WARNA EDITORIAL
Majalah Unesa
ISSN 1411 – 397X Nomor 75 Tahun XV - November 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I) Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III) Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, M. Wahyu U. Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804
D
BERMULA DARI MENTAL
i dunia ini hanya mendahulukan jiwa daripa ada dua pilihan da badan dalam lagu Indo dalam hidup nesia Raya. menghiasi usia Penyimpangan yang ini. Dua pilihan itu adalah ti dak berimbang itu saat ke baikan dan keburukan. ini mengental ke arah ke Tam paknya memang mu burukan yang tampak dan dah menentukan pilihan itu tidak tampak. Untuk itu, karena pasti semua orang perlu revolusi mental dalam akan memilih kebaikan. Lalu, penyelenggaraan berbang keburukan mudah dihindari, sa dan bernegara, termasuk dijauhi, dan ditinggal jauh mengelola pendidikan. dalam ku buran pikiran. Yang dimaksud re vo Namun, terasa susah untuk lusi mental itu adalah kem menuju ke baikan karena bali ke hakikat bekerja, ber l DR. SUYATNO, M.PD terlalu ba nyak hambatan masyarakat, bernegara, dan dan rin ta ngan baik yang berbangsa. Rel awal harus tampak maupun yang tidak tampak. dilalui tanpa penyimpangan yang luas dan Berbuat baik itu mudah sekali dicari se akan-akan penyimpangan itu menjadi kan padanannya, yakni berpikir positif, me sesuatu yang benar. Mental yang dipunyai nyajikan yang terbaik, gembira, tanggung bagi pekerja harus kembali ke jatidiri sese jawab, perhatian, kerja keras dan kerja orang yang semestinya bekerja dengan pe cerdas, senang, cemerlang, baik hati, jujur, nuh kesadaran tinggi. hemat, suci pikiran, dan sebagainya. Namun, Unesa harus pula menjadi pelopor un padanan itu hanya sebatas pengetahuan tuk masuk ke dunia hakikat berkampus. dan pemahaman saja. Realisasi konkretnya Ha kikat berkampus adalah meninggikan terasa susah. Apalagi, sudut pandang ma akal dan budi generasi muda Indonesia. Pe nusia di abad ini sudah bergeser jauh dari ninggian akal budi itu memerlukan dosen berbudi ke berbunyi. Orang lebih menge yang mempunyai kesadaran dalam men depankan bunyi mulut semata daripada bu transformasi keilmuan. Kampus, per pus di baik. Bunyi itu tanpa dipikir dan dilakukan takaan, buku, dan sarana yang lain hanyalah sudah dapat disampaikan kalau budi baik sarana semata. Hakikatnya adalah keterhu harus dilakukan dan dibiasakan dalam rea bungan jiwa dan pikiran antara dosen dan litas hidup sehari-hari. mahasiswa serta mahasiswa dan dosen. Lalu, berbuat buruk itu juga mudah Unesa harus memberikan sumbangan di pikirkan karena ada padanan merusak, rumusan revolusi mental di segala bidang. ko rupsi, malas, berbohong, asal-asalan, Tentu, rumusan yang dikedepankan adalah mencederai, mengakali, merusak, dan seba rumusan pendidikan yang berbasis revolusi gainya. Pun pula, berbuat buruk itu sangat mental karena roh asali Unesa adalah pen mudah dilakukan manusia daripada berbu didikan. Banyak penyimpangan baik yang at baik. kelihatan dan tidak kelihatan harus dibong Lihat saja, untuk mengubah keburukan kar untuk dikembalikan ke hakikat asasinya. Revolusi mental itu tidak rumit. Revolusi men jadi kebaikan seseorang, diperlukan sekolah selama 12 tahun jika hanya sampai mental itu rumusan sederhana yang meng SMA saja. Itu pun, masih banyak yang ber uta makan kelangsungan hidup warga buat keburukan meskipun sudah kenyang Indonesia. Blusukan itu sebuah revolusi sekolah. Untuk itu, diperlukan norma aga men tal karena penyimpangan pejabat ma, bermasyarakat, dan bernegara. Jika ti yang tidak tahu kenyataan tetapi asal bu dak ada norma itu, mungkin penjara di du nyi sehingga hanya Asal Bapak Senang. nia seluas bumi yang dapat dihuni. Makanan tradisional harus dihidangkan itu Mengapa dua pilihan antara kebaikan rumusan sederhana untuk mengembalikan dan keburukan tidak berimbang? Keburukan geliat petani asal negeri sendiri dan meng seakan lebih mudah dipilih daripada ke giring kesederhanaan. Rapat di kantor itu baikan. Itu semua akibat sifat manusia yang revolusi mental karena mengembalikan ha hewan sekaligus manusia. Oleh karena itu, kikat rapat yang menjiwai suasana kantor. Indonesia harus kuat memertahankan ji Jadi, revolusi mental itu sangat sederhana wa dan mental sebagai pilar berbangsa karena hanya bertumpu pada kembali ke dan bernegara. Bahkan, pendiri bangsa yang asasi. Unesa perlu mempeloporinya. n
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
3
CONTENT
INFO HALAMAN
08
03. WARNA
Bermula dari Mental oleh Dr. Suyatno, M.Pd
10
05. LAPORAN UTAMA
REVOLUSI MENTAL. Isu panas tentang pen didikan yang harus diubah dari akarnya. Se mua diulas dari sisi terdalam oleh para praktisi pendidikan dari Unesa. Apa kata mereka sebenarnya...?
• Mewujudkan Revolusi Mental dalam Pendidikan • Prof. Muchlas Samani: Revolusi Mental untuk Kemajuan Bangsa • Prof. Warsono: Kurikulum 2013 Sesuai Konsep Revolusi Mental • Prof. Ismet Basuki: Revolusi Mental Pendidikan melalui Kompetensi
12. SPEAK UP!
• Mereka Bicara tentang Revolusi Mental dalam Pendidikan
18. LENSA UNESA 20. KOLOM REKTOR 22 INSPIRASI ALUMNI
• Farhan Efendi, Alumnus Sejarah yang Sukses Pimpin Harian SURYA
24. KABAR SM-3T
• Monev SM-3T oleh Prof. Luthfiyah Nurlaela
25. SEPUTAR UNESA 31. ARTIKEL WAWASAN
22
33. INFO SEHAT
• Manfaat Mengkudu bagi Kesehatan
34. CATATAN LIDAH • oleh Djuli Djatiprambudi
4 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
33
LAPORAN UTAMA
MEWUJUDKAN REVOLUSI MENTAL PENDIDIKAN Revolusi mental dalam dunia pendidikan tentu tidak hanya fokus pada guru saja, orang tua, masyarakat, dan para pembuat kebijakan harus bersinergi untuk bersama-sama mewujudukan tujuan mulia tersebut.
G
aung revolusi mental me mang sedang menggema se telah Presiden Joko Widodo, men jadikan slogan tersebut sebagai jargon kampanye pada piplres lalu. Berbagai gerakan yang mengarah pada perubahan mental dan perilaku pun kian gencar disuarakan pada se mua sektor. Tak terkecuali di sektor pendidikan, yang menjadi arus utama revolusi mental. Tak dapat dipungkiri, Revolusi Men tal pada sektor pendidikan me mang menjadi hal paling penting un tuk dilakukan agar terwujud Revolu
si Mental secara komprehensif. Ada empat komponen yang perlu menda pat sorotan dalam merevolusi mental di dunia pendidikan, yakni guru, orang tua, masyarakat dan para pembuat ke bijakan. Mereka harus bersinergi untuk ber sama-sama mewujudkan revolusi mental. Menteri Pendidikan dan Kebudaya an (Mendikbud) Anies Baswedan saat memberikan paparan dalam peringa tan Hari Guru Nasional 2014 yang di barengi dengan HUT PGRI ke- 69 be berapa waktu lalu menegaskan akan men jadikan momentum hari guru
untuk mengimplementasikan revolusi men tal. Anies mengatakan, sehebat apapun suatu lembaga, selama masih di tangani oleh manusia yang salah kap rah soal pembangunan manusia, tentu tidak akan membawa kemajuan. Oleh karena itu, lanjut Anis, sasaran re volusi mental harus difokuskan pada peningkatan kualitas guru. “2015, ke menterian yang saya pimpin akan fo kus pada peningkatan kualitas guru,” ungkapnya. Meskipun guru menjadi fokus uta ma, bukan berarti menjadi faktor sa tu-satunya. Anis mengatakan, selain
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
5
LAPORAN UTAMA guru, peran orang tua menjadi bagian terpenting dalam menyiapkan re vo lusi mental. Sebab, yang bertugas me nyiapkan anak untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan adalah orang tua. Mantan Rektor Paramadina itu menjelaskan, peran orang tua untuk ikut terlibat dalam pendidikan anak men jadi salah satu penentu dalam membentuk karakter anak. Senada, Ketua Bidang Pengem ba ngan Profesi Pendidik Pendidikan Menengah, Santi Ambarrukmi dalam dialog di Radio KBR68H antara Ke men dikbud dengan Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI) mengung kap kan, revolusi mental memang ti dak hanya difokuskan pada guru, tapi se mua masyarakat perlu melakukan re volusi mental. Hanya saja, dalam pendidikan, guru memiliki peran pen ting menghasilkan siswa yang ber kualitas. Karena itu, dengan re vo lusi mental tersebut, guru harus ter mo tivasi mengembangkan diri dan me ningkatkan kompetensinya dan me miliki kreativitas sehingga proses bela jar menjadi menyenangkan. Pernyataan serupa diungkapkan Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pen
REVOLUSI MENTAL, DIMULAI DARI PENDIDIKAN
P
endidikan memiliki peran sangat strategis dalam membentuk mental anak bangsa. Oleh karena itu, re volusi mental haruslah dimulai dari pendidikan. Lantas, apa saja yang perlu diperbaiki dalam pendidikan berkaitan dengan revolusi mental? Anastasia Jesica Adinda S, pengajar Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya me nulis di indoprogress.com pada 11 September 2014 yang menyebutkan bahwa ada 10 hal terkait pendidikan yang perlu direvolusi mental. Apa saja? Pertama, terkait anggapan bahwa metode menghafal me rupakan kunci kesuksesan. Sudah jamak terjadi, setiap men jelang ujian, ritual menghafal sudah menjadi kebiasaan para peserta didik agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Memang, tidak ada yang salah dengan menghafal karena ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam atau sosial. Namun, menghafal menjadi masalah jika dilakukan tanpa mengetahui konsep sesungguhnya. Peserta didik hanya akan menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna sesungguhnya. Untuk merevolusi mental ‘ritual menghafal’ ini, tentu diperlukan per baikan dalam metode mendidik. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaanpercobaan di kelas yang lebih mendekatkan peserta didik pa da objek yang diajarkan. Kedua, terkait anggapan bahwa nilai ujian dan ijazah me rupakan inti dari seluruh proses pendidikan. Jika masyarakat memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan, maka sesungguhnya telah hilanglah makna dari pendidikan itu sendiri. Pandangan tersebut, tentu berbahaya
6 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
didikan (YPLP) PGRI Pusat, Sugito. Me nurut Sugito, revolusi mental di dunia pendidikan tidak melulu tanggung ja wab guru, tapi pejabat, para penentu kebijakan, mahasiswa, dan orang tua juga harus bersama-sama memikul tang gung jawab tersebut. “Revolusi mental dalam meningkatkan kualitas guru bisa dimulai dari dalam diri guru sendiri, dengan menyadari bahwa pro fesinya sebagai guru bukan hanya un tuk mencari nafkah, tetapi juga sebagai bentuk ibadah,” tandasnya. (SIR/BS)
karena masyarakat hanya akan mengejar nilai ujian dan ijazah. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik pun samasama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Revolusi terhadap mental ‘gila ijazah’ memang tidak mudah karena melibatkan sistem pendidikan, sistem ekonomi dan politik. Namun, upaya harus tetap dilakukan dengan memperbaiki sistem penilaian yang tidak terlalu mementingkan kuantitas, tetapi lebih kualitas. Ketiga, anggapan UNAS sebagai ukuran kemampuan pe lajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pengetahuan, budaya, kualitas sekolah dan lingkungan ma syarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi kemam puan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Pandangan tentang Unas tersebut tentu harus segera direvolusi sehingga tidak lagi sebagai alat ukur ke mampuan pelajar. Keempat, pendidik sekadar memenuhi formalitas meng ajar karena tekanan sistem. Pendidik dalam menjalankan ak tivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik
LAPORAN UTAMA
dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan rencana pembelajaran dan target materi yang harus disampaikan. Target itu tentu berkaitan juga dengan UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam tidak lulus UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun akan tercemar. Virus sekadar memenuhi formalitas itu tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para dosen di perguruan tinggi. Karena itu, harus ada upaya agar sistem tidak membuat pe ngajar tertekan, tapi menjadi lebih produktif dan kreatif. Kelima, orang miskin dilarang sekolah. Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang dibutuhkan untuk mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua yang memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akal nya biaya untuk pendidikan, membuat banyak anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu di dukung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat diakses siapa saja di seluruh pe losok negeri ini. Keenam, terkait anggapan dengan memperbanyak pe lajaran agama maka perilaku menjadi baik. Anggapan ter sebut berakar dari asumsi pembedaan yang tajam antara budaya dalam bentuk yang immaterial (cara pikir, merasa) dan material (tindakan, hasil karya cipta manusia). Unsur im material dianggap lebih tinggi daripada unsur material se hingga ada anggapan dengan penguasaan pelajaran agama pasti dapat mengubah perilaku peserta didik. Padahal dalam kenyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang dipelajari di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktik hidup sehari-hari. Dalam revolusi mental, perlu diupayakan perubahan asumsi dasar dalam memandang budaya. Ketujuh, semarak khotbah dan seminar yang bertujuan mengubah moral. Perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat dilakukan dengan cara
bermain peran (role play). Gaya mengajar bermain peran ini mendorong peserta didik untuk mendayagunakan pikiran, perasaan dan serta tubuhnya dalam memahami suatu peris tiwa yang melibatkan penilaian etis. Kedelapan, pendidikan yang tidak sadar keberagaman. Se kolah-sekolah berbasis pendidikan inklusif perlu terus diupayakan. Diskriminasi dalam pendidikan formal tidak ja rang dimulai dari institusi pendidikan itu sendiri. Bentuk bangunan, cara mengajar dan atmosfer pergaulan perlu di sesuaikan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif terbuka bagi semua peserta didik dari berbagai budaya dan termasuk bagi para difabel. Tersedianya sarana dan atmosfer pembelajaran yang inklusif membuat peserta didik belajar untuk menghargai perbedaan dan tidak bersikap rasis serta fundamentalis ekstrem. Kesembilan, pendidikan yang apolitis. Teori-teori di sekolah yang terpisah dari praktik, membuat peserta didik tidak me nyadari bahwa ada masalah dalam kehidupan sehari-hari yang perlu diselesaikan. Ilustrasi-ilustrasi dalam pelajaran di pendidikan formal tidak pernah memantik keberanian sikap politis peserta didik. Peserta didik dibuat lupa bahwa segala yang dinikmati termasuk dapat mengenyam pendidikan di sekolah merupakan hasil dari tindakan politis. Pendidikan yang apolitis menjadi tidak relevan sebab pendidikan dan politik saling mengandaikan satu sama lain, satu sama lain saling mempengaruhi. Kesepuluh, kurangnya kantung-kantung pendidikan di Lingkungan. Setiap kelompok masyarakat perlu meng upayakan agar pendidikan tidak menjadi elitis. Bagaimana caranya? Perlu diusahakan kelompok-kelompok pendidikan informal di lingkungan tempat tinggal. Kelompok-kelompok belajar dan sanggar-sanggar kesenian bagi anak-anak, yang bersifat tidak berbayar perlu diselenggarakan agar pen didikan dapat dirasakan bagi siapa saja. Selama ini, sebenar nya banyak pendidikan informal yang kreatif dengan me tode pengajaran yang mengembangkan potensi peserta di dik, tetapi biaya untuk masuk ke tempat pendidikan seperti itu juga tidak murah. (SIR/WWW.INDOPROGRESS.COM)S. (SIR/BERBAGAI SUMBER) Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
7
LAPORAN UTAMA
SUMBANGSIH UNESA DALAM MEREVOLUSI PENDIDIKAN Sebagai kampus yang memiliki akar pendidikan kuat, Unesa tentu memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan kontribusinya bagi perbaikan pendidikan di Unesa. Merevolusi mental dengan merumuskan konsepsi pendidikan yang lebih terarah dan berkarakter, tentu menjadi sumbangsih yang harus dilakukan karena roh asal Unesa adalah pendidikan.
Revolusi Mental Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa
M
antan Rektor Unesa, Prof. Dr. Muchlas Samani mengaku tidak tahu arti revolusi mental sebenarnya yang dilontarkan Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo karena memang tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai arti revolusi mental yang dimaksud sang presiden. Hanya saja, ia memiliki pemaknaan sendiri terkait revolusi mental. Ia memaknai bahwa revolusi mengandung arti perubahan cepat. Jika dikaitkan dengan revolusi pendidikan, berarti perubahan cepat apa yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan. Muchlas mengatakan, meski perubahan perlu dilakukan dengan cepat, namun perubahan mendasar tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Harus dipikirkan secara matang dan hati-hati. Jika terjadi kekeliruan, akibatnya fatal. Apalagi, perubahan pada pendidikan, hasilnya baru akan terlihat pada 50 tahun mendatang. Karena itu, dibutuhkan revolusi mental pendidikan untuk mengubah cara pikir atau cara pandang kita dalam memahami atau menata pendidikan agar lebih baik ke depan. Muchlas sangat setuju jika revolusi mental pendidikan lebih ditekankan pada konten. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan konten. Pertama, isi dalam arti ilmu apa yang dipelajari. Kedua, bahasa yang meliputi bahasa Inggris dan bahasa IT. Dan, yang ketiga adalah sikap. “Ketiganya menurut saya harus dievaluasi dan diperbaiki,� tandasnya. Menurut pandangan Muchlas, jurusan yang spesifik kurang cocok karena saat ini semua bidang sudah melebur
8 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
LAPORAN UTAMA menjadi tanpa batas. Akan lebih baik jika sesorang diberi kemampuan mendasar yang kuat, selanjutnya biarkan orang tersebut menyesuaikan sendiri dengan perubahan zaman. “Itulah salah satu contoh mengapa kita harus melakukan revolusi terhadap konten pendidikan tersebut,” paparnya. Semua revolusi pendidikan tersebut akan berjalan optimal jika tenaga pengajar (guru dan dosen) memiliki kompetensi pendidikan. Masalahnya, saat ini, Indonesia kekurangan guru dan dosen yang benar-benar kompenten. Padahal, guru memiliki sumbangsih besar terhadap revolusi pendidikan, yakni 53% berdasarkan sebuah penelitian. “Dengan guru yang berkompeten, masalah pendidikan akan berkurang setengahnya,” terang Muchlas. Bagaimana menciptakan guru yang kompeten? Muchlas menyebut ada dua cara yang perlu disiapkan yakni membentuk tim khusus yang mengurusi perkembangan guru
dan menyiapkan guru yang mau dan mampu ditempatkan di daerah tertinggal. “Untuk Unesa sendiri, seharusnya menyiapkan dosen yang dapat mengantarkan mahasiswa ke spesifikasi konsentrasinya dan menerapkan cara mengajar seperti cara guru mengajar di sekolah. Di mana dosen tidak melulu memberikan ceramah, tapi memberikan masalah atau proyek yang dapat diselesaikan mahasiswa,” jelasnya. Kurikulum 2013 yang diterapkan saat ini, lanjut Muchlas, sangat cocok untuk merevolusi mental pendidikan karena ide dan tujuannya bagus. Hanya saja, masih ada kendala dalam pengimplementasianya. Selain itu, penerapan school culture juga masih kurang. Padahal, school culture dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk mencapai tujuan pendidikan. “Semoga melalui revolusi, pendidikan di Indonesia semakin baik dan banyak guru yang mau ditempatkan di manapun dibutuhkan,” harapnya. (ULIL/ANDINI)
KURIKULUM 2013 SUDAH SESUAI DENGAN KONSEP REVOLUSI
S
ementara itu, Rektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, MS ber pendapat bahwa esensi revo lusi adalah perubahan secara cepat dan mendasar, sedangkan men tal berkaitan dengan proses berpikir. Menurutnya, mengubah proses berpi kir memang sulit sehingga yang perlu dilakukan adalah melakukan peruba han pola pikir. Saat ini, kata rektor, banyak orang ter jebak dalam paradigma berpikir yang tidak mendukung kemajuan bang sa. Mereka cenderung berpikir diagonalistik, berpikir negatif, berpikir sebab, dan bermental miskin. Keempat paradigma tersebut merupakan karak ter buruk yang harus diubah ke arah yang bisa mendukung kemajuan bang sa dengan membaliknya menjadi ber pikir alternatif, berpikir positif, berpikir akibat, dan bermental kaya. Paradigma berpikir yang harus di ubah, lanjut guru besar FIS itu perta ma adalah paradigma berpikir diago nalistik. Paradigma seperti ini sangat rentan terhadap konflik. Dalam pa radigma berpikir diagonalistik, se
ti ap perbedaan dipandang sebagai benar atau salah. Jadi, jika ada yang ber pendapat, masing-masing akan berusaha membenarkan pendapatnya sen diri, dan berusaha menyalahkan pen dapat orang lain. “Paradigma berpikir diagonalistik harus diganti dengan paradigma berpikir alternatif, yang mengakui dan menerima adanya perbedaan,” ungkaonya.
Paradigma kedua, yang harus di ubah adalah berpikir sebab. Menurut War sono, paradigma berpikir aki bat menyebabkan bangsa sulit maju dan sulit memiliki prestasi membanggakan. Orang paradigma berpikirnya de mi kian, hanya akan sibuk mencari siapa yang salah bukan mencari solusi atas permasalahan. “Paradigma berpikir se bab juga akan rentan terhadap konflik
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
9
LAPORAN UTAMA karena banyak orang yang bertindak dulu, kemudian baru berpikir. Bukan berpikir dahulu, kemudian baru bertin dak,” jelasnya. Selanjutnya, paradigma berpikir ne gatif harus diubah menjadi paradigma ber pikir positif. Paradigma berpikir negatif cenderung menimbulkan ke tidakpercayaan terhadap orang lain. Karena itu, paradigma berpikir negatif harus digeser ke paradigma ber pikir positif. “Terakhir adalah men ta litas miskin. Mentalitas seperti ini men ja dikan orang selalu merasa kurang, se hingga orang kurang bersyukur. Men ta litas miskin harus digeser menjadi pa radigma mental kaya, yakni lebih suka memberi daripada meminta,” tan dasnya. Untuk melakukan revolusi mental, salah satu cara yang harus dilakukan adalah melalui pendidikan. Karena pen didikan memiliki peran strategis untuk melakukan perubahan perilaku dan mengembangkan potensi. “Pendi
dikan adalah to be human being,” ujar Rektor Unesa pengganti Prof. Muchlas tersebut. Pendidikan harus dimulai dari ling ku ngan keluarga. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan per tama, yang akan menjadi fondasi bagi perkembangan anak selanjutnya. Anak diberi landasan pendidikan moral yang baik, karena jika sudah di perguruan ting gi, anak sudah terkontaminasi oleh banyak pihak. Oleh karena itu, pa ra orang tua harus disadarkan dan di pahamkan mengenai tugas dan kewa jibannya mendidik anak. “Menurut saya, kurikulum 2013 se cara filosofis telah sesuai dengan kon sep revolusi mental. Kurikulum 2013 berbicara tentang scientific thinking. Siswa dilatih kepekaan intelektualnya. Siswa dan guru dilatih kreatif dengan ber tanya menggunakan pertanyaan ‘how’,” paparnya. Mengenai peran Unesa sebagai perguruan tinggi pencetak guru, War
sono menegaskan bahwa Unesa ha rus melakukan reformasi terhadap kuri kulumnya. Sebab, profil guru ke depan adalah guru yang mampu men jadi motivator, stimulator, guru yang percaya diri, guru yang memiliki pe mikiran yang prediktif, serta guru yang mampu membangun personality men jadi orang yang ikhlas, memiliki kasih sayang dan idealisme. Untuk menghasilkan guru-guru ide al seperti itu, dosen harus mengubah mindset karena mereka harus menjadi pembelajar. Dosen harus belajar ber pikir kritis harus meliliki idealisme. “Akan ada kebijakan yang dilakukan untuk mengubah mindset para dosen, sehingga kelak akan mencetak lulusan guru yang mampu menjadi motivator, memiliki kepercayaan diri tinggi, mam pu menjadi stimulator, memiliki idealis me, berpikir kritis, kreatif dan inovatif,” harapnya. (LINA MEZALINA/RIZAL ARFIANSYAH)
REVOLUSI MENTAL PENDIDIKAN MELALUI KOMPETENSI
B
erbicara revolusi mental pendidikan, menurut Prof. Prof. Dr. Ismet Basuki, M.Pd. yang paling utama harus direvolusi adalah karakter. Dimana, karakter tersebut harus ditanamkan sejak sekolah menengah, teruta ma SMK. Pembentukan karakter sejak SMK harus benar-be nar matang karena siswa SMK sudah dicetak siap bekerja. Dalam revolusi mental, kata Ismet, ada dua sikap penting yang perlu dikembangkanl, yakni sikap spiritual dan sikap sosial. Ia berpandangan, jika seseorang sudah kompeten tapi tidak diimbangi kedua sikap tersebut, kariernya tidak akan bagus. Jika terjun ke dunia kerja pun akan merugikan dirisendiri maupun instansi atau perusahaan tempatnya be kerja. “Dua sikap itu penting untuk revolusi mental, “ ujar guru besar FT yang menjabat Asisten Direktur Pascasarja tersebut. Unesa sejatinya sudah menyiapkan jauh-jauh hari untuk re volusi mental melalui Motto “Growing with Character.” Unesa sudah menekankan pendidikan karakter pada ca lon lulusannya. Selain karakter, perlu diimbangi dengan pe ngetahuan sesuai dengan bidangnya, dalam hal ini pihak Jurusan dan Fakultas masing-masing di Unesa yang harus
10 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
bekerja keras untuk membangun hal itu. Selanjutnya, sebagai acuan adalah sesuai dengan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), dan me-review penelitian DP2M Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dimana dalam penelitian tersebut, menjelaskan
LAPORAN UTAMA bagaimana cara membangun karakter dalam pendidikan. Harapannya metode-metode pembangunan sikap yang sudah ada bisa menjadi rujukan dan diterapkan secepatnya. Dalam merevolusi mental guru, dosen kelahiran Blitar tersebut menjelaskan secara terperinci empat kompetensi yang harus dimiliki guru. Pertama Kompetensi Kepribadian sesuai dengan standar kompetensi dan kualifikasi guru pada Permen No.16 tahun 2007. Kedua, Kompetensi Sosial, yakni bisa berkomunikasi baik melalui lisan maupun tulisan. Ketiga Kompetensi Pedagogik (keguruan) yang mengharuskan guru mengetahui karakteristik siswa, menguasai teoriteori belajar, menguasai model pembelajaran yang mendidik, mengembangkan kurikulum, mengevaluasi cara pengajarannya dan sebagainya. Keempat, kompentensi
P
professional, dalam hal ini guru harus bisa menguasai materi Untuk di Unesa, Ismet berharap ke depan antara dosen dan mahasiswa harus saling berinteraksi dan saling membutuhkan. Jika mahasiswa ingin mendapatkan ilmu, dosen harus memberikan. Namun jika mahasiswa ingin berkompeten, maka harus dimulai diri sendiri. Bukan hanya dosen yang memberi, tapi mahasiswa juga mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Setelah lulus dari Unesa melanjutkan ke Program Profesi Guru (PPG) agar ilmunya lebih mendalam. Selain itu motto Unesa harus benar-benar terealisasikan. “Semoga motto Unesa, Growing with Character tidak hanya tulisan namun benar-benar bisa diimplementasikan,” ujar guru besar kelahiran 26 Maret 1961 tersebut. (ANDINI/FITRO)
REVOLUSI MENTAL BERAWAL DARI DIRI SENDIRI
rof. Dr. Siti Maghfirotun Amin, M.Pd. mengung kapkan bahwa revolusi men tal tidak hanya sekadar bekerja dengan keras, te tapi bagaimana seseorang itu bekerja dengan hati. Jika se seorang hanya sekadar bekerja keras, ia akan bekerja dari pagi hing ga sore, dan pasti akan banyak mengeluh. Namun ti dak demikian bagi seseorang yang menikmati pekerjaannya. “Bagi saya revolusi mental itu bagaimana kita mengubah diri menjadi lebih baik dan lebih baik lagi,” ujarnya. Revolusi mental di Unesa tidak hanya berlaku bagi ma hasiswa saja, tetapi berlaku un tuk semua. Menurut pen dapat Siti Amin, percuma jika hanya mahasiswa yang dire volusi mental namun tidak de ngan dosennya. Padahal, do sen merupakan panutan ma hasiswa yang kerap diteladani dan dikenang. “Ada dua macam guru yang dikenang oleh sis wa nya, yaitu guru yang baik dan guru yang tidak baik. Tentu inginnya kan dikenang menjadi guru yang baik. Nah dosen kan juga guru.” ujar dosen kelahiran Ngawi tersebut.
Ia berkeyakinan, revolu si mental ti dak akan bi sa di lakukan terhadap orang lain jika mental diri sendiri belum di revolusi. Se mua harus di mulai dari diri sendiri terlebih dahulu, karena dalam bidang mental itu perlu adanya kete ladanan dan ha rus dilakukan secara terus-menerus. Selain itu, revolusi mental tidak akan berhasil maksimal jika ha nya sekadar diberi tahu, tapi harus dipraktikkan. Terkait peran kurikulum dalam merevolusi mental, Prof. Siti Amin me ngakui sedikit banyak kurikulum berperan dalam revolusi mental pendi dikan. Namun, ia berpendapat apapun ku rikulumnya yang
sangat penting diubah adalah guru. Kecenderungan saat ini, guru hanya menjalankan tugas sebagai pengajar, belum berperan se bagai pendidik. “Untuk mengatasi hal itu, tentu kembali pada individu ma sing-masing guru. Apakah gu ru tersebut mempunyai niatan “niat ingsun ndandani bongso (berniat memperbaiki bangsa) atau tidak,” paparnya. Untuk mencetak guru yang berwawasan baru, terang Prof. Siti Amin, dosen-dosen harus tahu betul bagaimana keadaan sekolah saat ini. Sekali waktu guru bisa dipanggil ke kampus untuk menjadi dosen. Karena untuk hal-hal yang sifatnya praktis, guru-guru lebih piawai
daripada dosen sedangkan do sen-dosen lebih banyak tahu teori. “Jadi bagaimana meng gurukan dosen dan bagaimana mendosenkan guru. Saya pu nya mimpi dosen-dosen pendi dikan yang di Unesa, itu seperti di fakultas-fakultas kedokteran. Jadi do sen akan terjun lang sung dan men dam pingi ma ha siswanya saat praktik,” tan dasnya. Sebenarnya, jika di kait kan, revolusi men tal ber bi cara tentang karakter sese orang yang bisa dilihat da ri bagaimana seseorang itu berhubungan de ngan orang lain (kecerdasan interpersonal) dan bagaimana ia melihat diri sendiri (kecerdasan intra per sonal). “Contohnya, selama ini saya beranggapan bahwa guru matematika itu lebih condong untuk mengurusi kognitif saja. Saya tidak ingin kelak anakanak jadi orang yang pinter tapi keblinger atau salah arah. Nah supaya anak-anak tidak jadi keblinger, maka inter dan intra pribadinya harus diurus dan itu harus dilatihkan oleh guru,” tan dasnya. (ULIL/HABIBI)
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
11
LAPORAN UTAMA
apa kata mereka
tentang revolusi mental Andik Yuliyanto, M. Si, Dosen Bahasa Indonesia FBS
Revolusi Afektif, Kognitif, dan Psikomotorik
ANDIK Yuliyanto, M. Si, dosen kelahiran Sidoarjo 24 Juli 1974 menjelaskan mengenai revolusi mental dalam dunia pendidikan. Menurutnya, pada revolusi mental yang ingin direvolusi adalah mental. Itu artinya masuk ranah mind atau kawasan pikiran. Sejauh ini, ranah pendidikan masih bersifat tradisional atau bersifat kolot karena itu perlu dibuat lebih kreatif dengan cara merevolusi mental. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menambahkan, yang berperan menangani revolusi mental di ranah pendidikan adalah stakeholder pendidikan. Kalau di dalam institusi, adalah para pendidik. Sedangkan kalau di luar institusi, orang tua dan lingkungan sekitar. “Kalau dua komponen tersebut bisa memanfaatkan situasi maka mereka bisa menciptakan revolusi mental dalam pendidikan karena makna mental dalam pendidikan itu berkaitan erat dengan wilayah kognitif, afektif, dan psikomotorik,” katanya. Menurut anduk, tantangan terberat membenahi revolusi mental dalam dunia pendidikan ada pada golongan yang sulit diajak berubah. Biasanya, mereka beralasan tidak ada gunanya revolusi mental. Tantangan berikutnya adalah rutinitas yang menghambat dan aturan yang menganggu secara birokratis. (RUDI)
Bambang Dibyo Wiyono, S.Pd., M.Pd, Kajur BKFIP
Feedback Wajib Diberikan
BAMBANG Dibyo Wiyono, S.Pd, M.Pd setuju jika pendidikan perlu melakukan revolusi. Salah satu yang perlu direvolusi, menurut Bambang terkait dengan model pembelajaran guru dan dosen yang kurang kreatif. Tak sedikit dosen yang sudah belajar sampai S3 dan telah mengikuti berbagai seminar, tetapi cara mengajar tetap saja presentasi dan ceramah. Tidak pernah dimodifikasi agar kelas menjadi hidup. Untuk mengelolah kelas dengan baik, menurut Ketua Jurusan
12 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
Bimbingan Konseling (BK) itu diperlukan kejelian pendidik. Salah satunya dengan menerapkan pemberian feedback kepada mahasiswa atau siswa. Feedback wajib diberikan agar mahasiswa atau siswa tahu mana yang benar dan mana yang salah. “Misalnya, mahasiswa diberi tugas makalah tapi tidak pernah diberikan koreksi mana yang salah, sehingga mereka menganggap tugas yang dikerjakan sudah benar. Akhirnya, sampai lulus pun mahasiswa menganggap benar konsep yang belum tentu kebenarannya,” terang dosen muda yang telah menerapkan metode pemberian feedback di beberapa kelas mahasiswa tersebut. (LINA MEZALINA)
Nanik Indahwati, S.Pd., M.Or., Kajur Penjaskesrek
Tanamkan Kebiasaan untuk Membangun Karakter
MENGENAI revolusi mental pendidikan yang sedang digaungkan pemerintah saat ini, Kajur Pendidikan Jasmani, esehatan, dan Rekreasi, Nanik Indahwati sangat setuju. Revolusi mental sejatinya tidak jauh dengan pendidikan karakter. Hanya saja, revolusi mental dalam pendidikan tidak bisa langsung bergerak epat tetapi perlu dilakukan secara bertahap dan gayung bersambut antarsemua kalangan. Di FIK sendiri, kini mahasiswa olah raga tidak hanya dibekali kemampuan otot saja, tetapi juga pada sisi pembelajaran dan pengembangan teori yang lebih baik. Saat ini, FIK sudah sering mengadakan kegiatan sebagai pendukung perkuliahan, seperti penyelenggaraan pertandingan ateltik, basket, futsal, dan sebagainya. Mengenai revolusi mental pendidikan sendiri, terutama untuk pendidik dan peserta didik, menurutnya harus lebih menekankan pada kebiasaan. Ia mencontohkanketika mahasiswa Unesa khususnya yang berbasis pendidikan mengikuti perkuliahan, secara performa harus membiasakan diri sebagai mahasiswa yang berperilaku sebagai pendidik. “Sebagai pendidik, tantu saya berharap pendidikan di Indonesia bisa merata, tak hanya mengelompok di kota-kota saja. Dan, semoga Unesa mampu mencapai visi dan misinya sebagai kampus yang unggul dan bermartabat,” pungkasnya. (FITRO KURNIADI)
LAPORAN UTAMA Syunu Trihantoyo, M.Pd, Dosen FIP
Dr. H. Moch. Khoirul Anwar, M.E.I, Kaprodi Ekonomi Islam
PENDIDIKAN memiliki peranan besar untuk mewadahi penyelenggaraan revolusi mental. Menurut Syunu Tri hantoyo, M.Pd., revolusi men tal pendidikan merupakan upa ya membangun karakter te naga pendidikan agar mampu meng ha da pi dehumanisasi pembangunan manusia. Dosen prodi Manajemen Pendidikan ini menagatakan, hal utama yang perlu direvolusi adalah pen didik dan peserta didik. Meskipun sistem terbangun dengan bagus, jika SDM tidak mumpuni, maka revolusi mental pendidikan pun tidak akan berjalan. Mengenai kurikulum, dosen kelahiran tahun 1987 ini memandang bahwa dalam setiap kurikulum pasti terdapat hidden curriculum. Tak terkecuali, kurikulum 2013, yang memberi ruang khusus pada aspek spiritual. (LINA MEZALINA)
MELAKUKAN revolusi mental tidaklah mudah, perlu proses, kesabaran, dan tindakan lebih lanjut. Begitulah yang diungkapkan Dr. H. Moch. Khoirul Anwar, M.E.I, Kepala Program Studi Ekonomi Islam Unesa. Menurtunya, dalam pendidikani, yang diutamakan adalah bagaimana cara mengubah mental anak didik menjadi lebih baik. Dari sisi tujuan, sebenarnya sudah baik. Sayang, pelaksaan di lapangan yang kerap mengalami kendala. Ia berpendapat, unsur utama dari revolusi mental pendidikan adalah mental seorang guru atau dosen. Jika ingin mengubah mental mahasiswa atau murid, dosen atau guru harus mengubah mentalnya terlebih dahulu. Selain melakukan perubahan mental pada diri sendiri, proses harus dilakukan secara terus menerus dan tidak boleh putus di tengah jalan. “Nasehat dengan tindakan itu lebih sahih atau mengena daripada hanya dengan ucapan,” jelasnya. (RIZAL)
Jangan Jadikan Jargon Saja
Mengintensifkan Hidden Curriculum
Dr. Totok Suyanto, M. Pd, Kepala Jurusan PMPKn
Kualitas Guru Menjadi Kata Kunci
Dr. Meini Sondang Sumbawati, M.pd., Dosen TI:
DR. TOTOK Suyanto, M. Pd, Kepala Jurusan PMPKn Unesa berpendapat bahwa revolusi pendidikan tidak hanya dengan melakukan perubahan kurikulum, tapi yang perlu ditingkatkan adalah kualitas guru dan sarana prasarana pembelajaran. “Bagi saya, kualitas guru itu nomor satu,” terangnya. Menurutnya, dampak peningkatan kualitas guru sangat besar. Selain pembelajaran akan semakin menarik, siswa pun semakin betah dan nyaman di kelas. Peningkatan kualitas guru rupanya harus menjadi fokus utama pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan, meski sudah ada program program seperti Sarjana Mendidik di Daerah Terpencil, Terluar, Tertinggal (SM3T) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun dalam pelaksanaannya masih terlalu singkat. “Banyak orang merasa setelah dilatih selama satu tahun, sudah merasa profesional. Itu kan nggak mungkin,” ungkapnya. Sebagai praktisi pendidikan, ia berharap pendidikan di Indonesia semakin maju agar semakin siap menyongsong Masyarakat Ekonomi Asean. Oleh karena itu, pendidikan harus menjad barometer perubahan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dan berdaya saing internasional. (RIZAL)
Mencetak Guru berkualitas
MEINI Sondang Sumbawati, salah satu Dosen Teknik Informatika, menanggapi revolusi mental pendidikan atau perubahan mental dalam pendidikan sangatlah diperlukan, mengingat mental pendidikan saat ini bisa dibilang masih rendah. Ia mengatakan, ada banyak cara pembentukan mental pendidikan. cara yang paling dasar adalah pembentukan mental yang dimulai dari lingkup k e c i l dulu, yakni keluarga. Selanjutnya dari lingkungan masyarakat, Baru kemudian dalam lingkup pendidikan formal. “Di sini peran guru sangat diperlukan. guru tak hanya cukup mengajar, tapi juga perlu mendidik,” ungkapnya. Sebagai Lembaga Pencetak Tenaga Keguruan (LPTK), Unesa harus mampu mencetak guru berkualitas sesuai yang dibutuhkan. Selain berkualitas, juga harus mencetak guru yang bijaksana dalam bersikap dan mampu menyelesaikan problema pendidikan. Untuk mencetak guru berkualitas, perlu adanya campur tangan serius dari pemerintah. Salah satu contohnya dengan memberikan tunjangan profesi. Sementara untuk penyegaran, guru harus diberikan pelatihan dan workshop agar guru-guru mengetahui regulasi baru yang menyangkut guru dan siswa. (ANDINI/FITRO)
Nomor: 73 Tahun XV - September 2014 MAJALAH UNESA
|
13
LAPORAN UTAMA Mokhamad Nur Bawono, S.Or., M.Kes., Kajur Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi:
Revolusi Mental Pendidikan dengan Growing With Character MOKHAMAD Nur Bawono, Kepala Ju rusan Pendidikan Kesehatan dan Rek re asi, Fakultas Ilmu Keolahragaan mengungkapkan pendidikan meru pakan pilar sebuah bangsa, yak ni untuk menyanggah harkat dan mar tabat bangsa. “Pendidikan adal ah pilar bangsa, jadi pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai kebangsa an,” ungkapnya. Terkait dengan revolusi mental pen di dikan yang sedang digaungkan oleh pemerintah saat ini, menurutnya masih banyak hal yang perlu disiapkan dan diperbaiki untuk menunjang hal tersebut. Dimulai dari Sumber Daya Manusia (SDM), kualitas guru atau dosen, dan yang penting adalah masalah sarana dan prasarana yang harus dipenuhi. Kajur muda kelahiran 08 Februari 1979 itu menambahkan, dalam merevolusi mental pendidikan, sertifikasi guru atau dosen harus diikuti dengan adanya pengawasan ketat pada guru atau dosen itu sendiri. Karena tak cukup berhenti pada prospektif sertifikasi saja, tapi setelahnya harus mampu mengimplementasikan dan pemenuhan kulitas sesuai dengan stadarisasi dan kualifikasi. Motto Growing with character yang dijadikan landasan Unesa harus bisa diwujudkan dengan baik. Di FIK Unesa, sekarang sudah berkembang pesat dari sebelumnya. Karena tak hanya otot yang diutamakan, otak juga sudah tergarap. “Contoh hasil konkret adalah setiap kali ada gelaran Pimnas atau Mawapres, FIK mampu mengirimkan perwakilan dan mampu berbicara di tingkat nasional,” tandasnya. Dosen asal Lumajang itu berharap dengan revolusi mental pendidikan, ke depan pendidikan di Indonesia, khususnya di Unesa terus meningkat kualitasnya dan mampu mencetak lulusan keguruan berdaya saing internasional. (FITRO KURNIADI)
Erna Septiyani, Mahasiswa FBS
Seimbangkan Softkill dan Hardskill ERNA Septiyani, mahasiswa Fa kultas Bahasa dan Seni merasa kua li tas pendidikan di Unesa belum op timal dan banyak sektor yang perlu dibenahi. Unesa ha rus bisa meningkatkan atau menyeimbang kan softskill dan hardskill mahasiswa. “Du nia kerja tak hanya cukup ber bekal hardskill saja, softskill pun harus diasah,” ujarnya. Terkait revolusi mental pendidikan, ma hasiswi S1 Bahasa Jepang itu berpandangan bahwa untuk mere volusi mental pendidikan harus dengan cara bertahap. Dimulai
14 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
dengan bagaimana cara mensejahterakan guru, upgrading ke mampuan guru yang sesuai dengan kondisi saat ini, dan pengem bangan pendidikan karakter. Mahasiswi asal Ngawi itu berharap, pendidikan di Indonesia maupun di Unesa ke depan lebih berkarakter sesuai dengan ke luhuran bangsa. Menurutnya, bagaimanapun juga bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang menjunjung tinggi bangsanya sendiri. (FITRO KURNIADI)
Vivi Yulia , Mahasiswa FIP
Revolusi Mental, Sebuah Tantangan VIVI Yulia, mahasiswa jurusan Pendi dikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) me mak nai revolusi mental pendidikan me rupakan tantangan yang harus di hadapi. Pendidik harus mampu men jadi agen perubahan. Semisal kurikulum maupun kebijakan-kebi jakan lain. “Yang lebih utama adalah perlu adanya perubahan pola pikir ser ta kesadaran untuk berubah ke arah yang lebih baik,” ujarnya. Menurut Vivi, pendidik merupakan garda terdepan dalam me revolusi mental para peserta didik. Karena itu, pendidik harus mau berproses. Selain itu, kesadaran untuk memulai perubahan dari langkah kecil perlu dilakukan. Sekecil apapun perubahan, tetap akan memberikan dampak. “Saat ini, Unesa sebagai perguruan tinggi pencetak guru telah memulai melalukan perbaikan ke arah revolusi mental. Hal ini dibuktikan dengan diadakannya pendidikan karakter untuk maha siswa dan semakin maraknya seminar tentang pendidikan dan pe nguatan karakter,” paparnya. (LINA MEZALINA)
Jevy Andi Rokhman, Mahasiswa FIK
Tingkatkan SDM Tenaga Pendidik MENURUT Andi Rokhman, mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), potret pendidikan di Indonesia saat ini ma sih kurang baik. Ia menganggap saat ini, kurikulum baru, kurikulum 2013 masih bermasalah atau belum mam pu diterapkan sepenuhnya. Di antaranya masih banyak hal yang belum menunjang kurikulum baru ter sebut, seperti Sumber Daya Manusia (SDM) peserta didik maupun pendidik yang be lum mumpuni, serta sarana dan prasarana yang masih belum menunjang. Terkait revolusi mental pendidikan, menurutnya banyak cara, namun cara-cara tersebut dirasa tidak bisa berjalan efektif dengan kondisi nyata dengan kondisi saat kini. Karena masih banyak guru yang gagap teknologi dan juga banyak guru yang kurang terupgrade pengetahuannya tentang model pendidikan yang sesuai saat ini. “Pemerintah wajib melakukan upgrading SDM pada tenaga pendidik,” ujarnya. (FITRO KURNIADI)
LAPORAN UTAMA Arista Indrajaya, Mahasiswa FT
Arlendra Pramughita, Mahasiswa Fakultas Ekonomi
DEWASA ini pendidikan di Indonesia cukup memprihatinkan. Banyaknya kasus-kasus asusila guru terhadap siswa terjadi di dunia pendidikan membuat Arista Indrajaya merasa sistem pendidikan perlu dibenahi, terutama untuk guru. Dengan ada nya revolusi mental pendidikan di harapkan dapat mengubah pola pikir guru. Guru yang sebelumnya ha nya memikirkan tentang gaji dan apa yang harus di lakukan menjadi guru yang lebih kreatif, lebih bertanggung jawab dan guru yang memiliki sifat pemimpin. Secara umum peran Unesa mencetak calon guru yang ber karakter, kreatif, dan berjiwa pemimpin. Mahasiswa Teknik Informa tika ini berharap pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Selain itu, ia juga mengharapkan pendidikan di daerah timur Indonesia lebih diperhatikan dan diperbaiki sarana prasaranya. (ANDINI OKTAPUTRI)
MENURUT Arlendra Pramughita, per kem bangan pendidikan di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Itu terlihat dengan semakin majunya teknologi yang berkembang di Indonesia. Namun, memang masih banyak yang perlu dibenahi dan dikembangkan, terutama sarana dan prasarana penunjang kemajuan pen didikan. Tidak dapat dipungkiri, masalah sarana dan prasarana menjadi kendala dalam pendidikan. Saat ditanya masalah revolusi mental pendidikan, mahasiswa program studi S1 Manajemen itu menjabarkan tiga hal yang perlu dilakukan untuk merevolusi mental pendidikan. Pertama, harus ada perbaikan kualitas belajar-mengajar dengan melakukan metode pembelajaran yang lebih efektif. Kedua, sarana dan prasarana penunjang pendidikan harus ditingkatkan, seperti perpustakaan yang lengkap, dan tempat belajar yang nyaman. Ketiga, perlu komunikasi antara pihak pendidik dan peserta didik yang saling mendukung. Lendra, menambahkan bagaimanapun juga mental pendidikan secara tidak langsung akan berpengaruh pada perekonomian. Semakin bagus mental pendidikan di Indonesia, semakin bagus pula perekonomian. Harapannya, revolusi mental pendidikan di Indonesia bisa direalisasikan, demi perekonomian negara yang lebih bagus dan bersaing secara global. (FITRO KURNIADI)
Revolusi Mental untuk Guru yang Berkarakter
Pendidikan Berpengaruh pada Perekonomian
Mifta Husna Zsazsaning Ayu, Pengurus BEM FIS
Harus Mengerti Batas-Batasannya REVOLUSI mental menjadi sebuah kewajiban yang harus dimiliki oleh se mua orang. Dengan adanya revolusi mental, seseorang dapat meng ubah cara berpikirnya. Hanya saja perlu dimengerti batasan ba ta san sehingga revolusi mental bi sa berdampak positif. Begitulah ung kapan Mifta Husna Zsazsaning Ayu, mahasiswi program studi (prodi) Admi nis trasi Publik Unesa, “Kalau tidak mengerti batasan batasannya, bisa-bisa malah akan menyalahi aturan,” ungkapnya. Mahasiswi yang juga aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (BEM FIS) ini mengatakan bahwa revolusi mental dapat dikaitkan dengan konsep trisakti Soekarno, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Menurutnya revolusi mental pendidikan akan berhasil bila ketiga konsep tersebut bisa dilihat secara nyata. Karena pendidikan sangat penting untuk mengubah sikap, kebribadian, dan perilaku seseorang. Menutunya, pendidikan di Unesa sudah semakin baik meski masih banyak yang harus ditingkatkan. Salah satunya, bagaimana Unesa bisa mencetak lulusan yang berkualitas dalam hal akademik maupun non akademik. (RIZAL)
Angga Kurniawan, Mahasiswa Teknik Elektro
Muhasabah Unesa agar Lebih Baik REVOLUSI Mental Pendidikan, menurut Angga Kurniawan didefinisikan menjadi 3 kata, yakni revolusi yang berarti perubahan, mental yang berarti pola pikir dan pendidikan yang berarti usaha menjadikan dari yang tidak bisa menjadi bisa. “Revolusi Mental Pendidikan adalah perubahan pola pikir dalam pelaksanaan pendidikan untuk menjadikan siswa dari yang tidak bisa menjadi bias,” ungkapnya. Menurut Angga, pendidikan saat ini masih berorientasi pada angka. Dalam arti hanya menekankan pada aspek kognitif saja sehingga siswa hanya diajarkan untuk mendapatkan nilai yang tinggi bukan menguasai suatu mata pelajaran. Sedangkan nilai afektif tidak diperhatikan lebih jauh. Seharusnya, lanjutnya, dalam proses pendidikan tidak hanya ditekankan nilai kognitif saja, namun juga harus memperhatikan nilai afektif juga. Karena kedua aspek tersebut saling kesinambungan. Sebagai kampus eks-IKIP, Unesa memiliki peran yang besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena dari Unesalah banyak dicetak tenaga pendidik yang profesiona dengan menghasilkan lulusan tenaga pendidik yang adaptif dengan perubahan zaman. “Seharusnya. Unesa dapat mengarahkan kegiatan mahasiswa ke ranah yang lebih positif. Yaitu menciptakan komunitas penunjang perkuliahan sebagai pengganti budaya nongkrong,” ungkapnya. (ANDINI OKTAPUTRI)
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
|
15
SEPUTAR UNESA Dies Natalis Unesa ke-50:
Gebyar Mbak dan Mas Unesa 2014
S
etelah melewati proses penjurian ketat, puncak grand final Pemilihan Mbak dan Mas Unesa 2014 di gedung Serbaguna (Gema) Unesa kampus Ketintang (4/12) ber hasil memilih para pemenang yakni, tiga Mbak dan tiga Mas. Keenam mahasiswa pemenang itu telah lulus dari grand final yang diikuti 15 finalis. Tiga nama penyandang gelar Mbak Unesa adalah Marina Ber lian S.D (PPB/FIP) juara I, Indira Dewi Kirana (Tata Rias/FT) juara II, dan NazilatunIsrofani (Bahasa Inggris/FBS) juara III. Sementara pe nyandang Mas Unesa adalah Rico Ari Wijaya (Majanemen/FE) juara I, Robi Pramana Kusuma (Manajemen/FE) juara II, dan Raga Driyan Pratama (Bahasa Inggris/FBS) juara III. Keenam pemenang itu telah lulus dari 15 finalis yang berasal dari tujuh fakultas di Unesa, di luar Program Pasca Sarjana. Lima belas finalis itu telah memenangkan penjurian awal dengan peser ta 19 calon Mbak dan 10 calon Mas—bersama dewan juri Much. Khoiri (FBS), Siti Sulandjari (FT), dan Djoko Tutuko (FBS), yang dihe lat sejak Senin (1/12) di gedung auditorium FT. “Gagasan pemilihan Mbak dan Mas Unesa sebenarnya diinisiasi oleh Prof. Kisyani selaku PR-1 beberapa waktu lalu. Namun, inilah saatnya untuk mewujudkannya,” tutur ketua panitia Bu Irma Ros siyanti. Bersama timnya yang cekatan dan trengginas, Bu Irma menghelat rangkaian acara dengan peserta yang cakep-cakep ini. “Para pemenang diharapkan sebagai role model bagi Unesa, “ tegas Pembantu Rektor III Dr. Ketut Prasetyo, MS., mewakili rektor, dalam sambutannya. “Dalam berbagai acara Unesa ke depan, me reka diharapkan berperan dalam rangkaian penyambutan. Mereka bisa menjadi duta kampus ini.” Bahkan, mereka bisa melibatkan para finalis dan peserta pemilihan ini untuk kegiatan-kegiatan kampus. Tak ayal, selain seleksi portifolio, ada criteria penting yang ha rus dipenuhi oleh semua peserta. Pertama, mereka harus memiliki kompetensi akademik dan public speaking yang mumpuni. Kedua, mereka juga memiliki wawasan ke-Unesa-an (wawasan al ma mater) secara mendalam. Ketiga, mereka mampu (terutama) ba hasa Inggris lisan. Keempat, mereka memiliki bakat tertentu yang dibuktikan dengan unjuk kebolehan. Lebih lanjut, pada saat grand-final, para finalis mendapat pertanyaan bukan hanya dari para juri, melainkan juga dari para pejabat Unesa, termasuk para Pembantu Rektor. Pertanyaan juri disampaikan langsung; pertanyaan pejabat dalam bentuk slot undian. Hal terakhir inilah yang manjadi pilar terakhir untuk me nentukan pemenang. Nasib mereka tercatat di sini. Di antara pertanyaan itu, misalnya, potensi apakah yang di miliki Unesa yang harus dipublikasikan untuk memperkuat image building? Program apa sajakah yang perlu dicanangkan untuk me wujudkannya, baik ke dalam Unesa maupun keluar Unesa? Bagai mana memanfaatkan peran alumni untuk memperkuat posisi Unesa? Lebih lanjut, bagaimana bakat-bakat mahasiswa di mak simalkan? Bagaimana kaitannya dengan pembudayaan enterpre neurship? Bagaimana semua ini terkait dengan kajian dan gerakan literasi di kampus? Apakah peran yang bisa diberikan para peserta
16 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
FINALIS. Para finalis Mas dan Mbak Unesa saat grand final di gedung Gema, Unesa, Kampus Ketintang. (pemilihan) untuk program-program yang dijalankan di kampus? Bagaimana pula bermitra dengan media? Mampu Berbahasa Inggris Yang cukup mencengangkan, seluruh peserta pemilihan ini mampu berbaha saInggris, dengan tingkat kemampuan masingmasing. Untuk Raga Driyan Pratama dan NazilatunIsrofani, saya tidak heran, karena mereka memang mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Namun, terutama untuk finalis lain, kemampuan bahasa Inggris mereka rata-rata bagus. Bahkan, ada finalis yang selalu menjawab pertanyaan juri da lam bahasa Inggris—kendati pertanyaan disampaikan dalam ba hasa Indonesia. (Saya selalu berbahasa Inggris dalam penjurian ini, sedangkan dua juri lain berbahasa Indonesia.) Bukan sok gaya, karena hal itu diperbolehkan. Agaknya mereka telah berkeyakinan bahasa Inggris harus dikuasai setiap orang. Untuk para pemenang di atas, mereka bukan hanya unggul dalam bidang akademik dan bakat-minat, melainkan juga kemam puan bahasa Inggris yang mencengangkan. Dalam amatan saya selama penjurian, mereka telah aktif menggunakan bahasa asing itu dalam berbagai kegiatan selama ini, termasuk misalnya dalam siaran radio, modeling, organisasi, dan sebagainya. Agaknya, tentang kemampuan bahasa Inggris mahasiswa ini, akan menjadi perhatian lebih serius dari pimpinan Unesa. Tak kurang, PR-2 memberikan pertanyaan khusus “Bagaimana me ningkatkan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa Unesa?” Sebu ah pertanyaan sederhana, namun nendang. Kebetulan, yang menjawab adalah NazilatunIsrofani, juara III, yang kebetulan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. “Kita perlu menciptakan lingkungan berbahasa yang kondusif, seperti di jurusan kami. Ada English Speaking Community yang se dang dijalankan.” Akhirnya, selamat untuk para pemenang. Selamat bertugas sebagai Mbak dan Mas Unesa, dalam ikut menyukseskan programprogram yang diselenggarakan di kampus tercinta. Sukses selalu. (MUCH.KHOIRI)
SEPUTAR UNESA HUT Brimob Polri ke-69
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Raih Penghargaan
B
rigade Mobil (Brimob) merayakan HUT Brimob Polri ke-69 pada Jum’at (14/11/2014) di Mako Subden 2 Den B Pelopor Satbrimob Polda Jatim. Brimob merupakan pasukan elite yang di mi liki oleh Polri dan sering diterjunkan ke dae rah-daerah rawan konflik mulai dari penga manan di Nangroe Aceh Darussalam hing ga Papua untuk meredam aksi-aksi unjuk rasa yang menjurus ke anarkis. Lorenzo Yauwerissa merupakan ma ha siswa Pendidikan Sejarah Unesa yang kali itu mendapatkan penghargaan Warga Ke hormatan Korps Brimob Polda Jatim. Pasalnya, dia dianggap berjasa karena pe ne litiannya dan berhasil membuat buku dengan judul “Polisi Istimewa, Prajurit Isti
mewa, dan Perjuangan Kemerdekaan di Ja wa Timur.” Penelitian untuk menuntaskan buku itu menghabiskan waktu kurang le bih 2 tahun. Mahasiswa semester 5 itu me ngaku banyak menghadapi kendala selama melakukan penelitian. Dia harus berkeliling markas Brimob se-Jawa Timur guna me ngumpulkan sumber informasi sebagai ba han bukunya. Buku itu berisi sejarah cikal bakal Brigade Mobil (Brimob). Korps tertua di dalam Ke polisian Republik Indonesia (Polri) itu di bentuk pada tahun 1945, di mana pada era penjajahan Jepang Brimob bernama To kubetsu Keisatsutaiatau. “Ini merupakan sebuah kebanggaan dan saya tidak akan menodai gelar Warga Kehormatan ini. Ha
rapannya melalui buku ini, Polri mampu bekerja secara profesional,” sahut Lorenzo. Upacara HUT Brimob Polri ke-69 itu ber langsung mulai pukul 08.00 WIB dan di lanjutkan dengan acara syukuran dengan beberapa peragaan, di antaranya peragaan bela diri, tari Saman dari Nangroe Aceh Da russalam, dan tari Malulo dari suku Tolaki, Kendari , Sulawesi Tenggara yang di ba wakan oleh ibu-ibu Bayangkari. “Di dalam memeringati HUT Brimob kali ini, kita akan tingkatkan kiprah Brimob di tengah-tengah masyarakat. Selama ini tugas-tugas yang dibebankan kepada Brimob selalu berhasil sesuai dengan motto ‘Sekali melangkah te tap berhasil’,” kata Irjen Pol M. Anas Yusuf. (KHUSNUL/SANDI)
Pelatihan Jurnalistik Kehumasan Tingkat Lanjut
Mantapkan Jati Diri dengan Pelatihan
H
ubungan Masyarakat (Humas) Unesa menyelenggarakan Pe latihan Jurnalistik Tingkat Lanjut bagi para Reporter Humas pada Jumat (21/11/2014) di Lentera Camp Trawas. Kegiatan yang diketuai oleh Rudi Umar Susanto berlangsung selama 3 hari, 21-23 November 2014. Kegiatan dibuka oleh Sekretaris Humas Unesa Sudiarto Dwi Basuki, S.H., menggantikan Kepala Humas Unesa Dr. Suyatno, M.Pd. yang berhalangan hadir sebab sedang bertugas di Jakarta. Agenda tahunan itu diadakan untuk memperdalam ilmu penge tahuan, khususnya dalam bidang jurnalistik. Selain itu, juga dimak
sudkan untuk memantapkan jati diri reporter sebagai jurnalis serta meningkatkan kekeluargaan antaranggota . Adapun jumlah peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut ada lah 16 orang. Jumlah yang berbeda jauh jika dibandingkan dengan pelatihan sebelumnya yang mencapai 70 peserta. “Mereka yang merasa tidak cocok akan terseleksi oleh alam,” jelas Sudiarto Dari kegiatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan output kader muda yang handal dan dapat mengatur waktu dengan baik. “Alumni reporter di sini 90 persen sudah berhasil,” pungkasnya. (Emir)i.(LINA MEZALINA). (KHUSNUL/ANDINI)
Dies Natalis Unesa ke-50
Seminar Revolusi Mental Pendidikan
M
endekati Dies Natalis Unesa ke-50, berbagai kegiatan besar banyak diadakan. Begitu pun dengan kegiatan yang bertajuk “Pendidikan seba gai Akselerator Revolusi Mental”, Kamis (20/11/2014). Kegiatan tersebut me ru pa kan salah satu kegiatan besar Unesa yang bertempat di Gedung Wiyata Mandala lan tai 9 Unesa Lidah Wetan, P3G Unesa. Ber dasarkan ujaran Dekan FBS Prof. Dr. Setya Yuwana, M.A., kegiatan yang diketuai oleh Dr. Budinuryanta Yohanes, M.Pd. tersebut
sebenarnya adalah kegiatan Unesa, tetapi dilaksanakan oleh beberapa dosen dari FBS. “Ya, kebetulan yang usul kegiatan tersebut adalah saya,” ujarnya menandaskan. Sekitar pukul 08.00 WIB, kegiatan ter sebut dimulai. Kegiatan yang ber lang sung sampai sekitar pukul 15.00 WIB itu terbagi atas tiga sesi. Tujuannya un tuk merumuskan kebijakan strategis pe nerapan revolusi mental dalam pendidikan dan kebudayaan. Atas dasar pertimbangan tersebut, tema utama dibagi lagi dalam 3
subtema sebagai berikut: 1. Revolusi mental dalam pandangan para pendiri dan guru bangsa; 2. Revolusi mental dalam kebijakan pengembangan pen didikan nasional; 3. Revolusi mental dalam strategi kebudayaan nasional. Panitia mengundang beberapa tokoh na sional sebagai pembicara inti dalam seminar tersebut. Namun, karena beberapa tokoh nasional terkendala dengan kegiatan lain sehingga berhalangan hadir. (YUSUF/HUDA)
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 17
LENSA UNESA
MoU Unesa dengan SIS Group of Schools
S
Sebagai universitas yang unggul dalam kependidikan dan kukuh dalam keilmuan, Unesa menjadi acuan Singapore International of School (SIS) Group of Schools untuk menjalin kerja sama. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Unesa dengan SIS Group of Schools telah dilaksanakan Senin (24/11/2014) di Ruang Sidang lantai 2 Gedung Rektorat Unesa. Acara penandatanganan MoU itu dihadiri oleh Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor Unesa), Jaspal Singh Sidhu (Co Founder and CEO of SIS Group of Schools), Haifa Segeir (Legal and Compliance Director SIS Group of Schools), Christopher Brian Toomer Academic Director SIS Group of Schools), para Pembantu Rektor Unesa yakni Dr. sc. agr. Yuni Sri Rahayu (Pembantu Rektor I), Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (Pembantu Rektor II), Dr. H. Ketut Prasetyo, M.S. (Pembantu Rektor III), Prof. Dr. Djodjok Soepardjo M.Litt. (Pembantu Rektor IV). Selain itu, hadir pula Prof. Dr. Suyono, M.Pd. (Dekan FMIPA), Drs. Budiarso, S.H., M.M. (Kepala BAU & K), dan Dra. Hj. Hertiti Setyowati (Kepala BAAKPSI). SIS Group of Schools adalah sebuah sekolah internasional yang memiliki 8 kampus di seluruh Indonesia. Sekolah itu untuk siswa dari Taman Kanak-kanak hingga kelas 12 (JC2) berdasarkan kurikulum internasional. “Sekolah bermutu itu bukan karena fasilitasnya, melainkan karena guru pendidiknya yang kreatif,� ujar Jaspal Singh Sidhu. (KHUSNUL/SURYO/SR)
18 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
LENSA UNESA
Peningkatan Kemampuan Pelatihan Jurnalistik tingkat lanjut dilakukan Humas Unesa untuk meningkatkan kemampuan Tim Reporter. Usai menjalani pembekalan dan praktik materi, peserta juga diajak outbond guna meningkatkan soliditas tim dalam bekerja sama. Acara ini digelar di Trawas pada 21-23 November 2014. Hasilnya, tim siap diterjunkan untuk peliputan pemberitaan website dan majalah Unesa. (AROHMAN)
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 19
KOLOM REKTOR
REVOLUSI MENTAL Revolusi mental bagi mahasiswa harus di maknai sebagai perubahan cara pandang dan berpikir. Mereka harus bangkit untuk memikirkan persoalan-persoalaan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini, dan terus mencari solusi melalui pergulatan intelektual (membaca dan diskusi) yang tidak pernah henti.
I
stilah revolusi mental yang disampaikan oleh Joko Widodo dalam kampanye pen calonan presiden terus mengalir men jadi wacana publik. Wacana ter sebut menjadi tema di berbagai seminar, termasuk seminar yang dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni Unesa pada tang gal 20 November 2014 dalam rangka Dies Natalis ke 50 Unesa. Berbagai tafsir tentang revolusi mental disampaikan oleh para ahli sesuai dengan kontek dan bidangnya ma sing-masing., termasuk dalam konteks pen didikan. Istilah revolusi memiliki pengertian peru bahan secara mendasar yang berlangsung secara cepat. Dan istilah ini biasanya dikait kan dengan perubahan dalam sistem po litik, atau sosial, seperti revolusi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1945. Hanya dalam waktu satu hari yaitu pada tanggal 17 Agus tus 1945, telah terjadi perubahan yang sa ngat mendasar dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang bebas dan merdeka, serta berdaulat. Namun ketika kata revolusi ter sebut dikaitkan dengan mental, sering men jadi pertanyaan apakah perubahan men tal bisa dilakukan dengan cepat dan mendasar. Meskipun demikian, perubahan yang mendasar dan cepat dalam hal mental itulah yang diharapkan oleh presiden Joko Widodo. Jika itu yang dikehendaki, persoalan yang mendasar adalah apakah mentalitas bangsa Indonesia sudah benar-benar buruk, sehingga harus dilakukan revolusi. Jika kita cermati, mentalitas bangsa Indo nesia memang dalam kondisi yang buruk yang tampaknya harus segera diubah secara
20 |
cepat. Koentjaraningrat, dalam penelitiannya yang dilakukan tahun 60-an, menyatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki mental pe nerabas, yang ingin serba instan/cepat. Mental penerabas ini memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu dampaknya ada lah perilaku korup. Mental penerabas meng indikasikan adanya perilaku yang melang gar/menyimpang dari aturan, norma yang ber laku, dan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Saat ini mental penerabas justru semakin merajalela, baik di kalangan elite bangsa, masyarakat, bahkan juga di ka langan mahasiswa. Di kalangan elite, korupsi terus berlang sung, bahkan orang merasa tidak malu lagi untuk melakukankan tindakan korupsi. Ini bisa dibuktikan dengan pelibatan anggota keluarga dalam korupsi, seperti yang dila kukan oleh para elit birokrasi maupun elite politik. Ada korupsi yang dilakukan oleh suami istri, bahan ada satu keluarga yang terlibat dalam korupsi. Bahkan wa c ana korupsi tidak lagi menjadi hal yang meng ganggu dalam kehidupan mereka. Mereka justru menikmati hasil-hasil korupsi terse but dengan menunjukan gaya hidup yang hedonis dan materialis, tanpa ada rasa malu. Bahkan anak-anak koruptor pun tidak lagi merasa malu dan risih dalam pergaulan de ngan teman-temannya. Mental penerabas ini juga bisa dilihat ke tika ada pembagian jatah, apakah itu uang atau barang, seperti Raskin, Bantuan Tunai Lang sung atau apapun namanya. Ketika terjadi pembagian seperti itu, hampir semua
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
Oleh Prof. Warsono orang memiskinkan diri lalu berebut jatah. Mereka tanpa merasa malu dengan yang benar-benar miskin, padahal mereka tahu bah wa sebenarnya tidak layak menerima jatah. Mereka yang seperti ini (yang kaya me rasa miskin) ini jelas memiliki mental miskin, bukan orang miskin. Banyaknya orang yang bermental miskin juga menjadi penyebab perilaku korup. Orang-orang yang bermental miskin ini, jika diberi kekuasaan akan cende rung korup. Selain mental miskin, di kalangan masya rakat kita masih banyak yang malas. Mere ka cenderung membuang-buang waktu ha nya untuk melakukan hal-hal yang tidak ber manfaat. Mental malas ini juga pernah di sampaikan oleh S Hussin Alatas. Mental malas yang menyebabkan bangsa ini tidak maju, karena akan kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki etos kerja yang tinggi. Mental malas ini bisa kita saksikan di sekitar kita, bagaimana masyarakat menggunakan waktu, berapa jam waktu yang mereka gunakan untuk ke giat an produksi. Dalam setiap pertemuan, hampir tidak ada yang dimulai tepat waktu. Sebagian besar molor dari jam yang telah ditentukan, bahkan molornya bukan hanya dalam hitungan menit, tetapi bisa dalam hi tungan jam. Dengan ketidaktepatan waktu sesuai dengan yang telah direncanakan, jelas akan ada waktu yang tebuang secara sia-sia. Di kalangan mahasiswa juga tampak adanya mental pemalas dan penerabas. Di kalangan mahasiswa yang muncul adalah men tal malas dalam berpikir. Berpikir me rupakan proses untuk menjawab per
KOLOM REKTOR ta nyaan, sehingga orang yang berpikir ditandai dengan munculnya pertanyaan. Men tal malas berpikir terlihat dalam setiap perkuliahan. Pada saat kuliah, hanya berapa banyak mahasiswa yang bertanya. Rendahnya rasa ingin tahun yang diformu lasikan dalam bentuk pertanyaan ini mem bawa dampak pada rendahnya tingkat baca. Hal ini juga bisa dibuktikan bahwa dengan rendahnya tingkat kunjungan ma ha siswa ke perpustakaan. Perpusakaan sebagai tempat menyimpan “harta keka yaan” intelektual yang tidak ternilai, jarang dikunjungi. Rata-rata mahasiswa ha nya datang ke perputakaan kurang dari sekali dalam satu semester. Ini artinya ada mahasis wa yang sama sekali tidak pernah datang ke perpustakaan dalam satu semester. Mental penerabas di kalangan mahasiswa te cermin dalam perilaku menyontek saat ujian, mengopypaste suatu tulisan dalam menyusun makalah. Keinginan untuk lulus tanpa disertai dengan usaha untuk belajar dengan tekun. Mereka belajar dengan sistem kebut semalam, padahal banyak waktu yang mereka sia-siakan. Coba kita perhatian, apa yang mereka lakukan ketika di kampus, apakah mereka menggunakan waktu untuk hal-hal yang berkaitan dengan tugas mereka (belajar), atau lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak ada kaitan nya dengan tugas mereka sebagai ma hasiswa. Membaca dan diskusi yang sebe narnya menjadi bagian dari kegiatan ma ha siswa sehari-hari, rasanya sudah jarang di temui di kalangan mahasiswa Unesa. Bu ku yang seharusnya menjadi simbol pres tesius mahasiswa jarang kita lihat di kampus. Gambaran mahasiswa yang selalu membawa buku-buku teks sebagai bahan bacaan utama, sulit kita temukan di kampus. Memang buku sebagai sumber informasi (ilmu) sekarang sudah bisa diakses le wat dunia maya. Mahasiswa tidak lagi harus membawa buku atau datang ke per pus takaan, cukup membawa laptop, atau HP sudah bisa mengakses berbagai informasi, termasuk jurnal ilmiah. Tetapi pertanyaannya adalah apakah hal itu juga dilakukan oleh mahasiswa. Kalau kita amati, mahasiswa lebih banyak menggunakan waktu untuk ngrumpi daripada diskusi, lebih banyak mem buka media sosial, daripada jurnaljurnal ilmiah. Kebanggaan para mahasiswa le bih banyak ditunjukan pada status formalnya daripada esensi dan peran. Me re ka lebih bangga dengan menyandang sta tus sebagai mahasiswa tanpa disertai
tang gung jawab peran intelektualnya. Esensi mahasiswa adalah orang intelektual yang lebih mengedepankan akal sehat dan kemampuan analisis. Mereka lebih meng e de pankan gerakan-gerakan fisik da ripada gerakan intelektual dengan menyumbang kan pikiran-pikiran cerdas untuk pemba ngunan bangsa. Untuk mempertegas status mahasiswa se bagai intelektual yang haus akan ilmu pengetahuan, perlu dibangun suatu mitos, bahwa belum disebut oleh mahasiswa jika belum membaca buku-buku yang mutakhir
“
Mahasiswa harus melakukan perubahan orientasi ke ranah pengemba ngan intelektual sebagai wujud revolusi mental, sehingga mampu menjadi agen peru bahan intelektual. dalam bidang ilmunya masing-masing. Saya masih ingat ketika menjadi mahasiswa tahun 80 an, di universitas Gadjah Mada, berlaku semacam hukum normatif yang menjadi kesepakatan secara moral di kalangan mahasiswa, bahwa belum disebut sebagai mahasiswa kalau belum membaca buku-buku New Left tulisan para pemikir, seperti Ardorno, Herbert Marcuse, Derrida. Buku-buku tersebut menjadi rebutan ma ha siswa untuk dibaca.Memang untuk mem baca buku-buku tersebut mereka tidak harus membeli sendiri, tetapi dengan cara meminjam dari teman-teman secara ber giliran. Mereka mengantri untuk bisa mem baca buku tersebut. Bagi mereka yang tidak tahan mengantri pinjaman dari teman, datang ke perpustakaan untuk membaca buku-buku tersebut. Oleh karena itu, perpustakaan setiap hari selalu ramai di kunjungi oleh mahasiswa yang ingin membaca buku. Mahasiswa harus melakukan perubahan orientasi ke ranah pengembangan intelektual
sebagai wujud revolusi men tal, sehingga mampu menjadi agen pe ru bahan dengan menawarkan konsep pembangunan sebagai hasil kajian intelektual. Jika kita tengok sejarah Indonesia para pe muda dan mahasiswa telah menjadi agen perubahan. Lahirnya Budhi Utomo tahun 1908 yang kemudian dikenal sebagai tahun kebangkitan nasional, dipelopori oleh para mahasiswa. Mereka memiliki kesadaran akan kondisi bangsa yang terjajah,yang kehiilangan harkat dan martabat. Mereka juga menyadari tantangan yang harus di hadapi, yaitu penjajah yang memiliki ke kuatan persenjataan, dan ekonomi. Proses selanjutnya bisa kita lihat pada tahun 1928, yang melahirkan sumpah pemuda, sebagai suatu langkah awal untuk mencapai cita-cita yaitu kemerdekaan. Dan pada tahun 1945, para mahasiswa antara lain, Soekarno, Hatta, Syahrir, mampu melahirkan Kesadaran ini dibangun melalui suatu proses berpikir yang mendalam, sehingga bisa mengindentifikasi permasalahan yang ada dan bisa menemukan solusi untuk mengatasi masalah. Pemikiran mereka dibangun dan diasah melalui kegiatan diskusi dan per de batan dalam rangkan mencari solusi permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, meskipun mereka masih berusia muda telah matang secara intelektual, sehingga mampu dan siap menjadi pemimpin bangsa yang tangguh. Revolusi mental bagi mahasiswa harus dimaknai sebagai perubahan cara pandang dan berpikir. Mereka harus bangkit untuk me mikirkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini, dan terus mencari solusi melalui pergulatan intelektual (membaca dan diskusi) yang tidak pernah henti. Kesadaran akan kondisi bang sa dan membangun bangsa ke depan harus te rus ditumbuhkembangkan. Kepentingan in dividu yang hanya berorientasi kepada hal-hal yang materialis dan hedonis harus diganti dengan idealisme-rasional untuk ke pentingan bangsa dan Negara. Sebagai ba han untuk melalukan revolusi mental, apakah kita telah siap untuk menghadapi masyarakat ekonomi asean (MEA) yang sudah di depan mata? Apakah para mahasiswa sadar bahwa ada tantangan yang akan dihadapi? Dan apakah mereka sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan tersebut? Jika jawabannya belum, maka para mahasiswa harus segera melakukan revolusi mental, melaluikan perubahan orientasi pemikiran ke arah sana. Selamat melakukan revolusi mental !!!.. n
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 21
INSPIRASI ALUMNI
Farhan Efendi, Senior Editor Executive Harian Surya
BIAYA SEKOLAH DARI USAHA WARUNG KOPI
Farhan Efendi merupakan mahasiswa IKIP Surabaya angkatan 1985. Ia terbilang cukup lama meng habiskan waktu kuliah, yakni enam tahun. Keterlambatan lulus itu, karena selain kuliah, Farhan, demikian panggilan akrabnya, harus berjibaku mencari tambahan biaya untuk hidup dan kuliah.
