Artikel Sejarah Dimuat Tribun Sumsel 19 Juni 2017 Email : arafahanakmadura@gmail.com
Relijiusitas-Moderat dan Kemajuan Perdagangan Kota Palembang 1825-1856 Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd. Palembang adalah sebuah kota dengan kekayaan sejarah yang dapat diambil sebagai sebuah pelajaran berharga untuk manusia di masa modern. Dikotomi antara masalah kerohanian dan keduniawian yang sekarang sedang hangat diperbincangkan karena adanya anggapan bahwa nilai relijiusitas harus dikesampingkan sedemikian rupa demi kemaslahatan kehidupan sehari-hari, justru sama sekali tidak ditemukan dalam sejarahnya. Palembang sebagai salah satu kota tertua di Indonesia mempunyai corak keagamaan yang sangat unik. Dibangun oleh pendiri kerajaan Sriwijaya, Dapunta Hyang dan sempat menjadi kota untuk mendidik para agamawan Budha sebelum berangkat menuntut ilmu ke perguruan tinggi Nalanda-India, nama agamawan seperti Shakyakirti dan Dharmapala adalah ikon di masa praIslam. Selanjutnya, setelah Islam masuk dan dianut oleh penduduk setempat, Palembang adalah Islamic Center bagi keilmuan Islam dengan berbagai sosok Muslim yang diabadikan dalam sejarah seperti Ario Damar (tokoh politik era Majapahit), Raden Patah (Raja Jawa yang dibesarkan di Palembang), maupun ulama-intelektual seperti Syaikh Abdus Shamad AlPalimbani (karya-karyanya berpengaruh luas di dunia Melayu) menjadi ikon-ikon bagi predikatnya itu. Tatkala kerajaan Majapahit melemah, Tome Pires (pelancong asal Portugal) mencatatkan bahwa orang-orang Palembang banyak yang gugur dalam membantu Malaka mengusir Portugis. Memasuki abad ke-19, seperti daerah lainnya di Nusantara – sebutan bagi kepulauan Indonesia masa itu – Palembang juga menghadapi ancaman imperialisme dan kolonialisme pihak Barat. Pada tahun 1812 Palembang harus menghadapi ekspedisi Inggris, tahun 1819 masing-masing pada bulan Juni dan Oktober 1819 Palembang dengan sukses memukul mundur invasi militer oleh Hindia Belanda, tetapi pada invasi selanjutnya tahun 1821 Belanda memperoleh kemenangan yang menyebabkan disfungsi Kesultanan Palembang hingga akhirnya dihapuskan pada tahun 1825. Pada era masa perjuangan / revolusi fisik 1945-1949, rakyat serta militer Republik Indonesia menunjukkan perlawanan yang gigih dalam mengusir penjajah hingga tersohorlah Perang Lima Hari Lima Malam yang menimbulkan banyak pengorbanan kota ini demi kemerdekaan yang suci. Sebagai sebuah kota yang hingga kini dikenal dengan keislamannya, termasuk jumlah penganutnya, apakah
1
Artikel Sejarah Dimuat Tribun Sumsel 19 Juni 2017 Email : arafahanakmadura@gmail.com
Palembang yang kental dengan identitas keislaman menjadi sebuah wilayah yang Bigot (pembenci) kepada identitas keagamaan di luarnya ? Jawabannya harus dilihat dari bagaimana relasi antar-identitas yang terjadi di kota ini, salah satunya ialah pada aspek perdagangan dan demografi. Meskipun Kesultanan Palembang telah dihapuskan pada tahun 1825, Palembang yang sangat strategis posisinya bagi pemerintah kolonial justru mengalami kemajuan dalam masalah perdagangan. Dalam periode 1825-1856 kapal yang berlabuh di kota Palembang mengalami peningkatan yaitu 374 bauh pada tahun 1825, 526 pada 1853, dan 576 pada 1856. Pada tahun 1854 