2015
POLICY PAPER
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGARAN
POLICY PAPER SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
TIM ANALISA KEBIJAKAN Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2015
POLICY PAPER SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PENULIS : Tim Penyusun Policy Paper Sinergi Perencanaan dan Penggaran Ketua Dr. Guspika, MBA Anggota Dr. Ir. Henry Suhermanto, MCP Ir. Tommy Hermawan, MA Dr. Petrus Sumarsono, Ak, MA MArdiharto Tjokrowasito, SH, LLM Rudi Arifiyanti, S. Sos, MA, MSE Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, MA COVER & LAYOUT : Ashep Ramdhan ISBN : Cetakan Pertama, Oktober 2015 Diterbitkan oleh : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jalan Taman Suropati No.2 Jakarta 10310 Telp. 021 3193 6207 Fax 021 3145 374 http://bappenas.go.id Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR Undang-undang (UU) No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengatur serangkaian prosedur yang harus ditempuh dalam menyusun dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan tahunan (RPJM, RKP, Renja K/L dan Renstra SKPD). Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi UU SPPN tersebut antara lain adalah inkonsistensi dalam pelaksanaan rencana terkait pembagian wewenang dan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dijumpai permasalahan yang sangat mendasar yakni patokan hokum yang mengatur sistem perencanaan dan penganggaran yang berbeda. UU 25 tahun 2004 mengatur system perencanaan, dan untuk penganggaran berpatokan pada UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selama ini, kedua UU tersebut dan berbagai peraturan pelaksanaanya dinilai masih belum sejalan dan harmonis. Kedua UU di atas memang pada awalnya tidak didesain dalam satu paket. Masing-masing mempunyai filosofinya sendiri-sendiri dan berbeda. Keduanya menciptakan sistem perencanaan dan penganggaran yang tidak kompetibel. Di satu sisi, sistem perencanaan dalam UU 25/2004 digelar berbasis program; di sisi lainya , sistem keuangan dalam UU 17/2003 digelar berbasis fungsi. Munculnya anggaran berbasis kinerja, juga tidak menyelesaikan persoalan dikotomi. Perumusan kinerja sendiri isa menjadi persoalan, yakni terutama untuk menyepakati bagaimana mengukur kinerja? Berdasarkan input? Output atau yang mana? Yang dipakai adalah pola pikir sederhana yang diukur dari penyerapan anggaran, di mana anggaran terserap baik dapat diberikan tambahan; sementara yang buruk dikurangi, tanpa memikirkan konsekuensi substansinya. Tim analisa kebijakan telah melakukan kajian tentang bagaimana menyatukan antara perencanaan dan penganggaran dan telah menghasilkan policy brief dan sebagai masukan kami telah merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perencanaan dan Penggararan Pembangunan Nasional. Dalam RPP tersebut ada beberapa hal yang tidak lazim dan ini merupakan hal baru dalam konteks tata hukum administrasi Negara yaitu menyatukan PP, dalam mengkaji ini ukan hal mudah, karena PP 40 mengatur perencanaan jangka panjang, menengah dan tahunan, sedangkan PP 90 hanya mengatur penganggaran tahunan. Jika digabung menjadi 1 PP, akan merupakan precedent peraturan dimana 1 PP menjadi aturan pelaksanaan 2 UU. Terima kasih kami ucapkan kepada tim penyusun, seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan kontribusinya terhadap proses maupun penajaman pemikiran hingga tersusunnya policy paper ini.
DAFTAR ISI BAB 1.1 1.2. 1.3.
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penyusunan Policy Paper Kerangka Pendekatan
BAB 2 TELAAHAN KELEMBAGAAAN DAN PENTINGNYA SINERGITAS 2.1. Kelembagaan Perencanaan dan Penganggaran 2.2. Kajian dan Fakta Perlunya Integrasi dan Sinergi Perencanaan dan Penganggaran 2.3. Kajian Kelembagaan untuk Indonesia
2 2 6 8 10 10 18 23
BAB 3 ANALISIS DAN SOLUSI 3.1 Analisis 3.2. Permasalahan tidak adanya sinkronisasi 3.3. Bisnis Proses: Penyebab tidak adanya sinkronisasi 3.4. Kelembagaan 3.5. Perencanaan Pembangunan Nasional 3.6. Penganggaran dalam Keuangan Negara 3.7. Keterkaitan dan Hubungan Perencanaan dan Penganggaran dalam Pelaksanaan Pembangunan 3.8. Solusi
28 28 28 30 34 36 38
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 4.2. Saran
48 48 49
DAFTAR PUSTAKA
50
40 42
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tujuan berbangsa dan bernegara yang tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah rangkaian kata-kata tanpa makna dan bukan juga kalimat-kalimat tujuan yang berisi citacita kosong. Setiap Pemerintahan memiliki mandat untuk mencapai dan mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang diamanatkan. Pemerintahan yang demokratis harus mendapatkan kepercayaan rakyat dan mempertaruhkan kesungguhan upayanya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa. Disinilah pentingnya Pemerintah untuk dapat menyusun rencana pembangunan yang sistematis, kredibel dan implementable dalam meraih cita-cita dan tujuan serta kepercayaan rakyat. Dalam pelaksanaannya, rencana yang baik akan berguna apabila diimbangi oleh penyediaan sumber daya, termasuk anggaran, yang memadai. Penganggaran merupakan elemen penting yang mendukung perencanaan dan implementasinya. Namun yang lebih penting lagi adalah menjaga kesinambungan dalam proses perencanaan dan penganggaran secara sinergis dalam satu alur kerja. Sederhananya rencana harus didukung anggaran, dan anggaran harus disusun berdasarkan rencana. Perencanaan dan penganggaran merupakan bagian dari manajemen pemerintahan yang dapat didesain untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas proses pembangunan dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita nasional. Kesatuan dan sinergitas perencanaan dan penganggaran merupakan kunci dalam mendukung keberhasilan 2
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
