REPUBLIKA
RADEN SALEH S
iapakah Raden Saleh itu? Bila pertanyaan ini diajukan kepada anak-anak sekolah atau bahkan orang dewasa, pasti banyak sekali yang akan menggelengkan kepala. Mereka dijamin tak akan mengenalnya. Begitu juga ketika ditanya apakah pernah tahu atau mendengar adanya lukisan yang “mencengangkan”—lukisan “Penangkapan Diponegoro”—yang kini berada di ruang kerja presiden di Istana Negara, pasti hal ini pun jarang sekali mengetahuinya. “Ketika saya meliput di Istana dari zaman Bung Karno hingga awal Orde Baru, lukisan ‘Penangkapan Diponegoro’ itu belum ada. Lukisan itu baru datang sekitar akhir tahun 70an. Nah, ketika sudah dikembalikan ke Indonesia, lukisan itu kini tergantung atau disimpan di ruang kerja presiden,” kata Alwi Sihab yang kini sering menjadi narasumber bagi rombongan yang meminati kunjungan ke berbagai situs sejarah di sekitar Jakarta, termasuk Istana Negara. Memang, meski Istana Negara pada harihari tertentu dibuka untuk umum, tapi pasti tak semua orang yang datang ke Istana dapat masuk ke dalam ruang kerja presiden secara leluasa. Alhasil, publik yang pernah melihat seperti apa lukisan itu masih sangat terbatas.
Beruntung, mulai 2 Juni hingga 17 Juni 2012, Galeri Nasional Indonesia yang letaknya persis di seberang Stasiun Gambir, Jakarta, akan menggelar perhelatan besar pameran lukisan karya Raden Saleh. Bahkan, seperti yang ditegaskan Direktur Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana, lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang kini dipajang di ruang kerja presiden itu dipastikan bisa dinikmati oleh publik. Bukan hanya itu, koleksi beberapa lukisan Raden Saleh lainnya, yang sekarang tersimpan di Istana Bogor dan Istana Negara Yogyakarta, serta beberapa karya lukisan dia yang telah menjadi milik pribadi dari beberapa orang, akan turut dipamerkan. ‘’Kami sendiri memang sudah lama menantikan adanya pamerankarya dia. Sekitar 40 lukisan Raden Saleh akan dipajang pada pameran kali ini,” kata Direktur Galeri Nasional Indonesi,a Tubagus Andre Sukmana. Diakui Andre, untuk menggelar karya ini jelas bukan soal mudah. Apalagi, banyak sekali karya Raden Saleh sudah punya nilai ekonomi dan historis yang sangat tinggi. Dan, dia pun merasa beruntung organisasi tertentu, seperti Goethe-Institut Indonesia, Kedutaan Besar Federal Jerman di Indonesia, dan perusahaan mobil BMW turun tangan dengan memprakarsai adanya pameran tersebut. Pada sisi lain, memang sebenarnya nama Raden Saleh sudah begitu akrab dengan publik Indonesia, khususnya Jakarta. Sebuah ruas jalan di kawasan Cikini tertera atas namanya. Di salah satu sisinya memang ada rumah peninggalan dia yang kini menjadi Rumah Sakit P.G.I Cikini. Bekas rumah Raden Saleh kini menjadi kantor direksi dan ruang perawat. Namun, ruang lantai atasnya sekarang dibiarkan kosong karena terancam ambruk karena kayu-kayu telah banyak lapuk. Beberapa waktu sebelumnya ruangan itu masih sempat dipakai sebagai kantor, namun dengan alasan keamanan karena takut ambrol ruangan itu tak dipakai lagi. Sementara itu, sisa peninggalan Raden Saleh juga kini sudah bersalin rupa. Sebagian halaman rumahnya kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) dan kompleks kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), hotel, perkantoran, hingga rumah sakit