2 minute read

B. Metodologi Penelitian

Next Article
A. Latar Belakang

A. Latar Belakang

Sebaliknya, dalam connective action, individu tidak perlu punya komitmen terhadap kelompok tertentu. Partisipasi bisa dilakukan tanpa perlu repot menjadi anggota. Secara ekonomi, insentifnya adalah kepuasan ketika ia mengekspresikan dirinya dalam arus jejaring sosial. Secara politik, yang menjadi ikatan adalah kesamaan preferensi personal. Dalam ruang maya, aktivisme politik bersifat cair, fleksibel, dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal, tetapi terkoneksi satu sama lain oleh kepedulian bersama akan isu tertentu. Contohnya, mulai dari petisi daring, gerakan #KamiTidakTakut, kampanye perlindungan satwa, hingga wacana vaksin/anti-vaksin. Aksi-aksi ini umumnya hanya disatukan oleh kegelisahan dan keberpihakan terhadap figur atau isu tertentu, yang tersebar lewat jejaring sosial. Partisipasi menyebar secara getok tular, atau viral dari akun media satu ke lainnya, bukan lewat jalur koordinasi terpusat.

Kedua, dalam media digital, partisipasi politik lebih menyerupai ekspresi personal individu dibanding aksi kelompok. Beredarnya tagar (hashtag) menjadi bingkai bersama sebagai penanda akan suatu isu, tetapi pemaknaannya bisa berbeda bagi setiap orang. Melalui bingkai ini, kita dapat terkoneksi, walaupun narasi, pandangan, dan makna yang diberikan bisa sangat personal, sesuai dengan aspirasi, harapan, keluhan, keyakinan, dan gaya hidup masing-masing.

Advertisement

Bennet dan Segerberg mengajukan konsep personal action frame (berkebalikan dengan collective action frame) sebagai fitur sentral mobilisasi di ruang digital. Contoh personal action frame yang mereka jabarkan seperti “We Are the 99%” dalam Occupy Wall Street untuk mengedepankan isu ketimpangan global. Contoh di Indonesia yang relevan adalah gerakan #SaveKPK yang selalu mengemuka setiap adanya indikasi kriminalisasi KPK. Narasi tersebut memungkinkan setiap orang dilibatkan sebagai orang yang dirugikan oleh status quo dan menginginkan perubahan. Selain itu, bingkai yang inklusif memungkinkan orang untuk membuat aksi yang berbeda, dalam bentuk meme, slogan, video, tweet, blog.

Ketiga, jejaring komunikasi menjadi inti pengorganisasian dalam ruang digital, menggantikan peran hierarki pimpinan dan keanggotaan. Media tidak hanya sebagai kanal, tetapi juga menyediakan struktur (dalam bentuk p;) untuk membentuk persepsi dan mengkoordinasi aksi. Mulai dari pertarungan wacana, debat kusir, penyebaran propaganda, pembuatan petisi, rekrutmen anggota, iuran dana, rapat dan koordinasi aksi dilakukan via bermacam aplikasi dan media sosial.

B. Metodologi Penelitian

Participatory Action Research (PAR) adalah metode riset yang dilaksanakan secara partisipatif di antara warga masyarakat dalam suatu komunitas aras bawah yang semangatnya untuk mendorong terjadinya aksi-aksi transformatif melakukan pembebasan masyarakat dari belenggu ideologi dan relasi kekuasaan (perubahan kondisi hidup yang lebih baik). Dengan demikian, sesuai istilahnya PAR memiliki tiga pilar utama, yakni metodologi riset, dimensi aksi, dan dimensi partisipasi. Artinya, PAR dilaksanakan dengan mengacu metodologi riset tertentu, harus bertujuan untuk mendorong aksi transformatif, dan harus melibatkan sebanyak mungkin masyarakat atau

This article is from: