7 8
R-Team Section
89
R-Quiz
92
R-Team Say Hi!
94
Feedback Form
96
Previous R-Ticles
97
4
6
7
Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) didirikan pada 5 Juli 1954. POGI adalah satu-satunya organisasi profesi yang menghimpun para Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Indonesia. Visi POGI adalah menjadi organisasi pelopor dalam memperjuangkan hak-hak kesehatan reproduksi untuk mencapai taraf kesehatan yang optimal di Indonesia. Sedangkan misi POGI adalah sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan mekanisme organisasi yang tertata baik. 2. Aktif mengembangkan pendidikan dan penelitian di bidang obstetri ginekologi. 3. Menyelenggarakan pelayanan yang bermutu berdasarkan standar dan etika profesi. 4. Sebagai pelopor dalam menggerakan upaya perbaikan pelayanan kesehatan reproduksi. 5. Membina kemitraan dengan pemerintah, organisasi nasional, international, lembaga pendidikan serta LSM guna meningkatkan taraf kesehatan reproduksi di Indonesia. 6. Menghasilkan SDM berkualitas melalui pendidikan setara standar internasional berlandaskan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. POGI didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia melalui kemitraan dengan Pemerintah. POGI juga bertujuan untuk meningkatkan dan mengamalkan ilmu dan teknologi Obstetri dan Ginekologi di Indonesia, meningkatkan mutu pelayanan Obstetri dan Ginekologi melalui pembinaan dan penghargaan kepada para anggotanya, dan menjadikan POGI organisasi yang mempunyai otoritas dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Hingga saat ini, POGI terus mengadakan program-program yang mendukung visi, misi, dan tujuan tersebut. Kontak : Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Website: https://pogi.or.id/publish/ Instagram: @pogi_id
8
Research Team AMSA-Indonesia 2020/2021
Aisyah Mardiyyah
R.A. Salsabila Rifdah
Aileen Alessandra S.
Raissa Intani A.
Research Team District 1
Research Team District 2
Research Team District 2
Research Team District 3
Prudence Lucianus
Gabriel Julio C. I. D. Vinson Evan Thenardy Mellybeth Indriani Louis
Research Team District 4
Research Team District 5
Research Team District 6
Research Team District 6
R-Ticles 6th Edition Volume 2 | June 2021 “Congenital Disorders: Born to be Unique” Editor : Febby Gunawan Siswanto Secretary of Research AMSA-Indonesia 2020/2021 Layout Designer : Raissa Intani Azzahra Research Team District 3 AMSA-Indonesia 2020/2021 Cover Designer : Joyna Getruida Sopaheluwakan Secretary of Publication and Promotion AMSA-Indonesia 2020/2021
10
11
Alfira Mayangsari AMSA-Universitas Hang Tuah
Vivi Febriana Wulandari AMSA-Universitas Hang Tuah
Anindya Khaerunnisa T. AMSA-Universitas Bosowa
Hasmawati HS AMSA-Universitas Bosowa
Syafira Syifa Dilara Abdul AMSA-Universitas Bosowa
12
13
m a s y s la
Farah Salsabilla Permana (AMSA-Universitas Diponegoro)
Aqwina Anggie Hermawan (AMSA-Universitas Diponegoro)
Mutiara Devia (AMSA-Universitas Diponegoro)
“Club
foot atau Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) merupakan kelainan pergelangan kaki yang menyebabkan abnormalitas bentuk kaki pada bayi. Insidensinya di Indonesia masih sedikit sehingga pengetahuan masyarakat atas penyakit ini juga kurang. Maka dari itu, diperlukan pemeriksaan sedini mungkin untuk mendeteksi penyakit ini sebelum terambat. Mari tingkatkan kesadaran CTEV dengan POPOK!”
15
“Peran Calon Ayah tidak Kalah Penting”: Kolaborasi dan Intensifikasi Peran Maternal-Paternal sejak Masa Pra-Kon sepsi untuk Optimalisasi Program Antenatal Care (ANC) di Indonesia sebagai Upaya Preventif Annisa Dewi Nugrahani (AMSA-Universitas Padjadjaran) Kelainan
kongenital
masih
menjadi
panjang yang signifikan baik untuk individu,
salah satu permasalahan utama kesehatan di
keluarga yang terdampak, sistem kesehatan,
dunia. Contoh bentuk kelainan kongenital yang
dan juga masyarakat (1,3,4).
paling umum dijumpai sekaligus tergolong parah dampaknya adalah defek jantung, spina bifida, dan sindroma Down (1). Menurut WHO, setidaknya ada delapan juta bayi di seluruh dunia mengalami kelainan kongenital setiap tahunnya dan sebanyak lebih dari 295.000 bayi meninggal dalam 28 hari pertama setelah kelahiran karena kondisi tersebut. Saat ini, kelainan kongenital juga menjadi kontributor penting pada angka mortalitas dan morbiditas neonatus dan anak di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menyatakan bahwa pada bayi usia 0-6 hari, persentase kematian bayi akibat kelainan kongenital adalah sebesar 1,4%, sedangkan pada usia 7-28 hari, terdapat peningkatan menjadi sebesar 18,1% (2). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia
Kendati demikian, etiologi dari 40-60% kasus kelainan kongenital memang belum diketahui secara pasti, namun, diperkirakan mutasi gen baik itu gen tunggal (25%) ataupun multifaktorial
(20-30%)
merupakan
faktor
yang paling berpengaruh terhadap timbulnya kelainan kongenital (5). Di sisi lainnya, terdapat beberapa faktor presipitasi yang mendukung terjadinya kelainan kongenital seperti faktor lingkungan, infeksi, status gizi, sosial ekonomi, dan demografi. Sejumlah studi menyatakan bahwa faktor maternal seperti usia ibu, riwayat abortus, multiparitas, kelainan kongenital pada kehamilan sebelumnya, diabetes gestasional serta paparan asap rokok, konsumsi alkohol, konsumsi obat-obatan, dan paparan zat kimia berbahaya baik sebelum dan saat kehamilan
masih menjadi negara dengan jumlah bayi
serta
yang terlahir dengan kelainan kongenital yang
folat, riwayat keluarga mengalami kelainan
lebih tinggi dibandingkan dengan negara
kongenital, hubungan darah ayah dan ibu,
lainnya di Asia Tenggara. Selain itu, tidak hanya
dan status sosioekonomi berpengaruh dengan
menyebabkan kematian neonatal, kelainan
insidensi kelainan kongenital (1,6,7). Selain
kongenital juga merupakan penyebab bayi lahir
itu, faktor paternal juga berpengaruh dalam
mati (stillbirth) dan abortus spontan. Bila pun
timbulnya kelainan kongenital pada janin
bayi bertahan hidup, banyak di antaranya yang
seperti faktor genetik, pola makan dan nutrisi,
menjadi penyandang disabilitas dan mengidap
mental, dan imunitas (8,9). Beranjak dari
penyakit
beban
permasalahan ini, dibutuhkan upaya preventif
kesehatan bagi negara dengan pendapatan
untuk menurunkan frekuensi kejadian kelainan
per kapita yang
rendah hingga menengah
kongenital melalui minimalisasi faktor risiko
karena pada umumnya negara-negara ini
dan afirmasi faktor protektif. Upaya pencegahan
hanya memiliki fasilitas yang terbatas untuk
ini dapat dimulai dengan memastikan remaja
menangani
kongenital
perempuan dan calon ibu mengonsumsi
sehingga dapat menimbulkan efek jangka
makanan sehat dan kaya nutrisi untuk menjaga
kronis.
Hal
kejadian
ini
menjadi
kelainan
16
riwayat
tidak
mengonsumsi
asam
berat badan yang sehat serta pemberian
diketahui secara pasti, namun, diperkirakan
suplementasi (contoh: asam folat), menghindari
mutasi gen baik itu gen tunggal (25%) ataupun
paparan zat Kelainan kongenital masih menjadi
multifaktorial
salah satu permasalahan utama kesehatan di
yang paling berpengaruh terhadap timbulnya
dunia. Contoh bentuk kelainan kongenital yang
kelainan kongenital (5). Di sisi lainnya, terdapat
paling umum dijumpai sekaligus tergolong
beberapa faktor presipitasi yang mendukung
parah dampaknya adalah defek jantung, spina
terjadinya kelainan kongenital seperti faktor
bifida, dan sindroma Down (1). Menurut WHO,
lingkungan, infeksi, status gizi, sosial ekonomi,
setidaknya ada delapan juta bayi di seluruh dunia
dan demografi. Sejumlah studi menyatakan
mengalami kelainan kongenital setiap tahunnya
bahwa faktor maternal seperti usia ibu, riwayat
dan sebanyak lebih dari 295.000 bayi meninggal
abortus, multiparitas, kelainan kongenital pada
dalam 28 hari pertama setelah kelahiran karena
kehamilan sebelumnya, diabetes gestasional
kondisi tersebut. Saat ini, kelainan kongenital
serta paparan asap rokok, konsumsi alkohol,
juga menjadi kontributor penting pada angka
konsumsi obat-obatan, dan paparan zat kimia serta
di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Riset
timbulnya kelainan kongenital pada janin
(2). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia
seperti faktor genetik, pola makan dan nutrisi,
masih menjadi negara dengan jumlah bayi
mental, dan imunitas (8,9). Beranjak dari
yang terlahir dengan kelainan kongenital yang
permasalahan ini, dibutuhkan upaya preventif
lebih tinggi dibandingkan dengan negara
untuk menurunkan frekuensi kejadian kelainan
lainnya di Asia Tenggara. Selain itu, tidak hanya
minimalisasi faktor risiko dan afirmasi faktor
menyebabkan kematian neonatal, kelainan
protektif. Upaya pencegahan ini dapat dimulai
kongenital juga merupakan penyebab bayi lahir
dengan memastikan remaja perempuan dan
mati (stillbirth) dan abortus spontan. Bila pun
calon ibu
bayi bertahan hidup, banyak di antaranya yang menjadi penyandang disabilitas dan mengidap beban
kesehatan bagi negara dengan pendapatan rendah hingga menengah
karena pada umumnya negara-negara ini hanya memiliki fasilitas yang terbatas untuk menangani
kejadian
kelainan
asam
itu, faktor paternal juga berpengaruh dalam
terdapat peningkatan menjadi sebesar 18,1%
per kapita yang
mengonsumsi
insidensi kelainan kongenital (1,6,7). Selain
sebesar 1,4%, sedangkan pada usia 7-28 hari,
menjadi
tidak
dan status sosioekonomi berpengaruh dengan
kematian bayi akibat kelainan kongenital adalah
ini
riwayat
kongenital, hubungan darah ayah dan ibu,
bahwa pada bayi usia 0-6 hari, persentase
Hal
faktor
folat, riwayat keluarga mengalami kelainan
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menyatakan
kronis.
merupakan
berbahaya baik sebelum dan saat kehamilan
mortalitas dan morbiditas neonatus dan anak
penyakit
(20-30%)
kongenital
sehingga dapat menimbulkan efek jangka panjang yang signifikan baik untuk individu, keluarga yang terdampak, sistem kesehatan, dan juga masyarakat (1,3,4). Kendati demikian, etiologi dari 40-60% kasus kelainan kongenital memang belum
17
mengonsumsi
makanan
sehat
dan
kaya
nutrisi untuk menjaga berat badan yang sehat serta pemberian suplementasi (contoh: asam folat), menghindari paparan zat berbahaya, menghindari bepergian ke daerah yang memiliki riwayat wabah penyakit yang berhubungan dengan kelainan kongenital, kontrol komorbid maternal, vaksinasi (seperti vaksin rubella), dan deteksi infeksi (seperti rubella dan sifilis) agar dapat segera ditangani (1). Selain itu, upaya pencegahan lainnya yang dapat dilakukan
Gambar 1 dan 2. Buku Kesehatan Ibu dan Anak
adalah skrining pra-konsepsi dan peri-konsepsi
(Gambar 1, kiri) (10) dan Skema 14 T sebagai Program dalam
untuk mengidentifikasi faktor risiko serta
ANC (Gambar 2, kanan) (11).
memberikan intervensi sedini mungkin untuk mencegah
kejadian
kelainan
kongenital.
Semua upaya holistik ini sudah menjadi bagian dalam program Pelayanan kesehatan ibu hamil atau Antenatal Care (ANC) terpadu di Indonesia (10).
Walaupun sudah tersedia pelayanan ANC terpadu yang merupakan upaya preventif untuk mencegah terjadinya kejadian kelainan kongenital,
situasi
terkini
di
Indonesia
menujukkan bahwa kualitas pelayanan dan kesadaran ibu hamil untuk melakukan ANC masih
ANC terpadu merupakan pelayanan
rendah dilihat dari data cakupan kunjungan
antenatal komprehensif dan berkualitas yang
ibu hamil (K4) nasional pada tahun 2015 yang
diberikan kepada semua ibu hamil mengingat
hanya sebesar 87,48%. Hal ini menunjukkan
setiap kehamilan mempunyai risiko dalam
bahwa kunjungan ANC belum mencapai target
perkembangannya,
Rencana Strategis (Renstra)
termasuk
di
antaranya
Kementerian
kelainan kongenital yang muncul pada janin.
Kesehatan pada tahun 2015 yaitu sebesar 95%.
Dalam setiap pemeriksaan ANC, pemerintah
Hanya 3 dari 34 provinsi di Indonesia yang
menetapkan bahwa pelayanan kesehatan yang
telah mencapai target tersebut yaitu Kepulauan
diberikan harus memenuhi standar 14 T yaitu
Riau, DKI Jakarta dan Jawa Barat (12). Kondisi
pengukuran berat badan, tekanan darah, tinggi
ini menunjukkan akses pelayanan kesehatan
fundus uteri, pemberian imunisasi, pemberian
terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu
tablet Fe, tes terhadap penyakit menular dan
hamil dalam memeriksakan kehamilannya ke
temu wicara (konseling), pemeriksaan status
tenaga kesehatan belum juga optimal. Hal ini
gizi, pemeriksaan Hb, pemeriksaan VDRL,
juga sejalan dengan masih cukup tingginya
pemeriksaan
indikasi),
angka kematian neonatus yang salah satunya
daerah
disebabkan oleh kelainan kongenital. Oleh
endemis gondok, dan pemberian anti-malaria
karena itu, dibutuhkan upaya optimalisasi
untuk ibu hamil di daerah endemis malaria (11)
ANC terpadu dalam mencegah terjadinya
yang tercatat perkembangannya dalam buku
kelainan kongenital secara lebih lanjut dengan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) (Gambar 1 dan
edukasi dan konseling pentingnya pemeriksaan
2) (10,11).
kehamilan yang sebaiknya dimulai sejak masa
pemberian
protein terapi
urin
yodium
(atas untuk
pra-konsepsi pada remaja perempuan dan calon ibu, perbaikan akses menuju fasilitas kesehatan, dan kerjasama pemerintah dengan
18
berbagai
bidang
dan
para
pemangku
mengeksplorasi
dari
itu,
ANC
perlu
pelaksanaan
evaluasi
untuk meningkatkan kesadaran akan peran
lebih
calon ayah dalam reproduksi melalui bukti-
holistik terutama mengenai upaya preventif
bukti yang tersedia saat ini. Berdasarkan hal
yang sebenarnya dapat dilakukan sejak masa
ini, optimalisasi ANC terpadu dapat dilakukan
pra-konsepsi. Upaya ANC saat ini masih
dengan kolaborasi dan intensifikasi keterlibatan
menitikberatkan pada peran wanita sebagai
peran paternal sejak masa pra-konsepsi melalui
calon ibu. Apabila berbicara mengenai faktor
edukasi, konseling, dan intervensi.
risiko kejadian kelainan kongenital, maka
Dalam
sangat perlu diperhatikan terkait faktor risiko
ini
dapat
sejak perencanaan kehamilan diikuti dengan
Tidak hanya calon ibu saja yang harus menjaga
modifikasi gaya hidup. Baik calon ayah ataupun
kesehatannya demi masa depan janin yang
ibu sama-sama diarahkan dan dipantau untuk
baik, calon ayah juga memegang peran penting
menjaga asupan makanan sehat dan kaya
akan hal ini. Baik paternal maupun maternal 50%
upaya
calon ayah bersamaan dengan calon ibu
faktor maternal tetapi juga faktor paternal (13).
menyumbang
praktiknya,
diwujudkan dengan edukasi dan konseling
kedua belah pihak orang tua, tidak hanya
masing-masing
ayah
terbatas, namun hal ini bukan menjadi halangan
terhadap
dilakukan
kesehatan
terhadap anak sejak dalam kandungan masih
kepentingan dalam menyukseskan program ini. Lebih
dampak
nutrisi disertai pemberian suplementasi seperti
materi
suplementasi asam folat mengingat bahwa laki-
genetik secara seimbang pada calon janin.
laki dengan tingkat asupan asam folat rendah
Sejumlah studi baru membuktikan bahwa
memiliki tingkat kelainan kromosom sperma yang lebih tinggi yang dapat menyebabkan kecacatan janin dan keguguran (15). Selain itu, baik calon ayah maupun ibu juga diarahkan untuk menghindari paparan zat berbahaya, menghindari bepergian ke daerah yang memiliki riwayat wabah penyakit yang berhubungan dengan kelainan kongenital, kontrol komorbid maternal dan paternal, vaksinasi, dan deteksi serta tangani penyakit infeksi secara lebih dini. Kondisi kesehatan baik calon ayah dan ibu sejak masa pra-konsepsi harus dinilai secara berkala, ditunjang dengan saling mendukung antara calon ayah dan ibu selama prosesnya demi menghasilkan calon anak yang sehat. Dengan demikian, kelainan kongenital
materi genetik ayah terbukti sangat penting
sebagai salah satu masalah kesehatan sudah
dalam perkembangan plasenta (14). Pola
selayaknya
makan dan berat badan ayah juga memainkan
intervensi khusus. Saat ini, berbagai risiko yang
peran penting dalam risiko jangka panjang
dapat terjadi selama kehamilan dapat dicegah
seperti masalah kardiovaskular, metabolisme,
dengan upaya yang ada pada program ANC
berat badan, imunitas, dan neurologis pada
terpadu. Akan tetapi, program ANC terpadu
calon anaknya (8,9). Walaupun studi yang
yang tersedia saat ini perlu optimalisasi dan
19
mendapatkan
perhatian
dan
evaluasi lebih lanjut. Oleh karena itu, upaya
12. Kementerian
optimalisasi ANC terpadu dengan kolaborasi
Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019. Jakarta; 2015.
peran maternal-paternal diharapkan dapat
13.
menjadi solusi dalam upaya preventif kejadian
Ethical aspects of paternal preconception lifestyle modification.
kelainan kongenital pada janin dan anak khususnya di Indonesia.
World Health Organization. Congenital anomalies
detail/congenital-anomalies 2.
Kemenkes RI. RISET KESEHATAN DASAR. 2013;
3.
Lumsden MR, Smith DM, Wittkowski A. Coping in
Parents of Children with Congenital Heart Disease: A Systematic Review and Meta-synthesis. J Child Fam Stud [Internet]. 2019;28(7):1736–53. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/ s10826-019-01406-8 Mannan M, Afroze S, Dey SK, Moni SC, Shabuj MKH,
Jahan I, et al. Birth Defect and it’s Impact in Neonatal Health : A Review. Bangladesh J Child Heal. 2019;43(1):49–58. Risk F, Pascale S, Hamadé A. Congenital Anomalies:
Prevalence and Risk Factors. Univers J Public Heal [Internet]. 2014;2(2):58–63. Available from: http://www.hrpub.org/journals/ article_info.php?aid=1276%0Aissn: 2331-8945 Harris BS, Bishop KC, Kemeny HR, Walker JS, Rhee E,
Kuller JA. Risk factors for birth defects. Obstet Gynecol Surv. 2017;72(2):123–35. Sunitha T, Rebekah Prasoona K, Muni Kumari T,
Srinadh B, Laxmi Naga Deepika M, Aruna R, et al. Risk factors for congenital anomalies in high risk pregnant women: A large study from South India. Egypt J Med Hum Genet [Internet]. 2017;18(1):79–85. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j. ejmhg.2016.04.001 8.
University of Nottingham. “Father’s diet could affect the
long-term health of his offspring.” ScienceDaily. 2018. 9.
Watkins AJ, Dias I, Tsuro H, Allen D, Emes RD, Moreton
J, et al. Paternal diet programs offspring health through spermand seminal plasma-specific pathways in mice. Proc Natl Acad Sci U S A. 2018;115(40):10064–9. 10.
Dharmayanti I, Azhar K, Tjandrarini DH, Hidayangsih
PS. Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan Berkualitas Yang Dimanfaatkan Ibu Hamil Untuk Persiapan Persalinan Di Indonesia. J Ekol Kesehat. 2019;18(1):60–9. 11.
Wang X, Miller DC, Harman R, Antczak DF, Clark AG.
Yuan HF, Zhao K, Zang Y, Liu CY, Hu ZY, Wei JJ, et al.
Effect of folate deficiency on promoter methylation and gene
Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/
7.
Van Der Zee B, De Wert G, Steegers EA, De Beaufort ID.
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2013.01.009
15.
[Internet]. WHO International. 2020 [cited 2020 May 8].
6.
Strategis
Natl Acad Sci U S A. 2013;110(26):10705–10.
REFERENSI
5.
Rencana
Paternally expressed genes predominate in the placenta. Proc
keluarga bahagia”
4.
RI.
Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2013;209(1):11–6. Available
14.
“Calon ayah dan ibu sehat, anak sehat,
1.
Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Buku Kesehatan Ibu dan
Anak. Jakarta: Kemenkes RI; 2016.
20
expression of Esr1, Cav1, and Elavl1, and its influence on spermatogenesis. Oncotarget. 2017;8(15):24130–41.
Further Steps After Fetal Diagnosis of Thalassemia Major: Termination or Preservation?
RAISSA INTANI AZZAHRA Universitas PADJADJARAN Research Team DistriCT 3 AMSA-Indonesia 2020/2021 kelainan
kelasi besi adekuat dapat mencapai angka
genetik yang memengaruhi sintesis hemoglobin
yang sangat tinggi per tahun, biaya ini belum
(1). Penyakit ini mengganggu proses oksigenasi
termasuk biaya pemeriksaan laboratorium,
jaringan sehingga menyebabkan terjadinya
monitoring, serta tata laksana kompilasi yang
anemia hemolitik dengan bentuk sel darah
muncul (1). Prosedur transfusi darah sendiri
merah
(2).
mengandung banyak risiko seperti reaksi
Berdasarkan sintesis jenis rantai goblin yang
transfusi, peningkatan risiko penyebaran rantai
mengalami abnormalitas, thalassemia terbagi
penyakit infeksius, juga efek samping pada
menjadi dua yaitu thalassemia alfa dan beta.
transfusi kronis seperti menggigil, urtikaria,
Thalassemia alfa mayor hampir seluruhnya
bahkan syok anafilaksis (1). Pada pasien yang
letal (3). Sedangkan thalassemia beta mayor
mendapatkan transfusi darah berulang, terapi
merupakan bentuk manifestasi paling berat
kelasi besi diperlukan untuk mengeluarkan
dari penderita thalassemia pasca kelahiran
kelebihan besi yang disebabkan akibat anemia
(3).
kronis (1).
Thalassemia
mikrositik
Thalassemia
merupakan
dan
dalam
hipokromik
hampir
semua
kasus diturunkan secara genetik dari kedua
Thalassemia Nowadays
orang tuanya, dengan beberapa kasus yang
Pada kondisi kronis dengan tatalaksana
disebabkan karena adanya mutasi sporadis.
seumur hidup, bukan hanya tingkat survival pa-
Indonesia termasuk salah satu negara
sien yang menjadi kekhawatiran namun juga
dalam sabuk thalassemia dunia dengan tingkat
tingkat kualitas hidup, derajat fungsi psikologis
frekuensi gen pembawa thalassemia beta
dan sosial dari penyintas thalassemia juga ha-
berkisar antara 3,8% dari total seluruh populasi
rus menjadi perhatian (5). Thalassemia ham-
(4). Berdasarkan data dari Yayasan Thalassemia
pir memengaruhi seluruh aspek kehidupan
Indonesia, kasus thalassemia terus meningkat
penderitanya (3,5). Kualitas hidup penyintas
dari tahun 2012 hingga tahun 2018 dengan
thalassemia secara keseluruhan lebih buruk
tingkat alokasi dana pembiayaan kesehatan
daripada anak yang terlahir tanpa thalassemia
yang menempati posisi ke-5 yaitu sebesar 397
(5).
milyar per bulan September 2018 (4).
