Artikel dimuat di Klik Ampera Online 24 Februari 2018 Link : https://www.klikampera.com/surat-dari-dua-sahabat-rasul-kartu-kuning-untuk-siapa/
Surat dari Dua Sahabat Rasul : “Kartu Kuning” Untuk Siapa ? Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd.1, & Sapta Anugrah,S.Pd.2
Masyarakat Indonesia, secara khusus yang memiliki perhatian pada masalah politik negeri ini, tengah berdecak kagum. Banyak media memberitakan dengan nada kekaguman pada seorang sosok aktivis mahasiswa yang berani meniup peluit pada presidennya dalam sebuah acara sambilmengacungkan “kartu kuning” – menurut berapa sumber sebenarnya adalah buku paduan suara dan ada yang berkata bahwa itu map kuning – laksana seorang wasit. Kritis dan berani, ia laksana pengadil atas penilaiannya terhadap kinerja pemerintah, khususnya masalah KLB gizi buruk dan campak ujung negeri. Kita tak perlu mengungkap siapa-siapa dalam peristiwa yang lebih pantas disebut sebagai “demonstrasi sensasi untuk menyampaikan aspirasi dan memperoleh apresiasi” ini. Pro dan kontra atas sikap aktivis mahasiswa itu juga tak kalah banyaknya, mulai dari yang menjelaskan sulitnya kondisi medan yang harus ditempuh di tanah papua, ada yang memprotes secara halus peristiwa “kartu kuning” sembari menawarkan alternatif cara penyampaian pendapat, maupun juga dukungan dari seorang politisi partai yang menilai tindakan si mahasiswa adalah sebuah “kontrol sosial.” Terserah apapun itu, di negara yang secara demografis – bukan ideologis – mayoritas Islam ini kita perlu membaca kembali sejarah dari para sahabat nabi serta melihat untuk siapa “kartu kuning” itu sebenarnya. Kewajiban seorang pemegang kuasa untuk memperhatikan rakyatnya tanpa memandang etnisitas dan bahkan relijiusitas sebenarnya telah lama dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah Muhammad Saw, hal ini terekam dalam perjalanan sejarah peradaban Islam. Salah satu contohnya adalah surat dari Sayyidina Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari selaku gubernur dan hakim di Basrah. Salah satu suratnya kemudian dikenal sebagai Risalah Al-Qada yang banyak dimuat dalam kitab-kitab Fiqh, salah satunya dalam buku I’lam Al-Muwaqqi’in an Rab Al-Alamin karya Ibnu Qayim Al-Jauziyah yang menilai risalah itu sebagai salah satu jenis pemikiran terbaik. Isi pembukaan Risalah Al-Qada ini menguatkan keharusan menyamakan 1 2
Penulis buku “Sejarah Tanah-Orang Madura” dan “Makna Sejarah Bumi Emas” berdomisili di Palembang. Pramugara (Train Attendant) Kereta Api Palembang Jurusan Lampung dan Lubuklinggau
Artikel dimuat di Klik Ampera Online 24 Februari 2018 Link : https://www.klikampera.com/surat-dari-dua-sahabat-rasul-kartu-kuning-untuk-siapa/ seluruh orang di hadapan hukum. Sayyidina Umar menulis,..Samakanlah manusia dalam majelismu, pandanganmu, dan pada putusanmu, sehingga orang yang mulia tidak mengharap kecuranganmu dan orang lemah tidak putus asa dari keadilanmu…” [1] Maka tidak heran jika kita pernah mendengar suatu kisah saat Sayyidina Ali berperkara dengan seorang Yahudi tentang kepemilikan hauberk (baju zirah), Qadi (Hakim) Syuraikh bin Harits Al-Kindi memenangkan si Yahudi karena Sayyidina Ali tidak mampu mendatangkan dua saksi yang tidak berhubungan darah dengannya. Pengacara si Yahudi terkejut ketika dia mengetahui bahwa hakim Muslim sama sekali tidak peduli bahkan untuk seorang khalifah sekalipun dan memperlakukan orang Yahudi sama dengan Muslim di hadapan peradilan. [2] Tuntutan agar seorang pemimpin, terlebih jika pemimpin itu