Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi) Cipta Gintung

Page 1


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa足 mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar足kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


ILMU PENYAKIT TUMBUHAN Konsep dan Aplikasi

Cipta Ginting

PENERBIT LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2013


Penerbit LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS LAMPUNG Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro, No. 1 Bandar Lampung, 35143 Telp. (0721) 705173, 701609 ext. 138 Fax. 773798 e-mail: lemlit@unila.ac.id Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Cipta Ginting Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep dan Aplikasi) Cetakan, 2013 ix + 203 hlm. 15,7 x 24 cm ISBN: 978-979-8510-53-3 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Isi di luar tanggung jawab percetakan


Tulisan ini dimaksudkan menjadi buku ajar (textbook) bagi mahasiswa dalam perkuliahan Ilmu Penyakit Tumbuhan (fitopatologi). Di dalam buku ini dijelaskan pengertian dan penyebab penyakit, perkembangan penyakit pada suatu dan populasi tanaman, pertahanan tumbuhan terhadap patogen, faktor lingkungan yang berpengaruh, dan pengendalian penyakit pada tanaman. Pada bagian akhir diuraikan diagnosis dan penilaian penyakit tanaman serta patologi benih. Pada bagian awal, dijelaskan agroekosistem sebagai pengantar ke substansi utama tersebut. Buku ajar ini merupakan revisi dan pengembangan diktat Ilmu Penyakit Tumbuhan yang penulis susun pada 2006 yang telah digunakan pada mata kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman (DDPT) bagian penyakit sampai 2007 dan Ilmu Penyakit Tumbuhan Umum sejak 2008. Khusus tentang topik diagnosis dan penilaian penyakit tanaman merupakan revisi dan pengembangan modul kuliah Teknik Pengamatan dan Pemantauan Hama dan Penyakit Tanaman bagian penyakit (2003), yang disusun oleh penulis. Penyusunan buku ini banyak didasarkan pada buku Plant Pathology (Agrios, 2005), Plant Pathology: Concept and Laboratory Exercises (2008) dan Principles of Plant Disease Management (Fry, 1982) di samping tulisan lain termasuk berbagai artikel ilmiah hasil penelitian tentang penyakit tumbuhan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan Universitas Lampung yang telah memberi dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan buku ini. Secara khusus disampaikan terima kasih kepada pimpinan Lembaga Penelitian yang telah menerbitkan buku ajar ini.

Cipta Ginting

v

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

PRAKATA


Disadari bahwa buku ini masih mengandung berbagai kelemahan yang mungkin termasuk kekeliruan. Oleh karena itu, penulis mengharap adanya kritik dan masukan dari para pembaca yang budiman untuk perbaikan pada edisi selanjutnya. Atas perhatian pembaca disampaikan terima kasih.

Bandar Lampung, Desember 2012

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

vi

Cipta Ginting


PRAKATA ................................................................................

v

I

AGROEKOSISTEM ......................................................................

1

1.1 1.2 1.3 1.4

Dari Masa Prapertanian ke Pertanian ................. Unsur-unsur dalam Agroekosistem .................... Perlunya Pengelolaan OPT ..................................... Perlatihan .....................................................................

1 2 4 7

PENYAKIT PADA TUMBUHAN ...............................................

9

2.1 2.2 2.3

Pengertian Penyakit Tumbuhan .......................... Klasifikasi Penyakit Tumbuhan ............................. Gejala dan Tanda ....................................................... Penilaian Kerusakan akibat Penyakit pada Tanaman ....................................................................... Sejarah Singkat Ilmu Penyakit Tumbuhan ....... Arah Perkembangan Fitopatologi ....................... Perlatihan .....................................................................

9 14 15

PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN .....................................

29

3.1 3.2 3.3 3.4 3.5

30 38 42 45 47

II

2.4 2.5 2.6 2.7 III

Jamur ............................................................................. Bakteri ............................................................................ Virus ................................................................................ Nematoda .................................................................... Perlatihan .....................................................................

Cipta Ginting

20 20 24 28

vii

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI IV

V

PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

49

4.1 4.2 4.3 4.4 4.5

49 51 52 58 65

PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN

67

5.1 5.2

Epidemi dan Epidemiologi .................................... Elemen Epidemi .........................................................

67 68

5.3

Faktor Tanaman yang Mempengaruhi Epidemi

70

5.4

Faktor Patogen yang Mempengaruhi Epidemi .. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Epidemi ......................................................................... Tipe Penyakit Tumbuhan ........................................ Perlatihan .....................................................................

71

5.5 5.6 5.7

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

VI

VII

VIII

IX

viii

Mekanisme Nutrisi Mikroorganisme .................. Patogenisitas dan Daur Penyakit ......................... Daur Penyakit akibat Jamur ................................... Daur Penyakit akibat Patogen lain ...................... Perlatihan .....................................................................

73 73 77

BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN ......

79

6.1 6.2 6.3

Kekuatan Mekanis ... ................................................ Senjata Kimia Patogen ............................................ Perlatihan .....................................................................

79 80 86

PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN ........

87

7.1 7.2 7.3

Pertahanan Struktural ............................................. Pertahanan Kimia ..................................................... Perlatihan .....................................................................

89 93 95

FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH ................

97

8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6

Kelembaban ................................................................ Suhu................................................................................ Angin ............................................................................. Radiasi ........................................................................... Tanah ............................................................................. Perlatihan .....................................................................

98 100 101 101 102 105

GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN ......................................

107

9.1 9.2 9.3

107 109 110

Gen, Tanaman dan Penyakit .................................. Variabilitas pada Tanaman ..................................... Tipe Ketahanan Tanaman ....................................... Cipta Ginting


DAFTAR ISI

X

XI

XII

XIII

XIV

Konsep Gen-untuk-Gen .......................................... Pemuliaan Tanaman untuk Ketahanan Penyakit Perlatihan .....................................................................

112 114 117

PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN .............................

119

10.1 10.2 10.3 10.4 10.5

Prinsip Pengendalian Penyakit Tanaman ......... Cara Pengendalian Penyakit Tanaman .............. Fungisida, Bakterisida, dan Nematisida ............ Pengendalikan Penyakit secara Terpadu .......... Perlatihan ....................................................................

119 127 133 145 151

DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN ......................................

153

11.1 11.2 11.3 11.4

Langkah Mendiagnosis Penyakit Tanaman ..... Tahapan Pelaksanaan Diagnosis .......................... Mengambil dan Memproses Spesimen ............ Perlatihan ....................................................................

155 156 161 162

PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN .........

165

10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6

Keterjadian Penyakit ............................................ Keparahan Penyakit .............................................. Diagram Penyakit ................................................... Menentukan Sampel Pengamatan .................. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan .......... Perlatihan .................................................................

167 167 169 171 172 174

PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN ....................................

175

13.1 13.2 13.3 14.4

177 179 180 183

Pengembangan Metode Peramalan ............... Implementasi Peramalan Penyakit Tanaman Peramalan Penyakit Cacar Teh ........................... Perlatihan .................................................................

PATOLOGI BENIH .......................................................................

185

11.1 11.2 11.3

187 188 189

Interaksi Patogen dan Benih .............................. Pengelolaan benih ................................................. Perlatihan .................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ GLOSARIUM ........................................................................... INDEKS ..................................................................................

Cipta Ginting

191 195 199

ix

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9.4 9.5 9.6


x

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


AGROEKOSISTEM Tujuan praktis Ilmu penyakit tumbuhan atau fitopatologi (phytopathology) ialah pengendalian penyakit pada tanaman pertanian atau produknya. Untuk itu, fitopatologi menghasilkan dan mengembangkan teknologi pengendalian penyakit pada tanaman. Penerapan teknologi pengendalian penyakit tanaman terutama dilakukan dalam suatu ekosistem pertanian, yang lazim disebut agroekosistem. Pengendalian penyakit tanaman terkait dengan berbagai unsur dalam agroekosistem. Oleh karena itu, sebelum menguraikan topik demi topik dalam bidang kajian fitopatologi, perlu kiranya disinggung agroekosistem secara sepintas. Hal ini penting sebagai pengantar agar mahasiswa mampu atau setidaknya berusaha untuk melihat pengendalian penyakit tanaman khususnya dan perlindungan tanaman secara umum dalam perspektif yang tepat, yaitu dalam konteks agroekosistem. Bagian ini banyak didasarkan pada buku Principles of Plant Disease Management (Fry, 1982). 1.1 Dari Masa Prapertanian ke Pertanian Pada masa pra-pertanian, manusia hidup sebagai pengumpul dan pemburu. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak menanam tanaman atau memelihara ternak, namun hanya mencari hasil tumbuhan dan memburu binatang yang diperlukannya. Pencarian

Cipta Ginting

1

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1


1 AGROEKOSISTEM

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

hasil tumbuhan dan pemburuan binatang tersebut dilakukan pada suatu daratan seperti suatu kawasan hutan atau perairan termasuk sungai dan lautan. Kawasan tersebut merupakan contoh ekosistem alami, yaitu ekosistem yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Sejalan dengan perkembangan kemampuannya pada masa itu, manusia mulai membudidayakan tumbuhan (tanaman) dan memelihara binatang (ternak) agar mereka dapat memanen hasilnya. Mulai saat itulah sesungguhnya pertanian dikenal manusia. Jika sebelumnya yang diandalkan hasil tumbuhan di sembarang lokasi atau daerah, maka setelah tumbuhan tertentu ditanam, manusia mulai mengharapkan agar tanamannya dapat tumbuh dan berkembang serta pada akhirnya menghasilkan produk yang diinginkannya. Mereka mulai berupaya memelihara dan menyelamatkan tanaman dari berbagai pengganggu agar tujuan mereka tercapai, yakni dapat memanen hasil tanaman tersebut. 1.2 Unsur-unsur dalam Agroekosistem Dengan membuka lahan dengan ekosistem alami untuk membudidayakan suatu tanaman pertanian, manusia mengubah ekosistem alami menjadi agroekosistem. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya penyederhanaan ekosistem alami secara drastis menjadi agroekosistem. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.1, karena campur tangan manusia, agroekosistem mencakup unsur ekonomi dan sistem pengelolaan tanaman, misalnya. Terdapatnya unsur ekonomi dalam agroekosistem maksudnya adalah bahwa pertimbangan ekonomi turut menentukan kondisi agroekosistem. Unsur ekonomi dan sistem pengelolaan tanaman tidak terdapat pada ekosistem alami.

2

Cipta Ginting


Gambar 1.1. Agroekosistem. Berbeda dengan ekosistem alami, pada agroekosistem terdapat unsur masyarakat, ekonomi, dan sistem manajemen tanaman. Dalam subsistem sistem manajemen tanaman, terdapat unsur urutan tanaman, pupuk, cara pestisida, dan pengaruh biotik. Dalam subsubsistem pengaruh abiotik, terdapat unsur OPT, organisme menguntungkan, dan tanaman. (Sumber: Fry, 1982). Keterkaitan berbagai unsur dalam agroekosistem seperti digambarkan pada Gambar tersebut perlu dipahami dengan sebaik mungkin. Kalau diperhatikan Gambar 1, tampak bahwa ‘subsistem manajemen tanaman’ mempunyai beberapa unsur seperti cara bercocok tanam, pola tanam, pemupukan, dan pengaruh biotik. Faktor biotik mencakup organisme pengganggu tanaman (OPT), organisme yang menguntungkan, dan varitas tanaman yang dibudidayakan. OPT terdiri atas patogen, hama, dan gulma. Berbagai unsur dalam sebuah sistem saling mempengaruhi. Jika seorang petani mengganti varitas tanaman yang dibudidayakannya, hal itu akan mempengaruhi unsur lain seperti patogen atau hama tanaman. Demikian juga akan terjadi perubahan pada tanaman dan OPT jika petani mengubah jumlah dan jenis pupuk yang digunakan.

Cipta Ginting

3

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1 AGROEKOSISTEM


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1 AGROEKOSISTEM 1.3 Perlunya Pengelolaan OPT Disebutkan di atas bahwa agroekosistem merupakan ekosistem alami yang disederhanakan secara drastis. Kecenderungannya ialah bahwa semakin maju sistem pertanian, agroekosistem yang diciptakan semakin sederhana. Penyederhanaan tersebut menurunkan kestabilan agroekosistem. Secara teoritis, semakin sederhana suatu agroekosistem, semakin tidak stabil agroekosistem tersebut. Maksudnya adalah bahwa di dalam sebuah agroekosistem lebih besar peluang terjadinya gejolak populasi organisme tertentu, jika dibandingkan dengan yang di dalam ekosistem alami. Dalam budidaya suatu tanaman tertentu, relatif besar peluang terjadinya peningkatan populasi suatu patogen atau hama. Peningkatan populasi suatu patogen atau hama dapat terjadi dengan cepat pada pertanaman. Dalam sistem pertanian dengan pola monokultur, yang menjadi salah satu ciri pertanian maju, hal ini biasanya lebih sering terjadi jika dibandingkan dengan yang dalam pola polikultur, yang memelihara berbagai jenis dalam suatu pertanaman. Hal itu dimungkinkan karena ketersedian satu jenis tanaman yang kebetulan menjadi substrak suatu patogen atau hama dalam jumlah yang besar yang memungkinkan reproduksi patogen dengan cepat. Apalagi dalam penanaman dengan pola monokultur biasanya tanaman ditanam dengan jarak tanam yang dekat sehingga penyebaran organisme antar-tanaman dapat terjadi dengan mudah. Hal inilah yang dapat menimbulkan kerusakan yang besar pada tanaman yang dibudidayakan dan kerugian ekonomi bagi petani. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan sebagai ilustrasi ialah penyakit karat daun kopi yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix. Penyakit karat daun pada kopi telah banyak mempengaruhi sentra kopi dunia dan juga kebiasaan suatu bangsa. Srilanka yang pada awal abad ke-19 merupakan penghasil utama kopi berubah menjadi penghasil teh akibat penyakit ini memusnahkan kopi pada paruh kedua abad ke-19. Di Indonesia penyakit tersebut juga mengubah jenis kopi yang dominan. Penyakit karat daun kopi mulai dikenal

4

Cipta Ginting


di Jawa dan Sumatera pada tahun 1876. Pada tahun 1885 penyakit telah menghentikan perkembangan kopi di Indonesia (Semangun, 2000). Sebagian besar penanam kopi di Indonesia kemudian mengganti kopi arabika menjadi kopi robusta, yang lebih tahan terhadap penyakit karat daun. Beberapa abad sebelumnya, penyakit ini telah ada dalam ekosistem alami pada tanaman kopi yang tumbuh secara liar di sekeliling Danau Victoria Uganda tanpa menimbulkan masalah yang berarti. Akan tetapi, setelah kopi dibudidayakan secara luas, penyakit itu berkembang dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dengan kata lain, penyakit berkembang jauh lebih cepat pada perkebunan kopi (suatu agroekosistem) dibandingkan dengan yang terjadi dalam ekosistem alami (Thurston, 1998). Demikian halnya dengan penyakit hawar daun amerika selatan (HDAS) yang disebabkan oleh Microcyclus ulei. Penyakit inipun menjadi perhatian besar di Indonesia (Misalnya, Semangun, 2000) dan negara lain di luar daerah endemik pada saat ini karena merupakan ancaman karet dunia. Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Hennings yang mengetahui penyakit ini di Amazon Hulu pada 1900. Pada saat ini, HDAS hanya terdapat di Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Akibat penyakit ini, biaya produksi karet tinggi karena harus mengendalikannya termasuk dengan fungsida. Penyakit HDAS sudah terdapat pada karet yang tumbuh secara liar pada habitat alaminya di hutan lembah Amazon Brasilia sebelum abad ke-20. Baru setelah karet ditanam dengan pola monokultur pada awal abad ke-20, kerusakan akibat penyakit itu meluas sehingga kerugian menjadi besar (Thurston, 1998). Hal ini merupakan contoh lain yang menunjukkan bahwa agroekosistem tidak stabil. Di Indonesia, salah satu contoh status penyakit yang berubah dengan berubahnya pola tanam ialah penyakit-penyakit pada tanaman jarak pagar (Jatropha curcas). Setelah jarak pagar ditanam secara monokultur, penyakit menjadi lebih diperhatikan karena tampaknya lebih banyak merusak jika dibandingkan dengan

Cipta Ginting

5

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1 AGROEKOSISTEM


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1 AGROEKOSISTEM masalah sewaktu tanaman ini belum dikelola secara intensif seperti sebagai tanaman pagar (Ginting dan Maryono, 2009). Akar permasalahan dalam perlindungan tanaman bersumber dari ketidakstabilan agroekosistem tersebut. Kegiatan pertanian bertujuan agar, meskipun tidak stabil, agroekosistem tersebut dapat bertahan sampai waktu tertentu, misalnya sampai waktu panen. Agroekosistem yang tidak stabil dapat bertahan sampai waktu tertentu karena terjadi campur tangan penanam. Campur tangan inilah yang merupakan kegiatan perlindungan tanaman, yang tujuannya untuk mencegah terjadinya ledakan hama atau epidemi suatu penyakit atau mengendalikannya jika masalah terlanjur terjadi. Dengan keterangan di atas, hendaknya dipahami bahwa budidaya suatu tanaman pertanian mengahadapi resiko nyata yang harus diperhitungkan secara rasional. Dapat disimpulkan bahwa pembudidayaan suatu tanaman pertanian pada dasarnya merupakan pengelolaan resiko (risk management). Petani perlu mengetahui bahwa usaha tani yang dikelolanya mengandung resiko berupa pemunculan patogen atau hama yang dapat merusak tanamannya dan membawa kerugian ekonomi baginya. Dengan kata lain, seorang petani atau pengusaha perlu memahami bahwa pengelolaan OPT merupakan bagian integral dari sistem budidaya tanaman. Hal ini maksudnya adalah bahwa perlindungan tanaman merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem budidaya tanaman pertanian yang bertujuan untuk memproduksi komoditas pertanian. Dalam pelaksanaan perlindungan tanaman, semua OPT diperhitungkan, meskipun diperhatikan juga skala prioritas berdasarkan pengalaman empiris pada jenis tanaman tertentu di suatu lokasi. Di sisi lain, perlindungan tanaman harus menjadi perhatian mulai dari perencanaan penanaman sampai panen. Dalam praktiknya, penggunaan pestisida untuk mengendalikan OPT terus mening-kat (Gambar 1.1 A). Pada 1999, hampir 2,6 milliar kg bahan aktif pestisida diaplikasikan dengan biaya sebesar hampir 35 milliar dolar amerika serikat. Jenis pestisida terbanyak berturut-

6

Cipta Ginting


1 AGROEKOSISTEM

1.4 Perlatihan 1. Sebutkan perbedaan antara ekosistem alami dan agroekosistem! 2. Mengapa agroekosistem perlu dipahami dalam pengelolaan OPT? 3. Sebutkan sebuah penyakit yang mendapat perhatian meskipun belum ada di Indonesia! Mengapa penyakit tersebut mendapat perhatian kita?

Gambar 1.2 Estimasi penjualan tahunan di dunia dari 19601999 dalam milyar dolar amerika serikat (A). Jumlah pestisida dalam pound (B) dan biaya dalam juta dolar amerika serikat (C) yang digunakan di dunia dan Amerika Serikat pada 1999. (Sumber: Agrios, 2005).

Cipta Ginting

7

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

turut ialah herbisida, insektisida, dan fungisida (Gambar 1.1 B dan C). Dalam pengelolaan OPT atau perlindungan tanaman, perlu dipahami agroekosistem secara keseluruhan. Pengelola OPT perlu memahami egroekosistem yang diciptakannya agar pengelolaan OPT menjadi efektif dan efisien. Mengelola OPT dengan efektif berarti tujuan pengelolaan tercapai, sedangkan pengelolaan yang efisien adalah yang menggunakan sumber daya yang sedikit.


1 AGROEKOSISTEM Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp.

8

Cipta Ginting


PENYAKIT PADA TUMBUHAN Ilmu penyakit tumbuhan atau fitopatologi (phytopathology) adalah ilmu yang mempelajari penyakit pada tumbuhan. Fitopatologi memberikan pengetahuan tentang seluruh topik yang menjadi bidang kajian ilmu ini. Untuk memulai pelajaran fitopatologi, yang pertama perlu dipahami ialah tentang hakikat penyakit pada tumbuhan. Apakah penyakit pada tumbuhan? Pada Bab II ini, mula-mula dikemukakan definisi penyakit tumbuhan, lalu butir-butir pokok dalam definisi dijelaskan termasuk dengan ilustrasi. Untuk memperdalam pemahaman tentang terjadi dan berkembangnya penyakit, dikupas konsep segitiga penyakit dalam dua bentuk yang masing-masing bermanfaat sesuai dengan perihal yang hendak ditunjukkan. Bab ini ditutup dengan sejarah singkat dan arah perkembangan fitopatologi untuk menunjukkan keberadaan perkembangan ilmu ini pada saat ini. Pengetahuan tentang sejarah perkembangan fitopatologi berpotensi menimbulkan apresiasi tentang kemajuan yang telah dicapai, yang mungkin pada saat ini dirasakan sebagai suatu fakta biasa atau ‘sudah demikian adanya’.

2.1 Pengertian Penyakit Tumbuhan Penyakit tumbuhan mungkin tidak asing bagi banyak orang sehingga ada yang merasa sudah mengetahui apa penyakit tersebut. Misalnya, sebagian buah-buahan atau sayur-sayuran yang dibeli di suatu pasar mungkin membusuk di rumah sebelum dikonsumsi atau Cipta Ginting

9

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN diolah. Pada tanaman hias yang dipelihara di sekitar pekarangan – entah itu tanaman hias atau tanaman pertanian - tidak jarang diamati ketidaknormalan seperti daun busuk atau mengandung bercak atau bahkan seluruh tanaman layu. Apalagi jika seseorang merupakan petani atau dari keluarga petani tentunya sudah terbiasa dengan penyakit. Buah-buahan atau sayur-sayuran yang membusuk tersebut mungkin merupakan contoh gejala penyakit tanaman. Demikian halnya yang terjadi pada tanaman di sekitar pekarangan tadi. Sudah banyak definisi dibuat untuk menjelaskan penyakit pada tumbuhan, masing-masing dibuat sesuai dengan pendapat orang membuatnya dan untuk menekankan aspek tertentu. Di sini, definisi yang disusun ialah sebagai berikut. Penyakit tumbuhan adalah kondisi terganggunya fungsi sel dan jaringan tumbuhan akibat iritasi yang terus menerus oleh suatu agen primer atau faktor lingkungan yang kemudian menimbulkan gejala. Definisi di atas mengandung empat pengertian pokok sebagai berikut. Pertama, penyakit terjadi dan berkembang karena fungsi sel dan jaringan terganggu sehingga proses-proses fisiologis menyimpang dari yang normal. Secara ringkas, penyimpangan proses fisiologis yang terjadi diilustrasikan pada Gambar 2.1. Kedua, penyimpangan proses fisiologis tersebut terjadi sebagai akibat gangguan yang terus menerus. Biasanya kerusakan akibat hama, misalnya, terjadi karena gangguan yang tidak terus menerus, tetapi terjadi secara mekanik akibat gigitan atau tusukan alat mulut hama (kebanyakan serangga) disertai pengambilan zat-zat nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan hama tersebut. Ketiga, penyakit terjadi karena suatu penyebab yang mungkin agen primer (organisme atau virus) ataupun suatu faktor lingkungan. Jadi, penyakit dapat disebabkan oleh makhluk hidup atau organisme – kebanyakan mikroorganisme atau jasad renik. Meskipun demikian, dalam definisi tidak digunakan kata ‘organisme’ namun ‘agen primer’ untuk memasukkan virus. Tentang hakekat virus ini, masih terdapat perbedaan pendapat apakah virus termasuk makhluh hidup (organisme) atau tidak. 10

Cipta Ginting


Tidak selalu mikrooganisme yang berasosiasi dengan gejala penyakit merupakan penyebab. Mungkin saja terdapat mikroorganisme pada tumbuhan sakit khususnya pada bagian tumbuhan yang bergejala yang sebenarnya bersifat saprofit atau patogen sekunder. Organisme saprofit hidup dari bahan-bahan yang sudah mati, sedangkan patogen sekunder adalah organisme yang menimbulkan penyakit tumbuhan yang telah diperlemah oleh patogen sebelumnya (patogen primer). Faktor lingkungan dapat menjadi penyebab penyakit pada tumbuhan, di samping menjadi suatu faktor yang mempengaruhi penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Beberapa hal dapat menjadi penyebab penyakit tanpa kehadiran agen primer ialah kekurangan atau kelebihan unsur hara dalam tanah dan keracunan pestisida. Keempat, definisi di atas juga mencakup akibat penyimpangan yang terjadi pada suatu proses fisiologis. Tumbuhan yang diserang memberikan respon patologis yang disebut gejala, yang biasanya unik untuk setiap penyakit.

Gambar 2.1 Gambaran skematik fungsi dasar dalam tumbuhan (kiri) dan berbagai gangguan akibat penyakit yang sering terjadi pada tumbuhan (kanan). (Sumber: Agrios, 2005).

Gejala satu penyakit dapat bervariasi karena perbedaan faktor lingkungan dan sifat genetik tumbuhan. Demikian juga, gejala satu

Cipta Ginting

11

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN penyakit dapat berbeda-beda sesuai perkembangan penyakit dan umur tanaman. Serangkaian gejala dari awal sampai akhir perkembangan penyakit disebut sindrom. Gambar 2.1 di atas juga mengilustrasikan contoh gejala yang sering terjadi. Definisi penyakit yang dikemukakan dalam buku ini tidak menyebut kerugian yang terjadi pada petani. Sebagian orang mungkin saja memasukkan aspek itu ke dalam pengertian penyakit tumbuhan, bahwa penyakit selalu merugikan petani. Sementara banyak penyakit yang terjadi pada tanaman memang menimbulkan kerugian pada penanam, sebagian belum tentu merugikan, bahkan mungkin ada yang membawa keuntungan. Pada tanaman pertanian pun tidak selalu keterjadian penyakit menimbulkan kerugian ekonomi yang berarti. Misalnya, penyakit bercak coklat sempit yang disebabkan oleh jamur Cercospora seringkali terjadi pada padi khususnya pada fase lanjut perkembangan tanaman. Meskipun keterjadian (incidence) penyakit tampaknya relatif tinggi, sebelum merekomendasikan pengendalian perlu diteliti apakah penyakit yang terjadi membawa kerugian ekonomi yang cukup berarti. Contoh lain ialah patogen yang dapat menyerang tumbuhan pengganggu (gulma) tertentu dapat dimanfaatkan sebagai agensia hayati untuk mengendalikan gulma tersebut. Di Amerika Serikat Colletotrichum yang menyebabkan penyakit pada sebuah gulma (joint vetch) pada pertanaman padi telah dimanfaatkan untuk mengendalikan gulma tersebut. Di sini tampak penyakit yang terjadi – dalam hal ini pada suatu gulma – memberikan manfaat dalam budidaya padi. Sebagian fitopatologiwan membatasi penyakit kepada hanya yang disebabkan oleh patogen, sedangkan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dianggap bukan penyakit. Definisi di atas menerangkan bahwa terdapat penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dimaksud termasuk kelebihan atau kekurangan unsur hara, keracunan pestisida dan polusi udara. Penyakit akibat faktor lingkungan disebut penyakit tidak menular (non-infectious plant diseases). Penyakit yang disebabkan oleh agen primer atau patogen disebut 12

Cipta Ginting


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

Segitiga Penyakit Fitopatologiwan lebih banyak memusatkan perhatian mereka pada penyakit yang disebabkan oleh patogen. Demikian halnya dalam buku ini, penyakit yang dimaksud ialah penyakit menular, kecuali disebutkan secara eksplisit sebagai ‘penyakit tidak menular’. Penyakit merupakan akibat interaksi patogen, inang, dan lingkungan. Agar penyakit terjadi harus terdapat patogen yang virulen, inang yang rentan, dan kondisi lingkungan yang kondusif untuk perkembangan penyakit. Interaksi faktor-faktor yang terlibat dalam perkembangan penyakit tersebut lazim digambarkan dalam segitiga penyakit. Konsep segitiga penyakit dapat digunakan untuk menunjukkan terjadinya interaksi faktor-faktor tersebut sebagai sebab perjadi dan berkembangnya penyakit. Konsep seperti ini memberikan penjelasan secara kualitatif (Gambar 2.2). Di samping pemaknaan seperti di atas, segitiga penyakit dapat juga dilihat sebagai model yang menjelaskan penyakit secara kuantitatif, seperti yang dilakukan oleh Agrios (2005). Di sini ketiga sisi segitiga masing-masing mewakili unsur patogen, inang, dan lingkungan (Gambar 2.3). Panjang suatu sisi menunjukkan besarnya pengaruh suatu unsur. Jika inang sangat mendukung (varitas tanaman rentan dan umur tanaman sesuai), sisi inang menjadi panjang. Hal ini berarti potensi penyakit dari sisi inang besar (Gambar 2.3 A). Sebaliknya, jika inang kurang mendukung (varitas resisten atau umur tidak sesuai), sisi yang melambangkan inang menjadi pendek, yang berarti potensi penyakit dari sisi inang menjadi kecil (Gambar 2.3 B). Demikian halnya, jika patogen mendukung (inokulum banyak dan ras patogen sangat virulen), sisi Cipta Ginting

13

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

penyakit menular (infectious plant diseases). Penyebab penyakit menular termasuk jamur, bakteri, virus, nematoda, dan lain-lain. Penyakit ini disebut penyakit menular karena penyebabnya dapat mengkolonisasi jaringan tumbuhan dan dapat menghasilkan propagula yang dapat disebarkan dari satu tanaman sakit ke tanaman lain.


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

yang melambangkan patogen menjadi panjang dan sebaliknya. Hal yang sama berlaku pada sisi lingkungan. Menurut model ini, luas segitiga penyakit menunjukkan intensitas penyakit pada sebuah tanaman atau populasi tanaman. Jelaslah bahwa semakin panjang sisi segitiga, semakin besar luas segitiga tersebut. Demikian halnya, semakin mendukung unsur patogen, inang, dan lingkungan, semakin parah penyakit yang terjadi pada sebuah tanaman atau populasi tanaman. Konsep segitiga penyakit sangat membantu menggambarkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan penyakit. Selain itu, konsep tersebut juga memberikan gambaran bahwa banyak pilihan yang dapat dipertimbangkan dalam pengendalian penyakit. Dapatkah pembaca (mahasiswa) menjelaskan maksud dua kalimat terakhir ini?

2.2 Klasifikasi Penyakit Tumbuhan Untuk keperluan studi dan dalam berkomunikasi, penyakit tumbuhan sering dikelompokkan. Klasifikasi lazimnya didasarkan pada empat hal: gejala yang ditimbulkan, organ tumbuhan yang rusak, tipe tumbuhan yang sakit, dan penyebab penyakit. Berdasarkan gejala, penyakit terbagi menjadi penyakit busuk, kanker, layu, karat, antraknosa, dll. Berdasarkan organ tumbuhan yang terserang, penyakit terbagi menjadi penyakit akar, batang, daun, buah, dll. Berdasarkan tipe tanaman yang sakit, dikenal penyakit tanaman pangan, tanaman tahunan, tumbuhan hutan, dll. Klasifikasi berdasar penyebab membagi penyakit ke dua kelompok besar: penyakit menular dan tidak menular, seperti yang telah disebutkan di atas. Penyakit menular dibagi ke dalam penyakit yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, nematoda, dll. Klasifikasi yang terakhir ini lebih sering digunakan dalam mempelajari penyakit. Dalam mata kuliah fitopatologi lazimnya hanya dipelajari penyakit yang menular. Secara lebih khusus, fitopatologi mempelajari beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penyebab

14

Cipta Ginting


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

2.3 Gejala dan Tanda Sebagai akibat perkembangan patogen dalam jaringan tumbuhan timbullah gejala sebagai respon tumbuhan tersebut. Gejala merupakan perubahan abnormal yang tampak pada tumbuhan akibat perkembangan patogen. Di samping gejala, terdapat hal yang sering khas untuk suatu penyakit yaitu tanda. Tanda adalah patogen atau bagian patogen atau produk patogen yang terdapat pada tumbuhan sakit. Umumnya, penyakit baru disadari karena gejala yang ditimbulkannya. Banyak penyakit dikenali atau didiagnosis berdasarkan gajala yang ditimbulkannya. Misalnya, orang tidak ragu mendiagnosis penyakit gosong pada jagung yang disebabkan oleh Ustilago maydis berdasarkan perubahan bentuk tongkol atau malai bunga yang menjadi tidak beraturan dan berwarna kehitaman. Demikian juga kebanyakan penyakit karat pada berbagai tumbuhan dapat segera dikenali karena bercak berwarna karat yang timbul pada permukaan tumbuhan yang diserang. Sebagai catatan, dalam buku lain dapat ditemukan catatan bahwa sebagian penyakit terjadi namun tidak disadari karena tidak menimbulkan gejala (yang tampak), namun telah mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan. Akan tetapi, berdasarkan definisi dalam buku ini, gejala termasuk bagian yang mencirikan penyakit; tanpa gejala belum dapat dikatakan penyakit.

Cipta Ginting

15

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

penyakit, termasuk klasifikasi, diagnosis, dan siklus hidup patogen. Kedua, interaksi antara patogen dan tumbuhan inang termasuk proses dan mekanisme serta akibat terjadinya penyakit. Ketiga, interaksi penyebaran penyakit dalam suatu populasi tanaman yang dipengaruhi faktor lingkungan dan sifat genetika tanaman. Keempat, pengendalian penyakit. Fitopatologi merupakan satu cabang ilmu pengetahuan yang sudah sangat maju pada keempat bidang kajian tersebut.


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gambar 2.2. Segitiga penyakit yang menunjukkan interaksi patogen, inang, dan lingkungan yang menentukan terjadi dan berkembangnya panyakit. (CG)

Gambar 2.3. Segitiga penyakit yang menunjukkan pengaruh unsur pa足togen, inang, dan lingkungan terhadap intensitas penyakit. Pada (A) varitas tanaman inang rentan, sedangkan pada (B) varitas resisten. (CG) 16

Cipta Ginting


Mengikuti Parry (1990), gejala penyakit di sini dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu pemudaran warna (discolorations), pertumbuhan abnormal, busuk, dan layu fisiologi. Pemudaran warna termasuk klorosis dan nekrosis (Gambar 2.4 dan 2.5). Klorosis adalah gejala menguning sebagai akibat rusaknya klorofil, sedangkan nekrosis merupakan gejala kecoklatan atau kehitaman karena adanya sel-sel atau jaringan tumbuhan yang mati. Sering terjadi bahwa suatu penyakit menimbulkan gejala berupa nekrosis pada bagian tengahnya, yang merupakan titik awal terjadinya penyakit, dan dikelilingi klorosis. Hal ini dapat dilihat pada gejala berbagai penyakit bercak daun. Pertumbuhan anormal terjadi akibat gangguan atau ketidakseimbangan hormon dalam tumbuhan yang diakibatkan oleh perkembangan patogen. Misalnya, bagian tumbuhan membesar secara anormal karena jumlah sel menjadi lebih banyak (hiperplasia) atau ukuran sel menjadi lebih besar (hipertrofi). Hiperplasia dan hipertrofi sering terjadi secara bersamaan pada jaringan yang terserang, seperti pada penyakit puru akar pada berbagai tanaman yang disebabkan oleh Meloidogyne spp. dan penyakit akar gada pada kubis akibat serangan Plasmodiophara brassicae. Sebagai akibatnya, ukuran jaringan yang terserang membesar. Jaringan seperti demikian tidak dapat menjalankan fungsi fisiologis secara normal. Lebih daripada itu, jaringan tersebut manjadi nutrient sink, yaitu yang menyerap lebih banyak nutrisi daripada jaringan yang normal untuk memenuhi kebutuhan patogen. Sebagai akibatnya, seluruh bagian tumbuhan menjadi terganggu. Busuk sebagai gejala terdiri atas dua jenis: busuk basah, yang biasanya disebabkan oleh bakteri, dan busuk kering, yang lazimnya disebabkan oleh jamur. Misalnya, Erwinia carotovora menyebabkan busuk lunak pada kentang dengan gejala busuk basah, sementara Fusarium oxysporum menimbulkan penyakit busuk batang vanili dengan gejala busuk kering. Jika jaringan parenkima seperti umbi kentang yang terserang, busuk yang ditimbulkannya biasanya lebih meluas daripada jaringan yang lain seperti batang panili.

Cipta Ginting

17

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Layu fisiologis dapat terjadi sebagai gejala jika yang rusak ialah jaringan pembuluh air atau xylem (Gambar 2.6 dan 2.7). Xylem yang rusak menjadi tidak berfungsi menyalurkan air dari tanah, sementara transpirasi terus berlangsung sehingga terjadi defisit air dalam tumbuhan. Dengan demikian, tanaman tersebut menjadi layu. Mekanisme terjadinya layu ada dua: penyumbatan xylem oleh massa atau produk patogen dan kerusakan karena zat racun yang dihasilkan patogen.

Gambar 2.4. Daun jarak pagar yang menunjukkan bercak cercospora (kiri) dan bercak alternaria (kanan). Pada bercak cercospora, jaringan daun nekrotik dikelilingi oleh halo klorotik yang lebih luas daripada yang terjadi pada bercak alternaria. (CG)

Gambar 2.5. Daun jeruk keprok yang menunjukkan gejala CVPD berupa klorosis dengan tulang daun lebih gelap. (Foto: Widada dalam Semangun, 2001).

18

Cipta Ginting


Gambar 2.6. Tanaman jarak pagar yang menunjukkan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum. Insert merupakan gejala internal berupa jaringan kecoklatan pada batang. (CG)

Gambar 2.7. Potongan akar cengkeh dengan nenes (lendir bakteri atau ooze). Tanaman ini terjangkit sumatera yang disebabkan oleh Pseudomonas syzygii dengan gejala luar berupa layu (Foto: Ariful Asman dalam Semangun, 2000)

Cipta Ginting

19

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2.4 Penilaian Kerusakan akibat Penyakit pada Tanaman

Seperti yang dijelaskan di atas, perkembangan patogen dalam atau pada tanaman menimbulkan gangguan pada satu atau lebih proses fisiologis yang ditunjukkan melalui gejala penyakit. Semakin jauh penyimpangan proses fisiologis, kerusakan yang timbul semakin besar pula. Semakin besar kerusakan yang terjadi, produksi tanaman yang hilang akan semakin besar dan kehilangan ekonomis atau estetika akan semakin tinggi. Penilaian kerusakan tidak hanya didasarkan pada bekurangnya jumlah hasil tetapi juga menurunnya mutu produk tanaman. Dalam praktik pengendalian penyakit, diperlukan suatu mekanisme penilaian tingkat kerusakan yang ditimbulkan penyakit. Informasi ini diperlukan dalam memutuskan apakah diperlukan tindakan pengendalian dan metodanya. Jika suatu penyakit merugikan atau berpotensi merugikan, penyakit tersebut perlu dikendalikan. Akan tetapi, penyakit yang tidak akan menyebabkan kerugian yang berarti tentunya tidak perlu dilakukan tindakan pengendalian, yang memerlukan biaya dan waktu. Pengukuran intensitas penyakit dan pengendalian penyakit masing-masing akan ditunjukkan pada Bab X dan Bab VIII.

2.5 Sejarah Singkat Ilmu Penyakit Tumbuhan Sejarah ilmu penyakit tumbuhan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan peradapan manusia dan mencakup rentang waktu yang sangat panjang. Akan tetapi, mengingat keterbatasan tempat dan tujuan penulisan ini, di dalam buku ini sejarah awal perkembangan ilmu penyakit tumbuhan dibagai ke dalam lima tahap seperti dikemukakan di bawah. Sejarah singkat ini disusun terutama berdasarkan Agrios (2005). Mereka yang tertarik untuk mengetahui sejarah secara lebih lengkap dapat mempelajarinya dalam buku ini dan buku lain. Pertama, saat manusia mulai menanam tanaman yang diperlukannya pada lokasi tertentu. Pada waktu itu sesungguhnya manusia telah mengenal pertanian, yang merupakan langkah maju

20

Cipta Ginting


dari masa sebelumnya yakni saat manusia memperoleh kebutuhannya dengan mencari dan berburu. Setelah manusia mulai menanam tanaman, meraka mengharapkan tanaman tersebut tumbuh dan menghasilkan produk untuk dipanen. Mulai saat itulah mereka menyadari bahwa kerusakan dapat terjadi pada tanaman karena terdapatnya penyakit. Sebelumnya, pada masa pra-pertanian, hal itu mungkin belum dirasakan sebagai masalah yang besar karena mereka belum menanam tanaman, namun hanya mencari kebutuhannya dari tumbuhan di sembarang tempat. Seiring dengan kemajuan pertanian yang ditandai dengan penanaman tanaman secara lebih intensif, masalah OPT termasuk patogen penyebab penyakit cenderung meningkat. Pada masa itu, penyakit tanman belum dipahami sama sekali. Sebagian menganggap bahwa penyakit tanaman sebagai hasil ciptaan kekuatan-kekuatan gaib seperti setan atau sebagai pengaruh perbintangan. Contohnya ialah bahwa penyakit kacang tanah yang disebabkan organisme menyerupai mikoplasma (OMM) diberi nama ‘sapu setan’ (witches’-brooms) yang konon karena diyakini bahwa penyakit itu timbul karena setan yang menyapu tanaman pada malam hari sehingga tanaman menunjukkan gejala. Yang lain menganggap bahwa penyakit terjadi karena cuaca tertentu sebagai penyebab. Misalnya, petir diyakini sebagai pembawa penyakit karena terjadinya petir sering diikuti perkembangan penyakit pada tanaman. Hal ini memang dapat dimengerti mengingat petir sering terjadi pada saat hujan. Hujan membawa kelembaban yang mendukung perkembangan penyakit pada tanaman. Kedua, masa dimulainya pengamatan terhadap penyakit tanaman. Pada masa itu dikenal Theoprastus (370–286 SM), seorang filosof Grik yang menaruh perhatian kepada banyak hal, termasuk mempelajari dan menulis tentang penyakit tumbuhan. Akan tetapi, simpulan yang dihasilkan pada masa itu hanya didasarkan pada hasil observasi dan spekulasi, tidak merupakan hasil pengujian dalam suatu percobaan yang dirancang dengan baik. Informasi yang dihasilkan pada masa Theoprastus sesungguhnya baru merupakan dugaan atau hipotesis,


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN yang seharusnya terlebih dulu diuji dalam suatu percobaan yang dirancang dan dilakukan dengan baik. Hasil pengujian itulah yang sebenarnya menjadi simpulan atau informasi ilmiah yang dapat diterima. Ketiga, masa dimulainya studi yang lebih bersistem termasuk dengan melakukan percobaan dengan metode tertentu. Pada masa itu, pengamatan sudah dapat dilakukan dengan teliti karena mikroskop sudah ditemukan. Akan tetapi, penafsiran atas hasil percobaan atau hasil pengamatan sering keliru karena dominannya keyakinan pada teori abiogensis atau generasi spontan (spontaneous generation). Menurut teori itu, makhluk hidup dapat timbul secara spontan dari benda mati. Sekarang sudah jelas bahwa teori tersebut salah, bahwa benda mati tidaklah mungkin berubah menjadi benda hidup secara spontan. Keempat, sejak diterimanya konsep patogenesis pada akhir abad ke-18, ilmu penyakit tumbuhan mulai berkembang secara pesat sebagai satu cabang ilmu pengetahuan. Beberapa penemuan pada masa itu dapat disinggung sebagai berikut. Setelah melakukan beberapa percobaan, Tillet pada tahun 1755 menyimpulkan bahwa “debu hitam” yang terbawa benih merupakan penyebab penyakit gosong pada gandum. Penemuan tersebut –Tillet menunjukkan dengan tepat bahwa “debu hitam” sebagai inokulum (“bibit penyakit”) yang dapat memulai terjadinya penyakit gosong – penting sebagai langkah awal untuk memahami penyakit gosong meskipun Tillet belum sepenuhnya memahami patogen tersebut pada waktu itu. Prevost melanjutkan studi tentang penyakit gosong tersebut dan pada tahun 1807 menunjukkan bahwa penyebab penyakit tersebut ialah jamur dan membuktikan patogenesis jamur tersebut pada gandum. Apa yang disebut sebagai “debu hitam” oleh Tillet sebenarnya merupakan spora jamur. Untuk menghargai jasa Tillet, jamur tersebut diberi nama Tilletia tritici. Prevost tidak berhenti sampai di situ. Dia juga menjelaskan sifat tembaga sulfat sebagai anti-jamur atau dikenal sebagai fungisida dan dapat digunakan dalam konsentrasi rendah dalam perlakuan

22

Cipta Ginting


benih gandum untuk mencegah terjadinya penyakit gosong di lapangan. Pada zaman Tillet dan Provost, mikroorganisme telah dapat diamati dengan cukup seksama karena mikroskop telah ditemukan sejak awal abad ke-17. Meskipun telah terjadi perkembangan yang berarti pada masa itu, masih terdapat hambatan dalam masyarakat. Penemuan dan penjelasan Tillet, Provost, dan lain-lain pada zaman itu tidak dapat diterima masyarakat luas. Sebabnya ialah bahwa teori abiogenesis atau generasi spontan tadi masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat ketika itu. Kelima, ilmu penyakit tumbuhan terus berkembang dan mulai dipahami oleh kalangan yang lebih luas seiring dengan runtuhnya teori generasi spontan. Pada masa ini tercatat Louis Pasteur (1822– 1895), yang menunjukkan bahwa mikroorganisme merupakan penyebab – bukan akibat – penyakit. Anton de Bary, seorang mikologiwan paling terkemuka pada zamannya, pada tahun 1853 menerbitkan buku yang memuat hasil-hasil penelitiannya, antara lain, tentang jamur patogen Phytophthora infestans yang menimbulkan penyakit hawar daun pada tanaman kentang. Pada masa itu, penyakit ini menimbulkan kerugian yang besar sekali di Irlandia. De Bary memberikan penjelasan yang rasional bahwa penyakit tanaman tertentu disebabkan oleh patogen tertentu. Dia juga mengemukakan konsep parasitisme, infeksi, dan resistensi. Anton de Bary dianggap sebagai “Bapak” ilmu penyakit tumbuhan. Meskipun sumbangan peneliti atau penemu yang disebut di atas sangat berarti bagi kemajuan IPT, permulaan era mutakhir ilmu penyakit tumbuhan lebih diasosiasikan dengan Julius Kuhn yang menulis buku pertama tentang ilmu penyakit tumbuhan pada tahun 1858. Kuhn banyak memantapkan dasardasar perkembangan ilmu penyakit tumbuhan dan menunjukkan betapa pentingnya jamur sebagai patogen pada tanaman. Pada masa itu, Robert Koch menetapkan langkah-langkah yang harus dilalui dan kondisi yang harus dipenuhi untuk membuktikan suatu mikroorganisme sebagai penyebab penyakit. Prosedur pembuktian

Cipta Ginting

23

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN ini dikenal sebagai postulat Koch (Koch’s postulates). Meskipun tidak terlepas dari sumbangan ilmuwan lain, Pasteur dan Koch dianggap memberikan bukti yang paling menyakinkan bahwa penyakit menular disebabkan oleh mikroba (Sequeria, 2000). Pengendalian penyakit tanaman sebagai satu praktik dalam pertanian bermula dari pengamatan Millardet pada suatu kebun anggur. Tanaman yang disemprot dengan campuran tembaga sulfat dan kapur – yang sebenarnya dimaksudkan agar buah tampak kotor sehingga tidak dipetik orang yang melintas – ternyata tidak terserang jamur penyebab penyakit bulai (downy mildew). Memang pada saat itu penyakit bulai pada anggur sedang mewabah di Prancis. Fenomena tersebut menjadi inspirasi bagi Millardet untuk melakukan serangkaian percobaan untuk mengendalikan penyakit bulai dengan menggunakan kedua senyawa tersebut. Millardet kemudian menemukan komposisi campuran tembaga sulfat dan kapur yang efektif untuk mengendalikan penyakit tersebut. Selanjutnya, campuran tersebut dikenal dengan sebutan bubur atau campuran bordo (bordeaux mixture).

2.6 Arah Perkembangan Fitopatologi Dewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat maju dan akan terus berkembang. Kemajuan dan perkembangan dalam suatu bidang ilmu atau teknologi dapat berdampak positif bagi peningkatan bidang lain. Demikianlah, perkembangan fitopatologi tidak terlepas dari kemajuan yang dicapai pada bidang lain. Akhirakhir ini perkembangan fitopatologi terjadi dengan pesat terutama karena kemajuan dalam biologi selluler dan molekuler termasuk teknik kultur jaringan (tissue culture) dan rekayasa genetika (genetic engineering) serta teknologi komputer. Kemajuan tersebut tidak hanya telah dan akan terus membantu meningkatkan ilmu ini, tetapi juga telah dan akan terus mengembangkan bentuk-bentuk aplikasinya. Bagian ini dimaksudkan untuk memberi gambaran umum tentang perkembangan fitopatologi. Teknik kultur jaringan banyak dipakai dalam fitopatologi. Salah satu sebabnya ialah karena teknik tersebut dapat dihasilkan 24

Cipta Ginting


variasi somaklonal, yaitu keragaman genetika pada tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan. Sel atau jaringan yang digunakan ialah sel atau jaringan somatik. Teknik tersebut merupakan cara yang berpotensi dalam perbaikan tanaman termasuk menghasilkan tanaman yang resisten. Variasi yang terjadi pada somaklon adalah variasi yang telah ada sebelumnya tetapi belum terekspresikan dan variasi karena kultur tersebut. Mekanisme terjadinya variasi somaklonal termasuk mutasi, perubahan jumlah kromosom, dan penghapusan gen. Seleksi atau screening dapat dilakukan sewaktu proses kultur atau setelah somaklon dihasilkan. Selain itu, teknik kultur jaringan juga bagian dari transfer gen. Sebagai contoh, kultivar kentang yang disukai petani rentan terhadap Potato leaf roll virus yang menyebabkan penyakit daun menggulung, yang menimbulkan banyak kerugian di seluruh dunia. Perbaikan kultivar dilakukan dengan memasukkan gen resisten yang diperoleh dari kentang liar melalui fusi protoplasma sehingga kultivar yang populer tersebut menjadi resisten. Perkambangan ilmu penyakit molekuler tidak terlepas dari penemuan Watson dan Crick, bahwa DNA berada dalam spiral ganda (double helix), yang berdampak besar terhadap semua cabang biologi. Perkembangan teknik untuk mengisolasi, mengclone, dan mengurutkan (sequence) DNA dalam bidang biologi molekuler membawa revoluasi signifikan dalam biologi dan hal ini memberi dampak yang sangat besar pada ilmu penyakit tumbuhan. Ahli penyakit tumbuhan dengan cepat menggunakan teknologi tersebut untuk menjawab pertanyaan ilmiah dalam bidang penyakit tumbuhan. Pada dekade 1970-an, ditemukan bahwa bagian plasmid Ti yang disebut T-DNA mengandung gen yang membuat tanaman terinfeksi membentuk tumor. Kemudian diketahui juga bahwa gen tersebut dapat dipindahkan dan digantikan dengan gen dari organisme lain yang terekspresikan dalam sel tanaman. Penemuan ini memungkinkan ditransfernya gen yang diinginkan ke genom tanaman, dan hal ini membuka berbagai bidang penelitian dalam penyakit tumbuhan. Cipta Ginting

25

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN Gen-gen tertentu dimanipulasi dan ditransfer ke dalam tanaman inang dan lain sebagainya. Penelitian seperti itu telah menghasilkan informasi penting dalam rangka pendalaman pemahaman tentang patogenesis, resistensi, dan aspek penyakit lain. Kemajuan fitopatologi telah terjadi dengan pesat dan potensi tenik rekayasa genetik sangat besar baik untuk mengembangkan ilmu maupun dalam aplikasi ilmu tersebut (teknologi). Contohnya, gen yang mengkode pembentukan mantel protein pada Tobacco mosaic virus (TMV) ditransfer ke dalam tembakau. Tanaman yang telah mengandung gen tersebut menjadi tahan terhadap TMV. Demikian juga, gen antisense RNA ditransfer ke dalam tomat. DNA asalnya adalah yang menkode enzim pektinase, suatu enzim penting dalam pemasakan buah. Transformasi tersebut menyebabkan buah tomat menjadi lebih keras sehingga dapat disimpan lebih lama dan lebih tahan terhadap patogen termasuk Rhizopus. Tanaman yang ditransformasi dengan gen yang mengandung kitinase menunjukkan peningkatan resistensi terhadap jamur yang mengandung kitin pada dinding selnya. Aplikasi lain ilmu penyakit tumbuhan molekuler ialah dalam pengembangan teknik diagnosis. Misalnya, DNA probe sekarang banyak dipakai dalam studi biologi molekuler dan dalam diagnosis penyakit tanaman. Dalam fitopatologi, teknik ini sangat bermanfaat karena hibridisasi DNA probe bersifat spesifik. Dengan demikian, identifikasi patogen termasuk dalam proses diagnosis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Pada berbagai kasus, teknik identifikasi ini dapat dilakukan tanpa keharusan untuk mengisolasi patogen dan menumbuhkannya pada media sintetik. Hal ini sangat menguntungkan mengingat bahwa gejala sering serupa antarpenyakit. Lebih dari itu, capaian dalam pengembangan teknik diagnosis ialah digunakannya protokol PCR, yang memungkinkan diagnosis diselesaikan dalam sehari atau kurang. Ilmu dan teknik biologi molekuler ini diharapkan untuk membawa perkembangan yang lebih besar lagi dan kontribusi dalam berbagai cara pada masa yang akan datang.

26

Cipta Ginting


Di bidang ilmu penyakit tumbuhan lain yaitu epidemiologi, perkembangan pesat terjadi dalam “epidemiologi kuantitatif�, yang aplikasinya termasuk pemodelan (modeling), simulasi, dan peramalan penyakit. Sebagai contoh dapat disinggung penyakit blas pada padi yang disebabkan oleh Pyricularia grisea. Penyakit blas masih sering menimbulkan kerugian di daerah tropis dan beriklim sedang, Patogen dapat menyerang semua bagian tanaman termasuk malai dan menimbulkan bercak bersegi empat. Dilaporkan bahwa penyakit tersebut sering harus dikendalikan dengan fungisida terutama di Jepang dan Korea Selatan. Untuk mengurangi aplikasi fungisida tanpa meningkatkan kehilangan hasil, dikembangkan sistem peramalan dengan berbagai metode yang didasarkan kepada faktor cuaca. Bidang kemajuan lain ialah tentan upaya perumusan metode pengendalian penyakit secara terpadu (integrated pest management), yang juga mendapat perhatian yang meningkat untuk, antara lain, meminimumkan penggunaan input pertanian terutama pestisida dalam budidaya tanaman pertanian. Pendekatan ke arah pengenalian terpadu ini lebih menekankan pengendalian dengan cara-cara nir-kimia, seperti cara bercocok tanam (culture practice), biologi, dan fisik. Penelitian ke arah pengendalian biologi banyak dilakukan dengan menguji berbagai jamur dan bakteri yang bersifat antagonistik terhadap patogen. Teknik bercocok tanam yang banyak diteliti termasuk pengembangan varitas, tillage system, pola tanam, dan manajemen air, sedangkan cara fisik termasuk sanitasi. Demikianlah secara sepintas disinggung berbagai topik dalam fitopatologi. Setiap peneliti, institusi, atau bahkan negara perlu mengikuti perkembangan yang terus berlangsung. Akan tetapi, bidang yang akan ditelitinya bergantung pada bidang keahlian yang tersedia, kemampuan nyata, dan fasilitas yang tersedia.

Cipta Ginting

27

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN


2 PENYAKIT PADA TUMBUHAN

2.7 Perlatihan 1. Sebutkan dan jelaskan definisi penyakit tumbuhan! 2. Bagaimana Saudara mengklasifikasikan penyakit? Mengapa? 3. Bedakan gejala dan tanda penyakit! 4. Tunjukkan kaitan di antara kata atau istilah berikut: gejala, kehilangan hasil, intensitas penyakit, kerusakan pada tanaman, dan kerugian! 5. Ringkaskan sejarah perkembangan IPT! Berikan juga komentar Saudara!

Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp.

28

Cipta Ginting


PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

Menurut definisi penyakit yang digunakan pada Bab sebelumnya, penyebab penyakit dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu agen primer dan faktor lingkungan. Agen primer terdiri atas organisme (yang umumnya mikroorganisme atau jasad renik) dan virus. Virus lazimnya tidak dianggab sebagai organisme, maka istilah “agen primer� digunakan, bukan organisme ataupun mikroorganisme. Agen primer disebut patogen atau faktor biotik. Penyakit yang disebabkan patogen disebut penyakit menular (infectiuos disease), karena penyakit tersebut dapat menular dari tanaman yang telah sakit ke tanaman lain. Faktor lingkungan, yang disebut juga faktor abiotik, menyebabkan penyakit tidak menular (noninfectiuos disease). Penyakit ini disebabkan atau timbul karena faktor lingkungan yang merugikan perkembangan tumbuhan seperti defisiensi unsur hara, polusi udara, keracunan mineral, keracunan pestisida, dan kekurangan cahaya. Faktor lingkungan lazimnya termasuk bidang kajian disiplin ilmu tanah, kimia, atau klimatologi dan, dengan demikian, tidak dibahas lebih lanjut dalam mata kuliah ini. Sisa Bab ini berisi keterangan tentang faktor biotik. Cipta Ginting

29

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Penyebab penyakit menular termasuk jamur, bakteri, virus, nematoda, protozoa dan tumbuhan. Ilustrasi berbagai jenis patogen dalam hubungannya dengan sebuah sel tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 3.1. Empat jenis patogen (jamur, bakteri, virus, dan nematoda) merupakan patogen yang paling merugikan dan diterangkan di bawah ini.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3.1 Jamur Secara umum jamur (fungi) merupakan kelompok patogen terpenting pada tanaman. Hal ini dapat dilihat dalam hal jumlah spesies jamur yang dapat menimbulkan penyakit pada tanaman dan kerugian yang ditimbulkannya. Selain karena termasuk kelompok patogen terpenting, jamur juga perlu dipahami dalam mempelajari penyakit tumbuhan karena pengembangan beberapa konsep penting dalam fitopatologi

Gambar 3.1 Diagram skematik bentuk dan ukuran patogen tumbuhan dalam perbandingannya dengan sebuah sel tumbuhan. (Sumber: Agrios, 2005).

30

Cipta Ginting


menggunakan jamur sebagai model. Misalnya, penemuan Tillet (1755) yang kemudian dikembangkan Prevost (1807) tentang penyebab penyakit gosong pada gandum (satu jamur) yang disinggung pada Bab II. Pengendalian penyakit tanaman sebagai suatu praktik dalam pertanian bermula dari pengamatan Millardet pada kebun anggur yang diserang suatu jamur patogen. Demikian juga perkembangan penyakit pada awalnya banyak didorong oleh masalah penyakit yang disebabkan oleh jamur termasuk penyakit hawar pada kentang, karat pada kopi, ergot pada padi dan lain-lain. Demikianlah pentingnya memahami jamur bagi mereka yang ingin mempelajari penyakit tumbuhan. Jamur merupakan organisme eukariotik, heterotrofik (tidak mempunyai klorofil), mikroskopik, dan umumnya bereproduksi dengan spora. Whittaker pada 1969 membagi semua makhluk hidup ke dalam lima dunia (kerajaan; kingdom). Pada sistem klassifikasi itu, jamur membentuk dunia tersendiri, yang dibedakan dengan dunia tumbuhan, binatang, protista, maupun monera (Tabel 3.1). Dunia jamur terdiri atas dua divisi (Moore-Landectker, 1990). Tabel 3.2 memuat kedua divisi dan takson di bawahnya disertai contoh jamur patogen penting pada tanaman. Dengan beberapa pengecualian, tubuh vegetatif (soma) jamur terdiri atas hifa. Hifa berbentuk filamen tabung (seperti benang) dan umumnya bercabang-cabang. Hifa yang menyatu disebut miselium; dengan kata lain, miselium merupakan massa hifa. Ada dua tipe hifa, yaitu hifa septat dan aseptat. Hifa septat mempunyai dinding sekat yang disebut septa, yang merupakan pembatas antar-sel jamur (Gambar 3.2), sedangkan yang aseptat tidak mempunyai septa.

Cipta Ginting

31

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.1 Lima dunia makhluk hidup beserta sifat-sifatnya DUNIA

TIPE SEL

Monera

Prokariota

Protista

Eukariota

Jamur Eukariota Tumbuhan eukariota Binatang eukariota

MEKANISME NUTRISI Absorbsi ekasel (unisellular) fotosintesis Absorbsi ekasel pencernaan fotosintesis multisellular, ekasel absorbsi Multisellular fotosintesis Multisellular pencernaan JUMLAH SEL

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gambar 3.2 Perkecambahan spsora menjadi tabung kecambah dan hifa. Bergantung jenisnya, jamur membentuk hifa septat atau nirseptat. (CG)

Daur hidup jamur sangat bervariasi antarspesies, namun secara umum dapat digambarkan sebagai berikut. Spora berkecambah jika kondisi lingkungan mendukung, utamanya kelembaban mencukupi. Pembuluh kecambah berkembang membentuk hifa. Hifa terus berkembang dengan memanjang dan bercabang-cabang yang akhirnya membentuk miselium (Gambar 3.3 dan 3.4). Reproduksi dapat berlangsung secara seksual dan aseksual. Pada reproduksi seksual fusi inti sel seks (gamet), sedangkan pada reproduksi aseksual fusi tidak terjadi. Di alam, reproduksi nirseksual lebih sering terjadi daripada cara seksual. Hampir semua jamur membentuk spora yang merupakan bahan propagatif jamur. Jadi, secara fungsional, spora pada jamur seperti biji pada tumbuhan. Spora, yang dapat dibentuk secara seksual atau aseksual, sangat 32

Cipta Ginting


beragam dalam bentuk, warna, dan ukuran (Gambar 3.5). Ciriciri spora tersebut merupakan dasar utama dalam klasifikasi dan identifikasi jamur. Cara penyebaran jamur perlu dipahami karena hal itu berkaitan dengan penyebaran penyakit tanaman. Dengan mengetahui bagaimana jamur patogen menyebar, keterjadian penyakit tersebut mungkin dapat dihindari atau penularannya dikurangi. Jamur menyebar dengan angin, air hujan dan irigasi, serangga dan binatang lain, alat-alat pertanian, bahan-bahan perbanyakan tanaman, serta tanah. Satu aspek ekologi lain yang juga perlu dipahami ialah cara jamur sintas (bertahan hidup; survive). Jamur patogen harus dapat sintas dari satu musim ke musim yang berikutnya dan melalui kondisi yang kurang menguntungkan. Jamur sintas pada sisasisa tanaman, inang alternatif, bahan perbanyakan tanaman, atau dalam tanah. Dibandingan dengan tanaman setahun, tanaman tahunan dapat lebih mudah menopang keberlangsungan hidup jamur patogen selama bertahun-tahun. Ilustrasi penyintasan (survival) jamur dapat dilihat pada Gambar 3.5 di bawah ini. Secara ekonomis kerugian akibat jamur ini sangat bervariasi. Tabel 3.3 berisi daftar beberapa penyakit yang sering menimbulkan kerugian atau seing ditemui pada tanaman penting akibat jamur.

Gambar 3.3 Miselium Fusarium oxysporum yang tumbuh dari potongan jaringan jarak pagar yang menunjukkan gejala. (CG).

Cipta Ginting

33

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gambar 3.4 Daur hidup jamur secara umum. (CG)

Gambar 3.5 Berbagai spora jamur. (Sumber: Agrios, 2005).

34

Cipta Ginting


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.2 Beberapa contoh jamur patogen tumbuhan KELAS

ORDO

CONTOH JAMUR PATOGEN

Chytridiales

Olpidium, Synchytrium

Blastocladiales Harpochytridiales Monoblepharidales Hyphochytriales Plasmodiophorales Saprolegniales Lagenidales

Plasmodiophora Aphanomyces -

Peronosporales

Phytium, Phytophthora, Plasmopara, Peronospora

Mucorales Entomopthorales Zoopagales Harpellales Asellariales Accrinales Amoebidiales

Rhizopus -

Hemiascomycetes

Endomycetales Protomycetales Taphrinales

Plectomycetes

Eurotiales

Taphrina Eurotium, Talaromyces Erysiphe, Spaerotheca, Podosphaera, Uncinula -

Chytridiomycetes

Hyphochytridiomycetes Plasmodiophoromycetes

Oomycetes

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Divisi Mastigomycota

Divisi Amastigomycota Subdivisi Zygomycotina Zygomycetes

Trichomycetes Subdivisi Ascomycotina

Erysiphales

Pyrenomycetes

Meliolales Coronophorales

Sphaeriales

Cipta Ginting

Botryosphaeria, Diaporthe, Glomerella, Rosellinia, Xylaria, Nectria, Gibberella, Claviceps 35


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.2 Beberapa contoh jamur patogen tumbuhan (sambungan) KELAS

Medeolariales Cyttariales Phacidiales Ostropales

Discomycetes

Helotiales

Laboulbeniomycetes

Pezizales Tuberales Laboulbeniales

Loculoascomycetes

Dothideales

Subdivisi Basidiomycotina

Uredinales Ustilaginales Hymenomycetes terdiri atas dua sub-kelas: Tremellales Phragmobasidiomycetidae Auriculariales Septobasidiales Exobasidiales Brachybasidiales Dacrymycetales Tulasnellales

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Teliomycetes

Holobasidiomycetidae

Gasteromycetes

Sclerotinia, Diplocarpon, Capnodium, Mycosphaerella, Microcyclus (Dothidella), Venturia, Cochliobolus, Puccinia, Ustilago, Urocystis, Exobasidium Thanatephorus

Aphyllophorales

Fomes (Heterobasidium), Polyporus, Sclerotium (Aethalia), Corticium,

Agaricales

Armillaria, Marasmius

Melanogastrales Gautieriales Phallales Lycoperdales Tulostomatales

Nidulariales Form-subdivisi Deuteromycotina 36

CONTOH JAMUR PATOGEN

ORDO

Cipta Ginting

-


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.2 Beberapa contoh jamur patogen tumbuhan (sambungan) -

KELAS

ORDO

CONTOH JAMUR PATOGEN

Hyphomycetes

-

Alternaria, Drechslerrea, Botrytis, Cercospora, Fusarium, Pyricularia, Verticillium, Fulvia (Cladosporium), Penicillium, Aspergillus,

Coelomycetes

Sphaeropsidales

Phyllosticta, Phoma, Diplodia, Phomopsis, Septoria,

Melanconiales

Colletrotrichum, Gloeosporium

-

Rhizoconia, Sclerotium

Mycelia Sterilia

Tabel 3.3 Beberapa contoh penyakit pada tanaman dan jamur penyebabnya NO

PENYAKIT

PENYEBAB

TANAMAN

1 2 3

Blas Bercak coklat Bulai

Pyricularia oryzae Drechslera oryzae Perenosclerospora maydis

Padi Padi Jagung

4

Becak coklat

Cercosporidium henningsii

Ubi kayu

5

Bercak daun

Kacang tanah

6 7 8 9 10 11

Karat Busuk daun (Hawar daun) Akar pekuk (akar gada) Tepung Layu Fusarium Sigatoka (Becak daun Cercospora)

Cercosporidium personatum Cercospora arachidicola Phakopsora pachyrhizi Phytophthora infestan Plasmodiophora brassica Erysiphe cichoracearum Fusarium oxysporum Mycospherella musicola

Cipta Ginting

Kedelai Kentang Kubis Labu-labuan Pisang, tomat Pisang

37

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Blastomycetes


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.3 Beberapa contoh penyakit pada tanaman dan jamur penyebabnya (sambungan) 12

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

NO

Blendok Phytophthora PENYAKIT

Phytophthora spp.

Jeruk

PENYEBAB

TANAMAN

13

Busuk hati dan busuk akar

Phytophthora spp.

Nenas

14 15

Becak coklat Becak ungu

Alternaria solani Alternaria porri

Tomat Bawangbawangan

16

Antraknosa

Gloeosporium piperantum dan Colletotrichum capsici

Cabai

17

Antraknosa

Anggrek

18 19 20 21

Becak hitam Karat daun Cacar teh Busuk pangkal batang

Colletotrichum gloeoporiodes Marssonina rosae Hemileia vastatrix Exobasidium vexans Phytophthora capsici (P. palmivora)

22 23

Cacar daun cengkeh Busuk buah dan kanker batang

Phyllostica sp. Phytophthora palmivora

Cengkeh Coklat

24 25

Jamur upas Embun jelaga

Upasia salmonicolor Capnidium dll.

26 27 28 29

Busuk batang Akar putih Busuk pangkal batang Lanas

Fusarium oxysporum Rigidoporus microporus Ganoderma sp. Phytophthora nicotianae

Coklat Kopi, coklat, jeruk Vanili Karet Kelapa sawit Tembakau

Mawar Kopi Teh Lada

3.2 Bakteri Bakteri termasuk Dunia Monera, yang terdiri atas organisme dengan sel bertipe prokariotik (Tabel 3.3). Organisme prokariotik tidak mempunyai inti sejati karena tidak mempunyai membran inti; materi intinya tidak terpisahkan dari materi sitoplasma. Selain bakteri (eubakteri; true bacteria), Dunia Monera mencakup patogen tanaman lain, yakni aktinomycetes, spiroplasma, dan organisme menyerupai mikoplasma.

38

Cipta Ginting


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Bakteri merupakan organisme ekasel (unisellular) dengan tiga bentuk dasar, yakni bulat, berbentuk batang, dan spiral. Kebanyakan yang menyerang tanaman berbentuk batang (Gambar 3.6). Ukurannya berkisar 1–5 x 0,5–1 ¾m. Banyak bakteri patogen yang mempunyai flagela sehingga dapat bergerak jika ada air. Bakteri mempunyai dinding sel yang mengandung peptidoglikan. Ciri dinding sel ini menentukan suatu bakteri termasuk gram negatif atau positif. Mayoritas patogen termasuk gram negatif.

Gambar 3.6. Bakteri patogen penting dan contoh gejala yang ditimbulkannya. (Sumber: Agrios, 2005).

Klasifikasi bakteri terutama didasarkan kepada ciri dinding sel tersebut, yang membagi bakteri ke dalam empat divisi sesuai dengan Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology (1984) dalam Goto (1992). Ciri-ciri pokok masing-masing divisi dan anggotanya yang patogen pada tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Cipta Ginting

39


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.4. Divisi Monera dan cirinya serta contoh bakteri patogen pada tumbuhan

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

DIVISI

DINDING SEL

PATOGEN TUMBUHAN

Gracilicutes

Gram negatif, dinding sel dengan peptidoglikan tipis, mempunyai membran luar

Erwinia, Pseudomonas, Xanthomonas, Xylella, Agrobacterium

Firmicutes

Gram positif, dinding sel dengan peptidoglikan tebal, tidak mempunyai membran luar

Clavibacter dan Streptomyces

Tenericutes

Tidak berdinding sel

Spiroplasma dan organisme menyerupai mikoplasma (OMM)

Mendosicutes

Dinding sel tidak mengandung peptidoglikan

Tidak ada yang patogen tumbuhan

Streptomyces membentuk miselium dan spora sehingga menyerupai jamur, namun ciri tipe selnya yang prokariotik menempatkannya pada Dunia Monera. Organisme menyerupai mikoplasma (OMM) atau micoplasm like organism (MLO) tidak mempunyai dinding sel sehingga bentuknya tidak tetap (polimorfik). Spiroplasma juga tidak mempunyai dinding sel dan polimorfik, dan secara khas membentuk struktur berentuk spiral. Semua bakteri patogen tumbuhan hidup sebagai parasit fakultatif. Identifikasi bakteri patogen pada tumbuhan dilakukan berdasar morfologi, struktur, dan komposisi sel bakteri serta sifat fisiologisnya. DNA bakteri, yang membawa informasi genetik orgnisme, terdapat pada kromosom dan plasmid. Plasmid merupakan lingkaran kecil DNA di luar kromosom yang berreplikasi secara independen dari

40

Cipta Ginting


kromosom. Plasmid mengandung informasi yang dapat mencakup sifat kepatogenan dan resistensi terhadap antibiotik serta senyawa lainnnya. Reproduksi bakteri berlangsung dengan membelah. Meskipun demikian, reproduksi bakteri dapat berlangsung dengan cepat jika faktor lingkungan mendukung seperti tersedianya nutrisi dan ruang serta tidak terdapat senyawa penghambat. Dengan kemampuan reproduksi yang cepat tersebut, bakteri mempunyai potensi menimbulkan kerusakan yang besar dalam waktu cepat. Bakteri menyebar melalui air, tanah, bahan perbanyakan tanaman, serangga, dan alat-alat pertanian. Air penyebar bakteri biasanya air hujan dan irigasi. Air hujan khususnya efektif untuk areal yang luas jika disertai angin. Tanah sebagai pembawa bakteri terutama efektif dengan bantuan air, angin, atau alat pertanian. Dalam bahan perbanyakan tanaman, bakteri dapat terbawa secara internal, eksternal, atau kontaminan. Dalam praktik budidaya tanaman, bakteri dapat tertular melalui alat pemangkasan, pisau pemotong umbi, dan alat-alat pertanian lainnya. Bakteri sintas (bertahan hidup) dalam residu tanaman, inang alternatif, atau tanaman yang tertinggal di lapang, bahan perbanyakan tanaman, dan tanah. Tabel 3.5 berisi contoh penyakit yang sering menimbulkan kerugian pada tanaman penting. Tabel 3.5. Contoh penyakit penting akibat bakteri NO

PENYAKIT

1

Hawar daun bakteri

2 3

Hawar bakteri

4 5

Busuk basah Bisul bakteri

6

Puru

PENYEBAB Xanthomonas campestris pv. oryzae Xanthomonas campestris pv. manihotis Erwinia carotovora Xanthomonas campestris pv. phaseoli Agrobacterium tumefaciens Cipta Ginting

TANAMAN Padi Ubi kayu Kubis Kedelai Banyak tanaman 41

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.5. Contoh penyakit penting akibat bakteri (Lanjutan)

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

NO

PENYAKIT

7 8

Sapu Layu bakteri

9 10 11 12

Layu bakteri Citrus vein phloem degeneation (CVPD) Kudis Sumatera

13

Blendok

14

Layu (lendir)

PENYEBAB OMM Rasltonia solanacearum Ralstonia sp. OMM

TANAMAN Kacang tanah Tomat, kentang dll. Pisang Jeruk

Streptomyces scabies Kentang “Bakteri penyakit Cengkeh sumatera” Xanthomonas albilineans Xanthomonas solanacearum

Tebu Tembakau

3.3 Virus Sebagian virus dapat menimbulkan kerugian yang besar dalam budidaya tanaman. Virus adalah agen parasit obligat. Virus disebut sebagai parasit obligat karena virus hanya dapat bereproduksi di dalam sel tumbuhan inang yang hidup. Di luar sel hidup, partikel virus menyerupai benda mati. Inilah sebabnya mengapa virus disebut agen alih-alih mikroorganisme. Ukuran virus sangat kecil, sehingga disebut agen submikroskopik, sedangkan kebanyakan patogen yang lain merupakan mikroskopik. Satuan yang biasa dipakai untuk ukuran partikel virus ialah nm (nano meter). (Satuan pada jamur dan bateri biasanya µm; 1 nm = 10-3 µm). Untuk mengamati partikel virus digunakan mikroskop elektron. Ada tiga bentuk dasar partikel virus, yakni bulat (isometrik), memanjang, dan basilliform (seperti peluru). Partikel yang memanjang sebagian lentur dan sebagian lagi kaku. Berdasarkan jumlah virus, yang terbanyak berbentuk bulat diikuti berbentuk memanjang. Partikel virus yang bulat kebanyakan berdiameter 17– 70 nm. Yang berbentuk peluru dapat mencapai 95 x 300 nm. Partikel yang memanjang berkisar antara 114–215 x 23 nm, namun ada juga yang mencapai 2000 x 10 nm. Keterangan ini menunjukkan bahwa partikel virus itu bervariasi secara morfologi (Gambar 3.7). 42

Cipta Ginting


Partikel virus merupakan konstruksi yang sederhana karena hanya terdiri atas dua unsur, yaitu asam ribonukleat (RNA) atau asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein. Asam nukleat membawa informasi genetik sedangkan protein menjadi dinding atau mantel partikel tersebut. Asam nukleat dapat berupa single-stranded (ssRNA atau ssDNA) atau double-stranded (dsRNA atau dsDNA). Kebanyakan virus patogen pada tumbuhan mempunyai ssRNA. Di atas telah disebutkan bahwa virus hanya dapat bereproduksi di dalam sel inang. Reproduksi itu mencakup proses biokimia yang sangat rumpil (kompleks). Virus bereproduksi dengan menggunakan sistem tumbuhan inang yang diserangnya. Pada partikel virus yang mengandung ssRNA, misalnya, proses reproduksi diawali dengan pelepasan bahan genetik dari dinding protein ke dalam sel tumbuhan. Di dalam sel tumbuhan inang, RNA virus itu memulai pembentukan enzim polimerase RNA. Informasi genetik yang diperlukan untuk membentuk enzim itu dapat terletak pada virus atau inang. Enzim polimerase RNA itu kemudian berfungsi sebagai katalisator pembentukan RNA yang merupakan pasangan RNA virus, sehingga terjadi RNA double-stranded. RNA double stranded itu kemudian terpisah dan pembentukan untaian RNA virus asli dan pasangannya dibentuk kembali. Proses itu terjadi berulang-ulang sehingga banyak RNA dibentuk dalam sel tumbuhan inang tersebut. Pada saat yang sama, bagian protein dari partikel virus juga dibentuk. Untuk itu, informasi genetik terdapat pada RNA virus dan pembentukan protein menggunakan ribosom inang. Pada tahap akhir, setiap RNA terbungkus oleh mantel protein.

Cipta Ginting

43

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

Gambar 3.7 Mikrograf elektron berbagai virus tumbuhan. (A) Virus mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus) yang memanjang kaku (berbentuk batang), (B) Virus mosaik tebu (Sugarcane mosaic mosaic virus) yang memanjang lentur (seperti benang), (C) Cowpea chlorotic mottle virus yang bulat (isometric), (D) Broccoli necrotic yellows virus yang berbentuk peluru, dan Alfalfa mosaic virus yang terdiri atas berbagai bentuk serta ukuran. (Sumber Agrios, 2005).

Proses reproduksi itu mengganggu proses fisiologis tumbuhan inang. Akibatnya, tumbuhan tsb. menjadi sakit dan menunjukkan gejala seperti mosaik, klorosis, kerdil, dan lain-lain. Beberapa contoh penyakit penting akibat virus tertera pada Tabel 3.6.

44

Cipta Ginting


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 3.6. Contoh penyakit penting akibat bakteri PENYAKIT Tungro Katai atau kerdil Mosaik Mosaik Belang Mosaik

Mosaik

PENYEBAB

TANAMAN

Virus tungro Soybean dwarf virus Virus mosaik kedelai (Soybean mosaic virus) Virus mosaik tembakau (Tobacco mosaic virus) Virus belang kacang tanah (Groundnut mottle virus) Beberapa virus, al.: Virus mosaik ketimun (CMV) Virus betok tembakau (TEV) Virus A kentang (PV A) Cirus Y kentang (PV Y) Virus mosaik tebu (Sugarcane mosaic virus)

Padi Kedelai Kedelai Tembakau Kacang tanah cabai

Tebu

3.4 Nematoda Nematoda membentuk satu filum dalam Dunia Animalia. Dari 10 ordo nematoda, dua mengandung anggota yang hidup sebagai parasit pada tumbuhan, yaitu Tylenchida dan Dorylaimida. Kebanyakan nematoda parasit termasuk ke dalam ordo yang pertama. Ukuran nematoda sangat bervariasi, yaitu dari yang dapat dilihat tanpa kaca pembesar atau mikroskop sampai yang sangat kecil. Contoh nematoda yang berukuran besar ialah Ascaris, yang parasit pada hewan (dan manusia), yang ukurannya mencapai beberapa cm. Nematoda parasit pada tumbuhan termasuk yang berukuran kecil (umumnya 1–2 mm panjang dan 50 ¾m lebarnya) dan untuk mengamatinya diperlukan mikroskop. Ilustrasi morfologi nematoda parasit tumbuhan dapat dilihat pada Gambar 3.8. Pada dasarnya, tubuh nematoda terdiri atas tabung luar yang merupakan dinding tubuh dan tabung dalam yang merupakan saluran pencernaan makanan. Nematoda umumnya tidak berwarna sehingga tampak transparan di bawah mikroskop. Cipta Ginting

45

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

NO


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Sebagian besar nematoda patogen tumbuhan menyerang akar dan bagian tumbuhan lain di bawah permukaan tanah (Tabel 3.7). Di samping itu, ada beberapa nematoda yang menyerang bagian tumbuhan di atas permukaan tanah seperti pucuk, batang, dan biji.

Gambar 3.8. Bentuk dan ukuran relatif beberapa nematoda penting pada tumbuhan. (Sumber: Agrios, 2005).

Tabel 3.7. Beberapa nematoda parasit penting pada tanaman (Semangun, 2004a, 2004b, 2000) NO NEMATODA Ektoparasit 1 Tylenchorhyncus 2 Trichodorus Endoparasit: migratory 3 Radopholus 4 Pratylenchus Endoparasit: sessile 5 Meloidogyne 6 Heterodera

46

TUMBUHAN INANG Tebu Banyak tanaman termasuk jagung dan kubis Pisang, jeruk Banyak tanaman termasuk kacangkacangan dan wortel Banyak tanaman termasuk tomat Kedelai

Cipta Ginting


3 PENYEBAB PENYAKIT TUMBUHAN

3.5 Perlatihan

Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Inc., San Diago. 342 pp. Dropkin, V.H. 1989. Introduction to Plant Namatology. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. 304 pp. Moore-Landecker, E. 1990. Fundamentals of the Fungi. 3rd ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 561 pp. Parrry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge University Press, Cambridge. 385 pp. Walkey, D.F.A. 1991. Applied Plant Virology. 2nd ed. Chapman and Hall, London. 337 pp.

Cipta Ginting

47

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

1. Semua penyebab penyakit pada tumbuhan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, sebutkan dan jelaskan! 2. Sebutkan ciri morfologi jamur, bakteri, virus, dan nematoda! 3. Perikan (diskripsikan) cara reproduksi dan sintas jamur, bakteri, virus, dan nematoda!


48

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Perkembangan penyakit dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu perkembangan penyakit dalam sebuah tumbuhan dan dalam suatu populasi tanaman. Pada Bab ini dijelaskan perkembangan penyakit dalam sebuah tumbuhan, sedangkan Bab selanjutnya berisi perkembangan penyakit dalam sebuah populasi tanaman. Sebelum menunjukkan proses perkembangan penyakit pada sebuah tumbuhan, terlebih dulu dijelaskan mekanisme mikroorganisme memperoleh nutrisi karena hal ini terkait erat dengan terjadinya sebagian besar penyakit.

4.1 Mekanisme Nutrisi Mikroorganisme Dari pengertian penyakit pada Bab II telah diketahui bahwa kebanyakan penyakit tumbuhan disebabkan oleh mikroorganisme (jasad renik). Akan tetapi, perlu dicatat bahwa sesungguhnya kebanyakan mikroorganisme di alam menguntungkan bagi manusia. Agar pembaca mempunyai wawasan yang lebih luas dan dapat memahami perkembangan penyakit, ada baiknya dijelaskan mekanisme perolehan nutrisi mikroorganisme tersebut. Banyak organisme termasuk jamur dan bakteri yang menghancurkan bahan atau zat organik yang telah mati. Di alam dekomposisi bahan organik tersebut memungkinkan keberlangsungan proses-proses dalam ekosistem. Tanpa proses dekomposisi, dalam waktu singkat permukaan bumi akan tertutupi oleh bahan organik berupa sampah Cipta Ginting

49

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN dan sisa-sisa makhluk hidup. Mikroorganisme demikian disebut saprofit, yaitu mikroorganisme yang dapat hidup dari bahan organik yang telah mati. Ada mikroorganisme yang dapat hidup dalam asosiasi dengan makhluk hidup yang lain. Asosiasi demikian disebut simbiosis, dan mikroorganisme tersebut dinamakan simbion. Misalnya, Rhizobium yang hidup sebagai simbion pada akar kacang-kacangan, yang menyebabkan terbentuknya bintil akar pada tumbuhan. Meskipun bintil terjadi melalui proses infeksi pada akar seperti dalam proses terjadinya penyakit, hal itu merupakan simbiosis karena bakteri menangkap nitrogen dari atmosfir sehingga tersedia bagi tumbuhan. Rhizobium memang mengambil zat gula dan nutrisi lainnya dari tumbuhan. Akan tetapi, tumbuhan mendapatkan manfaat lebih banyak dari nitrogen yang ditangkap bakteri dari udara daripada kerugian akibat kehilangan zat nutrisi yang diambil bakteri tersebut. Ada pula yang memperoleh nutrisi dari makhluk hidup lain. Organisme yang memperoleh nutrisi dinamakan parasit, sedangkan makhluk hidup tempat nutrisi diperoleh disebut inang (host). Jadi, parasit adalah organisme yang berasosiasi dan memperoleh materi yang diperlukan untuk keberlangsungan hidupnya dari makhluk hidup yang lain. Hubungan atau fenomena ini disebut parasitisme. Terdapat beberapa jamur yang parasit pada jamur lain. Hubungan ini disebut mikoparasitisme, dan akan dideskripsikan lebih lanjut pada topik pengendalian biologi. Walaupun tidak lazim disebut organisme, virus termasuk parasit karena inang mutlak diperlukan untuk keberlangsungan aktivitasntya. Parasit yang hanya dapat hidup dengan berasosiasi dengan makhluk hidup yang lain disebut parasit obligat, sedangkan yang dapat juga hidup dari bahan organik yang telah mati dinamakan parasit fakultatif. Sebagai konsep, parasit obligat dimaksudkan sebagai parasit yang tidak dapat tumbuh atau melengkapi siklus hidupnya di luar makhluk hidup yang lain. Akan tetapi, dewasa ini beberapa parasit obligat sudah dapat ditumbuhkan di laboratorium dalam media buatan yang secara khusus dikembangkan untuk itu. Organisme demikian tetap disebut sebagai parasit obligat karena 50

Cipta Ginting


di alam organisme itu hanya tumbuh dan berkembang hanya pada organisme hidup. Karena parasit menghisap nutrisi dari tumbuhan inangnya, tumbuhan tersebut dirugikan dan dapat menjadi sakit. Organisme, yang kebanyakan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit pada inangnya disebut patogen. Kemampuan suatu organisme menimbulkan penyakit disebut patogenisitas (pathogenicity). Pada kenyataannya, seringkali intensitas penyakit tumbuhan melebihi kerusakan akibat kehilangan zat yang dihisap patogen. Selain memperoleh bahan yang diperlukannya, patogen dapat mengeluarkan zat racun, enzim, atau menstrasfer bahan genetik ke dalam tumbuhan yang dapat menambah kerusakan yang terjadi pada tumbuhan inang. Tidak semua patogen memperoleh nutrisi dari tumbuhan yang sakit akibat patogen tersebut. Dengan kata lain, sebagian patogen bukan parasit. Misalnya, penyakit embun jelaga yang disebabkan oleh jamur Capnodium. Capnodium hidup dari senyawa organik yang lazim disebut dengan “embun madu”, yang mengandung zat gula, asam amino, dan lain-lain. Embun madu itu dikeluarkan oleh kutu (sejenis serangga) yang hidup pada permukaan daun. Penyakit pada tanaman itu terjadi karena tubuh jamur tersebut menutupi permukaan daun sehingga mengganggu fotosintesis dan mungkin juga proses fisiologis yang lain. Perlu ditambahkan bahwa hubungan “inang-patogen” (“host-pathogen”) tidak logis. Sebabnya ialah bahwa istilah ‘inang’ menunjuk hubungan parasitisme, sedangkan istilah ‘patogen’ menunjuk hubungan patogenesis. Padahal tidak semua patogen merupakan parasit. Tetapi istilah inang-patogen cukup sering digunakan dalam literatur fitopatologi, mungkin karena sebagian besar patogen sekaligus juga merupakan parasit. Sebagai catatan, istilah yang lebih baik sebenarnya ialah “susep-patogen” (“susceppathogen”), namun istilah susep tidak banyak digunakan.

