Dibuai Kenyamanan, Dibesarkan Kebaikan

Page 1

Kian Marak, Stop Tawuran

Diterbitkan Oleh:

PT MEDIA EXSIS KREATIF

Pimpinan Perusahaan:

Yunani, S.E

Direksi:

Dety Saputri

Pimpinan Redaksi:

Mayasari

Wakil Pimred:

Siti Soimah

Penanggungjawab:

Ismail

Redaktur Pelaksana:

Sadam Maulana

Wartawan Palembang:

Reza Mardiansyah, Yudiansyah, Kiki Nardance, Ettri Puspita, Suci

Wartawan Pagar Alam:

Delta Handoko

Wartawan Muara Enim:

Refli Antoni

Wartawan Ogan Ilir:

Wiwin Arianto

Wartawan OKU Timur:

Aan

Wartawan Musi Banyuasin:

Hafis Alfangky, Andini Patricka Nora

Wartawan Empat Lawang:

Alfariski

Wartawan Banyuasin:

Irwan

Wartawan Lahat:

Ismail

Wartawan Ogan Komering Ilir:

Rasmiadi, Eman Saputra

Wartawan PALI:

Yoga

Admin:

Herlina Sri Nurliah

Keuangan:

Yunita, S.E

Marketing/Iklan:

Miska Rini

Creative Design/Layout

Inal Sanjaya

Percetakan:

CV. Studiokreasi Indo Citra

Alamat : Jl. Mayor Salim Batubara, Sekip Jaya, Kec. Kemuning, Kota Palembang, Sumatera

Selatan 30114

(IsiataukontenyangadadikoranFocusKinidiluar tanggungjawabpercetakan)

Alamat Redaksi:

Jalan Tegal Binangun RT. 20 Ruko No. 3. Kelurahan

Plaju Darat Palembang Sumatera Selatan

0711 – 5543339 focus.kini@gmail.com

Dibuai Kenyamanan, Dibesarkan Kebaikan

Anugerah yang normalnya akan disambut dengan gelak tawa bahagia dan titisan air mata mengharu biru. Sulit untuk membahasakan kegembiraan saat sang buah hati hadir ke dalam timangan dan membuka mata untuk mengisi hari-hari, serta bertegur sapa secara perdana kepada dunia fana. Para ayah tak pernah merasa ragu bergumul debu, menantang bahaya merintang atau mungkin membersihkan segala onak belukar tajam agar sang anak terhindar dari lapar, bahkan terlindung dari celaka, malang, nan petaka. Sedangkan para ibunda dengan limpahan cinta serta suburnya kasih dan rasa sayang yang menjulang, menjadikan jasa-jasanya tak dapat terbalas. Siapa mampu bertarung-tanding atas pertaruhan nyawa dan raga tatkala persalinan demi kelahiran sang penerus nasab ? Demikian alasan mengapa anak yang harus dewasa tanpa satu atau mungkin kedua orang tua (yatim piatu), menjadi tugas sosial yang diperintah agama agar masyarakat melindungi dan mengasihi mereka. Begitupun kita amat percaya, kedurhakaan anak apalagi kepada sang ibunda akan berbalas hukuman yang timbul dari kekeramatan sosoknya.

Kita umpamakan si buah hati tidak menemukan kesulitan apapun dalam hidupnya, tak lapar akan makanan, tak kurang kasih sayang, serta tercukupi segala aspek kemakmurannya. Tentu tiada orang tua mengharapkan di buah hati, cahaya bagi pandangan matanya, malah menjadi tontonan publik, terbelenggu tangan dan terbekuk kebebasannya. Ia “dianugerahi” baju tahanan sebagai “penghargaan” atas kemasyhurannya menganiaya anak manusia lain sampai terkulai lemas tak sadarkan diri di rumah sakit selama beberapa bulan. Orang tuanya disoroti lalu menjadi target empuk untuk dikejar, diburu kemunculannya, dijejak keberadaannya sampai dikuliti untuk dikuak rahasianya. Mau dikata apa ?, sang ayah ternyata menjadi punggawa pada sebuah instansi. Kebetulan lainnya ialah dia juga berpredikat “Oknum”, panggilan untuk segelintir orang yang tidak beruntung dan gagal menyembunyikan cacat dalam mengabdi pada negeri. Banyak suara sumbang pada pemakaian kata “Oknum”, karena dianggap menjadi “sekoci” untuk mencari selamat masing-masing dari kapal yang akan karam oleh rapuhnya penopang meritokrasi, toh kata ini mesti kita pakai seiring tuntutan untuk selalu Husnudzan (berprasangkan baik), bahwa kapal itu tetap akan dinakhodai dengan penuh integritas menuju destinasi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Suatu dinamika sosial kemasyarakatan akibat perkembangan pesat teknologi, yang mana hal ini juga memungkinkan untuk berdampak luas hingga ke ranah politik. Ialah merebaknya berita-berita tentang kelakuan para putra dan putri dari orang-orang yang diserahi amanat mengurus negeri. Seperti rasa jengah yang tidak terkira, rakyat tak lagi ragu dan takut untuk mengabadikan tandang-tanduk penuh kejemawaan, meluaskannya hingga tak satupun lubang semut di bumi pertiwi luput dari kabar itu. Sejumlah kasus bahkan menunjukkan saat kabar kepongahan telah masyhur didengar, orang tua mereka harus berlumur getah dari buah yang dipetik oleh anak-anaknya; mereka dipanggil untuk diperiksa kinerjanya, digali kekayaannya, serta ditelusur akar asal muasal memperolehnya. Hanya tinggal waktu saja untuk mengungkap apakah ia “sehat-sehat” saja, ataukah terdapat kejanggalan yang membuatnya akan dikirim ke kursi pesakitan.