Muslim, agar memperhatikan atau bahkan memperlakukan seluruh rakyat tanpa memandang jauh-dekatnya tempat mereka bermukim ialah sangat tepat. Bukan hanya Khalifah Umar, Khalifah Rasyidah keempat yang juga sepupu sekaligus menantu Rasulullah Saw, Ali bin Abi Thalib juga memerintahkan agar bila perlu seorang pemimpin harus mendengar keluhan kaum lemah secara langsung dengan tujuan melindungi hak-hak mereka. Sebuah dokumen penting yang dikenal dengan nama “Surat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib Kepada Gubernur Mesir Malik bin Harits Al-Asytar”, Sayyidina Ali menulis,“…Beberapa kali aku mendengar Rasulullah Saw berkata,“Suatu umat tidak akan disucikan bila hak-hak golongan lemahnya tidak diambilkan dari golongan yang kuat. Mereka (yang lemah itu) bisa meminta hak-haknya dengan tenang”…” [3] Agaknya benar jika seorang rakyat meminta kepala negaranya untuk memperhatikan golongan yang lemah apalagi sedang tertimpa musibah, jika memang memungkinkan orangorang yang mengalami gizi buruk serta campak itu menyampaikan langsung keluhan kepada pemimpin negara. Menyuarakan agar pemimpin berbuat adil dalam kinerja pemerintahannya, meskipun dengan sensasi tertentu adalah suatu hal yang wajar. Tapi, seperti halnya dalam tulisan Prof. Dr. Hamka, dalam menjaga dan membela keadilan, rakyat umum wajib taat kepada Ulil Amri (pemerintah yang sah).[4] Sensasi dalam menyampaikan aspirasi belum tentu akan bersambut dengan apresiasi yang baik, sensasi harus menghadirkan etika dan harus mempertimbangkan keadilan (tidak bermuatan arogansi pribadi). Baiknya dalam hal ini kita belajar dari “Surat Wasiat Ali bin Abi Thalib Kepada Putranya Al-Hasan” yang berbunyi,“…Tinggalkan ucapanucapan tentang hal-hal yang tidak kau ketahui. Jangan berbincang tentang hal-hal yang tidak
Artikel dimuat di Klik Ampera Online 24 Februari 2018 Link : https://www.klikampera.com/surat-dari-dua-sahabat-rasul-kartu-kuning-untuk-siapa/ ditugaskan atas dirimu. Berhentilah bila kau khawatir akan tersesat dalam perjalananmu, sebab berhenti pada saat timbulnya kebimbangan jauh lebih menguntungkan daripada terus mengarungi gelombang-gelombang bencana yang dahsyat…” [5] Surat dari dua Sahabat Rasulullah yang dihormati oleh umat Islam itu adalah “kartu kuning” untuk kita semua. Surat itu bukan tiupan peluit dan acungan buku / map kuning yang hanya ditujukan kepada presiden : tindakan ini belum tentu benar keabsahannya. Pemimpin ada kalanya tidak sempurna dan kurang optimal dalam menjalankan roda pemerintahan, hal ini adalah sesuatu yang wajar karena jajaran pemerintah juga manusia dengan segala kekurangannya. Adapun yang tidak wajar dalam masalah ini ialah orang yang mungkin masih belum mengetahui fakta di lapangan namun terlewat gencar menyampaikan protes tak berkesudahan.
Catatan 1 Talli, Abd. Halim, Asas-Asas Peradilan dalam Risalah Al-Qada : Kritik Terhadap Beberapa Asas Peradilan di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2014. H. 53. 2 Ibid. H. 72 3 Ozal, Korkut, dkk. (Ed.), Nasihat Ali R.A. Kepada Para Pemimpin, Jakarta : Kerjasama Bank Muamalat, ASBISINDO, & Celestial Management Centre, 2008. H. 106. 4 HAMKA, Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta : Gema Insani, 2015. H. 51. 5 Jafri, Sayyid Husain Muhammad, Moral Politik Islam dalam Perspektif Ali bin Abi Thalib, Jakarta : Pustaka Intermasa, 2001. H. 107.
Artikel dimuat di Klik Ampera Online 24 Februari 2018 Link : https://www.klikampera.com/surat-dari-dua-sahabat-rasul-kartu-kuning-untuk-siapa/