4 minute read
A. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Penelitian ini mendalami aktivitas diplomasi digital dalam Peran Aktivisme Digital menjadi media untuk melihat gerakan didalam masyarakat, baik itu sosial maupun politik, dari sisi sejarahnya aktivisme digital dilakukan pertama kali ketika tahun 1994 hingga berkembang dengan dibarengi globalisasi dan modernisasi. Perkembangan pesat terjadi di masa penggunaan teknologi menjadi suatu keharusan seperti saat ini, media sosial sudah menjadi budaya masyarakat dunia dengan adanya globalisasi media sosial menjadi hal yang lumrah dan sering kita jumpai, media sosial memberikan dampak yang sangat positif, dampaknya mendorong pertumbuhan demokrasi ke arah yang lebih baik dalam menjalankan kebebasan berpendapat dan menyuarakan hak-suatu golongan ataupun individu bahkan masyarakat luas. Gerakan sosial merupakan gerakan yang dilakukan oleh tindakan kolektif, atau collective action, Menurut Macionis (1999:607) megutip dalam buku, bahwa gerakan sosial merupakan hal penting dari tindakan prilaku kolektif (Sukmana, 2016) sementara itu menurut Spencer (1982:504) mengenai gerakan sosial yang sependapat dengan
Advertisement
Macionis mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan upaya kolektif yang bertujuan untuk melakukan suatu perubahan dalam tatanan kehidupan yag baru (Sukmana, 2016:4), dimana gerakan tagar tersebut terjadi secara virtual bukan secara langsung berdemo dan turun kejalan dengan menggunakan atau bermodalkan ketikan jari ribuan orang , maka bisa menjalankan sebuah gerakan sosial, dan ini termasuk kedalam aktivisme digital, jadi perkembangan gerakan sosial dipengaruhi oleh teknologi, dengan adanya teknologi dapat membantu dan mempermudah sebuah gerakan sosial, dan hal ini termasuk kepada gerakan sosial baru dengan aktivisme digitalnya. Aktivisme digital merupakan suatu gerakan yang mengandalkan media sosial sebagai wadah untuk menyuarakan gagasan dan inspirasinya,terlebih saat ini dunia mengalami pandemic virus corona, menjadi gerakan secara langsung akan beresiko tertular virus,maka aktivisme digital saat ini menjadi pilihan yang tepat dalam menyuarakan hak-hak dan inspirasi. mengutip dari jurnal bahwa aktivisme digital merupakan aktivitas yang memberikan sebuah tekanan terhadap organisasi tertentu, serta krtik terhadap berbagai kebijakan pemerintah, aktivisme digital merupakan gerakan yang cukup mengeluarkan biaya murah dan jangkauannya yang luas , dan aktivisme digital digunakan untuk menarik dukungan terhadap isu yang digerakan, dalam ranah gerakan sosial (Meranti & Irwansyah, 2018). Seperti mengutip dari cnnindonesia. Petisi yang telah ditandatangani hingga 242 ribu orang, netizen minta agar Presiden Jokowi menaruh perhatian besar kepada kasus Baiq Nuril. Dan pada akhirnya Baiq Nuril mendapatkan
Amnesti serta disetujui oleh DPR, DPR resmi menyutujui agar presiden Jokowi, memberi amnesti kepada terpidana UU ITE yakni Baiq Nuril. Akan tetapi akan sulit jika isu gerakan aktivisme digital mewakilkan golongan atau kelompok atau kepentingan banyak orang. Selain itu jika dilihat dari prilaku kolektifnya gerakan aktivisme digital tidak bisa bertahan lama, tidak terstruktur dan tidak mengenal satu sama lain, walaupun di satu sisi mereka menyuarakan hak yang sama, dan membawakan isu yang sama, akan berbeda dengan aktivisme secara konvensional, menurut Greene dalam buku (sukmana :2016). Aktivitas digital memberikan stimulus pada peningkatan Literasi digital yang saat ini menjadi prioritas utama pemerintah Indonesia. Apalagi selama pandemi semakin
