109 minute read
Pendahuluan
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) (PPA) genap berusia 16 tahun pada 27 Februari 2020. Usia PPA memang relatif masih muda bila dibandingkan saudara-saudara BUMN lainnya.
Namun, di usia yang remaja ini PPA dihadapkan dengan berbagai momentum penting sebagai BUMN maupun peran vitalnya sebagai perusahaan pengelola aset. Juga tugasnya untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi (R/R) BUMN. Seperti kita ketahui, Menteri BUMN Erick Thohir sedang gencar melakukan perampingan bisnis-bisnis BUMN yang dianggap sudah banyak keluar dari bisnis inti (core business). Aset-asetnya bertebaran sehingga kurang terkelola dengan baik. Belum lagi kasus-kasus BUMN “sakit” yang masih menunggu “penyehatan”.
Advertisement
“Kami coba turunkan jumlahnya, tapi macam-macam mungkin ada yang bisa ditaruh di PPA karena PPA juga efektif sebagai agen untuk restrukturisasi,” kata Erick Thohir.
Dengan melihat kondisi tersebut, maka peran PPA ke depan akan sangat penting. PPA harus mampu menjalin kerja sama untuk mengelola aset-aset non-core BUMN, menyembuhkan BUMN yang sakit, termasuk melakukan investasi-investasi agar pertumbuhannya
berkesinambungan. Dengan demikian, PPA bisa memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan ekonomi Indonesia.
Posisi PPA kini memang sudah jauh lebih maju dari awal pembentukannya sebagai agen pengelola aset-aset eks BPPN. Kinerjanya terus membaik, meski tantangan yang dihadapinya tidak ringan.
Sebagai perusahaan, PPA ingin terus berkembang dan diperhitungkan, tak hanya pasif menunggu penugasan pemerintah.
Ada keinginan PPA bisa terbang tinggi menjadi perusahaan manajemen aset nasional di masa depan. Di sisi lain, PPA ingin juga menjadi perusahan investasi, melengkapi perannya sebagai agen restrukturisasi BUMN. Gagasan besar lainnya, PPA ingin berkontribusi menurunkan tingkat NPL perbankan melalui pengelolaan aset NPL dan inisiatif lainnya.
Namun, sebelum jauh melangkah, PPA juga harus tetap fokus pada pencapaian target jangka pendek agar dapat menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan, termasuk bisa menekan cost of fund (biaya modal) dari pembiayaan yang dilakukan oleh PPA.
Semua rencana-rencana besar PPA itu sudah pasti membutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan. Dukungan paling utama tentu saja dalam hal regulasi. PPA berharap regulasi yang ada bisa semakin mendukung PPA bergerak lebih leluasa.
Dengan dukungan penuh tersebut, PPA berharap penugasan yang diberikan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2008 bisa terlaksana dengan baik. Lebih dari itu, PPA berharap bisa memberikan kontribusi besar baik secara langsung maupun tidak langsung bagi perekonomian Indonesia.
Namun, ekonomi Indonesia ternyata tak berdiri di atas fondasi yang kuat. Saat krisis finansial mulai menghinggapi Asia Tenggara pada tahun 1996, ekonomi Indonesia ternyata tak bertahan. Krisis moneter kemudian menghantam Indonesia dengan keras pada tahun 1997. Nilai tukar Rupiah anjlok, cadangan devisa habis-habisan, pertumbuhan ekonomi minus, serta inflasi melonjak tinggi saat itu. Dampaknya, banyak perusahaan yang bertumbangan dan akhirnya tidak mampu membayar utang kepada perbankan. Kondisi ini diperburuk oleh praktik-praktik usaha yang tidak sehat.
Sebelum tahun 1997, bank-bank di Indonesia, termasuk bank-bank yang dimiliki konglomerat, gencar mengucurkan kredit tanpa melihat layak tidaknya debitur. Pada tahun 1997 jumlah kredit macet perbankan nasional mencapai Rp234,1 triliun. Tidak hanya bank-bank pemerintah, tetapi juga bank swasta yang tersungkur karena kredit macet.
Pada 1 November 1997, pemerintah akhirnya memutuskan untuk menutup 16 bank bermasalah. Hal itu kemudian memicu rush perbankan. Masyarakat ramai-ramai menarik uangnya karena khawatir akan terjadi lagi penutupan bank,
sehingga uang mereka hilang. Apalagi, saat itu belum ada institusi semacam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin dana-dana milik nasabah.
Untuk membantu mengatasi kondisi perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto memutuskan meminta bantuan International Monetary Fund (IMF). Pada 15 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Berdasarkan kesepakatan itu, IMF memberi bantuan finansial, tetapi disertai dengan sejumlah syarat untuk perbaikan ekonomi. Salah satu yang disyaratkan adalah pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pada Februari 1998, pemerintah akhirnya membentuk BPPN melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998. Berdasarkan Keppres tersebut, tugas pokok BPPN adalah melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Dalam menjalankan tugasnya, BPPN juga ditopang oleh Keppres No. 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai landasan hukum operasio- nal. Selanjutnya diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
BPPN berada di bawah Kementerian Keuangan, dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan yang saat itu dijabat oleh Mar’ie Muhammad.
Awalnya, BPPN belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta sistem dan prosedur kerja. Gedung masih menumpang di gedung Bank Indonesia. Sebagian pegawai masih dari tenaga bantuan dari BI, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Departemen Keuangan.
Kantor BPPN seperti pusat gawat darurat. Lampu kantornya menyala 24 jam karena banyaknya aset dan bank yang harus dita- ngani. Banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan ini membuat
BPPN banyak merekrut kembali karyawan dari bank-bank yang ditutup.
Langkah BPPN menangani aset-aset tersebut bukanlah hal yang mudah. Pada periode 1999 hingga akhir 2000, seharusnya BPPN sudah mengumpulkan banyak aset dan bisa menjualnya untuk kepen- tingan negara.
Namun, menjual aset tidak mudah dilakukan BPPN. Beberapa ganjalan masalah, adalah dokumen tidak lengkap, dan aset yang dikuasai oleh pihak lain.
Pada 2004 masa tugas BPPN berakhir. Berdasarkan Pasal 11 PP Nomor 17 Tahun 1999, bila BPPN telah menyelesaikan tugasnya, maka BPPN dibubarkan.
Saat tugas BPPN berakhir, nilai seluruh aset yang berada di tangan mencapai Rp 640 triliun. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, maka tugas BPPN pun selesai.
Seiring berakhirnya tugas BPPN masih menyisakan aset-aset yang harus dikelola oleh Menteri Keuangan. Untuk itu, Pemerintah membentuk PPA berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2004 tanggal 27 Februari 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, yang mana tugas PPA adalah melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari BPPN, untuk dan atas nama Menteri Keuangan, khususnya aset yang tidak terkait perkara.
Pada perkembangan selanjutnya, tugas PPA tak lagi untuk menangani aset-aset warisan BPPN, tetapi juga menyehatkan BUMN-BUMN yang “sakit”.
bab II
KELAHIRAN PPA
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri menyampaikan pesan bahwa pada 2004 periode krisis di Indonesia telah berakhir, ditandai dengan pembubaran BPPN.
Krisis Sudah Berakhir
Krisis moneter pada tahun 1998 mewariskan banyak hal, salah satunya adalah aset-aset bekas kelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Semasa hidupnya, BPPN banyak menangani aset-aset eks obligor (penerima BLBI/ Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang sebagian besar tidak free and clear. BPPN harus menuntaskan tugasnya tersebut, di tengah semua tantangan dari eksternal maupun internal.
Kehadiran BPPN menjadi sebuah penanda bahwa pemerintah masih berjuang untuk mengatasi krisis terburuk dalam sejarah Indonesia tersebut. Lima tahun berlalu sejak BPPN dibentuk, pemerintahan era reformasi di bawah Presiden Megawati Soekarnoputri akhirnya menuntaskan tugas lembaga tersebut, tepat pada 27 Februari 2004.
“Pembubaran BPPN ini untuk memberikan pemberitahuan ke lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti World Bank dan IMF, bahwa krisis di Indonesia sudah berakhir pada 2004,” kata Dirut PPA periode 2004-2009, Mohammad Syahrial.
Namun, menutup BPPN, bukan berarti persoalan selesai. Salah satu pekerjaan rumah adalah nasib aset-aset yang masih tersisa setelah BPPN bubar. Juga nasib pegawai-pegawai BPPN yang sebagian besar merupakan orang-orang yang kompeten di bidang pengelolaan aset tersebut.
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk membentuk sebuah perseroan terbatas (PT) yang punya peran mengelola aset-aset eks BPPN setelah dibubarkan.
Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, secara gamblang menjelaskan pertimbangan pemerintah soal pembentukan PPA, setelah bubarnya BPPN yang ditetapkan
dalam Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengak- hiran Tugas dan Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001, dan dengan memperhatikan kebutuhan untuk mengelola kekayaan negara sebagaimana ditentukan dalam pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, maka didirikanlah perusahaan perseroan (Persero) di bidang pengelolaan aset.
Tokoh kunci, seperti Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Menko Perekonomian 2001-2004), Boediono (Menteri Keuangan 2001-2004), Laksamana Sukardi (Menteri BUMN 2001-2004), dan Syafrudin Arsjad Temenggung (Kepala BPPN 2002-2004), dianggap punya andil dalam pembentukan perseroan yang bersifat ad hoc, yang kini kita kenal sebagai PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Pembentukan PPA seperti menyerahkan tongkat estafet dari BPPN, dilakukan pada hari yang sama, yakni pada 27 Februari 2004. PPA dinyatakan berdiri, setelah pada malam sebelumnya BPPN di- nyatakan ditutup oleh pemerintah. Aset-aset BPPN semua menjadi milik negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan yang kala itu dijabat oleh Boediono, pada tanggal yang sama dilakukan serah terima.
Mohammad Syahrial, yang merupakan mantan pegawai BPPN, dipercaya sebagai Direktur Utama PPA yang pertama. Syahrial yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Aset Manajemen Kredit BPPN itu, langsung dilantik pada hari yang sama. Langkah pertama Syahrial sebagai Dirut PPA adalah melakukan penilaian aset.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa nilai aset eks BPPN merupakan hasil penilaian terkini sebelum dikelola oleh PPA. Hal lain yang juga tak kalah penting pada periode awal PPA adalah membangun kepercayaan sebagai perusahaan yang baru berdiri. Poin pentingnya adalah meyakinkan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, DPR, hingga lembaga penegak hukum dan pengawas, bahwa PPA mulai dikelola secara transparan dan tak ada konflik kepentin-
gan. Semua langkah itu untuk confidence building yang menjadi fondasi operasional PPA.
“Kenapa harus confidence building? karena kita melakukan hal-hal yang diminta oleh negara. Ini penting karena kita melakukan penagihan, restrukturisasi, peningkatan nilai, dan divestasi aset. Bila PPA tak punya confidence building, maka investor ataupun pihak ketiga tidak akan percaya PPA,” kata Syahrial.
Pada tahun pertama hingga kelima, PPA fokus pada pengelolaan aset eks BPPN. Pada periode ini PPA melakukan divestasi aset, termasuk saham dan piutang. PPA tak sekadar melakukan divestasi, melainkan juga melakukan restrukturisasi piutang, termasuk pena- gihan piutang. PPA juga melakukan restrukturisasi perusahaan, serta pengembangan dan pendayagunaan aset, termasuk melalui kerja sama dengan pihak lain.
Pengelolaan aset mencakup saham dan kredit, antara lain Tuban Petro, serta saham bank antara lain Permata Bank, BTPN, Bank Danamon, dan BCA. Juga ada saham non-bank, hingga lebih dari 3.000 aset properti. Secara total kontribusi PPA terhadap APBN mencapai Rp18 triliun selama periode 2004-2008.
Pada 2008 tonggak penting bagi PPA akhirnya dimulai. Pada akhir 2008 pemerintah memutuskan memperluas mandat PPA, yakni tak hanya pengelolaan aset eks-BPPN, tapi juga restrukturisasi dan/atau revitalisasi (R/R) BUMN.
Tugas diperpanjang karena Merpati
Sering kali kejadian yang tak diduga bisa mengubah banyak hal, bahkan perubahan besar. Ini juga yang terjadi pada PPA. PPA yang awalnya akan berakhir setelah lima tahun beroperasi, ternyata berumur panjang karena mendapat mandat untuk menyehatkan BUMN
PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) yang jatuh sakit.
Padahal, dua tahun sebelum rencana PPA dibubarkan oleh pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani kala itu sudah mempersiapkan pengakhiran tugas dari PPA. “Karena saya tidak ingin PPA seperti BPPN, yang sudah habis masa tugasnya, namun masih banyak masalah. Jadi, dari sekarang sudah mulai kita siapkan sejumlah exit policy untuk PPA,” kata Sri Mulyani, pada 30 Maret 2007.
Enam bulan sebelum jadwal pengakhiran tugas PPA pada Fe- bruari 2009, rencana membubarkan BUMN ini makin mantap. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan sudah menyiapkan bebe- rapa perusahaan yang bisa menjadi rumah bagi para eks pegawai PPA, antara lain Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF).
Di tengah rencana untuk mengakhiri tugas PPA, pada Agustus 2008, PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) mulai menunjukkan tanda-tanda sakit parah. Pada sidang kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diputuskan bahwa PPA akan mendapat tugas baru, yakni menangani Merpati yang sedang kesusahan. Penanganan Merpati akhirnya menjadi tonggak penting dimulainya periode baru bagi PPA dalam mengemban tugas R/R BUMN-BUMN.
Pada 4 September 2008, Presiden SBY mengeluarkan Peratu- ran Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset, diberikan tugas sebagai berikut:
• Pengelolaan aset negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setelah pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, untuk dan atas nama Menteri
Keuangan; • Restrukturisasi dan/atau revitalisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN);
• Kegiatan investasi; • Kegiatan pengelolaan aset BUMN.
Selanjutnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.06/2009 tentang Pengelolaan Aset yang Berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero); dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2009 tentang Pengelolaan Aset Eks Kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan peraturan yang diteken Sri Mulyani, Pemerintah menyerahkan kelolaan kembali sebanyak 20 aset yang terdiri atas aset saham bank dan non-bank, serta aset saham dan kredit (korporasi) senilai total Rp3,06 triliun pada tanggal 12 Juni 2009 melalui penandatanganan Perjanjian Pengelolaan Aset antara Menteri Keu- angan yang diwakili oleh Dirjen Kekayaan Negara dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Selain itu, secara khusus kegiatan R/R BUMN dilaksanakan berdasarkan penugasan dari Menteri BUMN kepada PPA. Pelaksanaan kegiatan R/R mengacu pada Peraturan Menteri BUMN Nomor 01 Tahun 2009 tentang Pedoman Restrukturisasi dan Revitali- sasi Badan Usaha Milik Negara oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Pengelola Aset.
Setelah payung hukum terbentuk, PPA mulai menjalankan pe- rannya untuk melakukan R/R BUMN. Merpati adalah pasien pertama PPA yang harus disembuhkan. Nama-nama BUMN, seperti PT Waskita Karya, PT Industri Sandang Nusantara, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Semen Kupang, masuk sebagai pasien PPA pada periode 2009. Setahun setelahnya, PT Survai Udara Penas dan PT PAL Indonesia masuk dalam program RR PPA. Lalu pada 2011 muncul PT Iglas, PT Dirgantara Indonesia, dan PT Djakarta Lloyd.
Pada 2012, setelah beberapa BUMN berhasil disehatkan melalui program R/R, masuk lagi beberapa BUMN, seperti PT Industri Kapal Indonesia dan PT Nindya Karya. Pada periode 2013-2015
masuk PT Istaka Karya dan PT Kertas Leces. Setelah itu hingga 2018 tak banyak berubah daftar BUMN yang masuk skema R/R dari PPA.
Pada kenyataannya, BUMN-BUMN yang masuk program R/R tak semuanya bisa disehatkan. Hal ini diakui oleh Henry Sihotang, Dirut PPA 2017-2019. “Dari 13 BUMN waktu itu, meski sudah direstrukturisasi, tapi saya melihat tidak berhasil. Sebagian besar itu tidak berhasil,” kata Henry.
Banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan tersebut. Salah satunya adalah kondisi BUMN yang bersangkutan, biasanya kondisi keuangan sudah sangat parah dan berhenti beroperasi pada saat diserahkan kepada PPA. Ada pula yang meski sakit, tetapi kondisinya sudah hidup segan mati tak mau. Selain itu, dana-dana PMN yang disuntikkan oleh PPA ke BUMN-BUMN sakit bisa dikatakan sebagian besar macet. BUMN-BUMN itu tidak memiliki kemampuan menyelesaikan kewajiban keuangan mereka.
Meski demikian, ada pula program R/R PPA yang berhasil. BUMN tersebut bahkan sudah bisa mandiri dan meraup laba. Contohnya adalah PT Waskita Karya dan PT Nindya Karya. PT Waskita Karya akhirnya lepas dari PPA dan dikembalikan menjadi BUMN setelah sempat jadi anak usaha PPA. Sementara PT Nindya Karya, saat ini statusnya masih menjadi anak perusahaan PPA, meski kondisinya sudah semakin sehat.
Sejak 2008 hingga 2015 dari total dana PMN untuk R/R yang diterima sebesar Rp2,445 triliun, sebagian besar telah digunakan untuk R/R PT Dirgantara Indonesia, PT Merpati Nusantara Airlines, PT PAL Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT Industri Gelas, dan PT Industri Kapal Indonesia.
PPA sejak awal mulai menyadari bahwa penugasan-penugasan itu tentu tak cukup membuat PPA bisa berjalan secara berkesinambungan sebagai perusahaan.
Hingga akhirnya munculah gagasan mengembangkan lini investasi yang sudah ada sejak 2008, dan kemudian diakselerasi pada
tahun 2014. Lini investasi ini diharapkan bisa menjadi kunci sukses PPA di masa depan.
Kesadaran soal Investasi
Paradigma baru terus berkembang, PPA tak hanya sebagai pe- ngelola aset eks BPPN dan melakukan R/R BUMN bermasalah. Pada awal periode kedua, upaya mencari peluang baru selain dua tugas utama PPA sudah dilakukan.
Pada Juli 2008, PPA meminta bantuan saudaranya sesama BUMN, yaitu PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan PT Danareksa, untuk melakukan kajian perubahan ruang lingkup tugas PPA. Kajian ini cukup menarik, karena awalnya PPA mendapat tugas berat melakukan R/R terhadap BUMN-BUMN sakit.
Hasil kesimpulan kajian itu, antara lain: PPA sebagai pengelola BUMN rugi dan saham minoritas dengan tetap mempertimbangkan aspek legalitas, perpajakan, keuangan dan akuntansi, serta manajemen dan komersial, menilai bahwa pengelolaan BUMN rugi le- bih baik dilakukan melalui kuasa pengelolaan. Adapun pengelolaan saham minoritas diserahkan ke dalam induk perusahaan. PPA juga dapat melakukan pengelolaan atas BUMN/aset lainnya yang disetujui/diserahkan oleh Kementerian BUMN untuk dikelola.
Hal yang menarik, PPA memiliki kompetensi untuk melakukan pengelolaan aset non-core BUMN yang belum optimal maupun aset-aset non-BUMN. Peran ini bisa dioptimalkan saat persoalan ini mencuat baru-baru ini bahwa banyak bisnis BUMN yang sudah ba- nyak keluar dari bisnis intinya.
Yang tak kalah menarik, PPA juga dinilai punya kemampuan keuangan dan kelayakan komersial untuk melakukan fungsi investasi. PPA dinilai dapat melakukan fungsi investasi pada BUMN rugi dan aset non-core BUMN yang belum optimal dengan memenuhi kriteria investasi yang wajar, maupun investasi dalam proyek yang prospektif lainnya.
PPA juga punya kemampuan dalam menyediakan jasa advisory. PPA dapat memberikan jasa konsultasi untuk aset-aset yang akan dikelolanya, khususnya pada konsultasi pembenahan struktur keuangan.
Terakhir, PPA punya kemampuan menjalankan penugasan lainnya dari Kementerian BUMN, sepanjang terkait dengan pengelolaan aset BUMN.
Namun, untuk menopang sisi investasi, PPA butuh instrumen sebagai alat melakukan investasi. Pembentukan anak-anak usaha jadi jawaban berikutnya.
Anak Usaha sebagai Kunci
PPA pada periode kedua sejak 2009 sudah mulai memberanikan diri memiliki anak usaha yang bisa menjadi penopang bisnis. Pembentukan anak usaha banyak dilatari dari kebutuhan untuk mendukung kegiatan PPA sebagai induk usaha.
“Saya waktu itu tak disuruh untuk punya anak usaha, tapi inisia- tif sendiri, karena PPA terus diminta atau dititahkan untuk membantu perusahaan BUMN lain yang bermasalah. Tapi, di sisi lain, PPA juga disuruh untuk menjadi perusahaan yang sehat,” kata Boyke Eko Wibowo Mukijat, Direktur Utama PPA 2009-2014.
PPA punya kontrol penuh terhadap anak usahanya, misalnya pada anak usaha PT Nindya Karya dan eks anak usaha PT Waskita Karya. Terbukti, dengan skema R/R melalui anak usaha langsung oleh PPA, kedua BUMN tersebut bisa berlari kencang, bahkan bisa berkontribusi signifikan bagi PPA maupun Negara.
“Dari sisi kontribusi total pendapatan saat ini, Nindya Karya yang paling terbesar kontribusinya buat PPA keseluruhan,” kata Direktur Investasi PPA Nasrizal Nazir.
Jika menggunakan skema financial controller atau hanya dapat
“Pinjaman atau utang akan memunculkan beban bunga. Sedangkan skema ekuitas dengan PPA masuk sebagai anak usaha, tak ada beban bunga bagi BUMN yang masuk R/R,”
kata Sekretaris Perusahaan PPA Edi Winanto. mengawasi dan mengatur aspek keuangan, PPA punya keterbatasan dan tak efektif. Skema R/R dengan skema PPA sebagai financial controller maka konsekuensinya timbul beban pinjaman ke BUMN yang sakit.
