Buku 'Makna Sejarah Bumi Emas : Kumpulan Artikel Sumatera Selatan dan Tema-Tema Lain'

Page 1

(Kumpulan Artikel Sumatra Selatan dan Tema-Tema Lainnya)

Oleh:

Arafah Pramasto, S.Pd. Dibantu oleh:

Sapta Anugrah, S.Pd. Rifkhi Firnando, S.Pd. Noftarecha Putra, S.Pd. Tedi Suandika, S.Pd. Maulana Muhammad, S.Pd.


Makna Sejarah “Bumi Emas� Penulis Arafah Pramasto, S.Pd Dibantu Oleh: Sapta Anugrah, S.Pd. Rifkhi Firnando, S.Pd. Noftarecha Putra, S.Pd. Tedi Suandika, S.Pd. Maulana Muhammad, S.Pd. Penyunting Tim Ellunar Publisher Penata Letak Niken Hapsari Cahyarini Pendesain Sampul Hanung Norenza Putra Ellunar Publisher Email: ellunar.publisher@gmail.com Website: www.ellunarpublisher.com Bandung; Ellunar, 2018 xxx+216hlm., 14.8 x 21 cm ISBN: 978-602-5514-71-5 Cetakan pertama, Februari 2018 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal dua: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ii


Untuk siapa pun yang menjadi bagian hidup kami Bagi pembaca budiman yang baik hati Maafkan kurangnya karya ini Demikianlah ikhtiar jadi Semoga kesejarahan diingat abadi Sebagai perbendaharaan lama pedoman budi Karena hidup lanjut bertali Agar tak tersandung melangkah nanti Biar tak suntuk di waktu pagi Tiada salah mengingat lagi

iii


Kata Pengantar Belajar dan berusaha, dua kata tersebut yang mengawali penulisan buku ini. Mungkin di antara para pembaca budiman akan ada yang bertanya, “Siapa saja penulis buku ini?”, “Apa peran mereka sehingga berani menulis buku ini?”, “Apa posisi mereka?”, dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan yang akan terbesit dalam benak pembaca. Belum lagi ketika membuka bagian identitas buku akan terpampang sekian banyak nama dari tim penulis, semuanya bergelar strata 1. Kami memang masih belum menjadi para sejarawan, budayawan, ataupun para pemikir ulung yang telah menjadi kenamaan dan dikenal seantero negeri, bahkan pada tingkat provinsi pun belum. Tapi bagi para pembaca budiman sekalian, kami tidak akan berlama-lama menggantung, karena kami akan menjawabnya dalam bagian kata pengantar “ringan” yang kami buat. Dua kata awal di atas, “belajar” dan “berusaha” kembali lagi akan digunakan. Kami adalah sekelompok orang yang telah menjadi alumni dari Program Studi Pendidikan Sejarah. Secara kebetulan dapat saling mengenal dan akhirnya menjalani hidup sebagai mahasiswa dalam satu rumah kontrakan semasa kuliah. Fase itu turut pula mengikat kami dalam kegiatan-kegiatan belajar kelompok dengan saling membantu satu dan lainnya. Tak jarang iv


juga semangat hingga ego membawa kami semua untuk berbincang tentang berbagai tugas perkuliahan, mengulas kembali diskusi kelompok yang telah dilaksanakan dalam kelas, maupun membicarakan tentang polemik-polemik hingga saling berdebat tentang kontroversi kesejarahan yang kerap ataupun yang jarang diulas. Mengingat bahwa almamater kami berada di Provinsi Sumatra Selatan, kerap kali tema-tema kesejarahan lokal menjadi hidangan utama yang tersaji dalam interaksi-interaksi tersebut. Historiografi (penulisan sejarah) dalam tingkat lokal merupakan subbagian dari pada Historiografi Nasional, kami merasa hal ini penting untuk selalu dikaji. Seolah diskusi-diskusi hingga perdebatan tentang kesejarahan Sumatra Selatan yang telah dilalui justru menjadi pemersatu beragamnya pemikiran kami. Tak kalah penting dari itu, latar belakang etnis kami pun berbeda: ada yang berasal dari Madura, Batak Karo, suku Ranau, suku Semendo, suku Komering, dan suku Kuang. Inilah titik awal yang kami sebut sebagai “belajar� dan menjadi lintasan motivasi kami berikutnya. Setelah lulus menempuh pendidikan tinggi, hingga kini belum ada dari kami yang memilih untuk mengabdi sebagai guru sejarah. Bukannya enggan, jalan hidup setiap orang tidak dapat dikooptasi oleh sekadar latar belakang keilmuan yang ditempuh. Mungkin semangat muda yang masih seterang suluh damar belum v