4.2 Patogenesis dan Daur Penyakit Dari definisi penyakit yang dikemukakan pada Bab II diketahui bahwa iritasi yang terus menerus menyebabkan terjadinya penyakit. Cipta Ginting

51

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Urutan proses mulai dari terjadinya kontak antara inokulum dan tumbuhan sampai seluruh sindrom terjadi disebut patogenesis. Proses tersebut merupakan peristiwa yang secara biologi bersifat dinamis. Patogenesis merupakan bagian daridaur penyakit (siklus penyakit). Daur penyakit merupakan seluruh proses perkembangan penyakit termasuk efeknya terhadap tumbuhan dan tahap perkembangan patogen. Secara umum daur penyakit terdiri atas beberapa tahapan, yaitu inokulasi, penetrasi, infeksi, kolonisasi, pembentukan struktur reproduksi, penyebaran patogen, dan sintas (survival) patogen. Di bawah ini masing-masing tahapan itu dijelaskan, meskipun proses itu sebenarnya berlangsung secara terus-menerus dan sukar untuk memisahkan satu tahapan dengan tahapan selanjutnya. Pertama dijelaskan siklus penyakit dengan mengambil penyakit akibat jamur sebagai model. Kemudian, ditekankan kekhususan pada daur penyakit yang disebabkan oleh masing-masing bakteri, virus, dan nematoda.

4.3 Daur Penyakit akibat Jamur Dengan mengambil penyakit yang disebabkan jamur sebagai model, berikut dijelaskan proses terjadi dan berkembangnya penyakit pada tumbuhan secara umum (Agrios, 2005). Proses itu dapat dilihat dalam tujuh tahapan, yaitu inokulasi, penetrasi, infeksi, invasi, pertumbuhan dan reproduksi, penyebaran, dan sintas (bertahan hidup, survival). Inokulasi Inokulasi adalah peristiwa terjadinya kontak antara patogen dan inang. Tubuh atau bagian tubuh patogen yang dapat menyebabkan penyakit disebut inokulum, yang dapat berupa spora, hifa, atau miselium. Bergantung pada jamurnya, sumber inokulum dapat berupa benih atau bibit, tanah, sisa-sisa tanaman di lapangan, atau tumbuhan lain. Inokulum itu dapat terbawa ke tumbuhan melalui angin, air, vektor (umumnya serangga), dan alat-alat pertanian.

52

Cipta Ginting


Penetrasi Agar penyakit dapat terjadi, inokulasi diikuti dengan penetrasi, yaitu tahapan patogen memasuki tubuh inang. Bagaimana jamur memasuki atau mempenetrasi tumbuhan yang diserangnya? Untuk menjelaskan proses tersebut dimisalkan inokulum berupa spora. Sebelum memasuki tumbuhan, spora jamur terlebih dulu berkecambah dan membentuk tabung kecambah (Gambar 3.2). Kemudian, patogen tersebut memasuki tumbuhan melalui luka, lubang alami, atau secara langsung menembus epidermis. Luka dapat disebabkan oleh binatang termasuk serangga, alat-alat pertanian, gesekan antar-tanaman yang terjadi akibat angin, ataupun secara alami sewaktu terbentuknya akar sekunder. Luka memang lazim terjadi pada tumbuhan karena terdapat beberapa penyebab tersebut. Lubang alami yang dimaksud ialah stomata, hidatoda, dan lentisel (Gambar 4.1). Penetrasi jaringan tumbuhan secara langsung merupakan proses yang komplek mengingat tumbuhan mempunyai lapisan luar yang terdiri atas kutikel yang keras dan kadang-kadang juga zat lilin. Kutikel terbentuk dari kutin, selulosa, dan pektin. Penetrasi terjadi dengan dua cara, yang biasanya terjadi secara bersama-sama, yaitu cara kimia dan mekanik. Cara kimia berlangsung dengan proses enzimatik, yakni jamur membentuk enzim yang dapat mencerna lapisan kutikula. Enzim yang biasanya terlibat ialah kutinase untuk mencerna kutin, selulase mencerna selulosa, dan pekninase menghancurkan pektin. Cara mekanik terjadi karena sewaktu hifa yang memasuki inang menekan permukaan inang tersebut. Biasanya jamur terlebih dulu membentuk apresoria, yaitu struktur hifa jamur yang membesar, lalu hifa kecil yang disebut penetration peg (jarum penetrasi) yang menembus kutikel dan epidermis (Gambar 4.1).

Cipta Ginting

53

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gambar 4.1 Metode penetrasi dan invasi jaringan tumbuhan oleh jamur. (Sumber: Agrios, 2005).

Infeksi Infeksi dikatakan sudah terjadi jika proses pengambilan nutrisi oleh patogen dari inang sudah mantap. Enzim-enzim hidrolitik seperti pektinase, selulase, dan proteinase umumnya berperan pada fase ini untuk mencerna bahan organik pembentuk jaringan tumbuhan ke dalam monomer zat organik. Zat organik dalam bentuk monomor tersebut dapat diabsorbsi oleh jamur. Invasi Dengan nutrisi yang diperoleh di atas, jamur tumbuh dan berkembang di dalam tubuh inang. Dengan kata lain, tumbuhan inang diinvasi. Bergantung pada jenis jamurnya, mayoritas tubuh patogen dapat berada pada permukaan tumbuhan seperti pada penyakit tepung. Sebagian jamur patogen terbatas di antara kutikel dan epidermis seperti pada penyakit kudis pada apel. Ada jamur patogen yang bekembang di dalam jaringan tumbuhan inang dan menghasilkan struktur reproduktif yang terdedah (terekspos) ke permukaan tumbuhan. 54

Cipta Ginting


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Pertumbuhan dan Reproduksi Setelah melalui fase pertumbuhan dan perkembangan, patogen membentuk struktur reproduksi. Misalnya, jamur yang membentuk spora yang biasanya terdedah ke luar permukaan jaringan tumbuhan. Hal ini membantu penyebaran spora tersebut dengan agen penyebar seperti angin, air, dan vektor serangga, yang disebut di atas. Penyebaran Struktur reproduksi (spora) dapat disebarkan oleh agen tertentu seperti angin, air, dan serangga ke tumbuhan lain. Agen terpenting dalam penyebaran bergantung pada jenis jamur dan jarak geografis penyebaran. Ada jamur yang membentuk “spora kering�, misalnya, jamur yang menyebabkan penyakit tepung (Erysiphe) dan jamur yang dapat menyebabkan busuk buah (Rhizopus stolonifer). Agen penyebaran terpenting bagi jamur seperti ini ialah angin. Jamur lain membentuk “spora basah�, misalnya Verticillium dan beberapa spesies Mucor. Bagi jamur seperti ini, agen penyebaran terpenting ialah air dan serangga. Jika dilihat dari segi jarak penyebaran, dapat dibedakan bahwa penyebaran dalam satu areal pertanaman, penyebaran dengan alat pertanian, hujan, dan serangga menjadi mekanisme terpenting. Akan tetapi, penyebaran ke pertanaman atau daerah lain, penyebaran dengan angin dan bibit atau benih menjadi mekanisme terpenting.

Cipta Ginting

55

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Patogen yang tumbuh di luar sel inang (interselular), yaitu patogen tumbuh di luar sel, dapat memperoleh nutrisi dengan atau tanpa haustoria. Haustoria adalah hifa yang dimodifikasi dan berfungsi untuk menyerap makanan dari inang. Patogen yang tumbuh dan berkembang dalam jaringan tumbuhan secara inter- dan intra-selular menembus dinding sel. Kolonisasi tersebut mengakibatkan timbulnya gejala, yang merupakan akibat aktivitas patogen dan respon tumbuhan inang terhadap infeksi.


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Sintas Untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, patogen harus dapat mempertahankan hidupnya selama penyebaran atau sewaktu tumbuhan inang tidak tersedia atau pada saat kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhannya. Untuk mempertahankan hidupnya, banyak jamur yang membentuk struktur khusus seperti klamidospora, zigospora, dan sklerosia. Struktur jamur tersebut dapat berapa pada permukaan tanah atau di dalam tanah. Jamur tertentu dapat juga mempertahankan hidupnya sebagai tubuha buah atau miselium yang berasosiasi dengan jaringan tumbuhan inang (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Bentuk dan lokasi sintas (survival) jamur dan bakteri di antara musim tanam. (Sumber: Agrios, 2005)

Sebagai ilustrasi daur penyakit akibat jamur patogen, berikut dikemukakan daur penyakit akar gada pada kubis yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae (Gambar 4.3), bercak coklat pada tomat dan tanaman lain akibat Alternaria (Gambar 4.4), antraknosa pada berbagai tanaman akibat Colletotrichum atau Gloeosporium sp. (Gambar 4.5), dan Daur penyakit busuk akar pohon-pohonan yang disebabkan oleh Armilaria mellea (Gambar 4.6).

56

Cipta Ginting


Pada penyakit akar gada pada kubis, inokulasi terjadi pada akar dengan inokulum berupa zigot atau zoospora. Penetrasi mulai dari menempel dan menetapnya zoospora pada akar yang merupakan situs infeksi, lalu terjadi penetrasi langsung ke dalam sel akar kubis. Kemudian, terjadi infeksi diikuti invasi jaringan tanaman oleh patogen diikuti dengan perkembangan gejala penyakit berupa pembengkakan akar yang diinfeksi. Jaringan akar ini kemudian hancur dan dari bagian ini, P. brassicae melepas spora penyintas atau istirahat (resting spores) (Agrios, 2005).

Gambar 4.3 Daur penyakit akar gada pada kubis yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae. (Sumber: Agrios, 2005).

Pada penyakit bercak coklat pada tomat dan tanaman lain akibat Alternaria (Gambar 4.4), inokulasi terjadi pada tanaman dengan spora (konidia) berkecambah lalu memenetrasi jaringan tanaman secara langsung atau melalui luka. Setelah invasi, patogen membentuk spora yang terdedah (terekspos) ke luar permukaan tanaman. Hal ini memudahkan penyebaran spora tersebut.

Cipta Ginting

57

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Pada penyakit busuk akar pohon-pohonan yang disebabkan oleh Armilaria mellea (Gambar 4.5), inokulasi biasanya terjadi dengan pertumbuhan rizomorf dari tanaman yang terinfeksi ke tanaman sehat. Rizomorf ialah jaringan jamur yang menyerupai akar tumbuhan. Kadang-kadang inokulasi juga dapat terjadi dengan basidium sebagai inokulum. Setelah penetrasi dan infeksi, miselium A. mellea bekembang di dalam akar dan batang secara internal. Setelah beberapa saat, jamur membentuk tubuh buah yang terdedah ke luar permukaan tanaman.

Gambar 4.4 Perkembangan penyakit dan gejalanya pada berbagai tanaman yang disebabkan oleh Alternaria. (Sumber: Agrios, 2005).

4.4 Daur Penyakit akibat Patogen Lain Secara umum, siklus penyakit tumbuhan ialah seperti yang dikemukakan di atas. Akan tetapi, jika dilihat masing-masing jenis patogen, seperti antara jamur dan bakteri, virus, atau nematoda, terdapat perbedaan yang signifikan pada hal-hal tertentu. Di bawah ini, ditunjukkan hal-hal yang berlaku secara umum bagi patogen jenis bakteri, virus, dan nematoda. 58

Cipta Ginting


Gambar 4.5 Daur penyakit busuk akar pohon-pohonan yang disebabkan oleh Armilaria mellea. (Sumber: Agrios, 2005).

Bakteri Berbeda dengan jamur, bakteri tidak mempunyai mekanisme untuk memenetrasi (menembus) jaringan tumbuhan secara langsung. Selain itu, bakteri tidak membentuk spora sebagai inokulum. Inokulum tidak lain ialah sel-sel bakteri tersebut. Kalau pun ada bakteri yang membentuk spora seperti Bacillus, hal itu terjadi sebagai mekanisme untuk sintas atau bertahan hidup melewati kondisi lingkungan yang tidak mendukung. Inokulasi terjadi secara pasif, yakni bahwa sel-sel bakteri terbawa oleh agen penyebar tertentu ke tumbuhan inang. Bakteri patogen memasuki tumbuhan melalui luka atau lubang alami (Gambar 4.6). Setelah inokulasi, bakteri biasanya berkembang biak dengan membelah pada bagian tumbuhan tempat masuknya sel bakteri. Dengan bertambah banyaknya sel-sel bakteri ini, proses kolonisasi semakin ekstensif. Sebagian bakteri patogen memproduksi faktor virulensi seperti toksin, enzim, dan hormon. Faktor virulensi ini menyebabkan terjadinya gejala menguning, busuk lunak, hiperplasia, nekrosis, dan layu.

Cipta Ginting

59

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Gambar 4.6

Metode penetrasi dan invasi tumbuhan oleh bakteri. (Sumber: Agrios, 2005).

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Sebagai contoh dikemukakan daur penyakit busuk lunak bakteri pada sayur-sayuran yang disebabkan oleh Erwinia sp. (Gambar 4.7). Erwinia bertahan pada pupa serangga, sisa sayuran, atau kadangkadang di dalam tanah. Inokulasi dan penyebaran dibantu serangga sebagai vektor. Invasi bakeri dalam jaringan tanaman yang diserang menyebabkan busuk lunak.

Gambar 4.7 Daur penyakit busuk lunak bakteri pada sayur-sayuran yang disebabkan oleh Erwinia sp. (Sumber: Agrios, 2005).

60

Cipta Ginting


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Gambar 4.8 Daur penyakit puru mahkota yang disebabkan oleh Agrobacterium tumefaciens. (Sumber: Agrios, 2005).

A. tumefaciens menyebabkan penyakit puru mahkota pada banyak tumbuhan, khususnya yang dikotil. Penyakit tersebut terjadi karena suatu gen ditransfer dari bakteri patogen ke dalam genom tumbuhan inang. Gen yang ditransfer tersebut menyebabkan diproduksinya hormon auksin dan sitokinin dalam sel tumbuhan yang diserang sehigga terjadi pembelahan sel secara tidak normal dan terbentuk puru. Sel-sel tumor itu membentuk derivatif asam amino tertentu yang dimanfaatkan bakeri patogen sebagai nutrisi. Virus Berbeda dengan semua jenis patogen lain, virus tidak dapat memulai infeksi secara langsung atau melalui lubang alami. Inokulasi oleh virus terjadi secara pasif dengan mekanisme tertentu seperti dijelaskan di bawah ini.

Cipta Ginting

61

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Sementara proses terjadinya penyakit di atas berlaku bagi bakteri secara umum, terdapat mekanisme yang berlaku khusus, antara lain, pada Agrobacterium tumefaciens (Gambar 4.8).


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

(1) Penularan secara Mekanik Di lapangan, inokulasi secara mekanik dapat terjadi terutama jika partikel virus sangat stabil dan berada dalam konsentrasi tinggi dalam tanaman seperti TMV (Tobacco mosaiv virus atau Virus mosaik tembakau). Penularan secara mekanik dapat terjadi dengan berbagai mekanisme. Pertama, pergesekan yang terjadi antara jaringan yang terinfeksi dan yang sehat. Pergesekan tersebut dapat terjadi karena angin yang kencang dan menimbulkan luka pada tumbuhan tempat partikel virus menyebar. Kedua, pada pertanaman, lazim terjadi kontak antar-akar tanaman. Partikel virus dapat menyebar melalui kontak tersebut. Ketiga, virus dapat menyebar melalui luka yang terjadi pada akar. Pelukaan tersebut lazim terjadi sewaktu pertumbuhan akar yang mendesak partikel-partikel tanah yang keras atau ketika percabangan akar terjadi. Keempat, penularan virus justru terjadi selama kegiatan bercocok tanam ketika alat pertanian, tangan, atau pakaian yang digunakan terkontaminasi dengan virus. (2) Penularan melalui Vektor Mekanisme inokulasi yang juga penting ialah dengan organisme perantara yang disebut vektor. Vektor yang biasanya terpenting ialah serangga seperti afid, wereng, lalat, kumbang, trip, dan tungau. Di samping itu, namatoda dan jamur juga dapat berperan sebagai vektor. (3) Penularan melalui Bahan Propagatif Beberapa virus ditularkan melalui material yang dipakai dalam perkembangbiakan suatu tanaman seperti benih atau bibit. Penularan melalui bahan propagatif dapat sangat efektif menularkan virus ke daerah yang luas termasuk daerah yang masih bebas dari patogen. Suatu virus dapat ditularkan dengan satu atau lebih metode. Mekanisme penularan tersebut perlu dipahami dalam rangka perumusan strategi pengelolaan penyakit tanaman akibat virus. Sebagai ilustrasi ditunjukkan gejala penyakit tungro pada padi, vektor yang menyebarkan virus yakni wereng coklat, dan partikel 62

Cipta Ginting


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Gambar 4.9 (A) Tanaman padi yang menunjukkan gejala penyakit tungro. (B) Wereng coklat yang berperan sebagai vektor virus. (C) Virus yang terdiri atas dua partikel yaitu bulat (spherical) dan sepereti peluru (bacilloform). (Sumber: Agrios, 2005)

Nematoda Pada prinsipnya, proses terjadi dan berkembangnya penyakit yang disebabkan nematoda seperti yang telah diterangkan di atas. Inokulum dapat berupa telur, larva, atau nematoda dewasa. Jika inokulum merupakan fase telur, tentu telur tersebut harus menetas sebelum penetrasi dapat berlangsung. Fase nematoda yang dapat memulai infeksi disebut fase infektif. Fase infektif dimulai sejak nematoda pada stadium larva kedua karena fase pertama masih berada dalam cangkang telur. Larva infektif menembus tumbuhan dengan menggunakan stilet. Dalam menyerang tumbuhan, ada nematoda yang menembus dan masuk ke dalam jaringan tumbuhan dan ada pula yang tetap berada di luar jaringan tumbuhan. Yang masuk ke jaringan tumbuhan disebut endoparasit, dan yang tetap di luar disebut ektoparasit. Yang endoparasit memasuki dan hidup dalam jaringan tumbuhan, atau sebagian tubuh nematoda tersebut berada di dalam jaringan tumbuhan. Nematoda ini dapat berpindah-pindah jaringan tumbuhan Cipta Ginting

63

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

virus yang terdiri atas dua partikel yaitu bulat (spherical) dan sepereti peluru (bacilloform) (Gambar 4.9).


4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

(migratory), misalnya Radopholus (Gambar 4.10) dan Pratylenchus. Ada yang tidak berpindah-pindah (sessile), misalnya Meloidogyne (Gambar 4.11). Sebagian nematoda yang sessile tubuhnya sebagian di luar jaringan tumbuhan dan sebagian di dalam, misalnya Heterodera. Nematoda menimbulkan kerusakan pada tumbuhan yang terinfeksi kerena nematoda tersebut menghisap zat-zat nutrisi dan air dari tumbuhan tersebut. Selain itu, sekresi nematoda dapat mengandung faktor virulensi, yang berperan dalam terjadinya penyakit. Gejala luar serangan nematoda dapat berupa puru, nekrotis, bercak, dan bilur (lesion) pada batang atau pucuk. Pada akar kerusakan dapat terjadi berupa puru akar, bilur, dan kerusakan pada ujung akar, pembusukan, serta percabangan yang berlebihan. Serangan pada akar dapat menyebabkan kerdil pada seluruh tanaman. Beberapa contoh nematoda parasit pada tananam dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Gambar 4.10 Daur penyakit pada pisang dan jeruk akibat Radopholus sp. (Sumber: Agrios, 2005).

64

Cipta Ginting


Gambar 4.11 Daur penyakit pada tanaman akibat Meloidogyne sp. (Sumber: Agrios, 2005).

4.5 Perlatihan 1. Perikan proses terjadinya penyakit pada tumbuhan akibat jamur! 2. Dimana letak perbedaan proses terjadinya penyakit yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan nematoda? Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp. Chapter 3. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 754 hlm.

Cipta Ginting

65

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

4 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA SATU TUMBUHAN


66

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN

Seperti disebutkan pada Bab sebelumnya, perkembangan penyakit dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu perkembangan penyakit dalam sebuah tumbuhan dan dalam suatu populasi tanaman. Sejauh ini penjelesan penyakit tumbuhan terbatas pada aras sel, jaringan, atau satu tumbuhan. Dari segi ekonomi, terjadinya penyakit pada sebuah tanaman atau bahkan beberapa tanaman biasanya tidak menimbulkan kerugian yang berarti, kecuali pada tanaman pohon dan hias tertentu. Akan tetapi, tanaman sakit dapat menjadi sumber inokulum yang dapat dipencarkan oleh berbagai agen ke banyak tanaman lain dalam sebuah populasi tanaman atau bahkan ke pertanaman lain. Kerugian ekonomi biasanya terjadi jika penyakit telah berkembang dalam suatu populasi tanaman. Oleh karena itu, pengendalian penyakit pada kenyataannya kadang-kadang bertujuan untuk menghindarkan atau meminimalkan penularan penyakit dalam sebuah populasi tanaman. Pemahaman akan perkembangan patogen dalam suatu populasi tanaman dapat memberikan strategi yang tepat dalam pengendalian penyakit.

5.1 Epidemi dan Epidemiologi Peningkatan intensitas penyakit dalam populasi tanaman disebut epidemi (epidemic). Agrios (2005) mendefinisikan epidemi sebagai “any increase of disease in a population atau the dynamic of change in plant disease in time and space�. Akan tetapi, penggunaan istilah Cipta Ginting

67

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN epidemi (epidemic) biasanya digunakan untuk peningkatan penyakit tanaman dengan cepat atau penyakit menjadi parah. Hal ini tampak pada defenisi yang dikemukakan pada glossary buku tersebut, yaitu “a disease increase in a population; usually a widespread and severe outbreak of a disease�. Dengan demikian, suatu penyakit disebut sebagai penyakit epidemik jika penyakit tersebut berkembang dengan cepat dan menimbulkan penyakit yang parah. Suatu penyakit yang terjadi secara tetap dan relatif merata pada suatu daerah disebut penyakit endemik. Sementara itu, jika suatu penyakit terjadi tidak merata di suatu daerah dan hanya terdapat di sana sini disebut sporadik. Cabang fitopatologi yang secara khusus mempelajari epidemik dinamakan epidemiologi. Bowen (2008) memberi defini epidemiologi sebagai “the study of properties of pathogens, hosts, and the environment that lead to an increase on disease in a population.� Epidemi yang umumnya tidak terjadi pada tumbuhan liar, seperti yang kadang-kadang terjadi dalam agroekosistem. Seperti telah diterangkan pada Bab I, hal itu terutama disebabkan karena dalam agroekosistem satu jenis tanaman dibudidayakan dalam jumlah yang besar dan secara berdekatan. Terdapatnya inokulum patogen pada sebuah populasi tanaman yang rentan atau peka membawa resiko yang besar terjadinya peningkatan intensitas penyakit dengan cepat sehingga menimbulkan kerugian yang besar pula. Oleh karena itu, dalam sistem pertanian yang semakin maju, yang antara lain menggunakan tanaman sejenis pada hamparan yang luas (monokultur), pengendalian penyakit merupakan komponen integral dari sistem budidaya tanaman. Dalam hal ini, pehamanan akan epidemiologi sebuah penyakit akan memberikan landasan teoritis dalam menyusun strategi pengendalian penyakit tersebut.

5.2 Elemen Epidemi Pada Bab II dijelaskan segitiga penyakit sebagai model untuk menggambarkan bahwa terjadi dan berkembangnya penyakit akibat interaksi tiga faktor yakni tanaman yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. 68

Cipta Ginting


Ketiga faktor tersebut berinteraksi dalam jangka waktu tertentu, seperti dijelaskan Agrios (2005). Dengan demikian, model segitiga penyakit dapat dikembangkan menjadi tetrahidron penyakit (disease tetrahedron) untuk mencakup faktor keempat yakni waktu (Gambar 5.1). Empat bidang pada tetrahidron masing-masing menggambarkan keempat faktor yakni tanaman, patogen, lingkungan, dan waktu. Waktu menjadi faktor penting karena perkembangan penyakit dipengaruhi oleh titik waktu dalam satu tahun (kapan) terjadinya penyakit. Misalnya, apakah terjadinya interaksi pada saat curah hujan tinggi yang meningkatkan kelembaban dan dapat meningkatkan penyebaran suatu patogen. Faktor waktu dalam pengertian ini juga terkait dengan fase perkembangan tanaman. Kerentanan tanaman mungkin berbeda-beda antar-tahap perkembangan tanaman. Di samping pengertian kapan terjadinya penyakit, waktu menjadi faktor penting dalam arti jangka waktu (lamanya) terjadinya interaksi. Misalnya, semakin lama terjadinya lingkungan yang berpengaruh atau tanaman peka, maka penyakit akan semakin parah.

Gambar 5.1 Tetrahidron penyakit (Modifikasi dari Gambar 8-2 Agrios, 2005).

Sesungguhnya, di samping keempat faktor yang dilambangkan dalam model tetrahidron penyakit, terdapat satu faktor lain yang berpengaruh yakni manusia. Dengan demikian, model tetrahidron Cipta Ginting

69

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN


5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

penyakit dapat dikembangkan untuk mencakup faktor manusia (Gambar 5.2). Manusia mempengaruhi terjadi dan berkembangnya penyakit karena manusia menentukan jenis tanaman yang ditanam dan cara-cara budidaya yang dilakukan. Pada Gambar 5.2, tanaman, patogen, dan lingkungan masing-masing dilambangkan oleh tiaptiap sisi segitiga. Faktor waktu digambarkan oleh garis tegak lurus dari tengah segitiga. Sementara itu, manusia merupakan puncak tetrahidron dengan dasar segitiga tersebut dan tinggi sebagai lamanya waktu. Dengan demikian, model ini menggambarkan manusia berinterakasi dan mempengaruhi keempat unsur epidemi. Jelaslah bahwa manusia mempengaruhi epidemik dan juga sebaliknya, kadang-kadang epidemi dapat mempengaruhi manusia.

Gambar 5.2 Tetrahidron penyakit yang menunjukkan peran manusia dalam perkembangan penyakit tanaman (Modifikasi dari Gambar 8-3 Agrios, 2005).

5.3 Faktor Tanaman Inang yang Mempengaruhi Epidemi Terdapat beberapa faktor penting terkait tananaman inang yang berpengaruh terhadap perkembangan epidemi. Yang pertama ialah aras ketahanan atau kepakaan genetik tanaman. Tanaman inang yang mengandung gen resistensi vertikal terhadap suatu patogen tidak akan dapat diserang patogen tersebut sehingga epidemi tidak terjadi. Tanaman yang mempunyai gen resistensi horizontal dapat diserang oleh patogen, namun keparahan penyakit akan lebih rendah daripada yang dapat terjadi pada tanaman tanpa gen 70

Cipta Ginting


resistensi horizontal tersebut. Dengan demikian, epidemi tidak akan dapat berkembang dengan cepat. Faktor tanaman lain ialah derajat keseragaman genetik pada populasi tanaman. Umumnya laju perkembangan epidemi tercepat pada tanaman yang dibiakkan secara vegetatif karena mempunyai keseragaman genetik. Laju perkembangan epidemi kurang cepat pada tanaman yang menyerbuk sendiri, jika dibandingkan dengan yang dapat terjadi pada tanaman yang dibiakkan secara vegetatif. Laju perkembangan epidemi terendah biasanya terjadi pada tanaman yang menyerbuk secara silang. Dengan kata lain, jika yang ditanam pada daerah yang luas ialah tanaman inang dengan bahan genetik seragam, maka besar peluang munculnya ras patogen yang dapat menyerang tanaman dan menimbulkan epidemi yang besar. Umur tanaman inang dapat juga menentukan laju perkembangan epidemi. Kepekaan tanaman dapat berubah dengan fase pertumbuhan tanaman. Dilaporkan (Agrios, 2005) bahwa beberapa tanaman peka hanya selama periode pertumbuhan dan resisten selama periode dewasa terhadap damping off dan busuk akar Pythium, embun bulu, hawar bakteri, dan virus.

5.4 Faktor Patogen yang Mempengaruhi Epidemi Dari sisi patogen terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap epidemi. Yang perama ialah aras virulensi. Patogen yang semkin virulen dapat menimbulkan penyakit yang semakin parah. Dengan demikian, laju perkembangan epidemi dapat semakin cepat. Jumlah inokulum patogen juga memberi pengaruh terhadap epidemi. Semakin banyak inokulum patogen di sekitar tanaman inang akan memperbesar peluang terjadinya kontak antara patogen dan tanaman inang. Hal ini dapat menimbulkan epidemi yang cepat. Tipe reproduksi patogen berpengaruh sejalan dengan jumlah inokulum. Patogen dengan banyak daur/siklus (polisiklus) dan daur pendek akan menghasilkan inokulum dalam jumlah banyak dalam waktu relatif singkat. Hal ini dapat menimbulkan epidemi yang besar secara cepat. Contohnya terjadi pada penyakit karat, tepung, berdaun daun, dll. Potensi menimbulkan epidemi yang besar lebih Cipta Ginting

71

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN rendah pada patogen dengan satu atau beberapa daun repoduksi per musim tanam. Patogen monosiklik dengan hanya satu daur reproduksi per tahun menghasilkan inokulum sekali dalam setahun. Dalam hal ini, epidemi biasanya polietik, yakni epidemi berkembang selama beberapa tahun. Ekologi patogen juga berpengaruh besar terhadap epidemi. Terdapat patogen seperti jamur patogen yang menghasilkan inokulum yang terdedah (terekspos) ke udara sehingga dapat disebarkan dengan relatif mudah dan cepat ke daerah yang luas. Hal ini dapat menimbulkan epidemi yang besar dan cepat. Patogen lain seperti jamur pembuluh (vascular fungi) berkembanga biak di dalam tanaman sehingga sulit disebarkan tanpa kehadiran vektor. Dengan demikian, patogen seperti itu hanya dapat disebarkan dengan cepat ke daerah yang luas jika tersedia vektor. Demikian halnya tentang patogen soilborne, yakni yang bertahan dalam tanah, sulit untuk menimbulkan epidemi luas dalam waktu yang cepat. Faktor patogen lain yang juga sangat berpengaruh ialah cara penyebaran patogen. Banyak jamur yang menghasilkan spora yang dapat dipencarkan melalui udara ke daerah luas dengan cepat. Patogen airborne ini dapat menghasilkan epidemi yang luas dalam waktu yang relatif cepat. Misalnya yang terjadi pada penyakit karat, tepung, dan bercak atau hawar daun. Dalam potensi menimbulkan epidemi terpenting selanjutnya ialah patogen yang disebartkan oleh vektor airborne. Salah satu contohnya ialah penyakit akibat virus. Beberapa patogen menghasilkan struktur propagatif yang disebarkan oleh dalam hujan yang disebarkan angin, seperti patogen antraknosa dan banyak bakteri. Patogen seperti ini sering menimbulkan epidemi yang parah, namun sering terbatas dalam satu kebun. Sebagian patogen terbawa bahan propagatif tanaman seperti umbi dan keefektifan patogennya bergantung pada kemudahannya disebarkan ke tanaman lain di lapangan. Patogen soilborne terbatas potensinya untuk menimbulkan epidemi yang luas dalam waktu yang cepat.

72

Cipta Ginting


5.5 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Epidemi Seperti telah dijelaskan pada Bab II, terdapat tiga faktor utama yang menentukan terjadi dan berkembangnya penyakit pada tanaman yang digambarkan dengan segitiga penyakit, yaitu tanaman yang peka, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan mempengaruhi tanaman inang dalam hal pertumbuhan dan vigor, kepekaan, sukulensi, dan fase pertumbuhan tanaman. Sementara itu, lingkungan mempengaruhi patogen dalam hal sintas (survival), vigor, laju perkembangbiakan atau sporulasi, dan penyebaran. Faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap epidemi ialah kelembaban dan suhu. Tingkat dan jangka waktu kelembaban umumnya merupakan faktor dominan yang mempengaruhi penyakit akibat jamur, bakteri, dan nematoda. Suhu pada tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suhu optimal bagi tanaman meningkatkan intensitas penyakit karena pada suhu tersebut ketahanan parsial tanaman berkurang. Sementara itu, suhu mempengaruhi patogen dalam hal perkecambahan spora jamur, penetrasi tanaman inang, pertumbuhan patogen, dan reproduksi patogen. Dalam hal patogen polisiklik, suhu optimal mempercepat laju perkembangan siklus/daur penyakit sehingga pada suhu yang optimal, siklus penyakit lebih banyak. 5.6 Tipe Penyakit Tanaman Vandarplank merupakan pioner dalam menjelaskan epidemik dengan model matematika dalam bukunya Plant Disease: Epidemic and Control (1963). Penyebaran penyakit dianalogikan dengan pembungaan uang di bank. Perbanyakan uang di bank sangat bergantung pada sistem pembungaan. Sistem pembungaan uang di bank dapat dilihat dalam dua sistem, yaitu sistem bunga tunggal dan bunga majemuk. Sejalan dengan itu, penyebaran penyakit sangat ditentukan oleh cara reproduksi patogen penyebabnya, dan penyakit tumbuhan dapat digolongkan ke dalam “penyakit ber-bunga tunggal� atau “penyakit ber-bunga majemuk�. Pembagian tersebut bermanfaat untuk menjelaskan pola umum penyebaran penyakit dalam suatu populasi tanaman. Cipta Ginting

73

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN Penyakit “Ber-bunga Tunggal� Jika uang di bank dibungakan dengan sistem ber-bunga tunggal, bunga uang yang diperoleh hanya didasarkan pada pinjaman pokok pada awalnya. Demikian juga, penyakit dengan “bunga tunggal� kecepatan perkembangannya dalam populasi tanaman hanya ditentukan oleh inokulum awal saja. Inokulum yang dimaksud mungkin terdapat pada atau dalam tanah atau terbawa dalam bahan propagatif tanaman. Inokulum hanya diproduksi sekali selama satu musim, yang biasanya pada akhir musim. Pertambahan jumlah inokulum tersebut tidak mempengaruhi laju peningkatan intensitas penyakit pada musim yang sedang berjalan tersebut, namun akan menentukan intensitas penyakit pada musim berikunya. Patogen demikian disebut patogen monosiklik (mono berarti satu atau tunggal; siklik berarti siklus atau daur), dan penyakit yang ditimbulkannya disebut penyakit monosiklik. Jadi, patogen monosiklik berreproduksi hanya sekali dalam satu musim tanam, dan penyakit monosiklik terjadi hanya satu daur dalam satu musim tanam. Secara matematika, epidemik yang disebabkan oleh patogen seperti itu dapat diperikan dengan model di bawah ini.

dx

= QR (1-x) dengan dt

dx dt

= laju pertambahan penyakit

Q = jumlah inokulum awal R = laju infeksi atau efikasi inokulum dan 1-x = tanaman sehat yang tersisa.

Kurva perkembangan penyakit (disease progress curve) yang disebabkan oleh patogen monosiklik menyerupai kurva jenuh (saturation curve) berikut (Gambar 5.1). Laju perkembangan penyakit relatif kecil, namun penyakit tersebut dapat juga menimbulkan kerugian besar jika terdapat inokulum awal dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat terjadi karena terjadinya akumulasi inokulum patogen dalam waktu yang relatif lama. 74

Cipta Ginting


5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN

Gambar 5.3 Kurva perkembangan penyakit monosiklik.

Penyakit “Ber-bunga Majemuk� Jika uang disimpan di bank dengan sistem bunga majemuk, maka jumlah bunga didasarkan pada simpanan awal dan bunganya. Dengan kata lain, pada sistem ini terjadi ‘bunga berbunga’. Sejalan dengan itu, intensitas penyakit yang mengikuti perkembangan dengan sistem tersebut ditentukan oleh inokulum awal (inokulum primer) dan inokulum yang dihasilkan pada musim tanam tersebut (inokulum sekunder). Pada kenyataaanya, intensitas penyakit demikian lebih ditentukan oleh laju perkembangan daripada oleh inokulum awal. Patogen demikian disebut patogen polisiklik (poli berarti banyak; siklik berarti siklus atau daur), dan penyakit yang ditimbulkannya disebut penyakit polisiklik. Jadi, patogen polisiklik berreproduksi beberapa kali dalam satu musim tanam, dan penyakit polisiklik terjadi dalam beberapa daur dalam satu musim tanam. Dengan demikian, beberapa generasi inokulum dapat diproduksi dalam satu musim. Hal ini memungkinkan peningkatan intensitas penyakit secara eksponensial pada waktu tertentu. Dengan model matematika, penyakit polisiklik dapat diperikan sebagai berikut.

Cipta Ginting

75

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Contoh penyakit monosiklik ialah penyakit layu pada kapas yang disebabkan oleh Verticillium dahliae. Inokulum patogen ini berupa sklerotium. Sklerotium yang diproduksi dalam satu musim tidak menimbulkan penyakit pada musim yang sama. Peningkatan penyakit yang terjadi pada satu musim terjadi kerena pertumbuhan akar yang berlangsung sehingga kontak akar dengan inokulum itu terjadi.


5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN dx = xr (1-x) dengan dt

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

dx dt

= laju pertambahan penyakit

x = intensitas penyakit r = laju infeksi dan 1-x = tanaman sehat yang tersisa.

Model itu menunjukkan bahwa perkembangan penyakit polisiklik dipengaruhi bukan hanya oleh sisa tanaman sehat (1-x), melainkan juga oleh intensitas penyakit (x) pada saat itu. Hal ini terjadi karena inokulum yang diproduksi pada tanaman sakit dapat disebarkan ke tanaman sehat dan menginfeksi tanaman sehat tersebut. Semakin banyak tanaman sakit (semakin tinggi intensitas penyakit) maka akan semakin banyak inokulum akan dihasilkan sehingga mempercepat perkembangan penyakit dalam populasi tanaman tersebut. Akan tetapi, pada akhirnya laju perkembangan penyakit akan dibatasi oleh ketersediaan tanaman sehat. Laju perkembangan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor termasuk tingkat keresistenan tanaman, virulensi patogen, dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan tersebut dipengaruhi juga oleh teknik budidaya yang diterapkan. Kurva perkembangan penyakit polisiklik biasanya berbentuk sigmoid (Gambar 5.2). Satu contoh penyakit polisiklik ialah penyakit hawar daun yang disebabkan oleh Phytophthoara infestans. P. infestans dapat berkembang dengan cepat jika faktor lingkungan mendukung. Satu siklus patogen dapat berlangsung lebih kurang dalam 1 minggu.

Gambar 5.4 Kurva perkembangan penyakit polisiklik.

76

Cipta Ginting


5.7 Perlatihan 1. Apa yang dimaksud dengan epidemik, endemik, dan sporadik? 2. Apa yang dimaksud dengan epidemiologi? Mengapa kita perlu mempelajarinya? 3. Sebutkan dan jelaskan unsur epidemi terkait (a) tanaman, (b) patogen dan (c) lingkungan! 4. (a) Mengapa suatu patogen dapat disebut sebagai ‘patogen monosiklik’, sedangkan patogen yang lain digolongkan sebagai ‘patogen polisiklik’. (b) Diskusikan model matematika untuk kedua tipe penyakit tersebut! 5. Bagaimana strategi dasar untuk mengendalikan (a) penyakit monosiklik dan (b) penyakit polisiklik?

Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp.

Cipta Ginting

77

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

5 PERKEMBANGAN PENYAKIT PADA POPULASI TANAMAN


78

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN

Suatu petogen dapat menginfeksi tumbuhan jika dapat memasuki tumbuhan tersebut dan menyerap nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Aktivitas patogen dalam tumbuhan yang diserang kebanyakan melibatkan proses kimiawi dengan patogen melepaskan senyawa-senyawa kimiawi yang mempengaruhi komponen atau metabolisme tertentu dalam tumbuhan inang. Di samping itu, tahapan penetrasi dan invasi tampaknya melibatkan kekuatan mekanik dari patogen pada permukaan tumbuhan dan dinding sel. Kekuatan mekanik pada permukaan tumbuhan terjadi pada penetrasi oleh sebagian besar jamur patogen, tumbuhan tingkat tinggi yang parasit, dan nematoda. Dengan demikian, secara umum dapat dikemukakan bahwa patogen menyerang tumbuhan dengan kekuatan mekanis dan secara kimiawi (Agrios, 2005). 6.1 Kekuatan Mekanis

Dalam penetrasi permukaan tumbuhan, jamur terlebih dulu lengket pada permukaan tumbuhan tersebut. Kadang-kadang spora mengeluarkan enzim kutinase dan selulase pada saat kontak dengan permukaan yang lembab. Enzim ini membantu spora lengket pada permukaan tumbuhan. Selain itu, spora beberapa jamur membawa bahan perekat pada ujungnya yang membantu spora lengket pada beberapa permukaan tumbuhan. Pasa sebagian penetrasi langsung oleh jamur, diameter ujung Cipta Ginting

79

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

6


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN hifa bertambah dan terbentuk appresorium setelah kontak mantap (Gambar 4.1). Dengan terbentuknya appresorium bertambah daerah lengketnya antara jamur patogen dan tumbuhan. Kemudian jarum penetrasi (penetration peg) terbentuk dari permukaan datar appresorium ke arah inang. Sebagian jamur patogen tidak membentuk appresorium, tetapi miselium atau spora langsung membentuk hifa halus untuk memasuki tumbuhan inang. Jarum penetrasi atau hifa kecil tersebut menembus kutikel dan dinding sel inang dengan kekuatan mekanik dan pelunakan enzimatik pada permukaan inang. Pada tahap lanjut dalam daur penyakit pada tumbuhan akibat sebagiam jamur, kekuatan mekanik dari jamur menekan permukaan tumbuhan sehingga pecah. Hal ini terjadi dalam perkembangan tubuh buah jamur seperti piknidia, peritesia, atau aservulus, yang kemudian tubuh buah tersebut terdedah (terekspos) keluar permukaan tumbuhan. Tumbuhan parasit memenetrasi tumbuhan inangnya melalui penetrasi langsung seperti sebagian jamur patogen tumbuhan. Nematoda mempenetrasi tumbuhan inangnya dengan tusukan stilet yang berulang-ulang sampai akhirnya terbentuk lubang kecil pada permukaan tumbuhan inang. Melalui lubang kecil tersebut, stilet atau tubuh nematoda memasuki tumbuhan. Sebgian nematoda memasuki tumbuhan inangnya melalui lubang alami (Agrios, 2005).

6.2 Senjata Kimia Patogen Seperti disebutkan di atas bahwa aktivitas patogen dalam tumbuhan kebanyakan berupa proses kimia. Dampak patogen terhadap tumbuhan hampir semua merupakan hasil reaksi biokimia antara senyawa-senyawa yang dilepas patogen dan yang terdapat atau dibentuk tumbuhan. Menurut Agrios (2005), kelompok senyawa utama yang dilepas patogen dalam tumbuhan yang tampaknya berperan dalam menimbulkan penyakit secara langsung atau tidak langsung ialah enzim, toksin, pengatur tumbuh, dan polisakarida. Peran senyawasenyawa ini berbeda-beda bergantung pada penyakit tumbuhan. 80

Cipta Ginting


6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN

Enzim Permukaan tumbuhan di atas permukaan tanah terdiri atas kutikula dan/atau selulosa, sementara permukaan akar tumbuhan terdiri atas selulosa. Di luar kutikula, sering terdapat lapisan lain yakni lapisan lilin. Kutikula utamanya terdiri atas kutin dan pada bagian bawahnya terdapat pektin dan selulosa. Pada kutikula juga terdapat berbagai polisakarida dan berbagai tipe protein. Pada dinding sel epidermis terdapat saberin dan lignin. Patogen seperti jamur yang dapat memenetrasi tumbuhan secara langsung umumnya menghasilkan enzim yang dapat mencerna senyawa-senyawa pada permukaan tumbuhan dan dinding sel tumbuhan. Lebih daripada itu, penetrasi patogen ke jaringan parenkima dapat terjadi karena kemampuan patogen untuk memecah dinding sel internal yang terdiri atas selulosa, pektin, hemiselulosa, dan protein struktural, dan lamela tengah. Petogen dapat menghasilkan enzim untuk memecah senyawa lilin seperti Puccinia hordei. Untuk memecah kutin, banyak jamur dan beberapa bakteria dapat memproduksi enzim kutinase. Jamur patogen yang dapat memenetrasi tumbuhan secara langsung tampaknya selalu memproduksi kutinase dalam jumlah kecil yang memecah kutin dan menghasilkan monomer. Monomer yang dihasilkan selanjutnya merangsang patogen untuk memroduksi kutinase dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk mencerna kutin dalam jumlah yang lebih banyak dan seterusnya dalam proses penetrasi dan infeksi tumbuhan. Senyawa pektin dicerna oleh pektinase atau enzim pektolitik. Senyawa selulosa dihancurkan oleh enzim selulase. Senyawa hemiselulosa oleh enzim hemiselulase yang dapat berupa xylase, galaktanase, glukanase, arabinase, mannase, dan sebagainya. bergantng pada monomer yang dihasilkan. Cipta Ginting

81

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Misalnya, pada penyakit busuk lunak seperti yang terjadi pada kubis akibat Erwinia carotovora, enzim memegang peranan paling penting. Pada penyakit puru yang disebabkan oleh Agrobacterium tumefaciens, pengatur tumbuh yang paling berperan.