pembangunan. Pemerintah mendesain sistem perencanaan, yang memuat visi, misi, strategi, kebijakan, program dan kegiatan, harus dalam tatatan proses yang terpadu dan bahkan menyatu dengan penganggarannya. Bisa dikatakan bahwa prasyarat untuk mencapai tujuan pembangunan adalah koordinasi dan sinkronisasi melalui penyatuan perencanaan dan penganggaran dalam satu kementerian/ lembaga. Perbaikan dalam tata kelola kepemerintahan dan kelembagaan yang telah diupayakan sejak era reformasi perlu dilanjutkan dengan meningkatkan kesinambungan antara perencanaan dan penganggaran sehingga efektifitas dan efisiensi pendayagunaan sumberdaya pembangunan terwujud. Undang-undang (UU) No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengatur serangkaian prosedur yang harus ditempuh dalam menyusun dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan tahunan (RPJM, RKP, Renja K/L, dan Renstra SKPD). Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi UU SPPN tersebut antara lain adalah inkonsistensi dalam pelaksanaan rencana terkait pembagian wewenang dan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dijumpai permasalahan yang sangat mendasar yakni patokan hukum yang mengatur perencanaan dan penganggaran yang berbeda. UU 25 tahun 2004 mengatur sistem perencanaan, dan untuk penganggaran berpatokan pada UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Selama ini, kedua UU tersebut dan berbagai peraturan pelaksanaannya dinilai masih belum sejalan dan harmonis. Kedua UU di atas memang pada awalnya tidak didesain dalam satu paket, masingmasing mempunyai filosofinya sendiri-sendiri dan berbeda. Keduanya menciptakan sistem perencanaan dan penganggaran yang tidak kompatibel. Di satu sisi, sistem perencanaan dalam UU 25/2004 digelar berbasis program; di sisi lainnya, sistem keuangan dalam UU 17/2003 3
digelar berbasis fungsi. Munculnya anggaran berbasis kinerja, juga tidak menyelesaikan persoalan dikotomi. Perumusan kinerja sendiri bisa menjadi persoalan, yakni terutama untuk menyepakati bagaimana mengukur kinerja? Berdasarkan input? Output atau yang mana? Yang dipakai adalah pola pikir sederhana yang diukur dari penyerapan anggaran, di mana anggaran terserap baik dapat diberikan tambahan; sementara yang buruk dikurangi, tanpa memikirkan konsekuensi substansialnya. Saat ini tampaknya diperlukan koordinasi yang lebih baik dalam penyusunan dokumen perencanaan dan dokumen penganggaran. Ada ketidaksinergisan dokumen perencanaan dengan implementasinya (yang didukung anggaran). Program-program yang menjadi prioritas nasional belum dapat benar-benar terimplementasikan di pusat dan di daerah. Sementara itu, program-program pembangunan prioritas daerah ini juga sulit dikatakan sejalan dengan prioritas nasional dengan anggaran tersedia dan sesuai perencanaan yang dilakukan. Deviasi kerap ditemui dengan adanya duplikasi, penumpukan dan penyimpangan anggaran. Penerapan “resource envelope� ternyata telah menghilangkan pijakan Bappenas terhadap perencanaan itu sendiri. Urusan perencanan menjadi (seolah-olah) diserahkan ke masing-masing Kementerian/ Lembaga (K/L). Harmonisasi, keterpaduan, sinkronisasi ataupun sinergitas perencanaan dan penganggaran kiranya perlu segera diwujudkan untuk mendorong kinerja pemerintahan yang lebih baik lagi. Selain itu, sinergitas juga sangat diperlukan di masing-masing elemen tersebut (perencanaan dan penganggaran). Sinergitas dokumen perencanaan di semua lini pemerintahan, baik horizontal maupun vertikal, kiranya bisa disesuaikan dengan konsep desentralisasi (asimetris) dan otonomi daerah, yang memerlukan pembagian kewenangan yang jelas antara 4
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
pusat dan daerah. Pengawalan terhadap produk perencanaan perlu disikapi, karena pembiaran (tidak dikawal) dapat menimbulkan deviasi pembangunan. Demikian pula halnya, sinergitas dalam penyusunan dokumen penganggaran (RKPD dengan APBD) perlu dilakukan dengan mendesain penganggaran yang berprinsip pada money follow function (yang berbasis program perencanaan). Upaya mengatasi keterlepaskaitan Perencanaan dan Penganggaran, pada dasarnya sudah digagas dalam periode pemerintahan “SBY.� Inisiatif perubahan UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah digulirkan dan masuk dalam prioritas prolegnas 2010-2014. Usulan perubahan UU tentang Keuangan Negara tersebut telah disampaikan DPR ke Presiden dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Perintah Presiden untuk pembahasan Undang-Undang tersebut. Namun setelah beberapa kali pembahasan, usulan tersebut berhenti di Wakil Presiden. Gayung bersambut, dalam visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014-2019, secara tegas diamanatkan perlunya sikronisasi antara perencanaan pembangunan dan anggaran (halaman 34). Pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 disampaikan pada Buku II (hal.3-132/133) sebagai berikut: “Untuk membangun penguatan kapasitas fiskal melalui: (i) sinkronisasi perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran.� Justru, permasalahannya disini adalah, RPJMN yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden ternyata tidak dijadikan acuan praksis dalam pelaksanaannya karena dipandang tidak/ kurang realistis. Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan perubahan peraturan perundangan yang ada yang mengatur sinkronisasi perencanaan dan penganggaran tersebut. Selain itu, dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 telah disebutkan adanya RUU tentang Perubahan 5
atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Semua ini menunjukkan perlunya revisi UU terkait, tujuannya adalah memberikan dasar yang kuat untuk mensinergikan perencanaan dan penganggaran. Sesuai dengan Visi Misi Presiden dan dituangkan ke dalam RPJMN 2015-2019, maka prolegnas perlu menindaklanjuti revisi UndangUndang Nomor 17 tahun 2003. Peraturan terkait juga perlu ditinjau, seperti; perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2004 tentang “Rencana Kerja Pemerintah”, PP Nomor 90 tahun 2010 tentang “Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga”, dan PP Nomor 40 tahun 2006 tentang “Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional”. Harmonisasi semua peraturan ini sangat penting untuk mewujudkan sinergi perencanaan dan penganggaran di semua K/L. Selain usulan perubahan UU dan PP-PPnya, maka sinergi perencanaan dan penganggaran juga harus terkait dengan sistem perencanaan dan penganggaran di daerah. Untuk itu perlu segera diterbitkan PP sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2015 tentang “Pemerintah Daerah” serta revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang“ Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah”. Fokus sinkronisasi perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat adalah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang “Dana Perimbangan” serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 tentang “Pengelolaan Keuangan Daerah”.
