Ashley Adams Ryerson University Master of Architecture Thesis Winter 2016
THE FLOATING MASS LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE by Ashley Adams Bachelor of Architectural Science, Ryerson University 2010 CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE Toronto, Ontario, Canada, 2016 ©Ashley Adams 2016
Fig. 0.1 Living Above the Water THE FLOATING MASS
THE FLOATING MASS LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE Master of Architecture, 2016 by Ashley Adams Program of Architecture Ryerson University
Abstract
With rising sea levels, rapid urban development, and insufficient basic infrastructure, Jakarta, Indonesia, is one of the many Southeast Asian cities suffering major annual flooding. Jakarta’s flooding is not a recent development. It has existed since the 16th century, but only now has its intensity and frequency resulted in unavoidable consequences. So too, has the urban poor of Jakarta experienced the slow violence of political, social, and environmental injustice since Colonialism. In attempts to reduce damage, the government has proposed plans to minimize flooding by dredging and channelizing 15 waterways in the city—yet this results in the eviction and relocation of tens of thousands of residents into subsidized housing, far from their communities and generations of collective memory. An alternative solution is required to provide flood adaptive social and economic solutions to the informal communities living along Jakarta’s 119km long Ciliwung River, that will allow residents to safely remain alongside concurrent natural river restorations. Architecture can be the medium used to transform Jakarta to reconnect city and river. It can act in the service of political and social change, to be the agent that encourages civic engagement, political action, and human rights.
LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
THE FLOATING MASS
An Alternative to Normalization.
The original plan for the Project Affected Persons (PAP) was to provide access to social housing in other locations in Jakarta. Since this plan has begun, the residents, along with community advocates, have convinced the state to build the housing complex on the existing site of Kampung Pulo. This is a victory for the community, but as history has seen the government is often unable to keep their promises. There are many reasons to why this promise may not be fulfilled. Firstly, lives will be disrupted during eviction and construction. Will there be interim housing provided? Compensation? Assuming the government actually follows through, the housing promised still does not address the issue of how residents who currently work out of their homes will continue, not to mention the fact the residents may not be able to afford the rent.
Rencana awal Project Affected Person (PAP) adalah untuk menyediakan akses pemukiman sosial di beberapa tempat di Jakarta. Sejak rencana ini berjalan, warga— bersamaan dengan komunitas advokat—telah berusaha meyakinkan pemerintah untuk membangun kompleks pemukiman di daerah Kampung Pulo. Ini adalah suatu kemenangan bagi warga, tetapi sayangnya pemerintah kerap kali tidak mampu untuk memenuhi janjinya. Ada banyak alasan mengapa janji tersebut tidak dapat terpenuhi. Pertama-tama, tata kehidupan akan tersendat selama proses penggusuran dan pembangunan. Apakah ada pemukiman sementara yang disediakan pemerintah? Kompensasi? Betapapun pemerintah menepati janjinya akan pembangunan, pemukiman sementara yang dijanjikan tidak menyentuh permasalahan tentang bagaimana warga yang memanfaatkan rumah sebagai ruang produksi akan bertahan, melihat fakta bahwa warga tersebut tidak akan mampu membayar sewa rumah di pemukiman sementara tersebut.
What is certain from this recent development is that the State has considered on-site upgrading. As stated by “UN Habitat and Cities Alliance”, in Housing the Poor in African Cities, “the best eviction alternative is one that preserves the community in the same place and gives people secure tenure rights to that land.
Yang penting dari proses pembangunan ini adalah bahwa pemerintah telah mempertimbangkan tentang peningkatan mutu. Sebagaimana tertulis di “Aliansi Kota dan Habitat PBB”, dalam “Memberi Pemukiman kepada Warga Miskin di Afrika”, dinyatakan bahwa “Alternatif penggusuran yang paling baik adalah dengan cara tetap mempertahankan komunitas masyarakat di tempat tersebut dan memberikan kepada mereka hak kepemilikan tanah yang aman bagi mereka.
One of the best ways for cities to help their poor citizens access better housing and living conditions is by providing secure tenure in the informal settlements where they already live (including protection from predatory land speculators), and then working with them to upgrade their settlements together.”1 The
Salah satu cara terbaik yang bisa dilakukan oleh kota untuk membantu warganya yang miskin untuk mengakses kondisi hidup dan pemukiman yang lebih baik adalah dengan memberikan hak guna lahan di lahan pemukiman informal tempat mereka tinggal
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
96
collaborative, joint on-site upgrading process reinforces conďŹ dence in the residents to dedicate themselves to neighbourhood or kampung development without the fear of eviction. An alternative proposal was developed to explore the possibilities of on-site development.
Constraints + Opportunities
This thesis proposes an alternative architectural intervention that addresses the major issues of the kampung: a network of physical connections that strengthens existing social and economic relationships and encourages a stronger sense of communication. Similar to many informal settlements found globally, many kampungs lack space for development. The only space available is between and above. Between refers to the small slivers of space found between homes. Above represents the space above the river, roads, paths, and houses in the kampung.
(termasuk perlindungan dari para spekulator lahan), dan bekerja bersama mereka untuk meningkatkan pemukiman mereka.�1 Proses peningkatan yang dilakukan secara bersama-sama ini akan memberikan kepercayaan diri warga terhadap pembangunan lingkungannya, kampungnya, tanpa takut akan adanya penggusuran. Usulan alternatif telah dikembangkan untuk menggali kemungkinan-kemungkinan pembangunan yang ada.
Tesis ini akan mengusulkan sebuah alternatif arsitektural yang menyentuh persoalan utama kampung: sebuah jaringan koneksi ďŹ sik yang menguatkan hubungan sosial dan ekonomi yang sudah ada dan mendorong komunikasi yang lebih kuat. Senada dengan pemukiman informal yang ditemui secara global, banyak kampung kurang mengalami pembangunan. Ruang yang tersisa untuk pembangunan hanyalah di antara kampungkampung dan di atasnya. Di antara artinya ruang sempit yang tersisa di antara rumahrumah. Di atas artinya ruang yang ada di atas sungai, jalan, jalan setapak, dan rumahrumah di kampung.
the spaces above
the spaces in-between
Lack Of Space
Kurangnya Ruang
97
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.1 Density in the Kampung allows only for space above the houses and river, and between houses in the streets and alleys.
Another problem facing the 19km stretch of the Ciliwung River affected by Normalization is the lack of connections. Creating stronger ties and banding together can help kampung development and community revitalization. Through research and on-site experience, it became clear there was a general lack of communication in Jakarta regarding kampung development. A greater sense of connection between those involved could encourage commitment, trust, and the transparency required to conceive solutions.
Persoalan lain yang muncul dari bentangan 19 km Kali Ciliwung yang disebabkan oleh normalisasi adalah kurangnya keterhubungan. Dengan menciptakan ikatan yang lebih kuat, hal ini akan membantu pembangunan kampung dan revitalisasi komunitas. Melalui riset dan pengalaman langsung di lapangan, menjadi jelas bahwa secara umum ada kekurangan keterhubungan di Jakarta mengenai pembangunan kampung. Rasa keterhubungan yang lebih besar akan meningkatkan komitmen, kepercayaan, dan transparansi bagi para pihak yang terlibat.
Lack Of Connections & Communication
Kurangnya Keterhubungan & Komunikasi
A look at existing solutions to flooding point to the lack of consideration for flood resistant communities. What happens when the community is flooded for an extended period of time?
Fig. 5.2 Considering a condition where flooding will exist for most of the year.
... imagine the 100 year flood... every year. disconnect and isolation. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
98
Community Bridge
Pedestrian Bridge
Fig. 5.3 Conceptual Rendering of the Bamboo Bridge at Bukit Duri 99
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
The Bamboo Bridge
The Bamboo Bridge is proposed as a family of bridges extending across the floodplain of the Ciliwung River. It connects kampungs to create access and mobility, and to protect residents from the limitations of urban flooding. The success of social and economic relationships in kampung life depends on the relationship between the residents and the street. The Bamboo Bridge provides a secondary, crucial, path for the residents to use all year round but specifically for use during the monsoon season which is slowly becoming longer and more detrimental. Two types are proposed: the Pedestrian Bridge and the Community Bridge. The Bamboo Bridge provides an opportunity for residents to remain in their kampungs throughout the flood conditions created during monsoon season. During this time in Jakarta many informal businesses located in the floodplain must suspend business and find work elsewhere until it is possible to return. Residents choosing not to relocate often spend time recovering from the floods, cleaning and fixing product spoiled by the raised water. The Bamboo Bridge strengthens social and commercial ties, while linking into shared memory and local culture of the kampung development. The networks of the past are celebrated, and used as inspiration for the future.
Di sepanjang bentangan Kali Ciliwung, terdapat beberapa jembatan bambu. Jembatan tersebut dibuat untuk menjadi penghubung antar kampung, untuk menciptakan akses dan mobilitas, dan untuk membantu warga ketika terjadi banjir. Keberhasilan hubungan sosial dan ekonomi warga di kampung tergantung pada hubungan antara warga dan jalan. Jembatan bambu memberikan jalur sekunder namun krusial bagi warga yang menggunakan jembatan tersebut, khususnya selama musim penghujan, di mana kali menjadi semakin besar dan berbahaya. Jembatan bambu juga memungkinkan warga untuk tetap tinggal di kampung selama banjir yang muncul di musim penghujan. Selama musim penghujan dan banjir ini, banyak kegiatan ekonomi informal harus terhenti dan warga harus mencari mata pencaharian lain. Warga tidak memilih untuk pindah tempat tinggal dan lebih memilih untuk merapikan dan membenahi barang-barang yang telah rusak karena banjir. Jembatan bambu menguatkan ikatan sosial dan komersil, sementara pada saat yang sama juga menghubungkan ingatan bersama dan kultur lokal dari kampung. Keterhubungan dengan masa lalu dirayakan dan digunakan sebagai inspirasi bagi masa depan.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
100
stair + bay component
poured concrete path for ease of vendor carts
construction completed by kampung community
materials provided for by the State
disclaimer: bamboo panels and rooďŹ ng not shown in rendering for clarity of bridge and functions
101
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
column + bay component
1. panels can be inserted horizontal for railings or vertical for privacy and sun protection 2. panels left off to create access from homes
metal rooďŹ ng to protect bamboo
+
bamboo is proposed for panels, but other recycled, found materials can be used (metal, fabric) POSTER
ort to b
102
Fish-mouth Joint by Simón Vélez Source: http://www.deboerarchitects.com/BambooThoughts.html Bamboo Detail by Andrea Fitrianto Source: http://tulaykawayan.blogspot.ca/ 103
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
creating permeable surfaces for flood control
k of t
POSTER
104
N Figs. 5.4 Nine existing vehicular bridges along the 19km length of the Ciliwung River experiencing Normalization. 105
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Bukit Duri and Kampung Pulo Prototype
The locations of the Community Bridges are proposed above existing vehicular bridges throughout the floodplain, where space allows. The density of kampungs make it difficult to find large open areas to build community spaces, but existing vehicular bridges provide open space that is needed. There are nine vehicular bridges along the length of the 19km of the Ciliwung Normalization that vary in size and construction. Assuming the existing structure is credible, these could all be community spaces throughout the floodplain that could connect the pedestrian bridges. They provide continuity along the floodplain and act as a hub of social and economic activity. The existing bridge and area at Bukit Duri was chosen as a prototype for this thesis.
Lokasi konsep “Jembatan Warga” diadakan di sepanjang jembatan penyeberangan kendaraan di sepanjang aliran sungai, sejauh ruang memungkinan. Cukup sulit untuk menemukan area terbuka yang besar yang digunakan untuk membangun ruang warga karena kampung bersifat padat; akan tetapi jembatan penyeberangan kendaraan tersebut memberikan ruang terbuka yang dibutuhkan. Ada sembilan jembatan penyeberangan kendaraan di sepanjang 19 km normalisasi Kali Ciliwung yang ukuran dan bangunannya bervariasi. Dengan mengandaikan strukturnya yang kredibel, jembatan-jembatan tersebut dapat menjadi ruang bersama di seluruh aliran sungai yang dapat menghubungkan jembatanjembatan pedestrian. Jembatan-jembatan tersebut memberikan keterhubungan dengan aliran sungai dan dapat berperan sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi. Jembatan dan area Bukit Duri dipilih sebagai prototipe untuk thesis ini.
Figs. 5.5 The existing vehicular bridge at Bukit Duri currently being used as a sale space for furniture refurbishing. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
106
Bukit Duri (RT 05,06,07,08 RW12)
Kampung Pulo (RT 10,11,12 RW 03)
high density settlements: +14.500m2 and +8.641m2 population: + 691 hh /2407 peoples. Source: Ciliwung Merdeka
Bukit Duri
Fig. 5.6 (left) Bukit Duri in relation to Jakarta. Fig. 5.7, 5.8 (right) Major Flood Conditions at the bend of the river across from Bukit Duri. 107
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Vehicular Bridge Bukit Duri
Kampung Pulo
N
Fig. 5.9 Locating Bukit Duri and Kampung Pulo CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
108
Fig. 5.10 Proposed Community Bridge across the existing vehicular bridge at Bukit Duri 109
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Ciliwung River Jatinegara Market
Bukit Duri
Kampung Pulo N
Fig. 5.11 Site Plan of Bamboo Bridge at Bukit Duri. Direction of bridge was based on available space at the ground floor for vertical supports.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
110
Design Strategies
First Strategy: encourage a collective voice and connectivity
Strategi Pertama: mengusahakan kolektivitas suara dan konektivitas
The first strategy places emphasis on the importance of public space for informal settlements and prepares the community for the worst-case scenario of a permanently flooded landscape. Other flood-adaptive architecture focuses on the individual family dwelling and does not take into account how the community would respond as a whole during flooding.
Strategi awal menekankan pada pentingnya ruang publik untuk pemukimanpemukiman ilegal. Selain itu, juga mempersiapkan masyarakat untuk skenario terburuk saat berhadapan dengan banjir. Arsitektur yang mengusung tema adaptasi terhadap banjir lainnya hanya berfokus pada tempat ringgal keluarga secara individu dan tidak menyinggung bagaimana tanggap bencana masyarakat pada saat banjir tiba.
When floods do occur, residents who are left stranded in their houses have to rely on rafts and string to get around. Kampung residents will place small elevated footpaths between their houses in order to stay connected. Rather than focus on specific flood-adaptive solutions for single dwellings, a communitywide solution was desired to ensure residents are not isolated from one another. The physical barrier of the river and neglect of the state has created tension and feelings of hopelessness in the kampungs. A collective voice and stronger connection between kampungs is needed in order to mobilize and empower the community towards collective action.
Pada saat banjir tiba, para penghuni yang terjebak di dalam rumah mereka harus mengandalkan rakit dan tali jika ingin berpergian. Mereka akan meninggikan rumah mereka agar masih bisa berhubungan dengan tetangganya. Daripada berfokus pada solusi adaptasi terhadap banjir secara spesifik hanya pada satu tempat tinggal, lebih baik ditawarkan solusi bagi masyarakat yang lebih luas agar tidak terisolasi satu sama lain. Beban fisik sungai dan kelalaian negara telah menciptakan tegangan dan rasa putus asa di perkampungan. Kolektivitas suara dan hubungan yang lebih kuat di antara kampungkampung lebih dibutuhkan untuk mengerahkan dan memberdayakan masyarakat menuju tindakan kolektif.
Informal settlements are unique in their relationship to public space. They rely heavily on wasted space and the space in-between as it provides them the physical space to develop informal networks and facilities that support their social relationships.2 Currently when floods occur that public space is removed. It must be replaced to ensure those social and economic relationships are not destroyed. Because there is limited space available in informal settlements, creative solutions must be explored to create new space.
Pemukiman ilegal memang unik dalam sudut pandang ruang publik. Mereka sangat bergantung pada ruang yang tidak terpakai dan ruang-ruang “antara” karena ruang-ruang ini menyediakan bagi mereka suatu ruang fisik untuk mengembangkan jejaring dan fasilitas ilegal lainnya yang juga mendukung ikatan hubungan sosial mereka.2 Saat ini, saat banjir tiba, ruang publik ini harus dipindahkan. Harus dipastikan bahwa hubungan sosial dan ekonomi di antara mereka tidak terputus. Karena terbatasnya ruang yang tersedia bagi pemukiman ilegal, solusi yang kreatif harus dieksplorasi lebih dalam untuk menciptakan suatu ruang baru.
1: Existing Condition
Fig. 5.12 Existing condition of kampung 111
2: Existing Condition + Flood THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.13 (left) Vertical Chicken Coop Fig. 5.14 (right, top) Red string used to guide residents through the roads during flooding Fig. 5.15 (right, bottom) Footpaths placed during flooding for mobility
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
112
Lifting the activities off of the ground
Memindahkan segala bentuk tindakan ke ruang atas (ruang yang lebih tinggi)
The first design step was to relieve the residents of the harmful effects of flooding by lifting the community up above the water and providing a dry path network that enabled daily activities to continue.
Langkah awal adalah untuk menolong para penghuni dari dampak bahaya banjir dengan memindahkan masyarakat ke ruang yang lebih tinggi di atas air dan menyedikan jalanan yang kering agar kegiatan harian masih bisa berjalan normal.
Connecting
Menghubungkan
The bridge extends over houses and the Ciliwung River to connect residents to drier land, neighboring kampungs, and crucial community resources – transit hubs and commercial areas. The Pedestrian Bridges are connected by nodes of public space hovering atop of existing vehicular bridges. These Community Bridges provide the necessary space for community discourse and collective action to combat the political, socioeconomic, and environmental issues that they face.
Jembatan membentang di atas rumah dan kali Ciliwung untuk menghubungkan para penghuni dengan lahan yang lebih kering, kampung-kampung tetangga, dan sumber daya masyarakat yang penting – titik berkumpulnya masyarakat dan area perdagangan. Jembatan ini dihubungkan dengan persimpangan ruang publik yang berada di atas jembatan kendaaraan yang sudah ada. Hal ini tentunya menyediakan lahan yang diperlukan bagi wacana masyarakat dan tindakan kolektif untuk melawan masalah-masalah politik, sosial-ekonomi, dan lingkungan hidup yang mereka hadapi.
A flexible structure
Membangun rangka yang fleksibel
In order to access the bridge, the structure allows the community to independently build up to meet the bridge and connect to it. Local community groups and residents are responsible for the decisions of the design and structure of the upper floors of the houses that must be constructed to meet the bridge.
Untuk bisa mengakses ke jembatan, rangka yang dibangun nantinya memungkinkan masyarakat jika hendak membangun rumah tingkat dengan tetap terhubung pada jembatan. Kelompok masyarakat dan penghuni lokal bertanggung jawab pada keputusan rancangan dan struktur rumah bertingkat yang tetap harus terhubung dengan jembatan.
