Majalah Sastra Santarang Edisi September-Oktober 2017

Page 1

Majalah Sastra SANTARANG Sabana Lontar Karang

Komunit as Sastra

DUSUN FLOBAMORA No. 2 Vol. I2017 September-Oktober


BERANDA KATA

“Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah

bertahan

kehidupan.� (Umbu Landu Paranggi)

Majalah Sastra Santarang

Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora Pelindung/Penasehat/Penanggung Jawab: Amanche Franck OE Ninu, Pr Pemimpin Redaksi: A. Nabil Wibisana Sidang Redaksi: A. Nabil Wibisana, Abdul M. Djou, Anaci Tnunay, Linda Tagie & Saddam HP Kontributor Senior: Amanche Franck OE Ninu, Pr & Mario F. Lawi Desain Sampul: Abdul M. Djou | Tata Letak Isi: A. Nabil Wibisana Email Redaksi: majalahsantarang@gmail.com Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa cerpen, esai, puisi, dan resensi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan.


D A F T A R IS I

September-Oktober 2017

Esai Ardy Kresna Crenata

1

Alternatif Wujud Kubisme Dalam Puisi

10 17 26

Membakar Telur Babi Paling Seksi Revolusi yang Belum Selesai dan Sebuah Stasiun Radio

32 33 34 35 36 37 38 39 39 40 40 41 41 42 42 43

Kana Sebelum Batu-Batu Dirajamkan Tubuhmu Bilangan Tak Terhingga Penghabisan yang Berat Jauh Sepi Berbatas Puisi Lumpuh Puisi, 1 Puisi, 2 Puisi, 3 Memimpikan Sunyi Mengabaikan Pesan Singkat Pagi Akhir Pekan Membayangkan Matahari Saat Hujan Kemarau Cahaya

44

Tanta Pankratia Kuliling Flobamora Makan Ubi dan Babagi Buku

47

Membaca Salinger, Perihal Bertepuk Satu Tangan

Cerpen Anaci Tnunay Jamil Massa Ricko Waw0

Puisi Giovanni A.L Arum

Muhammad Daffa

Quidora Soera

Rinny Foa

Kusu-Kusu Amanche Franck OE Ninu

Resensi Eric Lofa


[1]

Alternatif wujud kUbisme dalam puisi Ardy Kresna Crenata DALAM sebuah lukisan yang mengusung kubisme, bentuk-bentuk yang semula seperti akan organik justru dianorganikkan. Yang ditonjolkan, sebagai “aktor”, pada akhirnya bukanlah apa-apa yang tersaji di realitas dan kita kenal, melainkan apa-apa yang sekilas menunjukkan keterhubungan asal-usul ke sana namun tersaji dalam wujud-wujud lain, yang sesungguhnya tidaklah asing tapi jadi terlihat (dan terasa) asing sebab ia dikenakan kepada objek-objek— atau subjek-subjek—yang lazimnya kita lihat tidak seperti itu. Segitiga, kerucut, tabung, kotak. Bentuk-bentuk semacam itu. Ketika misalnya yang awalnya dicoba-munculkan adalah tangan, maka si tangan ini menjadi dirinya yang tidak lagi dirinya; ia bukan tersaji dalam wujud yang familier bagi kita namun dalam wujud yang lain. Di ujung “perjalanan”, wujudnya yang familier ini dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke wujud-wujud anorganik tadi— segitiga, kerucut, tabung, kotak. Kita dipaksa berhadapan dengan sesuatu yang separuh asing separuh tidak, separuh nyata separuh tidak, separuh ada separuh tak ada, separuh masuk akal separuh tidak. Dan komposisi kemudian terbentuk. Tidak sekadar menghadirkan dua kutub yang berseberangan, sebuah lukisan kubisme juga menghadirkan interaksi di antara keduanya. Lihat, misalnya, lukisan berjudul “Port en Normandie” karya Georges Braque. Sesuai judulnya, lukisan tersebut menawarkan sebuah view dari pelabuhan kecil di Normandia, dan sekilas melihatnya kita bisa mengenali bentuk-bentuk yang mengingatkan kita pada objek-objek atau subjek-subjek yang berkaitan erat dengan pelabuhan, seperti perahu—atau kapal layar?—dan mercusuar. Namun segera, bahkan mungkin di detik yang sama, kita pun menyadari: bentuk-bentuk itu tidak sempurna, dalam arti objek atau subjek yang ditampilkan tidak bisa dianggap sama Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[2] dengan dirinya di dunia nyata, di realitas yang kita biasa hidup di dalamnya. Bentuk-bentuk (yang semestinya) sempurna itu telah dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk-bentuk anorganik. Kita jadi seperti berhadapan dengan puzzle, namun si puzzle ini tidak tersusun secara rapi, melainkan separuh-acak. Dan kita seperti terdorong untuk memikirkan makna—bukan pesan—dari keseparuh-acakan ini. Hal serupa ada pada lukisan berjudul “Violin and Candlestick”—juga karya Georges Braque. Jelas sekali, di judul disebutkan dua objek— atau subjek: violin and candlestick. Dan kita menemukannya, setidaknya bentuk-bentuk yang memiliki keterhubungan asal-usul ke sana, di lukisan itu. Kita menangkap sesuatu familier yang lekas mengingatkan kita kepada dua objek tersebut. Namun lagi-lagi, seperti di lukisan “Port en Normandie” tadi, bentuk-bentuk familier tersebut pada akhirnya dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk-bentuk lain, bentuk-bentuk yang mengisap kita dari realitas dan memuntahkan kita di ruang yang sebaliknya. Violin di lukisan itu tidak tampil sebagai dirinya yang utuh dan sempurna, melainkan dirinya yang terganggu dan penuh cacat. Begitu juga tempat lilin. Dan sebagai dampaknya apa yang kita rasakan? Saya kira sama: dorongan untuk memikirkan apa makna—bukan pesan, sekali lagi— yang mungkin tersembunyi di baliknya. Pertanyaannya sekarang: bagaimana jika “cara kerja” kubisme ini diterapkan dalam puisi, sebuah produk—jika boleh disebut demikian—yang menggunakan kata—bukan “gambar”—sebagai bahan baku utamanya? Apakah mungkin dicapai komposisi yang menawarkan nilai estetika yang sama—atau setara? Tulisan ini, akan mencoba menjawabnya. *** PUISI Nirwan Dewanto berjudul “Perenang Buta”—puisi pembuka di buku puisi Jantung Lebah Ratu—bisa jadi mencoba menyajikan Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[3] “cara kerja” kubisme tadi dalam puisi. Dua bait awal puisi ini berbunyi: Sepuluh atau seribu depa / ke depan sana, terang semata. Tiga bait setelahnya: Dan arus yang membimbingnya / seperti sobekan pada jubah / tanjung yang dicurinya. Kita bisa juga melihat dua bait pertama tadi sebagai satu kalimat, dan yang setelahnya kalimat lainnya. Yang jelas, kita mendapati, keduanya berada dalam “ruang gerak” yang berbeda, dalam dimensi yang berbeda. Yang pertama tadi, relatif mudah divisualkan; ketika kita membacanya sambil membayangkannya kita mendapati diri kita dihadapkan pada sesuatu yang relatif familier bagi kita, yang mungkin kita temukan di realitas—kendati bisa jadi kita belum (pernah) mengalaminya. Sedangkan yang kedua, jelas sekali, tidak seperti itu. Kalaupun kita bersikeras memperoleh visualisasi yang familier masihlah mudah, kita tetap tidak bisa mengelak dari katakata “sobekan pada jubah tanjung yang dicurinya”; cara si penyair mendeskripsikan situasi yang kita visualisasikan itu begitu kabur, begitu tidak kokoh, begitu bisa-berarti-lain dan karenanya membuat kita ragu—dan setelahnya melarikan diri (sejenak) dari realitas. Ini seperti sebuah bentuk yang awalnya tampak familier dan akan terus seperti itu justru dihancurkan, dipiuhkan, dialihkan ke bentuk lain. Dan kita berhadapan dengan keduanya, di bidang (puisi) yang sama. Mudah saya kira untuk menghubungkan pembacaan tersebut ke konsep nyeleneh kubisme yang dibahas di awal tadi. Visualisasi yang berbuah sesuatu familier dalam “Perenang Buta”, bisa kita bayangkan sebuah tangan dalam wujud yang kita kenal di realitas; sedangkan visualisasi yang berbuah sesuatu tidak familier bahkan liyan yang dihadirkan kemudian, yang seperti mengakhiri visualisasi bagian puisi tersebut secara keseluruhan, adalah wujud final dari si tangan tadi, yang ternyata tidaklah hadir dalam wujud yang sama dengan yang kita dapati di realitas kita, realitas nyata kita. Si tangan yang semula seperti akan tersaji sebagai tangan yang “umum” dan “normal” itu terkhianati oleh teknik yang membentuknya, sehingga ia tampil sebagai tangan yang berbeda, Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[4] yang tak nyata, yang asing, yang “tak ada”. Bukan berarti kita tidak memahaminya, bukan berarti kita benar-benar tak mengenali wujud dasarnya itu—bahwa ia dimaksudkan sebagai tangan. Yang terjadi adalah: kita terdorong—bahkan terpaksa—untuk melihat si tangan itu sebagai dirinya yang lain, atau melihatnya dengan caracara lain, sehingga kemudian kita bisa sedikit-banyak mendapatkan gambaran tentang makna yang ada padanya, “teritori” semacam apa yang berusaha ditawarkannya. Visualisasi dalam beberapa bait puisi “Perenang Buta” itu, dalam hal ini, telah hadir sebagai sebentuk lukisan kubistis. Di bait-bait setelahnya pun napas kubisme hadir dan terasa, dengan “metode” yang sama. Bait-bait ini, misalnya: Tak beda ubur-ubur atau dara / mendekat ke punggungnya / yang tumbuh sekaligus memar / oleh kuas gerimis akhir Mei. Bisa kita lihat bahwa ketika berhadapan dengan dua baris pertama kita tidaklah kesulitan mendapatkan visualisasi yang “masuk akal”, yang menjejak pada realitas yang kita pijak, namun saat berhadapan dengan baris ketiga kita kembali beroleh kesulitan; kita seketika bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan kata “tumbuh” di sana dan ketika kita memvisualkannya secara harfiah kita mendapati gambaran yang menjejak pada realitas tadi itu terkhianati, hancur, sehingga wujud finalnya yang tampak di hadapan kita adalah wujud yang liyan, yang terpiuhkan, yang teranorganikkan—sebentuk lukisan kubistis lainnya. Dan ingat, di sini kita masih bicara tentang satu puisi yang sama; kedua bentukan kubistis tersebut kita temukan di satu tubuh puisi yang sama. Bayangkanlah, tubuh puisi tersebut adalah sebuah lukisan pada kanvas, semisal “Port en Normandie” atau “Violin and Candlestick” tadi. Maka pastilah kita menyadari bahwa bentukanbentukan kubistis yang kita temukan—lebih tepatnya kita sadari— tadi itu adalah objek-objek—atau subjek-subjek—yang tersaji sebagai dirinya yang terkhianati, yang terpiuhkan, yang teranorganikkan. Inilah saya kira salah satu alternatif wujud kubisme dalam puisi. *** Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[5] SATU konsep penting lainnya dari kubisme selain pemiuhan yang berbuah keanorganikan adalah kehadiran yang simultan. Kita tahu, lukisan bergerak secara spasial; segala hal yang ada padanya menyergap kita tidak berdasarkan urutan yang kaku, justru serentak, seolah-olah bersamaan, dan bisa dimulai dari bagian mana saja, tergantung ke titik mana pengamatan kita difokuskan. Dalam hal ini, puisi, yang wujudnya bertolak pada kalimat, pada kata, sangatlah berbeda; telanjur ada jalur yang menuntut diisi sehingga kalimat-kalimat atau kata-kata dalam puisi itu tersusun berlajur-lajur. Tidak bisa kita “memandangi� sebuah puisi secara acak sesuka hati kita. Bagaimanapun, kita diminta untuk membaca dari atas, dari awalnya, dari pembukanya, dan setelahnya menikmatinya sesuai jalur yang ada. Sebuah puisi, dengan kata lain, bergerak secara temporal. Dan di sinilah menariknya. Menerapkan konsep kubisme berupa simultanitas ke dalam puisi berarti mengubah sifat si puisi yang temporal itu menjadi spasial, atau setidaknya meleburkan keduanya. Dan apa itu mungkin? Jika yang dimaksud adalah simultanitas murni, di mana kita benarbenar bisa membaca dan menikmati si puisi dari titik mana saja dari bait mana saja dari baris mana saja, agaknya sulit. Bagaimanapun sifat yang dimiliki teks adalah temporal, kecuali kita bergerak secara ekstrem seperti dengan membebas-lepaskan si teks dari makna dan arti yang dikandungnya, sehingga kata-kata di dalam teks tersebut tidaklah lebih dari item-item atau benda-benda yang diletakkan berlajur-lajur, tanpa ada hukum kebahasaan yang mengekangnya. Namun jika simultanitas yang dimaksud adalah yang boleh sedikit tercampuri oleh sifat temporal teks tersebut, saya kira itu jauh lebih mungkin. Setidaknya, kita jadi melakukan keduanya sekaligus—menikmati si puisi sesuai jalur yang ada dan, di saat yang sama, menikmati keserentakan yang menyergap di selaselanya, di sepanjang jalur tersebut. Contoh penerapannya barangkali kita temukan pada puisi “Boogie Woogie�, masih dalam Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[6] Berikut kalimat awalnya: Di Broadway, hanya di Broadway / langit bisa menggirangkan diri / dengan merah, semu merah, / merah Mao, merah Marilyn Monroe, / meski di setiap sudut surai salju / mengintai hendak memberkati / ungu magnolia musim semi, / hitam legam seragam polisi, / kuning taksi dan sepatu Armani, / kuning kunang-kunang tak tahu diri. Perhatikan, dalam satu kalimat itu ada begitu banyak kata, yang tiap kata tentu saja memiliki bentuk visualnya sendiri-sendiri, merangsang kita untuk segera membayangkannya atau merasakannya. Memang, kata-kata tersebut hadir secara patuh pada jalur yang ada, di mana mereka, dalam kemunculannya itu, ikut membentuk makna dan arti dari struktur kalimat yang tersaji. Akan tetapi, di saat yang sama, kita bisa juga melihat kemunculan mereka itu seakan-akan serentak, atau menuju serentak, di mana “langit” muncul dalam satu lajur bersama “diri”, “merah” dan “Mao” dan “Marilyn Monroe” muncul bersama dalam satu lajur, di mana “sudut” dan “surai” dan “salju”, di mana “ungu” dan “magnolia” dan “musim semi”, di mana “hitam” dan “seragam” dan “polisi”, di mana “kuning” dan “taksi” dan “sepatu Armani”, di mana “kuning” dan “kunang-kunang” dan “diri”, muncul bersama dalam satu jalur. Simultanitas. Atau tepatnya, pseudo-simultanitas. Di satu sisi kita menikmati kalimat pertama puisi tersebut dengan membaca kata demi katanya secara temporal, di sisi lain kita juga menikmatinya dengan “memvisualkan” kemunculan benda-benda yang ada secara spasial. Sebuah negosiasi antara yang temporal dengan yang spasial. Sebuah komposisi, pada akhirnya. Sebentuk lukisan kubistis dengan komposisi, dalam wujud puisi. Tapi tunggu. Simultanitas dalam lukisan kubistis atau lukisan yang mengusung kubisme, sejatinya, adalah simultanitas yang menghadirkan pecahan-pecahan dari sejumlah item atau benda; atau, diri lain dari item atau benda tersebut. Ini artinya ketika sesuatu dihadirkan secara serentak dalam lukisan kubistis ia tidak hadir sebagai dirinya yang utuh, melainkan dirinya yang terpecahpecah, terbagi-bagi, dan tentunya anorganik. Menerapkan hal ini ke Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[7] dalam puisi tentu jadi lebih sulit. Tetapi untungnya, meski kadarnya mungkin belum terkategorikan cukup, kita bisa merasakan napas tersebut dalam puisi “Boogie Woogie” tadi. Di kalimat keduanya ini, misalkan: Tapi di Broadway, hanya di Broadway / sungguh merah tak pernah sampai / ke surga, betapapun ia meninggi / melampaui puncak menara tertinggi, / menjinjing jantung paling murni, / jantung tercuci kuas Balla dan Boccioni. Kembali, seperti di kalimat pertamanya tadi, kita menemukan banyak item, banyak benda, dan kemunculan mereka di dalam lajur-lajur yang ada seolah-olah serentak; terasa seperti itu. Dan coba kita lihat lebih dekat; dari jarak yang lebih dekat. Kalimat dengan banyak kata tersebut terbagi-bagi ke dalam beberapa baris, dan ketika kita memfokuskan pengamatan kita pada baris-baris tersebut, kita mendapati bagian-bagian yang terpenggal-penggal itu tidak selalu utuh, tidak selalu penuh; seringkali “tak selesai”, dan makna serta artinya jadi tak jelas, atau tertunda. Misalnya, “sungguh merah tak pernah sampai”. Ke mana? Kita baru beroleh penjelasan atas hal ini di baris setelahnya. Sementara baris setelahnya itu sendiri, “ke surga, betapapun ia meninggi”, juga sebuah penggalan yang “tak selesai”; ada yang tak tersajikan di sana sehingga makna dan arti si sub-kalimat tertunda. Dalam arti tertentu, ketertundaan dan ketakselesaian ini sesuai dengan konsep simultanitas dalam lukisan kubistis tadi. *** MASIH ada barangkali konsep-konsep lainnya tentang lukisan yang mengusung kubisme, prinsip-prinsip yang membedakannya dari lukisan-lukisan beraliran lain, tapi di tulisan ini saya kira dicukupkan dengan dua hal tadi saja. Keanorganikan. Simultanitas. Dengan menemukan bagaimana kedua konsep ini telah coba diterapkan ke dalam puisi, sebuah produk yang bertolak pada teks, pada kata, kita sewajarnya senang, bergembira, bahkan bahagia. Sebab hal tersebut menandakan bahwa, kendati masih dalam taraf atau Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[8] tingkatan yang mungkin tidak cukup memuaskan, melebursaburnya lukisan dan puisi—dari segi teknik atau bentuk—adalah sesuatu yang mungkin. Kita rupanya bisa melakukannya! Yang spasial, dengan yang temporal, dipadukan, sehingga hadirlah sebuah sajian yang lain, yang liyan, yang potensial—bahwa ke depannya kita bisa menawarkan sajian yang lebih liyan lagi dari itu, maksud saya. Ada juga efek positif yang kemudian timbul dan terasa dari perlakuan seperti ini, yakni meluasnya cara pandang kita terhadap puisi, terhadap teks; bahwa ketika kita berhadapan dengan sebuah puisi kita bisa juga di saat yang sama memosisikan diri kita tengah berhadapan dengan hal-hal lain—hal-hal lain di luar puisi. Dan sekarang, bisa jadi, di benak kita, kita sudah mulai cobacoba memadu-leburkan hal-hal lain itu, ke dalam teks, ke dalam puisi, sehingga semakin terbukalah cara pandang kita atasnya. Sesuatu yang baik, yang positif, saya kira. —Bogor, 2016-2017 Ardy Kresna Crenata menulis cerpen dan puisi. Ia tinggal di Bogor. Ia menyukai novel-novel Jepang dengan novelis Jepang kesayangannya adalah Natsuo Kirino. Buku kumpulan cerpen pertamanya berjudul Pendamping (2012), Buku kumpulan puisi dan kumpulan cerpennya yang terbaru masing-masing berjudul Kota Asing (2017) dan Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku (2017).

