13 minute read

CALON ARANG, WEWE GOMBEL, SUNDAL BOLONG DAN KUYANG

Belum pernah gambar saya itu mengalir keluar dari diri saya. Gambar saya butuh konsentrasi, pengambilan keputusan, dan, seringkali pagi-pagi, seni mengatasi ketakutan.”6

“Saya merancang sebuah objek menggunakan Photoshop, sebagai semacam motif dasar gagasan. Kemudian, saya membangun objek itu dengan senarai tekstur. [...] Bertahuntahun ini, saya telah menghimpun kosakata tentang apa dan bagaimana caranya agar saya bisa mengekspresikan gagasan-gagasan. Awalnya, saya pikir saya hanya bisa menangkap kulit (pada potret), tetapi kemudian saya mencoba kain, lalu saya menemukan cara menggarap pakaian dan batik. Segera setelah itu, saya menemukan cara untuk menggarap kabinet, rak, dan gubuk. Lama-lama saya memiliki banyak sekali stok ‘cara’ untuk mencapai apa yang ingin saya gambarkan [...]”7

Advertisement

Kisah Calon Arang yang terus dilanggengkan adalah ketika ia telah menjadi perempuan tua dan janda (maka tak lagi dianggap menarik atau “berguna” untuk reproduksi) yang ditakuti karena kekuasaannya (sehingga dituding sebagai penyihir atau penyebab kekacauan). Pada skala sejarah nasional, pemerintah Orde Baru bahkan mengarang sebuah tragedi yang secara langsung menghubungkan citra Calon Arang dan Gerakan Wanita Indonesia—belum ada yang benar-benar meluruskannya hingga sekarang! Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

Bagaimana kisah hidup, pilihan sikap, dan posisi politik perempuan digunakan—baik atau buruk—oleh pihak lain yang berkepentingan bisa kita baca dalam buklet berisi percakapan antara Nadiah dan kurator Alia

Swastika yang mendampingi The Reckoning (2021).8 Beberapa laku pembacaan mengenai Calon Arang, seperti Pramoedya Ananta Toer yang menguak kompleksitas posisi perempuan tersebut dalam Cerita Calon Arang (1951; The King, the Witch and the Priest, 2002), dan Calon Arang: Kisah Perempuan

Korban Patriarki (2000) oleh Toeti Heraty, telah membuka kesempatan agar posisi, reputasi, dan sejarahnya dikaji ulang. Sementara bagi Nadiah, tuanya usia Calon Arang, beriringan dengan pengalamannya sendiri menuju fase mati haid, adalah peluang untuk mengklaim kebijaksanaan, setidaknya, atas tempaan beragam pengalaman hidup.

Berbeda nasib dengan Calon Arang, Wewe Gombel, Sundal Bolong dan Kuyang mati dalam usia muda. Ketiganya adalah “nama panggung” para perempuan yang lebih kita kenal sebagai setan, hantu, monster, atau momok dalam kehidupan sehari-hari. Seperti Mbak Wani, mereka adalah tokoh-tokoh simbolik. Bukan hanya di nusantara, tetapi di seluruh kawasan yang sekarang disebut Asia Tenggara. Bedanya, Mbak Wani adalah simbol perempuan ideal, sementara ketiga perempuan yang “disetankan” ini sebaliknya. Wewe Gombel bunuh diri karena tudingan tak bisa memberi keturunan. Sundal Bolong mati saat ia mengaborsi anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan. Kuyang dituduh serakah karena ingin berkuasa dan hidup selama-lamanya. Mereka dijadikan perwakilan atas keburukan sejak entah kapan dan terus-menerus dilanggengkan bermacam kekuasaan sampai sekarang tanpa pernah ada pembahasan mengenai konteks tindakan-tindakan mereka. Misalnya: Lingkungan sosial macam apa yang menyudutkan seorang perempuan yang tidak bisa berketurunan hingga ia mengakhiri nyawanya?

Apa yang terjadi pada si pemerkosa Sundal Bolong? Dihukumkah? Jadi setan jugakah ia? Kenapa Kuyang dianggap butuh berkuasa? Mengapa sosok monster laki-laki yang "ingin berkuasa" tidak ada dalam legenda masyarakat kita? Dst.

