BERANDA KATA
“Hidup ini harus
menghidupkan orang lain.
Memanusiakan manusia.�
(Gerson Poyk, 1931-2017)
Majalah Sastra Santarang
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora Pelindung/Penasehat/Penanggung Jawab: Amanche Franck OE Ninu, Pr Pemimpin Redaksi: A. Nabil Wibisana | Sekretaris Redaksi: Linda Tagie Sidang Redaksi: A. Nabil Wibisana, Abdul M. Djou, Anaci Tnunay & Saddam HP Kontributor Senior: Amanche Franck OE Ninu, Pr & Mario F. Lawi Desain Sampul: Abdul M. Djou | Ilustrasi isi: Valentino Senda Tata letak isi: A. Nabil Wibisana & Abdul M. Djou Email Redaksi: majalahsantarang@gmail.com Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa cerpen, esai, puisi, dan resensi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan.
DAFTAR ISI
Januari-Februari 2017 Memoar Gerson Poyk
1
Lodok Lingko
Esai A.S. Laksana Mario F. Lawi
5 9
Gerson Poyk si Jenaka “Noli me tangere”
Cerpen Eric Lofa Etgar Keret Fanny J. Poyk Iin Farliani
14 16 23 30
Di Atas Langit Tiba-tiba, Sebuah Ketukan di Pintu Sepeda Tua Ayah Kolam
36 37 38 39 40 41 42 44 45 46 47 48 50
Jalan Bernama Harapan Di Jalanan Roma Hari-Hari Sebagai Rumputan Agnus Dei Gereja Tentang Kenangan, Kau dan Jamuan Pembuka Dia Dan Aku Yang Telah Menjadi Asing Mengeja Ketakutan Alina, 1 Alina, 2 Kupu-Kupu
Resensi Ria Try Fitriana Steve Elu
51 57
Bakat Menggonggong Hidup Gerson Teringkas dalam Puisi
Humor Amanche Franck OE Ninu
63
Humor Anak Timor
Kuis Redaksi
64
Kuis Berhadiah
Puisi Dedy Tri Riyadi
Diana Timoria
Jemmy Piran
memoar Gerson Poyk
Lodok Lingko* Gerson Poyk
Y
ang paling menarik selama tinggal di Ruteng adalah upacara pembagian kebun berbentuk roda sepeda atau lebih tepat berbentuk sarang laba-laba. Dari titik pusat ditarik benangbenang (tali halus) ke sebuah lingkaran. Jarak antara dua utas benang, misalnya, selebar ibu jari. Kalau ditarik terus sepanjang setengah atau satu kilometer maka kebun itu akan luas. Ada ukuran ibu jari, kelingking, dan jari tengah. Ukuran yang lebih kecil adalah kelingking. Di samping lingkaran itu ada sebuah patok besar berbentuk silinder berujung lancip. Mula-mula anak ayam disembelih lewat mulutnya dan darahnya diteteskan ke ujung lancip patok (yang disebut lodok) itu, disertai mantra-mantra yang berirama indah. Kemudian anak babi dibelah di kepalanya lalu darahnya diteteskan ke lodok (patok) yang lancip itu. Upacara itu kulihat berlangsung di dataran Kumba yang kini telah menjadi lapangan terbang Satar Tacik. Setelah upacara pembagian kebun berbentuk roda sepeda dan jerijinya itu berlangsung, tetua adat dengan pakaian adat berbaris beriringan, berjalan pelan-pelan sambil menyanyikan syair-syair doa dan mantra-mantra dalam bahasa Manggarai. Ketua paling depan berjalan sambil memegang golok terhunus, menunjuk ke depan, menuju rumah adat di Tenda. Aku mengikuti dengan penuh keasyikan, mulai dari dataran Kumba sampai ke Tenda. Jaraknya sekitar tiga kilometer. Kalau kebun demikian menjadi sawah maka bentuknya seperti sarang laba-laba raksasa. Hal itu tampak jelas di lembah Cancar, enam belas kilometer di sebelah barat Kota Ruteng. Orang Manggarai menyebut kebun demikian Lingko. Andaikata kebun gotong-royong demikian ditiru di seluruh Indonesia, maka masalah penggangguran sarjana dan keterbelakangan pengetahuan petani tradisional akan teratasi. Kebun demikian itu akan menjadi embrio sebuah desa pariwisata budaya dan pariwisata agroindustri. Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
1
memoar Gerson Poyk
Bayangkan kalau kebun yang demikian itu ditanami tanaman obatobatan, tanaman untuk parfum (minyak mawar, melati, kenanga, dan sebagainya) serta tanaman pandan yang menghasilkan anyaman dan tanaman kapas yang menghasilkan tenun ikat. Kebun (sawah) gaya Lingko itu memberi inspirasi buatku untuk sebuah novel berjudul Enu Molas di Lembah Lingko (Enu Molas dalam bahasa Manggarai berarti gadis cantik). Selama enam tahun tinggal di Ruteng, hanya sekali aku ke Reo, pelabuhannya bernama Kedindi. Desa Reo terletak di tepi sungai yang makin lama makin dangkal saja. Dulu memang dalam. Menurut guruku Tuan Wowor, dulu kapal api bisa masuk sampai ke sungai Reo dan merapat ke pinggir desa, membongkar dan memuat barang. Kini hanya sampan-sampan kecil saja yang berlabuh di tepian sungai Desa Reo. Setelah enam tahun tak melihat pantai, begitu turun ke Reo dan pelabuhan Kedindi, aku merasa seperti masuk neraka. Panasnya bukan main. Keringat bagaikan banjir di siang hari, lebih-lebih di malam hari karena semua orang mesti tidur dalam kelambu. Aku merasa tempat manusia hidup sehat bukan di desa pantai, tetapi di Ruteng. Di Ruteng aku tidak pernah sakit, tidak pernah kena flu tetapi di Reo aku batuk pilek. Ingusku kental menjulur dari hidung. Ketika pulang ke Ruteng, begitu angin pegunungan menyentuh kulitku, aku sehat kembali. Memang, Reo penuh dengan sawah tetapi juga nyamuk malaria. Waktu ayah mengusulkan kepada ibu agar kami sekeluarga pindah ke Reo untuk mengerjakan sawah, ibu menolak karena takut kena malaria. Ruteng adalah kota agama. Mayoritasnya Katolik dan karena bersekolah di sekolah Katolik maka aku juga ikut-ikutan masuk gereja dan menghafal doa-doa dalam bahasa Latin. Tetapi kami tetap Protestan. Tiap minggu aku masuk Sekolah Minggu. Tiap Natal aku ikut main sandiwara Natal. Umat Protestan tidak banyak tetapi anak-anak Protestan di tangsi polisi dan pendatang sipil cukup banyak untuk sebuah perayaan Natal. Hari Natal dan hari Minggu membuat aku menjadi anak yang bersih, tidak berpakaian Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
2
memoar Gerson Poyk
kumuh, berbaju warna tanah. Aku berpakaian baru dan walaupun memakai seterika arang, pakaianku rapi diseterika, waktu itu seorang tante yang gemuk bundar, agak jijik padaku karena pakaianku dan koreng di celah paha dan kemaluanku. Aku sering telanjang bulat kalau badanku sudah digosok dengan obat koreng yang sangat berbau. Di masa Jepang merajalela, Kota Ruteng penuh dengan rombongan anak sekolah yang korengan. Ke luar dari rumah sakit, badan ‘kaum’ korengan itu sudah dilumuri obat dan berjalan ke sekolah dengan telanjang kaki sambil menenteng pakaian. Kalau diingat memang lucu. Suasananya ramai sekali ketika rombongan kaum koreng itu mengejar gadis-gadis kecil yang sudah tentu berlarian tak mau badan mereka disenggol oleh kaum korengan. Tentang korengan ini bisa dibaca di cerpenku berjudul “Si Keong� yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Omong-omong tentang hujan tak henti-henti seminggu bahkan sebulan lamanya, yang dalam bahasa Manggarai disebut musim dureng, aku ingat ketika baju sekolahku cuma satu. Keluar dari rumah memang agak kering tetapi karena dalam perjalanan ke sekolah memakai payung daun pisang, semuanya basah kuyup. Duduk di sekolah basah-basah. Di jam istirahat, aku berjemur diri sebentar kalau ada matahari, tetapi tidak langsung kering. Memakai pakaian basah duduk di kelas sudah terbiasa. Begitu pulang basah kuyup lagi, lalu di rumah, api di tungku diperbesar dan pakaian itu diputar-putar di atas lidah api sampai kering, kemudian dipakai lagi walaupun sangat berbau asap.
Catatan: Nukilan dari memoar Gerson Poyk berjudul Nostalgia Flobamora (Actual Potensia Mandiri, 2015), halaman 161-165. Dimuat ulang di sini sebagai bagian dari perhormatan atas pencapaian dan pengabdian Gerson Poyk dalam perkembangan sastra Indonesia. Tulisan dimuat atas izin Fanny J. Poyk. Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
3
memoar Gerson Poyk
Gerson Poyk (16 Juni 1931 - 24 Februari 2017) lahir di Ba’a, Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Pernah menjadi guru SMP Negeri di Ternate dan Bima mulai tahun 1956 sampai 1963. Pertengahan 1963 jadi wartawan Sinar Harapan sampai dengan 1970. Sejak 1963, jadi penulis lepas dan pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Tahun 1985 dan 1986 menerima Hadiah Adinegoro. Meraih South East Asia Write Award dari Bangkok dan Anugerah Kebudayaan (katagori seni) dari Pemerintah Republik Indonesia. Memperoleh Lifetime Achievement Award dari Harian Kompas dan Academy Award dari Forum Akademia NTT. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Belanda, dan lain-lain. Puluhan cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik dari berbagai media, termasuk juga pilihan cerpen terbaik surat kabar Kompas.
Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
4
ESAI A.S. Laksana
Gerson Poyk si Jenaka* A.S. Laksana
A
da satu buku yang terasa provokatif saking tebalnya, yaitu Laut Biru Langit Biru, sebuah antologi karya sastra yang disusun Ajip Rosidi. Ia tampak berwibawa di antara bukubuku lain yang berjajar di rak perpustakaan, seperti seekor kuda nil dikerumuni serangga. Itulah buku pertama yang saya pinjam dari perpustakaan SMA 3 Semarang pada tahun pertama saya masuk sekolah tersebut, 1984, dan juga buku yang paling sering saya perpanjang masa peminjamannya karena tidak habis-habis dibaca. Saya tidak ingat berapa ratus halaman tebalnya, tetapi edisi cetak ulangnya yang terbaru, 2013, setebal 800 halaman. Ia memuat cerita pendek, puisi, nukilan novel, esai, dan kritik sastra, mencakup rentang waktu dari 1966 hingga 1976, dan para penulisnya adalah nama-nama besar sastra Indonesia. Di buku itu saya kali pertama berjumpa dengan nama Gerson Poyk melalui Matias Akankari, sebuah cerpen yang mengisahkan pengalaman beberapa hari seorang lelaki dari pedalaman hutan Irian Jaya di ibu kota Jakarta. Cara bertutur Gerson sangat lincah meskipun pada waktu itu saya merasa Matias Akankari bukanlah cerita yang sungguh-sungguh. Ia semacam banyolan–untuk menyampaikan berbagai ironi–untuk mengabarkan kepada kita bahwa kehidupan kelas atas di Jakarta sama belaka dengan kehidupan ’’primitif’’ di pedalaman hutan Irian Jaya: orangorangnya sama-sama hanya memakai cawat. Setelah perkenalan itu, tak lama kemudian saya membeli buku kumpulan cerpen Gerson Poyk Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Rajagukguk. Saya menyukai kelincahan bertutur Gerson Poyk dan kemampuannya menggarap cerita tentang kemiskinan dalam cara yang gagah dan lucu. Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang miskin, sama seperti beberapa pengarang
5
ESAI A.S. Laksana
Indonesia. Bedanya, ia selalu bisa melihat sisi jenaka orang-orang melarat itu dan sepertinya tidak berminat menjadikan mereka bahan penguras air mata. Saya cepat jatuh cinta pada cerpen-cerpen Gerson karena pada dasarnya saya menyukai tulisan-tulisan yang jenaka. Itu jenis karangan yang paling sulit ditulis menurut Mark Twain. Yang paling mudah, menurut saya, adalah membenamkan diri ke dalam melodrama. Tiga puluh tahun setelah perjumpaan dengan Matias Akankari, Oktober 2015, untuk kali pertama saya bertemu penulisnya. Kami dalam pesawat yang sama dari Jakarta menuju Ende, memenuhi undangan Kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur. Ia sudah 84 tahun saat itu, berangkat berdua dengan putri yang sangat menyayanginya, Fanny Jonathans–orang yang akan menjadi teman sekantor sekiranya saya dulu menerima tawaran Arswendo Atmowiloto untuk bergabung dengan tabloid anak-anak Fantasi setelah tabloid DeTIK diberedel, 1994. Pesawat transit beberapa jam di Kupang. Kami dijemput panitia, mencari tempat makan siang, dan kemudian dibawa singgah ke kantor redaksi majalah setempat. Saya menggunakan kesempatan untuk memotretnya, baik pada saat makan maupun ketika wartawan mewawancarainya. ’’Kupang sangat menyenangkan karena ada sopi,’’ katanya ketika kami di dalam mobil. ’’Itu minuman yang mampu melembutkan hati kita. Para perempuan akan terlihat lebih cantik saat kita minum sopi.’’ Saya tertawa mendengarnya. ’’Papa tidak boleh minum sopi, nanti mabuk,’’ Fanny mengingatkan. Seandainya kami seusia, saya yakin kami bisa menjadi teman akrab. Gerson sangat periang dan ia gemar menipu teman-
6
ESAI A.S. Laksana
temannya. Pernah suatu saat, ketika koperasi seniman baru dibentuk Dewan Kesenian Jakarta, Gerson mengabarkan bahwa setiap seniman mendapatkan pinjaman beberapa ratus ribu–jumlah yang besar pada masa itu. ’’Temuilah Motinggo Busye, dan ambil jatahmu,’’ katanya kepada salah seorang temannya, sesama penulis. Orang itu menemui Motinggo, bendahara koperasi, dan tentu saja tidak mendapatkan apa-apa. Dia kemudian menyampaikan kabar yang sama kepada orang lain lagi, yang segera menemui Motinggo. Dan seterusnya kabar itu ditularkan dari satu orang ke orang lain, sampai kembali ke Gerson sendiri. Dan Gerson menemui Motinggo untuk mengambil jatah pinjamannya. ’’Lho, Son, itu kan yang mengarang cerita kamu sendiri,’’ kata Motinggo. Ketika kami kembali lagi ke Bandar Udara Kupang untuk menyeberang ke Ende, saya menghabiskan waktu bersamanya di ruangan tempat merokok. Dia keras kepala dalam urusan merokok. Fanny berkali-kali mengingatkan ayahnya, ’’Papa sudah merokok terlalu banyak.’’ Gerson seolah-olah tidak mendengar. Di ruangan merokok dia cepat akrab dengan siapa saja yang ada di sana dan menceritakan banyak hal, termasuk usianya yang sebetulnya sudah di atas 90 tahun, meskipun di dalam kartu identitas dia tercatat lahir 16 Juni 1931. Dia juga menceritakan stroke yang pernah menyerangnya. ’’Stroke itu penyakit yang menjengkelkan,’’ katanya. ’’Tiba-tiba saja dia mendatangi saya. Lalu, saya usir saja dia jauh-jauh.’’ Saya menikmati pertemuan pertama dengan Gerson, dan itu rupanya juga pertemuan terakhir. Pekan lalu, dia masuk rumah sakit. Saya berharap dia kembali bugar dan kami bisa bertemu lagi, merokok bersama-sama sambil berkelakar. Namun, kali ini dia tidak berhasil mengusir penyakitnya.