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[9]

Sumber: Pixaby.com. Lisensi CC0

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[10]

MembakaR Telur Anaci Tnunay BAPAK dan ibu bertengkar sehari sebelumnya. Ibu lalu pergi meninggalkan kami. Entahlah tepatnya ia pergi ke mana. Tapi aku bisa mengira-ngira ia ke rumah sepupunya di kampung sebelah. Ibu tentu tak bakal berani kembali ke rumah orang tuanya di kampung yang letaknya lebih jauh berkilo-kilo dari rumah. Sebab bila ke sana, walau sudah berpayah-payah menempuh berkilo-kilo meter, Ba’i1 tak akan pernah mengizinkannya sampai menginap. Pasti langsung disuruhnya ibu pulang. Pernah seingatku, suatu kali ibu menyeretku ikut ke rumah Ba’i sesudah ia bertengkar dengan bapak. Di sana bukannya didukung, tapi ibu malah dimarahi. “Saya mau kau datang ke sini baik-baik. Membawa serta anak mantuku dan cucu-cucuku dengan keadaan hati yang tenang. Bukan dengan muka cemberut penuh pengaduan begini,” kata Ba’i di sela-sela batuknya. Sore harinya kami langsung disuruh pulang setelah ia menyuruh nenek menyelipkan sekeping uang logam di tanganku. “Buat beli es di jalan kalau kau haus,” bisiknya. Baiklah di sini kukatakan, cerita ini sebenarnya bukan tentang ibu. Tapi tentang kami yang hari itu sempat ditinggal pergi olehnya. Siang itu aku dan adik baru saja pulang dari sekolah minggu. Bapak sudah terlebih dahulu pulang dari kebaktian umum. Ia sementara berada di teras samping rumah menggergaji batangan kayu. Bapak biasanya membuat perangkat meja kursi, atau lemari, atau rangka ranjang, atau rak piring, atau bingkai jendela dan pintu pesanan orang yang terus mengalir. Ia mengerjakannya setiap hari. Tanpa henti, kecuali untuk rehat makan, ia akan memulai dari pagi subuh ketika ayam mulai ramai berkokok hingga sore saat ayam-ayam dihalau masuk kembali ke kandang. Bahkan hampir tak kenal hari Minggu. Pagi-pagi sebelum ke gereja, ia akan beres-beres Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[11] perangkat kerjanya sehingga sepulang dari gereja, tanpa sempat makan terlebih dahulu, ia akan langsung bergelut dengan bilahbilah papan dan serbuk-serbuk kayu yang diserutnya. Karena ibu tak sedang di rumah hari itu, di dapur pun belum ada makanan yang disiapkan. Aku ingat masih punya sisa uang jajan kemarin. Langsung kupakai membeli sebungkus supermi bergambar ayam jago di kios depan rumah. Supermi itu kumakan sendiri. Memakannya kering seperti kerupuk. Untuk adikku hanya kuberi sedikit. Segenggam kecil di tangannya. Merasa yang diterima sedikit sekali, ia lantas meminta izin bapak agar diperbolehkan mengambil sebutir telur dari antara ayam-ayam betina yang sementara mengeram. Mendapat izin bapak, ia pun segera menuju kandang ayam di halaman belakang rumah, memungut sebutir telur yang ada di dalam salah satu bobak2. Keluar dari sana, ia mulai sibuk mencari kaleng plastik bekas sabun colek di tempat sampah bekas lubang kakus yang sudah menua dan runtuh, membawanya masuk ke dapur, lalu membakarnya di atas ranting kering yang ditumpukkan di tungku. Begitu api di tungku menyala, ia lantas meminta tolong padaku merebus telur itu untuknya. Ia pernah melihatku merebus telur, pun pernah menggorengnya. Namun ketika ia meminta tolong hari itu, aku justru ogah-ogahan. Aku yang sedang asyik mengunyah renyah supermi di atas balai-balai dapur segera menghindar dengan beranjak ke luar. Memanjat pohon nangka dan duduk di salah satu dahannya yang rendah. Melanjutkan makan supermi yang tinggal separuh. Dari dalam dapur ia terus merengek. Sampai bapak yang sementara tenggelam dalam deru bising mesin serutan kayu pun merasa terganggu mendengar rengekannya dan menyuruhku segera masuk membantu adik.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[12] Karena bapak yang menyuruh, dan dengan nada yang keras, jelas aku tak bisa berkutik. Aku mengiyakan, namun tetap kubilang, "Sebentar. Setelah kuhabiskan makananku." Bukannya segera menghabiskan supermi yang kumakan, aku mendongak. Mencari dahan yang lebih tinggi yang bisa kududuki. Kutemukan ada satu. Setelah memastikan dahan itu kuat dengan menjulurkan tangan dan menggerak-gerakannya, aku pun merangkak pindah ke sana. Duduk nyaman dan lanjut menikmati supermi sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Menyanyikan lagu-lagu yang dipelajari di sekolah minggu. "Kakak, ayo, cepat. Mari masak. Ade su3 lapar," dari dalam dapur adik tak henti-hentinya memanggil, terus meratap. Ia belum terlalu lancar bicara. Bahkan untuk menyebut nama seseorang. Apalagi mengeja namaku yang terbilang susah diucap, bahkan oleh orang dewasa sekalipun. Jadi ia selalu memanggilku dengan sebutan Kakak. "Ya, tunggu sebentar selesai aku makan," aku balas berteriak dari atas pohon. Ia terus mengeluh dalam tangis kalau ia tak bisa merebus ataupun menggoreng telur. Tiba-tiba dari tempatku bertenggek, kulihat bapak mematikan mesin serutan kayu. Ia bergerak ke luar teras. Mematahkan seranting kayu dari antara tetumbuhan liar di pekarangan. Dengan muka merah ia berjalan menuju arahku. Membaca apa yang akan terjadi, aku pun buru-buru meloncat turun. Melesat secepat kilat masuk ke dapur. Dapur di rumah kami terbagi dua ruang. Satu ruang untuk menyimpan berbagai perabotan makan dan juga di sana terletak Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[13] balai-balai, serta satunya lagi khusus ruang tungku. Cepat-cepat di ruang dapur pertama aku meraih periuk kecil dari rak dan mengisinya dengan segayung air, lalu melangkah masuk ke ruang tungku. Baru di sana aku menyaksikan adikku yang berkubang abu ra’o4, pada mukanya berlepotan air mata dan hitam asap, tengah terisakisak menatap telur ayam yang diambilnya tadi sementara meleleh dalam jilatan api. Aku benar-benar terpaku di tempat. Melongo. Seketika penyesalan yang amat dalam datang menghinggapi. Mataku terasa panas. Ingin rasanya aku pergi memeluk adikku dan menenangkannya. Tapi entah kenapa aku seperti merasa malu. Perasaan gengsi sebagai kakak memerintahkanku untuk tetap berdiri dan hanya menatap diam ke arahnya. Melihatku membeku, isakannya mendadak berhenti. Ada semacam ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Aku mengerti, mungkin ia takut kalau sampai bapak tahu. Kami berdua saling memandang bisu, lalu bersama-sama menoleh pada telur yang pelan-pelan hilang lebur dilahap api. Tak ada suara kami yang keluar selain sisa-sisa isakan tangis adik. "Ada apa? Sudah dimasak telurnya?" tanya bapak tiba-tiba. Aku yang sementara berdiri tepat di pintu pemisah ruang dapur pertama dengan ruang tungku sontak menoleh. Bapak sudah berdiri di ambang pintu. Di tangan kanannya masih tergenggam ranting kayu yang dipatahkan tadi. Kaget dan panik, aku hanya bisa menggeleng pelan. Detak jantungku makin cepat dan kencang. Bulir-bulir keringat dingin menjalari tubuh. Aku tak ingin bapak tahu adik sudah membakar telurnya. Maka itu kubalikkan badan membelakangi ruang tungku. Berharap bapak tidak terus masuk. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[14] Pikirku kalau bapak kembali keluar ke pekerjaannya, maka aku akan mengendap-endap pergi ke kandang ayam, menengok ke dalam bobak, dan mengambil sebutir lagi sebagai pengganti untuk kumasakkan buat adik. Nyatanya bapak melirik periuk yang sementara masih menggantung di tanganku. "Kenapa belum dimasak?" tanyanya terus mendorongku pelan dan melongok ke dalam. Melihat bapak datang, spontan meledak tangis adik. Ia histeris, “Angus5.� Kembali bercucuran air matanya. Deras seperti hujan. Ia memeluk erat-erat lembar pengipas api berbahan anyaman daun gewang6. Tanpa ada lagi kata-kata, bapak serta-merta berbalik ke arahku. Giginya gemeletuk. Matanya membeliak marah. Rotan di tangannya dengan keras dilecutkan ke betisku. Sekali saja. Perihnya bukan main. Aku melompat ke luar dapur sambil mengaduh. Pegangan periuk di tangan kananku lepas. Airnya tumpah. Begitu juga supermi di tangan kiri. Isinya berceceran di lantai dapur. Bapak menyusulku ke luar. Rotan kecil itu diayunkan lagi. Kencang bertubi-tubi disabetkan di antara kedua betisku. Ingin mencoba menahan, dua tangan kutempelkan di betis. Tak pelak lagi, telapak tanganku pun panas dan perih kena embat rotan yang beruntun. "Sudah bapak bilang cepat bantu dia masak. Kau malah enakenakan ceke7 supermi itu sendiri sambil goyang-goyang kaki di atas pohon bak tuan putri raja," suara bapak menengking di sela-sela ia mengayunkan rotannya.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[15] Sedihku terasa bertubi. Sedih karena satu-satunya telur yang diambil adik dari bobak lenyap tak bersisa ditelan api, padahal ia sudah berupaya sejauh itu, demi bisa membawa keluar sebutir telur walau mesti diserang sang induk ayam dan demi api bisa menyala, juga sedih mendapat cambuk berkali-kali yang membuat perih di betis dan telapak tangan. Bapak masuk lagi ke dapur. Di sana adikku kena damprat. “Kenapa tidak kau tunggu saja kakakmu datang. Dasar anak bodoh, tidak tahu masak tapi paksa diri.” Tangis adikku melengking. Rotan itu rupanya juga mendarat di tubuhnya. Ia terbirit-birit ke luar dapur sambil mengusap-usap lengan dan betisnya yang bengkak dan memerah. “Sudah. Tak usah lagi ambil telur di bobak,” mata bapak beringas ke arahku. “Tak boleh ada makanan apa pun hari ini.” Suara larangan bapak saat itu lebih terdengar seperti gelegar guntur siang bolong. Serupa sengat listrik yang membuat terlonjak kaget. Menumpukkan rasa sesal di dada dan siksa pedih yang kian menusuk mengingat adikku tidak akan makan seharian. “Ingat, sekali lagi, tak ada cerita kita makan hari ini. Kau, seorang kakak, kuperingatkan!” tegas bapak lagi terus melenggang kembali ke teras samping rumah, melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Tinggal aku dan adikku berdiri sambil menangis sesenggukan di depan pintu dapur. Susah payah memang, tapi aku berupaya mematahkan gengsi. Aku teringat sorot mata ibu, sekali waktu saat kami berdua membantu ibu memasak. Perlahan kudekati adikku. Kupeluk ia erat-erat. —Kupang, 2016 Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[16] Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

ba’i : kakek bobak : sarang tempat induk ayam mengerami telurnya. Terbuat dari anyaman daun gewang ade su: adik sudah abu ra’o: debu hasil pembakaran dari tungku angus : hangus, gosong gewang: gebang (Corypha utan), sejenis pohon palem ceke: makan dengan lahap dan serakah