“Pinjaman atau utang akan memunculkan beban bunga. Sedangkan skema ekuitas dengan PPA masuk sebagai anak usaha, tak ada beban bunga bagi BUMN yang masuk R/R,” kata Sekretaris Perusahaan PPA Edi Winanto.
Untuk kali pertama PPA pu- nya anak usaha yang diberi nama PT PPA Finance pada 21 Desember 2009. PPA mendirikan PT PPA Finance, sebagai anak perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan. Modal disetor pembuatan anak usaha ini mencapai Rp150 miliar. Hal yang menggembirakan, aset PT PPA Finance pada triwulan II-2019 sudah mencapai Rp1,056 triliun.
Boyke mengatakan, sebelum ada PPA Finance, pengelolaan cash management di PPA harus menaruh uang di 40 bank untuk mendapatkan pemasukan.
“PPA diminta oleh Kementerian BUMN tak mencari untung dari hasil penempatan uang di bank, me-
lainkan diminta untuk bantu saudara perusahaan BUMN sakit,” kata Boyke.
“PPA dititipkan uang oleh Kementerian BUMN dan Kemenkeu sekian triliun rupiah, bukan buat gaya-gayaan. Jadi kalau untung, bukan karena dari bunga deposito perbankan, tapi karena PPA membantu saudara sesama perusahaan BUMN yang sedang bermasalah. Itu sah, dapat untung dari situ,” jelas Boyke.
Pada 17 Desember 2011, PPA kembali mendirikan anak usaha, bernama PT PPA Kapital, anak perusahaan yang berge- rak di bidang jasa investasi, pengelolaan aset, dan konsultasi bisnis (advisory). Dengan modal disetor Rp100 miliar, aset pada triwulan II-2019 anak usaha PPA ini sudah tembus Rp1,769 triliun.
PPA Kapital memiliki anak usaha di berbagai lintas industri melalui penyertaan saham, antara lain pada 2016 masuk ke PT Duta Mentari Raya dengan 99,9% saham. Pada 2018 masuk ke PT Bondi Syad Mulia hingga 75%, PT SIPPA Kemasan Internasional 99,99% saham, PT Magnesium Gosari International 51%, PT Matoa Kidung Samudera 60%, PT Matoa Kidung Bahtera 60%, dan pada 2019 PT Rejeki Intilogam Jaya dengan penguasaan saham sejumlah 72,5%.
Pada bidang investasi/pembiayaan, PPA sudah melakukan total investasi/pembiayaan mencapai Rp5,796 triliun pada 2019 mencakup sektor properti, petrokimia, pupuk, perikanan, energi, dan transportasi. Investasi melalui kepemilikan langsung maupun tak langsung, termasuk pembiayaan.
Investasi yang dilakukan dalam bentuk instrumen surat berharga termasuk kuasi ekuitas. Jumlah itu memang masih kecil dan tentu bisa dikembangkan lagi di masa depan sebagai bagian menciptakan kreasi nilai bagi PPA. “Ada sektor yang belum bisa masuk, seperti kehutanan dan alutsista,” kata Nasrizal Nazir.
Sejak Januari 2018, PPA tidak lagi mengelola aset eks-BPPN. Pada tahun yang sama PPA gencar berinvestasi melalui PPA Kapital sebagai harapan baru PPA ke depannya.
PPA Tak Lagi Kelola Aset EksBPPN
Sejak Januari 2018, PPA tidak lagi mengelola aset eks-BPPN. Aset ter- akhir yang dikembalikan ke Kementerian Keuangan adalah aset-aset Tuban Petro Group senilai Rp3,2 triliun.
Fakta ini tentu menentukan arah PPA berikutnya. Setelah tak mengelola aset-aset eks-BPPN, ada kesempatan bagi PPA untuk fokus melakukan R/R BUMN dan investasi. Namun, PPA punya kesempatan lain tetap berge- rak di roh utamanya dalam pengelolaan aset lainnya, seperti aset BUMN, BUMD atau swasta.
Momentum pengembalian seluruh aset eks BPPN termasuk tonggak pen- ting bagi PPA. Pada akhirnya setelah 14 tahun, amanat itu kembali diserahkan kepada Kementerian Keuangan. Pada tahun yang sama PPA gencar berinvestasi melalui PPA Kapital sebagai harapan baru PPA ke depannya.
“Untuk kali pertama PPA punya anak usaha yang diberi nama PT PPA Finance pada 21 Desember 2009. Modal disetor pembuatan anak usaha ini mencapai Rp150 miliar. Hal yang menggembirakan, aset PT PPA Finance pada triwulan II-2019 sudah mencapai Rp1,056 triliun.
bab III
MILESTONE
Grup Texmaco merupakan salah satu perusahaan yang paling sulit ditangani PPA. Kondisi asetnya terbengkalai, sehingga investor jarang yang berminat. Bila pun ada, pihak investor menawar di bawah harga dasar. Upaya divestasi aset Texmaco mengalami kegagalan. Aset Grup Texmaco akhirnya dikembalikan lagi kepada pemerintah pada 2014.
Rumitnya Menangani Grup Texmaco
Grup Texmaco merupakan perusahaan yang dirintis oleh Marimutu Sinivasan tahun 1970-an. Ia mengawalinya dari impor tekstil dari India. Pada awalnya, Texmaco bergerak dalam perdagangan produk-produk tekstil, kemudian berkembang menjadi perusahaan manufaktur yang memproduksi sendiri produk-produk tekstil. Texmaco merupakan kependekan dari Textile Manufacturing Company.
Bisnis Texmaco berkembang pesat, didukung oleh kondisi perekonomian eksternal dan internal yang sedang prima pada saat itu. Unit-unit usaha baru terus dibuka, termasuk pembentukan lini bisnis permesinan, PT Texmaco Perkasa Engineering (PT TPE). Awal- nya, divisi permesinan hanyalah untuk mendukung industri tekstil- nya. Di kemudian hari, divisi ini mengalami diversifikasi usaha dalam bidang rekayasa (engineering) dan otomotif.
Pada masa keemasannya, PT TPE merupakan salah satu perusahaan manufaktur tercanggih yang pernah dimiliki Indonesia. Salah satu produk yang sangat fenomenal adalah truk Perkasa, yang me- rupakan produk otomotif pertama yang diproduksi oleh perusahaan Indonesia.
Masa keemasan Texmaco runtuh saat krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1997/1998. Krisis menyebabkan kinerja keua- ngan Grup Texmaco merosot dan sejumlah proyek di bidang engineering terhenti. Tingginya utang dalam Dollar AS membuat kinerja Texmaco makin terpuruk sehingga kreditnya macet.
Pada akhirnya, Grup Texmaco harus diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Total kewajiban Grup Texmaco (pokok dan bunga) mencapai Rp29,04 triliun per 30 April
2002. Ia masuk dalam “Top 21 Obligor” BPPN.
Kredit Grup Texmaco dialihkan ke BPPN secara bertahap dari tahun 1999 hingga Maret 2000. Itu merupakan kre- dit Grup Texmaco yang berasal dari BNI, BRI, Bank Mandiri (eks Bank Exim), serta beberapa bank swasta nasional.
Dalam upaya menyelesaikan pena- nganan atas Grup Texmaco, BPPN membentuk dua New Company (Newco) atau perusahaan baru melalui spinoff, yakni Newco bidang tekstil PT Bina Prima Perdana (BPP) dan Newco bidang engineering PT Jaya Perkasa Engineering (JPE). Hal itu didasarkan pada Keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Kep.03/K.KKSK/10/2000 tertanggal 2 Oktober 2000.
BPPN memiliki 70% saham di BPP dan di Texmaco sebesar 30%. Di JPE, BPPN 0%, sementara Texmaco sebesar 100%. Newco itu menerbitkan obligasi tukar atau exchangeable bond (EB), yaitu memberikan hak opsi kepada BPPN untuk menukar obligasi ke dalam sejumlah saham senilai piutang yang dialihkan. Adapun jangka waktunya selama 11 tahun.
Setelah melakukan restrukturisasi, BPPN kemudian mulai menjual hak tagih dan saham Texmaco. Sayangnya, tiga kali tender tidak menghasilkan pe-
menang. Hingga BPPN dibubarkan dan aset-asetnya dikelola PPA, Texmaco belum juga terdivestasi. Ini disebabkan karena besarnya beban utang dan tunggakan yang ditanggung oleh Texmaco. Sementara asetnya sudah dalam kondisi yang sulit dioptimalkan.
Dalam perjalanannya, penyelesaian kewajiban Grup Texmaco ke BPPN tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan. Akibatnya, BPPN menerbitkan Surat Pernyataan Kelalaian (Default Notice) pada 26 Februari 2004. Berdasarkan akta Pernyataan dan Kesanggupan Nomor 51, Marimutu Sinivasan selaku pribadi sekaligus pendiri Grup Texmaco beserta operating companies telah menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan exchange option atau opsi penjualan apabila pemerintah atau pihak yang ditunjuk pemerintah bermaksud melakukan exchange option atau exchangable bond yang diterbitkan BPP dan JPE.
Mulai Oktober 2004, Grup Texmaco dialihkan ke PPA. Sebelum dialihkan, pemilik lama Grup Texmaco, yakni Marimutu Sinivasan, diminta menandatangani surat pernyataan dan kesanggupan untuk bekerja sama dengan pemerintah. Surat tersebut menjadi landasan agar pemilik lama mendukung proses-proses yang dilaksanakan PPA.
Sebagai langkah awal, PPA melakukan verifikasi aset dan menunjuk konsultan untuk penanganan aset Grup Texmaco. Dalam pengelolaannya, PPA menunjuk PT Bahana Sekuritas sebagai konsultan keuangan dan penilai untuk melakukan financial due dilligence, kajian usaha dan penilaian aset tagihan dan saham Texmaco Group.
Berdasarkan kajian tersebut, ada tiga opsi untuk pengelolaan Grup Texmaco, yakni revitalisasi dan restrukturisasi (RR), penjualan (disposal), dan tindakan hukum (likuidasi dan eksekusi). Opsi RR membutuhkan dana hingga 400 juta Dollar AS yang sebagian besar untuk capital expenditure dan modal kerja. Opsi itu tidak mungkin
diambil karena pemerintah tidak mungkin menyediakan dana sebesar itu. Sementara opsi tindakan hukum mengandung ketidakpastian tinggi dan permasalahan sosial yang kompleks. Akhirnya, opsi disposal kre- dit yang diambil.
PPA kemudian melakukan disposal atas hak tagih dan aset Texmaco pada tahun 2007. Disposal baru bisa dilakukan setelah BPK menyelesaikan audit, yang hasilnya digunakan oleh Menteri Keua- ngan untuk menetapkan harga dasar.
Disposal dilakukan dengan sistem paket, yakni hak tagih atas utang divisi tekstil dan divisi engineering yang jumlahnya mencapai Rp27,7 triliun.
Saat itu, disposal dilakukan dalam satu paket, yakni hak tagih kepada PT Bina Prima Perdana berupa exchangeable bond (EB) senilai Rp5,4 triliun dan 292 juta Dollar AS, PT Jaya Perkasa Engineering (EB senilai Rp5,77 triliun dan 1,487 miliar Dollar AS), PT Texmaco Jaya Tbk (Rp30 miliar dan 203 ribu Dollar AS), PT Wastra Indah (Rp878 juta), dan PT Polysindo Eka Perkasa Tbk (Rp38 miliar dan 80 juta Dollar AS). Adapun total tagihan mencapai Rp11,255 triliun dan 1,86 miliar Dollar AS, termasuk dalam paket yang dilelang adalah 70 persen saham dalam PT BPP.
Proses disposal juga tidak mudah, karena pemilik lama kurang kooperatif dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham untuk menyetujui disposal aset Grup Texmaco. Karena itu, PPA bekerja sama dengan jaksa pengacara negara untuk meminta penetapan pe- ngadilan bahwa PT BPP bisa melaksanakan RUPS dengan kuorum di bawah ketentuan. Pengadilan akhirnya memberikan penetapan, sehingga PPA bisa melakukan disposal.
Pada proses disposal Februari 2007, sempat ada tiga penawar yang masuk. Namun, PPA tidak berhasil mendapatkan pemenang karena harga penawaran yang masuk di bawah harga dasar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
PPA tetap mengelola aset-aset Texmaco hingga tahun 2014. PPA selanjutnya mengembalikan Texmaco kepada Kementerian Keuangan, dengan pertimbangan banyaknya masalah hukum yang membelit.
Salah satunya masalah hukum terkait perburuhan. Pe- ngadilan sudah mengeluarkan putusan berkekuatan hukum tetap, yang pada intinya memenangkan gugatan buruh Texmaco. Putusan itu menimbulkan kewajiban hukum bagi perusahaan untuk membayar pesangon.
Tak hanya itu, sebagian besar jaminan dari Texmaco tidak dilakukan pengikatan. Jika pemerintah ingin melakukan penyitaan, harus melalui proses peradilan terlebih dahulu, yang akan memakan waktu dan biaya.
Di tengah proses disposal, pemilik lama Texmaco mengajukan gugatan. Texmaco mengajukan gugatan kepada PPA, BNI, dan Kementerian Keuangan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan perjanjian restrukturisasi utang atau master restructuring agreement (MRA) yang ditandatangani pemerintah dan Texmaco pada 23 Mei 2001 tidak sah.
Pada Desember 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Sinivasan. Majelis hakim juga mengabulkan gugatan pengembalian aset-aset Texmaco dan pengembalian dua Newco ke posisi semula. Hakim menilai pengambilalihan aset Grup Texmaco melanggar hukum. Penghitungan utang sebesar Rp29 triliun dianggap tidak berdasar. Atas keputusan tersebut, PPA mengajukan ban- ding ke Pengadilan Tinggi DKI. PPA/ Pemerintah menang di Pengadilan Tinggi dan Kasasi di MA. Kemudian Grup Texmaco mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA, namun hasilnya ditolak. Aset Grup Texmaco dikembalikan ke Kementerian Keuangan pada 2014.
Sukses PPA di Waskita Karya
Waskita Karya merupakan salah satu BUMN yang feno- menal. Kondisinya sempat terpuruk hingga kemudian berhasil disehatkan oleh PPA. Kini, Waskita Karya merupakan salah satu BUMN penting yang berperan besar dalam pembangunan infra- struktur Indonesia.
PT Waskita Karya (PT WK) merupakan salah satu BUMN yang menjadi “pasien” PPA setelah mengemban tugas untuk menjalankan Restrukturisasi dan/atau Revitalisasi (R/R) BUMN.
PT WK harus disehatkan setelah diketahui mengalami defisit. Sebelum akhirnya diserahkan ke PPA, PT WK mengalami overstated sebesar Rp621,8 miliar untuk laporan pendapatan tahun 2003 hingga 2007. Kenyataannya, ekuitas PT WK adalah negatif Rp190,8 miliar. Kondisi ini memunculkan risiko pengurangan atau pemberhentian fasilitas pinjaman bank serta risiko tidak memenuhi kriteria untuk mengikuti tender.
Upaya menyehatkan PT WK dilakukan melalui penambahan modal oleh PPA sebesar Rp475 miliar melalui KEP-137/ MBU/2009 tentang Penetapan Restrukturisasi dan/atau Revita- lisasi PT WK oleh PPA.
Penyertaan Modal Sementara oleh PPA ke PT WK sebesar Rp475 miliar tersebut merepresentasikan 99% saham. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2010 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan Perseroan PT WK. Sebagai pemegang 99% saham, PPA berhak menempatkan perwakilan di jajaran manajemen PT WK.
Tahun 2010, dilakukan serangkaian proses restrukturisasi terhadap PT WK, antara lain penandatanganan Rancangan Pe- ngambilalihan dalam rangka restrukturisasi PT WK pada 24 Mei 2010. Kemudian dilakukan penyempurnaan pada 9 Juli 2010 yang selanjutnya disampaikan PPA kepada Menteri BUMN pada 12 Juli 2010. Pada 20 Juli 2010, dilakukan penandatanganan Perjanjian
Penyertaan Modal PPA di PT WK.
Skema penyertaan modal dilakukan dengan dua cara : pertama, penyertaan modal PPA pada PT WK. Kedua, penerbitan surat utang PPA yang dibeli oleh PT WK senilai Rp275 miliar. Adapun jatuh tempo pembayaran surat utang tersebut, yakni pada 22 Juli 2011 atau dapat diperpanjang sampai 31 Desember 2014.
PPA berhasil melaksanakan restrukturisasi PT WK yang terlihat dengan membaiknya kondisi keuangan, sehingga dapat kembali mengikuti tender beberapa proyek pembangunan. PT WK bahkan dapat membukukan laba bersih Rp124 miliar pada 2010, meningkat tajam hingga 243% dari laba bersih tahun sebelumnya.
Peningkatan laba disebabkan karena adanya peningkatan kontrak baru yang diperoleh PT WK. Pada kinerja 2010, laporan keuangan WK dikonsolidasikan ke dalam pembukuan PPA. Hal itu dalam rangka restrukturisasi yang mengakibatkan PPA me- ngambil alih 99% saham WK.
Pada tahun 2012, PT WK akhirnya kembali menyandang status sebagai BUMN, seiring terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2012 tentang Pengurangan Penyertaan Modal Negara pada PPA yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 20 Oktober 2012.
PP itu menyebutkan adanya pengurangan penyertaan modal negara sebesar Rp804,671 miliar, yang terdiri atas modal disetor PT PPA pada PT WK sebesar Rp474,992 miliar dan Rp329,679 miliar akumulasi keuntungan porsi penyertaan PT PPA pada PT WK, yang diambil dari sebagian modal PT PPA untuk restrukturisasi dan/atau revitalisasi PT WK.
“Pengurangan penyertaan modal negara itu menjadikan kepemilikan saham PT PPA pada PT WK beralih menjadi saham milik Negara pada PT WK, sehingga menjadikan PT WK sebagai BUMN,” bunyi Pasal 3 Ayat (1) PP tersebut.
Dengan adanya pengalihan saham PPA itu, kepemilikan saham negara secara langsung pada PT WK menjadi 100% dengan
jumlah modal disetor Rp654 miliar, yang terdiri atas modal disetor negara sebesar Rp180 miliar, dan modal hasil pengalihan saham PPA sebesar Rp474,992 miliar.
Pada 19 Desember 2012, PT WK resmi melantai di Bursa Efek Indonesia. Harga Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum perdana saham PT WK adalah sebesar Rp380 per lembar. Pada perdagangan hari pertama, saham PT WK langsung melonjak hingga 23,98% menjadi Rp490. Harga saham PT WK terus melejit, bahkan mencapai level tertingginya di Rp2.910 pada 1 Februari 2018. Per 23 Januari 2020, harga saham berkode WSKT itu berada di kisaran Rp1.305.
“Salah satu yang fenomenal adalah Waskita Karya. Dari terpuruk, sampai akhirnya sudah keluar, untung, dan jadi perusahaan Tbk. Hari ini, Waskita adalah one of the biggest construction company,” kata Direktur Utama PPA, Iman Rachman.
“Mengapa Waskita Karya bisa berhasil, menurut saya karena Waskita Karya bisa mengubah culture kerja. Dengan mengubah culture kerja, Waskita Karya mengubah business process. Dengan me- ngubah business process, Waskita Karya punya value baru. Itulah yang membuat Waskita Karya hebat. Itu yang bikin Waskita berubah,” kata Plt Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aditya Dhanwantara.
Perjuangan agar Merpati Terbang Lagi
PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati) merupakan salah satu BUMN yang paling sulit ditangani oleh PPA karena kewajibannya mencapai lebih dari Rp10 triliun, dengan aset hanya Rp1 triliun.
Merpati merupakan salah satu BUMN yang kini proses restrukturisasi dan revitalisasinya masih terus berjalan. Pemerintah selaku pemegang saham, dengan dibantu oleh PPA berusaha untuk meng-
hidupkan kembali BUMN yang berhenti beroperasi sejak sekitar enam tahun yang lalu itu.
Merpati didirikan pada 6 September 1962. Pada masa awal, Merpati hanya memiliki dua pesawat Dakota dan empat pesawat Otter/ DHC 3. Ia hanya terbang menghubungkan lima kota. Dua belas tahun kemudian, Merpati mampu terbang ke 175 kota. Ia bahkan menembus kota-kota kecil di pelosok Nusantara.
Pada 26 Oktober 1978, Merpati menjadi anak perusahaan Garuda Airways (kini PT Garuda Indonesia Tbk). Merpati kemudian diintegrasikan ke dalam Garuda Indonesia Group pada September 1989, dengan tetap menyandang nama Merpati. Pada tahun 1993, Merpati mendapatkan izin dari pemerintah untuk memisahkan diri dari Garuda. Merpati baru benar-benar terpisah dari Garuda pada tahun 1997.
Dalam perjalanannya, Merpati ternyata terus-menerus didera ke- rugian. Modalnya minus, operasionalnya terancam. Per 2008, Merpati tercatat memiliki utang sekitar Rp2,3 triliun dengan modal dan cada- ngan Rp1,4 triliun.
Pada 12 Agustus 2008, Kementerian BUMN akhirnya menye- rahkan Merpati ke PPA. Merpati merupakan “pasien” pertama restrukturisasi PPA per September 2008. Untuk menjalankan peran- nya menyehatkan BUMN sakit ini, pemerintah menyuntikkan Rp1,5 triliun ke PPA.