pula padam dalam jiwa, maka kami masih memilih untuk mencari pengalaman yang lebih luas. Kami menjadi teringat apa yang ditulis oleh Tan Malaka dalam buku Semangat Muda, kurang lebih jika disesuaikan dengan bahasa kekinian adalah, “Makin gelap jalan di depan, makin terang suluh kita di belakang.� Dengan masih samarnya alur nasib dalam pencarian ini, tak jarang ada saja ranah-ranah yang ditemukan akibat dari cahaya suluh tersebut. Kami pun berpencar meniti jalan sesuai dengan arah sinar dari masing-masing suluh yang dipegang. Ada yang memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, ada yang senang menekuni profesi sebagai penulis lepas, ada pula yang menjadi operator Dapodik, dan lain sebagainya. Mungkin itulah ranah-ranah yang tersingkap sejauh perjalanan yang masih pendek ini. Akan tetapi, sebagai sekumpulan mahasiswa yang pernah merasakan berat beban tugas perkuliahan yang sama, nyatanya ada saja yang masih mengikat kebersamaan kami dalam meretas

jarak

hingga

keterbatasan

waktu

yang

tengah

memisahkan, yakni kajian sejarah. Dalam bermacam kesempatan bersua maupun sekadar saling berkabar melalui layar, kami saling menyempatkan waktu untuk berdiskusi tentang subjek yang sama-sama kami senangi. Tercetus pula pertanyaan yang fundamental tentang “Apa kontribusi kita sebagai alumni Program Studi Pendidikan Sejarah di tengah kesibukan ini?� Akhirnya

vi


tergagaslah

ide

untuk

mengolah

diskusi-diskusi

tentang

kesejarahan dalam bentuk artikel-artikel. Di Sumatra Selatan sendiri terdapat banyak media-media lokal cetak maupun online yang mempunyai perhatian besar pada bidang kesejarahan dengan bersedia memuat beberapa hasil tulisan kami untuk dipublikasi. Hal itu dapat tergolong positif jika mengingat citra yang beredar di tengah masyarakat awam, apalagi saat harus menerangkan latar belakang pendidikan sebagai “mahasiswa pendidikan sejarah”, sering kali direspon dengan guyonan, “Ooh, calon Pak Meganthropus, dong …” ataupun dengan ‘jujur’ berkata, “Kalau belajar sejarah, saya ngantuk Pak.” Tentu tidak perlu kiranya menanggapi hal itu dengan emosi, untuk itu kami pun berusaha agar tulisan-tulisan tersebut tidak terlalu panjang dan dapat menjadi refleksi pada masalah-masalah kontemporer. Kumpulan artikel sejarah yang dimuat dalam buku ini semuanya telah dimuat di berbagai media seperti yang dijelaskan di atas. Tak lupa kami sampaikan rasa terima kasih kepada mediamedia lokal seperti Tribun Sumsel, Beritapagi, Pos Metro Prabu, Ampera.co, Sriwijaya Online, Sumatra News dan lain-lain atas penerimaannya pada tulisan-tulisan kami. Namun, artikel-artikel tersebut tidak semuanya dapat menguak kesejarahan Sumatra Selatan secara holistik karena pendekatan yang dipakai cenderung tematis. Sebisa mungkin kami menyusunnya secara vii


