Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
Pemberontakan Sarikat Abang 1916 : Pembelajaran Historis Membendung Ekstrimisme Oleh : Arafah Pramasto, S.Pd. Seperti baru kemarin bom Sarinah mengguncang ibukota Republik Indonesia, kini satu lagi aksi teror kembali menggemparkan bangsa Indonesia. Meski ledakan itu terjadi jauh di Pulau Jawa, masyarakat Indonesia hingga pelosoknya turut berduka. Dua ledakan bom di Kampung
Melayu
dengan
jelas
memperlihatkan
bahwa
“penyakit”
lama
akibat
misinterpretasi terhadap ajaran agama belum sepenuhnya sembuh, penyakit ini bernama “Ekstrimisme.” Sejatinya ekstrimisme tidak hanya akan mengancam suatu masyarakat di suatu tempat atau kota tertentu. Sebagai warga yang hidup di Sumatera Selatan dan di kota Palembang khususnya, kita harus mensyukuri salah satu berkah atas wilayah ini. Palembang maupun Sumatera Selatan adalah tempat yang kaya bukan hanya tentang hasil buminya, tetapi juga dengan kesejarahannya. Kekayaan warisan sejarah menjadikan kita dapat menengok masa lalu Sumatera Selatan yang ternyata pernah menghadapi ancaman esktrimisme keagamaan di masa kolonial. Meskipun tidak sempurna sama, tetapi gagasan yang melandaskan kekerasan beragama cenderung memililki kemiripan. Dengan mempelajari masa lalu serta menyajikannya untuk bekal masa depan, adalah sebuah usaha menghidupkan kesadaran dan menghindari kematian bangsa seperti halnya pendapat Kahlil Gibran : “Ya, tapi kematian bangsaku adalah dakwaan diam; itulah sebabnya kejahatan-kejahatan yang disusun oleh kepala-kepala ular tak nampak...Itulah nyanyian dan adegan yang menyedihkan...” Pada zaman kolonial, Palembang menjadi sebuah tempat yang penting bagi perekonomian Hindia Belanda. Pada dekade ketiga dan keempat abad ke-20, Palembang telah menjadi wingewesten atau “Daerah Untung” bagi pemerintahan kolonial. Tetapi, Hindia Belanda tidak secara instan memperoleh “manisnya” Palembang. Meski sebelumnya telah berhasil menghapuskan Kesultanan Palembang pada 1823, Belanda sempat mengalami gangguan serius berupa pemberontakan Suku Pasemah yang menyerang beberapa kota seperti Palembang dan Lahat (1829), Musi Ulu (1837), Rejang (1840), serta Ampat Lawang (18401850). Mestika Zed mengemukakan dalam buku Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950 bahwa pra kondisi yang diperlukan bagi kepentingan politik dan ekonomi kolonial Belanda di Palembang baru mulai terbentuk pada tahun-tahun 1875-1907. Pada periode 1887-1893 dibuka 21 perkebunan tanaman dagang kopi di tanah-tanah Erfpacht
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
(tanah sewa 75 tahun) dengan luas 37.000 hektar. Allan Akbar dalam bukunya yang ia tulis Memata-matai Kaum Pergerakan menerangkan bahwa di Palembang – seperti halnya di Sumatera Utara – ditempatkanlah Cultuur Politie atau “Polisi Perkebunan” untuk menjaga perkebunan-perkebunan asing. Hal ini hanya sedikit gambaran tentang kuasa kolonial menjaga kepentingannya di Palembang. Walaupun Palembang “dicekik” oleh pengawasan alat-alat kolonial, tidak berarti bahwa semangat keagamaan dan kemasyarakatan warga Palembang menjadi “tersengal.” Semangat untuk meninggikan martabat Bumiputra Muslim ternyata masih tetap tumbuh. Memasuki awal paruh kedua abad ke-20, tepatnya tahun 1912, H.O.S Cokroaminoto telah menyelesaikan anggaran dasar Sarekat Islam (SI) pada tanggal 10 September. Kongres pertama SI digelar pada tanggal 26 Januari 1913 saat Cokroaminoto membukanya dengan pidato kharismatik, “...Bahwa apabila rakyat sudah bangun dari tidurnya, tidak ada sesuatu yang dapat menghalanginya... Bahwa perhimpunan SI sebagai air bah yang mengalir pada mulanya, tetapi tidak lama antaranya menjadi banjir yang amat derasnya !.” Sungguh suatu momentum yang pada perkembangannya juga turut disimak oleh