Thalassemia dapat memengaruhi ker-
Thalassemia tidak dapat disembuhkan
ja dari beberapa organ seperti jantung, limfa,
(1). Tata laksana utama thalassemia di seluruh
dan ginjal sebagai komplikasi dari kondisi ane-
dunia bersifat simptomatik berupa transfusi
mia berat. Anemia berat juga dapat menyebab-
darah seumur hidup dan terapi kelasi besi (1).
kan kadar besi berlebihan dalam tubuh yang
Pengeluaran biaya transfusi darah dan terapi
menyebabkan toksikasi besi. Namun komplika
21
si ini dapat dihindari dengan tatalaksana trans-
hun 2009 pasal 75, tindakan terminasi kehami-
fusi darah dan terapi kelasi besi.
lan secara medis dilarang dengan pengecualian
Kondisi kronis dapat menyebabkan perubahan psikologis, beban emosional, dan gangguan pada integrasi sosial (5). Tatalaksana seumur hidup sering menimbulkan rasa jenuh, bosan berobat, dengan keadaan fisik yang dirasa lebih lemah dari anak biasanya sehingga menimbulkan rasa inferior diri terhadap lingkungan sekitar (1,5). Menurut hasil penelitian, banyak dari penderita thalassemia cenderung berpikiran negatif tentang hidup, rasa keputusasaan, dan menunjukan lebih banyak gejala gangguan kecemasan dan low self-esteem (2). Kondisi talasemia juga dapat memicu perkembangan hipogonadisme yang menganggu tumbuh kembang seorang anak (4). Selain itu, banyak dari penyintas memiliki kekhawatiran karena ketakutan terhadap ketidakpastian masa depan dan adanya ekspektasi dari kematian di umur yang lebih awal karena komplikasi penyakit (5). Berdasarkan sebuah studi, satu per tiga pasien thalassemia mengungkapkan adanya beban keuangan yang terjadi karena penyakit jangka panjang dan juga munculnya beban sosial terhadap komunitas sekitar (5).
yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Keputusan terminasi kehamilan pada kelainan genetik terentu ini bukan semerta-merta saja dapat dilakukan, melainkan melalui proses panjang mencakup pertimbangan dari seluruh aspek. Ia kembali menjelaskan, sebagai seorang dokter yang memegang sumpah dokter, seorang dokter harus menghormati produk kehamilan semenjak terjadinya pembuahan dan menghargai kehidupan setelahnya. Menurut pendapat beliau secara pribadi, dalam konteks terminasi kehamilan berkaitan pada thalassemia, ia menegaskan bahwa thalassemia bukan merupakan kategori letal dan masih dapat diterapi sejak lahir meskipun tentunya akan memiliki beban tersendiri. Oleh karena itu thalassemia tidak memenuhi klausul peraturan perundang-undangan tersebut. Sehingga di Indonesia sendiri, terminasi kehamilan bukan merupakan suatu pilihan un-
Terminasi kehamilan pada fetus yang
tuk keputusan lanjutan pada fetal terdiagnosis
terdiagnosis thalassemia major menjadi se-
thalassemia, kalau bukan pada situasi dimana
buah pilihan di beberapa negara pada orang
janin yang dikandung telah meninggal terlebih
tua yang memiliki keinginan untuk tidak melan-
dahulu.
jutkan kehamilannya (1,6,7). Hal ini menjadi sebuah pertanyaan yang banyak menimbulkan
“Fokus utama kita adalah bukan
pro-kontra dan perdebatan di antara para ahli
meniadakan hal yang belum baik,
terutama mengenai legalitas dan aspek ethical.
melainkan memperbaiki sesuatu
Apakah tindakan ini dapat menjadi suatu pilihan yang dapat ditawarkan? Dr. dr. M. Adrianes Bachnas, SpOG(K)
yang belum baik. Karena yang berhak meniadakan dan mengadakan hanyalah Tuhan yang Maha Kuasa.”
FM. menjelaskan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentu-
Peran dokter spesialis kandungan sub-
an dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yaitu
spesialis fetomaternal justru berfokus pada
Undang-Undang Praktek Kesehatan No. 36 Ta-
penyelamatan janin yang dikandung supaya ti
22
dak meninggal melalui berbagai macam upaya
mang tidak memungkinkan untuk dihindari
dan tindakan medis. Peran selanjutnya adalah
maka alangkah baiknya dilakukan teknik pre-
penentuan tatalaksana lanjutan untuk mening-
implementation genetic diagnosis (PGD) dar-
katkan kualitas hidup anak thalassemia pasca
ipada kehamilan normal yang memiliki risiko
kelahiran yang akan dilakukan oleh tim ahli
tinggi melahirkan anak thalassemia.
pada bidang disiplin ilmu terkait dengan koordinasi antara tim multidisiplin. Sebaliknya, pada kasus janin terdiagnosis thalassemia mayor yang pernah ditemuinya,
Pre-natal
Diagnosis
of
Thalassemia
Mayor
Dr. Adrianes Bachnas, SpOG(K)FM menyebut-
Beliau kemudian menekankan perlu
kan perlunya edukasi intensif dan pemberian
adanya diagnosis pre-natal melalui identifikasi
dorongan juga semangat terus-menerus kepada
gen abnormal pada analisis DNA janin untuk
kedua orang tua bahwa masih terdapat banyak
mendiagnosis thalassemia. Pertama adalah
opsi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
penggunaan teknik invasif berupa pengambilan
survival rate janin. Monitoring berkala dan tata
sampel janin dengan biopsi viri koralis (CVS)
laksana yang cepat dan tepat pasca kelahiran
atau teknik amniosentesis (1). Selain itu, ter-
merupakan kunci dari peningkatan kualitas hid-
dapat pula teknik non-invasif yaitu Non-Invasive
up penyintas thalassemia agar dapat mendeka-
Pre-natal Testing (NIPT) yang merupakan se-
ti kualitas hidup normal.
buah pemeriksaan genetik melalui pengambilan fraksi DNA janin yang terlepas di sirkulasi maternal untuk melihat apakah ada kelainan genetik spesifik terkait terhadap thalassemia. Teknik ini belum lazim di Indonesia namun dapat dilakukan. Pemeriksaan didahului dengan penggunaan ultrasonography (USG).
“Terapi fetal adalah jawaban dan langkah selanjutnya yang tepat dari janin terdiagnosis thalassemia.” “Meskipun terlahir dengan Thalassemia, Masih ada upaya – upaya medis yang dapat dilakukan untuk membuat janin yang lahir tumbuh sehat sebagaimana bayi yang dilahirkan tanpa thalassemia.”
Diagnosis pre-natal juga memungkinkan penatalaksanaan terapi fetus melalui transfusi darah in-utero untuk menyelamatkan janin yang memiliki tingkat keselamatan mendekati 0%. Sebagian selamat dengan tingkat keselamatan
Ketika penyintas thalassemia mencapai
yang dapat mencapai 80%, sebagian tidak. Ter-
usia dewasa dan memiliki rencana pernikah-
api lainnya adalah terapi sel punca yang seka-
an, ada beberapa hal yang harus benar–benar
rang masih menjadi sebuah pelayanan yang
diperhatikan yaitu menghindari pasangan yang
berbasis tindakan penelitian di Indonesia bukan
sama-sama merupakan penyintas thalassemia,
sebagai tindakan komersil. Namun tentunya di
atau pembawa gen thalassemia. Jika me-
masa yang akan datang terapi sel punca juga
23
terapi gen menjadi harapan besar untuk tera-
penting dalam eradikasi thalassemia yang dapat
pi kausatif dari fetus terdiagnosis thalassemia
diterapkan dan menjadi fokus di Indonesia ada-
mayor.
lah usaha pencegahan primer melalui skrining
Dunia kedokteran saat ini yang berkembang begitu pesat juga menawarkan teknik pre-implantation genetic diagnosis (PGD) pada prosedur bayi tabung yang memungkinkan pengambilan embrio sehat yang tidak terpengaruh oleh abnormalitas genetik dan kemudian diimplantasikan ke uterus. Prosedur ini merupakan pilihan terbaik pada pasangan yang memiliki risiko tinggi inheritance dari gen thalassemia kepada janin yang dikandung (8).
pre-marital. Sesuai dengan himbauan Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI), Dr. dr. M. Adrianes Bachnas, SpOG(K)FM menyatakan bahwa perlu adanya peningkatan pengetahuan dasar tentang thalassemia dan awareness pada masyarakat terhadap upaya paling ideal untuk mencegah terjadinya inheritance dari thalassemia. Hal ini tentunya sangat mungkin tercapai dengan pengadaan program sosialisasi intensif skrining pra-nikah pada masa remaja, anak – anak, terlebih lagi pada pasangan yang
Namun, menurut Dr. dr. Adrianes Bachnas, SpOG(K)FM, prosedur ini belum dapat dijadikan
akan menikah secara menyeluruh dan mencakup seluruh lapisan masyarakat.
sebagai protokol utama terbaru penanganan fetal terdiagnosis thalassemia yang dimplementasikan ke seluruh masyarakat. Alasannya ada-
REFERENSI
lah karena prosedur ini memiliki pembiayaan
1. Indonesia
yang sangat mahal menyebabkan munculnya
REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/1/2018 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA THALASEMIA. 2018;1–26. 2. Alzahrani RA, Almutairi OM, Alghoraibi MS, Alabdulwahed MS, Abaalkhail MK, Alhawish MK, et al. Quality of life in transfusion-dependent thalassemia patients. J Taibah Univ Med Sci [Internet]. 2017;12(5):465–70. Available from: http:// dx.doi.org/10.1016/j.jtumed.2017.05.006 3. Rodiani, Anggarom A. Talasemia pada Kehamilan Thalassemia on Pregnancy. JK Unila. 2017;1:580–5. 4. P2PTM Kemenkes RI. Hari Talasemia Sedunia 2019 : Putuskan Mata Rantai Talasemia Mayor. 8 Mei [Internet]. 2019;2–5. Available from: http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatanp2ptm/subdit-penyakit-kanker-dan-kelainan-darah/
keterbatasan dalam pengaksesan prosedur pada masyarakat. Prosedur ini juga tidak ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan BPJS Kesehatan. Yang berarti bahwa prosedur ini hanya dapat diakses oleh masyarakat dengan perekonomian yang mendukung. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas, strategi paling utama dan ter-
24
MKR.
KEPUTUSAN
MENTERI
KESEHATAN
5. Siddiqui SH, Ishtiaq R, Sajid F, Sajid R. Quality of life in patients with thalassemia major in a developing country. J Coll Physicians Surg Pakistan. 2014;24(7):477–80. 6. Karimi M, Bonyadi M, Galehdari MR, Zareifar S. Termination of pregnancy due to thalassemia major, hemophilia, and Down’s syndrome: The views of Iranian physicians. BMC Med Ethics. 2008;9:4–7. 7. Royal College of Obstetricians & Gynaecologists. Management of Beta Thalassaemia in Pregnancy. R Coll Obstet Gynaecol. 2014;(66):1–17. 8. Borgna-Pignatti C. The life of patients with thalassemia major. Haematologica. 2010;95(3):345–8.
Untuk mendengarkan pendapat Dr. dr. Adrianes Bachnas, SpOG(K)FM. mengenai diagnosis prenatal thalassemia dan tata laksana lanjutan, tonton GO-Talk 10 Ep. 1: “Congenital Disorders from an Obstetric Perspective” di Instagram TV dan YouTube Channel AMSA-Indonesia.
25
Raden Ayu Salsabila Rifdah Universitas Pembangunan Nasional vETERAN JAKARTA Research Team DistriCT 2 AMSA-Indonesia 2020/2021
Tetralogy of Fallot (ToF) merupakan penyakit jantung bawaan sianotik dengan kombinasi 4 kelainan, yang sebenarnya berasal dari 1 kelainan, yaitu displacement ke arah anterior dan cephalad dari septum infundibulum yang dapat terjadi pada anak-anak. Masih banyak dari kita yang belum menyadari apa saja kelainan yang mendasarinya. Yuk, kenali Tetralogy of Fallot dengan HIPOKSIK guna menambah wawasan dan kesadaran dari diri kita.
26
Raden Ayu Salsabila Rifdah - Research Team District 2
KENALI
TETRALOGY OF FALLOT DENGAN "HIPOKSIK"
HIP
Definisi
ertrofi Ventrikel Kanan
Tetralogy of Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik, dengan kombinasi 4 kelainan yang berasal dari 1 kelanian yaitu dispalcement ke arah anterior dan cephalad dari septum infundibulum.
Penebalan otot dinding ventrikel kanan, kompensasi dari beban volume darah tambahan akibat Defek Septum Ventrikel. Citraan radiologis -> Boot-shaped.
O ver-Ridding Aorta
Prevalensi 3 per 10.000
Aorta mengarah pada Defek Septum Ventrikel, maka oksigen dan karbon dioksida tercampur dan terbawa ke aliran sistemik -> Sianotik.
K S
I ndikasi elainan pada KSeptum Ventrikel
elainan pada Katup Pulmonal
Ada celah pada dinding ventrikel (yang seharusnya tidak ada) menimbulkan aliran darah menjadi bolak-balik dan beban ventrikel kanan bertambah.
tenosis Pulmonal
Hal ini menyebabkan hanya sedikit darah kaya karbon dioksida sedikit mencapai paru.
Apitz C, Webb GD, Redington AN. Tetralogy of Fallot. Lancet. 2009 Oct 24;374(9699):1462-71. Bailliard F, Anderson RH. Tetralogy of Fallot. Orphanet J Rare Dis 4 2. 2009. 10.1186/1750-1172-4-2 Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Binarupa Aksara. 1994
27
Syafira Syifa D. A. (AMSA-Universitas Bosowa)
Anindya Khaerunnis (AMSA-Universitas Bo
Hasmawati HS (AMSA-Universitas Bosowa)
Clubfoot is a common deformity occ pying the first position as the most ofte congenital disorder in Indonesia. Howe er, public knowledge about the disord is still limited nevertheless on how to pr vent the incident, which is the aim of th poster. With BREAKTIME, the possibili of occurrence can be further reduced.
sa T. osowa)
cuen evder rehe ity .
29
Ventricular Septal Defect: The Most Common Congenital Heart Defect in Children Siti Azira Putri (AMSA-Universitas Sriwijaya) Nadiyah Safitri (AMSA-Universitas Sriwijaya)
Puspita Nurul Izzah (AMSA-Universitas Sriwijaya) Jantung merupakan organ terpenting dalam tubuh manusia. Berfungsi untuk memompa darah ke seluruh tubuh, jantung seperti pompa raksasa pada manusia. Setiap darah yang dipompa keluar dari jantung dihitung sebagai denyut jantung. Setiap denyut jantung yang terdengar, itulah kehidupan. “Sometimes the only blessing you need to count is your heartbeat”, dari kutipan tersebut dapat kita sadari bahwa jantung merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, harus kita sadari bahwa menjaga kesehatan jantung merupakan hal yang penting. Namun, beberapa anak harus menerima kenyataan bahwa mereka terlahir dengan anatomi jantung yang tidak sempurna, seperti pada penderita Congenital Heart Disease (CHD). CHD merupakan salah satu penyakit bawaan yang dapat sering terjadi pada bayi dilahirkan. Insiden dari penyakit ini dapat terjadi 0.7%-1% pada bayi yang lahir dengan tanda kehidupan dan terjadi pada 30% bayi yang memiliki kelainan pada saat lahir. Salah satu penyakit jantung kongenital yang sering terjadi pada bayi adalah Ventriclular Septum Disease (VSD) (1). VSD merupakan kelainan dimana terbukanya septum diantara ventrikel jantung (interventrikuler) yang dapat menyebabkan pirau darah antara ventrikel (2). Penyakit ini merupakan defek jantung asianotik yang memiliki prinsip terjadinya pirau dari ventrikel kiri menuju ventrikel kanan pada jantung (Gambar 1). Hal ini dapat menyebabkan tingginya tekanan darah pulmoner yang dapat menyebabkan defek pada jantung bagian kanan
30
seperti hipertrofi jantung kanan, hipertensi pulmoner hingga gagal jantung kongestif (3). Prevalensi kejadian dari VSD dapat mencapai lebih dari 30% (Tabel 1). Sebagian besar penilitian menunjukkan defek interventrikuler umumnya terjadi antara sepertiga hingga setengah dari pasien dengan malformasi jantung kongenital (3). Saat pasien diduga memiliki kelainan jantung saat lahir maka VSD merupakan malformasi yang sangat mungkin terjadi jika tidak terjadi prolaps atau kelainan pada katup biskupid dan katup aorta. Defek ini sedikit lebih umum terjadi pada perempuan daripada laki-laki (4). VSD dapat terjadi pada pasien dengan kelainan kromosom. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat sekitar 5% pasien dengan abnormalitas kromosom memiliki kelainan pada jantung. Kelainan yang umum terjadi merupakan VSD (4). Defek yang terjadi pada septum ventrikel dapat berhubungan dengan beberapa penyakit kelainan kromosom, seperti monosomi 11q (Jacob syndrome), trisomi 13 (Patau syndrome), dan trisomi 18 (Edwards syndrome), dan masih banyak lagi (5). Pembentukkan jantung pada perkembangan embrio dimulai sekitar hari ke-16 kehamilan yang diawali dengan pembentukkan lapisan germinativum hingga pertengahan minggu ketiga dimana sistem kardiovaskular mulai terbentuk. Pada VSD dimana kelainan terjadi septum interventrikuler yang dibentuk sekitar minggu kelima hingga akhir minggu ketujuh. Pembentukkan septum interventrikuler terjadi karena tiga komponen yaitu bantalan
atriovenrikel endocardium inferior, penebalan konus kanan dan penebalan konus kiri yang menyatu membentuk pars muskularis yang tebal tebal dan pars membranosus yang tipis yang merupakan bagian dari septum interventrikuler (Gambar 2). Sebagian besar dari VSD yang terjadi pada pars muskularis akan membaik seiring anak tumbuh, sedangkan pada pars membranesa akan menimbulkan kelainan, manifestasi klinis, hungga komplikasi yang lebih serius tergantung dengan ukuran lubang interventrikel (6).
adanya regresi otot polos arteri intrapulmonal (4). Dalam menengakkan diagnosis dari VSD, terdapat beberapa cara screening yaitu: · Colored Doppler Transthoracic Echocardiography (TTE) adalah alat yang paling berharga untuk diagnosis karena sensitivitasnya yang tinggi hingga 95%, terutama lesi non-apikal yang lebih besar dari 5 mm. Alat ini memberikan informasi morfologi seperti ukuran, lokasi, dan jumlah cacat serta informasi hemodinamik seperti ukuran jet, keparahan, dan perkiraan tekanan arteri pulmonalis (7). Menurut American Society of Echocardiography, waktu yang optimal untuk melakukan prosedur ini adalah pada 18-22 minggu dari kehamilan (8).
VSD diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: tipe 1 (infundibular) defek terletak dibawah katup semilunar di atas crista supraventrikular dan merupakan defek yang paling jarang terjadi, tipe 2 (perimembranous) defek terletak pada septum yang letaknya lebih rendah daripada crista supraventrikularis dan merupakan defek yang paling sering terjadi, tipe 3 (kanal atrioventrikular), dan tipe 4 (muskular) defek terletak pada otot bawah dari septum ventrikel (7).
· Electrocardiography (ECG) sepenuhnya normal pada separuh pasien dengan VSD. Jika ECG abnormal, dapat mendeteksi hipertrofi ventrikel kiri pada pasien yang memiliki pirau besar (7).
Patofisiologi utama terjadinya VSD adalah aliran balik antara ventrikel kiri dan kanan pada jantung. Banyaknya aliran darah dan arah aliran menentukan perubahan hemodinamik yang diakibatkan oleh VSD. Faktor-faktor ini dipengaruhi oleh ukuran defek, lokasi defek, dan resistensi vaskular paru-paru (7). Aliran ke paru-paru akan meningkatkan setelah bayi lahir beriringan dengan penurunan resistensi
· Chest radiography (CXR) seringkali normal pada penderita dengan defek kecil. Siluet jantung yang membesar dapat diamati pada defek yang lebih besar dan peningkatan ukuran ventrikel kiri. Pembesaran ventrikel kanan dan diameter paru yang meningkat dapat diamati pada pasien dengan
vaskular yang berkaitan dengan pengembangan paru dan paparan alveoli terhadap oksigen yang merupakan faktor vasodilator paru-paru. Jika ukuran defek kecil akan terjadi hemodinamik yang restriktrif sehingga membatasi aliran balik ventrikel kiri ke kanan. Sedangkan defek yang tidak restriktif secara hemodinamik akan menyebabkan aliran darah ke paru-paru yang signifikan dari ventrikel kiri ke kanan (Gambar 3). Hal ini dapat menyebabkan hipertensi pulmonal jika terjadi terus menerus. Semakin besar ukuran defek, maka aliran paru-paru akan terus meningkat relatif terhadap aliran sistemik dengan
pulmonary arterial hypertension (PAH) (7). · Cardiac Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) berguna dalam kasus anatomi kompleks seperti VSD disertai dengan kelainan jantung bawaan lainnya dan cacat di lokasi yang tidak biasa yang sulit untuk divisualisasikan oleh TTE konvensional (7). · Cardiac catheterization memberikan informasi hemodinamik yang akurat mengenai resistensi vaskular paru dan respons terhadap vasodilator (7).
31
Dengan beberapa macam metode deteksi awal pada CHD khususnya VSD dapat mengubah hasil yang berjangka panjang yang menguntungkan untuk keadaan patologis tersebut. Prosedur-prosedur deteksi awal seperti ekokardiografi dapat memungkinkan untuk merencanakan persalinan yang komprehensif untuk mencegah gangguan hemodinamik yang merupakan risiko tinggi dari setiap jenis CHD dan ditentukan oleh seberapa besar defek dari septum antara ventrikel. Rekomendasi ruangan persalinan dengan penyakit khusus merupakan hal yang perlu dipertimbangkan saat akan melahirkan karena pada praktis klinis sudah diterima dan dilakukan dengan baik. Dalam perawatan tindak lanjut harus dilakukan dan diperhatikan adalah follow-up pasien, perawatan di pusat perawatan tingkat tersier, kemungkinan intervensi neonatal (berbasis kateter atau pembedahan dan kebutuhan intervensi darurat saat persalinan walaupun jarang terjadi (8).
REFERENSI
1. Gabbe, SG et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancy. 8th edition. 2021 2. Rojas CA, Jaimes C, Abbara S. Ventricular septal defects: Embryology and imaging findings. J Thorac Imaging. 2013;28(2):28–34. 3. Scholz T, Reinking BE. Congenital Heart Disease. Avery’s Dis Newborn Tenth Ed. 2017;801–27. 4. Spicer DE, Hsu HH, Co-Vu J, Anderson RH, Fricker FJ. Ventricular septal defect. Orphanet J Rare Dis. 2014;9:144. 5. Jacobsen Syndrome; JBS. Online Mendelian Inheritance in Man. OMIM website. Johns Hopkins University. Updated May 8, 2013. http://www.omim.org/entry/147791 6. Sadler Embryology.
TW;
14th
JL.
Langman’s Edition.
Medical 2019.
7. Dakkak W, Oliver TI. Ventricular Septal Defect. [Updated 2020 Nov 20]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470330/ 8. Martin RJ. Fanaroff AA, Walsh MC. Fanaroff and Martin's Neonatal-Perinatal Medicine. 11th edition. 2020.