kronologis berdasarkan periode inti dari kajian yang ada, oleh karenanya akan pembaca temukan rentang waktu yang tumpang tindih maupun pengulangan fragmen kajian, hal itu terjadi karena setiap artikel membutuhkan alur dalam elaborasinya. Selain mengenai kajian sejarah Sumatra Selatan, kami ikut sertakan beberapa artikel di luar lingkup inti sejarah lokal kawasan ini. Tulisan-tulisan yang menuturkan masalah timah Bangka, sejarah Madura (secara khusus penulis sampaikan terima kasih pada Majalah Mata Madura yang berkenan memuat), ataupun Perang Sunggal di Sumatra Utara (kami sampaikan pula rasa hormat pada Media Batakpedia yang telah mempublikasinya) diintegrasikan pada tema ‘Lain-Lain’ bersamaan dengan kajian sejarah nasional. Artikel kesejarahan di luar masalah keindonesiaan diikutkan pula dalam buku ini dan dapat ditemukan dalam subbagian (kami sebut ‘bilik’) Internasional. Demikian, dengan terbitnya buku ini maka kami dapat menyebutnya sebagai bagian dari ‘berusaha’. Berusaha untuk tetap berkontribusi dalam bidang kesejarahan meskipun kami mungkin hanya ‘pemeran pinggiran’ dan sekadar menjadi komponen-komponen picisan dalam bangunan kesejarahan yang megah. Kami berharap agar para pembaca dapat menjadikan buku ini sebagai bacaan di waktu luang, di tengah waktu sengang yang tak ada salahnya mengingat kembali masa silam untuk memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu, buku ini kiranya

viii


jangan dijadikan sebuah acuan otoritatif, karena kami selaku tim penulis―sebagaimana

yang

sudah-sudah

dipaparkan

di

atas―belum tergolong sebagai sejarawan dan memang tidak dalam maksud kami menuliskannya untuk ‘menggurui’ sesama, kami sadar bahwa hasil dari jerih upaya ini masih jauh dari sempurna. Sebaliknya, tim penulis berharap dengan karya kecil ini bisa memotivasi siapa pun untuk menulis kesejarahan, mengkajinya dengan berbagai pendekatan, dan memulainya dengan

mengetahui

kesejarahan

daerah

masing-masing.

Pungkaslah pengantar sederhana ini diiringi harapan agar para pembaca budiman memperoleh manfaat. Terima kasih.

Palembang, 25 Desember 2017 Tertanda, Tim Penulis

ix


Foto Prasasti Telaga Batu. Sumber: Buku Profil Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Telaga Batu merupakan salah satu bukti penanda otentik bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang. Berasal dari abad ke-7 Masehi, Telaga Batu secara fisik memiliki ukutan tinggi 56 cm, lebar 148 cm, dan ditemukan di situs Sabokingking 3 Ilir Palembang. Berbahasa Melayu Kuno dengan huruf pallawa, prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu dengan dihiasi tujuh kepala ular kobra ini berisi sumpah setia baik para pejabat kerajaan, kerabat raja, para pekerja, dan bahkan hamba raja Sriwijaya. Bagi yang melanggar sumpah ini akan terbunuh oleh kutukan. Bentuk prasasti yang dihiasi ornamen ular serta cerat di bawahnya diduga dipakai dalam ritual “Minum Sumpah� yakni 7


sebuah prosesi saat air dituangkan ke batu dan lalu diminum sebagai sumpah setia. Hasil dari monumen kesetiaan itu diperoleh seabad sesudahnya yakni tatkala pada abad ke-8, kekuasaan Sriwijaya telah berekspansi sampai ke wilayah Semenanjung Malaya serta Tanah Genting Kra di Thailand selatan dengan bukti keberadaan Prasasti Ligor tahun 775 M. Kejayaan berlanjut, Balaputradewa yang memerintah sekitar tahun 850 M, nama Sriwijaya juga dikenal sebagai “Suvarnabhumi” yang artinya “bumi emas”. Penyebutan itu terlihat sebagai sebuah pencapaian ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang semakin maju.