3: Existing Condition + Bamboo Bridge
Fig. 5.16 Beginning stages of development of Bamboo Bridge 113
4: Existing Condition + Bamboo Bridge + Flood THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.17 Bukit Duri Prototype of Bamboo Bridge CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
114
Second Strategy: creating ownership and giving agency to the community One discipline that architects can borrow techniques from to successfully facilitate behaviour change is psychological and behavioural economics. Adam Ferrier, a consumer psychologist, is an expert on behavioural economics and understands the requirements to influence and motivate people. According to both Adam Ferrier and BJ Fogg, Director of the Persuasive Tech Lab at Standford, there are two main concepts of behaviour change: motivation and ease. Behaviour change is most likely to happen if a person is motivated and it easy for them to do so. If motivation is high but the ability is not there, or vice versa, it becomes more difficult to complete the desired task. As the motivation increases people are able to complete harder tasks. In a lecture entitled ‘The Health Solution’, Fogg stresses his belief on facilitating behaviour change rather than motivating behaviour change.3 There are levels of motivation that range from high to low, and the most successful way to alter the most difficult to change behaviours is to intervene when motivation is at its highest. When our motivation is at its highest peak we are temporarily able to do hard things. It is expected that users will be slow to connect to the Bamboo Bridge until monsoon season is upon them and motivation is high. The first season it might be that people sit atop their room during floods for immediate protection and access the bridge. If the floods are long-lasting, residents might build temporary coverings to protect them or temporary storage to secure their belongings. If funding becomes available the next step would be to build more permanent structures for the following season. It also expected that residents will build various types of protection – from added floors with shops to just covered seating spaces. As Global Chief Strategy Officer / Partner at cummins&partners, Ferrier has had years of experience in the advertising industry and in his recent book, The Advertising Effect: How to Change Behaviour, he teaches of the main strategies for behaviour change, useful in any industry.4 Contrary to some 115
Strategi Kedua: menciptakan rasa memiliki dan menyiapkan agen perubahan dalam masyarakat Salah satu disiplin ilmu yang berhasil menginspirasi teknik para arsitek untuk memfasilitasi perubahan tingkah laku adalah Psikologi dan Ekonomi Perilaku. Adam Ferrier, seorang psikolog konsumen, adalah salah satu ahli dalam Ekonomi Perilaku dan begitu memahami kebutuhan-kebutuhan untuk mempengaruhi dan memotivasi orang-orang. Menurut Adam Ferrier dan BJ Fogg, Direktur Laboratorium Teknologi Persuasi Standford, ada dua konsep penting tentang perubahan perilaku : motivasi dan kemudahan. Perubahan perilaku yang paling mungkin terjadi dan yang relatif mudah adalah pada saat seseorang termotivasi. Sekalipun memiliki motivasi tinggi, tetapi tidak ada kemampuan, atau juga sebaliknya, perubahan perilaku menjadi seperti yang diharapkan terasa lebih sulit. Jika motivasi seseorang meningkat, dia akan sanggup menyelesaikan tugas beratnya. Dalam perkuliahan “Solusi Kesehatan”, Fogg menegaskan bahwa dia lebih yakin untuk memfasilitasi perubahan perilaku daripada memotivasi perubahan perilaku.3 Ada tahapantahapan movitasi dari yang paling tinggi sampai paling rendah. Dan, apa yang paling berhasil mengubah apa yang paling sulit dalam perubahan perilaku adalah tetap berjuang, terlebih saat memiliki motivasi yang tinggi. Saat kita memiliki motivasi yang tinggi, kita akan mampu melakukan beragam hal berat. Mungkin para pengguna akan perlahan-lahan dalam menghubungkan Jembatan Bambu sampai musim hujan ini. Hal ini bergantung pada mereka dan motivasi tinggi mereka. Pada awal musim, mungkin mereka akan memilih duudk di atap rumah mereka saja selama banjir untuk berlindung dan nantinya juga akan mengakses jembatan. Jika banjir terjadi dalam jangka waktu yang lama, para warga mungkin akan membangun atap sementara untuk melindungi mereka sendiri atau membangun tempat penyimpanan sementara untuk mengamankan barang-barang mereka. Jika proses pendanaan memungkinkan untuk melaju pada tahap selanjutnya, maka akan dibangun struktur permanen untuk musimmusim selanjutnya. Pun juga diharapkan agar para warga membangun beragam bentuk perlindungan lainnya – untuk warung-warung mereka sampai ruang duduk mereka. Selaku Kepala Strategi Global Petugas/Rekanan pada Cummins & Partners, Adam Ferrier telah berpengalaman selama bertahun-tahun dalam industri periklanan. Dan, dalam THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
5: Development + Bamboo Bridge
Fig. 5.18 Possible ďŹ nal stages of Bamboo Bridge
6: Development + Bamboo Bridge + Flood
7: Future Growth
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
116
Fig. 5.19 Possible scenarios of housing development alongside The Bamboo Bridge 117
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
skeptics, he believes it is possible to influence others to undertake an intended behaviour. It is impossible to know for certain which behaviours are likely to happen, but there are methods that hint to possible results. There are eight listed influences on human behaviour, but Ferrier states the first three are sufficient for adopting a behaviour: motivation, capacity, and opportunity. A person must have high motivation, have the skills or capacity to perform the behaviour, and be void of constraints that would limit the opportunity for them to do the behaviour. With the Bamboo Bridge, the intended behaviour desired is of kampung development and a commitment to building up to create space for softscape and prepare for a possible future of more recurrent and intense floods. The first concept of behaviour change, motivation, is based on both individual incentives and social norms. We are social in our nature and according to Psychologist Albert Bandura (1977) what others do has the most impact on human behaviour – far more than our individual incentives.5 When deciding if one should undertake a behaviour, many will subconsciously ask themselves how they will appear when doing this behaviour to help them decide if they will partake or not. In order for the success of the Bamboo Bridge, a couple of key players in the kampung would be required to commit to the mission. Once other community members witness the benefit, it will be easier for others to adopt the behaviour and agree to do the same. The second concept of behaviour change, ease, has two components: ability and opportunity.6 Ability depends on someone’s the attributes to complete the behaviour, and opportunity refers to a person’s environment and if it allows that behaviour to take place. The design of the Bamboo Bridge allows residents to build as little or as much as they can to connect to the bridge. It does not require them build stories above their houses, but does encourage it. It is possible some who do not have enough funds simply connect with a ladder for transportation and access to resources. The amount of ease in order to take advantage of the design was kept minimal to allow all to participate.
bukunya yang terbaru, The Advertising Effect: How to Change Behaviour, dia mengajarkan strategi-strategi penting dalam perubahan perilaku yang bermanfaat dalam perusahaan.4 Hal ini berlawanan dengan para skeptik, dia meyakini bahwa masih ada kemungkinan untuk mempengaruhi orang lain agar mengusahakan suatu perilaku yang diharapkan. Sungguh tidak memungkinkan untuk mengetahui secara pasti perilaku mana yang cenderung muncul. Akan tetapi, ada metode-metode yang mengisyaratkan hasil yang memungkinkan. Ada delapan pengaruh dalam perilaku manusia, tetapi Ferrier menyatakan bahwa 3 hal yang pertama cukup untuk mengangkat suatu perilaku : motivasi, kapasitas, dan kesempatan. Seseorang harus memilliki motivasi yang tinggi, memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menampilkan perilaku, dan berani menghadapi kendala yang akan membatasi kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki perilaku. Dengan Jemabatan Bambu, perubahan perilaku yang diharapkan akan menunjukkan suatu pembangunan kampung, suatu komitmen untuk membangun ruang ke atas dan berjaga-jaga kala banjir besar kembali lagi. Konsep pertama dalam perubahan perilaku, Motivasi, didasarkan pada dorongan pribadi dan norma-norma sosial. Kita adalah mahkluk sosial. Menurut Albert Bandura (1977), seorang psikolog, apa yang orang lain lakukan memiliki dampak yang penting bagi perilaku manusia. Jadi, tidak sekedar dorongan pribadi semata.5 Saat memutuskan apakah seseorang sebaiknya mengusahakan perilaku yang baik, banyak orang secara tidak sadar akan bertanya kepada diri mereka sendiri bagaimana mereka akan menampilkan diri saat melakukan perilaku yang dimaksudkan untuk membantu mereka membuat keputusan apakah mereka tetap ikut ambil bagian atau tidak. Demi keberhasilan Jembatan Bambu, dibutuhkan pasangan pemain kunci dari kampung untuk berkomitmen atas tugas ini. Setelah warga lain melihat manfaatnya, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengadopsi perilaku yang baik dan setuju untuk melakukan hal yang sama. Konsep kedua dalam perubahan perilaku, Kemudahan, memiliki dua komponen : kemampuan dan kesempatan.6 Kemampuan tergantung pada apa yang dimiliki oleh seseorang, seperti sifat-sifat untuk memenuhi perilaku yang baik. Kesempatan sendiri merujuk pada apa yang dimiliki oleh lingkungan dan seberapa direstuikah suatu perubahan perilaku yang baik itu mungkin.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
118
There are certain steps one can take to increase motivation and ease to facilitate behaviour change, which Adam Ferrier refers to as action spurs. If the user group has low motivation and ease to complete a certain task there are two action spurs that can boost motivation: ownership and skill-up. Creating ownership was the most important concern for the design. Ownership asks the user, what do you think? Instead of dictating the design with no concern for the opinions of the users, ownership blurs the relationship between designer and user. Members of the community become co-designers as they give their input on what they think should and should not be done. This method gives a sense of control to the user, and the design is valued more than if there was no connection. The Endowment Effect is the theory that people place a higher value on things simply because they own them.7 That same theory is applied to someone co-creating something – a higher value is placed on the creation. Residents in informal settlements place a higher value on their community because they are responsible for its creation. Many architects who design interventions for informal settlements fail to involve the community in the design and construction, and realize the end product isn’t valued, used, or maintained as planned. The architects’ role in contributing to informal settlements should involve the community and create ownership in the design. If the architect is to seek a certain behaviour or result from their design – for example, more structurally sound dwellings to fight against natural disasters, the
Rancangan Jembatan Bambu memberikan ruang bagi para warga untuk membangun sarana untuk menghubungkan mereka dengan jembatan ini. Upaya ini tidak menuntut mereka untuk membangun lantai-lantai atau loteng-loteng di atas rumah mereka. Akan tetapi, justru mendorong mereka untuk membangun sarana yang dimaksudkan agar mereka terhubung dengan jembatan. Dimungkinan bagi siapa saya yang tidak memiliki dana untuk membangun penghubung dengan tangga sebagai sarana transportasi dan mengakses ke sumber-sumber penghasilan. Beragam kemudahan untuk mendapatkan manfaat dari desain jembatan ini akan tetap diupayakan minimalis agar semua warga bisa terlibat. Ada langkah-langkah pastii yang dapat dilakukan seseorang untuk meningkatkan motivasi dan kemudahan untuk memfasilitasi perubahan perilaku, yang merujuk pada dorongan dalam bertindak. Jika para pengguna memiliki motivasi yang rendah dan kesulitan untuk menyelesaikan tugas tertentu, ada dua dorongan tindakan untuk meningkatkan motivasi : Rasa Memiliki dan Ketrampilan. Menciptakan Rasa Memiliki adalah hal yang paling penting jika menimbang soal rancangan jembatan. Rasa Memiliki membuat warga bertanya “Apa yang kamu pikirkan?”. Alih-alih mendikte rancangan tanpa memperdulikan opini para warga, Rasa Memiliki malah mengaburkan hubungan antara perancang dengan warga. Para warga menjadi rekanperancang sebagaimana mereka memberikan masukan tentang apa yang mereka pikirkan menyangkut apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Langkah ini memberikan rasa Pengendalian Diri kepada para warga. Rancangan pun jadi lebih bermakna. Dampak Sumbangsih macam ini adalah teori yang mengatakan bahwa orang menempatkan nilai lebih pada hal-hal yang sederhana karena mereka memiliki Rasa Architect
Architect
User
User
Participatory Design Process
Traditional Design Process
119
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Incremental Housing Strategy by architects Filipe Balestra and Sara GÜransson is a successful project that included community participation in all stages of design. The project is a strategy to incrementally develop informal settlements into permanent urban districts. The design of the dwelling allows for gradual improvements when funding is available as an alternative to demolition and rebuilding. This project is an example of onsite development of informal settlements that help to give permanence and recognition to the community. Engaging the community in the process of the design gave ownership to the community and encouraged motivation towards neighborhood development. . The architects’ role in this project was a collaboration with the community and prompted the Indian government to initiate a grant program of 4500 euro / family for those living in an old temporary structure not suitable for living. The role of the architect is not necessarily a designer in this case but more appropriate as an intermediary between community and government, creating awareness and attention to the needs of the informal.
encouragement of recycling or proper waste disposal, or rainwater harvesting – the community must be involved in order for these behaviours to take place. Participation in the planning and construction phases of the Bamboo Bridge gives the community ownership of the project while at the same time improves their skills that can be used for future construction of their individual dwellings. The design is supportive of this co-creation and gives agency to the community to move towards on-site kampung development.
Memiliki.7 Teori yang sama juga bisa diaplikasikan terhadap orang yang menjadi rekanan perancang suatu hal – sebuah nilai lebih yang disematkan pada proses kreasi. Para warga di pemukiman ilegal memberikan nilai lebih terhadap komunitas mereka karena mereka turut bertanggung jawab pada proses pengerjaannya. Banyak arsitek yang merancang turut berperan dalam pembangunan pemukiman ilegal gagal melibatkan masyarakat dalam rancangan dan konstruksi. Mereka menyadari pada akhirnya bahwa hasilnya tidak bernilai, tidak bermanfaat, dan tidak bisa dirawat seperti perencanaannya. Para arsitek dalam kontribusinya terhadap pemukiman ilegal hendaknya melihatkan masyarakat dan menciptakan Rasa Memiliki terhadap rancangannya. Jika seorang arsitek mencari perilaku tertentu atau hasil dari rancangan mereka, misalnya rumah yang dibangun lebih kokoh saat ada bencana alam, dorongan untuk mendaur ulang limbah, atau penampungan air hujan, masyarakat harus dilibatkan agar maksud dari perubahan perilaku yang diharapkan bisa diwujudkan. Partisipasi dalam fase perencanaan dan konstruksi Jembatan Bambo memberikan masyarakat Rasa Memiliki terhadap proyek ini. Sementara itu, di waktu yang sama, mereka juga mengembangkan kemampuan mereka yang nantinya dapat digunakan untuk rancangan konstruksi selanjutnya, khususnya untuk membangun tempat tinggal mereka. Rancangan ini mendukung masyarakat untuk menjadi rekanan dalam pembangunan, sekaligus menyiapkan agen-agen perubahan kepada masyarakat untuk mau maju bersama mengembangkan kampung.
