Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
Tradisi Keilmuan dalam Budaya Islami Palembang Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd. & Kemas Gerby Novario,S.Pd.
Lumrah ditemukan dalam asumsi masyarakat banyak yang menganggap bahwa melestarikan identitas budaya keagamaan cenderung kepada arah mempertahankan ritual atau upacara tertentu. Benar saja, seperti yang diungkapkan oleh Mukhtar Lubis tentang Manusia Indonesia, alam nusantara mendukung komponen beragam masyarakat untuk menciptakan hasil cipta daya rasa mereka menjadi beragam tarian, lagu, maupun ragam seni lainnya yang bisa juga berbentuk perayaan. Asumsi itu terlepas kebenarannya secara secara konstruksi geografis, kultur, dan historis masih perlu untuk ditinjau kembali kebenarannya. Pasalnya, di era modern ini kebudayaan masihlah dianggap sebagai lahan “menjanjikan” yang bernilai komersil. Pasalnya komersialisasi budaya untuk tujuan promosi kewisataan tidak dapat dipersalahkan apabila pencapaian akhirnya ialah kesejahteraan rakyat umum. Namun, refleksi sesungguhnya dari upaya mempertahankan budaya seharusnya mampu menghidupkan spirit yang positif yang kita dapat dari “perbendaharaan lama” nenek moyang untuk menghadapi kompleksitas kontemporer serta masa depan yang masih menjadi misteri. Meski sebelumnya terdapat kerajaan Sriwijaya yang bercorak Budha mendominasi Sumatera Selatan hingga wilayah Melayu semenanjung, belum lagi ekspansi wilayah oleh kerajaan-kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan Majapahit sempat menggantikan otoritas politik Sriwijaya yang runtuh, masyarakat Palembang akhirnya memilih Islam yang menyebar sejak melemahnya Majapahit. Muslim Palembang dicatatkan dengan baik dalam sejarah Islam di Alam Melayu Saat Kesultanan Demak berusaha membantu Malaka mengusir Portugis pada 1513 dan 1521, pelancong Tome Pires mencatat banyak sekali pasukan Palembang yang rela gugur demi membantu saudara seagamanya. Keislaman Palembang tetap teguh meski didera pertempuran panjang melawan kekuatan kolonialisme seperti VOC dan Hindia Belanda dalam serangkaian konflik bersenjata pada 1659, 1819, hingga 1821. Uniknya, dengan sejarah itu, justru Palembang di masa modern adalah kota dengan pluralitas yang tinggi namun sangat toleran. Penyebab yang paling mendasar dari keunikan identitas keislaman Palembang yang berjiwa “Darussalam” (tempat yang damai) disebabkan kuatnya sebuah tradisi yang kerap luput dalam pandangan masyarakat umum ; Tradisi Keilmuan.
