Iran-Amerika, Selepas Empat Dasawarsa Ketegangan [Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020]

Page 1

Artikel Dimuat Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020 Halaman 3


Artikel Dimuat Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020 Halaman 3 Iran-Amerika, Selepas Empat Dasawarsa Ketegangan (Versi Berkutipan) Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd. (Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Anggota Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’) Telah lama publik di Indonesia menyaksikan pemberitaan internasional tentang perseteruan sengit antara Amerika Serikat, Negara Adidaya, melawan negeri para mullah yang kesohor dengan proyek pengembangan nuklirnya, Iran. Adu narasi dari kedua negara ataupun opini-opini yang mendukung masing-masing pihak ialah hal lumrah sejak beberapa dekade. Mungkin pasca meletusnya Perang Saudara Syria – kini versi Arabnya yakni ‘Suriah’ lebih sering dipakai – semenjak 2011, yang mana Iran terlibat membantu rezim Ba’ath, pandangan soal Iran cenderung menjurus kepada tendensi kemadzhaban Sunni-Syiah. “Daya Tarik” dari isu-isu soal “golongan mana yang sesat” dan “golongan mana yang ‘paling’ benar”, lebih sering bersliweran memenuhi laman media sosial. Kembali pada masalah Iran, terbunuhnya Mayor Jenderal Qassem Soleimani 3 Januari 2020 lalu, seorang petinggi Sepah-e Pasdaran-e Enghelab-e Eslami yang lebih dikenal dengan “Sepah” atau “Korps Pengawal Revolusi Islam Iran”, yang didalangi oleh Amerika Serikat dengan mengebom rombongan Soleimani melalui drone dekat Bandara Internasional Baghdad, tak lain adalah kelanjutan pertarungan hegemoni politik antara dua negara tersebut. Bukan hanya ratusan ribu orang yang berduka atas tewasnya Soleimani di Tehran, bahkan detiknews.com (9/1) memberitakan adanya sejumlah karangan bunga yang dikirimkan pada kedutaan besar Iran di Jl. HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.[1] Presiden AS, Donald Trump, yang mengakui peran AS dalam pembunuhan Soleimani, beralasan bahwa sudah terlalu lama, tepatnya sejak 1979, negara-negara telah mentolerir perilaku destruktif dan destabilisasi Iran di Timur Tengah dan sekitarnya.[2] Memang benar, tahun 1979 adalah hulu permasalahan kedua negara itu. Tahun itu Shah Muhammad Reza Pahlavi yang dekat dengan Amerika, berhasil digulingkan dalam sebuah “Revolusi Islam” yang dipatroni oleh ulama kenamaan, Ayatollah Ruhullah Khomeini. Buku berjudul Radikalisme di Dunia Islam yang ditulis oleh Deny Suito dan diterbitkan oleh Center for Moderate Muslim (CMM) menyebut Khomeini yang mengubah secara total pola hidup masyarakat Iran, dari hidup kebarat-baratan (era Pahlavi-Pen) ke kehidupan yang religius, sangat dicintai dan dipatuhi rakyatnya, sekalipun dia tidak diyakini


