10 minute read

Rimbo Balam - Hal

RIMBO BALAM

Saat jumlah rakyat mulai berkurang, seorang laki-laki hebat yang konon berilmu ghaib tinggi mengajak rakyat yang tersisa untuk pergi dari perkampungan, hingga mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah hutan tak berpenghuni yang bernama Rimbo Balam.

Advertisement

Puluhan tahun berlalu, saat terjadinya perang antara rakyat Indonesia dengan pasukan Belanda. Saat di mana rakyat menderita, ketakutan, kelaparan, hingga terasingi. Ribuan warga tewas karna serangan bom dan senjata. Anak-anak tak kenal lagi dengan wajah orangtua mereka, dengan wajah yang tak berbentuk akibat perihnya sayatan senjata, hingga tembusnya peluru-peluru canggih ke dalam tubuh yang tak berdosa itu. Hanya malang yang ada dalam benak rakyat, tak dapat bertindak apa-apa. Terkadang tak kuasa menahan sakit, mereka lakukan perlawanan hanya dengan sebatang bambu runcing yang tak terbandingkan hebatnya peluru-peluru serta dahsyatnya ledakan bom.

Derita-derita itu dirasakan oleh setiap rakyat hingga ke pelosok negeri sekalipun. Saruaso, adalah salah satu dari daerah yang merasakan

derita yang bertubi-tubi dari pasukan musuh. Saat jumlah rakyat mulai berkurang, seorang laki-laki hebat yang konon berilmu ghaib tinggi mengajak rakyat yang tersisa untuk pergi dari perkampungan, hingga mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah hutan tak berpenghuni yang bernama Rimbo Balam.

Rimbo Balam merupakan sebuah hutan tak berpenghuni yang saat itu mulai diisi oleh rakyat saruaso. Bukan orang-orang biasa yang biasa menempati rimbo tersebut, kebanyakan dari warga yang menempati Rimbo Balam adalah orang-orang yang memiliki ilmu ghaib, berkekuatan mistis.

Sejak jauh dari perkampungan dan jangkaun pasukan musuh, masyarakat yang bermukim di Rimbo Balam itu mulai merasakan ketenangan. Hidup mereka mulai damai dan sangat menegaskan untuk tidak memperkenalkan kata kesombongan dan kebohongan. Dan mulai mengajarkan ilmu-ilmu ghaib kepada anak-anak mereka yang umurnya sudah dirasa cukup. Saat ilmu-ilmu ghaib itu mulai dikuasai oleh anak-anak mereka, perkampungan baru itu mulai berhawakan mistis di setiap sudutnya. Sehingga orang lain dari luar perkampungan itu tidak berani untuk masuk maupun berkunjung ke dalam perkampungan baru Rimbo Balam.

Seiring berjalannya waktu, tetua-tetua Rimbo Balam itu mulai wafat satu persatu. Hingga yang tersisa hanyalah anak-anak mereka. Ilmu-ilmu yang diwariskan itu digunakan untuk melanjutkan serta sebagai alat untuk kelangsungan hidup. Dengan ilmu tersebut mereka bisa mendapatkan makanan hanya dengan pejaman mata.

Ketika mereka yang tertinggal itu mulai merasa bosan dengan hidup, mereka melakukan tindakan bunuh-membunuh sesama mereka. Dan pada akhirnya tak ada lagi seorangpun yang hidup di Rimbo Balam tersebut. Dengan demikian, pada saat sekarang ini Rimbo Balam dikenal sebagai hutan yang angker dan penuh dengan mistik. Untuk masuk ke dalam Rimbo Balam itu harus memiliki sikap kehati-hatian, seperti yang ditekankan oleh tetua-tetua Rimbo Balam yang tidak mengenal kata kebohongan dan kesombongan. Jika seandainya itu terjadi, maka ada saja malapetaka yang akan di dapat oleh seorang yang melakukan hal tersebut.

Jilatang, Masiak, Piyau dan Iyuih adalah empat sekawan yang dari kecil sudah terbiasa bersama. Ketika mereka sedang asik bermain bola, dengan mengeluarkan tenaga yang luar biasa, Jilatang menendang bola dengan sangat kuat hingga bola yang ditendang melambung sangat tinggi, hingga bola tak lagi tampak dari pandangan mereka. “ang cari bola de liek!!, kok dak basuo, awas ang!!” (“cari bolanya!!, kalau tidak ketemu, awas!!) ujar Masiak dengan sangat kesalnya. Dengan wajah polosnya, Jilatang berusaha untuk mencari bola yang ia hilangkan. Saat mencari bola itu, tiba-tiba Jilatang melihat sekumpulan orang dewasa yang sedang berbincang-bincang. Dengan rasa penasaran yang tinggi, iapun menguping pembicaraan orang-orang dewasa itu. Dari apa yang ia dengarkan, ia dapat menangkap sedikit dari pembicaraan mereka yang membahas tentang keberadaan dan mistis yang ada di Rimbo Balam.

Dengan membawa bola yang telah berhasil ia dapatkan, Jilatang pun berlari dengan sangat kencang menuju teman-temannya yang sudah lama menunggu. Saat sampai di dekat teman-temannya, ia pun terengah-engah tak

karuan dengan kata yang terputus-putus dalam berbicara.”ndeh miang, ndeh miang, ndeh miang” bentuk keluh Jilatang dengan terengah-engah.

Ia berusaha menjelaskan apa yang baru saja ia dengar dari sekumpulan orang dewasa tadi. Namun napasnya yang tidak beraturan membuat ia sulit untuk berbicara dengan lancar. Masiak dan piyau pun makin emosi melihat tingkah jilatang. “ang jan bagora jo, ang caritoan lah apo nan tajadi, pado den lakak ang jo kayu nyak beko” (“kamu jangan bercanda, ceritakan apa yang terjadi, dari pada nanti kamu saya pukul”) ucap Masiak dengan wajah yang sudah memerah.

“Saba lu miang, tonangan ongok den lu baru bisa den mangecek,ko ang dosak jo den” (bersabarlah dulu, saya tenangkan napas setelah itu baru bisa saya bicara, jangan didesak) jawab jilatang.

Sambil menenangkan napas, Piyau pun menyuruh Jilatang untuk duduk dan memberinya segelas air putih untuk diminum. Air tersebut adalah air yang baru saja di bawa oleh Iyuih dari rumahnya yang tak jauh dari tempat mereka berkumpul.

Setelah merasa tenang, Jilatang pun mulai membuka pembicaraan dengan menceritakan apa yang baru ia dengar dari perbincangan orang-orang dewasa tadi.

“oii... lai tau kalian? Sangkek den mancari bola tadi, den dak sangajo mandangaan kecek urangurang gadang nan sadang bakumpua di tampek tu. Nan den tatangkok dari kecek tu dek den, kalau di tompek awak ko ado rimbo nan angker jo mistis, namonyo rimbo balam. Den penasaran jo tompek tu.” (oii... kalian tau tidak?? Ketika saya mencari bola tadi, saya tak sengaja mendengar percakapan orang-orang dewasa yang sedang berkumpul di tempat itu. Yang dapat saya tangkap dari percakapan mereka adalah bahwa di tempat kita ini ada hutan yang angker dan mistis, saya penasaran dengan tempat itu.”)

“Iyo ge miang? ang ota kami awas ang, ko lai ado kayu palokak ang ha” (“benarkah? Jika kamu berbohong, ini ada kayu yang bakal mukulin kamu”) ujar Masiak.

“Den pernah lo mandongo carito tu mah, carito tu lah tamasuak carito lamo, gaek den nan mangecek an ka den. Tapi bakpo ka batanyo ka gaek den, gaek den lah maningga satahun nan lalu.” (“saya juga pernah mendengar cerita itu, cerita itu termasuk ke dalam cerita lama, kakekku yang menceritakan. Tapi bagaimana cara bertanya kepada kakekku, dia sudah meninggal dua tahun lalu”) sambut Iyuih dengan wajah serius.

Dengan memasang wajah bingung bercampur dengan penasaran yang tinggi, keempat sekawan ini mencari berbagai informasi yang menyangkut dengan keberadaan Rimbo Balam yang angker dan mistik itu. Hingga pada akhirnya, informasi itu berhasil ia dapatkan dari orang tua-tua yang ada di dekat rumah mereka.

“Gek, lai tau gek jo Rimbo Balam gek?” (“kek, apa kakek tau dengan Rimbo Balam?”) tanya iyuih kepada seorang kakek yang berada di dekat rumahnya.

“Bakpo kok itu nan kalian tanyo? Lah jaleh tompek tu de tompek babahayo, banyak jin di sinan de. Kok nak poi ka sinan kalian, ancak jaan lai, dak babaliak kalian beko.” (“kenapa itu yang kalian tanyakan? Jelas tempat itu berbahaya, banyak jin disana. Jika ingin berniat pergi kesana, lebih baik jangan, nanti kalian ga akan bisa pulang”) Jawab kakek.

Dengan rasa penasaran yang makin menggebu, Jilatang bersikeras kepada kakek untuk menjelaskan mengapa ia tidak dibolehkan untuk pergi ke sana? apa yang membahayakan? ada apa di sana? Bagaimana bentuknya? Apakah tidak ada kesenangan di sana? Sehingga kakek melarang empat sekawan itu untuk masuk ke Rimbo Balam.

Dengan melihat wajah-wajah empat sekawan ini makin penasaran, akhirnya kakek mau membuka cerita mengenai Rimbo Balam. Lama kakek bercerita, hingga kakek memberi pesan “kok jadi jo kalian poi ka Rimbo Balam tu, banyak nan ka basobok dek kalian beko mah. Hal aneh-aneh tu ka nampak di mato kalian, walau itu sakijok mato nan tampak tu. Kok ado kalian basuo jo nan mode tu, jan takabua , jan sombong, ciek lai jan sampai baduto kalian disinan. Elok-elok jo laku jo parangai, lai jaleh dek kalian!!! Itu pasan gek ka kalian nyo.” (“seandainya kalian jadi pergi ke Rimbo Balam, banyak yang akan kalian temui disana. Hal anehaneh itu akan tampak di pandangan kalian, walau itu sekejap mata. Jika kalian bertemu dengan hal seperti itu, jangan takabur, jangan sombong, satu lagi jangan sampai berbohong di sana. Baik-baiklah tingkah di sana, mengerti!!! Hanya itu pesan kakek untuk kalian”)

Dengan mulut terbungkam saat mendengar cerita dan pesan kakek, keempat sekawan itu hanya bisa mengangguk-anggukan kepala.

Dua hari setelah mendengar penjelasan dari kakek, keempat sekawan itu kembali berkumpul dan merancang keberangkatan mereka untuk masuk ke Rimbo Balam yang penuh mistis itu. Dengan penuh semangat yang terbawa oleh rasa penasaran yang tinggi, mereka langsung berniat untuk pergi esok pagi sebelum pukul tujuh.

Saat matahari mulai menampakkan sinar merah yang masih diselingi oleh kabut, mereka pun berkumpul di samping rumah Iyuih, dengan membawa berbagai perlengkapan. Mulai dari tenda, makanan, minuman, senjata tajam berupa parang dan pisau untuk waspada adanya hewan buas, serta perlengkapan lainnya. Sebelum berangkat, Piyau kembali mengingatkan pesan dari kakek kepada teman-temannya “kawan-kawan, beko pas wak dalam pajalan masuak ka Rimbo

Balam tu, jan sampai ado nan takabua, sombong, jo baduto, apopun keadaannyo beko, den nio awak barampek ko baliak jo badan nan salamaik, tu bisa mambaok pengalaman nan luar biasa ko.” (“teman-teman, ketika dalam perjalanan masuk ke Rimbo Balam nanti, jangan sampai ada yang takabur, sombong, dan berbohong, apapun itu keadaannya.”)

Mereka pun mulai melangkah kan kaki menuju jalan masuk ke Rimbo Balam. Dalam lamanya perjalanan, kaki mereka terhenti untuk beristirahat di bawah sebuah pepohonan. Mereka menyantap perbekalan yang di bawa dalam ranselnya. Saat beristirahat, Piyau tidak tahan untuk buang air kecil, dan pergi memisah agak sedikit jauh dari tempat peristirahatan mereka. Lama menunggu, Masiak pun tak tahan menunggu Piyau untuk kembali. “poi wak lai lah, lamo bono piyau ko, lah balangau lo wak manunggunyo disiko, ntah apo nan nyo kaluaan.” (“ayo lah, dia lama sekali, sudah lama kita menunggu, ntah apa yang dikeluarkannya.”)

“eh, jaan miang...kawan awak juo ko mah, jak ketek wak basamo tu ka batinggannyo disiko. Lah jaleh ko dak tompek awak, dak tau nyo jalan babaliak beko. Caliak an lah setia kawan wak ko dalam keadaan mode ko!!!” (“eh, jangan... dia teman kita juga, dari kecil kita sudah terbiasa bersama, tidak mungkin untuk ditinggalkan. Sudah jelas ini bukan tempat kita, takutnya dia tidak tau jalan pulang. Perlihatkanlah kesetiakawanan kita dalam keadaan seperti ini.”) sambar Iyuih dengan wajah yang agak kesal mendengar lontaran Masiak.

Dengan lama menunggu, akhirnya Masiak dan Jilatang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Iyuih hanya diam dan tak mau bergerak sedikitpun dari tempat ia duduk. Karena Iyuih tidak mau meninggalkan Piyau sendiri di dalam perjalanan yang hampir memasuki Rimbo Balam. Akhirnya mereka terpisah menjadi dua kelompok.

Tak lama kemudian, Piyau pun datang ke hadapan Iyuih dengan wajah yang kegirangan. Tak tau apa yang telah dialami oleh Piyau selama ia pergi.

“bakpo dek sonang no hati ang? dek apo ang?apo nan nampak dek ang?” (“kenapa hatimu terlihat senang sekali? Ada apa denganmu? Apa yang kamu saksikan?”) tanya Iyuih yang heran melihat kegirangan piyau.

“lai tau ang apo nan den rasoan tadi? Tadi den basobok jo apak-apak bajangguik putiah, awalnyo den takuik mancaliak apak tu, kironyo apak tu elok ka den. Den diagiehnyo buah cimangko duo buah. Disuruahnyo den maagiah kalian, tu den iyoan. Dak lamo sudah tu den disuruah dek apak tu baliak ka tampek kalian.” (kamu tau tidak apa yang tadi saya rasakan? Tadi saya bertemu dengan bapak-bapak berjenggot putih, awalnya saya takut melihat bapak itu, ternyata bapak itu sangat baik kepada saya. Dia memberi saya dua buah semangka. Dia menyuruh saya untuk membagikannya kepada kalian. Tidak lama setelah itu dia menyuruh saya kembali ketempat kalian.) penjelasan Piyau terhadap pertanyaan Iyuih.

Sejenak Iyuih terdiam, dan kemudian menjelaskan bahwa Masiak dan Jilatang telah melanjutkan perjalanan terlebih dahulu. Mendengar penjelasan Iyuih, Piyau pun ikut merasakan sedih karna kebersamaan mereka terputus akibat lamanya ia pergi dan membuat temannya lama menunggu.

Masiak dan Jilatang mulai berpikir dalam perjalanannya. Yang ada dalam pikiran mereka saat itu hanyalah mengapa mereka meninggalkan Piyau dan Iyuih di belakang. Ada sedikit penyesalan dalam diri mereka, pertemanan yang sejak kecil mereka bina kandas hanya karana permasalahan menunggu. Akhirnya Masiak dan Jilatang memutuskan untuk berbalik dan mengahampiri Iyuih dan piyau ke belakang. Namun, apa yang mereka harapkan hanyalah sia-sia. Mereka tidak dapat lagi bertemu dengan iyuih dan Piyau disebabkan perkataan sombong yang terlontar dari mulut Masiak. Bukan hanya itu, Masiak dan Jilatang pun tak tau lagi arah jalan pulang walaupun mereka belum sampai ke tempat yang mereka tujukan.

Dengan wajah yang sedih penuh penyesalan, Iyuih dan Piyau tidak lagi melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah mereka kembali. Saat sampai di rumah, Iyuih dan Piyau selalu teringat akan keberadaan Masiak dan Jilatang yang belum juga pulang. Hingga berbulan-bulan lamanya, dua orang temannya itu tak kunjung menampakkan diri di hadapan mereka. Hari-hari Iyuih dan Piyau tidaklah seasik dulu, saat mereka bisa berkumbul, bermain bola, bercanda ria dengan empat sekawan dari kecil itu. Dalam pikiran Iyuih dan Piyau saat itu adalah, kedua temannya berhasil ditelan Rimbo Balam akibat kesombongan.

Oleh: Siti Aminah

Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Batusangkar

This article is from: