REPUBLIKA
Teraju
AL ASION N R E T IN
HANDOUT/AP
Oleh Teguh Setiawan alam percakapan tak resmi dengan pejabat Kementerian Luar Negeri Iran, Bashar Assad—presiden Suriah saat ini—mengingatkan lawan bicaranya akan Peristiwa Hama 1982. Dalam bahasa yang lembut Bashar menceritakan secara perinci bagaimana Hafez Assad, ayahnya, menghancurkan perlawanan Ikhwanul Muslimin—kelompok Muslim Sunni. Sejarawan Timur Tengah, mengutip sejumlah sumber di kota itu, mencatat antara 20 ribu sampai 38 ribu orang terbantai dalam peristiwa itu. Sementara lainnya mengatakan lebih 80 persen penduduk Hama terbunuh, hilang atau melarikan diri. Kini, hampir 30 tahun setelah peristiwa itu Hama kembali menjadi pusat perlawanan Muslim Sunni terhadap pemerintahan minoritas Alawites pimpinan Assad. Bedanya, Hama tidak lagi sendiri. Muslim Sunni di dua kota lainnya; Homs dan Deera, juga bangkit. Pertanyaannya, apakah Bashar akan melakukan hal yang sama—seperti yang dilakukan ayahnya tahun 1982—untuk mengakhiri perlawanan di Hama, Homs, dan Deera? Hugo Odiogor, seorang pengamat politik Timur Tengah, tidak terlalu yakin Bashar akan menempuh cara sama seperti yang dilakukan ayahnya. Pengamat lainnya mengatakan Bashar tampaknya sedang menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan pukulan mematikan terhadap pemberontakan di Hama, Homs, dan Deera. Menurut Odiogor, situasi yang dihadapi Bashar lebih pelik. Ia menghadapi aksi pembelotan tentaranya ke kelompok oposisi. Kabar terakhir menyebutkan kelompok oposisi membentuk Free Syrian Army, yang beranggotakan 3.500 tentara pembelot. Kelompok-kelompok oposisi anti-Assad juga telah mengorganisasi dan mempersenjatai diri untuk menghadapi perang panjang melwan rezim diktator Partai Baath dan Alawites. Pembentukan kelompok bersenjata akan memudahkan Barat, dalam hal ini AS, memperlakukan Suriah seperti Libya. Odiogor yakin, Barat akan segera menyalurkan persenjataan kepada kelompok oposisi dan mengirimkan penasihat militernya ke Hama, Deera, atau Homs. Pengamat lainnya mengatakan Barat, terutama AS, tampaknya belum akan ikut campur dalam urusan Suriah. Sedangkan negara-negara Arab; Arab Saudi, Yordania, dan Qatar, berpikir dua kali untuk terlibat langsung. Mereka relatif hanya melancarkan kecaman terhadap pembunuhan yang dilakukan rezim Assad. Turki, sebagai akibat banyaknya pengungsi dari Suriah yang melintasi perbatasan dan masuk ke wilayahnya, mendesak Bashar segera mundur. Recep Tayyip Erdogan, PM Turki, juga telah membekukan semua aset Suriah yang berada di Turki.
RABU, 7 DESEMBER 2011
Rusia akan berperan aktif mencegah kejatuhan Bashar Assad demi mengamankan kepentingan ekonominya. AS sejak 2001 telah berupaya mendongkel keluarga Assad dari kursi kepemimpinan Suriah, tapi saat ini Presiden Barrack Obama dihadapkan pada sejumlah isu; sensitivitas isu Mesir, ketidakpastian politik di Libya, dan penarikan pasukan dari Afghanistan. Barat ingin mengakhiri anarki di Suriah, tapi— seperti di Mesir—pemerintahan yang akan muncul di Damaskus berikutnya adalah Ikhwanul Muslimin. Washington dihadapkan pada pilihan sulit. Pergantian rezim di Suriah akan mengubah konstelasi politik Timur Tengah yang belum tentu menguntungkan AS dan sekutunya, Israel.
Sunni vs Syiah Bagi AS, mendongkel Bashar Assad akan membangkitkan kemarahan Rusia dan Iran juga menyediakan tempat bagi Ikhwanul Muslimin sebagai penguasa baru. Bagi AS, Bashar Assad dan Partai Baath-nya adalah real demon, sedangkan Ikhwanul Muslimin adalah hidden demon. Tidak hanya itu, pendongkelan Assad hanya akan menimbulkan kemarahan Iran dan Rusia. Meski ulama Syiah di Iran menyebut Alawites— agama yang dianut Bashar Assad dan lebih dua juta pendukungnya—sebagai kaum bid’ah, Iran amat berkepentingan terhadap kelanjutan rezim di Damaskus saat ini. Bagi Iran, Suriah adalah akses menuju Laut Mediterania. Suriah yang bersahabat akan membuat kapal-kapal Iran bebas berlayar dari Teluk, Terusan Suez, sampai perairan sebelah utara Laut Mediterania. Rute ini jauh lebih cepat dan aman untuk pengangkutan berbagai komoditas, termasuk senjata. Suriah berbatasan langsung dengan Irak, musuh tradisional Iran. Suriah juga berbatasan langsung dengan Turki, kompetitor geopolitik Tehran sepanjang sejarah. Melalui Suriah, Iran bisa memasok bantuan senjata, finansial, dan logistik ke Hizbullah—kelompok Syiah radikal di Lebanon. Hizbullah adalah instrumen Iran paling penting yang memengaruhi stabilitas kawasan secara umum, AS, Israel, dan Lebanon, pada khususnya. Selama Bashar masih berkuasa, Iran akan tetap memiliki pengaruh di Timur Tengah, meski jauh. Arab Saudi punya kepentingan lain. Sejak pembunuhan Rafik Hariri—perdana menteri Lebanon dari kalangan Sunni—tahun 2005, Saudi tidak punya sekutu lagi di Timur Tengah. Saudi membutuhkan sekutu untuk menegakkan hegemoni Muslim Sunni di Timur Tengah dan mereka melihat kemungkinan naiknya Ikhwanul Muslimin jika Bashar dijatuhkan.
Musim panas 2011, Saudi punya sekutu lagi di Lebanon, yaitu Saad Hariri—putra Rafik Hariri. Hizbullah menjatuhkannya. Suriah memenangkan pertarungan politik di Lebanon dengan menempatkan Najib Mikati, politikus pro Damaskus. Saudi yakin pergantian rezim di Damaskus akan membuat Hizbullah teralinasi dan tidak lagi menjadi pemain penting dalam stabilitas Timur Tengah. Pada saat itu, Saudi bisa menempatkan politisi pro Riyadh di pemerintahan Lebanon.
Kepentingan Rusia Jauh dari Timur Tengah, Moskow memonitor situasi di Suriah dengan sangat hati-hati. Kemlu Rusia memperkirakan Suriah akan terjerumus ke dalam perang sipil berkepanjangan dengan banyak negara terlibat di dalamnya. Moskow mulai serius memperhatikan Suriah setelah terjadi demo anti-Rusia di jalan-jalan Damaskus. Pedemo mendesak Moskow tidak lagi menjual senjata kepada rezim Assad. Perkembangan ini membuat Moskow segera mencari cara mengamankan kepentingannya di Suriah. Moskow juga mulai gerah dengan war game yang dimainkan AS di kawasan itu. Terutama, ketika Obama mengkritik pidato Assad dan menyebut Suriah dan rezim yang berkuasa di Damaskus saat ini sebagai ancaman serius bagi AS. Sejak 1960-an, Rusia—saat itu masih bernama Uni Soviet—adalah pemasok tunggal kebutuhan militer Suriah. Moskow melakukan semua itu bukan semata bisnis, melainkan bagian strategi penangkalan terhadap agresi militer AS di Timur Tengah. Rusia tidak sendiri, tapi Cina juga ikut bermain di dalamnya. Kejatuhan Assad akan menjadi pukulan serius bagi Moskow. Saat ini, Rusia relatif telah terkepung oleh militer AS dan NATO sejak Paman Sam menginjakkan kakinya