banyak aktivitas dilakukan secara daring. Konsekuensinya, pandemi telah menciptakan dorongan bagi lebih banyak orang untuk melindungi diri dan mengambil tindakan terhadap potensi bahaya daring. Anak muda memegang peranan penting dalam pengembangan literasi digital di Indonesia dengan 48% pengguna digital berusia 25-44 tahun. Penguatan literasi Pemerintah menargetkan untuk dapat menjangkau 50 juta orang melalui program penguatan literasi digital sampai dengan 2024. Itu berarti 12,5 juta orang per tahun mulai 2021. Kemenkominfo meluncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) dan kampanye Makin Cakap Digital untuk mencapai tujuan tersebut sejak 2020. Kolaborasi pun menjadi kunci program GNLD. Banyak inisiatif lintas pemangku kepentingan telah diluncurkan untuk mendukung GNLD. Mereka yang terlibat, seperti organisasi pemerintah, sektor swasta, LSM, komunitas, dan key opinion leader. Dengan corak dan karakteristik setiap stakeholder, program GNLD menyiratkan kebinekaan Indonesia. Dari sejumlah inisiatif literasi digital yang dihelat di seluruh Indonesia saat ini, program yang menghargai heterogenitas dan mengambil kekuatan dari keragaman masyarakat dan nilai-nilai lokal, dapat membantu menjangkau audiensi baru dan mencapai hasil yang tidak diduga. Salah satu dari inisiatif tersebut ialah Jawara Internet Sehat. Inisiatif literasi digital yang diprogramkan bersama ICT Watch, Kemenkominfo, dan Whatsapp, menargetkan 60 duta muda (yang dipanggil Jawara) dari 28 provinsi di seluruh Indonesia. Aktivitas yang ada meliputi lokakarya, seminar, kampanye media sosial, dan podcast. Dahsyatnya 60 agen perubahan dapat membuat 108 program dan mencapai 43 ribu orang dalam waktu empat bulan. Hampir semua datang dari konsep kearifan lokal dan pemberdayaan komunitas lokal.
Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa media digital punya peran dalam gerakan social hari ini. Hal ini berkebalikan dari keyakinan bahwa era digital melemahkan gerakan kolektif, karena ia membuat manusia jadi semakin individual. Menurunnya jumlah serikat pekerja serta minimnya minat pada parpol/ormas pada era digital tidak bias serta merta dianggap menunjukkan bahwa masyarakat apolitis. Hal ini juga bias mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk yang berbeda.
Bagaimana media digital membentuk perubahan partisipasi dan aktivisme politik? Sejauh apa perbedaannya dengan pola organisasi tradisional? Bennet dan Segerberg menawarkan jawabannya dalam The Logic of Connective Action. Melangkah lebih jauh dari perdebatan antara media sosial sebagai agen perubahan vis-a-vis kritisisme terhadap clicktivism atau slacktivism, Bennet dan Segerberg merumuskan kerangka konsep baru untuk memahami dinamika aktivisme dalam ruang digital. Konsep ini disebut “connective action,” atau pola partisipasi individual berdasarkan konektivitas media digital.
Ada tiga poin utama yang menjadi karakteristik connective action. Pertama, partisipasi politik dalam ruang maya berjalan dalam logika connective action yang berbeda dari logika klasik collective action ala Mancur Olson (1965). Dalam perspektif Olsonian, individu akan ikut dalam upaya kolektif jika ia punya insentif lebih dibanding sumber daya yang harus ia keluarkan. Karena itu, agar efektif, tindakan kolektif harus terkoordinasi, punya hierarki kepemimpinan dan strategi organisasi, ada ikatan keanggotaan, dan menanamkan identitas kolektif atau ideologi. Artinya, individu terlibat dalam aksi kolektif demi kepentingan kelompok.