Gambar Luas Kerajaan Sriwijaya di Era Kejayaannya. Sumber: Buku Museum Sultan Mahmud Badaruddin.

8


Oleh: Tedi Suandika, S.Pd. & Arafah Pramasto, S.Pd.

Dalam tulisan Ki Sabdacarakatama yang berjudul Ensiklopedia Raja-Raja Tanah Jawa dikisahkan bahwa Sultan Agung yang berkuasa tahun 1613-1645, pernah meminta ketertundukan Palembang pada kuasa Mataram Islam sembari menuntut upeti tahunan beserta gajah. Sebelum Mataram berkuasa, Palembang diperintah oleh keturunan dari Ki Gede Ing Suro, bangsawan Demak yang mengungsi setelah terjadi perang melawan Pajang. Bahkan sebelum kedatangan Islam, dalam buku Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa karangan J.J. Ras dikisahkan bahwa Majapahit pernah mengirim ekspedisi militer untuk menghukum Palembang yang ingin lepas dari kekuasaannya pada tahun 1377. Tulisan ini tidak akan mengkaji secara umum tentang pengaruh pada budaya Palembang sebagai akibat dari hegemoni Jawa. Namun di sini akan sedikit diulas tentang kisah 28


pertempuran tahun 1659 antara kerajaan Palembang yang menjadi bawahan Mataram Islam melawan VOC. Perang 1659 ikut memberikan sedikit informasi mengenai pengaruh Mataram Islam dalam aspek kemiliteran Palembang.

Tahun 1659: Palembang Melawan VOC dan Pengaruhnya Tanggal 4 November 1659 pecah peperangan antara Palembang melawan VOC yang dipimpin Laksamana Joan van der Laen. Peperangan ini dipicu oleh sebuah tragedi saat wakil dagang VOC bernama Ockerz yang dikenal licik dan sombong terbunuh bersama 42 pasukannya di kapal mereka, Jactra dan Wachter. Serangan VOC mengakibatkan Keraton Kuto Gawang dibakar habis, demikian juga Kuto maupun pemukiman penduduk Portugis, Cina, Arab, dan bangsa lainnya di seberang Kuto. Pangeran Sido Ing Rajek mengungsi ke pedalaman dan kekuasaannya berpindah ke adiknya yakni Pangeran Ratu Ki Mas Hindi. Kota itu akhirnya dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan

kemudian dilakukan lagi pembangunan-

pembangunan ulang. Ki Mas Hindi berusaha mengikat lagi hubungan dengan Mataram, negeri yang seharusnya melindungi Palembang. Namun justru penghinaan yang didapat oleh Palembang. Bagi Ki Mas Hindi yang merasa tersinggung, inilah waktunya untuk memutus hubungan sosio-kultur maupun ideologis Palembang dan 29


Mataram. Lagipula tidak terlihat adanya bantuan nyata dari Jawa saat Palembang mengalami serangan dari VOC. Kini raja Palembang sederajat dengan sultan Mataram, sehingga gelar yang dipakai adalah ‘Sultan’. Ki Mas Hindi mengangkat dirinya sebagai Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam di tahun yang sama (1659), ia memindahkan pusat pemerintahan ke Beringin Jungut.

Gambar Diorama Penyerangan Kapal-Kapal VOC ke Benteng Kuto Gawang. Sumber: Buku Museum Sultan Mahmud Badaruddin

Pengaruh Mataram dalam Kemiliteran Palembang Menurut catatan Nieuhof, seniman yang ikut dalam ekspedisi militer tersebut, didapati beberapa gelar orang-orang yang menjadi pimpinan pasukan Palembang seperti Orang Kay (orang kaya) yakni gelas bangsawan/pejabat di dunia melayu 30