Wewe Gombel, Sundal Bolong, dan Kuyang, yang biasanya hadir dalam penampilan luar biasa menyeramkan, digambarkan Nadiah dalam pose—dan raut wajah—yang teduh, tenang, dan bijaksana. Jika kita tetap menganggap mereka menakutkan, mungkin kita perlu bertanya apa penyebabnya: Mengapa begitu sulit bagi kita melepaskan diri dari anggapan bahwa mereka menakutkan? Nadiah menggarisbawahi perubahan penampilan—dari momok menjadi sosok—mereka dengan menggunakan tubuh dan wajahnya sendiri pada penggambaran ketiga tokoh ini. Kial atau gestur penggunaan dirinya—tubuh dan wajah—ini luas spektrumnya.

Paling tidak kita bisa membacanya sebagai dua hal berikut: Pertama, ini salah satu cara untuk mengklaim sebuah kenyataan sosial—tuntutan pada kaum perempuan—yang masih “itu-itu saja”: menjadi alat reproduksi, pendamping, sekaligus pelayan. Kedua, kita bisa melihatnya sebagai bentuk kesetiakawanan sesama perempuan, sesama manusia.

Pada pameran Mengamankan Ekspektasi, Jakarta (2021), Wewe

Gombel, Sundal Bolong, dan Kuyang yang tak lagi menakutkan ini sedang berusaha “mengamankan” Mbak Wani dari posisinya sebagai simbol hiper-feminin.9 Mereka hadir dalam bentuk gambar-nan-patung, sementara

Mbak Wani hadir dalam bentuk citraan digital, yang dicetak di atas bidang aluminium, dalam lingkungan yang hitam kelam, seolah antah-berantah.

Mbak Wani ini bukan sosok yang sama dengan yang bisa kita lihat di bundaran Tugu Tani. Tubuh, pose, rambut, dan piring yang dibawanya sama, namun sosok Mbak Wani ini adalah hasil gambaran-ulang Nadiah menggunakan peranti lunak 3d. Dengan bekal gambar 3d ini, Nadiah jadi bisa membebaskan citra Mbak Wani—mulai dari sudut pandang, kial, pose, bahkan raut wajah. Mbak Wani yang sedang “diamankan” oleh ketiga perempuan ini adalah Mbak Wani yang telah diklaim-ulang oleh Nadiah sebagai simbol dari gerakan perempuan dalam Merapal Mantra untuk Gerakan.

SKALA, MATRA, DAN LINGKUNGAN

“Saat merancang karya, ada sesuatu yang hilang bila saya belum tahu dimana karya ini akan dipajang atau dimana ia akan hidup. Rasanya seperti bekerja dalam gelap. Skala, matra, lingkungan, dan, ya, termasuk pemirsanya, punya masukan pada bentuk yang saya garap. [...] Segala bagian dari lingkungan ruang dimana karya itu akan dipajang punya masukan terhadap karya, dan tidak sebaliknya, dimana saya dengan narsisnya membangun ruang khusus bagi karya tsb. tanpa mempedulikan lingkungannya.”10

Merapal Mantra untuk Gerakan lahir dalam percakapan-percakapan yang dihantui slogan: “Membangun sejarah bersama”. Waktu itu, saya—dan

Rachel K. Surijata yang juga mengelola pameran Dewi—anggota tim kuratorial Jakarta Biennale 2021 esok ( jb2021 esok). Salah satu lokasi pameran jb2021 esok, Museum Kebangkitan Nasional (stovia), menolak pemasangan karya ini di ruang kelas dimana mereka “membekukan” sejarah dengan diorama ukuran-asli para tokoh Boedi Oetomo. Patungpatung resin yang dimanipulasi warnanya untuk menyerupai perunggu itu semuanya laki-laki. Tentu saja gerakan perempuan bukan tidak ada pada masa mereka duduk di ruang kelas itu, pada 1908. Sekolah itu bahkan punya sejumlah murid perempuan. “Membawa” Mbak Wani ke dalam ruangan ini, dan memajangnya “dalam dialog” dengan para tokoh dalam kelas ini, adalah pengingat-ramah (friendly reminder) akan posisi perempuan dalam penulisan sejarah secara umum.11

Penolakan itu tentu tidak menghalangi kami untuk memamerkan Merapal Mantra untuk Gerakan. Di lobi Museum Nasional Indonesia, sekitar dua kilometer dari Tugu Tani, Mbak Wani berdiri dengan anggun, dikelilingi karya-karya yang menggugat hubungan antarmanusia dalam konteks nasionalisme (masing-masing negaranya) sehubungan dengan posisi internasional yang diambil masing-masing negara tsb. Pengantar saya mengenai tokoh Mbak Wani di awal naskah ini hanyalah salah satu cara untuk memaknai kelahiran kembali Mbak Wani, dengan Nadiah sebagai bidannya. Tentu ada bermacam cara dan sudut pandang lain untuk membahas karya ini. Berikut cuplikan pengantar untuk kehadiran Mbak

Wani dalam jb2021 esok yang juga memperkenalkan isyarat gugatan-gugatan lain terhadap elemen otoritarian negara:

Apakah kamu kenal perempuan ini? Barangkali, sepuluh menit lalu, kamu baru saja berpapasan dengan kembarannya.