Tugas pokok terkait restrukturisasi dan atau revitalisasi BUMN dimulai dengan pemberian fasilitas pinjaman oleh PPA kepada Merpati sebesar Rp300 miliar. Pemberian fasilitas pinjaman tersebut sebagai tindak lanjut dari Surat Menteri Negara BUMN selaku RUPS No S-716/MBU/2008 tanggal 4 September 2008 perihal Penyehatan Merpati, dan Surat Menteri Keuangan RI Nomor S-478/MK.06/2008 tanggal 5 September 2008 perihal Persetujuan Restrukturisasi dan atau Revitalisasi Merpati.
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun pertama masa tugas, PPA memberikan pinjaman kepada pihak lain dalam nilai yang material, yaitu kepada Merpati, sebagai pelaksanaan penugasan dari Pemegang Saham.
Berkaitan dengan tugas tersebut, pada 8 September 2008, PPA menandatangani Perjanjian Kredit dan dokumen-dokumen terkait lainnya dengan Merpati, antara lain mengatur tentang:
• Penggunaan dana pinjaman • Jadwal pembuatan dan penyelesaian rencana usaha Merpati • Restrukturisasi utang Merpati di Bank Mandiri • Penjualan aset tidak produktif • Spin-off Merpati Maintenance Facility dan Merpati Training Center, serta menjaminkan saham-saham perusahaan hasil spin-off yang dimaksud kepada PPA.
Dari dana pinjaman sebesar Rp300 miliar, sebanyak Rp223 mi- liar digunakan untuk membayar pesangon 1.300 karyawannya. Adapun Rp50 miliar untuk modal kerja, serta sisanya lagi untuk kepindahan kantor pusat dari Jakarta ke Makassar dan revitalisasi pesawat agar bisa kembali terbang.
Kepindahan kantor pusat itu diharapkan bisa mempermudah Merpati untuk menangkap peluang kerja sama operasi atau KSO dengan pemerintah daerah dan swasta di kawasan Indonesia bagian timur. KSO ini diharapkan bisa memperbaiki kondisi keuangan Merpati.
Merpati kemudian direstrukturisasi. Dalam rencana bisnis yang disetujui, Merpati fokus pada penerbangan perintis, dengan menggunakan pesawat-pesawat kecil. Harapannya, keuangan Merpati bisa semakin baik melalui efisiensi, untuk selanjutnya bisa dilakukan penjualan saham kepada publik.
Pada Mei 2010, sesuai dengan keputusan pemegang saham, dilakukan perubahan manajemen Merpati. Sehubungan dengan perubahan manajemen, dilakukan pula perubahan rencana bisnis. PPA pun mengkaji perubahan rencana bisnis tersebut.
Berdasarkan hasil kajian PPA atas perubahan rencana bisnis tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh Merpati. Perta-
Pada 12 Agustus 2008, Kementerian BUMN akhirnya menyerahkan Merpati ke PPA. Merpati meru- pakan “pasien” pertama restrukturisasi PPA per September 2008.
ma, penjelasan terkait perubahan bisnis model disertai analisa keuangan, operasional, dan pemasarannya. Kedua, skema penyelesaian pinjaman Convertible Loan Facility (CLF) dan skema pinjaman baru. Ketiga, rencana bisnis dilengkapi dengan perhitungannya.
Dalam rencana bisnisnya, manajemen Merpati tak mau beroperasi hanya dengan pesawat-pesawat kecil. Tahun 2011, Merpati membeli 15 pesawat jet MA-60 dari Xian Aircraft Company.
Kontrak pengadaan 15 pesawat dituangkan dalam perjanjian penerusan pinjaman (Subsidiary Loan Agreement/ SLA) yang ditandatangani pada 2010. Pemerintah Indonesia meminjam dari The Export Import Bank of China (Exim Bank of China) sebesar 1,8 miliar Yuan atau sekitar Rp2,1 triliun.
SLA sebesar 1,8 miliar Yuan itu dipinjamkan oleh Exim Bank of China dengan bunga sebesar 2,5% per tahun kepada pemerintah RI. Dari pemerintah, pinjaman itu diteruskan ke Merpati de- ngan bunga sebesar 3% per tahun de- ngan tenor selama 15 tahun.
Sayangnya, rencana bisnis itu tidak terealisasi. Kondisi keuangan Merpati ternyata semakin sulit. Kerugian bertambah, utang membengkak, sementara cashflow tidak lancar. Pada 1 Februari 2014, Merpati berhenti beroperasi. Beberapa
waktu kemudian, seluruh karyawannya di-PHK.
Kondisi Merpati sulit, terancam pai- lit. Merpati tercatat memiliki utang sekitar Rp10,7 triliun dan aset hanya Rp1,2 triliun pada tahun 2017. Merpati sudah
tidak memiliki uang masuk karena berhenti beroperasi. Merpati tercatat memiliki utang kepada kreditur konkuren (kreditur tidak berjamin) sebesar Rp5,2 triliun. Utang kepada kreditur separatis (pemegang jaminan) sebesar Rp3,3 triliun, dan kreditur preferen seperti pekerja sebesar Rp1,7 triliun.
Pada 6 Februari 2018, Merpati berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atas permohonan PT Parewo Aero Katering, perusahaan jasa makanan yang sebelumnya memasok katering ke maskapai tersebut. Dalam permohonannya, PT Parewo Aero Katering mengikutsertakan dua kreditur lain, yakni PT Kirana Mitra Mandiri dan PT Pratitha Titian Nusantara. Merpati tercatat memiliki utang sebesar Rp2,45 miliar kepada PT Parewo Aero Katering.
Pada tahun 2015, PPA mendapatkan PMN sebesar Rp500 miliar yang digunakan untuk pembayaran utang gaji karyawan Merpati sebesar Rp350 miliar dan restrukturisasi Merpati sebesar Rp150 miliar.
Saat rapat dengan kreditur, Merpati mengajukan restrukturisasi utang dan juga konversi piutang menjadi penyertaan modal. Merpati juga minta penghapusan bunga serta denda.
November 2018, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan proposal perdamaian yang diajukan Merpati kepada sejumlah kreditur. Para kreditur setuju dengan proposal perdamaian yang diusulkan Merpati. Disepakati bahwa nanti akan ada investor sebagai pemegang saham di Merpati, dengan tiga syarat. Pertama, persetujuan dari DPR atas masuknya investor. Kedua, persetujuan Menkeu agar utang pajak sebesar Rp1 triliun direstrukturisasi. Ketiga, pendapat hukum dari Jamdatun.
Dalam rangka menghidupkan kembali Merpati, BUMN bergo- tong-royong. Sinergi itu sangat penting agar Merpati bisa kembali beroperasi dan menyelesaikan perjanjian damai yang disepakati de- ngan para krediturnya sesuai dengan jadwal.
Pada 16 Oktober 2019, Merpati menandatangani kerja sama dengan 10 BUMN. PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, PT Pertamina (Persero), Perum Bulog, Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), PT PLN (Persero), PT Garuda Indonesia Tbk, serta Himbara yang terdiri dari Bank BTN, Bank Mandiri, Bank BNI, dan Bank BRI.
Khusus dengan Garuda, Merpati bekerja sama dengan anak usahanya, yaitu PT Garuda Maintenance Facility untuk kerja sama operasi (KSO) bisnis maintenance, repair, and overhaul (MRO) pe- nerbangan, pelayanan kargo, serta training center.
Proses untuk menjalankan lagi roda operasional Merpati masih terus berjalan. Dengan bergeraknya lagi roda bisnis, diharapkan Merpati bisa mendapatkan pemasukan sehingga dapat mencicil kewajiban utang. Jika semua sudah selesai, diharapkan Merpati selanjut nya bisa memproses lagi izinnya untuk bisa terbang melintasi angkasa Indonesia.
bab Iv
ORANG-ORANG DI BALIK LAYAR
Mereka adalah orang-orang yang berperan besar bagi perjalanan PPA. Bagaimana kisah mereka melewati fase demi fase PPA hingga bisa seperti sekarang ini?
Mohammad Syahrial (Dirut PPA 2004-2009)
Mohammad Syahrial (Dirut PPA 2004-2009)
PPA adalah ide para petinggi dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), terutama tiga pelopor utamanya, yakni Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (Menko Perekonomian 20012004), Boediono (Menteri Keuangan 2001-2004), dan Laksamana Sukardi (Menteri Negara BUMN 2001-2004). Termasuk juga Kepala BPPN terakhir, Syafrudin Arsjad Temenggung. Pada waktu itu, me- reka merasa perlu membangun sebuah perusahaan baru sebagai pengganti BPPN yang sudah berakhir masa tugasnya.
Presiden Megawati pada saat itu memberikan instruksi kepada seluruh Ketua KKSK bahwa BPPN itu harus ditutup karena memang sifatnya ad hoc. Sesuai UU Nomor 10 Tahun 1998 (perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan) dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, BPPN memang bersifat ad hoc, masa tugasnya berakhir pada 27 Februari 2004. Penutupan BPPN juga sekaligus menjadi pesan kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan international monetary fund (IMF) bahwa krisis di Indonesia sudah berakhir.
Berakhirnya masa tugas BPPN menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, antara lain penanganan aset-aset yang tersisa. Sebagian di antara aset-aset itu bahkan ada yang memiliki masalah hukum. Berdasarkan PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN, aset-aset yang tadinya dimiliki oleh BPPN tersebut harus diserahkan kepada Departemen Keuangan.
Aset-aset eks BPPN itu kemudian menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan, yang saat itu dijabat Boediono. Menteri Keuangan kemudian bertanya, tentang siapa yang paham soal aset-aset BPPN. Satu-satunya harapan adalah orang-orang eks BPPN.
PPA adalah BUMN yang dibentuk oleh Menteri Keuangan untuk mengelola aset-aset negara eks BPPN. Pertama kali dibentuk, PPA masih bersifat ad hoc dengan masa tugas lima tahun (2004-2009).
Aset-aset yang dikelola PPA adalah aset-aset eks BPPN yang tidak bermasalah hukum. PPA punya bebe- rapa tugas pokok. Pertama, melakukan restrukturisasi aset-aset kredit. Kedua, menagih aset-aset piutang atau kredit tersebut. Ketiga melakukan peningkatan nilai aset. Keempat, melakukan divestasi aset.
Secara prinsip Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri Koordinator Perekonomian, sepakat bahwa PPA hanya mengelola aset eks BPPN yang tidak bermasalah hukum untuk dan atas nama Menteri Keuangan.
Pada waktu itu Menteri Keuangan Boediono mengatakan, “Kamu kelola aset-aset ini dengan baik ya. Artinya, harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Saya jawab: Siap Pak!” kata Syahrial.
Pijakan hukum bagi PPA bukan lagi UU Perbankan, tetapi UU Perbendaharaan Negara dan UU Keuangan Negara. Sehingga, PPA dalam mengelola aset eks BPPN harus mematuhi regulasi tersebut.
“Saya dilantik menjadi Dirut PPA pada 27 Februari 2004, di hari yang sama dengan penutupan BPPN. Transisinya berlangsung sangat cepat,” tutur Syahrial.
Selain itu, sebagai dasar pengelolaan, harus jelas nilai aset pada saat diserahkan. Salah satu alasannya, untuk memudahkan pada saat menagih piutang atau saat melakukan divestasi. Menteri Keuangan Boediono mempersilakan PPA untuk melakukan penilaian aset.
“Saya mengusulkan penilaian aset dilakukan oleh penilai independen. Selain itu, penilaian aset wajib mendapatkan persetujuan dari DPR. Setelah melalui proses yang panjang, DPR akhirnya menyetujui hasil penilaian aset sehingga PPA punya dasar untuk bekerja,” tambah Syahrial.
Selain penilaian aset, tantangan berikutnya adalah merapikan organisasi. Selain Mohammad Syahrial sebagai Direktur Utama, manajemen PPA diisi oleh Raden Pardede sebagai Wakil Direktur Utama, dan lima Direktur lainnya. Syahrial mengumpulkan seluruh Direksi dan menyampaikan pentingnya confidence building.
“Kenapa harus confidence building? karena kita melakukan halhal yang diminta oleh negara. Ini penting karena kita melakukan penagihan, restrukturisasi, peningkatan nilai, dan penjualan aset. Bila PPA tak punya confidence building, maka investor ataupun pihak ketiga tidak akan percaya PPA,” sambung Syahrial.
Setelah membangun confidence, Syahrial mulai menyiapkan standard operating procedure (SOP). PPA adalah perusahaan aset manajemen pertama di Indonesia, mengelola aset negara, namun saat itu belum punya SOP. Manajemen PPA kemudian kembali mendatangi DPR untuk meminta persetujuan penyusunan SOP oleh pihak ketiga. SOP tersebut utamanya mencakup proses penagihan, peningkatan nilai, dan penjualan.
Organisasi PPA akhirnya terbentuk, SOP sudah jelas, dan nilai aset sudah jelas. Selanjutnya PPA menggandeng Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) dan bekerja sama de- ngan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). PPA menjadi BUMN pionir yang merangkul lembaga-lembaga itu, sebagai bagian dari confidence building atau Good Corporate Governance (GCG).
“Alhamdulillah, perjalanan PPA dari 2004 sampai 2008 berjalan dengan baik. Yang pasti, saya menegaskan bahwa aset ini bukan milik PPA. PPA hanya mengelola. Pemilik aset ini sebenarnya adalah rakyat Indonesia, yang dititipkan kepada Kementerian Keuangan,” kata Syahrial.
Pada Juni 2008, enam bulan sebelum tenggat waktu penutupan, PPA sudah mempersiapkan diri untuk proses penutupan sesuai masa tugasnya sampai dengan tahun 2009.
Syahrial sempat ditanya oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, “Kamu mau PPA ditutup?”. Syahrial menjawab, “Bu, kalau keinginan hati, tentunya saya tidak mau PPA ditutup.”
Akhirnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani setuju menutup PPA. Menteri Keuangan sudah mempersiapkan empat perusahaan untuk karyawan PPA, antara lain Pusat Investasi Pemerintah (PIP), PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF).
Di sela masa persiapan penutupan PPA, pada Agustus 2008, muncul persoalan PT Merpati Nusantara Airlines. Pada sidang kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disebut tentang siapa, harus melakukan restrukturisasi dan revitalisasi Merpati.
Presiden SBY kemudian bertanya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, siapa yang akan mengurus Merpati. Muncul ide PPA yang mengurus Merpati. Sidang kabinet akhirnya memutuskan PPA yang menangani Merpati.
Sri Mulyani menyampaikan kepada Syahrial, “Sepertinya PPA tak jadi ditutup.”
“Kenapa, Bu?” Syahrial menanyakan alasan PPA tak jadi ditutup.
Sri Mulyani menjawab, “Karena ditugaskan melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN yang sakit. Pasien pertama Merpati.”
Semenjak itu, paradigma PPA berubah. PPA tidak hanya me- ngelola aset-aset eks BPPN. PPA mulai mengelola, merestrukturisasi dan merevitalisasi aset-aset BUMN yang sakit.
Model bisnis PPA pun berubah. PPA menjadi “dokter” BUMN karena sudah punya pengalaman mengelola aset-aset eks BPPN.
Meski berpengalaman mengelola aset negara, PPA dihadapkan pada keterbatasan gerak. Keterbatasan PPA diilustrasikan seperti perawat di sebuah rumah sakit. Peran PPA sebatas menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) dari Pemerintah, kemudian menyun- tiknya ke Merpati. “Resep obat” bagi Merpati dipilihkan oleh Kementerian BUMN.
Selain itu, PPA juga tidak berwenang mengganti manajemen pada BUMN yang direstrukturisasi. PPA hanya boleh menempatkan perwakilan. “Kalau PPA mengelola aset-aset BUMN ini, seharusnya punya keleluasaan yang sama seperti saat PPA mengelola aset-aset eks BPPN. PPA juga jangan diintervensi, karena PPA tidak punya kepentingan politik dan dijaga oleh Kementerian Keuangan,” kata Syahrial.
Syahrial mencontohkan saat menangani Merpati. Kondisi Merpati sudah “koma” namun PPA tidak boleh mencabut “infus”.
Syahrial memutuskan untuk berhenti pada Oktober 2008. Namun, pada November 2008 ia dipanggil oleh Menteri BUMN Sofyan Djalil dan ditugaskan menjadi komisaris PPA sampai tahun 2011.
Selama memimpin PPA, Syahrial menuturkan, ada hal penting yang berhasil PPA capai selain kinerja keuangan yang baik, yaitu terbangunnya confidence building dan terjaganya kepercayaan dari Kementerian Keuangan.
Bagi Syahrial, ada dua kunci keberhasilan PPA. Pertama, jujur apa adanya kepada investor dan pemegang saham. Kedua, tidak ada conflict of interest.
“If you don’t have one of them, le- bih baik kamu mundur. Cuma dua itu saja yang dibutuhkan,” tegasnya.
“PPA diberi tugas membantu perusahaan BUMN lain yang bermasalah. Selain itu, PPA juga dituntut untuk menjadi perusahaan yang sehat.
Boyke Eko Wibowo Mukijat (Dirut PPA 2009-2014)
Boyke Eko Wibowo Mukijat (Dirut PPA 2009-2014)
Boyke ditugaskan memimpin PPA setelah menempati posisi tertinggi di PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia. Saat itu Boyke melihat PPA sebagai BUMN yang relatif baru, tapi “ajaib”. Belum lama dibentuk, tapi sudah diberi penugasan-penugasan yang sulit. Tidak hanya harus mengurus aset-aset eks BPPN, PPA juga bertugas merestrukturisasi dan merevitalisasi BUMN sakit. Tugas merestrukturisasi BUMN juga harus dikomunikasikan dengan berbagai kementerian teknis yang membawahi BUMN yang sakit.
Boyke mengilustrasikan tugas PPA seperti mencucikan piring orang lain.
“Orang lain yang berbuat salah, kita yang harus beres-beres. Tapi, di situlah seninya mengelola PPA,” kata Boyke.
Boyke memulai langkah awalnya di PPA dengan memperkuat GCG, transparansi, profesionalisme, dan penciptaan value added. Boyke mulai meracik bisnis PPA yang tetap mengedepankan aspek compliance. Boyke melihat PPA perlu kerja cerdas memutar otak supaya bisa meraup untung karena PPA sendiri harus sehat dalam memikul tugas menangani BUMN yang lagi sakit.
Tantangan lain, Boyke melihat tingginya ekspektasi pemegang saham kepada PPA, khususnya untuk menguasai medan dalam waktu singkat dan membuat BUMN yang direstrukturisasi bisa sehat kembali. Tugas baru tersebut menambah spektrum PPA yang lahir dari industri jasa keuangan, dan saat itu masih mengelola aset Texmaco, Tuban Petro, dan lainnya.
Bagi Boyke, penugasan dan suntikan modal Pemerintah kepada BUMN yang direstrukturisasi melalui PPA merupakan bentuk kepercayaan dan keistimewaan. PPA juga mendapatkan dukungan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan dan kementerian teknis yang membawahi BUMN yang direstrukturisasi.
“Di PPA saya belajar menyehatkan perusahaan. Tidak semua orang punya kesempatan itu. Menjalankan perusahaan sendiri saja
sudah susah, ditambah harus membantu perusahaan lain. Tapi, disi- tulah seninya,” ujar Boyke.
Boyke belajar tiga hal soal menyehatkan perusahaan. Ia analogikan dengan ilmu kedokteran. Ada tiga elemen penting bagi dokter untuk menyembuhkan pasiennya. Pertama, tahu pasiennya sakit apa. Kedua, obatnya tepat. Ketiga, waktunya pas.
Boyke mencontohkan, ketika mengidentifikasi kondisi perusahaan, sama seperti dokter sedang menganalisa pasiennya. Dokter harus tahu jenis penyakit, bagian tubuh yang sakit, serta jenis dan dosis obatnya. Ketika sebuah perusahaan membutuhkan suntikan dana, PPA harus bisa mengidentifikasi masalah perusahaan tersebut. Lalu menentukan jumlah, cara, dan tahapan yang tepat. Tidak boleh terlambat atau salah.
Pada era Boyke, ada BUMN yang berhasil disehatkan hingga menjadi BUMN konstruksi besar yang melakukan IPO. Rumitnya menyehatkan BUMN membuat Boyke selama di PPA selalu berdoa agar jangan sampai terjadi krisis lagi.
“Pengalaman yang saya dapatkan selama lima tahun di PPA, rasanya seperti bekerja 15-20 tahun,” kata Boyke. Ia mengilustrasikan pengalaman lima tahun di PPA seperti bekerja belasan tahun di perusahaan lain karena dalam waktu bersamaan harus mampu mengelola aset negara, mengenali berbagai medan dalam waktu singkat untuk menyehatkan BUMN, serta tetap menjaga kinerja PPA dengan kompleksitas tinggi.
Meski rumit, Boyke tak pernah menyesal memimpin PPA. Ia justru bangga.
“I’ve done my best. Saya belajar banyak di PPA. PPA itu sekolah yang keren banget, school of art. Tak ada di tempat lain. Saya belajar disiplin keuangan, operasi, pemasaran, human resources, dan lain-lain,” ujarnya.
Boyke juga meninggalkan legacy dibentuknya anak perusahaan PT PPA di bidang pembiayaan, yaitu PT PPA Finance pada tahun 2009 dan di bidang investasi, yaitu PT PPA Kapital pada tahun 2011.
Capaian paling penting pada periode ini adalah bagaimana mentransformasi SDM dari pasif menjadi aktif.
Saiful Haq Manan (Dirut PPA 2014-2017)
Saiful Haq Manan (Dirut PPA 2014-2017)
Sebelum menjabat sebagai Direktur Utama, selama tahun 2009 sampai 2014, Saiful Haq Manan menduduki posisi Direktur Business Advisory yang membidangi restrukturisasi/ revitalisasi BUMN. Saiful menceritakan pada masa awal menjabat sebagai Direktur R/R, Kementerian BUMN masih meragukan kemampuan PPA menjadi penasihat bagi BUMN lain.