1.2. Tujuan Penyusunan Policy Paper Sinkronisasi perencanaan dan penganggaran secara bersinergi telah diamanatkan dalam pasal 3 huruf b Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2015 tentang Kementerian PPN; dan pasal 3 huruf b 6
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Disebutkan bahwa Kementerian PPN/ Bappenas mempunyai fungsi koordinasi dan sinkronisasi dalam pelaksanaan kebijakan perencanaan dan penganggaran pembangunan. Kementerian PPN/ BAPPENAS merupakan organisasi yang masuk dalam Lembaga Kepresidenan. Oleh karena itu, ada fungsi baru yang diberikan (dikembalikan ke Kementerian PPN/ Bappenas) kiranya dapat menjadi kewenangan yang layak dan harus dilaksanakan dengan baik. Hal ini perlu disikapi sekaligus untuk meluruskan dan menegaskan bahwa sistem pemerintahan kita adalah Presidensiil. Dalam Pemerintahan Presidensiil, kewenangan pemerintahan jelas berada di tangan Presiden, termasuk untuk perencanaan dan penganggaran. Dalam UU Nomor 17 tahun 2003, kewenangan penganggaran dikuasakan ke Menteri Keuangan, dan harus dikembalikan ke Presiden melalui revisi peraturan tersebut. Dengan demikian sudah tepat bahwa Bappenas harus melakukan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran untuk menunjang semangat menegakkan kewenangan Presiden sebagai pimpinan pemerintahan ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, Bappenas melalui Tim Analisa Kebijakan (TAK) menyusun policy paper Sinergi Perencanaan dan Penganggaran. Sebagaimana disampaikan di atas, BAPPENAS memiliki peran untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dan penganggaran pembangunan. Untuk itu tulisan ini disusun dengan tujuan: 1.
Menganalisa dan membangun rekomendasi pilihan serta urutan regulasi untuk mewujudkan sinergi Perencanaan dan Penganggaran.
7
2.
Menganalisa dan menyusun rekomendasi kelembagaan dan tata hubungan yang menunjang sinergi perencanaan dan penganggaran.
3.
Mendapatkan gambaran perencanaan dan penganggaran yang optimal dalam kerangka pemerintahan Presidensil.
1.3. Kerangka Pendekatan Tim Analisa Kebijakan (TAK) Bappenas sejak tahun 2014 telah mencermati pentingnya sinergitas perencanaan dan penganggaran ini. Sebelumnya di dalam kurun waktu 2011-2013, Bappenas juga telah melakukan kajian tentang hal yang sama, antara lain dilakukan oleh staf Ahli Hubungan kelembagaan (2011-2013) dan Biro Hukum Bappenas (2012). TAK Bappenas mengungkap perlunya sinergitas proses perencanaan dan penganggaran dalam satu alur kerja, dalam dua kajian tentang reposisi Bappenas dan kajian Bappenas sebagai Think-tank Pemerintah. Selanjutnya, pada tanggal 29 Mei 2015 TAK melakukan Focus Group Discussion (FGD) khusus dengan topik “Bagaimana mensinergikan perencanaan dan penganggaran dalam satu paket�. Bahan-bahan dan semangat perbaikan yang disebutkan di atas tersebut menjadi paduan untuk menyusun Policy Paper ini.Untuk menyusun policy paper ini, TAK BAPPENAS menyusun kajian ini dengan beberapa pendekatan:
8
1.
Desk Study, TAK BAPPENAS menelusuri literatur tentang perencanaan dan penganggaran baik yang telah dilakukan Bappenas dan peneliti lainnya serta literatur dari Luar Negeri.
2.
Melaksanakan FGD dengan Stakeholder terkait yang meliputi Praktisi, Akademisi, dan Politisi.