7
ESAI A.S. Laksana
Jumat, 24 Februari 2017, Gerson Poyk meninggal. Saya mengantar kepergiannya dari rumah, dengan harapan baik, dengan ucapan terima kasih. Dari cerpen-cerpennya, saya belajar bahwa kepedihan bisa disampaikan secara gagah dan jenaka.
Catatan: Pernah dimuat di Kolom Ruang Putih, harian Jawa Pos edisi 26 Februari 2017. Dimuat ulang di sini sebagai bagian dari perhormatan atas pencapaian dan pengabdian Gerson Poyk dalam perkembangan sastra Indonesia. Tulisan dimuat atas izin A.S. Laksana. A.S. Laksana saat ini menulis kolom tetap “Ruang Putih� untuk edisi hari Minggu di harian Jawa Pos dan grup. Buku kumpulan cerpennya Bidadari yang Mengembara dipilih oleh Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik tahun 2004. Buku kumpulan cerpennya yang lain, Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-hantu terbit tahun 2013 dan Si Janggut Mengencingi Herucakra terbit tahun 2015.
8
esai Mario F. lawi
“Noli me tangere” Mario F. Lawi Dicit ei Iesus noli me tangere nondum enim ascendi ad Patrem meum vade autem ad fratres meos et dic eis ascendo ad Patrem meum et Patrem vestrum et Deum meum et Deum vestrum. (Ioannes 20:17)
N
yaris empat ratus tahun setelah humanis Spanyol Antonio de Nebrija menerbitkan sebuah buku tata bahasa Spanyol Gramática de la lengua castellana (Gramatika Bahasa Kastilia) dan lebih dari 250 tahun setelah misionaris Dominikan di Filipina Francisco Blancas de San José menerbitkan Arte y reglas de la lengua tagala (Seni dan Aturan Bahasa Tagalog), Bapak Bangsa Filipina José Rizal menerbitkan salah satu karya monumentalnya, Noli me tangere, novel yang menunjukkan kebobrokan para penjajah di tanah Filipina yang ditulis dengan bahasa kaum penjajah tersebut. Keyakinan Nebrija bahwa bahasa adalah alat utama dari kekuasaan inilah yang diteruskan oleh para misionaris Spanyol di wilayah koloni mereka selama ratusan tahun di Filipina. Nebrija menulis credo-nya pada bagian Prólogo buku gramatika yang didedikasikannya untuk Ratu Isabella tersebut: Una cosa hállo et sáco por conclusión mui cierta: que siempre la lengua fue compañera del imperio; et de tal manera lo siguió, que junta mente començaron, crecieron et florecieron, et después junta fue la caida de entrambos. [Satu hal yang saya temukan dan dengan yakin saya simpulkan: bahasa selalu merupakan karib dari imperium; dan karena itulah sebagai lanjutannya, mereka hadir bersama, bertumbuh, berkembang, dan kemudian runtuh bersama.]
Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
9
esai Mario F. lawi
Nebrija tentu belajar dari pengalaman bagaimana bahasa Latin─induk semang bahasa Spanyol dan bahasa-bahasa rumpun Roman lainnya─mengalami perkembangan bersama pesatnya perkembangan Imperium Romanum dan otoritas Gereja, sebelum mengalami kemundurannya. Dengan mengaitkan hubungan antara bahasa dan kekuasaan, Nebrija sedang berbicara tentang nasionalisme dalam arti sempit, wajah nasionalisme yang juga dipotret Benedict Anderson dalam buku monumentalnya Imagined Communities. Di Filipina, nasionalisme Spanyol yang dimaksudkan oleh Nebrija muncul dalam bentuk ekstrem, yakni imperialisme. Bahasa Spanyol di Filipina benar-benar muncul sebagai alat otoritatif. Misionaris-misionaris Spanyol seperti Francisco Blancas de San José dan Agustín de Magdalena menggunakan perangkat gramatika bahasa Spanyol yang diturunkan dari Latin untuk merumuskan gramatika bahasa Tagalog, sebuah bahasa yang sama sekali asing bagi mereka pada saat itu. Misi pemberadaban yang diusung logika kolonialisme tersebut hadir dengan wujud yang kultural: agama dan bahasa. Dengan mengabaikan realitas kultural yang ada sebelumnya, para misionaris memperkenalkan Kekristenan dan bahasa Latin serta Spanyol, elemen-elemen yang juga berperan penting dalam perkembangan intelektual José Rizal, kepada orang-orang Filipina. Aksara baybayin yang sudah ada dalam khazanah linguistik Filipina diabaikan oleh huruf-huruf yang dilatinkan. *** Noli me tangere ditulis José Rizal dalam bahasa Spanyol, dan diselesaikannya di Berlin, setelah bagian-bagian awalnya ditulisnya di Madrid dan Paris. José Rizal yang lahir di Calamba, Filipina, pada 19 Juni 1861 adalah seorang ilmuwan sosial, dokter, sejarawan dan seorang poliglot sejati. Leopoldo Zea, pada salah satu bagian pengantar Noli me tangere edisi terbitan Fundación Biblioteca Ayacucho, menulis tentang Rizal (hlm. xii): Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
10
esai Mario F. lawi
Escritor, pintor, escultor, hombre que hablaba y escribía en francés, inglés y alemán, así como leía el latín. Pero, ante todo, hombre que hablaba, como lengua propia, el castellano. En castellano había escrito la obra por la cual fue condenado. Libros, cartas, conferencias, discursos y proclamas expresados en español. El español que había aprendido desde su niñez y con el tagalo formaba su lenguaje. El español, lengua que era entrañable, propia. [Penulis, pelukis, pematung, lelaki yang dapat berbicara dan menulis dalam bahasa Prancis, Inggris dan Jerman, juga dalam bahasa Latin. Namun, terutama, lelaki yang cakap berbahasa Kastilia, sebagai bahasanya sendiri. Dalam bahasa Kastilia ia menulis karya yang membuatnya dihukum. Buku-buku, surat-surat, konferensi-konferensi, diskursus-diskursus dan maklumat-maklumat diekspresikannya dalam bahasa Spanyol. Bahasa yang telah dipelajarinya sejak masa kanak-kanak, sekaligus yang bersama bahasa Tagalog membentuk khazanah bahasanya. Bahasa yang khas, yang intim (baginya).]
Lembaga-lembaga pendidikan Katolik yang ada di Filipina dan pengembaraan José Rizal di Eropa mengasah kemampuan berbahasanya. Ia melahap banyak karya novelis besar Eropa pada masanya, mempelajari puisi-puisi Latin klasik pada usia belasan, dan menghasilkan novel antikolonial kepada para pembaca di luar negerinya yang sedang dikoloni dalam usia muda. Crisóstomo Ibarra, tokoh utama dalam Noli me tangere, yang pada awal novel diperkenalkan dengan sangat gagah pada sebuah pesta di rumah Don Santiago de los Santos justru menghilang di akhir kisah. Ia gagal menikahi Maria Clara, seorang perempuan yang kelak diketahui sebagai anak seorang misionaris Fransiskan Pater Damaso. Menarik untuk menyaksikan bagaimana situasi masyarakat kolonial ditunjukkan dalam Noli me tangere. Para misionaris di dalam novel tersebut bukanlah tokoh-tokoh yang Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
11
esai Mario F. lawi
menentang kolonialisme, bahkan merupakan orang-orang yang elitis. Dalam segala kesalehan mereka, para biarawan dan biarawati dalam Noli me tangere adalah orang-orang yang turut melanggengkan kolonialisme. Sindiran-sindiran terhadap praktik kolonialisme tidak hanya ditunjukkan José Rizal melalui sistem pemerintahan yang buruk, apatisme para biarawan dalam novel tersebut, melalui epigram-epigram asing yang dikutipnya, tetapi juga melalui ramalan del Viejo Tasio, Tasio Si Tua─yang pada taraf tertentu mengingatkan saya akan tokoh gipsi Melquiades dalam Cien años de soledad dari Gabriel García Márquez. Benedict Anderson, yang mengulas novel-novel José Rizal dalam buku-bukunya (The Spectre of Comparisons dan Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination), menemukan bahwa Noli me tangere memang ditulis untuk para pembaca di luar Filipina. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, melalui penjelasan-penjelasan bahasa Spanyol bagi kalimat-kalimat dan syair-syair Tagalog yang dipakai dalam novel tersebut. Judul Noli me tangere diambil José Rizal dari salah satu klausa dalam Injil Yohanes, perkataan Yesus kepada Maria Magdalena setelah momen kebangkitan. Dengan mempersonifikasi tanah airnya, ibu pertiwinya (yang sangat dicintainya dan dengan rasa patriotik dilukiskannya dalam puisi paling terkenalnya “Mi ultimo adios”), pada bagian pengantar Noli me tangere, klausa “noli me tangere” dapat dibaca sebagai kemarahan dari pertiwi yang menderita kepada pihak penjajah yang mengakibatkan penderitaan tersebut. “Noli me tangere” bisa juga berarti pars pro toto, sebab bentuk imperatif kata “nolle” yang digunakan dalam klausa tersebut adalah “noli” (janganlah engkau), dan bukan “nolite” (janganlah kalian). Melalui penggunaan bentuk imperatif dalam klausa tersebut, ada sebuah pembalikan wacana yang radikal: bentuk penyeragaman yang dilihat oleh manusia-manusia penjajah terhadap orang-orang yang dikoloninya justru digunakan oleh orang di tanah koloni untuk melihat para penjajahnya. Para Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
12
esai Mario F. lawi
penjajah diseragamkan melalui sebuah bentuk imperatif negasi menjadi orang kedua tunggal. “Noli” adalah sebuah bentuk negasi terhadap penjajah dengan menggunakan medium yang diwariskan para penjajah. Novel yang mengirim José Rizal ke arena eksekusi tersebut, dalam taraf tertentu, menggenapi “ramalan” Nebrija. Sang Filipina Pertama membalas air susu bunda pertiwinya dengan darah dan kemartirannya, dan menjadi cerlang bagi perla del mar de Oriente dan cahaya bagi región del sol querida yang dicintainya.
Mario F. Lawi bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku-buku puisinya adalah Memoria (2013), Ekaristi (2014), Lelaki Bukan Malaikat (2015), dan Mendengarkan Coldplay (2016).