yang dikelola Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Dahulu, di kompleks ini pun ada kebun binatang yang juga merupakan peninggalan Raden Saleh. Tapi, ini pun kini sudah tidak ada lagi, karena lokasi kebun binatang itu kemudian dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Penanda bahwa di sekitar Cikini sempat ada kebun binatang masih tersisa dengan sebuah ruas jalan yang bernama Jalan Kebun Binatang yang letaknya di seberang kolam renang Cikini (kini menjadi Hotel Formula 1). “Kompleks rumah Raden Saleh itu memang sangat luas. Lingkupnya mulai dari IKJ dan TIM, hingga terus ke Rumah Sakit PGI Cikini, sampai ke tepian jembatan Kali Ciliwung yang kini ada masjidnya. Kompleks rumah ini dijual Raden Saleh sebelum pindah ke Bogor. Dia menjualnya kepada sahabatnya yang juga keturuan Arab, yakni Sayid Abdullah bin Alwi Alatas. Lalu pada tahun 1897, rumah itu dibeli oleh Yayasan Kristen yang bergerak pada pelayanan kesehatan. Yayasan ini milik Ratu Emma setelah itu kemudian berdiri rumah sakit sampai sekarang,” kata Alwi Sihab. Selain jejaknya terlacak di kawasan Cikini, sebenarnya jejak Raden Saleh juga terlacak di Bogor. Raden Saleh sempat mengontrak sebuah rumah di dekat Kebun Raya Bogor, yang kini menjadi Bogor Trade Mall. Sedangkan, makam Raden Saleh juga berada di kota hujan itu, tepatnya di Kampung Empang, Bogor. Dia dimakamkan berdampingan dengan istrinya yang seorang ningrat dari keraton Yogyakarta
23
MAESTRO LUKIS YANG TERLUPAKAN ■ Oleh Muhammad Subarkah
Selama ini Raden Saleh adalah sosok seniman yang terkesan dilupakan oleh para pembuat kebijakan negeri ini. Padahal karya dia telah menjadi kazanah bangsa.
dan juga putri seorang pemimpin perang Pasukan Diponegoro, Raden Ayu Danudirdja. “Pada 1953 makam Raden Saleh dipugar Presiden Soekarno. Kemudian, pada 2007, Galeri Nasional pun memugar makam itu kembali. Dan, pada 2010 Presiden Yudhoyono menganugerahi bintang Maha Putra untuk Raden Saleh,” ujar Alwi. Bila dilihat dari buku-buku sejarah, sosok Raden Saleh memang tidak dikenal. Bahkan, Budi N D Dharmawan, dalam tulisannya di majalah National Geographic Indonesia menyebut, sosok ini sebagai “Pelukis Sang Raja yang Kesepian”. Apalagi, beberapa pemerhati seni lukis Indonesia juga masih meragukan mengenai tanggal pasti kelahirannya, apakah lahir pada 1807, 1811, atau 1814? Namun, meski masih ada perbedaan tahun lahir, tapi semua sepakat bila Raden Saleh itu lahir di Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan catatan yang ditulis Dharmawan, Raden Saleh semasa kecil tinggal bersama ibunya di Terbaya, di rumah seorang pamannya yang menjadi Bupati Semarang, Raden Surahadimanggala V. Keluarga Saleh ini masih keturunan Kiai Ngabehi Kertabasa Bustam, seorang pembantu bupati di Semarang dan pendiri keluarga besar Bustaman. Leluhur mereka berasal dari keturunan Arab dari Handramaut, Yaman Selatan. Raden Saleh diindikasikan ditinggal mati ayahnya semenjak kecil. Mengutip tulisan Dharmawan, Raden Saleh belajar melukis semenjak usia sembilan tahun. Dia belajar melukis dibawah bimbingan seorang seniman asal Belgia, Antonine Auguste Joseph Payen. Setelah Payen pulang ke Brussel pada 1926 atas rujukan dia, Raden Saleh kemudian menjadi pegawai magang di kantor Residen Priangan di Cianjur sembari terus belajar melukis.