di Afghanistan. Rudalrudal AS bisa mencapai Moskow jika ditembakkan dari Afghanistan dalam beberapa jam. Rusia memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi Suriah. Moskow membangun 90 fasilitas industri dan infrastruktur. Sepertiga fasilitas pengolahan minyak Rusia dan perluasan jaringan irigasi dibangun oleh Rusia. Hubungan ekonomi kedua negara kian kuat setelah Rusia memenuhi janjinya menerapkan kebijakan pasar bebas dan Suriah meliberalisasi ekonominya. Liberalisasi pasar Suriah akan membuat investor Rusia bebas memasuki pasar Timur Tengah. Suriah juga telah berencana menarik sebanyak mungkin investor Rusia untuk terlibat dalam proyek-proyek ekonomi skala besar yang men-
23
cakup pembangunan lapangan gas dan minyak, pembangkit tenaga listrik, pelabuhan laut, dan renovasi infrastruktur industri Suriah. Kerja sama ini akan membuat Suriah menjadi mandiri dalam soal listrik. Saat ini, sebagian listrik Suriah dipasok dari Turki. Suriah juga berharap memasarkan produk pertanian dan tekstilnya ke Rusia. Sebagai gantinya, Rusia menyuplai permesinan dan peralatan industri. Untuk jangka pendek, Suriah juga telah meneken kesepakatan dengan Rusia untuk memordenisasi fasilitas pelabuhan di Tartous dan Latakia, yang membuat kapal-kapal angkatan laut negeri beruang merah itu bisa bersandar. Suriah benar-benar memanjakan Rusia dengan akses ke Mediterania. Saat ini saja, tidak kurang dari 50 perwira AL Rusia telah ditempatkan di Tartous untuk memonitor kapal-kapal Rusia yang melayari Laut Mediterania. Modernisasi di Tartous diperkirakan akan selesai pada 2012 yang akan membuat kota itu berfungsi sebagai basis AL Rusia. Dari sini, Rusia bisa menyadarkan kapal-kapal pengangkut rudal berhulu ledak nuklir. Jika rezim Assad jauh, Rusia dipastikan akan kehilangan pasar senjatanya di Timur Tengah. Moskow sangat khawatir akan hal ini. Penjualan senjata sangat menghidupi militer Rusia. Di sisi lain, pembangunan basis AL di luar negeri membuat Rusia memiliki daya tawar dalam politik luar negeri, khususnya menyangkut kepentingan di Timur Tengah. Rusia diyakini akan mencoba mencegah kejatuhan Bashar. Kejatuhan rezim Partai Baath hanya akan memicu perang besar antara Iran dan AS. Washington merespons sikap Rusia dengan mengatakan AS tidak berniat menjatuhkan Assad dan mengubah Suriah menjadi Libya kedua.
Menuduh Israel Di Timur Tengah, terdapat diktum; tidak ada perang tanpa Mesir, tidak ada perdamaian tanpa Suriah. Israel telah lama berdamai dengan Mesir, tapi masih dalam status at war dengan Suriah. Tel Aviv yakin pergantian rezim di Damaskus akan memungkinkan terwujudnya perdamaian Suriah-Israel. Kaum Alawites yakin Israel berada di balik aksi demo anti-Bashar Assad. Israel tidak hanya menghendaki perdamaian dengan Suriah, tapi juga berupaya mengamankan perbatasannya dengan Lebanon dari gangguan Hizbullah. Hizbullah memiliki kemampuan menyerang ke Israel berkat dukungan dari Iran, yang disalurkan lewat Suriah. Menjatuhkan Assad dan memunculkan rezim non-Alawites diyakini akan menyumbat pasokan bantuan bagi Hizbullah. Bashar Assad tahu betul posisinya dalam percaturan politik regional. Ia yakin nasibnya bukan ditentukan oleh aksi demo dan perlawanan Muslim Sunni pro demokrasi, melainkan oleh pertarungan kepentingan negara-negara lain terhadap Suriah. ■