Majalah Sastra Santarang No. 1 Tahun I, Januari-Februari 2017
13
CERPEN Eric Lofa
Di Atas Langit Eric Lofa /1/
D
okter yang menangani operasiku adalah seorang gadis muda bernama Ani yang kelihatan pintar dengan kacamata tebalnya. Sejak awal pertemuan kami, ia selalu mengoceh soal berbagai macam prosedur yang mesti kujalani. Aku memberinya beberapa anggukan yang berarti bahwa aku sangat menghormati usahanya bekerja sebagai seorang dokter dan ingin ia segera berhenti bicara. Pada pertemuan terakhir kami─sesaat sebelum aku keluar dari rumah sakit─ia bilang kalau akan segera menikah. Lucu juga, padahal aku tidak bertanya. /2/ Beberapa minggu dirawat inap sampai akhirnya diperbolehkan pulang rasanya seperti baru selesai menempuh perjalanan jauh. Kawan karibku Luis dan istrinya sempat melarang keberangkatanku sehari sebelum aku pergi dari rumah mereka. O ya, di kota ini aku tinggal sementara bersama Luis sekeluarga. Mereka memang tipe orang yang suka khawatir. Aku sendiri tak kuasa menahan haru ketika kubilang akan baik-baik saja, dan betapa aku mencintai mereka seperti saudaraku sendiri. Dasar mereka memang agak keras kepala, Luis bilang tidak ingin mengenalku lagi kalau aku ngotot begini. Tapi toh aku pergi juga. Sesungguhnya aku hanya tidak ingin merepotkan mereka saja. /3/ Sebentar lagi Luis akan menjadi seorang ayah. Perut istrinya, Dewi, sudah menggelembung bagai galon. Aku yakin ada lebih dari satu bayi di dalam sana.
14
CERPEN Eric Lofa
”Kami akan beri nama dia Erik,” kata Luis. “Kalau perempuan kami namai Erika,” sambung Dewi. Mereka mirip tim debat yang saling melengkapi pernyataan. /4/ Sesaat sebelum pesawat lepas landas, agar tidak terkesan meninggalkan sesuatu, kuputuskan untuk tidak melirik apa pun dari jendela. Aku menutup kedua lubang telingaku dan terbayangkan wajah ayah. Tiba-tiba aku teringat kumisnya dan percakapan malam terakhir kami yang penuh jeda─sebuah meja makan dan dunia yang mahaluas mematikan kata-kata. Apa yang dikatakan ayahku sebelum meninggal ialah tidak mengatakan apa-apa. Betapa aneh, pikirku. Manusia hidup, bertemu, berpisah, saling melupakan, dan kenangan-kenangan tidak pernah mengeluh. Di atas laut dan langit yang terasa asing, tiba-tiba aku merasa diriku menjelma sebuah pesawat, sedang diterbangkan dan bukan sebagai penumpang.
Eric Lofa bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
15
CERPEN Etgar Keret
Tiba-tiba, Sebuah Ketukan di Pintu* Etgar Keret
“K
isahkan padaku sebuah cerita,” perintah pria berjanggut yang duduk di sofa di ruang tamuku. Situasinya, mesti kuakui, tidak menyenangkan sama sekali. Aku seorang penulis cerita, bukan seorang penutur cerita. Lagipula menulis cerita bukanlah sesuatu yang kulakukan atas permintaan. Terakhir kali ada yang memintaku untuk menuturkan sebuah cerita, adalah anakku. Itu setahun yang lampau. Aku mendongengkan kepadanya sesuatu tentang peri dan musang─aku bahkan tak ingat persis apa sebenarnya─dan dalam waktu dua menit dia tertidur pulas. Tapi kali ini situasinya sungguh berbeda. Karena anakku tak punya janggut, atau pistol. Karena anakku meminta cerita secara baikbaik, tetapi orang ini rasanya seperti sedang merampokku. Aku mencoba menjelaskan kepada pria berjanggut itu bahwa jika dia meletakkan pistolnya, maka itu justru akan baik untuknya, baik untuk kami pula. Sukar untuk memikirkan sebuah cerita jika ada pistol terisi peluru mengarah ke kepalamu. Namun, pria itu bersikukuh. “Di negeri ini,” dia menjelaskan, “jika kau ingin sesuatu, kau mesti menggunakan paksaan.” Dia baru saja tiba dari Swedia, dan di Swedia keadaannya benar-benar berbeda. Di sana, jika kau ingin sesuatu, kau meminta dengan sopan, dan seringkali kau mendapatkannya. Tapi tidak di Timur Tengah yang pengap dan menyesakkan ini. Hanya butuh seminggu berada di tempat ini untuk mencari tahu bagaimana segala sesuatu bekerja─atau lebih tepatnya, bagaimana semua itu tidak bekerja. Orang-orang Palestina meminta sebuah negara, secara baik-baik. Apakah mereka mendapatkannya? Mimpi di siang bolong! Jadi mereka berpaling, mulai meledakkan anak-anak di bus, dan orang-orang mulai mendengarkan. Para pemukim ingin berdialog. Apakah ada yang menanggapi? Tak mungkin. Jadi mereka mulai beraksi, menuangkan minyak panas ke arah petugas patroli perbatasan, dan
16
CERPEN Etgar Keret
tiba-tiba mereka mendapat perhatian. Di negeri ini, kekuatan selalu benar, tidak peduli apakah itu tentang politik atau ekonomi atau tempat parkir. Kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang kita mengerti. Swedia, tempat asal pria berjanggut itu sebelum pindah ke sini, adalah negara maju, dan bahkan terdepan dalam sejumlah urusan. Swedia bukan hanya ABBA atau IKEA atau Hadiah Nobel. Swedia adalah dunia tersendiri, dan apa pun yang mereka miliki, mereka memilikinya dengan cara damai. Di Swedia, jika seseorang pergi menemui solois Ace of Base, mengetuk pintu dan memohon sebuah lagu untuk dinyanyikan, dia akan diundang masuk dan dibuatkan secangkir teh. Lalu si penyanyi akan mengeluarkan gitar akustik dari bawah tempat tidur dan bermain untuk si pemohon. Semua itu, dilakukan dengan senang hati. Tapi di tempat ini? Maksudku, jika pria berjanggut itu tidak menodongkan pistol, pasti telah kudepak keluar. Baiklah, aku coba memikirkan alasan semua ini terjadi. “Kuperingatkan kau,” pria berjanggut itu menggerutu, dan mengokang pistolnya. “Sebuah cerita atau sebuah peluru bersarang di antara dua matamu.” Aku tahu pilihanku terbatas. Orang ini sungguh serius. “Dua orang sedang duduk di sebuah ruangan,” aku memulai. “Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu.” Pria berjanggut itu menegang, dan untuk beberapa saat, kupikir dia mulai terbawa suasana cerita ini, tetapi nyatanya tidak. Dia mendengarkan sesuatu yang lain. Sebuah ketukan di pintu. “Buka,” katanya kepadaku, “dan jangan coba macam-macam. Usir siapa pun itu, dan lakukan dengan cepat, atau semua ini akan berakhir buruk.” Pemuda di depan pintu ternyata seorang petugas survei. Dia memiliki sejumlah pertanyaan. Pendek-pendek. Tentang kelembaban tinggi saat musim panas di sini dan bagaimana hal itu mempengaruhi keseharianku. Aku berujar kepadanya bahwa aku tidak tertarik menjawab, tapi dia malah memaksa masuk.
17
CERPEN Etgar Keret
Valentino Senda, pensil di atas kertas.
18
CERPEN Etgar Keret
“Siapa itu?” dia bertanya kepadaku, menunjuk ke arah pria berjanggut. “Keponakanku dari Swedia,” aku berdusta. “Ayahnya meninggal dalam musibah longsor dan dia datang ke sini untuk urusan pemakaman. Kami sedang mengurus surat wasiat. Bisa tolong hormati privasi kami dan segera pergi?” “Ayolah, Bung,” kata si petugas survei, menepuk pundakku. “Hanya beberapa pertanyaan. Berikan seorang pria kesempatan untuk mendapatkan sedikit uang. Mereka membayarku per responden.” Dia mengempaskan tubuhnya ke sofa, tangannya masih memegang berkas. Pria berjanggut asal Swedia itu duduk di sampingnya. Aku masih berdiri, berusaha terlihat sungguh-sungguh dengan keberatanku tadi. “Aku minta kau segera pergi,” kataku. “Waktumu tidak tepat.” “Tidak tepat, hah?” Dia membuka map plastik dan mengeluarkan sebuah revolver besar. “Kenapa waktuku tidak tepat? Karena aku berkulit lebih gelap? Karena aku tidak cukup baik? Untuk seorang Swedia, kau punya semua waktu di dunia. Tapi untuk seorang Maroko, untuk veteran perang yang meninggalkan potongan limpanya di Lebanon, kau tak bisa meluangkan satu menit pun.” Aku mencoba memberikan alasan kepadanya, mengatakan masalahnya bukan seperti yang dia pikirkan; bahwa dia kebetulan datang tepat pada momen penting dalam percakapanku dengan orang Swedia itu. Tapi si petugas survei menempelkan revolvernya ke bibir, memberikan isyarat kepadaku untuk tutup mulut. “Ayolah,” katanya. “Berhenti membuat alasan. Duduk di sana, dan lanjutkan saja.” “Lanjutkan apa?” aku bertanya. Sebenarnya aku cukup tegang sekarang. Si Swedia memiliki pistol juga. Situasi ini bisa tak terkendali. Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat, dan seterusnya. Watak yang berbeda. Atau mungkin, mereka bisa kehilangan semuanya, karena masing-masing menginginkan cerita hanya untuk dirinya sendiri. Sendirian. “Jangan pancing aku,” si petugas survei memperingatkan. “Aku sumbu pendek, gampang meledak. Lanjutkan ceritanya─dan lakukan dengan cepat.” “Ya,” orang Swedia itu menyambut, dan menarik keluar pistolnya juga. Aku berdeham, dan mulai dari awal
19
CERPEN Etgar Keret
lagi. “Tiga orang sedang duduk di sebuah ruangan.” “Dan jangan ada tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu,” si Swedia mengingatkan. Si petugas survei tidak terlalu paham apa maksudnya, tetapi berpurapura setuju. “Lanjutkan,” katanya. “Dan tidak ada sebuah ketukan di pintu. Beri kami sesuatu yang lain. Buat kami terkejut.” Aku berhenti sejenak, bernapas dalam-dalam. Keduanya menatapku. Bagaimana aku selalu terjebak dalam situasi semacam ini? Aku yakin masalah semacam ini tak pernah terjadi pada Amos Oz atau David Grossman. Tiba-tiba ada ketukan di pintu. Tatapan mereka berubah mengancam. Aku mengangkat bahu. Ini bukan salahku. Tidak ada sesuatu dalam ceritaku yang mengundang ketukan kali ini. “Singkirkan dia,” perintah si petugas survei kepadaku. “Singkirkan, siapa pun orangnya.” Aku membuka pintu perlahan, tidak terlalu lebar. Orang itu ternyata bujang pengantar pizza. “Apakah Anda Keret? dia bertanya. “Ya,” kataku, “tapi aku tidak memesan pizza.” “Di sini tertulis Jalan Zamenhoff No. 14,” sergahnya sambil menunjukkan slip pengiriman dan mendorong masuk ke ruangan. “Lalu kenapa,” balasku, “aku tidak memesan pizza.” “Porsi keluarga,” dia menegaskan. “Setengah nanas, setengah ikan teri. Prabayar. Kartu kredit. Beri aku tip dan aku akan minggat dari sini.” “Apakah kau di sini untuk cerita juga?” orang Swedia itu menginterogasi. “Cerita apa?” si pengantar pizza bertanya, tapi jelas dia berbohong. Dia pasti tidak mahir dalam hal itu. “Keluarkan saja,” si petugas survei mendesak. “Ayo, keluarkan saja pistolnya.” “Aku memang tak punya pistol,” si pengantar pizza mengakui dengan kikuk, lalu mengeluarkan pisau dari bawah nampan kardus. “Tapi aku akan mengirisnya sampai tipis, kecuali dia membuat cerita yang istimewa, memikat dua kali lipat.” Mereka bertiga duduk di sofa─si Swedia di sebelah kanan, lalu si pengantar pizza, kemudian si petugas survei. “Aku tak bisa melakukannya dengan cara ini,” aku memberitahu mereka. “Aku tak bisa membuat cerita dengan kehadiran kalian bertiga di sini, dengan ancaman senjata dan semua tekanan ini. Pergilah berjalan-
20
CERPEN Etgar Keret
jalan di seputaran blok, dan saat kalian kembali, aku akan memiliki sesuatu untuk kalian.” “Bajingan ini akan memanggil polisi,” si petugas survei berkata kepada orang Swedia itu. “Apa yang dia pikirkan, kita cuma anak ingusan?” “Ayolah, beri kami satu dan kami akan pergi,” si pengantar pizza memohon. “Pendek saja. Jangan terlalu perhitungan. Keadaan sekarang sulit, kau tahu. Pengangguran, bom bunuh diri, orang-orang Iran. Orang lapar sesuatu yang lain. Kau pikir apa yang membuat orang taat hukum seperti kami bertindak sejauh ini? Kami putus asa, Bung, putus asa.” Aku berdeham dan memulai lagi. “Empat orang sedang duduk di sebuah ruangan. Hari sangat panas. Mereka bosan. Pendingin ruangan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu dari mereka meminta sebuah cerita. Orang kedua bergabung, lalu orang ketiga…” “Itu bukan cerita,” protes si petugas survei. “Itu laporan saksi mata. Itu persis apa yang terjadi di sini sekarang. Kami sedang berupaya melarikan diri darinya. Jangan kau ambil dan tumpahkan realitas kepada kami seperti truk sampah. Gunakan imajinasimu, Bung, ciptakan, perbarui, tarik sejauh mungkin.” Aku mengangguk dan memulai lagi. “Seorang pria sedang duduk di sebuah ruangan, hanya dirinya seorang. Dia kesepian. Dia seorang penulis. Dia ingin menulis sebuah cerita. Sudah lama sejak dia menulis cerita terakhirnya, dan dia merindukan itu. Dia merindukan perasaan menciptakan sesuatu dari sesuatu. Persis─sesuatu dari sesuatu. Karena menciptakan sesuatu dari ketiadaan serupa halnya dengan membuat sesuatu dari udara tipis, tidak akan bernilai. Setiap orang bisa melakukannya. Namun, sesuatu dari sesuatu berarti benar-benar ada sepanjang waktu, di dalam dirinya, dan ia menemukan itu sebagai bagian dari sesuatu yang baru, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pria itu memutuskan untuk menulis sebuah cerita tentang situasi. Bukan situasi politik, bukan situasi sosial pula. Dia memutuskan untuk menulis sebuah cerita tentang situasi manusia, kondisi manusia. Kondisi manusia yang dia alami sekarang. Namun, dia tidak bisa
21
CERPEN Etgar Keret
memikirkan apa pun. Tak ada cerita yang bisa disajikan. Karena kondisi manusia yang dia alami kini tampaknya tidak layak dibuat cerita, dan dia hampir menyerah ketika tiba-tiba…” “Aku telah memperingatkanmu sebelumnya,” si Swedia menyela. “Tidak ada ketukan di pintu.” “Aku harus,” kataku bersikeras. “Tanpa ketukan di pintu, tidak ada cerita.” “Biarkan,” kata si pengantar pizza dengan lembut. “Beri dia beberapa kelonggaran. Kau ingin ketukan di pintu? Baiklah, pakai saja ketukan di pintu, asalkan bisa menghasilkan cerita.” Catatan: Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Nabil Wibisana dari cerpen berjudul “Suddenly, a Knock on the Door” karya Etgar Keret. Versi asli cerita berbahasa Ibrani, terjemahan versi bahasa Inggris dikerjakan oleh Miriam Shlesinger. Etgar Keret adalah penulis terkemuka berkebangsaan Israel, lahir pada tahun 1967. Karya-karyanya dipuji para kritikus sebagai “suara generasi kita”. Buku kumpulan fiksinya antara lain: The Bus Driver Who Wanted to Be God & Other Stories (2004), The Nimrod Flipout (2006), The Girl On The Fridge (2008), dan Suddenly, a Knock on the Door (2012). Buku terbarunya adalah sebuah memoar, Seven Good Years: A Memoir (2015).