32
Labioskisis Unilateral Mellybeth Indriani Louis Universitas Tadulako Research Team DistriCT 6 AMSA-Indonesia 2020/2021 PENDAHULUAN Labioskisis (celah bibir) merupakan kelainan bawaan yang paling umum terjadi. Labioskisis merupakan celah orofasial dengan atau tanpa palatoskisis (celah palatum). Seringkali, pasien labioskisis datang dengan palatoskisis juga. Celah yang melibatkan seluruh bagian ventral dari bibir atas biasa disebut celah komplit atau celah alveolar. Celah yang hanya melibatkan sebagian dari bibir atas bagian vertikal, dimana masih terlihat bagian otot dengan kulit yang utuh diatas celah bibir, biasa disebut celah inkomplit. Berdasarkan cacatnya, labioskisis dibagi menjadi celah unilateral dan bilateral serta komplit dan inkomplit (1,2). Celah unilateral merupakan bentuk kelainan labioskisis tersering (3). Labioskisis disebabkan oleh berbagai faktor. Malnutrisi ibu hamil serta paparan teratogen, tembakau, alkohol, dan infeksi virus diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan labioskisis. Labioskisis terjadi pada 1:700 kelahiran. Kejadian labioskisis pada anak laki-laki lebih sering daripada anak perempuan, serta celah pada sisi kiri 2 kali lebih sering dibandingkan sisi kanan. Labioskisis terjadi lebih sering pada populasi asia, dengan angka kejadian sekitar 2 per 1.000 kelahiran (1,2). Neonatus dengan labioskisis mempunyai tiga masalah utama, yaitu: kesulitan makan, risiko aspirasi, dan obstruksi jalan nafas. Manajemen untuk labioskisis dapat dicapai melalui intervensi bedah/ operasi (2). Selama bertahun-tahun, berbagai teknik operasi telah dikembangkan untuk memperbaiki deformitas ini. Tujuan utama dalam operasi labioskisis adalah untuk mencapai perbaikan anatomis dengan perkembangan normal dari bicara, pendengaran, dan makan (4).
TUJUAN Tujuan dari artikel ini adalah untuk menambah wawasan pembaca mengenai teknik bedah/operasi yang digunakan sebagai manajemen dari labioskisis unilateral, baik komplit atau inkomplit. Artikel ini juga akan menjabarkan kelemahan dan kelebihan dari masing-masing teknik bedah/operasi.
33
METODE Penulisan artikel ini bersifat studi literatur. Literatur yang digunakan berupa jurnal dan buku, yang dapat ditemukan pada situs PubMed dan Google Scholar, yang menjelaskan mengenai teknik operasi labioskisis unilateral. Literatur yang digunakan adalah literatur yang terbit dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kata kunci yang didapatkan pada artikel ini meliputi “unilateral cleft lip”, “labioskisis unilateral”, dan “cleft lip repair”.
HASIL DAN PEMBAHASAN Operasi perbaikan labioskisis biasanya dilakukan pada usia 3 hingga 5 bulan, tetapi sebagian besar pusat kesehatan memilih melakukan operasi tersebut pada rentang usia 3 sampai 6 bulan. Panduan yang baik dan biasa digunakan dalam menentukan usia mana yang aman untuk melakukan operasi perbaikan primer labioskisis adalah aturan “rule of ten”. Jika bayi berusia 10 minggu, berat 10 pon, dan hemoglobin telah mencapai 10 mg/ dL, operasi perbaikan labioskisis akan aman apabila tidak ada penyakit penyerta lain yang menghalangi. Sebelum melakukan operasi, perlu diketahui anatomi dari daerah nasolabial dan bentuk deformitas labioskisis unilateral (1,2).
Gambar 2. Labioskisis unilateral (1).
Beberapa prinsip dasar yang perlu dipahami dalam melakukan operasi labioskisis, yaitu menciptakan kesimetrisan pada cupid’s bow, membangun tuberkel yang penuh dan vermilion yang tinggi, membangun kolum filtrum dengan bentuk dan tinggi yang sama dengan kolum filtrum sisi non celah, membuat kolumela yang tanpa bekas luka dan membentuk persimpangan kolumela-labial yang simetris, memperbaiki otot orbikularis oris, membuat sulkus labial yang memadai, memperbaiki deformitas alar nasi, dan melakukan penutupan luka secara atraumatik. Membentuk bibir atas dengan panjang vertikal yang sesuai dan simetris, memperbaiki struktur yang mendasari dengan fungsi normal otot, dan memperbaiki hidung yang cacat adalah inti dari perbaikan labioskisis unilateral (1). Tujuan umum dalam semua perbaikan labioskisis adalah untuk membangun kembali otot orbikularis oris yang kompeten, memperpanjang filtrum dan bibir, dan meminimalkan jaringan parut yang terlihat. Terdapat beberapa teknik operasi untuk labioskisis unilateral, di antaranya yaitu teknik Millard, Fisher, Mohler, dan Tennison Randall (1,2). A. Millard
Gambar 1. Landmark normal dari daerah nasolabial yang penting dalam perbaikan labioskisis (1).
Teknik
34
Millard
pertama
kali
diperkenalkan oleh Millard pada tahun 1955. Teknik ini biasa disebut juga dengan teknik rotation advancement. Teknik ini mengembangkan konsep lateral flap advancement pada bagian atas bibir yang dikombinasikan dengan rotasi dari segmen medial (1,5). Teknik Millard adalah metode perbaikan labioskisis yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat dan Kanada. Landmark pada teknik Millard adalah sebagai berikut (6): 1. Puncak cupid’s bow pada sisi yang tidak ada celah; 2. Titik terendah dari cupid’s bow; 3. Puncak cupid’s bow pada sisi yang ada celah (Panjang 1-2=2- 3); 4. Ujung white roll di bibir lateral; 5. Subnasal di lipatan kolumela-bibir; 6. Tinggi kolum filtrum pada sisi yang tidak ada celah di lipatan kolumela-bibir; 7. Tinggi kolum filtrum pada sisi yang ada celah di lipatan kolumela-bibir; 8. Dasar alar pada sisi yang tidak ada celah; 9. Dasar alar pada sisi yang ada celah; 10. Komisura mulut pada sisi yang ada celah;
segmen medial dimulai dari ujung cupid’s bow pada sisi dengan celah (titik 3) dan dilakukan dengan cara melengkung ke arah dasar kolumela, serta dapat diperpanjang tetapi tidak melewati kolum filtrum kontralateral (titik 6). Back cut ke inferior, kadang-kadang diperlukan untuk mendapatkan panjang “B” sama dengan panjang “C” di bibir lateral. Selanjutnya, sayatan dibuat dari ujung cupid’s bow pada sisi dengan celah (titik 3) di sepanjang vermillion border ke dasar hidung, membuat flap “c”. Sayatan kemudian dibuat dari titik 3, memanjang tegak lurus ke vermillion border, sepanjang vermilion, dan kemudian di sepanjang sulkus gingivobukal, membuat flap “m” (6). Perhatian kemudian dialihkan ke sisi dengan celah. Sayatan dibuat dari ujung white roll (titik 4) ke nasal sill di sepanjang vermilion. Jika pengangkatan tambahan diperlukan, sayatan dapat dilakukan secara lateral di sepanjang nasal sill ke dasar alar (tidak melebihi titik 9). Penggunaan sayatan alotomi ini harus diminimalkan semaksimal mungkin. Sayatan kemudian dibuat dari titik 4, memanjang tegak lurus ke vermillion border, sepanjang vermilion, dan kemudian sepanjang sulkus gingivobukal (6).
11. Komisura mulut pada sisi yang tidak ada celah.
Gambar 4. Hasil setelah operasi menggunakan teknik Millard (5). Gambar 3. Landmark anatomi dan sayatan dalam teknik Millard (6).
Sayatan kulit dibuat seperti yang sudah diuraikan pada gambar 3. Pertama, sayatan bibir
Teknik Millard memiliki keuntungan yaitu dapat menempatkan penutupan celah di bawah dasar alar nasi dengan cara mempertahankan kedua cupid’s bow dan philtrum dimple. Teknik
35
Millard menempatkan sebagian besar bekas luka di sepanjang perbatasan filtrum yang natural dan lebih fleksibel daripada teknik Tennison Randall. Millard menekankan pentingnya kesimetrisan pada bibir dan hidung pada operasi awal, juga memungkinkan perbaikan otot lengkap, dan meminimalkan pembuangan jaringan normal. Teknik Millard juga memiliki beberapa kerugian, seperti biasanya didapatkan bekas luka kontraktur vertikal dengan vermilion takik bibir atau penurunan dasar alar, biasa juga didapatkan bekas luka kontraktur horizontal yang dapat menyebabkan lubang hidung kecil, memiliki risiko stenosis lubang hidung pada sisi sumbing, dan berpotensi menyebabkan kontraksi dengan konsekuensi penurunan tinggi bibir vertikal (2,7). B.
Fisher Subunit
Fisher pada tahun 2005 menjelaskan pendekatan untuk perbaikan labioskisis yang menghindari bekas luka pada atau di bawah kolumela dan tidak terbatas oleh kekurangan tinggi atau lebar bibir lateral. Prosedur operasi ini dilakukan seperti yang dijelaskan sebelumnya oleh Fisher et al (8). Landmark pada teknik Fisher subunit adalah sebagai berikut (6): 1. Garis tengah kolum filtrum pada lipatan kolumela-bibir; 2. Ketinggian kolum filtrum pada sisi yang tidak ada celah di lipatan kolumela-bibir; 3. Ketinggian kolum filtrum pada sisi yang ada celah di lipatan kolumela-bibir; 4. Titik terendah dari cupid’s bow di vermillion border; 5. Puncak cupid’s bow di vermilion pada sisi
36
yang tidak ada celah; 6. Puncak cupid’s bow di vermilion pada sisi yang ada celah; 7. Cutaneous roll mendatar ∼1 mm lebih tinggi dari titik 5; 8. Cutaneous roll mendatar ∼1 mm lebih tinggi dari titik 6 (Perhatikan bahwa garis 3-8 harus mencerminkan kolum filtrum di sisi yang tidak ada celah (garis 2-7)); 9. Titik ini berada tepat di atas cutaneous roll, tegak lurus dengan kolum filtrum (garis 3-8) di titik 8; 10. Wet-dry red lip junction lebih rendah dari titik 4; 11. Wet-dry red lip junction lebih rendah dari titik 5; 12. Wet-dry red lip junction lebih rendah dari titik 6. Perhatikan titik 8, 6, dan 12 harus membentuk garis lurus yang tegak lurus dengan VC junction; 13. Subalare di sisi yang tidak ada celah (titik paling rendah pada lipatan di alar-lip junction); 14. Subalare di sisi yang ada celah (ditandai pada saat memutar insersi alar dengan tekanan digital untuk memprediksi posisi akhir); 15. Tinggi bibir pada nasal sill di sisi yang tidak ada celah (di sepanjang lipatan kolumelabibir); 16. Tinggi bibir pada nasal sill di sisi yang ada celah (di sepanjang lipatan kolumela-bibir) simetris dengan titik 15. Apabila terdapat kekurangan jaringan dari bibir lateral ke ala, titik 16 ini harus diposisikan lebih lateral untuk
menghindari penyempitan lubang hidung; 17. Sepanjang VC junction pada akhir dari white roll; 18. Cutaneous roll mendatar ∼1 mm lebih tinggi dari titik 17 (panjang 17-18 = panjang 6-8); 19. Ditujukan menjadi titik penutupan bagian lateral dari nasal sill; relatif diposisikan ke titik 14 dengan cara yang sama seperti titik 15 ke titik 13. Ketika titik 19 dan 16 diperkirakan, lingkar lubang hidung pada sisi dengan celah dan sisi yang tidak ada celah harus sama dengan dasar alar pada bidang vertikal yang sama; 20. Titik ini ditempatkan pada jarak “c” dari titik 18, dengan demikian dapat ditentukan tinggi segitiga menggunakan jangka sorong; 21. Berada di antara 19 dan 20 sehingga panjang 19-21 = 3-16 dan 21-20 = 3-8 dan dengan demikian sudut 19-21-20 mendekati sudut 16-3-8; 22. Ditempatkan relatif untuk menghubungkan titik 18 dan 20 untuk membentuk segitiga; 24. Terletak di red lip wet-dry junction, lebih rendah dari titik 17; 25. Sepanjang garis 17-23 sehingga panjang 17-24 sama dengan 6-12; 26. Ditandai di sepanjang bibir untuk membuat segitiga, sehingga panjangnya 24-25 = 23-25 = 10-12.
Gambar 5. Landmark anatomi dan sayatan dalam teknik Fisher Subunit (6).
Teknik operasi Fisher subunit adalah perbaikan gaya secara geometris, dengan mencoba menghilangkan bekas luka di area superior yang terlihat dalam teknik rotation advancement, sebagai gantinya. luka tersebut ditempatkan di sepanjang subunit anatomis. Teknik ini menggunakan cutaneous triangle yang terletak di atas white roll untuk menyesuaikan tinggi dari bibir segmen medial, dimana tinggi bibir bagian vertikal dan perpanjangan bekas lukanya sama. Dibandingkan dengan teknik “cut as you go”, teknik ini menggunakan penandaan dan pengukuran yang konsisten seperti yang tercantum pada gambar di atas (gambar 4). Fisher mencatat beberapa variasi pada lateral lip triangle yang telah berorientasi didasarkan tinggi bibir lateral (gambar 4). Fisher juga mencatat bahwa jika bibir lateral secara vertikal sangat panjang, eksisi bibir atas secara medial dapat dilakukan di bagian yang lebih rendah daripada titik 19 dengan anggota bagian atas diposisikan di dalam lipatan alar medial, sedangkan eksisi bibir secara lateral tidak boleh melampaui titik 14. Untuk celah inkomplit, eksisi pada nostril sill dibuat lebih tinggi dari titik 16 dan 19, sehingga jarak antara 16 dan 19 sama dengan lingkar lubang hidung tanpa celah dikurangi lingkar lubang hidung dengan celah dikurangi 1 mm (6). Serupa dengan teknik yang lainnya, flap
37
mukosa medial dan flap mukosa lateral dibuat dan didekatkan di atas celah. Fisher juga menjelaskan penggunaan inferior turbinate flap berbasis anterior pada celah lebar untuk menutupi defek mukosa yang disebabkan oleh anteromedial advancement dari bibir lateral untuk menjangkau celah alveolar. Orbikularis oris dilepaskan dari perlekatan abnormal, kemudian mukosa, otot, dan kulit ditutup seperti dijelaskan di atas (6).
Gambar 6. Hasil setelah operasi menggunakan teknik Fisher Subunit (5).
Teknik Fisher subunit memiliki beberapa keuntungan. Pertama, teknik ini menggunakan desain geometris dan sedikit sayatan di sepanjang filtrum, sehingga memberikan tampakan natural dan estetik pada kolumela dan area filtrum. Kedua, bibir lateral pada sisi dengan celah dapat diperpanjang dengan triangular flap kecil dan efek Rose-Thompson, yang berarti eksisi cekung yang tipis pada margin celah memberikan tambahan panjang pada saat menutup garis lurus. Selain itu, triangular flap kecil ini tidak hanya memiliki efek merusak bekas luka tetapi juga efek penekanan pada bibir yang mengkerut dengan memberikan sedikit tegangan (9). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mittermiller, dkk., pasien yang melakukan perbaikan labioskisis dengan teknik Fisher subunit memiliki gangguan pada kulit yang lebih sedikit dan membutuhkan lebih sedikit revisi subunit bibir kulit dibandingkan dengan pasien perbaikan labioskisis dengan teknik rotation advancement (8).
38
C.
Modified Mohler
Pada tahun 1987, Mohler memperkenalkan modifikasi terbaru dari teknik rotation advancement (teknik Millard) untuk menghasilkan bekas luka yang lebih simetris pada kolum filtrum pada sisi yang tidak ada celah. Perubahan dilakukan dengan meluruskan kurva dari sayatan rotasi dan memperpanjang sayatan ke dalam kolumela. Teknik ini dikritik karena terdapat beberapa kekurangan, yaitu dimana back cut yang tidak memadai, sehingga kemampuan untuk memanjangkan bibir sangat terbatas. Perbaikan dianggap hanya dapat diterapkan pada pasien labioskisis inkomplit, sehingga pada tahun 2003, Court Cutting memperkenalkan teknik perbaikan labioskisis modified Mohler, yang diberi nama “extended Mohler cleft lip repair” (3). Landmark dan teknik operasi modified Mohler. L adalah jarak vertikal antara titik 1 dan 3. L juga merupakan gambaran panjang bibir yang perlu dipanjangkan pada sisi yang terdapat celah. Garis sayatan lurus merupakan sambungan garis yang berurutan dan lurus dari titik 3, 5 (subnasal, titik tengah di dasar kolumela), dan 6 (titik perpotongan antara area filtrum pada sisi yang tidak terdapat celah dan lengkungannya, yang digambar oleh titik 5 sebagai pusat lingkaran dan L sebagai jarijarinya). Garis sayatan dari dua lengkungan lainnya merupakan garis yang dibentuk dengan menghubungkan titik 3 dengan 9, serta titik 4 dengan 10 di sepanjang white roll pada sisi dengan celah. Sayatan dibuat sepanjang garis 6-53, 3-9 dan 4-10 sampai bagian dalam orbikularis oris, rectangular flap dan C-flap masing-masing yang terbentuk pada segmen medial. Gunting secara tajam untuk membebaskan orbikularis oris dari kulit dan mukosa, kemudian potong perlekatan abnormal pada daerah dasar alar, dasar kolumelar, dan tepi celah alveolar. Pada segmen medial, kulit rectangular flap dan orbikularis oris berputar pada titik 6 sebagai
titik sumbu rotasi, hingga titik 3 dan 1 berada pada ketinggian horizontal yang sama. Tarik kolumela ke atas, gerakkan C-flap ke sisi yang tidak memiliki celah, dan tutup kerusakan jaringan yang disebabkan oleh pengangkatan rectangular flap ke bawah. Ketinggian area filtrum pada sisi dengan celah sama dengan jarak garis lurus 5-6 dan 3-5. Pada segmen lateral, majukan orbikularis ke arah superior medial dan penuhi triangular space, yang dibentuk oleh orbikularis pada segmen medial yang ditarik ke bawah. Pindahkan kulit dari flap 4-10 ke arah tengah; puncak baru dari cupid’s bow akan terbentuk setelah titik 3 dan 4 dijahit bersama. Untuk membangun kembali kelanjutan dari garis merah dan mengembalikan kesimetrisan vermilion, triangle mucomuscular flap dari dry vermillion pada segmen lateral dimasukkan ke dalam triangular space di bawah titik 3; begitu pula dengan triangle mucomuscular flap yang lainnya dari wet vermillion pada segmen medial dimasukkan ke dalam segmen lateral, dan kemudian jahitan diselesaikan (3).
Gambar 8. Hasil setelah operasi menggunakan teknik Modified Mohler (3).
Teknik Modified Mohler berusaha untuk meningkatkan panjang dari elemen bibir medial dengan merekrut jaringan dari kolumela. Teknik ini dapat secara efektif memutar elemen bibir medial dan cupid’s bow ke posisi horizontal, akan tetapi sayatan harus dibuat pada kolumela. Terdapat kritik pada teknik ini yang dimaksudkan sebagai pelanggaran subunit estetika dan pembentukan bekas luka pada struktur anatomi yang sebaliknya dapat terhindar dari bekas luka (10). D.
Tennison Randall
Teknik Tennison Randall pertama kali diperkenalkan oleh Randall. Teknik Tennison Randall dikenal sebagai desain geometris yang membutuhkan pengukuran pra bedah yang tepat. Operasi ini dilakukan secara ketat pada prinsipprinsip matematika, pengukuran dan seni (1,3). Gambar 7. Landmark anatomi dan sayatan dalam teknik Modified Mohler (3).
Landmark dan teknik operasi Tennison Randall. Garis 3-11 diperpanjang secara
39
medial dan siku-siku dengan garis 3-9. Titik 11 biasanya berada di sekitar garis tengah filtrum. Posisinya bervariasi tergantung pada ukuran lateral triangular flap; tidak boleh ditempatkan melewati area filtum yang berlawanan. Titik 7 dan 8 biasanya berada di titik tengah sayatan transversal. Perbedaan antara titik 9 dan titik 7, serta panjang area filtrum pada sisi yang tidak ada celah harus sama dengan jarak yang melewati lateral triangular flap (8-4), atau jarak di sisi yang terdapat celah pada cupid’s bow harus diturunkan untuk menormalkan posisinya. Sayatan pada segmen medial dipotong seluruhnya, kemudian titik 3 dapat diturunkan ke derajat yang sama dengan titik 1; garis 9-3 sama dengan garis 10-16. Lokasi titik 16 disesuaikan dengan jarak antara 4 dan 8. Titik 15 akan bervariasi tergantung pada jaringan yang tersedia dan ukuran flap yang diinginkan, garis 15-4 sama dengan garis 15-16. Titik 15 dan 16 adalah titik yang paling tidak pasti dalam desain dan oleh karena itu seringkali paling sulit ditemukan (3).
tidak alami di sepanjang filtrum pada sepertiga bagian bawah, serta cenderung menghasilkan bibir yang terlalu panjang secara vertikal (1,6).
KESIMPULAN Perbaikan labioskisis unilateral harus mengikuti beberapa prinsip dan menggunakan peraturan “rule of ten”. Masing-masing teknik perbaikan memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan teknik yang tepat tergantung dari pengalaman dan keahlian operator. Rekonstruksi penampilan dengan bekas luka estetik adalah hal yang wajib dipertimbangkan dalam memilih teknik operasi.
REFERENSI 1. Hafiz A, Irfandy D, Rahman S, Rahmadona. Labioplasti dengan Teknik Millard dan Tennison Randall. Jurnal Kesehatan Andalas. 2017;6(2):469-76. Available from http:// jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/723/579 Lip.
2. Walker NJ, Anand S, Podda S. Cleft Treasure Island (FL): Statpearls Publishing; 2020.
3. Li L, Liao L, Zhong Y, Li Y, Xiang L, Li W. Variation trends of the postoperative outcomes for unilateral cleft lip patients by modified Mohler and TennisoneRandall cheiloplasties. Journal of Cranio-Maxillo-Facial Surgery. 2016;44(11):178695. Available from https://doi: 10.1016/j.jcms.2016.08.025
Gambar 9. Landmark anatomi dan sayatan, serta hasil setelah operasi menggunakan teknik Tennison Randall (3).
Keuntungan yang dimiliki teknik Tennison Randall adalah unggul dalam mempertahankan cupid’s bow dengan menurunkan puncak di tepi celah. Kerugian dari teknik ini adalah philtrum dimple yang cenderung menjadi lebih datar dan teknik ini juga dapat membuat bekas luka yang
40
4. Smarius BJA, Haverkamp S, Wilde H, Wijck-Warnaar AV, Molen ABMVD, Breugem CC. Incidence of cleft-related speech problems in children with an isolated cleft lip. Clinical Oral Investigations. 2021;25:828. Available from https://doi.org/10.1007/s00784-020-03367-5 5. Marcus JR, Allori AC, Santiago PE. Principles of Cleft Lip Repair: Conventions, Commonalities, and Controversies. American Society of Plastic Surgeons Journal. 2017;139(3):76672. Available from https://doi.org/10.1097/PRS.0000000000003148 6. lip repair. Head and from
Fuller JC, Shaye DA. Unilateral cleft Operative Techniques in OtolaryngologyNeck Surgery. 2020;14(23):1-7. Available https://doi:10.1016/j.otot.2019.12.011
7. Adetayo AM, James O, Adeyemo WL, Ogunlewe MO, Butali A. Unilateral cleft lip repair: a
comparison of treatment outcome with two surgical techniques using quantitative (anthropometry) assessment. J Korean Assoc Oral Maxillofac Surg. 2018;44(1):8-10. Available from https://doi.org/10.5125/jkaoms.2018.44.1.3 8. Mittermiller PA, Martin S, Johns DN, Perrault D, Jablonka EM, Khosla RK. Improvements in Cleft Lip Aesthetics with the Fisher Repair Compared to the Mohler Repair. Plast Reconstr Surg Glob Open. 2020;8(6):1-6. Available from https://doi.org/10.1097/ GOX.0000000000002919 9. Kim HY, Park J, Chang MC, Song IS, Seo BM. Modified Fisher method for unilateral cleft lip-report of cases. Maxillofacial Plastic and Reconstructive Surgery. 2017;39(12):1-2. Available from https://doi.org/10.1186/s40902-017-0109-1 10. Eismann BS, Kantar RS, Ramly EP, Alfonso AR, Wang M, Flores RL. Qualitative Assessment of Columella Scar Quality After Extended Mohler Unilateral Cleft Lip Repair. The Journal of Craniofacial Surgery. 2019;30(7):2195-96. Available from https://doi. org/10.1097/SCS.0000000000005750
41
Prenatal Counselling on Congenital Talipes Equinovarus Diagnosis: A Narrative Review
Gabriel Julio Caesar I.D. Universitas Hang Tuah Research Team District 5 AMSA-Indonesia 2020/2021 PENDAHULUAN Congenital talipes equinovarus (CTEV) adalah salah satu kelainan sejak lahir terkait sistem musculoskeletal yang paling sering terjadi. Talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin yaitu :talus (pergelangan kaki) dan pes (kaki); equinus (tumit pada plantarfleksi) dan varus (bengkok ke arah dalam atau ke luar) (1) Studi epidemiologi secara konsisten menyatakan bahwa prevalensi kelahiran talipes equinovarus idiopatik yang lebih tinggi pada pria dan pada anak kelahiran pertama (2). Talipes equinovarus diperkirakan terjadi pada 150.000-250.000 kelahiran setiap tahunnya di seluruh dunia. Sekitar 80% dari kasus ini muncul dari negara dengan pendapatan rendah dan menengah (3). Mayoritas dari kasus talipes equinovarus bersifat idiopatik. Faktor genetik juga disebutkan secara tidak langsung, sedangkan faktor lingkungan seperti variasi musim dan imobilitas intrauterus juga dilaporkan di beberapa studi (2).