Langkah pertamanya sebagai Direktur Utama, Ia benahi SDM untuk memperkuat core competency demi memenuhi kebutuhan mendesak mengerjakan restrukturisasi. Karyawan dilatih untuk berinisiatif, kreatif, dan berani mengungkapkan ide dengan data dan fakta yang kuat.
“Di PPA, banyak yang memiliki kemampuan bagus tetapi belum berperan. Saya turun langsung menjadi tutor karyawan, dibantu tenaga ahli. Setelah dua tahun, output-nya bagus. Mereka bisa bertindak dengan cepat mengambil keputusan,” ujar Saiful.
Saiful mulai menguji kemampuan internal dengan meminta karyawan menyusun Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Hasilnya, RJPP PPA tahun 2014-2019 berhasil dibuat berkat keterlibatan seluruh General Manager dan Group Head. Konsultan hanya berperan melakukan asistensi, me-review, dan memberikan masukan.
Saiful juga merombak core values. Terdiri dari lima nilai, yaitu Stewardship, Entrepreneurship, Excellence, Integrity, dan Teamwork atau disingkat menjadi SEE IT. Pada 2015, PPA memperkenalkan tata nilai baru, yakni:
• Stewardship
Melaksanakan amanah para stakeholder dan meninggalkan legacy.
• Entrepreneurship
Selalu mencari peluang untuk mengembangkan bisnis.
• Excellence
Memberikan hasil yang terbaik dalam setiap tugas.
• Integrity
Selalu menerapkan standar etika yang tinggi dan memenuhi komitmen setiap tugas.
• Teamwork
Komitmen untuk selalu bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama.
Saiful menekankan kepada karyawan agar tidak hanya menja- dikan SEE IT sebagai jargon, namun yang lebih penting mempraktikkannya. Prioritasnya selama memimpin, yaitu membawa perubahan untuk PPA.
Bagi Saiful, seorang pemimpin sesungguhnya adalah, “you are actually a change agent.”
Kiatnya menggenjot kinerja karyawan tidak dengan menjanjikan iming-iming promosi atau naik pangkat tiap tahun. Ia justru menjanjikan agar karyawan berkembang dan berkontribusi hingga memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar.
“I will make you relevant to the market. You learn, working hard, create role for yourself, you will be relevant,” kata Saiful.
Saiful juga membenahi pola training. Jika sebelumnya karyawan mengikuti training harus terbang ke Eropa, Singapura, Hongkong atau Jepang selama 1-2 pekan dengan biaya besar, ia balik dengan mengundang trainer dari luar negeri untuk mengajar di PPA. Training bagi karyawan menjadi hal penting karena dituntut untuk mampu menguasai berbagai bidang industri, meskipun benang merahnya industri jasa keuangan.
Selain kompetensi, Saiful juga mengubah mental karyawan se- hingga PPA lebih agresif menggaet pelanggan.
Penguatan kompetensi SDM sesuai core competency adalah salah satu legacy kepemimpinan Saiful. Menurutnya, SDM adalah “ruh” perusahaan.
-Henry Sihotang (Dirut PPA 2017-2019)-
Henry Sihotang memulai kiprahnya di PPA sejak 22 Mei 2014 dengan memimpin Direktorat Business Advisory dan Asset Management. Direktorat tersebut menjadi ujung tombak restrukturisasi/revitalisasi BUMN, ditambah dengan menjalankan usaha jasa business advisory sebagai konsultan atau penasihat BUMN maupun swasta.
Saat itu, PPA sedang merestrukturisasi 13 BUMN. Kondisinya beragam bahkan ada yang sudah berhenti beroperasi. Suntikan modal dari Pemerintah melalui PMN yang digelontorkan kepada PPA juga besar, mencapai Rp2,445 triliun. Semula dana tersebut diharapkan bisa bergulir untuk penyehatan BUMN yang lain, namun pelaksanaannya tidak mudah dan sebagian besar pengembaliannya tidak lancar. Term and condition disesuaikan dengan cash flow perusahaan yang direstrukturisasi.
Hanya PT Nindya Karya yang sudah menunjukkan kinerja positif dan terus tumbuh. PT Kertas Leces, PT Iglas, dan PT Kertas
Kraft Aceh sudah berhenti operasi. Perlahan, PT Djakarta Lloyd, PT Energy Management Indonesia (EMI), PT Industri Sandang Nusantara, dan PT Istaka Karya bisa mandiri. PT Survai Udara Penas yang sudah berapa belas tahun merugi, berhasil direstrukturisasi hingga pada tahun 2017 mampu menghasilkan keuntungan.
Di tengah upaya PPA menyehatkan BUMN lain, Henry menegaskan kepada seluruh karyawan agar PPA jangan sampai luput mempersiapkan masa depan PPA.
“Saya ajak semua Direksi, Komisaris, Kepala Divisi sampai Kepala Grup terkait bisnis, termasuk anak perusahaan, melakukan workshop setiap tahun untuk membedah kondisi riil PPA dan me- nyusun rencana ke depan yang sustainable,” ujar Henry.
Restrukturisasi BUMN merupakan tugas berat dari pemerintah dan PPA tidak mengharapkan hasil finansial dari sana. Cash inflow PPA diperoleh dari kegiatan-kegiatan komersial lainnya seperti investasi, advisory, dan pembiayaan. Kegiatan komersial didanai dari sumber internal (dana perusahaan) dan sumber eksternal dari perbankan. Karena sumber dana eksternal PPA yang berasal dari perbankan membuat cost of fund PPA relatif tinggi, maka PPA berupaya memberikan nilai tambah untuk setiap pengguna jasanya.
PPA juga lebih mengincar niche market dengan membidik pe- ngelolaan distressed asset yang dapat menghasilkan profit. Sesuai de- ngan spesialisasi PPA sejak bernama BPPN. Tahun 2016 PPA mulai gencar melakukan investasi ekuitas melalui PT PPA Kapital.
Henry Sihotang meninggalkan legacy terbangunnya kegiatan-kegiatan komersial sebagai sumber pendapatan PPA, seperti investasi, advisory, dan pembiayaan dengan tetap menjalankan amanah restrukturisasi/ revitalisasi BUMN.
bab v
KEUANGAN PPA
Selama kurun waktu 2004 hingga 2008, PPA bertugas secara penuh mengelola dan melakukan divestasi atas aset-aset eks BPPN. Meski menghadapi sejumlah tantangan, target-target yang ditetapkan Pemerintah berhasil dilampaui oleh PPA.
2004 - 2008: Pengelolaan Aset Eks BPPN
Tahun 2004 merupakan masa krusial bagi PPA, karena me- rupakan tahun pertama operasional dalam mengelola asetaset dari BPPN. Sebelum diserahkan ke PPA, aset-aset tersebut sudah melalui proses hingga dinyatakan free and clear oleh Kementerian Keuangan.
Keberadaan PPA berbeda dengan BUMN lainnya, yakni me- ngelola aset eks BPPN untuk dan atas nama Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Sesuai Anggaran Dasar, PPA didirikan untuk beroperasi hanya selama lima tahun, yakni hingga Maret 2009. Di kemudian hari, PPA dilanjutkan operasionalnya dengan cakupan tugas yang lebih luas.
Pada awal pembentukannya, PPA diberi tugas untuk: re strukturisasi aset, penagihan piutang, bekerja sama dengan pihak ketiga eksternal untuk peningkatan nilai aset, penjualan, serta tugas-tugas lain guna mendukung tugas tersebut termasuk pengelolaan dokumen aset, pemeliharaan, dan pengamanan atas aset.
Sebagai langkah awal, PPA melakukan konsolidasi. Pada tahapan ini, kegiatan diarahkan pada persiapan infrastruktur perusahaan dan hal-hal lain yang terkait dengan pengalihan aset dari Menteri Keuangan kepada PPA.
Tahapan kedua adalah melakukan pemetaan aset. Tujuannya untuk mengelompokkan aset berdasarkan kriteria tertentu guna memudahkan penetapan strategi pengelolaan yang terbaik. Pemetaan aset didahului dengan identifikasi dan verifikasi aset.
Tahapan ketiga, yakni menetapkan rencana strategis untuk pe- ngelolaan masing-masing aset berdasarkan hasil pemetaan aset.
Dari sisi aset yang diserahkan pemerintah ke PPA, terbesar berupa kredit dan properti masing-masing sebesar 56% dan 40% dari total jumlah aset. Nilai aset klaim mencapai lebih dari 86% dari total nilai buku aset yang diserahkan. Sementara aset berupa hak tagih dan saham bank bersama-sama mencapai lebih dari 70% dari total nilai akuisisi terindikasi.
Saham-saham bank yang dialihkan ke PPA, yakni 97% di Bank Permata, 21% di Bank Niaga, 20% di Bank Internasional Indonesia (BII), 20% di Bank Danamon, 4% di BCA, dan 2% di Bank Lippo.
Selain kepemilikan di enam bank itu, Menteri Keuangan juga menyerahkelolakan penyertaan dari eks Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan eks Bank Take Over (BTO) yang bergabung dengan Bank Danamon, yakni 28% di Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), MayBank Indocorp (6%), Bank Panin (0,005%), dengan total nilai akuisisi terindikasi sebesar Rp53,8 miliar.
Pengelolaan Aset oleh PPA
Portofolio Aset di Bawah Kelola PPA pada Saat Pendirian
Aset-aset non-bank yang dikelola terdiri dari 23 aset saham non-bank, satu aset saham dan kredit, 11 aset surat berharga yang meliputi obligasi, reksadana, saham, dan warrant atau hak membeli saham biasa pada waktu dan harga yang sudah ditentukan. Nilai saham terbesar yang dikelola, antara lain saham di PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT Pengembangan Pariwisata Lombok (PPL), PT Tugu Pratama Indonesia, dan PT Tugu Reasuransi Indonesia.
Pada tahun pertama operasionalnya, PPA awalnya ditargetkan menyetorkan Rp1,2 triliun ke kas negara, sesuai RKAP yang disetujui RUPS. Dalam perjalanannya, target setoran Penerimaan Negara dinaikkan jadi Rp2,8 triliun, kemudian direvisi lagi menjadi Rp5 triliun.
Pada tahun 2004, PPA berhasil mendapatkan Hasil Pengelolaan Aset (HPA) sebesar Rp6,645 triliun. Setoran Negara dari PPA mencapai Rp6,08 triliun, atau berarti melebihi target RKAP.
Sebesar 94% atau Rp6,3 triliun HPA berasal dari divestasi bank. Sisanya berasal dari dividen saham bank Rp340,4 miliar serta penerimaan pokok dan bunga sebesar Rp49,2 miliar. Dividen berasal dari saham di Bank Danamon sebesar Rp217,3 miliar, Bank Niaga Rp12,6 miliar, dan BCA Rp100,5 miliar. Adapun penerimaan pokok dan bunga berasal dari Semen Cibinong, PT Dirgantara Indonesia, dan Bali Nirwana Resort (BNR).
Pada 2004, PPA telah berhasil melaksanakan serangkaian di-
vestasi saham bank. Pada November, PPA berhasil melaksanakan divestasi 51% saham negara di Bank Permata dengan harga Rp703 per lembar. Harga itu mencerminkan 3,18 kali nilai buku bank per 31 Desember 2003. Dari divestasi ini, PPA mendapatkan penerimaan kotor sebesar Rp2,776 triliun dari Konsorsium Standard Chartered Bank –Astra Internasional sebagai pemenang, dan dinyatakan lulus fit and proper test dari Bank Indonesia.
Selanjutnya pada Desember, PPA melakukan divestasi sebesar 20% saham Bank Permata pada Rp750 per lembar, yang mencerminkan 3,39 kali nilai buku bank per 31 Desember 2003. Penerimaan kotor dari divestasi ini mencapai Rp1,161 triliun.
Pada bulan yang sama, PPA juga berhasil melakukan divestasi 16,28% saham Bank Niaga dengan harga jual sebesar Rp460, yang mencerminkan 1,82 nilai buku bank per 31 Desember 2003. Dari divestasi Bank Niaga, PPA mendapatkan penerimaan kotor sebesar Rp585,8 miliar.
Selanjutnya PPA melakukan divestasi 10% saham Bank Danamon dengan harga Rp3.550 per lembar atau 2,55 kali nilai buku bank per 31 Desember 2003. PPA mendapatkan penerimaan kotor Rp1,742 triliun.
Namun, PPA tidak hanya menjual aset bank, tetapi juga melakukan berbagai macam upaya untuk meningkatkan kelayakan operasional dan finansial bank.
Setelah serangkaian divestasi, kepemilikan saham PPA di bank berkurang dengan signifikan. PPA berhasil menyetorkan ke kas ne- gara dalam jumlah yang melebihi target. Tak hanya itu, sisi lain dari divestasi PPA adalah menggairahkan minat investor asing dan aktivitas pasar modal.
Memasuki tahun kedua operasionalnya, PPA mulai menghadapi tantangan. Pertama, kondisi aset kelolaan PPA yang semakin didominasi aset properti. Hal itu membuat PPA harus melakukan pengamanan secara lebih intensif jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Tantangan kedua, belum diperolehnya infrastruktur hukum. Padahal, infrastruktur hukum diperlukan dalam pelaksanaan tugas, seperti peraturan pendukung mengenai tata cara penjualan aset, pe- netapan nilai aset oleh Menteri Keuangan.
Tantangan ketiga berasal dari internal perusahaan. PPA harus melakukan penyempurnaan mekanisme kerja dan infrastruktur pendukung operasional perusahaan lainnya.
Pada tahun 2005, pemerintah menargetkan setoran sebesar Rp5,124 triliun. Namun, PPA berhasil menyetorkan Rp6,050 triliun ke kas Negara atau berarti 118% dari target. Nilai tersebut didominasi oleh hasil divestasi aset saham bank dan dividen.
Pada tahun 2005, PPA berhasil mendapatkan laba bersih Rp377,066 miliar. Meski turun dari 2004, tetapi lebih besar dari target laba RKAP sebesar Rp278 miliar. Penurunan laba disebabkan karena adanya perubahan besaran Insentif Kinerja Perusahaan (IKP) dari 40% pada tahun 2004 menjadi 10% pada 2005. Perubahan ini memberikan pengaruh signifikan karena IKP merupakan salah satu komponen utama dari pendapatan perusahaan.
Beberapa divestasi yang menghasilkan penerimaan maksimal, di antaranya, divestasi 5,22% saham di Bank Niaga dengan hasil sebesar Rp221,83 miliar pada April. Pada Mei 2005, PPA juga menerima pembayaran bunga dan kewajiban dana talangan atas aset saham dan kredit dari PT Dirgantara Indonesia sebesar 229 ribu Dolar AS. Pada Agustus, PPA berhasil mendapatkan Rp2,68 triliun dari divestasi 10,50% saham Pemerintah di Bank Danamon. Sebulan kemudian, PPA mendapatkan Rp2,19 triliun dari divestasi 5,02% saham Pemerintah di Bank BCA. Masih di tahun 2005, PPA juga menerima pembayaran atas aset hak tagih dari PT Tuban Petrochemical Industries sebesar Rp16,33 miliar.
Memasuki tahun 2006, PPA menghadapi tantangan di sektor ekonomi yang berkaitan dengan core asset PPA. Sektor yang berkaitan dengan core asset PPA, seperti sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan, hanya mampu tumbuh 0,5%. Hal itu menyebabkan PPA
tidak mendapatkan hasil yang optimal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan, terutama dari penjualan aset saham.
Dari sisi aset yang dikelola, kualitas maupun kuantitasnya semakin berkurang, terutama aset yang memiliki nilai jual baik seperti aset saham bank. Tercatat pada awal tahun 2006, aset saham bank yang tersisa hanya 6 bank, dengan nilai aset sementara Rp674 miliar. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah aset bank di awal tahun 2005 sebesar sembilan aset saham bank dengan total nilai sementara mencapai Rp2,689 triliun.
Adapun tantangan lainnya, yakni belum ditetapkannya Surat Edaran dari BPN yang secara khusus mengatur masalah pertanahan maupun properti bagi aset eks BPPN yang dikelola PPA.
Di tengah semua tantangan tersebut, PPA ditargetkan menyetorkan Rp2,579 triliun ke kas negara. Angka itu merupakan revisi, dari target awal sebesar Rp2,350 triliun.
Meski demikian, PPA berhasil mendapatkan HPA sebesar Rp 2,847 triliun, sedikit di atas RKAP Rp2,813 triliun. Adapun untuk setoran ke kas negara sebesar Rp2,652 triliun, atau melebihi target, sedangkan laba setelah pajak sebesar Rp208,9 miliar dari target Rp90,3 miliar.
Pada 2006, PPA berhasil melakukan sejumlah divestasi saham bank. PPA mendapatkan dana Rp1,755 triliun dari divestasi 25,90% saham pemerintah di Bank Permata.
Selain itu, PPA juga berhasil melepas 5,22% saham pemerintah di PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) dan 581 lembar saham Negara di PT Bank Lippo Tbk, dengan hasil total sebesar Rp514 miliar.
PPA juga berhasil melepas aset kredit milik pemerintah berupa Obligasi Jasa Marga JORR I Tahun 2003 dengan harga Rp412,29 miliar, melalui mekanisme lelang terbuka. Memasuki 2007, kondisi makro ekonomi secara umum lebih baik. Pada tahun 2007, PPA mendapatkan HPA sebesar Rp1,715 triliun, kurang 2% dari target RKAP. Namun, untuk total dana yang disetorkan PPA berhasil melampaui target, yakni sebesar Rp1,603 triliun, lebih besar dari target sebesar Rp1,5 triliun. PPA berhasil mendapatkan laba bersih Rp72,78 miliar atau 561% dari target RKAP.
Beberapa proses penjualan aset mulai menghadapi tantangan pada tahun 2007. Semula, target Rp1,5 triliun diharapkan berasal dari divestasi aset properti, aset BNR, aset Grup Texmaco, dan aset saham BTPN. Sayangnya, penjualan aset Grup Texmaco gagal dilaksanakan karena harga yang masuk di bawah harga dasar yang ditetapkan Menteri Keuangan. Sementara penjualan BTPN ditunda karena pertimbangan kondisi pasar.
Meski demikian, ketidakberhasilan penjualan aset Grup Texmaco dan BTPN tertutup oleh penjualan aset lainnya. Pada Mei, PPA berhasil menjual aset kredit dan saham Grup Dipasena kepada Konsorsium Neptune. Dari hasil penjualan tersebut, PPA mendapatkan Rp688,13 miliar. Kemudian pada Juli, PPA berhasil menjual PT Bali Nirwana Resort (BNR) senilai Rp510,77 miliar. E-Crisps Trading Ltd dinyatakan sebagai pemenang tendernya.
Penjualan Dipasena dan BNR memberikan kontribusi terbesar. Hal itu mencerminkan keberhasilan PPA dalam meningkatkan nilai aset yang dikelola.
Sebagai catatan, pada tahun 2007 PPA belum dapat merea- lisasikan program penjualan aset properti karena belum lengkapnya infrastruktur hukum terkait aturan pertanahan atas aset properti yang dikelola PPA.
Selain dari HPA, PPA juga memberikan kontribusi ke APBN berupa setoran pajak penghasilan sebesar Rp645,4 miliar dan setoran dividen Rp774,21 miliar.
Memasuki tahun 2008, dunia dilanda krisis finansial global. Hal itu berimbas juga pada perekonomian Indonesia. Apalagi dalam kondisi kualitas dan kuantitas aset eks BPPN yang semakin menurun. Proses penjualan aset-aset pun menjadi semakin menantang. Meski demikian, PPA mampu menyetor Rp1,261 triliun ke kas negara, di atas target setoran ke APBN Rp600 miliar.
Setoran itu berasal dari HPA sebesar Rp1,478 triliun, lebih besar dari target yang ditetapkan dalam RKAP sebesar Rp822,78 miliar. Sebagian besar dari perolehan HPA berasal dari divestasi saham bank hingga Rp1,022 triliun, dan penjualan aset properti melalui Program Lelang Aset Properti (PLAP) dan PLAP II, dengan hasil hingga Rp120,6 miliar. Penjualan saham berasal dari penjualan 28,39% saham Bank BTPN, 1,70% saham Bank Lippo, dan 0,25% saham BII.
Berdasarkan mandat awal, tugas PPA seharusnya berakhir pada tahun 2008. Namun, pemerintah memutuskan untuk memperpanjang tugas PPA, dengan tugas tambahan untuk menangani BUMNBUMN yang tidak sehat.
Pada tanggal 4 September 2008, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Peme- rintah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pengelolaan Aset. Berdasarkan PP Nomor 61 Tahun 2008, tugas PPA adalah:
• Pengelolaan aset Negara eks BPPN untuk dan atas nama
Menteri Keuangan setelah masa tugas BPPN berakhir. • Restrukturisasi dan/atau revitalisasi BUMN. • Kegiatan investasi. • Kegiatan pengelolaan aset BUMN.
Pemegang saham menindaklanjuti tugas PPA dengan menerbitkan keputusan Pemegang Saham Nomor KEP-164/MBU/2008 tanggal 5 September 2008, yang mengubah beberapa hal, salah sa- tunya terkait masa tugas PPA dari lima tahun menjadi tidak terbatas.
“Apalagi dalam kondisi kualitas dan kuantitas aset eks
BPPN yang semakin menurun. Proses penjualan aset-aset pun menjadi semakin menantang.
Meski demikian, PPA mampu menyetor “ Rp1,261 triliun ke kas Negara, di atas target setoran ke APBN Rp600 miliar.
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan restrukturisasi dan atau revitalisasi (R/R) BUMN, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2008 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Mo- dal Saham Perusahaan Perseroan (persero) PT Perusahaan Pengelola Aset. Selanjutnya pada 30 Desember 2008, PPA mendapatkan tambahan penyertaan modal Negara sebesar Rp1,5 triliun.
Kinerja keuangan PPA 2004-2008
2009 -2013: Pengelolaan Aset dan R/R BUMN Tugas baru untuk menyehatkan BUMN mulai diemban PPA. Prosesnya tidak mudah karena BUMN yang masuk umumnya sudah dalam kondisi yang sangat sakit. Dari sisi pengelolaan aset eks BPPN juga makin menantang karena kualitas dan kuantitasnya yang semakin menurun.
PPA memasuki babak baru pada tahun 2009. PPA tak lagi hanya menjual aset-aset eks BPPN, tetapi juga bertugas untuk membantu penyehatan BUMN.
Dari sisi penjualan aset, seiring dengan berkurangnya jumlah dan kualitas aset yang dikelola PPA, maka target setoran ke Negara direvisi dari semula Rp3 triliun menjadi hanya Rp358,5 miliar dalam APBN-P 2009. Namun, realisasi HPA selama 2009 hanya Rp73,13 miliar. Hal itu disebabkan karena adanya sejumlah hambatan yang menyebabkan proses penilaian ulang atas aset-aset belum selesai.
Berkaitan dengan R/R BUMN, dikeluarkan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-01/MBU/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Pedoman Restrukturisasi dan Revitalisasi BUMN oleh PPA. Selama tahun 2009, PPA melaksanakan kajian atau uji tuntas atas delapan BUMN, yakni PT Djakarta Llyod (Persero), PT Industri Sandang Nusantara (Persero), PT Industri Gelas (Persero), Perum Produksi Film Negara, PT Semen Kupang (Persero), PT Hotel Indonesia Natour (Persero), PT Waskita Karya (Persero), dan PT PAL (Persero).
Dari delapan BUMN tersebut, PPA telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Negara BUMN untuk melakukan R/R atas PT PAL (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero).
Dalam perjalanannya, pelaksanaan R/R terhadap BUMN tersebut tidak mudah karena mereka BUMN yang sudah lama “sakit” dan didera banyak masalah. Untuk itu, PPA harus melakukan analisa mendalam agar dapat menentukan pola yang tepat dan cepat dalam
mengatasi masalah-masalah di BUMN yang bersangkutan. Pada 2009, PPA menandatangani kerja sama pengelolaan aset Pertamina yang berupa aset saham dan properti. Pengelolaan aset Pertamina dilakukan untuk meningkatkan nilai sehingga dapat memberikan hasil yang optimal.
PPA juga memulai kegiatan investasinya pada tahun 2009. Tujuannya, selain untuk mengoptimalkan dana PPA dan dana R/R sebelum digunakan untuk R/R, juga untuk pendirian anak perusahaan dalam bidang perusahaan pembiayaan. Pada akhir tahun, dibentuk PT PPA Finance.
PT PPA Finance didirikan untuk mendukung pembiayaan BUMN yang tidak bankable berupa pemberian pinjaman komersial jangka pendek dan jangka menengah, yang dilakukan sebelum implementasi program restrukturisasi. PT PPA Finance juga untuk melengkapi jasa pelayanan PPA dalam memenuhi kebutuhan jasa pembiayaan proyek, anjak piutang, dan sewa guna usaha.
Tahun 2010 merupakan tahun yang penting bagi PPA karena telah melakukan proses transformasi perusahaan. Transformasi mencakup pembangunan model bisnis baru, penyempurnaan proses inter-
nal, pengembangan kapabilitas SDM, serta perubahan pada struktur organisasi agar selaras dengan sasaran strategis yang telah ditetapkan.
Perubahan utama pada model bisnis menyangkut cara pendekatan yang lebih berorientasi kepada pelanggan dan penanganannya lebih terintegrasi. Dalam model bisnis yang baru, lini usaha PPA bertumpu pada kegiatan jasa penasihat keuangan, pengelolaan aset, dan kegiatan investasi.
Pada tahun 2010, PPA mendapatkan dua penugasan baru. Salah satu yang cukup penting adalah penyehatan PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Di samping itu, ada 11 penugasan yang masih ditangani sejak 2009.
Sebuah catatan ditorehkan PPA pada tahun ini karena berhasil menyehatkan PT Waskita Karya. Kondisi keuangan PT Waskita Karya membaik hingga membukukan laba. Dengan kondisinya yang semakin sehat, PT Waskita Karya bisa kembali mengikuti tender beberapa proyek pembangunan. Dalam proses penyehatan ini, PT Waskita Karya dijadikan anak perusahaan PPA.
Dari lini kegiatan investasi, PPA menyertakannya pada investasi tidak langsung berupa investasi pada surat berharga yaitu obligasi dan saham. Pendapatan dari investasi surat berharga, meningkat dari Rp4,87 miliar pada 2009 menjadi Rp82,47 miliar. Atas hasil itu, PPA berhasil mendapatkan laba bersih Rp244 miliar, meningkat 79% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kegiatan penjualan aset eks BPPN masih dilanjutkan. Pada tahun 2010, PPA berhasil mendapatkan HPA sebesar Rp424,70 mi- liar. HPA itu berasal dari divestasi 17,5% saham Pemerintah di PT Tugu Pratama Indonesia, cicilan pokok dan kupon Multi Years Bond (MYB) Tuban Petro Group, dividen dari aset saham non-bank, serta penjualan right saham Bank Permata.
Namun, HPA itu tidak mencapai target sesuai RKAP PPA tahun 2010. Salah satu penyebabnya adalah tidak terealisasinya rencana divestasi anak perusahaan PT Tuban Petrochemical Industries, yakni PT Petro Oxo Nusantara, karena masih dalam proses restrukturisasi.
Penyebab lain adalah tidak terealisasinya divestasi Grup Texmaco.
Untuk setoran ke pemerintah tercatat sebesar Rp336,613 mi- liar. Adapun catatan laba bersih PPA tahun 2010 tercatat sebesar Rp245,188 miliar.
Memasuki tahun 2011, kondisi perekonomian Indonesia sa- ngat kondusif. Hal itu menjadi pijakan bagi PPA untuk meneruskan usahanya yang berkelanjutan. Kinerja PPA positif, dengan pendapatan usaha naik dari Rp6,150 triliun menjadi Rp7,54 triliun.
Tahun 2011, PPA berhasil mendapatkan HPA Rp195,441 miliar, atau 121% dari target RKAP 2011. Laba bersih sebesar Rp288,157 miliar, tumbuh 18% dibandingkan laba 2010.
Proses penyehatan BUMN juga dilanjutkan. Pada 18 Agustus 2011, dilaksanakan penandatanganan perjanjian Pemberian Pinjaman kepada PT DI sebesar Rp675 miliar. Dilanjutkan dengan pe- nandatanganan Perjanjian Fidusia pengikatan jaminan terkait Perjanjian Pemberian Pinjaman tersebut.
PPA juga melakukan kerja sama pengelolaan aset dengan lima BUMN, yakni PT Industri Sandang Nusantara, PT Pertamina, PT Kereta Api Indonesia, PT PLN, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Kegiatan investasi diteruskan tidak hanya pada surat berharga, penempatan dana dan investasi pada Rekening Kontrak Pengelolaan Dana. Namun, kegiatan investasi juga dilakukan dengan investasi langsung berupa pemberian pinjaman pada BUMN yang sedang dalam proses R/R. PPA juga melakukan ekspansi dengan mendirikan anak usaha yakni PT PPA Kapital. PPA Kapital memberikan jasa pengelolaan investasi, pengelolaan aset, dan konsultasi investasi. Dengan demikian, hingga akhir tahun 2011, PPA memiliki tiga anak usaha: PT PPA Finance, PT Waskita Karya (Persero), dan PT PPA Kapital.
Per akhir tahun 2011, total aset menjadi Rp8,232 triliun atau naik 120% dibandingkan dengan aset per akhir tahun 2010 sebesar Rp6,874 triliun.
Setelah sempat menikmati kondisi ekonomi yang kondusif
Per akhir tahun 2011, total aset menjadi Rp8,232 triliun atau naik 120% dibandingkan dengan aset per akhir tahun 2010 sebesar Rp6,874 triliun. pada tahun 2011, PPA kembali meng- hadapi tantangan pada tahun 2012 ketika Eropa dilanda krisis dan berdampak pada negara-negara lain. Ekonomi dunia me- ngalami perlambatan, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi Indonesia. Namun demikian, PPA mampu meningkatkan kinerja keuangan. Hal itu dilakukan melalui strategi investasi yang terukur, manajemen risiko yang prudent, serta koordinasi internal antar-unit yang solid.
Hingga akhir 2011, pendapatan PPA masih didominasi dari pelaksanaan R/R BUMN. Pada tahun 2012, pemegang saham dalam hal ini Pemerintah, meminta Direksi PPA untuk memperbaiki struktur pendapatan. Direksi juga diminta untuk berupaya meningkatkan kontribusi pendapatan dari pengelolaan aset BUMN. Terkait hal ini, PPA menjalin kerja sama dengan sejumlah BUMN untuk mengoptimalkan aset-aset yang kurang produktif.
Catatan cemerlang PPA pada tahun 2012 adalah berhasil membawa PT Waskita Karya mencatatkan sahamnya di BEI. Sementara PT Dirgantara Indonesia memperoleh kepercayaan internasional melalui kerja sama dengan Airbus Military. Setelah menjadi emiten di BEI, PT Waskita Karya tidak lagi menjadi anak perusahaan PPA.
Setelah melepas PT Waskita Karya yang telah sehat, masuklah BUMN konstruksi lainnya, yakni PT Nindya Karya. Dalam rangka penugasan tersebut, PPA
melakukan penambahan modal kepada PT Nindya Karya sebesar Rp500 miliar, yang terdiri dari Rp250 miliar tunai dan Rp250 miliar non tunai, melalui penerbitan saham baru PT Nindya Karya. Sebagai konsekuensinya, per Agustus 2012, PT Nindya Karya resmi menjadi anak usaha perseroan.
Pada tahun 2012, PPA berhasil mendapatkan HPA sebesar Rp164,679 miliar dengan setoran ke Pemerintah Rp113,646 miliar. Pendapatan usaha turun menjadi hanya Rp2,368 triliun. Laba bersih meningkat 11% menjadi Rp320,9 miliar.
Perekonomian dunia secara umum mulai membaik pada tahun 2013. Namun tantangannya, perekonomian negara-negara berkembang yang menjadi motor global masih melambat. Ekonomi Indonesia masih terkena imbasnya. Ekonomi hanya tumbuh 5,7% secara year on year, padahal pada tahun sebelumnya masih mampu tumbuh 6,2%.
Kondisi ekonomi yang masih sulit tersebut berdampak pada penurunan solvabilitas klien-klien dalam melakukan pembayaran atas pinjaman yang diberikan dan atau aset hak tagih yang dikelola PPA. Selain itu, juga berdampak pada rendahnya kontribusi pendapatan dan laba dari entitas anak, sehingga berpengaruh pada kinerja perseroan secara keseluruhan.
Kondisi pasar keuangan yang belum stabil berdampak signifikan terhadap turunnya kinerja investasi saham dan obligasi. Demikian pula dengan pendapatan PPA dari aktivitas bisnis lain, seperti pe- ngelolaan aset, investasi, dan konsultasi bisnis.
Pada tahun 2013, PPA tercatat masih mengelola 12 aset eks BPPN. HPA yang diperoleh sebesar Rp202,22 miliar, 202% dari RKAP 2013. HPA berasal dari penjualan 396.528 lembar saham pemerintah di PT Bank Panin Indonesia Tbk senilai Rp343 juta. Divestasi saham PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugu Re), de- ngan hasil penjualan sebesar Rp52 miliar. Dari Tugu Re, PPA juga mendapatkan dividen tahun 2012. Penjualan saham pemerintah di PT Bank Permata Tbk sebanyak 19.994.027 lembar dengan hasil sebesar Rp31,47 miliar.
Pada tahun tersebut, pengelolaan atas aset BUMN dan juga R/R BUMN masih dilanjutkan. Sementara kegiatan investasi ditanamkan dalam bentuk surat berharga, investasi pada ventura bersama, dan properti. PPA juga mendapatkan laba sebelum pajak sebesar Rp158,95 miliar, turun 57,15% dibandingkan tahun 2012. Penurunan tersebut disebabkan karena pada tahun 2012 terdapat kompensasi pelepasan saham yang nilainya mencapai Rp329,68 miliar. Adapun untuk laba bersih tercatat sebesar Rp103,52 miliar, turun 67,74% dibandingkan tahun 2012.
2014 - Sekarang : Value Creation PPA mulai memfokuskan bisnisnya ke investasi. Di- mulai dengan meletakkan fondasi yang kuat untuk mencapai visi perseroan, sehingga mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan.
Tahun 2014 merupakan tahun yang penting bagi PPA karena memulai proses transformasi bisnis, untuk mencapai tujuan sebagaimana tertuang dalam visi dan misi perusahaan. PPA mulai melakukan pengembangan kegiatan bisnis investasi untuk memperkuat tugas pokok dalam rangka pengelolaan aset eks BPPN dan program R/R BUMN.
Proses tersebut dilakukan di tengah dinamika politik Indonesia, bersamaan dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum.
Mengawali tahun 2014, PPA berhasil menjalin kerja sama de- ngan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk memberikan jasa konsultasi dalam proses penjualan saham Bank Mutiara. Di bidang investasi, PPA memulai kerja sama bidang properti dengan PT Nindya Karya dalam bentuk Kerja sama Operasi (KSO) pada proyek Perumahan Cempaka Hijau, di Paledang, Bandung.
Tengah tahun, PPA memulai lagi kegiatan investasi. Dimulai dengan investasi pengembangan properti dan investasi pada sektor komoditas.
Pada tahun 2014, PPA berhasil mendapatkan laba bersih sebesar Rp114,48 miliar atau 110,59% dari realisasi laba bersih tahun sebe- lumnya. Untuk laba komperehensif tercatat sebesar Rp210,69 miliar atau 240,11% dari realisasi tahun 2013.
Hingga akhir tahun, PPA tercatat memiliki empat entitas: PT PPA Finance (99%), PT PPA Kapital (99%), PT Nindya Karya (Persero) (99%), dan PT Nindya Beton (49%).
Tahun 2014 merupakan tahun yang penting karena berakhir- nya periode Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014. Selanjutnya, PPA menyusun RJPP periode 2015-2019. Pada 31 Oktober 2014, PPA menyampaikan usulan RJPP 2015-2019 kepada pemegang saham.
Dalam RJPP tersebut, PPA mengubah model bisnis menjadi perusahaan investasi dengan tetap melaksanakan kegiatan R/R BUMN serta pengelolaan aset, dengan mengusung visi lima tahun ke depan: “Menjadi Grup Perusahaan Investasi dan Operasi Terkemuka”.
Pada periode 2015-2019, model bisnis PPA bertumpu pada kegiatan investasi yang dilakukan pada induk maupun entitas anak usaha. Untuk mendukung implementasi model bisnis tersebut, maka mulai 2015 PPA melakukan berbagai persiapan yang meliputi perubahan standard operating procedures (SOP), perubahan struktur organisasi, dan lain-lain.
Tahun 2015 merupakan awal PPA memulai tahapan baru dalam pengembangan bisnis, sebagaimana tertuang dalam RJPP 20152019. Strategi awal yang ditempuh pada tahun pertama RJPP lima tahun adalah dengan memperkuat fondasi perusahaan.
Empat Tahapan RJPP 2015 - 2019
Tahapan transformasi sedianya sudah dimulai pada 2014 dan dilanjutkan hingga 2015. Pada tahap ini, PPA melakukan transisi dari model bisnis lama ke model bisnis baru untuk mencapai target perseroan menjadi perusahaan investasi terkemuka sesuai dengan visi dan misi yang telah ditetapkan.
Pada masa transformasi ini, PPA berhasil memperoleh pendapatan usaha sebesar Rp3,97 triliun atau 89% dari target RKAP. Laba usaha sebesar Rp360,95 miliar atau 110% dari target, sedangkan untuk laba bersih sebesar Rp170,96 miliar atau 125% dari target. HPA terealisasi sebesar Rp57,99 miliar atau 116% dari target.
Sepanjang tahun, PPA melakukan R/R terhadap 10 BUMN. Dalam bentuk pendanaan, telah disalurkan dana hingga Rp1,46 trili-
un yang berasal dari PMN dan Rp199,29 miliar dari dana korporasi.
Untuk pengelolaan aset eks BPPN, PPA telah melaksanakan pengelolaan atas empat aset saham non-bank dan satu aset kredit senilai Rp967,18 miliar. Setoran atas hasil pengelolaan aset pada tahun 2015 sebesar Rp89,80 miliar.
Selama tahun 2016, PPA masih mendapatkan HPA atas asetaset eks BPPN sebesar Rp13,88 miliar, lebih rendah dari tahun 2015 sebesar Rp14,73 miliar. Hal itu sejalan dengan kualitas dan kuantitas aset yang terus turun.
Dari kegiatan investasi, realisasi pendapatan hasil investasi pada tahun 2016 tercatat sebesar Rp135,23 miliar, meningkat 6,04% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari bidang jasa konsultasi bisnis, PPA berhasil mendapatkan imbalan jasa konsultasi sebesar Rp13,38 miliar, meningkat 16,60% dibandingkan 2015.
Laba bersih PPA selama tahun 2016 sebesar Rp281,266 miliar, yang berarti 171% dari target RKAP. Angka tersebut meningkat 65% dibandingkan laba bersih tahun 2015.
Melanjutkan transformasi bisnis yang sudah dilakukan sejak 2015, PPA menjalankan bisnis sesuai RJPP 2015-2019. Hasilnya, pada tahun 2017 pendapatan usaha PPA tumbuh 27,11% menjadi Rp6,36 triliun. Laba bersih sebesar Rp326,49 miliar atau tumbuh 16,08%.
Untuk pengelolaan aset eks BPPN, PPA menjalin kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka peningkatan nilai aset dan melakukan penagihan piutang.
Kegiatan investasi dilakukan dengan investasi jangka panjang guna mendukung keberlanjutan perusahaan, serta memperkuat strategi inisiasi dengan memperluas area kerja sama dengan sesama BUMN, swasta, maupun BUMD.
Pada 2017, PPA dan entitas perusahaan melakukan Kerja Sama Operasi (KSO) bersama pihak lain dengan total 29 perusahaan yang jumlah investasinya tercatat sebesar Rp340,884 miliar.
Memasuki tahun 2018, PPA memperkuat eksistensinya dengan
menjadikan investasi sebagai landasan bagi pengembangan ke depan. Visi diperkuat, yakni: “Menjadi Perusahaan Investasi Terkemuka dan Mitra Terpercaya dalam Restrukturisasi Korporasi”.
Pada tahun 2018, PPA mengambil langkah strategis untuk mengembangkan segmen bisnis investasi sebagai bisnis yang akan menghasilkan pendapatan berkelanjutan. PPA melakukan penataan komposisi pendapatan agar memiliki tingkat pertumbuhan yang konsisten dan terukur.
Pertama, memfokuskan portofolio bisnis serta memperkuat strategi. Penataan komposisi bisnis dijabarkan dalam RJPP 20182022. Berdasarkan RJPP tersebut, PPA akan fokus pada sektor bisnis investasi.
Kedua, melakukan perubahan struktur organisasi. Hal ini sejalan dengan strategi bisnis. Struktur organisasi menjadi lebih efektif dan lebih mendorong percepatan proses eksekusi sesuai strategi dan ekspektasi.
Ketiga, penyesuaian model bisnis. Sehubungan dengan ber- akhirnya pengelolaan aset dari BPPN pada tahun 2018 dan mengura- ngi ketergantungan terhadap PMN dalam melaksanakan R/R serta memastikan kesinambungan bisnis perseroan ke depan, maka pada tahun 2018, kegiatan usaha PPA difokuskan pada kegiatan investasi dan R/R. Hal itu sudah dituangkan dalam RJPP.
Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Penetapan strategi perseroan menunjukkan hasil yang signifikan. Laba bersih meningkat. Sementara kinerja anak perusahaan, PT PPA Kapital, yang semula negatif mulai menunjukkan hasil positif, serta mulai tumbuh menghasilkan nilai bagi perusahaan. Anak usaha lainnya, PT PPA Finance, dilakukan penajaman fokus untuk masuk ke sektor ritel.
Tahun 2018, PPA berhasil mendapatkan pendapatan usaha sebesar Rp6,82 triliun, meningkat 7,23% dibandingkan tahun sebe- lumnya. Laba bersih tercatat sebesar Rp428,80 miliar, meningkat 31,34% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejak 2015, PPA menjalankan bisnis sesuai RJPP 20152019. Hasilnya, pada tahun 2017 pendapatan usaha PPA tumbuh 27,11% menjadi Rp6,36 triliun.
Transformasi model bisnis dan revitalisasi juga membuat PPA semakin menarik di mata kreditur sehingga membuka peluang kerja sama.
Hingga 2018, PPA masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti: beberapa BUMN yang akan disehatkan berhenti beroperasi, dalam kondisi non-bankable, adanya keterbatasan pendanaan untuk menjembatani program R/R (dana talangan), beberapa BUMN yang akan disehatkan masuk dalam koridor kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), serta isu perburuhan. Ada juga masalah sumber pendanaan, di mana PPA harus memastikan ka- pasitas keuangan yang ada agar dapat mengembangkan bisnis serta mencari solusi alternatif pendanaan lainnya. Di tengah semua tantangan tersebut, PPA berhasil mendapatkan skor penilaian Key Performance Indicator mencapai 104,84 atau berarti “Sangat Baik”. Skor assesment penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) PPA mendapatkan skor 88,13 atau berarti “Sangat Baik”. Dari sisi tingkat kesehatan perseroan dan klasifikasi kesehatan, PPA berhasil mendapatkan skor 93,50 yang berarti “Sehat” dengan klasifikasi kesehatan “AA”.