K
ehidupan Farhan memang pe nuh liku. Ketika baru kelas tiga SD, Farhan sudah merasakan kehilangan sang ibu. Setahun kemudian, atau saat ia duduk di kelas empat SD, giliran sang ayah yang me nyusul ibunya menghadap sang Khaliq. Kehilangan kedua orang tuanya di usia anak-anak, tentu bukan persoalan mu dah. Farhan kecil harus terbiasa me nyambung hidup sendiri meskipun ia memiliki tiga saudara. “Mereka kan juga mencari kehidupan,” tuturnya menge nang. Lulus dari bangku SD, laki-laki asal Lamongan itu, lantas merantau ke Su rabaya untuk menyambung kehidupan dan pendidikannya. Beruntung, sang bapak meninggalkan warisan sebuah warung kopi di jalan Gembong Sura baya. Dari usaha warung kopi itulah, Farhan bisa mendapatkan sumber ma ta pencahariaan untuk biaya hidup dan
22 |
melanjutkan pendidikannya. “Di Sura baya, saya melanjutkan pendidikan di SMPN 8 Surabaya. Kalau pagi sekolah, siang pulang sekolah berjualan ko pi,” terang Farhan. Lulus SMP, Farhan melanjutkan se kolah ke SMA Muhammadiyah di Ka pasan Surabaya. Farhan berusaha se kuat tenaga untuk tetap melanjutkan pendidikan meskipun kehidupannya penuh tantangan. Ia berprinsip bagai manapun tantangannya pendidikan for mal haruslah dimiliki untuk be kal ke hidupannya nanti. Semangat yang membuncah itulah yang semakin men do rong Farhan bersemangat sekolah meski harus dilakukan dengan kerja ke ras. Sederet pekerjaan kasar pun pernah ia lakukan seperti menjadi kuli bangun an, kernet, hingga tukang batu. ***
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
FARHAN mengaku pada mulanya tidak memiliki cita-cita dan menjalani kehidupan mengalir apa adanya. Meski de mikian, ia termasuk orang punya obsesi dan keinginan sangat kuat. Far han juga termasuk siswa yang sulit di a tur oleh gurunya. Ia menceriytakan, ketika ada pendaftaran masuk ke per guruan tinggi, Farhan memilih perguru an tinggi dan jurusan secara asal-asalan. Ia pernah memilih jurusan Teknik Nuklir di Universitas Gajah Mada (UGM). “Kare na pilihannya asal-asalan, ya nggak dite rima,” ungkapnya sembari tertawa. Pada pendaftaran berikutnya, Farhan mulai serius. Ia memilih universitas dan jurusan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Ia memilih IKIP Sura baya dengan dua pilihan, yakni jurusan Sejarah dan jurusan Bahasa Indonesia. Pilihan itu berbuah keberuntungan. Far han pun berhasil masuk ke IKIP Suraba ya jurusan Sejarah.. “Saya ingat waktu
INSPIRASI ALUMNI
SUKSES: Farhan Efendi (kanan) selaku Senior Editor Executive Harian Surya tengah memberikan cinderamata kepada tamu redaksi yang berkunjung ke kantor koran Surya. [DOK SURYA}
itu mengisi formulir di masjid Blutong,” kenangnya. Secara akademis, Farhan tidak me miliki hambatan dalam menjalani per kuliahan. Ia dikenal cukup dekat dengan para dosen. Selain kuliah, Farhan pun aktif di organisasi kemahasiswaan, yakni di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) dan menjadi anggota Him punan Mahasiswa Islam (HMI) meskipun tidak begitu aktif. Semasa kuliah, Farhan terbilang aktif. Ia cukup sering menjadi pembicara da lam beberapa seminar. Bersama lima te mannya, ia mendirikan majalah internal Jurusan Sejarah yang diberi nama Histo ria. “Saya kan jurusan Sejarah, masa gak punya peninggalan?” ujarnya sembari tersenyum. Menekuni Dunia Menulis Kecintaan Farhan terhadap dunia tu lis-menulis sudah dirasakan sejak SMA.
Kebetulan, ia sangat senang membaca. Ia pun menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan untuk bias dimuat di surat kabar. Beberapa kali mencoba mengirimkan tulisan berupa cerpen ke media, akhirnya bias dimuat di koran Jayakarta. “Cerpen yang dimuat itu me rupakan cerpen ke-49 dari semua cer pen yang pernah saya kirimkan ke me dia,” terang Farhan. Kegemarannya menulis terus diba wa hingga ia kuliah di IKIP Surabaya. Ia semakin meningkatkan kemampuan dalam menulis. Ia sering mempublika sikan tulisannya di koran kampus seperti Gema dan majalah ilmiah. Waktu itu, satu tulisan yang dimuat di Gema akan mendapatkan honor sebesar lima sam pai sepuluh ribu. Sementara kalau di muat di majalah universitas, satu tulisan mendapat honor tiga puluh ribu. “Kalau tulisan saya dimuat di majalah dua kali, tu sudah cukup untuk membayar uang
kuliah dan biaya hidup. Karena waktu itu biaya kuliah sekitar tiga puluh ribu saja,” ujarnya. Tak hanya di media kampus, Farhan juga mulai mempublikasikan tulisannya di berbagai koran dan majalah. Saat itu, koran yang cukup terkenal adalah ha rian Surabaya Post yang terbit setiap sore hari dan Jawa Pos yang terbit setiap pa gi. Seminggu sekali, Farhan mendapat space khusus sebesar seperempat ha la man di koran Surabaya Post untuk membahas masalah musik dan band. Ia mengisi space itu sejak tahun 1987 hing ga tahun 1988. Meski banyak menulis, Farhan tidak per nah berpikir untuk membukukan tulisannya. Ia juga tidak suka mengikuti lomba-lomba menulis. Waktu itu, yang penting bagi dirinaya adalah menulis dan mendapat uang untuk biaya hidup dan kuliah. Selain sibuk kuliah dan menulis di
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 23
INSPIRASI ALUMNI ber bagai media, tahun 1990 hingga 1991, Farhan bekerja sebagai reporter sekaligus penyiar di radioa Panorama FM. Di radio itu, ia memegang berita-berita mengenai artis. Rutinitas pekerjaan itu, membuat ia sering bertemu para artis. Paling sedikit, dua kali dalam seming gu. Sebagai penyiar radio, Farhan se dikitk memberikan terobosan berbeda dengan menyelipkan ilmu-ilmu penge tahuan untuk menambah wawasan pe mirsa setiap kali siaran. Farhan semakin berani mengambil berbagai tantangan dalam kehidupan. Meskipun semua anggota keluarganya berprofesi sebagai guru tapi ia memilih berbeda. Ia memilih dunia tulis-menulis. Saat ditanya mengapa tidak mengikuti jejak keluarga yang berprofesi guru, Far han berkata, “yang penting sudah pernah jadi guru satu tahun di SMA Pro bolinggo pada tahun 1992. Jadi sudah cukup.” Lulus dari bangku kuliah tahun 1991, Farhan mendaftarkan diri ke dua perusahaan surat kabar, yaitu ke Surabaya Post dan Surya. Karena memi liki kemampuan dan relasi yang banyak, dua perusahaan penerbitan itu pun sa ma-sama menerima. Namun, dengan berbagai alasan, Farhan akhirnya lebih memilih bekerja di harian Surya. Begitu masuk Surya, Farhan memiliki obsesi untuk meningkatkan oplah dan daya jangkau koran Surya. Jika pa da waktu ia mendaftarkan diri oplah ha nya 30 ribu sampai 40 ribu eksemplar, Far han ingin meningkatkan oplahnya menjadi 100 ribu dan seterusnya. Hal itu dapat dia buktikan dengan oplah koran Surya yang kini sudah mencapai 150 ri bu eksemplar. Seminggu setelah diterima di koran Surya, Farhan menikahi kekasihnya yang sudah bertemu sejak SMA. Namun, tak la ma setelah pernikahannya, Farhan dipindahtugaskan ke Sumenep untuk mencari berita berkaitan dengan politik. Kemudian, pada tahun 1994, Farhan di tugaskan ke Jakarta untuk mencari beri ta tentang politik lagi. Tahun 1997, ia ba ru kembali ke Surabaya hingga saat ini.
24 |
"
Meski banyak menulis, Farhan tidak pernah berpikir untuk membukukan tulisannya. Ia juga tidak suka mengikuti lomba-lomba menulis. Waktu itu, yang pen ting bagi dirinaya adalah menulis dan mendapat uang un tuk biaya hidup dan kuliah.
Selama bekerja di koran Surya, Far han mengaku tidak memiliki cita-cita le bih meskipun keinginan itu tetap ada. Farhan lebih suka menikmati kehi dupannya dengan mengalir. Yang ter penting baginya selalu mengukur ka pasitas dirinya, dan kapasitas itu sendiri nanti akan diukur oleh pemimpinnya. Tahun 2004, Farhan mulai mendu duki jabatan di Redaksi Koran Surya. Ia diberi jabatan sebagai Redaktur Pelak sana hingga tahun 2007. Tahun 2011, ia diberi jabatan sebagai Wakil Pemimpin Redaksi hingga awal tahun 2014. Saat menjabat sebagai Wakil Pemimpin Re daksi itulah Farhan kembali melakukan trobosan terbaru. “Karena Pemimpin Redaksi ada di Jakarta maka saya mengadakan tro bosan di sini. Saya membidik pembaca perempuan dan anak muda. Alasannya sederhana, karena perempuanlah yang menentukan belanja keluarga dan karena pemudalah yang akan meng gantikan orang tua yang sudah seben tar lagi pensiun. Itulah kenapa kemu dian ada kolom YouGen, Be Creative, Parenting, dan lain-lain,” kata bapak dari enam anak itu. Setelah menjabat sebagai Wakil Pe mimpin Redaksi, Farhan menjabat se bagai Senior Editor Executive. Ia dilantik
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
pa da bulan Agustus 2014 kemarin. Dengan jabatan itu berarti Farhan ber tugas dengan “dua kaki”. Di satu sisi, ia harus menjembatani antara bagian redaksi dengan bagian bisnis. Ba gai mana agar orang-orang redaksi dapat memahami orang-orang bisnis. Begitu pun sebaliknya, bagaimana agar orangorang bisnis dapat memahami orangorang redaksi. Sementara itu, saat ini, melalui posi sinya, Farhan berupaya membaca pasar dan mulai membangun website koran Surya. “Website ini akan menjadi rumah kita jika koran cetak sudah tidak mampu bertahan,” jelasnya. Selalu berpandangan bahwa hidup ini keras sehingga dalam menjalani ke hidupan ini tidak hanya santai-santai saja. Justru kalau hidup ini dianggap ri ngan-ringan saja, itu yang berbahaya. De mikianlah prinsip yang selalu di pegang Farhan hingga menemukan kesuksesannya. (SYAIFUL RAHMAN).
SEPUTAR UNESA Arsiparis Unesa
Terpilih Menjadi Pengurus AAI Wilayah Jatim
A
rsiparis Unesa semakin me nun juk kan eksistensinya. Dalam rapat ko ordinasi bidang kearsipan dan pe ngukuhan pengurus Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI) wilayah Jawa Timur yang digelar Badan Perpustakaan dan Kearsipan (Bapersip) Provinsi Jawa Timur pada 17—18 November 2014 di Hotel Narita Surabaya, Arsiparis Unesa terpilih menjadi pengurus bidang teknis kearsipan Ketua AAI Jawa Timur, Drs. Tidor Arif Triono Djati, M.M dan 36 pengurus lain di lantik dan diambil sumpahnya sebagai Pe ngurus AAI Wilayah Jawa Timur Periode 2014—2019. Pelantikan dilakukan oleh Ketua Umum Pengurus Nasional AAI Dr. H. Andi Kasman, S.E., M.M, disaksikan Se kretaris Jenderal AAI Drs. Bambang Iwan, M.Hum., Kepala Bapersip Provinsi Jawa Timur Drs. Sudjono, M.M., para pejabat/
undangan dari SKPD Provinsi Jawa Timur, SKPD Kabupaten/Kota di Jawa Timur, dan BUMN serta dari beberapa perguruan ting gi di Jawa Timur. Kepengurusan AAI Wilayah Jawa Timur dibagi menjadi enam bidang yaitu: bidang hukum dan organisasi, bidang kajian dan publikasi, bidang teknis kearsipan, bidang sumber daya manusia, bidang kerja sama, dan bidang kesejahteraan. Sementara itu, Arsiparis Unesa Djoko Pramono, S.Pd., M.Si. terpilih menjadi pengurus bidang teknis kearsipan. Selain pengukuhan, juga dilaksanakan kegiatan yang meliputi: penyampaian pa paran tentang kebijakan legislasi kearsipan pemerintah provinsi Jawa Timur oleh Ke pala Bapersip Provinsi Jawa Timur, kebi ja kan legislasi kearsipan nasional pasca pem bentukan pemerintahan baru tahun
2014—2019 oleh Ketua Umum Pengurus Na sional AAI, dialog interaktif masalah kearsipan oleh TVRI Jawa Timur yang di pandu Suko Widodo, M.A dari Universitas Airlangga, serta pemaparan dan diskusi dua peraturan kearsipan. Menanggapi terpilihnya arsiparis Une sa dalam kepengurusan AAI Wilayah Jawa Timur, Djoko Pramono mengatakan, “Mes kipun kearsipan Unesa, masih dalam taraf perintisan tetapi kami para insan kearsipan Unesa sering menjalin hubungan dengan ber bagai pihak. Hubungan yang pernah kami jalin di antaranya dengan kearsipan beberapa PTN, kearsipan Kemendikbud, Lembaga Kearsipan Daerah, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), AAI Nasional dan Jawa Timur. Kami perlu banyak belajar ke berbagai pihak demi terwujudnya kear sipan Unesa yang lebih baik.” (DJOKO PRAMONO)
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
Gagas Kurikulum Sastra Indonesia Berbasis KKNI “Penyamaan persepsi tentang prodi, mulai dari kurikulum hingga implementasinya sehingga lulusan Sastra Indonesia sekurang-kurang memiliki kompetensi yang kurang lebih sama di mana pun mereka berkuliah di seluruh Indonesia.” [Jack Parmin, M. Hum]
P
rogram Studi Sastra Indo nesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI) Unesa menjadi salah satu peng gagas Forum Studi Sastra In donesia, Rabu (19/11/2014). Ke giatan itu berlokasi di gedung per temuan Poerbatjaraka FIB Universitas Gadjah Mada dan di hadiri oleh 18 perguruan tinggi; Universitas Gadjah Ma da (UGM), Universitas An da las (Unand), Universitas Indo
nesia (UI), Universitas Ne geri Jakarta (UNJ), Universitas Pen didikan Indonesia Bandung (UPI), Universitas Jenderal Soedirman Jawa Tengah (Un soed), Universitas Negeri Yog yakarta (UNY), Universitas Se be las Maret Surakarta (UNS), Uni versitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD), Uni versitas Diponegoro Semarang (Undip), Universitas Udayana
Bali, Universitas Bengkulu, Universitas Hasanuddin (Un has), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Negeri Sur abaya (Unesa), Universitas Ne geri Malang (UM), dan Universi tas Negeri Jember (Unej). Dua orang delegasi yang hadir sebagai perwakilan da ri Unesa adalah Jack Par min, M. Hum. dan Anas Ah ma di, M. Pd. Jack Parmin, M. Hum, Sekretaris Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia men jelaskan, pertemuan itu di mak sudkan untuk bertukar pikiran dalam pengembangan Prodi Sastra Indonesia terma suk kemungkinan pem ben tukan Asosiasi Prodi Sas tra Indonesia. “Pertemuan ini untuk menyikapi akan diberla ku kannya kurikulum berbasis KKNI secara nasional pada
ta hun 2015. Pertemuan ini sebagai langkah awal utamanya demi kepentingan prodi sastra Indonesia se Indonesia. Hasil akhir dari pertemuan ini adalah untuk mencoba menyamakan persepsi tentang banyak hal yang berkaitan dengan prodi sastra Indonesia,” ujarnya. Pria kelahiran Jombang itu juga menambahkan, semua Prodi Sastra Indonesia harus me miliki pandangan yang sama dalam segala aspek. “Pe nyamaan persepsi tentang pro di, mulai dari kurikulum hingga implementasinya sehingga lu lusan Sastra Indonesia se ku rang-kurang memiliki kom pe ten si yang kurang lebih sama di ma na pun mereka berkuliah di seluruh Indonesia,” tambahnya. (RUDI)
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 25
KABAR SM-3T CATATAN DARI MONEV SM3T SUMBA TIMUR
PAUD Amanah, Supported by SM-3T OLEH Luthfiyah Nurlaela [Koordinator SM3T Unesa]
PAUD AMANAH: Itulah salah satu sumbangsih program SM-3T di Pulau Salura, Sumba Timur. Kami berfoto bersama di depannya.
