Majalah Sastra SANTARANG Sabana Lontar Karang
No. 3 Vol. I 2017 November-Desember
Komunitas Sastra
DUSUN FLOBAMORA
BERANDA KATA
“Pahlawan bukan pemenang atas nasib dan takdirnya, melainkan seseorang yang selalu kalah tanpa pernah menyerah.� (Ignas Kleden)
Majalah Sastra Santarang
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora Pelindung/Penasehat: Amanche Franck OE Ninu, Pr Pemimpin Redaksi/ Penanggung Jawab: A. Nabil Wibisana Dewan Redaksi: A. Nabil Wibisana, Abdul M. Djou, Anaci Tnunay, Linda Tagie & Saddam HP Kontributor Senior: Amanche Franck OE Ninu, Pr & Mario F. Lawi Desain Sampul: Abdul M. Djou | Tata Letak Isi: A. Nabil Wibisana Gambar Sampul dan Ilustrasi Isi: Agustinus Wahyono Email Redaksi: majalahsantarang@gmail.com Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa cerpen, esai, puisi, dan resensi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan.
D A F T A R IS I
November-Desember 2017
Esai Sintus Runesi
1
Phallus Dicky Atau Pada Mulanya Adalah Kematian?: Catatan Atas Sai Rai
20 27 35
Agatha Primitif Terkutuklah Aristophanes, yang Telah Sewenang-wenang Mencetuskan Bahwa Pada Mulanya Ada Tiga Jenis Kelamin Manusia!
52 54 54 55 56 57 58 59 59
Mengenang Tarung Odol Jakarta What’s Up? Waktu Tak Pernah Bersalah Hubungan Kita Andaikan Kita di Venesia Mencuri Apel di Taman Eden Papa
Amanche Franck OE Ninu
61
Binatang Liar di Timor, Lipus Liuksaen, Sedotan
Resensi
62
Aku Menemukan Diriku Dalam Hutan yang Suram: Ulasan The Divine Comedy Karya Dante Alighieri
Cerpen Fransiska Eka Inviolata Watu Raka Rio Johan
Puisi Deodatus D Parera Marisa Nubatonis
Melania Cici S Ndiwa Yosea Arga Pramudita
Humor Anak Timor
James Canton et al.
[1]
Phallus Dicky atau Pada
Mulanya adalah Kematian?: Catatan atas Sai Rai Sintus Runesi ‘Notre héritage n’est precede d’aucun testament Warisan diturunkan pada kita tanpa surat wasiat’ ~ René Char
HUBUNGAN antara psikoanalisa dan mitos dalam kumpulan cerpen Sai Rai—kalau pun sejak awal tidak dimaksudkan oleh Dicky Senda, namun karena latar belakang akademisnya yang psikologi, dunia puitiknya tak dapat menghindarkan dirinya dari hujan psikologisme ini; sangat koeksistensial. Dari literatur kita tahu, Freud misalnya, memberi perhatian yang rada-rada ekstrim pada mitologi Yunani. Sebagai contoh, ia memberi tempat yang sentral bagi mitos Oedipus dalam teori kompleks-Oedipus, teori tentang kerumitan hubungan antara dorongan instingtual dan lingkungan pada fase phalik dari perkembangan anak. Patut dicatat bahwa konten dari mitos Oedipus, bahwa anak laki-laki ingin memiliki atau menikah dengan ibu sendiri atau anak perempuan ingin memiliki bapak bagi dirinya sendiri, tidak khas Yunani saja. Mitos ini bisa ditemukan dalam hampir semua budaya dengan versinya masing-masing. Hanya ada perbedaan. Freud adalah psikoanalis yang menggunakan mitos untuk menjelaskan manusia, sedangkan Dicky adalah sastrawan yang memakai dongeng untuk membangun kesadaran orang-orangnya. Dicky berhasil membawa psikologi dongeng ke dalam dunia sastrawinya. Salah satunya, sosok Rai bisa dipandang dari sisi oedipalian. Namun pembaca akan lebih banyak digiring ke dalam labirin-labirin psikologis budaya Timor, terutama Mollo, dengan kematian sebagai faktor c, yakni sebagai suatu elemen tetap yang terdapat dalam lingkungan pergaulan budaya Timor (Lacan, 2006:204). Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[2] Bila kita menelisik gagasan Freud dalam teorinya mengenai kompleks-Oedipus, kita akan menemukan bahwa mitos Oedipus ternyata tidak cukup memadai dalam membantu kita memahami kecenderungan agresi yang melekat dalam kodrat manusia, utamanya ketika seorang bertindak sebagai ‘binatang tanpa akal budi’. Apalagi, Freud mereduksi kompleksitas agresi manusia, suatu hasrat-menuju-kematian (death drive) hanya pada agresi seksual. Berbeda dengan hal tersebut, dalam Sai Rai, kita menemukan kalau Dicky menempatkan berbagai mitos atau dongeng yang menjiwai alam pikir masyarakat Timor umumnya, dan masyarakat Mollo khususnya, sebagai sarana bagi ‘Aku’ untuk menemukan jalan keluar dari labirin psike dirinya: Aku sebagai pemuda misalnya, yang sejak awal ditempatkan dalam rerangkai kehilangan satu mendahului kehilangan yang lain, atau aku sebagai anak yang dipenuhi insting pencarian jawaban atas semua ‘rahasia’ yang menjiwai kehidupan masyarakat yang sederhana. Dongengdongeng yang memberi latar belakang bagi cerita-cerita dalam Sai Rai memerlihatkan dengan gamblang kalau daya yang menggerakkan budaya Timor adalah hubungan yang ambivalen dengan kematian. Saya akan kembali pada soal ini. Merujuk Esther Rashkin (1992), saya memaksudkan ‘rahasia’ bukan dalam pengertian tentang suatu potongan informasi atau apa saja yang disembunyikan dari jangkauan pengetahun orang lain, melainkan pada faktor c. Di sini, faktor c merujuk pada elemen konstitutif yang menentukan atau yang mengarahkan bagaimana seseorang bertindak dalam suatu situasi atau drama tertentu, yang penularannya tidak diwariskan berdasarkan suatu penjelasan yang clear and distinct. Analog dengan obscurum per obscurius, mencoba menjelaskan sesuatu yang tidak jelas dengan referensi pada sesuatu yang lebih tidak jelas. Rahasia ini misalnya, nampak dalam cerita mengenai pengalaman aku tentang kaleng susu bersama kakek dan neneknya di kebun belakang rumah. Rahasia semacam ini, yang tak terkatakan, diam-diam tersebar kepada orang-orang yang berdiam dalam kabut ketidaktahuan. Rahasia ini menjadi seperti hantu, hantu yang memelihara dirinya melalui berbagai Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[3] mitos yang terterima, dan mitos ini menyisakan kehilangan bagi diri (the Self). Karena dipelihara, maka rahasia tersebut menjadi realitas, suatu realitas yang terterima dalam diri (the Self), hidup dalam diri sekaligus di luar diri, dan terus-menerus menghantui subjek dan membentuk kompleks represi budaya. ‘Ketidaksadaran,’ ‘Sesuatu’ (the Thing), dan terutama dalam budaya Timor, ‘kematian’ adalah nama bagi realitas tersebut. Nama dari realitas yang memiliki hubungannya dengan realitas, realitas tentang sesuatu yang tidak pernah dapat diketahui atau didengar secara penuh, namun secara esensial berhubungan dengan rahasia, dan membentuk alam pikir masyarakatnya. Nicholas Abraham dan Maria Torok menyebutnya sebagai ‘metapsikologi rahasia’, suatu rahasia interior dalam ruang publik. Kita cukup familiar dengan istilah rahasia umum. Keduanya menulis, bahwa dalam konteks metapsikologi, setiap kenyataan yang diterima sebagai rahasia selalu berbalik ke dalam aparatus psikis, pada tempat di mana yang rahasia itu dibakar. Dibakar dalam arti rahasia itu menjadi sesuatu yang coba dihapuskan, dilupakan, didiamkan, direpresi. Ini adalah tempat di dalam ego, tempat yang menghindari simbolisasi dan merupakan situs dari kematian hasrat, suatu fetisasi di dalam ketidaksadaran (the Unconscious).
Cerita Bertingkat Secara umum cerpen-cerpen dalam Sai Rai, tapi terutama dalam cerpen “Suatu Hari di Bioskop Sunlie,” “A’bonenos dan Perempuan yang Agung,” atau “Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae,” memerlihatkan secara eksplisit model khas cerita berbingkai. Misalnya, seseorang (misalnya si A) bercerita kepada Bernard (B) tentang dua temannya, Cici (C) dan Domi (D) kalau keduanya sedang di Pantai Lasiana, sedemikian sehingga seolaholah Cicilah (C) yang bercerita kepada Domi (D) mengenai keadaan dua temannya, Emy (E) dan Fany (F) di Pelabuhan Tenau, sedemikian sehingga sepertinya, Emylah (E) yang bercerita kepada Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[4] Fany (F) mengenai perjalanan Goris (G) dan Hana (H) ke Larantuka dengan kapal feri Ile Mandiri, sedemikian sehingga sepertinya, Gorislah (G) yang bercerita kepada Hana (H) mengenai perkelahian Itta (I) dengan Johan (J) di kamar kontrakan mereka di asrama Rosa Mistika. Singkatnya, ada induk kisah, anak kisah, cucu kisah, cicit kisah dan seterusnya. Pada tingkatan cicit misalnya, pembaca hampir-hampir tidak dapat lagi memproses kisah tersebut dan mengalami suatu keadaan ‘trans’ (Jo Verhaar, 1999). Misalnya kita membaca potongan ini: ‘Sering aku bermimpi jadi sutradara yang memainkan sendiri filmnya dan aku terus membunuh orang hingga berada di sebuah societeit, sebagai satu-satunya warga asli setempat. Aku main bridge hingga mabuk anggur – yang dikirim dari Dili. Di mimpiku aku pernah menikah dengan seorang perempuan Jerman yang bangkit dari kuburnya di perbukitan Nunbaun Delha setelah meninggal hampir sepuluh tahun. “Politikus mulut besar itu akhirnya menikah dengan mayat,” tulis harian Tjermin Timoer. Jelas kala itu karier politikku sedang naik dan media lokal suka bergunjing seperti mulut orangorang di societeit sana’ (hlm. 1).
Pendek kata, dalam cerita berbingkai kita menemukan suatu proses bercerita yang bertingkat, cerita tentang impian di dalam impian di dalam impian, dan seterusnya begitu. Pada tingkatan yang tertinggi, pembaca mencapai trans. Trans adalah peristiwa yang biasa. Andaikanlah, anda baru tiba pertama kali di pelabuhan udara Soekarno-Hatta, dengan orang-orang yang asing bagi anda. Anda kemudian mengambil angkutan umum ke arah Blok M, naik dan duduk di dalam mobil, bersama beberapa penumpang yang sudah duduk lebih dulu di dalamnya. Duduk di samping seseorang. Tidak saling mengenal. Kalian tidak bicara, tidak saling menatap, mata menjadi seperti cermin, dan masing-masing dari kalian menatap ke arah sesuatu yang netral, misalnya, pada bangunan yang seolah berlari, pada tulisan di pintu mobil. Ini trans. Trans seperti ini meniadakan bingkai bersama yang memungkinkan anda dan penumpang lain bisa berbincang. Dari mana kalian dan maksud kalian tidak jelas bagi satu sama lain. Tetap ada gagasan dalam Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[5] masing-masing kepala, namun tidak lagi terungkap, suatu keadaan naratif yang terjadi berkat ‘dekartesianisasi’ (Verhaar, 1999). Membaca Sai Rai, kita bisa menemukan kalau Dicky memakai pola bercerita demikian dalam usaha menangkap dan mencoba memahami penghayatan akan kehidupan harian yang termasuk dalam kategori ‘rahasia’ sebagai pengalaman-pengalaman atau cerita-cerita yang terasa asing (uncanny) namun hidup dalam masyarakat. Asing tapi dekat, abstrak tapi konkret, kognitif tapi emosional, lamunan tapi nyata, barangkali tidak logis tapi terterima: ‘Barangkali benar, Ayah sendiri adalah keturunan ular. Hasil hubungan seksual manusia jantan dengan ular betina. Dugaanku kian menguat saat dua kali ular masuk ke rumah kami […] Ia meminta semua orang untuk diam, kemudian ia pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu, lalu menuju ke pojok rumah yang gelap. Ayah mulai mengobrol dengan sosok yang tak jelas bentuknya, bagai kawan karib yang puluhan tahun tak bersua. Tiba-tiba saja ular itu sudah menghilang dari kolong kursi’ (hlm. 67).
Lebih dalam, di dalam cerita-cerita ini, kelihatan sebuah upaya yang berkanjang untuk membongkar keadaan awal ego (archaic ego states) yang masih tetap terbawa sampai dewasa, yakni pengalaman-pengalaman awali yang terkait dengan cara merasakan realitas batin dan realitas luar, yang khas dialami seorang anak pada masa kanak-kanaknya. Di dalam pengalaman semacam ini, telah terjadi proses penumpukan (superimposition) penanda yang merupakan wilayah metafora di dalam psike subjek, suatu proses kehilangan selama proses inkorporasi anak ke dalam kulturnya. Upaya tersebut mengakibatkan cerita-ceritanya menjadi seperti melayang-layang di udara, tidak berakar, abstrak, dan bercirikan schizoid, bahkan dalam beberapa ceritanya, pembaca dibawa pada suatu momen yang berakhir tanpa berakhir. Hasilnya bukan ‘trans’ tetapi suatu mitis buatan, semacam ada ekstase tanpa entase (Verhaar, 1992:15). Dalam hal ini kita tidak bicara tentang yang transenden, tetapi tentang yang imanen. Untuk itu, bisa Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[6] dikatakan, realisme magis di tangan Dicky menjadi imanentisme, suatu fenomenologi tak nampak (phenomenology of the inapparent): ‘Ada tiga orang di dalam rimbunan pohon pisang di kebun belakang rumah. Seorang lelaki tua yang tangan kirinya selalu tremor sedang menunduk dan berusaha membuat sebuah lubang dengan linggis kecil di tangan kanannya. Di belakangnnya berdiri seorang perempuan tua (mereka seumuran, tujuh puluh tahun lebih), menggendong sebuah kaleng susu ukuran sedang warna kuning. Menempel di pantatnya perempuan tua mungil tersebut, seorang bocah kurus berambut pirang berdiri. Bocah itu meremas-remas sebuah miniature batman dari plastik. Sesekali ia menabrakkan mainannya tersebut ke pantat perempuan tua dan menarik-narik sarung tenun perempuan itu–mata si bocah menerawang ke atas daun-daun pisang’ (hlm. 110).
… Bagi si bocah, kabut itu adalah perempuan tua yang hendak mencuri harta karun yang baru saja mereka sembunyikan. Bukan perempuan tua, rupanya. Anjing gilalah yang mengerikan. […] Bocah itu mulai menangis meraung-raung dan merasakan tubuhnya mulai melayang. […] Bagaimana wujud surga itu?’ (hlm. 112-113).