Artikel Dimuat Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020 Halaman 3 sebagai manusia yang ma’sum (suci dan terpelihara dari berbuat dosa). Ketika dia meninggal dunia, berjuta-juta rakya Iran mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di pekuburan Behest-e Zahra, di luar kota Tehran.[3] Perseteruan Amerika Serikat pada Iran bertambah tatkala para demonstran, yang kebanyakan mahasiswa menduduki Kedubes AS pada 4 November 1979,[4] dan menyandera orang-orang di dalamnya selama 444 hari. Setelah tuntutan para demonstran, utamanya adalah pencairan aset Iran yang dibekukan di bank-bank AS, ke-52 sandera akhirnya dibebaskan 20 Januari 1981. Pastinya perseteruan tidak sampai di titik itu saja. Irak, negara tetangga Iran yang sebenarnya telah memiliki hubungan agak renggang dengan Amerika pasca nasionalisasi minyak tahun 1972 yang diinisiasi oleh Wasekjen Partai Ba’ath Irak, Saddam Hussein. AS tetap bekerjasama dengan Saddam (kemudian menjadi diktator Irak) dalam perang Irak-Iran (1980-1988), semata-mata karena kebencian AS terhadap Khomeini, demikian tulis Zaenal Arifin dalam Biografi Saddam Hussein : Inspirasi Perlawanan terhadap Amerika Serikat.[5] Ketegangan kedua negara masih belum juga reda, bahkan setelah Ayatollah Khomeini wafat. Seyyed Ali Hosseini Khamenei, ulama kelahiran Khorasan, 17 Juli 1939, merupakan sosok yang telah aktif dalam politik menentang rezim Pahlavi yang pro-AS sejak 1963. Ia juga seorang pengajar skolah agama di Mashhad, dan pernah menduduki kursi kepresidenan Iran yang ketiga pada 2 Oktober 1981 sampai 2 Agustus 1989. Ayatollah Ali Khamenei lalu menduduki posisi Rahbar atau “Pemimpin Agung Revolusi Iran” menggantikan Ayatollah Ruhullah Khomeini sejak 1989 hingga sekarang. Genap 20 tahun di masa kepemimpinan Khamenei sebagai Rahbar, Iran menggelar Pemilu 2009 yang menyisakan luka mendalam karena terjadi bentrok antara pendukung calon presiden serta isu kecurangan yang dilakukan kubu incumbent, yang sebenarnya “dikompori” oleh media-media asing.[6] Khutbah Jumat yang disampaikan Ayatollah Ali Khamenei pada 19 Juni 2009 di Tehran dengan berani memprotes AS serta para pejabatnya yang mengaku “bersimpati” pada masalah “HAM” di negeri Iran. Beliau “menelanjangi” wajah AS dengan sindiran : “Saya ingin menanyakan bagaimana para pelaku kriminal (AS) yang telah menghancurkan Afghanistan dan Irak serta membunuh rakyat kedua negara tersebut serta mendukung rezim Zionis (Israel) dari segi materi dan politik, bagaimana ingin berbicara tentang HAM ?.”[7] Ketika dunia telah melewati dekade pertama abad ke-21, dunia diguncang oleh eskalasi perlawanan rakyat di negara-negara Timur Tengah terhadap sejumlah rezim yang


Artikel Dimuat Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020 Halaman 3 berkuasa dan dianggap menindas. Memang “api” perlawanan yang dikenal sebagai The Arab Spring itu diawali dari negara Tunisia yang kemudian menumbangkan diktator Ben Ali, namun dampaknya meluas seantero kawasan. Salah satu negara Arab yang terguncang adalah Libya di Afrika Utara sejak Februari 2011. Muammar Khadafi, sang diktator Libya yang nantinya tewas di tangan pemberontak pada 20 Oktober 2011 saat terjadi perang saudara di negerinya memang terkenal kontroversial.[8] Publik pernah dibuat berpikir ketika dirinya mulai “bersekutu” dengan Amerika pada dekade 1990-2000, saat itu sepertinya bukan Khadafi yang keras menentang Barat. Tapi pada 2011, Khadafi seperti menemukan dirinya lagi, ia kembali menjadi penentang utama AS seperti yang pernah ia lakukan pada dekade 1970-1980.[9] Sayid Hasan Nasrullah, tokoh pemimpin kharismatik kelompok perlawanan Hezbollah di Lebanon pada pembukaan konferensi bertema “Fikih Pembaharuan dan Intelektual dalam Pandangan Imam Khamenei” di Beirut tanggal 6 Juli 2011, memaparkan pandangannya setelah mendapat kesempatan berbincang dengan Khamenei beberapa tahun sebelumnya. Pidato Nasrullah yang berjudul “Imam Ali Khamenei & Pembaharuan Pemikiran” mengakui bahwa sejak dekade sebelumnya kawasan Timur Tengah menghadapi perang yang barangkali paling berbahaya sepanjang sejarah karena Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, para penguasa dunia berikut semua militer, pasukan keamanan, dan intelijen mereka, juga media, teknik, finansial, dan berbagai kemampuan ekonomi dan perang psikologis telah datang untuk mengontrol kawasan itu.[10] Seturut dengan pidato Nasrullah, Ayatollah Ali Khamenei dalam kesempatan lain pernah memberikan pidato pada Konferensi Kebangkitan Islam di Tehran 17 September 2011, sebulan sebelum kematian Khadafi. Dengan tegas Khamenei memprotes intervensi AS dan NATO (North Atlantic Treaty Organisation) di Libya. Ia memuji keberanian rakyat dalam perjuangannya melawan kediktatoran Khadafi, namun bagi Khamenei jika tak ada intervensi militer AS dan NATO, mungkin saja rakyat agak sedikit terlambat dalam memperoleh kemenangannya, sebagai gantinya mereka tidak harus membayar pelbagai infrastruktur yang hancur; pelbagai jiwa tak berdosa dari kaum wanita dan anak-anak yang terbunuh. Baginya, “Musuh yang tahunan bersama dan bergandengan tangan dengan Khadafi”, yakni Amerika Serikat, tidaklah berhak untuk campur tangan di negeri yang teraniaya ini (Libya).[11]


