banyak intelektual yang sudah memberikan kontribusi kepada negeri melalui pergerakan pribadi maupun kolektif, baik pemberdayaan maupun kritisisme, namun masih tetap saja ada sejumlah perilaku pasif bahkan negatif yang masih dilakukan “intelektual” kita. Faktanya, tidak hanya pasif melihat ketidakadilan di lingkungan sekitarnya, bahkan melakukan perbuatan yang negatif, mulai kasus plagiarisme karya ilmiah, sogok menyogok masuk perguruan

tinggi, dan lainnya. Bahkan, banyak pula aktivis yang ketika menjadi mahasiswa begitu kritis terhadap kebijakan-kebijakan politik praktis yang tidak memihak kepentingan rakyat, tapi ketika sudah lulus justru hanyut dalam pusaran politik praktis yang lebih mengedepankan ego kepentingannya tersebut. Untuk kategori orang seperti ini, Julian Benda (1867-1956) seorang filosof Perancis menyebutnya sebagai “Penghianatan kaum intelektual”. Belum lagi, sikap acuh tak acuh yang mulai menyerang anak muda kini, terbentangnya arus globalisasi, justru menjadikan kaum terpelajar menjadi semakin teralienasi dengan masyarakatnya, sikap individualisme terlihat lebih menonjol dibandingkan sebuah kolektifitas. Budaya diskusi sebagai sarana mengasah krtisisme dan keilmuan mereka kian luntur, kaum terelajar disibukkan dengan kepentingan tugas kuliah dan peralatanperalatan komunikasi canggih mereka. Tak pelak, ketika sudah menjadi sarjana, seakan tugas untuk selalu mengembangkan keilmuannya sudah selesai, kesadaran untuk mengimplementasikan tanggung jawab intelektual mereka kian luntur. Mereka disibukkan dengan kepentingan kerja industrial, kalau yang kebetulan masuk di birokrasi disibukkan dengan urusan-urusan praktis nan pragmatis. Bahkan, tidak sedikit yang masih kesana-kemari membanjiri bursa-bursa kerja, tanpa mampu menciptkannya sendiri. Sementara, di luar sana hantu-hantu konsumtivisime dan materialisme kian tumbuh subur. Akibatnya, pragmatisme menjadi sesuatu yang tak terelakkan, dan akhirnya idealisme menjadi barang yang mahal. Tantangan Intelaktual Kini Sudah saatnya kaum intelektual merevitalisasi diri, ketika negara ini didera badai krisis nilai, maka kaum intelektual yang menjadi benteng harapan terhadap penegekan nilai-nilai moralitas, bukan justru terhanyut dalam krisis nilai itu. Memang, ditengah kecamuk meteria-

lisme dan radikalisme, idealisme menjadi barang yang mahal. Meskipun demikian, panji-panji idealisme harus tetap ditiupkan. Intelektual harus selelu mengambil di posisi manapun untuk menentang ketidakbenaran dengan pertimbangan ilmu yang diemban selama ini. Tantangan intelektual kini bukan lagi represi kolonial atau dominasinya pemerintahan orde baru. Tetapi, tantangan utama intelektual bebas kini adalah ketidakadilan di segala lini, baik itu secara politis, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun budaya. Tantangannya adalah bagaimana para intelektual itu mengenali masalah di lingkungannya masing-masing dan berusaha memecahkannya. Bukankah dalam hadits sudah disebutkan, sebaik baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain!. Tugas Intelektual Muslim Peran seorang intelektual muslim, terlebih bagi mahasiswa yang saat ini mengemban kuliah di perguruan tinggi agama Islam, punya tugas lebih berat lagi untuk panggilan intelektualnya. Dengan segenap pemahaman keagamaan yang dimiliki, mereka dituntut untuk selalu menyemai nilai pluralisme dan pemahaman Islam yang modertat di tengah masyarakat. Sebab, diakui atau tidak, paham-paham fundamentalisme keagamaan telah tumbuh subur di negeri ini. Penyemaian paham mereka dilakukan dengan berbagai modus. Diakhawatirkan, gerakan itu mengarah pada aksi radikal dan mendorong timbulnya aksi-aksi kekerasan horisontal, sehingga merongrong kedamaian negara kesatuan republik Indonesia ini (NKRI). Tantangan lainnya, gaya hidup konsumtif dan hedonis sebagai anak kandung kapitalisme juga perlu dicegah, di tengah kemiskinan yang terjadi dimana-mana. Para intelektual muslim juga punya tugas untuk terus menyemaikan Nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin¸ dan menujukkan keberpihakan terhadap kaum tertindas (mustadhafin). n Amin Fauzi, Wartawan Koran Seputar Indonesia

Gusti Sing Ngatur Rizki ikhtiar, tinggal berusaha. Pembelajaran mengenai itu menemui momentumnya, karena lima hari setelah perbincangan dengan pedagang Warung Lamongan itu, berita besarbesaran mengenai tragedi bentrok antara driver Go-Jek dengan supir taksi di Ibukota Jakarta, menghiasi semua media massa di negeri ini. Sebuah tragedi yang mestinya tidak perlu terjadi, kiranya. Karena baik driver Go-Jek –penyedia jasa transportasi online lainnya- maupun supir taksi tersebut, posisinya adalah sama: ikhtiar mencari rizki untuk menghidupi anak-istri atau keluarganya. Lepas dari berbagai isu yang berkembang dan melatari mengapa sampai bisa terjadi bentrok, sisi manusiawi kita pasti akan merasa terusik manakala ada sauda-

ra-saudara kita yang tidak memiliki pekerjaan, sementara di rumah anak dan istrinya senantiasa menunggu rizki untuk melanjutkan hidup dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jangan sekadar melihat layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek dan semacamnya, sebagai pesaing yang hanya akan mengakibatkan pendapatan supir taksi menurun pendapatannya. Tetapi lihatlah, bahwa dari ‘’kelahiran’’ Go-Jek itu, ada kreativitas anak negeri yang berhasil menciptakan peluang kerja bagi banyak orang, sehingga memunculkan harapan baru bagi orang-orang yang kemudian bisa mendapatkan rizki dengan ikut berkiprah di sana. Rizki. Ya, ini kiranya kata kunci yang perlu mendapatkan perhatian semua.