1
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
Kota Pendidikan Politik Islam Masyarakat Palembang sangat akrab dengan nama Raden Patah, seorang tokoh besar perpolitikan Jawa yang diabadikan sebagai sebuah Universitas Islam di Palembang ; UIN Raden Fatah. Raden Patah dikisahkan sebagai putra Brawijaya V raja Majapahit terakhir, namun saat ia dalam kandungan Putri Cina, ibunya dilengserkan oleh sang raja akibat kecemburuan oleh selir lainnya. Tatkala anak Brawijaya V yang bernama Arya Damar hendak berangkat ke Palembang untuk menjabat Viceroy (Raja Muda) Majapahit, di pelabuhan Gresik ia diserahi Putri Cina untuk diperistri, suatu pemberian yang dianggap sebagai anugerah di masa itu. Konon, Putri Cina adalah seorang Muslimah. Sebenarnya, dari kisah ini kita akan mendapati fakta luar biasa tentang Palembang yang tidak sebatas pada romantisme kehidupan ala bangsawan sebagaimana tergambar dari kisah ini. Dengan memperistri Putri Cina, Arya Damar tidak hanya mendapat seorang selir yang rupawan, darinya Arya Damar memeluk Islam. Keislaman Arya Damar baru terjadi saat ia di Palembang dengan meninjau bahwa kemudian namanya yang berubah menjadi ‘Ariodillah’ hanya dikenal oleh masyarakat Palembang, bukan di Jawa. Setelah itu, putra-putra Ariodillah seperti Raden Hasan (secara genetis adalah anak Brawijaya), Raden Husen (putranya dari perkawinan dengan Putri Cina), dan Arya Menak Senoyo (anak dari selir lainnya) dididik sebagai Muslim. Ketiga putranya setelah dewasa berangkat bersama-sama ke Jawa. Selama ini kita hanya kerap mengulas Raden Hasan yang kelak dinamai Raden Patah selaku pendiri Kesultanan Demak di wilayah Bintoro Jawa Tengah. Sesungguhnya selain Raden Hasan, Raden Husen juga berhasil mendapatkan posisi di Keraton Majapahit sebagai kepala keprajuritan dan digelari dengan nama Raden Tandaterung. Arya Menak Senoyo sebagai putra Arya Damar yang jarang diungkap eksistensinya dalam sejarah Palembang justru dihormati di wilayah lain. Sejarah lisan tradisional Pulau Madura (Jawa Timur) ikut mencatatkan Arya Menak Senoyo sebagai putra Rajamuda Majapahit Palembang yang menendirikan kesatuan politik “Keraton Proppo”, cikal bakal Kecamatan Proppo Kabupaten Pamekasan saat ini. Berdasakan kenyataan-kenyataan itu, hampir sulit menafikan posisi Palembang sebagai “Kawah Candradimuka” bagi tokoh-tokoh politik Islam pertama di Jawa. Arya Damar atau Ariodillah harusnya tidak hanya dicatatkan sebagai tokoh politik Palembang masa silam saja, tetapi ia juga patut dilihat sebagai “Mentor Politik” yang mencetak para pemimpin Islam. Tidak heran dalam tulisan Ma’moen Abdullah (1991) dikisahkan bahwa 2
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
setelah kemenangan Demak atas Majapahit, Ariodillah mengadakan pesta di Palembang sebagai rasa syukur. Bisa diartikan bahwa meskipun Raden Patah berada di Demak, Ariodillah tetap membimbingnya dari Palembang untuk kesuksesan karir politik anak tirinya itu. Begitupun Arya Menak Senoyo, dalam buku sejarah Madura berjudul Sangkolan (Indonesia : Warisan) karanagan A. Sulaiman Sadik (2006), anak Arya Damar ini juga berhasil mengembangkan pembuatan kapal, menghidupkan transportasi sungai, serta merintis industri tenun tradisional di Kerajaan Proppo. Arya Menak Senoyo nampaknya membawa pengetahuan dari berbagai bidang yang ditemui selama masa kecilnya di Palembang, mengingat bahwa Palembang telah kesohor dengan dunia transportasi sungai maupun kerajinan tenunnya. Kota Intelektual Islam Jika di zaman ini muncul asumsi “kontradiktif” yang meyakini bahwa fase kebangkitan Islam akan