Timah merupakan komoditas yang dibutuhkan dalam banyak keperluan hidup manusia seperti sebagai bahan baku peralatan rumah tangga, bahan elektronik dan solder, industri kimia, industri kemasan makanan, bahkan untuk industri perang. Beberapa sifat timah yang menguntungkan ialah menjadi penghantar listrik yang baik, tidak beracun, dan tahan karat. Pulau Bangka saat ini identik dengan timah. Benar saja, pada Desember 2015―berdasarkan data Badan Pusat Statistik―nilai ekspor Provinsi Bangka Belitung menembus angka 110,30 juta dolar AS, yang mana sekitar 81,71% ialah kontribusi dari timah. Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah komoditas timah di pulau ini? Keunikan sejarah penemuan timah di Pulau Bangka dapat dilihat dari banyaknya versi yang berkembang mengenai hal ini. Versi pertama dihubungkan dengan orang-orang Cina. Dikisahkan bahwa ada dua kapal bajak laut Cina yang memasuki Laut Cina Selatan yang singgah di Bangka, masyarakat asli setempat masih banyak berdiam diri di dalam hutan. Setelah mengetahui bahwa 144


pulau ini memiliki kandungan timah, mereka mengolah tanah dengan cara mendulang dan berhenti menjadi bajak laut serta sejak itu mereka mengajak rekan-rekan senegeri untuk menjadi pendulang timah di Bangka. Versi lain menceritakan peran orangorang Melayu dalam penemuan itu. Pertama dikatakan bahwa pengolahan timah diperkenalkan oleh asal Siantan-Malaka setelah penemuan di Sungai Alin dan Toboali. Kedua, ada yang meyakini bahwa penemu bijih timah Bangka pertama adalah seorang yang bernama Anget dari suku Batin, kepercayaan ini berkembang di masyarakat Palembang.

Foto salah satu tambang timah di Bangka. Sumber: Majalah Warta Sejarah No. 17 Juni 2011

Kekayaan timah yang sangat besar di dunia tersebar dari pegunungan di Myanmar timur hingga ke Semenanjung Melayu dan terus ke Pulau Bangka serta Belitung. Kekayaan di bagian tengah Semenanjung Melayu telah berhasil ditemukan pada abad 145


“Suatu

berita

genting

namun

menggembirakan:

kebangunan orang Jawa!” Istilah ‘kebangunan’ dipilih dalam pemberitaan Jong Indie edisi 8 Juli 1908 mengenai Boedi Oetomo, sebuah perkumpulan modern di Hindia Belanda yang berdiri kurang lebih dua bulan sebelumnya. Pada hari Rabu 20 Mei 1908, pukul 09.00, Boedi Oetomo didirikan atas prakarsa Soetomo dan beberapa kawannya. Soetomo sendiri merupakan pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA), sekolah dokter pribumi di Batavia. Ia dilahirkan dengan nama Soebroto pada 30 Juli 1888 di Ngapeh, Nganjuk. Nama Boedi Oetomo sendiri lahir saat sebelumnya Soetomo berbincang dengan seorang dokter pribumi lain bernama Wahidin Soedirohusodo yang kala itu mengemukakan perlunya mendirikan organisasi untuk memajukan pendidikan agar bisa meninggikan martabat bangsa. Soetomo menyetujui itu dengan berkata, “Punika satunggaling pedamelan sae sarta nelakaken budi utami.” Soetomo mengenang bahwa percakapan dengan dr. Wahidin itu yang dijadikan sumber penamaan 169


organisasi. Ialah Soeradji yang mengusulkan nama ‘Boedi Oetomo’. Menurut Baoesastra (kamus) Melajoe-Djawa (1916), kata “boedi” memiliki berarti “kabetjikan” dan “oetomo” berarti “loewih betjik”, dua istilah itu memiliki arti hampir sama: “Kebaikan.”