Jadi, dalam model bercerita ini, mitos-mitos beroperasi melalui bahasa puitik atau metaforik, yang mana tidak seperti dalam mistisisme yang secara aktual menyebarkan ‘kebenaran’ kepada pendengar atau pembaca, tetapi dalam cara menggerakkan psike atau jiwa pembaca sehingga ia mampu menelaah kebenaran berdasarkan pengalamannya sendiri. Dan karena mitos selalu metaforis dan bukan analog, dan diletakkan di atas respons emosional atau eksistensial pembaca, kebenaran mengenai mitos selalu bersifat subjektif, dan menjadi komponen penting pembentukan subjektivitas kolektif (kebudayaan). Proses seperti ini menggerakkan subjek kepada kemungkinan keragaman (myriad) interpretasi dan pemahaman, dan secara esensial bersifat eksperiensial. Model bercerita yang keluar dari bingkai structureoriented.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[7] Sampai di sini, sejenak saya mengajak pembaca untuk sedikit mengambil jalan memutar sekadar melihat perbandingan posisi Dicky dan Robby Fahik. Secara akademis, keduanya memiliki latar belakang yang sama dalam bidang psikologi. Maka, dalam membangun dunia cerita masing-masing, keduanya banyak berpaling pada budaya masing-masing dalam terang psikologi. Yang satunya merujuk pada budaya Belu, yang lainnya merujuk pada budaya Mollo. Keduanya, di dalam membangun dunia cerita mereka, secara kontinui mementaskan paradoks-paradoks budayanya, meminjam istilah musik, sebagai suatu contrapuntal, keseimbangan makna, dan mencerminkan suatu contrapuntal psikis, yang mengakui bahwa gerak dari satu ‘tempat’ (metafor untuk ketidaksadaran) ke tempat yang baru, darinya diri (the Self) dan yang lain mampu dilihat dari terang yang berbeda. Dunia cerita mereka dibangun di atas suatu bidang resonansi, antara dua atau lebih kekuatan kehidupan yang terdapat dalam budayanya, diharmoniskan, diperlawankan, dan secara terpisah saling menopang dan bersama bermain dalam suatu contrapuntal sastrawi. Namun, Fahik dengan titik berat sastrawinya pada cinta dan kemalangan yang disubstitusi melalui aktivisme politik hampirhampir tak jauh beda dengan distorsi volkish yang terdapat dalam teori-teori matriarkal, yang mengarahkan sidang pembaca pada pasivitas dan ketergantungan. Dicky sebaliknya, melalui cerita-ceritanya dalam Sai Rai (karena saya belum pernah membaca kedua kumpulan cerpennya yang pertama), memerlihatkan dirinya bukan seorang neurotik, melainkan artis sastrawi yang memiliki kapasitas untuk menghadirkan karyanya dalam suatu kemungkinan dapat diterimanya bentuk-bentuk pembelaan dan pembenaran bagi survivalitas hal-hal ‘irasional’ di tengah-tengah peradaban yang over-rasional, dan memberi forma rasional pada hal-hal irasional yang terdapat dalam kepercayaan masyarakat Mollo (dan Timor). Cerita-ceritanya mengarahkan perhatian kita pada motif ‘ganda’ (Der Doppelgänger) yang terdapat dalam mitos, juga pada diri. Dalam cerpen A’bonenos dan Perempuan yang Agung dan Sai Rai: Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[8] Lelaki yang Meninggalkan Bumi, sangat terang kalau Dicky memositkan bahwa kebutuhan kebudayaan akan pengabdian-diri atau pengorbanan diri, bagi keabadian diri, akan mendorong berkembangnya kebudayaan dan nilai-nilai spiritual kebudayaan tersebut. Di sana, konsep tradisional mengenai dualitas jiwa (kepribadian dan bayangannya), hadir ke dalam motif ganda: imortalitas atau kontinuitas kehadiran dan afirmasi atas kematiannya, konflik abadi antara diri dengan yang lain, dan perjuangan akan kebutuhan akan kesatuan (hlm. 128-131) dan hasrat akan perbedaan atau keunikan diri (hlm. 133-134). Namun, dengan modus operandi sedemikian, kita menemukan kalau secara implisit, cerita-cerita Dicky justru kecanduan ‘meta’. Hal ini bisa dimengerti, sebab struktur meta-bahasa lebih memungkinkan menampung ke dalam bahasa tulis, pengalamanpengalaman yang bergerak di antara bidang antara, antara yang terlihat sekaligus tak-terlihat, antara yang masuk akal dan tak masuk-akal serta motif ‘ganda’ dalam proses berceritanya. Untuk memahami pengalaman yang terlihat sebagai penanda pertama, dibutuhkan suatu penanda kedua (meta-bahasa), sebaliknya untuk memahami yang kedua, dibutuhkan yang pertama, atau bisa juga penanda di tingkat berikutnya: ‘Apakah aku sedang tersesat dalam upacara pemanggilan roh? Seribu tangan kini telah menggapai kaki dan pinggangku, juga kepalaku. Rasanya seperti usapan ibu ketika aku balita, rasanya nikmat seperti mengisap puting susu ibu. […] Sesuatu sedang menuju ke ubunubunku. Perempuan tua itu berpaling padaku dan kami saling melihat ketelanjangan masing-masing. Terkejut kulihat satu dua telinga bergelantungan di dadanya di antara gundukan keriput payudarannya. Air matanya tumpah dan teriakan “eee” semakin mendayu-dayu. Sementara aku yang masih di ambang sadar dan haru seperti juga mau jatuh dalam medan mimpinya. Bulu-bulu di sekujur tubuhku tertiup angin semilir, membuatku sakit dan muncullah anak-anak telinga di dadaku. Terasa dingin dan berair. Ada yang meluruh dari kakiku. Kemudian, rumah ilalang itu membantu’ (hlm. 55-56). Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[9] Dari perspektif psikoanalisis, kutipan di atas memerlihatkan secara gamblang motif ganda dari aktivitas dan pasivitas diri yang mendefinisikan sifat khusus dari maksud-maksud instingtual, yang menentukan bagi pembedaan lebih lanjut antara phalik dan kastrasi, maskulin dan feminin. Menurut Freud, pasivitas maksudmaksud instingtual sering mengambil bentuk respek subjek terhadap rangsangan eksternal, seperti menerima ‘disakiti’ (saya memakai istilah ini dalam arti yang sangat umum): ‘membuatku sakit dan muncullah anak-anak telinga’; atau dilihat: ‘perempuan tua itu berpaling padaku dan kami saling melihat ketelanjangan masingmasing.’Di sini, ‘anak-anak telinga di dadaku’ ditempatkan sebagai penanda kepasifan subjek. Untuk memahami pasivitas tersebut, kita perlu membedakan antara level tindakan-tindakan eksplisit dan level fantasi (J. Laplanche & J.-B. Pontalis, 1988). Tindakan-tindakan masokis merupakan ekspresi responsif terhadap kebutuhan instingtual, sedangkan tindakan aktif dimaksudkan untuk membawa subjek masuk ke dalam situasi yang memberi kepuasan. Di satu sisi, subjek merasa sakit, namun pada sisi lain subjek merasa puas seperti seorang anak yang menyusu pada ibunya. Tahap akhir dari tindakan-tindakan eksplisit dimaksudkan supaya subjek sepenuhnya berada dalam kasih sayang yang lain. Untuk itu, pada level fantasi setiap posisi pasif pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari tindakan aktif. Misalnya, dalam tindakan masokis, ego pasif menempatkan kembali dirinya dalam fantasi di dalam perannya yang pertama, yang mana dalam faktanya diambil-alih oleh suatu subjek yang asing di dalam diri sendiri. Dalam bahasa Freud, suatu ‘internal foreign country’, sesuatu yang eksternal di dalam diri sendiri, dengan makna dan akibatnya merupakan hal yang asing (alien) bagi subjek: ‘aku seperti kesadaran yang lain yang kau biarkan untuk tetap hidup bersama denganmu’ (hlm. 47). Tetapi, kalau pasivitas dan aktivitas ini ditempatkan dalam konteks soal identitas kontemporer, maka dari kumpulan cerpen ini, kita bisa menegaskan satu hal penting: identitas kita dibangun Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[10] melalui tenunan antara ‘benang-benang’ pasivitas dan aktivitas sosio-budaya, maka menunjukkan bahwa kita memiliki cerita-cerita yang khas milik kita, adalah suatu pernyataan terbuka bahwa kita memiliki sejarah dan identitas yang unik, yang berarti pula menyatakan bahwa kita memiliki tempat dalam ruang sosial politik, sebagai suatu cakrawala hermeneutis yang dibangun di atas suatu tempat dengan sebuah keterbukaan, darinya kita memahami dunia dan diri kita. Cerita-cerita ini menghantar kita untuk menyadari bahwa selama ini, barangkali kita merasa asing dengan identitas dan apa yang ada pada diri kita sendiri, karena terlalu lama kita memandang diri dari perspektif dominator. Dalam makna politisnya, Sai Rai sebagai kumpulan cerita yang menghapus bingkai adalah upaya politis untuk keluar dari bingkai kolonialisasi epistemik yang sering kali membuat diri kita asing dengan apa yang kita miliki. Secara linguistik, dengan struktur meta-bahasa yang dibutuhkan dalam upaya memahami realitas melalui kisah berbingkai menghantar pada keadaan trans, dan trans itu kemudian menghapus bingkai. Sebuah cerita bisa berakhir di luar bingkai cerita. Model pemahaman seperti ini, ibarat upaya pembebasan dirinya Nietzschean. Pencerita membiarkan dirinya mengalir mengikuti manifestasi kesadarannya, sedemikian sehingga beragam impresi sensorik yang datang ke dalam kesadaran dibiarkan menyembul keluar tanpa dibatasi atau disaring melalui pertimbangan rasional. Model bercerita ini tidak bergantung pada suatu struktur atau plot yang telah ditetapkan, tetapi sepenuhnya bergantung pada hubungan dialektis antara impresi sensorik kenyataan dan reaksi estetis subjektif. Sayangnya, suatu upaya semacam ini untuk keluar dari perasaan frustrasi atau pembatasanpembatasan dan represi budaya, kadang-kadang malah semakin memerkuat perasaan frustrasi yang ada, dapat berupa mimpi, tetapi hanya mimpi buruk, penuh kecemasan:
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[11] ‘Lewat mimpi kukirimkan beberapa sinyal yang akan membuatmu kebingungan. Ambillah segelas kopi dan tumpahkan segala pertanyaan ke dalamnya. Air kopi akan berteriak karena dorongan gelisahmu. Aku menyukai rasa gelisah bercampur takut yang kian bertumbuh, hijau pekat seperti hutan Netmetan. Peliharalah ketakutan, berkhayallah tentang kematian yang mengintip dari balik tirai’ (hlm. 42).
Sampai di sini, cerita-cerita ini tidak hanya mendekonstruksi struktur narasi, juga mendorong pembaca untuk masuk dalam momen-momen suspensi nalar: ‘[j]ika kau bertanya, kau akan kehilangan daya untuk melihat dan merasakan. Jika kau bertanya lebih jauh lagi, kau akan kehilangan daya untuk bergerak. Barangkali kau akan tersesat di sini, atau akalmu yang akan pergi meninggalkan tubuh kosongmu’ (hlm. 30). Dengan demikian, kita mesti menelisik cerita-cerita ini melalui hubungan antara mimpi, bahasa dan psikoanalisa, sehingga produksi pemaknaannya akan ditemukan pada ketakberhinggaan rangkaian hubungan penanda (Verbindung) dan keunggulan phallus dalam formasi atau interpelasi subjek sebagai prinsip heuristik. Phallus adalah penanda untuk hal-hal yang hilang selama proses formasi subjek ke dalam budaya dan halhal yang dapat dicapai oleh subjek. Dengan kata lain, keberhasilan membaca teks Sai Rai sangat ditentukan melalui pendekatan intensional, karena Dicky tidak menulis sebagai seorang pengamat yang mengambil jarak dari budayanya, melainkan sebagai seorang yang termasuk di dalamnya, yang turut mewarisi beban budayanya.
Mengapa Mimpi? Kita menemukan bahwa mimpi mendapatkan tempat yang cukup dominan dalam Sai Rai. Di dalam cerita-cerita ini, kita menemukan—untuk memakai istilah psikoanalisis—pola regresif dalam bercerita. Tentu saja regresi dalam cerpen-cerpen ini tidak dimaksudkan dalam pengertian patologis. Setidaknya, dalam cerpen-cerpen tersebut kita menemukan kalau mimpi-mimpi yang membangun dunia puitik Dicky, memerlihatkan tiga bentuk regresi Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[12] aparatus psikis subjek (Paul Ricoeur, 1970). Dalam makna formalnya, terkait dengan gerak kembali pada pesan-pesan bergambar atau fantasi, yang disebut oleh Freud sebagai ‘representasi instingtual’, yang dicoba dibangun melalui narasi. Misalnya, kita membaca: ‘Lalu, sore itu aku jatuh tertidur dan menemukan Ayah bisa bicara dengan ayamnya yang sakit setelah menelan karet gelang. Ia berbicara seperti seorang yang pasrah karena toh bukan seorang dokter hewan yang bisa membelah tembolok ayam itu. Kubilang bunuh saja dan aku bisa memasak sup ayam enak untuknya. Ia memarahiku dan terus mengusap kepala si ayam malang yang matanya sudah semakin sayu. Kutinggalkan saja ia dengan ocehannya tentang surga yang ramah bagi ayam-ayam dan kerinduan besar ayam tersebut bertemu sanak famili yang telah lama berpulang’ (hlm. 70).
Dalam makna kronologisnya, terkait dengan kembali kepada gambaran-gambaran atau pengalaman masa kanak-kanak. Ceritacerita dalam Sai Rai, di sana-sini penuh dengan gambaran tersebut. Akhirnya, terkait dengan makna topografisnya, yakni berhubungan dengan gerak kembali pada kesatuan antara hasrat dan kesenangan, menurut model kepenuhan halusiner yang oleh Freud disebut sebagai proses-proses primer: ‘Kau tumpah begitu saja dengan tubuh penuh selaput darah segar dari sebuah lubang hangat yang di dalamnya ada kolam–barangkali itulah surga yang didambakan semua anak manusia. Sebuah kenangan akan tempat yang hangat, di pinggir sebuah danau berdekatan dengan sepasang bukit yang puncaknya melelehkan air susu. Surga itu, sekali lagi, sebuah lubang hangat dengan rerimbun hutan lebat yang pernah memuntahkanmu dengan paksa…’ (hlm. 115).
Berdasarkan ketiga bentuk regresi ini, kita melihat kalau ceritacerita ini adalah sebuah percobaan menyelamatkan masa lalu, sebagai bagian dari upaya memeroleh hal-hal yang hilang selama formasi subjek. Dengan memeroleh apa yang hilang, walaupun melalui fantasi, subjek berharap bisa keluar dari labirin psike budaya Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[13] yang merepresi kesadaran subjek yang menerimanya sebagai warisan, warisan yang diturunkan dalam bingkai kastrasi (: sebagai prinsip pengorganisasian kehidupan mental). Secara dialektis, kastrasi dan rahasia saling menopang dalam menghasilkan pengetahuan pada anak-anak. Ketidaktahuan dipadukan dengan anggapan mengenai kemungkinan yang akan terjadi, dapat membentuk kompleks kastrasi maupun neurotik dalam diri subjek. Saya ingat sebuah pengalaman masa kecil. Saat itu, nenek ingin pergi mencuci benang-benang tenunan di sungai. Mengetahui hal tersebut, saya ingin ikut jalan-jalan, tetapi dengan keras dilarang oleh nenek. Kata nenek, anak laki-laki tidak boleh ikut, sebab akan mengakibatkan ‘pantatnya mati’ (metafora untuk ‘kemandulan’). Ada kepercayaan yang dipelihara bahwa anak laki-laki, terutama anak kecil, yang menyentuh benang-benang yang akan digunakan untuk menenun kain akan mengakibatkan pantatnya mati. Saya menangis dan berkeras ikut. Nenek akhirnya mengizinkan saya ikut, tetapi nenek juga, mati-matian menjaga, supaya saya tidak sampai menyentuh benang-benang tersebut. Di kemudian hari, saya mengerti, manakah bentuk larangan terbaik bagi anak-anak kecil yang karena keingintahuannya bisa saja merusak tenunan seorang nenek? Kembali ke soal mimpi. Freud menyatakan bahwa interpretasi atas mimpi merupakan akses terbaik pada pengetahuan akan aktivitas ketidaksadaran dari pikiran. Maka, dalam konteks ceritacerita dalam Sai Rai, mimpi adalah jalan terbaik masuk ke dalam lorong-lorong gelap budaya yang terterima dan terpelihara. Mimpi memainkan peran yang menentukan karena menjadi penanda dari sisi gelap kehidupan. Dalam ungkapan Lacanian berarti mimpi adalah penanda yang mewakili subjek bagi penanda yang lain (rahasia). Artinya, rahasia yang terpelihara dalam setiap budaya sebagai suatu bentuk ketidaksadaran mampu memanifestasikan dirinya sendiri melalui penyebaran dirinya sebagai suatu rahasia. Dengan memadukan mimpi, kematian, hantu, suanggi dalam bingkai dualitas jiwa, Dicky menunjukkan satu hal penting dalam Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[14] masyarakat ini: menerima kehidupan seperti apa adanya adalah etika itu sendiri. Ini kakinya etika. Masyarakat ini belajar untuk menerima bahwa mereka hidup bersama hal-hal yang tak terpahami seperti hantu misalnya, dalam pemeliharaan, dalam pembicaraan, dalam perkumpulan, di pasar tanpa perlu menjualnya. Derrida bilang, ‘tidak ada socius tanpa hal dengan yang menjadikannya ada-bersama di dalam suatu teka-teki yang umum ketimbang bagi diri kita. Dan berada bersama rahasia-rahasia seperti itu berarti, tidak hanya, tetapi juga, suatu politik kenangan, tentang warisan, dan tentang generasi-generasi (selanjutnya).’ Di sini, mimpi dan kematian berfungsi sebagai model berdasarkan pemahaman bahwa mimpi serta kematian sekurang-kurangnya mampu menyingkapkan sebagian malam gelap (nocturnal) manusia, kegelapan perjalanannya seperti kegelapan dalam tidurnya.
Spektralitas Kematian Pertanyaan yang sempat muncul dalam hati adalah, apakah tema kematian hanyalah bagian dari strategi literer bagi Dicky, untuk membangun dunia ceritanya? Atau sebaliknya apakah ceritacerita ini memerlihatkan kalau kematian adalah komponen penting dalam budaya Timor umumnya, dan Mollo khususnya, yang tanpa sadar hadir dalam cerita-cerita tersebut oleh Dicky? Dengan kata lain apakah kematian hanyalah konsep yang menduduki teks, atau kematian adalah bagian dari karakteristik budaya yang menduduki teks? Bila kita merujuk pada Freud, bisa dikatakan tema kematian hadir dalam cerpen-cerpen ini merupakan bagian dari strategi literer bagi Dicky. Alasannya, kematian tidak eksis dalam ketidaksadaran, karena bersifat negatif, abstrak dan terkait dengan waktu. Artinya, kematian di sini tidak berhubungan dengan problem-problem psikis dalam budaya. Terkait subjek berarti, kematian tidak memiliki pengaruh pada formasi inkorporasi subjek ke dalam budayanya. Sebaliknya, kalau merujuk pada Kristeva, bahwa seseorang yang menulis atau berbicara tanpa sadar Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[15] memancarkan kepada pendengar dan pembaca, alam pikir masyarakatnya, maka tema kematian adalah elemen penting yang terdapat dalam budaya. Kematian adalah elemen konstitituf dalam masyarakat sederhana. Oleh karena itu, seperti sudah disinggung sedikit di depan, bahwa cerpen-cerpen dalam Sai Rai menyadarkan saya akan suatu kenyataan yang selama ini berdiam dalam ruang pra-sadar pengetahuan. Kenyataan itu adalah bahwa, secara umum, kematian adalah daya penggerak bagi budaya Timor. Pertamatama, kematian sebagai sesuatu yang konkret terkait eksistensi manusia, kematian dalam nuansa Heideggerian; lalu kemudian kematian ditempatkan sebagai instrumen bagi formasi politik biopolitis, seperti dalam cerpen Pulang ke Barat dari Hanga Loko Pedae. Terkait yang pertama, ketakutan ataupun kesadaran akan kematian yang beroperasi dalam ketidaksadaran budaya memberi makna terhadap kehidupan dan kelangsungan suatu identitas (hlm. 30-31). Heidegger menyatakan bahwa kematian adalah jalan primordial (ursprĂźngsliche), suatu kesadaran sebagai makhluk terbatas (finitude) yang mendahului kesadaran akan hal-hal yang lain: ‘yang berada pada permulaan mendahului manusia adalah keterbatasan Dasein dalam dirinya. Primordial berarti bahwa kesadaran akan kematian mendahului dan memberi arti bagi aspekaspek lain dari kehidupan. Bagi Heidegger, bila memeluk kebenaran tentang kematian dengan suatu keyakinan yang total, maka kematian itu sendiri akan mewahyukan kepada kita suatu dasar absolut bagi totalitas bidang kehidupan yang mengkonstitusi pengertian dan pemahaman kita akan dunia. Jika interpretasi ini diterima, maka kita bisa mengerti mengapa estetika masyarakat Timor umumnya, diwarnai oleh nuansa tragedi, terutama dalam lagu-lagunya yang diwarnai suasana sendu, suatu estetika tragedi sebagaimana pernah saya ungkapkan dalam tulisan yang lain. Nuansa tragedinya sangat kuat terasa, karena kematian dalam masyarakat ini masih dilihat sebagai sesuatu yang tidak bisa sepenuhnya dipahami. Dengan begitu, bisa Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[16] disebut bahwa dalam masyarakat seperti ini, perasaan dibimbing oleh instink (istilah Heidegger), ketimbang rasionalitas membimbing perasaan. Kembali ke teks. Kumpulan cerpen ini sendiri dibuka dengan sebuah dorongan ingin ‘membunuh’ dan ditutup dengan keputusan ‘bunuh diri’: ‘Sering aku bermimpi jadi sutradara yang memainkan sendiri filmnya dan aku terus membunuh orang hingga.…’ (hlm. 1). […] Perempuan itu menggorok sendiri lehernya dengan pisau. Lima menit kemudian ia bangkit dan menyusul ke pantai’ (hlm. 144).
Dengan motif kematian yang ditenun dalam mimpi, saya menemukan bahwa dalam cerita-cerita ini, aku berupaya agar tidak terjatuh dalam penjara Oedipal, di mana kompleksitas dan kecairan ketidaksadaran didistorsi, dibekukan atau dihilangkan, melainkan bertujuan mengungkapkan dan memerlihatkan kebenarankebenaran mendasar dalam masyarakat tradisional, yang membangun pemahaman akan kehidupan berdasarkan mitos yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam masyarakat semacam ini, ada kesenjangan antara penalaran dan apa yang dialami dan dihayati dalam kehidupan. Spontanitas dan hasrat akan keingintahuan yang berlebihan seringkali dilihat sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan kehidupan. Saya membaca mimpi sebagai penanda bagi kesenjangan antara nalar dan kehidupan: ‘Dilarang bertanya di sini. Lihat dan rasakan sendiri, lalu percayalah. Jika kau banyak bertanya, kau akan kehilangan daya untuk melihat dan merasakan. Jika kau bertanya lebih jauh lagi, kau akan kehilangan daya untuk bergerak. Barangkali kau akan tersesat di sini, atau akalmu yang akan pergi meninggalkan tubuh kosongmu. Maka, lihat dan percayalah’ (hlm. 30).
Nampak gamblang di sini, bahwa dalam budaya tradisional, nalar tidak cukup memainkan peran yang menentukan. Lihat dan percayalah. Kepercayaan yang menghapus nalar. Ini bukan tentang iman à la Wittgensteinian, tetapi tentang penerimaan yang menendang keluar nalar dari wilayah kehidupan. Kita bisa Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[17] menariknya ke soal yang lebih luas terkait korelasi hidup beragama dengan tingkat kesejahteraan umat. Maksud saya, dalam alur pemahaman ini, bisa dimengerti mengapa agama tidak cukup berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat kita. Sebab agama dihayati sebagaimana masyarakat menghayati budayanya, terutama terkait hal-hal magis. Mengapa misalnya, mentalitas yang ditunjukkan oleh Max Weber mengenai hubungan antara etika keselamatan Protestantisme Kalvinian dengan semangat kapitalisme itu tidak berkembang dalam masyarakat kita, padahal secara historis dan kuantitas, Kristen Kalvinis mendominasi? Yang terjadi malah pohon-pohon menjadi korban para tim doa (hlm. 121126). Ini tidak dimaksudkan bahwa doa tidak penting, sebaliknya yang ingin diperlihatkan adalah bahwa kalau agama yang amat rasional itu dihayati dengan pola pikir ‘irasional’, hasilnya adalah kehidupan keagamaan masyarakat pun digerakkan oleh insting yang lain: insting kematian. Oleh karena itu, dibagian akhir tulisan ini, saya ingin menandaskan setidaknya terdapat dua bentuk operasional dari insting kematian, yang bisa ditarik dari pembacaan atas teks Sai Rai. Pertama, dalam masyarakat tradisional, kematian tidak muncul sebagai sesuatu yang sekunder dalam psike subjek, tetapi sebagai sesuatu yang sentral, khususnya dalam formasi ketidaksadaran dan manifestasinya. Manifestasi dari insting kematian, selain nampak dalam bidang kehidupan yang lain, ia hadir dengan paling menonjol dalam mentalitas suanggi (saya menekankan status diskursifnya). Karena itu, bila mensejajarkan mimpi mengenai kematian dengan mentalitas suanggi sebagai titik berangkat pemahaman mengenai persaingan dan ciri egoisme kehidupan psikis masyarakat tradisional, kita bisa menemukan kalau dalam konteks rivalitas di dalam masyarakat tradisional, kematian yang lain memiliki makna yang tak-sadar akan kehidupan seseorang dan dilihat sebagai tanda dari kemenangan narsistik: ‘[h]oho, kau tahu nggak siapa kami? Tapi, berani ngelawan juga, ya? [‌] Dor!Dor!Dor!....’ (hlm. 89).
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[18] Yang kedua, negasi budaya sebagai negasi identitas oleh kekuasaan, suatu pencabutan akar-akar budaya masyarakat. Bagi masyarakat sederhana yang ‘tersalib’ ini (hlm. 7-8), mereka diIndonesiakan, dibebaskan, dan dilarutkan ke dalam suatu identitas yang bercampur, yakni ‘Indonesia’, bukan sebagai nasionalitas juga bukan sebagai ciri. Dibebaskan tidak lain adalah dicabut dari identitas mereka, sekaligus budaya tersebut dicabut dari akar-akar historisnya sendiri, dan kepada mereka diimplantkan suatu identitas samar-samar demi suatu konstruksi politik yang biopolitis. Masyarakat tradisional ibarat menjadi homo sacernya kekuasaan (hlm. 135-144). Tindakan-tindakan tersebut bisa dilihat sebagai premis awal bagi suatu politik teror dalam bentuknya yang lebih canggih. Masyarakat seperti ini hidup di antara dunia antara, antara identitas yang diterima melalui warisan dan identitas yang ditanamkan oleh kekuasaan. Mereka mungkin hidup, tetapi tidak hidup, hidup seperti mimpi. Dan Sai Rai adalah suatu upaya menyelamatkan masa lalu yang hadir saat ini, demi masa depan. Sintus Runesi, Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[19]
©Gus Noy. “Sekilas Sumba”, drawing, pena di atas kertas.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[20]
Agatha Fransiska Eka (1) WAKTU berusia tujuh tahun, saya merengek minta dipestakan sambut baru. Sekarang, saat usia Agatha tujuh tahun, ia menangis berguling-guling di lantai toko Aneka Busana, meminta dibelikan baju sambut baru. Saya tahu, hidup adalah perulangan-perulangan yang tidak perlu. Tapi, Agatha tidak tahu karena usianya baru tujuh tahun. Pekerjaan utamanya selain belajar mengenal aksara adalah menonton kartun Doraemon. Saat berusia tujuh tahun—selain banyak hal-hal penting lain yang tidak saya ketahui—saya juga tidak tahu kalau pesta sambut baru hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang baru saja menerima komuni pertama; mereka sudah genap berumur sepuluh tahun. Saya cuma mau memakai jas bagus, disalami dan diberi amplop berisi uang. Apa salahnya? Perihal ini—saya merengek minta dipestakan sambut baru— membuat kedua orang tua saya bertengkar. Ayah mengancam akan mengirim saya menginap di biara susteran tarekat Puteri Reinha Rosari. Pekerjaannya sebagai juragan kapal nelayan penyuplai ikan segar membuatnya akrab dengan Muder pemimpin biara, si pelanggan tetapnya. Saya akan menghayati hidup Katolik dengan sungguh-sungguh lewat pengalaman langsung tinggal bersama perempuan-perempuan yang benar-benar Katolik. Jika sudah beres soal hidup Katolik, saya boleh dipestakan sambut baru. “Bangun jam empat pagi langsung mandi. Lalu jam setengah lima pagi, misa...ya ya... setelah itu tidak bisa tidur lagi. Mereka baru tidur jam dua belas malam,” ujar Ayah sambil membolak-balik koran yang ia pinjam dari tetangga. Caranya membolak-balik koran seolah berkata: paling sehari saja kau sudah minta pulang.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[21] Ibu menolak usulan Ayah. Tapi, ia setuju perkara menghayati hidup Katolik dengan sungguh-sungguh lewat pengalaman langsung. Ia punya ide yang lebih cemerlang: mengirim saya belajar di rumah pastor paroki selama libur caturwulan. Akibatnya, saya terpaksa menerima pelajaran Agama Katolik intensif selama tujuh hari langsung oleh pastor pembantu paroki bernama Romo Yehezkiel. Romo Yehezkiel meminta dipanggil Romo Eze, karena Yehezkiel terlalu sulit diucapkan. Tapi karena kadang anak-anak sekolah minggu lainnya—mereka teman-teman saya juga— kesulitan menyebut Z, nama itu asal saja diubah menjadi Ece. Sampai sekarang ia dipanggil Romo Ece, meski ia juga punya nama populer lain. Sekali waktu, pada Minggu siang, seorang rekan pastornya mencari “Romo Yehezkiel”. Di teras rumah paroki, ia bertanya kepada tiga anak sekolah minggu berumur enam tahun yang sedang membaca kisah Alkitab bergambar; Romo Yehezkiel ada? Ketiganya kompak menjawab tidak ada. Si Pastor bertanya lagi. Ketiganya kompak menjawab lagi. Si Pastor mengulangi lagi pertanyaannya. Ketiganya mengulangi jawabannya lagi. Ketika Romo Yehezkiel keluar ke teras, salah satu di antara tiga anak itu spontan mengomel. “Kami sudah bilang tidak ada romo yes..el... Romo yesel-yesel, tapi om ini paksa kalau ada Romo Yesel-yesel, kami yang benar to?” (2) SAYA memperhatikan Agatha yang berguling-guling di lantai. Seorang pengunjung toko, perempuan gembrot gajah—tinggi tiang listrik yang rambutnya dicat pirang membelalak ketika saya hanya diam memperhatikan. Mungkin, pikirnya, saya tipikal ayah yang tidak bertanggung jawab. Mestinya saya menggendong, membujuk, dan menepuk-nepuk pundak Agatha agar ia berhenti berguling-guling sambil menangis. Tapi, saya malah tenang saja seperti seorang penonton yang tengah menyaksikan lakon tragis pertunjukkan teater.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[22] Waktu saya merengek minta dipestakan sambut baru, Ayah juga awalnya mendiamkan saja. Ibu yang kerepotan menjelaskan ini dan itu; Kus pesta sambut baru itu untuk anak-anak yang baru terima komuni pertama, pertanda kalau di minggu-minggu seterusnya ia sudah boleh menerima komuni, sampai hari ketika dia mati. Tapi, siapa peduli ? Sebenarnya saya bingung bagaimana menjawab pertanyaan nona pelayan toko. Jika menjawab tidak, toh buktinya saya acuh. Jika menjawab iya, si nona berkulit sawo matang pasti mencibir dalam hati; ya! Satu lagi ayah kere dan tidak bertanggung jawab yang mengajak anaknya ke toko hanya untuk menonton anaknya tantrum. “Biasanya dia diam sendiri. Kalau dibujuk makin kacau.” Tiba-tiba Agatha berhenti menangis, meloncat bangun dari lantai dan menarik gaun perempuan dewasa berwarna kuning. Panjang gaun itu kira-kira selutut. Agatha menarik ujungnya sampai molor ke betis. “Kuning tai. Kuning tai.” Teriaknya histeris. Gelagatnya yang tidak tertebak ini berhasil membikin saya bengong. Nona pelayan toko menarik maneken dengan mata melotot menakut-nakuti. Agatha berpindah ke maneken lain yang dipakaikan baju pengantin. Ia menggigit renda baju dan mencabikcabik dengan taringnya yang serupa taring anak kucing. Setelah itu ia berlari-lari dan saya berlari-lari mengejar. “Kus, coba jelaskan tujuan Tuhan menciptakan manusia?” tanya Romo Ece. Pelipis saya berkedut-kedut, kerongkongan tibatiba haus dan lidah saya tidak ingin bergerak sedikit pun. Sebenarnya, Romo Ece bukan sosok menyeramkan. Tubuhnya pendek, kira-kira seratus lima puluh sentimeter saja. Ia tak kurus— tak gendut dan kulitnya putih mulus. Kalau tak berjanggut, wajahnya sudah pasti seperti bayi. Tapi, Ibu telah mewanti-wanti; Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[23] Kus, pastor adalah wakil Tuhan, mengerti? Jadi kalau kau tidak belajar dengan benar, kau akan masuk neraka. Saya jadi gugup setengah mati. Jangan-jangan kalau salah menjawab, saya langsung dilempar ke neraka; ditusuk-tusuk dengan garpu panas oleh iblis berkulit kadal hijau berlendir yang tertawanya hahaha kejam. "Begini‌." Romo Ece mulai menjelaskan kisah Adam dan Hawa dari kitab suci. (3) MULANYA saya kira ia badut. Ia memang nampak seperti badut. Bedak dipupur terlalu putih, lipstik merah darah—apa pula itu di kelopak matanya?—dan pipi sewarna tomat matang. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah, lehernya celingukan ke sana kemari. Saya tidak mengenalinya lagi. Ketika kami berbaris di depan Gereja, beberapa kali saya mendongak melihat wajah Ibu, mencoba memastikan dari rautnya bahwa kami tidak berdiri di urutan yang salah. "Kau bangun jam berapa?" Tak salah lagi. Dari suara dan pertanyaanya, dia Magda yang selalu membandingkan pengalamannya dengan pengalaman orang lain. "Jam enam." Pagi-pagi sekali Ayah sudah memukul bokong saya dengan gagang sapu. Ibu berteriak-teriak memanggil dari dapur. Suaranya berselang-seling dengan bunyi minyak penggorengan dan denting piring kaca yang sedang dibersihkan satu per satu sebelum ditumpuk lagi, nenek laki-laki yang bertanya di mana jas tenunnya disimpan dan nenek perempuan yang sibuk memberi perintah berapa banyak beras yang harus ditanak. "Oh. Saya bangun jam empat pagi." Magda mencocokkan dua fakta berbeda. Saya tak tahu pasti ekspresi wajahnya karena ia seperti sedang jadi badut. Tapi, tebakan saya dari nada suaranya ia kecewa karena pengalaman bangun pagi kami berbeda. Padahal, kami sama-sama anak sambut baru. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[24] "Soalnya harus pakai ini…." Telunjuk kanannya menunjuk ke arah mahkota bunga di kepalanya. Mahkota itu berbentuk lingkaran—terbuat dari kawat yang dililiti daun-daun berwarna hijau muda dan bunga lili putih. Ia tak mengenakan tiara seperti teman-temannya yang lain. Pantas saja ia bergerak-gerak gelisah. Pasti janggal bagi Magda kalau ia tampil berbeda. "Bagus." "Mama yang pilih. Kau sudah makan?" Saya menggeleng. "Memang tidak boleh makan satu jam sebelum komuni…" Suaranya terdengar memaklumi. "Jam lima tadi, saya sudah makan nasi satu piring dan ayam goreng tiga potong. Setelah itu baru mereka tempel ini." Telunjuknya mengarah ke pipi. Perut saya tiba-tiba lapar. Saya menyesal kenapa tak makan pagi saja dulu, toh kalau saya makan jam enam pagi tak akan melanggar aturan. Misa baru dimulai jam delapan. "Kau pasti lapar sekali nanti." Ada nada kemenangan dalam suara Magda. (4) “COBA ulangi bagian kedua dari sepuluh perintah Allah.” Hari ketiga, pelajaran Agama Katolik intensif mulai terasa tidak lebih baik dari pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Banyak sekali yang harus dihafalkan. Romo Ece sudah membagi perintah Allah menjadi dua bagian untuk membuat hafalan menjadi mudah. Tapi, tetap saja, perihal membosankan seperti kata perintah membuat hal yang mudah menjadi seratus kali lebih sulit. “Jangan membunuh.” “Jangan meloncat.” Romo Ece menahan tawa. Tangannya memegang buku Katekismus berwarna merah yang sudah lusuh. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[25] Barangkali karena sudah ada ratusan anak yang mesti melewati tahapan sulit ini. “Jangan mencuri...? Jangan mencuri!” Mulanya saya ragu, tapi kemudian saya meyakini jawaban saya karena membunuh agaknya lebih berbahaya daripada mencuri sehingga mestilah mencuri lebih dulu dilarang sebelum membunuh. “Jangan meloncat lagi. Kau meloncat dua kali.” “Jangan malas?” “Hormati ayah dan ibumu artinya patuhi mereka.” Artinya saya baru akan dipestakan sambut baru pada usia sepuluh dan saya harus menurut. (5) PELAYAN toko mengejar Agatha yang berlari-lari di lorong-lorong sempit di antara gantungan pakaian. Sesekali Agatha berhenti, menarik paksa dua-tiga helai baju dari gantungannya—jika jatuh ke lantai maka ia tertawa puas—atau menendang pembeli lain. Saya juga ikut-ikutan berlari mengejarnya. Pembeli lain cuma menggeleng-geleng keheranan melihat dua orang dewasa dipecundangi seorang anak kecil. Di etalase kaca, ada tiga gaun sambut baru. Agatha merengek lagi menunjuk gaun yang letaknya di tengah. Gaun putih selutut berlengan pendek yang dilengkapi pita ungu di pinggangnya. Tentu saja gaun itu cocok untuk Agatha, pun ukurannya pas. Tapi, usianya belum sepuluh. Sambil lari-lari mengejar, saya katakan hal itu berulang kali. Anak kecil memang susah mempercayai fakta. Saya tahu itu. "Ade, nanti kalau sambut baru kami kasih gratis. Sekarang tenang dulu." Meskipun kebohongannya terdengar benar-benar tolol, usaha si pelayan toko berhasil membuat Magda berdiri tegakbisu, menggigit jari telunjuknya dan sesenggukan. "Saya mau Mama." Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[26] "Oh…. Dia mau sama mamanya? Ade pintar. Nanti ke sini sama mamanya kami kasih gratis." "Iya kah ?" Agatha menghapus air matanya. "Iya. Iya kan ?" si Pelayan Toko meminta persetujuan saya. "Tidak." Kalau saja si pelayan toko adalah seekor singa, ia pasti telah menelan saya hidup-hidup. "Ya…ya…" Agatha mengangguk-angguk seperti baru saja mengerti sesuatu. "Belum ada cara untuk membuat orang yang sudah mati turunnaik dari surga ke bumi. Kalau mau dibikin tangga pasti tangganya tinggiiiiii sekali jadi kita tidak bisa bikin. Kalau ada...daripada Mama capek naik turun tangga yang tingggiiiii sekali biar nanti Agatha yang naik dan tidak turun-turun lagi! Nanti kalau sudah pakai baju sambut baru. Saya lihat di foto, waktu Mama mati dia pakai baju seperti baju sambut baru..." Yang dimaksud Agatha adalah gaun pengantin, seperti gaun yang rendanya ia cabik dengan taring anak kucingnya itu. Wajah pelayan toko terlihat pucat layu. Astaga, tak perlu. "Mamanya sudah lama meninggal. Tujuh tahun lalu. Waktu dia lahir." (6) "SEBELUM ke kantor harusnya minum kopi saja biar tidak ngantuk. Kalau sarapan malah ngantuk…." "Jadi, kau mau pingsan seperti waktu sambut baru dulu? Untung waktu itu sudah terima komuni!" Suara Magda selalu terdengar penuh kemenangan. —2017 Fransiska Eka, saat ini berdomisili di Ende. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[27]
Primitif Inviolata Watu Raka SEBUT saja aku sebagai aku, layaknya tokoh cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Aku lahir di sebuah ibukota provinsi. Sebenarnya, ketika kelahiranku, kota ini belum layak disebut sebagai ibukota. Ketika aku mulai mengenakan seragam putih-biru, baru sebuah pusat perbelanjaan dibangun di atas tanah yang menjadi simbol kematian para petani miskin yang mendominasi kota ini di tahun-tahun pemerintahan kolonial. Kemudian, setelah kutanggalkan seragam putih abu-abu, hotelhotel mulai ramai dibangun di atas bangkai-bangkai ikan dan perahu nelayan di bagian pesisir kota. Begitu gambaran lambatnya pertumbuhan ekonomi di ‘ibukota-ku’. Kalian bisa bayangkan, bagaimana gambaran desa-desa miskin di luar ‘ibukota’ ini. Primitif. Betul. Mereka masyarakat desa di luar ibukota, pasti jauh lebih primitif dari kami ‘penghuni ibukota’. Tetapi, kali ini, bukan sifat primitif masyarakat desa yang ingin kuceritakan, melainkan sifat primitif ‘penghuni ibukota’. Aku. Aku lahir dan tumbuh di pinggiran kota. Wilayah ini termasuk wilayah pesisir. Rumah-rumah memadati lahan di pinggir pantai. Berdempet-dempet dan saling menyangga. Ketika aku kecil, kebanyakan rumah di sini dibangun setengah tembok. Itu istilah untuk rumah yang dibangun menggunakan tembok pada bagian bawah, setinggi kira-kira setengah meter, dan sisanya dibangun dari bebak1 . Beberapa rumah bahkan sepenuhnya didirikan dari bebak. Memang ada beberapa rumah berdiri kokoh karena sepenuhnya tembok, tetapi tidak banyak. Dari model rumah kalian bisa tahu, bagaimana kondisi ekonomi keluarga yang menghuninya. 1
Bebak adalah batang daun pohon Gewang (Corypha gebanga), salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di Pulau Timor, yang digunakan sebagai dinding rumah penduduk. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[28] Aku sendiri lahir dan tumbuh di rumah setengah tembok, sampai saat ini. Bapak membuat perubahan hanya pada beberapa bagian; memasang plafon sehingga saat musim angin laut tiba, kami tidak merasa kedinginan. Kami juga menambah beberapa kamar dan memasang lantai dari semen licin yang setiap akhir minggu harus kami pel dengan kelapa parut. Ini cara yang diajarkan oleh Mak supaya lantai kami semakin licin dan bersih. Kami pernah mengganti bebak rumah karena yang lama sudah usang dimakan usia. Tapi itu sudah lama sekali. Sekitar 7 tahun yang lalu. Waktu itu Bapak, yang bekerja sebagai pengoper ikan, mendapat bonus dari Pak Haji pemilik bagan tempat Bapak bekerja. Di rumah ini, aku tinggal dengan kedua orang tuaku dan dua orang kakak. Keduanya laki-laki. Marsel dan Rafael. Mereka sama dengan Bapak, mengoper ikan di tempat pelelangan. Mereka bertugas mengoper ikan dari bagan milik Pak Haji kepada pedagang ecer. Di waktu senggang, mereka bekerja di pabrik es ikan milik Pak Haji. Maka jangan heran jika kalian mencium bau amis jika berkunjung ke rumahku. Itu bau ’normal’ yang kuhirup sehari-hari. Di mana-mana ada bau amis, di lantai rumah bekas kaki mereka berpijak, di kursi tempat mereka menaruh pantat untuk duduk atau di tumpukan pakaian kotor, bahkan di sabun sehabis mereka mandi. Di got-got yang mengalir pun, bangkai-bangkai ikan bercampur dengan sampah menyebarkan aroma amis. Apalagi jika ikan berlimpah, Mak akan mengasinkannya untuk disimpan. Maka bau amis akan dengan mudah merusak indera penciuman kalian, sampai membuat kalian sulit mengenal bau yang lain. Mak sendiri setiap hari berjualan sayur-mayur dan bumbu dapur di tempat pelelangan ikan. Katanya mudah menangkap pembeli yang sedang belanja ikan. Saat kecil, aku senang membantu Bapak di pasar ikan. Menyenangkan karena para nelayan mengenal dan menyayangiku. Mereka biasa memberi sedikit ikan sebagai hadiah karena aku rajin, kata mereka. Jika tidak membantu Bapak di pasar ikan, aku biasa bermain bersama teman-teman di pantai. Ketika air surut tiba, kami
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[29] biasa maka meting2. Aku senang mencari kerang di pasir atau menangkap gurita di celah-celah karang. Untuk yang terakhir, kami biasa menggunakan air rendaman tembakau yang kami siram di sekitar karang tempat gurita tinggal untuk memabukkan gurita, sebelum kami tangkap. Sayangnya, itu dulu. Ketika pemerintah belum tertarik mengundang investor membangun indutri perhotelan di sekitar pantai kami. Sekarang, cerita menjadi berbeda. Pantai kami penuh dengan sedimentasi lumpur dan bahan bangunan sebagai dampak pembangunan industri hotel. Sampah rumah tangga pun memenuhi pantai kami. Mungkin karena kotaku semakin ramai ditempati orang-orang dari luar. Tapi sejujurnya aku tak peduli. Memangnya siapa yang mau menghitamkan kulit dengan berenang di pantai di saat kulit putih adalah dambaan? Atau mencari gurita dengan cara yang begitu melelahkan? Restoran-restoran hotel menyediakan makanan laut yang lezat. Kalian tak perlu bersusah payah melihat karang tempat tinggal gurita, merendam tembakau, menyiramnya di sekitar karang dan menunggu hingga gurita yang kalian incar keluar karena mabuk. Syukur-syukur jika gurita besar yang keluar, jika tidak, kalian hanya mampu menjadikannya camilan di perut lapar kalian. Jika kalian ingin menyantap hidangan laut lezat, kalian tidak perlu membanting tulang seperti ayah dan kedua kakak laki-lakiku. Kalian hanya perlu pergi ke salah satu restoran dan memesan yang kalian mau. Seperti yang sering aku lakukan. *** PING! “Gie lu di mana?� Layanan bbm-ku baru saja berbunyi. Ada pesan dari Ria. Dia temanku sejak SMA. BBM dari Ria menandakan sesuatu. 2
Maka meting adalah kegiatan mencari ikan atau hewan laut lainnya ketika air surut. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[30] Sebenarnya aku tahu tujuan dia menghubungiku, tapi aku tetap bertanya. “Di rumah. Kenapa?” Pesan terkirim. Tak lama kemudian, huruf D berubah menjadi R hijau. Cepat juga dia membaca, pikirku. “Hang out ko? Ada kawan dari Jakarta,” Ria membalas lagi. “Ok. Jemput e. Di rumah,” pesanku terkirim. *** KAMI nongkrong di salah satu cafe di pinggir pantai. Bukan sembarang cafe. Katanya tempat ini milik salah seorang anggota parlemen di Jakarta. Wajar jika dia mampu merayu pemerintah mengubah tempat bermain kami dulu menjadi tempat senyaman ini. Lagipula, siapa yang peduli dengan pantai kotor itu? Kami duduk dengan beberapa teman lain. Ada juga beberapa orang yang belum kukenal. Kata Ria, mereka teman-temannya dari Jakarta. “Gie, itu yang beta mau kasih pi lu,” Ria berbisik padaku sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk dengan kami dengan matanya. Dia salah seorang teman Ria yang belum kukenal. “Ganteng. Tapi berapa?” tanyaku. “Juta, Sayang. Dijamin lu kaya memang. Mau sonde? Dia tanggung semua,” Ria membalas. Aku tidak ingin memusingkan kalian. Ini memang pembicaraan mengenai hargaku. Aku dan Ria sudah berteman sejak masih di bangku SMA, seperti yang kuceritakan tadi. Pertemanan kami berlanjut karena Ria termasuk teman yang memanjakanku dengan barang-barang keren yang aku mau. Awalnya aku tidak peduli bagaimana Ria mampu membelikanku barang-barang itu. Sampai suatu hari, Ria memintaku menemaninya ke salah satu hotel. Katanya, dia ingin bertemu salah seorang keluarganya dari kabupaten lain yang sedang bertugas di ibukota provinsi dan menginap di hotel yang kami tuju. Sesampainya di sana, kami bertemu dengan seorang Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[31] laki-laki tua. Mungkin seumuran dengan Bapak. Gemuk, seperti bongkahan lemak yang berjalan. Ria memintaku untuk menunggu di lobby. Dia dan si tua tadi naik lift dan menuju ke kamar. Katanya mengambil oleh-oleh untuk keluarganya. Aku pun menunggu di lobby. Satu jam berlalu, Ria belum juga datang. Aku hampir pulang, tapi kuurungkan niatku karena mengingat Ria telah begitu baik padaku. Aku pikir, si tua tadi mungkin sedang menasihati Ria atau berbagi cerita tentang keluarga di kampung. Satu setengah jam berlalu, baru Ria keluar dari lift. Wajahnya pucat dan rambutnya lembab. Dia tersenyum kaku padaku dan meminta maaf dengan mentraktirku makan. Kami makan di salah satu warung bakso. Dia makan dengan lahap dan pembicaraan mengalir mengenai pekerjaannya. Dan dia mengajakku. Yup, Ria mengajakku. Pembicaraan berlangsung entah bagaimana, merangsang pikiran kami untuk bersepakat. Dia berjanji akan mengajariku segala hal yang dibutuhkan dan menjaga rahasia ini dari teman-teman di sekolah—kecuali dari teman-teman yang juga melakukan pekerjaan yang sama. Aku kaget mendengar yang terakhir. Aku kira dia satusatunya. Tergiur oleh akses eksklusif menginap di hotel-hotel mewah hasil kerjasama pemerintah dan investor, menikmati makanan lezat yang disajikan di restoran, lalu bonus menjadi bagian sosialita sekolah, aku mengiyakan tawaran Ria. Waktu itu aku duduk di tahun terakhir bangku SMA. Itu awal aku ‘berteman’ dengan Ria. *** AKU terbangun. Kepalaku berat dan tulangku serasa remuk redam. Hawa dingin membelai kulit wajah. Dingin kurasakan di sekitar tengkuk dan bahuku. Kucoba membuka mata dan mengingat kejadian semalam, tapi masih gagal. Kupalingkan wajah, laki-laki yang semalam dikenalkan Ria berbaring persis di sampingku. Maka ingatan semalam mengalir dengan lancar. Untuk yang satu ini, maaf, aku tidak cerita kepada kalian. Kutarik pakaian yang mampu kuraih dari lantai, mengenakan seadanya dan berjalan menuju kamar mandi. Berharap berendam di Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[32] bath up dapat membuat badanku rileks kembali. Setelahnya aku keluar dan berpakaian rapi. Aku kembali ke kamar, membangunkan laki-laki tadi dan meminta bayaranku. Dia bangun, mengambil celananya yang tergeletak di lantai dan merogoh dompet. Dia keluarkan beberapa lembar seratus ribu dan menyerahkannya padaku. Kuhitung, sesuai dengan jumlah yang dijanjikan. Kami mengobrol hingga waktu check out dan keluar secara terpisah. Aku melangkah ringan. Sebenarnya beberapa tulangku masih terasa sakit. Masih ada rasa kebas bekas semalam di antara pahaku. Tapi mengingat sejumlah uang yang baru kuterima, aku merasa lebih baik. Setidaknya aku cukup puas sebab biaya registrasi semester ini sudah kumiliki. Lagipula, pihak kampus tidak akan peduli dari mana uang ini berasal. Terlebih lagi aku tidak ingin berakhir seperti ibu dan ayahku yang mengabdikan dirinya pada tanah-tanah yang berbau amis. Aku ingin mengubah nasibku, maka aku harus menyelesaikan kuliahku. Soal pekerjaan, aku mengenal beberapa pejabat dari pekerjaanku, itu akan memudahkanku nantinya. Aku benar-benar tidak peduli dengan sumber uang ini, sekali lagi kutegaskan. Teman-temanku pun melakukan hal yang sama. Jaringan yang kami bangun sejak SMA tetap berlanjut hingga bangku kuliah. Pikirku, tindakan ini tepat, daripada keperawanan ini hilang untuk kekasih yang tak lebih beradab daripada laki-laki yang kami layani. Aku singgah di ATM setor tunai terdekat untuk menyimpan uang regis-ku. Lalu kuhitung sisanya, masih cukup untuk bersenangsenang. Kudengar ada pusat perbelanjaan baru yang dibangun. Dibangun di atas tanah yang disewa murah oleh pemerintah kepada tuan besar. Dulunya tempat itu arena pameran rakyat. Aku tertawa. Jauh lebih baik tempat itu berubah menjadi tempat belanja ber-AC nan mewah untuk kami nikmati daripada arena pameran yang tidak lebih dari bangunan rongsokan semi permanen dan tempat esekesek murahan di setiap sudutnya. Aku tertawa, kota ini benar-benar memalukan.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[33] Aku tidak sabar menuju tempat perbelanjaan itu, katanya ada banyak toko di dalamnya. Mungkin seperti pusat perbelanjaan mewah yang sering kulihat dalam sinetron murahan pada jam-jam Mak biasa bersantai setelah seharian berjemur matahari dan menadah debu menjaga jualannya. Aku pun ingin menikmati setiap jengkal lantai licinnya dan menghirup setiap hawa dingin yang keluar dari mesin antah-berantah. Aku tak sabar menjelajah setiap toko, melihat produk yang dijual, dan mencicipi setiap makanan di cafe yang bisa meningkatkan harga pergaulanku. Aku tak sabar. Biar kata mereka aku primitif. Aku tak peduli. Inviolata Watu Raka bekerja di Institute of Resource Governance and Social Changes (IRGSC), Kupang.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[34]
©Gus Noy. “NTT Nite”, drawing, pena di atas kertas.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[35]
Terkutuklah Aristophanes, yang Telah Sewenang-wenang Mencetuskan Bahwa Pada Mulanya Ada Tiga Jenis Kelamin Manusia! Rio Johan DAN aku tak main-main dengan judul catatan yang baru saja kutulis di lembaran papirus ini, sebab kau barangkali tak akan menyangka ada saja orang yang percaya dengan bualan itu. Manakala bualan itu dituturkan oleh tetua asing di muka mimbar sebuah kota di Peloponesia—karena alasan tertentu, aku tak berniat memberi tahu pastinya nama kota kecil ini—orangorang dungu kotaku itu cuma bisa melongo dan menganga saja, bagai tersihir begitu rupa oleh daya bicara tetua itu yang melebihlebihi lagak pendata tinggi paling handal sekalipun. Aku masih ingat persis: dengan sebelah mata menjegil sebelah lagi memicing, tetua bungkuk itu berkata, “Nun di daratan utama sana, seorang Aristophanes pernah berkata: ‘Mulanya ada tiga jenis kelamin manusia: lelaki ganda, perempuan ganda, dan lelakiperempuan. Semuanya punya empat tangan dan empat kaki dan bergerak maju seperti roda. Tapi manusia malah jadi angkuh pada dewa-dewa. Maka, dengan sebilah pisau, para dewa itu memotong manusia menjadi dua. Sejak saat itu pula masing-masing bagian sibuk mencari pasangannya semula.’” Tetua itu terkekeh-kekeh. Dan aku sempat menduga kekehannya itulah yang mengandung daya magis, yang telah sedemikian rupa memelongokan para hadirinnya, dan karena itu juga tak ada yang sempat bertanya dari mana kiranya tetua itu datang. Apalagi setelah itu sang tetua bagai lenyap begitu saja seusai berkekeh, tak ada yang menyadari kepergiannya sebagaimana kedatangannya. Orang-orang cuma
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[36] bisa menduga-duga, mungkin saja tetua itu pengelana yang datang dari daratan utama. *** MALA Aristophanes ini memang tak langsung menunjukkan wujudnya tepat setelah kemunculan tetua itu, tapi sebagaimana yang kau barangkali tahu, petitih yang punya daya magis sedemikian mustajab akan selalu menggema-gema dalam kepala pendengarnya. Di kepalaku pun demikian, bahkan kekehannya sampai sekarang masih kurasakan, termasuk juga geliginya yang tinggal tiga. Dan sebagaimana diriku, aku yakin sabda Aristophanes terus menggaung di kepala orang-orang kotaku. Di forum dan mimbar umum, di emporium dan gimnasium, di kebun-kebun anggur dan banjaran pohon zaitun, di lapangan majelis, di pemandian publik, di kuil Ares dan kuil Zeus Yang Agung, di ladangladang dan padang rumput penggembala, di barak tentara, di stoa dan agora, di jamuan-jamuan, di lelang budak, di setapak dan serambi berpilar, di sudut mana pun kotaku, aku sangat yakin orang-orang terus diusik sabda itu, dan ibarat tinja batu yang begitu kerasnya tapi sungguhlah tak nyaman kalau terus-terusan dipendam, prahara sabda Aristophanes itu cepat atau lambat pasti akan keluar juga. Dan ternyata tidak selambat yang kuduga. Tapi yang luput dari dugaanku, dan mungkin orang lain juga, rupanya tinja batu pertama sabda Aristophanes itu keluar dari mulut walikota sendiri. Di sebuah bangket yang diadakan untuk menyambut seorang saudagar kayaraya dari tenggara, sang walikota tiba-tiba saja berkata bahwa dia menginginkan salah satu budak milik saudagar itu, satu bocah lelaki yang begitu pandai dan rupawan. Adalah wajar bila saudagar itu agak enggan melepaskan budak yang selalu jadi gandengannya ke mana-mana, termasuk juga ke pembaringan dan pemandian privat. Meski demikian, walikota tetap bersikeras menginginkan bocah lelaki itu, dan meskipun kebanyakan orang orang yang hadir di bangket itu sudah tahu dan sering memergoki sang walikota
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[37] mencuri kesempatan untuk merayu dan menculik bocah yang dimaksud, mereka tetap menanyai alasannya. Mula-mula walikota berkilah dengan “aku sudah bosan dengan budak-budakku” dan “aku cuma ingin selingan baru saja”, sebelum akhirnya dipojokkan dan mengaku, “Aku terus kepikiran janganjangan bocah laki-laki itulah pasanganku semula, kalian tahu, seperti yang dituturkan Aristophanes itu, seperti yang diceritakan tetua itu.” Orang-orang melongo saja, tak ada yang protes atau bertanya bagaimana bisa walikota yang umurnya sudah lewat setengah abad meyakini bocah kemarin sore itu sebagai pasangannya semula? Tak ada protes, bahkan tidak dari istri sang walikota yang sedari tadi cuma bisa melirak-lirik dan berkisik-kisik pada budak perempuan kepercayaannya, sebab sudah pasti dalam kepala orang-orang kotaku berkelebatan pula pikiran serupa—aku sangat yakin. Kecuali saudagar dari tenggara itu tentu saja, yang justru kebingungan sendiri menyaksikan orang-orang malah terdiam, dan pada akhirnya mengusulkan, “O, saudaraku, engkau sendiri tahu, sesungguhnya amatlah berat bagiku melepaskan budakku yang satu ini,” saudagar itu mengelus-elus pipi bocah yang dimaksud, lalu melanjukan, “Bagaimana ya? Barangkali, ya, barangkali saja aku akan dengan sepenuh hati menyerahkannya padamu untuk selusin, ah tidak... tidak... dua lusin budakmu, atau selusin budakmu dan, ya, seperempat lusin cawan emas, hmm... oh, ya, plus tiga set pasu tembereng berukir yang kemarin kau tunjukkan padaku—oh, indah nian ukiran pasu-pasu itu.” Tanpa pikir panjang lagi, seolah-olah tinja batu yang sudah di ambang lubang itu tak tertahankan lagi dorongannya, walikota setuju-setuju saja. Diserahkannya selusin budak, seperempat lusin cawan, dan tiga set pasu sesuai dengan permintaan sang saudagar, lalu dengan keharuan dan kelegaan pascabeban yang membuat orang-orang turut sendu sekaligus iri, walikota menyambut sang pasangan semulanya itu.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[38] Tak lama setelah itu, satu per satu pengakuan berpondasi bualan Aristophanes mulai bermunculan. Seorang perempuan berkali-kali menyelinap keluar dari pintu belakang rumahnya, masuk ke dalam kolong seorang janda. Suatu kali dia keluar dari pintu belakang dan rentetan pertanyaan mendedas dari mulut orang-orang. Dengan lantang perempuan itu menjawab, “Demi Ares dan Zeus Yang Agung, terberkatilah janda Ampelius, pasangan semulaku!� Dan orang-orang berduyun-duyun menyahut, “Demi Ares dan Zeus Yang Agung, terberkatilah mereka, terberkatilah Aristophanes!� Besoknya, janda-janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang bertahun-tahun melawan Athena ikut-ikutan juga keluar dari kungkungan rumah; sebagian mengitari seluruh penjuru kota demi mencari belahan diri, beberapa lagi pergi menghadap patung dewa, menyerahkan sesaji sambil meratapi kematian suaminya dengan kesedihan yang baru: betapa sungguh kekasih yang telah berada jauh di alam baka itu sesungguhnya pasangan sebelumnya. Sejumlah budak dan gundik kedapatan bercinta dengan orang yang tidak semestinya, tapi mereka yakin itulah sang paruh tubuh, begitu yakinnya sampaisampai sudi menanggung sambaran cemeti sang majikan. Seorang pemuda bahkan nekat berlayar jauh ke timur, sebab meyakini bahwa pasangan semulanya ada di sana, tengah bekerja untuk keluarga kerajaan Persia. Karena terang-terangan mengaku berpasangan dengan seorang Makedonia sebelum dipotong oleh pisau para dewa, seorang perempuan muda dirajam dan dihujat habis-habisan. Beberapa pria mulai tidak meyakini orang yang mereka nikahi bukanlah separuh diri mereka, ikut-ikutan juga keluyuruan mencari-cari. Para istri berbakti mulai menanggalkan tenunan wol dan pintalan benang, melepaskan mantel tebal, dan mulai bersolek di jalanan kota, beberapa bahkan menggeliat di pilar-pilar setapak, nyaris serupa pelacur murahan—semuanya demi meyakini sabda Aristophanes. Akan tetapi, fenomena pencarian pasangan sebelumnya ini juga bukan urusan sederhana. Benturan-benturan bermunculan Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[39] terutama manakala sasaran yang diyakini separuh diri yang sejati ternyata juga diyakini oleh orang lain. Penolakan demi penolakan mulai bermunculan, dan banyak juga yang berujung pada derita dan nestapa. Yang paling mengejutkan, misalnya, setelah dua bulan menggerayangi budak muda barunya, walikota mulai sangsi kalau budak mahal itu ialah pasangan sejatinya. Dia mulai keluyuran sendirian, masuk pemandian umum dengan guratan resah pada jidatnya, tak ada yang menemaninya, tak sesosok budak maupun istri tersayang—yang barangkali juga sedang keluyuran bersama pasangannya—dan tak lama setelah itu, di hadapan khalayak di muka emporium, dia utarakan kehendaknya untuk menukar budakparuh-jiwanya dengan seorang pemuda, seorang murid kesayangan Timothius, pahlawan tersohor kota kecilku itu, salah satu yang tersisa dari Perang Peloponesia. Timothius yang bijak menyerahkan persoalan ini pada sang murid sendiri, dan tak diduga-duga, pemuda Timaius yang gagah berani itu malah menolak, alasannya: dia sudah menemukan pasangan sejatinya yang tiada lain teman seperguruannya sendiri. Walikota bertambah murung, begitu murungnya sampai-sampai dia sudi menyuruh orang upahan untuk menculik Timaius yang gagah berani. Dan, bagai tengah berkomplot dengan nasib, orang upahan itu malah membawa kabur Timaius karena meyakini pemuda itulah pasangannya sebelum pisau dewa membelah mereka. Alhasil walikota cuma bisa menjeritjerit di muka emporium, menghujat-hujat sembarang orang yang lewat, mencaci maki dewa yang telah semena-mena menjatuhkan pisau nasib, dan betapapun budak mahal yang dia tukar dulu mencoba merangkul dan menghibur, raungannya bagai tak akan pernah surut, sampai petang, sampai besoknya, sampai akhirnya dia lelah dan berhenti sendiri. Sebab orang-orang semakin lebih disibukkan dengan sabda Aristophanes, semakin hari pasar-pasar juga semakin tertelantarkan, tempat pemandian mulai sepi, dan kuil-kuil cuma ramai didatangi oleh janda dan orang-orang frustasi yang belum juga menemukan pasangan sejati. Dua orang jawara tangguh kotaku, dua sahabat yang selamat dari Perang Sakral melawan Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[40] Thabes beberapa tahun silam, bersitegang cuma karena berebut seorang anak laki-laki pesolek. Ada pula Gerasimus, pujangga kondang kotaku yang rupanya ikut-ikutan terjerat juga. Setiap hari dia menggubah syair untuk orang-orang yang berbeda, hampir separuh penduduk kotaku, tua-muda, lelaki-perempuan, sudah pernah jadi sasarannya: satu hari dia menggoda seorang janda yang sering mendatangi kuil dengan sajak sendu, hari lain dia lantunkan syair romantis di muka seorang gadis cilik yang belum juga mampu memintal dan menenun, dan terakhir dia menghampiri seorang bocah laki-laki yang belum juga berumur 7 tahun dan lepas dari asuhan ibunya, melalui larik-larik cabul dia tuturkan keinginan untuk dimasuki oleh tunas muda bocah itu dari belakang—karena kecabulan itu juga akhirnya Gerasimus diusir dari kotaku, dibuang ke timur bersama segelintir penduduk lain yang terang-terangan mengutuk kebodohan pengikut sabda Aristophanes ini. Aku sendiri? Baiklah, akan kuceritakan juga bagianku. Tersebutlah seorang pemuda bernama Kallias, satu yang menurutku paling gagah dan rupawan di kotaku. Dia putra tunggal saudagar yang memperkerjakanku. Akulah yang mengawasi budakbudak bolak-balik mengangkut barang-barang dagangan sang saudagar, dari gudang menuju lapak-lapak dagangnya yang tersebar di penjuru emporium, mencatati tiap-tiap barang yang masuk, juga memastikan tak ada satu pun yang menyelusup ke dalam tangan budak-budak itu. Seringkali kudapati Kallias yang belia itu melintasi stoa bersama budak kepercayaannya, kadangkadang kudapati dia tengah bersandar di sebuah pilar dan kuperhatikan bagaimana bibir mungilnya bergerak-gerak ketika bercakap dengan budaknya. Semakin hari aku semakin masyuk pada kerupawanannya, dan semakin pula aku mengamini—kalau boleh kubilang—betapa indahnya dunia ini kalau aku bisa berpasangan dengan pemuda itu. Tiap malam ketika tengah bersama istriku di atas pembaringan yang kumuh, kubayangkan pada suatu hari aku harus mampu membelai gelung-gelung rambut emasnya, mencium bau tubuh di balik kain sifonnya, mencecap Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[41] bibirnya yang delima... ah... dan kau tahu betapa girangnya aku sewaktu sabda Aristophanes melanda kotaku? Sewaktu seisi kotaku mulai keluyuruan mencari-cari pasangan sebelumnya, kukatakan pada Aglea, istriku yang baik—yang ternyata sudah lebih dulu menemukan pasangannya, seorang lelaki paruh baya yang sering dia temui di pemandian publik—bahwa aku begitu menginginkan Kallias. Dia menganggap niatku mustahil dan gila, tapi aku tak peduli dan langsung berlari menuju kediaman megah Kallias di ujung kota. Di hadapan pintu yang menjulang, kuteriak-teriakan namanya, kupekikkan keras-keras betapa sungguh aku menginginkannya, betapa dialah pasanganku sebelum dipisahkan oleh pisau dewa-dewa. O, Kallias-ku. Tak sabar menantikan kemunculannya, aku mulai mengedor-gedor pintu megah itu. Pada akhirnya Kallias pun muncul bersama orangtua dan saudara-saudaranya. Pada Kallias, disaksikan sekalian kerabatnya, kukatakan maksud kedatanganku, kukatakan aku begitu menginginkannya, dan kuyakinkan dia bahwa dialah pasanganku, bahwa apa pun yang terjadi dia harus menjadi pasanganku, akan kuculik dirinya bila perlu! Namun, salah satu saudaranya malah sewenang-wenang menarik Kallias dari rangkulanku, dan dengan pandangan jijik dia meludahi mantel wol kumuh yang kukenakan. “Orang papa hina!� desisnya. Tentu aku tidak menyerah sampai di situ saja. Di pemandian publik, sewaktu Kallias sendirian dan budak kepercayaannya tengah lengah, kuculik dia. Kubekap mulutnya dengan tanganku, dan sambil berselusup di balik pilar-pilar besar pemandian, aku keluar lalu berlari secepat mungkin menuju sarangku yang begitu hina bagi kehadirannya. Kami bercinta tiga hari tiga malam tanpa satu gangguan pun kecuali jeda, tidak dari istriku yang mungkin sudah kabur bersama pasangannya, pula Kallias yang manis itu tak menolakku. Padanya berkali-kali kukatakan, “O, Kallias-ku, tidakkah engkau juga yakini akulah pasanganmu? Bayangkanlah bagaimana tubuh kita dahulu menyatu dan meluncur seperti roda, Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[42] berdua, bersama-sama, dalam satu kesatuan!� Dia cuma tersenyum kaku mendengar segala bujuk-rayuku. Sampai akhirnya datanglah rombongan kerabatnya, menghajarku habis-habisan, merampas Kallias dari pelukanku dan satu per satu mereka pun meludahi mukaku. Besoknya, sewaktu aku mendatangi kediaman Kallias dengan muka penuh lebam, kudapati seorang pria bermuka mesum sudah bertengger di sana, di depan pintunya, berhadapan dengan komplotan kerabat Kallias yang telah memperhinakanku. Pria mesum itu berteriak, “Duhai Kallias aku ingin menculikmu, izinkanlah aku menculikmu! Tidak ada yang lain yang kuyakini pasanganku selain dirimu! O, Tuan saudagar yang baik, biarlah kuculik putramu!� Pria itu pun mencoba meraih Kallias yang tengah berdiri tersipu-sipu di belakang budak kepercayaannya, tapi budak-budak lain menghalangi. “Apa yang bisa kau tawarkan demi putraku?� sahut ayah Kallias. Dan dengan satu siulan singkat dari sang perayu, datanglah iring-iringan budak, masing-masingnya membawa jambangan yang sarat akan ornamen-ornamen berkilau. Bisa kulihat muka saudagar rakus itu girang seketika, dan tak lama kemudian Kallias pun jatuh dalam genggaman si mesum bajingan. Aku cuma bisa meratap tanpa daya dari balik pilar sewaktu pria itu memeluk Kallias, menghujani pipi dan bibirnya dengan kecupan-kecupan. Dan yang paling membuatku terluka ialah kenyataan bahwa Kallias tak sedikit pun menolak. Kallias manisku itu cuma berdiri begitu saja, tersenyum kaku bagaikan arca. Berhari-hari aku mengutuki nasibku, menyalahkan para dewa yang bagai telah sengaja mempermainkan takdirku. Kukatakan pada diriku sendiri: tak akan ada lagi sesaji bagi kuil mana pun dariku, setidaknya ... setidak-tidaknya selama kemurunganku ini masih berlanjut dan berlanjut.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[43] Tentu saja ayah Kallias memecatku, dan karena tak ada secuil pun gairah untuk mencari kerja baru, aku terlantung-lantung dalam jerumunku tanpa asupan apa pun, tanpa daya dan tenaga, tanpa semangat bahkan sekadar untuk beranjak dari pembaringanku yang menyedihkan. Lalu aku mulai berteriak-teriak mencari di mana gerangan Aglea ... oh, betapa aku merindukannya, tapi tepat ketika kusadari dia telah menemukan paruh dirinya, aku semakin merasa bersedih dan sendirian, dan kesedihanku berlipat sebab tahu tidak semestinya aku bersedih atas kebahagian istriku itu. Pernah kucoba keluar dan keluyuruan dari ujung kota ke ujung lainnya, melintasi kerumunan lapak-lapak di emporium, bahkan berjam-jam kuhabiskan waktu berendam di pemandian publik sampai ujung jemariku melisut, kususuri satu per satu sosok yang kebanyakannya tak asing lagi bagiku, tapi tak pula muncul pertanda bahwa separuh diriku ada di antara mereka, tak pula ada indikasi keyakinan bahwa Kallias adalah pasangan sejatiku akan meluntur. Pernah pula terpikir untuk terjun dari jurang di ujung padang penggembala. Ketika aku jatuh, tepat ketika aku mengenai dasarnya, jiwaku akan langsung mengembara menuju alam baka nun jauh di bawah sana. Barangkali di buana yang lain itulah akan kutemukan pengganti Kallias-ku, paruh diriku sesungguhnya. Tapi aku tak berani, dan pada akhirnya hari-hariku kuhabiskan dengan kemurungan dan sumpah serapah pada para dewa, pada bualan Aristophanes, pada tetua bajingan yang telah menuturkannya, pada orang-orang bodoh kotaku yang meyakininya, termasuk pada diriku sendiri juga. *** FENOMENA Aristophanes di kotaku itu mewujud histeria, atau begitulah aku menyebutnya. Mereka yang kebingungan, tak juga menemukan paruh diri yang sejati, terus-terusan saja kebingungan, berkeluyuran bagai tanpa tujuan. Sementara mereka yang sudah saling yakin dengan pasangannya, tak ada yang lain yang bisa dilakukan selain terus-terusan bersama, melulu berdua, bagai tubuh Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[44] mereka sudah kembali menyatu begitu saja. Benturan-benturan, penculikan dan pemerkosan semakin semarak dilakukan. Dan, tak usah ditanya kabar kebecusan aparat kotaku—mereka sudah disibukkan dengan urusan pencarian pasangan sendiri-sendiri! Aristophanes semakin dipuja, namanya dijunjung seolah tak pelak lagi dialah juru selamat kiriman para dewa. Dan kotaku pun mewujud suatu kultus sesat. Sewaktu salah satu penasihat istana dan rombongannya yang tengah melakukan perjalanan dari Asopus menuju dataran tinggi di utara singgah, mereka sampai terkagetkaget dengan situasi kotaku. Manakala menyaksikan orang-orang tengah melantunkan gita dan puja yang sudah bercampur-baur dengan sabda Aristophanes, hampir saja penasihat itu mengecap kotaku sebagai sarang penista para dewa. Untung saja seorang tetua kotaku cukup cerdik dan gesit, dan dengan sekian cawan anggur dan belaian para gundik, juga dengan sekian kantung penyumpal mulut, rombongan itu bersedia meninggalkan kotaku tanpa membawa curiga. Kultus Aristophanes ini semakin menjadi-jadi sewaktu janda Sophoronius tiba-tiba naik ke mimbar umum, dan berteriak lantang, “Sudah 109 manusia kujelajahi, tapi belum pula kutemukan paruh diriku yang sejati!� Dan sambil menengadah ke langit dia pun mengerang berulang-ulang, “O, Zeus Yang Aguuuuuuung!� Seketika itu juga sejumlah orang yang senasib dengannya berduyun-duyun menghampiri, berebutan merayunya, dan dalam sekejap lapangan majelis pun disulap menjadi sebuah pesta sanggama di mana janda Saphoronius yang jadi pusatnya. Untungnya, pada pasangan yang ke-198, sang janda berhasil meyakinkan dirinya bahwa pria itulah pasangannya, tak akan mungkin salah lagi. Cara ini kemudian ditiru oleh janda Eusebius dengan cara yang lebih menggoda dan terbukti mampu memikat lebih banyak orang, termasuk mereka yang sebelumnya merasa yakin dengan pasangannya. Yang lainnya pun tak mau kalah, tiap hari ada saja orang yang naik ke mimbar dan menggoda sekalian penonton untuk mencicipinya, tak jarang dua orang naik pada Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[45] waktu yang bersamaan, dan terjadilah persaingan di antara keduanya. Tahu-tahu saja pesta sanggama di lapangan majelis itu pun berubah menjadi semacam tradisi, sebuah festival Aristophanes yang perayaannya melebih-lebihi perayaan Carneus sekalipun. Nada-nada lira dan kithara akan melantun di seluruh penjuru kota, sejumlah pasangan akan diikat tubuhnya dan mencoba salto bersama-sama, seolah-olah berjalan seperti roda. Orang-orang bercumbuan dan bersetubuh, baik yang sudah menemukan pasangannya atau yang masih mencari paruh dirinya. Satu kawanku pernah beberapa kali mengajakku mengikuti pesta sanggama ini. Melalui pesta itulah dia berhasil menemukan paruh dirinya, dan bersama paruh jiwanya dia membujukku untuk melakukan hal serupa. Mulanya aku menolak, tapi pasangan kawanku itu—seorang perempuan keturunan Kreta yang begitu tambun dan luar biasa cerewetnya—terus-terusan memaksa. Jadilah aku berdiri di tengah manusia-manusia telanjang dan semitelanjang yang saling menggerayangi satu sama lain, saling menjamah dan mencicipi dengan kehausan dan rasa penasaran yang demikan gilanya. Alih-alih turut bersukaria, aku malah kembali meratapi nasibku yang malang, tercampakkan oleh paruh diriku sendiri. Suatu hari seorang pemuda yang belum juga disemakin jembut jadi pusat pesta sanggama, dia liukkan tubuh telanjangnya yang ranum itu di tengah-tengah mimbar, dan seketika saja orang-orang berduyun-duyun mengerumuninya. Kusaksikan tubuh pemuda belia itu diarak-arak, dijamah-jamahi, jatuh dari tangan yang satu ke tangan yang lainnya, dan dengan senyumnya pemuda itu mengamini segala apa yang dilakukan pada tubuhnya. Aku merasa nelangsa, apalagi pemuda itu seumuran dengan Kallias, tingkah dan perawakannya persis serupa Kallias! Ketika pemuda itu tiba-tiba disodorkan padaku, aku tak kuasa lagi menahan raunganku. Kudorong tubuh pemuda itu, lalu spontan kakiku berlari menembus kerumunan orang-orang, menabrak jatuh sebuah jambangan berisi sesaji untuk dewa-dewa, bunyi jatuh jambangan itu begitu Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[46] nyaringnya, membuat semua mata menyaksikanku seketika. Tapi aku tak peduli lagi, aku terus berlari, merengek dan berlari, dan tepat di pusat sebuah padang, aku lelah dan, terduduk sambil terus meraung-raung, berulang-ulang mengutuki Aristophanes dan Zeus Yang Agung. Orang-orang yang sebelumnya tengah bercinta bersama pasangannya mulai mengerumuniku, melirik dan membicarakanku seolah-olah aku makhluk sesat tak tahu malu yang telah mencoreng kemuliaan sabda Aristophanes itu. Tapi aku tak peduli dan terus saja melaknat dan mengumpat. Beberapa orang yang tidak tahan lagi dengan sumpah-serapahku tiba-tiba maju dan mencengkeram paksa tubuhku, dan yang sekejap saja aku sudah diarak massa menuju mimbar umum. Dengan keputusan sepihak, tanpa diberi kesempatan secuil pun untuk membela diri, aku diusir dari kotaku. *** AKU tak ingat sudah berapa kota kusinggahi sejak pengusiranku. Tapi tujuanku sudah bulat dan pasti: memburu Aristophanes, biang dari segala mala yang kutanggung ini. Di utara, kutemui juru ramal yang bermukim di kaki sebuah jabal, tepat di bawah pohon purba raksasa yang berdiri di tengah dataran retak dan kering. Aku berdiri dua hari dua malam dalam antrian panjang sebelum akhirnya mampu mengajukan pertanyaan: “Di mana gerangan Aristophanes?” Wanita tua dan bungkuk itu memicing padaku, menari-nari dan berkomat-kamit dalam bahasa yang aku tak mengerti, sebelum akhirnya bertanya, “Coba sebut lagi nama orang yang engkau cari?” Lalu dia kembali menari-nari dan berkomat-kamit lagi, begitu terus berulang empat kali dan dia belum juga tahu di mana posisi tepatnya buruanku itu. Pada kali kelima dia berkata, “Anak muda, tak bisa kutemukan jejak orang yang kau cari. Tapi selusurilah pesisir timur, sesuatu mengatakan kau akan menemukan jawaban di sana.”
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[47] Lima kota, tiga puluhan pemukiman, dan ratusan pemberhentian kujelajahi, tak pula muncul pertanda jawaban yang dimaksud juru ramal itu. Tiap malam terus kuasah belati yang sudah kupersiapkan untuk memburu Aristophanes sialan itu. Tiap malam pula kelebatan Kallias terus mengusikku, dan aku semakin teryakinkan kemalangan ini tak akan tuntas bila belum kubereskan biangnya. Di sebuah pemukiman penggembala di dekat Tyros, tanpa kuduga aku berjumpa dengan Gerasimus. Entah bagaimana pujangga tua itu sekarang sudah menjadi pengusaha bulu-bulu domba dan susu kambing yang paling sukses di pemukiman itu, janggutnya yang dulu panjang sekarang tinggal semak-semak tipis, dan bicaranya yang melantun merdu juga sudah berubah jadi kasar dan keras. “Abaikan sajalah Aristophanes itu,” kata Gerasimus ketika aku bertanya pada sebuah bangkuet yang dia gelar khusus untukku, “Sekarang aku punya puluhan gundik dan lusinan anak laki-laki yang bisa kugilir setiap hari. Kenapa aku harus puas dengan satu pasangan kalau bisa punya ratusan?” Kukatakan bahwa aku belum tenang kalau belum menghabisi Aristophanes ini, tapi dia kembali menjawab, “Abaikan sajalah. Minum saja anggur-anggur itu, minum, minum! Tambah daging dombanya kalau kau mau, tak usah sungkan-sungkan. Abaikan saja Aristophanes itu. Atau kau mau sajian lain, hah? Sebut saja, sebut saja. Jamuan ini untukmu, apa yang kau mau sebut saja. Kau mau pinjam gundikku? Tunjuk saja. Abaikan saja Aristophanes itu.” Tapi aku terus mendesak dan mendesak dan pada akhirnya dengan kesal dia katakan, “Aristophanes sialan itu sudah mati! Dia cuma juru lawak dan sudah mati! Sudah mati!” Terang saja aku kecewa. Bagaimana lagi aku bisa menebus kenestapaanku sekarang? Semalaman di atas pembaringan mewah di rumah Gerasimus aku terus-terusan memikirkan hal ini, dan aku kembali teringat pada Kallias, pada orang-orang dungu di kotaku yang dengan mudahnya mengamini tuturan tetua di muka mimbar Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[48] itu ... tetua itu, ah, tetua itu, sang juru kabar sialan itu. Resmi sudah: akan kuburu tetua itu demi menebus kenestapaanku. Kuutarakan tujuan baruku pada Gerasimus, tapi dia sama sekali tak punya gambaran ke mana sebaiknya aku lanjutkan perjalanan. “Tinggalah di sini saja, kerjalah dengangku, akan kujamin kemakmuranmu,” katanya. Tapi niatku sudah bulat, dan dia pun membekaliku sejumlah uang dan makanan sebelum aku melanjutkan perjalanan. Berhari-hari aku berjalan menuju utara, dan belum muncul satu pun tanda-tanda keberadaan tetua itu. Tapi aku terus berjalan sampai hilang arah, entah menuju Messenia atau Corinthia, entah masih di Peloponesia atau sudah di daratan utama, aku bahkan tak tahu sudah berapa ratus hari berlalu sejak aku meninggalkan pemukiman Gerasimus. Barulah ketika aku tengah mengisi kantung airku di sebuah mata air, seorang pemuda mendekatiku, bertanya: “Orang-orang kampung bilang Tuan mencari pengelana tua yang berkomat-kamit tentang Aristophanes?” Atas petunjuk pemuda itu, kulanjutkan pencarianku ke timur laut, terus menuju Jazirah Attica di mana aku berjumpa dengan satu keluarga penggembala yang mengaku pernah berjumpa dengan tetua itu, mendapatkan sabda yang persis sama seperti yang kutahu. Ke arah barat laut aku tiba di tanah orang-orang Mycenia yang sarat akan kota-kota megah, pilar-pilar raksasa, dan pestapora. Aku sempat tersesat di belantara manusia-manusia berkilau ini sebelum akhirnya berjumpa dengan juru ramal di sebuah lapak di sudut emporium. Perempuan tambun itu menagih bayaran begitu mahalnya, membuat kantung pemberian Gerasimus kempis seketika, sekadar untuk menerangkan bahwa aku masih harus ke barat lagi. “Ke barat lagi! Ke barat lagi! Ke barat lagi!” katanya dengan geligi bergemeletukan. “Ke barat ke mana?” “Ke barat lagi! Ke barat lagi! Ke barat lagi!”
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[49] Jauh di barat, mendekati jajaran jejabalan, aku tiba di sebuah kampung yang juga pernah disinggahi oleh juru kabar Aristophanes itu. Ketika kutanyai salah seorang petani rami dan zaitun di kampung itu, dia menjawab, “Oh, pak tua yang sinting itu, semua orang tertawa mendengar banyolannya tentang tiga jenis kelamin manusia. Terus saja ke barat, rasa-rasanya dia pergi ke barat, mungkin meniti dataran tinggi di barat, terus saja ke barat.” “Ke barat ke mana?” “Terus saja ke barat.” Terus ke barat, dari seorang pemuda gunung kudapatkan berita tentang kota-kota dan kampung-kampung di kaki timur pegunungan di utara yang juga terjangkit wabah “tiga jenis kelamin manusia”. Berpuluh-puluh hari aku meniti bebukitan utara, lalu turun ke timur sampai di kaki pegunungan, dan timur ke barat menuju lembah orang-orang Aeolia—tak kutemukan satu pun tanda-tanda pemuja sabda Aristophanes, tidak pula batang hidung tetua itu. Tapi aku terus melanjutkan pencarian. Entah sudah berapa nujuman dan berapa pengakuan kudengar, ke barat, ke timur, ke barat, ke timur, ke lembah, ke pucuk jabal, dan tanpa kusadari janggutku sudah begitu panjang dan putih. Kutakar-takar, umurku sudah hampir tiga perempat abad. Kadangkala aku akan lupa sama sekali pada tujuan pengelanaanku, belati yang sudah kusiapkan pun sudah tumpul dan karatan, telah puluhan bahkan ratusan hari lamanya kupakai untuk berburu tanpa kukikir sekalipun, tapi aku terus melangkah, sampai berhari-hari kemudian, kelebatan Kallias akan muncul kembali, dan aku akan kembali mengasah belatiku. Seringkali kubayangkan bagaimana wujud Kallias sekarang. Sudah pasti dia tak lagi sebelia dulu. Apakah Kallias masih setia bersama paruh dirinya? Boleh jadi juga sekarang justru gilirannya memburu pasangan yang lebih belia. Tapi sekeras apa pun aku membayangkan wujud Kallias sekarang, yang selalu bersemayam dalam dadaku justru Kallias-ku yang belia dengan senyum kakunya.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[50] Tahu-tahu saja Athena sudah jatuh ke tangan Makedonia. Dan seringkali aku terjebak di tengah pemberontakan kota-kota utara. Pertempuran lokal meletus, tapi aku terus berkelana. Sesekali tetap kutanyakan soal tetua juru kabar itu, tapi orang-orang semakin tak peduli. Pada seorang asisten pandai besi pernah kuceritakan tentang Aristophanes dan sabdanya, persis sebagaimana tetua itu dulu bercerita di kotaku. Sepanjang cerita pemuda itu cuma bisa melongo dan menganga saja, mengingatkanku pada kedunguan orang-orang kotaku, dan karena itu juga kukatakan padanya, “Itu cuma lelucon, dan Aristophanes cuma seorang pelawak handal.� Tahu-tahu saja aku merasa sudah semakin tua dan lelah berkelana. Kuputuskan untuk menetap di sebuah pemukiman nelayan di pesisir selatan. Aku belajar melaut dan makan ikan-ikan tangkapan sendiri, kugembalakan tiga ekor kambing dan susunya kujual di pasar, dan kadang-kadang aku sempatkan juga berburu di padang setempat. Suatu hari, sewaktu hendak menjual susu kambingku di pasar, kudapati keramaian di lapangan majelis kampung. Aku mendesak masuk, bersempal-sempal, dan di tengah-tengah kerumuan itulah kudapati tetua itu. Tetua yang kuburu seumur hidupku berdiri di sana, menuturkan cerita yang tak asing lagi bagiku. Tubuhnya sudah semakin ringkih dan bungkuk, berdirinya pun sudah ditopang tongkat, tapi matanya yang sebelah memicing sebelah menjegil meyakinkanku bahwa itulah orang yang bertanggung-jawab atas mala yang menimpaku. Susah payah aku keluar dari kerumunan, lalu dengan segala daya tubuhku yang sudah tua ini, aku berlari menuju rumah—tak lagi aku ingat pada kendi susu yang tadinya kutitipkan di pilar dekat lapangan. Kuraih belati yang sudah kusiapkan, sudah tumpul dan karatan, tapi aku tak peduli. Aku kembali berlari menuju lapangan majelis, tapi tak lagi kudapati tetua itu. Kutanyai orang-orang tapi tak ada yang tahu ke mana gerangan perginya tetua itu. Kuselusuri tiap gerbang kota, barulah pada gerbang utara kudapati tetua itu tengah tertatih-tatih melangkah melintasi setapak. Kucengkeram Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[51] dia dari belakang dan kutodongkan mata belatiku pada batang lehernya. Tapi tetua itu malah tertawa ringkih. “Kau mau bertanya soal Aristophanes itu?” tanyanya. “Dulu, aku juga pernah begitu yakin pada caritanya, begitu yakinnya sampai-sampai aku telantarkan orang yang pernah begitu menyayangiku.” Tetua itu tertawa lagi, lalu melanjutkan, “Tapi kau tahu, kan? Cerita itu cuma lelucon, dan Aristophanes cuma seorang pelawak handal.” Aku hampir saja menggores batang lehernya yang sudah berkerut itu, tapi tanganku malah melepaskan tetua itu. Diraihnya tongkatnya yang tadi terjatuh, lalu ditatapnya aku dengan matanya yang sebelah memicing sebelah menjegil. “Cerita itu cuma lelucon, dan Aristophanes cuma seorang pelawak handal,” ulangnya sebelum berbalik dan melangkah menjauh dariku, “Cerita itu cuma lelucon, dan Aristophanes cuma seorang pelawak handal!” Kudengar tetua berteriak lagi dari kejauhan, berulang kali. *** AKU tak tahu pasti apa gerangan yang membuatku mengampuni, bahkan mengasihi, tetua itu. Tak pula aku mengerti kenapa aku tak merasa menyesal gagal membunuhnya. Apakah dengan begini segala kenestapaanku tak lagi bisa tertebuskan, aku pun tak tahu. Yang aku tahu, aku kembali memikirkan Kallias-ku. Maka dengan segala doa dan harapan akan kebahagiaannya, kutuliskan kembali ceritaku ini. Dan untuk yang terakhir kalinya kukatakan: Terkutuklah Aristophanes! Terkutuklah Aristophanes!
—Surakarta, 11 April 2014 Rio Johan, penyuka film, buku, dan video game. Buku-bukunya yang telah terbit adalah kumpulan cerpen Aksara Amananunna (2014) dan novel Ibu Susu (2017). Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[52]
PUISI Deodatus D Parera MENGENANG TARUNG I Di gerbang rumah dan bebatuan bersandar perjalanan kita serupa amsal yang kekal. Terdapat tanduk hewan dan kepalanya digenggamkan malam dan diremukkan tuannya. Adalah usuk di tiap-tiap ujung bumi disertai legion titipan senja dan purba, menarinari menghias kaki, menyembur dari matanya air murni, sewaktu kita mengenal nama dan belajar tentang sudi yang tak pernah usai. Generasi usur di matamu, tiap-tiap jemarimu yang merdu dan suara paraumu yang manis melingkar pada langkah kaki petang, entah ke mana. Selepas hujan, berlalunya angin, gaung permatamu berderap ke angkasa, ke segala permulaan semesta, ke semesta semua hinggi. Tak perlu bertukar jasad hanya untuk meniupkan seruling demi perdebatan atau membentangkan tarung demi perhiasan. Tak ada ruang kecuali kepalsuan yang segera akan diterkam sekam. Kaulah nafas yang dibacakan dengan merdu angin kepada lautan, atau jejak dari kenangan. II Debu sesekali mencium tubuhmu terbang kian kemari menerjemahkan pasolamu, raut wajah nurani dari balik fajar, enggan berteriak weha auw, sambil mengisahkan kidung lara dan membentangkan kelewangmu usai menerawang. Tiara patang di kepalamu dan kepalan tangan menyembunyikan dendam kepada matahari laksana rambu-rambu dalam potret kelam. Sejak singkapnya di telaga, tak pernah mereka pulang sambil membawa buli-buli berisi kerinduan lelakimu. Kasmaran, Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[53] pelukan, rengekan, manja-manjaan, perhatian dan permintaan. Mereka pergi meninggalkan istana dan bersama dengan berlalunya waktu, batu-batu naga semakin rendam. Bebatuan hanyut ditelan gelombang, air mata yang tak pernah mengingat perhentian. Atap rumah dan mahkota ringkik kudamu telah ditenggelamkan aroma dapur ibu yang tak pulang-pulang nun ribaan tak bernama. Tarung, kota-kota tanpa langit, rumah-rumah tanpa ruang tamu, sungai tanpa permukaan. Sedang apa kau, wahai sayang? Selamat jalan.
Deodatus D Parera lahir di Oepoli, 25 Juni 1990. Mantan redaktur Majalah Filokalia, Komunitas Sastra Seminari Tinggi St Mikhael dan anggota Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Tulisan-tulisannya dapat dijumpai di www.moral-politik.com.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[54]
PUISI-PUISI MARISA NUBATONIS ODOL Untuk sikat dan gigi yang rindu bersetubuh setiap pagi sewaktu udara dingin agar terus bersemangat saat hari panas Tanpa aku kalian bukan apa-apa Kupang, Juli 2017
JAKARTA Langit penuh polusi, tak ada solusi Jalan yang sama, jalur yang ragu Bundaran yang tak pernah pindah Bintang yang malu Kau yang tak pernah nampak Jauh jarak mengurai kisah Kasih akankah kau kembali? Jakarta, Agustus 2017
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[55] WHAT’S UP? Mengepul itu yang kau sumbang bagi kabut tebal di atas atap awan lahir dari bawah bumi Semua tentang cinta permainan keseimbangan asah otak angin buatan dedaunan gugur Anak muda i’m gonna love you like i’m gonna loose you musik yang dinikmati, yang dimatikan Jakarta, November 2017
Marisa Nubatonis adalah lulusan Jurusan Teknik Sipil Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saat ini tinggal dan bekerja di Jakarta.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[56]
PUISI-PUISI Melania Cici S Ndiwa WAKTU TAK PERNAH BERSALAH Engkau lupa mengatur letak jarum arlojimu Yang terus berdetak secara konstan Saat berlabuh di kota nun jauh untuk menetap, dan membutuhkan ruas jari yang luas untuk menerka jarak pada peta. Tetap saja, waktu tak pernah bisa disalahkan Walau engkau mengalami dua kali pagi dalam sehari Atau dua kali senja dalam sehari Tentang hal itu, kita telah berjarak ratusan mil Waktu tak pernah merasa bersalah Walau ia tahu, ia sudah memisahkan Engkau mengalami senja lebih cepat, dengan secangkir susu coklat Sementara aku masih berbalut selimut yang hangat, telah terjaga Ia pun memisahkan kita dari prasangka buruk Tentang isyarat burung merpati, ampas kopi dan noda susu coklat Waktu tak pernah bersalah Walau ia tahu, detaknya yang konstan Tetap membuat detak jantung tak menentu Memompa darah ke seluruh nadi, dan menggerakkan ingatan, tentangmu. Tetap saja, waktu tidak mungkin bersalah Hanya jarum arlojimu, yang seperti mendekap tiap lingkaran bola mata ini, Ibu. Ruteng, Juli 2017
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[57] HUBUNGAN KITA Cara terbaik mengawetkan hubungan kita adalah menyimpan nama kamu di ujung tali sepatu. Hubungan kita seperti sepasang sepatu kuliah yang dipakai saat misa kampus. Lalu anak-anak dengan gesit menginjaknya dengan sengaja tiap kamis di depan kapela. Lalu melihatnya dengan kagum saat perjalanan pulang menerima komuni. Hubungan kita seperti itu, ada dan tiada. Ruteng, 21 November 2017 Melania Cici S Ndiwa adalah alumna program studi Pendidikan Teologi STKIP St. Paulus Ruteng. Lahir di Ruteng, 31 Desember. Penikmat sastra, penyuka bunga, boneka dan menikmati suara pesawat terbang di angkasa. Saat ini menetap di Ruteng.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[58]
PUISI-PUISI Yosea Arga Pramudita ANDAIKAN KITA DI VENESIA "With smiles and kisses, we prefer to seek accord beneath our star, although we're different (we concur) just as two drops of water are " (Nothing Twice - Wislawa Szymborska)
Andaikan saja kita di Venesia, duduk di tepian kanal sambil membaca puisi Szymborska. Seperti dua tetes air, kita saling bercerita. Kita basuh malam ini, bersama sampan-sampan di tepian kanal. Kasihku, dirimu adalah kanal yang selalu memberi rasa penasaran. Adalah sebuah pulau di pelupuk matamu, aku ingin membangun sebuah rumah jiwa yang asri. Aku ingin merawat masa tuaku di sana: bersamamu di sore hari sambil menikmati dua gelas teh. Andaikan saja kita di Venesia, aku ingin memejamkan mataku dan menyandarkan kepalaku di bahumu. Mendengarkan kau membaca puisi Szymborska, "The next day, though you're here with me, I can't help looking at the clock: A rose? A rose? What could that be? Is it a flower or a rock? " Terbangun aku dari lelapku, aku bertanya, "Kenapa kau tidak bisa membantuku melihat jam?" "Biarkanlah setangkai mawar tetap menjadi setangkai mawar, jangan jadi batu. Aku tidak ingin tenggelam di kanal ini" Andaikan saja kita di Venesia, ya andaikan saja. Di kota itu, kita akan merawat masa tua kita di sana. Kini, di kotaku dan di kotamu, bersama puisi Szymborska, aku selalu merindukan sebuah pulau di pelupuk matamu, kasihku.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[59] MENCURI APEL DI TAMAN EDEN "I love you... For sentimental reason... I hope you do belive me" (Nat King Cole - For Sentimental Reason)
Kau mengalirkan kenangan yang deras, dalam lipatan jarak yang abu-abu. Aku tak pernah melihat dosa dalam sebuah Puisi. Yang menulis alasan tentang matamu yang mulai sayu. Kita bersaat teduh dalam lubang-lubang kosong; sambil mencuri apel di taman Eden. Saat subuh berjalan, kau menengadah. Membuat alasan dalam jarak yang kau lipat . Dua, atau tiga di pagi yang dini, Dalam kanal-kanal puisi; kita makan apel di taman Eden. Tapi kau masih duduk di tepi hari, Saat kereta melangsir waktu dalam puisi yang lain.
PAPA "This is the end... my only friend, the end" (The Doors - The End)
Terselip sebuah proposal pengantar tidur siang dalam kakimu yang sintal. Tidur adalah menunda rasa lapar. Jika terbangun, rasa lapar datang seperti tamu tak diundang. Dalam waktu yang terus berjalan, kita yang papa; dalam kematian yang lain, masih menahan rasa lapar dan bernyanyi, "This is the end....... beautiful friend"
Yosea Arga Pramudita, lahir di Depok, 11 oktober 1993. Menyelesaikan studi di jurusan Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman. Pernah aktif di Teater Teksas FIB Unsoed dan Komunitas Kaleng Merah Jambu. Pernah terlibat juga dalam pertunjukan teater Komunitas Lollipop Kleb.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[60]
©Gus Noy. “Marungga Berbuah”, drawing, pena di atas kertas.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[61]
Humor anak timor Amanche Franck OE Ninu Binatang Liar di Timor Pak Doni mengajar Ilmu Pengetahuan Alam di kelas dua SMA Negeri Noefatu. Ia bertanya kepada Joni. Pak Domi : “Joni, coba kamu sebutkan lima binatang liar yang hidup di Pulau Timor?” Joni : “Oh gampang, Pak. Lima binatang liar yang ada hidup di Pulau Timor adalah empat ekor babi hutan dan satu liuksaen (ular piton).” Lipus Liuksaen Sudah lama Lipus merantau dan hidup di Jawa. Di sana ia hidup berdampingan dengan banyak orang dari seluruh Nusantara. Suatu hari ia berkenalan dengan dua temannya. Yang satu asal Batak, dan yang satu asal Manado. Mereka pun berbincang. Anak Batak : “Nama saya Anton Sinaga asal Batak, Sumatra.” Anak Manado : “Nama saya Samuel Sambuaya asal Manado, Sulawesi.” Lipus Bingung. Ia berkata dalam hati, aduh ini orang dong pung nama binatang buas semua. Bahaya ini! Maka Lipus pun memperkenalkan diri: “Nama saya Lipus Liuksaen, asli Timor.” Sedotan Kali berikut, babi Om Ma’u onar lagi. Ketika diberi minum air segar, ia tak mau minum. Diberi teh dan kopi pun menolak. Air gula pun ia tak mau sentuh. Ketika Om Ma’u mendekat ke babinya, babi ini langsung berbisik: “Bapak, beta minta sedotan.”
Amanche Franck OE Ninu, Koordinator Umum Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Kepala Sekolah SMP Katolik St. Yoseph, Naikoten, Kupang. Telah menerbitkan buku kumpulan humor, pantun & plesetan Humor Anak Timor (2011) dan buku kumpulan cerpen Pesona Flobamora (2012). Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[62]
AKU Menemukan diriku dalam hutan yang suram: Ulasan The Divine Comedy Karya DANTE ALIGHIERI* James Canton et al. (Ed.) EPIK adalah pilihan bentuk karya sastra sejumlah penyair besar jauh di masa lampau. Epik ditulis untuk merayakan keberhasilan seorang pahlawan—seringkali sosok separuh ilahiah atau sosok yang memiliki kekuatan dan keberanian luar biasa—dan ceritanya kerapkali merupakan kiasan atas momen transisi dalam sejarah, seperti kelahiran sebuah bangsa atau peristiwa penaklukan musuh. Sebagai contoh, meskipun di satu sisi Iliad karya Homer adalah kisah tentang kepahlawanan Achilles, tapi di sisi lain, yang lebih penting, Iliad juga adalah kisah tentang kekalahan Troy oleh kedigjayaan bala tentara Yunani. Puisi epik semacam itu acap menenun peristiwa sejarah dan mitos, dengan para pahlawan memainkan peran kunci dalam membangun peradaban. Lama setelah kejatuhan peradaban klasik, puisi epik tetap menjadi bentuk karya sastra yang disukai untuk merayakan kekuatan nasional sebuah bangsa. Penyair Inggris Edmund Spenser, misalnya, pada tahun 1590 menulis puisi epik The Faerie Queene sebagai lagu pujian atas kepemimpinan Elizabeth I dan negaranya, sementara penyair Italia Ludovico Ariosto menulis Orlando Furioso pada 1516, yang merayakan kekuasaan dan pengaruh keluarga bangsawan House of Este.
Sebuah Epik Ilahiah The Divine Comedy karya Dante masuk dalam tradisi epik pascaklasik—sebuah tradisi yang panjang, heroik, alegoris, dan seringkali nasionalistik, mencerminkan peran aktif Dante dalam politik Florentina pada masa hidupnya. Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[63]
Namun, The Divine Comedy juga merupakan karya yang tidak umum dan inovatif dalam berbagai cara. Jika pada puisi-puisi epik sebelumnya narator-maha-tahu tetap berada "di luar" cerita, Dante dengan piawai justru menata narator di dalam cerita. Dengan sangat berani, buku ini menggunakan dialek bahasa Tuscan, ragam bahasa vernakular di Italia, dan bukannya bahasa Latin tradisional yang umum dipakai dalam karya sastra pada masa itu. Dante pun merentangkan bentuk epik dengan menggabungkan pemikiran klasik dan motif-motif mitologis filsafat Eropa pada masanya dan simbolisme Kristen. Dante membawa pembaca dalam perjalanan melalui neraka, purgatorium, dan surga—dari dosa dan keputusasaan menuju penyelamatan akhir—memetakan geografi setiap alam dunia itu secara detail, membangkitkan realitas hampir secara fisik. Karya Dante ini mengingatkan kita pada beberapa kisah epik klasik yang menggambarkan perjalanan ke Dunia Bawah dan, seperti kisah epik sebelumnya, The Divine Comedy adalah sebuah alegori: perjalanan melalui Dunia Bawah merupakan pencarian Dante atas makna pribadi secara simbolis. Awalnya, Dante menyebut karya ini sekadar the Commedia, atau "Komedi," sebuah istilah yang saat itu digunakan untuk menyebut karya-karya yang menampilkan berbagai kesulitan atau tantangan yang dihadapi protagonis, sebelum akhirnya terpecahkan dalam akhir yang bahagia (berkebalikan dengan tragedi klasik, yang fokus pada kehilangan dan penderitaan). Penyair abad ke-14 Giovanni Boccaccio adalah orang yang pertama kali menyebut puisi karya Dante "Ilahiah", sebuah refleksi atas muatan spiritual dan keindahan gaya bahasanya.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[64] Politik dan Puisi Saat Dante memulai The Divine Comedy—sebuah karya yang membutuhkan waktu 12 tahun penulisan—dia sudah dianggap sebagai penyair mapan, bekerja dalam gaya dolce stil novo ("gaya baru yang indah"), sebuah gerakan yang ditandai dengan introspeksi, penggunaan metafora yang bebas, dan simbolisme. Politik dan gairah pribadi adalah subyek puisi-puisinya, dan Italia di akhir abad ke-13 memberikan banyak inspirasi buat Dante. Dante sendiri sangat terlibat dalam kehidupan politik Firenze, yang bersama dengan kota-kota Italia lainnya tengah berada dalam konflik perebutan kekuasaan antara gereja (Paus) dan negara (Kekaisaran Romawi Suci). Tokoh-tokoh kunci dari konflik ini dipotret dalam The Divine Comedy, dan penyertaan tokoh-tokoh historis menyediakan semacam sensasionalisme yang dalam derajat tertentu memberikan kontribusi atas keberhasilan puisi epik Dante tersebut. Dante akhirnya diasingkan dari Firenze karena dalih kesetiaan politik dan, meskipun hal itu membuatnya sangat menderita, pemecatan dari urusan pemerintahan publik justru memungkinkan Dante untuk menjaga jarak sehingga dia mampu menghasilkan karya yang kelak dirayakan sebagai alegori filsafat, moral, dan kepercayaan dari dunia abad pertengahan. The Divine Comedy terstruktur dalam tiga segmen, yang mencerminkan signifikansi angka tiga dalam teologi Kristen (melambangkan trinitas dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus). Perjalanan terdiri dari tiga bagian ("Neraka�, "Purgatorium�, dan "Surga"), masing-masing dengan 33 kanto, atau bab, ditambah satu bab pendahuluan, sehingga secara total terdiri dari 100 kanto. Puisi ditulis dalam pola yang disebut sebagai terza rima, skema sajak tiga baris dengan rima saling terkait, bentuk terikat yang dikembangkan oleh Dante sendiri. Diceritakan dari sudut pandang orang pertama, The Divine Comedy menghadirkan perjalanan eskatologis (tentang kematian Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[65] dan keadaan setelah kematian). Cerita dimulai di hutan yang suram, simbol kehidupan penuh dosa di bumi. Dante mencoba mendaki gunung untuk menemukan jalan keluar dari hutan, tapi jalannya terhalang oleh binatang buas (yang mewakili dosa). Putus asa, lemah, dan butuh bimbingan spiritual, dia bertemu dengan penyair Romawi Virgil, yang telah dikirimkan oleh Beatrice, kekasih masa lalu Dante, untuk membimbingnya. Bagi Dante, Virgil mewakili pemikiran klasik, nalar, dan puisi. Virgil meyakinkan Dante bahwa dia akan mencapai keselamatan—tapi hanya setelah dia melakukan perjalanan melalui alam baka. Keduanya lalu memulai perjalanan mereka, dimulai dengan turun ke neraka.
Perjalanan ke Akhirat Bagian pertama The Divine Comedy melukiskan berbagai tingkatan neraka, dan bagaimana cara-cara hukuman disesuaikan dengan bobot dosa individu. Jiwa para penjilat, misalnya, menghabiskan kekekalan dengan tenggelam dalam kotoran, sebagai pengingat akan kotoran lisan mereka saat berbicara di bumi. Penggoda disiksa oleh setan bertanduk yang mencambuk mereka sampai menjadi semacam bongkahan daging belaka. Dengan deskripsi yang mendalam atas berbagai jenis hukuman itu dan gambaran tata letak neraka, Dante mengajak para pembaca untuk merenung atas kejatuhan mereka sendiri, untuk berubah arah, dan hidup harmonis dengan sesama manusia dan Tuhan. Saat perjalanan mereka mencapai puncak neraka selesai, Dante dan Virgil memulai pendakian Gunung Purgatorium, gunung dengan teras melingkar. Purgatorium adalah tempat bagi pendosa yang hidup semaunya sendiri di bumi, tapi menunjukkan cukup rasa penyesalan sehingga memungkinkan harapan akan keselamatan. Di Purgatorium, mereka membersihkan diri mereka dalam persiapan untuk memasuki surga. Saat mereka mendaki gunung, melewati tujuh tingkat mewakili tujuh dosa mematikan, Dante dan Virgil bertemu individu-individu yang berupaya mengatasi kesalahanMajalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
[66] kesalahan yang menyebabkan mereka berdosa. Jiwa-jiwa sombong, misalnya, membawa batu-batu besar di punggung sementara mereka belajar tentang kerendahan hati. Begitu keluar dari Purgatorium, Beatrice mengambil alih posisi Virgil sebagai pemandu Dante: ini karena Virgil lahir sebelum Kristus dan karena itu tak bisa memasuki Dunia Terberkati (Blessed Realms). Beatrice bisa dilihat sebagai pemandu feminin yang abadi, hati dan jiwa dari manusia. Dialah yang ikut campur tangan untuk keselamatan Dante, dan melalui dia, Dante akhirnya memahami kasih Tuhan.
Warisan Dante Dante mengadaptasi bentuk epik klasik, kisah para pahlawan, petualang, dan dewa-dewa, untuk mengungkapkan visi Kristen atas takdir, menggabungkan baik peristiwa pribadi dan sejarah ke dalam cerita. Banyak seniman dan penulis telah terinspirasi oleh The Divine Comedy, dan salah satunya, penyair kelahiran Amerika Serikat T.S. Eliot tak ragu memujinya sebagai “titik tertinggi yang pernah atau bisa dicapai oleh puisi."
Catatan: Sampai batas waktu pengiriman naskah terlampaui, Redaksi tidak mendapatkan naskah resensi yang layak muat. Oleh karena itu, untuk edisi Santarang kali ini Redaksi menurunkan ulasan berjudul “I Found Myself within a Shadowed Forest, The Divine Comedy (c.1308–1320), Dante Alighieri”, yang diambil dari buku berjudul The Literature Book (Big Ideas Simply Explained) oleh James Canton et al. (Ed.) terbitan Dorling Kindersley (DK) Ltd. tahun 2016, halaman 62-65. Ulasan diterjemahkan oleh A. Nabil Wibisana.
Majalah Sastra Santarang, No. 3 Vol. I, November-Desember 2017
E s a i : Sintus Runesi C e r p e n : Fransiska Eka Inviolata Watu Raka | Rio Johan P u i s i : Deodatus L Parera | Marisa Nubatonis Melania Cici S Ndiwa | Yosea Arga Pramudita H u m o r A n a k T i m o r : Amanche Franck OE Ninu R e s e n s i : James Canton