Perang 1659 dan Pengaruh Mataram Islam dalam Kemiliteran Palembang [Pagaralam Pos 21 Desember 2017]

Page 1

Artikel sejarah dimuat di Pagaralam Post 21 Desember 2017

Email : arafahanakmadura@gmail.com

Perang 1659 dan Pengaruh Mataram Islam dalam Kemiliteran Palembang Oleh : Tedi Suandika,S.Pd. & Arafah Pramasto,S.Pd. Editor : Reza Mardiansyah,S.Pd. Dalam tulisan Ki Sabdacarakatama yang berjudul Ensiklopedia Raja-Raja Tanah Jawa dikisahkan bahwa Sultan Agung yang berkuasa tahun 1613-1645, pernah meminta ketertundukan Palembang pada kuasa Mataram Islam sembari menuntut upeti tahunan beserta gajah. Sebelum Mataram berkuasa, Palembang diperintah oleh keturunan dari Ki Gede Ing Suro, bangsawan Demak yang mengungsi setelah terjadi perang melawan Pajang. Bahkan sebelum kedatangan Islam, dalam buku Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa karangan J.J. Ras dikisahkan bahwa Majapahit pernah mengirim ekspedisi militer untuk menghukum Palembang yang ingin lepas dari kekuasaannya pada tahun 1377. Tulisan ini tidak akan mengkaji secara umum tentang pengaruh pada budaya Palembang sebagai akibat dari hegemoni Jawa. Namun di sini akan sedikit diulas tentang kisah pertempuran tahun 1659 antara kerajaan Palembang yang menjadi bawahan Mataram Islam melawan VOC. Perang 1659 ikut memberikan sedikit informasi mengenai pengaruh Mataram Islam dalam aspek kemiliteran Palembang. 1. Tahun 1659 : Palembang melawan VOC dan Pengaruhnya Tanggal 4 November 1659 pecah peperangan antara Palembang melawan VOC yang dipimpin Laksamana Joan van der Laen. Peperangan ini dipicu oleh sebuah tragedi saat wakil dagang VOC bernama Ockerz yang dikenal licik dan sombong terbunuh bersama 42 pasukannya di kapal mereka, Jactra dan Wachter. Serangan VOC mengakibatkan Keraton Kuto Gawang dibakar habis, demikian juga Kuto maupun pemukiman penduduk Portugis, Cina, Arab, dan bangsa lainnya di Seberang Kuto. Pangeran Sido Ing Rajek mengungsi ke pedalaman dan kekuasaannya berpindah ke adiknya yakni Pangeran Ratu Ki Mas Hindi. Kota itu akhirnya dapat direbut lagi oleh pasukan Palembang dan kemudian dilakukan lagi pembangunan-pembangunan ulang. Ki Mas Hindi berusaha mengikat lagi hubungan dengan Mataram, negeri yang seharusnya melindungi Palembang. Namun justru penghinaan yang didapat oleh Palembang. Bagi Ki Mas Hindi yang merasa tersinggung, inilah waktunya untuk memutus hubungan sosio-kultur maupun ideologis Palembang dan Mataram. Lagipula tidak terlihat adanya bantuan nyata dari Jawa saat Palembang mengalami serangan dari VOC. Kini raja Palembang sederajat dengan sultan Mataram, sehingga gelar yang dipakai adalah ‘Sultan’. Ki Mas Hindi mengangkat dirinya sebagai Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam di tahun yang sama (1659), ia memindahkan pusat pemerintahan ke Beringin Jungut. 1


Artikel sejarah dimuat di Pagaralam Post 21 Desember 2017

Email : arafahanakmadura@gmail.com

2. Pengaruh Mataram dalam Kemiliteran Palembang Menurut catatan Nieuhof, seniman yang ikut dalam ekspedisi militer tersebut, didapati beberapa gelar orang-orang yang menjadi pimpinan pasukan Palembang seperti Orang Kay (orang kaya) yakni gelas bangsawan /pejabat di dunia melayu Islam. Adapula gelar “Quevy Tommagen Nadapen Radia” (kyai Tomenggong Dihadapan Raja), serta “Quey Nabey” (Kyai Ngabehi). Dua nama gelar terakhir itu (Quevy Tommagen Nadapen Radia dan Quey Nabey) ialah menyerupai gelar pejabat Bupati Pasisiran (Syahbandar) era Mataram Islam yang berpangkat Tumenggung, Kyai Demang atau Kyai Ngabehi . Gelar-gelar itu dimiliki oleh pejabat-pejabat sipil. Sebagai contoh adalah dalam Babad Tanah Jawi, di dalamnya disebutkan tentang Panglima (Tumenggung) Mataram bernama Jaya Supanta yang berhasil menguasai Tuban. Tumenggung Jaya Supanta kemudian diberi gelar Dipati Sujana-Pura. Adipati baru ini mendapat tugas lagi, yaitu menaklukkan Madura dengan disertai seluruh bupati Pasisiran Jawa dengan bala-pasukannya. Tidak mengherankan gelar ‘Dipati Sujana-Pura’ lebih dikenal ketimbang nama ‘Tumenggung Jaya Supanta’ dalam sejarah orang-orang Pasisiran dan Madura. Kemiliteran profesional ala era modern memang belum dikenal pada masa itu yang disebabkan oleh struktur tradisional-adat dalam lingkup kekuasaan feodal, maka pemimpin sipil cenderung memiliki kuasa untuk mengerahkan orang-orang untuk tujuan militer. Tak heran jika orang-orang dengan jabatan sipil menjadi bagian dari elemen pertahanan di masa tersebut. Demikian itulah pola yang terjadi di Palembang dalam pertempuran melawan VOC pada tahun 1659. 3. Penutup Palembang memang kemudian menjadi sebuah kesultanan yang berdiri sendiri. Peristiwa sejarah ini seharusnya menjadi momentum untuk mensyukuri makna persatuan bangsa Indonesia di masa modern. Kita bisa memperoleh semangat heroisme dari perang pertahanan Palembang melawan VOC. Meskipun kemudian dalam fase itu Palembang memilih merdeka dari Mataram Islam, kita dapat mempelajari bahwa asimilasi budaya antar-wilayah – seperti dalam aspek kemiliteran Palembang – telah menjadi rintisan bagi persatuan Indonesia yang dikumandangkan pada tahun 1945 kelak. Kini seluruh rakyat bangsa yang besar ini harus bersyukur bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang tidak membedakan aspek regional, rasial, kultural, ataupun relijius. Sumber Hasrinuksmo, Bambang, Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya, Jakarta : Temprint, 1988. Kutoyo, Sutrisno, Sejarah daerah : Derah Istimewa Yogyakarta, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997. Olthof, W.L. (Penyusun), Babad Tanah Jawi : Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya, Yogyakarta : Narasi, 2016. Ras,J.J., Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa, Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014. Reid, Anthony, Sumatra Tempo Doeloe, Depok : Komunitas Bambu, 2014. 2


Artikel sejarah dimuat di Pagaralam Post 21 Desember 2017

Email : arafahanakmadura@gmail.com

3


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.