Gambar 1. Perbandingan antara kaki normal dengan CTEV (1).
Talipes equinovarus dapat mempengaruhi pergerakan. Struktur dan posisi kaki yang terperngaruh dan tidak mendapat perawatan dapat mengakibatkan nyeri dan penurunan mobilitas, yang mengarah pada pembatasan partisipan atau pembatasan aktivitas (2). Diagnosis dari talipes equinovarus dibuat berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi selama masa prenatal, umumnya ketika usia kandungan memasuki 20 minggu (1). Diagnosis pada masa prenatal memerlukan konsultasi pada masa prenatal. Tujuan utamanya adalah menginformasikan dan meyakinkan orangtua bahwa deformitas akibat talipes equinovarus sangat mungkin untuk dirawat dan hasil yang didapat juga sangat baik (4). Meskipun hasil akhir yang didapat dari talipes equinovarus dipercaya baik, apabila abnormalitas
42
ini selama masa kehamilan tidak diketahui, ada beberapa laporan yang menjelaskan HASIL DAN PEMBAHASAN peningkatan resiko pada masa perinatal (5). Deteksi CTEV selama fase prenatal TUJUAN Artikel ini dibuat untuk memberikan pengetahuan bagi pembaca mengenai Congenital Talipes Equinovarus (CTEV), salah satu kelainan bawaan yang sering dijumpai. Melalui artikel ini, harapannya para pembaca dapat menyadari pentingnya konsultasi selama masa prenatal untuk diagnosis dari talipes equinovarus dan treatment selanjutnya setelah kelahiran. METODE Artikel ini ditulis berdasarkan studi literatur. Literatur yang digunakan berupa jurnal penelitian medis. Mesin pencarian jurnal yang digunakan antara lain PubMed dan Mendeley. Keyword yang digunakan antara lain talipes equinovarus, clubfoot, congenital, prenatal counseling, detection, diagnosis.
Deteksi selama fase prenatal dari CTEV dapat dilakukan selama kehamilan oleh tenaga ahli. Mayoritas kasus dapat diidentifikasi pada trimester pertama dan kedua (6). Momentum optimal untuk mendeteksi CTEV menggunakan ultrasonografi adalah saat menginjak 14 hingga 16 bulan usia kehamilan. Terdapat laporan mengenai risiko terjadinya false-positive pada diagnosis antenatal yang berbeda antara 0-40% pada CTEV idiopatik. Tetapi diperkirakan presentase lebih kecil sekitar 10% untuk tingkat deteksi CTEV pada masa prenatal ketika diperiksa dengan ultrasonografi yang dijalankan di pusat kesehatan yang secara khusus terkait. CTEV juga dapat ditemukan bersifat sementara selama masa kehamilan (4). Umumnya, talipes equinovarus lebih sering dideteksi pada masa prenatal apabila kondisinya adalah bilateral atau ada anomali
Pada kasus bilateral, tingkat keparahan sama besarnya baik pada idiopathic talipes equinovarus maupun talipes equinovarus yang terkait dengan anomali lainnya (5). Sebesar 26 % dari kasus CTEV yang telah didiagnosis sejak prenatal memiliki deformitas ringan yang tidak membutuhkan perawatan. Pemeriksaan ultrasonografi secara 3D lebih disarankan karena dapat menjelaskan lebih baik abnormalitas posisi dari tungkai fetus, dan pemeriksaan secara real-time pada pergerakan fetus. Hal ini terbukti berguna untuk konfirmasi arthrogryposis, yang terkadang berkaitan dengan CTEV (4).
Gambar 2. A) Gambaran ultrasound transabdominal 2D dari janin dengan CTEV idiopatik pada kaki kiri saat usia kandungan mencapai 23 minggu. B) Gambaran ultrasound transabdominal 3D dari janin dengan CTEV idiopatik pada kaki kanan saat usia kandungan mencapai 24 minggu (6).
43
Beberapa anak yang mengidap CTEV idiopatik unilateral atau bilateral saat lahir terkadang tidak dicurigai memiliki anomali pada kakinya ketika pemeriksaan trimester kedua. Diagnosis prenatal pada CTEV idiopatik harus melibatkan konsultasi antara orangtua dengan ahli bedah pediatri dan ahli pediatri ortopedik (6).
Kondisi masa perinatal dari CTEV yang terdiagnosis sejak masa prenatal
angka pada kasus yang disertai abnormalitas lainnya yang sebesar 8,8 % (5). Temuan ini penting untuk diketahui karena dapat berguna saat konsultasi dengan pasien terkait risiko yang dapat terjadi setelah kelainan ini didiagnosis pada masa prenatal. Hal ini memungkinkan perencanaan maajemen terapi selama prenatal dan terapi ortopedic postnatal untuk dapat direncanakan dengan baik. CTEV juga tidak selalu kondisi yang ringan dan orang tua harus menyadari bahwa ada risiko pada kehamilan dan efek jangka panjang yang dapat terjadi tergantung pada tingkat keparahannya (5).
Pada 52,3 % kasus CTEV, ditemukan kaitan dengan kelainan struktural lainnya, seperti malformasi otak dan tulang belakang, akhirnya menyebabkan kondisi perinatal yang lebih buruk. Aneuploidy lebih sering ditemukan ketika Pentingnya konseling prenatal untuk ada kelainan struktural lainnya. Aneuploidy manajemen CTEV ditemukan pada 30% kasus CTEV non-idiopatik Momen saat diagnosis dari abnormalitas dan 1,2 % pada kasus CTEV idiopatik. Penelitian janin adalah masa yang cukup sensitif. Tingkat lain juga memperkuat hal ini dengan menyatakan emosi orang tua dan keluarga dapat sulit bahwa pada CTEV idiopatik, risiko terjadinya diprediksi. Berbagai studi menunjukkan bahwa aneuploidy adalah 1,7% dengan kelainan orang tua umumnya menganggap pemeriksaan kromosom seks yang lebih mendominasi. ultrasonografi untuk mengonfirmasi kesehatan Trisomy 18 adalah kelainan seks yang paling janin mereka (4). Mengetahui bahwa anak sering diidentifikasi. Tingkat mortalitas pada mereka yang baru lahir mengalami abnormalitas kelompok dengan kelainan tambahan juga lebih bawaan dapat menyababkan gangguan tinggi yaitu sebesar 64,8% dibanding pada kasus kecemasan pada orang tua (7). CTEV idiopatik yaitu sebesar 1,2% (5). Ketika CTEV terdeteksi beserta tingkat Terbatasnya pergerakan janin di dalam keparahan dari anomali pada janin, deteksi awal cavitas amnion adalah teori yang paling awal dan usia kehamilan berperan paling penting dikemukakan terkait dengan perkembangan pada keputusan para ibu untuk melanjutkan CTEV. Oligohydramnios, ruptur yang berlangsung atau tidak kehamilan mereka. Hal ini menjadi lama pada membran, dan kehamilan anak peran dari dokter untuk meyakinkan para orang kembar juga termasuk faktor risikonya. Pada tua bahwa CTEV bukanlah kecacatan yang kasus ini, sebesar 20 kehamilan anak kembar berjangka panjang. Selain itu dokter juga harus (11.5%) ditemukan komplikasi kelainan ini menginformasikan kepada mereka bahwa untuk pada setidaknya satu janin. Pada studi ini pengobatan perlu kunjungan rutin ke dokter. juga ditemukan bahwa risiko terjadinya CTEV Selain itu, kesabaran dan kepatuhan orang tua meningkat hingga 10-20 % ketika ada firstpasien juga berpengaruh (4). degree relative yang menderita CTEV. Selain itu, untuk alasan yang tidak diketahui, ditemukan Orang tua juga harus bersiap akan peningkatan angka keguguran pada kasus kelahiran bayi mereka, selain itu juga mengerti idiopatik, yaitu 18,1 % dibandingkan dengan aspek dari deformitas untuk mengurangi
44
terjadinya faktor yang tidak diduga (4). Meskipun konseling prenatal tidak akan menurunkan tingkat kecemasan pada keluarga, sebesar 83% dari mereka yang menganggap bahwa konseling prenatal tersebut sangat membantu (7). Konseling prenatal juga memberikan informas yang cukup mengenai opsi perawatan dan hasil yang akan didapat dari melakukan hal tersebut. Salah satu treatment yang digunakan adalah serial casting manipulation yang dilakukan setiap 5-7 hari setelah kelahiran. Bergantung keparahan, umumnya diperlukan 5-7 bebat. Setelah casting selesai, pasien akan mendapatkan hypercorrection, tenotomi Achilles dilakukan dan diikuti dengan 3 minggu dibebat (4). Orang tua harus memahami indikasinya dan diberi informasi bahwa proses penyembuhan tidak berhenti ketika bebat dilepas. Selain itu, konseling prenatal dibutuhkan untuk mempersiapkan hal yang akan datang dan juga meyakinkan mereka mengenai asal dari deformitas tersebut Oleh karena itu, konseling prenatal sama pentingnya dengan persiapan perawatan bahkan sebelum bayinya lahir (4).
2.
3.
4.
5.
6.
7.
KESIMPULAN Konsultasi selaama masa prenatal sangat penting untuk diagnosis dari CTEV. Meskipun pada umumnya CTEV merupakan kelainan yang tidak berbahaya, tetapi ada kemungkinan bahwa terdapat kelainan tambahan yang dapat membawa dampak buruk pada masa prenatal maupun postnatal. Pada sebagian orang tua terkadang muncul masalah psikologis seperti kecemasan dari pihak keluarga saat diagnosa CTEV. Meski demikian, diagnosis selama masa prenatal tetap dianggap berguna oleh para orang tua dan dokter dapat membantu merencanakan terapi dengan baik dan tepat. REFERENSI 1.
Kumari P. Congenital Clubfoot: A Comprehensive Review.
45
Orthop Rheumatol Open Access J. 2017;8(1). Smythe T, Kuper H, Macleod D, Foster A, Lavy C. Birth prevalence of Congenital Talipes Equinovarus in Low and Middle Income Countries: A Systematic Review and Metaanalysis. Trop Med Int Heal (2017. 2017;22(3):269–85. Owen RM, Penny JN, Mayo A, Morcuende J, Lavy CBD. A collaborative public health approach to clubfoot intervention in 10 low-income and middle-income countries: 2-year outcomes and lessons learnt. J Pediatr Orthop Part B. 2012;21(4):361–5. Sarbu I, Socolov D, Carp S, Ciongradi CI. The Prenatal Counseling Importance in Congenital Talipes Equinovarus Treatment. Procedia - Soc Behav Sci [Internet]. 2015;205(May):688–92. Tersedia pada: http://dx.doi. org/10.1016/j.sbspro.2015.09.108 Rowena Sharma, Stephanie Stone, Aisha Alzouebi HH and SK. Perinatal outcome of prenatally diagnosed congenital talipes equinovarus. Prenat Diagn. 2011;31(2):142–145. Hartge DR, Gaertner S, Weichert J. Prenatal detection and postnatal outcome of congenital talipes equinovarus in 106 fetuses. Arch Gynecol Obstet. 2012;286(4):831–42. Mahan ST, Miller PE, May CJ, Kasser JR. Prospective evaluation of parental anxiety related to newborn foot disorder. J Child Orthop. 2019;13(5):500–7.
“Rare but Extraordinary”: Penderita Savant Sindrom dan Autisme dengan Tingkat Mengingat Diatas Rata Rata Vivi Febriana Wulandari (AMSA-Universitas Hang Tuah)
Alfira Mayangsari (AMSA-Universitas Hang Tuah)
PENDAHULUAN Anak dengan congenital syndrome selalu dianggap keterbelakangan dalam hal pendidikan maupun kreativitas, namun siapa sangka terdapat seorang genius yang ternyata memiliki sindrom savant dan autisme sejak lahir. Congenital syndrome adalah sekumpulan gejala yang telah ada pada saat sebelum kelahiran dan ditunjukkan pada keadaan saat lahir, tanpa memandang penyebabnya. Kasus yang banyak ditemukan di dunia medis salah satunya adalah autisme yang ditandai dengan gangguan autistik. Berdasarkan data WHO, tahun 2020 1 dari 54 anak di Amerika Serikat didiagnosis autism spectrum disorder (ASD). Berdasarkan survei terbaru, prevalensi (autism spectrum disorders) ASD di antara anak-anak usia 8 tahun di Amerika Serikat adalah sekitar 16,8 per 1000 anak(1). Dalam beberapa kasus ASD, kemampuan khusus disertai dengan defisit. Keterampilan memori terisolasi adalah contoh kemampuan khusus yang paling sering dilaporkan. Anak-anak ASD dengan kemampuan khusus menunjukkan lebih banyak sifat autistik,(1)
sejumlah perbedaan walaupun sebagian besar penderita savant syndrome adalah penyandang autism(2). Perbedaan utama pada penderita savant syndrome salah satunya yaitu memiliki tingkat mengingat sangat tinggi dan kelainan ini masih belum banyak diteliti di Indonesia. Kelainan bawaan seperti autisme dapat mengganggu pertumbuhan dan pola pikir penderita dari prenatal hingga postnatal(3). Namun, penderita autism bukan berarti merupakan sebuah keterbatasan dalam melakukan segala hal dan memiliki batas dalam menjalankan hidup. Penderita autisme memang terlihat tidak seperti orang pada umumnya, tetapi banyak hal yang dapat dilakukan oleh penderita autisme yang tidak dimiliki orang normal pada umumnya bahkan tidak terpikirkan oleh orang lain. Keberhasilan dalam menjalankan hidup tidak membatasi siapa saja, termasuk penderita dengan congenital syndrome. Setiap orang memiliki waktunya masing masing dalam meraih keberhasilan dan meremehkan orang lain tidak membuat dirinya lebih benar serta stigma mengenai orang dengan kelainan bawaan yang tidak bisa apa apa dan hanya menyusahkan orang lain perlu diubah karena penderita kelainan bawaan adalah manusia yang normal hanya saja dengan bentuk yang lebih spesial yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Perkembangan autisme semakin diperumit dengan adanya konseptualisasinya sebagai "spektrum" yang mencakup banyak gejala, diagnosis tambahan, defisit yang berbeda dan lain sebagainya sehingga dengan adanya generalisasi diagnosis ini menyebabkan masih banyak sindrome lain yang lebih kompleks masih digolongkan sebagai syndrome autism biasa. Sama halnya dengan savant syndrome TUJUAN yang kerap digolongkan dengan syndrome Tujuan krusial dari review artikel ini adalah autism biasa ,padahal savant syndrome memiliki
46
memberi gambaran universal berdasarkan tema “Congenital Disorders: Born to be Unique” terutama mengubah stigma dan memberikan pengetahuan baru terhadap anak dengan congenital disorders khususnya savant syndrome dan autism dan mulai dari prenatal sampai postnatal.
METODE Metode review artikel yang digunakan adalah metode dokumenter. Data yang digunakan dalam penulisan ini data berupa artikel dari media cetak dan media elektronik. Data dokumenter akan diurai dan dianalisis dengan menggunakan analisis isi dokumen (content analysis document).
HASIL DAN PEMBAHASAN Savant syndrome merupakan suatu kondisi yang menunjukkan bakat luar biasa dapat muncul bersamaan dengan kondisi perkembangan spektrum autisme (autisme) yang digambarkan oleh J. langdondown pada 134 tahun yang lalu sebagai kondisi yang spesifik sedangkan 78 tahun yang lalu kanner pertama kali menjelaskan early infantil autism. Penderita sindrom savant dicirikan memiliki bakat/ keterampilan luar biasa dalam satu atau lebih domain (misalnya seni, matematika, musik dan memori), serta adanya beberapa bentuk kondisi perkembangan seperti spektrum autisme. Dalam beberapa penelitian, bakat dan keterampilan penderita savant syndrome jauh melebihi tingkat intelektual atau perkembangan dari kemampuan normalnya.(4). Savant syndrome menjadi fenomena yakni individu dengan gangguan kognitif memiliki satu atau lebih bakat yang luar biasa yang seharusnya tidak sesuai dengan fungsi intelektualnya. Sekitar 50% orang yang memiliki gangguan spektrum autisme (ASD), dan 10–30% orang dengan ASD memiliki bakat khusus(1).
Autism spektrum disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme ialah konstelasi dari gangguan perkembangan saraf awal yang ditandai dengan defisit komunikasi sosial dan perilaku motorik sensorik yang berulang dan seringkali disertai dengan kelainan dalam perkembangan bahasa. Menurut survei terbaru, prevalensi Autism spektrum disorder (ASD) di antara anak-anak usia 8 tahun di Amerika Serikat sekitar 16,8 per 1000 anak; perkiraan prevalensi di Cina lebih rendah dibandingkan di negara lain. Autism spektrum disorder ASD menjadi sindrome gangguan mental yang diwariskan. Sekitar 80% kasus Autism spektrum disorder (ASD) tidak memiliki etiopatologi yang jelas meskipun banyak varian genetik telah diidentifikasi pada ASD sindrom dan non-sindrom. Banyak varian gen risiko Autism spektrum disorder (ASD) dikaitkan dengan konektivitas otak, keseimbangan penghambatan eksitasi, dan fungsi sinaptik dari penderita(2) Sindrom savant sebagian besar muncul pada penderita autism sehingga saling berkorelasi. Autisme adalah serangkaian gejala yang melibatkan kesulitan dalam komunikasi sosial, perilaku berulang / rutin yang tidak biasa, minat yang sangat sempit, dan kepekaan atipikal terhadap rangsangan sensorik. Pada penderita autisme cenderung kesulitan dalam pemprosesan persepsi dan kognitif, sistemisasi, dan perhatian terhadap detail. Keterampilan savant bisa ada di berbagai bidang, kebanyakan ahli menunjukkan keterampilan dalam seni, matematika (aritmatika mental cepat), perhitungan kalender (kemampuan untuk menyediakan hari dalam seminggu untuk tanggal tertentu), dan ingatan akan fakta, peristiwa, angka yang digambarkan dalam tabel berikut(4).
47
mekanik/ visual-spasial. Keterampilan lain lebih jarang terjadi misalnya bahasa (poliglot), atletik atau pengetahuan diluar akademik seperti neurofisiologi, statistik, navigasi atau komputer. Biasanya penderita sindrom savant memiliki satu kemampuan dari contoh diatas, namun tidak sedikit penderita yang memiliki banyak kemampuan sekaligus.(5) Table 1. Hasil Eksperimen Terhadap Kemampuan Penderita Sindrom Savant Pada Beberapa Partisipan(4)
Tokoh penderita savant syndrome dan autism dengan bakat istimewa yang menginspirasi :
Berdasarkan penelitian, satu dari sepuluh 1. Penderita savant syndrome dan seorang orang savant menderita kemampuan savant seniman Stephen Wiltshire yang mampu sehingga 50% kasus savant sindrom memiliki menggambar pemandangan kota autism sebagai disabilitas. Banyak terjadi yang sangat detail dari ingatannya dan kesalahpahaman mengenai savant sindrom didiagnosis memiliki autism. dan autism spectrum disability (ASD) yang 2. Kim Peek, seorang dengan keterbelakangan berkembang di masyarakat selama bertahun mental dan savant syndrome super genius tahun. Pada faktanya IQ rendah pada ASD yang mampu menguasai lima belas bidang belum tentu diikuti dengan sindrom savant, yang berbeda sekaligus. di antaranya namun dalam beberapa kasus IQ nya bisa kemampuan menghafal dan aritmatika lebih tinggi dalam kemampuan intelektualnya. yang kemampuannya jauh diatas rata rata Penderita savant sindrome bisa lebih kreatif dengan menyerap segala isi hanya dengan dan kemampuannya meningkat dari duplikasi sepuluh detik, serta kemampuan bermain ke improvisasi kreasi dan kemampuannya alat musik(4). tidak tiba tiba menghilang ataupun berkurang. Perbedaan sindrome savant dengan gejala mirip autistik pada ASD dapat diketahui dengan munculnya hiperlexia (kemampuan membaca lebih awal) atau sindrome Einstein (kemampuan keterlambatan bicara) atau gangguan penglihatan (Blindisme) pada anak anak karena prognosis dan hasil yang sangat berbeda. Didefinisikan Sindrom Savant adalah kondisi Gambar 1. Kim Peek langka namun spektakuler di mana penyandang disabilitas ini memiliki beberapa kejeniusan yang KESIMPULAN diatas rata rata. Kondisi sindrom savant dapat Congenital syndrome merupakan muncul sejak lahir dan terlihat jelas pada masa keterbelakangan bawaan yang memiliki berbagai kanak-kanak (congenital) atau berkembang macam jenis, diantaranya adalah sindrom savant setelah cedera atau penyakit cranial nervus dan autism. Banyak terjadi kesalahpahaman system (CNS). Biasanya keterampilan terjadi mengenai savant sindrom dan autism spectrum di lima bidang umum-musik, seni, menghitung disability (ASD) yang berkembang di masyarakat kalender, matematika atau keterampilan karena generalisasi gejala, deficit, dan patologis
48
penyakit lebih banyak diarahkan hanya pada autism dan sedikit pengetahuan mengenai sindrom savant. Sindrom savant merupakan kondisi sindrom yang luar biasa dicirikan memiliki bakat/ keterampilan luar biasa dalam satu atau lebih domain (misalnya seni, matematika, musik dan memori), serta adanya beberapa bentuk kondisi perkembangan seperti spektrum autism. Sindrom savant sangat dikaitkan erat dengan autism karena sindrom savant terjadi 10% pada gangguan autis atau setara dengan 531 savant pada 5400 anak autis.sedangkan Autism spektrum disorder (ASD) atau gangguan spektrum autisme ialah konstelasi dari gangguan perkembangan saraf awal yang ditandai dengan defisit komunikasi sosial dan perilaku motorik sensorik yang berulang dan seringkali disertai dengan kelainan dalam perkembangan bahasa. Tokoh tokoh terkenal yang mengguncang dunia dengan dengan adanya sindrom savant dan autism ini salah satunya adalah Kim Peek yang dapat menguasai lima belas bedang dengan kemampuan mengingatnya yang luar biasa genius sehingga dengan adanya contoh nyata ini Setiap orang memiliki waktunya masing masing dalam meraih keberhasilan dan meremehkan orang lain tidak membuat dirinya lebih benar serta stigma mengenai orang dengan kelainan bawaan yang tidak bisa apa apa dan hanya menyusahkan orang lain perlu diubah karena penderita kelainan bawaan adalah manusia
5. 6.
7.
yang normal hanya saja dengan bentuk yang lebih spesial yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
REFERENSI 1. 2.
3.
4.
Daniel E, Menashe I. Exploring the familial role of social responsiveness differences between savant and nonsavant children with autism. Sci Rep. 2020;10(1). Song J, Yang X, Zhou Y, Chen L, Zhang X, Liu Z, et al. Dysregulation of neuron differentiation in an autistic savant with exceptional memory. Mol Brain. 2019;12(1). Lestari FA, Mariyati LI. Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome Di Sidoarjo. Psikologia J Psikol. 2016;3(1). Hughes JEA, Ward J, Gruffydd E, Baron-Cohen S,
49
Smith P, Allison C, et al. Savant syndrome has a distinct psychological profile in autism. Mol Autism. 2018;9(1). Treffert DA. Savant syndrome: Realities, myths and misconceptions. J Autism Dev Disord. 2014;44(3). Takahata K, Kato M. Neural mechanism underlying autistic savant and acquired savant syndrome. Vol. 60, Brain and Nerve. 2008. Kapur N. Paradoxical functional facilitation and recovery in neurological and psychiatric conditions. In: The Paradoxical Brain. 2011.