Foto dr. Soetomo Brosur “Dokter Soetomo: Pemikiran dan Perjuangannya” oleh Museum Kebangkitan Nasional

Setelah masuk STOVIA pada 10 Januari 1903, Soetomo lulus pada 12 April 1911. Ia bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ‘kebaikan’ sebagaimana nama organisasi yang ia ikut mendirikannya. Langkah pertama ialah dalam bidang profesi. Soetomo melanjutkan studi ilmu kedokteran di Belanda untuk memperoleh gelar dokter penuh. Selama di Belanda ia pernah 170


Meskipun politik merupakan suatu hal yang pasti biasa dilakukan oleh manusia setiap harinya, kata tersebut lebih banyak dikaitkan sebuah bidang kehidupan bernegara dalam mengatur pemerintahan. Bidang perpolitikan sering mendapat predikat negatif karena dianggap sebagai wadah para pelakunya (politisi) dalam melancarkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Kata “kotor”, “munafik”, “licik”, dan istilah lainnya yang berkonotasi negatif sering dilabelkan pada bidang ini. Menarik tampaknya apa yang dimuat dalam salah satu majalah berbahasa Indonesia yang dibagikan oleh denominasi Saksi-Saksi Yehovah (Jehovah’s Witnesses) 2015 silam, mereka meyakini definisi agak lain tentang “akhir” (Zaman-Pen) yakni sebagai “akhir dari pemerintahan manusia yang gagal”: berlainan dengan keyakinan kebanyakan orang yang mengaitkannya dengan kehancuran bumi. Kita kesampingkan dulu masalah perbedaan agama. Pendapat Jehovah’s Witnesses semakin menguatkan bahwa bidang politik pemerintahan dewasa ini tengah mengalami krisis kepercayaan. 188


Gambar penggambaran artistik Machiavelli oleh seniman modern. Sumber: https://arceus2012.deviantart.com/art/Niccolo-

Machiavelli-135561483

Nichollo Machiavelli pernah menulis dalam karangannya yakni Hikayat Florentin (Istorie Fiorentine) tahun 1532 menyebutkan setidaknya empat hal penyebab merajalelanya korupsi, dua di antaranya cenderung lebih dominan menggerus kepercayaan rakyat. Pertama disebabkan kaum elit negeri yang hidup dari popularitas dan penghasilan tinggi namun sedikit bekerja. Bukan hanya menyebabkan iri dengki dengan pola dan gaya hidupnya, mereka juga mempunyai pengikut yang cuma bisa “membeo� serta membuat kerusakan massal. Kedua adalah pemahaman agama berdasar kemalasan bukan kesalehan, yang hanya menekankan ritual-ritual formal ketimbang esensi, serta

189


Diktator Libya yang terbunuh pada 20 Oktober 2011 saat terjadi

perang

saudara

di

negerinya

memang

terkenal

kontroversial. Muammar Khadafi erat dengan isu pelanggaran HAM, usaha pengembangan nuklir, maupun sokongannya kepada kelompok teroris, sampai tudingan ‘sesat’ yang diarahkan oleh sesama muslim padanya, tak dapat menutupi isu yang paling menarik tentang sosok Khadafi: wanita. Hampir tidak bisa dipungkiri, film The Dictator (2012) yang ditulis dan dibintangi oleh Sacha Baron Cohen, merupakan komedi satir yang ditujukan untuk Khadafi. Berdasarkan beberapa pengungkapan pasca tergulingnya sang diktator, dikatakan bahwa Khadafi terindikasi melakukan banyak kejahatan berupa eksploitasi seksual kepada beberapa wanita melalui jalan penculikan ataupun menyimpan mereka dalam harem.

213


Foto pasukan wanita Libya: antara kegagahan dan pesonanya. Diolah dari Sumber: www.pinterest.com

Rekam jejak Khadafi memang dikelilingi oleh para wanita. Dalam masalah yang vital, seperti untuk keamanan pribadinya, siapa yang tidak tahu tentang para bodyguards “perawan� Khadafi? Pasukan pelindung pemimpin Libya yang mulai bertugas sejak tahun 1980-an itu dipekerjakan Khadafi karena, seperti yang disampaikannya kepada Joseph T. Stanik, menurutnya para lelaki penembak jitu Arab akan sulit menembak wanita. Berita yang beredar, para pengawal wanita itu harus menjaga ‘kesuciannya’. Dididik di Akmil Wanita, pasukan pengawal Khadafi dilatih dengan ketat dan hasilnya terlihat ketika salah satu pengawal bernama Aisha serta dua rekannya mengorbankan diri untuk ditembaki militan Islam tahun 1998 silam.