6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Di samping itu, patogen juga dapat menghasilkan enzim yang berperan dalam mengurai senyawa-senyawa yang terdapat di dalam sel tumbuhan. Memang nutrisi bermolekul kecil berupa gula dan asam amino dapat langsung diserap ke dalam tubuh patogen. Akan tetapi, sebagian isi sel tumbuhan yang berupa karbohidrat, protein, dan lemak harus dicerna terlebih dulu dengan enzim. Untuk memecah protein, patogen memroduksi enzim yang disebut protease, proteinase, atau peptidase. Untuk mencerna karbohidrat yang dapat berupa amilase atau amilopektin, patogen membentuk amilase. Sementara itu, untuk memecah lemak, patogen membentuk lipase, fosfolipase, dan sebagainya. Toksin Menurut Agrios (2005), toksin umumnya merusak sel dengan merusak permeabilitas membran sel, mengganggu kerja enzim, atau berperan sebagai antimetabolit sehingga menyebabkan defisiensi faktor pertumbuhan esensial. Kebanyakan toksin beraksi pada protoplasma inang yang hidup sehingga menimbulkan kerusakan serius atau membunuh sel tersebut. Toksin dapat dikelompokkan ke dalam dua grup, yaitu toksin yang berspektrum luas dan yang berspektrum sempit. Toksin berspektrum luas dapat merusak banyak jenis tumbuhan bahkan dari berbagai familia. Sementara itu, toksin yang berspektrum sempit memberi efek hanya pada tumbuhan atau varietas tertentu saja. Toksin berspektrum luas dapat menimbulkan gejala bukan hanya pada tumbuhan yang menjadi inang patogen tersebut, melainkan juga pada tumbuhan yang secara alami bukan tumbuhan inang. Contohnya ialah tabtoksin, yang diproduksi bakteri Pseudomonas syringe pv. Tabaci yang menyebabkan penyakit karat hitam pada tembakau. Gambar 6.1 ialah rumus bangun tabtoksin ialah sebagai berikut (Agrios, 2005).

82

Cipta Ginting


          

6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN

                       

 

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gambar 6.1 Rumus kimia tabtoksin yang dihasilkan Pseudomonas  syringe pv. tabaci. 

 Filtrat tanpa bakteri atau tabtoksin murni dapat menimbulkan   gejala  yang  terjadi   patogen   gejala seperti penyakit akibat tersebut   pada tembakau dan banyak tumbuhan lain dari berbagai familia. 

toksin   luas        Contoh berspektrum yang lain ialah tentoksin.  ini        Toksin diproduksi oleh jamur Alternaria alternata (A. longipes) yang menyebabkan bercak karat pada tembakau dan banyak tumbuhan   lain. Toksin terikat dan merusak kerja protein yang berfungsi dalam   ini        transfer energi kloroplas. Tentoksin menghalangi proses   ke    juga     fosforilasi ADP ke ATP. Meskipun tentoksin merusak protein dan 

menghalangi fosforilasi pada berbagai tumbuhan, efek toksin tersebut 

jauh lebih besar pada tumbuhan yang sensitif terhadap A. alternata 

daripada yang dapat terjadi pada tumbuhan yang tidak sensitif.           Toksin berspektrum luas yang lain ialah faseolotoksin yang          dihasilkan bakteri Pseudomonas syringe pv. phaseolicola, cercosporin   yang diproduksi jamur Cercospora dan jamur lain, dll.  Toksin berpektrum sempit dapat menimbulkan pengaruh hanya pada beberapa tumbuhan atau varietas yang menjadi tumbuhan inang patogen pembentuk toksin tersebut. Contohnya ialah toksin T yang dihasilkan oleh jamur Drechslera maydis ras T, yang menyebabkan hawar daun pada jagung. Tampaknya toksin T secara spesifik merusak mitokondria dan menghalangi sintesis ATP pada tanaman yang rentan.

Cipta Ginting

83


6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Contoh yang lain ialah viktorin (toksin HV) yang dibentuk jamur Cochliobolus (Helminthosporium) victoriae, toksin HC yang dihasilkan Cochliobolus (Helminthosporium) carbonum, toksin PM yang diproduksi Mycosphaerella (Phyllosticta) zeae-maydis. Zat Pengatur Pertumbuhan Zat pengatur pertumbuhan (ZPP) yang paling penting ialah auksin, gibberellin, dan sitokinin. Mekanisme kerja patogen terkait pengaruh ZPP berbeda-beda. Menurut Agrios (2005), patogen dapat memproduksi hormon yang sama dengan yang dihasilkan tumbuhan dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dihasilkan tumbuhan tersebut. Patogen juga dapat memproduksi zat penghambat pertumbuhan yang sama dengan yang dihasilkan tumbuhan dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dihasilkan tumbuhan tersebut. Di samping itu, patogen dapat menghasilkan ZPP atau zat penghambat pertumbuhan yang baru atau yang lain. Alternatif lain, patogen juga dapat melepaskan senyawa tertentu yang menstimulasi atau menghambat pembentukan ZPP atau zat penghambat pertumbuhan. Yang manapun mekanismenya, patogen sering menyebabkan ketidakseimbangan hormon dalam tumbuhan yang diserang yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal. Misalnya, hormon auksin yang terjadi secara alami dalam tumbuhan ialah IAA (indole-3-acetic acid). Infeksi oleh patogen seperti jamur, bakteri, virus, dan nematoda umumnya meningkatkan IAA dalam tumbuhan, meskipun ada juga patogen yang tampaknya menurunkan level hormon pada tumbuhan. Konsentrasi IAA yang tidak normal menyebabkan terganggunya fungsi IAA yang normal pada tumbuhan. Dalam tumbuhan, fungsi IAA terkait dengan pemanjangan dan diferensiasi sel serta permeabilitas membran. Selain itu, fungsi IAA terkait respirasi jaringan tumbuhan dan sintesis mRNA, yang akhirnya terkait pembentukan protein sebagai enzim dan protein struktural. Terdapat patogen yang dapat membentuk IAA pada tumbuhan yang diserangnya, di samping mengimbas tumbuhan 84

Cipta Ginting


yang diinfeksinya untuk meningkatkan produksi IAA. Hal ini terjadi pada infeksi Plasmodiophora brassicae pada kubis, Agrobacterium tumefaciens pada banyak tumbuhan, Ustilago maydis pada jagung, Fusariun oxysporium f. cubense pada pisang, dan Meloidogyne sp pada berbagai tumbuhan. Ralstonia solanacearum, yang menyebabkan layu bakteri pada tanaman kacang-kadangan mengimbas tanaman inangnya untuk memproduksi IAA 100 kali lebih besar daripada yang terjadi pada tumbuhan secara normal. Peningkatan konsentrasi IAA dipercaya mendukung perkembangan penyakit layu pada tanaman yang diinfeksi (Agrios, 2005). Hormon gibberellin memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan. Pengaruh gibberellin dalam berbagai hal serupa dengan efek IAA dan gibberellin dapat mengimbas pembentukan IAA. Oleh karena itu, ketidaknormalan konsentrasi gibberellin pada tumbuhan juga menyebabkan pertumbuhan yang tidak normal pada tumbuhan yang diinfeksi. Sitokinin merupakan faktor pertumbuhan yang esensial untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel. Sitokinin berperan, antara lain, dalam pembentukan puru bakteri pada berbagai tumbuhan dan sapu setan pada kacang tanah. Polisakarida Peran utama polisakarida tampak pada penyakit layu dengan patogen menginvasi jaringan pembuluh tumbuhan. Pada penyakit layu, polisakarida yang dilepas patogen pada xilem mungkin dapat menyebabkan penyumbatan sehingga menimbulkan layu. Tetapi, diyakini polisakarida bersinergi dengan senyawa-senyawa makromolekul yang dilepas patogen sehingga tumbuhan menjadi layu. Lain-lain Selain senjata kimia patogen berupa enzim, toksin, pengatur tumbuh, dan polisakarida, terdapat beberapa mekanisme lain yang juga berperan pada berbagai kasus tertentu. Mekanisme Cipta Ginting

85

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN


6 BAGAIMANA PATOGEN MENYERANG TUMBUHAN yang dimaksud ialah detoksifikasi melekul antimikrobial dengan berat molekul rendah, promosi virulensi bakteri dengan gen avr, peran sekresi tipe III dalam patogenesis bakteri, suppresor respon pertahanan tumbuhan, dan patogenisitas dan faktor virulensi khusus pada virus dan viroid (Agrios, 2005).

6.3 Perlatihan 1. Sebutkan dan jelaskan secara garis besar dua kelompok mekanisme patogen dalam menyerang tumbuhan! 2. Sebutkan dan jelaskan senjata kimia terpenting patogen dalam menginfeksi tumbuhan! 3. Bagaimana kaitan mekanisme serangan patogen pada tumbuhan dan perkembangan penyakit yang telah Saudara pelajari pada Bab IV?

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 754 hlm.

86

Cipta Ginting


PERTAHANANTUMBUHAN TERHADAP PATOGEN

Segera setelah benih atau bibit ditanam, terdapat resiko berupa serangan patogen seperti jamur, bakteri, virus, dan nematoda. Setiap tanaman dapat diserang oleh beberapa patogen. Tanaman yang diserang dapat mati atau bertahan dengan kerusakan besar atau kecil. Tanaman yang terserang dapat sintas (survive) dan menghasilkan produksi yang lebih rendah dari kapasitas genetik dan dukungan lingkungan akibat serangan patogen. Sementara itu, tanaman lain dapat terus tumbuh dengan baik dan menghasilkan produksi yang tinggi. Tanaman yang tetap tumbuh dengan tingkat produksi yang menurun atau tetap meskipun diserang patogen mempunyai kemampuan untuk bertahan dari serangan tersebut. Bab ini menjelaskan pertahanan tanaman terhadap penyakit, yang materinya utamanya bersumber dari Agrios (2005). Secara umum, tumbuhan mempertahankan diri dengan dua cara, yaitu pertahanan struktural dan pertahanan kimia. Pertahanan struktural berupa hambatan fisik yang mencegah patogen memasuki tumbuhan dan berkembang dalam tumbuhan. Sementara itu, pertahanan kimia atau biokimia terjadi pada sel atau jaringan tumbuhan karena tumbuhan memproduksi senyawa yang bersifat racun terhadap patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat perkembangan patogen dalam tumbuhan. Dalam suatu interaksi inang–patogen, kedua cara pertahanan tersebut dapat berfungsi dalam suatu tumbuhan meskipun cara Cipta Ginting

87

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN pertahanan yang satu lebih penting dari cara yang lain. Dengan kata lain, resistensi suatu kultivar terhadap suatut patogen dapat terjadi karena kedua macam pertahanan tersebut. Kombinasi kedua cara tersebut berbeda-beda bergantung pada sistem inang – patogen. Lebih daripada itu, pada suatu inang – patogen, kombinasi kedua cara pertahanan tersebut dapat berbeda-beda bergantung pada umur tanaman, organ atau jaringan yang terserang, kondisi nutrisi, dan kondisi cuaca. Materi genetik (gen) pada tumbuhan secara langsung atau tidak menentukan tingkat pertahanannya terhadap serangan patogen. Tingkat resistensi tanaman berbeda-beda bergantung pada jenis inang dan patogen yang berinteraksi. Secara umum dikenal tiga kategori resistensi pada tumbuhan terhadap serangan patogen, yaitu resistensi non-inang, resistensi horizontal, dan resistensi vertikal. Resistensi non-inang tejadi jika suatu patogen berkontak dengan tumbuhan yang bukan inangnya. Umumnya, tumbuhan yang berbeda jenisnya mempunyai patogen yang berbeda. Patogen tanaman lada umumnya tidak akan dapat menyerang tanaman padi, tomat, atau tanaman lain karena bukan inangnya. Misalnya, Phytophthora capsici yang diisolasi dari tanaman lada yang menunjukkan gejala penyakit busuk pangkal batang tidak dapat menginfeksi tanaman padi atau jagung karena bukan inang jamur patogen tersebut. Resistensi horizontal yang juga disebut resistensi kuantitatif atau poligenik menyebabkan tumbuhan yang diserang bertahan dan tetap produktif meskipun tingkat produksinya dapat berkurang, sementara tanaman yang tidak mempunyai resistensi tersebut menderita kerusakan yang parah dan penurunan produksi yang besar. Misalnya, Phytophthora capsici merupakan patogen tanaman lada, tetapi reaksi berbagai kultivar lada berbeda-beda. Kultivar Belantung relatif lebih tahan daripada kultivar Jambi. Meskipun diserang oleh patogen suatu tanaman (seperti P. capsici yang menyerang lada), reaksi tanaman berbeda-beda bergantung pada kandungan bahan genetik (gen) tanaman dan patogen yang menyerang. Sebagian tanaman mungkin mempunyai gen yang melindungi tanaman dari serangan patogen. Gen tersebut mungkin 88

Cipta Ginting


berupa kode untuk tanaman menghasilkan senyawa kimia yang bersifat racun bagi patogen. Mungkin pula gen tersebut menyebabkan tanaman membentuk senyawa kimia yang menetralkan zat racun yang dikeluarkan patogen pada tanaman tersebut. Selain itu, gen resisten dapat menyebabkan timbulnya struktur tertentu pada tanaman yang menurunkan serangan patogen. Resistensi vertikal yang juga dikenal sebagai resistensi spesifik ras atau monogenik menyebabkan tanaman tetap sehat, sementara tanaman yang tidak memilikinya terserang parah. Resistensi ini dikendalikan oleh gen spesifik yakni satu atau beberapa gen saja. Dalam resistensi ini, tanaman tetap sehat tanpa kerusakan meskipun diserang patogen jika tanaman tersebut mempunyai gen resisten atau tanaman terserang parah jika tidak mempunyai gen resisten vertikal tersebut.

7.1 Pertahanan Struktural Ciri-ciri struktural tertentu dapat menjadi pertahanan sampai tingkat tertentu bagi tumbuhan. Sifat strutural ini dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pertahanan struktural pasif dan pertahanan struktural aktif. Pertahanan Struktural Pasif Pertahanan strukrural pasif atau statis merupakan karakteristik struktural tumbuhan yang terjadi sebelum terjadinya inokulasi atau infeksi. Tumbuhan dapat mempunyai struktur-struktur tertentu yang menyebabkan tumbuhan tersebut sukar diinfeksi patogen. Halhal yang dapat menentukan terjadinya pertahanan struktural pasif termasuk bagian permukaan tumbuhan yang menjadi penghalang terjadinya infeksi. Misalnya tumbuhan mempunyai lapisan lilin (wax) yang relatif tebal sehingga patogen tidak dapat menembusnya. Lapisan lilin mencegah terjadinya lapisan air pada permukaan tumbuhan. Hal ini menghindarkan terjadinya perkecambahan spora jamur atau pembelahan sel bakteri, yang memerlukan lapisan air tersebut, sehingga menghambat invasi patogen. Pada tumbuhan tertentu terdapat bulu (hairs) di permukaan tumbuhan yang juga Cipta Ginting

89

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN memberi efek menolak air sehingga spora jamur tidak berkecambah dan penetrasi tidak terjadi. Pertahanan struktural pasif juga dapat terjadi karena lapisan kutikula dan dinding sel relatif tebal sehingga sulit bagi patogen untuk menembusnya. Sebagai contoh daun muda karet klon LCB 870 mempunyai kutikula yang tebal sehingga sukar dimasuki patogen Oidium heveae (penyebab penyakit embun tepung) sehingga tanaman sangat resisten terhadap patogen tersebut. Dinding sel epidermis padi yang tinggi deposit silisium menyebabkan tanaman resisten terhadap Pyricularia oryzae (penyebab penyakit blas). Dalam hal patogen yang memasuki tumbuhan melalui stomata, stomata yang sempit atau stomata yang terbuka relatif lambat dapat mencegah atau mengurangi terjadinya infeksi. Misalnya grapefruit (Citrus paradisi) mempunyai stomata yang lebar sehingga rentan terhadap Xanthomonas campestris pv citri, penyebab penyakit kanker jeruk. Sementara itu, jeruk keprok (C. reticulata) mempunyai stomata yang lebih sempit sehingga lebih resisten terhadap bakteri tersebut. Kultivar gandum yang mempunyai stomata yang lebih lama tertutup lebih resisten terhadap Puccinia graminis daripada kultivar dengan stomata yang lebih lama terbuka. Pertahanan Struktural Aktif Pertahanan struktural aktif, dinamis, atau responsif terjadi setelah inokulasi atau infeksi. Pertahanan struktural aktif muncul sebagai hasil interaksi antara inang dan patogen. Secara umum pertahanan aktif dinilai lebih penting daripada pertahanan pasif. Pertahanan struktural aktif dapat terjadi dalam empat mekanisme, yaitu struktur pertahanan histologis, struktur pertahanan seluler, reaksi pertahanan sitoplasmik, dan reaksi pertahanan nekrotik/ hipersensitif. Struktur pertahanan histologis terkait dengan perubahan jaringan di sekitar patogen dan dapat terjadi dalam berbagai bentuk berikut. Pertama, tumbuhan dapat membentuk lapisan gabus (cork layers) sebagai reaksi atas infeksi patogen seperti jamur atau bakteri, dan kadang-kadang juga virus dan nematoda (Gambar 6.1 dan 6.2). 90

Cipta Ginting


7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN

Gambar 6.1 Pembentukan lapisan gabus (cork layer/CL) di antara jaringan tanaman terinfeksi (I) dan sehat (H). (Sumber: Agrios, 2005).

Gambar 6.2 Pembentukan lapisan gabus (cork) pada umbi kentang setelah infeksi dengan Rhizoctonia. (Sumber: Agrios, 2005).

Cipta Ginting

91

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Lapisan gabus dibentuk lebih jauh dari titik infeksi dan membatasi invasi (melokalisasi) patogen serta peredaran racun yang dikeluarkan patogen.


7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Kedua, tumbuhan membentuk lapisan absisi sebagai respon terhadap infeksi patogen. Lapisan absisi terbentuk di sekeliling bercak daun sehingga jaringan terinfeksi jatuh bersama patogen yang menyerang. Akibatnya jaringan sehat terhindar dari invasi patogen. Ketiga, tumbuhan yang terserang membentuk tilosis. Tilosis merupakan pertumbuhan protoplasma yang masuk ke xilem. Tilosis yang berkembang dalam jaringan xilem menghambat penyebaran patogen (Gambar 6.3). Keempat, tumbuhan membentuk cairan getah atau blendok (gums) setelah infeksi. Cairan getah yang dibentuk menjadi penghambat penyebaran patogen.

Gambar 6.3 Perkembangan tilosis pada pembuluh xilem. Potongan longitudinal (A) dan melintang (B) pembuluh sehat (kiri) dan pembuluh dengan tilosis (tengah dan kanan). V, pembuluh xilem; XP, parenkima xilem, T, tilosis. (Sumber: Agrios, 2005).

Struktur pertahanan seluler terjadi akibat perubahan morfologis sel terinfeksi sehingga keefektifan patogen terbatas. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk berikut. Pertama, dinding sel parenkima terluar membengkak yang diikuti dengan pembentukan 92

Cipta Ginting


bahan serat. Hal ini memperangkap bakteri patogen sehingga invasi tidak berkembang. Kedua, dinding sel yang terinfeksi menebal karena pertumbuhan selulosa dan zat fenol. Struktur ini terjadi pada tumbuhan yang terserang oleh jamur atau virus patogen. Ketiga, tumbuhan yang terinfeksi membentuk pelindung yang mengelilingi hifa jamur yang menghambar perkembangan tubuh jamur tersebut. Reaksi pertahanan sitoplasmik terjadi karena sitoplasma dan inti sel membesar, kemudian sitoplasma berubah menjadi butiran-butiran kecil dan padat. Akibatnya hifa dan miselium jamur yang menyerang menjadi hancur. Reaksi pertahanan nekrotik atau hipersensitif terjadi pada saat patogen menyentuh protpoplasma. Inti sel bergerak ke arah patogen kemudian inti sel tersebut menjadi butiran-butiran coklat. Selanjutnya sitoplasma berubah warna menjadi coklat dan patogen yang menyerang mati (Gambar 6.4).

Gambar 6.4 Tingkat perkembangan reaksi pertahanan nekrotik pada sel sebuah varietas kentang yang sangat tahan terhadap yang diinfeksi oleh Phytophthora infestans. N, nukleus; PS, benang protoplasma; Z, zoopora; H, hifa; G, materi granular; NC, sel nekrotik. (Sumber: Agrios, 2005).

7.2 Pertahanan Kimia Secara umum pertahanan kimia lebih banyak berperan dalam pertahanan tumbuhan daripada pertahanan struktural. Struktur sel atau jaringan tertentu memberi pertahanan tumbuhan sampai tingkat Cipta Ginting

93

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN


7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

tertentu, namun pertahanan lebih besar terjadi dari senyawa dalam sel-sel sebelum atau sesudah infeksi. Hal ini tampak dari beberapa kasus bahwa suatu tanaman resisten meskipun tidak ada struktur tertentu yang membatasi atau menghalangi invasi patogen. Seperti pertahanan struktural, pertahanan kimia juga dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu pertahanan kimia pasif dan pertahanan kimia aktif. Pertahanan Kimia Pasif Patogen hanya dapat berkembang dan menyerang suatu tumbuhan jika tidak terdapat zat-zat yang menghambat perkembangannya. Pertahanan kimia pasif terjadi karena tumbuhan melalui tajuk atau akar mensekresi (mengeluarkan) senyawa-senyawa yang menghambat perkembangan patogen ke lingkungannya sebelum invasi patogen. Senyawa seperti asam, minyak, ester, dan fenol yang berada pada permukaan tanaman menghambat perkecambahan spora atau pembelahan bakteri. Contohnya terjadi pada kacang tanah yang melepas senyawa riboflavin yang menghambat perkembangan jamur Cercopora arachidicola. Tanaman tomat melepas senyawa yang disebut tomatin yang menghambat perkembangan jamur patogen seperti Alternaria solani. Umbi lapis bawang merah mengandung asam protokatekuat dan katekol pada kulit bawang yang berwarna merah yang menghambat perkembangan jamur Colletottichum circinans. Tumbuhan yang membentuk protein yang dapat merusak enzim hidrolitik dari patogen (yang dapat merusak dinding sel pada tumbuhan) menjadi resisten. Resistensi tumbuhan terhadap patogen dapat timbul karena tumbuhan tersebut mengandung enzim hidrolitik seperti glukanase dan kitinase yang dapat merusak dinding patogen (Agrios, 2005). Pertahanan Kimia Aktif Pada saat ini pertahanan kimia aktif dinilai berperan lebih penting daripada pertahanan kimia pasif. Satu mekanisme pertahanan kimia aktif ialah reaksi hipersensitif tumbuhan terhadap patogen. Dalam hal ini, sel yang diinvasi mati dengan cepat sehingga perkembangan 94

Cipta Ginting


patogen terhenti. Misalnya gandum yang resisten terhadap Puccinia graminis. Pada interaksi tanaman-patogen lain, tanaman membentuk senyawa yang menghambat perkembangan patogen sebagai reaksi terhadap invasi patogen. Senyawa –senyawa yang dibentuk termasuk fitoaleksin yang besifat racun terhadap patogen. Fitoaleksin berasal dari kata Yunani phyton (berarti t umbuhan) dan alexin (berarti penangkal). Fitoaleksin diartikan sebagai zat yang dihasilkan tumbuhan sebagai reaksi terhadap invasi patogen yang pada konsentrasi tertentum menghambat perkembangan patogen tersebut. Fitoaleksin yang dibentuk suatu tumbuhan bersifat khas bagi tumbuhan tersebut dan tidak ditentukan oleh patogen yang menyerang. Misalnya kacang kapri (Pisum sativum) menghasilkan pisatin (senyawa pterokarpan) sebagai reaksi terhadap serangan beberapa patogen. 7.3 Perlatihan 1. Apa yang dimaksud dengan sistem pertahanan tanaman? 2. Terdapat dua jenis pertahanan tanaman, dan masing-masing terbagi lagi ke dalam dua kategori. Sebutkan dan jelaskan! 3. Menurut Saudara, jenis pertahanan tanaman mana yang paling efektif? Jelaskan! 4. Jika Saudara akan mengembangkan sistem pertahanan tanaman, bagaimana cara yang ditempuh? Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp. Chapter 3. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 754 hlm.

Cipta Ginting

95

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

7 PERTAHANAN TUMBUHAN TERHADAP PATOGEN


96

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, konsep segitiga penyakit menunjukkan bahwa penyakit tumbuhan merupakan hasil interaksi tiga unsur, yaitu tanaman, patogen, dan lingkungan. Meskipun terdapat tanaman yang rentan dan patogen yang virulen, penyakit tidak akan terjadi jika kondisi lingkungan tidak mendukung keterjadian penyakit tersebut. Demikian juga, jika penyakit telah tejadi intensitasnya ditentukan oleh faktor lingkungan. Semakin mendukung kondisi lingkungan semakin tinggi intensitas penyakit. Demikian besarnya pengaruh lingkungan terhadap penyakit sehingga suatu penyakit diasosiasikan dengan faktor lingkungan tertentu. Misalnya, jika kelembaban tinggi – seperti pada musim hujan atau di bawah naungan yang intensif – penyakit tanaman biasanya sering terjadi dan intensitasnya tinggi. Pemupukan nitrogen yang berlebihan sering menyebabkan tanaman menjadi rentan sehingga penyakit meningkat. Penyakit karat daun kopi jenis arabica yang cenderung meningkat dengan semakin rendahnya ketinggian lokasi pertanaman. Contoh lain ialah penyakit blas pada padi yang disebabkan oleh Pyricularia oryzae yang banyak terdapat pada padi gogo dibandingkan dengan padi sawah. Penyakit tersebut juga lebih banyak merugikan pada padi sawah dataran tinggi dari pada dataran rendah. Hal di atas semua menunjukkan pentingnya memperhitungkan faktor lingkungan terhadap penyakit tanaman. Faktor lingkungan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor fisik dan faktor biologis. Faktor fisik termasuk suhu, kelembaban, angin, Cipta Ginting

97

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

8


8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

radiasi, pH, dan kondisi tanah, sedangkan faktor biologis termasuk organisme hidup seperti mikroorganisme, serangga, tumbuhan lain, dan sebagainya. Berbagai faktor lingkungan biasa berinteraksi dalam mempengaruhi penyakit. Dalam Bab ini, hanya diuraikan lebih lanjut tentang faktor fisik. Suatu faktor fisik mempengaruhi penyakit mungkin karena faktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan/atau kerentanan tanaman inang, reproduksi dan keaktifan patogen dan/atau interaksi antara patogen dan tanaman inang. Kelembaban dan suhu merupakan faktor lingkungan yang biasanya paling berpengaruh terhadap penyakit tanaman. Oleh karena itu, dalam peramalan penyakit, kedua faktor tersebut sering menjadi peubah utama yang diperhitungkan. Dalam mempengaruhi penyakit, lazimnya terdapat interaksi antara kelembaban dan suhu. Semakin kondusif faktor suhu, semakin singkat keharusan terjadinya kondisi kelembaban yang kondusif dalam waktu yang lebih singkat untuk perkembangan suatu penyakit.

8.1 Kelembaban Kelembaban merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadi dan berkembangnya penyakit tanaman. Peubah kelembaban yang sering diukur ialah kelembaban nisbi (KN) atau relative humidity, dan lamanya permukaan tanaman basah. Lamanya permukaan tanaman basah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan terjadi atau tidaknya suatu penyakit. Daun menjadi basah karena air hujan, irigasi, gutasi, embun, atau kabut. Suatu patogen terdedah (terekspos) lapisan air jika permukaan tanaman dalam keadaan basah dan terhadap uap air jika permukaan tanaman kering. Umumnya, jamur patogen sangat tergantung pada kelembaban karena inokulum memerlukan lapisan air atau kelembaban udara yang sangat tinggi untuk perkecambahan dan proses penetrasi tanaman inang. Agar dapat menginfeksi tanaman, spora jamur terlebih dulu berkecambah, yang memerlukan ketersediaan air. Lazimnya, permukaan tanaman ditutupi lapisan air sehingga perkecambahan 98

Cipta Ginting


dan penetrasi dapat berlangsung. Demikian juga, penyebaran spora jamur sering terjadi melalui air, yang dapat berupa aliran air di permukaan tanah atau percikan air hujan. Percikan air hujan disertai angin sering sangat efektif menyebarkan spora sekaligus mendukung perkecambahannya. Pengecualian terjadi pada penyebab penyakit tepung yang tidak memerlukan lapisan air untuk perkecambahan dan infeksi tanaman inang. Bahkan perkecambahan dan infeksi lebih rendah jika terdapat lapisan air pada permukaan tanaman. Patogen jenis lain juga biasanya lebih aktif pada kondisi lembab. Penyebaran bakteri terutama terjadi melalui air, dan reproduksinya yang terjadi secara membelah berlangsung dalam kondisi basah. Nematoda dalam tanah tidak akan dapat bergerak dalam kondisi kering. KN sering menjadi faktor penentu apakah infeksi akan terjadi atau tidak. Misalnya, konidia Cercospora arachidicola dapat berkecambah dan menginfeksi kacang tanah jika KN lebih tinggi dari 95%. Contoh lain ialah Phytophthora infestans yang menyebabkan penyakit hawar daun pada kentang. Pada kondisi kering, sporangium mati dalam jangka waktu 1–2 jam, sedangkan pada KN 50–80 C inokulum P. infestans tersebut mati dalam jangka waktu 3–6 jam. P. infestans melepas zoospora dalam lapiran air. Lapisan air ini kemudian membantu dalam penyebaran zoopora tersebut dan meningkatkan intesitas penyakit. Contoh lain ialah pada patosistem antara Phomopsis longicola dan kedelai bahwa basah tidaknya permukaan polong dan batang merupakan faktor yang dipakai untuk meramalkan terjadinya dan perkembangan penyakit. Demikian juga Exabasidium vexans, yang menyebabkan penyakit cacar daun teh, tergantung kepada air sehingga penyakit biasanya parah pada musim hujan. E. vexans berkembang biak hanya dengan basidiospora yang pembentukan dan pelepasannya hanya dapat berlangsung jika KN lebih tinggi dari 80%. Bahkan, perkecambahan spora tersebut hanya bisa terjadi jika KN lebih dari 90% atau pada lapisan tipis air (Fry, 1982). Kelembaban juga sangat menentukan keterjadian dan perkembangan penyakit buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Kelembaban tinggi diperlukan dalam Cipta Ginting

99

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH


8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

pembentukan spora dan membantu infeksi. Infeksi pada buah dapat terjadi hanya jika pada permukaannya terdapat lapisan air (Semangun, 2000). Gejala sering berkembang mulai dari bagian bawah atau kadang-kadang bagian atas dekat tangkai buah. Bagian ini lebih lambat kering daripada bagian lain.

8.2 Suhu Suhu dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman inang, pertumbuhan dan reproduksi patogen, serta perkembangan penyakit. Terjadinya penyakit memerlukan suhu minimum. Di atas suhu minimum, peningkatan suhu sampai pada tingkat tertentu meningkatkan intensitas penyakit. Kemudian, suhu yang terlalu tinggi akan menekan perkembangan penyakit tanaman. Misalnya, konidia Alternaria solani, yang menyebabkan penyakit bercak coklat pada tomat, dapat berkecambah pada suhu 6–34 dengan suhu optimum pada 28–30 C. Jadi, perkecambahan konidia akan meningkat jika suhu meningkat dari 6 sampai 28 C, namun menurun jika suhu naik mulai dari 30. Bahwa suhu berpengaruh besar terhadap penyakit dapat dilihat pada Phytophthora infestans yang menyebabkan penyakit busuk daun pada kentang. Perkembangan penyakit daun pada kentang lebih cepat pada suhu rendah daripada yang terjadi pada suhu tinggi. Pada suhu 18–20 C bercak pada daun berkembang dengan cepat, sedangkan pada suhu 30 C perkembangan bercak terhambat. Oleh karena itu, jamur patogen tersebut hanya merugikan pada dataran tinggi, namun tidak menimbulkan kerugian besar pada dataran rendah (Fry, 1982). Semangun (2001) menggemukakan bahwa pada kasus tertentu faktor suhu berpengaruh melalui tingkat suhu yang kurang cocok terhadap pertumbuhan tanaman inang. Misalnya, Fusarium moniliforme yang secara in vitro (dalam media agar di laboratorium) tumbuh optimal pada suhu agak tinggi. F. moniliforme menyebabkan penyakit yang paling parah di daerah dengan suhu rendah pada jagung yang lebih cocok dengan suhu tinggi. Sementara itu, patogen ini menyebabkan penyakit paling parah pada suhu agak tinggi pada gandum yang lebih sesuai dengan suhu rendah. Pada kasus lain, 100

Cipta Ginting


8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

8.3 Angin Peubah angin yang menentukan ialah kecepatan dan arahnya. Angin dapat menimbulkan dampak besar karena dapat menyebarkan inokulum dan vektor. Penyebaran penyakit yang dapat menimbulkan kerusakan yang besar biasanya terkait dengan faktor angin. Dapat dikemukakaan contoh seperti penyakit hawar daun pada kentang, penyakit karat pada kopi, dan lain-lain. Angin yang kencang dapat menyebabkan luka pada daun atau bagian tanaman lainnya yang dapat membantu penyebaran patogen dan penularan penyakit. Pelukaan dapat terjadi karena partikelpartikel pasir yang dihembuskan angin melukai tanaman. Mekanisme pelukaan yang lebih sering terjadi ialah melalui pergesekan antarbagian tanaman atau antar-tanaman. Angin juga berpengaruh terhadap penyakit secara tidak langsung karena angin mempengaruhi kelembaban pada permukaan tanaman di atas permukaan tanah. Kecepatan angin yang tinggi akan menurunkan KN dan mempercepat permukaan tanaman kering. Hal ini akan menekan perkembangan penyakit. Hal ini sering dilaporkan pada perkebunan teh, misalnya, bahwa intensitas penyakit cacar daun teh biasanya lebih tinggi pada bagian-bagian kebun dengan kecepatan angin yang rendah. 8.4 Radiasi Faktor radiasi yang paling penting ialah radiasi matahari, meskipun hal ini pada kondisi alami tidak sebesar pengaruh suhu dan kelembaban. Akan tetapi, pengaruh cahaya matahari secara tidak langsung kadang-kadang perlu juga diperhitungkan. Cipta Ginting

101

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

belum jelas mekanisme pengaruh suhu seperti di perkebunan teh dengan jamur akar merah anggur (Ganoderma pseudoferreum) terdapat di bawah 900 m dpl, jamur akar merah bata (Poria hypolateritia) di atas 1000 m, jamur leher akar (Ustulina deusta) di bawah 1300 m, jamur akar hitam (Roselliania arcuata) di atas 800 m. Sementara itu, penyakit cacar yang disebabkan oleh Exobasidium vexan semakin parah dengan semakin tingginya posisi kebun.


8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Salah satu contoh yang menunjukkan pengaruh radiasi ialah penyakit cacar daun teh yang disebabkan oleh Exobasidium vexans, yang juga sudah disinggung di atas. Cahaya matahari mempunyai pengaruh buruk terhadap jamur karena cahaya ultraviolet pada cahaya matahari dapat membunuh basidiospora. Akan tetapi, pengaruh terbesar cahaya matahari terjadi secara tidak langsung karena cahaya matahari mengurangi kelembaban. Semakin intensif cahaya matahari semakin rendah kelembaban udara sehingga semakin tertekan perkembangan penyakit. Penyakit biasanya tidak parah pada lembah atau lereng kebun yang menghadap ke sebelah timur yang lebih cepat mendapat cahaya matahari sehingga kelembaban rendah, jika dibandingkan dengan yang terjadi di daerah yang menghadap ke sebelah barat. Demikian berartinya pengaruh cahaya matahari dalam kasus penyakit cacar daun teh tersebut sehingga telah dikembangkan sistem peramalan penyakit yang didasarkan pada lama cahaya matahari (Semangun, 2000).

8.5 Tanah Sifat tanah yang penting sehubungan dengan penyakit tanaman ialah tingkat kemasaman (pH) dan status nutrisi tanah. Tingkat kemasaman tanah sangat mempengaruhi terjadinya dan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah (soilborne). Misalnya, pada pH 5,7 penyakit akar gada oleh Plasmodiophora brassicae lebih sering terjadi dan lebih merugikan, sedangkan pada pH antara 5,7 dan 6,2 penyakit terhambat bahkan pada pH 7,8 penyakit terhenti (Agrios, 2005). Kondisi nutrisi tanah mempengaruhi tanaman inang dan patogen. Pada tumbuhan inang, kondisi nutrisi tanah mempengaruhi vigor dan laju pertumbuhan, sifat-sifat histologi dan anatomi, seperti ketebalan kutikel dan epidermis atau lignifikasi jaringan, reaksi biokimia dan fisiologi, seperti pembentukan lapisan gabus (cork) dan fitoaleksin. Parameter patogen yang dipengaruhi termasuk kemampuan penetrasi, kolonisasi, pertumbuhan dan reproduksi patogen. Dalam pengendalian penyakit, cara pemupukan tanaman perlu dipertimbangkan. Pemupukan seimbang diperlukan untuk 102

Cipta Ginting


menghindarkan stres pada tanaman. Tanaman di bawah stres nutrisi dapat menurunkan ketahanannya terhadap patogen. Selain itu, nutrisi dapat dimanipulasi untuk menimbulkan dampak yang merugikan patogen. Status nutrisi terutama berpengaruh pada tanaman atau varietas yang memiliki ketahanan sedang, sedangkan jenis yang mempunyai kerentanan yang sangat rendah atau sangat tinggi terhadap suatu penyakit akan kurang berpengaruh. Berikut ini dikemukakan pengaruh beberapa unsur hara terhadap penyakit tanaman. Nitrogen Menurut Agrios (2005), jumlah unsur hara nitrogen (N) mempengaruhi tanaman dalam hal laju pertumbuhan tanaman dan kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan patogen. Kelebihan N menyebabkan jaringan tanaman berair banyak (succulent), muda, berdinding sel tipis dan meningkatkannya pembukaan stomata. Selain itu, N berlebih memperlama peride vegetatif dan menunda kematangan. Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap patogen yang biasanya menyerang jaringan seperti itu. Sebagai contoh, kelebihan N meningkatkan kerentanan padi, jagung, dan pisang terhadap Cercospora serta gandum terhadap Erysiphe. Kekurangan N menyebabkan vigor tanaman menurun, pertumbuhan lambat, dan lebih cepat menua. Hal ini meningkatkan kerentanan terhadap serangan patogen yang biasanya lebih mudah menyerang tanaman lemah. Misalnya, kekurangan N meningkatkan kerentanan tomat terhadap Fusarium, kacang-kacangan terhadap Alternaria solani dan Ralstonia solanacearum serta kebanyakan kecambah terhadap Pythium. Selain jumlah, jenis N yang diberikan, dalam bentuk ammonium atau nitrat, mempengaruhi perkembangan penyakit. Ammonium meningkatkan intensitas busuk akar dan layu akibat Fusarium, akar gada pada kubis akibat Plasmodiophora brassicae, dan busuk batang dan rebah kecambah oleh Sclerotium rolfsi. Sementara itu, N dalam bentuk nitrat meningkatkan intensitas busuk akar kapas akibat Phymatotrichopsis omnivora dan kudis pada umbi kentang akibat Streptomyces scabies. Cipta Ginting

103

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH


8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Pengaruh jenis N terkait pH tanah. N yang diberikan dalam bentuk ammonium (NH4+) diserap akar yang ditukarkan dengan H+. H+ menurunkan pH di sekitar perakaran dan meningkatkan serangan patogen yang lebih baik pada kondisi asam. Sementara itu, patogen yang lebih berkembang pada kondisi netral atau alkali meningkat serangannya jika N diberikan dalam bentuk nitrat (NO3-). Kalium Pengaruh kalium (K) dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Pengaruh langsung dapat terjadi berupa stimulasi atau reduksi aktivitas dan infeksi, sedangkan pengaruh yang tidak langsung terjadi berupa penyembuhan luka pada tanaman inang yang dapat menurunkan peluang terjadinya infeksi dan penundaan pematangan yang membawa stres penuaan. K menurunkan intensitas berbagai penyakit seperti bercak coklat pada tomat akibat Alternaria solani dan busuk batang pada jagung oleh Fusarium sp. Akan tetapi, kelebihan K meningkatkan intensitas penyakit seperti blas pada padi akibat Magnaporthe grisea dan puru akar pada berbagai tanaman akibat Meliodogyne incoqnita (Agrios, 2005). Pospor Informasi tentang pengaruh unsur pospor (P) terhadap penyakit sangat terbatas dan memberikan hasil yang kurang konsisten. Secara umum, P meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen melalui perannya dalam meningkatkan keseimbangan unsur hara dalam tanaman dan mempercepat kematangan sehingga terhindar dari serangan patogen yang berkembang baik pada jaringan muda (Agrios, 2005). Unsur hara lain Menurut Agrios (2005), kalsium (Ca) menurunkan penyakit batang dan akar pada bebagai tanaman yang disebabkan oleh Rhizoctonia, Sclerotium, dan Botrytis. Selain itu, Ca menurunkan intensitas layu akibat Fusarium oxysporum dan nematoda Ditylenchus dipsaci. 104

Cipta Ginting


Diduga bahwa Ca meningkatkan resistensi karena mempengaruhi komposisi dinding sel tanaman sehingga semakin sulit dipenerasi patogen. Akan tetapi, Ca meningkatkan penyakit lanas pada tembakau akibat Phytophthora parasitica dan kudis pada umbi kentang akibat Streptomyces scabies. Unsur hara mikro besi, tembaga, dan mangan, umumnya meningkatkan resistensi tanaman terhadap patogen. Unsur hara mikro laiinnya memberikan hasil yang tidak konsisten. Akan tetapi, secara umum tanaman yang menerima pemupukan yang seimbang akan lebih tahan terhadap serangan patogen.

8.6 Perlatihan 1. Sebutkan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap penyakit tanaman! 2. Jelaskan pengaruh suhu terjadinya dan perkembangan penyakit tumbuhan secara umum! 3. Jelaskan pengaruh kelembaban terhadap terjadinya dan perkembangan penyakit tumbuhan secara umum! 4. Bagaimana memanfaatkan pengetahuan tentang pengaruh faktor kelembaban dalam perumusan strategi pengelolaan penyakit? 5. Sebutkan satu ide untuk mengendalikan penyakit tanaman dari informasi yang disajikan di atas mengenai faktor tanah! Bacaan Lanjutan Agrios, GN. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Fry, WE. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. 754 hlm.

Cipta Ginting

105

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

8 FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH


106

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN

Pada bab ini diuraikan secara umum genetika penyakit tumbuhan. Genetika penyakit tumbuhan adalah genetika patogen dan tumbuhan dalam interaksi satu dengan yang lain. Materi bagian ini kebanyakan bersumber dari Agrios (2005).