Best Poster : of the volume
50
Puspa Gracella Tambunan (AMSA-Universitas Tarumanegara)
Daniel (AMSA-Universitas Tarumanegara)
S
ang Pencipta dengan luar biasa menciptakan setiap dari kita dengan keunikan dan tujuan mas-
ing-masing. Baik unik dalam sifat, penampilan, maupun penyakit yang unik nan langka yang menjadikannya istimewa. Salah satunya disebut dengan Methemoglobinemia Congenital yang membuat warna kulit sang penderita menjadi tidak seperti manusia biasanya!
51
The Immune Function of Individuals with Down Syndrome in Association with COVID-19 Risk Factor Venna Regita Cahyani (AMSA-Universitas Hasanuddin) Down syndrome adalah salah satu kelainan kongenital yang disebabkan oleh kelebihan kromosom ataupun salah satu bagian dari kromosom 21 (trisomi 21). Trisomi 21 ini mengakibatkan terjadinya abnormalitas perkembangan kromosom dan keseimbangan genetik tubuh sehingga dapat terjadi gangguan fungsi fisiologis maupun karakter fisik, mental, dan kemampuan intelektual yang dimiliki individu tersebut. Sebagian besar kasus trisomi
dari hippocampus dan cerebellum yang salah satu akibatnya adalah hipotonia. Beberapa abnormalitas juga dapat terjadi pada sistem lainnya, seperti disfungsi sistem imun tubuh (2) . Pada masa pandemik ini, peran sistem imun tubuh sangatlah penting untuk mencegah terjadinya infeksi Corona virus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh virus SARSCoV-2. Normalnya, sistem imun tubuh akan merespon infeksi virus dengan mengeluarkan
21 ini disebabkan oleh kegagalan pemisahan kromosom saat pembelahan meiosis dari oosit, yang disebut juga dengan non-disjunction. Etiologi lainnya dikaitkan dengan adanya peristiwa translokasi yang melibatkan kromosom 21 dan berakibat pada melekatnya lengan dari kromosom 21 pada kromosom lainnya, serta adanya kelebihan kromosom 21 pada beberapa sel, namun sel tubuh lainnya hanya memiliki dua pasangan kromosom yang disebut tipe mosaik (1). Manifestasi klinis yang ditimbulkan berkaitan dengan gangguan fungsi sistem yang terlibat, seperti kelainan neurologi, kardiovaskuler, gastrointestinal, serta karakteristik wajah yang khas. Kelainan kardiovaskuler dapat bermanifestasi menjadi Congenital Heart Defects (CHD) yang juga merupakan faktor utama morbiditas dan mortalitas dari penderita down syndrome. Pada traktus gastrointestinal dapat ditemukan kelainan struktur seperti atresia usus halus, annular pancreas, dan abnormalitas lainnya. Kelainan hematologik meliputi neutrofilia, trombositopenia, polisitemia yang biasanya terlihat pada tiga minggu pertama kehidupan. Sedangkan, gejala neurologi yang ditimbulkan dapat berupa mengecilnya volume
antibodi. Sel B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen virus tersebut. Proses imunitas selular juga terjadi dengan bantuan sel limfosit T, di mana respon imun adaptif dilakukan oleh sel T helper dan proses pembersihan dari sel yang terinfeksi virus dilakukan oleh sel T sitotoksik (3). Adanya gangguan pada sistem imun tubuh penderita down syndrome dikaitkan dengan ekspresi gen yang mengatur fungsi imun pada kromosom 21 dalam seperti ITGβ2, IFNAR1, IFNGR2, dan ICOSL. Selain adanya overekspresi dari reseptor interferon (IFNR) pada kromosom 21, ditemukan adanya hiperaktivasi sinyal interferon (IFN) yang dapat terlihat dengan induksi berlebihan sinyal JAK/STAT dan IFNstimulated genes (ISGS) sehingga akan menyebabkan peningkatan dari sitokin dan kemokin dalam tubuh. Hiperaktivitas IFN yang terjadi pada penderita
52
down syndrome awalnya diduga memiliki manfaat pada peningkatan respon antiviral yang akan mencegah terjadinya penyebaran virus. Namun, virus SARS-CoV-2 memiliki gen yang mengkode beberapa protein yang justru akan menghambat kaskade sinyal IFN. Hal ini mengakibatkan peningkatan penyebaran virus melalui proses replikasi yang sangat cepat dan adanya evasi imun. Peningkatan produksi sitokin dan kemokin yang terjadi juga akan menginduksi respon sel T virus-spesific yang lebih kuat pada paru-paru sehingga terjadi pneumonitis dan pembersihan virus. Mekanisme tersebut juga menyebabkan deplesi dari sel T CD4 di dalam tubuh. Disfungsi juga terjadi pada sel T regulator yang harusnya berfungsi untuk menekan sel T CD4 dan sel CD8, namun pada kondisi ini tidak mampu menjalankan tugasnya sehingga menyebabkan respon dari sel T dan produksi sitokin akan berlangsung terus menerus saat terinfeksi SARS-CoV-2 (4). Infeksi SARS-CoV-2 pada umumnya seringkali diikuti dengan infeksi sekunder seperti pneumonia. Pada penderita down syndrome, peningkatan sinyal IFN tipe 1 dan produksi sitokin yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi bakteri sekunder yang disebabkan oleh gangguan fungsi sel makrofag dan neutrofil. Salah satunya adalah sitokin IL-10 yang merupakan sitokin anti-inflamasi, di mana overproduksi dari IL-10 juga akan meningkatkan
banyak kasus, CHD ini membutuhkan terapi operatif yang dilakukan ketika usia masih tergolong bayi ataupun anak-anak. Pada penderita down syndrome dengan CHD tidak terkoreksi akan menjadi faktor risiko berat COVID-19. Abnormalitas struktur saluran napas atas dan hipotonia akan meningkatkan risiko infeksi, disfagia, dan obstruksi saluran napas. Salah satu manifestasi paling umum terjadi pada penderita down syndrome adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang dapat menyebabkan chronic intermittent hypoxia dan asidosis respiratorik sehingga terjadi hipertensi pulmonal dan menjadi faktor risiko dari eksaserbasi COVID-19 (4). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa gangguan fungsi imun disertai faktor risiko lainnya dapat menjadi faktor risiko perburukan gejala COVID-19 pada penderita down syndrome sehingga diperlukannya penanganan serta pemantauan yang lebih ketat.
semakin banyaknya produksi sitokin pro-inflamasi lainnya. Efek supresi yang ditimbulkan tersebut yang akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder pada penderita down syndrome. Peran IL-10 ditemukan pada infeksi pneumococcal pneumonia dan tuberculosis sehingga pada penderita down syndrome yang terkena COVID-19 memilki risiko yang lebih tinggi mengalami infeksi paru sekunder oleh bakteri (4). Faktor risiko eksaserbasi COVID-19 lainnya dapat ditemukan pada penderita down syndrome, di mana berkaitan dengan kelainan kardiovaskuler yang dimiliki seperti CHD. Pada
Alam A. Immune response in COVID-19: A review. Vol. 13,
REFERENSI 1. MacLennan
S. Down’s syndrome. InnovAiT Educ Inspir
Gen Pract [Internet]. 2020 Jan 26 [cited 2021 May 4];13(1):47–52. Available from: http://journals.sagepub. com/doi/10.1177/1755738019886612 2.
Chung EK. Down syndrome (Trisomy 21). In: The 5-Minute Pediatric Consult, 8th Edition [Internet]. Wolters Kluwer Health; 2018 [cited 2021 May 4]. p. 306–7. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526016/
3.
Chowdhury MA, Hossain N, Kashem MA, Shahid MA,
Journal of Infection and Public Health. Elsevier Ltd; 2020. p. 1619–29. 4.
Espinosa JM. Down Syndrome and COVID-19: A Perfect Storm? Vol. 1, Cell Reports Medicine. Cell Press; 2020. p. 100019.
53
Skripsi : Skrining Prakonsepsi Sebagai Upaya Pencegahan Dini Kelainan Kongenital Akbar (AMSA-Universitas Tadulako) Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang yang terlahir di Dunia. Kesenjangan dalam bidang kesehatan untuk penderita kelainan kongenital sangat banyak ditemukan. Kelainan kongenital merupakan suatu kondisi yang tidak normal baik secara struktur maupun fungsi. Lebih dari 8 juta bayi di seluruh Dunia terlahir dengan kelainan bawaan. Di Amerika Serikat setiap tahunnya sekitar 120.000 bayi lahir disertai dengan kelainan bawaan. Kelainan bawaan ini merupakan salah satu penyebab kelahiran prematur dan bahkan penyebab utama dalam kematian bayi. Sebanyak 2,68 juta kematian bayi disebabkan oleh adanya kelainan bawaan. (1) Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (2018), mengeluarkan bulentin terkait kelainan bawaan. Dalam buletin tersebut menyatakan bahwa prevalensi bayi yang mengalami kelainan bawaan di Indonesia masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang berada di Asia Tenggara yaitu sebesar 59,3 per 1.000 kelahiran. Kejadian bibir sumbing merupakan salah satu prevalensi yang tinggi sebesar 0,08% atau 8 dari 100 anak yang lahir. Kelainan bawaan dapat dideteksi sebelum kelahiran dan juga setelah kelahiran. Bayi yang lahir bisa mengalami kelainan organ dan juga bisa mengalami kelainan fungsi, namun ada juga yang bisa mendapatkan keduanya. Bayi dengan kelainan bawaan mempunyai angka harapan hidup yang bervariasi tergantung pada bagian organ yang m e n g a l a m i k e l a i n a n . Dalam proses terjadinya
54
kelainan bawaan dapat terjadi dalam setiap fase kehamilan. Pada umumnya kelainan terjadi pada fase trisemester pertama saat proses pembentukan organ tubuh dimulai. Sustainable Development Goals (SDG) pada tahun 2030 menetapkan Kesehatan Ibu, Anak, dan termasuk di dalamnya Kesehatan Reproduksi dapat diakses secara universal. Kesehatan reproduksi menjadi awal perkembangan kesehatan ibu dan anak yang dapat dipersiapan sedini mungkin dan bahkan sebelum pernikahan dilakukan. Dalam masa prakonsepsi, kehamilan maupun menyusui merupakan rangakain fase kehidupan yang memerlukan perhatian khusus terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi dan gizi. Pemenuhan gizi yang baik semasa prakonsepsi, kehamilan maupun menyusui akan membawah pengaruh besar bagi pertumbuhan janin dalam kandungan dan tumbuh kembang bayi setelah dilahirkan. Kelainan merupakan suatu dengan berbagai kongenital dapat
kongenital atau bawaan bentuk kelainan yang terjadi faktor penyebab. Kelainan menyebabkan kondisi tidak
normal baik pada organ maupun fungsi. Kelainan Kongenital juga dapat mempengaruhi kualitas hidup bagi penderita maupun angka harapan hidup. Angka harapan hidup pada penderita dengan kelainan bawaan dipengaruhi pada struktur bagian tubuh yang mengalami kelainan. Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Kongenital: a) Faktor Genetik Salah satu faktor utama yang mempengaruhi kelainan bawaan adalah faktor gene-
tik. Bayi yang mewarisi gen dengan kelainan dapat menyebabkan terjadinya mutasi genetik pada saat perkembangan janin. Dua kali lipat peningkatan terjadinya kelainan bawaan disebabkan adanya pernikahan sedarah. Pernikahan sedarah juga dapat meningkatkan resiko kematian pada neonatal, anak, gangguan intelektual, dan disabilitas mental.
asam folat per hari. c) Komsumsi Obat-obatan Pada masa kehamilan komsumsi obat harusnya berdasarkan atas resep dari dokter. Dalam khasiatnya obat bisa meringankan gejalah suatu penyakit namun bisa juga menyebabkan dampak yang sangat fatal utamnya pada ibu yang sedang hamil. Komsumsi obat Ondasteron sebagai obat anti muntah pada trisemester pertama kehamilan memiliki resiko yang tinggi untuk melahirkan bayi dengan kelainan bawaan pada jantung dan celah orofasial.
b) Satus Gizi Makanan yang dikomsumsi seorang wanita saat sebulum hamil, saat hamil, dan setelah melahirkan sangat mentukan tingkat kesehatan janin dan tumbuh kembang bayi setelah dilahirkan. Saat kehamilan berlangsung janin mendapat nutrisi
d) Usia Orang Tua Dalam perjalan kelainan bawaan salah satu faktor yang bisa
penuh dari plasenta yang menempel pada rahim wanita. Penelitian yang dilakukan di Turki menemukan bahwa bayi dengan riwayat intrauterine growth retardation (IUGR) menyebabkan kelainan dengan celah langit-langit mulut (Cleft Palate) dan celah bibir (cleft lip palate). Ibu hamil yang tidak mendapatkan nutrisi yang baik dapat menigkatkan resiko terjadinya IUGR yang menyebabkan perkembangan janin menjadi tidak maksimal. (2)
menjadi penyebabnya adalah usia ibu dan usia ayah yang sudah tidak mudah lagi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Norwegia, ditemukan adanya hubungan antara usia orang tua dengan kejadian cleft palate. (4) Peningkatan usia ayah meningkatkan resiko timbulnya Cleft palate, hernia diafragma, dan kelainan pada jantung janin, hal tersebut didapatkan dari hasil penelitian yang mengunakan data dari The National Birth Defects Prevention Study. Usia ayah yang tua pada saat pembuahan diakaitkan dengan meningkatnya mutasi DNA dan aberasi
Kebutuhan nutrisi pada ibu hamil sangat diperlukan utamnya adalah iodium dan asam folat. Kekurangan komsumsi iodium dan asam folat dapat meningkat resiko terjadinya kelainan bawaan neural tube defect. Kadar asam folat yang dibutuhkan oleh ibu hamil berkisar 400 mikrogram setiap harinya. (3) Mengkomsumsi makanan seperti kacang-kacangan, buah jeruk, brokoli, dan bayam merupakan salah satu sumber untuk memenuhi kebutuhan asam folat. Selain dari sumber makanan asam folat juga dapat diperoleh melalui mengkomsumsi satu tablet
kromosom dalam sperma. e) Lingkungan Pada penelitian yang dialakukan di Brazil, ditemukan hubungan antara ibu yang merokok dengan timbulnya cleft lip palate pada janin. Mekanisme rokok dapat menyebabkan terjadinya kelainan bawaan diduga bahwa paparan komponen rokok pada janin dalam kandungan dapat menginduksi gen dengan jalur mekanisme tertentu, seperti glutathione S-transferase theta (GSTT1) atau nitric oxide synthase-3 (NOS3). GSTT1 dapat menyebab
55
kan terjadinya defisiensi pada jalur detoksifikasi yang menimbulkan kelainan bawaan. (5) Selanjutnya penelitian yang dilakukan di China juga menemukan bahwa ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok dari lingkungannya memiliki resiko lebih tinggi melahirkan janin dengan kelainan jantung. (6) Seiring dengan berkembangnya saranan teknologi khususnya kesehatan maka kelainan bawaan sudah dapat dideteksi selama masa kehamilan dan juga setelah bayi dilahirkan. Untuk penangana juga dapat dilakukan semasa kehamilan berlangsung. Namun dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat ternyata belum cukup mampu untuk menagani kelainan bawaan secara maksimal. Banyak faktor yang bisa menyebabkan kenapa penangan kelainan bawaan belum maksimal salah satunya adalah tidak maksimalnya penanganan di saranan kesehatan tingkat pertama serta kurangnya sosialisasi semasa prakonsepsi, kehamilan, dan saat menyusui. Berdasarkan permasalah di atas maka penulis memberikan sebuah solusi yaitu SKRIPSI: Skrining Prakonsepsi Sebagai Upaya Pencegahan Dini Kelainan Kongenital. Prakonsepsi merupakan suatu proses perawatan skrining awal dalam bentuk intervensi biomedis, perilaku, dan pencegahan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kemungkinan memiliki bayi yang sehat. Untuk dapat meningkatkan kesehatan prakonsepsi maka diperlukan adanya skrining prakonsepsi. Mengoptimalkan skrining prakonsepsi sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan perempuan dan laki-laki selama masa reproduksinya baik sehat secara fisik, psikologis, dan juga sosial. Skrining Prakonsepsi memiliki banyak manfaat seperti:
56
a) Menurunkan angka kematian ibu dan bayi b) Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan c) Mencegah terjadinya komplikasi dalam kehamilan dan persalinan d) Mencegah kelahiran mati, prematur, dan bayi dengan berat lahir rendah e) Mencegah terjadinya kelainan bawaan atau cacat f) Mencegah terjadinya infeksi pada neonatal g) Mencegah terjadinya stunting sebagai akibat dari masalah nutrisi ibu selama hamil Dalam mengoptimalkan skirining prankonsepsi diperankan oleh banyak elemen yang terlibat yaitu poli kesehatan ibu dan anak, laboratorium, poli gizi, dan poli psikolog. Selanjutnya diperlukan juga peran dari tingkat pertama yaitu optimalisasi kerja dari kader posyandu. Peran dari kader posyandu dalam optimalisasi skrining prakonsepsi yaitu mengencarkan sosialisasi terkait dengan pentingnya skrining prakonsepsi dalam upaya pencegahan dini terjadinya kelainan bawaan. Selanjutnya kader posyandu mengarahkan bagi orang-orang yang telah melakukan pernikahan dan mempersiapkan kehamilan untuk segerah ke fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk dilakukan skrining. a) Poli kesehatan ibu dan anak Dalam poli kesehatan ibu dan anak , pasien atau peserta akan di anamnesis terkait hari pertama haid dan hari terakhir haid, rencana untuk melakukan pernikahan, dan menanyakan terkait keluhan yang dirasakan. Tujuan anamnesis terkait masalah haid salah satunya untuk menentukan masa subur
seorang wanita. Di poli keshatan ibu dan anak juga dilakukan pengukuran berat badan, tekanan darah, dan pengukuran lingkar lengan atas. b) Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang paling sering dilakukan pada wanita adalah pemeriksaan urin dan juga kadar hemoglobin. Untuk laki-laki biasanya dilakukan pemeriksaan sperma untuk melihat apakah terdapat kelainan atau tidak. c) Poli gizi
ini menjadi sangat penting seabagai sumber informasi awal terkait orang-orang yang telah melakukan pernikahan dan persiapan untuk kehamilan agar segerah di arahkan untuk melakukan skrining prakonsepsi. Dengan adanya pengoptimalan kerja sama antara kader posyandu dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama diharapkan bisa menjadi upayah dini dalam mencegah dan menekan angka terjadinya kelainan bawaan. REFERENSI 1.
Dalam melakukan skrining gizi dilihat bagaimana status pasien apakah layak untuk hamil atau tidak. Jika dinyatakan layak untuk hamil maka diberikan suplemen asam folat dan juga di anjurkan untuk menjaga nutrisi sebelum kehamilan, saat hamil, dan juga setelah bayi terlahir. Peranan gizi sangat penting dalam mencegah terjadinya kelainan bawaan. Gizi yang baik juga akan memberikan dampak kesehatan yang baik pada ibu dan juga anak.
WHO. 2018. World Birth Defects Day.
http://www.who.int/life-
course/news/events/world-birthdefects-day-2018/en 2.
Altunhan H, Annagür A, Konak M, Ertugrul S, Örs R, Koç H. The incidence of congeni-
tal
anomalies associated with
cleft
palate/cleft lip and palate
in
neo-
nates in the Konya region, Turkey. Br J Oral Maxillofac Surg. 2012;50(6):541–4.
a) Poli psikolog
3.
Gool JD Van, Hirche H, Lax H, Schaepdrijver L De. Folic acid and primary prevention of neural tube defects: A re-
Peranan psikolog pada prakonsepsi adalah untuk mempersiapkan pasien secara mental dan fisik untuk hamil dengan tujuan memperisapkan ibu dengan perubahan-perubahan yang akan di alami selama masa ke-
view. Reprod Toxicol. 2018;80(March):73–84 4.
Berg E, Lie RT, Sivertsen Å, Haaland ØA. Annals of Epidemiology Parental age and the risk of isolated cleft lip: a registry-based study. Ann Epidemiol. 2015;25(12):942– 947.e1.
hamilan. Dalam konsultasi psikolog ini nantinya akan dijelaskan terkait peribahan yang akan di alami selama masa kehamilan trimester pertama, trimester kedua, dan trimester ketiga.
5.
Martelli DRB, Coletta RD, Oliveira EA, Swerts MSO, Rodrigues LAM, Oliveira MC, et al. Association between maternal smoking, gender, and cleft lip and palate. Braz J Otorhinolaryngol. 2015;81(5):514–22.
6.
Liu X, Nie Z, Chen J, Guo X, Ou Y, Chen G, et al. Does maternal environmental tobacco smoke interact with
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa skrining prakonsepsi bisa di optimalkan dengan adanya kerja sama yang baik antara kader posyandu dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang secara sarana fasilitas memadai untuk dilakukan skrining prakonsepsi. Peran kader posyandu dalam hal
social-demographics and environmental factors on congenital heart defects? *. Environ Pollut. 2018;234:214-22.
57
“Cerebral Palsy merupakan salah satu kelainan kongenital y cukup jarang ditemui dan bisa dikatakan sebagai kondisi yang
nis karena efeknya dalam jangka panjang atau seumur hidup
Anak dengan Cerebral Palsy akan mengalami gangguan
pergerakannya. poster deformity ini dapat meningkatk ClubfootDiharapkan is a common occu-
getahuan Cerebral Palsy dengan SA pyingmasyarakat the first seputar position as the most often
congenital disorder in Indonesia. However, public knowledge about the disorder is still limited nevertheless on how to prevent the incident, which is the aim of the poster. With BREAKTIME, the possibility of occurrence can be further reduced.
Lizzeth Natalie Chandra (AMSA-Universitas Trisakti)
58
yang kro-
p.
n dalam
-an penADC.” n r e y
59
Epigallocatechin-3-gallate and Down Syndrome: A Cognitive Perspective
Aileen Alessandra Suryohusodo Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Research Team District 2 AMSA-Indonesia 2020/2021
PENDAHULUAN Down Syndrome Down syndrome (DS) merupakan penyakit kongenital yang disebabkan adanya kelebihan kromosom 21 dan merupakan penyebab paling umum untuk disabilitas intelektual yang diturunkan.(1) Angka kelahiran hidup dengan DS sekitar 1 dari 732 orang. Prevalensi DS pada populasi adalah 1 dari 1000 orang. Belakangan ini, pengobatan klinis maupun bedah mengalami perkembangan signifikan untuk mengatasi masalah kardiak, sensorik, endokrin, dan hematologis yang dialami pasien DS. Namun, komponen neurodegeneratif pada DS merupakan satu-satunya yang masih menjadi misteri dan memerlukan inovasi baru untuk mengatasinya. Hingga sekarang, tidak terdapat intervensi yang efektif untuk menangani masalah kognitif pada penderita DS.(2)
Defisit Kognitif Syndrome
pada
Down
Neuropatogenesis defisit kognitif pada DS mencakup disfungsi mitokondria, stress oksidatif, neurotransmisi, dan
neuroplastisitas. Faktor-faktor tersebut berkontribusi dalam neuropatogenesis DS dimana mengubah neurogenesis, neurotransmisi, dan neuroplastisitas.(3) Gangguan pada neurogenesis berkontribusi dalam defek perkembangan saraf sehingga hal ini mengakibatkan disabilitas kognitif pada DS. Selain itu, proliferasi sel pada girus dentate, struktur yang penting untuk kognisi dan ingatan, sangat berkurang. Berkurangnya proliferasi ini juga diikuti oleh kegagalan untuk berdiferensiasi. Lalu, jumlah neuron juga berkurang dan jumlah astrosit bertambah. Selain itu, terdapat pergeseran diferensiasi dari neuronal menjadi astroglial dan oligodendroglial. Berkurangnya neurogenesis merupakan kontributor utama dalam kegagalan perkembangan saraf sehingga menyebabkan disabilitas kognitif pada DS. Beberapa mekanisme berperan dalam kegagalan proliferasi dan diferensiasi neuronal pada DS, yaitu karena disregulasi genetik dan epigenetik, dan disfungsi mitokondria. (3) Selain itu, gangguan pada neurotransmisi dapat terjadi dimana kegiatan γ-aminobutyric acid (GABA),
60
neurotransmitter inhibitor utama manusia, terlalu berlebihan dikarenakan alterasi gen-gen tertentu sehinggamengakibatkan defisit kognitif dan pembelajaran. Penurunan transmisi glutamatergik juga berperan dalam penurunan kognitif DS.(3) Terakhir, gangguan neuroplastisitas pada DS berhubungan dengan defisit kognitif dan adanya ketidaksesuaian struktur dan fungsi saraf, seperti terganggunya maturasi dendritik, penurunan panjang dendritik, aberasi morfologi, defisit pada jumlah dendritic spines, dan penurunan kontak sinaptik. Gangguan fungsi astrosit dalam memediasi sinaptik juga dapat menurunkan densitas sinaptik dan menghasilkan struktur dan fungsi dendritic spine yang tidak normal.(3)
TUJUAN Review article ini membahas potensi epigallocatechin-3-gallate (EGCG) dalam meringankan defisit kognitif pada penderita Down Syndrome (DS). DS merupakan penyakit kongenital disabilitas intelektual yang paling sering, namun belum ada solusi untuk mengatasi hal tersebut. Maka dari itu, peneliti ingin menyoroti efek EGCG ini ke bagian otak yang berperan dalam fungsi kognitif sehingga berpotensi memperbaiki fungsi kognitif pasien DS dari penelitian yang sudah dilaksanakan.