214


Penulis Utama Arafah Pramasto, S.Pd., terlahir pada tanggal 13 April 1993 di Jakarta dari seorang ayah asal Pamekasan-Madura dan ibu asal Musi Banyuasin-Sumatra Selatan. Ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Sriwijaya Palembang sejak

2011-2016.

Di

antara

kegiatan-kegiatan

yang

perlu

dicatatkan

berkuliah

selama

di

Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya mendapatkan kesempatan sebagai kontingen Universitas Sriwijaya dalam kegiatan Arung Sejarah Bahari (AJARI) regional Sumatra Selatan, Sumatra Barat, dan Bengkulu 2013 dan menempati posisi sebagai juara I dengan makalah kualifikasi berjudul “Neo-Sufisme Al-Palimbani dan Kondusifitas Masyarakat Bahari Palembang 1825-1856: Sebuah Kajian Sosio-Religius Sejarah serta Pendalaman Filsafat.� Sekarang aktif sebagai freelance writer, dan Kontributor Kesejarahan UC We-Media. Tulisannya telah dimuat di beberapa media lokal (cetak & online) seperti Tribun Sumsel, Beritapagi, Majalah Mata

xviii


Madura, Ampera.co, Detik Sumsel, Sumsel News, dll. Buku ini adalah karya kedua setelah menerbitkan Sejarah Tanah-Orang Madura: Masa Awal, Kedatangan Islam, hingga Invasi Mataram diterbitkan oleh LeutikaPrio (2018) yang ia tulis bersama Sapta Anugrah Ginting, S.Pd.

Sapta Anugrah Ginting, S.Pd., dilahirkan

sebagai

Banjar-Kalimantan

keturunan (ayah)

dan

Batak Karo (ibu) pada tanggal 26 September 1992, ia tumbuh dalam keluarga besar yang plural dan harmonis. Secara kultural ia masih keturunan

kaum

Pagustian

bangsawan Banjar dari sisi ayah. Menyenangi

fotografi

dan

videografi, ia juga mengembangkan Blog kesejarahan dengan alamat url: www.prosesss.blogspot.com sejak tahun 2013 berikut dengan sebuah kanal kesejarahan di Youtube bernama Gerak Gerik

Sejarah.

Kegiatan-kegiatan

semasa

perkuliahannya

ditempuh dengan mengikuti perlombaan dan seminar (sebagai peserta

maupun

pemakalah).

Tahun

2017,

ia

berhasil

memperoleh juara II lomba video PSA (Public Service Announcement) dengan judul “Peduli� dalam rangka HUT TVRI xix


Sumatra Selatan. Kini ia memilih untuk mengabdi sebagai train attendant/Pramugara Kereta Api yang melayani jurusan Palembang ke Lampung dan Lubuklinggau sembari menulis artikel opini ke media lokal cetak dan online seperti Tribun Sumsel, Sriwijaya Online, dan Pedoman Bengkulu.

Rifkhi Firnando, S.Pd., dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1993 di Kota Batu,

Sumatra

Selatan.

menyelesaikan menengah

Ia

pendidikan

atas

di

SMAN

13

Palembang dan diterima sebagai mahasiswa

Program

Pendidikan sebagai berteman,

Sejarah.

seorang ia

Studi Dikenal

yang

mudah

memilih

untuk

menyelesaikan skripsi mengenai sejarah masyarakat transmigran di Desa Mulya Sari, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Baginya, kesejarahan merupakan sesuatu yang sangat integral dalam kehidupan manusia bahkan untuk di masa kini dan salah satu cara menelusurinya ialah dengan terjun langsung guna menguak kenangan-kenangan silam dalam kognisi masyarakat. Setelah lulus dari Universitas Sriwijaya (2017), ia mengabdi sebagai operator DAPODIK SDN 10 Sumber Marga Telang xx


Kabupaten Banyuasin sembari aktif mempelajari buku-buku kesejarahan sosial, sosialisme, dan keislaman. Tulisannya pernah dimuat di media online lokal seperti Ampera.co dan Sumsel News Online.