22
CERPEN Fanny J. Poyk
Sepeda Tua Ayah* Fanny J. Poyk
I
nilah kisah tentang sebuah sepeda yang teronggok membisu di sudut ruang tamu rumah kami. Rantainya telah lama rapuh lalu beberapa waktu kemudian putus dan jatuh berserakan.
Lama sepeda itu berada di sana. Ditikam kebisuan yang sunyi. Tak ada yang sudi melapnya. Tidak juga aku. Sarang laba-laba merajai segenap jari-jarinya, membentuk lingkaran dengan garisgaris tegas menyerupai areal persawahan Lodok Lingko yang ada di tanah Flores sana. Tapi sudahlah, sekarang ia memang benda mati yang tak lagi berfungsi. Coba tengok beberapa waktu terdahulu, di masa yang telah terenggut oleh beragam cerita dan sepeda tua itu menjadi saksinya. Syahdan, setelah menimbang-nimbang dengan segala pertimbangan yang matang, ayah memutuskan untuk meloak benda yang teronggok beku di sudut ruang tamu itu. Menurut ayah, kisahnya sudah tamat. Ia sama seperti manusia, lahir, bertumbuh, dewasa, tua, lalu mati. Semua atribut yang menyertainya akan ikut terkubur. Ayah memutuskan sebaiknya memang begitu, agar halhal yang menyakitkan dalam kisah yang terekam bersama sepeda tua itu, tak lagi menjadi beban pikiran di kemudian hari. “Jangan dijual Ayah,� pintaku. “Jika dihitung-hitung jasanya cukup besar, bertahun-tahun ia mengantar Ayah bekerja sebagai guru, mengantar kami ke sekolah, menjemput ibu sepulang dari pasar dan mencarikan dokter tatkala tak satu tetangga pun peduli dengan permintaan tolong Ayah untuk meminjamkan motor ketika ibu muntah darah akibat tuberkolosis.� Ayah merenungi ucapanku dan sepeda tua itu tetap membisu. Sarang laba-laba yang melingkar di jari-jarinya semakin menguasai tiap sudut yang ada. Lelaki yang telah berusia tujuh puluh tahun ini tampak menimbang-nimbang keputusannya, jadi menjualnya ke
23
CERPEN Fanny J. Poyk
tukang loak atau tidak. “Ya, benar juga, selain kenangan tentang ibumu yang telah tiada itu, ada hal yang membuat aku terus maju mundur untuk menjualnya,� katanya lagi seperti bergumam. Dan memang demikian adanya, sepeda tua itu boleh tersenyum sejenak, Ayah tidak jadi menjualnya, meski tidak bisa digunakan, ia melapnya seminggu sekali, wajahnya yang kusam mulai terlihat sedikit bersinar. *** Malam tatkala mertuanya bertanya apa yang ia miliki untuk melamar kekasih hatinya, yaitu ibuku, ayah tertunduk lesu. Ia hanya memiliki Surat Keputusan yang menyatakan dirinya sebagai Pegawai Negeri Sipil, namun surat itu hanya dipandang sebelah mata oleh mertua perempuanya, nenekku. Tahun lima puluhan, nasib yang diterima ayah dengan Surat Keputusan sebagai Pegawai Negeri Sipil, kurang menggembirakan. Gaji yang ia terima hanya setahun sekali, untuk makan ayah menanam singkong dan jagung di halaman rumah dinasnya. Ia juga memberi les bahasa Inggris dan aljabar pada siswa-siswi yang bercita-cita menjadi guru. Di situlah, di antara para murid yang diajarnya, mata ayah terpatri pada sosok gadis berambut panjang dengan raut manis yang sangat memesona, terutama lesung di kedua pipinya. “Itu hanya selembar surat, kau sudah dua tahun menjadi guru di kota ini, tapi mana gajimu? Kau kos di rumahku pun sudah setahun tidak bayar-bayar. Lalu bagaimana kau akan membiayai hidup anakku kelak jika gajimu tak kunjung datang?� bentak calon mertuanya tatkala ia memberikan lembaran SK PNS untuk melamar kekasihnya yang manis, ibuku. Mata ayah berputar-putar bagai lampion yang terbentur cahaya lampu petromaks di rumah bakal mertuanya. Sudah kepalang tanggung, batinnya. Perempuan bernama Martina, berkulit kuning langsat, berhidung mancung, berlesung pipi dan memiliki rambut panjang sebetis, sungguh tak boleh beralih ke tangan lelaki lain.
24
CERPEN Fanny J. Poyk
Otak ayah seperti mati pikir, ia salah tingkah. Tatapan Martina yang tajam dengan bentuk mata indah bak kristal yang berpendarpendar itu, telah membuat ia bagai orang mati enggan hidup pun tak ingin bila tak bisa mendapatkannya. Gadis remaja yang menjadi muridnya itu seakan telah memanteknya dengan paku baja yang kokoh dan kuat. “Dengar, Martina sudah punya tunangan, dia anak tuan tanah di kampung ini! Calon suaminya turunan raja, punya mamar1 yang luas. Dia akan memberikan saya belis2 lima puluh ekor kerbau, kelak mereka akan menikah. Jadi jangan coba-coba kau melamarnya jika kau tidak memiliki belis sebanyak itu!” ultimatum bakal mertuanya. Begitulah, saat pohon-pohon lontar bergoyang lambat, saat tenun ikat Rote yang dimilikinya tak lagi memiliki arti, saat nira dan gula lempeng menjadi upeti ringan agar senyum tetap terkembang di wajah sang calon mertua menjajah ingatannya, penolakan yang diterima ayah membuatnya berbalik pergi dengan penuh dendam kesumat. “Apa yang Ayah lakukan?” “Aku membalas semua perlakuan Nenekmu, mertuaku yang materialistis itu dengan…” Ayah mendengus. Ia menatap sepeda tua yang teronggok tak berdaya itu lebih tajam lagi. Kemudian, dengan sigap ia mengangkatnya dan menentengnya ke luar ruangan. Lalu diambilnya minyak kelapa dan kain lap usang. Sepeda tua itu kembali dibersihkannya. Namun rantainya yang sudah diperbaiki ayah, tiba-tiba rontok satu persatu, jatuh berceceran ke lantai. Ayah memunggutnya dengan penuh keseriusan. Kemudian menyimpan serpihan rantai itu dalam kaleng bekas biskuit yang berisi minyak tanah. “Dia sudah rontok dan tak bisa digunakan lagi. Untuk apa Ayah simpan di situ? Jadi dijual ke tukang loak?” tanyaku akhirnya.
25
CERPEN Fanny J. Poyk
Ayah tak menyahut. Semilir angin menerpa rumah yang dikelilingi pepohonan lontar yang tumbuh subur di halaman depan. “Cepat panggil Ma’ Boi3 dan suaminya, suruh mereka mengambil nira di pohon-pohon lontar depan rumah, gula lempeng yang mereka buat dari nira itu sudah mau habis. Esok Ayah akan ke kota mengambil pensiun untuk membayar gaji mereka!” Ma’ Boi dan suaminya Om Peter datang ke rumah keesokan harinya. Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan ayah. Sepeda tua yang terlihat semakin letih itu, ditaruh ayah tepat di bawah salah satu pohon lontar yang ada di halaman. Semilir angin pantai Nembrala, Pulau Rote, menerpa catnya yang berkarat. Om Peter hendak memindahkannya namun suara lantang ayah terdengar dari balik pagar sebelum lelaki paruh baya itu melaksanakan niatnya. “Biarkan sepeda itu tetap di sana. Saya telah membeli rantai baru, mudah-mudahan pas!” kata ayah. Sesaat kemudian, ayah dengan wajah sumringah mengenjot sepeda itu di halaman rumah. Senja belum lagi tiba, wajah ayah yang keriput, berbinar cerah, ia seperti menemukan mainan baru yang membuatnya girang bukan kepalang. “Hm…akhirnya sepeda itu telah menjadi miliknya yang sah,” ujar Om Peter. “Maksudnya?” tanyaku. Om Peter membisu, ia mulai memanjat pohon lontar dan bersiap-siap menyadap nira untuk dijadikan gula lempeng. Ayah terus memacu sepeda itu hingga ia lelah. Kemudian, tertatih-tatih ia memasuki halaman rumah. “Kapan kau kembali ke Jakarta?” tanyanya. “Lusa.”
26
CERPEN Fanny J. Poyk
Lalu pria yang akan memasuki usia sekitar tujuh puluh lima tahun itu menarik napas panjang. Kemudian, alur cerita yang bukan fiksi meluncur lancar tanpa hambatan dari bibirnya. “Nenekmu tak pernah menyetujui Ayah menikahi anaknya. Tapi Ayah sudah bertekad untuk menjadikan Ibumu istri, Ayah sangat menyintainya. Segala cara Ayah lakukan untuk membuatnya setuju. Tatkala jalan itu benar-benar buntu, Ayah pusing tujuh keliling. Ibumu sebentar lagi akan dinikahkan Nenekmu dengan pria bangsawan yang menjadi pilihannya. Jika aku tidak segera mengambil alih, tamatlah semuanya. Aku tak bisa memiliki Ibumu lagi.” “Apa yang Ayah lakukan?” “Sepeda itu, lemari, perhiasan emas, dan semua benda berharga milik Nenekmu kudata dan kucatat, kemudian catatan itu kubawa ke Ibu Habibah, menukarnya dengan uang. Aku melamar Ibumu dengan uang yang kuterima dari perempuan itu.” “Ayah menggadai barang-barang Nenek?” Kepala ayah mengangguk-angguk. “Itulah jalan satu-satunya untuk memperoleh uang secara instan. Uang itu kutaruh tepat di hadapan wajah Nenekmu. Matanya berbinar, ia mengambil tumpukan uang itu dengan senyum yang paling cerah yang pernah kulihat. Ia setuju aku menikahi anak perempuannya. Dan setahun setelah itu kau lahir. Kemudian, bencana kedua datang. Ini yang paling celaka.” “Mengapa?” “Ibu Habibah datang menemui Nenekmu, meminta barangbarang yang kugadai. Aku terlambat membayar bunganya. Nenekmu terkejut setengah mati. Terlebih lagi tatkala Ibu Habibah mengambil semua barang-barangnya, ia stres dan langsung terkena stroke. Nenekmu meninggal sebulan setelah menderita penyakit itu.” “Begitukah?”