61
METODE Pencarian literatur dilakukan pada 2 database, yaitu Pubmed dan Proquest dengan kata kunci utama “Down Syndrome” dan “epigallocatechin-3gallate”. Artikel yang digunakan dalam kurun 10 tahun terakhir dan berbahasa Inggris.
HASIL DAN PEMBAHASAN Epigallocatechin-3-gallate (EGCG) Epigallocatechin-3-gallate (EGCG) merupakan catechin utama pada daun teh hijau (40-50% total catechin) yang memiliki efek inhibisi kuat dan selektif pada aktivitas kinase di gen dual-specificity tyrosine-(Y)phosphorylation-regulated kinase 1A (DYRK1A). (4) Gen DYRK1A merupakan gen yang mengekspresikan serinethreonine kinase dan terletak di lengan panjang kromosom 21. Gen ini telah disangka berkontribusi secara besar terhadap fenotip kognitif DS. Penurunan ekspresi gen DYRK1A pada tikus heterozigot menyebabkan mikrosefali, menghambat neuritogenesis sehingga menyebabkan penurunan panjang lengan dan kompleksitas dendritik. Tetapi, overekspresi DYRK1A pada tikus transgenik juga dapat menghasilkan penurunan kognitif dan percabangan dendritik yang kurang kompleks.(4,5)
Epigallocatechin-3-gallate (EGCG) dan Down Syndrome
recognition memory menurun hingga baseline.(4)
EGCG dapat melewati sawar darah otak sehingga memberikan berbagai efek.(6) Pada penelitian sebelumnya, pemberian prenatal EGCG dapat memperbaiki alterasi otak pada tikus trasngenik yang mengekspresikan gen Dyrk1A secara berlebihan dan dapat merestorasi level protein di hipokampus yang berhubungan dengan plastisitas sinaptik.(4) Pada penelitian lain, kelompok tikus yang diadministrasikan ekstrak teh hijau yang mengandung 45% EGCG secara terus menerus dapat meningkatkan pembelajaran dan ingatan di tikus dengan DS.(6)
Pada penelitian lainnya, kombinasi terapi kognitif dan EGCG yang diberikan pada pasien DS memiliki performa yang lebih baik daripada kelompok placebo atau terapi kognitif sendiri. Setelah 12 bulan, daya ingat dan fungsi eksekutif lebih baik pada kelompok dengan EGCG dan terapi kognitif. Lalu, hal ini diikuti dengan peningkatan performa pada tugas harian yang memerlukan membaca. Hal ini memberikan kemampuan pada pasien DS untuk melakukan kegiatan literasi dasar dengan baik dan dapat menjadi lebih mandiri, seperti membaca jam, instruksi, catatan kecil, dan lain-lainnya. Pada bulan ke-12, kelompok yang diberikan terapi kognitif dan EGCG mengalami penurunan persentase jawaban yang benar pada immediate visual memory recognition task yang lebih sedikit dibandingkan kelompok placebo dengan p=0.039. Selain itu, kelompok kombinasi EGCG dan terapi kognitif memiliki skor lebih baik dan waktu yang lebih singkat pada inhibition task dengan p=0.04. Lebih dari itu, pada kelompok EGCG dan terapi kognitif, terdapat peningkatan
Pada penelitian pilot yang dilaksanakan oleh Torre et al., EGCG memberikan efek yang signifikan terhadap memori episodik dan memori kerja setelah pemberian selama 3 bulan. Pada individu yang diberikan intervensi EGCG, mereka menunjukkan jumlah jawaban benar pada latihan visual memory recognition lebih banyak daripada kelompok placebo dengan p=0.04 (P<0.05). Analisis juga menunjukkan perbaikan pada kecepatan psikomotor dan fungsi sosial yang diukur dengan Kidscreen-27 Quality of Life Index (p=0.05). EGCG meningkatkan akurasi jawaban pada visual memory recognition dan memori kerja spatial dimana hal ini mendukung efek positif EGCG terhadap sistem prefrontal, terutama korteks ventromedial, ventrolateral, dan dorsolateral. Namun, efek ini tidak permanen. Tiga bulan setelah pemberhentian administrasi EGCG, efek positif ini menurun dan jumlah jawaban benar pada immediate pattern
pada perilaku adaptif pada kemampuan akademik fungsional dengan p=0.002. Tetapi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan sosial dan kualitas hidup. Pada kelompok yang mendapatkan EGCG dan terapi kognitif, mereka memiliki daya ingat yang lebih baik juga pada immediate recall of verbal information dengan p=0.027. Pada resting-state fMRI, dapat dilihat pula adanya kemajuan dalam konektivitas fungsional regional
62
dengan peningkatan fungsi integrasi pada jaringan kortikal dan subkortikal, termasuk korteks frontal, Wernicke area, precuneus, occipito-temporal dan korteks somatosensorik, dan basal ganglia pada kelompok EGCG dan terapi kognitif. Selain itu, pada noninvasif TMS, kelompok yang diberikan EGCG dan kognitif training memfasilitasi intrakortikal yang mendekati normal. Hal ini diperkirakan untuk berkontribusi dalam peningkatan kemampuan kognitif juga.(6)
Keamanan EGCG EGCG ini aman digunakan karena tidak ada efek samping yang merugikan. EGCG tidak mengganggu fungsi hepar yang dibuktikan dengan kadar AST dan ALT dalam batas normal. Namun, EGCG ada kemungkinan untuk menginduksi stress oksidatif karena perannya di reaksi redoks dan formasi kuinon. Tetapi, belum ada bukti yang mendukung hal tersebut dimana subjek yang diadministrasi EGCG tidak mengalami elevasi biomarker stress oksidatif (oxLDL dan aktivitas GSH-Px), melainkan terdapat penurunan oksidasi lipid.(4)
KESIMPULAN Down syndrome merupakan masalah yang masih marak di seluruh dunia dengan belum tersedianya intervensi yang efektif, terutama dalam mengatasi defisit kognitif. Namun, berdasarkan penelitian yang sudah ada, EGCG memiliki potensi yang besar dalam mengatasi masalah ini dan memiliki prospek baik. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menyelidiki efek dan
63
efektivitas jangka panjang.
REFERENSI 1. Bull M. Down Syndrome. New England Journal of Medicine. 2020;382(24):2344-2352.
2. Costa ACS, Scott-McKean J. Prospects for
3.
4.
5.
6.
Improving Brain Function in Individuals with Down Syndrome. CNS Drugs 2013 09;27(9):679-702. Vacca R, Bawari S, Valenti D, Tewari D, Nabavi S, Shirooie S et al. Down syndrome: Neurobiological alterations and therapeutic targets. Neuroscience & Biobehavioral Reviews. 2019;98:234-255. De la Torre R, De Sola S, Pons M, Duchon A, de Lagran M, Farré M et al. Epigallocatechin-3gallate, a DYRK1A inhibitor, rescues cognitive deficits in Down syndrome mouse models and in humans. Molecular Nutrition & Food Research. 2013;58(2):278-288. Stringer M, Goodlett CR, Roper RJ. Targeting trisomic treatments: optimizing Dyrk1a inhibition to improve Down syndrome deficits. Molecular Genetics & Genomic Medicine 2017 09;5(5):451-465. de la Torre R, de Sola S, Hernandez G, Farré M, Pujol J, Rodriguez J et al. Safety and efficacy of cognitive training plus epigallocatechin-3gallate in young adults with Down's syndrome (TESDAD): a double-blind, randomised, placebo-controlled, phase 2 trial. The Lancet Neurology. 2016;15(8):801-810.
BEST REVIEW ARTICLE Identifikasi Pola Metilasi DNA pada CpG Island sebagai Upaya Deteksi Gen Terkait Etiologi Hipospadia: Sebuah Review Safa Nabila Putri (AMSA-Universitas Sriwijaya) Jesica Putri Salim (AMSA-Universitas Sriwijaya) Friska Anggraini (AMSA-Universitas Sriwijaya) PENDAHULUAN
TUJUAN
Hipospadia adalah penyakit kongenital pada genetalia eksterna pria dimana bukaan uretra tidak terletak diujung penis. Kelainan ini dapat terjadi akibat perkembangan abnormal dari lipatan uretra dan kulup penis yang menyebabkan posisi pembukaan uretra menjadi tidak normal. Hipospadia merupakan malformasi kongenital penis yang paling sering terjadi dan merupakan yang kedua paling umum setelah kriptorkismus dalam kelainan kongenital pada pria. (1) Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahunnya terdapat 8 juta bayi di seluruh dunia yang lahir dengan kelainan bawaan sebagai salah satu penyebab utama kematian bayi. (2) Hipospadia sebagai kelainan genitalia eksterna pria, tidak dapat terlepas dari perkembangan genitalia eksterna pada masa embriologi. Etiologi dari hipospadia masih belum terlalu jelas, namun banyak hipotesis yang diajukan terkait kelainan bawaan ini. Beberapa penelitian sudah melakukan observasi mengenai pola epigenetik pada gen yang menyebabkan hipospadia dan ditemukan adanya keterkaitan dengan metilasi DNA. (3)
Review article ini bertujuan untuk mengetahui peran metilasi DNA dalam mengidentifikasi gen yang terkait etiologi hipospadia.
64
METODE Metode yang digunakan adalah literature review naratif yang didapat dari analisis beberapa referensi terkait. Penulis memilih jurnal dalam waktu sepuluh tahun terakhir melalui Google Scholar, CDC, WHO, PubMed, Science Direct, dan Clinical Key dengan kata kunci: Etiology, Hypospadia, DNA Methylation, dan Epigenetic. Pencantuman kriteria menggunakan jurnal Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan tema dan kata kunci terkait topik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hipospadia adalah penyakit kongenital pada genetalia eksterna pria dimana bukaan uretra tidak terletak diujung penis. Kelainan ini dapat terjadi akibat perkembangan abnormal dari lipatan uretra dan kulup penis yang
menyebabkan posisi pembukaan uretra menjadi tidak normal. Pada anak pria dengan hipospadia, uretra terbentuk secara tidak normal selama minggu ke 8-14 kehamilan. Pembukaan abnormal dapat terbentuk di mana saja dari tepat di bawah ujung penis hingga skrotum. (1,4) Penyakit bawaan ini merupakan malformasi kongenital penis yang paling sering terjadi dan merupakan yang kedua paling umum setelah kriptorkismus dalam kelainan kongenital pada pria. Menurut WHO, setiap tahunnya terdapat 8 juta bayi di seluruh dunia yang lahir dengan kelainan bawaan sebagai salah satu penyebab utama kematian bayi. Pada tahun 2006, Global Report on Birth Defects menyatakan bahwa Indonesia memiliki prevalensi bayi dengan kelainan bawaan yang cukup tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara dengan angka 59,3 per 1000 kelahiran. Persentase hipospadia/ epispadia menurut laporan surveilans pada periode September 2014-Maret 2018 adalah 4,8% dari 8 jenis kelainan bawaan terbanyak lainnya. (1,2) Hipospadia sebagai kelainan genitalia eksterna pria, tidak dapat terlepas dari perkembangan genitalia eksterna pada masa embriologi. Perkembangan genitalia eksterna terdiri dari dua fase. Fase pertama, yaitu fase hormone-independent dimana terjadinya pembentukan lempeng uretra pada garis tengah tuberkulum genitale pada minggu ke 8 dan ke 12 kehamilan di fetus pria maupun perempuan. Selama fase kedua, antara minggu ke 11 dan 16 kehamilan, tuberkulum genitale memanjang dibawah pengaruh hormon androgen yang dihasilkan oleh testis janin. Lempeng uretra memanjang menjadi alur uretra menuju ujung phallus. Fusi lipatan labioskrotal di garis tengah membentuk skrotum, dan fusi lipatan uretra yang berdekatan dengan lempeng uretra menghasilkan pembentukan uretra penis. Pada akhir masa perkembangan genitalia eksterna pria, kelenjar penis dan kulup menutup di garis
tengah yang dapat dilihat di gambar 1. (1,5,6)
Gambar 1. Perkembangan embriologi eksterna pria dan wanita (7).
Etiologi dari hipospadia masih belum terlalu jelas, namun banyak hipotesis yang diajukan terkait kelainan bawaan ini, seperti predisposisi genetik, stimulasi hormon prenatal yang tidak adekuat, faktor ibu-plasenta, dan faktor lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipospadia disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa penelitian sudah melakukan observasi mengenai pola epigenetik pada gen yang menyebabkan hipospadia dan ditemukan adanya keterkaitan dengan metilasi DNA. Metilasi DNA bekerja dengan menambahkan gugus kimia yaitu grup metil (-CH3) yang berikatan dengan Cytosine-PhosphateGuanide (CpG) dalam DNA yang dapat dilihat di gambar 2. Biasanya, kelompok ini ditambahkan ke tempat tertentu pada DNA, di mana ia memblokir protein yang menempel pada DNA untuk membaca gen tersebut. Gugus kimia ini dapat dihilangkan melalui proses yang disebut demetilasi. Biasanya, metilasi mengubah gen menjadi tidak aktif dan demetilasi mengubah gen menjadi aktif. (3,8)
65
Gambar 2. Metilasi DNA (9).
Terdapat beberapa studi yang mempelajari bahwa ada beberapa gen terkait hipospadia dengan pola metilasi DNA, seperti SCARB1, MYBPH, dan Androgen Receptor (AR). Akhirakhir ini terdapat penelitian yang menemukan adanya tingkat metilasi gen AR yang tinggi di pasien hipospadia dibandingkan pada anakanak normal. (10) Hormon androgen sangat berperan penting dalam pembentukan sistem urogenital pria karena hormon ini berperan dalam diferensiasi jenis kelamin pria dengan memediasi efek biologis androgen. Oleh karena itu, setiap defek dalam sintesis androgen yang menyebabkan hipoandrogenisme (defisiensi androgen) atau defek AR dapat memainkan peran sebagai penyebab dalam perkembangan hipospadia. Pensinyalan androgen melalui AR sangat penting untuk perkembangan penis yang normal. Kurangnya sinyal androgen akan menghasilkan spektrum genitalia eksterna yang tidak tervirilisasi secara sempurna, dimana reseptor androgen yang tidak sensitif akan menyebabkan perkembangan ke arah genitalia eksterna wanita, sementara reseptor androgen yang sensitif sebagian akan menghasilkan genitalia yang ambigu dengan derajat yang berbeda-beda. (11) Gen AR berada pada kromosom Xq11-12. (11) Gen ini terdiri dari daerah yang membentang di seluruh situs awal transkripsi yang disebut dinukleotida CpG. Terdapat daerah kaya CpG yang dikenal sebagai CpG island, yang mencakup ujung 5’ wilayah regulasi dari banyak gen. Pada manusia, CpG island penting karena merupakan situs metilasi DNA, yang pada gilirannya memiliki peran penting dalam pengendalian ekspresi dan aktivitas gen, pencetakan genom, dan inaktivasi kromosom X. Beberapa penelitian menemukan adanya hubungan antara metilasi DNA dan ekspresi gen, misalnya hipermetilasi dari CpG island di wilayah promotor gen reseptor steroid
66
yang menunjukkan adanya inaktivasi transkripsi gen. (12) Penelitian lain menunjukkan bahwa hipermetilasi gen AR pada kulup penis menyebakan terjadinya penurunan ekspresi protein AR dan hal ini mungkin terlibat dalam patogenesis hipospadia. (13) Adanya perbedaan yang signifikan pada tingkat metilasi DNA antara individu normal dengan pasien hipospadia telah digunakan dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi gen kandidat baru yang mungkin terlibat dalam etiologi hipospadia. Namun demikian, data tentang pengaruh metilasi gen terhadap perkembangan hipospadia masih terbatas, dan hubungan antara faktor epigenetik lain yang terlibat dalam modifikasi DNA atau histon dengan hipospadia sebagian besar masih belum diketahui. (13) Oleh karena itu, masih diperlukan penelitian yang lebih jauh mengenai metilasi gen terhadap hipospadia.
KESIMPULAN Sampai sekarang, penyebab hipospadia masih belum terlalu jelas. Dengan mengidentifikasi pola metilasi DNA diharapkan dapat menjadi prospek potensial untuk studi replikasi yang lebih besar dari faktor epigenomik dalam etiologi hipospadia. REFERENSI 1. Hypospadias - StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. [cited 2021 May 10]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/ books/NBK482122/#article-23294.s3 2. Kemenkes RI. InfoDATIN: Kelainan bawaan. Pus Data dan Inf Kemeterian Kesehat RI. 2018;1–6. 3. What is Epigenetics? | CDC [Internet]. [cited 2021 May 10]. Available from: https://www.cdc.gov/genomics/disease/ epigenetics.htm 4. Facts about Hypospadias | CDC [Internet]. [cited 2021 May 10]. Available from: https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/ hypospadias.html 5. Goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee A. Langman’s_ Medical_Embryology_12th_ed. J Chem Inf Model. 2019;53(9):1689–99. 6. Van der Horst HJR, de Wall LL. Hypospadias, all there is to know. Eur J Pediatr. 2017;176(4):435–41. 7. Lev-Sagie A, Gilad R, Prus D. The Vulvar Vestibule, a Small
Tissue with a Central Position: Anatomy, Embryology, Pain Mechanisms, and Hormonal Associations. Curr Sex Heal Reports. 2019;11(1):60–6. 8. Cui D, Xu X. DNA Methyltransferases, DNA Methylation, and Age-Associated Cognitive Function. Int J Mol Sci [Internet]. 2018 Apr 28 [cited 2021 May 10];19(5):1315. Available from: http:// www.mdpi.com/1422-0067/19/5/1315 9. Alarcón A, Figueroa U, Espinoza B, Sandoval A, Carrasco-Aviño G, Aguayo FR, et al. Epstein-Barr Virus–Associated Gastric Carcinoma: The Americas’ Perspective. Gastric Cancer. 2017; 10. Aiba T, Saito T, Hayashi A, Sato S, Yunokawa H, Fukami M, et al. Exploring disease-specific methylated CpGs in human male genital abnormalities by using methylated-site display-amplified fragment length polymorphism (MSD-AFLP) [Internet]. [cited 2021 May 10]. Available from: http://bonsai. 10. Balaji D, Reddy G, Babu R, Paramaswamy B, Ramasundaram M, Agarwal P, et al. Androgen receptor expression in hypospadias. J Indian Assoc Pediatr Surg [Internet]. 2020 Jan 1 [cited 2021 May 10];25(1):6–9. Available from: /pmc/articles/PMC6910049/ 11. Vottero A, Minari R, Viani I, Tassi F, Bonatti F, Neri TM, et al. Evidence for epigenetic abnormalities of the androgen receptor gene in foreskin from children with hypospadias. J Clin Endocrinol Metab [Internet]. 2011 Dec [cited 2021 May 10];96(12). Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/21937623/ 12. Chang J, Wang S, Zheng Z. Etiology of hypospadias: A comparative review of genetic factors and developmental processes between human and animal models [Internet]. Vol. 12, Research and Reports in Urology. Dove Medical Press Ltd; 2020 [cited 2021 May 10]. p. 673–86. Available from: http://doi. org/10.2147/RRU.S276141
67
R-Ticles 6 Volume 2
epidemiology
TWO major TYPES
DYSGENESIS
RATIO 2:1
DYSHORMOGENESIS
Replace with LEVOTHYROXINE! referenceS
American Academy of Pediatrics and Pediatric Endocrine Society. 2018. Pediatric Endocrinology Fact Sheet Congenital Hypothyroidism: A Guide for Families Armstrong, M., Asuka, E., & Fingeret, A. Physiology, Thyroid Function. [Updated 2020 May 21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing Cherella, C. E., & Wassner, A. J. 2017. Congenital hypothyroidism: insights into pathogenesis and treatment. International Journal of Pediatric Endocrinology, 2017, 11. https://doi.org/10.1186/s13633-017-0051-0 Congenital Hypothyroidism baby illustration by: Dr. RAM'S Diabetes & Endocrine Clinic
b
d
l
68
Perform a SCREENING at the age of 48-72 hours! Vinson Evan Thenardy Research Team District 6
Vinson Evan Thenardy Universitas Hasanuddin Research Team District 6 AMSA-Indonesia 2020/2021
Hipotiroid kongenital merupakan salah satu gangguan sistem endokrin yang dapat terjadi pada anakanak. Penderita hipotiroid kongenital memiliki tanda dan gejala yang unik, yang dapat dirangkum dalam satu kata, yaitu SPECIAL. Upaya deteksi dini melalui screening sangatlah penting untuk dilakukan dalam masa awal kehidupan bayi guna membantu memberikan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
69
An Update of Neonatal Management of Collodion Baby: A Review
AISYAH MARDIYYAH Universitas JAMBI Research Team District 1 AMSA-Indonesia 2020/2021
PENDAHULUAN Istilah collodion baby merujuk pada bayi dengan kelainan bawaan langka yang ditandai dengan selaput kencang seperti perkamen yang menutupi seluruh tubuh. Kondisi ini biasanya juga diikuti eversi pada bibir (eklabion) dan palpebra (ektropion).(1) Diperkirakan insidensi dari collodion baby adalah 1 dari tiap 300.000 kelahiran.(1) Tidak terdapat perbedaan insidensi antara lakilaki dan perempuan, tidak ada kecenderungan terhadap etnis tertentu, dan insidensi meningkat bila terdapat hubungan konsanguinitas. Di Indonesia sendiri kejadian collodion baby ini tergolong langka. Dilaporkan terdapat tiga kasus pada tahun 2010−2014 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.(2)
TUJUAN Review Article ini ditulis untuk membahas perbaruan terbaru dari penatalaksanaan pada bayi yang lahir dengan manifestasi klinis collodion baby. Keadaan ini cukup jarang di Indonesia sehingga artikel penulisan artikel ini diharapkan bisa menambah wawasan pembaca mengenai collodion baby.
METODE Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah studi literatur. Pencarian literatur
70
dilakukan pada dua database, yaitu ScienceDirect dan Google Scholar. Literatur yang digunakan adalah literatur yang terbit dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dan berbahasa Indonesia atau Inggris. Kata kunci yang digunakan dalam pencarian adalah “collodion baby”, “ichthyosis”, dan “management”.