Nadiah membawa sosok ini ke sini, ke museum ini, dalam kesempatan ini, untuk mengingatkan kita dengan tegas bahwa perempuan-perempuan sepertinya sesungguhnya selalu bergerak, dan pergerakan mereka bergaung dalam hidup kita hari ini. Pernah terpikirkah siapa sosok perempuan itu sesungguhnya? Atau, siapa yang sedang ia wakili?

Di bundaran yang kita kenal sebagai Tugu Tani itulah monumen pesanan Sukarno pada duo pematung Rusia itu bertempat. Menariknya, monumen-monumen yang diteliti, ‘dikecilkan’, dan dipertanyakan Onejoon dari banyak negara di Afrika adalah buatan studio patung dari Korea Utara sejak 1970-an. Hingga taraf tertentu, kita bisa bilang bahwa semua monumen nasional ini tampak sama, dan kira-kira auranya juga sama.

Adaptasi ulang lagu kebangsaan Republik Rakyat Tionghoa yang dilakukan Song Ta juga terasa akrab. Peristiwa restorasi liriknya sangat tenar dan versi aslinya diterima sebagai lirik resmi pada 1982 setelah adanya pergeseran nilai-nilai selama puluhan tahun sebelumnya yang penuh pergolakan. Ini barangkali punya arti bagi banyak dari kalian, mengingat awal tahun ini terjadi perdebatan panjang mengenai lagu kebangsaan Indonesia, yang ternyata tak pernah dinyanyikan dalam versi utuh di sekolah-sekolah dan kesempatan-kesempatan kenegaraan.12

Dalam percakapan seputar kesetiakawanan, internasionalisme, dan bagaimana periode tertentu mengubah alur pemikiran seputar kata-kata kunci tersebut, Merapal Mantra untuk Gerakan menjadi tengara dalam alam pikir saya dan Rachel dalam konteks penelitian dan pameran Rewinding

Internationalism di Van Abbemuseum, Eindhoven, dan Villa Arson, Nice (2022–2023).13 Pada presentasi hasil penelitian tsb., kami “mengajak” Mbak

Wani untuk berdialog lintas-masa, lintas-geografi, dengan Sikan, satu-satunya karakter perempuan dalam budaya Abakua yang digarap oleh Belkis Ayón

Manso (l. Havana, 1967; m. Havana, 1999); dengan pilunya perubahan ekologi yang disebabkan oleh keserakahan manusia, kapitalisme, dan politik pada karya-karya Semsar Siahaan (l. Medan, 1952; m. Tabanan, 2005); serta avantgardisme para anggota kelompok Gorgona dari Kroasia, persis setelah

Yugoslavia bubar. Ketiga hal ini hadir dalam sebuah ruangan yang mengulik perihal kesetiakawanan antarbangsa dari latar belakang negara-negara NonBlok. Pada jarak 14.000 kilometer dari “kembarannya” di Tugu Tani, Mbak

Wani menjadi tengara dalam konstelasi ini. Ia berdiri hampir di tengah ruangan sementara karya, kisah, dan arsip lain seputar pencarian ini mengitarinya. Saya telah belajar banyak dari obrolan mengenai dan seputar Mbak

Wani—sebagai tokoh, sejarahnya, wujudnya, perubahannya, dst.—sampai dengan kenyataan bahwa ia adalah karya yang berukuran relatif besar, yang tidak mudah dibawa atau dipindah. Mbak Wani tingginya hampir 2.5 meter!