27
CERPEN Fanny J. Poyk
Ayah membisu, wajahnya pucat tanpa ekspresi. Raut muka lelaki tua itu tampak keruh. “Hanya sepeda ini yang bisa kutebus. Tadinya akan kukembalikan ke Nenekmu, namun ia sudah keburu pergi untuk selama-lamanya. Aku dan Ibumu sangat menyesal, kami memohon ampun atas semua yang telah kami lakukan di kuburannya, tentu saja Nenekmu tak pernah mendengarnya.” Ketika rantai yang dibeli ayah untuk sepeda tuanya kembali putus. Ia akhirnya menyerah. Ia membawa sepeda itu ke rumah mertuanya yang sunyi dan mulai rapuh. Ayah menaruh sepeda tua itu di gudang belakang rumah. Ia bermaksud untuk mengembalikan apa saja milik nenek yang diambilnya dengan tidak hormat. “Terimalah sepeda tua ini, semuanya telah kukembalikan padamu, termasuk istriku. Bukankah ia sudah ada di sisimu sekarang? Kini aku tidak punya apa-apa lagi kecuali anak-anak. Tapi mereka pun satu-persatu sudah pergi mencari kehidupan mereka masingmasing. Aku sekarang pria yang kesepian, aku sendiri kini, sama seperti saat aku hendak melamar puterimu.” Bisu. Tidak ada yang bisa menduga ketika kayu pohon lontar penyangga gudang itu tiba-tiba rubuh dan menimpa kepala ayah, lelaki tua itu terkapar dengan darah berurai di sekelilingnya. Dan sepeda tua yang disandarkan di halaman gudang, menatap samar tanpa bisa berbuat apa-apa. Keterangan : 1. Mamar: Kebun 2. Belis: Mas kawin di Nusa Tenggara Timur khususnya Pulau Rote 3. Ma Bo’I: Ibu 4. Lontar: Pohon mulitifungsi yang ada di NTT 5. Gula Lempeng: Sejenis gula merah yang dibuat dari nira pohon lontar
28
CERPEN Fanny J. Poyk
Catatan: Pernah dimuat di Harian Jurnal Nasional edisi 29 Desember 2013. Dimuat ulang di sini sebagai bagian dari perhormatan atas pencapaian dan pengabdian Gerson Poyk dalam perkembangan sastra Indonesia. Tulisan dimuat atas izin Fanny J. Poyk. Fany J. Poyk lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP). Aktif menulis sejak tahun 1980-an di berbagai majalah dan surat kabar. Buku-buku karyanya antara lain Pelangi di Langit Bali, Istri-istri Orang Seberang, Perjuangan Para Ibu, Anakku Pecandu Narkoba, Narkoba Sayonara, Suamiku Dirampok Orang dan Luka.
29
CERPEN Iin Farliani
Kolam Iin Farliani
“D
emi Tuhan. Aku akan membunuhnya,” katanya. “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.” Lelaki tua itu bertubuh tambun. Ia kembali meracau sambil berjaga di belakang mejanya. Ia membuka matanya yang masih terkantuk-kantuk. Dari tempat duduknya, ia dapat mengawasi rakrak kaca, tempat koran-koran yang sudah ditulisi nama-nama pelanggannya. Mereka biasanya datang ke kios koran itu saat tengah hari. Lelaki tua itu suka sekali menyebut tugasnya sedang “berjaga”, meski ia lebih sering tertidur dengan posisi tubuh yang bersandar pada kursi. “Kau sudah menyebutnya lebih dari tiga kali. Bagaimana kalau orang itu mendengar?” Seorang kurir koran berjalan mondarmandir sambil menjinjing tumpukan koran yang baru tiba. Ia berkata sambil tertawa. Ia yang selalu pergi ke bandara untuk menjemput koran-koran itu. “Kau kira aku mengatakannya untuk profesor ikan itu? Ini hanya kalimat yang aku temukan di cerita pendek minggu kemarin. Kau sudah membacanya? Aku yakin kau tidak pernah membaca. Kau mengantar koran setiap hari tapi kau tidak pernah membaca.” Kurir itu tertawa lagi. Kali ini ia memisahkan koran-koran yang bertuliskan nama “Nurma” dari tumpukan koran yang mereka sebut sebagai “pelanggan tetap”. Nurma bukan pelanggan tetap mereka lagi. Ia tidak pernah datang ke kios. Tapi, lelaki tua itu tetap menyisihkan koran-koran yang dulu sering dipesan oleh Nurma dan menuliskan nama perempuan itu di pojok atas setiap halaman utama masing-masing koran. Kurir itu sering mengingatkannya agar koran-koran yang disimpan untuk Nurma itu sebaiknya diberikan saja pada pembeli yang mendadak mampir ke kios mereka ketika persediaan koran hampir habis. Lelaki tua itu selalu
30
CERPEN Iin Farliani
membantahnya dengan mengulang-ulang dugaannya yang amat klise itu, “Barangkali Nurma akan datang nanti. Kita tunggu saja.” Tapi, Nurma tidak pernah datang. Ini pasti karena profesor ikan itu. Ya. Pasti karena profesor itu. Profesor ikan itu mengetahui Nurma suka menghabiskan waktu untuk mengobrol bersama mereka, terutama dengan si lelaki tua. Barangkali ia merasa malu dengan obrolan tetangga yang akhirnya menyebar ke setiap rumah. Mungkinkah Nurma telah berbuat serong? Apa yang dimiliki lelaki tua itu sehingga Nurma menyukainya? Ya. Pasti profesor itu merasa malu lalu melarang Nurma untuk datang lagi ke kios itu. Mereka suka sekali menyebut suami Nurma “profesor ikan” karena mereka sebenarnya tidak mengetahui gelar yang dimiliki laki-laki itu. Mereka hanya pernah mendengar laki-laki itu berbicara dengan suara yang sengaja ditinggikan bersama beberapa orang yang datang ke rumahnya. Laki-laki itu membicarakan tentang ikan-ikan, kolam, pemupukan dan kesuburan perairan serta sedikit teori mengenai rekayasa akuakultur. Rumah itu tidak terlalu jauh dengan kios koran. Kira-kira bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama lima belas menit. Kini, rumah itu terlihat sepi. “Coba katakan kalimat itu lagi.” “Kalimat apa?” “Nah, kau mulai lupa. Kalimat yang kau ucapkan untuk profesor itu.” “Kau tidak dengar ya? Itu kalimat dalam cerita pendek minggu kemarin.” “Kau tahu maksudku. Kalimat itu pantas untuk profesor itu. Coba katakan lagi. Aku ingin dengar.” “Jangan berpikir yang tidak-tidak. Dia lebih pantas jadi anakku.” Kurir itu tidak bermaksud memperolok lelaki tua itu. Ia hanya ingin merasakan sedikit hiburan pada pagi yang sepi ini. Suasana di jalan sekitar kios begitu lengang. Hanya ada sedikit pengendara
31
CERPEN Iin Farliani
yang lewat karena jalan di depan kios tidak begitu lebar. Hari itu mereka ditemani suara radio dan mesin jahit. Kios koran itu bersebelahan dengan kios penjahit yang memasang papan bertuliskan “Penjahit Celana Biru” di depannya. Kurir itu tidak pernah langsung pulang. Ia selalu menemani lelaki tua itu berjaga di kiosnya sebab lelaki tua itu mulai pikun dan penjahit “Celana Biru” itu gemar menipunya. Penjahit itu kadang mengambil koran diam-diam tanpa membayar. Kurir itu mengetahui semuanya. Ia berjaga juga karena kasihan. Seharusnya istri atau anak-anak lelaki tua itu menggantikan ayahnya untuk berjaga. Tetapi, mereka jarang datang ke kios. Kalau pun berkesempatan menjaga kios, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol dan seringkali lupa dengan koran-koran yang dipisahkan untuk pelanggan yang lebih dahulu memesan. Seandainya ada Nurma di sini, mungkin kami tidak berdiam diri saja, pikir kurir itu. Rupanya itu juga yang dipikirkan lelaki tua itu. Ia teringat lagi ketika Nurma masih sering berkunjung ke kios dan membicarakan banyak hal bersamanya. Perempuan malang, pikirnya. Tapi, ia sangat ceriwis. Begitu ceriwis dan aku suka setiap kali mendengarkannya berbicara. “Aku pernah menghitung berapa lama sudah aku menjalani harihari tanpa seorang kekasih. Ketika itu aku sudah tidak lagi bersama pacar pertamaku. Sudah pernah kukatakan padamu kalau ia pacarku yang pertama dan terakhir pula, bukan? Ya, hanya dia seorang yang pernah menjadi pacarku! Waktu itu sudah terhitung 23 hari aku tidak bersamanya. Aku mulai menghitung ketika tepat berlalu 23 hari itu. Lalu aku tidak sadar, aku sudah memasuki bulan kedua dalam kesendirianku. Aku mulai berpikir jika aku bisa tanpanya selama 23 hari kemudian ditambah 23 hari lainnya sampai begitu seterusnya, berarti aku bisa selanjutnya tanpanya! Dan aku benar. Aku bisa melupakannya.” Nurma berkata tanpa jeda. “Kau melupakannya?” tanya lelaki tua.
32
CERPEN Iin Farliani
“Ya. Aku melupakannya.” “Kau yakin?” “Tentu. Sudah pasti aku melupakannya. Aku sudah bersuami sekarang.” Lelaki tua itu tertawa. “Kenapa kau tertawa? Kau kira aku berbohong?” “Sebelumnya kau pernah bercerita, laki-laki itu pacar pertamamu dan setelah itu kau tidak pernah memiliki kekasih lagi. Kau dan suamimu setelah saling kenal, langsung menikah.” Nurma menganggukkan kepalanya. “Ya. Lalu apa masalahnya? Aku dan suamiku hanya kenal dua bulan. Kami tidak pernah berpacaran. Langsung saja menikah.” “Itu maksudku. Bagaimana bisa kau melupakan seorang lelaki yang pernah memberimu pengalaman yang tidak kau dapatkan dari lelaki lain?” Nurma terdiam sebentar. Ia melipat korannya. “Pengalaman itu tidak istimewa lagi. Mungkin karena sudah terlalu lama berlalu. Aku masih ingat sedikit-sedikit. Tapi, tentu rasanya sudah tidak sama lagi.” Lelaki tua itu memandang Nurma dengan mulut yang setengah terbuka seperti akan mengucapkan sesuatu. Tatapannya begitu teduh dan ia seperti teringat pada sesuatu yang tertinggal jauh di belakang, di masa mudanya dulu. “Sulur-sulur di sekitar kolam itu tidak pernah dipangkasnya.” Nurma memasukkan koran ke dalam tasnya. “Sulur-sulur?” “Ya. Sulur-sulur tanaman liar itu. Dia berjanji akan memangkasnya. Tapi, ia tidak pernah melakukannya. Ia lebih sering duduk di kursinya, membaca koran dengan memakai kacamata yang tak pernah dipasangnya dengan baik. Kau mau tahu seperti
33
CERPEN Iin Farliani
apa ia memasang kacamatanya? Tepat di batang hidungnya!” Nurma menunjuk hidungnya sendiri. “Kacamata itu terus merosot ke bawah setiap kali ia menunduk. Aku tidak tahu apakah kacamata itu masih berguna untuknya. Kemudian, ia pasti terlihat sedang mendengkur dengan koran yang masih terlipat di pangkuannya.” “Nurma.” “Kalau ia tidak juga memangkas sulur-sulur itu, aku tidak akan memberikannya koran ini.” “Nurma. Nurma.” “Ya. Ya. Ya. Kenapa?” “Misalkan saja...” Lelaki tua itu nampak gugup. Ia memberanikan dirinya berkata, “Misalkan... Andaikan...Bukankah kau pernah mengatakan kalau kau pertama kali memiliki kawan seorang lelaki tua sepertiku ini? Mungkinkah juga suatu saat kau akan melupakanku seperti kau melupakan pacar pertamamu sekalipun pengalaman ini tidak kau dapatkan dari lelaki lain?” Lelaki tua itu berucap dengan sangat hati-hati. Ia sudah menyimpan lama pertanyaan itu dan akhirnya semuanya dapat ia katakan langsung di hadapan Nurma. Ia melihat Nurma tersenyum namun entah mengapa senyuman itu nampak aneh di matanya. Ia tiba-tiba menyesali kata-katanya. Ia ingin menarik kata-katanya kembali. Lupakan saja! Lupakan saja yang tadi kuucapkan! teriaknya dalam hati. Ia tidak mengatakan apa pun dan hanya melihat Nurma tersenyum. Senyuman itu perlahan-lahan jadi nampak menakutkan. Ia ingin menyembunyikan wajahnya. Ia merasa malu. Ia merasa sangat malu. *** Kurir itu mengejutkannya. Ia terbangun sambil cepat-cepat mengusap wajahnya. “Tidurmu nyenyak sekali. Mari jalan-jalan sore sebentar.”
34
CERPEN Iin Farliani
Mereka menyusuri jalan sambil menyepak-nyepak kerikil. Jalanan pada sore itu agak ramai dengan beberapa orang yang juga berjalan-jalan untuk menghirup udara segar. Mereka berhenti di depan rumah Nurma. Di gerbang ada papan bertuliskan “Rumah Ini Dijual”. Di bawahnya tertera nomor telepon yang dapat dihubungi. “Aneh sekali. Mereka baru beberapa bulan tinggal di sini. Dan sekarang sudah menjual rumahnya,” kata kurir itu. Lelaki tua itu memandang melewati pagar yang tidak terlalu tinggi. Ia melihat kolam di halaman itu. Sulur-sulur tanaman liar begitu lebatnya dan merambat hampir memenuhi seluruh kolam. Tidak ada ikan di sana. Kolam itu kosong. Iin Farliani lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Mataram dan santri di Komunitas Akarpohon. Menulis cerpen dan puisi. Karyanya antara lain terbit di surat kabar Suara Merdeka, basabasi.co, Riau Pos, Banjarmasin Post, Sumut Pos, Serambi Indonesia, Indo Pos, Lombok Post, Suara NTB, Jurnal Santarang, Metro Riau. Cerpennya terangkum dalam antologi Melawan Kucing-Kucing (2015). Kumpulan cerpennya yang akan terbit berjudul: Taman Itu Menghadap Ke Laut.
35
PUISI Dedy Tri Riyadi
PUISI-PUISI DEDY TRI RIYADI JALAN BERNAMA HARAPAN Ia beruntung diapit dua katedral, lalu disambung kedai-kedai tanpa terpal. Ketika menurun, ia dengar musik mengalu–menangkal nasib buruk, atau menolak mual mabuk. Ia ingin masuk ke sebuah taverna, saat terdengar riuh alarma–Hidup adalah taman bagi mereka yang bertangan delapan! Ia pun urung menari, dilangkahkan lagi kedua kaki pada sebuah jalan bernama harapan. 2016
36
PUISI Dedy Tri Riyadi
DI JALANAN ROMA Di depan peta kota, ia mencari diri di antara biara dan toko suvenir & alat upacara. Ia ingin mencairkan sebuah tanya membara– selain pesta, piza, dan pasta, kota ini dibangun dari apa? Sungai dan benteng kota tak pernah ingin disungkup dingin belaka, di sepanjang jalan ia hirup wangi dari kedai kopi dan bunga. Menjelang piaza, seorang Afrika menyapa– Salam, Saudara! Jagung untuk burung dara? Di depan gereja, ia mencurigai– tadi, di antara biara dan toko suvenir & alat upacara, ada yang telah menyelinap pergi, sebelum seseorang sempat bertanya : Dove vuoi andare? 2016
37
PUISI Dedy Tri Riyadi
HARI-HARI SEBAGAI RUMPUTAN Hari-hari sebagai rumputan seperti jemari tengadah pada hujan. Di waktu siang, kuda dan rusa melintas, menandaskan sebagian, melindas, menjadikannya tempat bertandas. Ular bersarang dan melepas upas di sana. Biawak mengincar telur puyuh dan bersembunyi dalam bayang-bayangnya itu. Menjelang petang, kepik dan kumbang duduk diam seperti mendengar firman. Jangkrik mulai bermain musik. Seekor burung terbang rendah, seperti pendeta menyapa jemaat– Ada amin di sana? Di waktu malam, tunas-tunas tumbuh. Embun direnungkan seakan peluh. Hari-hari sebagai rumputan memanjangkan hati menjangkau Tuhan. 2016
38
PUISI Dedy Tri Riyadi
AGNUS DEI Tak ada yang berubah meski bom telah tercurah. Kotamu tegak. Kubah-kubah bangunannya putih perak. Asap hitam yang tadi naik telah turun bersama pekik mereka yang gugur. Di tembok-tembok terpampang peringatan– hidup adalah keberanian untuk berjuang! Selamat jalan. Selamat berperang. Sepasang orang tua melepas pelukan anak-anak mereka. Demi negeri ini, segala senapan diisi. Demi Tuhan yang tak pernah mati. Tak ada yang berubah meski bom telah tercurah. Karena kita telah lama jadi domba yang dilepas ke padang serigala. 2017
39
PUISI Dedy Tri Riyadi
GEREJA untuk Hassam Disebabkan dentang, kami datang. Tak takjub pada gigil putih membentang. Tak takut pada roda-roda kereta yang menderu di padang. Musim dingin sudah lama menyiksa. Kami berpasangan, laki-bini, tua-muda, agar hangat apa yang kami punya dalam dada. Disebabkan airmata, kau menjelma–anakmanusia yang tak pernah jadi tuan bagi dirinya sendiri. Ia hamba–sedih juga melihat langkah-langkah kami segera disembunyikan gugusan salju. Di bukit yang jauh, cecabang cemara menyembunyikan ceritanya sebagai derau yang menggoyangkan genta itu. 2017 Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah, dan kini tinggal di Jakarta. Buku puisi pertamanya bersama dua penyair lain dimuat dalam sebuah antologi bersama bertajuk Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan (2007). Kumpulan puisi tunggalnya bertajuk Gelembung (2011) dan Liburan Penyair (2014).
40
PUISI Diana Timoria
PUISI-PUISI DIANA TIMORIA TENTANG KENANGAN, KAU DAN JAMUAN PEMBUKA Kita tiba pada kenangan lalu membubuhkan titik sebelum mengenal pemilik aksara yang terjebak pada sudut-sudut bintang tanpa semerbak cahaya dari langit sampai di sini, kau masih mengenaliku? Diam-diam kau mulai memuja keheningan dalam kepalaku lalu menjadi candu untuk membungkam gerak waktu pada sekujur rupa-rupa syair tanpa angka tiba di sana, kau masih mengenaliku? Peta-peta telah kita tandai dengan ranum darah usai meneguk semua air beraroma kemarau dari mata-mata perempuan pembaca doa Di sini aku telah menjelma titik Di sana kau menjamuku dengan kertas tanpa puisi Pada sebuah dentuman paling hening Aku, masih kau kenali? Mauliru, 31 Desember 2016
41
PUISI Diana Timoria
DIA Matanya pekat menyengat serupa rindu Melesat tanpa sesat dari bibir-bibir peta yang dibacanya ketika wangi kekasihnya tak lagi menjelma arah bagi telapak kakinya Dia menampung banyak aksara di balik bibirnya berwujud doa-doa tanpa tuhan berwujud irama-irama tanpa suara berwujud perjalanan tanpa jejak Dia Berwujud puisi tanpa kata Desahnya tergesa menuntaskan dosa tentang kepergian yang pernah ia pulangkan dengan gelak tawa paling durhaka dan senyap di sela-sela tatapan riangnya yang membiru seusai menurunkan ribuan tetesan hujan yang tabah menggelinding dari bola mata pemilik senja Ia memburu kenangan dalam bergelas-gelas kopi Ada yang tak berhasil ia kunjungi meski ingatannya diam-diam telah dibunuhnya satu per satu dengan rindu tanpa candu yang memandu untuk pulang Pada puisi tanpa kata dia! Mauliru, Januari 2017
42
PUISI Diana Timoria
Valentino Senda, pensil di atas kertas.
43
PUISI Diana Timoria
DAN AKU Khawatirmu raib di hadapan ketiadaan Kekal lukamu lupa membual kenangan Pada pulau yang tak kunjung ditemukan kau terkapar Tempat di mana degupmu mereda adalah liang telah ribuan debu terkubur bahagia di sana pada bola mata yang tandus kau tersesat Ada apa dengan kemarau di hujan matamu? mungkin saja kemarau bosan mengunjungimu lalu lenyap terbawa doa hingga puing-puing baranya tercecer di telapak perempuan-perempuan penenun hari Dan aku: Bersikeras mencintaimu! Mauliru, Juni 2016
44
PUISI Diana Timoria
YANG TELAH MENJADI ASING Hinaanmu rapi berjejer di rak-rak usang dan renta Pernah ada yang berhasil membujuk Jemari tua itu untuk menyentuhnya Mengelus air mata yang tak kunjung pecah Dari cangkang rindu Kepungan harummu memandikan sekujur jantung yang beramis luka Telah usai jarak dirindukan sebagai pesan berisi embun yang membiru Setelah sekian kematian kita tertawakan di atas kemarau Lalu berburu kepingan-kepingan mata tandus Dari wajah tanpa tubuh Yang menggelinding di kaki bukit Tempat debu teramat takut hidup lebih lama Aku tak akan pernah kehilangan Meski dua ribu tiga ratus lima puluh enam kali Kau pergi tanpa pulang Kenangan terpingkal di hari rabu Ketika esoknya kau tergesa-gesa menunggu matahari Dan kau menjadi asing tanpa satu pun tanda baca Yang berhasil kau kenali di balik Telapak tanganmu dan Kelopak matamu Mauliru, Oktober 2016
45
PUISI Diana Timoria
MENGEJA KETAKUTAN Rasa takut yang pernah kau kenalkan Telah akrab dengan seraut wajah di mataku Mereka berdua–ketakutan dan seraut wajah– Selalu tergesa-gesa bercanda Sebelum aku memutuskan pergi Kau yang pernah memperkenal rasa takut Telah asing dengan bola mata di wajahku Kalian berdua–kau dan bola mataku– Selalu gagal bertemu Setelah aku memutuskan pulang Aku yang pernah kau perkenalkan rasa takut Telah menghilang dalam tatapan wajah yang asing Kita bedua–aku dan kau– Selalu tergesa memahami kegagalan Setelah sebelumnya kita memutuskan kenangan Mauliru, Desember 2016
Diana Timoria, penikmat sastra yang menetap di Mauliru – Sumba Timur. Menerbitkan sebuah kumpulan cerpen berjudul “Tanpa Judul”. Bersamasama teman-teman OMK Mauliru membuka sebuah taman baca di Mauliru.
46
PUISI Jemmy Piran
PUISI-PUISI JEMMY PIRAN ALINA, 1 Aku melihatmu terbata menuju sebuah kastil sambil mengarahkan mata pedang yang kauasah dari rasa rindu. Sesekali kautatap dinding-dinding kabut dan melafalkan mantra-mantra agar tak terantuk dan jatuh dalam pencobaan, sebelum matamu ditujukan pada kerangka yang disalibkan oleh para pengisap darah. Atau memindahkan pintu kubur yang terbuat dari batu. Tanpa cahaya lampu, kecuali obor-obor di sepanjang lorong lengang dan bias cahaya bulan yang jatuh melalui celah jendela tanpa kain, kau menyusup sebagai perempuan jalang. Dan, angin utara leluasa menikam dadamu yang sedikit terbuka dan kau memakai rasa dingin sebagai alasan untuk lebih erat menggenggam pedang yang siap ditikamkan padanya. Namamu, Penjaga Cahaya, telah kauperbaiki untuk sebuah persembahan dan malam-malam yang luruh, kaulihat deretan wanita pelacur dengan taring yang siap ditancapkan ke dalam dagingmu berdiri berpelukan. Sebelum Roh Ilahi mengurapimu dengan narwastu, malam adalah dendam yang perlu dituntaskan untuk mengembalikan cintamu. Maka, usai ciuman, kau hunus pedang dan menikam ia tepat ketika terang belum benderang betul sehingga ia tak sempat membenamkan taringnya pada lehermu yang suci. Belo, 2016
47
PUISI Jemmy Piran
ALINA, 2 Ketika hujan yang belum matang luruh satu demi satu, menimpa apa yang pantas ditimpakan, musim adalah bayi prematur yang mengingatkan aku padamu, Alina, wanita yang telah menaklukkan lelaki penakluk seribu wanita yang ganjil. Dengan tangan yang masih gemetar dan darah yang masih merembes, kau menghunuskan mata elangmu dari balik layar, membaca gelagatku yang malu-malu mengintipmu setengah telanjang. Kau meniupkan cahaya untuk merayu agar kenangan bangun dari rasa iri dan membangkitkan benderang. Dan, kuserap segala jenis cahaya untuk melihatmu yang perlahan disingkirkan dari kastil menuju gereja tua. Kelak, di tempat yang telah ditentukan itu, aku berharap kau menjelma nyata sebagai sungai agar sepuasnya kunyalakan bara apiku, yang pada keningmu kupasrahkan bibirku yang gemetar. Alak, 2016
48
PUISI Jemmy Piran
Valentino Senda, pensil di atas kertas.
49
PUISI Jemmy Piran
KUPU-KUPU tujuh kupu-kupu keluar dari tubuh telanjangnya dengan sembah yang tak sempurna, ia bersujud menghapus nista yang melekat pada dirinya, yang telah bergerak melingkari dirinya sendiri setelah tak mampu membaui dosa yang mendidih dalamnya. ia mendepa dan menakar sejauh apa ia ibaratkan dosanya di hadapan semesta, apa itu semacam percintaan antara hulu dan muara yang berakhir di laut tanpa memberi janji. setelah kupu kupu lesap dari pandangan, ia menjatuhkan lidahnya pada pemahamannya sendiri. yang benar adalah apa saja terlintas dalam kepalanya. ia tak lagi memikirkan makna dan hakikat dari kupu-kupu yang keluar dari dirinya ia tak pernah berdiri dan memandang ke belakang padahal apa yang ada di depannya telah mengabur. ketika hari menikam dirinya, ia tersedak dan kaku gagu menafsir bebas segala gelagat yang terlintas di depannya dan jauh di dasar hatinya, ia ingin mengupas denting suara dari jatuhnya daun-daun tua. dengan air matanya sisa asa mengusir bayangan hitam dan dalam gemetar Ilahi ia memanggil tujuh kupu-kupunya, yang enggan pulang. Bello, 2016 Jemmy Piran atau yang sering disapa dengan Jempir menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Ia lahir pada 18 Februari di SabahMalaysia. Sekarang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia suka membaca dan menulis. Sering menulis cerpen, puisi dan catatan-catatan pendek yang berhubungan dengan patah hati. Tulisannya berupa puisi dan cerpen kerap muncul di koran.
50
RESENSI Ria Try Fitriana
Bakat Menggonggong Ria Try Fitriana
Judul Penulis Penerbit Cetak Tebal ISBN
: Bakat Menggonggong : Dea Anugrah : Buku Mojok : I (September 2016) : 113 halaman : 978-602-1318-38-6
B
akat Menggonggong adalah buku kumpulan cerpen pertama Dea Anugrah. Dua cerpen dalam kumpulan cerpen ini sebelumya pernah saya baca di Koran Tempo dan Media Indonesia. Berawal dari ketidaksengajaan, saya mula-mula mengenal Dea Anugrah lewat puisi-puisinya. Kemudian saya menjadi pengunjung setia blognya, Sonder Ketemu Sonder Mendarat. Selain puisi, blog itu juga banyak menampilkan cerpen. Bakat Menggonggong adalah sebuah judul buku yang unik. Sampulnya berwarna merah, warna kesukaan saya, dan bergambar cumi. Buku dibuka dengan kalimat kutipan dari Charles Bukowski dalam Style, “I have seen dogs with more style than men, although not many dogs have style.� Kalimat yang sungguh nyentrik. Kumpulan cerpen ini berisikan 15 cerpen dan kau akan sangat terkejut ketika membacanya, bahkan ketika cerita telah usai. Dea meramu cerita dengan teknik penceritaan yang berbeda dengan kebanyakan cerpenis lain di negeri ini. Dea mengeksplorasi cerita menggunakan teknik-teknik eksperimental, berbeda dengan cerpenis lain yang cenderung bertutur dengan cara yang konvensional. Selain itu, ia kerap bercerita dengan gaya cerita
51
RESENSI Ria Try Fitriana
berbingkai dan menggunakan jasa seorang juru kisah, narator. Sang narator tersebut pandai membual, bercerita dengan seenaknya sendiri, suka berkelakar, tetapi sinis. Keberadaan narator inilah yang menjadi salah satu pemicu cerita menjadi unik dan menarik, dijamin bisa membuatmu tertawa terpingkal-pingkal. Cerpen pembuka berjudul Kemurkaan Pemuda E dikisahkan oleh narator, atau lebih tepatnya seorang pemandu cerita. “Kalau anda merasa bosan atau kesal dengan tur ini, janganlah menyalahkan saya selaku pemandu. Toh, anda mengikutinya tanpa biaya, gratis-tis, seperti membaca cerita pendek atau sajaksajak gelap di koran….” (halaman 8)
Narator mengisahkan pemuda E, seorang penulis muda yang tertimpa banyak kesialan, tapi ia tidak meratapinya dengan linangan air mata ataupun merasa sebagai manusia paling malang sejagat raya, justru ia malah menanggapinya dengan candaan yang sinis dan tetap melanjutkan pekerjaannya. Ia juga punya kebisaan unik, menuliskan komentar terhadap buku yang dibaca menggunakan kode-kode sulit yang ia ciptakan sendiri. Kadang ia lupa arti dari kode tersebut, lalu berusaha memecahkannya seorang diri. “Ia selalu melakukannya dengan serius, sampai akhirnya meledak dalam tawa puas tatkala yang dicarinya ketemu dan menyadari bahwa kedua peran itu hanya dimainkan oleh dirinya seorang. Seperti peribahasa Ceska, bagai anjing mengejar lubang duburnya sendiri.”(halaman 3)
Saya suka pemuda E, ia tidak cengeng dan tahan banting, lelaki yang sungguh menarik. Saya jadi ingin makan roti dengan saringan acar di atasnya saat pagi, seperti kebiasaan pemuda E, dan mendengar bunyi kruk kruk roti acar yang terkunyah. Selanjutnya, cerpen Kisah Sedih Kontemporer IV, Masalah Rumah Tangga, Perbedaan antara Baik dan Buruk, Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu dan Omong Kosong yang Harus Ada menceritakan
52
RESENSI Ria Try Fitriana
kehidupan percintaan orang dewasa dengan macam-macam problematika yang dituturkan secara unik. Mulai dari kisah seorang waria bernama Wanda yang berprofesi sebagai PSK dan dikhiniati Gustaf, kekasihnya, seorang suami yang berpura-pura depresi akibat rumitnya pekerjaan untuk menutupi kelemahan biologisnya dari sang istri, kehancuran seorang wanita akibat diperlakukan dengan sangat buruk oleh lelaki yang ia cintai, sampai problematika sikap kekanak-kanakan sepasang suami istri yang hendak bercerai. “Begini sajalah, rumah ini untukku, restoran untukmu dan soal pengasuhan kita putuskan dengan melempar koin.” (halaman 26)
Cerpen Kisah Afonso, Kisah dan Pedoman, Tamasya Pencegah Bunuh Diri dan Acara Tengah Malam mengangkat tema psikologis, ganjil, dan mistis. Ketiganya merupakan jenis cerita yang sedikit membingungkan sehingga harus dibaca lebih dari sekali. Kalimatnya masih sinis dan vulgar seperti cerpen lainnya. “Seekor buaya adalah seekor buaya adalah seekor buaya dan seorang manusia adalah seorang manusia adalah seorang manusia. Apakah itu truisme? Tidak Afonso Gracia de Solis, misalnya, adalah seekor buaya adalah seekor manusia adalah penjelajah asal Eropa dan menurut seorang antroplog, adalah seekor ikan Baung karena kesialannya murni berakhir sebagai lauk makan siang anak-anaknya sendiri”. (halaman 9) ”Perubahan itu ibarat sore yang berubah jadi senja, misalnya, sama sekali tidak bermanfaat. Lagi pula senja itu nosens dan orang yang percaya bahwa ada makna lebh di balik langit berwarna saus tomat itu pastilah punya masalah gawat di otaknya.” (halaman 88) “Semua bocah itu menepati janji,. Mereka mungkin makhluk kecil yang berisik dan bau sampah dan layak ditendang bokongnya, tapi selama tidak dihinggapi bakteri stelio yang secara ilmiah ada pada orang-orang dewasa, para bocah akan berlaku jujur.” (halaman 88) “Alih-alih menangis dan terpingkal-pingkal dan akhirnya menutup buku dengan perasaan campur-aduk, para pembaca
53
RESENSI Ria Try Fitriana
malah melompat dari bangunan-bangunan tinggi, melubangi bagian-bagian rawan pada tubuh mereka, menenggak racun, menjerat leher, mengurung diri sampai kering, atau menggantungi batu-batu dan masuk ke dalam air tanpa iktikad muncul kembali dalam keadaan semula.” (halaman 107)
Tema percintaan, lebih tepatnya patah hati, terdapat dalam cerpen Kisah Sedih Kontemporer XII, Kisah Sedih Kontemporer XXIV dan Kisah Sedih Kontemporer IX, yang mengisahkan tentang nasib naas Fredrik atau “Rik” yang selalu gagal dalam persoalan asmara. Rik gagal untuk kembali menjalin hubungan asmara dengan mantan kekasihnya, Lani, patah lagi setelah berpacaran dengan wanita lain kemudian hidupnya berakhir begitu saja. Dea mengemas cerpen-cerpen ini dengan apik. “Rik, temanku, adalah penulis yang bagus yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paruparunya berair. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paru-parunya berair, dua tahun lebih cepat daripada perkiraanku. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paru-parunya berair, dua tahun lebih cepat daripada perkiraanku, tanpa pernah dipedulikan orang.” (halaman 65)
Nasib yang sama juga menimpa Patrick Wicaksana atau Pat dalam cerpen Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu. Tokoh “Aku”, seorang wartawan, ditugaskan untuk mewawancarai Pat yang merupakan seorang pemerhati kesenian. Tokoh “Aku” kecanduan untuk bertukar cerita dengan Pat karena ia menyukai bualanbualan yang keluar dari mulut Pat. Pat bernasib naas. Setelah keluar dari penjara karena membunuh seorang dokter, istrinya ternyata berselingkuh dengan seorang dokter. Pat meninggal sendirian di rumahnya akibat gagal jantung. Kematiannya dilupakan begitu saja, Tokoh “Aku” kembali ke rutinitasnya sehari-hari. Lagi-lagi Dea berkisah tentang kemalangan manusia dengan kelakar sinis. Kemalangan memang bukan untuk diratapi, seakan-akan saya
54
RESENSI Ria Try Fitriana
didoktrin untuk tahan banting, maju terus dan tidak melankolis ketika menghadapi kenyataaan pahit. Saya benar-benar terhanyut dalam cerpen Penembak Jitu. Membayangkan tentang situasi kritis seorang pemuda yang hanya memiliki seonggok oerog dengan 6 peluru sedang berusaha melawan pihak lawan yang jumlahnya lebih banyak. Seorang diri bertempur dengan lawan yang berjarak 700 langkah darinya. Nekat betul. Akhir-akhir ini saya sedang mengandrungi film yang bertemakan peperangan sehingga saya sangat suka cerpen ini, terutama pada bagian adegan baku tembak di sebidang rawa kala hujan turun. “Orang-orang bertudung lainnya tiba dan mulut senjata mereka terarah padanya. Ia menekan picu. Tak ada yang terjadi. Orangorang basah dan kotor mengepung seseorang yang juga basah dan kotor dengan senjata api masing-masing. Situasi itu seakanakan dapat berlangsung selamanya. Hujan sepertinya akan turun selamanya….” (halaman 43)
Dalam kumpulan cerpen ini, salah satunya dalam cerpen Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu dan Omong Kosong yang Harus Ada, Dea menyisipkan paragraf-paragraf atau kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak penting, tidak jelas apa fungsinya, bahkan tidak ada hubungannya dengan jalan cerita, semacam digresi. Saya penasaran, apakah referensi yang dimasukkan Dea dalam ceritanya itu benar-benar nyata atau hanya fiktif belaka, ciptaan ia sendiri, seperti penjelasan teori gempa waktu dalam buku fisikawan Ramyun McClub, Kilgore dan buku Pegantar Psikologi Sehari-Hari karangan Wayan Sukara, Buku Gampangnya Mengarang, Mengarang yang Gampang dan Gampang-Gampang Mengarang. Apa benar déjà vu hanya akan dialami apabila otak seseorang mendeteksi adanya sepersekian-milidetik jeda antara kendali otomatis dan kehendak bebas, apa hanya 3,5% manusia saja dari keseluruhan populasi yang mengalami déjà vu pada saat bersamaan? Sebaiknya saya harus googling.
55
RESENSI Ria Try Fitriana
Kumpulan cerpen ini benar-benar bagus. Sebaiknya bacalah sendiri agar dapat merasakan keterkejutannya. Dea adalah salah satu penulis berharga negeri ini. Saya tidak sedang menjilat karena saya menyukai Dea. Ya, saya memang suka Dea dari karyakaryanya, bukan karena tampangnya seperti oppa-oppa dalam drama Korea. Cerita dalam kumpulan cerpen ini tidak menggurui, tidak terbebani dengan pesan moral, jarang ada bahasa romantis yang meliuk-liuk, dan tidak memaksakan emosi dan simpati pembaca–kita tidak dipaksa untuk mencucurkan air mata dengan kisah penuh drama mengharu biru. Akhir kata, saya tutup racauan ini dengan mengutip salah satu kalimat bagus dari kumpulan cerpen ini: “Sebab cepat atau lambat , setiap orang akan menyadari bahwa dalam hidup ada banyak sekali persoalan dan karena persoalanpersoalan itu tidak dididik secara memadai, mereka tak paham kemuliaan seorang pengalah�.
Ria Try Fitriana bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
56
RESENSI Steve Elu
Hidup Gerson Teringkas dalam Puisi Steve Elu Judul Penulis Penerbit Terbit Tebal
: Dari Rote Ke Iowa : Gerson Poyk : PT. Aktual Potensi Mandiri : November 2014 : 120 halaman
N
ama Gerson Poyk sebetulnya tidak asing di dunia sastra Indonesia. Bagi para penikmat sastra koran, khususnya harian Kompas, tentu beberapa kali menemukan nama Gerson tertera di rubrik cerpen terbitan hari Minggu. Terakhir, cerpen Gerson dimuat di harian Kompas, Minggu, 21 Juli 2013, berjudul “Pengacara Pikun”. Meski Gerson sudah lama menulis, saya baru pertama membaca karyanya justru pada cerpen ini. Setelahnya, barulah saya mulai mencari-cari informasi di “tuan google” soal biografi dan karya Gerson. Syukur bahwa nama Gerson sangat familier di mesin pencari jenius ini, sehingga saya dengan mudah menemukan rekam perjalanan dan karya-karya Gerson. Selanjutnya, saya lebih banyak membaca Gerson sebagai penulis cerpen daripada sebagai penulis puisi atau sajak. Baru pada pertengahan Oktober 2014 yang lalu, saya bertemu dengan seorang kenalan dan dia bercerita bahwa dia sedang memproses penerbitan kumpulan puisi Gerson Poyk. Katanya, puisi-puisi itu ditulisnya di tahun 1950-an. Tiga minggu kemudian,
57
RESENSI Steve Elu
saat kami berjumpa lagi, dia “menghadiahkan” saya kumpulan puisi Gerson itu, yang ia cetak dengan judul Dari Rote ke Iowa. Setelah kurang lebih seminggu bergulat dengan kumpulan puisi ini, maka kini saya menuliskan sudut pandang dan telaah saya mengenai puisi-puisi Gerson. Kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa memuat 79 puisi yang ditulis Gerson sejak 1950-an (Pengantar, ix). Di lembar berikut tertulis “Puisi Pembuka”. Bunyinya:
Sepinya mercu menyala di keping tanah pulau Menyalalah dalam bulatanmu Kalau hanya secercah menyala, sepinya menyala bagi keluasan Pengelana telah lama ditelan keluasan Kedip mercumu hidup bicaralah tentang gejolak sepi pulau Dan suara ria memeluk cahaya dipeluk cahaya Berakhirpun hidup dalam keluasan Hati ingin sibak mengisi keluasan
Pada bait pertama, Gerson membuka puisinya dengan kalimat “sepinya mercu menyala di keping tanah pulau”. Kemudian “nyala mercu” ini dipertentangkan dengan kata “keluasan”. Dan pada bait kedua baris pertama, Gerson menulis “Kedip mercumu hidup bicaralah tentang gejolak sepi pulau”. Di sini Gerson mengajak “nyala mercu” itu untuk bicara pada “sepi pulau”. Lalu pada dua baris di bait terakhir berisi keinginan dan harapan. Dari isi puisi dan penempatan puisi ini sebagai puisi pembuka, dalam hemat saya, mempunyai suatu kisah unik sekaligus menghadirkan pesan mendalam. Terutama pada frasa-frasa ini: “nyala mercu”, “tanah pulau”, dan “keluasan”.
58
RESENSI Steve Elu
Setelah saya membaca beberapa sumber di “tuan google”, ada yang menyebutkan bahwa Gerson dilahirkan di Namodale, Baa, 16 Juni 1931. Rumah tempat Gerson dilahirkan letaknya tak jauh dari mercusuar. Itulah satu-satunya mercusuar di Pulau Rote pada masa itu. Rupa-rupanya mercusuar yang letaknya dekat rumah kelahiran Gerson inilah yang ia maksud ketika menyebut mercu dalam “Puisi Pembuka” ini. Selanjutnya, saya menangkap bahwa maksud “keluasan” dalam puisi ini adalah rekam jejak Gerson sendiri. Dalam puisi-puisi selanjutnya ditemukan bawah “anak mercu dari pulau sepi” ini berkeliling hampir ke semua belahan Nusantara, bahkan hingga ke Amerika Serikat dan India.
Sebagai Rekam Perjalanan Puisi-puisi Gerson tidak hanya ingin menyuarakan atau menyampaikan sesuatu tetapi dalam dirinya sendiri memuat rekam perjalanan penulisnya sendiri. Mengapa demikian? Karena, puisipuisi yang ia tulis selalu memakai diksi dan simbol yang ada di sekitar tempat saat ia berada. Jadi, Gerson memberi ruang yang cukup untuk melibatkan simbol ataupun lokasi yang menjadi tempat ia menelurkan puisi itu. Dengan demikian, puisi yang dia tulis memberi petunjuk atas nama dirinya sendiri soal tempat, kondisi alam, serta realitas sosial yang ada di tempat itu, pada masa itu. Puisi-puisi yang saya maksud misalnya, “Siul Kereta” (halaman 4). Dari judul puisi ini, pembaca dengan pasti bisa mengatakan bahwa puisi ini tidak ditulis di Rote atau NTT karena di sana tidak ada kereta. Bayangan serupa melintas dalam benak saya ketika membaca puisi ini. Benar saja, di sudut kanan bawah puisi ini tertulis “Banyuwangi, April 1956.” Selain puisi ini, masih ada puisipuisi lain dengan muatan serupa yaitu “Kenangan Maluku” (hal. 21), “Dari Pameran Seni Istana Di New York” (hal. 37), “Berlayar Ke
59
RESENSI Steve Elu
Jampang Kulon” (hal. 43), “Penis Di Patung Asmat” (hal. 48), “Selamat Tinggal, San Francisco” (hal. 65), “Boston” (hal. 72-73), “Timor” (hal. 78), “Terminal Kampung Rambutan” (hal. 82), “Jakarta” (hal. 85), “India” (hal. 94), “Musim Dingin Di Iowa” (hal.106), dan “Sebuah Villa Di Puncak” (hal. 109-110). Puisi-puisi yang saya sebut di atas saya pilah berdasarkan kesan tempat yang bisa langsung ditangkap dari judul. Sementara puisipuisi lain tetap memuat keterangan tempat, namun Gerson tidak meletakkannya di judul namun ada di badan puisi. Dari kejelian menelaah puisi-puisi dalam kumpulan ini saja, pembaca sudah bisa menangkap bawah Gerson memiliki rekam jejak yang panjang dalam dunia tulis menulis, khususnya puisi. Di mana saja tempat ia berada, ada saja puisi yang lahir. Dan dari situ pula, pembaca bisa mendapat lukisan akan sebuah tempat pada masa puisi itu ditulis Gerson. Ini salah satu kekayaan Gerson yang bila diperhatikan serius oleh para peneliti akan sangat membantu untuk memahami kodisi sosial suatu tempat pada suatu masa. Karena sejarah mempunyai tugas merekam kronologis sebuah peristiwa, sementara puisi (dan karya sastra lainnya) mengungkap suasana dan kondisi suatu peristiwa.
Mengangkat Lokalitas Selain sebagai rekam jejak, unsur lokalitas sangat kental dalam puisi-puisi Gerson. Dalam beberapa puisinya, Gerson bahkan sangat jelas ingin mengangkat dimensi lokalitas Rote (dan NTT) sebagai tanah kelahirannya. Misalnya pada puisi “Anak Karang” (hal.1). Pada bait pertama Gerson menulis: Bea! di tepi sini gubuk dan karang sekali pernah mama bilang cerita beta cerita kau bertulis di tanah berselang karang
60
RESENSI Steve Elu
Di sini, Gerson mengungkap secara eksplisit perihal situasi rumah dan struktur tanah di tempat kelahirannya. Kita tahu, Rote adalah sebuah pulau kecil yang berada di ujung Pulau Timor. Gerson memakai diksi “gubuk” untuk mencatat bahwa rumah pada masa Gerson lahir bukalah gedung mewah atau “rumah batu” (rumah tembok) seperti yang banyak kita temukan saat ini di NTT. Rumah pada masa itu adalah rumah yang sangat sederhana: beratap daun, berdinding bebak, dan berlantai tanah. Dan, di situlah biasanya anak-anak duduk mendengarkan cerita dongeng dari orang tuanya di malam hari, di dekat tungku. Sementara diski “karang”, dipakai Gerson untuk melukiskan struktur tanah di Rote yang lebih banyak berbatu daripada tanah isi. Atau, di lain sisi, Gerson ingin juga mengatakan bahwa letak “gubuk” itu tidak jauh dari pantai. Saat air laut surut di pagi atau sore hari, karang-karang akan menampakkan punggungnya. Pemandangan seperti ini sangat lazim bagi anak-anak NTT bahkan hingga saat ini. Selain puisi ini, masih ada puisi lain yang mengambil sudut pandang serupa. Hampir bisa dipastikan bahwa hal ini memang disengaja oleh Gerson karena Gerson mempunyai konsentrasi besar untuk mengangkat isu-isu lokalitas NTT ke panggung nasional. Yohanes Sehandi, dalam tulisannya di Victory News, Sabtu, 15 Juni 2013, mengatakan hal serupa. Ia mengutip pernyataan yang disampaikan Gerson saat menghadiri sebuah seminar di Kupang: “Pada kearifan lokallah yang mendorong penataan relasi sosial. Kearifan lokal mencegah orang terpikat pada materialisme, misalnya mencegahnya dengan mitos, sastra, cerita rakyat, seni tari, dan lain-lain.” Sementara di kesempatan yang berbeda, Gerson mengatakan, “Negeri kita ini kaya. Kaki di bumi subur, tangan di laut kaya, tapi otak di padang pasir. Kita harus sadar bahwa bumi kita subur. Kerena itu, pembangunan harus dilakukan dengan transmigrasi modern. Pemerintah perlu mengembangkan desa
61
RESENSI Steve Elu
budaya. Maka kita tidak akan lapar lagi. Orang desa punya piring raksasa, yakni tanah yang subur.� (Kompas, 9 Juni 2013). Maka, kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa ini mesti dibaca dalam terang anak mercu yang menjelma seorang penulis yang kini berusia 83 tahun dan sumbangsih lokalitas sepi tanah pulau (karang) bagi budaya nusantara dan dunia.
Catatan: Pernah dimuat di Jurnal Sastra Santarang edisi Januari 2015. Dimuat ulang di sini sebagai bagian dari perhormatan atas pencapaian dan pengabdian Gerson Poyk dalam perkembangan sastra Indonesia.
Steve Elu, sejak 2011 bekerja sebagai wartawan di Majalah HIDUP. Aktif menulis puisi dan cerpen, dan sudah dimuat di sejumlah media cetak dan online. Buku kumpulan puisinya Sajak Terakhir terbit tahan 2014 dan Parinseja terbit tahun 2105.
62
Humor Amanche Franck OE Ninu
Humor anak timor Amanche Franck OE Ninu Kata Sambutan Gender Pada saat resepsi pernikahan Mery dan Hanis, Kaur Pembangunan Desa Oefafi yang mewakili Kepala Desa memberikan kata sambutan sebagai berikut: “Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya atas nama Kepala Desa Oefafi. Saya berbicara ini terlebih untuk saya pung adik Hanis, pengantin laki-laki. Begini Hanis, kalau engkau pukul engkau pung istri dan dia tidak lapor sama polisi, itu tidak apa-apa Hanis.Tetapi Hanis saya berkata kepada engkau, jikalau engkau pukul engkau pung istri, dan dia lapor sama polisi, itu dia pung nama: GENDER… Sekian dan terima kasih.”
Nama Kucing Mama Dorce Amanekat Amnauto mempunyai seekor kucing di rumahnya. Suatu hari ia dikunjungi Mama Debora Haepenu. Karena melihat kucing Mama Dorce, Mama Debora pun bertanya: Mama Debora Mama Dorce
: :
Mama Debora
:
Mama Dorce
:
Ini kucing pung nama apa e? Dia pung nama, Meo-meo isbai bai tutu kolo kol pakalele mansen sae kiko maliko kiko maliko koesem mam koesem ma antao lele. Ailo… dia pung nama painjang. Kalau kita mau panggil bilang apa? Gampang sa panggil dia; Meo…
Catatan: Dari buku Humor Anak Timor: Kumpulan Humor, Pantun & Plesetan.
63
KUIS
KUIS berhadiah (A) Pertanyaan 1.
2. 3.
4. 5.
6.
7.
Menurut A.S. Laksana, bagaimana Gerson Poyk memperlakukan tokoh-tokoh cerita, yang sebagian besar orang-orang miskin, dalam kumpulan cerpen Oleng-Kemoleng & Surat-Surat Cinta Rajagukguk? Benedict Anderson menemukan bahwa Noli me tangere memang ditulis untuk para pembaca di luar Filipina. Apa alasannya? Bagaimana protagonis dalam cerpen “Di Atas Langit” menggambarkan gaya komunikasi pasangan suami-istri Luis dan Dewi? Dalam cerpen “Kolam”, mengapa lelaki tua pemilik kios dan kurir koran menyebut suami Nurma “profesor ikan”? Pada salah satu puisi Dedy Tri Riyadi ada ungkapan dalam bahasa asing yang artinya “ke mana kau akan pergi?”. Sebutkan ungkapan tersebut, dan diambil dari bahasa apa? Dalam resensi “Bakat Menggonggong” disebutkan bahwa Dea Anugrah kerap menyisipkan paragraf-paragraf atau kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak penting, tidak jelas apa fungsinya, bahkan tidak ada hubungannya dengan jalan cerita. Disebut dengan istilah apakah teknik bercerita semacam itu? Sebutkan empat judul puisi Gerson Poyk yang merekam kisah perjalanannya di berbagai tempat di Amerika Serikat!
(B) Wacana Menurut Anda, apa warisan terpenting Gerson Poyk untuk sastra Indonesia? Tulis jawaban singkat-padat dalam satu paragraf.
SYARAT & KETENTUAN: Jawaban bagian (A) harus tepat, sedangkan bagian (B) tidak ada jawaban benar atau salah. Kuis berhadiah masing-masing satu buku untuk tiga pemenang yang beruntung. Jawaban dikirim ke email redaksi Majalah Sastra Santarang (majalahsantarang@gmail.com). Cantumkan nama dan nomor ponsel. Pada subyek email cukup ditulis “KUIS NO. 1”. Jawaban ditunggu sampai dengan tanggal 10 April 2017. Pemenang akan diumumkan di edisi Majalah Sastra Santarang berikutnya.
64