Figs. 5.20 Incremental Housing Strategy empowering residents in Pune, India CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
120
The design of the Bamboo Bridge is broken up into various components that can be applied differently depending on the kampung’s need and the space available. During the planning stage residents can decide as a community where the bridge will go, where it will terminate, and what other buildings it will connect to. The ability for the community to decide how the parts come together gives them control and ownership of the design; they become co-designers. By simply asking their opinion rather than dictating the design, they become invested in it and ďŹ nd it difďŹ cult to let go. Through this process a higher value is placed on the Bamboo Bridge and the likelihood of the residents building-up to meet and use the bridge is increased.
Rancangan atau desain dari Jembatan Bambu dibagi-bagi dalam beragam komponen yang dapat diaplikasikan secara berbeda tergantung pada kebutuhan kampung dan ruang yang tersedia. Selama tahap perencaaan, para warga sebagai suatu masyarakat dapat memutuskan dimana jembatan hendak dibangun, dimana ujung jembatan, dan bangunan apa yang bisa berhubungan dengan jembatan ini. Kemampuan masyarakat untuk memutuskan bagaimana bahan material dapat didatangkan dan diadakan memberikan mereka daya kontrol dan rasa memiliki terhadap rancangan. Mereka menjadi rekananperancang. Dengan mengajukan pertanyaan sederhana tentang rancangan daripada mendikte rancangan, mereka turut terjun dalam proyek pembangunan ini. Mereka pun menjadi terikat dan susah untuk tidak menghiraukannya. Melalui proses ini, Jembatan Bambu memiliki nilai lebihnya sendiri dan jumlah para warga yang ingin membangun ruang ke atas untuk terhubung dengan jembatan dan menggunakan jembatan ini pun bertambah.
to Jatinegara Market Bukit Duri
Ciliwung River
Fig. 5.21 Section of Bamboo Bridge over Bukit Duri heading towards Jatinegara Market 121
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Components panels
dimensions (mm)
Combinations
elevations
bay
column
stair
Fig. 5.22 Pedestrian Bridge Components. The proposed Bamboo Bridge prototype at Bukit Duri and Kampung Pulo display how these components could potentially come together for the community. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
122
N
Fig 5.23 (top) Key Plan 123
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
There are levels of ownership that can be utilized by the architect, and the greater the involvement, the greater the value of the end product. The residents can be involved through survey and focus groups during the design stage to have input in the design, a method which is becoming more prevalent in the public interest design sector. The ďŹ rst level of involvement is the ability for the community to decide how the design components come together. The second, is that the community which is responsible for construction, which instills more value and therefore the more motivated they will be to change their behaviour to align with the goals of the design. Often the architect is a visitor, and once they are gone after construction the community is left to occupy and maintain the structure. It is proposed that residents, in collaboration with local community groups, are responsible for construction of the Bamboo Bridge. It was important that the design be kept simple and easy to understand. Knowledge of its construction and structure must be left with the residents. Ownership ensures a power shift from the architect to the community.
Ada beberapa tahapan dari Rasa Memiliki yang dapat diberdayakan oleh sang arsitek, dan semakin besar keterlibatan, semakin besar pula nilai dari jembatan ini. Para warga dapat dilibarkan melaui jejak pendapat dan diskusi kelompok pada tahap perencanaan untuk memberikan masukan. Metode ini akan menjadi lebih populer dalam sektor rancangan kepentingan umum. Tahap pertama dalam keterlibatan mereka adalah kemampuan masyarakat untuk memutuskan bagaimana komponen-komponen rancangan bisa didatangkan. Kedua, masyarakat yag bertanggung jawab juga dalam proses konstruksi, yang menanamkan nilai lebih. Oleh karena itu, semakin mereka termotivasi, semakin mereka mengubah perilaku mereka sesuai tujuan dari rancangan jembatan. Sering kali, arsitek hanya sekedar menjadi pengungjung saja. Setelah sang arsitek pergi, konstruksi yang dibangun pun ditinggalkan oleh warga dan mereka enggan merawatnya. Karena sudah direncanakan, para warga bertanggung jawab atas konstruksi Jembatan Bambu. Dan, ini adalah hal yang penting bahwa rancangan disajikan dengan mudah dan sederhana agar bisa dipahami oleh banyak orang. Pengetahuan akan konstruksi dan struktur harus diberikan kepada para warga. Rasa Memiliki meyakinkan suatu daya yang berpindah dari sang arsitek kepada masyarakat. Jatinegara Market
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
Fig. 5.24 Crossing Ciliwung River Fig. 5.25 Connection to Jatinegara Market 124
N
Jatinegara Market
Jalan Jatinegara Barat 0
20m
Fig. 5.26 (top) Key Plan Fig. 5.27 Pedestrian Bridge crossing Jalan Jatinegara Barat towards Jatinegara Market 125
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Skill Up, according to Adam Ferrier, is the second action spur that addresses ease to complete a task.8 Skill up, which I refer to as education, teaches the user how to do the desired behaviour. This technique is important when the user does not have the sufďŹ cient resources or skills. One of the biggest barriers to adopting a behaviour is simply that there is a lack of knowledge. It is less likely that someone will participate in an activity if they do not know the correct terms and techniques associated with the topic. The motivation might be there to complete a task but if the user does not have the skills to do so, that motivation is wasted. Part of what an architect can contribute to informal communities is education and resources. This information can be taught through classes or with the community during construction of the Bamboo Bridge. It is proposed that material and construction costs for the Bamboo Bridge be funded by the State. Rather than allocating funds towards a new development and providing compensation fees from eviction, it is proposed the money be put towards on-site development.