Anaci Tnunay, guru SMP Lentera Harapan Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku yang pernah diterbitkan, sebuah kumpulan cerpen berjudul Persinggahan Bocah Indigo (2013). Salah satu peserta emerging writers MIWF 2017 di Makassar.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[17]

BABI paling seksi Jamil Massa TELAPAK tangan perempuan itu, yang tak sampai semenit lalu masih berada di punggungnya, kini telah berpindah di dadanya. Dalam satu gerakan, perempuan itu mengelus, memijat, dan membuat puntiran lembut yang memicu seismik kecil di tubuh Saldi. Perempuan itu terus mendekapnya, menekankan dadanya di punggung Saldi, dan mengecup kuduk lelaki enam puluh tahunan itu. “Hentikanlah, geli,” pinta Saldi “Tidak akan sebelum kau penuhi keinginanku,” desis sang perempuan. “Yang mana?” Saldi berpikir sejenak. “Kursus mengemudi pesawat?” “He-eh.” Perempuan itu makin bersemangat menggelitik Saldi. Dan yang digelitik berjoget patah-patah seperti robot rusak. “Terus, kalau sudah Meninggalkanku?”

bisa

bawa

pesawat,

mau

apa?

Saldi dapat mendengar perempuan itu terkikik halus di belakang telinganya. “Tentu saja tidak, bodoh. Kau harus ikut bersamaku.” “Tapi kau tahu aku takut terbang.” “Untuk menuju hidup yang lebih baik, aku butuh cintaku, di sini.” Perempuan itu mengetatkan dekapan tepat pada kata ‘di sini’. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[18] “Kau mengutip The Beatles?” “Secara teknis, Paul McCartney.” Perempuan itu kemudian mulai bernyanyi. “Here, making each day of the year…” Saldi ikut menyanyikan bagian selanjutnya dari lagu berjudul “Here, There and Everywhere” itu seraya mengayunkan tubuhnya perlahan ke kiri dan ke kanan, serupa genta gereja yang baru saja dibunyikan, “Changing my life with the wave of her hand. Nobody can deny that there’s something there…” Ujung jambul rambut palsu Saldi yang berkilat-kilat menuding plafon kamar apartemen sedikit berayun seiring gerakan berbalik pemiliknya yang mengejutkan. Kebanyakan orang yang mengamati pasangan itu awalnya mungkin akan mengira, mereka hanyalah ayah dan anak yang sedang berdansa. Namun, ketika sang lelaki menyodorkan bibirnya, yang kemudian disambar dan dilumat dengan buas oleh sang perempuan, para pengamat tersebut barangkali akan muntah-muntah seraya mengutuki Hidup yang begitu tak adil dalam membagi kesenangan antara satu dan lain manusia. Seorang lelaki kaya dapat memiliki pasangan yang umurnya jauh lebih muda. Sementara, kebanyakan perempuan cantik hanya menyukai mereka yang berkantong bengkak. Untungnya, di kamar itu tak ada jeluak dan cerca. Tak ada siapa pun selain Saldi dan kekasih gelapnya. “Misalnya,” perempuan itu kembali berbisik. “Ini misalnya, ya, kita sedang naik pesawat berdua saja dan pesawat itu jatuh jauh dari peradaban, juga jauh dari sumber makanan, dan aku ditakdirkan mati lebih dulu, apakah kau akan memakan jasadku?” “Tentu saja tidak,” jawab Saldi mantap. “Aku lebih memilih mati kelaparan, menyusulmu.”

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[19]

Sumber: Pixaby.com. Lisensi CC0

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[20] Perempuan itu tersenyum. Mereka masih berdansa tanpa musik saat perempuan itu kemudian berkata: “Kalau aku, tidak akan keberatan memakanmu.” Saldi terbelalak. “Seminggu belakangan ini aku lihat kau rutin berenang.” Jemari perempuan itu naik turun, menelusuri rangkaian bebukit mini, yang tersebar merata, meski agak kendur, di lengan dan bahu Saldi. “Kata Huang Demin, mereka yang rutin terjun ke air setiap pagi, memiliki daging yang tiga kali lebih sehat dan tiga kali lebih gurih dibanding mereka yang pendiam dan terbiasa mengurung diri.” “Di mana Huang Demin ini belajar fisiologi?” “Bukan fisiolog. Dia peternak di sebuah desa bernama Guangshan di Cina sana. Setiap pagi…” “Peternak katamu?” Perempuan itu mengangguk. “Setiap pagi, dia menggiring ternaknya naik ke atas papan loncat di pinggir sungai. Lalu babibabi itu terjun ke air seperti atlet olimpi…” “Babi katamu?” *** DENGAN gaya persis Tony Manero dalam adegan pembuka film Saturday Night Fever, Rizi memasuki rumah mungil yang tiga tahun belakangan ini dikontrak Sinar Celebes sebagai kantor redaksi mereka. Persis Tony Manero dalam empat hal: jaket kulitnya, sepatu kulitnya, lenggang langkahnya, dan rambut terurus yang disisir belakang. Bedanya, jika Tony yang dalam film diperankan oleh John Travolta membawa sekaleng cat di tangan kanan, Rizi Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[21] menenteng dua kantong plastik merah berisi nasi kotak di kedua tangannya. Delapan di kiri dan delapan di kanan. Di atas meja salah seorang pegawai perempuan ia meletakkan kedua bungkusan, mengeluarkan satu kotak untuk pemilik meja, mengerling kepada orang yang sama, lalu berseru kepada seisi ruangan: “Makan-makan!” Saat itu menjelang makan malam, para pegawai dan wartawan harian pagi bertiras kecil itu tampak sedang sangat kelaparan. Seperti kawanan dubuk, mereka mengerubuti dua kantong plastik yang dibawa Rizi. “Ada apa ini ribut-ribut?” sergah Wahid di depan pintu ruangannya. Tatapan tegang dan kedut kumis beruban milik redaktur senior yang dikenal gampang naik darah itu boleh saja menurunkan jumlah desibel dalam ruangan, tapi tak mampu meredam nafsu makan yang meluap-luap. Para dubuk hanya berhenti bersuara, sementara tangan mereka tetap menggapai dan menyikut tak keruan. Rizi mengambil satu kotak paling besar, mengantarkannya kepada sang redaktur yang masih berdiri di depan pintu. “Apa ini?” tanya Wahid. “Makan malam,” jawab Rizi, nyengir. “Perayaan apa?” “Bukan apa-apa. Saya tahu bos sedang lapar.” Wahid melunak, meski ekspresinya masih mengandung syak wasangka. “Jangan-jangan, hari ini kamu tidak liputan ya?” “Saya liputan kok. Saya punya berita, tapi… ah, duduk dululah, Bos. Saya akan cerita sambil bos makan.” Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[22] Wahid menyerah. Ia duduk kembali di kursi kerjanya dan membiarkan Rizi bercokol di kursi lain di depan meja. Wahid membuka kotak dan menemukan bukti sahih atas pemborosan dan timpangnya persebaran pangan di muka bumi: Segunduk nasi putih, sebutir telur rebus, sepotong ayam bakar, sepotong perkedel kentang, sepotong tempe goreng, segumpal sayur daun singkong, dua iris timun, sekeping semangka, sekantung plastik kecil kerupuk, sekantung plastik kecil gulai nangka, sekantung plastik kecil sambal, dan—tampil cemerlang sebagai bintang—empat potong daging rendang berlumur lemak. Cukup? Belum. Rizi mengeluarkan dari sakunya tiga bungkus Djarum Merah, rokok kesukaan Wahid, dan meletakkan mereka di atas meja. “Kau ini makin mencurigakan saja. Ceritakan apa yang terjadi sebenarnya.” Nada suara Wahid meninggi, tapi itu lebih disebabkan rasa senang ketimbang gusar. Rizi tertawa kecil lalu berkata: “Bos tahu kan, jembatan besar di dekat perbatasan kabupaten sana, yang kalau kita lewati ada jalan bercabang, yang ke kanan beraspal, yang ke kiri tidak? Bos tahu kan, di antara percabangan itu ada apa?” “Kandang babi,” jawab Wahid, sebelum ia mulai komat-kamit mengucapkan doa makan. “Betul. Nah, tadi sore, saya bertemu seorang perempuan. Umurnya dua puluhan. Agaknya perawat atau bidan jika dilihat dari seragamnya. Perempuan itu baru saja mengalami kecelakaan, kirakira 10 meter dari lokasi peternakan. Sepeda motornya terpelanting di bahu jalan. Lengan kanannya lecet, juga sisi kanan keningnya. Barang-barangnya berserakan di mana-mana.” “Lalu?” Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[23] “Saya tolong dulu orangnya. Saya papah ke kios dekat situ. Saya belikan air minum dan tisu untuk membersihkan luka. Setelah dia agak tenang baru saya bertanya: ‘Tadi kenapa? Diserempet?’ Perempuan itu menggeleng, lalu menunjuk ke arah kandang babi.” “Maksudnya?” “Nah, itu yang jadi pertanyaan saya, ‘Maksudnya?’ Perempuan itu bercerita: ‘Tadi saya bawa motor dari arah jembatan. Dari jauh sudah tercium bau busuk kandang babi. Saya tidak tahan. Saya tutup hidung dengan tangan kiri. Padahal saya belum terlalu pandai membawa motor, apalagi dengan satu tangan. Hilang keseimbangan, saya pun jatuh.’ Nah, dari cerita perempuan itu terbayanglah di kepala saya sebuah judul berita: Bau Busuk Kandang Babi Picu Lakalantas, Satu Orang Luka Parah.” Wahid ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya penuh makanan. “Sebagai wartawan yang baik, saya tentu harus melakukan konfirmasi. Saya datangi pemilik kandang dan bilang: ‘Koh, kandang babi Koh ini busuknya minta ampun. Di depan ada yang kecelakaan gara-gara tidak tahan dengan bau busuk kandang babi ini. Koh harus tanggung jawab. Saya ini wartawan Sinar Celebes. Saya beritakan soal ini, kandang babi Koh bakal ditutup pemerintah.’” “Sialan!” Wahid memukul meja. “Kau wartawan atau preman? Itu namanya bukan konfirmasi, bahlul, tapi pemalakan.” “Sabar, Bos. Maksud saya supaya si Koh mau bertanggungjawab mengganti kerusakan yang dialami si perawat.” “Ah, alasan. Terus dia ngasih?”