SELASA, 5 JUNI 2012
Pada Maret 1929, Raden Saleh kemudian pergi ke Belanda. Selama tinggal di Belanda biaya hidupnya ditanggung Kementerian Tanah Jajahan. Dalam hal ini, Dharmawan menyebut Raden Saleh sebagai “anak negara”. Pada periode ini Raden Saleh belajar melukis di bawah pelukis potret Cornelis Kruseman dan juga penulis pemandangan Andries Scelfhout. Meskipun belajar pada seniman top Belanda, Raden Saleh ternyata kerap kali merasa jengah. Dia sering mengalami kebingungan atau “gegar budaya”. Ini karena dia kerap kali diminta melukis potret orang Eropa atau melukis adegan
dalam Injil. Akibatnya, dia gundah karena meski sudah tinggal dan mendapat pendidikan layaknya orang Barat, Raden Saleh tetap merasa dirinya sebagai orang Jawa dan beragama Islam. Untunglah, keresahan tidak berlangsung terlalu berlarut-ralut. Pada suatu kesempatan ketika melawat ke sejumlah museum di Jerman, dia memutuskan untuk menetap di Dresden. Karena merasa cocok dengan sikap terbuka warga Dresden, ia memutuskan untuk tinggak di kota kecil itu. Karena merasa posisi dirinya diakui, kreativitasnya pun melimpah. Berbagai studi sketsa aneka binatang yang dahulu dilakukan di Den Haag, Belanda, kini dimatangkanya menjadi sebuah lukisan yang punya mutu tinggi, seperi lukisan “Upaya Terakhir” yang mengisahkan kecemasan seorang lelaki Arab yang tengah berpegangan pada ranting sebuah pohon di tepi jurang sementara kuda yang ditungganginya tengah diterkam seekor singa. Dharmawan malah dengan berani menyebut masa tinggalnya di Dresden adalah masa kelahiran kembali Raden Saleh untuk menjadi seniman sesungguhnya. Dharmawan menambahkan, selain tinggal di Belanda dan Jerman, Raden Saleh juga di beberapa negara lainnya, seperti Prancis, Inggris, dan Italia. Namun, khusus di Dresden Raden Saleh punya jejak tersendiri, yakni adanya sebuah masjid yang dibangun oleh Mayor Serre untuk Raden Saleh. Masjid itu dikenal dengan sebutan Masjid Biru. Raden Saleh mengembara di Eropa selama 23 tahun. Pada 1852, dia pulang ke Batavia. Karena tergelitik dengan kisah Perang Diponegoro, setahun kemudian dia peri ke Magelang untuk melihat langsung lokasi rumah Residen Kedu, di Magelang yang menjadi tempat penangkapan Diponegoro. Saat itu, dia melakukan obervasi untuk melukis kembali suasana penangkapan Diponegoro yang pernah pula dilukis oleh Nicolaas Pienaman atas pesanan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Dahulu, malahan Raden Saleh pernah melihat pembuatan lukisan itu yang diberi nama oleh Pienaman sebagai “Penyerahan Diponegoro” ketika dia berada di Belanda. Dan, setelah melakukan obersevasi maka pada 1857 lukisan “Penangkapan Diponegoro” yang berukuran 112x178 sentimeter bershasil diselesaikan dan kemudian diserahkan kepada Raja Willem III di Den Haag. Lukisan itu memang baru pulang ke Indonesia pada 1978 atau setelah 121 tahun menjadi milik Kerajaan Belanda.
Suasana keterasingan publik akan sosok Raden Saleh itulah yang kini dicoba untuk dihilangkan. Budayawan Goenawan Mohamad mengatakan, adanya pameran ini diharapkan dapat membuka lagi pemahaman akan sosok maestro lukis ini. Apalagi, memang selama ini Raden Saleh adalah sosok seniman yang memang terkesan dilupakan oleh para pembuat kebijakan negeri ini. “Mudahan-mudahan pameran ini bisa memperkenalkan kembali sosok Raden Saleh yang sudah dilupakan orang itu. Dan, mudahanmudahan pemerintah sadar bahwa karya-karya Raden Saleh ini adalah khazanah kekayaan spiritual dan artistik dari bangsa ini,” tegas Goenawan Mohamad. ■
Muhammad Subarkah