Artikel Dimuat Palembang Ekspres Cetak 20 Januari 2020 Halaman 3 Berakhirnya tahun 2019 lalu telah menandai bahwa telah lewat empat dasawarsa / 40 tahun ketegangan antara Amerika Serikat “Sang Adidaya” dengan Iran “Sang Penantang.” Apakah kematian Soleimani akan menjadi penanda baru bagi pertikaian kedua negara dengan pola yang lebih terang-terangan dengan kontak senjata langsung, yang kemudian melibatkan sejumlah negara sekutu masing-masing dan menjerumuskan dunia pada jilid ketiga perang dunia (seperti yang dikhawatirkan) ? Ataukah perang masih tetap saja berkutat di Timur Tengah, lingkup geopolitik yang telah sekian lama menjadi gelanggang pertemuan kompetisi hegemoni bangsa-bangsa dunia ? Bisa pula pertikaian akan kembali dibawa ke “meja” forumforum internasional dengan adu narasi yang sudah-sudah ! Apa pun itu, yakinlah bahwa pertempuran hanya akan menyisakan kepedihan bagi umat manusia. Sumber : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Karangan Bunga Duka Atas Tewasnya Soleimani Berjejer di Kedubes Iran di Jakarta, detiknews.com 9 Januari 2020. Blake, Aaron, “Transcript of Trump’s Iran Speech, Annotated”, dimuat The Washington Post 8 Januari 2020. Suito, Deny, Radikalisme di Dunia Islam, Jakarta : Center for Moderate Muslim (CMM), 2005. Hlm. 123-124. Suryontoro, S., Menyingkap Tabir Kejahatan Rezim Shah Iran, Surabaya : Bina Ilmu, 1980. Hlm. 73. Arifin, Zaenal, Biografi Saddam Hussein : Inspirasi Perlawanan terhadap Amerika Serikat , Yogyakarta : Narasi, 2007. Hlm. 54. Muhammad, Ardison, Iran : Sejarah Persia & Lompatan Masa Depan Negeri Kaum Mullah, Surabaya : Liris, 2010. Hlm. 195. Kiswara, Suwaka, Pidato-pidato yang Mengguncang Dunia, Yogyakarta : Buwana Pustaka, 2010. Hlm. 45-46. Pramasto, Arafah, dkk., Makna Sejarah Bumi Emas (Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-tema Lainnya), Bandung : Ellunar Publisher, 2018. Hlm. 213. D.H., Agung, Khadafi : Anjing Gila dari Sahara, Yogyakarta : Narasi, 2011.Hlm. 105. Nasrullah, Sayid Hasan, Imam Ali Khamenei & Pembaharuan Pemikiran, Jakarta : Nur Al-Huda, 2013. Hlm. 27. Khamenei, Ayatollah Ali, Pesan Pemimpin Kaum Muslimin Sedunia Imam Khamenei pada Konferensi Kebangkitan Islam (Supreme Leader’s View of Islamic Awakening), pidato dicetak oleh International Affairs Motahari Cultural and Scientific Foundation, Tehran 17 September 2011, diterjemahkan oleh Atase Kebudayaan Kedutaan Republik Islam Iran di Jakarta. Hlm. 6-7.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.