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[24] Rizi mengangguk. “Tapi, ketika saya kembali ke TKP, si perawat sudah tidak ada di sana. Jadi, saya pikir, daripada uang itu saya kembalikan, lebih baik saya beli nasi padang saja. Bos dan temanteman pasti belum makan.” “Bedebah! Jadi, ini uang babi?!” Wahid mendelik, menghentikan makannya. “I…Iya, bos.” Wahid terbungkam sesaat. Ada sedikit makanan di rongga mulutnya. Tak lama ia lanjut mengunyah, dengan ritme yang tidak berubah. “Terus kenapa masih di sini?” tanya Wahid kemudian. “Kau kan punya berita untuk ditulis.” “Yang mana bos?” “Yang mana lagi? Karena bau babi seorang perempuan kecelakaan, atau apalah judul beritamu tadi.” “Tapi kan sudah ada…” “Enyah!” Bentakan Wahid membuat Rizi terlonjak dari tempat duduknya. Segera ia keluar dari ruangan sang redaktur, tergopoh-gopoh menuju salah satu komputer yang sedang nganggur. Berulang kali ia memaki dalam hati, untuk dua alasan. Pertama, ia merasa bersalah kepada si pemilik kandang babi atas uang ganti rugi, yang lebih dari separuhnya masih terlipat dalam dompetnya. Kedua, dia baru ingat kalau dia lupa menanyakan nama perempuan yang mengalami kecelakaan itu.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[25] Sejam kemudian Rizi menyelesaikan beritanya, dengan nama dan kejadian yang dikarang sekenanya. Ia cetak hasil ketikannya dan mendatangi si redaktur yang sedang merokok di kursi. Wahid bahkan tidak melirik kertas di tangan Rizi. “Telat. Halaman hukum dan kriminal sudah penuh. Setengah jam lalu ada berita masuk dari Jakarta. Mayat seorang perempuan asal daerah kita ditemukan terpotong-potong dalam boks Tupperware di tepi jalan tol. Tersangkanya seorang pengusaha.” Rizi Melongo. “Pembunuh itu tertangkap kamera CCTV sedang mendorong troli yang memuat bungkusan hitam. Dia bahkan masih sempat ngobrol dengan penyewa lain di dalam lift.” Rizi masih melongo. “Pengakuannya sih, tidak tahan diejek terus. Ketek bau, burung kecil, botak tua tak tahu diri. Terakhir, korban menyamakannya dengan babi.” Rizi masih melongo, dan Wahid malah tertawa. “Lucu ya, berita babimu tiarap lantaran berita babi dari Jakarta. Babi yang lebih seksi,” ujarnya tanpa rasa berdosa. —Gorontalo, 2016 Jamil Massa, lahir di Gorontalo, 14 Maret 1985. Menulis puisi, cerpen, esai, dan sesekali menerjemahkan karya-karya berbahasa Inggris. Sekarang tinggal di Gorontalo dan aktif dalam sejumlah kegiatan literasi di kota tersebut. Telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi berjudul Sayembara Tebu (2016) dan Pemanggil Air (2017). Saat ini sedang mengerjakan manuskrip kumpulan cerpen dan novel. Aktif di Facebook (Jamil Massa), di twitter (@jamil_massa), dan blog http://www.jamilmassa.wordpress.com. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[26]

Revolusi Yang Belum Selesai dan Sebuah Stasiun Radio Ricko Waw0 FLORES Pos, September 2016 Di sudut Kota Maumere, sebuah stasiun radio tua di gedung peninggalan Belanda masih kokoh berdiri. Beberapa orang muda seringkali tampak keluar masuk radio itu. Gedungnya tua, kulit temboknya banyak yang rapuh. Akan tetapi semangat dan visi radio itu tetap satu dan sama dari dulu hingga kini; demi revolusi. Merunut sejarah kota, stasiun radio itu pernah beberapa kali disegel pemerintah, dikepung militer dan dilempari warga. Namun, semangat dan visinya tetap satu dan sama; demi revolusi. Mungkin terdengar terlalu idealis, tetapi sejarah berkata demikian. Demi idealisme itu—meski terus dikecam, diancam dan dilecehkan—ia tetap eksis hingga kini. Pergerakan Pemuda 1950-an sampai 1960-an Jan Djong, seorang mantan siswa seminari Mataloko tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas nan cakap. Sekolahnya putus di SMA Seminari. Namun, di sekolah itu ia tetap dikenang sebagai seorang siswa pandai dan berani. Bahkan, Pater Braun yang menjadi guru bahasa Latinnya dulu sempat meramalkan, “Jan, kamu laki-laki yang pintar dan berani, harus sanggup mengubah duniamu dan dunia di sekelilingmu. Kelak dewasa nanti kamu akan banyak dipuja; tetapi akan lebih banyak lagi yang membenci bahkan mereka menentukan takdirmu.� Setamat sekolah, ia tetap mengisi waktu senggangnya dengan membaca, mendengar radio dan mencari tahu warta-warta nasional dan internasional. Dua tahun setelah bekerja kebun membantu bapaknya di kampung Geliting, Jan ditunjuk sebagai camat di wilayahnya sendiri. Sejak menjadi camat, ia mulai Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[27] membangun relasi akrab dengan para pejabat pemerintahan yang pada waktu itu masih banyak yang merupakan anak-cucu raja yang berasal dari Selatan yang kemudian menguasai juga wilayah kota tanpa ada hambatan berarti apa pun. Ia akui, pembangunan masih belum merata. Wilayah selatan merupakan wilayah unggulan. Sedangkan wilayah lainnya dianggap orang gunung. Stigmatisasi dirasakan warga dalam bentuk rasa rendah diri. Jan mencium ketidakadilan dan diskriminasi di sini. Ia sendiri sebagai orang Timur yang berpendidikan misi, merasa tersinggung, “Tidak boleh ada diskriminasi. Kita membangun manusianya agar daerahnya juga maju,” ketusnya dalam salah satu pidato singkat di kantor pemerintahan di jantung kota. Dengan semangat muda menggebu-gebu, ia mengumpulkan anakanak muda lainnya dalam sebuah perkumpulan yang bernama ‘pergerakan pemoeda’. Dari perkumpulan ini dan berkat relasinya dengan pergerakan pemuda lain di kota-kota seberang pulau, dibangunlah sebuah radio lokal dengan misi mulia; demi revolusi. Sebuah gedung tua peninggalan kantor pemerintahan Belanda di ujung kota menjadi rumah anak-anak muda sekaligus tempat radio itu beroperasi. Dari waktu ke waktu radio ini semakin berpengaruh. Kritik-kritik sosial mulai mengudara dan sedikit banyak mengusik telinga para pejabat pemerintah yang lama kelamaan terus merasa nyaman lagi mapan di tengah masyarakat tani dan nelayan yang masih belum kritis, buta politik dan tak tahu apa-apa tentang tetek bengek pemerintahan. Yang mereka tahu, raja yang memimpin adalah segalanya sedangkan negara ini sudah lepas dari sistem pemerintahan feodal, meski bagi Jan dan para pemuda di radio itu, ‘sisa-sisa feodalisme masih ada dan akan kita tumpas sampai ke akar.’ Biasanya, mendengar Jan berorasi singkat saja, darah muda orang-orang muda seperti mendidih dan terbakar semangat revolusi. Ia sendiri tak heran sebab orang-orang muda yang ia kumpulkan adalah mereka yang berpendidikan SMP hingga SMA yang didik oleh guru-guru sekolah misi Katolik di pulau itu. Bagi Jan, “Kekristenan di dalam jiwa mereka memancarkan cinta kasih. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[28] Darah mereka tetap darah revolusi. Keduanya memang harus seimbang.” Melihat langkah-langkah pergerakan politis Jan Djong semakin ekstrim dan membahayakan pemerintahan, ia pun kemudian secara tidak hormat diturunkan dari jabatan camat oleh bupati. Tak kecewa sedikitpun dengan pencopotan jabatan ini, ia justru semakin kritis terhadap pemerintah setempat dan semakin yakin kalau ada diskriminasi di dalam pemerintahan selama ini. Suaranya semakin lantang mengudara bersama radio yang didirikannya. Orang-orang muda dengan semangat revolusi mulai melakukan demonstrasi di bawah komando langsung Jan. Kota Maumere, tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, tidak lebih dari sebuah kampung kota; sepi, mati, masih sedikit arkais dan tampak di permukaan tak ada gejolak politik secuil pun. Namun, bayangkan pada masa itu Jan dan teman-temannya sudah ‘turun ke jalan’ menuntut pemerintahan yang adil, menghilangkan feodalisme yang berurat berakar, dan bebas korupsi, kolusi serta nepotisme. Perkumpulan pemuda di kota-kota dan pulau seberang turut mendukung, “yang seperti ini sudah biasa dilakukan di kotakota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makasar.” Tercatat dalam sejarah provinsi, demonstrasi ini merupakan aksi massa ‘turun ke jalan’ pertama yang dilakukan. Gelora idealisme Jan mulai menyebar di kalangan pemuda terpelajar. Ia semakin berpengaruh dan disegani oleh generasi muda dan tua. Memasuki tahun 1960-an, pergerakan politik negara mulai memanas hingga ke pelosok-pelosok kota kecil. Pergantian demi pergantian jabatan kerap dilakukan demi mencari posisi aman. Partai-partai politik menggeliat. Pertentangan-pertentangan kerap diberitakan oleh radio-radio nasional dan diteruskan oleh radio-radio daerah. Jan, dengan kritis mengikuti semua alur politik negara. Ia bahkan sudah memprediksi apa yang bakal terjadi di

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[29] masa depan, “negara ini akan melewati masa-masa tersulit di dalam sejarah� Akhir September 1965, para jenderal di Jakarta dibunuh dan mayat mereka dimasukan ke dalam sebuah sumur di sebuah tempat bernama Lubang Buaya. Upaya pembunuhan ini dianggap sebagai sebuah makar yang hendak mengambilalih pemerintahan. Partai Komunis Indonesia dituduh sebagai dalang di balik pembantaian ini. Dan demikianlah kata sejarah, semua yang berbau komunis; secara langsung maupun tidak langsung, tahu atau tidak tahu, harus dan wajib dibasmi, ditumpas, dilenyapkan hingga ke akar-akarnya sampai ke pelosok-pelosok kampung. Kota kecil Maumere mulai diliputi kabut kegelapan akan kematian. Kota yang sepi dan mati itu mulai berbau darah. Banyak yang terprovokasi dan banyak pula yang menjadi korban dari provokasi; digiring ke pembantaian tanpa tahu salah mereka apa. Jan dan beberapa pemuda dikepung oleh militer di gedung radio mereka pada malam minggu. Malam itu juga mereka digiring ke penjara. Radio disegel dengan alasan fiktif berafiliasi dengan komunisme dan semua mereka yang kritis dan beroposisi dengan pemerintah apalagi mengganggu stabilitas pemerintah ditangkap, dipenjarakan dan menunggu waktu dieksekusi. Yang mengherankan; mereka-mereka ini dianggap antek-antek Partai Komunis Indonesia yang dikomandoi langsung oleh Dipa Nusantara Aidit. Berembus kabar angin waktu itu juga kalau radio yang didirikan itu mendapat sokongan dana langsung dari Aidit selaku ketua Comite Central PKI pusat. Jan pun ingat dengan ramalan Pater Braun berpuluh tahun lalu, “mereka yang membencinya akan menentukan takdirnya.� Setelah ditangkap pada akhir Januari atau awal Februari 1966, Jan Djong dipukuli, kemudian diarak keliling kota kecil nan terik Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[30] itu dengan berjalan kaki bersama dengan beberapa tokoh kawakan lainnya. Mereka semua ditelanjangi. Tali kolornya diambil sehingga celana dalamnya terus melorot. Dari waktu ke waktu selama bulan berikutnya, para tahanan tersebut disuruh berbaris kodok dalam antrean dari penjara di belakang kantor polisi ke markas militer setempat yang terletak dua kilometer ke arah timur untuk diinterogasi. Keluar di pagi hari, kembali pada sore hari. Para penyiksa mereka, yang terus melontarkan ejekan, memerintahkan mereka untuk bernyanyi dan menari sepanjang jalan, sehingga orang-orang memar lebam itu hanya bisa maju terhuyung-huyung tak karuan. Akhirnya merasa ajal sudah dekat, Jan Djong yang beragama Kristen Katolik itu meminta sipir penjara memanggil seorang pastor agar ia boleh membuat pengakuan dosa dan menerima sakramen minyak suci. Mereka menolak. Salah satu dari mereka mengencingi wajahnya. Jenazahnya dikuburkan di belakang penjara.1 Selepas peristiwa pembantaian Jan Djong dan kawan-kawan muda lainnya, radio itu dibiarkan merana, tak terurus; rumput ilalang memenuhi halamannya, atapnya satu per satu dicopot oleh warga dan dari waktu gedung itu berubah cerita menjadi rumah hantu. Selama belasan tahun kota kecil yang berusaha melupakan kisah muram 1965 itu hidup tanpa ada radio yang mengawal di udara. Pemerintahan yang diskriminatif dan koruptif terus terpelihara bahkan telah menjadi tradisi dan cerita dari mulut ke mulut; siapa yang melawan pemerintah, kritis dan mengganggu stabilitas dianggap komunis. Awal tahun 2000-an, beberapa pemuda idealis kembali mengambilalih gedung tua itu untuk dimanfaatkan kembali sebagai radio. Situasi setelah Orba tentu berbeda. Kota kecil yang sepi dan tampak tak bergairah dulu kini berubah sekejap menjadi kota kecil yang hidup, bergairah seni, dan di dalamnya tumbuh generasi muda 1

Dikutip langsung dari sebuah artikel dalam Jurnal Ledalero berjudul, “Pembunuhan di Maumere; Kewarganegaraan Pasca Penjajahan.�Ditulis oleh Gerry Van Klinken. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[31] yang bebas dan kritis. Tak ada lagi stigmatisasi dan bayangan kematian akibat pembantaian 1965. Sekarang lahir generasi muda yang haus akan perubahan. Dengan radio peninggalan itu, mereka berhasrat mengembalikan semangat revolusi Jan Djong yang belum selesai; demi revolusi. —Ledalero, 29 september 2016 Ricko Wawo, bergiat di Komunitas Kahe Maumere.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[32]

PUISI-PUISI GIOVANNI A.L ARUM KANA Dalam semesta perumpamaan, kau menjebakku sebagai tempayan berisi air. Aku tak pernah pandai membedakan tuan dan hamba. Siasatmu menjadi tamu adalah bagian dari Paskah, dimana anyir darah lembu mampu menyembunyikan ketakutan anak-anak Israel dari tulahmu. Engkau lewat. Aku bergetar begitu hebat. Hanya seseorang yang kaucintai sebagai perempuan mampu mengubah arah mata angin. Ia telah mengenalku sebagai tempayan keenam. Aku tentu lebih lihai mengenal kaki yang harus dibersihkan dari debu-debu kenajisan, daripada membasuh tangan hamba perempuan yang gagal mencintai. Mujizat tak harus terjadi, jika semua tamu tak pernah menyerahkan diri dalam kemabukan. Di kejauhan tuan pesta mulai cemas. Engkau masih diam sebagai tamu yang tak mau ditempatkan di tempat terdepan. Seseorang yang kaucintai sebagai perempuan itu, sudah mampu membedakan rayuan ular dan bisikan malaikat. Ia mendekatimu. Mendekati cintamu. Ketakutan menggetarkan dinding-dindingku. Engkau mendekatiku. Mendekati dukacintaku. Disentuhmu liang-liang gelapku. Sungguh. Sungguh pada saat itu, dari dalam hatiku mengalir aliran-aliran anggur hidup. Naikoten, 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[33] SEBELUM BATU-BATU DIRAJAMKAN Tubuhku sedang memekarkan luka dan dukacita. Ketika itu, Engkau datang dengan sengaja. Mengunjungiku, menyentuh dinding tergelap perempuanku. Para lelaki yang merajamkan nafsu dan batu ke arahku, lupa bagaimana aku memeluk tubuh dingin mereka. KakiMu pusat gravitasi, Tuan. Hati dan kakiku jatuh berkalikali. Aku memang tak pandai menakar hukum dan kesalahan. Tubuhku batang gelagah yang terkulai. Keperempuananku sumbu yang nyaris padam. Tidakkah juga kau sanggup mematahkan gelagah tubuhku? Tidak kuasakah Engkau memadamkan sumbu keperempuananku? Engkau merunduk. Surga adalah debu tanah. Jemarimu tangkas menyentuh tanah. Jauh lebih lihai Dari tanganku yang tak lagi perawan. Jauh lebih kuat Dari tangan-tangan yang hendak merajam tubuhku yang layu. Engkau menuliskan segala di debuan tanah. Lelaki memang berasal dari tanah, Tuan. Dan kautahu betapa tanah sangat rapuh dalam gengaman tanganMu yang maha. Kemana perginya mereka? Suaramu menyentuh luka-lukaku. Aku tak tahu. Aku hanya mencintaimu. Dengan cara yang tak pernah Diajarkan hukum kenajisan. Dengan luka-luka yang masih basah diresapi darah dan air yang mengucur dari kedalamanMu. Naikoten, 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[34] TUBUHMU BILANGAN TAK TERHINGGA Rahasia semesta telah dikunci dalam semesta bilangan. Aku hadir sebagai anak kecil yang sedang belajar Menghitung bilangan yang dipecahkan dari tubuhMu. Engkau, Guru paling keras kepala. Katamu: “Tidak ada Guru yang lebih besar dari pada guru yang menyerahkan Tubuhnya untuk dibagi-bagikan.� Aku memang tak pandai Menjerumuskan cintaMu dalam rumit rumus berbahaya. Kegugupanku mencintaiMu telah kupertaruhkan ke dalam Bilangan-bilangan penyebut yang menopang bilangan TubuhMu yang pembagi. Cinta memang menjebak kita Dalam pembagian tak berujung. Dan Engkau ikhlas Sebagai pembagi tak berhingga. Kita telah mempermalukan Phytagoras yang gugup menerjemahkan keabadian ke dalam Bilangan. Akhirnya aku paham. Tak ada murid yang lebih besar Daripada murid yang merelakan dirinya sebagai penyebut terkecil Dihadapan TubuhMu yang tak terhingga. Jakarta, 2017 Giovanni A.L Arum adalah seorang guru di SMP Katolik St. Yoseph Naikoten, Kupang, NTT. Tertarik menulis karya sastra berupa puisi, cerpen, dan esai.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[35]

PUISI-PUISI Muhammmad daffa PENGHABISAN YANG BERAT Aku biarkan tubuhmu luluh-lantak bagai tercium angin dari sebelah barat daya. Kobaran api memercik dari keinginanku yang paling bara, paling nyala dari segala. Tak satu pun tempat di dinding tubuhmu memiliki celah. Aku jadikan puisi sebagai cahaya yang menuntunmu. Puisi yang lahir dari jemari berdosa, karena pernah menyentuhmu dengan luka. Jadilah aku guguran daun di mimpimu. Paling hampa, dari segala yang diciptakan ada. Alangkah sunyi segala yang kenangan. Pulanglah. Aku tak punya rumah. cinta yang pernah lahir dalam kenangan Tinggal puing yang memutih—semua yang diucapkan jadi abai Perasaan, jadikan rahasia. Biar kelak para pendambamu yang bertemu kenangan—sengaja Kau simpan dalam dinding tubuhmu, entah bagian mana. 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[36] JAUH Cinta yang jauh, yang tak ingin siapa pun menjadi muara, datanglah. bawakan aku setengah Perasaan yang merdeka, yang baru saja mengalami revolusi. penuhilah dadaku yang ditimpa Muslihat perempuan bermulut manis, berhati licik. Cinta yang jauh, yang enggan mendekat, datanglah kemudian. bawa perasaan yang merdeka Sebab revolusi baru terjadi di hatimu pencemburu. Cinta yang jauh, bawalah aku berlayar ke dalam malam-malammu yang sunyi dari dosa Bawalah aku pada kegelapan yang intim, bercampur bulan remangremang Agar bisa kupahami mengapa debarmu selalu tak tenang setiap ada laki-laki baik. Biar kuceritakan kisah Adam Sebelum tuhan mengeluarkannya dari bangku sekolah dasar tentang kehidupan. 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[37] SEPI BERBATAS Sepimu yang berbatas, tak menghendaki perasaan kecewa. Maka kau pilih tujuan: muara dari segala kerinduan. Sepimu yang menyumbat waktu, tak ingin kesabaran jadi dangkal. Maka kau pilih sebuah rencana: mengembara, demi rahasia yang pasti. Menengok jam, tak terasa waktu terus menghitung kejatuhan rembulan. Dan kita tak perlu melayatnya sebagai peziarah, atau seorang bocah yang dijauhkan dari ramai. Kau tak sempat bertanya perasaan—di mana ia harus ditanamkan— sebelum kenangan tentangmu, Menghilang ke balik langit yang jauh dalam tubuh. 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[38] PUISI LUMPUH Puisi jadi lumpuh, bagai karam ke dalam kesucian doa sepanjang sakitmu Sunyi jadi tempat kita berlabuh, andai waktu tak mengijinkan lagi untuk sekadar berteduh Pada kamar tempat kita menoreh nama-nama dan pesan yang nantinya disampaikan. Kita pulang kepada amsal, tanpa membawa dunia yang percuma. Siapa yang mengenang-ngenang kita pada akhirnya? Sebuah kenangan mungkin mesti peduli Jika kita masih menatap masa lalu yang mundur dalam berjalan. Ada tangisan patuh, meratapi nasib setengah malang Di dadamu, perkara buruk bersarang, prasangka asing Jangan tunggu kepulanganku pada muara yang semula, datang saja membawa rindu Sebab sudah terlampau banyak kubawa cerita masa lalu yang enggan disebut kenangan lucu. Kita tak perlu menua dalam sebuah tanya yang sia-sia. 2017 Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Kegemarannya menulis sudah ada sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru berani menyebarluaskan karya sewaktu duduk di bangku sekolah menengah atas. Sejumlah tulisannya dipublikasikan pada SKH Media Kalimantan, SKH Radar Banjarmasin, SKH Banjarmasin Post, SKH Tribun Bali, Buletin Jejak Bekasi, Sumatra Ekspress, Nusantara News, Flores Sastra, Tatkala.co. Termaktub juga dalam banyak antologi bersama: Ije Jela (Tifa Nusantara 3), 1550 MDPL, Menemukan Kekanak Di Tubuh Petuah, terpilih sebagai kontributor terbaik, Meratus Hutan Hujan Tropis, Nyanyian Puisi Untuk Ane Matahari, 6,5 SR Gempa Aceh, dan beberapa prestasi kejuaraan sempat pula diraihnya.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[39]

PUISI-PUISI Quidora SOERA PUISI, 1 Susunlah, seperti kau sedang bemain puzzle yang salah satu keping gambarnya tersimpan di peti kenangan masa kanakmu Saat kau sentuh tepi kosong itu kau seakan mendengar suara denting rindu yang dulu luput, lembut luar biasa; serupa pantulan rasa di luar bahasa (2016)

PUISI, 2 Gemuruh di angkasa bulir pertama hujan turun memancing sadarku. “Rengkuh aku,” bisikmu. Telapakku menyambut, merengkuh. Memilah bulir-bulir kehampaan realitas. Persis saat itu mereka menghasutku: “Kecap aku dalam jiwamu!” (2016)

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[40] PUISI, 3 Biji akan bertunas tunas akan bercabang cabang akan bertumbuh melebar atau meninggi Tapi akar adalah jiwa gerak di kedalaman (2016)

MEMIMPIKAN SUNYI Tenggelam adalah cara terbaik agar kau paham bagaimana caraku menidurimu. Pelan-pelan kau selami sisi-sisi tubuhku yang mersik resapi aroma kerutku yang kecut. Aku diam. Kau terpejam. Kini kita adalah sunyi yang lirih bernyanyi di ujung palung rasa. (2016) Quidora Soera, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[41]

PUISI-PUISI RINNY FOA MENGABAIKAN PESAN SINGKAT Hari ini kau kecap aroma bising tak sama dengan kemarin kenang bukan lagi kening yang pantas kau kecup Tak perlu sikat gigi pagi hari tak perlu mandi saat pergi tak perlu menutup mata saat tidur Jika semua telanjur sungguh itulah Ketiadaan Kolhua, Agustus 2017

PAGI AKHIR PEKAN Ramalan cuaca pagi ini: sendiri Menerima catatan langit Mengelilingi orang yang patah hati Pagi ini kau sakit gigi Menikmati Seumpama mencintai bulan pagi hari Juli, 2017

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[42] MEMBAYANGKAAN MATAHARI SAAT HUJAN aku tak menyukai hujan hanya saja selalu mengantarkan titik putih beludru di coretan jendelaku aku tak betul menyukai angin hanya saja selalu mengantarkan doa pepohon sebenarnya aku menyukai matahari bukan cahaya bentuknya pun tak namun panasnya yang selalu banyak mendapatkan doa kau tahu bagaimana rasanya didoakan? seperti tamparan ibu siang ini Penfui, Desember 2016

KEMARAU Jiwa gersang dalam tubuh penat Persinggahan sementara seorang tua Dalam bercak cakrawala kelam Yang bersama petang Menjadi rubuh, Patah Tepat di batas pelelangan darah Penfui, Mei 2016

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[43] CAHAYA Sekali lagi penghujung tahun memaksa hujan menjenguk bumi dalam dingin yang membelenggu, memasung malam bisu aroma dupa dan mur berziarah menyerbak, memenuhi udara timur cahaya pendar bintang membayangkan lambaian lampin membungkus mimpi yang tertunda Penfui, Desember 2015

Rinny Foa, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[44]