9.1 Gen, Tanaman dan Penyakit Umumnya hubungan patogen-inang spesifik. Tumbuhan yang berbeda umumnya diserang oleh patogen yang berbeda. Satu patogen bisa menyerang beberapa tumbuhan atau menyerang hanya satu tumbuhan. Misalnya, Hemileia vastatrix hanya menyerang kopi dengan serangan yang lebih berat pada kopi arabika daripada yang terjadi pada kopi robusta. Alternaria solani menyerang kentang dan tomat. Lebih dari itu, satu spesies patogen dapat terbagi ke dalam beberapa forma spesialis dengan masing-masing forma specialis hanya menyerang satu spesies tanaman. Misalnya, Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici hanya menyerang tomat dan menimbulkan penyakit layu. F. o. f.sp cubense, melongenae, niveum, melonis, masing-masing menyerang pisang, terung, semangka, dan melon. Patogen dapat menyerang tumbuhan tertentu karena terdapatnya satu atau lebih gen untuk patogenisitas dan virulensi terhadap tumbuhan inang tersebut. Gen untuk virulensi pada patogen umumnya khusus untuk satu atau beberapa tumbuhan yang terkait yang merupakan inang patogen tersebut. Sementara itu, gen untuk Cipta Ginting

107

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN kerentanan tumbuhan terhadap patogen tertentu terdapat pada satu atau beberapa tumbuhan. Di samping gen untuk kerentanan tersebut, beberapa tanaman mempunyai gen untuk resistensi yang diperoleh tanaman tersebut melalui evolusi atau pemuliaan. Gen untuk resistensi ini melindungi tanaman tersebut dari infeksi patogen atau intensitas penyakit yang tinggi. Sering diamati bahwa tanaman, yang sebelumnya resisten karena gen yang telah dimasukkan ke dalam tanaman tersebut, menjadi rentan terhadap populasi (ras) baru patogen. Hal ini dapat terjadi karena gen virulensi terhadap tanaman tersebut sebelumnya telah ada di sebagian kecil individu patogen. Dengan adanya gen resistensi pada tanaman, individu patogen dengan gen virulensi yang dapat mematahkan gen resisten tersebut berkembang, sementara individu patogen tanpa gen virulensi tersebut tersisih (tereksklusi). Perbedaan genetik pada kopi arabika dan kopi robusta sedemikian besar sehingga kopi arabika lebih rentan terhadap penyakit karat daripada kopi robusta. Pada akhir abad ke-19, kopi arabika di Jawa dan Sumatera hampir seluruhnya hancur karena penyakit karat. Kopi arabika di Jawa, yang telah dikenal sebagai “kopi Jawaâ€? di luar negeri pada saat itu, hampir hilang di pasaran. Akhirnya kopi arabika diganti dengan kopi robusta, yang sampai sekarang mendominasi kopi di Indonesia (Semangun, 2000). Contoh lain ialah ketahanan jagung terhadap penyakit bulai. Jenis-jenis lama jagung terbagi ke dalam tiga kelompok berdasar ketahanannya, yaitu tahan, sedang, dan rentan. Jenis-jenis baru juga tergolong tahan seperti Bromo dan Harapan Baru dan agak tahan seperti Permadi (Bogor Sintetik 2). Selain itu, beberapa jenis jangung hibrida dilaporkan tahan terhadap penyakit bulai. Dewasa ini telah banyak jenis jagung hibrida dengan ketahanan yang bervariasi terhadap penyakit ini (Semangun, 2004a). Karakter atau sifat semua makhluk hidup seperti virulensi pada patogen dan kerentanan pada tumbuhan diwariskan oleh suatu bahan yang disebut gen. Informasi genetik semua organisme dikodekan di dalam asam deoksiribonukleat (deoxyrobonucleat acid­ 108

Cipta Ginting


= DNA). Pada virus RNA (riboxynucleat aced atau asam ribonukleat), informasi genetik terdapat pada RNA. DNA terdapat pada kromosom. Pada eukaryota, kromosom berada di dalam inti sel. Sementara itu, pada prokaryota, yang tidak mempunyai inti sejati, kromosom terdapat di sitoplasma. Pada banyak prokaryota dan beberapa eukaryota tingkat rendah, terdapat molekul DNA yang bulat dan kecil yang disebut plasmid. Selain itu, DNA juga terdapat pada mitokondria dan kloroplast tumbuhan. DNA terbentuk dari rangkaian basa organik (adenin, timin, sitosin, dan guanin) yang terikat pada molekul gula yang saling dihubungkan dengan fosfor. Satu gen tidak lain adalah satu segmen DNA yang terdiri atas rangkaian basa-basa organik tersebut.

9.2 Variabilitas pada Tanaman Spesifikasi hubungan patogen-inang yang disebutkan di atas merupakan contoh keragamanan genetik pada organisme termasuk pada satu spesies patogen atau tumbuhan. Variabilitas tersebut terjadi akibat reproduksi seksual, yang menghasilkan keturunan yang berbeda-beda. Perbedaan yang timbul tersebut diwariskan ke keturunannya masing-masing. Reproduksi aseksual pun masih menghasilkan variabilitas, meskipun umumnya lebih rendah daripada variabilitas hasil reproduksi seksual. Terdapat variasi pada suatu organisme bahkan pada satu populasi organisme seperti tanaman pertanian. Variasi pada tanaman yang dapat kita amati (karakter fenotipik) ditentukan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik menentukan pewarisan karakter atau sifat. Faktor lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban, suhu, unsur hara, patogen, hama, gulma, dan lain-lain mempengaruhi pemunculan potensi genetik tanaman tersebut. Terkait penyakit tanaman, keragaman genetik yang menjadi perhatian dapat dikelola untuk menciptakan kultivar yang tahan atau toleran terhadap patogen. Dengan kata latin, variasi genetik dapat merupakan subjek dalam pemuliaan tanaman. Organisme dalam satu spesies masih terdapat variabilitas, namun mempunyai kesamaan dalam karakteristik tertentu sehingga dimasukkan ke dalam satu spesies. Jika isolat yang berbeda dalam Cipta Ginting

109

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN


9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

satu spesies patogen digunakan untuk menginfeksi suatu tanaman, mungkin menghasilkan perkembangan penyakit yang berbedabeda antarisolat. Demikian juga jika satu isolat diinokulasikan pada beberapa kultivar suatu tanaman, perkembangan penyakit mungkin berbeda-beda antarkultivar tersebut.

9.3 Tipe Ketahanan Tanaman Suatu tumbuhan merupakan inang beberapa patogen saja, dan suatu patogen dapat menyerang hanya beberapa jenis tumbuhan saja. Dengan kata lain, suatu tumbuhan bukan inang banyak patogen. Resistensi suatu tumbuhan terhadap patogen yang tidak dapat menyerangnya karena bukan inang patogen tersebut dikenal sebagai resistensi nir-inang (nonhost resistance). Dalam satu spesies, terdapat variasi antarindividu dalam resistensi atau kerentanan terhadap suatu patogen. Sebagian anggota dalam spesies tersebut resisten sementara anggota lain rentan. Resistensi ini disebut resistensi sejati (true resistance). Jadi, dalam satu spesies terdapat variasi respon tanaman terhadap patogen, dan sebaliknya terdapat variasi satu patogen terhadap kultivar tanaman. Resistensi sejati dikendalikan oleh satu, beberapa, atau banyak gen. Dalam hal ini, inang dan patogen kurang lebih tidak kompatibel (tidak cocok) satu dengan yang lain. Hal ini terjadi karena tidak adanya pengenalan kimiawi antara inang dan patogen atau karena inang dapat mempertahankan dirinya melawan patogen. Mekanisme pertahanan ini dapat terjadi sebelum terjadinya infeksi (yang disebut sebagai pertahanan pasif pada Bab VII) atau sebagai respon terhadap infeksi (pertahanan aktif ). Resistensi sejati dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu resistensi horizontal dan resistensi vertikal. Resistensi horizontal disebut juga dengan resistensi parsial, nonspesifik ras, umum, kualitatif, atau poligenik. Resistensi horizontal umumnya dikendalikan oleh banyak gen sehingga disebut resistensi poligenik atau multigenik; terdapat pengecualian bahwa ada resistensi horizontal yang dikendalikan oleh satu atau beberapa gen. Resistensi horizontal umumnya tidak mencegah infeksi oleh patogen, tapi menekan perkembangan penyakit dan epidemik. 110

Cipta Ginting


Resistensi vertikal disebut juga dengan resistensi gen R, spesifik ras, kualitatif, diferensial, atau monogenik. Kultivar tanaman yang mempunyai resistensi tipe ini sangat tahan terhadap ras tertentu patogen, namun rentan terhadap ras lain dari patogen yang sama. Resistensi vertikal dikendalikan oleh satu atau beberapa gen sehingga disebut juga sebagai resistensi monogenik atau oligogenik. Gen tersebut disebut gen R dan mengendalikan tahap utama dalam pengenalan patogen oleh inang. Jika terdapat gen untuk resistensi vertikal, tanaman inang dan patogen menjadi tidak kompatibel (tidak cocok). Tanaman inang tersebut mungkin merespon infeksi dengan reaksi hipersensitif, tanaman seperti imun, atau tanaman menghambat reproduksi perkembangan patogen. Umumnya varietas dengan resistensi vertikal menunjukkan resistensi utuh terhadap patogen tertentu, tapi satu atau beberapa mutasi dalam patogen dapat menghasilkan ras patogen yang dapat menyerang tanaman tersebut. Sebaiknya, kultivar tanaman mempunyai kombinasi resistensi vertikal dan horizontal (Agrios, 2005). Selain karena resistensi nirinang dan resistensi sejati, tanaman dapat bebas dari penyakit karena keterhindaran penyakit (disease escape) atau toleransi terhadap penyakit (disease tolerance). Keterhindaran penyakit terjadi pada tanaman yang sebenarnya rentan terhadap penyakit, tetapi bebas dari infeksi atau gejala penyakit karena ketiga faktor yang diperlukan untuk mendukung perkembangan penyakit (tanaman rentan, patogen virulen, dan lingkungan kondusif ) tidak berinteraksi dalam waktu yang tepat atau dalam durasi yang kurang. Misalnya, suatu tanaman terhindar dari penyakit tular tanah (soilborne) karena benihnya cepat berkecambah dan tumbuh. Tanaman lain dapat terhindar dari penyakit karena periode rentan terjadi dalam waktu singkat atau pada saat rentan tersebut tidak ada inokulum patogen (Agrios, 2005). Toleransi terhadap penyakit merupakan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan produksi meskipun tanaman tersebut terserang patogen. Tanaman mungkin mendukung perkembangan patogen, namun tanaman tersebut dapat memberi kompensasi pertumbuhan sehingga masih dapat menghasilkan produksi seperti Cipta Ginting

111

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN


9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

tanaman sehat. Tanaman terserang berat tidak mati. Jadi, jelaslah bahwa tanaman tidak resisten karena masih dapat diserang berat patogen.

9.4 Konsep Gen-untuk-Gen Keberadaan tumbuhan inang dan patogennya secara berdampingan di alam merupakan indikasi terjadinya proses evoluasi terkait hubungan patogen-inang tersebut. Kalau patogen menyerang tumbuhan inangnya tanpa mekanisme bertahan inang maka tumbuhan tersebut tidak eksis yang kemudian patogennya juga menyusul menjadi punah. Hal ini tidak terjadi dalam proses evolusi sehingga inang dan patogennya eksis dalam waktu yang lama. Perubahan virulensi pada patogen tampaknya dalam keseimbangan dengan perubahan resistensi pada tumbuhan inang dan sebaliknya. Hal ini dapat diterangkan dengan konsep genuntuk-gen. Menurut konsep ini, untuk setiap gen yang membawa virulensi pada patogen terdapat gen yang berhubungan yang membawa resistensi pada inang dan sebaliknya. Konsep gen untuk gen menggambarkan hubungan yang intim antara tanaman dan patogen yang menginfeksinya. Konsep gen-untuk-gen pertama dibuktikan Flor pada 1942 pada sistem linum (flax, Linum sp.; Lineaceae) – Melampsora lini yang menyebabkan karat pada linum. Setelah itu, konsep tersebut telah dibuktikan pada banyak penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur, bakteri, dan virus. Konsep gen-untuk-gen telah terbukti pada banyak sistem patogen-inang. Tetapi telah dilaporkan bahwa sebagian resistansi tidak mengikuti hipotesis gen untuk gen. Selain itu, dominansi gen resistan pada inang dan avirulen pada patogen, yang dominan sesuai temuan Flor dan terbukti pada banyak sistem patogen-inang, ada juga yang resesif untuk resistensi pada tanaman. Selain itu, perlu juga diingat bahwa ekspresi sebagian gen dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu dan cahaya (Johnson, 1992). Menurut konsep ini, gen untuk resistensi pada inang dominan (R), sementara gen untuk kerentanan resisif (r). Pada patogen, gen

112

Cipta Ginting


untuk avirulen dominan (A), sementara gen untuk virulensi resisif (a). Kombinasi gen dan tipe reaksi penyakit dalam sistem patogen-inang menurut konsep gen-untuk-gen untuk satu gen dapat dilihat pada Tabel 9.1. Jika yang terlibat dua gen pada tanaman inang dan dua gen pada patogen, kombinasi gen dan tipe reaksi penyakit dalam sistem patogen-inang dapat dilihat pada Tabel 9.2 (Agrios, 2005). Kombinasi gen untuk satu gen terdiri atas empat tipe dengan tipe reaksi sebagai berikut (Tabel 9.1). Kombinasi gen AR berarti tidak terjadi penyakit atau interaksi patogen-inang tidak komplit. Hal ini terjadi karena inang mempunyai gen resisten (R) yang mengenali gen yang berhubungan untuk avirulensi (A) pada patogen. Kombinasi gen Ar berarti terjadi penyakit atau interaksi patogen-inang komplit karena inang tidak mempunyai gen resistensi (r) sehingga patogen dapat menyerang inang tersebut dengan gen yang lain untuk virulensi. Bagaimanapun, terdapat hubungan patogen-inang antarorganisme tersebut. Kombinasi gen aR berarti terjadi penyakit atau interaksi patogen-inang komplit. Dalam hal ini, meskipun terdapat gen untuk resistensi pada inang, patogen tidak mempunyai gen avirulensi yang dapat dikenali oleh gen resistensi pada inang sehingga mekanisme pertahanan pada inang tidak teraktifkan. Kombinasi gen ar juga berarti terjadi penyakit atau interaksi patogen-inang komplit. Hal ini terjadi karena inang tidak mempunyai gen resisten (r) dan patogen dapat menyerang inang karena memang patogenik dan virulen (a). Dengan prinsip hang serupa dapat dijelaskan tipe reaksi dalam sistem patogen-inang dengan dua gen untuk resistensi dan dua gen untuk virulensi seperti ditunjukkan pada Tabel 9.2. Perlu dijelaskan bahwa tanaman rentan (r1r2) tidak mempunyai gen resistensi sehingga dapat diserang oleh semua ras patogen baik patogen dengan gen virulensi (a1a2) maupun avirulensi (A1A2). Patogen dengan gen virulen (a1a2), yang tidak mempunyai gen avirulen (A1A2), dapat menyerang semua tanaman karena tanaman dengan gen a1a2 tidak mempunyai elicitor yang dapat mengaktifkan reaksi pertahanan inang.

Cipta Ginting

113

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN


9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN Tabel 9.1 Kombinasi gen dan tipe reaksi penyakit dalam sistem patogen-inang menurut konsep gen-untuk-gen untuk satu gen

Gen virulensi atau avirulensi pada patogen A (avirulen) dominan a (virulen) resesif

Gen resistensi atau kerentanan pada inang R (resisten) r (rentan) Dominan resesif AR (-) Ar (+) aR (+)

ar (+)

Tabel 9.2 Kombinasi gen dan tipe reaksi penyakit dalam sistem patogen-inang menurut konsep gen-untuk-gen untuk dua gen

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Gen resistensi (R) atau kerentanan (r) pada tanaman Gen avirulensi (A) atau virulensi (a) pada patogen

A1A2 A1a2 a1A2 a1a2

R1R2 +

R1r2 + +

r1R2 + +

r 1r 2 + + + +

9.5 Pemuliaan Tanaman untuk Ketahanan Penyakit Sejak menanam dan memelihara tanaman, manusia telah melakukan seleksi atas tanaman untuk mendapatkan genotipe yang diinginkannya. Sebagian tanaman yang pada saat ini dibudidayakan merupakan hasil seleksi selama jutaan tahun. Dalam pada itu, masih terdapat tipe liar pada daerah asal suatu tanaman budidaya. Tipe liar tersebut bertahan meskipun berinteraksi dengan patogen, yang menandakan bahwa tumbuhan tersebut mempunyai gen untuk resistensi. Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan kultivar dengan karakteristik yang diinginkan seperti produksi, rasa, ketahanan terhadap penyakit, dan lainlain. Yang ingin dihasilkan pada tanaman mungkin berupa satu 114

Cipta Ginting


karakter atau beberapa karakter bergantung pada tanaman yang dikembangkan dan kebutuhan yang dirasakan. Pemuliaan tanaman untuk resistansi penyakit merupakan salah satu metode untuk mengelola penyakit tanaman. Pemuliaan tanaman untuk resistansi tanaman dapat mengurangi penggunaan cara lain dalam pengendalian penyakit. Sebagian penyakit tanaman sering dikendalikan secara kimia sehingga penggunaan kultivar resistan tentu mengurangi penggunaan pestisida. Dari segi lingkungan hidup, hal ini menguntungkan karena turut mengurangi residu pestisida. Pemuliaan tanaman untuk resistansi penyakit dapat dilaksanakan untuk mendapatkan satu karakter seperti resistansi penyakit atau lebih seperti produksi dan resistansi. Untuk resistansi penyakit, pemulia tanaman biasanya menargetkan untuk memperoleh resistansi terhadap penyakit terpenting pada tanaman yang dikembangkannya. Terdapat beberapa pendekatan yang diambil dan metode yang dilaksanakan oleh pemulia tanaman dalam menciptakan kultivar baru bergantung pada patogen dan tanaman. Secara umum hal itu dikemukakan pada bagian ini. Jika memerlukan keterangan yang lebih dalam, pembaca dapat mencarinya pada buku-buku tentang genetika dan pemuliaan tanaman, seperti yang didaftarkan pada akhir Bab ini. Upaya pemulia tanaman untuk mendapatkan gen yang diinginkan termasuk menyilangkan varietas yang dibudidayakan satu dengan yang lain atau dengan varietas liar, menggunakan agen mutagenik, teknik kultur jaringan, dan rekayasa genetik. Kebanyakan pemuliaan tanaman dilakukan untuk mendapatkan varietas yang menghasilkan produksi yang lebih banyak atau kualitas yang lebih baik. Varietas yang memenuhi kriteria tersebut biasanya diuji untuk ketahanannya terhadap patogen terpenting di daerah tempat penanaman. Jika resisten terhadap patogen penting, varietas tersebut dapat segera dilepas. Akan tetapi, jika varietas tersebut rentan, upaya pemuliaan biasanya dilanjutkan untuk memasukkan gen resistensi terhadap patogen penting, kecuali jika pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara lain seperti cara kimia. Pada dasarnya teknik pemuliaan tanaman untuk resistensi terhadap penyakit sama dengan teknik untuk tujuan lain. Hanya Cipta Ginting

115

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN saja dalam praktiknya, pemuliaan tanaman untuk resistensi lebih sulit. Letak kesulitan ialah bahwa resistensi yang dihasilkan dalam pemuliaan mungkin tidak stabil. Selain itu, resistensi harus diukur dengan melakukan inokulasi dengan patogen, meskipun akhir-akhir ini adanya gen resistensi dapat diketahui dengan menggunakan penanda molekuler (molecular markers). Dalam melakukan inokulasi, perlu diperhatikan perlakuan dengan inokulum dan lingkungan yang sesuai agar semua tanaman uji mendapat perlakuan yang seragam agar “tekanan penyakit� sama terhadap semua tanaman. Jumlah inokulum harus sama untuk semua tanaman. Untuk patogen tular tanah (soilborne pathogen), hal ini sulit diperoleh mengingat inokulum sering mengelompok (clustered) di lapangan. Dapat terjadi bahwa varietas resisten pada inokulum yang tinggi dapat terserang penyakit yang sama dengan varietas rentan dengan inokulum yang rendah (Pataky & Carson, 2008). Salah satu teknik pemuliaan tanaman ialah seleksi benih secara massal dari populasi tanaman yang sangat resisten di lapangan tempat terjadinya infeksi alami. Teknik ini sederhana, tapi lambat dalam memperbaiki tanaman. Dalam seleksi garis murni atau pedigree, individu-individu tanaman yang sangat resisten dan turunannya dikembangbiakkan secara terpisah dan diinokulasi secara berulang. Metode ini mudah dan sangat efektif untuk tanaman dengan penyebukan sendiri (selfpollinated), tapi relatif sulit untuk tanaman dengan penyerbukan silang (cross pollinated). Dalam seleksi berulang (backcrossing), varietas yang diinginkan namun rentan terhadap patogen penting disilangkan dengan tanaman budidaya atau liar yang resisten. Turunannya diuji untuk resistensi dan yang resisten disilangkan lagi dengan varietas induk yang resisten tadi. Langkah ini diulang beberapa kali sampai resistensi pada tanaman yang diinginkan menjadi stabil. Teknik ini relatif lebih mudah diaplikasikan pada tanaman dengan penyerbukan silang daripada penyerbukan sendiri. Teknik pemuliaan klassik lain termasuk penggunaan hibrida F1 dari dua garis homozigot yang masing-masing membawa gen resistensi 116

Cipta Ginting


9 GENETIKA PENYAKIT TUMBUHAN yang berbeda, penggunaan mutan alami atau yang dimbas (induced) secara buatan (seperti dengan cahaya ultraviolet atau sinar X), dan perubahan jumlah kromosom pada tanaman dengan menggunakan senyawa kimia seperti kolcisin atau dengan radiasi. Selain teknikteknik klasik yang disebut di atas, pemuliaan tanaman dewasa ini dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan dan rekayasa genetik.

1. Tunjukkan kaitan gen dan penyakit tumbuhan! Jawaban disertai dengan satu contoh. 2. Bagaimana terjadinya variabilitas pada suatu organisme? 3. Sebutkan dan jelaskan tipe-tipe ketahanan tanaman terhadap penyakit! 4. Jelaskan konsep gen demi gen! Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Welsh, J.R. 1981. Fundamentals of Plant Genetic and Breeding. John Wiley & Sons, Inc. Diterjemahkan oleh J.P. Mogea. 1991. DasarDasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Erlangga, Jakarta. 224 hlm.

Cipta Ginting

117

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

9.5 Perlatihan


118

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN Penyakit menyebabkan penyimpangan proses fisiologis dan menimbulkan kerusakan pada tanaman. Besarnya kerusakan yang terjadi bergantung pada varietas tanaman yang dibudidayakan, patogen yang menyerang, dan kondisi lingkungan yang terjadi. Jika ketiga faktor tersebut mendukung, penyakit tanaman dapat menimbulkan kerusakan yang besar jika tidak ada upaya pengendalian. Pengendalian penyakit merupakan bagian integral dari sistem budidaya tanaman. Pengendalian yang dimaksud di sini mencakup upaya pencegahan terjadi dan berkembangnya suatu penyakit. Bahkan, upaya pengendalian sebaiknya lebih menonjolkan pencegahan daripada penyembuhan penyakit karena banyak penyakit yang sudah terlanjur berkembang sulit dikendalikan dengan efektif dan efisien. Bab ini menjelaskan tentang penggendalian penyakit, dengan materi utamanya bersumber dari Agrios (2005).

10.1 Prinsip Pengendalian Penyakit Tanaman Bagaimana mengendalikan penyakit? Jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada penyakit yang terjadi dan tanaman yang terserang. Kerugian ekonomi akibat kerusakan tersebut sangat berbeda-beda antar-penyakit dan antar-tanaman. Penyakit tertentu sering menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, sedangkan penyakit yang lain biasanya membawa kerugian yang kurang berarti sehingga biasanya tidak perlu dikendalikan. Di sisi lain, penyakit Cipta Ginting

119

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN tertentu relatif mudah dikendalikan, sedangkan penyakit yang lain sangat sulit diatasi. Dilihat dari cara sintas (bertahan) dan penyebarannya, patogen termasuk tular tanah (soilborne), terbawa udara (airborne), dan/atau terbawa benih (seedborne). Hal itu semua yang menyebabkan sangat bervariasinya pelaksanaan pengendalian penyakit tanaman dalam praksis. Terdapat banyak pilihan dan kombinasi tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan suatu penyakit. Pada dasarnya terdapat empat prinsip pengendalian penyakit tanaman, yaitu eksklusi, eradikasi, resistensi, dan proteksi (Agrios, 2005; Strange & Scott, 2005). Urutan ini sesuai dengan urutan prioritas bahwa yang paling diinginkan ialah eksklusi (exclusion), yaitu menghindari kontaknya patogen dan tanaman inang atau masuknya suatu patogen ke suatu daerah atau lokasi yang masih bebas dari patogen tersebut. Daerah atau lokasi yang dimaksud di sini mungkin hanya merupakan sebuah kebun petani atau mencakup daerah yang sangat luas seperti satu provinsi, pulau, atau bahkan negara. Contoh penerapan eksklusi ialah berbagai upaya yang dilakukan agar benih atau bibit tanaman yang digunakan bebas dari inokulum patogen. Misalnya, benih diproduksi di daerah yang masih bebas patogen. Contoh lain ialah perlakuan benih (seed treatment) yang dilakukan oleh seorang petani sehingga inokulum patogen yang berasosiasi dengan benih mati sehingga patogen tersebut tidak menyerang tanaman yang tumbuh dari benih tersebut atau patogen tidak masuk ke lahannya. Eksklusi juga dapat diterapkan pada skala yang lebih luas, yakni bahwa suatu negara akan mencegah masuknya suatu patogen atau hama dari negara lain. Untuk itu, suatu negara membentuk suatu instansi yang disebut Karantina Tumbuhan yang mengemban tugas tersebut. Seperti disebutkan di atas, penyakit yang telah terjadi memerlukan upaya pengendalian yang kadangkadang hasilnya tidak memuaskan. Oleh karena itu, upaya ekseklusi perlu ditekankan dan diprioritaskan, baik pada skala kecil maupun pada skala yang luas. Pengendalian suatu penyakit akibat patogen yang sudah terdapat pada suatu lokasi diutamakan dengan prinsip eradikasi (eradication). 120

Cipta Ginting


Eradikasi adalah pengendalian yang dilakukan dengan membunuh inokulum atau mengurangi jumlah inokulum tersebut. Meskipun tindakan untuk mengeradikasi inokulum biasanya sangat bermanfaat untuk mencegah terjadi dan berkembangnya penyakit tertentu, upaya tersebut kadang-kadang tidak berhasil mencegah penyakit tanaman yang lain. Pada kasus tertentu upaya tersebut hanya mengurangi inokulum, tapi masih menyisakan sebagian inokulum di lapangan. Di sinilah pentingnya prinsip resistensi (resistance), yaitu pengendalian dilakukan dengan menciptakan dan menanam varietas yang resisten, toleran, atau imun. Meskipun terdapat patogen yang virulen dan lingkungan yang sangat mendukung perkembangan suatu penyakit, penyakit tersebut tidak akan menimbulkan kerusakan yang besar jika tanaman yang ditanam resisten, toleran, atau imun. Pada kenyataannya, tidak jarang varietas yang rentan menjadi pilihan yang rasional karena varietas yang resisten mungkin belum tersedia atau sifat agronominya kurang diinginkan. Dengan kata lain, varietas yang rentan lebih menguntungkan asalkan penyakit dan masalah lain tidak parah atau masih dapat dikendalikan. Di sinilah perlunya diterapkan prinsip proteksi (protection), yaitu melindungi tanaman agar kerugian yang terjadi sekecil mungkin atau tidak terjadi sama sekali. Tanaman dapat dilindungi dengan melaksanakan berbagai tindakan seperti aplikasi agensia hayati, fungisida pelindung, atau pupuk yang cukup dan/atau seimbang.

10.2 Cara Pengendalian Penyakit Tanaman Keempat prinsip pengendalian di atas dijalankan dengan berbagai cara, yaitu cara perundang-undangan, budidaya, biologi, fisik, dan kimia. Suatu cara pengendalian dapat dilihat sebagai penerapan satu atau lebih prinsip pengendalian penyakit. Demikian juga sebaliknya, satu prinsip pengendalian dapat diterapkan dengan satu cara atau lebih bergantung pada kasus penyakit yang dihadapi (Gambar 8.1). Hal ini diharapkan akan dipahami setelah mempelajari penjelasan di bawah ini. Pada Tabel 8.1 dapat dilihat beberpa teknik pengendalian dalam prinsip eradikasi.

Cipta Ginting

121

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


                 

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN 

 













      





 Gambar 8.1 Keterkaitan prinsip dan cara pengendalian penyakit  tanaman. (CG) 

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Pengendalian secara Perundang-undangan  Pengendalian penyakit tanaman secara perundang-undangan        dilakukan berdasar peraturan perundangan yang berlaku di             suatu negara. Cara ini termasuk karantina, inspeksi, dan tindakan   eradikasi. Karantina tumbuhan, antara lain, mencegah masuknya suatu patogen atau hama dari suatu negara atau bagian negara lain ke daerah yang masih bebas dari masalah tersebut. Misalnya, jamur Microcyclus ulei yang menyebabkan penyakit hawar daun amerika selatan (southern american leaf blight yang disingkat SALB) pada karet akan menimbulkan kerugian yang sangat besar jika sempat masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan upaya yang serius dan konsisten terutama oleh Badan Karantina Tumbuhan untuk mencegah masuknya patogen tersebut ke tanah air. Inspeksi dapat dilakukan oleh petugas dari instansi yang berwenang untuk memeriksa suatu usaha budidaya tanaman atau penyedia benih jika dipandang perlu. Demikian juga pemerintah melalui badan atau instansi yang berwenang dapat melakukan eradikasi jika ditemui penyakit yang membahayakan atau berpotensi menimbulkan kerugian yang besar bagi negara. Karantina, inspeksi, dan tindakan eradikasi dilaksanakan oleh petugas yang berwenang dari instansi atau badan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

122

Cipta Ginting


Pengendalian secara Budidaya Praksis budidaya tanaman pertanian secara umum mencakup penentuan lokasi penanaman, pengolahan tanah, pengelolaan dan penanaman benih atau bibit, penentuan jarak tanam, pemupukan, pengaturan air, pengelolaan OPT, dan panen serta penyimpanan. Kegiatan budidaya tanaman mempunyai keterkaitan dengan faktor lingkungan. Setiap kegiatan dalam budidaya tanaman tersebut dapat mempengaruhi intensitas penyakit tanaman. Pengendalian dengan cara budidaya maksudnya mengendalikan penyakit dengan menyesuaikan kegiatan penanam dalam pembudidayaan tanaman sehingga terhindar kontak antara patogen dan tanaman atau suatu penyakit tidak terjadi atau perkembangannya tertekan. Penanam perlu mengetahui berbagai pilihan dalam kegiatan-kegiatan budidaya dan pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit melalui eradikasi atau pengurangan inokulum patogen, meningkatkan vigor tanaman, dan atau penciptaan lingungan yang kurang kondusif terhadap perkembangan penyakit. Keseluruhan kegiatan yang dirancang, selain efektif menekan penyakit tanaman, harus efektif dalam menghasilkan produksi tanaman secara optimal. Beberapa hal dijelaskan sebagai berikut. Cara pengelolaan tanah turut menentukan intensitas penyakit. Jika pengolahan tanah dilakukan dengan membalik tanah seperti dengan bajak atau traktor, maka inokulum pada sisa-sisa tanaman akan terkubur dan mengurangi resiko menimbulkan penyakit. Tabel 8.1 Beberapa teknik pengendalian dalam prinsip eradikasi dan proteksi (CG) ERADIKASI

PROTEKSI Cara Budidaya Membungkus bagian atau produk Eradikasi tanaman inang tanaman Rotasi tanaman Memperbaiki vigor tanaman Sanitasi Menciptakan kondisi merugikan patogen Cipta Ginting

123

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN Tabel 8.1 Beberapa teknik pengendalian dalam prinsip eradikasi dan proteksi (CG). (sambungan) ERADIKASI Aplikasi antagonis Aplikasi bahan organik Solarisasi tanah Perlakuan panas Radiasi

PROTEKSI Cara Biologi Aplikasi antagonis Aplikasi pengimbas ketahanan tanaman Cara Fisik Penyimpanan suhu rendah Penyimpanan udara kering Eliminasi cahaya gelombang < 390

panjang

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Cara Kimia Penyemprotan tanaman Penyemprotan tanaman Perlakuan benih Aplikasi debu fungisida (dust) Perlakuan benih Perlakuan/fumigasi tanah Perlakuan luka Perlakuan pascapanen Demikian juga, sisa-sisa tanaman yang dibakar mengakibatkan musnah atau berkurangnya inokulum patogen. Penyakit tanaman dapat dikendalikan secara efektif dan efisien dengan rotasi tanaman atau pergiliran tanaman yakni dengan tidak menanam lagi tanaman inang suatu patogen sehingga patogen tersebut tereradikasi dengan sendirinya karena patogen tersebut tidak akan dapat bertahan dan berkembang biak tanpa sumber nutrisi. Misalnya, pada suatu lokasi yang endemik penyakti bulai yang sering menimbulkan kerugian yang besar dalam budidaya jagung, petani hendaknya tidak memaksakan untuk terus menanam jagung yang rentan terhadap penyakit bulai tetapi apa saja selain jagung atau jagung yang resisten, yang tidak akan diserang Peronosclerospora maydis. Rotasi tanaman paling efektif untuk mengendalikan serangan patogen tular tanah. Eradikasi tanaman inang yang mengandung inokulum patogen akan dengan sendirinya mengeradikasi inokulum tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membakar atau mengubur bagian tanaman yang mengandung inokulum patogen. Sanitasi yang baik 124

Cipta Ginting


akan menekan keterjadian penyakit terutama melalui pengurangan inokulum awal. Misalnya, tanaman lada yang baru mati karena penyakit BPB yang disebabkan oleh P. Capsici akan menjadi sumber inokulum bagi tanaman di sekitarnya dan tanaman sulaman pada bekas tanaman mati tersebut. Demikian juga, sisa umbi kentang yang terinfeksi P. infestan akan menjadi sumber inokulum bagi tanaman selanjutnya. Akan tetapi, jika sanitasi dilakukan dengan mengubur atau membakar sisa-sisa tanaman terinfeksi, inokulum itu akan musnah bersama sisa-sisa tanaman tersebut sehingga tidak menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Perbaikan vigor tanaman akan meningatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai kegaitan seperti pemupukan secara seimbang, pengaturan air, pemilihan benih atau bibit yang bermutu, dll. Metode irigasi berpengaruh terhadap keterjadian penyakit. Metode irigasi yang mengenai bagian tajuk tanaman menciptakan lapisan air pada daun-daun yang mendukung perkembangan kebanyakan jamur dan bakteri patogen. Hal ini tidak terjadi jika irigasi dilakukan dengan metode yang membawa air langsung ke tanah. Sebaliknya, sebagian penyakit tumbuhan terhambat karena terdapatnya lapisan air pada permukaan daun. Spora jamur penyebab penyakit embun tepung pada bunga mawar dan tanaman lainnya tidak dapat berkecambah pada permukaan daun jika terdapat lapisan air. Selain metode, jumlah irigasi mempengaruhi keterjadian penyakit. Pythium dan Phytophthora akan lebih banyak menyerang tanaman jika terdapat air berlebih dalam tanah (Moorman & Gwinn, 2008). Penggunaan mulsa berpengaruh terhadap beberapa penyakit melalui faktor fisika. Misalnya, mulsa plastik hitam yang menutup tanah dapat meningkatkan suhu tanah sehingga menekan layu Verticillium pada tomat. Mulsa organik yang menutup tanah mengurangi percikan air hujan dari tanah ke tajuk sehingga mengurangi penyebaran Phytophthora parasitica yang menyerang bagian tajuk tersebut (Moorman & Gwinn, 2008). Pengaturan naungan akan membantu penciptaan lingkungan yang mendukung perkembangan tanaman dan merugikan bagi Cipta Ginting

125

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

perkembangan patogen. Misalnya, pada pertanaman lada yang biasanya diberi naungan, pada musim hujan naungan tersebut perlu dikurangi untuk menurunkan kelembaban kebun agar tidak kondusif bagi perkembangan Phytophthora capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang. Selain hal-hal tersebut di atas, aspek budidaya tertentu berlaku pada tanaman tertentu. Misalnya, tanaman yang dipangkas secara berkala, desinfektan gunting atau alat lain dalam pemangkasan tanaman mencegah penularan patogen dari tanaman terinfeksi ke tanaman lain. Pengendalian secara Fisika Faktor fisika yang dapat digunakan dalam pengendalian penyakit tanaman ialah suhu tinggi dan suhu rendah, udara kering, cahaya dengan panjang gelombang tertentu, dan radiasi tertentu. Suhu tinggi dapat digunakan untuk mensterilkan tanah, misalnya yang digunakan di rumah kaca atau dalam pot pertumbuhan tanaman. Suhu yang diperlukan untuk menonaktifkan (membunuh) patogen dan organisme berbeda-beda antarpatogen atau organisme (Tabel 8.2). Tabel 8.2 Suhu pada saat patogen, serangga, dan biji gulma mati setelah terdedah selama 30 menit (berdasarkan Agrios, 2005 hlm. 310) SUHU (0C) + 50

126

ORGANISME ATAU VIRUS Nematoda, beberapa jamur oomycetes

60 – 72

Kebanyakan jamur patogen, bakteri, cacing tanah, slugs, centipedes

+ 82

Kebanyakan biji gulma, semua bakteri lain, kebanyakan virus tanaman pada sisa-sisa tanaman, kebanyakan serangga

95 – 100

Biji gulma toleran panas, beberpa virus tanaman seperti TMV

Cipta Ginting


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

selama beberapa hari atau beberapa minggu, peningkatan suhu tersebut dapat membunuh banyak patogen tular tanah seperti jamur, nematoda, dan bakteri. Misalnya, keterjadian layu fusarium pada semangka menurun secara drastis akibat solarisasi tanah selama 30 atau 60 hari. Perlakuan air panas terhadap benih, bulbs, dan bibit dapat membunuh patogen yang berasa secara eksternal dan internal bahan perbanyakan tanaman tersebut. Misalnya, penyakit gosong pada gandum tertekan dengan perlakuan benih pada air panas pada 52 0C selama 11 menit. Nematoda Ditylenchus dipsaci pada tanaman hias menjadi mati setelah terdedah pada 430C selama 3 jam. Perlakuan air panas (50 0C) dapat membebaskan benih dari inokulum patogen seperti benih kubis dari Xanthomonas campestris pv campestris penyebab busuk hitam kubis dan benih gandum dan serelia lain dari Ustilago sp. penyebab penyakit gosong. Penyimpanan pada udara kering biji-bijian dan kadang-kacangan atau perlakuan dengan udara panas produk pertanian sampai kelembaban sekitar 12% sebelum penyimpanan akan menghindarkan kerusakan akibat serangan jamur dan bakteri. Selain itu, sudah umum sekali dilakukan penyimpanan buah-buahan atau sayursayuran pada lemari es (refrigerator) untuk mengendalikan penyakit pascapanen. Meskipun tindakan itu tidak membunuh inokulum, hal itu menghambat perkembangan patogen sehingga bahan yang disimpan tersebut aman. Pengendalian jamur patogen seperti Alternaria, Botrytis, dan Stemphylium dapat dilakukan dengan mengeliminasi cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Jamur tersebut bersporulasi hanya jika

Cipta Ginting

127

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Perlu diperhatikan bahwa suhu yang terlalu tinggi atau terlalu lama harus dihindari karena hal itu akan memusnahkan juga mikroflora saprofit dalam tanah dan mengakibatkan pelepasan garam-garam serta akumulasi amonia pada arus beracun. Solarisasi tanah dapat dilakukan dengan menggunakan polietilen di atas tanah lembab dapat meningkatkan suhu menjadi setinggi 520C pada lapisan atas tanah sedalam 5 cm. Jika cuaca cerah bertahan


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

terpapar ke cahaya ultraviolet (panjang gelombang dibawah 360 nm). Dengan demikian, penggunaan lapisan tipis (film) vinyl pada rumah kaca yang menahan cahaya dengan panjang gelombang < 390 nm dapat mengendalikan jamur patogen tersebut. Pengendalian penyakit juga dapat dilakukan dengan radiasi seperti Y rays terhadap penyakit pascapanen buah persik (peach), strawberry, atau tomat dari jamur patogen. Tetapi di Amerika Serikat belum diterima oleh sebagian masyarakat meskipun dinilai aman dan diberi izin oleh instansi pemerintah yang berwenang di sana. Pengendalian Biologi Pengendalian biologi artinya menggunakan organisme hidup untuk menekan atau mengendalikan patogen. Pengendalian biologi semakin perlu untuk dikembangkan dan diterapkan karena semakin disadarinya potensi dampak negatif penggunaan pestisida sintetik terhadap kesehatan pengguna dan konsumen produk pertanian serta lingkungan. Selain itu, diperlukan cara penggendalian penyakit tanaman dengan lebih efisien dan efektif serta lemanjut (sustainable). Seperti diterangkan pada Bab III, hanya sebagian kecil mikroorganisme yang menjadi patogen, sebagian besar sebenarnya menguntungkan. Yang menguntungkan itu termasuk mikrooganisme yang bersifat antagonistik terhadap patogen sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit. Penelitian tentang pengendalian biologi mengikuti penemuan tanah supresif (suppressive soils) (Ownley & Windham, 2008). Telah ditemukan bahwa dalam tanah supresif dapat terjadi tiga kondisi berikut. Pertama, patogen tidak dapat berkembang pada pertanaman. Kedua, patogen berkembang tapi tidak dapat menimbulkan penyakit. Ketiga, patogen berkembang dan menimbulkan penyakit namun intensitas penyakit menurun sejalan dengan berulangnya penanaman tanaman yang sama pada suatu lokasi. Tanah supresif dapat terjadi secara umum terhadap berbagai patogen atau spesifik bagi patogen tertentu. Tanah supresif umum terjadi akibat aktifitas biomassa mikroba total dalam tanah dan hal 128

Cipta Ginting


ini tidak dapat dipindahkan ke lokasi yang lain. Tanah supresif spesifik terjadi akibat aktifitas individu atau kelompok individu tertentu dan hal ini dapat dipindahkan ke lokasi lain dengan menggunakan individu aktif tersebut. Ginting (1997a) menduga terdapatnya tanah supresif di rizosfer beberapa tanaman lada terhadap penyebab penyakit busuk pangkal batang. Diduga supresif karena tanaman lada sehat tersebut dikelilingi tanaman yang menunjukkan gejala dan populasi jamur termasuk Trichoderma spp. dan Penicillium lebih padat di sekitar tanaman sehat dibandingkan dengan yang terdapat di sekeliling tanaman sakit. Selain itu, tanah yang diduga supresif menekan keterjadian penyakit busuk pangkal batang pada lada dan sebagian jamur yang diisolasi bersifat antagonistik terhadap Phytophthora capsici yang menyebabkan penyakit lada tersebut (Ginting, 1997b). Mekanisme yang terjadi dalam pengendalian biologi patogen tanaman termasuk antagonisme, ketahanan sistemik terimbas, proteksi silang, respon pertumbuhan yang meningkat, dan hipovirulensi. Pengendalian biologi suatu penyakit dapat terjadi karena terjadinya satu atau lebih mekanisme tersebut. Penggunaan bahan organik yang diaplikasikan pada tanah dapat dilihat sebagai pengendalian biologi karena tindakan itu meningkatkan keberagaman dan kepadatan mikroflora dalam tanah yang menekan perkembangan patogen. Dalam tulisan ini, yang menjadi fokus uraian ialah antagonisme. Jamur Tricoderma spp. bersifat antagonistik terhadap banyak jamur patogen dan telah digunakan dalam pengendalian penyakit. Contoh lain ialah bahwa terdapat tumbuhan yang bersifat menghambat perkembangan mikrooganisme lain (inhibitory plants). Antagonisme adalah mekanisme yang mengurangi sintas (survival) atau aktivitas patogen. Antagonis hanya aktif jika pertumbuhan dan reproduksinya didukung lingkungan. Antagonis termasuk antobiosis, parasitisme, dan kompetisi. Antibiosis adalah perusakan atau penghambatan suatu organisme akibat senyawa metabolit yang dikeluarkan oleh organisme lain. Senyawa metabolit tersebut dapat berspektrum luas atau spesifik untuk menghambat satu kelompok mikroorganisme saja. Contoh metabolit berspektrum sempit ialah bakteriosin yang disebut agrocin 84 yang Cipta Ginting

129

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN dihasilkan Agrobacterium radiobacter K1026 menghambat bakteria yang terkait dekat dengan A. radiobacter seperti A. tumefaciens yang menyebabkan penyakit puru mahkota. Kompetisi adalah persaingan antarorganisme dalam menggunakan nutrisi datau tempat yang sama. Organisme yang unggul ialah yang tumbuh atau bereproduksi dengan cepat atau yang paling efisien mengambil nutrisi. Contoh persaingan nutrisi ialah bahwa Pseudomonas fluorescens menekan Fusarium oxysporum karena memproduksi siderofor yang disebut pseudobaktin. Siderofor mengikat unsur besi sehingga tidak tersedia bagi F. oxysporum. Jika P. fluorescens aktif dalam tanah, klamisdospora F. oxysporum gagal berkecambah karena perkecambahan klamidospora memerlukan besi. Contoh kompetisi tempat (niche) atau situs infeksi ialah dalam pengendalian biologi busuk akar pinus yang disebabkan Heterobasidion annosum. Pengendalian dilakukan dengan menginokulasi tunggul bekas potongan baru dengan Phanerochaete (= Phlebia) gigantea. Miselium P. gigantea pada permukaan tunggul mencegah terjadinya infeksi oleh H. annosum. Parasitisme adalah hubungan antarorganisme dengan satu oraganisme memperoleh nutrisi dari organisme yang lain. Jika kedua organisme tersebut merupakan jamur, maka hubungan itu disebut mikoparasitisme. Contohnya, Trichoderma virens menjadi parasit Rhizoctonia solani. Hifa T. virens tumbuh ke arah koloni R. Solani, lalu hifa T. virens melingkari hifa R. solani dan menghasilkan enzim litik yang mencerna dinding sel R. solani sehingga T. virens menyerap nutrisi dari hifa R. solani (Gambar 8.2). Contoh lain ialah mikoparasitisme Verticillium lecanii (Gambar 8.3 dan 8.4) pada Hemileia vastatrix yang lazim ditemui di lapangan (Ginting dkk., 2005). V. Lecanii menyebabkan uredospora lisis menjadi tidak efektif sebagai inokulum (Gambar 8.3).

130

Cipta Ginting


Gambar 8.2 Mikoparasitisme Trichoderma (T) pada Rhizoctonia solani (R). (A) hifa Trichoderma hifa R. solani. (B) Enam hari setelah inokulasi, hifa R. solani menjadi keriput. (Sumber: Agrios, 2005).

Gambar 8.3 Koloni Verticillium lecanii foto atas (a) dan foto bawah cawan petri (b). (C G).

Cipta Ginting

131

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

 

    





   

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

  Gambar 8.4 Hifa Verticillium lecanii (A) menyebabkan lisis pada  uredospora (B), sementara sebagian uredospora belum            lisis (C). (CG).   Aplikasi di lapangan sering menghadapi masalah termasuk tidak  konsistennya keefektifan antar-lokasi dan antar-musim tanam.          Keefektifan pengendalian biologi dipengaruhi oleh genotipe         tanaman, praktis budidaya, mutasi agensia hayati, ketahanan

 terhadap mekanisme        patogen pengendalian biologi, dan mekanisme pertahanan tanaman.  Meskipun demikian, produk ditawarkan mengalami    yang telah      peningkatan. Di Ameria Serikat, pada 1993 dan 2007 masing-masing             ditawarkan sebanyak tujuh dan 35 produk (www.epa.gov/pesticides/      biopesticides/ingredients/index.htm. Sementara itu, produk  pengendalian      negara lain   biologi juga telah ditawarkan diberbagai  termasuk Indonesia. Agensia hayati dapat  diaplikasikan dengan    berbagai  metode   termasuk penyemprotan dedaunan, perlakuan tanah atau media  tanam selain tanah, perlakuan benih, pencelupan akar, dan aplikasi          pascapenen terhadap buah-buahan berupa pencelupan, penetesan,  atau penyemprotan. Formulasi produk agensia hayati berupa debu           (dust), cair (liquids), tepung (dry dan wettable powders), dan butiran  (dry dan water-dispersible granules).  Cipta Ginting 132  


Pengendalian secara Kimia Pengendalian dengan cara kimia berarti menggunakan senyawa kimia untuk mengendalikan penyakit. Jamur patogen dapat dikendalikan dengan aplikasi fungisida, bakteri dengan bakterisida, dan nematoda dengan nematisida. Sejauh ini, belum ditemukan senyawa kimia (virisida) yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Yang lazim dapat direkomendasikan ialah mengendalikan vektor penyebar virus. Jika vektor tersebut serangga maka pengendalian yang dapat disarankan ialah aplikasi insektisida, yaitu senyawa kimia untuk mengendalikan serangga atau insekta. Prinsip eradikasi dijalankan secara kimia dengan teknik perlakuan atau fumigasi tanah, perlakuan benih, dan penyemprotan cairan atau debu fungisida di lapangan. Prinsip proteksi dilakukakan dengan teknik penyemprotan tanaman, aplikasi debu, perlakuan benih, dan perlakuan pascapanen. Cara-cara pengendalian penyakit itu pada umumnya dilaksanakan secara terintegrasi. Hal itu dilaksanakan mulai dari pengolahan tanah dan penyiapan benih atau bibit sampai pada penyimpanan. Beberapa cara pengendalian dapat dilakukan untuk melaksanakan satu prinsip. Misalnya, prinsip eradikasi dapat dilakukan dengan cara fisik (seperti sterilisasi tanah), secara kimia (dengan perlakuan benih dengan fungisida), secara biologi (aplikas mikrooganisme bersifat antagonis), dan dengan teknik budidaya (misalnya dengan sanitasi dan mulsa plastik).

10.3 Fungisida, Bakterisida, dan Nematisida Kata fungisida berasal dari kata fungi dan sida. Fungi berarti jamur dan sida berarti membunuh. Jadi, secara harafiah, fungisida berarti yang dapat membunuh jamur. Akan tetapi, dalam penggunaannya secara umum dalam pertanian, fungisida termasuk semua zat kimia yang dapat mengendalikan jamur, baik yang membunuh maupun yang hanya menghambat pertumbuhan atau reproduksi jamur. Demikian juga, bakterisida berarti zat kimia yang dapat mengendalikan bakteri. Suatu zat kimia mungkin dapat berfungsi sekaligus sebagai fungisida dan bakterisida. Cipta Ginting

133

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Dalam pertanian mutahir, peranan fungisida sejauh ini masih penting karena terdapatnya banyak penyakit penting tanaman yang disebabkan jamur. Dari segi kepentingannya, penyakit tanaman yang disebabkan bakteri juga banyak yang menimbulkan kerugian besar, dan secara teoritis bakterisida dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tersebut. Akan tetapi, penggunaan bakterisida khususnya di Indonesia jauh di bawah penggunaan fungisida. Fungisida dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu fungisida anorganik, fungisida organik tidak sistemik, dan fungisida sistemik. Masing-masing kelompok dan bakaterisida akan diterangkan lebih lanjut di bawah ini. Fungida Anorganik Fungisida anorganik terdiri atas senyawa kimia anorganik. Fungisida anorganik yang digunakan ialah belerang atau sulfur (S) dan tembaga atau kuprum (Cu). Kedua fungisida ini merupakan fungisida yang tertua dan masih digunakan dewasa ini. Belerang dan tembaga berspektrum luas, yakni dapat digunakan untuk mengendalikan banyak jamur patogen. Bahkan diketahui bahwa tembaga mempunyai keefektifan dalam menekan bakteri patogen pada tanaman. Fungisida kelompok ini dapat bertahan lama pada permukaan tanaman sehingga frekuensi aplikasinya dapat relatif kecil. Selain itu, harga fungisida anorganik relatif murah. Di sisi lain, fungisida ini mempunyai kekurangan sebagai berikut. Fungisida anorganik bersifat fitotoksik, yaitu dapat mengakibatkan keracunan pada tanaman. Tembaga juga dapat mempercepat terjadinya karatan pada alat aplikasi yang mengandung logam. Selain itu, fungisida kelompok ini hanya berfungsi sebagai protektan, yakni hanya melindungi dari terjadinya infeksi dan tidak bersifat menyembuhkan tanaman yang telah terserang patogen. Meskipun demikian, aplikasi fungisida protektan setelah timbul penyakit hanya pada satu atau beberapa tanaman mungkin masih bermanfaat untuk melindungi bagian tanaman lain atau tanaman yang belum terinfeksi agar terlidungi dari serangan patogen.

134

Cipta Ginting


Belerang Terdapat dua bentuk belerang anorganik yang digunakan sebagai fungisida, yaitu unsur belerang dan senyawa belerang dengan kapur. Unsur belerang diaplikasikan dalam bentuk debu atau tepung hembus (dust) atau cairan semprot. Kapur belerang biasanya diaplikasikan sebagai cairan yang disemprotkan. Belerang telah digunakan sebagai pestisida umum – termasuk untuk mengendalikan penyakit tanaman – oleh bangsa Yunani kuno. Tetapi kemudian belerang terlupakan sampai sekitar tahun 1800, sewaktu keefektifan belerang yang dicampur dengan kapur ditemukan kembali dan digunakan untuk mengendalikan penyakit tepung pada buah-buahan. Pada tahun 1850, unsur belerang juga diaplikasikan sebagai debu untuk menekan penyakit tepung yang telah mulai menghancurkan tanaman anggur di Eropah. Belerang berspektrum luas dan banyak digunakan untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur seperti penyakit tepung (powdery mildew), karat (rust), hawar daun (leaf blight), busuk buah dan antraknosa. Belarang juga dapat digunakan untuk menekan tungau. Belum diketahui dengan pasti bagaimana mekanisme keracunan pada jamur yang terdedah kepada belerang. Demikian juga, belum dapat dipastikan bentuk yang aktif sebagai racun, apakah unsur belerang, belerang yang tereduksi, atau belerang yang teroksidasi. Mungkin juga terdapat beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan luasnya spektrum keaktifan belerang. Dalam menggunakan belerang perlu diperhatikan bahwa belerang dalam bentuk debu sebaiknya diaplikasikan sewaktu permukaan tanaman masih basah atau lembab agar partikel belerang dapat menempel pada permukaan tanaman tersebut. Serbuk basah belerang biasanya telah mengandung bahan pembasah dan penyebar untuk membantu dalam pembuatan cairan semprot dan penyebarannya pada permukaan tanaman. Selain itu, dalam suhu yang agak panas dan kering, belerang dapat meracuni tanaman terutama yang rentan seperti tomat dan melon.

Cipta Ginting

135

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Keracunan pada tanaman akibat kapur belerang dapat terjadi pada suhu yang lebih rendah daripada suhu terjadinya keracunan akibat unsur belerang. Hal ini mungkin disebabkan karena lebih tingginya daya larut kapur belerang dibandingkan dengan unsur belerang. Gejala keracunan tersebut ialah seperti akibat terbakar (scorching), defoliasi, dan hasil produksi menurun. Kelamahan lain ialah dosis aplikasi sangat tinggi jika dibandingkan dengan fungisida organik. Tembaga Seperti belerang, tembaga yang digunakan sebagai fungisida ada dalam dua bentuk, yaitu unsur tembaga dan senyawa tembaga dengan kapur. Campuran antara tembaga dan kapur dikenal sebagai bubur bordo (Bordeaux mixture). Unsur tembaga diaplikasikan sebagai debu atau cairan, sedangkan kapur tembaga diaplikasikan dalam bentuk cairan. Menurut literatur, awal penggunaan tembaga ialah penemuan Prevost pada awal abad ke-19 bahwa gandum yang diperlakukan dengan CuSO4 lebih aman dari penyakit gosong. Kuhn pada pertengahan abad itu mengembangkan rekomendasi perlakuan benih dengan CuSO4 tersebut. Akan tetapi, pada masa itu, CuSO4 tidak digunakan sebagai cairan yang disemprotkan ke tajuk tanaman karena bersifat fitotoksik terhadap bagian tanaman yang aktif tumbuh. Penggunaan fungisida dalam jumlah besar diawali dengan ditemukannya fungisida yang disebut bubur bordo. Hal itu dimulai dengan pengamatan Millardet pada tahun 1882, bahwa tanaman anggur yang telah disemprot dengan campuran CuSO4 dan kapur ternyata bebas dari penyakit embun bulu (downy mildew). Padahal tujuan penyemprotan tanaman anggur di pinggir jalan pada awalnya dimaksudkan agar tanaman yang disemprot tampak menjijikkan sehingga buah anggur tidak dipetik oleh pejalan kaki yang melintasi kebun tersebut. Tembaga mempunyai spektrum luas dan dewasa ini digunakan untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman termasuk bercak daun yang disebabkan oleh berbagai jamur dan bakteri, hawar daun, antraknosa, embun bulu dan kanker. Cipta Ginting 136


Tembaga efekftif sebagai fungisida diduga karena kemampuannya menghambat perkecambahan spora dan mengganggu enzim-enzim yang mengandung gugus sulfihidril. Karena daya larut tembaga dalam air sangat rendah, air hujan tidak cepat mencucinya dari permukaan tanaman. Hal ini menyebabkan relatif lamanya kuprum efektif dalam melindungi tanaman. Kelemahan atau kekurangan utama tembaga ialah fitotoksitasnya yang tinggi. Dalam senyawa kapur tembaga, kapur berfungsi untuk mengurangi fitotoksitas tembaga. Akan tetapi, fitotoksitas kapur tembaga masih lebih tinggi daripada unsur tembaga karena daya larutnya dalam air yang labih besar. Fungisida Organik Tidak Sistemik Pada tahun 1934 terjadi perkembangan yang signifikan dalam bidang penyakit tumbuhan dengan ditemukannya sifat fungitoksik asam ditiokarbamat. Penemuan itu diikuti dengan pengembangan fungisida senyawa organik turunan asam ditiokarbamat tersebut. Yang pertama ialah tiram dan kemudian fungisida lain, baik dalam golongan yang sama maupun dari golongan lain. Pada tahun 1940, fungisida organik telah mulai menggeser posisi bubur bordo sebagai fungisida yang paling banyak digunakan ketika itu. Umumnya fungisida organik ini tidak diserap ke dalam jaringan tanaman, sehingga keefektifannya hanya pada pencegahan penyakit seperti manfaat fungisida anorganik. Dibandingkan dengan fungisida anorganik, fungisida organik ini lebih menguntungkan dalam hal dosis aplikasi yang lebih rendah, fitotoksitas lebih rendah, dan penggunaannya lebih mudah. Fungisida ini juga pada umumnya dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama pada permukaan tanaman. Kelemahannya ialah seperti halnya fungisida anorganik bahwa fungisida ini hanya efektif sebagai protektan. Berikut akan diberikan keterangan secara sepintas tentang masingmasing golongan fungisida yang termasuk kelompok ini.


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN Ditiokarbamat Secara keseluruhan, fungisida golongan ini dianggap sebagai fungisida yang terpenting. Kelompok ini dipercaya sebagai beracun karena dalam metabolismenya fungisida ini diubah menjadi gugus isotiosianat (-N=C=C) yang dapat menonaktifkan grup sulfihidril (-SH) dalam asam amino dan enzim dalam sel-sel jamur patogen. Tiram adalah fungisida yang terdiri atas dua molekul asam ditiokarbamat yang digabungkan. Tiram terutama banyak diaplikasikan dalam perlakuan benih dan bibit sayur-sayuran, tanaman perhiasan, dan lain-lain. Selain itu, tiram juga diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit-penyakit daun seperti karat pada berbagai tanaman. Tiram banyak diaplikasikan dalam bentuk serbuk dan lumpur (cairan pekat) pada benih. Fungisida ini juga ada yang diformulasikan dan diaplikasikan dalam bentuk cairan semprot ke dedaunan tanaman buah dan sayur-sayuran. Daya racunnya terhadap mamalia relatif rendah yang ditunjukkan dengan nilai akut oral LD50 (780 mg/kg). Ferbam terdiri atas tiga molekul asam ditiokarbamat yang disenyawakan dengan besi (Fe). Fungisida lain dari golongan ini ialah nabam (yang mengandung natrium, Na), zineb (seng, Zn), maneb (mangan, Mn), dan mancozeb (Mn dan Zn). Ferbam dan nabam semakin kurang digunakan dan digantikan oleh fungisida yang lebih baru. Zineb, maneb, dan mankozeb juga dapat diaplikasikan untuk mengendalikan banyak jenis penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur. Fungisida ini banyak diaplikasikan ke daun dalam bentuk cairan semprotan. Nitrogen Heterosiklik Fungisida dalam golongan ini termasuk turunan asam ftalik [(C6H8(COOH)2] dengan molekul yang mengandung klor menggantikan atom hidrogen dari gugus imida. Golongan ini menghambat sintesa protein termasuk enzim-enzim yang mengandung gugus sulfihidril (–SH). Fungisida turunan asam ftalik tersebut ialah kaptan, kaptafol, dan folpet. Ketiga fungisida ini mempunyai spektrum yang luas, 138

Cipta Ginting


meskipun terdapat perbedaan di antara ketiganya. Kaptan relatif tidak efektif melawan penyakit embun bulu, penyakit tepung, dan karat, sedangkan kaptafol efektif mengendalikan beberapa penyakit embun tepung serta folpet efektif menekan beberapa penyakit karat dan tepung. Kaptan dapat diaplikasikan pada benih, tanah, dan dedaunan, serta biasanya diformulasikan dalam bentuk debu dan serbuk basah. Kaptan tidak larut dalam air dan tidak mudah larut dalam minyak. Karena mudah terurai dalam keadaan basa, kaptan tidak dapat dicampur dengan senyawa alkali. Kaptafol menyerupai kaptan dalam beberapa sifat namun dilaporkan lebih efektif daripada kaptan dan harganya lebih mahal. Fungisida lain dalam kelompok nitrogen heterosiklik termasuk iprodion dan vinklozolin. Senyawa Aromatik Golongan ini mencakup beberapa fungisida yang sebenarnya sangat berbeda satu dengan yang lain namun semua mempunyai cincin benzena. Fungisida dari golongan ini termasuk PCNB (pentakhloronitrobenzene), klorotalonil, dan dikloran (dikloronitroaniolin atau DCNA). PCNB banyak digunakan untuk mengendalikan patogen yang terdapat dalam tanah (soilborne) seperti Rhizoctonia, Sclerotium, dan Sclerotinia. PCNB juga dapat digunakan untuk mengendalikan Rigidoporus lignosus pada karet. Akan tetapi, PCNB tidak efektif mengendalikan Pythium, Phytophthora, dan Fusarium. Mekanisme kerja PCNB belum diketahui dengan pasti, tetapi tampaknya PCNB sebetulnya bersifat fungistatik, bukan fungisida. Fungisida ini tidak larut dalam air dan dapat bertahan lama dalam tanah. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa jika tanah terendam, maka kadar PCNB dalam tanah tersebut berkurang dengan cepat. Klorotalonil pertama diperkenalkan pada tahun 1964 untuk mengendalikan Botrytis, Phytophthora, dan Rhizoctonia. Dewasa ini telah diketahui bahwa fungisida ini mempunyai spektrum yang luas. Selain jamur di atas, klorotalonil juga dapat mengendalikan jamur karat dan Penicillium. Mekanisme kerjanya mungkin mengganggu Cipta Ginting

139

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN grup sulfihidril pada protein. Daya racun klorotalonil relatif rendah terhadap mamalia dengan akut oral LD50 sebesar 3750 mg/kg. Dikloran efektif mengendalikan Botrytis, Monilinia, Sclerotium, Sclerotinia, dan Rhizopus. Dikloran dapat diserap secara terbatas ke dalam jaringan tanaman dan telah banyak digunakan untuk mengamankan buah-buahan dari serangan patogen tersebut.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Quinon Fungisida dari golongan ini termasuk diklon yang bersifat sistemik terbatas. Untuk mengendalikan penyakit kudis pada apel, misalnya, fungisida ini masih efektif jika diaplikasikan 36-48 jam setelah infeksi terjadi. Fungisida Sistemik Pada tahun 1966 terjadi perkembangan baru dengan ditemukannya fungisida sistemik, yakni dari golongan oksatin. Fungisida dalam kelompok ini disebut sistemik karena dapat terserap masuk ke dalam jaringan tanaman dan masih efektif menekan patogen dalam jaringan tanaman tersebut. Karena fungisida dapat diserap ke dalam jaringan tanaman, keefektifannya kurang dipengaruhi oleh faktorfaktor cuaca. Sejak tahun 1966 tersebut, banyak fungisida sistemik yang ditemukan. Kebanyakan menunjukkan keefektifan yang selektif terhadap jamur sasarannya dan memberikan pengaruh terapetik (menyembuhkan) dengan aras keefektifan yang berbeda-beda. Fungisida sistemik terutama diaplikasikan ke dalam tanah dan biji dan kemudian menyebar ke bagian tanaman seperti daun. Penyebaran fungisida dalam tanaman terjadi melalui jalur transpirasi (xilem, transpor apoplas). Translokasi melalui transpor simplas (floem) umumya tidak signifikan. Jika diaplikasikan pada daun, penyebaran fungisida terbatas pada tepi dan ujung daun tersebut. Terdapat beberapa fungisida, yakni piroksiklor dan aluminium monoetil fosfit, yang menunjukkan pengecualian. Fungisida sistemik mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut. Pertama, fungisida masih dapat efektif mengendalikan penyakit meskipun serarangan patogen telah terjadi. Kedua, 140

Cipta Ginting


fungisida dapat ditranslokasikan ke dedaunan jika diaplikasikan pada tanah atau benih. Ketiga, dosis efektif biasanya lebih rendah daripada fungisida kelompok lain. Keempat, sasaran fungisida ini selektif sehingga menguntungkan dalam hal melestarikan keragaman organisme di alam. Akan tetapi, fungisida kelompok inipun mempunyai kelemahan. Keselektifan fungisida ini diikuti dengan dampaknya menimbulkan resistensi organisme sasaran terhadap fungisida tersebut. Untuk mengurangi masalah timbulnya resistensi ini, penggunaan fungisida sestemik perlu diselingi dengan aplikasi fungisida yang tidak sistemik. Kelemahan lain ialah bahwa keaktifan fungisida ini biasanya relatif tidak lama. Oksatin Karboksin dan oksikarboksin merupakan fungisida sistemik dari golongan oksatin. Fungisida ini mengganggu keaktifan cincin suksinat dehidrogenase yang berperan dalam siklus kreb. Karboksin dapat digunakan dalam perlakuan benih untuk mengendalikan inokulum patogen penyebab penyakit gosong (smut) dan Rhizoctonia. Di Kanada, fungisida ini banyak digunakan dalam perlakuan benih serelia. Oksikarboksin, selain dalam perlakuan benih, lebih sering digunakan untuk mengendalikan beberapa penyakit dedaunan. Morfolin Fungisida tridemorf merupakan turunan morfolin. Fungisida ini dapat diserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar dan daun. Tridemorf dapat dipakai, antara lain, untuk mengendalikan Corticium salmonocolor pada karet, Exobasidium vexans pada the, dan Rigidoporus lignosus pada karet. Tridemorf juga efektif mengendalikan penyakit tepung. Sebagai mekanisme penekanannya, fungisida ini menganggu metabolisme lemak dan sintetis DNA. Benzimidazol Semua fungisida yang termasuk golongan ini mempunyai struktur Cipta Ginting

141

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN induk benzimidazil. Sebagai mekanisme kerjanya, fungisida ini mengganggu pembelahan inti. Golongan ini termasuk benomil, karbendazim, dan benzimidazol. Benomil secara umum ialah yang paling banyak dipakai dari golongan ini. Fungisida ini mempunyai spektrum luas. Selain diformulasikan sebagai fungisida tunggal, benomil juga dicampur dengan tiram. Karbendazim, seperti halnya benomil, diformulasikan dengan tidak dicampur maupun dengan dicampur dengan mancozeb. Fungisida ini juga berspektrum luas.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Pirimidin Contoh fungisida kelompok ini ialah diamethirimol, ethiriml, dan bupirimat. Fungisida ini efektif untuk mengendalikan penyakit bulai. Diamethirimol dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit bulai pada mentimun, ethiriml untuk mengendalikan penyakit bulai pada serelia, dan bupirimat untuk menekan penyakit bulai pada apel dan tanaman bunga mawar. Organofosfat Fungisida dalam golongan ini termasuk fosetil aluminium, yang efektif mengendalikan penyakit-penyakit pada dedaunan, akar, dan batang yang disebabkan oleh Oomycetes seperti Phytophthora, Pythium, dan jamur embun bulu. Cara kerja fungisida ini belum diketahui dengan jelas. Mungkin yang dihambat sintesis fosfolipida yang masuk ke dalam jaringan tumbuhan. Asilalanin Fungisida golongan ini termasuk yang terbaru. Contohnya metalaksil yang dapat digunakan untuk mengendalikan anggota Oomycetes seperti Pythium, Phytophthora, dan Sclerospora maydis. Metalaksil dapat diaplikasikan ke dalam tanah untuk mengendalikan penyakit akar dan umbi. Cara kerja fungisida ini belum diketahui.

142

Cipta Ginting


Lain-lain Triforin adalah fungisida yang masih dapat efektif meskipun penyakit sudah berkembang lanjut. Fungisida ini dapat digunakan, antara lain, untuk mengendalikan penyakit bulai dan kudis. Cara kerjanya adalah menghambat biosintesis steroid pada jamur yang menjadi sasarannya. Triadimefon sangat efektif mengedalikan penyakit karat pada serelia dan kopi serta penyakit tepung pada serelia dan beberapa tanaman lain. Antibiotika Antibiotika adalah suatu zat yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat menghambat atau membunuh mikrooganisme lainnya. Antibitoka telah digunakan sejak 1950an yakni untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan bakteri pada tanaman hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Pada saat itu, petani lebih memilih antibiotika daripada bakterisida yang mengandung logam yang dapat bersifat toksik pada tanaman. Berikut ini diuraikan beberapa contoh antibiotika yang dapat digunakan untuk mengendalikan jamur dan bakteri patogen pada tanaman. Blastidin-S adalah turunan pirimidin yang diekstrak dari Streptomyces griseochromogenes. Blastidin dapat mengendalikan bakteri dengan efektif. Selain itu, antibiotik ini juga efektif untuk mengendalikan Pyricularia oryzae, dan telah digunakan secara komersial di Jepang. Blastidin menghambat sintesis protein. Kasugamisin dihasilkan oleh Streptomyces kasugaensin dan dapat dipakai untuk mengendalikan P. oryzae. Kemudian diketahui bahwa antibiotika ini juga dapat mengendalikan berbagai penyakit bakteri. Seperti blastidin, kasugamisin telah diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit blas di Jepang. Antibiotika ini dapat diserap oleh akar, namun umumnya diaplikasikan pada daun. Streptomisin dan tetrasiklin telah diaplikasikan untuk menekan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Streptomisin dihasilkan oleh S. griseus dan dapat diaplikasikan sebagai debu,

Cipta Ginting

143

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

semprotan, dan perlakuan benih. Tetrasiklin diproduksi oleh beberapa spesies Streptomyces dan efektif menekan bakteri dan mikoplasma. Cara kerja streptomisin ialah menghambat sintesis protein. Oksitetrasiklin dihasilkan oleh S. griseus dan merupakan hasil sampingan dalam produksi streptomisin. Antibiotika ini mempunyai aktivitas dengan spektrum yang sangat luas, termasuk jamur patogen. Namun, antibiotika ini tidak efektif untuk mengendalikan bakteri. Cara kerja antibiotika ini ialah menghambat sintesis protein dan DNA. Catatan Penutup Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak ada suatu fungisida atau bakterisida yang memenuhi semua kriteria yang diinginkan. Oleh karena itu, petani biasanya memakai lebih dari satu jenis fungisida yang seleksinya didasarkan pada tujuan dan situasi yang dihadapi. Karena tuntutan bagi petani akan tetap tinggi untuk meningkatkan produksinya, pestisida sebagai salah satu sarana produksi pertanian akan tetap diperkukan. Di sisi lain, dewasa ini telah meningkat tuntutan masyarakat terhadap penggunaan pestisida dengan aman. Konsumen semakin menuntut produk pertanian yang tidak mengandung bahan kimia yang merugikan kesehatan. Masyarakat luas pun semakin mengharapkan agar lingkungan hidup tetap dipelihara dan dilestarikan. Dengan demikian, tampak jelas urgensi pemahaman akan pestisida terutama mengenali masing-masing jenis pestisida dalam kaitannya dengan penggunaan dan keamanannya. Dengan demikian, pestisida itu dapat digunakan dengan efektif, efesien, dan aman. Walaupun penggunaannya hendak dikurangi atau bahkan tidak digunakan sama sekali, pestisida telah dan akan terus menjadi bagian dari sistem pertanian, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang seperti Indonesia.

144

Cipta Ginting


10.4 Pengendalian Penyakit secara Terpadu Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan singkatan dari pengelolaan hama terpadu (integrated pest manajement/IPM). Istilah ‘hama’ dalam PHT diartikan secara luas yang berarti ‘organisme pengganggu tanaman’ atau OPT yang mencakup hama dalam arti sempit (seperti serangga), patogen, dan gulma. PHT adalah strategi pengelolaan OPT yang dikembangkan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi. Sebelumnya dikenal istilah pengendalian hama terpadu (integrated pest control/IPC). Penggunaan kata ‘pengelolaan’ menunjukkan ditolerirnya keberadaan OPT sampai level tertentu dalam budidaya tanaman pertanian, yakni level yang belum menyebabkan kerugian berarti. Disebutkan ‘terpadu’ karena semua metode yang dapat digunakan dipadukan dalam pendekatan sistemik untuk mengelola OPT. Berbagai metode tersebut mungkin dikembangkan dalam berbagai disiplin ilmu dan diterapkan dalam porsi dan waktu yang tepat mulai dari persiapan tanam sampai panen dan pascapanen. Dalam PHT, budidaya tanaman dilihat sebagai bagian dari ekosistem. Semua OPT menjadi perhatian untuk dikelola. Namun jika terdapat hanya hanya satu atau dua OPT utama maka program PHT difokuskan untuk mengelola OPT utama tersebut. Semua pilihan strategi dan cara pengelolaan OPT dipertimbangkan dalam merumuskan program pengelolaan yang dijalankan. Program PHT tidak dibuat sebagai yang langsung jadi untuk terus diimplementasikan. Program PHT mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi serta terus dikembangkan sesuai dengan hasil evaluasi dan kemajuan teknologi dalam budidaya tanaman. Sebelum PHT dikembangkan, pengendalian OPT banyak dilakukan dengan menggunakan cara kimia yakni dengan mengaplikasikan pestisida. PHT dikembangkan sekitar setengah abad terakhir untuk mengatasi berbagai pengaruh negatif pengendalian secara kimia termasuk pencemaran lingkungan, residu pestisida berbahaya dalam produk pertanian, dan resistensi patogen terhadap pestisida, di samping mahalnya biaya aplikasi pestisida.

Cipta Ginting

145

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN Secara umum, telah banyak dicapai kemajuan dalam pengembangan dan penerapan PHT di Indonesia khususnya pada tanaman padi, kedelai, bawang merah, kentang, dan kubis. Meskipun demikian, pada masyarakat umum masih kerap muncul pertanyaan, apakah PHT dapat diterapkan atau tidak pada budidaya suatu tanaman. Sepertinya, masih ada keraguan di sebagian petani untuk menerapkan PHT khususnya pada tanaman hortikultura, yang sering mengalami kerusakan parah akibat hama dan patogen. Secara perundang-udangan, hal ini telah digariskan dalam undangundang No. 12 tahun 1992 tentang ‘sistem budidaya tanaman’, bahwa pengendalian OPT dilakukan dengan sistem PHT. Dengan demikian, PHT bukanlah suatu alternatif dalam mengendalikan OPT, melainkan satu bagian integral dari sistem budidaya tanaman pertanian. Pada kenyataannya, praksis PHT itu sangat bervariasi, bergantung pada sistem budidaya yang diterapkan petani di samping jenis teknologi yang telah dikembangkan. Terdapat empat prinsip dalam melaksanakan PHT, yaitu (1) pelestarian musuh alami, (2) pemantauan OPT, (3) budidaya tanaman sehat, dan (4) peningkatan keaktifan dan keahlian petani. Dalam pelaksanaannya, Untung (1993a) menunjukkan empat tahap penerapan PHT di Indonesia, yaitu tahap (1) efisiensi penggunaan pestisida, (2) ambang ekonomi statik, (3) ambang ekonomi yang dinamik dan memperhatikan keadaan musuh alami, serta (4) pengelolaan ekosistem terpadu. Dalam budidaya tanaman pertanian, pertanyaan yang selayaknya diajukan bukan ‘apakah PHT diterapkan atau tidak dalam mengendalikan OPT?’ melainkan ‘bagaimana menerapkan PHT dalam budidaya tanaman pada agroekosistem yang ada?’ Yang ingin ditegaskan ialah bahwa prinsip PHT perlu dipegang dalam budidaya tanaman apa pun. Pengendalian hama dan penyakit, perlu diperhatikan dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan ekologi. Demikian juga perlu dilakukan atau diupayakan pelaksanaan keempat prinsip di atas, yaitu pelestarian musuh alami, pemantauan OPT, budidaya tanaman sehat, dan peningkatan keaktifan dan keahlian petani.

146

Cipta Ginting


Implementasi program PHT dapat dilihat dalam lima tahapan sebagai berikut. Pertama, pemantauan yakni pengamatan secara berkala. Pengamatan dilakukan secara komprehensif dan sistematik untuk mengumpulkan informasi tentang tanaman dan jenis serta aras OPT. Dalam pengamatan penyakit tanaman diperhatikan tanda patogen (seperti massa spora dan ose bakteri) dan gejala penyakit (layu, bercak daun, dll.) serta distribusi tanaman sakit (secara acak atau berkelompok, di daerah tinggi atau rendah). Kedua, identifikasi OPT atau diagnosis penyakit tanaman. Program PHT yang diimplementasikan berbedabeda bergantung pada hama atau penyakit yang terjadi. Oleh karena itu, langkah awal implementasi program PHT ialah mengidentifikasi OPT atau mendiagnosis penyakit tanaman yang terjadi. Ketiga, analisis situasi OPT yang akan menentukan tindakan yang perlu diambil. Terkait penyakit tanaman, secara teoritis tindakan dilakukan pada saat ATP agar intensitas penyakit tidak sampai mencapai AKP. Namun hal ini masih sulit diterapkan karena umumnya belum ada nilai ATP dan AKP untuk kombinasi tanaman-penyakit. Bagaimanapun prinsip tersebut diperhatikan, namum dalam pelaksanaannya lebih banyak didasarkan pada pengalaman penanam. Keempat, implementasi yang didasarkan pada hasil analisis situasi OPT yang ditemukan. Implementasi harus dilakukan tepat waktu, tidak terlambat agar tindakan pengendalian bermanfaat. Akan sia-sia aplikasi fungisida dilakukan setelah intensitas penyakit sangat parah karena tidak banyak lagi tanaman yang dapat diselamatkan. Kelima, evaluasi untuk menilai keberhasilan tindakan yang dilakukan. Seperti disebutkan di atas, program PHT tidak dibuat sekali jadi (“quick fix”), tetapi perlu terus dikembangkan sesuai dengan hasil evaluasi dan untuk menyesuaikan dengan perkembangan sistem budidaya tanaman. Dengan mengambil pendekatan dan memegang prinsip PHT itu akan diperoleh peningkatan produksi pertanian dan mutunya. Misalnya, dalam budidaya tanaman sayuran dataran tinggi (SDT), penghematan insektisida dan fungisida dengan menerapkan PHT dalam budidaya kubis masing-masing sebesar 80–86 dan 100%, serta dalam budidaya kentang sebesar 67–86 dan 46–83% (Untung, 1993b). Cipta Ginting

147

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN Meskipun prinsip dasar PHT untuk mengendalikan serangga hama berlaku juga dalam mengendalikan penyakit, terdapat perbedaan yang mendasar di antara keduanya dalam implementasinya. Perbedaan ini perlu dipahami agar penerapan PHT pada penyakit dapat dilakukan dengan berhasil. Salah satu perbedaan yang mendasar itu ialah objek pengamatan, yang menjadi salah satu pilar PHT. Dalam pengamatan hama seperti serangga, yang diamati lazimnya ialah serangga yang merupakan penyebab timbulnya kerusakan, meskipun kadang-kadang kerusakan sebagai akibat serangan serangga juga diamati. Pada penyakit, yang diamati umumnya ialah akibat yakni gejala penyakit, yang dapat dilihat setelah perkembangan penyakit. Hal ini mempunyai kaitan langsung dengan epidemiologi penyakit di lapangan. Jika satu atau beberapa tanaman sudah menunjukkan gejala suatu penyakit, besar kemungkinan tanaman lain juga sudah terserang penyakit pada fase awal perkembangan penyakit dan belum menunjukkan gejala. Di samping itu, gejala yang sudah tampak itu sudah atau segera akan menjadi sumber inokulum bagi tanaman lain. Hal ini diperhitungkan dalam perencanaan pengendalian penyakit. Yang juga berbeda ialah terminologi yang berkaitan dengan kurva perkembangan penyakit, seperti dapat dilihat pada gambar berikut. Secara teoritis, pada ambang tindakan penyakit (ATP, yang sepadan dengan ambang ekonomi pada serangga hama), tindakan pengendalian terutama dengan pestisida dilakukan agar ambang kerugian penyakit (AKP, seperti aras luka ekonomi pada serangga hama) tidak tercapai (Gambar 8.5) (Untung, 1993b; Hollier and Hershman, 2008). Secara teoritis, konsep ATP dan AKP bermanfaat untuk memberikan pijakan dalam pengelolaan penyakit terkati perkembangan penyakit di lapangan. Akan tetapi, implementasi konsep tersebut memerlukan kajian yang menantang mengingat hal itu dipengaruhi faktor lingkungan, tanaman, dan ekonomi. Yang paling umum ialah berdasarkan pengalaman petani, petugas, atau peneliti. Dari pengalaman dapat diketahui apakah suatu penyakit merugikan atau

148

Cipta Ginting


tidak pada tanaman tertentu. Pengalaman itu harus selalu diperbaiki sejalan dengan pertambahan informasi, seperti berupa hasil penelitian. Meskipun sangat sederhana, hal ini akan sangat membantu jika petani menjadikannya sebagai pedoman dalam memutuskan tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian didasarkan pada hasil pengamatan. Dari pengamatan itu, akan diketahui apakah tindakan itu betul-betul perlu dilakukan. Jadi, penyemrotan fungisida, misalnya, tidak lagi dilakukan secara terjadwal, tetapi setelah mengetahui penyakit yang terjadi dan intensitasnya. Selain itu, mereka perlu mempraktikkan cara budidaya yang meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen serta melestarikan musuk alami. Sebenarnya selain didasarkan pada pengamatan, secara terotitis, cara yang lebih dapat dipertanggungjawabkan ialah dengan menggabungkan analisis bioekologi dan ekonomi. Namun, hal ini sulit dilakukan. Yang ditekankan dalam cara kedua, antara lain, ialah bahwa korelasi antara intensitas penyakit dan produksi tidak tetap karena dipengaruhi oleh faktor genetik varietas tanaman dan lingkungan. Lebih daripada itu, nilai moneter produk yakni hasil panen pada suatu lokasi dan waktu sulit diprakirakan.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

                   Gambar 8.5 Perkembangan penyakit dari waktu T0 sampai T2 (saat  panen) tanpa tindakan pengendalian (P1) atau dengan  tindakan (P2). Dengan tindakan pengendalian, intensitas  penyakit tidak mencapai AKP pada saat panen. AKP  ialah ambang kerusakan penyakit, dan ATP ialah ambang  tindakan penyakit (Untung, 1993).   Memang, kurang tepat mengharapkan pedoman yang sedehana 

dan kaku dalam penerapan PHT untuk mengendalikan penyakit.           Penerapan PHT untuk mengendalikan penyakit secara umum, secara           Cipta Ginting   149                  


10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

teoritis perlu ditentukan dulu ATP, yaitu suatu tingkat intensitas penyakit atau kepadatan patogen yang perlu dikendalikan terutama dengan pestisida agar tidak tercapai AKP, yaitu kerugian ekonomi akibat penyakit tersebut. Misalnya, menurut Sastrosiswojo (1993) dalam Semangun (1993) penyakit hawar daun kentang akibat Phytophthora infestans perlu disemprot dengan Ridomil MZ jika terdapat satu bercak aktif per 10 tanaman. Meskipun ‘teknologi PHT’ masih perlu terus dikembangkan, PHT itu sudah harus diterapkan dengan memanfaatkan segala temuan dan informasi yang sudah diperoleh. Pendekatan dan prinsip PHT perlu dilakukan untuk memperoleh hasil sebaik mungkin. Pertama, pengendalian penyakit tidak diutamakan dengan satu cara saja, misalnya, cara kimia saja, tetapi dengan semua cara yang dapat digunakan secara terpadu. Kedua, sasaran pengendalian tidak terpusat pada satu atau dua penyakit dan hama saja, tetapi semua OPT menjadi perhatian. Yang penting didasarkan kepada hasil pengamatan dan informasi sebelumnya. Semua masalah perlu didaftarkan agar dapat menjadi peringatan meskipun pada saat sekarang masalah itu tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Dari segi cara dan teknik, mengendalikan penyakit tanaman secara PHT dalam praktiknya ialah mengelola penyakit dengan berbagai cara sejak pra-tanam sampai pascapanen. Kita harus berani mematrikkan semua cara yang mungkin relevan walaupun untuk sebagian cara atau teknik itu, kita belum mempunyai informasi yang memadai dan menjadi tantangan untuk diperbaiki di waktu yang akan datang. Lebih daripada itu, dalam rangka peningkatan penerapan PHT, masalah aktual di berbagai daerah penanam tanaman pun perlu terus diidentifikasi. Urutan kepentingan masalah penyakit di suatu daerah mungkin berubah-ubah sejalan dengan perkembangan atau perubahan teknik budidaya atau lingkungan. Di samping itu, penerapan PHT itu perlu dievaluasi dan dibuat penyesuaian dan penyempurnaan. Jelaslah bahwa penerapan PHT dapat dilihat sebagai sebuah proses dan perlu ditingkatkan secara terus menerus. 150

Cipta Ginting


10.5 Perlatihan 1. Sebutkan empat prinsip pengendalian penyakit dan jelaskan masing-masing prinsip tersebut! 2. Bagaimana cara mengendalikan penyakit tanaman? Jelaskan? 3. Bagaimana Saudara melihat kaitan antara ’prinsip pengendalian’ dan ’cara pengendalian’? 4. (a) Apa yang dimaksud dengan fungisida? (b) Bagaimana biasanya menggolongkan fungisida? Jelaskan masing-masing gelongan/ kelompok fungisida! (c) Fungisida jenis apa yang menjadi favorit Saudara? Mengapa? 5. (a) Apa yang dimaksud dengan PHT secara umum? (b) Bagaimana mengendalikan penyakit tanaman dengan PHT? (c) Sebutkan landasan hukum penerapan PHT dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman! (d) Apa perbedaan mendasar antara PHT untuk mengendalikan hama dan PHT untuk mengendalikan penyakit tanaman? (e) Perhatikan Gambar 8.5! Jelaskan gambar tersebut! 6. Sebutkan contoh penerapan PHT untuk mengendalikan penyakit tanaman di Indonesia! Bacaan Lanjutan Agrios, GN. 2005. Plant Pathology. 5th. Elsevier Academic Press, Burlingkton, MA. 922 pp. Fry, WE. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Chapter 8–14. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp. Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 573 hlm. Untung, K. 1993. Dasar ekonomi pengelolaan penyakit tanaman terpadu. Hlm. 51-68 dalam: Kumpulan Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian Hayati. Yogyakarta, 6-8 September 1993. 104 hlm.