jumlah kapal bendera Belanda yang berlabuh adalah 46 buah dengan nilai angkutan f. 427.051 dan yang berangkat pada tahun yang sama ialah 46 buah dengan nilai angkutan f. 881.784. Pelayaran orang Cina pada 1824 adalah 6 kapal, meningkat pada tahun 1828 menjadi 15, 20 kapal pada tahun 1845, dan 26 kapal tahun 1856 dengan bobot 3201923,5 last (1 last = 1814.36948 kg). Sedangkan orang-orang Arab sendiri ialah 3 kapal pada 1824, 9 kapal pada tahun 1840, dan 12 kapal pada 1850 dengan bobot 197-1175 last. Selain perdagangan, secara demografi serta keragaman masyarakat Palembang juga mengalami peningkatan ; pada 1825 kota Palembang memiliki 119 keluarga Arab, 184 keluarga Cina, dan 3589 keluarga pribumi dan masyarakat Asia lainnya. Tahun 1833 terdapat 102 orang Eropa, 2.504 orang Cina, dan orang Arab serta Asia lainnya sebanyak 1.572 orang. Keragaman itu semakin dilengkapi dengan keragaman suku pribumi sekitar Palembang seperti suku Komering, Lampung, Ogan, Pasemah, Ranau, Rejang, dan lainnya. Secara umum di masa itu orang Palembang maupun suku-suku asli lainnya ialah mayoritas begitupun dari segi keagamaan yang mana Islam adalah agama paling banyak dianut. Namun, apakah dengan sejarah yang pahit akan kekalahan terhadap serbuan penjajah yang berbeda secara keagamaan membuat masyarakat setempat menjadi pembenci ? Jawabannya adalah ‘tidak’, meskipun bisa saja kaum Muslim pribumi melakukan tindakan teror dan kekerasan kepada kaum minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Muslim di Palembang maupun Sumatera Selatan secara umum adalah penganut Islam yang moderat. Relijiusitas yang sedemikian baik itu disebabkan oleh Keislaman yang ada pada masyarakat lokal tidak hanya diajarkan mengenai ibadah-ibadah fisik namun juga mencakup hal-hal batin. Dalam bidang Fiqh-Teologi, di Palembang masa itu beredar kitab-kitab seperti Perukunan Melayu, Masail Al-Muhtadi, Athiyaturrahman, dan Badi’ Al-Zaman di samping pula dikenal seorang tokoh dalam bidang ini seperti Syaikh Muhammad Azhary Palimbani. Untuk bidang Tasawuf dikenal nama Syaikh Abdus Shamad yang memiliki banyak karya
2
Artikel Sejarah Dimuat Tribun Sumsel 19 Juni 2017 Email : arafahanakmadura@gmail.com
seperti Hidayatus Shalikin fi Suluk Maslak al-Muttaqiin, Siyarus Salikin ila Ibadat rabb al‘alamin, Thufah Al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman Al-Mu’minin, Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin, dan Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tawhid . Palembang adalah kota intelektual Islam yang memberi contoh bahwa keislaman bukan sekadar perkara fisik belaka namun juga pemikiran sertan batiniah, demikianlah itu menjadi sebab Palembang hingga kini dikenal dengan toleransinya. Sumber Broeze, F.J.A., The Merchant Fleet of Java 1820-1850 : A Preliminary Survey in Archipel 18, Paris : P. Y. Manguin, 1979. Bundel Palembang No. 70 tentang Tinjauan Keresidenan Palembang 1825 koleksi ANRI Jakarta. Supriyanto, Pelayaran dan Perdagangan di Pelabuhan Palembang 1824-1864, Yogyakarta : Ombak, 2013. Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, Palembang : Penerbit Universitas Sriwijaya, 1999.
3
Artikel Sejarah Dimuat Tribun Sumsel 19 Juni 2017 Email : arafahanakmadura@gmail.com
4