Noftarecha Putra, S.Pd., lahir pada

8

November

1993,

ia

dibesarkan dalam sebuah keluarga pendidik asal Desa Ulu Danau, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan.

Semasa

pendidikan

menengah atas, ia aktif dalam kegiatan

ekstrakurikuler

yakni

sebagai Pasukan Pengibar Bendera di SMA Plus N 4 OKU di Kota Baturaja. Tertarik dengan kultur masyarakat Uluan Sumatra Selatan, ia juga dikenal fasih melantunkan syair-syair tradisional suku Semendo. Diterima sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya (2011), masa perkuliahannya diisi dengan berbagai kegiatan seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, mengikuti dan memenangi banyak lomba (utamanya kuis cepat tepat dan debat), menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Sejarah (HMS) Unsri (2013-2014), dan menjadi peserta maupun xxi


pemakalah

dalam

seminar

kesejarahan.

Jiwa

pedagogik

membawanya memilih untuk mengambil program Magister Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2017 (masih menempuh pendidikan).

Tedi Suandika, S.Pd., terlahir dari keluarga

tradisional

suku

Kuang,

Kabupaten Ogan Ilir pada tanggal 13 Desember 1993. Dibesarkan melalui bimbingan

ayah

yang

berprofesi

sebagai guru dan tokoh masyarakat, ia menjadi pribadi yang aktif di tengah masyarakat kegiatan

dan di

terlibat

desanya.

banyak Semenjak

memasuki usia sekolah menengah atas, ia merantau ke ibu kota provinsi dan melanjutkan pendidikan di SMAN 9 Palembang. Semasa kuliah di Program Studi Pendidikan Sejarah Unsri (sejak 2011), ia beberapa kali terpilih sebagai Ketua Tingkat dan aktif di perkumpulan mahasiswa daerah asalnya (HIMAKADA/Himpunan Mahasiswa Kuang Dalam). Setelah lulus (2017) ia terpilih sebagai Panitia Pemillihan Kecamatan (PPK) KPUD Kab. Ogan Ilir serta menyumbangkan tulisannya ke media lokal seperti Pagaralam Pos dan Sumatra News Online.

xxii


Maulana Muhammad, S.Pd., ia adalah

pemuda

asal

suku

Komering Sumatra Selatan yang lahir pada 30 April 1994. Latar belakang

keluarganya

adalah

pendidik. Sejak SMA ia telah menggemari sejarah dunia Sepak Bola dan aktif terlibat sebagai supporter tim Sriwijaya FC. Selain itu, ia juga menjadi fans tim Juventus. Semasa kuliah, ia tertarik dalam berbagai bidang kajian kesejarahan, terutama mengenai sejarah organisasi Islam Muhammadiyah (serta pemikirannya) dan sejarah kemiliteran. Kegiatan-kegiatan selama menempuh penddidikan tinggi di Universitas Sriwijaya itu (sejak 2011) banyak diisi dengan mengikuti workshop, seminar kesejarahan, dan memenangi beberapa

perlombaan.

Ternyata

sosok

yang

senang

menghabiskan banyak waktu dengan buku-buku ini, lebih menggandrungi sejarah kemiliteran dan kemerdekaan, sehingga ia mengambil penelitian pengembangan modul pembelajaran tentang Perang Kota Palembang. Kini ia konsen menulis dan pernah menyumbangkan tulisannya ke media Sumsel Today online.

xxiii



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.