HASIL DAN PEMBAHASAN Ditinjau dari waktu kelahirannya, collodion baby umumnya dijumpai pada bayi prematur. Membran seperti perkamen pada collodion baby mengalami deskuamasi seiring waktu. Setelah lapisan ini terkelupas, kelainan kulit yang mendasari biasanya akan terungkap. Terdapat banyak spektrum dari collodion baby. Spektrum dengan prognosis terbaik adalah ‘self-healing’ collodion baby. Setidaknya satu dari sepuluh pasien yang lahir dengan kondisi collodion baby akan sembuh dan memiliki kulit yang normal. Di sisi lain, spektrum dengan prognosis terburuk adalah iktiosis harlequin.(1) Dua jenis kelainan kulit yang paling umum muncul sebagai collodion baby saat lahir adalah eritroderma kongenital non-bulosa dan iktiosis lamellar. Penyakit lain yang kurang umum mendasari collodion baby meliputi: displasia ektodermal, sindrom Sjögren Larsen, sindrom Comel-Netherton, penyakit Gaucher tipe 2, sindrom Hay-Well, trichothyodystrophy, penyakit penyimpanan lipid netral, dan lainnya.(1)
Dua jenis kelainan kulit yang paling umum muncul sebagai collodion baby saat lahir adalah eritroderma kongenital non-bulosa dan iktiosis lamellar. Penyakit lain yang kurang umum mendasari collodion baby meliputi: displasia ektodermal, sindrom Sjögren Larsen, sindrom Comel-Netherton, penyakit Gaucher tipe 2, sindrom Hay-Well, trichothyodystrophy, penyakit penyimpanan lipid netral, dan lainnya. (1)
Gambar 1. Gambaran collodion baby saat lahir (1).
Secara genetik, collodion baby adalah kelainan heterogen yang umumnya diwariskan secara autosomal resesif. Cacat genetik pada gen transglutaminase 1 (TGM 1) diduga mendasari kondisi collodion baby, dimana mutasi gen ini ditemukan pada lima puluh persen pasien. Gen TGM 1 mengkode transglutaminase 1, enzim yang sangat penting dalam pembentukan sel envelope dalam diferensiasi keratinosit. Selain mutasi gen TGM 1, pada pasien collodion baby juga ditemukan mutasi gen ALOX12B dan ALOXE3.(4) Jika tidak ditangani dengan baik, terdapat beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada collodion baby. Transepidermal water loss (TEWL) yang berlebihan pada collodion baby dapat menyebabkan ketidakstabilan suhu tubuh dan hipernatremiadehidrasi. Kehilangan panas dari evaporasi juga menyebabkan pengurasan kalori secara signifikan yang dapat mengganggu pertumbuhan pada pasien. Fungsi barrier kulit yang rusak juga meningkatkan risiko infeksi bakteri, sepsis, dan toksisitas perkutan dari pengobatan topikal.(5) Manajemen penanganan collodion baby sejauh ini masih bersifat suportif. Tujuan dari terapi yang diberikan berfokus pada pengurangan TEWL, pencegahan infeksi sekunder, dan perbaikan gejala klinis. Berikut adalah manajemen neonatal pada collodion baby(1)(6):
Perawatan di Neonatal Intensive Care Unit Gambar 2.Collodion baby setelah satu
Idealnya collodion baby segera
minggu (1).
71
dirawat di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan ditempatkan di dalam inkubator dengan tingkat kelembaban yang tinggi dan temperatur yang netral. Tingkat kelembaban yang tinggi pada sekitar collodion baby bisa menurunkan TEWL. Hal ini bisa mencegah hipernatermia-dehidrasi dan hipotermi pada bayi. Selain itu, hal lain yang perlu dipantau selama collodion baby berada dalam NICU adalah keseimbangan air dan elektrolit, nutrisi bayi, dan tanda-tanda infeksi baik secara kutaneus maupun sistemik. Perawatan suportif lainnya adalah pemberian cairan intravena untuk menjaga hidrasi dan pemberian nutrisi melalui selang untuk mengatasi kesulitan makan.(1)(7)
Dosis yang dianjurkan berkisar antara 0,6-1 mg / kgBB selama 6 sampai 16 minggu.(1)(6)
Pengobatan Lainnya Antihistamin dapat diberikan untuk mengatasi pruritus yang diakibatkan oleh gangguan fungsi sawar kulit dan penurunan fungsi kelenjar sebasea dan ekrin pada collodion baby. Air mata buatan mungkin diperlukan jika terjadi ektropion yang parah. Selain itu, dalam kasus yang parah, kortikosteroid topikal dan sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengurangi peradangan sekunder.(1) (6)
KESIMPULAN Emolien Pemberian emolien bertujuan untuk menjaga kulit tetap lembut dan mengurangi scalling. Emolien dengan komposisi trigliserida kaprat, gliserin, pentilen glikol, natrium karbomer, squalene dan cocos nucifera bisa diberikan setiap hari di pagi dan sore hari. Terdapat laporan rangkaian kasus yang terjadi pada total 17 bayi dengan masalah yang mirip ditemukan bahwa pemberian emolien mungkin berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi. Oleh karena itu, jenis emolien yang digunakan sebaiknya berupa petroleum jelly yang inert.(1)(6)
Collodion baby adalah kelainan kulit bawaan yang langka. Manajemen penanganan neonatal dari collodion baby berfokus pada terapi suportif. Perawatan yang diberikan bertujuan untuk mencegah TEWL yang berlebihan, infeksi sekunder, dan gejala klinis yang mungkin terjadi. Perawatan neonatal yang bisa diberikan pada collodion baby adalah penempatan bayi di inkubator, pemberian emolien, oral retinoid, dan obat-obatan lain seperti anthistamin dan kortikosteroid apabila dibutuhkan.
REFERENSI 1.
Retinoid Retinoid oral seperti acitretin tidak digunakan secara rutin dan direkomendasikan pada neonatus dengan keadaan kulit yang parah.
2.
Col L, Simalti AK, Harish C. ScienceDirect Collodion Baby. Med J Armed Forces India [Internet]. 2015;73(2):197–9. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.mjafi.2015.10.007 Adisty DR, Zulkarnain I. Studi Retrospektif : Insidensi dan Penatalaksanaan Genodermatosis ( A Retrospective Study : Incidence and Management of Genodermatoses ). Period Dermatology Ven-
72
3.
4.
5.
6.
7.
ereol. 2016;28(2). Huang JJ, Huang MY, Huang TY. Lamellar ichthyosis with severe bilateral ectropion and self-healing collodion membrane. Biomarkers Genomic Med [Internet]. 2013;5(3):110–2. Available from: http:// dx.doi.org/10.1016/j.bgm.2013.07.011 Vahlquist A, Bygum A, Gånemo A, Virtanen M, Hellström-Pigg M, Strauss G, et al. Genotypic and clinical spectrum of self-improving collodion ichthyosis: ALOX12B, ALOXE3, and TGM1 mutations in scandinavian patients. J Invest Dermatol. 2010;130(2):438– 43. Md. Jakeer Shaik, Rajesh Kumar Sethi, Lalat Barun Patra, DP Patra. Congenital Lamellar Ichthyosis in Newborn: A Case Report. J of Evidence Based Medicine and Healthcare. 2015; 2: P 2343-7. Tabri F. Lamellar Ichthyosis: One Case Report. Int J Med Rev Case Reports. 2019;(0):1. Prado R, Ellis LZ, Gamble R, Funk T, Arbuckle HA, Bruckner AL. Collodion baby: An update with a focus on practical management. J Am Acad Dermatol [Internet]. 2012;67(6):1362– 74. Available from: http://dx.doi. org/10.1016/j.jaad.2012.05.036
73
Hubungan Gizi Ibu Hamil Terhadap Ancaman Kelainan Kongenital pada Anak: Sebuah Review
Jacqueline Angelica (AMSA-Universitas Sebelas Maret)
PENDAHULUAN “Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa” begitu kutipan salah satu lirik lagu “Kasih Ibu” ciptaan S.M. Mochtar. Menganalisis dari kalimat tersebut dapat diperoleh informasi bahwa ibu memiliki kasih yang besar kepada anaknya dalam jangka waktu yang lama. Untuk mewujudkan kasih sayang tersebut berbagai cara dilakukan oleh ibu salah satunya dengan memberikan asupan gizi yang baik khususnya pada seribu hari pertama kehidupan. Seribu hari pertama kehidupan atau yang disebut dengan golden period merupakan gerakan yang bertujuan untuk memberikan perhatian khusus kepada ibu hamil sampai anak usia dua tahun terutama mengenai kebutuhan pangan, kesehatan, dan gizinya. Pemenuhan gizi pada seribu hari pertama kehidupan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika asupun gizi yang diberikan sesuai dengan strandarnya maka pertumbuhan dan perkembangan anak akan berjalan dengan baik. Namun sebaliknya jika asupan gizi yang diberikan tidak sesuai standar yang ada maka resikonya pertumbuhan serta perkembangan pada anak akan terganggu. Oleh karena itu, sangat penting bagi ibu untuk memenuhi kebutuhan gizi pada masa seribu hari pertama kehidupan. Harapannya adalah pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan dengan baik dan memiliki imunitas yang baik. Karena terpenuhinya gizi yang baik pada seribu hari pertama kehidupan juga dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit kronis pada anak (1). Peranan gizi sangat penting dalam menentukan keberlangsungan kehidupan anak. Kelompok gizi yang diperlukan dalam menunjang pertumbuhan anak seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, fosfor, kalsium dan zat besi (2). Terpenuhinya gizi pada ibu akan mendukung pertumbuhan dan pekembangan anak sehingga anak memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Begitu pula dengan ibu yang akan merasa sehat apabila memperoleh asupan gizi yang cukup. Pemenuhan kebutuhan gizi merupakan faktor utama untuk mencapai hasil tumbuh kembang seluruh organ agar sesuai dengan potensial genetiknya (2). Artinya dengan memenuhi kebutuhan gizi seperti karbohidrat, protein,
74
lemak, dan vitamin maka organ dalam pada anak
gizi ibu hamil terhadap penyakit kongenital
tersebut akan dapat tumbuh dan berkembang
pada anak. Tujuannya yaitu untuk menunjukkan
sesuai dengan potensi genetiknya. Oleh karena
pentingnya nutrisi yang harus dipenuhi ibu
itu pemenuhan gizi pada ibu perlu diperhatikan
hamil untuk menekan angka kejadian kelainan
khususnya saat seribu hari pertama kehidupan.
kongenital.
Ancaman yang dapat diakibatkan bila seorang
METODE
ibu hamil lalai akan pemenuhan gizi selama masa kehamilan adalah risiko penyakit bawaan
a.
Teknik Pengambilan Data
pada anak. Penyakit kongenital umumnya
Teknik studi Pustaka, Penulis memperoleh
diakibatkan oleh faktor genetik dari kedua
data sekunder dengan mengadakan studi
orang tua anak, infeksi oleh bakteri atau virus
literatur pada jurnal, majalah, dan media
serta factor lingkungan. Namun, tidak hanya
elektronik untuk membandingkan data
ketiga faktor tersebut penyakit kongenital bisa
yang diperoleh dari eksperimen dengan
disebabkan oleh kondisi ibu yang kekurangan
data sekunder yang diperoleh dari studi
nutrisi dan tidak memenuhi kebutuhan konsumsi
literatur.
gizi selama masa kehamilan (3).
b.
Penyakit kongenital merupakan salah satu penyebab
kematian
pada
anak.
Teknik pengolahan data Data- data yang telah dikumpulkan oleh
Mengacu
penulis merupakan data yang masih
pada data yang dipublikasikan oleh Kemenkes
mentah dan perlu diolah. Langkah-langkah
Republik Indonesia dinyatakan bahwa “Data
yang
laporan BPPK, Depkes RI (2008) menyatakan
dilakukan
oleh
penulis
dalam
mengolah data yaitu:
bahwa sebesar 1,4% bayi baru lahir usia 0-6 hari pertama kelahiran dan 18,1% bayi baru lahir usia
1. Reduksi Data
7-28 hari meninggal disebabkan karena kelainan
Pada tahapan ini penulis melakukan
bawaan. Hal ini menunjukkan sebuah urgensi
kegiatan
dalam bidang Kesehatan yang dapat mengancam
mengatur
Kesehatan pada bayi. Hal yang dapat dilakukan
untuk
memeriksa
kembali
mentah
untuk mencegah kondisi ini adalah dengan
yang
memerhatikan kebutuhan gizi ibu selama masa
tersebut tentunya dapat berisikan
kehamilan, mengingat pemenuhan gizi selama
data
masa
terdapat beberapa bagian yang tidak
kehamilan
juga
dapat
berkontribusi
telah
data
dan
yang
dikumpulkan. belum
valid
Data
maupun
kita butuhkan ataupun bertele-tele
terhadap penyakit bawaan pada anak.
sehingga dapat memperlambat proses
TUJUAN
penelitian jika disisipkan dalam data latar
belakang
yang akan kita kaji, maka dari itu
tersebut dapat dipahami bahwa
penyakit
kegiatan pada tahapan ini mengenai
kongenital merupakan salah satu penyakit yang
pemilahan terhadap bagian data yang
mengancam kesehatan bayi yang bahkan dapat
perlu diberi kode, bagian data yang
menyebabkan kematian. Penyakit ini umumnya
harus dibuang ataupun pola yang
disebabkan oleh factor genetic, infeksi dan faktor
harus dilakukan peringkasan. Tahapan
lingkungan tetapi juga kondisi pemenuhan gizi
ini bertujuan agar data mentah yang
bagi ibu semasa masa kehamilan. Oleh karena
telah dikumpulkan tadi oleh penulis
itu, artikel ini akan membahas pengaruh kondisi
menjadi lebih sederhana
Berdasarkan
penyampaian
75
dan sesuai dengan kebutuhan penulis
bayi yang terjadi sejak hasil konsepsi sel telur
sehingga mempermudahnya dalam
(4). Contoh dari kondisi kelainan kongenital
kegiatan
ini seperti: hipospadia, spina bifida, himen
penarikan
nantinya.
Jadi
kesimpulan
pada
tahapan
ini
penulis dapat dikatakan melakukan penyederhanaan dan pengkoreksian terhadap
data-data
umum
yang
diperoleh.
dan lainnya (4). Menurut
data
World
Health
Organization,
pada tahun 2010 penyakit kongenital berhasil menyebabkan kematian 270.000 bayi di 193
2. Penyajian Data Setelah
imperforate, hirschprung, omfakokel, labioskisiz
negara. Kalainan ini juga menyebabkan sekitar
tahapan
reduksi
data,
pada tahapan ini data yang telah dikumpulkan
dan
disederhanakan
3,2 juta kelahiran cacat pada setiap tahunnya. Penyaki kongenital disebabkan oleh beberapa factor seperti: usia, kromosom, mekanik, infeksi,
mengenai sifat-sifat umum mengenai
obat, hormonal, fisik Rahim, kehamilan dan fakto
camilan pai, kandungan biji nangka
gizi. (4). Dari seluruh factor yang menyebabkan
dan
pangan
kondisi kongenital pada anak salah satu faktor
kumpulan
yang dapat kita cegah dan perbaiki statusnya
memberikan
adalah factor gizi. Hal ini karena berkaitan dengan
indikator
sehingga informasi
ketahanan
tersusun sehingga
untuk
factor gizi, dapat dicegah dengan memberikan
melakukan penarikan kesimpulan dan
perhatian yang serius tentang pemenuhan
pengambilan tindakan. Penyajian data
gizi selama masa kehamilan untuk mencegah
dilakukan dengan cara naratif atau
terjadinya penyakit kongenital pada anak.
kemungkinan
bagi
penulis
tekstular yakni penulis menyajikan data
menggunakan
kalimat
dan
menjelaskan segala prosedur maupun hasil setelah melakukan pengamatan dari data-data yang dapat berupa sebuah gambar, tabel, grafik ataupun kejadian yang dilihat langsung oleh penulis. Penyajian data menggunakan cara natarif ini dapat memudahkan dalam memperjelas data kualitatif karena penyajian data menggunakan cara naratif telah disusun dengan bagian tema, data dan opini yang
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Mustofa dengan judul penelitian “Hubungan status gizi dengan kejadian kelainan kongenital pada bayi baru lahir di RSUD DR. H Abdoel Moeloek Provinsi Lampung” diperoleh hasil penelitian bahwa dari 176 responden dengan 19 responden dengan status gizi kurang baik dan 157 responden dengan kondisi gizi yang baik menunjukkan bahwa ada hubungan status gizi ibu hamil terhadap kejadian kelainan kongenital pada bayi baru lahir (5). Diungkapkan dalam penelitian ini bahwa hal tersebut dapat terjadi
wajib menjadi bagian dari penyajian
karena kekuranan gizi pada masa kehamilan
data tersebut.
dapat memicu keguguran, cacat bawaan, anemia hingga kematian. Hubungannya dengan status
HASIL DAN PEMBAHASAN
gizi adalah jika saat masa kehamilan ibu hamil kondisi
tidak secara rutin memenuhi kebutuhan gizi
maupun
atau bahkan tidak mengonsumsi asam folat, zat
metabolisme yang ditemukan pada neonatus.
besi, kalsium, ataupun ibu yang mengonsumsi
Kelainan
makanan tidak sehat sehingga memberikan
Kelainan kongenital adalah suatu kelainan
pada ini
struktur, umumnya
fungsi terjadi
dalam
pertumbuhan struktur, fungsi, metabolisme
76
dampak terhadap bayi yang dikandungnya.
Kemudian,
menurut
dilakukanoleh
Anita
penelitian
dengan
judul
yang “Faktor
Penyakit Infeksi, Penggunaan Obat Dan Gizi Ibu Hamil Terhadap Terjadinya Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir” dinyatakan juga bahwa terdapat hubungan status gizi terhadap kelainan kongenital pada anak. Dalam penelitian yang dilakukan di RSAM Bandar Lampung pada tahun
120-126. 4. Maryanti, Dwi. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya Kelainan Kongenital. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad (JKA) Vol. VII. No.1, Maret 2015. 5. Mustofa, Festy. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Dengan Kejadiankelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahirdi Rsud Dr. H. Abdoel Moeloek Provinsi Lampung. 2020. 6. Endro Priherdityo. Wanita karier Indonesia terbanyak keenam di dunia. Yogyakarta: CNNindonesia. 2016.
2016 dengan jumlah responden 112 responden terdapat 5 orang dengan kondisi gizi kurang baik. Diperoleh hasil bahwa ada hubungan factor gizi dengan kelainan kongenital pada anak di ruang Perinatologi RSAM Bandar Lampung. Nilai OR yang diperoleh yaitu 8,226 yang berarti ibu dengan status gizi kurang berisiko melahirkan bayi dengan kelainan kongenital sebesar 8 kali dibandingkan ibu yang berstatus gizi baik. Kondisi kekurangan gizi memungkinkan kelainan organ, pertumbuhan dan perkembangan yang tidak sempurna selama masa kehamilan sehingga semakin tinggi kemungkinan terjadi kelainan kongenital pada anak. KESIMPULAN Berdasarkan
hasil
studi
pustaka
terhadap
beberapa jurnal terkait kondisi kongenital pada anak diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kondisi gizi ibu hamil terhadap kejadian kongenital pada anak. Hal ini karena bila seorang ibu kekurangan gizi berupa asam folat, zat besi, kalsium dan gizi baik lainnya maka pertumbuhan anak selama masa kehamilan dapat
terhambat
sehingga
meningkatkan
risiko terjadinya cacat bawaaan bahkan hingga kematian. REFERENSI 1. Oktafia, Hani. Karakteristik Balita Yang Menderita Gizi Kurang Di Desa Slarang Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap Tahun 2017. Sekolah tinggi ilmu kesehatan (STIKES) Cilacap. 2017. 2. Sukamti, Endang. Pengaruh Gizi Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak. Malang: Cakrawala pendidikan. 2014. 3. Anita. Faktor Penyakit Infeksi, Penggunaan Obat Dan Gizi Ibu Hamil Terhadap Terjadinya Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir. Jurnal Kesehatan, Volume VIII, Nomor 1, April 2017, hlm
77
Annisa Dew (AMSA-Universit
wi Nugrahani tas Padjadjaran)
Kelainan bawaan menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatus dan anak secara global. Maka dari itu, dibutuhkan upaya preventif kejadian kelainan bawaan agar bayi terlahir sehat melalui REKONSTRUKSI, yaitu: (1) “REncanakan Kehamilan”, (2) “KONSeling prakonsepsi Terpadu”, (3) “RUtin periksa Kehamilan” dan (4) “detekSI Dini, cegah, dan tangani penyakit”
79
BEST essay Penggunaan Obat Antiepilepsi Lamotrigine pada Ibu Hamil dengan Epilepsi untuk Mencegah Terbentuknya Kelainan Jantung Kongenital Eigieneo Elmattana N. (AMSA-Universitas Diponegoro)
Ausi Syazana M. (AMSA-Universitas Diponegoro)
Hadisurya Sugiharto S. (AMSA-Universitas Diponegoro) Epilepsi masih menjadi sebuah masalah penyakit kronik yang umum dan perlu menjadi perhatian karena dapat menyebabkan serangan kejang. Serangan ini memengaruhi berbagai aspek yang mengganggu kualitas hidup manusia. Insidensi dari epilepsi sendiri dalam negara berkembang sekitar 100 sampai 190 kasus per 100.000 populasi.[1]seizure frequency and the outcome of pregnancy amongst a cohort of pregnant women attending antenatal clinic (ANC Meskipun prevalensi epilepsi pada lakilaki sedikit lebih tinggi dari wanita, epilepsi dapat membawa dampak yang buruk pada wanita. Wanita yang sedang gestasi memiliki kemungkinan mortalitas sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Terlebih, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan komplikasi kehamilan seperti pre-eklampsia, berat badan lahir rendah (BBLR), ataupun intrauterine growth restriction (IUGR). Oleh karena itu, diperlukan terapi pada wanita dengan epilepsi yang sedang hamil mengingat terdapat kemungkinan terjadinya komplikasi. Terdapat berbagai jenis obat antiepilepsi yang dapat digunakan. Namun, berbagai obat antiepilepsi memiliki potensi untuk menyebabkan gangguan pada perkembangan
80
fetus di dalam kandungan yang pada akhirnya mengakibatkan kelainan kongenital. Beberapa contoh obat antiepilepsi yang dapat menyebabkan kelainan kongenital dapat kita lihat pada tabel berikut adalah carbamazepine, valproate, lamotrigine, phenytoin, gabapentine, serta topiramate. [2][3] Obat antiepilepsi dapat menyebabkan teratogenesis baik secara anatomis maupun kognitif. Beberapa teori telah diusulkan mengenai mekanisme teratogenesis pada ibu dengan epilepsi yang mengonsumsi obat antiepilepsi. Mekanisme yang diusulkan belum ada yang mencapai kepastian, beberapa di antaranya adalah defisiensi folat, iskemia, supresi neuronal, zat intermediate reaktif serta apoptosis neuronal melalui obat antiepilepsi. Mekanisme yang mendasari perubahan anatomis serta kognitif berbeda karena risiko tertinggi dari defek anatomis adalah melalui paparan pada trimester pertama, namun untuk perubahan kognitif muncul karena paparan pada trimester ketiga. Hipotesis utama dari mekanisme yang menyebabkan malformasi anatomis meliputi pembentukan radikal bebas, sedangkan mekanisme perubahan fungsi kognitif meliputi
apoptosis akibat obat antiepilepsi serta disfungsi neuron yang tersisa. Predisposisi genetik memegang peran dan dapat disertai interaksi teratogenik dengan berbagai gen terlibat. Hal ini menyebabkan terbentuknya variasi efek teratogenik pada setiap individu.[4] Dengan mekanisme teratogen tersebut, terdapat beberapa malformasi kongenital yang umum ditemukan. Di antaranya adalah malformasi jantung, defek orofasial, defek urologis, kelainan skeletal dan neural tube defect. Contoh spesifiknya termasuk defek septum ventrikular, bibir sumbing, hipospadia, hipoplasia falangs, serta spina bifida. Meskipun efek teratogenik banyak ditemukan pada obat-obatan antiepilepsi, beberapa obat generasi terbaru seperti lamotrigine dan levetiracetam tidak menunjukkan peningkatan risiko terhadap malformasi kongenital, terutama malformasi kardiak. Sebagai perbandingan, obat-obatan lain seperti ethosuximide, valproate, topiramate, phenobarbital, phenytoin, carbamazepine, politerapi dan obat-obat lainnya meningkatkan risiko malformasi.[5]
Penyakit Jantung Kongenital Penyakit jantung kongenital (PJK) terdiri dari berbagai macam kelainan dan malformasi yang melibatkan jantung dan pembuluh besar yang berkembang di dalam rahim, muncul saat lahir, dan menjadi perhatian klinis pada masa bayi, remaja, atau dewasa. Anomali kardiovaskular umumnya diakibatkan oleh morfogenesis yang terganggu selama perkembangan embriologis. Malformasi mungkin terbatas pada sistem kardiovaskular (non-sindromik) atau terjadi sehubungan dengan anomali sistem lain sebagai bagian dari sindrom tertentu (sindromik). [6] Secara global, prevalensi terjadinya PJK adalah sekitar 6 sampai 12 per 1000 kelahiran hidup. Jantung adalah organ pertama yang
berkembang di dalam janin. Dalam jantung primitif, lempeng-lempeng menyatu dan menghasilkan satu tabung jantung tunggal selama 22 hari. Ujung tabung jantung primitif terfiksasi, dan oleh karena pertumbuhan yang cepat maka terbentuklah bentuk melingkar (looping). Rongga kemudian membelah seiring terbentuknya bantal endokard, yang pada akhirnya terbentuklah empat ruang jantung. Pembagian antara ruang terjadi secara bersamaan dengan pembentukan katup dan septum. Periode paling penting untuk perkembangan jantung janin berkisar dari minggu kedua hingga ketujuh kehamilan. Dengan demikian, paparan janin terhadap teratogen selama periode kritis ini dianggap paling mungkin memengaruhi perkembangan janin. Gambar berikut ini mengilustrasikan garis waktu untuk perkembangan embriologis jantung pada janin. [7]
Gambar 1 Garis Waktu Perkembangan Embriologis jantung pada Janin
Menggunakan data dari The Health Improvement Network, sekelompok peneliti dari Inggris mengidentifikasi wanita yang melahirkan secara hidup serta keturunannya. Empat subkelompok dipilih berdasarkan jenis obat antiepilepsi pada awal kehamilan, yakni valproate, carbamazepine, lamotrigine dan wanita yang tidak menerima pengobatan antiepilepsi apapun. Para peneliti membandingkan prevalensi malformasi kongenital mayor pada anak-anak dari keempat kelompok ini dan perkiraan rasio prevalensi (Prevalence ratio/PR) menggunakan regresi Poisson yang disesuaikan dengan usia ibu, jenis kelamin anak, kuintil skor deprivasi Townsend dan indikasi untuk pengobatan.[8] Secara total, 240.071 wanita dilibatkan dalam penelitian ini. Sebanyak 229 wanita diberi resep valproate selama kehamilan, 357 diberi resep lamotrigine, 334 diberi resep karbamazepin,
81
dan 239.151 sisanya tidak diresepkan obat antiepilepsi apapun. Hasilnya, lima belas dari 229 (6,6%) perempuan yang diresepkan valproate melahirkan anak dengan kelainan bawaan utama dibandingkan dengan 11 dari 334 (3,3%) perempuan yang diresepkan karbamazepin, sepuluh dari 357 (2,7%) perempuan yang diresepkan lamotrigine, dan 5.315 (2,2%) pada wanita yang tidak diresepkan obat antiepilepsi. Hasil tersebut dituangkan dalam grafik batang berikut ini.