TANTA PANKRATIA KULILING FLOBAMORA MAKAN UBI DAN BABAGI BUKU Amanche Franck OE Ninu BETA pung tanta sepupu kandung jaoh, dia pung nama Pankratia. Pan itu model ke tampa taro kuah asam begitu atau wadah basimpan kue. Sadangkan Kratia itu sama ke bahasa Latin creatio; kreasi, karya, bapakariang. Jadi Pankratia itu wadah tampa bapakariang. Pantas ko beta pung tanta ni, sonde bisa diam. Dia tinggal turun nae, foti sini foti sana, bapakariang, baomong banya, makan banya, minum ju banya, kaki trek flores, stail aneh bin ajaib, anti maensatrom. Pokoknya kalo basong kanal beta pung tanta ni, basong akan tau “dunia laen”. Basong akan tau, betapa basong pung dunia tu sempit ke daon kemangi bro. Hehehe. Tapi beta pung tanta ni cantik. Ma’ ini kali beta sonde mau carita tentang dia pung kecantikan. Beta taku kalo beta carita dia pung bagian kecantikan, samua lak-laki satu dunia sonde akan deka sama dia. Bagini, yang beta mo carita ni tentang tanta Pankratia pung bapakariang dan batali temali jejaring. Asli! Dia memang aktivis sejati. Lebih tepat ju kreativis. Karna selaen aktif dia ju kreatif. Hahaha. Dia ni panulis, penyair, sutradara, kritikus, juga sekaligus cerpenis, eho dia ju suka fotografi, khususnya bagian objek foto. Jadi orang model beta pung tanta ni memang sonde akan tenang. Dia sonde akan tenang waktu liat dia pung sakitar sonde beres. Dia hanya akan tenang waktu tidor sonu, itu pun bangun capat. Baru-baru ni, beta takuju, tibatiba Mamtua su sampe di beta pung tampa karja, markas Dusun Flobamora. Tartau dia nae katumu Om Abdul di mana? Siang-siang pas matahari tusuk ubun-ubun, dong dua bawa dong pung muka kalaparan datang di beta, sekaligus membawa dong pung inspirasi dan carita satu tas ponu. Maka jadi susahlah beta! Ko karmana sonde susah? Beta biar sibuk karmana musti melayani beta pung tanta yang super kece ini. Maka samua pakariang yang laen ondor. Pertama, jelas cipika cipiki, kedua, mamtua mulai batanya ke’ dia tu Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[45] di bagian reserse dan kriminal khusus, tarus giliran dia mulai carita di pung hebat. Na giliran dia carita, beta angguk-angguk sa. Beta percaya. Biar bagitu, beta pung tanta ni pajuang sejati. Dia model ke’ Kristina Marta Tiahahu, pahlawan parampuan dari Maluku. Setelah samua carita selesai, beta pung kewajiban adalah pi cari kasi beta pung tanta ni; makanan. Na, kalo maso warung tantu sonde bisa. Kanapa? Karna beta pung tanta ni makan suka tamba. Na lu bayangkan, kalo dia tamba tiga kali di warung bro. Hehehe. Maka beta deng Abdul koko bawa tanta Pankratia pi Kuaputu. Na, Kuaputu ni kampong besar di kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, arah Baun Amarasi, kalo jalan tarus, lu bisa dapa pantai gaga; Fetonay. Di Kuaputu ni ada penenun Dusun Flobamora yang biasa tenun kasi katong salendang deng kaen Timor. Selain ada usaha tenun Dusun Flobamora, ada ju kuliner lokal; jagong rebus, jagong goreng campor lombok manta, jagong bakar, bose, pempasu, ubi jalar, keladi, singkong, lu’at, tai’ pisu, laku tobe, se’i, madu batu, lakoat kujawas, advokat, kusambi, serta mundo. Waktu beta, Abdul deng Tanta Pankratia sampe di Kuaputu, itu samua makanan ada di atas meja. Lu tau to! Hanya ada satu kata; Abis! Hehehelabae. Na untuk ini kali keponakan dan tanta sama dengan alias seri. Tapi tetap, beta pung tanta tetap unggul; waktu katong pulang dia bungkus bao samua makanan lebe. Tuhan ampun dosa, kirie eleison. Ailo Mama e. Na itu su. Beta rasa cukup a tentang beta pung tanta Pankratia pung keunikan. Eho yang terakhir beta mo kastau basong samua ana muda Flobamora. Kalo mo jadi ana muda kreatif, jadilah seperti katong pung tanta Pankratia. Dia penulis, dia pung cerpen baisi ke boa advokat, baaer ke gula aer, sedap model ke se’i. Dia aktivis yang deng dia pung kawan-kawan dong menggerakkan samua kegiatan di Gareja dan masyarakat. Dia suka tamasya, sambil cicip kuliner sambil cari inspirasi dan kasi spirit untuk ana muda yang laen. Dia bebas tapi tetap jaga kakritisan. Yang terakhir, yang beta angka jempol tangan deng kaki adalah tanta Pankratia ini kumpul buku seantero Indonesia untuk anak NTT di palosok-palosok. Dia sandiri koko itu buku dong mulai dari bandara Ngurah Rai Denpasar Bali sampe Bandara El Tari Kupang. Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[46] Mungkin ada sapuluh karong ponu deng buku, maso bandara, seorang diri, perempuan, luar biasa… Beta salut. Sampe di Kupang bungkus buku-buku itu dan mulai kirim ke taman baca-taman baca yang ada di pelosok NTT. Seorang parampuan babatu karang yang unik dan kreatif. Ko memang na; Pankratia! Hihihi. Beta jadi malu puji Tanta sandiri. Ko sonde ada lai yang puji dia na? Bagi Buku Untuk NTT. NTT musti baca! Itu dia pung cita-cita yang lebe tinggi dari pucuk di pucuk lontar pun tiba, lebe luas dari padang sabana menghijau permai. Asli . Beta bangga deng beta pung Tanta Pankratia! Hidup Tanta Pankratia! Hehehe. Beta rasa cukup e. Beta su bardosa ni, ingin hati mo puji tanta, olok ju iko. Maaf tanta Pan! Itu sa e. Asssalam. Salam. Palate…. Amanche Franck OE Ninu, Koordinator Umum Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Kepala Sekolah SMP Katolik St. Yoseph, Naikoten, Kupang. Telah menerbitkan buku kumpulan humor, pantun & plesetan Humor Anak Timor (2011) dan buku kumpulan cerpen Pesona Flobamora (2012). Pencipta lagu populer “Adik Menangis Satu Malam” dan “Kucing Koprol”.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[47]

Membaca sAlinger, Perihal bertepuk satu tangan Eric Lofa

Judul : The Catcher in the Rye Penulis : J.D. Salinger Penerbit : Banana Cetakan : III, Juni 2015 Tebal : 296 halaman

SATU-satunya kesamaan tegas antara J.D. Salinger dan Holden Caulfield, protagonis dalam novel klasik The Catcher in the Rye, adalah mereka sama-sama tidak menyukai Hollywood. Hollywood dengan segala macam cara dalam beberapa tahun sebelum era milinelal ini, telah berupaya melamar The Catcher in the Rye untuk dinaikkan ke ranjang perfilman. Kendati demikian, sang ayah; penulis yang punya nama lengkap Jerome David Salinger, adalah seorang pria penyendiri yang amat tegas dengan ketetapan hatinya. Ia tak merestui seorang pun melamar karya masterpiecenya itu. Bertahun-tahun setelah kematian Salinger—yang juga berarti kegagalan bagi Hollywood—saya menemukan sebuah ulasan dalam sebuah buku Psikologi Naratif yang memaparkan perihal bagaimana pengaruh buku terhadap psikologis seorang pembaca. Apakah benar bahwa The Catcher in the Rye mampu mengubah hidup orang-orang yang membacanya sehingga Mark David Chapman dan John Warnock Hinckley Jr.—jenis orang-orang yang Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[48] agaknya tak punya sumbangsih besar untuk semesta ini—akhirnya menjadi terkenal masing-masing atas pembunuhan terhadap musisi legendaris John Lennon dan penyerangan terhadap Presiden Ronald Reagen? The Catcher in the Rye sesungguhnya bukanlah buku yang berisi tentang cerita misteri layaknya cerita Sherlock Holmes atau kisahkisah pembunuhan ala Agatha Christie. Buku ini sama sekali bukanlah panduan tentang dua-tiga cara untuk bunuh diri, ataupun kiat-kiat menembak orang terkenal. Jika kalian sempat berpikir bahwa Salinger sedang menyugesti orang untuk membunuh lewat cerita-cerita horor, sebaiknya kesampingkan, jangan dipikirkan lagi sebab The Catcher in the Rye hanyalah buku biasa. The Catcher in the Rye berkisah tentang seorang remaja 16 tahun bernama Holden Caulfield yang pada suatu waktu melarikan diri dari asrama tempat ia bersekolah. Hal itu dilakukannya karena toh dia akan memang segera ditendang dari sana. Nilai pelajarannya anjlok dan dia sama sekali tidak melakukan registrasi ulang untuk semester yang akan datang. Dalam pelariannya, pembaca diajak berkeliling kota New York dari sudut pandang Holden, yang boleh saya bilang “menarik�. Sikap Holden yang blak-blakan dalam mengutarakan pikirannya tampaknya adalah sisi penting dari kelebihan buku ini. Salinger sendiri telah membuktikan bahwa dirinya bukanlah penulis yang malu-malu, atau sengaja menahan diri, sehingga boleh jadi kalian akan berpikir bahwa yang sedang kalian baca adalah diary seorang remaja yang lancar mengoceh. Sejak bagian awal novel, dan kerap kali berulang di sepanjang cerita, kalian akan mendapati ocehan Holden semacam ini: “Yang namanya pertandingan sepak bola selalu saja miskin penonton cewek. Cuma para senior yang boleh membawa pacar mereka. Ini memang sekolah payah, dilihat dari segi mana pun. Aku lebih suka bersekolah di tempat lain, di mana paling tidak ada segelintir gadis yang bisa dilihat. Mungkin mereka sekadar garuk-garuk, mengeluarkan ingus, atau bahkan cuma cekikikan atau seperti Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[49] itulah, masa bodoh. Selma Thurmer—anak perempuan si kepala sekolah—sering juga beredar di pertandingan-pertandingan sepak bola. Tetapi dia sama sekali bukan tipe gadis yang bisa bikin kami nafsu. Sebetulnya sih dia tidak jelek-jelek amat, lumayan manis juga dia. Aku sempat sekali waktu duduk di sebelahnya di bus dalam perjalanan menuju Agerstown. Saat itu aku ngobrol sedikitsedikitlah dengannya. Yah, lumayanlah, aku suka juga kepadanya. Hidungnya besar dan kuku-kukunya habis ia gigiti sehingga kelihatan berdarah-darah. Dia menyumpal branya dengan ganjalan entah apa yang membuat dadanya menonjol kemana-mana, dan itu malah membuatmu merasa agak kasihan kepadanya. Yang aku suka dari dirinya adalah karena ia tidak banyak lagak soal betapa hebat ayahnya. Mungkin ia sendiri sadar bahwa si bapak sebetulnya bajingan munafik yang tidak bisa apa-apa.” Dengan penokohan yang sedemikian hidup, kita sepatutnya mengangkat topi untuk seorang J.D. Salinger. Apabila kita sudah terlalu sering mendengar pujian yang dilimpahkan atas karya-karya semacam The Little Prince oleh Antoine de Saint-Exupery atau Semua Ikan di Langit oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, yang ceritanya dianggap mewakili psikologi anak-anak, maka The Catcher in the Rye adalah perwakilan sempurna dari psikologi seorang remaja. Dalam The Catcher in the Rye, sosok Holden digambarkan sebagai remaja yang bertindak seakan-akan dirinya pria dewasa, sedangkan Chapman dan Hinckley barangkali menganggap bahwa diri mereka adalah Holden. Atas dasar ideologi yang dipegang keduanya, timbullah “pemberontakan” layaknya remaja labil yang menuntut kebebasan dari aturan—hal yang berujung pada kasus kriminal yang dilakukan keduanya. Saya sendiri, atau mungkin kalian yang pernah membaca buku ini barangkali pernah berpikir bahwa Holden akan mengerti apa yang kita rasakan bila dia ada di sini sekarang. Sebagian dari kita Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


[50] barangkali ingin jadi remaja abadi seperti Holden. Sebagian dari kita barangkali ingin membantah ucapan tokoh Pak Tua Spencer di bagian awal cerita: “Hidup memang sebuah permainan, Nak. Hidup adalah permainan di mana semua orang harus ikut aturan.� Namun, pada akhirnya kita perlu menyadari bahwa tak ada remaja abadi dan bahwa setiap orang perlu membuat garis tangannya sendiri— seperti Salinger yang sedang bertepuk satu tangan.

Eric Lofa, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.

Majalah Sastra Santarang, No. 2, Vol. I, September-Oktober 2017


Esai: Ardy Kresna Crenata Cerpen: Anaci Tnunay | Jamil Massa | Ricko Wawo Puisi: Geovanni A.L Arum | Muhammad Daffa Quidora Soera | Rinny Foa

Kusu-Kusu: Amanche Franck OE Ninu Resensi: Eric Lofa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.