Peningkatan Ketrampilan, menurut Adam Ferrier, adalah dorongan tindakan kedua untuk mengatas Kemudahan dalam menyelesaikan tugas.8 Peningkatan Kemampuan, dalam hal ini bisa dimengerti sebagai Pendidikan, mengajarkan kepada para warga bagaimana untuk mewujudkan perilaku yang diharapkan. Teknik ini sungguh penting saat para warga tidak memiliki sumber daya yang atau kemampuan yang memenuhi standar. Salah satu beban terberat untuk mewujudkan perubahan perilaku adalah soal Miskin Pengetahuan. Hal ini seperti seseorang yang ingin berpartisipasi dalam suatu kegiatan akan tetapi dia tidak tahu menahu soal kosakata yang digunakan dan teknik yang dilakukan. Motivasi bisa jadi mendorong seseorang untuk menyelesaikan misinya. Akan tetapi, jika para warga tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukannya, motivasi akan terbuang sia-sia. Bagian dari apa yang seorang arsitek sumbangkan bagi masyarakat pemukiman ilegal adalah Pendidikan dan Sumber Daya. Informasi yang diajarkan dapat diberikan melalui kelas-kelas atau kepada masyarakat secara langsung saat proses pembangunan Jembatan Bambu. Rencananya, segala bahan material dan ongkos pembangunan Jembatan Bambu ini didanai oleh pemerintah. Daripada mengalokasikan dana untuk pembangunan baru atau menyediakan uang kompensasi penggusuran, lebih baik jika yang ini digunakan untuk pembangunan seperti yang dimaksudkan di sini.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
126
N
127
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.28 (top, opposite) Key Plan Fig. 5.29 Pedestrian Bridge crossing Jalan Jatinegara Barat towards Jatinegara Market
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
128
Fig. 5.30 Possible termination of Pedestrian Bridge with column component. 129
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.31 Possible termination of Pedestrian Bridge with stair component. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
130
N
131
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.32 (top, opposite) Key Plan Fig. 5.33 Pedestrian Bridge crossing Ciliwung River towards Kampung Pulo.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
132
Indonesia is one of the countries with the largest bamboo resources in the world. In 1980 two of the largest cities of Indonesia – Jakarta and Surabaya – had 41.5% of dwellings of the low income groups still constructed from bamboo.9 The community is familiar with this material but there is still room for improvement with construction techniques. Residents would be employed during the construction of the Community Bridge to learn better methods of bamboo construction. A bamboo structure has very low weight and the foundation can be minimized, which limits the amount of interference at the ground.
Indonesia adalah salah satu negara penghasil bambu terbesar di dunia. Pada 1980, dua dari kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta dan Surabaya, memiliki 41,5% rumah penduduk dengan penghasilan rendah yang terbuat dari bambu.9 Masyarakat tidak asing dengan bahan material ini. Akan tetapi, masih terbuka ruang untuk pengembangan dengan teknik-teknik konstruksi lainnya. Para warga akan diajak untuk bekerja selama proses pembangunan jembatan pasar untuk belajar metode-metode penggunaan bambu dengan lebih baik. Struktur bambu memiliki berat yang cukup ringan dan pondasi yang masih dapat diminimalisir, yang mengurangi perusakan tanah sebisa mungkin.
Figs. 5.34 (above and opposite) Davao Bridge designed by Andrea Fitrianto. The bridge was pre-assembled completely on a lawn besides the road and the operation only required a two hour road block. At a weight of 8 tons, a mobile crane simply lifted it onto the bridgeheads. The entire project was ďŹ nished in one month. 133
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
The community center in Yogyakarta, Indonesia, is an example of unique architectural solutions in areas of intense density that lack physical space. The community faced the constraints of space and ďŹ nancial support but needed a larger meeting space to host meetings and gather residents. The community center sits atop a drainage facing the river and was built by volunteers from the community. The bamboo community center was initiated by a group of community women apart of Kalijawi collective, a city-wide network consists of 31 riverside communities in Yogyakarta. Built out of local black bamboo, construction took less than two months. The steel bolt and mortar joinery system used was new to the volunteers but instilled conďŹ dence in the participants and taught them new skills.
Fig. 5.35 (top) A community center made out of bamboo built above drainage situated in Kampung Pakuncen, Yogyakarta, Indonesia. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
134
The roof shown to the left was designed by architect Simón Vélez, pioneer of the modern use of bamboo in architecture. The roof design was used as a case study for the roof of the Community Bridge. Vélez, in collaboration with friend Marcelo Villegas and colleagues, developed the fish-mouth joint, which creates strong joints between bamboo canes by injecting them with cement. At the points where joints are to be made, liquid cement is injected and then steel plates and screens are inserted. Vélez also employs the technique of plastic drinking bottles as moulds for concrete connections. The bottles are inserted into the concrete-filled ends of the bamboo. Steel connectors are then inserted into the concrete-filled bottle. Simón Vélez has been creating beautiful structures with a material often associated with the poor. His work has positively contributed to the changing perception of bamboo as a construction material.
Fig. 5.36 (top) Bamboo Roof by Simon Valez Fig. 5.37 (bottom) Community Bridge components 135
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
The issue of waste disposal is a controversial topic in Jakarta. Many blame the kampungs for much of the trash in the Ciliwung River. While it is difficult to attribute the trash to any one single population, the residents do in fact use the Ciliwung River as a waste disposal site. Part of the reason is the lack of space to sort trash and locate recyclables. The exact nature and purpose of the Community Bridge was left flexible but offers the potential to contribute to better waste management. The community spaces above the existing vehicle bridges offer space for trash to be collected, sorted, sold or transferred to larger waste disposal sites. The trash can be transported via the Bamboo Bridge from collection points throughout the bridge. The Bamboo Bridge changes the environment for the residents and could possibly contribute to better waste management and encourage more sustainable methods.
open air to allow air to flow through structure, yet covered to protect users from the sun
flex space for market, garbage collection
Masalah pembuangan sampah yang sembarangan adalah topik kontroversial di Jakarta. Banyak orang menyalahkan warga kampung bantaran kali yang dianggap paling banyak membuang sampah ke kali Ciliwung. Meski susah untuk mencari konektivitas antara sampah dengan suatu populasi manusia, para warga memang pada kenyataannya menjadikan kali Ciliwung sebagai tempat pembuangan sampah. Soal kekurangan tempat untuk memilah sampah dan menemukan tempat daur ulang adalah alasan yang diungkapkan. Meskipun sifat dan tujuan Jembatan Masyarakat dianggap tidak fleksibel, tapi menawarkan kontribusi bagi perbaikan pengaturan sampah dan limbah. Ruang-ruang warga di atas jembatan kendaraan yang sudah ada membuka kemungkinan sampahsampah masih bisa dikumpulkan, disortir, dijual, dan dibuang ke tempat pembuangan sampah yang lebih besar. Sampah dapat dipindahkan dari tempat-tempat pengumpulan sampah melalui Jembatan Bambu. Jembatan Bambu mengubah lingkungan hidup bagi para warga dan menyumbangkan kontribusi bagi pengaturan sampah dan limbah, dan tentunya, semakin menggiatkan langkah-langkah selanjutnya.
circulation
The Community Bridge component can be multiplied to span the length of any existing vehicular bridge it extends over.