beberapa anggota
perkumpulan sosial di Palembang. Sarekat Islam – seperti dalam pidato Cokroaminoto – memiliki jangkauan yang luas sehingga mereka membagi wilayah organisasi menjadi tiga yakni Jawa Barat yang mencakup wilayah Sumatera, Jawa Tengah yang juga membawahi Kalimantan,, dan Jawa Timur yang ikut meliputi Nusa Tenggara. Tujuh bulan setelah kongres, H.O.S Cokroaminoto selaku pimpinan teras SI datang memperkenalkan SI kepada dua perkumpulan sosial di Palembang yakni Al-Ihsan dan Tjahaja Boediman. Al-Ihsan adalah perkumpulan sosial orang Arab yang dibentuk sejak 1907, selain bergerak pada bidang Hulpbetoon (tolong menolong), perkumpulan ini juga bergerak di bidang pendidikan serta sempat mendirikan satu sekolah di Kampung Arab 10 Ilir kota Palembang. Tjahaja Boediman dibentuk oleh para pedagang Boemiputra (pribumi) pada tahun 1912, tujuan perkumpulan ini hampir sama dengan AlIhsan di samping pula menerbitkan surat kabar Warta Palembang. Sebagai organisasi yang memperhatikan masalah pendidikan Islam, anak-anak anggota Tjahaja Boediman turut memperoleh beasiswa. Jumlah anggota Tjahaja Boediman telah mencapai 222 orang pada tahun 1913. Secara resmi SI Palembang baru tersusun kepengurusannya pada bulan Januari 1914 dengan ketuanya adalah Raden Nangling (pedagang dan pemilik hotel Nangling) ; Cik Entik Zainal Abidin selaku wakil ketua ; dan Abdul Karim dari perkumpulan Al-Ihsan diangkat sebagai sekretaris.SI kemudian menjadi sebuah organisasi sosial-politik yang
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
dinamis tidak sebatas merekrut orang-orang dari dua perkumpulan sosial itu, anggotaanggotanya di kota ini berasal dari berbagai kalangan bahkan sampai ke daerah-daerah pedalaman. Dikarenanan Islam adalah agama yang mayoritas dianut oleh orang-orang Palembang dan sekitarnya, penyebaran dan perkembangan organisasi SI juga cukup pesat. Setahun sejak berdiri, anggota SI yang terdaftar di kota Palembang termasuk mereka yang mendaftarkan diri dari daerah pedalaman, telah mencapai 3.200 orang. Perkembangan ini memberikan citra yang positif bagi SI di Palembang dan sekitarnya. Menurunnya frekuensi tindak kriminal seperti pencurian maupun perjudian di daerah Sumatera Selatan, contohnya pada tahun 1914, seringkali dihubungkan dengan pengaruh SI. Namun, menanam kebaikan kerap kali menuai cobaan yang tidak kalah besar, ada saja oknum “sempalan� yang mengatasnamakan SI tetapi bertindak di luar batas gerakan Islam yang positif. Hal yang harus dimengerti adalah SI di daerah Sumatera Selatan untuk jangka waktu dua tahun setelahnya (1916) mengalami peningkatan jumlah pengikut menjadi 33.400 orang. Jumlah itu menempatkan cabang SI Sumatera Selatan sebagai yang terbesar di antara dua cabang luar Jawa yakni Sumatera Barat dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Besarnya jumlah anggota memungkinkan adanya ketidakpatuhan dalam jajaran akar rumput SI, elemen tersebut menyebabkan berbagai kekacauan yang timbul berupa kerusuhan melawan para pejabat tradisional (Pasirah) pada tahun 1915, sehingga sejak bulan Juni 1916 pemerintah kolonial melarang pendaftarann anggota baru SI di tingkan Marga. Elemen sempalan yang melakukan tindakan deviasi (penyimpangan) itu baru muncul ke permukaan sekitar bulan Agustus 1916 dengan menamai diri mereka sebagai Sarikat Abang (SA). Sarikat Abang (SA) dipimpin oleh Haji Goh yang berasal dari Talang Balai Ogan Ilir dengan didampingi beberapa orang asal Rawas seperti Haji Arsyad dan Said bin Kikim alias Paswah. Sejak akhir Agustus tahun 1916 gelagat yang dinilai aneh oleh kebanyakan masyarakat mulai ditampilkan oleh SA. Kaum SA selalu memakai Destar Abang (merah) dengan dilengkapi berbagai senjata tajam, menyelenggarakan pengajian keagamaan disertai latihan bela diri, berseru “Kam Kim Koem, Kapiroen ! �, serta meneriakkan kata-kata persuasif untuk menolak membayar pajak dan kerja rodi. Namun anehnya mereka tidak segan melukai siapa saja (terutama rakyat sispil) yang tidak menyahut seruannya. Dalam buku The Netherlands Indies and The Great War 1914-1918 karangan Kees Van Dijk disebutkan bahwa kekerasan telah terjadi sejak bulan Agustus 1916 yang pertama kali muncul di Jambi dan menyebar ke Keresidenan Palembang (khususnya Rawas) juga diliputi isu akan
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
datangnya bantuan militer serta campur tangan Istanbul (Ottoman Turki). Rawas berada jauh dari pusat pemerintahan kolonial di Palembang, tetapi lebih dekat dengan pusat pemerintahan kolonial di Jambi, sayangnya kendali di Jambi lebih lemah dan memudahkan masuknya “senjata-senjata gelap.� Terlihat bahwa pemerintah kolonial yang berpusat di Belanda sebagai negara yang netral dalam Perang Dunia I (1914-1918) mulai mengaitkan kerusuhan ini dengan kejadian aktual dunia pada masa itu. Fakta yang ada tidak membuktikan keterlibatan Ottoman dalam kasus SA, yang mana kemudian kelompok ini juga tidak menargetkan Jambi. Pemberontakan terbuka yang dilancarkan SA terjadi pada 9 Oktober 1916 dengan serentak di Dusun Pauh dan Batu Kucing sejak pukul 5 sore. Dalam perjalanannya untuk menyerang perkantoran pemerintah di Surulangun (Ibukota Distrik Rawas Keresidenan Palembang), mereka menyerang kantor para Pasirah dan memprovokasi setiap Dusun untuk berontak, dalam waktu tiga hari jumlah mereka mencapai 2000 orang. Sesampainya di Surulangun mereka menyerang, membakar, dan membongkar gedung-gedung maupun rumah pejabat pemerintah. Sore harinya baru didatangkan pasukan dari Lahat dan Palembang untuk merebut kembali Surulangun. Pertempuran hebat terjadi yang menewaskan 38 anggota SA (termasuk seorang Pasirah Muara Rupit yang bergabung), 5 luka berat, 3 orang pemimpin SA ditangkap. Pasukan pemerintah juga melucuti banyak senjata, kurang lebih 500 pucuk senjata api berbagai jenis dan lebih banyak lagi senjata tajam. SI kota Palembang dituduh terlibat pemberontakan SA serta menjadi penyebab kekacauan di Surulangun. Terjadilah penangkapan-penangkapan atas para pemimpin SI di Sumatera Selatan : Raden Nangling (tidak diketahui nasibnya), Anang Abdoerrahaman (Presiden SI Lokal Lematang Ulu), Nan Buyung (Presiden SI Lokal Lahat), Haji Mohammad Apil (Presiden SI Lokal Marga Gumai Lebak), dan Abdoerrahim bin Alis (Presiden SI Lokal Pagaralam), serta tokoh-tokoh lainnya yang dipenjarakan maupun dihukum mati. Pemberontakan Sarikat Abang dapat dipandang sebagai perlawanan rakyat akibat ketidakpuasan atas