Berikhtiar. Itulah kewajiban kita sebagai manusia untuk mendapatkannya. Selebihnya, Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa yang mengaturnya. Jika hanya berusaha (ikhtiar) yang menjadi kewajiban manusia untuk mendapatkan rizki, maka kiranya tidak ada yang perlu dirisaukan. Jangan takut dengan persaingan, karena banyak jalan untuk mendapatkan rizki. Meminjam istilah pedangdut Rhoma Irama, ada 1001 macam cara orang cari makan. Sedang berkaca pada pedagang Warung Lamongan yang saya singgung di atas, Gusti (Allah) Sing Ngatur Rizki. Nah, lho. Rosidi, Belajar menulis di SKM AMANAT UIN Walisongo Semarang, kini mengabdi di Universitas Muria Kudus (UMK)

AMANAT Edisi 125

April 2016

23


SOSOK

Tiada Hasil Tanpa Usaha A Oleh : M. Syafiun Najib

da satu pencapaian yang ingin dicapai Nur Askhonah ketika memutuskan menjadi seorang Da’iah, yaitu ingn menjadi figur yang bermanfaat bagi umat. Baginya, berdakwah bukan hanya soal menyampaikan materi kepada jamaah. Akan tetapi, juga berusaha untuk mengimplementasi setiap materi itu dalam diri seorang Da’iah. “Itu tantangan yang berat bagi saya. Mengaktualisasikannya terhadap diri sendiri,” ujarnya. Asna –panggilan akrabnya- memang tidak asing dengan dunia dakwah. Terhitung mulai dari Madrasah Ibtidaiyah, hingga sekarang ini, panggung dakwah seperti sudah menjadi jalan hidupnya. Beragam lomba pernah ia ikuti. Mulai dari lomba tartil qur’an, debat bahasa arab, kasidah, hingga yang paling membanggakan berhasil menembus 7 besar ajang pencarian bakat Da’iah di sebuah stasuin televisi nasional di Jakarta. Terlahir dari keluarga sederhana tak membuat Asna patah arang untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang Da’iah. Justru karena keterbatasan itulah yang membuat mahasiswa semester enam Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) itu yakin

bahwa apapun yang dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti akan ada hasilnya. “Setiap usaha pasti akan ada hasilnya,” tuturnya. Kemampuan dakwah anak kedua dari dua bersaudara itu semakin terasah ketika mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jam’iyah Hamalah Qur’an (JHQ). Di JHQ, Asna mengaku banyak mendapat pelajaran. Karena di sana masing-masing anggota diberi wadah sesuai bidang keahliannya. seperti batsul kutub, rebana, Kaligrafi, tilawah dan khitobah. Asna patut bangga, cita-citanya menjadi Da’iah lambat laun mulai tercapai. Buktinya, ia kini punya kesibukan berdakwah di sela-sela waktu kuliah. Tidak hanya di Pulau Jawa saja, Asna juga sering memberi tausiyah di Pulau Bali, Sumatra, hingga Kalimantan. Walaupun sibuk berdakwah, Mahasiswa yang mengambil jurusan Tafsir Hadist ini tak pernah melupakan kuliahnya. Karena menurutnya, menuntut ilmu itu tetap lebih penting. Makanya, ia harus pintar-pintar membagi waktu, agar kesibukannya tidak mengganggu jadwal kuliah. “Selesai mengisi acara, saya biasanya langsung pulang ke

Nama : Nur Askhonah Organisasi : JHQ (Jam’iyah Hamalah Qur’an) Prestasi : Juara 1 Lomba kasidah se-Kabupaten Pati 2010 Juara 2 Debat Bahasa Arab se-Kabupaten Pati 2011 Juara 1 Tartil Qur’an se-Kabupaten Pati 2012 Finalis 7 Besar Akademi Sahur Indosiar (AKSI) 2015

Semarang” Imbuh Asna. Lain dari itu, anak pasangan Djakiman (alm) dan Tumirah ini cukup prihatin dengan pola pikir mahasiswa sekarang yang semakin praktis sekaligus abai pada proses. Menurutnya, Kerangka berpikir mahasiswa yang mengagunggkan hasil namun menihilkan proses, akan menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri. “Ini akan membuat mahasiswa menjadi lemah dalam menghadapi tantangan perkembangan jaman,” keluhnya. Ia lantas mengajak generasi muda untuk berkarya dan mengeksplorasi potensi yang dimiliki. Dengan

menggali potensi, serta mengembangkan skill yang dimiliki, para mahasiswa itu punya pegangan hidup yang bisa saja berguna untuk masa depannya. “Usia muda merupakan saat yang tepat untuk mengembangkan diri. Sehingga ketika sudah tua nanti bisa hidup dengan tenang,” tutupnya. n

Temukakan kami juga di

24

April 2016

AMANAT Edisi 125


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.