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
TELAAHAN KELEMBAGAAAN DAN PENTINGNYA SINERGITAS
TELAAHAN KELEMBAGAAAN DAN PENTINGNYA SINERGITAS
2.1. Kelembagaan Perencanaan dan Penganggaran Albert Einstein, seorang ilmuwan abad 20, mempunyai katakata bijak “science without religion is lame, religion without science is blind�. Artinya pengetahuan dan agama itu kombinasi yang saling melengkapi sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelemahan. Dengan menganalogikan pandangan Einstein tersebut, dapat dikatakan bahwa perencanaan tanpa anggaran itu merupakan pekerjaan sia-sia dan anggaran tanpa perencanaan mengarah pada pemborosan sumber daya. Oleh karena itu, proses penyusunan perencanaan dan penganggaran merupakan kombinasi yang harus bersinergi. Setidaknya, apabila perencanaan dan penggangaran pemerintah tersebut dilaksanakan tidak akan menghasilkan produk yang merugikan, tetapi justru memberikan manfaat yanag banyak bagi masyarakat. Bagaimana kombinasi dan sinergitas proses penyusunan perencanaan dan anggaran dapat dilakukan, merupakan hasil dari kinerja kelembagaan pendukungnya. Berbicara tentang perencanaan dan penganggaran berarti membahas proses yang ada dalam siklus manajemen. Siklus ini mempunyai lima proses utama, yaitu: (1) perencanaaan, (2) penganggaran, (3) pelaksanaan, (4) pengendalian, dan (5) pelaporan. Banyak yang berdebat bahwa sebenarnya dalam perencanaan sudah termuat proses penganggaran. Tinbergen (1967), mengemukakan bahwa anggaran harus mengikuti perencanaan dalam artian money follow function. Oleh karena itu, dalam kegiatan pemerintahan, khususnya kegiatan pembangunan, pengalokasian anggaran pembangunan harus 10
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
melihat dan mengacu pada dokumen perencanaan yang telah dibuat sebagai tolok ukurnya. Sebagai gambaran, maka proses dalam manajemen pemerintahan harus dibangun melalui tahapan perencanaan, untuk kemudian dilanjutkan dengan penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan seperti terlihat pada gambar 2.1 (kajian Sahli Hubungan Kelembagaan, 2013) berikut ini: Gambar 2.1: Siklus Manajemen Pemerintahan
Dengan menegakkan prinsip money follow function akan jelas arah belanja yang dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan publik. Belanja pemerintah bisa dilakukan dengan basis sektor ataupun basis prioritas/ unggulan, atau juga berbasis kewilayahan. Dengan menerapkan prinsip tersebut maka akan terbentuk: (1) keterkaitan yang erat antara substansi perencananan dan alokasi anggaran (mengikuti 11
mekanisme money follow function); (2) pelaksanaan program tidak akan menyimpang dari rencana yang telah dilakukan; (3) monitoring yang berkesinambungan yang mempercepat proses penyerapan anggaran pembangunan; dan (4) evaluasi yang terukur untuk mendorong terwujudnya program pembangunan ke depan yang berkesinambungan, tidak tumpang tindih, dan sejalan dengan perencanaan. Prinsip di atas sesuai dengan pemikiran Allen (2007) yang menyampaikan bahwa roh penganggaran ada pada perencanaan dan keduanya harus terintegrasi. Proses perencanaan pembangunan harus dilandasi pemikiran yang mengutamakan kesejahteraan manusia (Musgrave and Musgrave, 1987). Untuk itu, penting dipertimbangkan; pertama, adalah pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi secara efisien; kedua, pendistribusian sumber-sumber daya tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan terakhir, pengendalian stabilitas perekononomian nasional secara keseluruhan. Alokasi sumber daya yang baik harus memastikan seluruh kebutuhan untuk kepentingan publik dapat disediakan, baik untuk kebutuhan/ kepentingan swasta/ individu, maupun untuk kepentingan publik secara inklusif. Pada banyak kondisi masyarakat berkepentingan terhadap pemenuhan fasilitas pelayanan umum dalam domain publik yang bersifat inklusif; seperti jalan raya, air bersih, dan energi (listrik). Pemerintah wajib merencanakan dan membangun berbagai fasilitas dalam domain publik tersebut, diikuti dengan alokasi anggaran yang memadai, taat pada perencanaan, dan sesuai dengan falsafah konstitusional bangsa dan negara Indonesia. Konstitusi mengamanatkan bahwa alokasi sumber daya ekonomi, terutama anggaran, adalah untuk memastikan tidak terjadinya kegagalan pasar (market failure). Proses interaksi pasar dalam alokasi sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dapat selalu terfasilitasi dengan dukungan anggaran publik.
12
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
Integrasi perencanaan dan penganggaran jelas untuk menempatkan keberadaan atau campur tangan pemerintah di masyarakat.