terwujud apabila kaum Muslimin menjadi “terasing”, justru sejarah Palembang menampilkan optimisme kemodernan yang lebih positif. Beberapa waktu belakangan juga sempat mencuat perdebatan tentang soal-soal keagamaan, yang pada intinya adalah mempertanyakan, “Apakah Islam harus tekstual (saja) atau kontekstual ?.” Polemik ini sebenarnya timbul dari “kepikunan” atas fakta sejarah yang menunjukkan betapa Islam harus tetap mengedepankan intelektualitas dengan tidak hanya menekankan pendalaman keilmuan Islam pada bidang tertentu. Kesultanan Palembang Darussalam yang didirikan oleh Susuhunan Abdurrahman pada tahun 1659, tidak hanya berhasil memantapkan posisi Palembang sebagai salah satu kekuatan Islam Melayu. Pasalnya Susuhunan Abdurrahman pada tahun itu memproklamirkan diri sebagai kesultanan yang merdeka dari kekuasaan Mataram Islam. Ia turut menegaskan penguatan identitas Melayu setelah otoritas Jawa kerap mengabaikan Palembang. Independensi Palembang membawa pengaruh besar dalam kemajuan ilmu keislaman karena kiblat intelektual semakin mengarah kepada ortodoksi. Fase kemajuan itu dirasakan pada masa penerus Abdurrahman yakni Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo (1724-1757, karya-karya Fiqh seperti Perukunan Melayu ataupun Masail Al-Muhtadi lumrah digunakan dalam kajian keagamaan tentang masalah-masalah syariat. Nama ahli Fiqh Palembang seperti Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah juga tenar di zaman itu. Zulkifli (1999) dalam tulisannya menyebutkan perkembangan keilmuan Islam Palembang juga pada bidang Teologi. Bidang ini lumrahnya mengkaji masalah seputar sifat 3
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
ketuhanan maupun kajian tentang kerasulan. ‘Ratna Mutu Manikam’ (Magnum Opus) dalam bidang Teologi Palembang adalah kitab Athiyaturrahman karangan Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ahmad Al-Palimbani. Syaikh Muhammad Azhary Al-Palimbani banyak mengulas tentang iman, sifat-sifat Allah, dan sifat iman kepada Allah serta sifat-sifat pertalian atas keduanya. Syaikh Muhammad Azhary bin Abdullah bin Ma’ruf tergolong juga sebagai teolog dengan kitabnya Badi’ Al-Zaman, uniknya dalam karya ini ditegaskan pendirian Teologi Islam di Palembang yang menolak ‘Taqlid Buta’, bahkan dalam salah satu syair kitab ini ia tekankan bahwa Taqlid Buta akan membuat seorang Muslim ‘Tidak Sah Imannya’ : Orang taqlid tiada sah imannya membawa ‘Ashi’ (lalai) pada tuhan demikian hukum dari pada rasulnya iman yang ‘tahqiq’ (pengkajian seksama yang mendetail) jua disuruhnya Kota Ulama Sufi dan Literasi Untuk menciptakan sikap tahqiq itu maka pemerintah Palembang Darussalam sangat mendukung pendalaman agama yang tidak hanya menekankan aspek lahiriah, salah satu contohnya dengan membina koneksi dengan ulama-ulama Timur Tengah. Mal An Abdullah (2015) ikut mengulas sebuah contoh betapa Kesultanan Palembang memberi penghargaan terhadapa para ulama yang datang untuk mengajar, biasanya mereka disebut “Ulama Keraton” umumnya adalah para ‘Sayyid’ (keturunan Rasulullah) asal Hadramaut. Mereka adalah cikal-bakal kaum literati (intelektual tradisional Islam) Palembang. Tidak hanya itu, para Ulama yang berekenan mengajar secara temporal (pemukim semenetara) sangat dihormati posisinya. Salah satu contoh dari ulama pemukim sementara adalah Abdul Jalil, seorang ahli Sufi yang dijodohkan dengan bangsawan wanita Palembang bernama Raden Ranti. Kelak Abdul Jalil mempunyai cucu bernama Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani (lahir 1737), seorang Ulama Intelektual yang memajukan