Ketika Indonesia menyaksikan proses reformasi dengan tumbangnya Orde Baru (Orba) pada tahun 1998, ada sebuah isu penting dalam agenda era baru tersebut ialah tentang bagaimana menangani budaya paternalistik yang menyebabkan

terjadinya “Kegagalan Birokrasi” (Bureaucracy Failure) akibat hegemoni praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kegagalan tersebut akan terus memelihara kanker despotisme yang menggerogoti penyelenggaraan negara termasuk pada sektor pelayanan publik. Penyebab dominan dari persoalan sistemik ini ialah fungsi kontrol otoritas publik terhadap pemerintah dilemahkan. Dalam pandangan dan keyakinan ortodoks sekira dua dasawarsa lalu, kehadiran Non Government Organization (NGO) atau kita jamak mengenalnya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dipercaya akan menjadi “obat” bagi “Bureaucracy Failure.” Apakah taktik masyarakat ramai dalam “memviralkan” kelakuan kurang pantas para pejabat publik dan keluarganya tergolong sebagai “evolusi tingkat lanjut” dari peran kontrol publik oleh NGO ? Butuh riset mendalam untuk menjawabnya. Kita singkirkan dahulu perdebatan dalam menyoal trend viral-memviralkan seperti di atas. Tentunya tidak ada reaksi tanpa aksi yang mengawali. Pertanyaannya apakah sikap masyarakat yang mulai berani itu, secara mutlak disebabkan kemajuan teknologi dalam perbuatannya ? Ataukah sesungguhnya keberanian itu bersandar pada nilai-nilai luhur yang telah lama terbentuk ? Jauh sebelum masa reformasi, bahkan sebelum Indonesia merdeka, terdapat sebuah karya berjudul Serat Wedatama yang ditulis oleh KGPA

Sri Mangkunegara IV (1809-1881).

Wedatama ditulis dalam bentuk tembang yang berisi ajaran filsafat Jawa yang masih sangat baik untuk menjadi pedoman hidup hingga masa kini, salah satunya ialah dalam mendidik anak. Satu baitnya berbunyi : “Sesungguhnyalah orang yang masih muda itu ilmunya masih terbatas dan sederhana. Setiap kali yang ia andalkan ayah-ibunya, yang pandai lagi pula keturunan orang besar. Meskipun itu benar, tetapi itu kan ayahnya. Bagaimana dengan ia sendiri ? Bergaul dalam masyarakat saja belum, apa lagi mengetahui inti dari tata susila dalam pergaulan, lebih-lebih inti sari agama suci” (Bait 1.07).

Satu bait dari Serat Wedatama seperti telah mewakili beberapa peristiwa dari pelosok negeri. Mungkin ini dapat menjadi penjelas motif seorang pemuda yang juga anak pembesar, dengan begitu energik dan agak hilang kewarasan, menganiaya pemuda lain yang telah tersungkur dengan menendang kepalanya. Dalam sebuah karya berjudul Lakon Wahyu Makutharama yang telah lama menjadi referensi kepemimpinan bagi masyarakat Jawa, dikenal konsep ‘Astabrata’, atau ‘Delapan Prinsip’. Salah satu prinsip yang terkait dengan tema ini ialah ‘Laku Hambeging Samodra’, yakni pemimpin atau para pemegang jabatan di tengah masyarakat harus mempunyai sifat pemaaf sebagaimana samudera raya yang siap menampung apa saja yang hanyut dari daratan. Aplikasinya ialah dengan sikap ‘Aja Dumeh’ (jangan mentang-mentang) atau tidak sombong dan congkak, berperilaku baik, tertib berbicara, serta menghindari ucapan kasar,