Kondisi
sosial,
ekonomi,
dan
politik
masyarakat
harus semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini memang menjadi tanggungjawab pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Masih cukup banyak pekerjaan rumah pemerintah dalam menjalankan tugasnya menyejahterakan masyarakat dan dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. Pekerjaan rumah (PR) tersebut antara lain; kesenjangan ekonomi, infrastruktur yang belum mendukung aktivitas masyarakat, ketimpangan pembangunan antara wilayah barat dan timur, dan masalah kemiskinan. Memperhatikan berbagai pekerjaan rumah pemerintah, alokasi pengeluaran pembangunan yang bertujuan untuk menyelesaikan PR tersebut harus terintegrasi dengan rencana pembangunan yang jelas tujuannya. Sebagai contoh, pembangunan di bidang perekonomian setidaknya memerlukan perencanaan yang baik, terkait perumusan kebijakan yang mencakup keuangan, ketenagakerjaan, pertanian, perindustrian, perdagangan dan sektor pariwisata. Dengan perencanaan ekonomi yang baik kestabilan ekonomi dapat terjaga. Gangguan di satu sektor tertentu akan mempengaruhi sektor yang lain, yang dapat berujung pada terciptanya gangguan terhadap stabilitas pembangunan, dalam hal mana tentunya harus dicegah. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah membutuhkan kebijakan investasi yang tinggi. Guna mendorong investasi tersebut diperlukan kebijakan seperti; pemberian keringanan pajak (tax holiday) bagi investor atau kepada pengusaha yang mau menanamkan modalnya, khususnya investasi di kawasan timur Indonesia. Untuk mendistribusikan pendapatan, misalnya, pemerintah dapat menjalankan program subsidi untuk menolong masyarakat tidak 13
mampu; menerapkan sistem pajak yang progresif (dengan pemberian beban pajak yang lebih besar bagi masyarakat berpendapatan tinggi dan relatif ringan kepada masyarakat berpendapatan rendah), serta program transfer dana ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Menegakkan perencanaan dan pengganggaran penting bagi pencapaian tujuan pembangunan suatu bangsa. Oleh karenanya, dalam perencanaan dan penganggaran perlu diterapkan prinsip-prinsip antara lain: (1) kebijakan ekonomi makro prudensial yang berujung untuk kesejahteraan masyarakat (2) kebijakan sektoral yang sejalan dengan ekonomi makro; dan tidak terjadi kebijakan tumpang tindih antara masing-masing kebijakan sektoral (3) kebijakan regional yang sejalan dengan kebijakan ekonomi makro dan sektoral (Todaro,1980). Blondal dan Choi (2009) dalam penelitian tentang sistem penganggaran di yang dijalankan di Indonesia, menyimpulkan bahwa telah terjadi inefisiensi dalam pembangunan dikarenakan pengelolaan yang terpisah antara perencanaan dan penganggaran. Bahkan, antara keduanya terjadi proses saling mengisolasi. Salah satu penyebab inefisiensi pembangunan adalah berbeda fokus pekerjaan yang dilakukan untuk satu tujuan. Di satu pihak Kemenkeu melakukan kegiatan yang fokus pada akuntansi keuangan yang kemudian diterjemahkan ke dalam program; sementara itu, Bappenas melakukan pekerjaan fokus pada substansi program dan kegiatan pembangunan yang kemudian menerjemahkan ke kebutuhan anggaran untuk pelaksanaannya. Tulisan dalam jurnal OECD dan penelitian FITRA (2012) menyimpulkan bahwa terpisahnya tanggung jawab diantara Bappenas yang bertanggung jawab atas tersusunnya RKP, Ditjen. Anggaran yang bertanggung jawab terhadap penyusunan RKA-K/L dan DIPA, dan Ditjen. Perbendaharaan yang melakukan pencatatan realisasi anggaran sekaligus pelaporan, berimplikasi pada 14
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
terjadinya sistem informasi perencanaan dan penganggaran yang tidak terintegrasi. Dalam penelitian FITRA (2012), disebutkan masalah yang timbul dari pengelolaaan perencanaan dan penganggaran tersebut di atas adalah: (i) sulit untuk menelusuri asal usul program, sehingga tidak dapat diketahui apakah anggaran tersebut bertambah atau berkurang pada saat RKA-K/L atau saat pembahasan di DPR atau saat menjadi DIPA, dan (ii) sulit untuk para pembuat kebijakan/ pengambil keputusan (atau publik/ masyarakat) untuk mengevaluasi efektivitas alokasi anggaran suatu program atau kegiatan. Rekomendasi FITRA; dokumen RKP, Renja K/L, RKA-K/L, DIPA, LKPP merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan, dan prosesnya harus dilakukan oleh satu lembaga. Sahli Hubungan Kelembagaan (2013) melakukan kajian yang membandingkan sistem perencanaan dan penganggaran yang dilakukan di empat negara, yaitu Brazil, Korea Selatan, Amerika dan Indonesia. Proses perencanaan dan penganggaran di Brazil, Korea Selatan, dan Amerika ternyata dilakukan oleh satu lembaga. Di Brazil, prosesnya dilakukan oleh Ministry of Planning, Budgeting, and Management, di Korea Selatan,1 oleh Ministry of Strategy and Finance (MOSF), sedangkan di Amerika Serikat dilakukan oleh Office of Management and Budget. Untuk Indonesia, proses ini dilakukan oleh dua lembaga terpisah yaitu Bappenas dan Kementerian Keuangan.
1 Lembaga MOSF di Korea Selatan adalah gabungan dari Kementerian Perencanaan dan Penganggaran dan Kementerian Keuangan pada tahun 2008
15
Tabel 2.1. Perbandingan Sistem Perencanaan Dan Penganggaran Empat Negara Deskripsi Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
Korea Selatan
Brasil
Amerika
Negara Kesatuan, Semi-Presidensiil.
Negara Federal, Negara Presidensiil. Federal, Presidensiil, Presiden dan Perdana Menteri Presiden dan dipilih oleh Presiden parlemen parlemen dan Parlemen, untuk dipilih dipilih langsung oleh mengkoordinasikan langsung oleh rakyat fungsi kabinet. rakyat Presiden dan Parlemen dipilih langsung oleh rakyat
Sistem Anggaran
Tahun Fiskal Struktur Perencanaan dan Penganggaran di Pemerintah
16
Unified Budget, MTEF, Performance Based Budgeting
1 Januari - 31 Desember
Program Budgeting, fixed 4-yrs budgeting, direview per tahun (bukan MTEF).