Sufficient space provided below the floor deck for cars to pass through
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
136
Community Bridge
connecting ramp to Pedestrian Bridge
Community Bridge structure
existing vehicular bridge Fig. 5.38 (top) Transition to Pedestrian Bridge. Fig. 5.39 (bottom) Underside of Community Bridge sitting atop existing vehicular bridge. 137
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
Fig. 5.40 Community Bridge in use as market above existing vehicular bridge. CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
138
circulation on Community Bridge
Community Bridge
stair connection and transition corridor
stair connection from ground with transition corridor to avoid congestion
Bukit Duri Ciliwung River Figs. 5.41 (top) Perspectives of community bridge above existing vehicular bridge. Fig. 5.42 (bottom) Longitudinal section of community bridge with vertical access at each end. 139
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
+5M
Ciliwung River Jatinegara Market
Bukit Duri connecting ramp up
+7M
to Pedestrian Bridge
+7M
Kampung Pulo
N
Fig. 5.43 Floor plan of Bamboo Bridge Prototype at Bukit Duri CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
140
N
Fig. 5.44 (top) Key Plan Fig. 5.45 The Transition in Elevation with Community Bridge in Behind 141
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
proposed
community bridge existing vehicular bridge
Fig. 5.46 Section of Community Bridge Above Existing Vehicular Bridge CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
142
Fig. 5.47 (top, right) Key Plan Fig. 5.48 The Transition Between Community Bridge and Pedestrian Bridge 143
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
N
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
144
Fig. 5.49 Looking towards Bukit Duri with Bamboo Bridge Proposal 145
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
A Future Above Water
The first stages of the Bamboo Bridge accommodate the community’s short term needs. Currently, residents move all belongings to the highest rooms in their houses during floods. The Bamboo Bridge encourages residents to build-up incrementally to connect with the new, elevated path. It is an alternative location for shop-houses and provides salvation for both personal and commercial life during annual floods. The Bamboo Bridge extends throughout the kampungs over houses, through the floodplain, and across the Ciliwung River. It connects residents to higher elevations for drier land, existing markets, and transit stations, and connects neighbouring kampungs across the river. As the community builds up, the ground floors can be opened up to create more areas for softscape that will contribute to flood mitigation. With environmental conditions worsening, Jakarta’s floods are only intensifying. Coupled with potential higher frequency, there could be in addition major floods every year, with constant flooding for extended periods. Despite the government’s best attempts to be prepared, the flooding has continually surpassed their declared expectations, with 50- and 100-year floods occurring several times in the past two decades. As such, this thesis aims to plan for a worst-case scenario of a 100-year flood occurring every year. As the flooding increases, Jakarta faces the potential of pockets of low-lying urban areas permanently flooded. The city must prepare for possible life above water.
Jembatan bambu mampu memberi akomodasi terhadap kebutuhan jangka pendek komunitas warga. Selama banjir, warga memindahkan semua barang mereka ke ruangan paling tinggi di rumahnya. Jembatan bambu juga membantu warga untuk membuat jalur mobilitas di atas air, di mana ini dapat menjadi lokasi alternatif untuk memindahkan warung yang ada di rumah mereka. Demikianlah jembatan bambu ini mampu menyelamatkan warga untuk kehidupan personal dan komersial mereka selama banjir tahunan berlangsung. Jembatan bambu ini membentang di seluruh kampung dan menghubungkan setiap rumah. Ia terbentang di atas banjir dan Kali Ciliwung. Jembatan ini juga menghubungkan warga ke lokasi yang lebih tinggi, ke tempat yang lebih kering, ke warung-warung yang ada di atas rumah, ke tempat persinggahan, dan jembatan ini juga menjadi penghubung antar kampung yang berseberangan dengan sungai. Sembari masyarakat membangun ruang di atas banjir, lantai rumah paling bawah dapat digunakan sebagai area mitigasi banjir. Dengan kondisi lingkungan yang memburuk, banjir Jakarta juga semakin intensif. Bersamaan dengan potensi frekuensi yang lebih tinggi, dikhawatirkan ada banjir besar setiap tahunnya dengan frekuensi banjir yang konstan untuk waktu yang lebih panjang. Meskipun pemerintah telah melakukan upaya terbaiknya, banjir tetap terjadi beberapa kali dalam dua dekade terakhir ini. Oleh karena itu, thesis ini bertujuan untuk melakukan perencanaan atas segala kemungkinan terburuk yang terjadi sehubungan dengan banjir yang terjadi setiap tahunnya. Sementara banjir meningkat, Jakarta menghadapi potensi daerahdaerah dataran rendah yang rawan banjir permanen. Dengan demikian, Jakarta harus mempersiapkan segala kemungkinan kehidupan di atas air.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
146
Fig. 5.50 The Bamboo Bridge Extended Along the 19km of the Ciliwung River. 147
THE FLOATING MASS: LIFE ABOVE A LIQUID LANDSCAPE
The Bamboo Bridge provides kampungs vulnerable to permanent flooding a framework that encourages the process of incrementally building up to form a community living above a liquid landscape. Lifting the community off the ground creates a permeable surface for flood waters to percolate back into the ground. When and if the low-lying areas of Jakarta become permanently flooded the community will be able to continue life above a liquid landscape. The Bamboo Bridge is proposed as an integral community framework, to encourage kampung development. Working independently with local non-profit organizations, the bridge has the ability to connect with new housing projects. The Bamboo Bridge acts as the starting point for community revitalization, and is driven by a revitalization of economic activities. At its heart, it is about interaction, human relations, and forming spaces to catalyze social activity. These activities create living memories and create a future of positive growth along the Ciliwung River.
Jembatan Bambu ini memberikan, bagi kampung-kampung yang rentan terhadap bencana banjir yang rutin, suatu struktur yang mendorong proses pembangunan tambahan ruang ke atas secara bertahap untuk membentuk sebuah kehidupan masyarakat di atas daerah perairan. Penyediaan ruang atas bagi perumahan masyarakat ini tentunya membantu tersedianya permukaan yang dapat ditembus oleh air sebagai resapan pada saat banjir. Saat dan jika daerah-daerah permukaan rendah di Jakarta ini terkena banjir, mayarakat akan tetap bisa tinggal di atas daerah perairan ini. Jembatan Penyebrangan ini digagas sebagai suaru kerangka masyarakat yang integral, untuk menggalakkan pengembangan kampung. Melalui kerja bersama dengan LSMLSM lokal secara independen, seperti dengan Ciliwung Merdeka, jembatan ini akan mampu menjai penghubung bagi proyek perumahan yang baru. Jembatan Penyebrangan ini adalah langkah awal bagi revitalisasi masyarakat, dan didorong oleh revitalisasi kegiatankegiatan ekonomis. Pada intinya, upaya ini adalah sebuah interaksi, suatu hubungan antarmanusia, dan pembangunan ruang sebagai katalisator tindakan sosial. Kegiatan-kegiatan ini menciptakan kenangan-kenangan hidup serta sebuah masa depan pembangunan yang cerah sepanjang bantaran kali Ciliwung.
CHAPTER 5: THE BAMBOO BRIDGE
148