Selain pada jb2021 esok, Merapal Mantra untuk Gerakan pernah tampil sebagai presentasi khusus di Art Jakarta 2022. Pada kesempatan yang sama, di Art Jakarta 2022 yang hanya berlangsung sekian hari itu, Nadiah me- mamerkan Wewe Gombel, Sundal Bolong, dan Kuyang yang sedang berusaha

“mengamankan” Mbak Wani. Baru-baru ini, tepat pada hari pembukaan pameran Dewi, di Yogyakarta, pameran Rewinding Internationalism di Villa Arson, Nice, Perancis, juga dibuka. Di sana, Mbak Wani kembali menjadi tengara di dalam salah satu ruang pamer. Mbak Wani telah melanglang buana. Batalnya penampilan Mbak Wani di ruang dimana kami mengawali percakapan mengenainya tidak membatasi ruang gerak, baik secara fisik, bentuk, maupun interpretasi atas karya ini.

DEWI —SEBUAH RUKIAH

Sejatinya, Nadiah adalah seorang pematung. Gambar-gambarnya yang kita kenal selama ini pun dikerjakannya dengan metode mematung yang ia bangun sendiri ritualnya. Persis karena praktik gambarnya adalah tradisi buatannya sendiri, saya rasa kita perlu menamainya: gambar-nan-patung. Kali ini, untuk Dewi, Nadiah menggambar dalam artian yang paling sederhana: Ia memperlakukan arangnya sebagai alat untuk menggaris dan “mewarnai”. Dalam Dewi , gambar-gambar Nadiah punya “warna” lain selain hitam dari alat gambarnya, arang. Melalui serial gambar Light in Landscape Study dan Sculpture in Landscape Study, Nadiah memperkenalkan

“warna” dengan sikap seorang pematung: Memunculkan bahan lain, gold leaf dan copper leaf yang secara alami berbeda dengan arang—demikian serta-merta ia menjadi “warna” dalam gambar-gambarnya.

Dalam Dewi, tidak ada sesosok pun figur. Objek-objek yang digarap

Nadiah juga tak semuanya punya muasal bentuk. Ada wujud-wujud yang bisa segera kita kenali seperti kepang, keris, tulang panggul, dan biji; ada wujud-wujud yang belum tentu segera bisa kita kenali seperti kepompong atau wadah jimat; dan ada pula wujud-wujud nirada (abstract) yang, jika saya tuliskan, maka dia bergantung pada bagasi pengetahuan saya akan benda-benda.

Jika tak bermuasal, perlukah kita mengidentifikasinya sebagai sesuatu? Bisa jadi. Untuk sekarang, saya rasa cukup untuk mengenali wujud-wujud nirada ini sebagai sebuah kemungkinan, sebagai sebuah keterbukaan—ia bisa jadi apa saja yang kita butuhkan dalam bentangalam Dewi.

Horizon yang tak pernah absen dalam serial gambar Light in Landscape Study dan Sculpture in Landscape Study adalah upaya Nadiah untuk membangun bentangalam baru dalam proses berkaryanya, sebuah khasanah baru dalam praktik artistiknya. Sebagian bahan yang dijelajahi Nadiah dalam Dewi baru baginya. Belum pernah ia bekerja dengan lampu, umban baja antikarat (stainless steel sling), kulit kerbau, atau kulit kambing. Untuk apa semua kebaruan ini? Untuk membangun alam baru, dunia baru! Bagi siapa? Baginya, bagi kawan-kawannya, bagi tetangganya, bagi lingkungan hidupnya, dan bagi yang kemudian membutuhkannya. Dewi adalah sebuah komunitas, kata Nadiah, dalam obrolan kami setelah pemajangan karya selesai. Dewi adalah sebuah kemungkinan, sahut saya. Dewi itu tentang energi, sambung Nadiah. Dewi itu sebuah gagasan, lanjut saya. Obrolan ini tak berujung, tak perlu berujung—setidaknya untuk sekarang.

Mari kita berkenalan dengan Dewi! Semoga Anda sekalian menikmati kejutan-kejutannya! Terima kasih untuk kerja keras, kerja sama, dan pertemanannya, Nadiah! Selamat menikmati pameran ini!

Yogyakarta, 17 Juni 2023

Grace Samboh

Grace Samboh Tak bisa duduk diam, Grace terus mencari kemungkinan bentuk kerja kuratorial di dalam ruang hidupnya. Klaim bahwa Indonesia kekurangan infrastruktur negara dianggapnya ketinggalan zaman. Ia bersijingkat peran dalam beragam elemen dan lembaga seni di sekitarnya sebagai peneliti, penulis, produser, dan kurator seni rupa. Ia tergabung dalam Hyphen —, rubanah Underground Hub, dan sedang menempuh pendidikan doktoral di jurusan Kajian Seni dan Masyarakat, Universitas Sanata Dharma.

Kerja kuratorialnya yang terkini adalah Jakarta Biennale 2021: esok; serta Collecting Entanglements and Embodied Histories, proyek bersama Galeri Nasional Indonesia, maiiam Contemporary Art Museum, Singapore Art Museum, Nationalgalerie – Staatliche Museen zu Berlin, dan Goethe-Institut (2017–2022). Sementara beberapa tulisannya bisa dibaca antara lain di jurnal parse (Gothenburg University); Southeast of Now (nus Press); dan jurnalkarbon. net (ruangrupa); atau dalam buku Curating After the Global (mit Press, 2019); Making Another World Possible (Routledge, 2019); Tom Nicholson: Lines towards Another (Sternberg Press, 2018).

1. “Patung Pahlawan”, dalam Monumen dan Patung di Jakarta, 1993. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Daerah dki Jakarta, hal. 76-77.

2. Wani dalam bahasa Jawa berarti ‘berani’; wani juga bisa kita anggap sebagai kependekan dari wanita (dalam bahasa Indonesia berarti ‘perempuan, kekasih, istri’; nuansa ‘dimiliki oleh yang lain’ ini bersumber pada kata vanita dalam bahasa asalnya, Sansekerta).

3. “A Conversation between Nadiah Bamadhaj and Lee Weng Choy”, from the catalog Anthropocene Series: A triptych by Nadiah Bamadhaj, exhibited in Singapore as part of s.e.a. focus curated: hyper-horizon, 20–31 January 2021. Kuala Lumpur: A+ Works of Art, 2021, hal. 13–14. (Penebalan untuk penegasan oleh penulis.)

4. Pahat dan ukir, misalnya, adalah teknik dasar patung yang sifatnya pengurangan.

5. “The story of my silence is deafening—in scale and form”, from the catalog The Submissive Feminist, exhibited at Kiniko Art Yogyakarta, 5–26 June 2021. Kuala Lumpur: A+ Works of Art, 2021, hal. 32.

6. “A Conversation between Nadiah Bamadhaj and Lee Weng Choy”, from the catalog Anthropocene Series: A triptych by Nadiah Bamadhaj, exhibited in Singapore as part of s.e.a. focus curated: hyper-horizon, 20–31 January 2021. Kuala Lumpur: A+ Works of Art, 2021, hal 13–14. (Garis bawah untuk penegasan oleh penulis.)

7. The Submissive Feminist, 2021, hal. 32.

8. “Essay by Alia Swastika”, dalam katalog Mengamankan Ekspektasi, pameran tunggal Nadiah Bamadhaj di Art Jakarta, 26–28 Agustus 2021. Kuala Lumpur: A+ Works of Art, 2021, hal. 2–6.

9. “Artist’s statement” dalam katalog Mengamankan Ekspektasi, 2021, hal. 8–9.

10. The Submissive Feminist, 2021, hal. 31.

11. Catatan panjang saya seputar penyelenggaraan jb2021 esok bisa dibaca dalam katalog pascaacara. Lihat: Grace Samboh, “Bekal untuk besok-besok: Waktu, kegagalan, kehendak, kesuksesan, keterbukaan, dll.” dalam, Farah Wardani (ed.), Beyond Esok: Notes & Postscript from the Jakarta Biennale 2021. Jakarta: Komite Seni Rupa, Dewan Kesenian Jakarta, 2022, hal. 30–45.

12. Pengantar di ruang pamer oleh tim kuratorial Jakarta Biennale 2021: esok (Akmalia Rizqita “Chita”, Grace Samboh, Rachel K. Surijata, Sally Texania, dan Qinyi Lim). Kedua karya lain yang disebutkan di sini: seri International Friendship (2013-sekarang) oleh Che

Onejoon yang menginvestigasi pembuatan monumen gigantik berbahan perunggu di berbagai negara Afrika yang dikerjakan oleh studio artisan Korea Utara; dan karya Song Ta, March of the Volunteers Songta Remix (2019), yang mengolah-ulang lagu kebangsaan Republik Rakyat Cina dengan semangat kekinian.

13. Lihat: Bojana Piškur, Grace Samboh, & Rachel K. Surijata dalam percakapan dengan Nick Aikens, 2023. “Aligning Research and The Non-Aligned” dalam Nick Aikens (ed.), Rewinding Internationalism. Scenes for the 1990s Today. Eindhoven: Van Abbemuseum, hal. 41–56.