Baseline Projection budget tiap periode Presiden (4 tahun)
1 Juli – 30 Juni
1 Okt – 30 Sept
Dalam 1 Lembaga: Dalam 1 Ministry of Strategy Lembaga: and Finance (MOSF). Ministry of Planning, MOSF merupakan Budgeting, and penggabungan Management Kementerian Keuangandan Kementerian Perencanaan dan Penganggaran (sejak tahun 2008)
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
Dalam 1 Lembaga: Office of Management and Budget (OMB)
Indonesia Negara Kesatuan, Presidensiil Presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat
Unified Budget, MTEF, Performance Based Budgeting
1 Januari -31 Desember Terpisah dalam 2 Lembaga: Perencanaan: Bappenas Penganggaran: Kementerian Keuangan
POLICY PAPER
Deskripsi Kewenangan Parlemen
Korea Selatan Parlemen membahas pagu total, detil program dan proyek. Parlemen tidak berwenang menaikkan pagu anggaran. Dalam prakteknya Parlemen tidak banyak mengubah usulan Pemerintah
Brasil Parlemen membahas dari asumsi makro sampai detil program sektor. Parlemen berhak mengusulkan perubahan asumsi makro dan usulan penganggaran total dan per sektor. Pemerintah memiliki hak veto terhadap hasil pembahasan Parlemen
Amerika
Indonesia
Parlemen membahas usulan Pemerintah yang diawali oleh pembahasan Konggres dengan OMB dan Penasehat Presiden. Presiden mempunyai veto bila ada usulan Parlemen yang tidak disetujui.
Parlemen membahas dari asumsi makro sampai detil program dan kegiatan sektor. Parlemen berhak mengusulkan perubahan asumsi makro dan usulan penganggaran per program dan kegiatan, bahkan sampai jenis belanja
Sumber: Kajian Sahli Hubungan Kelembagaan, 2013 (diolah)
Melihat persandingan di atas dapat dilihat bahwa dalam sistem Presidensil kewenangan Presiden sangat kuat dalam inisiasi perencanaan dan penganggaran pembangunan, bahkan di Amerika Serikat dan Brazil, Presiden diberi kewenangan untuk mengeluarkan veto terhadap usulan atau aturan anggaran yang telah disetujui oleh parlemen. Dalam study visit ke Amerika Serikat tahun 2011 untuk melihat penerapan Performance Based Budgeting (PBB), diperoleh penjelasan bahwa OMB di Amerika Serikat memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan perencanaan dan penganggaran. Penetapan kebijakan yang dilakukan OMB pasti akan diacu oleh semua institusi di Amerika Serikat. Para peserta akhirnya berkesimpulan bahwa pengambilan kebijakan dalam proses penyusunan perencanaan dan penganggaran 17
yang berada dalam satu wadah instansi terlihat lebih efektif. Ada kewenangan yang tak terbatas di parlemen, namun di Korea Selatan, parlemen membahas pagu total serta detail program dan proyek namun tidak berwenang menaikkan pagu anggaran, dan dalam prakteknya parlemen tidak banyak mengubah usulan Pemerintah. Sedangkan di Brazil, parlemen membahas mulai dari asumsi makro sampai detail program sektor, parlemen juga berhak mengusulkan perubahan asumsi makro dan usulan penganggaran total dan per sektor meski dapat di veto oleh Presiden.
2.2. Kajian dan Fakta Perlunya Integrasi dan Sinergi Perencanaan dan Penganggaran Penelitian Blondal dan Choi (2009) yang memperlihatkan adanya keterlepaskaitan antara perencanaan dan penganggaran, telah dicek secara empiris apakah ada deviasi antara apa yang telah direncanakan dengan alokasi anggaran. Pengecekan ini dilakukan dalam dua tahap: (1) melihat apakah ada deviasi dalam proses pemasukan Renja K/L ke dalam RKA-KL yang dilakukan oleh internal pemerintah, dan (2) melihat deviasi antara pemerintah dan DPR dalam proses pembuatan RAPBN menjadi APBN, di mana deviasi terjadi dalam perubahan untuk kegiatan, kemudian pagu kegiatan, serta lokasi kegiatan dan indikator/ sasaran kegiatan. Dalam penelusuran dokumen RKP 2012 dan dokumen penganggaran RKA-KL terdapat 29,4% indikator kinerja prioritas RKP 2012 yang tidak teridentifikasi dan tidak terpetakan dalam RKA K/L tahun 2012. Bila dicermati lima prioritas pembangunan yang terdeviasi cukup besar, yaitu (i) Prioritas Kesehatan mengalami deviasi 47%, (ii) Prioritas Reformasi Birokrasi danTata kelola mengalami deviasi 39,6%, (iii) Prioritas Infrastruktur mengalami deviasi 39,6%, (iv) Prioritas
18
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik mengalami deviasi 39,3%, dan kelima (v) Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat mengalami deviasi 39,6%. Gambaran deviasi 14 belas prioritas pembangunan RKP 2012 dalam RKA K/L dapat dilihat dalam TABEL 2.2. Tabel 2.2: Deviasi Perencanaan dan Penganggaran Tdk Terpetakan
Tidak Langsung
Terpetakan Langsung
∑ Indikator Kinerja
∑ Program
Prioritas dalam RKP 2012 (Buku I)
∑ Kegiatan
dalam RKP 2012
17
52
144
55
32
87
60,4
57
39,6
Prioritas Pendidikan
7
22
71
26
37
63
88,7
8
11,3
Prioritas Kesehatan
9
25
66
18
17
35
53
31
47
Prioritas Penanggulangan Kemiskinan
28
60
153
91
27
118
77,1
35
22,9
Prioritas ketahanan Pangan
27
80
322
227
22
249
77,3
73
22,7
Prioritas Infrastruktur
16
40
169
51
51
102
60,4
67
39,6
Prioritas Iklim Investasi dan Iklim Usaha
15
35
117