T
ulisan seperti judul di atas menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya.
26 |
Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Alquran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya. Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anakanak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu
KABAR SM-3T atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Gurugurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS, namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam. Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya. “Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?” Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit? “Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan.” Jelas Panca. Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat.
“Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit.” Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya. Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu. Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka. Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini. Kepala sekolah SMP, Bapak Heri,
DISAMBUT MERIAH: Tim Monev SM-3T untuk Sumba Timur disambut meria oleh anakanak PAUD Pulau Salura.
merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun. Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD. Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 27
KABAR SM-3T Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anakanak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masingmasing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah. Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat
28 |
GEMBIRA: Anak-anak PAUD dan peserta SM-3T saat kunjungan monev di Salura, Sumba Tmur. Dengan bantuan ini diharapkan anak PAUD setempat bisa belajar dengan baik.
dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada. Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawankawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014). Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju. Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah. Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang Mereka berdendang dan menari bersama Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang Oh, indahnya Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...n (MAN)
JATIM MENGAJAR GENERASI ISLAMI: Anak-anak desa setempat tengah belajar Alquran di musalah. Selain belajar formal di sekolah, mereka juga belajar non-formal di tempat ibadah ini.
LAPORAN JATIM MENGAJAR (BAGIAN 3)
Akhirnya Paham Budaya Lokal n oleh Muhtar Anas
Serunya mendapat tugas mengajar di daerah ‘pedalaman’ dalam Program Jatim Mengajar, program hasil kerja sama Unesa dan YDFS, mencatatkan pengalaman tersendiri bagi peserta, khususnya pengalaman budaya setempat. Seperti pengalaman Muhhtar Anas di Lamongan, berikut ini, yang merupakan bagian akhir dari tulisannya.
K
etika sampai di halaman se kolah, aku mendengar teri akan 'satpam 'tanpa gaji itu, walau posisiku masih be rjarak 100 meter dari kamar mandi sekolah. Dengan langkah yang mulai melambat, aku berusaha mencapai kamar mandi. Dan suara itu semakin keras saja. Hingga akhirnya keluarlah sang majikan. “Maaf, Pak. Ini saya Pak Guru. Saya ingin ke kamar mandi.” Karena sekitar sekolah tidak ada penerangan, saya harus menunjukkan siapa saya kepa
da bapak itu. Meskipun dengan suara yang terbata. Cam pur antara tidak terbiasa berhadapan dengan anjing juga menahan keadaan yang terjadi pada perut saya. “Oh, Pak Guru. Tidak apa-apa, Pak Guru. Silakan maju saja terus.” Kata bapak itu. “Bagaimana saya harus me lan jutkan langkah saya. sedangkan pi araannya saja terus menggongong seperti curiga jika saya hendak me ngambil jatah makannya,” saya ha nya bisa menggerutu dalam hati.
Hingga akhirnya sang pemilik meng halau anjingnya agar segera pergi. Hal itu pun masih saja terjadi ketika aku menyelesaikan urusanku. Aku pun hanya bisa berjalan selang kah demi selangkah sampai menjauh dari tempat itu agar tidak membuat anjing semakin curiga. Dan ternyata hal serupa hampir saja terjadi ke esokan harinya. Waktu it u pagi hari. Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB. Hari pun belum begitu terang. Namun ka rena isi perut sudah bergejolak, aku pun
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 29
JATIM MENGAJAR tidak ingin hal memalukan ter ja di. Aku bergegas menuju sekolah, ka mar mandi menjadi tujuan utama. Sebelum aku benar-benar sampai di halaman sekolah, satpam sensitif itu sudah mulai beraksi. Tak pelak, suara gonggongannya menghentikan langkahku. Aku ber balik arah. Aku berhenti di depan salah satu rumah warga yang diterangi lam pu jalan. Aku harus menunggu sampai pa gi benar-benar tiba. *** RINTIK hujan belum juga reda. Namun suara ketiga anak yang se dang bermain di sepetak sawah se makin riang meski waktu sudah me nunjukkan pukul 15.30 WIB. Tak di hiraukan orang-orang berlalu-lalang, mes ki tubuh mereka kuyup akibat guyuran air hujan. Bahkan salah satu dari mereka dengan nyamannya ber te lanjang dada dengan lumpur di beberapa bagian tubuhnya. Dengan asyik terus saja mereka bermain. Per mainan tradisional yang belum per nah aku lihat sebelumnya. Tiga anak laki-laki tengah asik bermain di tanah yang becek akibat hujan yang mengguyur sejak siang. Dengan sebuah tongkat dari ranting di tangan masing-masing. Salah satu anak menancapkan tongkatnya ke tanah dengan cara dihantamkan se keras mungkin dengan ujung tong kat yang agak runcing. Dua anak yang lain berusaha merobohkan tongkat itu dengan cara melakukan hal yang sama. Siapa yang ber ha sil merobohkan ialah yang men ja di pemenang. Dan ia berhak me nancapkan tongkatnya untuk di ro bohkan lawannya. *** Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Begitu kata peri bahasa. Begitu pula beberapa istilah mengandung makna yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain. Satu maksud mempunyai istilah yang berbeda. Begitu pun sebaliknya,
30 |
Remponan, dari kata dasar rempon. Merupakan istilah yang tabu di daerah asalku. Namun di daerah Lamongan istilah remponan mempu nyai maksud yang berbeda. satu istilah mempunyai maksud yang berbeda. Remponan, dari kata dasar rem pon. Merupakan istilah yang tabu di daerah asalku. Namun di daerah La mongan istilah remponan mempu nyai maksud yang berbeda. Suatu sore, untuk lebih meng akrabkan diri dengan warga sekitar, aku berniat berjalan-jalan di sekitar tempatku menginap. Warga begitu ramah. Saling menyapa dengan yang lain. Merupakan satu ciri khas pen duduk pedesaan. Begitu juga aku, mencoba diri untuk bertegur sa pa dengan beberapa warga yang ber papasan atau warga yang sedang du duk di teras rumahnya. Setelah berkeliling, senja pun tiba. Wak tu menunjukkan pukul 17.15 WIB. Aku segera pulang. Ketika aku lewat di depan satu rumah warga, di sana ada bapak-bapak dan ibu-ibu ser ta beberapa nenek-nenek. Salah seorang dari mereka menyapaku. “Sonten, Pak Guru. Pinarak mriki rumiyen, rempon-remponan mriki ker sane akrab.” (Selamat sore, Pak Guru. Singgah di sini dulu. Rempon-rempo nan di sini, biar akrab) Aku pun tercengang. Apakah aku tidak salah dengar? Masak aku diajak berbuat seperti itu di daerah baru se perti ini? Aku mencoba menolak de ngan sehalus mungkin, karena waktu memang sudah hampir gelap. Siang itu matahari cukup terik. Seperti biasa, udara di daerah Lamo ngan cukup panas. Meski dua hari yang lalu hujan begitu deras. Namun sisa-sisa hujan telah terbakar oleh te riknya matahari.
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
Aku pergi ke sekolah. Lebih te patnya ke kamar mandi sekolah yang menjadi tujuanku. Seperti biasa, aku harus ke kamar mandi sekolah yang ada WC-nya untuk buang hajat. Se lesai urusan ternyata telah ada se orang nenek yang duduk di teras sekolah. Aku pun menyapa. Mencoba un tuk mengakrabkan diri. Kami pun mengobrol. Saling bertanya dan bercerita. Setelah lama kami me ngob rol tiba-tiba lewatlah seorang nenek lain yang rumahnya di sam ping sekolah. Nenek yang sejak tadi mengobrol denganku memanggil kepada nenek yang sedang lewat. “Kene lo, Yu. Rempon-remponan karo Pak Guru. Mari teko endi kon mau?” (Kesini lho, Kak. Rempon-rem ponan dengan Pak Guru. Dari mana kamu tadi?) Dan aku tersenyum simpul men dengar perkataan nenek yang baru saja disampaikan kepada nenek yang sedang lewat. Akhirnya aku paham. Remponan yang dimaksud adalah mengobrol atau bercakap-cakap. Begitu banyak bahasa dan istilah yang dimiliki bangsa Indonesia. Juga budaya dan tradisi. Karena begitu be ragamnya, belajar berbagai bahasa, bu daya dan tradisi merupakan ke harusan. Dengan begitu tercipta ra sa saling menghormati dan saling menghargai setiap perbedaan. Jatim Mengajar telah memberiku kesempatan cukup luas untuk me nambah pemahaman dan pe ngalamanku. Tidak hanya pe nga la man dalam bidang pendidikan, namun lebih luas dari itu. Mengem bangkan pemahaman dan ke sadaranku tentang bagaimana seha rusnya menjadi insan yang lebih baik, lebih ikhlas, dan lebih peduli pada sesama. n (BAGIAN KE-4 HABIS)
ARTIKEL WAWASAN
Pembelajaran Menulis Surat Pembaca dengan Pendekatan Think Pair Share oleh Nanik Sumarlin, S.Pd. Pada hakikatnya pembelajaran bahasa adalah belajar berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan yang tujuannya untuk memperlancar hubungan sosial secara verbal dan nonverbal guna mencapai pemahaman secara universal. Ketika manusia ingin mengungkapkan ide dan gagasannya yang masih tersimpan dalam memorinya, dia membutuhkan keberanian untuk mengekspresikannya dalam bahasa yang bersifat verbal.
K
eberanian menuangkan ide da lam bentuk bahasa yang bersifat verbal dan literal tersebut tidak mu dah dijumpai pada setiap peserta didik. Untuk mengarahkan ide sional siswa yang masih tersimpan da lam memorinya, dibutuhkan sebuah tuntunan dan arahan yang bersifat aktif dari seorang pendidik kepada sis wa nya supaya dapat menyampaikan ide dan gagasanya secara teratur dan ter setruktur terkait berbagai bentuk res pons ide sional mereka baik yang ber sum ber dari kehidupan sosial mereka mau pun ide-ide terkait penyelesaian masalah yang sedang dihadapinya. Pe nuangan ide tersebut dapat diarahkan melalui kegiatan menulis supaya ide dan ga gasannya diketahui oleh masyarakat umum dan sekaligus belajar untuk ber tanggung jawab atas penyampaian ide secara literal. Seseorang yang pandai dan cerdas tecermin dalam bahasa yang diujarkanya dalam kehidupan sehari-hari baik secara literal maupun verbal. Untuk itu, kiranya di rasa perlu untuk mengembangkan potensi siswa yang belum tergali secara mak simal melalui kegiatan menulis. Su parno dan Yunus menegaskan bah wa menulis sebagai suatu kegiatan pe nyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat
dan medianya (2006:1-3). Oleh sebab itu, melalui pembelajaran menulis pa da siswa SMP diharapkan para siswa da pat menyampaikan pesan yang ada dalam pemikiran mereka ke dalam sua tu tulisan. Selain itu, pembelajaran me nulis surat pembaca pada siswa SMP diharapkan sebagai bentuk nyata untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan. Penger tian komunikasi yang dimaksud dalam hal ini adalah proses memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, pe rasaan serta mengembangkan ilmu pe ngetahuan, teknologi, dan budaya. Yang dilakukan oleh individu baik secara priba di maupun kelompok. Terkait dengan ko munikasi yang melibatkan bahasa secara universal, salah satu keterampilan berba hasa yang memiliki perannan penting da lam penguasaan bahasa adalah keteram pilan menulis. Pada kenyataannya, secara umum siswa SMP merasa mengalami kesulitan dalam menuangkan ide dan gagasanya untuk diwujudkan dalam bentuk tu lisan. Hal ini ditunjukkan dengan pen ca paian hasil belajar khususnya pada ke terampilan menulis masih bersifat rendah dibanding dengan keterampilan ber bicara, menyimak, dan membaca. Oleh sebab itu, diperlukan terobosan
untuk menjembatani masalah tersebut. Guru perlu menggunakan strategi pem be lajaran yang mampu merangsang sis wa untuk berlatih menulis dimana siswa bisa menggali sendiri ide dan ga gasan apa yang harus ditulis dan ba gai mana penulisannya, kemudian de ngan rasa percaya diri yang cukup, me ngembangkan sendiri gagasan tersebut men jadi sebuah karya sendiri. Dengan de mikian, diharapkan melalui metode pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang di kombinasikan dengan penggunaan Media Benda Asli (Mediasi) diduga dapat mem bawa siswa mengembari menulis dan dapat sejalan dengan 3 aspek kete rampilan berbahasa lainnya. Metode Think Pair Share (TPS) Metode Think-Pair-Share adalah salah satu model pembelajaran kooperatif. Da lam penerapan metode Think Pair Share mem berikan kepada para siswa untuk berpikir dan merespons serta saling ban tu satu sama lain. Sebagai contoh, se orang guru baru saja menyelesaikan suatu sajian pendekatan para siswa telah selesai membaca suatu tugas. Selanjut nya, guru meminta kepada para siswa un tuk menyadari secara lebih serius menge nai apa yang telah dijelaskan oleh guru atau apa yang telah dibaca. Guru tersebut memilih metode Think-Pair-Share dari
Nomor: 75 Tahun XV - November 2014 MAJALAH UNESA
| 31
ARTIKEL WAWASAN pada metode Tanya jawab untuk ke lom pok secara keseluruhan (wholegroup question and answer). Lyman dan kawan-kawannya menggunakan lang kah-langkah sebagaiberikut: ( 1) Ber pikir (Think): pada tahap ini guru menga jukan pertanyaan atau isu yang terkait dengan pelajaran dan guru mem be ri rangsangan agar siswa berpikir sen diri mengenai jawaban atau isu tersebut dan pada akhirnya menemukan jawabannya. (2) Bepasangan (Pair): Selanjutnya gu ru meminta kepada siswa untuk berpa sangan dan mendiskusikan me nge nai apa yang telah dipikirkan. Interaksi se lama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika suatu pertanyaan te lah diajukan atau penyampaian ide bersama jika suatu soal khusus telah di identifikasi. Biasanya guru mengizinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk ber pasangan. (3) – Berbagi (Share): Pada akhir ini guru meminta pasangan-pasangan ter sebut untuk berbagi atau bekerja sama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka bica rakan. Pada langkah ini akan menjadi efektif jika guru berkeliling kelas dari pa sangan yang satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau sebagian dari pasangan-pasangan tersebut mem per oleh kesempatan untuk melapor. Media Benda Asli (Mediasi) Dalam pembelajaran konvensional guru memegang peranan utama dalam pro ses pembelajaranolah-olah siswa ti dak dimanusiakan sebagai manusia yang telah dibekali kemampuan oleh Tuhannya. Oleh karena itu, pembelajaran selalu berpusat pada guru sehingga ke mampuan siswa dan kreativitasnya se ring terabaikan. Padahal, dalam pembe la jaran yang berbasis pada contextual learning, siswa dituntut lebih aktif me ne mukan temuan-temuan baru yang dapat menjadikan pembelajaran bagi dirinya dan lingkungannya dengan me nyenangkan. Untuk mengarah pada pembelajaran yang bersifat menyenangkan serta akan tercapai pemahaman yang baik diperlu kan adanya media pembelajaran yang mendukung. Salah satu media yang dira sa tepat dalam hal ini adalah media ben da asli, yang dimaksud media benda asli adalah termasuk media yang berupa ben da sebenarnya yang dapat diamati secara
32 |
langsung oleh panca indera dengan cara melihat, mengamati, dan memegangnya secara langsung tanpa melalui alat bantu. Salah satu contoh media benda asli dalam hal ini adalah media benda asli untuk materi menulis surat pembaca adalah koran. Pada kolom surat pembaca siswa dapat menemukan berbagai isu yang terjadi. Surat pembaca merupakan surat yang ditulis oleh pembaca kepada media tentang permasalahan yang ada di lingkungannya, agar dibaca oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dicari solusi yang baik guna pemecahan ma salah. Surat Pembaca berfungsi sebagai: (1) Sebagai alat penyaring bermacam- ma cam pendapat pembaca yang mempu nyai kepentingan umum, dan perlu pula untuk diketahui masyarakat luas; (2) Sebagai sarana demokratisasi, karena isi surat pembaca tidak hanya terbatas pada pernyataan elite penguasa atau pengusaha, tetapi suara rakyat biasa. Se lanjutnya, format penulisan surat pem baca meliputi: (1) Tanggal surat, (2) Alamat surat kabar yang dituju, (3) Perihal, (4) Isi surat, (5) Penutup, (6) Tanda tangan, dan (7) Nama dan alamat pengirim surat Selanjutnya, yang harus diperhatikan adalah ketentuan penulisan surat pem baca, hal ini diatur berdasarkan: (1) Me ngan dung unsur nilai berita, (2) Isinya bisa berupa public service, (3) Jelas per so alannya, bukan sentimen pribadi, (4) Ditulis dengan jelas menggunakan ba hasa yang baik serta mudah dime ngerti, (5) Surat pembaca harus disertai identitas pengirim yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, (6) Jumlah kata sekitar 250 kata, (7) Dikirim ke satu media.
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
Penerapan TPS Mediasi dalam Pembelajaran Menulis Surat Pembaca Tahapan pertama adalah ta ha pan persiapan dengan diawali me nyam paikan kompetensi dasar yang harus dicapai siswa beserta indicator pencapaiannya. Langkah selanjutnya adalah membagi kelompok yang terdiri atas 4 siswa. Untuk tahap berikutnya ada lah tahap think guru membagikan media benda asli yaitu koran kolom su rat pembaca yang dilanjutkan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan surat pembaca. Kemudian siswa diberi waktu lima menit untuk berfikir dan menemukan jawabanjawabannya. Setelah itu siswa diminta un tuk merumuskan ide atau gagasan. Tahap selanjutnya adalah berpasangan (pair), pada tahap ini siswa mendiskusikannya dengan pasangannya, masing-masing mem berikan masukan atau ide serta gagasan dan selanjutnya menghasilkan kesepakatan ten tang ide yang akan ditulis dan menjadi hasil kerja dan tanggung- jawab mereka. Selanjut nya mereka menghasilkan karya berupa ke rangka karangan. Pada tahap selanjutnya kerangka ka rangan tersebut dibawa pada tahap share atau berbagi. Masing-masing pasangan berbagi kerangka karangan dengan pa sangan lain yang akhirnya dirumuskan menjadi hasil kerja kelompok. Dalam ke lom pok mereka menentukan kerangka karangan yang terbaik dan selanjutnya dikembangkan menjadi sebuah paragraf atau karangan, Selamat mencoba! n *Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Baureno-Bojonegoro Jatim
INFO SEHAT
MENGKUDU si Kaya Khasiat
M
engkudu atau pace, kemudu, ku du (Bahasa Jawa) berasal daerah Asia Tenggara, tergolong da lam famili Rubiaceae. Nama lain untuk tana man ini adalah noni (Bahasa Hawaii). Secara tradisional, sebagian masyarakat Aceh menggunakan buah mengkudu se bagai sayur dan rujak. Daunnya juga digunakan sebagai salah satu bahan ni cah peugaga yang sering muncul seba gai menu wajib buka puasa. Karena itu, mengkudu sering ditanam di dekat rumah di pedesaan di Aceh. Selain itu mengkudu juga sering digunakan sebagai bahan obat-obatan. Morinda Citrifolia atau yang biasa kita kenal dengan buah mengkudu atau pace memang telah sejak dahulu dipercaya dapat menyembuhkan ber bagai macam penyakit. Bahkan buah ini disebut-sebut sebagai “Hawai Magic Plant” tumbuhan ajaib dari hawai. Buah yang dahulunya disebut dengan “Noni” ini juga menjadi buah keramat pada tahun 1500 SM oleh bangsa Poline sia. Bangsa tersebut meyakini jika buah mengkudu memiliki banyak manfaat ter sendiri bagi penduduk Polinesia. Manfaat Buah Mengkudu Buah mengkudu memiliki kandungan Senyawa Terpenoid, Zat antibakteri, Asam arkobat, Scopeletin, Zat Anti Kanker, Xe reo nine, serta memiliki nutrisi lengkap yang diperlukan bagi tubuh manusia. Kandungan Buah Mengkudu Zat nutrisi: secara keseluruhan meng kudu merupakan buah makanan bergizi lengkap. Zat nutrisi yang dibutuhkan tu
buh, seperti protein, viamin, dan mineral penting, tersedia dalam jumlah cukup pada buah dan daun mengkudu. Selenium, salah satu mineral yang terdapat pada mengkudu merupakan antioksidan yang hebat. Berbagai jenis senyawa yang ter kandung dalam mengkudu: xeronine, plant sterois,alizarin, lycine, sosium, cap rylic acid, arginine, proxeronine, antra qui nines, trace elemens, phenylalanine, mag nesium, dll. Terpenoid: Zat ini membantu dalam proses sintesis organic dan pemulihan selsel tubuh. Zat antibakteri. Zat-zat aktif yang ter kandung dalam sari buah mengkudu itu dapat mematikan bakteri penyebab in fek si, seperti Pseudomonas aeruginosa, Protens morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Escherichia coli. Zat anti bakteri itu juga dapat mengontrol bak teri pathogen (mematikan) seperti Salmonella montivideo, S. scotmuelleri, S. typhi, dan Shigella dusenteriae, S. flexnerii, S. pradysenteriae, serta Staphylococcus aureus. Scolopetin: Senyawa scolopetin sangat efektif sebagi unsur anti peradangan dan anti-alergi. Zat antikanker: Zat-zat anti kanker yang terdapat pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel abnormal. Xeronine dan Proxeronine: Salah satu alkaloid penting yang terdapt di dalam buah mengkudu adalah xeronine. Buah meng kudu hanya mengandung sedikit xe ronine, tapi banyak mengandung ba han pembentuk (precursor) xeronine ali as proxeronine dalam jumlah besar.
Proxeronine adalah sejenis asam nukleat seperti koloid-koloid lainnya. Xeronine di serap sel-sel tubuh untuk mengaktifkan protein-protein yang tidak aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang aktif. Manfaat Buah Mengkudu Berdasarkan penelitian dari kandungan di dalam buah mengkudu, Buah yang sa tu ini sangat kaya akan manfaat. Berikut beberapa Manfaat buah mengkudu Bagi Kesehatan: • Memperlancar peredaran darah serta memperlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan dengan zat scopoletin yang terkandung didalam bu ah mengkudu. Zat ini juga dapat mem bunuh beberapa varian bakteri , serta bersifat sebagai anti alergi. • Mematikan bakteri penyebab infeksi dan juga sebagai pengotrol bakteri pa tho gen melalui zat anti bakteri yang terkandung didalamnya. • Buah mengukudu juga terbukti dapat melawan penyakit kanker atau sel-sel abnormal melalui zat anti kanker yang terkandung didalam buah tersebut. • Dapat menjadi zat pencegah kanker dan tumor. • Dapat membantu peningkatan daya ta han tubuh. • Mengkudu bisa membantu mengurangi rasa sakit. • Mengatasi peradangan dan alergi. • Meningkatkan daya tahan tubuh. Bagaimana, Anda masih ragu untuk mengonsumsi buah mengkudu yang kaya khasiat ini?. n (MAN/BBS)
Nomor: 74 Tahun XV - Oktober 2014 MAJALAH UNESA
| 33
CATATAN LIDAH
MENGGANTI KEPALA l Djuli Djatiprambudi
L
elaki itu berperawakan kecil. Ia lahir tahun 1869, saat negerinya di ba wah cengkeraman kolonial Inggris. Ia berasal dari kelas menengah di India, yang hidup berkecukupan, dan karena itu bisa mengenyam pendidikan di bidang hukum di London pada awal usianya yang ke20. Gaya hidupnya memperlihatkan gaya kelas menengah terdidik dalam tra disi kolonial Inggris. Bicaranya dengan bahasa Inggris dan gaya pakaiannya dengan setelan jas berdasi, bahkan ke mana-mana mengenakan topi cero bong tinggi. Lelaki ini bernama Gandhi. Ia memang seperti ditakdirkan untuk hadir di dalam sejarah bangsa India. Lelaki yang pada awalnya amat dekat dengan gaya hidup kelas menengah yang serba menjaga penampilan berstandar Eropa. Semua itu ia lakukan semata-mata ingin digolongkan ke dalam masya rakat yang tercerahkan dalam pandangan Ratu Victoria. Tetapi, Gandhi makin menemukan dirinya justru tatkala semua simbolsimbol aristokrasi kolonial Inggris terus-menerus ia kenakan. Pada saat ia berpenampilan macam elite dari kalangan kolonial Inggris, ia makin memper tegas garis batas antara India yang tercerahkan dengan yang tidak. Ia ingin dianggap sederajat dengan orang-orang Inggris. Apa yang dilakukan Gandhi ternyata percuma saja. Ia tetap saja dipandang rendah oleh kalangan elite Inggris. Ia tetap saja digolongkan ke dalam bangsa yang tidak beradab, sekalipun ia berpenampilan dan berpendidikan a la Eropa. Ia masgul kemudian, ketika mendapatkan kenyataan bahwa orang Inggris yang menjajah negerinya, ternyata memperlakukan sesama manusia dengan penuh penghinaan. Kolonial Inggris menghina bangsanya. Inilah yang menjadi titik balik Gandhi kemudian. Lelaki itu lantas mere volusi mentalnya dengan cara menanggalkan segala atribut kelas menengah ala Eropa. Ia memilih mengenakan khadi, kain kasar hasil pintal tangan, untuk membungkus tubuhnya. Dengan cara ini, Gandhi membuka simbol personal menjadi simbol yang mempersatukan berbagai golongan. Khadi akhirnya menjadi simbol pernyataan politik, ekonomi, dan budaya untuk selanjutnya membawa perubahan mendasar bangsa India. Khadi secara tegas mem perlihatkan perubahan tata pikir dan mental, yang semula Eropa sintris men jadi India sentris. Itulah pelajaran sejarah yang bisa dipetik dari bangsa India dengan Ma hatma Gandhi sebagai peletak dasar revolusi mental bangsa India. Dengan khadi sebagai pakaian kebesaran Gandhi, seluruh imajinasi tentang identitas diri (self) sebagai bangsa makin menemukan sosoknya yang tegas. Dengan itu, maka imajinasi, spirit, dan kehendak bersama menuju perubahan besar digulirkan. Dan hasilnya, bangsa India akhirnya memperoleh kemerdekaan dari kolonial Inggris. Revolusi mental seperti yang dicontohkan Gandhi bukan sekadar revolusi omong kosong. Tetapi, revolusi itu berwujud gelombang perubahan yang amat mendasar. Revolusi itu dimulai dari mental. Mental pasif menjadi mental aktif. Mental pesimis menjadi mental optimis. Mental konsumtif menjadi mental produktif. Mental menghamba menjadi menjadi mental mandiri. Mental interior menjadi mental superior. Mental malas menjadi mental kerja. Perubahan macam inilah yang kemudian mengubah wajah India menjadi bangsa yang kini melesat sejajar dengan bangsa China, Korea Selatan, dan Jepang dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.
34 |
MAJALAH UNESA Nomor: 75 Tahun XV - November 2014
Revolusi model Gandhi, secara mendasar memberikan energi kolek tif yang terus-menerus menyala, ka rena Gandhi tidak hanya berucap. Ia terjun memberikan teladan. Ia me lakukan sendiri sebelum orang kebanyakan melakukannya. Karena itu, revolusi model Gandhi juga ber makna revolusi keteladanan. Di da lam keteladanan yang melekat pada diri Gandhi itu, kita seperti diajak membaca historiografi India. Lalu, apa yang sesungguhnya kita inginkan tatkala Bapak Jokowi, kini pre siden kita, menguar-uarkan revolusi mental sebagai jargon utamanya. Bisa jadi gema revolusi mental dari Bapak Jokowi itu dilatarbelakangi oleh sekian banyak paradoks yang mengemuka di negeri ini akhir-akhir ini. Korupsi makin menjadi-jadi, justru ketika negeri ini memiliki Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Dekadensi moral makin merosot ke titik nadir, justru ketika negeri ini dibanjiri kutbah di televisi. Perilaku melawan hukum makin kentara, justru ke tika hukum berusaha ditegakkan tanpa pandang bulu. Si kaya makin rakus, justru ketika si kaya memegang amanah sebagai penguasa. Paradoks semacam itu akan menjadi panjang tatkala kita saban ha ri menonton televisi. Dari soal agama, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, keamanan, dan kedaulatan makin hari mempertontonkan citra hiperpara doks. Yaitu suatu citra yang berada ruang simulasi digital yang bernama tele visi, yang hadir dengan penuh tipu-daya dan perversi. Televisi, dengan ini ber ubah menjadi kotak ajaib yang mampu menyulap durjana seolah-olah ber aura shaleh. Sebaliknya, televisi juga bisa menjungkirbalikkan orang shaleh menjadi pecundang yang patut ditendang ke pinggir sejarah. Atas segala paradoks macam itu, Gus Mus (KH. Musthofa Bisri) mengan daikan revolusi mental sebagai revolusi ganti kepala baru. Tiap individu di asumsikan telah terkontaminasi oleh berbagai paradoks yang menghantui kesadaran dan bahkan dunia bawah sadarnya. Karena itu, tiap kepala perlu dicopot untuk kemudian diganti kepala baru. Agar sosok yang telah berganti kepala baru itu menjadi sosok yang sadar bahwa bumi yang dipijaknya adalah bumi Indonesia. Air yang diminumnya berasal dari perut bumi Indonesia. Udara yang dihirupnya berada di atas bumi Indonesia. Ketika dia shalat bersa jadah bumi Indonesia. Dan ketika dia nanti mati, juga akan dipeluk oleh bumi Indonesia. Maka, tak ada alasan lagi untuk tidak mencintai Indonesia. Inilah kesadaran baru yang semestinya bersemayam di dalam kepala baru. Revolusi mental pada titik yang paling mendasar akan bermuara ke dalam revolusi kebudayaan. Dalam revolusi kebudayaan seperti yang terjadi di China dan di berbagai bangsa lainnya pada titik tertentu yang paling krikis mampu membelokkan arah sejarah (diskontinuitas). Sejarah tidak harus bergerak li nier. Dia bisa bergerak melingkar, kemudian berbelok ketika menemukan momentum yang tepat, mengarah pada sasaran yang dibayangkan bersama. Dalam konteks mikro, revolusi kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai revolusi pendidikan. Ini juga terjadi di China. Tatkala revolusi kebudayaan yang bersemangat mengangkat kembali kedigdayaan bangsa China (Hun), maka jalan yang ditempuh adalah melakukan revolusi pendidikan. Dengan revolusi pendidikan itu, hasilnya kini tampak jelas. China bangkit menjadi rak sasa baru yang menggoyang dominasi adhidaya Amerika Serikat. Ekonomi tumbuh dua digit. Industri manufaktur, jasa, dan telekomunikasi meningkat tajam. Hal demikian, akibat dari digelontornya dana untuk pendidikan dan penelitian, merombak total kurikulum, dan memasang tinggi-tinggi kualitas pendidikan. Tidak sampai setengah abad, China melesat mencengangkan dunia. Bagaimana dengan revolusi mental kita? n (Email: djulip@yahoo.com)