tata peraturan pemerintah kolonial di masa itu. Bagaimanapun, SA tetap menjadi sebuah contoh tindakan ekstrimisme yang sempat menimbulkan kerugian atas gerakan SI yang saat itu tengah berusaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan rakyat pribumi Muslim di Palembang khususnya ataupun Sumatera Selatan secara umum. Dalam gerakannya, SA tidak jarang melakukan kekerasan atas siapapun, termasuk kepada saudara seagamanya yang menolak untuk menyambut seruan serta gagasan mereka. Meskipun kemudian pada tahun 1919 pasca pemberontakan tersebut pemerintah kolonial mengevaluasi
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
diri untuk kemudian mengeluarkan peraturan keringanan pajak dan kerja rodi – salah satu sisi positif dari pemberontakan SA – tetapi bekas dari pemberontakan yang merenggut beberapa nyawa tetap tidak bisa terhapus begitu saja. H.O.S Cokroaminoto datang untuk kali kedua pada tahun 1919 ke Palembang, ia memprioritaskan program moderat untuk meningkatkan “Kepinteran jang Lahir “ (Pendidikan) dan “Kepinteran jang Bathin” (Ilmu Agama Islam). Dari kisah ini, masyarakat kota Palembang dapat menilai dengan mendalam bahwasannya tindakan ekstrimisme sejak dahulu telah ada. Tidak jarang kekerasan itu membawa simbol-simbol agama tertentu untuk melgitimasi kekerasan yang sesungguhnya sangat dilarang dalam ajaran agama, terlebih lagi dalam Islam. Seruan seperti “Kam Kim Koem, Kapiroen” yang diteriakkan kaum SA kurang lebih seabad yang lalu nampaknya juga sering terdengar di masa kini, utamanya diucapkan oleh kelompok garis keras yang sangat mudah mengkafirkan orang lain. Teror-teror ledakan bom yang beberapa kali mengguncang Indonesia bahkan lebih buruk dari serangan SA ke Surulangun, mengingat bahwa SA menargetkan serangan kepada objek-objek kolonial. Terorisme yang kita hadapi di masa kini ialah sebentuk kekerasan yang ditujukan kepada hampir seluruh orang seperti kepada kaum minoritas, aparat kepolisian, ataupun rakyat sipil yang sebenarnya masih saudara sebangsanya atau bahkan juga saudara seagamanya. Golongan garis keras ini tidak lagi merasa malu untuk menyatakan mimpinya tentang merubah tatanan negara, meskipun telah jelas kemerdekaan Indonesia beserta esensi ideologis pancasila telah final diperjuangkan oleh para pahlawan termasuk oleh kaum ulama Islam. Dengan sekelumit kajian ini penulis berharap agar masyarakat Muslim Palembang dapat mengambil hikmah di bulan Ramadhan yang suci ini. Kita harus tetap waspada atas kemungkinan menyebarnya paham-paham ekstrim yang dapat merusak tatanan hubungan antar-elemen masyarakat Palembang yang plural serta telah lama dikenal akan toleransinya yang secara egaliter membudaya. Kaum Muslimin Palembang sebagai komponen demografis terbesar memiliki kewajiban untuk menjaga budaya toleransi tersebut. Sumber Dijk, Kees Van, The Netherlands Indies and The Great War 1914-1918, Leiden : KITLV Press, 2008. Tim, “Ikhtisar Kongres-Kongres Syarikat Islam dan Party Syarikat Islam Indonesia”, Panitia MTLB Syarikat Islam 2010. Tim, Tjokroaminoto : Guru Para Pendiri Bangsa, Jakarta : Tempo, 2011. Zed, Mestika, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta: Pustaka LP3ES Indoneisa, 2003.
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
Artikel Opini Kesejarahan dimuat di Tribun Sumsel 12 Juli 2017 (Versi Pra-Edit / Lengkap) Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com