72
16
88
75,2
29
24,8
Prioritas Energi
13
27
80
41
16
57
71,3
23
28,8
Prioritas Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
12
43
134
84
22
106
79,1
28
20,9
Prioritas Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik
25
64
219
121
12
133
60,7
86
39,3
Prioritas Kebudayaan, Kreatifitas, dan Inovasi Teknologi
7
19
41
24
2
26
63,4
15
36,6
23
34
84
45
13
58
69
26
31
Prioritas Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola
Prioritas Lainnya bidang perekonomian
∑
%
∑
%
19
Langsung
Tidak Langsung
∑ Indikator Kinerja
∑ Kegiatan
∑ Program
Prioritas dalam RKP 2012 (Buku I)
Tdk Terpetakan
Terpetakan
Prioritas lainnya bidang kesejahteraan Rakyat
12
17
53
19
13
32
60,4
21
39,6
Prioritas lainnya bidang politik, Hukum, dan Keamanan
10
36
62
49
7
56
90,3
6
9,7
221
554
1.715
923
287
1.210
70,6
505
29,4
TOTAL
∑
%
∑
%
Sumber: Kajian Direktorat APP Bappenas yang dikutip Kajian Sahli Hubungan Kelembagaan, 2013
Catatan : 1. Terpetakan langsung : terkait langsung antara indikator kegiatan yang ada di RKP dengan Output kegiatan yang ada di RKA K/L, baik secara nomenklatur, maupun target/volume kegiatan 2. Terpetakan tidak langsung : Indikator kinerja yang tidak terkait langsung secara nomenklatur, tetapi secara substansi terkait dengan output kegiatan yang ada di dokumen RKA K/L 3. Tidak terpetakan : Indikator kinerja yang ada di RKP tidak terkait sama sekali/ tidak dapat/sulit diterjemahkan dengan output kegiatan yang ada dalam RKA K/L, baik nomenklatur maupun substansi
Contoh deviasi lainnya terkait alokasi anggaran dalam proses perencanaan dan penganggaran pembangunan Jalur Ganda Kereta Api Lintas Utara Jawa. Hasil pembahasan yang dilakukan setelah proses penyusunan RKP menghendaki adanya perubahan yang muncul dari elemen politik, di mana posisi pemerintah tidak terkunci terhadap kekuatan politik DPR. Jelas bahwa saat itu, pemerintah merencanakan pembangunan Jalur Ganda Kereta Api Lintas Utara Jawa, yang mempunyai target operasi tahun 2012. Dalam RKP 2012, Pemerintah telah mengalokasikan kebutuhan dana sesuai dengan tahapan pengembangan Jalur Ganda; namun, dalam alokasi anggarannya telah 20
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
terjadi pengalihan anggaran pada kegiatan pembangunan dermaga di sejumlah tempat. Pembangunan jalur ganda mengalami kekurangan pendanaan sebesar Rp. 1,8 triliun, sehingga targetnya tidak tercapai tahun 2012 dan baru tercapai pada tahun 2014. Contoh lain adalah pembangunan bandara Kualanamu sebagai pengganti bandara Polonia Medan. Bandara tersebut direncanakan akan diselesaikan pada tahun anggaran 2011 dengan target untuk bisa dioperasikan pada awal tahun 2012. Hal ini tidak bisa dipenuhi dan bandara Kualanamu baru bisa dioperasikan pada tahun 2014. Selain itu, ada potensi kelemahan sistem dalam penyusunan APBN saat ini. Posisi pemerintah juga rentan saat selesai pembahasan optimalisasi kerangka ekonomi makro, yang kerap menghasilkan dana tambahan atau yang sering disebut sebagai dana optimalisasi. Seperti yang terjadi pada tahun 2012, setelah pembahasan optimalisasi anggaran, bekerja sama dengan K/L, DPR mengusulkan dana tambahan yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan untuk kegiatan pembangunan Pusat Olah Raga Hambalang. Kegiatan ini tidak ada di dalam RKP tahun 2012, sehingga kegiatan ini bermasalah dan menimbulkan kegaduhan politik dan hukum. Selain indikator dan intervensi politik di atas, juga terdapat permasalahan yang timbul terkait alokasi jenis belanja. Dalam alokasi jenis belanja, ada permasalahan dalam kewenangan penggunaan anggaran yang besar kepada K/L (let the manager manage, seperti tercantum dalam UU No 17 Tahun 2003), dan tidak berperannya perencanaan telah menyebabkan porsi belanja untuk internal K/L (Belanja Pegawai dan Barang) lebih besar dibandingkan dengan porsi belanja untuk kepentingan Publik (Belanja Modal), hal ini dilihat dalam Grafik 2.2. Sebagaimana kita ketahui, belanja modal mempunyai multiplier effect besar dalam pembangunan. 21
Grafik 2.2. Perbandingan Alokasi Belanja Pegawai & Barang dan Belanja Modal 25.00
20.78 20.00
20.14
19.34
18.64
19.85
19.52
17.72
16.26 15.52 15.73
16.50 15.00
15.07
14.86 13.30
13.95
13.10
11.61
15.15
15.99
14.16 12.20
12.36 10.61
10.28
16.46
11.27
9.68
10.00
5.00
0.00 2005
2006
2007 Belanja Pegawai
2008
2009
Belanja Barang
2010
2011
2012
2013
Belanja Modal
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (diolah)
Â
Kasus di pemerintahan daerah tidak jauh berbeda dengan pemerintah pusat. Porsi belanja modal relatif kecil dibanding belanja pegawai dan belanja barang seperti terlihat dalam Diagram 2.2. Dalam diagram tersebut, tampak proporsi terbesar dari belanja daerah adalah belanja pegawai, dengan proporsi diatas 40%; dengan pembelanjaan yang terus meningkat hingga tahun 2011 dan tahun 2012 (tetap di atas 40 %). Sementara itu, proporsi belanja modal mengalami penurunan terus sampai tahun 2011, namun pada tahun 2012 naik sedikit.