komunitas Ulama “Jawi” yakni kelompok intelektual asal Alam Melayu yang ada di Tanah Suci, tempat Syaikh Abdus Shamad banyak memperdalam ilmu agama. Syaikh Abdus Shamad adalah salah satu ‘personel’ jaringan ulama berpendidikan Timur Tengah yang berkontribusi pada keilmuan Islam di Nusantara bersama Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syaikh Abdurrahman AlJawi Al-Batawi, Syaikh Abdul Wahab Al-Bughisi, dan Sayikh Daud Al-Fathani. Sufi atau bidang Tasawuf yang dianggap sebagai ajaran “kebatinan” atau “Nrimo” tidaklah dikenal di Palembang, sebaliknya justru Tasawuf di Palembang turut memperkaya 4
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
khazanah keilmuan kota ini. Miftah Arifin (2013) mengutipkan dari Drewes dan T. Iskandar mencatatkan naskah-naskah yang ada di Istana Palembang pada abad ke-18, didapatkanlah beberapa hasil karya Ulama internasional maupun lokal seperti di antaranya ialah Idrak AlHaqiqah fi Takhrij Ahadits karya Ali bin Hasan bin Sadaqa Al-Mishri (1640 M), Asrar AlArifin karya Nuruddin Ar-Raniri, dan Umdat al-Muhajirin karya Abdulrauf Al-Sinkili. Tentu judul-judul koleksi keraton ini hanya sebagian kecil dari jumlah kitab yang beredar di Palembang. Kondisi kemajuan intelektual sedemikian itu yang membuat Syaikh Abdus Shamad Al-Palimbani telah cukup siap untuk menuntut ilmu ke Tanah Suci pada usia 13 tahun. Kelak Abdus Shamad menjadi Ulama Tasawuf kharismatik, terpelajar, dan menuliskan banyak kitab seperti Hidayatus Shalikin fi Suluk Maslak al-Muttaqiin, Siyarus Salikin ila Ibadat rabb al-‘alamin, Thufah Al-Raghibin fi Bayan Haqiqat Iman Al-Mu’minin, Nasihat alMuslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin, dan Zuhrat al-Murid fi Bayan Kalimat al-Tawhid. Penutup Melestarikan budaya memang bisa dilakukan dengan cara merayakan (celebrating) hari-hari besar akan momentum tertentu, namun perayaan yang cenderung kepada sikap ‘berbahagia’ tidak boleh mengabaikan aspek memperingati (commemorating) tentang makna yang ada di dalam suatu perayaan. Islam yang telah jauh diserap dalam kebudayaankebudayaan nusantara seharusnya tidak hanya bersifat rituil, mengingat bahwa agama ini juga mewajibkan para pengikutnya untuk Iqra’ (membaca) yang secara lebih luas ialah untuk mempelajari segala hal meliputi masalah meteriil maupun immateriil. Tradisi keilmuan harus segera disadari sebagai aspek terpenting dalam budaya Palembang yang Islami, maka hal tersebut sangat sesuai dengan ‘jiwa zaman’ di era globalisasi ini. Semua ini bisa diwujudkan dengan patron pemerintah, setidaknya dengan menyebarluaskan serta mencetak kembali karya-karya ulama Palembang ke sekolah-sekolah maupun instansi-instansi pemerintah agar generasi kini maupun mendatang bisa berbangga diri akan perbendaharaan lama dari keilmuan moyangnya, agar mereka tidak hanya ‘memodernkan’ diri namun kehilangan identitasnya, supaya mereka menambah kualitas relijius namun tidak terjerumus pada intoleransi, serta agar mereka mampu mencapai ketinggian pengetahuan tanpa mengabaikan kemuliaan moral agamanya. Referensi Abdullah, Ma’moen, Sejarah Daerah Sumatera Selatan, Palembang : Depdikbud, 1991.
5
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
Abdullah, Mal An, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2015. Sadik, A. Sulaiman, Sangkolan, Pamekasan : Dinas P dan K, 2006. Zulkifli, Ulama Sumatera Selatan, Palembang : Penerbit Universitas Sriwijaya, 1999.
6
Artikel Opini dimuat di Koran Berita Pagi Palembang 17 & 19 Juni 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. Email : arafahanakmadura@gmail.com
7