Kinerja Keuangan PPA 2015 - 2019
Menapaki tahun 2019, kegiatan investasi PPA semakin berkembang. Berkembangnya kegiatan investasi sebagai salah satu jangkar bisnis PPA turut diperkuat dengan penyempurnaan prosedur dan pembentukan komite khusus yang “menggodok” kelayakan investasi dari berbagai aspek yakni Komite Investasi dan Manajemen Risiko. PPA sampai dengan tahun 2019 telah melakukan penyertaan modal di berbagai perusahaan lintas sektor dengan nilai mencapai Rp4,026 trilliun (PPA induk).
Ceruk pasar investasi yang disasar oleh PPA pun berkembang. Pada tahun 2019 PPA memulai langkah pengelolaan perusahaan dalam kelompok kredit macet atau NPL perbankan anggota Himbara. PPA melirik perusahaan-perusahaan dalam kelompok tersebut secara selektif yang industrinya masih memiliki prospek melalui pro- ses due diligence. PPA menjadikan pengalaman menangani aset-aset perbankan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai bekal
dalam mengelola NPL Himbara yang sekaligus membantu pemerintah dalam upaya preventif mencegah sistemik perbankan.
Arah PPA untuk menjadi National Asset Management Company (AMC) semakin terlihat dengan upaya PPA menjalin kerjasama dengan AMC negara lain. Pada penghujung 2019, kerjasama perdana antara PPA dengan AMC negara lain yaitu Korea Asset Management Corporation (KAMCO) berhasil terjalin. Tak berselang lama, PPA tercatat bergabung dalam keanggotaan forum AMC tingkat Asia yaitu International Public Asset Management Company Forum (IPAF).
Di tengah dinamika bisnis PPA induk maupun entitas anak sepanjang tahun 2019, di bawah kemudi nahkoda baru, kesehatan kinerja perusahaan tetap terjaga dengan capaian skor 90 yang berarti “Sehat” dengan klasifikasi kesehatan “AA”. Penilaian Kinerja Unggul (KPKU) juga menunjukkan PPA sebagai BUMN berkinerja baik dengan capaian skor sebesar 511,25 atau dalam klasifikasi “Good Performance”. Tata kelola perusahaan pun terjaga dengan capaian skor assessment penerapan prinsip GCG sebesar 88,53 atau berarti “Sa- ngat Baik”.
Pada tahun 2019 berhasil membukukan aset sebesar Rp14,4 tri- liun. Capaian tersebut meningkat sebesar 23% dibandingkan tahun 2018. Ekuitas pun meningkat dibandingkan tahun 2018 menjadi sebesar Rp5,42 trilliun pada tahun 2019. Pendapatan usaha tahun 2019 mencapai Rp6,67 trilliun, meski melandai 2,3% dibandingkan tahun 2018, namun tetap berada pada tren pertumbuhan. Laba bersih tahun 2019 sebesar Rp327 miliar mengalami kontraksi 30% dibandingkan tahun 2018 akibat dari melemahnya kinerja anak perusahaan sektor konstruksi. Sebuah tantangan bagi PPA bahwa secara bersamaan dituntut mampu mempertahankan kinerja sebagai induk dari beberapa entitas anak dan cucu perusahaan sekaligus optimal melaksanakan amanat R/R BUMN.
bab vi
TESTIMONI
Selama dua windu, PPA telah mengalami serangkaian transformasi. Berikut testimoni dan harapan dari pihak-pihak yang pernah bersentuhan langsung dalam pengambilan kebijakan terkait PPA.
Zaman saya, saya lihat PPA cukup well performed
Mustafa Abubakar Menteri BUMN 2009-2011
Pada era Mustafa Abubakar sebagai Menteri BUMN, PPA baru saja mengemban tugas baru untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Penyehatan PT Merpati Nusantara Airlines merupakan tugas pertama PPA.
Bagaimana peran PPA pada periode Anda sebagai Menteri BUMN ?
Pertama, waktu itu ada upaya menyelamatkan PT Kertas Kraft Aceh (KKA) dengan melibatkan PPA. Pada masa itu, terasa sekali sinergi beberapa stakeholder untuk memajukan KKA yang kolaps.
Kedua, penyelamatan PT Merpati Nusantara Airlines. Merpati waktu itu membutuhkan dana yang lumayan besar untuk menggerakkan kembali roda perusahaan. Pemerintah sepakat untuk menghidupkan lagi Merpati. Support dana dari Pemerintah disetujui oleh DPR sepenuhnya melalui PPA untuk menghidupkan Merpati.
Waktu itu saya sempat memiliki kehendak untuk menggandengkan Merpati dengan Garuda. Tapi, ide itu belum terlaksana.
Ketika menjabat sebagai Menteri BUMN, kondisi PPA seperti apa?
Pak Boyke (Boyke Mukijat, Dirut PPA 2009-2014) dan kawan-kawan PPA kooperatif dan senantiasa menjalin komunikasi yang baik dengan saya sebagai Menteri BUMN. Setiap strategi atau kebijakan, mereka fully support. Waktu itu, saya lihat PPA cukup well performed. Suka-duka pasti ada, terutama berurusan dengan tambahan modal. Sumber dana APBN terbatas, rebutan untuk
pendanaan BUMN. Termasuk PPA, harus bersaing menda- patkan pendanaan Pemerintah. Pak Boyke dan timnya cukup baik melakukan pendekatan persuasif ke DPR, Kementerian Keuangan, dan Kementerian BUMN.
Ketika masih menjabat dan melihat sekarang PPA sudah 16 tahun, apa ada yang kurang? Karena misalnya, ternyata Merpati sampai sekarang belum bisa beroperasi penuh lagi.
Saya tidak melihat Merpati menjadi semacam barometer PPA, karena Merpati mengalami kesulitan yang beruntun. Lebih banyak kendala dari aspek manajemen ketimbang support pendanaan. Merpati tidak bisa menjadi ukuran bahwa PPA belum berhasil. Dalam proses penyehatan untuk meng- aktifkan Merpati, PPA sudah berkomitmen.
Apakah BUMN harus selalu diselamatkan? Atau memang sebaiknya menyuntik mati saja BUMN yang memang tidak bisa diselamatkan?
Tidak semua BUMN itu harus diselamatkan. Harus dipilah, BUMN yang potensial bisa diselamatkan, harus diprioritaskan. Harus audit total dari proses bisnisnya, manajemen, sampai prospek bisnisnya. Dari situ, kita putuskan apakah lampu merah, hijau, atau kuning. Kalau ada BUMN yang kelihatannya sudah terlalu parah, tidak usah segan-segan untuk melakukan likuidasi. Meskipun likuidasi tidak mudah dilakukan.
BUMN harus ditata lagi, mana anak perusahaan yang dibutuhkan, mana yang perlu dipangkas. Peran PPA, yaitu menjembatani sebagai tangan kanan Kementerian BUMN untuk membantu menyehatkan perusahaan-perusahaan yang sakit. PPA bisa berkontribusi untuk mengkaji mana yang
perlu diselamatkan, disuntik, dan lainnya.
PPA perlu diberi ruang gerak lebih ?
PPA perlu dibantu permodalan. Kalau diberi tambahan investasi memungkinkan saja, asal sesuai kebutuhan, baik untuk modal kerja atau investasi. Perlu pemahaman DPR dan Kementerian Keuangan, bahwa perlu support modal atau dukungan fiskal untuk memperkuat PPA. PPA kan menjadi tangan kanan Peme- rintah untuk menyehatkan BUMN, tentu tangan kanan harus kuat secara modal dan skill.
PPA sekarang masuk ke investasi, apakah bagus karena bisa cari modal sendiri?
Itu tergantung. Kalau PPA melihat ada peluang investasi di perusahaan yang memiliki prospek bisnis, mendatangkan keuntungan, sehingga ada suntikan dana dari luar, kenapa tidak?
Harapan untuk PPA ke depan?
Tapi, sebelum itu, Kementerian BUMN juga harus disehatkan. Markas BUMN harus diperkuat agar bisa memberikan pelayanan dan pembinaan kepada pasukan BUMN yang jumlahnya mencapai 142 perusahaan. Supaya pasukan terbina dengan baik, markas harus kuat. Ketika masa saya dulu, markas agak kedodoran. Deputi dan Asisten Deputi banyak yang menjadi komisaris. Akhirnya keropos di Kementerian BUMN, namun kuat di pasukan. Sebaiknya markas kuat, pasukan kuat.
Saya harap PPA menjadi partner yang mendukung penuh Kementerian BUMN untuk menyehatkan BUMN yang memang la- yak. Tidak mudah menyehatkan perusahaan. Kalau PPA bisa melakukan, bisa sangat membantu Kementerian BUMN.
Sofyan Djalil
Menteri Negara BUMN Republik Indonesia Periode 2007-2009
Sofyan Djalil
Menteri Negara BUMN Republik Indonesia Periode 2007-2009
Bagaimana peran atau tugas PPA pada periode Anda sebagai Menteri BUMN?
Waktu itu, PPA seperti transisi saja. Tugasnya hanya menangani aset-aset eks BPPN yang belum sempat diselesaikan oleh BPPN. Harusnya PPA berakhir pada tahun 2009. Kalau saya tidak lakukan apapun, pada tahun 2009 PPA tutup buku. Saya pikir PPA punya peran yang bagus dan bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang selama ini tidak ada yang ambil (pengelolaan aset Negara) yang bermasalah.
Waktu itu, ada kasus Waskita Karya. Ekuitasnya tergerus terus. Pilihannya tambah modal (PMN) Waskita Karya atau tidak bisa ikut tender lagi karena ekuitasnya negatif. Bagaimana menyelesaikan ini? PPA masuk dalam bentuk bonds. Secara pembukuan ekuitasnya negatif jadi positif. Saya juga menunjuk Direktur Utama yang baru, yaitu Pak Choliq (Direktur Utama PT Waskita Karya Periode 2008-2013 dan 2013-2018) yang cukup kreatif dan akhirnya Waskita Karya berhasil sehat, bahkan go public.
Ketika Anda menjabat sebagai Menteri BUMN, tantangan yang dihadapi PPA seperti apa?
Permasalahan menangani BUMN sakit, kita harus berani menutup BUMN yang tidak berkontribusi dan merugi secara sistematik. Tidak di-carry terus. Itulah susahnya BUMN, kalau sudah tidak berjalan, no hope, no prospect tidak bisa langsung ditutup. Padahal kalau ditutup, asetnya bisa diffuse ke dalam ekonomi.
Tantangan lainnya, secara umum pada BUMN, yaitu tentang moral hazard. Inti moral hazard adalah “kalau mati bukan keluarga kita, kalau rugi bukan harta kita”, kita tidak terlalu peduli. Lain halnya kalau yang mati keluarga kita, kalau yang rugi harta kita. Faktor politik membuat pengelolaan BUMN menjadi lebih complicated. Kadang-kadang kebijakan tidak optimum karena pertimbangan politik.
Selain itu, yang dihadapi BUMN adalah manajemen bisa diganti sewaktu-waktu. Program kerja bisa berubah setiap pergantian manajemen. Idealnya ada key performance indicator yang mengikat selama periode manajemen yang telah ditunjuk. Tidak akan diganti dan tidak boleh diganti. Jadi, ada kepastian, ada keberanian untuk mengeksekusi strategi. Ada periode adjustment untuk memahami masalah, masa me- nyusun program, dan seterusnya.
Apa hal yang melatarbelakangi pada era kepemimpinan Bapak, diterbitkan KEP- 164/MBU/2008 yang mengubah jangka waktu perseroan dari lima tahun menjadi tidak terbatas?
Saya lihat fungsi PPA akan menjalankan peran yang positif dan membawa manfaat, maka kita perpanjang. Keahlian yang diperoleh dari BPPN masih diperlukan untuk menyehatkan BUMN bermasalah maupun swasta. Saya se- nang mendengar PPA sudah 16 tahun. Ini artinya, kebijakan memperpanjang umur PPA, itu membawa manfaat. Sebuah kepuasan bagi saya.
Apa hal yang melatarbelakangi pada era kepemimpinan Bapak, PPA juga diberikan perluasan ruang lingkup tugas menjadi pengelolaan aset eks BPPN, RR BUMN, kegiatan investasi, dan kegiatan pengelolaan aset BUMN?
PPA seperti yang kita lihat saat ini, dengan spesialisasi dalam hal restrukturisasi didukung dengan pembiayaan, PPA bisa memainkan peranan seperti private equity. Pengguna jasanya, yaitu perusahaan BUMN, swasta maupun BUMD yang sakit, tapi masih punya prospek. Banyak yang masih bisa direstrukturisasi. Manfaat sosialnya jadi lebih besar dengan aset yang kembali produktif. Side income yang intangible bagi PPA juga dapat kepuasan batin ketika perusahaan yang ditangani kembali sehat.
Ketika masih menjabat dan melihat sekarang PPA sudah 16 tahun, menurut Bapak adakah yang perlu ditingkatkan?
Masuknya PPA pada pengelolaan non-performing loan perbankan sudah tepat. Sebenarnya ini menjadi jalan melingkar dari hambatan regulasi. Idenya bagus sekali sebagai presistemik per-
bankan untuk membantu LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Penanganan NPL di Indonesia kendalanya, khususnya bank BUMN, yaitu tidak bisa serta-merta melakukan write-off atau hapus buku (mekanisme yang dilakukan lembaga keuangan untuk menurunkan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
Menurut Bapak, bagaimana kinerja PPA terkait penugasan Restrukturisasi/Revitalisasi BUMN dengan kondisi BUMN secara umum saat ini?
So far so good. Tingkatkan kompetensi, jaga integritas, dan agar lebih kreatif dalam melihat peluang.
Apa harapan Bapak untuk PPA ke depan?
Ilmu dan keahlian yang PPA miliki sangat diperlukan oleh BUMN, BUMD maupun swasta. Harapannya, PPA bisa menciptakan added value pada setiap perusahaan yang dita- nganinya. PPA ini seperti perusahaan consulting yang harus- nya mampu bersaing dengan perusahaan konsultan asing.
Saya sangat berharap, ayo kita jadikan negeri ini lebih baik lagi. Negeri kita masih terus memerlukan perbaikan-perbaikan. Sebuah negara bisa maju karena mampu menciptakan added value atau nilai tambah. Kelembagaan korporasi kita masih lemah. PPA harus ikut membantu.
Saya juga konsen terkait SDM. Pertama, tanamkan integritas dari tingkat manajemen sampai seluruh karyawan terutama generasi muda. Kedua, paling penting integritas. Ketiga, juga integritas. Setelah itu baru kompetensi. Integritas masih menjadi PR bangsa Indonesia di semua lini. Banyak orang ingin quick win, cepat kaya, tapi integritas tidak dijaga. Ingat, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya. Integrity is everything.
Negeri ini membutuhkan puluhan ribu profesional,
supaya ekonomi maju, di semua lini. Waktu saya jadi Menteri BUMN mencari kandidat level top management yang bagus. Nama yang muncul dia lagi, dia lagi. Dengan kata lain, pool professional di Indonesia masih terbatas.
Kalau dulu Citibank menjadi sekolah para bankir Indonesia, PPA ini harus bisa jadi sekolah tenaga profesional yang punya kemampuan restrukturisasi. Citibank bisa menjadi sekolah para bankir karena yang pertama mereka bangun adalah sistem yang penuh integrity. Lakukan yang terbaik, jaga reputasi, hasil akan mengikuti.
Harapan saya juga semoga dalam waktu dekat, PPA bisa menjadi perusahaan aset manajemen nasional. PPA saya harap bisa memberikan jasa kepada perusahaan non-BUMN juga. Suatu saat, PPA akan bisa jadi restructuring agency yang dapat diperhitungkan.
Saya berpesan agar generasi muda di PPA dilatih dan diberi kesempatan berkarya, lalu setelah kompeten dilepaskan ke perusahaan lain terutama BUMN.
Dahlan Iskan
Menteri BUMN Periode 2011-2014
“Pada periode Dahlan Iskan menahkodai Kementerian BUMN pada 2011 sampai dengan 2014, terdapat dua milestone penting bagi PPA, yaitu pelepasan PT Waskita Karya (Persero) sebagai entitas anak melalui skema initial public offering (IPO) dan penugasan menyehatkan PT Nindya Karya (Persero) pada tahun 2012. Selain itu, Dahlan Iskan turut mengamini rumitnya PPA menangani Grup Texmaco sampai dengan tahun 2014.
Dahlan Iskan
Menteri BUMN Periode 2011-2014
PT WK ibaratnya sudah menjadi mayat. Tahun 2010 masuk program penyehatan PPA. PPA-lah yang telah menghidupkan mayat itu. Bukan saja menghidupkannya tapi juga membuatnya sehat.
Dari status ICU (intensive care unit) PT WK segera bisa rawat inap. Lalu rawat jalan. Akhirnya bisa keluar dari rumah sakit. Kian sehat pula. Bahkan kian perkasa.
PT WK kemudian bisa menjadi salah satu andalan utama untuk menggerakkan proyek-proyek infrastruktur nasional.
Bahkan, mampu pula membeli (mengambil alih) ijin-ijin proyek jalan tol yang tidak kunjung dijalankan oleh pemilik ijinnya.
Sebenarnya saya kurang setuju PT WK membeli ijin-ijin konsesi itu. Saya sudah beberapa kali minta kepada Menteri PU (waktu itu) untuk mencabut ijin-ijin konsesi jalan tol tersebut. Lalu diberikan kepada PT WK atau BUMN yang lain.
Proyek infrastruktur kita pernah “tersandera” oleh para investor yang sudah mengantongi ijin konsesi. Tapi mereka tidak segera menjalankannya. Ada yang sudah 10 tahun belum juga dimulai. Kesannya perkembangan jalan tol kita lambat.
“Penyanderaan” infrastruktur itu begitu sulit diselesaikan secara jalan pintas. Akhirnya PT WK harus membelinya.
Syukurlah di era pemerintahan sekarang pembangunan
infrastruktur kian cepat. Dan PT WK menjadi salah satu “buldozer”nya.
Tentu masih banyak hasil pekerjaan PPA lainnya. Tapi sayang memang, ketika PPA sudah melangkah dengan manis untuk menyelesaikan Grup Texmaco milik Sinivasan usaha itu terkena gergaji hukum.
Padahal PPA sudah mengeluarkan energi yang sangat besar. Baik tenaga, pikiran, waktu maupun dana. Benar-benar sudah setengah jalan. Saya sudah sempat membayangkan hasilnya.
Tiba-tiba Sinivasan melihat langkah PPA itu segera berhasil. Maka Sinivasan mengajukan gugatan ke pengadilan. Pengadilan memenangkannya. PPA tergergaji. Pemerintah Indonesia juga kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan uang yang mengalir ke perusahaan itu. Yang nilainya sebesar gajah bengkak.
BUMN memang selalu lemah kalau sudah dimasukkan ke arena hukum. BUMN tidak punya mata anggaran untuk me- lawan gugatan seperti itu. Kalau toh melawan biasanya sebatas koridor hukum. Tidak akan ada dana ekstra untuk memenangkan suatu perkara.
Demikian juga PPA. Tidak mungkin punya kekuatan ekstra untuk berperkara dengan gajah sekelas Sinivasan.
Tapi kisah PPA dan Sinivasan itu biarlah juga menjadi kenangan pahit tersendiri dalam sejarah PPA. PPA harus move on. Masih banyak tugasnya. Masih terlalu banyak. Sebenarnya saya ingin ada misi rahasia yang harus bisa diperankan PPA.
Apa itu? Tidak harus PPA bisa menghidupkan semua mayat yang dikirim ke kantornya.
Tapi setidaknya PPA bisa menguburkan mayat-mayat itu dengan upacara penguburan yang baik. Dengan tata cara pe- nguburan yang benar.
Waktu itu saya memang bermaksud mengirimkan perusahaan-perusahaan BUMN yang posisinya sudah setengah mayat. Yang jumlahnya banyak.
Pun ukuran perusahaan itu terlalu kecil untuk diselamatkan. Tidak pantas negara punya usaha yang omsetnya kalah dengan jualan bakso di Blok S Jakarta Selatan.
Apalagi kalau swasta sudah mampu menangani usaha- usaha bidang yang ditangani perusahaan kecil nan sulit itu. Untuk apa BUMN menanganinya. Tidaklah elok BUMN harus bersaing dan mengambil semua bidang yang harusnya menjadi lahan swasta.
Setelah perusahaan-perusahaan sulit itu berada di PPA, harusnya PPA mengelompokkannya. Mana yang harus dihidupkan. Mana yang harus dijual. Mana yang harus segera dimakamkan.
Dengan demikian “buku daftar perusahaan BUMN” menjadi cantik. Sehat. Menarik. Tidak “dikotori” oleh perusahaan-perusahaan yang ruwet itu.
Bagaimana prosesnya?
Jadikanlah perusahaan tersebut menjadi anak perusahaan PPA. Setelah berstatus anak perusahaan maka itu sudah menjadi urusan internal PPA. Mau diapakan saja terserah PPA. Termasuk kalau mau menguburkannya. Di PPA prosedur hukum penguburannya lebih mudah. Lebih sederhana. Lebih cepat. Kalau misi rahasia itu bisa dilakukan PPA berarti PPA telah membantu Kementerian BUMN dengan kerja yang amat nyata.
Benar-benar tidak perlulah PPA berambisi menghidupkan semua pasiennya. Terlalu besar energi yang dikeluarkan. Hasilnya tidak memadai dibanding energi yang terbuang.Lebih baik energi yang besar itu untuk memikirkan cara menghidupkan perusahaan yang punya potensi besar.
“Kisah menghidupkan Waskita Karya telah menjadi best practiCE yang paling fenomenal.
Hadiyanto
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan
Bapak merupakan salah satu tokoh yang mengikuti perjalanan PPA selama 16 tahun, bagaimana kiprah PPA menurut Bapak?
Sejak dibentuk pada 27 Februari 2004, PPA sudah mempunyai fondasi kuat, khususnya dari segi skill SDM yang mumpuni sebagai para alumnus BPPN. Pengalaman melakukan pengelolaan kekayaan Negara yang berasal dari BPPN, menjadi bekal PPA untuk menjaga sustainability hingga saat ini. Sejauh ini, layanan jasa PPA masih relevan dan dibutuhkan oleh korporasi, baik BUMN maupun swasta.
Hanya PPA, BUMN yang diberikan wewenang untuk mengelola aset Negara eks BPPN dan aset BUMN selain kementerian dengan nilai yang sangat besar. Tugas tersebut tidak main-main, mengelola aset-aset eks BPPN merupakan tugas krusial bagi PPA sebagai mitra Kementerian Keuangan serta secara luas bagi perekonomian. Sejauh ini, penugasan-penugasan dari Pemerintah kepada PPA pun berjalan baik, proper dan membuahkan hasil.
Seiring berjalannya waktu, PPA diberi tugas melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Menurut Bapak, bagaimana kinerja PPA dan hubungan PPA dengan Kementerian Keuangan dalam hal itu?
Sejak tahun 2009 PPA diberi mandat untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN. Kita ketahui bahwa setiap penugasan kepada PPA dari Kementerian BUMN untuk menangani BUMN yang dikategorikan sebagai “sakit”, prosesnya dikomunikasikan dengan Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham BUMN dalam bentuk kajian. Pro- sesnya seperti apa? Bagaimana rencana bisnis ke depannya? Skemanya kuat atau tidak? Berapa lama jangka waktunya? Itu semua dibahas bersama antara Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan PPA.
Mandat ini merupakan tugas berat untuk PPA. Mengapa?
Pertama, pada saat diberikan kepada PPA, kondisi BUMN ini beragam, bahkan ada yang sudah berhenti ope- rasi. Sementara tujuan restrukturisasi atau revitalisasi itu jelas, untuk penyehatan. Meningkatkan kinerja dan nilai BUMN tersebut secara berkelanjutan. Kedua, industri BUMN yang ditangani beragam. Ada airlines, gelas, kertas, logistik, konstruksi, dan sebagainya. Ketiga, skema penyehatan berbeda-beda. Bisa hanya restrukturisasi atau perbaikan kondisi internal, atau ditambah juga dengan revitalisasi melalui pemberian pinjaman dan/atau penambahan setoran modal. PPA tidak bisa menentukan sendiri, misalnya mau kuasi ekuitas atau konversi pinjaman dengan jangka waktu pengembalian yang fleksibel menjadi ekuitas untuk BUMN X, itu harus berdasarkan persetujuan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Jadi, kewenangan PPA masih terbatas untuk mengeksekusi alternatif-alternatif penyehatan BUMN.
Restrukturisasi dan revitalisasi BUMN selama ini pun masih mengandalkan injeksi dana Penyertaan Modal Negara atau PMN dari Pemerintah yang disalurkan kepada BUMN “sakit” melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) dengan regulasi penggunaan yang ketat. PPA yang notabene hanya “dititipkan” pun tidak dapat leluasa menggunakan dana tersebut. Jika ada sumber-sumber lain, maka akan lebih bagus lagi. PPA dapat menangani BUMN lebih dini, fleksibel, dan efektif.
Menurut Bapak, adakah tugas dan peran PPA yang belum dikembangkan?
Tugas dari Kementerian Keuangan dalam mengelola aset eks BPPN sudah tuntas oleh PPA. Aset eks BPPN terakhir yang dikelola PPA kemudian dikembalikan ke Kementerian Keuangan, yaitu aset-aset PT Tuban Petro Group senilai Rp3,2 triliun. Setelah itu, arah PPA lebih dominan ditentukan oleh PPA sendiri dengan tetap menjalankan tugasnya dari Kementerian BUMN untuk restrukturisasi/revitalisasi BUMN.
Rencana Kementerian BUMN untuk mengurangi jumlah BUMN atau penataan BUMN melalui merger dan likuidasi merupakan satu opportunity bagi PPA untuk berperan dengan regulasi yang memadai.
Upaya PPA meningkatkan pengelolaan NPL perbankan juga kami lihat sesuai dengan kompetensi PPA. PPA punya pengalaman melakukan restrukturisasi, pencarian investor strategis, sampai dengan disposal. Jika dapat dikelola dengan baik, upaya ini akan membantu perbankan sebagai strategi menurunkan NPL. Posisi PPA berada di antara perbankan dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam tahap antisipasi sejak dini atau presistemik sebelum kondisinya terlanjur memburuk.
Apa harapan Kemenkeu sebagai shareholder BUMN, khususnya PPA yang sudah berkarya selama 16 tahun?
Harapan kami, pertama, PPA dapat terus menjaga kepercayaan pemerintah maupun publik, baik terkait penugasan restrukturisasi dan revitalisasi BUMN maupun operasional bisnis secara umum melalui komunikasi yang baik. Peran PPA tetap diperlukan sebagai mitra pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Kedua, PPA dapat mengoptimalkan tugas utamanya sebagai satu-satunya BUMN yang diberi mandat melakukan restrukturisasi dan revitalisasi sesama BUMN.Dari sisi internal PPA terus meningkatkan kompetensi SDM, kerja sama dengan pihak lain, dan tetap menjaga GCG-nya. Dari sisi eksternal, jika diperlukan penguatan payung hukum agar PPA dapat menjalankan fungsinya lebih efektif, maka penguatan tersebut perlu segera dilakukan.
Ketiga, harapan kami, dengan spesialisasi dan pengalaman yang PPA punya, selain amanat RR BUMN, bisnis-bisnis pendukung yang PPA jalankan bisa on the track. Seperti kegiatan investasi langsung maupun tidak langsung, advisory, pembiayaan dan pengelolaan aset. Setelah tidak mengelola aset eks BPPN, PPA dapat lebih fokus mengembangkan bisnis-bisnis pendukungnya. Benang merahnya tetap pada pengelolaan aset sehingga cita-cita menjadi National Asset Management Company dapat terwujud.
Aditya Dhanwantara
Plt Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN
Aditya Dhanwantara
Plt Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN
“PPA punya success story PT Waskita Karya. Di swasta juga, seperti PT Bondi Syad Mulia dan PT Rejeki Inti Logam jaya.
PPA sudah makin berkembang perannya sebagai BUMN, apakah sudah sesuai harapan Kementerian BUMN?
Saya melihat PPA selama ini sudah di jalurnya, walaupun dalam pelaksanaannya ada variasi. Kadang banyak faktor yang mempengaruhi, seperti leadership di PPA dan faktor stake- holder, seperti di Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan lainnya.
Saya mulai terlibat di PPA sejak akhir tahun 2015 sebagai Kepala Bidang di Kementerian BUMN. Saat itu saya lihat kenapa program PPA ada yang tidak berjalan baik? Apakah dukungan dari pemegang saham belum optimal? Kami tata ulang aturan mainnya. Alhamdulillah sekarang mulai kelihatan hasilnya.
Masih ada PT Merpati Nusantara Airlines, PT Iglas, PT Kertas Kraft Aceh, walaupun belum tuntas semua, karena masalahnya sudah menahun, tidak mungkin selesai dalam sehari.
Adanya PPA ini perlu. PPA menjadi partner yang sangat penting bagi Kementerian BUMN. PPA punya tugas R/R dan mengelola aset BUMN, khususnya distressed asset sehingga PPA menjadi mitra yang penting.
Kementerian BUMN ini dari dulu tidak punya keleluasan melakukan aksi korporasi, karena kita adalah kementerian lembaga. Semua harus ikut aturan kementerian lembaga. Kaitannya dengan restrukturisasi BUMN, perlu kecepatan identifikasi masalah untuk bisa menentukan solusi, perlu resources dan finansial, PPA punya itu.
Tidak ada restrukturisasi yang gratis, pasti ada cost. Kementerian BUMN tak bisa fleksibel, yang bisa melakukan adalah korporasi.
Kalau kita lihat struktur modal PPA, dari modal disetor sebesar Rp300 miliar, baru Rp250 miliar yang murni untuk PPA dan Rp50 miliar untuk dana R/R BUMN. Tugas R/R itu tak mudah, PPA perlu tambahan wewenang melakukan investasi. PPA kemudian diberikan keleluasaan untuk investasi. Mestinya dana R/R secara proporsional dapat dialokasikan juga untuk investasi oleh PPA.
PPA jungkir balik melakukan investasi memakai dana internal dan perbankan. Hal ini mulai kita tata ulang di 2019.
Harapan Kementerian BUMN ke depan PPA di tengah banyak tantangan terkini?
Harapan kami ke depan, PPA bisa mendefinisikan dengan jelas perannya sebagai agen R/R dan sebagai perusahaan investasi. PPA sebagai perusahaan investasi memang harus komersial bisnis, tapi untuk mendukung R/R, perlu cross subsidies dari pemerintah.
Satu hal lagi yang dapat dioptimalkan, yaitu pengelolaan distressed asset BUMN. Peran ini juga tidak mudah. Kegiatan BUMN sedikitnya diatur oleh delapan undang-undang (UU). BUMN seperti PPA diatur oleh UU tentang PT, tentang
BUMN, tentang Keuangan Negara, tentang Perbendaharaan Negara, tentang Pemeriksaan Keuangan Negara, tentang Tindak Pidana Korupsi, tentang sektor, dan tentang pasar modal. Berbeda dengan swasta yang cuma diatur oleh tiga UU, yaitu tentang PT, pasar modal, dan sektor seperti pertambangan.
Jadi, BUMN seperti PPA pergerakannya tak dinamis?
Ya itulah yang namanya BUMN, ma- kanya sering diutarakan bahwa mengelola BUMN sulitnya adalah mengelola stakeholder, bukan economic issue.
Soal BUMN yang punya anak, cucu dan cicit perusahaan, yang bukan bisnis inti. Apakah PPA bisa kelola?
Jumlah BUMN saat ini mencapai 140 perusahaan. Ditambah dengan anak, cucu, dan afiliasi usaha dari BUMN, jumlahnya lebih dari 600 perusahaan. Seiring rencana Kementerian BUMN menata PPA, jika sebe- lumnya PPA hanya mengelola aset, harusnya ke depan PPA bisa investasi ke anak, cucu, dan afiliasi usaha BUMN. Pemisahan modal untuk investasi dengan dana R/R harus clear.
Apakah alokasi PMN untuk PPA akan dikurangi dan PPA akan fokus pakai dana komersial?
Kementerian BUMN berharap PPA bisa mandiri. Kementerian BUMN memberikan keleluasan kepada PPA untuk dapat melakukan investasi dalam rangka membantu Kementerian BUMN melakukan R/R. PPA juga sudah mulai menghimpun dana eksternal melalui penerbitan Medium Term Notes (MTN) dan rencana penerbitan obligasi.
Kementerian BUMN mau membawa PPA ke mana?
PPA itu kan punya banyak ahli untuk melakukan restrukturisasi. Kita akan optimalkan. PPA bisa membantu restrukturisasi BUMN, mengelola distressed asset BUMN lain, atau Non Performing Loan (NPL) perbankan. Bisa macam-macam polanya. Bisa dengan akuisisi aset, pengelolaan aset, atau bisa juga dengan advisory. PPA sudah terbukti hasilnya di bebe- rapa sektor.
Kami lihat PPA sudah sesuai yang digariskan BUMN. Kementerian BUMN akan
fokus mengoptimalkan PPA sebagai agen restrukturisasi dan investasi supaya grup BUMN bisa lebih besar lagi.
Pencapaian PPA sudah seperti apa?
Kita lihat lima tahun terakhir kinerja keuangan terus membaik. PPA juga sudah mulai investasi. Perbaikan ke depan, agar skema penyertaan modal diperjelas. Ongkos keringat harus kita hargai juga.
Saya lihat susunan dan semangat manajemen PPA sudah bagus. PPA makin cepat berevolusi. Saya harapkan PPA tak lagi hanya mengandalkan bisnis dari R/R, nanti jadi rentenir betulan. Menyehatkan BUMN itu tujuan mulia, cuma jangan tekor juga.
Akibatnya saat BUMN yang direstrukturisasi masih susah atau sudah sehat sedikit, PPA dibilang rentenir. Ada yang bilang PPA bunganya mahal banget, lah iya ongkosnya mahal, cost of fund tinggi. Saya sering bilang ke BUMN lain, PPA bukan BPJS, tak gratis masuk PPA, harus bayar.
Pengalaman menangani Waskita, ada anggapan PPA hanya memasukkan uang ke BUMN sakit, pendapat Anda?
Setelah saya amati BUMN yang direstrukturisasi, mereka umumnya selalu ngomong tak punya uang. Tapi kalau dikasih uang kenyataannya tak keluar dari masalah. Di Waskita sebenarnya masalah culture. Kenapa Waskita berhasil? Mereka berhasil mengubah culture dan proses bisnis, sehingga mereka punya value baru. Itu yang membuat mereka hebat.
Edy Putra Irawady
Komisaris Utama PPA
Edy Putra Irawady
Edy Putra Irawady
Komisaris Utama PPA
Bagaimana pandangan Anda tentang PPA?
Saya kenal PPA adalah sebuah lembaga yang penting. Saya dulu menganggapnya sebagai investment holding yang memiliki dua orang tua. Bapaknya Menteri Keuangan, ibunya Menteri BUMN. Ada dua kepentingan, yaitu kepentingan Menteri Keuangan sebagai penjaga kekayaan negara di bawah Kementerian Keuangan dan kepentingan Menteri BUMN menyangkut R/R dan investasi.
PPA kemudian memiliki empat tugas, yaitu mengelola aset eks BPPN, melakukan R/R, menjadi penasihat keuangan BUMN, dan investasi. Investasi bisa banyak sekali, bisa aset finance maupun non-finance seperti properti.
Tugas PPA berkembang, tidak lagi mengurusi aset eks BPPN. Saat mengelola aset BPPN, PPA banyak disibukkan menjadi “bumper”. Seperti saat menangani Texmaco, kita ba- nyak disibukkan di pengadilan. Kuncinya sebenarnya aset yang masuk sudah free and clear.
Saat ini, saya melihat PPA masih menjadi Puskesmas dan baby sitter. Menjadi puskesmas artinya, ada BUMN datang, bisa konsultasi, rawat jalan, atau rawat inap, ada juga yang masuk IGD. Kita dititipkan BUMN untuk dilakukan R/R,
tapi kita tidak mendapatkan “medical record”. Pengalaman kita menangani PT Waskita Karya, agak repot karena tidak memiliki “medical record”.
Dalam menyehatkan BUMN, PPA banyak menanggung beban, seperti saat menyehatkan PT Kertas Kraft Aceh, PT Survai Udara Penas, PT Iglas, dan PT Kertas Leces. BUMNBUMN itu kalau tidak dilakukan refocusing dan reorientasi, maka akan sulit.
BUMN kan dibentuk dengan dua misi, development dan komersial. Dulu kebanyakan development. BUMN-BUMN itu awalnya dibentuk sebagai pionir, saat swasta tidak mau masuk karena tidak feasible. Seharusnya, setelah misi selesai, BUMN harus keluar dari bisnis itu atau melakukan reorientasi. Akibat terlambat menarik diri atau reorientasi, banyak BUMN yang sakit tidak sembuh-sembuh.
Ada beberapa BUMN yang sakit atau rugi karena mereka belum melakukan reorientasi bisnis sesuai zaman. Peradaban ekonomi sudah berubah. Kalau tidak inovatif, tidak kreatif, tidak bisa ngapa-ngapain. Menurut persepsi saya, selamanya tidak akan bugar. Bisa sembuh, tapi belum tentu bugar.
Pekerjaan di luar spesialisasi PPA di bidang jasa keuangan, saya lihat banyak hal yang bisa di-outsource. PPA kan banyaknya ahli finance, tapi ada penyakit yang bukan finance, sehingga perlu outsource ke swasta yang benar-benar profesional.
Kemudian terkait non-performing loan (NPL) perbankan. Sekarang ini bank harus menyiapkan banyak pegawai untuk mengurusi NPL, yang bukan core business-nya. Sebaiknya itu di-outsource saja ke PPA, yang memang bisnisnya di bidang pe-
Untung kawankawan PPA kreatif dengan melakukan ekspansi ke perusahaan nonBUMN dengan melakukan akuisisi atau investasi ekuitas. ngelolaan aset. Aset perusahaan kita rapikan, kita lepas melalui Initial Public Offering (IPO), bisa juga kita share-kan. Kalau aset non-produktif, bisa kita lelang. Banyak caranya.
Sebenarnya kalau mau dilihat sebagai BUMN, PPA adalah perusahaan pengelola aset. Aset yang bagi perusahaan (BUMN/swasta) lain, menjadi pemberat perusahaan untuk lari cepat, kasihkan saja ke PPA.
Someday, PPA harus jadi Mayo Clinic (rumah sakit terbaik di Amerika Serikat) atau klinik yang besar untuk BUMN. Kalau PPA dilibatkan menjadi advisor sejak awal proses reorientasi bisnis perusahaan/BUMN lain, paling tidak PPA bisa memberikan pendapat. Jadi, semacam memberikan early warning.
Perlu suatu breakthrough (terobosan) penanganannya. Tidak mungkin PPA bisa menyembuhkan semuanya. Ketika perusahaan masuk, masalahnya macam-macam. Tidak mudah. BUMN saat ini juga banyak bisnis non-core. Seperti bank, ngapain mengelola NPL. Itu bukan core-nya. Itu bisnis PPA, bisa sinergi BUMN.
Beri PPA kebebasan. Selama ini PPA disuruh menjadi baby sitter, tapi tidak diberi kebebasan. Kalau mau memberikan mandat kepada PPA, berikan trust. PPA bisa mengerjakan. Kalaupun latar belakang tidak sesuai tugas, PPA bisa outsource. Beri kebebasan. Kami akan tanggung jawab.
Masalah lainnya, adalah banyaknya aturan. BUMN terikat delapan undang-undang, sedangkan swasta hanya tiga undang-undang. Dalam bisnis ada tiga macam perilaku, yaitu perilaku regulasi atau policy, perilaku korporasi, perilaku bisnis atau community. Di kita terlalu banyak perilaku re- gulasi yang membebani korporasi. Saya kesal terlalu banyak perilaku regulasi yang menjadi beban korporasi. Belum lagi authority (otoritas). Terlalu banyak invisible authority (otoritas tidak terlihat), yang menggerayangi kita.
Saya banyak berharap PPA ini more than Khazanah (super holding BUMN Malaysia). Banyak aset yang bisa dimonetize.
Saya bahagia di ujung masa jabatan saya. Saya jadi cinta banget. Emas banget. Masuk PPA itu nilai tambahnya berlipat. Jadi, orang yang berada di PPA sudah diberi satu tempat sesuai peradaban.
Seperti simalakama, mengurus BUMN sakit tapi PPA tidak diberi keleluasaan. Sebenarnya apa yang diperlukan PPA?
Kurangi beban administrasi PPA. Saya pengawas (Komisaris), artinya saya membiarkan aksi korporasi ke Direksi. Trust. Percayakan kepada PPA untuk mengurus aset. Seperti Merpati, besarkan bisnis maintenance, repair dan overhaul (MRO).
Bagaimana tentang pengelolaan NPL perbankan oleh PPA?
Memang harus diberikan ke ahlinya. Sinergi BUMN itu ar- tinya seperti Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) yang punya NPL, kasih ke PPA.
Apakah yang dilalui di PPA selama tujuh tahun lumayan berat?
Cukup berat. Republik ini sangat butuh PPA. Sama seperti Malaysia butuh Khazanah, Singapura butuh Temasek (super holding BUMN Singapura). Hanya saja PPA munculnya seperti gabus. Kelihatan timbul, tapi tidak mengakar. Sebenarnya kita bisa memberikan darah ke BUMN, profit ke negara.
Apalagi yang perlu dibenahi?
Dari segi internal, perlu sinergi dan kesempatan meningkatkan kompetensi.
Kedua, arah pemegang saham. Bukan hanya arah, tapi norma, standar, prosedur, dan kriteria belum ada yang baku. Untung kawan-kawan di sini pemain jazz, bisa melakukan improvisasi.
PPA sudah on the right track?
Finally, iya.
Saya punya harapan besar, punya keyakinan yang tinggi. Apa yang sudah dibangun Syahrial dan Boyke (eks Dirut PPA) dan pengalaman PPA bisa mengakumulasi. Saya kasih arahan ke Direksi, lalu mereka berkreasi, kita satukan.
bab vii
MAU KEMANA PPA ?
Ada tiga hal utama yang sedang PPA upayakan demi mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
Pertama, menjadi National Asset Management Company se- perti Korea Asset Management Corporation atau China Cinda Asset Management Co, Ltd. Kedua, menambah pengelolaan non-performing loan (NPL) perbankan, baik Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) maupun swasta.Ketiga, menghimpun pendanaan eksternal di luar perbankan dengan cost of fund lebih rendah. Semua itu butuh proses, komitmen, dan pembelajaran, termasuk dari lembaga-lembaga manajemen aset nasional negara lain.
Selama dua windu, PPA sudah mengalami berbagai macam transformasi. Dari semula menjadi perusahaan pengelola hingga divestasi aset eks BPPN, berlanjut menjadi perusahaan yang diberi mandat untuk melakukan restrukturisasi dan revitalisasi (R/R) BUMN. Selanjutnya, PPA mulai mempertajam lini investasinya agar kelak bisa semakin banyak membantu R/R BUMN dan juga menjaga pertumbuhan yang berkesinambungan.
Pada rencana jangka panjangnya, PPA bercita-cita akan menjadi National Asset Management Company (NAMC). Sebagai NAMC, PPA menargetkan bisa meraih pendapatan mencapai sebesar Rp12,384 triliun dan profit sebesar Rp1,1 triliun pada tahun 2024.
Target itu diharapkan bisa tercapai melalui empat pilar, yakni: Restrukturisasi dan Revitalisasi, Investasi dan Jasa Konsultasi, Asset Management, dan Financing.
Untuk mencapai tujuan, PPA merancang empat Inisia- tif Strategis 2020-2024. Pertama, mengembalikan PT Nindya Karya kepada Negara melalui skema Initial Public Offering se- perti yang pernah dilakukan ketika mengembalikan PT Waskita Karya paling lambat tahun 2020. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2012 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan Persero PT Nindya Karya.
Kedua, untuk pendanaan jangka panjang dilakukan fun-
ding mix antara pembiayaan dari perbankan dan pasar modal (melalui penerbitan surat utang jangka menengah atau Medium Termn Notes dan obligasi) dan pasar uang (melalui penerbitan Surat Berharga Komersial). Selain itu, melalui equity financing dengan penjualan atau initial public offering (IPO) anak/cucu perusahaan dengan mitra strategis.
Ketiga, fokus lingkup bisnis pada empat lini layanan jasa, yaitu investasi, pembiayaan, advisory, dan restrukturisasi/revi- talisasi korporasi. Segmen pelanggan diperluas tidak hanya kepada BUMN maupun swasta, melainkan mulai menjajaki peluang kerja sama dengan BUMD. Dari segi target pasar, akan menggarap niche market peluang mengelola NPL perbankan, baik bank BUMN maupun swasta.
Keempat, menjalin kerja sama internasional dengan National Asset Management Company (NAMC) negara lain dan bergabung dalam forum NAMC tingkat Asia, yaitu International Public Asset Management Company Forum (IPAF).
Sejauh ini, PPA sudah menunjukkan sejumlah keberhasilannya dalam menangani R/R BUMN. Beberapa kisah sukses PPA terlihat dari kinerja PT Waskita Karya Tbk, PT Djakarta Lloyd, PT PAL, PT Survai Udara Penas, PT Nindya Karya, termasuk sinergi BUMN dalam penyelamatan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) untuk membawa produk ke Indonesia Bagian Timur dengan mengunakan pesawat Citilink.
“PPA memang partner yang sangat penting bagi Kementerian BUMN,” kata Plt Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aditya Dhanwantara.
Peran PPA selama 16 tahun, yaitu menjadi kepanjangan tangan Kementerian BUMN dalam melaksanakan program R/R BUMN, mengingat Kementerian BUMN tidak bisa leluasa melaksanakan itu. Beda halnya jika hal itu dilaksanakan oleh korporasi seperti PPA, yang memang mendapatkan mandat khusus. Secara regulasi akan lebih mudah dan efisien.
Dalam menjalankan tugas R/R, PPA mendapatkan injeksi pendanaan dari Pemerintah melalui Penyertaan Modal Negara (PMN). Pendanaan tersebut sebagian besar dialirkan langsung untuk penyehatan BUMN yang direstrukturisasi. Di sisi lain, dana tersebut diharapkan dapat bergulir untuk mendukung penyehatan BUMN lainnya. PPA juga perlu dana untuk mendukung pertumbuhan yang berkesinambungan. PPA kemudian diberi keleluasaan oleh Kementerian BUMN untuk melakukan investasi ke perusahaan yang dikelolanya.
“Kami berharap PPA punya kemandirian. Kementerian BUMN memberikan keleluasaan PPA dapat melakukan investasi pada perusahaan-perusahaan yang berprospek bagus, baik BUMN maupun swasta, agar bisa membantu Kementerian BUMN/Pemerintah untuk merestrukturisasi BUMN yang menjadi tugas utamanya,” jelas Aditya.
Dalam perjalanannya untuk meraih misi besar PPA menjadi National Asset Management Company, PPA mulai menonjolkan spesialisasi dalam pengelolaan aset perbankan. Spesialisasi tersebut merupakan kompetensi utama PPA, selain investasi, pembiayaan, restrukturisasi/revitalisasi BUMN, dan advisory. PPA akan terus meningkatkan volume jumlah maupun nilai pengelolaan NPL perbankan. Pada tahun 2020, PPA telah menjalin kerja sama dengan empat bank anggota Himbara, yaitu PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Tabu- ngan Negara, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk.
Tidak menutup peluang, PT PPA juga akan menjajaki peluang mengelola NPL bank swasta. Terkait rencana ini, PPA sudah membicarakannya dengan bank-bank swasta nasional. PPA akan kembali ke khittah sebagai perusahaan pengelola distressed asset.
Tujuan PPA mengelola NPL ada dua, yaitu membantu pemerintah dalam upaya preventif mencegah sistemik perbankan dan wujud sinergi BUMN. Banyak perusahaan yang masuk NPL perbankan, namun secara industri masih punya prospek bagus. PPA menerapkan proses seleksi calon mitra melalui due diligence secara komprehensif. PPA juga menetapkan beberapa kriteria sebelum melakukan pengambilalihan NPL. Kriteria utama, yaitu free and clear atau tidak terkait perkara hukum, kelayakan usaha, dan prospek bisnis.
PPA punya berbagai kiat mengelola NPL perbankan, antara lain pencarian investor strategis, perluasan pasar, pengendalian keuangan, penempatan perwakilan, perbaikan organisasi, injeksi modal kerja, investasi ekuitas, dan kiat-kiat lainnya.
PPA pernah mendapatkan kepercayaan besar dan ekspektasi pemegang saham yang tinggi. Strategisnya peran PPA sebagai mitra Kementerian BUMN yang punya keleluasaan mengeksekusi berbagai strategi penyehatan PPA, sangat mungkin ter-
Dalam perjalanannya untuk meraih misi besar PPA menjadi National Asset Ma- nagement Company, PPA mulai menonjolkan spesialisasi dalam pengelolaan aset perbankan. wujud. Pimpinan-pimpinan PPA sebelumnya pun mendambakannya.
“Ekspektasi pemegang saham ke PPA sangat tinggi. Sekarang PPA sudah dua windu. Saya ingin PPA ambil peran penting untuk recovery BUMN dan me- ngelola non-performing loan (NPL) perbankan,” kata Boyke W Mukijat (Direktur Utama PPA periode 2009-2014).
Mohammad Syahrial (Direktur Utama PPA periode 2004-2009) pun punya angan serupa. “Pemim- pin PPA harus bicara dari hati ke hati dengan Menteri Keuangan ataupun Menteri BUMN, mau dibawa ke mana PPA. Saya berharap PPA bisa menjadi the real national asset management company,” tuturnya.
Saiful Haq Manan (Direktur Utama PPA Periode 2014-2017) pun melihat PPA saat ini sudah pada jalurnya untuk menjadi National Asset Management Company. “Sesuai core dan pengalaman PPA sebagai asset management company, pasarnya pun ada, dan akan selalu ada role untuk PPA. Apalagi di PPA sekarang banyak anak muda yang membawa harapan. Mereka
itu darah segar yang kreatif, pintar, dan networking bagus,” ujar Saiful.
Henry Sihotang (Direktur Utama PPA Periode 20172019) berpesan agar PPA tetap fokus pada bisnis sesuai ke- ahlian yang PPA miliki dan meningkatkan laba. “PPA harus fokus pada keahliannya, yaitu mengelola distressed asset, melakukan restrukturisasi melalui investasi riil. Ada potensi keuntungan jika PPA berhasil melakukan restruktukturisasi melalui investasi,” tutur Henry.
Terkait penanganan distressed asset, PPA sudah sangat berpengalaman. Sejak dibentuk pada awal tahun 2004, PPA sudah mendapatkan mandat untuk mengelola aset-aset eks BPPN dengan kompleksitas tinggi. Meski menghadapi sejumlah tantangan yang tidak mudah, PPA berhasil menyelesaikan tugasnya untuk melakukan divestasi aset-aset eks BPPN tersebut pada akhir 2017.
Selama mengelola aset-aset eks BPPN, PPA selalu diberi target setoran ke Negara. Selama itu pula, PPA hampir selalu melampaui target. Padahal, PPA senantiasa menghadapi tantangan yang cukup berat berupa turunnya kualitas dan kuantitas aset. Belum lagi masalah gugatan hukum dari pemilik lama maupun masalah perburuhan.
Selain itu, ada mimpi lain yang ingin dicapai PPA. Direktur Keuangan dan Dukungan Kerja R. Muhammad Irwan, punya harapan besar bahwa nanti PPA ini bisa jadi satu badan atau lembaga yang cukup tinggi sebagai mitra Kementerian BUMN/Pemerintah seperti Lembaga Penjamin Simpanan yang mendukung upaya presistemik perbankan.
“Dengan dukungan Pemerintah kepada PPA untuk me- ngelola NPL perbankan, PPA bisa jadi lembaga yang besar dalam preventif presistemik perbankan. Sebelum ditangani LPS,
PPA bisa membantu penyehatannya, semacam rumah sakit,” katanya.
Menjalankan peran-peran besar tersebut tentu butuh mo- dal yang juga besar. Tantangan di depan mata adalah mencari sumber dana murah untuk mendanai kegiatan komersial, seperti pembiayaan, investasi, dan advisory, termasuk pengelolaan NPL perbankan. Dalam rangka menekan biaya bunga yang kompetitif, PPA melakukan pendekatan-pendekatan lain untuk mendapatkan dana murah selain dari perbankan.
PPA pada tahun 2019 telah berhasil menghimpun pendanaan eksternal nonbank senilai Rp850 miliar. PPA telah menerbitkan Surat Berharga Komersial (SBK) sebesar Rp100 miliar dengan tenor
“Ada dua NPL yang sudah kita kelola, semula debitur Bank Mandiri, sekarang menjadi cucu perusahaan PPA (anak perusahaan PT PPA Kapital). Setelah PPA masuk, kapasitas produksinya meningkat,” kata Direktur Konsultasi Bisnis dan Aset Manajemen, Dikdik Permadi Yoffana.
satu tahun. PPA menjadi BUMN pionir perusahaan penerbit SBK bersama PT Sarana Multigriya Finansial (PT SMF). PPA juga telah menerbitkan surat utang jangka menengah atau Medium Term Notes (MTN) I senilai total Rp750 miliar yang diterbitkan dalam dua seri, yaitu seri A Rp300 miliar bertenor dua tahun dan seri B senilai Rp450 miliar bertenor tiga tahun.
PPA berhasil menghimpun pendanaan eksternal dengan bunga/kupon yang kompetitif seiring dengan perolehan pemeringkatan perusahaan, SBK maupun MTN yang unggul dari PT Pemeringkat Efek Indonesia. PPA mendapat peringkat perusahaan idA (Single A; Stable Outlook), peringkat SBK idA1 (Single A), dan peringkat MTN idA (Single A).
Di sisi lain, untuk mencapai berbagai cita-cita di atas, PPA perlu sumber daya manusia yang mumpuni. PPA secara paralel memperkuat kompetensi SDM yang mumpuni untuk menjadi National Asset Management Company.
Belajar dari China dan Korea
Beberapa negara di Asia, seperti Korea dan China, mempunyai National Asset Management Company yang kuat. Perusahaan-perusahaan pengelola aset besar di Asia tergabung dalam sebuah forum bernama International Asset Management Company Forum (IPAF). Usai mendapat rekomendasi dari Korea Asset Management Corporation (KAMCO) untuk bergabung dalam keanggotaan IPAF, kini PPA telah bergabung sebagai general member.
Sebagai contoh, peran KAMCO di Korea Selatan sangat strategis. KAMCO diberikan wewenang mengelola aset umum (aset di luar kategori administratif atau aset yang digunakan untuk kegiatan pemerintahan, pelayanan umum, entitas pemerintah, konservasi, dan legislatif) yang dimaksudkan un-
tuk disewakan atau dijual secara komersial. KAMCO dibentuk 58 tahun lalu oleh Pemerintah Korea Selatan berdasarkan undang-undang khusus.
Tonggak bersejarah KAMCO sebagai perusahaan manajemen aset papan atas adalah saat gelombang krisis tahun 1997 melanda Asia, Korea Selatan pun kena imbasnya. Pada masa tersebut, KAMCO memainkan peran penting mengatasi kebuntuan dengan mengelola Won Korea Selatan atau Korean Won (KRW) senilai 39,2 triliun Korean Won dari dana publik untuk mengelola NPL atau kredit macet dari lembaga keuangan senilai 111,3 triliun Korean Won.
NPL yang dikelola oleh KAMCO dari lembaga keuangan diselesaikan dengan cepat dan efisien, hingga menghasilkan pemulihan dana sebesar 4,3 triliun Korean Won. Pencapaian gemilang dalam langkah disposal dan restrukturisasi NPL perbankan dijadikan model negara-negara lain dalam mengatasi krisis keuangan. Success story tersebut juga sempat disampaikan pada forum pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada tahun 2009 (forum 20 negara dengan pendapatan domestik bruto (PDB) terbanyak di dunia).
Jejaring KAMCO juga dikenal luas di dunia. KAMCO telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman atau MoU dengan 27 lembaga keuangan dari 18 negara. KAMCO juga telah menyelenggarakan 30 kali pelatihan terkait pengelolaan NPL perbankan kepada eksekutif dan staf perusahaan pengelola aset dari berbagai negara.
KAMCO juga terdaftar sebagai lembaga konsultasi resmi di Asian Development Bank (ADB), African Development Bank (AfDB), dan Korean Exim Bank (KEXIM) atau Export Import Bank of Korea, serta berpengalaman memberikan konsultasi manajemen aset ke Vietnam dan Mongolia. KAM-
Usai mendapat rekomendasi dari KAMCO untuk bergabung dalam keanggotaan IPAF, kini PPA telah bergabung sebagai general member. CO juga tak hanya jago di kandang sendiri. Lembaga ini telah membangun jaringan global melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga restrukturisasi internasional.
Nama lain yang tak kalah mentereng selain KAMCO, yaitu China Cinda Asset Management Co. Ltd yang dulunya bernama China Cinda Asset Management Corporation. Perusahaan ini didirikan pada April 1999 berdasarkan persetujuan State Council untuk menangani risiko-risiko finansial dan mempertahankan stabilitas sistem finansial, juga memfasilitasi reformasi dan pengembangan BUMN di China.
Pada Juni 2010, dilakukan reorganisasi menjadi China Cinda Asset Management Co. Ltd. Pada April 2012, perusahaan menerima investasi dari empat investor strategis: National Council for Social Security Fund of PRC, UBS AG, CITIC Capital Holdings Limited, dan Standard Chartered Bank. Pada 12 Desember 2013, berhasil mencatatkan sahamnya di Hong Kong Stock Exchange dan menjadi perusahaan pengelola aset finansial pertama dari China yang mencatatkan sahamnya di bursa saham internasional.
Segmen bisnis utamanya termasuk pengelolaan aset-aset yang sulit, investasi, dan jasa finansial. Distressed asset management merupakan bisnis inti perusahaan. Sekarang sudah memiliki 33 cabang di 30 provinsi, kawasan autonomous, dan kabupaten di daratan China.
PPA serius untuk belajar dari NAMC negara lain, dimulai de ngan KAMCO. Pada 11 Desember 2019 telah ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara PPA dan KAMCO di kantor pusat KAMCO yang berada di Seoul, Korea Selatan. Hadir de- legasi PPA, yaitu Komisaris Utama Edy Putra Irawady, Se kretaris Perusahaan Edi Winanto, dan Direktur Keuangan & Dukungan Kerja R. Muhammad Irwan.
Kerja sama ini meliputi empat hal. Pertama, pertukaran informasi ekonomi dan hukum yang di- butuhkan KAMCO maupun PPA secara resmi. Kedua, pertukaran laporan dan strategi tentang pe- ngelolaan distressed assets. Ketiga, penjajakan peluang investasi di Korea Selatan maupun Indonesia.
Keempat, meningkatkan kapasitas SDM melalui berbagai pelatihan dan konsultasi.
KAMCO dan NAMC nega-
ra lain bisa menjadi contoh untuk pengembangan PPA sebagai National Asset Management di Indonesia. Satu hal penting yang bisa dipetik, yaitu menjadi perusahaan manajemen aset nasional yang besar dan kuat perlu menempuh proses yang cukup panjang.
PPA sedang memulainya de- ngan langkah-langkah nyata berbekal perjalanan luar biasa yang telah ditempuh selama dua windu.
“PPA bisa belajar banyak dari KAMCO yang dimiliki oleh Korea Selatan dan diperkuat oleh ketentuan undang-undang khusus,” kata R. Muhammad Irwan.
bab vIII
PPA DALAM BIDIKAN LENSA
DAFTAR NARASUMBER
Wawancara
1. Menteri BUMN 2009-2011 Mustafa Abubakar 2. Menteri Negara BUMN 2007-2009 Sofyan Djalil 3. Menteri BUMN Periode 2011-2014 Dahlan Iskan 4. Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan
Hadiyanto 5. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo 6. Plt. Deputi Bidang Restrukturisasi dan
Pengembangan Usaha Kementerian BUMN
Boyke Eko Wibowo Mukijat 9. Direktur Utama PT PPA Periode 2014-2017
Henry Sihotang 11. Komisaris Utama PT PPA Edy Putra Irawady 12. Direktur Utama PT PPA Iman Rachman 13. Direktur Keuangan dan Dukungan Kerja PT PPA
R. Muhammad Irwan 14. Direktur Investasi PT PPA Nasrizal Nazir 15. Direktur Konsultasi Bisnis dan Aset Manajemen PT
PPA Dikdik Permadi Yoffana 16. Sekretaris Perusahaan PT PPA Edi Winanto 17. Spesialis Hukum PT PPA Sampe Rumapea 18. Kepala Divisi Konsultasi Bisnis dan Aset Manajemen 1 PT PPA Nanang Ariseno
19. Kepala Grup Komunikasi PT PPA Agus Widjaja
Buku
1. Ahmad Deni Daruri & Djony Edward (2004)
BPPN: Gerbage In-Gerbage Out, Jakarta, Center For
Banking Crisis. 2. Baharuddin Jusuf Habibie (2006), Detik-detik yang
Menentukan : Jalan Panjang Menuju Demokrasi,
Jakarta, THC Mandiri. 3. Christovita Wiloto (2006) The Power of Public Relations, Jakarta, Power PR Publishing. 4. I Putu Gede Ary Suta & Soebowo Musa (2004)
BPPN: The End, Jakarta, SAD Satria Bhakti. 5. Joseph Soedradjad Djiwandono (2001), Bergulat
Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia,
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. 6. Joseph Soedradjad Djiwandono (2001), Mengelola
Bank Indonesia dalam Masa Krisis, Jakarta, Pustaka
LP3ES. 7. Richard Borsuk dan Nancy Chng (2016), Liem Sioe
Liong dan Salim Group, Jakarta, Kompas.
Peraturan Perundangan
1. Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN 2. Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 tentang
Pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1999 tanggal 27 Februari 1999 tentang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional.
Artikel
1. “Aib dan Raib pada Nilai Aset BPPN” (Tempo, 23/07/2001) 2. “Aset Texmaco Dijual Terpisah-pisah” (https://www. antaranews.com/berita/57336/aset-texmaco-dijualterpisah-pisah) 3. “Mantan Menteri Keuangan Sebut Alasan
Dibentuknya BPPN di Kasus BLBI” (https://tirto.id/ cLQx) 4. “Pemerintah Resmi Konversi Hutang Tuban Petro
Menjadi Saham Senilai Rp 262 Trilyun” (https:// nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-resmikonversi-utang-tuban-petro-menjadi-saham-senilairp-262-triliun) 5. “Sah Pertamina Kelola Kilang Petrokimia
Tubang” (https://www.cnbcindonesia.com/ news/20191121100931-4-116787/sah-pertaminakelola-kilang-petrokimia-tuban-petro) 6. https://finance.detik.com/berita-ekonomibisnis/d-761261/depkeu-siapkan-pembubaran-ppa 7. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita_media/ baca/4296/Marimutu-Sinivasan-Kembali-Kuasai-
Texmaco.html
Laporan Tahunan
1. Laporan Tahunan PPA 2004-2018 2. Laporan Tahunan China Cinda Asset Management
Co. 2019 3. Laporan Tahunan Korea Asset Management Corporation (KAMCO) 2019
APA KATA MEREKA SOAL PPA ?
Simon Arosokhi
Neti S. Darsani
Marcellius Rusli
Pinky Dwianto
Corporate Secretary PT Dua Putra Utama Makmur Tbk : “Hasil kajian PPA dapat mengakomodir kondisi perusahaan kami. Tim PPA cepat dalam mempelajari kondisi perusahaan. Tim PPA dapat menemukan masalah dan memberikan solusi dari sudut pandang profesional dan independent.”
Kepala Divisi Keuangan dan Administrasi PT Energi Management Indonesia : “Pendanaan modal kerja dari PPA untuk pelaksanaan kontrak-kontrak proyek yang diperoleh perusahaan kami telah membantu proses penyelesaian proyek sehingga tepat waktu dan tepat biaya.”
Direktur PT Varia Intra Finance : “PT VIF sangat puas bisa bekerja sama dengan PT PPA.”
Direktur PT Arta Bangun Pratama : “PPA sangat mendukung usaha yang kami jalankan”
Gde Pandit Andika Wicaksono
Amalia Budilisa
Nugraha Indrakusumah
M. Avianto
VP Sekretaris & Komunikasi Perusahaan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI): “Secara garis besar PPA sangat membantu dalam upaya perusahaan untuk langkah restrukturisasi yang dijalankan. Segala support yang diberikan mampu memberikan pencerahan bagi perusahaan dalam menjalankan bisnis, finance dan optimalisasi aset.”
Finance Manager PT Polytama Propindo: “PPA sangat mendukung pertumbuhan perusahaan.”
Direktur PT Pratama Persada Airborne: “PPA sangat mendukung partner bisnis untuk mengembangkan perusahaan.”
Corporate Secretary PT Survai Udara Penas: “PPA sangat mendukung program yang sedang dijalankan perusahaan kami”