22
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
Diagram 2.2: Dominasi Belanja Pegawai Dalam APBD 2007-2012 Prosentase Belanja dalam APBD (%) 50 45
46.25
46.52
43.46
43.99
40.65
39.1 40 35
30.88
29.64
30
27.59
25
19.16
20
19.17
19.21
17.84
15
12.18
10.55
21.04
11.73
9.78
23.15
22.53
22.53
20.69
12.17
9.78
10 5 0 2007
2008 Belanja Pegawai
2009 Belanja Modal
2010 Belanja Barang & Jasa
2011
2012 Belanja lainnya
Sumber: Kemenkeu
2.3. Kajian Kelembagaan untuk Indonesia Melihat kebutuhan untuk membangun sinergitas perencanaan dan penganggaran yang mendukung rencana kerja dan program-program pembangunan Presiden, maka diperlukan satu kelembagaan yang dapat menjalankan fungsi pengelolaan perencanaan dan penganggaran pemerintahan tersebut dalam satu atap. Kementerian PPN/ Bappenas sebagai lembaga Kepresidenan harus diperjelas peran dan posisinya dalam mendukung terciptanya sistem perencanaan dan penganggaran pemerintah yang efektif, efisien, dan terintegrasi. Simatupang (2015) berpendapat bahwa Kementerian PPN bisa menjalankan peran koordinasi secara berkala dan berkelanjutan, dengan Kementerian Keuangan. Hal ini terutama dilakukan dalam rangka penyusunan, perumusan, penyampaian, dan pembahasan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro yang menghasilkan kebijakan umum dan prioritas anggaran sebagai acuan K/L dalam menyusun 23
anggarannya. Selain itu, menurut Simatupang (2015), berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah, koordinasi yang dilakukan antar-Menteri harus menghasilkan kesepakatan tertulis; jika tidak terdapat kesepakatan, maka hasilnya ditetapkan dengan keputusan presiden. Sedangkan di pilihan kelembagaan, Simatupang (2015) merekomendasikan Direktorat Jenderal Anggaran direvitalisasi ke Kementerian PPN dan Badan Kebijakan Fiskal direvitalisasi ke Bappenas. Penggabungan institusional dilakukan dengan pengubahan kementerian sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) huruf d UU Nomor 39 Tahun 2008, yakni dalam rangka kesinambungan dan keserasian. Hal ini selaras dengan salah satu pilihan kelembagaan yang disampaikan dalam Kajian Reposisi Bappenas (Tim Analisis Kebijakan, 2014). Hasil kajian tersebut mengajukan alternatif di mana fungsi perencanaan dan penganggaran patut ditempatkan di kantor kepresidenan. Kantor Kepresidenan secara jelas mempunyai tugas menyatukan fungsi perencanaan dan fungsi penganggaran secara terpadu. Beberapa fungsi lain yang disampaikan dalam kajian tersebut, yaitu: (i) koordinasi penyusunan perencanaan dan penganggaran K/L; (ii) koordinasi perumusan kebijakan strategis; (iii) koordinasi kebijakan fiskal; (iv) koordinasi pengendalian pelaksanaan; dan (v) sebagai think tank kebijakan-kebijakan strategis. Dengan berkedudukan langsung di bawah Presiden, maka pemegang fungsi perencanaan program/ kegiatan dan fungsi anggaran akan menguatkan implementasi rencana kerja dan program pembangunan Presiden karena mempunyai budget power. Pilihan ini harus mendapatkan dukungan kuat Presiden untuk menertibkan manajemen perencanaan dan penganggaran pemerintahan sesuai dengan fungsinya; dan pemahaman bahwa Presiden adalah penguasa pengelolaan Keuangan Negara di mana kekuasaan tersebut 24
SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
POLICY PAPER
bisa dibantu tetapi tidak bisa dikuasakan (misal ke Kementerian Keuangan). Dalam kajian TAK tahun 2014, ada pilihan lain, yakni penguatan kerjasama antara Bappenas dengan KemenKeu sehingga integrasi dan sinergi perencanaan dan penganggaran dapat dilakukan. Pembagian peran antara Bappenas dengan KemenKeu bukan untuk menetapkan pagu indikatif atau definitif, melainkan, memisahkan urusan antara pengelolaan penganggaran biaya non operasional (pembangunan) dan biaya operasional (rutin). Terkait biaya operasional pengelolaannya dapat diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Keuangan, namun biaya pembangunan sepenuhnya dalam pengelolaan Kementerian PPN/ Bappenas dan harus mendapatkan komitmen anggaran dari KemenKeu. Namun untuk menjahit dua anggaran tersebut diperlukan koordinator di mana untuk proses makronya dapat dilaksanakan sekaligus berkoordinasi dengan kebijakan moneter dari Bank Indonesia. Esensi dari perencanaan makro adalah adanya tambahan berupa resource envelope yang harus dikoordinasikan perhitungannya oleh lembaga perencanaan.
25