Beberapa obat antiepilepsi hanya efektif dalam mengontrol kejang absen umum (generalized absence seizures) dengan cara memblokir arus kalsium ambang rendah. Saluran kalsium ambang rendah banyak terdapat di neuron talamik, dan saluran ini dapat memicu ledakan regeneratif yang mendorong ritme talamokortikal normal dan patologis, termasuk pelepasan gelombang lonjakan kejang absen. Contohnya termasuk ethosuximide, trimethadione, dan methsuximide. Beberapa obat antiepilepsi lainnya berinteraksi dengan neuron berenergi GABA (gamma-amino-butyric acid). Obat jenis ini efektif untuk kejang parsial. Contohnya adalah diazepam dan klonazepam yang secara selektif meningkatkan fungsi subset reseptor GABA serta tiagabine dan vigabatrin
Gambar 2 Grafik Prevalensi Penggunaan Berbagai Obat Antiepilepsi dengan Kelahiran Anak dengan Kelainan Kongenital
yang bekerja dengan mengganggu pengambilan ulang (reuptake) dan degradasi GABA.[9]
Bila dibandingkan, prevalensi malformasi kongenital mayor pada wanita yang diresepkan lamotrigine hampir serupa dengan wanita tanpa pengobatan antiepilepsi selama kehamilan. Untuk wanita yang diresepkan valproate dalam politerapi, prevalensinya empat kali lipat lebih tinggi. Pada akhirnya, para peneliti tersebut menarik kesimpulan bahwa lamotrigine adalah pilihan pengobatan yang paling aman pada kehamilan dan harus dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan alternatif untuk wanita hamil yang membutuhkan obat antiepilepsi.
Mekanisme Kerja Lamotrigine
Obat
Antiepilepsi
Obat antiepilepsi garis depan saat ini cenderung masuk ke dalam beberapa kategori berdasarkan mekanisme kerja seluler, dan kategori ini sering kali berkorelasi dengan spektrum kerja klinis dari berbagai obat antiepilepsi.
Lamotrigine sendiri dikenal efektif melawan semua kejang parsial dan umum, termasuk kejang absen umum. Lamotrigine termasuk derivat triazin sehingga farmakokinetiknya mengikuti kinetika orde pertama dengan waktu paruh 29 jam. Mekanisme kerja lamotrigine belum sepenuhnya dipahami. Sampai saat ini, mekanisme aksi seluler dari lamotrigine yang sudah dipelajari adalah secara selektif mengikat saluran natrium, menstabilkan membran saraf presinaptik dan menghambat pelepasan glutamat. Mekanisme serupa yang juga dimiliki oleh beberapa obat antiepilepsi lainnya yaitu fenitoin dan karbamazepin. Meskipun demikian, lamotrigine tetap lebih diunggulkan karena fenitoin dan karbamazepin tidak efektif melawan kejang absen. Oleh karena itu, para peneliti meyakini bahwa lamotrigine mungkin memiliki mekanisme seluler yang lain, yang dapat menimbulkan efek sinergistik dengan mekanisme pemblokiran saluran natriumnya, untuk menjelaskan kemanjuran klinisnya yang luas. Sebagai contoh, berikut merupakan
82
berbagai mekanisme kerja obat antiepilepsi.[10]
seperti levetiracetam.
REFERENSI 1. Watila MM, Beida O, Kwari S, Nyandaiti NW, Nyandaiti YW. Seizure occurrence, pregnancy outcome among women with active convulsive epilepsy: One year prospective study. Seizure [Internet]. 2015;26:7–11. Available from: http://dx.doi. org/10.1016/j.seizure.2015.01.007
Gambar 3 Mekanisme Kerja Berbagai Obat Antiepilepsi
Obat Antiepilepsi Lamotrigine Sebagai Opsi untuk Mencegah Terjadinya PJK Berdasarkan rangkuman jumlah kasus malformasi kongenital mayor akibat obat antiepilepsi yang tersedia, PJK menduduki posisi tertinggi. Hal ini membuktikan bahwa malformasi utama yang harus dihindari merupakan kelainan kardiovaskuler. Walaupun lamotrigine terbukti sebagai obat yang cukup aman dibandingkan dengan obat antiepilepsi lainnya, masih terdapat kelainan kongenital yang dapat disebabkan olehnya. Namun, kelainan yang disebabkan mayoritas menyebabkan defek orofasial dan bukan kelainan kardiovaskuler. Oleh sebab itu, penulis mengajukan bahwa untuk menghindari PJK sebagai malformasi kongenital utama yang paling sering terjadi, lamotrigine merupakan pilihan yang tepat.[11] Terbukti dari studi kasus obat valproate, risiko kelainan kongenital sangat berpengaruh pada dosis obat yang digunakan sehingga penggunaan lamotrigine juga harus diaplikasikan dengan dosis seminimal mungkin. Dari berbagai bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa obat antiepilepsi lamotrigine merupakan opsi yang cukup aman bagi ibu hamil untuk mencegah terjadinya PJK. Untuk mencapai hasil yang lebih baik, penulis menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih dalam mengenai mekanisme kerja lamotrigine serta obat antiepilepsi generasi baru lainnya
2. Kaur TP, Sahu L, Rathore AM, Bhasin S. Obstetric outcomes in pregnant women with seizure disorder: A hospital-based, longitudinal study. J Turkish Soc Obstet Gynecol. 2020;17(3):161– 9. 3. Nie Q, Su B, Wei J. Neurological teratogenic effects of antiepileptic drugs during pregnancy. Exp Ther Med. 2016;12(4):2400–4. 4. Gedzelman E, Meador KJ. Antiepileptic drugs in women with epilepsy during pregnancy. Ther Adv Drug Saf. 2012;3(2):71–87. 5. Veroniki AA, Cogo E, Rios P, Straus SE, Finkelstein Y, Kealey R, et al. Comparative safety of anti-epileptic drugs during pregnancy: A systematic review and network meta-analysis of congenital malformations and prenatal outcomes. BMC Med. 2017;15(1):1– 20. 6. Ottaviani G, Buja LM. Congenital Heart Disease: Pathology, Natural History, and Interventions [Internet]. 4th ed. Cardiovascular Pathology: Fourth Edition. Elsevier Inc.; 2016. 611–647 p. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12420219-1.00014-8 7. Lynch TA, Abel DE. Teratogens and congenital heart disease. J Diagnostic Med Sonogr. 2015;31(5):301–5. 8. Petersen I, Collings SL, McCrea RL, Nazareth I, Osborn DP, Cowen PJ, et al. Antiepileptic drugs prescribed in pregnancy and prevalence of major congenital malformations: Comparative prevalence studies. Clin Epidemiol. 2017;9:95–103. 9. Sills GJ, Rogawski MA. Mechanisms of action of currently used antiseizure drugs. Neuropharmacology. 2020;168(September 2019). 10. Lee SK. Old versus New: Why Do We Need New Antiepileptic Drugs? J Epilepsy Res. 2014;4(2):39–44. 11. Tomson T, Xue H, Battino D. Major congenital malformations in children of women with epilepsy. Seizure. 2015;28:40–4.
83
Sindrom liki
Down
kromosom
84
terjadi
lebih
ketika
yang
seseorang
disebut
trisom
g
mi
memi21.
Materi genetik tambahan ini mengubah jalannya perkembangan dan menyebabkan karakteristik yang terkait dengan sindrom Down. Hinna saat ini, banyak mitos tentang sindrom Down yang beredar, oleh karen itu melalui poster ini saya mencoba mematahkan mitos tersebut dan menggantinya dengan fakta.
Chatrine Angelica Dwi Christy (AMSA-Universitas Kristen Indonesia)
Cerebral Palsy: Nothing is Impossible
Prudence Lucianus Universitas Diponegoro Research Team District 4 AMSA-Indonesia 2020/2021 Ketika seseorang didiagnosis dengan kondisi neurologis tidak lama setelah dilahirkan ke dalam dunia, tidak heran apabila sanak keluarga merasa cemas dan kehilangan semua harapan untuk menempuh kehidupan yang ‘normal’ bersama sang penderita. Abbey Nicole Curran, seseorang yang menderita cerebral palsy, adalah miss USA pertama yang mengikuti pertandingan dengan disabilitas. Jerry Taylor, seorang atlet yang menderita cerebral palsy, menjadi satu-satunya orang yang pernah berlari melintasi Amerika dengan kruk. Dia juga telah berbagian dalam beberapa maraton, telah mendaki gunung, dan bahkan pergi terjun payung atau parachuting. Dr. Janice E. BrunstromHernandez, hidup dengan cerebral palsy sejak lahir, telah menempuh hidup yang sukses hingga berhasil menjadi ahli saraf anak. Cerebral palsy tidak menutup kemungkinan seseorang untuk bisa menempuh hidup yang penuh kesempatan untuk mencapai cita-cita yang diimpikan.
tidak terkendali. Gerakan tubuh bisa menjadi lambat atau cepat dan tersentak-sentak sehingga menyulitkan penderita untuk beraktivitas. Ini juga dapat menyebabkan pasien kesulitan untuk menelan dan berbicara. (1,2) Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan cerebral palsy. Beberapa faktor risiko ini meliputi kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, korioamnionitis, toksoplasmosis, rubella, gangguan pernapasan neonatus, kejang neonatus, infeksi neonatus, aspirasi mekonium, asfiksia lahir, hipoglikemia, asupan gizi rendah, infeksi susunan saraf pusat, ikterus. (3,4) Menurut dr. Sisca Silvana, M.Ked(Ped), Sp.A(K), seorang dokter spesialis anak di bagian UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), jumlah kasus cerebral palsy di Indonesia mencapai 2-2,5 kasus dari setiap 1000 kelahiran. Kasus cerebral palsy merupakan 0,9% dari seluruh kasus disabilitas yang ditemukan. Jumlah secara klinis dalam praktek sehari-hari semakin
Cerebral palsy menggambarkan meningkat, namun belum ada data terbaru yang sekelompok gangguan permanen pada tercatat. Faktor risiko terbesar cerebral palsy perkembangan gerakan dan postur tubuh, adalah kelahiran prematur dan berat badan menyebabkan pembatasan aktivitas, yang lahir rendah. Walaupun cerebral palsy tidak bisa dikaitkan dengan gangguan non-progresif yang disembuhkan, namun ini bukan merupakan terjadi pada perkembangan otak janin atau bayi. penyakit yang menular dan perlu dihindari. Gangguan motoriknya disertai gangguan sensasi, Pengobatan utama yang dapat dilakukan adalah persepsi, kognisi, komunikasi dan perilaku, oleh penanganan gejala penderita sesuai dengan epilepsi dan masalah muskuloskeletal sekunder. klasifikasi atau tingkatan dari cerebral palsy yang Cerebral palsy dapat ditandai dengan tonus otot dialami. yang meningkat sehingga otot menjadi kaku dan Klasifikasi cerebral palsy yang digunakan gerakan tubuh menjadi canggung. Cerebral palsy adalah GMFCS, atau Gross Motor Function bisa juga ditandai dengan gerakan tubuh yang Classification System. Berbagai penelitian telah
86
telah membuktikan bahwa GMFCS merupakan sistem yang terbaik untuk mengklasifikasi tingkat keparahan dan prognosis penderita cerebral palsy. GMFCS adalah sistem penilaian ordinal 5 tingkat dimana serangkaian deskripsi, dilengkapi dengan gambar, dapat digunakan untuk mengklasifikasi fungsi motorik kasar pada anak-anak dengan cerebral palsy. Ini adalah alat terpenting yang dapat digunakan oleh dokter untuk menggambarkan tingkat fungsi motorik kasar anak dan prognosis jangka panjang. Terdapat deskripsi yang berbeda untuk umur anak-anak yang berbeda; yang paling umum digunakan adalah tabel GMFCS untuk anak-anak berusia 6-12 tahun. (5)
Gambar 1. Gross Motor Function Classification System
Perawatan umumnya disesuaikan dengan tingkat GMFCS penderita. Mobilitas merupakan prioritas untuk penderita yang lebih mampu; sedangkan postur tubuh, makan, tidur, dan manajemen nyeri merupakan prioritas untuk
penderita dengan kasus yang lebih parah. Salah satu bentuk perawatan untuk penderita cerebral palsy adalah fisioterapi. Tujuan utama dari fisioterapi adalah untuk meningkatkan aktivitas motorik fungsional. Latihan keterampilan “taskspecific” meningkatkan koordinasi dan kinerja motorik. Latihan fisik mengatasi gangguan yang mendasar (seperti kelemahan atau penurunan kebugaran) yang mungkin membatasi kinerja aktivitas yang diinginkan. Pembelajaran motorik yang maksimal memerlukan pasien yang terlibat aktif secara fisik maupun mental. Perawatan lain disesuaikan dengan keperluan masing-masing penderita seperti penanganan skoliosis dan perpindahan panggul pada penderita dengan bentuk tubuh yang abnormal atau pemasangan atau tabung makanan gastrotomi bagi penderita yang kekurangan nutrisi. (1,6) Menurut dr Sisca, kualitas hidup penderita bergantung pada tingkat keparahan cerebral palsy serta komorbiditas yang dialami. Deteksi dini dan penanganan dini cerebral palsy meningkatkan prognosis baik pada penderita. Penderita dengan komorbid yang banyak seperti kesulitan menelan, infeksi paru-paru, dan lainlain akan menghasilkan kualitas hidup yang buruk serta masa hidup yang lebih terbatas. Namun, apabila semua komorbiditas ini bisa ditangani dengan baik, serta penderita rajin mendapatkan perawatan seperti fisioterapi, kualitas hidup penderita bisa membaik dan masa hidupnya pun bisa meningkat. Penyakit cerebral palsy tidak membatasi masa hidup
87
penderita dengan drastis. Penderita cerebral tidak berguna. Mereka bisa memiliki IQ yang palsy bisa menjalani hidupnya bahkan sampai normal. Tidak ada yang tidak mungkin.” menyelesaikan pendidikan di tingkat perguruan tinggi. - dr. Sisca Silvana, M.Ked(Ped), Sp.A(K). Dari pengalaman dr. Sisca sebagai dokter spesialis anak di IDAI, masyarakat Indonesia masih sering melihat cerebral palsy sebagai REFERENSI: 1. Wimalasundera N, Stevenson VL. Cerebral palsy. Pract penyakit yang disebabkan oleh kutukan dan Neurol. 2016;16(3):184–94. harus dijauhi. Namun, perlu diingat lagi bahwa 2. Gulati S, Sondhi V. Cerebral Palsy: An Overview. Indian J Pediatr. 2018;85(11):1006–16. cerebral palsy bukan penyakit menular yang 3. Michael-Asalu A, Taylor G, Campbell H, Lelea LL, Kirby RS. perlu dihindari. Hari ini ada keperluan untuk Cerebral Palsy: Diagnosis, Epidemiology, Genetics, and Clinical Update. Adv Pediatr [Internet]. 2019;66:189–208. memberikan dukungan kepada orangtua yang Available from: https://doi.org/10.1016/j.yapd.2019.04.002 memiliki anak penderita cerebral palsy karena 4. MacLennan AH, Thompson SC, Gecz J. Cerebral palsy: Causes, pathways, and the role of genetic variants. Am J memang sulit untuk merawat anak dengan Obstet Gynecol [Internet]. 2015;213(6):779–88. Available kondisi seperti ini. Orangtua yang mendukung from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.05.034 5. Graham HK. Classifying cerebral palsy. J Pediatr Orthop. dan merawat anaknya dengan baik akan sangat 2005;25(1):127–8. meningkatkan prognosis baik bagi anaknya yang 6. Graham HK, Rosenbaum P, Paneth N, Dan B, Lin JP, Damiano DiL, et al. Cerebral palsy. Nat Rev Dis Prim. juga akan meningkatkan kualitas hidup anak 2016;2. tersebut. “Cerebral palsy bukan penyakit keturunan dan bukan penyakit menular yang perlu dijauhi atau dipandang sebelah mata. Ini adalah cacat otak permanen yang tidak progresif. Orang cerebral palsy bukan menjadi orang yang
Untuk mendengarkan pendapat dr. Sisca Silvana, M.Ked(Ped), Sp.A(K). mengenai cerebral palsy lebih lanjut, tonton GO-Talk 10 Ep. 1: “Updates on Cerebral Palsy” di Instagram TV dan YouTube Channel AMSA-Indonesia.
88
RTeam
Section
Seven Steps for your First Journey in Creating a Scientific Paper Writing a paper might seem like a job meant only for those who are experienced. However, we are here to allow you to upgrade your writing skills. Here are some tips and tricks from our Research Team on how to write your first, or next, masterpiece. Start your journey with us!
89
1.
Choose a topic you are interested in. Trigger curiosity. Help to keep a positive attitude during the writing process.
4. 5.
Get references.
Watch short videos picture of your topi Read journals, book
Check out other people’s papers. Re-check for any plagiarism. Get ideas and take note of key points.
6.
Ask experienced friends or seniors. Discuss with them. Ask for suggestions.
Thank you for your enthusiasm! We await your contribution. Yours truly, Research Team AMSA-Indonesia 2020/2021 90
2.
Maximize search engines. Check available journals to give you ideas on specific topics. Ex. PubMed.
3.
s to get a big ic. ks, etc.
7.
Set your environment. Match your learning style. Turn on music (instrumental, favorite playlist, etc). Prepare your favorite food and drinks.
Check your paper about wording, spelling, grammar, etc.
91
R-QUIZ Jangan lewatkan kesempatan untuk mendapatkan hadiah spesial dari AMSA-Indonesia melalui R-Quiz!
bit.ly/RQuizRT62
DEADLINE : 8 JUNE 2021
92
Peraturan R-Quiz 1. R-Quiz hanya boleh diikuti oleh member AMSA-Indonesia. 2. Format nama yang ditulis pada Quizizz: Nama depan_AMSA-universitas Contoh: Vinson_AMSA-Unhas 3. Submisi yang menggunakan format nama yang tidak sesuai dengan peraturan akan dianggap gagal. 4. Setelah menyelesaikan pertanyaan di Quizizz, peserta wajib mengirimkan screenshot ke Google Form: bit.ly/RQuizRT62result 5. Pemenang yang tidak mengirimkan screenshot bukti akan dianulir. 6. Penilaian pemenang berdasarkan waktu dan ketepatan pengisian. 7. Submisi dibuka mulai 1-8 Juni 2021 pukul 23.59 WIB. 8. Pengumuman pemenang akan dilaksanakan melalui Instagram AMSA-Indonesia pada tanggal 9 Juni 2021. 9. Pemenang dapat menghubungi Research Team distrik masing-masing untuk informasi lebih lanjut. 10. Keputusan hasil pemenang R-Quiz tidak dapat diganggu gugat.
93
Rese Tea Say H
@ululululu_ai AISYAH MARDIYYAH RESEARCH TEAM DISTRICT 1
@aileenaless AILEEN ALESSANDRA S. RESEARCH TEAM DISTRICT 2
@srifdahh R.A. SALSABILA RIFDAH RESEARCH TEAM DISTRICT 2
@raissaintani RAISSA INTANI A. RESEARCH TEAM DISTRICT 3
94
earch am Hi!
@pru3lucianus PRUDENCE LUCIANUS RESEARCH TEAM DISTRICT 4
@mellybeth28 MELLYBETH INDRIANI LOUIS RESEARCH TEAM DISTRICT 6
@gabrieljulio.id GABRIEL JULIO C.I.D RESEARCH TEAM DISTRICT 5
@vinsonevan_ VINSON EVAN THENARDY RESEARCH TEAM DISTRICT 6
95
K
ami segenap tim penyusun R-Ticles 6 Volume 2 mengucapkan terima kasih atas antusiasme pembaca. Dalam rangka menyediakan majalah sains yang lebih baik lagi di kemudian hari, dengan senang hati, kami menerima komentar, kritik, dan saran melalui kuesioner Feedback Letter R-Ticles 6 Volume 2 yang dapat diakses pada link berikut:
https://bit.ly/FeedbackRT62
96
S
eperti yang telah kita ketahui bahwa R-Ticles telah menyajikan berbagai macam informasi mengenai dunia penelitian kesehatan sejak tahun 2015. Karya R-Ticles dari segenap keluarga Research AMSA-Indonesia dapat diakses melalui link berikut:
R-TICLES 1: https://bit.ly/RTicles1
R-TICLES 1 : https://bit.ly/RTicles2
R-Ticles 4 Vol. 1 : https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles__4 R-Ticles 4 Vol. 2 : https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles__4_volume_2 R-Ticles 4 Vol. 3 : https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles__4_volume_3 R-Ticles 4 Vol. 4 : https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles__4_volume_4
R-TICLES 3 : https://bit.ly/RTicles3
R-Ticles 5 Vol. 1 : https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r_ticles_5thed_vol1 R-Ticles 5 Vol. 2: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r_ticles_2 R-Ticles 5 Vol. 3: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_3 R-Ticles 5 Vol. 4: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_4 R-Ticles 5 Vol. 5: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_5 R-Ticles 5 Vol. 6: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_6 R-Ticles 5 Vol. 7: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_7 R-Ticles 5 Vol. 8: https://issuu.com/amsaindonesia/docs/r-ticles_5thed_8
“Igniting Potentials, Unleashing Possibilities” Viva AMSA! 97
When Breath The Vital Res
https://issuu.com/amsain volume_1_amsa-in
h Becomes Air: spiratory Organ
ndonesia/docs/r-ticles_6th_ ndonesia_2020_2021
99
100