durhaka, bohong, cercaan, dan umpatan. Dari ucapannya saja akan dapat menjadikan orang lain senang dan enak. Hanya dengan satu prinsip itu kita bisa memperoleh pemahaman tentang akar masalah mengapa tindak penganiayaan yang begitu keji, dapat dilakukan seorang anak dari keluarga berada, memiliki jabatan, serta bukan tergolong tidak berpendidikan. Apabila seorang pejabat publik diharuskan berperilaku baik bahkan dalam bentuk ucapan, namun anaknya tidak dengan segan laki melakukan kekerasan yang berisiko menyebabkan kematian, besar kemungkinan terdapat kesalahan dalam pola asuh sang anak. Hal itu tergambar dari watak dan perilaku kekerasan yang dilakukan, menggambarkan bahwa anak itu masih dikuasai oleh jenis terendah dari empat tingkatan nafsu dalam konsep Sufisme Jawa . Nafsu tersebut ialah “Ammarah” dengan perlambang watak Dasamuka yang mengajak pada kejahatan (Dur Angkara), serta sifatnya ‘Adigang’ (mengandalkan kedudukan), ‘Adigung’ (mengandalkan kepandaian), dan ‘Adiguna’ (mengandalkan keberanian / kekuatan).

Meski si anak telah dicukupi segala kebutuhannya, diibaratkan ia “dibuai dengan kenyamanan” dalam naungan pengasuhan orang tua, keadaan itu tidak menjamin akan menghasilkan pribadi yang elok tatkala telah tumbuh dewasa. Maka, melihat kasus di atas, salah satu kewajiban pokok yang harus dilaksanakan para orang tua adalah memastikan bahwa anak-anak mereka turut “dibesarkan (oleh nilai-nilai) kebaikan.” Bukan tas modis, baju-baju trendy atau mobil-mobil mewah serta perhiasan mahal yang dimaksudkan di sini. Melainkan pengejawantahan dari konsep Astabrata, yakni ketika orang tua tersebut menjadi pemimpin atau memiliki jabatan, ia tidak ragu dalam menjaga supremasi hukum, bahkan jika yang melanggar hukum adalah saudara atau familinya, ia akan terima jika mereka dihukum saat terbukti bersalah. Tidakkah publik negeri ini telah merasa ‘kenyang’ ketika menyaksikan drama panjang persidangan suatu kasus, karena pelakunya melancarkan skenario licik dengan memanfaatkan jabatannya agar ia tidak didakwa bersalah ?

Sedikit renungan mengenai isu-isu kontemporer yang beredar sekarang, termasuk pembacaan kembali atas warisan nilai-nilai kemuliaan dari para leluhur mesti melengkapi pemahaman kita. Fakta bahwa masyarakat kita tengah bertransformasi menuju kesadaran akan pentingnya pengawasan oleh mereka sebagai otoritas publik, demi terselenggaranya kehidupan berbangsa yang sehat. Tandanya ialah bahwa tidak ada siapapun yang diserahi kewenangan, justru mengonversinya menjadi kekuasaan represif dan menafikan rakyat. Padahal rakyat adalah alasan serta tujuan akhir mereka mengabdi dengan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran. Runtuhkanlah dinding yang di dalamnya masih terdapat kecongkakan maupun perasaan lebih agung, mari kita perkuat solidaritas antar sesama elemen bangsa. Semuanya dapat kita mulai dari rumah kita, dari bimbingan yang kita terapkan dalam keluarga kita masing-masing.

Sumber :

• Anshoriy CH, H.M. Nasruddin, Neo Patriotisme : Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : LKiS, 2008.

Jihad, R.P.A. Wazirul. (2013). Mengawal dan Menegakkan Good Governance : A Reinventing NGO’s Role. Profil Raden Mas Celleng Institute (RMCI), h. 2.

• Mangkunegara IV, S.P. Adhikara (Penj.), Serat Wedatama, Yogyakarta : Bina Usaha, 1983.

Santosa, Iman Budhi, Spiritualisme Jawa : Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran, Yogyakarta : Diva Press, 2021.

• Susetya, Wawan, Kepemimpinan Jawa, Yogyakarta : Narasi, 2007.

• Dll.

2 KOLOM
KORAN MINGGUAN EDISI 92 MINGGU KEDUA JUNI 2023
Foto Cover: Ilustrasi Tawuran Sumber: istimewa Oleh: Rifkhi Firnando, S.Pd. (Guru IPS SMPN 1 Sembawa) & Arafah Pramasto, S.Pd. (Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’)
Amankan
Jati
16 HALAMAN EDISI 92 Minggu Kedua Juni 2023 Harga Bundling: Rp.15.000,PIJAT
11 Ton Solar Oplosan Corner, WIsata Kuliner Baru di Palembang
BAYI MENINGKATKAN PERTUMBUHAN

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.