Cipta Ginting

151

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

10 PENGENDALIAN PENYAKIT TANAMAN


152

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


DIAGNOSIS PENYAKIT TUMBUHAN Salah satu tujuan pengamatan penyakit ialah untuk menentukan identitas penyakit. Kegiatan untuk mengidentifikasi penyakit disebut diagnosis. Hasil diagnosis merupakan dasar yang logis dalam menentukan tindakan pengendalian. Dengan kata lain, identitas suatu penyakit yang sedang terjadi seringkali perlu diketahui untuk merumuskan dan melaksanakan pengelolaan penyakit tersebut. Di atas telah dijelaskan bahwa pelaksanaan PHT mencakup pemantauan atau pengamatan secara berkala. Sesungguhnya dalam pelaksanaan PHT itu, diagnosis dilakukan secara rutin, meskipun tujuan pengamatan ialah untuk mengukur intensitas suatu penyakit. Meskipun demikian, pelaksana di lapangan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mendiagnosis karena dia telah mengenal semua penyakit utama pada tanaman penting yang dihadapimya. Hal ini perlu dikemukakan agar disadari langkah awal itu dan untuk menghindari kekeliruan. Diagnosis perlu dilakukan dengan berhati-hati mengingat sebagian penyakit menyebabkan gejala yang serupa. Kadang-kadang diagnosis perlu dilakukan dengan cepat dan tepat untuk menyelamatkan tanaman yang sedang terserang di lapangan. Pada kasus lain, hasil diagnosis tidak mungkin lagi digunakan untuk menyelamatkan tanaman karena penyakit telah berkembang secara luas di lapangan dan telah menghancurkan kebanyakan tanaman. Dalam situasi seperti itupun, diagnosis masih perlu dilakukan dengan

Cipta Ginting

153

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN tepat agar masalah yang ada dikenali dan dapat dikendalikan dengan berhasil jika muncul pada masa tanam yang akan datang. Tingkat kesulitan dalam mendiagnosis suatu penyakit tergantung pada pelaksana dan kasus yang dihadapi. Bagi mereka yang telah berpengalaman, diagnosis sebagian penyakit dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Mereka telah mengenal banyak penyakit tumbuhan dan telah terampil melakukan teknik rutin yang perlu dilakukan dalam diagnosis. Mereka yang telah terampil itu biasanya dengan cepat dapat menduga beberapa kemungkinan penyakit yang dihadapinya. Begitu melihat masalah yang terjadi, mereka mungkin dapat menentukan dugaan tentang identitas penyakit tersebut sehingga mereka bekerja secara terarah dan kadang-kadang hanya perlu mengonfirmasi dugaan tersebut. Akan tetapi, bagi pemula, diagnosis biasanya dirasakan sebagai pekerjaan yang sulit atau bahkan membingungkan. Mendiagnosis penyakit yang sering terjadi pun mungkin memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain, pelaksanaan diagnosis dapat bervariasi antar-penyakit tumbuhan. Ada penyakit tumbuhan yang dengan cepat dan mudah dapat didiagnosis dengan teknik umum, ada pula yang memerlukan teknik khusus dan waktu yang relatif lama. Kekeliruan dalam mendiagnosis suatu penyakit dapat menyebabkan tindakan pengendalian gagal atau tidak efisien. Misalnya, pada 1994–1995, serangan pengorok daun Lyriomyza (Agromicydae) pada daun kentang di Lampung Barat dianggap sebagai penyakit hawar daun yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans. Pengendalian penyakit hawar daun pada kentang banyak dilakukan dengan mengaplikasikan fungisida. Dalam kasus itu, segala tindakan untuk mengendalikan kerusakan akibat serangga pengorok daun dengan menggunakan fungisida racun jamur P. infestans hanya tindakan untuk membuang tenaga dan biaya. Contoh lain ialah bahwa tanaman beet tumbuh dengan tidak subur meskipun dipupuk sesuai rekomendasi menurut kondisi nutrisi tanah. Pertumbuhan beet tetap tidak berubah meskipun dosis pupuk

154

Cipta Ginting


11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN

11.1 Langkah Mendiagnosis Penyakit Tanaman Seperti telah dikemukakan pada Bab II, penyebab penyakit terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu agens primer dan faktor lingkungan. Agens primer atau patogen termasuk jamur, bakteri, virus, nematode dll. Patogen menyebabkan penyakit menular. Sementara itu, faktor lingkungan atau agens abiotik termasuk defisiensi atau kekurangan unsur hara, poluasi udara, keracunan mineral, keracunan pestisida, kukurang cahaya, kondisi penyimpanan yang tidak mendukung, dll. Pendiagnosis perlu mengenal kedua kelompok besar penyakit tersebut mengingat diagnosis dan pengelolaannya berbeda. Proses mendiagnosis penyakit tumbuhan dapat dilihat dalam empat langkah sebagai berikut (Fry, 1982). Pertama, mengetahui identitas tanaman. Akan lebih baik jika diketahui kultivar tanaman dengan aras resistensinya terhadap berbagai penyakit. Kedua, membuat daftar penyakit apa saja yang mungkin terjadi pada jenis tanaman sakit. Hal ini didasarkan pada pengalaman dan informasi dari indeks inang/penyakit serta buku-buku tentang penyakit tumbuhan. Ketiga, berdasarkan pengamatan awal/pendahuluan terhadap gejala penyakit dan tanda petogen, tentukan diagnosis tentatif dengan mengeliminasi semua penyakit berdasarkan hasil pengamatan awal tersebut. Keempat, memverifikasi atau menolak diagnosis tentatif berdasarkan pengamatan yang lebih teliti terhadap gejala penyakit dan tanda patogen serta kondisi lain seperti distribusi penyakit, kondisi cuaca beberapa hari terakhit, dll. Misalnya, jika penyakit disebabkan oleh jamur, pengamatan terhadap gejala penyakit dan pengamatan dengan lensa tangan terhadap tanda penyakit seperti miselium, struktur tubuh buah, dan spora kadang-kadang cukup untuk mengetahui identitas penyakit yang dihadapi. Namun, pada

Cipta Ginting

155

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

ditingkatkan. Masalah itu dapat dipecahkan setelah ahli penyakit tumbuhan mendiagnosis bahwa pertumbuhan tidak baik itu ternyata disebabkan oleh nematoda Heterodera schachtii. Pertumbuhan tanaman menjadi baik setelah dilakukan rotasi tanaman dan perlakuan kimia untuk menurunkan populasi nematoda (Fry, 1982).


                         

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN

          

kasus penyakit jamur lain, mungkin perlu dilakukan pengamatan  terhadap struktur jamur termasuk spora perlu dilakukan dengan  mikroskop majemuk di laboratorium.            11.2 Tahapan Pelaksanaan Diagnosis Secara umum tahapan yang biasanya dijalani dalam menentukan  identitas penyakit diringkaskan pada Gambar 1. Untuk menjelaskan  proses diagnosis misalkan sedang terjadi penyakit yang dinilai  itu,        dikhawatirkan di suatu daerah, dan harus didiagnosis. atau   merugikan         Dari keterangan yang diperoleh, diagnosis menyadari       pelaksana        itu        bahwa penyakit baru  baginya. Dalam kasus itu, pendiagnosis  memperhatikan    lapangan     harus data atau jika memungkinkan dia  memulai proses diagnosis dengan mengunjungi lokasi tempat  penyakit berkembang dan mengambil sampel, lalu melakukan  pemeriksaan di laboratorium.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)



        

        

        

        

 Gambar 9.1 Bagan alir tahapan dalam mendiagnosis penyakit 

        

tumbuhan (Fry, 1982).



Kunjungan ke lokasi Proses mendiagnosis mulai dengan kegiatan di lapangan, meskipun pelaksana kegiatan di lapangan dapat berbeda dengan pelaksana di laboratorium. Jika pelaksana dapat mengunjungi lokasi secara langsung, itu lebih baik. Pendiagnosis sebaiknya membawa peralatan termasuk lensa tangan (loupe), pisau saku, kantong plastik

berbagai ukuran, spidol dan label, serta sekop kecil. Perlengkapan lain yang juga sering diperlukan ialah gunting tanaman, gergaji, botol kecil (vial), larutan pengawet seperti FAA, kamera, dan borang diagnosis serta buku catatan. Gambar 2 menunjukkan bahwa 156

Cipta Ginting


pendiagnosis dapat mencapai simpulan (mengetahui penyakit yang terjadi) dengan mengamati gejala dan tanda penyakit di lapangan di samping memperhatikan kondisi lapangan dan distribusi tanaman sakit. Jika simpulan tidak dapat dicapai di lapangan atau jika spesimen (sampel tanaman sakit) diambil dan dibawa atau dikirimkan untuk pengamatan di laboratorium. Yang perlu diperhatikan di lapangan ialah semua faktor yang diduga mempengaruhi perkembangan penyakit. Klinik tanaman yang telah maju biasanya mengeluarkan borang (formulir) diagnosis yang digunakan dalam pencatatan data atau keterangan di lapangan (contoh dapat dilihat di bawah). Perlu dibuat catatan tentang segala sesuatu yang mungkin mempengaruhi keterjadian dan perkembangan penyakit. Misalnya, tentang topografi lahan, apakah lahan datar atau miring dan bagaimana kaitannya dengan perkembangan penyakit? Apakah tanaman sakit terkonsentrasi pada bagian lembah atau yang rimbun karena di bawah pohon kayu yang besar, misalnya? Hal lain ialah praktik budidaya yang diterapkan petani atau perusahaan pada pertanaman tersebut. Sebaiknya dicatat varietas tanaman, jenis dan dosis pupuk yang dipakai, pestisida yang diaplikasikan, dll. Di lapangan mungkin sebagian informasi itu dianggap tidak penting, namun di laboratorium informasi itu dapat bermanfaat dalam menentukan identitas penyakit. Informasi selanjutnya yang perlu diperhatikan ialah distribusi tanaman sakit dalam satu populasi tanaman. Apakah tanaman sakit terdistribusi secara merata pada suatu lahan atau acak? Apakah tanaman sakit terkonsentrasi pada suatu sisi lahan atau menunjukkan suatu gradient? Gradient yang dimaksud ialah perubahan intensitas penyakit secara berangsur-angsur dalam suatu lokasi. Pada satu titik atau lokus, intensitas penyakit tinggi dan semakin jauh dari lokus itu intensitas penyakit secara berangsur-angsur melemah. Perlu dicatat bahwa fase lanjut penyakit yang disebabkan oleh patogen yang airborne (terbawa udara) juga sering menimbulkan distribusi yang kurang lebih merata, sementara pada awal perkembangan biasanya membentuk gradient. Penyakit soilborne biasanya membentuk gradient yang lebih jelas. Penyakit tanaman yang disebabkan oleh Cipta Ginting

157

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN faktor lingkungan seperti kemasaman tanah yang tinggi, kekurangan unsur hara, dll. biasanya menimbulkan distribusi tanaman sakit yang merata. Akan tetapi, tanaman sakit akibat patogen biasanya mengelompok atau menunjukkan gradient. Keterangan lain yang tidak kalah pentingnya ialah gejala penyakit dan distribusinya serta tanda penyakit. Distribusi gejala menunjuk pada apakah gejala penyakit pada tanaman yang terserang itu bersifat lokal atau sistemik. Gejala lokal adalah gejala yang terdapat hanya pada bagian tertentu pada tanaman, sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang meyebar pada seluruh bagian tanaman. Contoh gejala lokal ialah gejala panyakit bercak coklat sempit pada padi yang disebabkan oleh Cercospora janseana dan penyakit karat pada kedelai yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi. Contoh gejala lokal lain ialah kanker, mati ranting, dll. Gejala sistemik dapat dilihat pada penyakit layu bakteri pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Pseudomonas (Ralstonia) solanacearum dan penyakit keriting pada kedelai yang disebabkan oleh Virus mosaik kedelai (Soybean mosaic virus). Serangan pada akar atau pangkal batang dapat menimbulkan gejala sistemik seperti gejala busuk pangkal batang pada lada yang disebabkan oleh jamur Phytophthora capsisi (P. palmivora MF 4). Biasanya pengamatan yang paling penting dilakukan dengan seksama ialah gejala dan tanda penyakit. Gejala merupakan respon tanaman yang biasanya khas akibat iritasi terus menerus oleh penyebab penyakit itu. Gejala yang paling sering diperhatikan ialah perubahan warna dan bentuk, walaupun mungkin pula terjadi perubahan bau dan rasa. Gejala suatu penyakit dapat bervariasi. Variasi gejala itu dapat disebabkan oleh karena perbedaan tingkat perkembangan penyakit, fase pertumbuhan tanaman, dan faktor lingkungan. Dengan mengetahui semua kemungkinan variasi itu, pendiagnosis tidak mudah bingung dalam meneliti penyakit tersebut. Tanda penyakit adalah bagian patogen yang berasosiasi dengan gejala penyakit atau tanaman mati. Tanda penyakit sering berasosiasi dengan gejala penyakit. Pada penyakit antraknosa, misalnya, bintikbintik kehitaman pada buah cabai yang merupakan aservulus Colletotrichum sp. merupakan tanda penyakit. Cipta Ginting 158


Perlu ditambahkan bahwa identifikasi suatu patogen merupakan dasar yang paling terpercaya (reliable) dalam mendiagnosis suatu penyakit tumbuhan. Untuk sebagian penyakit, diagnosis dapat keliru jika hanya didasarkan pada gejala penyakit karena gejala yang serupa dapat disebabkan oleh patogen yang berbeda. Memang, jika tanda penyakit mencolok, diagnosis biasanya lebih mudah dan lebih meyakinkan. Lensa tangan dengan pembesaran puluhan kali sangat membantu dalam pengamatan tanda penyakit tersebut. Untuk penyakit tertentu, gejala dan/atau tanda penyakit sangat khas sehingga diagnosis dapat dituntaskan hanya dengan mengamati gejala dan/ atau tanda tersebut. Orang tidak akan ragu menyatakan penyakit gosong pada jagung akibat Ustilago maydis dengan mengamati tanda patogen dan penyakit puru mahkota pada banyak tanaman akibat Agrobacterium tumefaciens dengan mengamati gejala penyakit yang terjadi. Simpulan tentang identitas penyakit itu mungkin dapat diperoleh hanya dengan pengamatan yang dilakukan di lapangan terutama oleh mereka yang telah berpengalaman. Akan tetapi, kadang-kadang pendiagnosis tidak dapat menyelesaikan tugasnya di lapangan atau pendiagnosis memang tidak dapat mengunjungi lokasi tempat penyakit terjadi dan berkembang. Dalam hal ini proses diagnosis harus dilanjutkan ke tahap laboratorium. Untuk itu, perlu diambil sampel untuk diproses lebih lanjut agar proses diagnosis dapat dilanjutkan di laboratorium. Kegiatan di laboratorium Kadang-kadang gejala penyakit dan tanda patogen tidak dapat diamati secara seksama di lapangan karena peralatan tidak lengkap atau kondisi yang kurang menunjang. Mungkin juga pendiagnosis tidak dapat mengunjungi daerah tempat tanaman terserang sehingga pengamatan di lapangan dan pengambilan spesimen dilakukan oleh petani atau petugas lapangan. Di laboratorium pengamatan biasanya dilakukan dengan lebih teliti daripada pengamatan di lapangan. Alatalat dan bahan yang sering digunakan termasuk mikroskop, skalpel atau silet, zat pewarna, dll. Dengan semua alat dan bahan yang tersedia di laboratorium, simpulan mungkin dapat tercapai. Cipta Ginting 159

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN Bergantung pada penyakit yang dihadapi, kegiatan yang dapat dilakukan di laboratorium termasuk pengamatan gejala penyakit dan tanda patogen, inkubasi spesimen, isolasi patogen, serta postulat Koch. Untuk mendiagnosis penyakit tumbuhan akibat jamur, spesimen yang belum menghasilkan spora seringkali perlu diinkubasikan untuk merangsang sporulasi. Inkubasi dilakukan dalam wadah atau kantong plastik dengan kelembaban yang tinggi pada suhu ruangan. Dalam beberapa hari (biasanya 2–4 hari), jamur penyebab penyakit itu mungkin membentuk spora. Spora ini kemudian diamati dan diidentifikasi. Agar kelembaban tinggi selama inkubasi itu, kapas steril yang telah dibasahi dengan akuadestilata steril sebaiknya dimasukkan ke dalam wadah atau kantong plastik tadi lalu ditutup. Pada sebagian penyakit tumbuhan akibat jamur, spora tidak terbentuk meskipun sudah diinkubasikan pada keadaan tersebut. Pada kasus seperti ini, patogen perlu diisolasi pada media biakan atau media kultur. Media yang sering digunakan ialah media agar kentang dekstrosa (potato dextrose agar, PDA) atau agar jagung (corn agar). Untuk menekan pertumbuhan bakteri yang sering menjadi kontaminan, ke dalam media itu dapat ditambahkan asam laktat atau antibiotika seperti streptomisin. Teknik isolasi secara rinci bervariasi dan perlu disesuaikan dengan jaringan tumbuhan yang terinfeksi. Teknik isolasi jamur dari daun, misalnya, tentu saja berbeda dari cara mengelola batang atau akar. Jika akar yang terinfeksi, spesimen itu perlu dicuci pada air mengalir terlebih dahulu sebelum isolasi dilakukan. Struktur patogen yang diperoleh dari spesimen, apakah setelah inkubasi atau tidak ataupun setelah isolasi, diiamati untuk mengidentifikasi patogen tersebut. Jika organisme itu telah dilaporkan pada literatur sebagai penyebab penyakit pada tumbuhan yang diamati maka diagnosis telah selesai. Pendiagnosis mencatat nama penyakit diperoleh dari literatur tersebut. Akan tetapi, jika organisme yang ditemukan itu belum pernah dilaporkan sebagai penyebab penyakit pada tumbuhan yang sedang diamati, perlu dibuktikan apakah betul organisme itu sebagai penyebab penyakit. Hal itu dianggap terbukti jika Postulat Koch dapat dipenuhi. Cipta Ginting 160


Postulat Koch Postulat Koch harus dipenuhi untuk membuktikan penyebab penyakit. Hal ini perlu diuji jika suatu mikroorganisme yang berasosiasi dengan gejala penyakit atau diisolasi dari jaringan tanaman sakit belum pernah dilaporkan sebagai patogen pada tumbuhan tersebut. Dewasa ini, keharusan melakukan Postulat Koch dalam dignosis semakin berkurang karena kebanyakan (atau bahkan semua) penyakit utama pada tumbuhan penting sudah diketahui. Meskipun demikian, untuk tujuan akademik, Postulat Koch perlu dipelajari dan dipahami. Postulat Koch terdiri atas empat aturan, yaitu 1. Mikroorganisme harus berasosiasi dengan suatu penyakit; 2. Mikroorganisme tersebut harus diisolasi dan ditumbuhkan dalam kultur murni serta dikarakterisasi; 3. Mikrooganisme dari kultur murni tersebut harus digunakan untuk menginokulasi tumbuhan yang sama dan menimbulkan akibat seperti pada tahap ke-1; serta 4. Mikroorganisme harus dapat diisolasi kembali dari tumbuhan sakit pada tahap ke-3 dan menghasilkan kultur seperti pada tahap ke-2. Dalam sejarah perkembangan ilmu penyakit tumbuhan, postulat Koch di atas telah sangat membantu dalam menentukan penyebab suatu penyakit secara menyakinkan. Dalam pelaksanaannya, postulat Koch kadang-kadang perlu dimodifikasi agar pembuktian dapat dilakukan. Misalnya, patogen yang bersifat parasit obligat tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan. Dengan demikian, isolasi patogen dilakukan tidak seperti jamur pada umumnya.

11.3 Mengambil dan Memproses Spesimen Penanam atau petugas di lapangan mungkin saja belum dapat mengetahui identitas penyakit tanaman yang diperiksanya di lapangan. Dengan demikian, perlu diambil spesimen atau contoh tanaman sakit untuk diperiksa di laboratorium. Beberapa pertimbangan dalam pengambilan sampel ialah sebagai berikut (Fry, 1982). Pertama, sampel harus mewakili semua tingkat perkembangan penyakit, tidak Cipta Ginting 161

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN


11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN hanya mengambil tanaman yang telah menunjukkan gejala lanjut. Pada bagian tanaman bergejala lanjut, mungkin patogen sudah tidak aktif lagi atau sudah terdesak oleh parasit sekunder atau saprofit sehingga sulit mengenali dan mengisolasinya.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Kedua, sampel harus diambil dalam jumlah yang cukup. Kadangkadang beberapa teknik perlu dilakukan atau dicobakan untuk mendiagnosis penyakit sehingga diperlukan banyak sampel tanaman sakit. Ketiga, sampel harus dibawa atau dikirimkan dalam wadah yang bersih. Biasanya kantong plasitik digunakan untuk itu. Jika perlu, untuk satu tanaman sakit, beberapa bungkus kantong diperlukan agar bagian tanaman berbeda dapat dipisah-pisahkan dalam transprotasi ke laboratorium. Misalnya, antara bagian tanaman yang mengandung tanah seperti akar dipisah dengan daun sehingga tidak saling mencemari. Demikian juga bagian tanaman dengan gejala dini dipisahkan dangan bagian tanaman yang telah menunjukkan gejala lanjut. Sewaktu mengambil sampel, semua informasi tentang tanaman dan teknik budidaya perlu dicatat, seperti telah dijelaskan di atas. Dalam perjalanan, sampel itu hendaknya disimpan dalam tempat yang dingin, misalnya, dengan menggunakan termos es. Setelah itu, sampel itu hendaknya diproses secepat mungkin untuk menghindari parasit sekunder atau saprofit mendominasi sampel itu sehingga mempersulit diagnosis.

11.4 Perlatihan 1. Sebutkan contoh penyakit tanaman yang segera dapat diketahui identitasnya hanya dengan melihat gejalanya! 2. Jika suatu penyakit tanaman tidak dapat didiagnosis sementara Saudara harus mengetahui penyakit apa yang dihadapi, bagaimana langkah Saudara? 3. Perhatikan Borang diagnosis di bawah ini! Apa manfaat borang tersebut? 162

Cipta Ginting


11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN Bacaan Selanjutnya

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Shurtleff, MC & Averre III, CW. 1997. The Plant Disease Clinic and Field Diagnosis of Abiotic Diseases. APS Press, St. Paul, Minnesota. 245 pp.

Cipta Ginting

163


11 DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

CONTOH BORANG DIAGNOSIS PENYAKIT TANAMAN

A 1 2 3 B 1 2 3 4 5 6 7 C

Penanam/Pengirim: Nama Pengirim spesimen: Alamat: Lokasi tanaman sakit: Keadaan lapangan Varitas dan umur tanaman: Jenis dan dosis pupuk: Pestisida yang digunakan: Pupuk yang digunakan: Topografi lahan: Sifat tanah (pH, kedalaman, dll.): Distribusi tanaman sakit: Pemerikasaan di Lampangan

1

Distribusi gejala dan bagian tanaman bergejala:

2 3 D 1 2 E 1 2 F G

Gejala penyakit: Tanda penyakit: Pemeriksaan di Laboratorium Gejala: Tanda penyakit: Isolasi patogen Metode: Hasil isolasi: Hasil Postulat Koch: Hasil Diagnosis:

H

Rekomendasi Penanggulangan:

Nomor spesimen: ___­­­___

Bandar Lampung, ……………….. 2012 Nama dan tanda tangan pendiagnosis:

(…….………………………………..)

164

Cipta Ginting


PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN Para mahasiswa telah memahami bahwa penyakit terjadi dan berkembang karena penyimpangan fungsi sel dan jaringan tumbuhan yang terserang tersebut. Dengan kata lain, proses fisiologis pada tumbuhan sakit tidak berjalan seperti proses pada tumbuhan normal. Akibatnya, pada tumbuhan yang terserang itu, timbul gejala penyakit, yang biasanya unik untuk setiap penyakit. Suatu penyakit dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian akan penyakit secara kualitatif berkaitan dengan mutu hasil panen atau produk olahan, yang mungkin dipengaruhi oleh penyakit tanaman. Penilaian penyakit secara kualitatif tidak dibahas lebih lanjut pada tulisan ini. Penyakit tumbuhan dapat pula dinilai secara kuantitatif dan menghasilkan informasi berupa intensitas penyakit. Umumnya semakin berkembang gejala menandakan semakin besar gangguan fisiologis pada tumbuhan tersebut. Gangguan fisiologis yang semakin besar menyebabkan kerusakan yang semakin parah, yang kemudian kemudian menimbulkan kehilangan produksi yang semakin banyak dan kerugian ekonomi yang semakin besar dalam suatu usaha tani. Intensitas penyakit perlu diketahui sebagai acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengendalian penyakit. Selain itu, dalam berbagai uji tindakan pengenalian penyakit, hal itu menjadi peubah penting. Intensitas penyakit dapat dilihat dalam dua bentuk,

Cipta Ginting

165

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

12


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN yaitu keterjadian penyakit (disease incedence) dan keparahan penyakit (disease severity). Biasanya keterjadian penyakit berkorelasi positif dengan keparahan penyakit, yang masudnya ialah bahwa semakin tinggi keterjadian penyakit biasanya semakin tinggi keparahan penyakit tersebut. Kedua bentuk keparahan penyakit ini diukur dengan metode yang sesuai, yang dijelaskan di bawah (Campbell & Madden, 1990). Sebelum memutuskan dan mengembangkan metode yang akan diiukuti untuk menilai intensitas suatu penyakit, harus ditentukan dan dipahami tujuan kegiatan. Tidak kalah pentingnya, para pelaksana perlu memahami penyakit tumbuhan yang dihadapi. Metode yang ditetapkan termasuk waktu dan frekuensi. Perlu ditetapkan waktu pengamatan dalam kaitannya dengan perkembangan tanaman atau perkembangan penyakit. Frekuensi pengamatan dapat menggunakan skala kalender, misalnya pengamatan dengan interval 1 minggu. Frekuensi pengamatan dapat pula mengikuti skala fisiologis-lingkungan ataupun fase pertumbuhan tanaman. Semua ini sangat bergantung pada tujuan pengamat dan patosistem yang dihadapi. Metode yang ditetapkan harus efektif. Maksudnya adalah bahwa metode itu mampu memberikan hasil yang akurat atau sesuai dengan kenyataannya. Prosedur penilaian penyakit harus memberikan hasil secara konsisten. Kekonsistenan maksudnya adalah seorang pengamat akan memperoleh hasil yang sama untuk setiap tingkat intensitas yang sama dengan menggunakan prosedur tersebut. Lebih daripada itu, pengamat yang berbeda akan menghasilkan penilaian yang sama untuk sampel yang sama. Dalam hal ini, jika para pelaksana lebih dari satu orang, metode yang digunakan harus dijelaskan terlebih dahulu sampai seluruh pelaksana berhasil melaksanakannya secara seragam. Untuk itu biasanya perlu diadakan pelatihan termasuk uji coba penggunaan metode tersebut. Sedapat mungkin metode itu juga efisien atah hemat. Keefisienan menunjukkan kepada penggunaan biaya, tenaga, dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 166

Cipta Ginting


12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN

12.1 Keterjadian penyakit Keterjadian penyakit adalah jumlah unit tanaman sakit dibandingkan dengan seluruh unit yang diamati. Unit di sini dapat berupa bagian tanaman, seluruh individu, atau satu rumpun tanaman. Rumus untuk menghitung keterjadian penyakit ialah: n N

x 100%

dengan

TP n N

= keterjadian penyakit (%) = jumlah unit yang menunjukkan gejala = jumlah unit yang diamati (sampel)

Keterjadian penyakit dapat digunakan sebagai angka intensitas penyakit untuk penyakit-penyakit yang menyebabkan kerusakan total seperti penyakit layu dengan individu tanaman sebagai unit dan busuk buah dengan buah sebagai unit. Penyakit tanaman yang termasuk kategori ini termasuk penyakit gosong pada jagung, blas leher pada padi, layu pembuluh seperti layu bakteri pada tomat dan kentang. Dalam kasus itu, angka keterjadian penyakit sudah dapat menggambarkan potensi kerusakan dan kerugian yang terjadi.

12.2 Keparahan penyakit Keparahan penyakit didefinisikan sebagai area atau volume jaringan tanaman sakit dibandingkan dengan seluruh area atau velume. Angka keparahan penyakit lebih sulut diukur dibandingkan dengan keterjadian penyakit. Meskipun demikian, untuk penyakit tanaman tertentu, keparahan penyakit harus ditentukan untuk mengetahui intensitas penyakit. Penyakit tanaman yang termasuk kategori ini termasuk penyakit karat, bercak daun, bilur atau lesion dan lain sebagainya. Dalam hal ini, angka keterjadian penyakit tidak akan dapat menggambarkan berat tidaknya serangan patogen pada suatu tanaman. Mungkin saja keterjadian penyakit bercak daun sempit pada padi akibat jamur Cercospora oryzae, misalnya, 100%. Akan tetapi, jika keparahannya sangat rendah, penyakit itu tidak akan menimbulkan kerugian yang berarti secara ekonomi.

Cipta Ginting

167

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

TP =


12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN Dalam mengukur keparahan penyakit tanaman, digunakan alat bantu berupa skor atau skala penyakit. Suatu penyakit diberi skor sesuai dengan tingkat keparahan penyakit yang terjadi. Semakin berat suatu penyakit maka akan semakin tinggi skor yang diberikan dan sebaliknya. Angka yang diberikan untuk menggambarkan intensitas penyakit dapat pula disebut skala penyakit. Dalam hal ini, intensitas penyakit dari yang terendah (yaitu nol atau tidak terjadi gejala) sampai yang maksimal (mungkin tananam mati) dibagi ke dalam beberapa tingkatan yang masing-masing ditunjukkan dengan angka (skala). Skala penyakit yang sering dipakai ialah skala yang terdiri atas lima kategori sebagai berikut:

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

SKOR

TINGKAT SERANGAN Tanaman sehat

KETERANGAN

0

Tidak terdapat gejala

1

Gejala timbul sampai 10% luas/volume tanaman

2 3 4

Gejala terjadi pada lebih 10% sampai 25% tanaman Gejala terjadi pada lebih 25% sampai 50% tanaman Gejala terjadi pada lebih 50% atau tanaman mati

Ringan Agak parah Parah Sangat parah

Setelah skor semua tanaman sampel diketahui, keparahan penyakit dihitung dengan menggunakan rumus berikut: PP =

ÎŁ(nxv) NxV

x 100%

dengan

PP n N V

= keparahan penyakit (%) = jumlah tanaman dengan skor tertentu = jumlah tanaman yang diamati (sampel) = skor atau skala tertinggi

Dalam mengukur keparahan suatu penyakit tanaman, unit pengamatan dapat berupa bagian tanaman, individu tanaman, atau rumpun. Dalam menentukan unit pengamatan dan ukuran sampel, yang paling penting diperhatikan ialah sifat suatu penyakit. 168

Cipta Ginting


12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN

12.3 Diagram Penyakit Di atas sudah jelas bahwa skor suatu unit pengataman ditentukan oleh persentase tanaman yang menunjukkan gejala penyakit. Dalam pelaksanaannya, kadang-kadang sulit untuk menentukan persentase tanaman yang menunjukkan gejala sehingga diperlukan suatu alat sebagai pembanding. Sebagai alat bantu atau pembanding untuk menentukan persentase gejala biasanya digunakan diagram penyakit. Diagram penyakit tidak lain ialah suatu gambar yang menunjukkan persentase tertentu (Fry, 1982). Dengan demikian, gambar ini dapat digunakan sebagai patokan untuk menentukan persentase suatu unit pengamatan yang bergejala. Contoh diagram penyakit dapat dilihat pada lampiran. Perlu ditambahkan bahwa untuk penyakit yang diagramnya secara khusus belum dibuat, diagram penyakit yang bentuk gejalanya serupa dapat digunakan. Misalnya, untuk mengukur keparahan penyakit penyakit hawar upih pada padi yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani dapat digunakan diagram penyakit busuk hitam pada barley akibat Septoria passerinii (Gambar 12.1). Sebagai diagram penyakit bercak coklat dan blas pada padi yang masingmasing disebabkan oleh Drechslera oryzae dan Pyricularia oryzae dapat digunakan berdak daun septoria pada gandum yang disebabkan oleh Septoria tritici (Gambar 12.2). Sebagai diagram penyakit bercak daun pada kacang tanah yang disebabkan oleh Cercosporidium personatum dapat dipakai diagram penyakit bercak daun pada alfalfa yang disebabkan oleh Pseudopeziza trifolii (Gambar 12.3). Diagram penyakit hawar daun pada kentang dapat dilihat pada Gambar 12.4 (James, 1971). Dengan menggunakan diagram seperti itu, hasil pengukuran keparahan penyakit akan lebih objektif daripada tidak memakai diagram.

Cipta Ginting

169

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Di samping itu, tentu saja perlu juga diperhatikan waktu, tenaga, dan biaya yang tersedia.


12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

 A 

 



 

                Gambar 12. Diagram penyakit untuk penyakit hawar upih pada padi            (A), bercak coklat sempit pada padi (B), bercak coklat dan  

170

blas daun pada padi (C), dan bercak daun pada kacang  tanah (D). Angka merupakan persentase tanaman yang menunjukkan gejala. Keterangan lain ada di nas. Sumber: James (1971).

Cipta Ginting


Gambar 13. Diagram penyakit hawat daun pada kentang. Angka merupakan persentase tanaman yang menunjukkan gejala. Sumber: James (1971).

Beberapa hal yang perlu diketahui namun tidak dibahas dalam buku ini ialah sebagai berikut. Di samping metode seperti di atas, cara menentukan keparahan penyakit ialah menghitung persentase difoliasi. Pada bagian ini, mungkin menarik untuk menyinggung hubungan antara keterjadian penyakit dan keparahan penyakit. Penilaian terhadap intenstias penyakit dapat pula dilakukan dengan remote sensing. Pemetaan tumbuhan sakit sering pula dilakukan untuk mengikuti perkembangan penyakit di lapangan.

10.4 Menentukan Sampel Pengamatan Sebelum melakukan pengukuran untuk menentukan intensitas suatu penyakit, perlu ditentukan populasi tanaman yang akan diamati. Jika jumlah tanaman yang ada relatif tidak banyak, seperti dalam sebagian penelitian di laboratorium atau rumah kaca, semua tanaman biasanya diamati. Akan tetapi, pada penelitian di lapangan dengan jumlah tanaman banyak kadang-kadang pengamat harus mengambil sampel karena tidak mungkin mengamati semua tanaman yang ada. Cipta Ginting

171

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN Dengan demikian, intensitas penyakit pada lahan atau lokasi tersebut diketahui dari amatan (hasil pengamatan) pada tanaman sampel. Agar hal itu sahih (valid) sampel harus dapat mewakili populasi tanaman pada lahan atau lokasi itu, meskipun pada praktiknya ukuran sampel ditentukan dengan mempertimbangkan waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Sementara itu, beberapa hal harus diperhatikan dalam menentukan sampel untuk menghitung intensitas penyakit (Campbell, & Madden, 1990). Pertama, tanaman pinggir biasanya tidak dijadikan sampel karena dapat dipengaruhi “pengaruh batas� (“border effect�). Kedua, kesubjektifan harus dicegah dalam menentukan sampel. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat aturan yang jelas dan tegas sebelum terjun ke lapangan. Sampel lazimnya diambil secara acak, yang berarti semua unit dalam satu populasi berpeluang sama untuk masuk ke dalam sampel. Dengan demikian, semua pencacah atau pengambil data telah mempunyai alat bantu atau pedoman yang ditentukan sebelum mereka menentukan sampel yang diamati termasuk unit sampel dan ukuran sampelnya. Unit sampel adalah satu kesatuan yang diamati. Unit sampel dapat berupa rumpun, tanaman, atau bagian tanaman. Ukuran sampel adalah jumlah unit yang diamati. Melakukan pra-survai akan sangat membantu dalam menentukan aturan pengambilan sampel. Misalnya, jarak geografis unit antarsampel. Sering pula ditarik garis diagonal kemudian diambil beberapa titik sepanjang garis tersebut.

12.5 Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan Agar data yang dihasilkan akurat, beberapa hal perlu dipegang atau diperhatikan dalam melakukan survai untuk menilai intensitas penyakit, sebagai berikut (Fry, 1982). Keobjektifan Para pencacah harus bersikap objektif dalam menilai intensitas penyakit. Artinya, dia berusaha semaksimal mungkin menentukan

172

Cipta Ginting


beratnya kerusakan sesuai dengan kenyataan pada saat pengamatan dilakukan. Dalam menentukan keterjadian penyakit, keobjektifan lebih mudah diujudkan daripada dalam keparahan penyakit karena dalam menghitung keterjadian penyakit pilihan kategori bagi pencacah hanya dua, yaitu bergejala atau tidak. Untuk mengukur keparahan penyakit, skor atau skala penyakit yang dijelaskan di depan peru dijadikan alat bantu untuk meningkatkan keobjektifan. Perlu ditambahkan bahwa seakurat apapun skala dan diagram penyakit yang telah dikembangkan serta selengkap apapun sarana lain yang dimiliki, hasil pengataman yang diperoleh belum tentu akurat jika para pelaksana belum menumbuhkan sikap objektif. Demikianlah pentingnya mewujudkan sikap yang objektif, yaitu keinginan untuk mengetahui dan melaporkan suatu hal seperti kenyataan yang sebenarnya. Perlu diingat bahwa data yang tidak akurat dapat menimbulkan kekeliruan dalam pengambilan putusan atau membawa kerugian di kemudian hari. Kekonsistenan Dalam mengukur intensitas penyakit, pelaksana harus konsisten. Kekonsistenan perlu diwujudkan dalam dua aspek. Pertama, masingmasing pengamat harus konsisten dari awal sampai selesai dan pada seluruh bagian atau sampel yang diamati. Kedua, jika lebih dari satu pencacah, semua anggota tim pengamat harus berpegang pada pedoman yang sama dan menerapkan pedoman itu dengan sama pula. Untuk itu, para pencacah mungkin perlu mengadakan perlatihan sebelum melakukan survai yang sesungguhnya. Pengetahuan yang memadai Tentu saja pengamat dituntut untuk mengetahui tanaman yang dihadapinya termasuk tanaman sehat dan gejala penyakit pada tanaman tersebut. Tanaman sehat mungkin saja menunjukkan variasi karena pengaruh faktor tertentu yang masih tergolong normal. Demikian juga gejala penyakit tanaman mungkin bervariasi yang ditentukan oleh faktor tertentu atau tingkat perkembangkan penyakit. Cipta Ginting

173

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN


12 PENGUKURAN INTENSITAS PENYAKIT TANAMAN Perlu pula diketahui bagian tanaman yang biasanya paling rentan terhadap suatu patogen. Misalnya, gejala serangan Puccinia arachidis pada kacang tanah lebih sering terjadi pada daun yang tua. Gejala awal serangan Phytophthora caosici (P. palmivora MF4) biasanya sering terjadi pada bagian bawah tajuk. Hal-hal seperti itu perlu diingat dalam merencanakan dan melakukan penilaian kerusakan akibat penyakit.

12.6 Perlatihan 1. Bandingkan keterjadian penyakit dengan keparahan penyakit! 2. Bagaimana mengukur (a) keterjadian penyakit dan (b) keparahan penyakit? 3. Apa saja yang harus Saudara ketahui dan kerjakan agar intensitas penyakit yang diperoleh akurat dan teliti?

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Campbell, C L & Madden, L V. 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John and Sons, New York. 453 pp. Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Chapter 3 and 4.

174

Cipta Ginting


PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN Peramalan penyakit tanaman dapat dilakukan terhadap penyakit yang belum atau yang sudah terjadi di lapangan. Dalam hal penyakit tanaman yang belum terjadi pada suatu tanaman atau suatu populasi tanaman, kegiatan peramalan penyakit dilakukan untuk memprakirakan terjadinya penyakit tersebut. Contohnya, metode peramalan telah dikembangkan untuk meramal keterjadian dan kemungkinan intensitas penyakit layu pada kapas yang disebabkan oleh Verticillium dahliae di Amerika Serikat. Hal itu dilakukan bahkan sebelum menanam tanaman dengan menghitung populasi sklerotium, yaitu propagul jamur yang berfungsi menjadi inokulum awal (Fry, 1982). Sementara itu, bagi penyakit yang telah terjadi di lapangan, kegiatan peramalan dilakukan untuk memprakirakan terjadinya epidemi atau peningkatan intensitas penyakit tersebut. Dalam hal ini, keterjadian penyakit mungkin dalam tingkat intensitas yang relatif rendah dan tidak menimbulkan kerugian yang berarti. Kegiatan peramalan epidemi perlu dilakukan karena peningkatan intensitas penyakit dapat menambah kerusakan dan kerugian ekonomi pada tanaman. Contohnya, metode peramalan penyakit cacar pada teh yang disebabkan oleh Exobasidium vexans di Sumatera Utara dan Jawa Barat, yang dikemukakan secara ringkas pada bagian akhir bab ini. Kegiatan peramalan yang akurat sangat berpotensi untuk meningkatkan keefektifan dan keefisienan pengendalian yang Cipta Ginting

175

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN dilakukan. Jika keterjadian atau peningkatan intensitas penyakit dapat diramalkan secara cukup akurat, kerugian akibat penyakit tersebut dapat dihindarkan dengan melakukan tindakan pengendalian. Tindakan pengendalian penyakit, misalnya secara kimia dengan penyemprotan fungsida, dilakukan jika suatu penyakit berpeluang besar merugikan. Di samping itu, jika berdasar hasil peramalan menunjukkan bahwa penyakit tanaman tidak akan terjadi atau intensitasnya tidak akan meningkat, tindakan pengendalian tidak perlu dilakukan. Jika tidak diperlukan namun tindakan pengendalian dilakukan, maka hal ini akan membuang biaya dan tenaga dengan sia-sia. Dengan demikian sistem peramalan sebenarnya dapat sangat bermanfaat dan perlu dikembangkan dengan teliti dan akurat agar dapat menjadi satu pedoman dalam praktik pengelolaan penyakit tanaman. Menurut Agrios (2005), secara umum sistem peramalan pada dasarnya didasarkan pada tiga hal, yaitu (1) jumlah inokulum awal, (2) kondisi cuaca yang mendukung perkembangan penyakit, dan (3) jumlah inokulum awal dan inokulum sekunder. Ketiga hal ini diterangkan secara ringkas sebagai berikut. Pertama, jumlah inokulum awal dapat dihitung secara tidak langsung atau secara langsung. Teknik secara tidak langsung dilakukan dengan melakukan bioassai tanah tempat suatu tanaman akan ditanam. Sebagai contoh, tanah tempat rencana penanaman suatu tanam disampel untuk ditanaman tanaman yang rentan. Jika intensitas penyakit tinggi pada tanah tersebut, maka hal ini berarti banyak inokulum pada tanah tersebut. Oleh karena itu, petani harus menanam varietas yang resisten atau dilakukan perlakuan tanah atau benih sebelum tanaman ditanam. Penyakit tanaman yang inokulum awalnya perlu dihitung contohnya penyakit busuk akar pada kacang pea yang disebabkan oleh Aphanomyces dan penyakit lain yang disebabkan oleh jamur patogen tular tanah lain. Inokulum awal dapat juga dihitung secara langsung seperti menghitung sklerotium jamur patogen Sclerotium dan Verticillium ataupun menghitung populasi nematoda Heterodera dan Globodera.

176

Cipta Ginting


Kedua, bagi penyakit dengan inokulum awal terlalu sedikit untuk dideteksi, kadang-kadang kondisi cuaca yang mendukung perkembangan penyakit yang diukur. Misalnya di AS, penyakit hawar daun yang disebabkan oleh Phytophthora infestans diramalkan dengan memperhatikan faktor suhu dan kelembaban udara. Kriterianya ialah suhu antara 10 dan 20 oC dan Kn > 75% setidaknya selama 48 jam atau setidaknya Kn 90% selama 10 jam setiap hari selama 8 hari, maka akan terjadi infeksi dan ledakan penyakit 2 – 3 minggu ke depan. Di Indonesia, peramalan cacar teh juga dilakukan dengan memperhatikan faktor cuaca seperti kelembaban dan penyinaran matahari. Ketiga, jumlah inokulum awal dan inokulum sekunder dapat digunakan untuk meramalkan epidemi. Sebagai contoh kudis apel yang disebabkan oleh Venturia inaequalis. Inokulum awal ialah askospora, yang jika dalam jumlah relatif banyak, perlu dicegah dengan aplikasi fungsida. Setelah itu, inokulum sekunder yakni konidia diproduksi dan berlipat jumlahnya dalam beberapa daur penyakit, yang dapat menyebabkan infeksi sekunder jika lingkungan mendukung.

13.1 Pengembangan Metode Peramalan Penyakit Dalam pengembangan metode peramalan penyakit digunakan hasil-hasil penelitian dalam bidang epidemiologi seperti pengaruh faktor-faktor cuaca terhadap patogen dan perkembangan penyakit. Faktor cuaca yang banyak diperhatikan ialah kelembaban, suhu, dan penyinaran matahari. Dari penelitian tersebut perlu dipahami faktor apa yang dominan dalam menentukan perkembangan suatu penyakit. Pada Bab II disebutkan bahwa perkembangan penyakit terjadi sebagai hasil interaksi tiga faktor yakni tanaman, patogen, dan lingkungan. Pada Bab V disebutkan bahwa segitiga penyakit dikembangkan menjadi tetrahidron penyakit dengan memasukkan faktor waktu. Untuk menghasilkan penyakit, interaksi ketiga faktor dalam segita penyakit harus berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, faktor cuaca juga diamati dalam waktu yang cukup lama.

Cipta Ginting

177

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN Faktor utama ini yang akan digunakan dalam merancang metode peramalan penhyakit tersebut. Misalnya, di Amerika Serikat, metode peramalan penyakit kudis pada apel yang disebabkan oleh Venturia inaequalis dikembangkan dengan memperhatikan faktor suhu dan kelembaban karena kedua faktor ini sangat berpengaruh terhadap intensitas penyakit. Yang diamati ialah jumlah dan lama hujanserta lama daun basah (Agrios, 2005). Di Indonesia, dikembangkan metode peramalan penyakit cacar daun teh yang disebabkan Exobasidium vexans terutama dengan memperhatikan faktor kelembaban. Kelembaban merupakan faktor utama yang menentukan intensitas penyakit. Beberapa metode peramalan cacar daun teh dilakukan dengan mengamati faktor lain seperti lama suhu dan sinar matahari. Akan tetapi, kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap intensitas penyakit cacar daun teh melalui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap kelembaban. Hal ini diuraikan lebih lanjut di bawah. Di samping itu, sering juga dikembangkan metode praktis pengamatan biologis seperti inokulum patogen dan vektor. Dalam hal jamur patogen, yang diamati biasanya spora, dan vektor yang sering diamati ialah serangga. Informasi tentang hasil pengamatan biologis yang diperoleh diperhitungkan dalam praktik peramalan penyakit tersebut. Hal lain yang juga diperhatikan dalam pengembangan metode peramalan penyakit tanaman ialah patogen dan dinamika penyakit. Perlu diteliti tentang stadium apa pada daur penyakit yang penting dalam perkembangan penyakit. Selain itu, perlu juga diketahui peranan inokulum primer dan kecepatan siklus sekunder penyakit. Inokulum primer ialah inokulum yang telah ada pada awal musim tanam, sedangkan inokulum sekunder merupakan inokulum yang dihasilkan pada satu musim tanam. Seperti telah disinggung di atas, peramalan penyakit busuk akar tanaman pea (sejenis kacangkacangan) akibat Aphanomyces eufeiches dilakukan dengan menghitung inokulum primer sebelum tanam. Hal itu dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan bioassai dengan menanam benih pea pada tanah yang diuji. Keterjadian penyakit akan berkorelasi dengan

178

Cipta Ginting


kepadatan inokulum primer dalam tanah. Sementara itu, peramalan penyakit hawar daun kentang akibat Phytophthora infestans, penyakit bercak coklat pada kacang tanah akibat Cercospora spp., penyakit cacar daun teh dan lain-lain dilakukan dengan memperhatikan bahwa siklus sekunder lebih menentukan perkembangan penyakit. Berbagai informasi dari hasil penelitian dalam berbagai bidang tersebut di atas diolah dalam mengembangkan metode peramalan penyakit tanaman. Semakin lengkap dan akurat data dan informasi yang tersedia tentang suatu penyakit, semakin efektif metode peramalan yang akan dirumuskan. Metode peramalan yang telah dihasilkan kemudian diujicobakan sebelum diterapkan sebagai bagian dari sistem budidaya suatu tanaman pertanian.

13.2 Implementasi Peramalan Penyakit Tanaman Di negara maju, sistem peramalan penyakit telah dikembangkan pada berbagai tanaman penting. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem peramalan telah dikembangkan pada tanaman apel, kacang tanah, kentang, gandum, dan lain-lain. Di Jepang telah dikembangkan sistem peramalan penyakit blas pada padi akibat Pyricularia orizae dan lain sebagainya. Di Indonesia, sejauh pengetahuan penulis, baru satu sistem peramalan yang telah dikembangkan, yaitu sistem peramalan penyakit cacar daun teh yang dilakukan oleh ahli penyakit tumbuhan warga negara Belanda pada tahun 1950-an. Menurut Fry (1982), persyaratan agar suatu sistem peramalan penyakit dapat diimplimentasikan dengan berhasil ialah bahwa (1) peramalan harus akurat, (2) penyakit yang dihadapi merupakan penyakit penting dan sporadik, (3) nilai ekonomi tanaman harus tinggi dan (4) terdapat teknologi dan kebijakan yang mendukung. Keempat hal di atas mudah dipahami. Pertama, suatu metode peramalan yang tidak menghasilkan prakiraan yang tidak akurat dalam ujicoba tidak akan diimplementasikan lebih lanjut. Oleh karena itu, pengembangan metode peramalan harus dilandasi dengan hasil-hasil penelitian yang memadai. Kedua dan ketiga, upaya

Cipta Ginting

179

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN pengembangan metode peramalan yang memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit hanya menjadi layak jika epidemi penyakit mengakibatkan kerugian yang berarti. Penyakit tanaman yang tidak berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan atau penyakit yang selalu terjadi (tidak sporadik) tidak perlu diramal. Keempat, jika hasil peramalan mengisyaratkan perlunya segera dilakukan tindakan pengendalian, maka diharapkan terdapat kemampuan tentang teknologi dan kebijakan yang mendukung. Tanpa kemampuan tersebut maka hasil peramalan tersebut menjadi tidak bermanfaat. Dapat dikatakan bahwa di Indonesia, yang menjadi kendala ialah terbatasnya dukungan untuk melakukan penelitian secara memadai dan kebijakan pendukung implementasi hasil peramalan penyakit tanaman. Meskipun terdapat berbagai kendala dalam pengembangan metode peramalan yang canggih seperti dicontohkan di atas, dalam praksis budidaya tanaman pertanian, peramalan perlu dijadikan sebagai kebiasaan rutin meskipun hanya dilakukan secara sederhana. Misalnya, perlu dipahami bahwa secara umum jika kelembaban udara untuk beberapa hari relatif tinggi, dapat diduga akan terjadi epidemi jika tanaman rentan terhadap patogen. Sikap proaktif seperti ini diperlukan untuk mencegah terjadinya epidemi yang meluas dan menimbulkan kerugian yang besar. Contoh aplikasi sikap proaktif tersebut dapat dalam budidaya lada yang memerlukan naungan. Pada musim hujan, pada saat kelembaban udara pada kebun biasanya tinggi, naungan hendaknya dikurangi dengan melakukan pemangkasan pohon pelindung. Hal ini akan menurunkan kelembaban sehingga mengurangi peluang terjadi penyakit busuk pangkal batang lada yang disebabkan oleh Phytophthora infestans meskipun hal ini perlu dibarengi dengan tindakan lain dalam managemen penyakit tersebut.

13.3 Peramalan Penyakit Cacar Teh Bagian ini bersumber dari Semangun (2000). Penyakit cacar teh pertama kali ditemukan di Sumatera Utara pada 1949. Setelah itu,

180

Cipta Ginting


penyakit ini ditemukan di Jawa Barat pada 1951 dan di Jawa Timur pada 1952. Cacar teh merupakan penyakit yang paling merugikan sejak ditemukan sampai saat ini. Gejala penyakit diawali dengan terjadinya bercak-bercak kecil pada daun muda. Bercak tersebut berwarna hijau pucat dan tembus cahaya serta berdiameter 0,25 – 0.5 mm, yang dapat dilihat jelas dengan menggunakan kaca pembesar. Bercak kemudian meluas menjadi sekitar 1 cm dalam 5 – 6 hari. Pada permukaan atas daun tampak cekung, licin, dan mengkilat. Sementara itu, pada sisi bawah daun tampak cembung seperti cacar sehingga penyakit disebut cacar teh. Permukaan bercak tertutup oleh lapisan seperti debu putih kelabu, yang merupakan basidiospora jamur patogen tersebut (Gambar 13.1). Tahap selanjutnya, bercak tersebut mengering dan jaringan cacar jatuh sehingga terbentuk lubang pada daun.

Gambar 13.1. Sisi atas (kiri) dan bawah (kanan) daun teh menunjukkan gejala cacar daun yang disebabkan oleh Exobasidium vexans. (Foto: Martanto Martosupono dalam Semangun, 2000)

Penyakit cacar teh disebabkan oleh Exobasidium vexans Mass. Jamur ini termasuk kelompok Basidiomycetes. Jamur ini hanya membentuk basidiospora, propagul jamur yang berfungsi sebagai inokulum. Dalam pengelolaan cacar teh, diperlukan metode peramalan karena cacar teh berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Selain itu, epidemi penyakit ini terjadi hanya pada saat-saat tertentu Cipta Ginting

181

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN saja, tidak berlangsung secara terus-menerus. Dengan demikian, tindakan pengendalian tidak perlu dilakukan secara terus menerus atau secara berkala, tetapi hanya pada saat akan terjadi penyakit atau penyakit baru mulai terjadi. Hal ini akan mengefisienkan aplikasi fungsida, yang digunakan untuk mengendalikan cacar teh. Sementara itu, jika tindakan pengendalian tidak dilakukan pada saat diperlukan, kerugian besar akan terjadi. Oleh karena itu, metode peramalan terjadinya epidemi sangat diperlukan. Metode peramalan epidemi cacar teh dikembangkan berdasarkan pada faktor cuaca yakni kelembaban nisbi udara (Kn). Metode peramalan juga dikembangkan berdasar data penyinaran matahari karena penyinaran matahari mempengaruhi Kn. Selain itu, metode peramalan dikembangkan dengan pengamatan perkecambahan basidiospora, yang utamanya merupakan pengaruh faktor cuaca terutama Kn terhadap jamur patogen tersebut. Metode peramalan cacar teh pertama dikembangkan oleh Huysmans di Sumatera Utara pada 1952, sekitar 3 tahun setelah penyakit ini ditemukan di daerah tersebut. Metode ini didasarkan pada Kn yang diukur dengan menggunakan higrograf yang ditempatkan setinggi 2 m di atas permukaan tanah. Yang diperhitungkan ialah rerata Kn selama 5 hari berturut-turut (yang disebut sebagai Kr). Kr dihitung dengan merata-ratakan kelembaban harian (Ka) yang diukur setiap 2 jam dari pukul 08.00 – 18.00 WIB. Yang menjadi patokan ialah sebagai berikut. (1) Jika Kr selama 10 – 14 hari (yang merupakan jangka waktu untuk satu daur penyakit cacar) > 83%, maka akan diramalkan terjadinya epidemi sedang. Sementara itu, jika Kr selama 3 – 5 hari < 83% epidemi akan berhenti. (2) Jika selama 20 – 24 hari (yang merupakan jangka waktu untuk dua daur penyakit cacar) > 83% dan terdapat hari dengan Kr > 88%, maka akan terjadi epidemi berat selama 2 – 3 hari. Akan tetapi, jika Kr < 83% selama satu atau beberapa hari, maka epidemi menjadi lebih ringan. Jika Kr < 83% selama 3 hari, maka tindakan pengendalian dihentikan.

182

Cipta Ginting


Beberapa ahli lain mengimprovisasi metode atau mengembangkan metode peramalan ini dengan menurunkan batas kritis Kn dari 83% menjadi 80%, menggunakan hanya data Kn dari pagi sampai siang saja, memperhitungkan penyinaran matahari, atau langsung mengamati perkecambahan bisidiospora. Data penyinaran matahari dapat digunakan karena penyinaran tersebut mempengaruhi Kn. Dalam pada itu, perkecambahan basidiospora ditentukan oleh Kn. Data perkecambahan basidiospora dapat dilakukan karena dalam menginfeksi tanaman basidiospora terlebih dulu harus berkecambah, yang berlangsung jika faktor lingkungan terutama Kn kondusif.

13.4 Perlatihan Jawablah dengan jelas! 1. Pilih satu penyakit tanaman yang layak dikembangkan metode peramalannya! Bagaimana Saudara mengembangkan sistem peramalan penyakit tersebut? (Saudara terlebih dahulu perlu mempelajari penyakit tersebut dalam berbagai literatur.) 2. Mengapa sistem peramalan penyakit tanaman kurang berkembang di Indonesia? 3. Diskusikan sistem peramalan penyakit cacar daun teh! Buat rencana konkrit untuk mengimplementasikan sistem peramalan tersebut. Bacaan Lanjutan Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp.

Cipta Ginting

183

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

13 PERAMALAN PENYAKIT TANAMAN


184

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


PATOLOGI BENIH Benih merupakan input utama dalam produksi tanaman pertanian. Berkaitan dengan perbenihan ini, sesungguhnya cukup besar potensi masalah dalam budidaya tanaman secara umum. Dengan demikian, aspek budidaya ini patut mendapat perhatian dalam rangka peningkatan keproduktifan pertanian. Ilmu penyakit benih (patologi benih, Seed Pathology) merupakan salah satu bidang ilmu penyakit tumbuhan yang khusus mempelajari penyakit benih dan patogen tanaman terbawa benih (seedborne pathogens). Ilmu ini penting tidak saja dalam pengembangan teknologi deteksi patogen pada benih, tetapi juga dalam pemahaman peranan inokulum terbawa benih dalam epidemiologi penyakit, sertifikasi benih, dan karantina tumbuhan. Penyakit benih dapat menimbulkan kerugian yang besar dalam produksi tanaman pertanian maupun pascapanen. Kerugian tersebut dapat terjadi dalam beberapa bentuk (Agarwal and Sinclair, 1987). Pertama, penurunan produksi tanaman. Dalam budidaya kebanyakan tanaman pertanian, yang ditanam ialah benih. Tanaman itu dapat diserang beberapa patogen, yang kebanyakan terbawa benih. Misalnya, tanaman padi diserang oleh patogen terbawa benih seperti Pyricularia oryzae, Drechslera oryzae, Cercospora janseana, dan Xanthomonas campestris pv. oryzicola. Terdapatnya inokulum patogen dalam benih dapat menyebabkan terjadi dan berkembangnya penyakit di lapangan yang membawa kerugian. Kedua, kehilangan Cipta Ginting

185

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

14


14 PATOLOGI BENIH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

daya berkecambah. Banyak patogen pada benih yang menjadi aktif setelah benih tersebut disemai atau ditanam sehingga tidak dapat berkecambah. Jika dibiarkan hal itu akan mengurangi populasi tanaman, namun jika disulam akan menambah biaya produksi apalagi pada pertanian maju. Ketiga, perkembangan penyakit tanaman. Banyak penyakit yang sumber inokulumnya adalah benih. Inokulum yang terbawa beberapa benih menginfeksi tanaman yang tumbuh dari benih tersebut. Hal ini menyebabkan penyakit berkembang pada beberapa titik di lapangan sesuai dengan jumlah tanaman yang terinfeksi tadi dan berkembang dari tempat tersebut. Lebih daripada itu, mekanisme ini dapat membawa penyakit ke daerah baru, yang sebelumnya penyakit belum terjadi namun justru muncul karena terbawa oleh benih yang ditanam pada daerah tersebut. Keempat, pewarnaan dan keriput pada biji-bijian. Benih yang terinfeksi dapat berubah warnanya atau permukaannya menjadi berkeriput. Misalnya, kedelei yang terinfeksi Cercospora kikuchii menjadi ungu. Kelima, perubahan secara biokimia pada benih atau biji-bijian. Benih yang terserang patogen dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada benih yang tidak bergejala masih bisa terjadi perubahan yang tidak tampak, berupa penurunan mutu nutrisi pada biji. Misalnya, kedelai yang terinfeksi Phomopsis spp. menyebabkan rendahnya produksi dan mutu minyak. Keenam, produksi racun. Kacang tanah yang terserang Aspergillus flavus dapat membentuk aflatoksin. Disamping sebagai bahan beracun, zat ini termasuk karsinogenik sehingga amat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Benih dapat berasosiasi dengan berbagai mikroflora, virus, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan patogen terbawa benih (seedborne pathogens) adalah setiap agen infeksius yang berasosiasi dengan benih yang dapat menimbulkan penyakit pada kecambah atau tanaman. Istilah itu juga digunakan untuk menunjukkan cara penularan patogen tanaman yang terjadi melalui benih. Penularan melalui benih (seed transmission) adalah perpindahan patogen dari benih ke tanaman. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam proses ini ialah tanaman, patogen, lingkungan dan interaksinya. Patogen itu termasuk jamur, 186

Cipta Ginting


14 PATOLOGI BENIH bakteri, nematoda, dan mikroorganisme lain serta virus, yang telah dijelaskan pada Bab III.

14.1 INTERAKSI PATOGEN DAN BENIH

Infeksi Infeksi mengisyaratkan bahwa patogen terbawa secara internal dalam jaringan benih dan terdapat hubungan aktif antara patogen dan benih. Patogen dapat menginfeksi benih melalui pedisel, stigma, lubang alami, dan kerusakan pada biji. Patogen juga dilaporkan dapat masuk melalui dinding ovari dan kulit benih meskipun hal itu tidak lazim. Patogen yang terbawa secara infeksi mungkin berada pada embrio, endosperma, atau kulit. Lokasi tempat patogen berada bergantung pada berbagai faktor termasuk tipe patogen, jenis tanaman, dan lingkungan. Suatu patogen biasanya berada pada lokasi benih tertentu atau pada beberapa bagian benih. Misalnya, virus umumnya berada pada embryo. Letak patogen pada embryo memungkinkan terjadinya infeksi pada tanaman yang akan tumbuh dari benih tersebut. Jika virus gagal masuk ke embryo, infeksi pada tanaman jarang terjadi. Faktor tanaman terutama menyangkut anatomi benih. Tanaman yang embryonya besar seperti kubis-kubisan, besar peluang embryo terinfeksi. Lain halnya pada jagung, yang endospermanya besar sehingga besar pula peluang bagian ini yang mengandung patogen. Tentang faktor lingkungan, yang paling menentukan ialah kondisi pada saat proses infeksi sedang berlangsung. Jika kondisi lingkungan kondusif, kolonisasi berhasil; sebaliknya jika kondisi lingkungan menghambat infeksi mungkin terhenti atau gagal. Kontaminasi Dalam kontaminasi atau infestasi, patogen terbawa secara pasif saja, tanpa hubungan aktif antara patogen dan benih. Inokulum mungkin Cipta Ginting

187

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Patogen yang berasosiasi dengan benih terbawa dalam dua cara, yaitu infeksi atau kontaminasi (Agarwal and Sinclair, 1987).


14 PATOLOGI BENIH

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

menempel pada permukaan benih. Bentuk patogen berupa spora jamur, sel-sel bakteri, atau partikel virus dapat terletak atau lengket pada permukaan benih. Selain itu, inokulum tercampur dengan benih karena tubuh patogen itu terdapat pada benda asing seperti potongan tanaman atau tanah yang tercampur dengan benih. Dibandingkan dengan infeksi, kontaminasi lebih sederhana prosesnya. Kontaminasi dapat terjadi pada saat penen, perontokan benih, atau setelah perontokan itu.

14.2 Pengelolaan Benih Salah satu cara pencegahan penyakit ialah menggunakan benih yang sehat. Benih yang sehat ialah yang bebas dari patogen, dan dipanen dari tanaman yang sehat. Pada kasus tertentu, benih diproduksi dengan sistem budidaya khusus dengan input dan perlakuan khusus, yang mungkin lebih mahal biayanya daripada budidaya untuk tujuan produksi biasa. Jika benih yang harus ditanam mengandung atau tercampur dengan patogen, benih itu mungkin harus diperlakukan misalnya dengan fungisida. Praktik ini merupakan salah satu pelaksanaan pengendalian penyakit dengan prinsip eksklusi sekaligus prinsip eradikasi. Perlakuan itu meng-eradikasi inokulum sebagai upaya mencegahnya (to exclude) masuk ke lokasi baru. Hal ini dapat sangat efektif karena memperlakukan benih mungkin lebih mudah jika dibandingkan dengan mengendalikan penyakit di lahan yang luas dengan berbagai faktor yang mungkin tidak dapat dikendalikan sepenuhnya. Praktik itu sekaligus efisien dari segi waktu dan biaya. Benih, seperti halnya bahan propagatif lainnya, sering harus diperlakukan dengan senyawa kimia. Patogen yang berasosiasi dengan benih dapat aktif dan menyerang benih setelah ditanam karena lingkungan yang menjadi kondusif bagi perkembangan benih juga kondusif bagi perkembangan inokulum. Perlakuan benih yang dilakukan akan melindungi benih dari patogen yang terbawa tadi, di samping mungkin efektif melindungi tanaman tersebut dari patogen yang berada pada tanah di sekitarnya.

188

Cipta Ginting


14 PATOLOGI BENIH

menempel pada benih tersebut. Di luar negeri, perlakuan benih kadang-kadang dilakukan dengan agensia hayati. Misalnya, Agrobacterium tumefaciens yang menyebabkan puru mahkota (crown gall) pada banyak tanaman dilaporkan dapat dikendalikan jika benih atau bibit tanaman dicelupkan ke dalam suspensi yang mengandung Agrobacteria radiobacter strain K84. Strain ini nir-patogen dan dapat menghasilkan bakteriosin yang disebut agrosin 84 yang merupakan antibiotik khusus untuk menekan bakteri yang berhubungan. Contoh lain ialah penggunaan suspensi kental atau serbuk yang mengandung bakteri Bacillus subtilis strain A13 atau Streptomyces sp. untuk mencegah penyakit akar dan meningkatkan pertumbuhan tanaman sereal dan jagung manis (Agrios, 2005).

14.3 PERLATIHAN 1. Apakah inokulum terbawa benih berpotensi menimbulkan kerugian dalam budidaya tanaman pertanian? Jelaskan! 2. Bandingkan bentuk asosiasi patogen - benih (a) infeksi dan (b) kontaminasi! 3. Apa yang Saudara perlu perhatikan dalam pengelolaan benih dalam rangka pengelolaan penyakit tananam? Jelaskan! BACAAN LANJUTAN Agarwal, V.K. and Sinclair, J.B. 1987. Principles of Seed Pathology. Vol. I. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. 176 pp. Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Cipta Ginting

189

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Senyawa kimia itu dapat diaplikasikan dalam bentuk debu atau serbuk dan suspensi kental (slurries). Contoh senyawa kimia yang dapat digunakan ialah fungisida organik pelindung (seperti kaptan, kloroneb, maneb, mankozeb, tiram, dan PCNB) serta fungisida sistemik (seperti karboksin, benomil, tiabendazol, metalaksil, dan triadimenol. Perlakuan benih harus dilakukan dengan hati-hati supaya tidak menurunkan perkecambahan benih dan agar cukup cat racun


190

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


Agarwal, V.K. & Sinclair, J.B. 1987. Principles of Seed Pathology. Vol. I. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. 176 pp. Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elsevier Academic Press, Burlington, MA, USA. 922 pp. Bowen, K.L. 2008. Plant Disease epidemiology. Pp. 371-386 in: Trigiano, R.N., Windham, M.T., &Windham, A.S. (Eds.). Plant Pathology: Concept and Laboratory Exercise. CRC Press, Boca Raton, Florida. 558 pp. Cook, R. J. & Baker, K.F. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota. 539 pp. Campbell, C L & Madden, L V. 1990. Introduction to Plant Disease Epidemiology. John and Sons, New York. 453 pp. Dropkin, V.H. 1989. Introduction to Plant Namatology. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York. 304 pp. Fry, W.E. 1982. Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 378 pp. Goto, M. 1992. Fundamentals of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Inc., San Diago. 342 pp. Ginting, C & Maryono, T. 2009. Physic nut (Jatropha curcas) diseases in Lampung Privince. Biotropia 16:45-54. Ginting, C., Mujim, S., & Dianto, A.H. 2005. Isolasi spesies Verticillium yang berasosiasi dengan Hemileia vastatrix pada daun kopi. J. Natur Indonesia 8:114-117. Ginting, C. 1997a. Determination of the occurence of suppressive soils to foot rot in black pepper field. Hlm. 320-325 dalam: Prosiding Kongres dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang, 27 – 28 Oktober 1997. Cipta Ginting

191

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

DAFTAR PUSTAKA


DAFTAR PUSTAKA Ginting, C. 1997b. Screening for fungal biocontrol agents against Phytopthora capsisi Leonian (P. palmivora MF4) causing root rot on black pepper. Hlm. 406-410 dalam: Prosiding Kongres dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang, 27 – 28 Oktober 1997. Harman, G.E. 2000. Myths and dogmas of biocontrol: changes in perspective derived from research on Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease. 84:377-393. Harman, G. E., Howell, C. R., Viterbo, A., Chet, I., & Lorito, M. 2004. Trichoderma species – opportunistic, avirulent plant symbionts. Nature Reviews, Microbiology 2:43-56. Hollier, C.A. & Hershman, D.E. 2008. Integrated Pest Management. Pp. 437-445 in: Trigiano, R.N., Windham, M.T., &Windham, A.S. (Eds.). Plant Pathology: Concept and Laboratory Exercise. CRC Press, Boca Raton, Florida. 558 pp.

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

James, W.C. 1971. An illustrated series of assessment keys for plant diseases, their preparation and usage. Can. Plant Dis. Surv. 51 (2): 39-65. Johnson, R. 1992. Past, present and future opportunity in breeding for disease resistance, with example from wheat. Pp. 3-22 in Breeding for Disease Resistance. Eds. Johnson, R., & Jellis, G.J. Kluwer Academic Publishers. 205 pp. McManus, P S, Stockwell, V O, Sundin, GW & Jones, AC. 2002. Antibiotic Use in Plant Agriculture. Annu. Rev. Phytopathol. 40:443-465. Moore-Landecker, E. 1990. Fundamentals of the Fungi. 3rd ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. 561 pp. Ownley, B H & Windham, MT. 2008. Biological Control of Plant Pathogen. Pp. 423-435 in: Trigiano, R.N., Windham, M.T., & Windham, A.S. (Eds.). Plant Pathology: Concept and Laboratory Exercise. CRC Press, Boca Raton, Florida. 558 pp. Parry, D. 1990. Plant Pathology in Agriculture. Cambridge Univesity Press, Cambridge. 385 pp. Pataky, J.K. & Carson, M.L. 2008. Host Resistance. Pp. 387-404 in: Trigiano, R.N., Windham, M.T., & Windham, A.S. (Eds.). Plant Pathology: Concept and Laboratory Exercise. CRC Press, Boca Raton, Florida. 558 pp. Schaad, N W, Frederick, R D, Shaw, J, Scheider, W L, Hickson, R, Petrillo, M D, & Luster, D. 2003. Advances in Moleculer-Based 192

Cipta Ginting


DAFTAR PUSTAKA Diagnostics in Meeting Crop Biosecurity and Phytosanitary Issues. Annu. Rev. Phytopathol. 41:305-324. Semangun, H. 2004a. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 449 hlm. Semangun, H. 2004b. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 850 hlm.

Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 835 hlm. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 754 hlm. Semangun, H. 1993. Konsep dan asas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu. Hlm. 1–25 dalam Kumpulan Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian Hayati. Yogyakarta, 6 – 8 September 1993. 104 hlm. Sequeria, L. 2000. Legacy for the Millenium: A Century of Progress in Plant Pathology. Annu. Rev. Phytopathol. 38:1-17. Shurtleff, MC & Averre III, CW. 1997. The Plant Disease Clinic and Field Diagnosis of Abiotic Diseases. APS Press, St. Paul, Minnesota. 245 pp. Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 573 hlm. Strange, R.N. & Scott, P.R. 2005. Plant Disease: a threat to global food security. Annu. Rev. Phytopathol. 43:83-116. Thurston, H D. 1998. Tropical Plant Diseases. 2nd ed. APS Press, St. Paul, MN, USA. Untung, K. 1993a. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 273 hlm. Untung, K. 1993b. Dasar ekonomi pengelolaan penyakit tanaman terpadu. Hlm. 51-68 dalam: Kumpulan Makalah Simposium Pendidikan Fitopatologi dan Pengendalian Hayati. Yogyakarta, 6 – 8 September 1993. 104 hlm. Vanderplank, J.E. 1975. Plant Diseases: Epidemics and Control. Aademic Press, New York. Walkey, D.F.A. 1991. Applied Plant Virology. 2nd ed. Chapman and Hall, London. 337 pp. Cipta Ginting

193

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 754 hlm.


194

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


Agroekosistem (agroecosystem) Ekosistem yang terbentuk jika ekosistem alami dikelola untuk mendapatkan hasil tanaman pertanian Daur penyakit (disease cycle) Rangkaian kejadian pada perkembangan penyakit termasuk fase perkembangan patogen dan pengaruh penyakit pada inang Endemik (Suatu penyakit) yang terjadi secara tetap dan relatif merata pada suatu daerah Epidemi (epidemic) Peningkatan intensitas penyakit pada populasi tanaman, biasanya peningkatan yang cepat Epidemiologi Cabang fitopatologi yang secara khusus mempelajari epidemik Gejala (symptom) Perubahan nir-normal pada tumbuhan yang tampak yang merupakan respon patologis akibat terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit Inokulum (inoculum) Propagula infektif atau yang dapat menyebabkan penyakit, seperti spora jamur dan sel-sel bakteri Inang (host) Organisme tempat parasit hidup dan memperoleh nutrisi Klorosis Gejala menguning sebagai akibat rusaknya klorofil Nekrosis Gejala kecoklatan atau kehitaman karena adanya sel-sel atau jaringan tumbuhan yang mati Parasit Organisme memperoleh nutrisi dari dan merugikan organisme lain Parasitisme Hubungan dua organisme dengan satu memperoleh nutrisi dari yang lain yang dirugikan Parasit fakultatif Organisme yang memperoleh nutrisi dari organisme lain dan dapat juga hidup dari bahan organik yang Cipta Ginting

195

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

GLOSARIUM


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

GLOSARIUM telah mati Parasit obligat Organisme yang hanya dapat hidup dengan berasosiasi dengan makhluk hidup yang lain Patogen (pathogen) Organisme atau virus yang menyebabkan penyakit. Organisme patogen umumnya mikrooganisme (jasad renik). Virus atau viroid biasanya tidak dianggab organisme. Penyakit juga dapat disebabkan oleh faktor abiotik (faktor ligkungan) seperti defisiensi (kekurangan) unsur hara yang diperlukan tanaman. Akan tetapi, faktor abiotik ini tidak lazim disebut sebagai patogen. Patogen monosiklik Patogen yang inokulumnya hanya diproduksi sekali selama satu musim Patogen polisiklik Patogen yang inokulumnya hanya diproduksi lebih dari sekali selama satu musim Penyakit monosiklik Penyakit yang disebabkan patogen yang inokulumnya hanya diproduksi sekali dalam satu musim Penyakit polisiklik Penyakit tanaman yang disebabkan patogen yang inokulumnya diproduksi lebih dari sekali selama satu musim Patogenesis (pathogenesis) Urutan proses dari kontak antara patogen dan inang sampai seluruh sindrom terjadi Patogenik (pathogenic) Kemampuan (suatu organisme) menimbulkan penyakit Patogenisitas (pathogenicity) Kemampuan menimbulkan penyakit Penyakit (pada tumbuhan) (plant disease) Kondisi terganggunya fungsi sel dan jaringan tumbuhan akibat iritasi yang terus menerus oleh suatu agen primer atau faktor lingkungan yang kemudian menimbulkan gejala Penyakit menular (infectious disease) Penyakit yang dapat meluas atau berkembang dari satu tanaman sakit ke tanaman lain. Penyakit ini disebabkan oleh patogen, yang merupakan makhluk hidup dan penularan penyakit terjadi karena propagula infektif (inokulum) patogen berpindah dari tanaman sakit ke tanamn sehat. Penyakit tidak menular (non- infectious disease) Penyakit yang tidak dapat meluar dari satu tanaman sakit ke tanaman sehat. Penyakit ini disebabkan oleh faktor lingkungan (nir-biotik). Propagula (propagule) Suatu bentuk atau bagian suatu organisme yang menjadi bahan penyebaran atau berkembang biak Saprofit Organisme yang hidup dari bahan-bahan yang mati Segitiga penyakit (disease triangle) Konsep atau model untuk menunjukkan bawa tiga untuk saling berinteraksi dalam menentukan terjadi dan berkembangnya penyakit

196

Cipta Ginting


Siklus penyakit Lihat daur penyakit Simbion Organisme yang hidup dalam asosiasi dengan makhluk hidup yang lain Simbiosis Bentuk kehidupan yang berasosiasi dengan makhluk hidup yang lain Sindrom (syndrom) Serangkaian gejala dari awal terjadinya kontak antara patogen dan inang sampai akhir perkembangan penyakit Sporadik (Penyakit) yang terjadi secara tidak merata di suatu daerah dan hanya terdapat di sana sini Tanda (sign) adalah patogen atau bagian patogen atau produk patogen yang terdapat pada tumbuhan sakit Tetrahidron penyakit (disease tetrahedron) Konsep atau model untuk menunjukkan bahwa empat faktor (tanaman, patogen, lingkungan, dan waktu) saling berinteraksi dalam menentukan terjadi dan berkembangnya penyakit Tilosis Pertumbuhan protoplasma yang masuk ke xilem dan merupakan salah satu mekanisme pertahanan struktural tumbuhan Virulen (virulent) Kemampuan (suatu patogen) menimbulkan penyakit yang parah Virulensi (virulence) Aras atau tingkat kepatogenan

Cipta Ginting

197

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

GLOSARIUM


198

Cipta Ginting

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)


A. longipes, 71 A. tumefaciens. See Agrobacterium tumefaciens Agrobacterium tumefaciens, 51, 53, 69, 134, 159 Agroekosistem, 1 Alternaria, 47, 49 Alternaria alternata, 71 Alternaria solani, 85, 88, 89, 91 Ambang kerugian penyakit, 125 Ambang tindakan penyakit, 125 Angin, 86 Antibiotika, 121 Anton de Bary, 19 Aphanomyces, 149 Aphanomyces eufeiches, 151 Armilaria mellea, 47, 48 Asilalanin, 120 Aspergillus flavus, 157 Bacillus, 50 Bacillus subtilis, 159 Bakteri, 33, 50 Bakterisida, 112 Benzimidazol, 119 Bercak alternaria 15 Bercak cercospora 15 Blastidin, 121 Bordeaux mixture. See campuran bordo Botrytis, 89, 117, 118 C. reticulata, 77

Campuran bordo, 20 Capnodium, 42 Cara Pengendalian Penyakit Tanaman, 102 Cengkeh 16 Cercospora, 71, 88, 151 Cercospora janseana, 133, 156 Cercospora kikuchii, 157 Cercosporidium personatum, 142 Citrus paradisi, 77 Cochliobolus victoriae, 72 Colletotrichum, 47, 133 Corticium salmonocolor, 119 CVPD 15 Daur penyakit, 43 Diagnosis, 129 Diagram Penyakit, 142 Disease escape, 94 Disease tetrahedron. See tetrahidron penyakit Ditiokarbamat, 116 Ditylenchus dipsaci, 89 Drechslera maydis, 72 Drechslera oryzae, 142, 156 Eksklusi, 101 Ektoparasit, 55 Endemik, 58 Endoparasit, 55 Enzim, 69 Epidemi, 58, 61, 62, 63 Epidemic. See epidemi

Cipta Ginting

199

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

INDEKS


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

INDEKS epidemiologi, 58 eradikasi, 101 Erwinia, 51, 52 Erwinia carotovora, 69 Erysiphe, 46, 88 Exobasidium vexans, 85, 86, 87, 119, 148, 150, 153 F. moniliforme, 86 F. o. f.sp cubense, 91 Fungida Anorganik, 113 Fungisida, 112 Fungisida Organik Tidak Sistemik, 115 Fungisida Sistemik, 118 Fusarium, 88, 89, 117 Fusarium moniliforme, 86 Fusarium oxysporum, 14, 89 Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici, 91 Ganoderma pseudoferreum, 86 Genetika penyakit tumbuhan, 91 Globodera, 149 Gloeosporium, 47 Helminthosporium. See Cochliobolus Hemileia vastatrix, 3, 91, 109 Heterodera, 55, 149 Heterodera schachtii, 130 Hiperplasia, 14 Hipersensitif, 80 Hipertrofi, 14 Hipotesis gen-untuk-gen. See konsep gen-untuk-gen Host. See inang Huysmans, 154 IAA, 72, 73 Ilmu penyakit benih, 156 Inang, 42 Infectiuos disease, 24 Infeksi, 45 Inokulasi, 44 Integrated pest management, 22 Intensitas penyakit, 139 Invasi, 45 Iamur, 24 Jarak pagar, 4, 15, 16 Jatropha curcas. See jarak pagar

200

Cipta Ginting

Jeruk keprok 15 Kalium, 89 kalsium, 89 Kasugamisin, 121 Kekuatan Mekanis, 68 Kelembaban, 84 Keparahan penyakit, 139, 141 Ketahanan Tanaman, 93 Keterhindaran penyakit, 94 Keterhindaran penyakit, 94, See disease escape Keterjadian penyakit, 139, 140 Klorosis, 14 Koch’s postulates. See postulat Koch Konsep Gen-untuk-Gen, 95 Louis Pasteur, 19 Lyriomyza, 130 Magnaporthe grisea, 89 Melampsora lini, 95 Meliodogyne incoqnita, 89 Meloidogyne, 14, 55, 57 Microcyclus ulei, 4 Mikoparasitisme, 109 Millardet, 20 Monilinia, 118 Morfolin, 119 Mucor, 46 Mycosphaerella (Phyllosticta) zeaemaydis, 72 Nekrosis, 14 Nematisida, 112 Nematoda, 38, 55 Nitrogen, 88 Nitrogen Heterosiklik, 117 Noninfectiuos disease, 24 OMM, 18, 34 Organisme menyerupai mikoplasma. See OMM Organisme pengganggu tanaman, 3 Organofosfat, 120 P. brassicae. See Plasmodiophora brassicae P. capsici. See Phytophthora capsici P. infestans. See Phytophthora infestans P. oryzae, 121


Parasit, 42 Parasit fakultatif, 42 Parasit obligat, 42 Parasitisme, 42 parasit obligat, parasit fakultatif, 42 Parasitisme, 109 patogen, 24, 42 patogen monosiklik, 64 patogen polisiklik, 66 patogenisitas, 42 patologi benih, 156 pemudaran warna, 14 pemuliaan tanaman, 97, 98 penetrasi, 44, 68 pengelolaan resiko, 5 Pengendalian Biologi, 107 Pengendalian Hama Terpadu, 122 pengendalian penyakit secara terpadu, 22 Pengendalian secara Budidaya, 103 Pengendalian secara Fisika, 106 Pengendalian secara Perundangundangan, 102 Penicillium, 118 Penyakit “Ber-bunga Majemuk”, 65 Penyakit “Ber-bunga Tunggal”, 64 penyakit blas, 77 penyakit cacar pada teh, 148, 152 Penyakit hawar daun amerika selatan, 4 Penyakit menular, 24 Penyakit monosiklik, 64 Penyakit polisiklik, 66 Penyakit sumatera 16 Penyakit tepung, 46 Penyakit tidak menular, 24 Penyakit tumbuhan, 7 Penyakit tungro, 54 Peramalan penyakit tanaman, 148 Pertahanan biokimia. See pertahanan kimia Pertahanan kimia, 75, 80 pertahanan kimia pasif, pertahanan kimia aktif, 80 Pertahanan Kimia Aktif, 81 Pertahanan Kimia Pasif, 81 Pertahanan struktural, 75, 76

pertahanan struktural aktif, 76, 77 Phomopsis, 157 Phomopsis longicola, 85 Phymatotrichopsis omnivora, 88 Phytophthora, 117, 120 Phytophthora capsici, 76 Phytophthora infestans, 66, 80, 85, 126, 130, 149, 151, 152 Phytophthora palmivora, 85 Phytophthora parasitica, 89 Pirimidin, 120 Plasmodiophora brassicae, 14, 47, 88 Poria hypolateritia, 86 Pospor, 89 Postulat Koch, 20, 135 Pratylenchus, 55 Prevost, 19, 25 Prinsip Pengendalian Penyakit Tanaman, 100 Proteksi, 101, 102 Pseudomonas, 133 Pseudomonas syringe pv. phaseolicola, 71 Pseudomonas syringe pv. tabaci, 71 Pseudopeziza trifolii, 142 Puccinia graminis, 77 Puccinia hordei, 70 Pyricularia grisea, 22 Pyricularia oryzae, 77, 83, 121, 142, 156 Pythium, 88, 117, 120 Quinon, 118 Radiasi, 87 Radopholus, 55, 56 Ralstonia, 133 Ralstonia solanacearum, 16, 88 Reaksi pertahanan nekrotik. See hipersensitif Resistensi, 93,101 Resistensi gen R, 94 Resistensi sejati, 93, 94 Resistensi vertikal, 94 Rhizobium, 41 Rhizoctonia, 89, 117, 119 Rhizoctonia solani, 109, 110, 142 Rhizoctonia, Sclerotium, 117

Cipta Ginting

201

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

INDEKS


Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

INDEKS Rhizopus, 118 Rhizopus stolonifer, 46 Rigidoporus lignosus, 117, 119 Roselliania arcuata, 86 S. griseus, 121 Saprofit, 41 Sapu setan, 18 Sclerospora maydis, 120 Sclerotinia, 117, 118 Sclerotium, 89, 118, 149 Sclerotium rolfsi, 88 See penyakit monosiklik”. See penyakit polisiklik”. Segitiga Penyakit, 10, 11, 59, 63 Senjata Kimia Patogen, 69 Senyawa Aromatik, 117 Septoria tritici, 142 Siklus penyakit. See daur penyakit Simbion, 41 Simbiosis, 41 Sintas, 46 Soybean mosaic virus, 133, See virus mosaik kedelai Sporadik, 58 Streptomyces, 121, 159 Streptomyces griseochromogenes, 121 Streptomyces kasugaensin, 121 Streptomyces scabies, 88, 89 Suhu, 85 Tanah, 87 Seori abiogensis, 18 Tetrahidron penyakit, 60 Theoprastus, 18 Tillet, 18, 25 Tilosis, 79 TMV, 21, 52 Tobacco mosaic virus. See TMV Toksin, 70 Triadimefon, 120 Trichoderma, 110 Trichoderma virens, 109 Triforin, 120 Ustilago maydis, 134 Ustulina deusta, 86 Vandarplank, 64 Variabilitas pada Tanaman, 92

202

Cipta Ginting

Venturia inaequalis, 149, 150 Verticillium, 46, 149 Verticillium dahliae, 65, 148 Verticillium lecanii, 109, 110, 111 virus, 36, 52 Virus mosaik kedelai, 133 Virus mosaik tembakau, 52 Watson dan Crick, 21 Whittaker, 26 witches’-brooms. See sapu setan Xanthomonas campestris pv citri, 77 Xanthomonas campestris pv. oryzicola, 156 Zat Pengatur Pertumbuhan. See ZPP ZPP, 72


Cipta Ginting menyelesaikan pendidikan S-1 dalam bidang Hama dan Penyakit Tumbuhan di IPB Bogor pada 1983. Ia tercatat sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Lampung sejak 1984. Pendidikan S-2 dan S-3 dalam bidang Penyakit Tumbuhan diselesaikannya masing-masing di University of Tennessee dan Clemson University, Amerika Serikat. Ia sudah menulis beberapa artikel ilmiah untuk jurnal ilmiah terakreditasi dan pernah juga menulis artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional. Selain itu, ia menulis diktat/ modul untuk perkuliahan di bidang penyakit tumbuhan. Ia pernah menjadi anggota American Phytopathological Society (1987-1988 dan 1990-1999). Sejak 1993, ia tercatat sebagai anggota Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI) dan sejak 2012 menjadi Ketua Komisariat Daerah Lampung PFI. Dalam bidang pendidikan, bukunya Kiat Belajar di Perguruan Tinggi diterbitkan oleh Penerbit ITB pada 1997 (edisi ke-1) lalu Gramedia Widiasarana Indonesia pada 2003 (edisi ke-2). Beberapa artikel opininya dimuat di beberapa surat khabar nasional pada 1994-1995. Penghargaan Mendiknas diperolehnya atas artikelnya berjudul Link and Match dalam Pendidikan Tinggi (Suara Pembaruan, 24/10/1994) dalam rangka Hardiknas 1995. Ia juga menerima tanda penghargaan dari Rektor Unila pada 1997 dan 2004 masing-masing sebagai dosen teladan II Fakultas Pertanian Unila dan dosen berprestasi I Unila. Penghargaan Mendiknas juga diperolehnya sebagai finalis dosen berprestasi tingkat nasional pada 2004. Cipta Ginting

203

Ilmu Penyakit Tumbuhan (Konsep & Aplikasi)

Tentang Penulis





Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.