The Whip 2023

Buffalo hide, stainless steel sling, light ø 53 cm, h 300 cm

Jimat 2023

Buffalo hide, patina cast brass, light ø 44 cm, h 255 cm

Lanang Pijar

2023

Goat hide, resin, patina cast brass, light ø 75 cm, h 250 cm

Solar Plexus

2023

Goat hide, resin, patina cast brass, light ø 78 cm, h 60 cm

So our tale began with a female figure, who was rather tall, wearing a kebaya and a shawl, with her hair in a bun. She was standing in a seemingly ordinary pose; her hands were mid-air as she was handing a plate to male figure standing beside her. The man was bare-chested, wearing only short pants and a straw hat. He was carrying a gun holster at his waist, with a rifle on his shoulder. Even without any visual presence of farming tools, this image led us to perceive them as a couple farmers in their everyday clothes during the war. However, they weren’t just ordinary farmers: they were monumental figures, standing on a busy roundabout at the centre of Jakarta, even though no one knew—or had any idea—who they actually were. And yet, people called the roundabout by their nickname: Tugu Tani, or the Farmer’s Monument.

Nadiah and I call the woman “mbak”—just as how the Javanese would address women who are respected, revered, or just older in age. Since the end of 2019, we’ve often talked about this woman who had such a heavy task. Imagine: she was elected to represent female peasants, and she also had to appear flawless—wouldn’t a nicely done hair bun take forever to finish? Meanwhile, they chose to immortalise her in a certain way: when she fed the man who stood next to her. Even though the peasantry knew very well that female farmers also went to the fields with sickles—which these women could also use as weapons. In the early 1960s, Sukarno came with the idea of the Tugu Pahlawan, or the Heroes Monument—which was the official name for the roundabout and the statues. Later, Soekarno ordered the statues from Russian sculptors, who were also siblings, and inaugurated the statues in 1963.1

Our conversation took a turn to the various women’s movements during “the era of serving the independence”—as Sukarno called it. As in other places around the world, the spirit of independence, freedom, autonomy, and equality blew simultaneously in Indonesia. After the proclamation of independence, the women’s movements emerged everywhere, and many of them specialised in creating more equal access to knowledge through various literacy programs. When we discussed the surges of the women’s movements, names were coming and going; we decided to address all of them as “mbak”—since our discussion took place in Java and, of course, we respected these women, and we didn’t want to necessarily “force” them to become “ibu”, or “mother”. In our conversation, we also were aware of our need to identify the feminine figure at Tugu Tani as more than a nameless “mbak”. Thus, we call her Mbak Wani.2

Mbak Wani was the main character in Nadiah’s installation Casting Spells for the Movement (2021), which displayed a statue of the same size as the female figure at Tugu Tani, along with three flat-screen televisions—which displayed women in accelerated motion. I will describe the video installation from the first screen, which was the one on the right to the one on the left. The first screen started from the one that was far right. There, a handful of women with daily attire were standing in the same pose as Mbak Wani— raising their hands as if they were handing someone a plate. Slowly, they lowered their hands and walked to the left side of the screen. After these women disappeared from the first screen, they emerged on the second screen. They moved towards the left side, the third screen, but their steps were accelerated. As soon as the last woman disappeared from the left side of the centre screen, immediately they all appeared on the last screen. They ran across the last screen, as if they were exiting the screen. And, everytime they left a screen, their steps became faster. In Casting Spells for the Movement, Nadiah reclaimed Mbak Wani as the symbol of the women’s movements across time.

We probably need a separate essay to discuss the video in relation to its depiction of human bodies, how these bodies were directed, and how the technique in which these moving images were displayed in the exhibition space came from the spatial thinking of a sculptor. Take Nadiah’s works, Terpesona dengan kegelisahan (Charmed by anxiety, 2022) and Ketidaknyamanan (Insecurity, 2023), as an example. Human bodies, shown as they were, were directed to do things that were natural for them (dancing or doing gymnastics for the soldiers, and laku ndhodhok , or squat walking, for the courtiers of the Kraton Yogyakarta). It went the same for these women who wore daily attire in Casting Spells for the Movement ; they simply posed like Mbak Wani, and they walked, and, in the end, they ran. The familiar body movements reminded us of one of the characteristics of the sculptural discipline in which the material quality was the ground for the picking of the material, and also the method and the purpose of the work.

This article is from: