balkon
Polemik Kepemilikan Tanah Plumbon
www.balairungpress.com
Edisi 145, Juni 2014
Juni 2014
1
2
balkon
Iklan Ini Dipersembahkan Oleh
Juni 2014
3
Ilustrasi: Balairung/Hansel
balkon DITERBITKAN BPPM BALAIRUNG UGM
Daftar Isi Editorial
5
Penanggung Jawab Nindias Nur Khalika
Laporan Utama Minim Regulasi, Aset UGM Menuai Masalah
6
Koordinator Krisnia Rahmadany
Laporan Utama Polemik Kepemilikan Tanah Plumbon
8
Tim Kreatif Amanda Rachmaniar, Anis Putri, Ganesh Cintika, Muhammad Syafiq
Sisi Lain Lahan Aktualisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
10
Jajak Pendapat Menimbang Kebutuhan Lahan Praktek Mahasiswa Pertanian
12
Dialektika Politik Membaca Perkembangan Ilmu
14
Opini Isu Anti Toleransi di Tengah Hiruk-pikuk Pencapresan
16
Potret Lempuyangan dan Prameks, Suatu Realita Akhir Pekan
17
Advertorial FMF Gelar Konser Perjuangan
20
Editor Agus, Anggre, Anis, Deddy, Dessy, Ganesh, Ghembrang, Hanna, Ipin, Lintang, Rahma Riset Aji, Diah, Hendra, Sativa, Very Redaksi Ageng, Budi, Dewi, Dimas, Ervina, Joko, Lamia, Lintang, Rizky, Syauqy, Thoriq, Tiwi, Vidya Perusahaan Ipin, Kariza, Nelsa, Ojik, Soleh, Via
Opini Catatan di Tahun Politik
21
Produksi dan Artistik Adam, Alan, Aldo, Aliftya, Angin, Halvin, Hanif, Hanin, Hansel, Maria, Mutia, Nala, Naufi, Niam, Ryma, Rais, Tama
Eureka Teror Kebijakan Amerika Serikat
22
Cover Halvin
Rehal Menilik Peran Borjuasi , di Inggris dan Perancis
24
ALAMAT REDAKSI, SIRKULASI, IKLAN, DAN, PROMOSI Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281 Website: www.balairungpress.com Email: balairungpress@gmail.com Kontak Iklan dan Pemasaran: Manda (087812800221) Rekening BNI Yogyakarta 0258228557 a.n. Wiwit Endri Nuryaningsih
Apresiasi Perempuan dalam Deretan Potret
26
Sosok Mengukir prestasi di dalam keterbatasan
28
Komunitas MUMI : Sampaikan Pesan lewat Aksi Sosialisasi
30
Gores
32
Penginterupsi Maling Profesional
33
Si Iyik
33
Redaksi menerima tanggapan, kesan, maupun saran pembaca sekalian yang berkaitan dengan lingkungan UGM melalui email, atau SMS ke 08174750099 atau juga dapat langsung disampaikan ke Redaksi Balairung di Bulaksumur B-21.
4
balkon
Editorial
D
i awal tahun 2014, UGM kembali tersangkut persoalan korupsi. Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta menemukan indikasi kerugian negara akibat penjualan tanah di daerah Plumbon, Banguntapan, Bantul. Tak tanggung-tanggung, nominal kerugian negara yang diderita mencapai Rp. 1,2 Miliyar rupiah. Tanah seluas empat ribu meter persegi yang pada mulanya dimaksudkan sebagai lahan praktikum mahasiswa Fakultas Pertanian itu kini beralih fungsi. Yayasan Pembina Fakultas Pertanian menjualnya kepada pengembang. Maka tak heran, saat ini di lahan itu bukan lagi hamparan sawah yang dijumpai, melainkan kompleks perumahan.
kepemilikannya masih samar-samar dan diperdebatkan. Kasus di Plumbon ini misalnya, secara legal pihak yayasan memiliki surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut. Tetapi Kejati menemukan fakta lain, pada 1963, UGM melalui Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan membeli tanah tersebut dari seorang warga. Tanah yang dibeli dengan uang rakyat, otomatis berstatus milik negara yang diamanahkan kepada UGM, bukan kepada yayasan. Keganjilan didapati ketika ditemukan fakta bahwa yayasan tersebut didirikan pada 1969. Bagaimana mungkin suatu lembaga bisa membeli tanah enam tahun sebelum lembaga tersebut didirikan?
Ibarat sebuah gunung es, kasus penjualan tanah milik UGM di atas hanyalah persoalan kecil yang tampak di permukaan saja. Terdapat persoalan lebih penting yang jika tak dikelola secara serius dapat menjadi persoalan besar di kemudian hari. Persoalan itu menyangkut kesungguhan UGM mengelola asetnya. Ada kerancuan sistem pengelolaan yang terjadi. Di satu sisi rektorat memiliki Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) yang diberi wewenang untuk mengelola aset milik UGM. Namun di sisi lain, pada setiap fakultas juga terdapat yayasan yang memiliki wewenang untuk mengelola aset demi keperluan pengembangan fakultas setempat.
Ihwal kronologi perpindahan status kepemilikan tanah ini pun masih misteri. Hingga kini, meski sudah meningkatkan statusnya menjadi penyidikan, Kejati belum juga menentukan tersangka dalam kasus ini. Hanya ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, ada oknum dalam yang “bermain� memindahkan status kepemilikan tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kedua, UGM telah lalai dan tidak sungguh-sungguh mengurusi asetnya sehingga tak sadar bahwa ada yang telah digelapkan. Dan yang ketiga, sintesis antara dua hal di atas, yaitu UGM tak serius mengurusi asetasetnya sehingga ada oknum yang mengambil kesempatan mengeruk keuntungan.
Dua divisi yang memiliki wewenang pengelolaan aset UGM tersebut memiliki jalur koordinasi yang berbeda. DPPA sebagai perpanjangan tangan rektorat bertanggungjawab kepada negara di bawah payung UGM sebagai perguruan tinggi negeri. Lain halnya dengan keberadaan yayasan di setiap fakultas sebagai lembaga swasta. Meski pengurusnya terdiri dari dosen fakultas bersangkutan, namun posisinya sebagai lembaga swasta tak menjadikannya berada di dalam struktur kampus.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan itu, persoalan tanah di Plumbon mengindikasikan lemahnya sistem pengelolaan aset yang dimiliki UGM. Agar kejadian ini tidak berulang, maka perlu diadakan inventarisasi lagi. Tak hanya untuk aset yang sudah pasti, tapi juga yang dikelola yayasan atau bahkan perseorangan. Hal ini karena persoalan yang muncul akibat ketidakjelasan pengelolaan tidak hanya merugikan negara, tapi juga mahasiswa yang memanfaatkannya demi kepentingan akademik.
Dampak dari keterlibatan yayasan di setiap fakultas dalam pengelolaan aset UGM adalah kerancuan status kepemilikannya. Kejelasan status aset sebagai milik UGM atau yayasan adalah persoalan yang rentan menjadi masalah. Terlebih lagi ketika bukti hitam di atas putih atas
Akhir kata, selamat membaca dan berdialektika! Redaksi
Juni 2014
5
Laporan Utama
Ilustrasi : Balairung/Mutia
S
ekumpulan mahasiswa bermotor memasuki sebuah gang di desa Bantengan, Kecamatan Banguntapan. Di depan sebuah papan nama bertuliskan “Laboratorium Lapangan, Fakultas Pertanian UGM”, mereka berhenti. Di balik papan nama ini, terhampar kebun seluas 2,7 hektare yang ditanami aneka macam tanaman. Papan nama berkarat tersebut menjadi penyambut mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian yang akan praktikum sore itu. Di akhir semester, mahasiswa Fakultas Pertanian siap memanen hasil kerja kerasnya. Tampak deretan pohon jagung yang siap panen di salah satu sisi kebun. Sebuah pagar besi membatasi deretan pohon jagung agar buahnya tak diambil orang. Sebuah papan bertuliskan “Tanah Milik UGM” menjadi penanda yang jelas terlihat. Sementara itu, di sisi lain kebun, tak ditemui pagar yang sama. Di bagian ini, kebun praktikum berbatasan langsung dengan kebun warga. Beberapa petak tanah yang tak punya batas jelas sering dipakai oleh warga sekitar. Kebun ini merupakan lahan praktikum bagi mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. Lahan tersebut dinamakan “Kebun Tri Dharma”. Kebun Tri Dharma merupakan aset UGM yang pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Pertanian. Selain Kebun Tri Dharma, masih ada aset lain yang pengelolaannya di bawah wewenang fakultas. Salah satunya Museum Biologi yang dikelola Fakultas Biologi. Di dalamnya
6
balkon
berisi koleksi flora dan fauna berbentuk herbarium kering, basah ataupun fosil. Selain itu ada juga aset berupa gedung yang dimanfaatkan sebagai tempat praktikum di Getas, Jawa Timur yang dikelola Fakultas Kehutanan. Secara umum, aset UGM diatur dalam SK Rektor Nomor 138/P/SK/H/2011 tentang tugas Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA). Dalam SK ini disebutkan bahwa aset UGM meliputi lahan, gedung, dan semua ruang milik universitas yang berupa bangunan ataupun perumahan. Sebagai Badan Layanan Umum (BLU) seluruh aset UGM berstatus hak pakai. Hak pakai menurut Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 41 ayat (1) adalah hak yang digunakan untuk menggunakan dan/atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Oleh karena itu, wewenang UGM hanya sebatas mengelola aset. Dalam SK Rektor pasal 7 nomor 2 dijelaskan lebih lanjut bahwa yang mempunyai wewenang untuk mengelola aset UGM adalah DPPA. DPPA sendiri dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian yang khusus mengelola aset adalah Sub Direktorat Sarana dan Sub Direktorat Prasarana. Tugas badan tersebut meliputi pendayagunaan serta inventarisasi gedung, perumahan, dan lahan. Bukan hanya itu, keduanya juga mengoordinasi penanganan kehilangan dan menyusun dokumen usulan penghapusan barang inventaris.
Minim Regulasi, Aset UGM Menuai Masalah Selama ini ada beberapa aset UGM yang pengelolaannya diserahkan ke fakultas. Namun, karena ketidakjelasan sistem, banyak aset menemui masalah. Meski aset yang dikelola fakultas juga menjadi aset UGM, pengelolaannya tidak tertulis dalam SK ini. Padahal, menurut Dosen Hukum Agraria, Dyah Ayu Widowati, S.H., M.K., hanya fakultaslah yang paling mengerti kebutuhannya akan aset. Dia mencontohkan dengan mengambil kasus Fakultas Pertanian. Menurutnya, Fakultas Pertanian lebih tahu seberapa besar lahan yang diperlukan untuk praktikum. “Sehingga, harus ada regulasi yang mengatur pengelolaan aset universitas oleh fakultas,” terang Dyah. Senada dengan Dyah, Donan Satria Yudha, S.Si., M.Sc. salah satu staf pengajar di Fakultas Biologi menjelaskan bahwa universitas belum tentu mengerti pengelolaan aset yang dikelola fakultas. “Jadi tidak semua aset harus dikelola oleh universitas,” tambahnya. Drs. Suratman, M.Si., selaku Sekretaris DPPA, menjelaskan bahwa pengelolaan aset oleh fakultas bisa diawali dengan mengirim surat permohonan. “Surat ini sebagai bentuk permintaan izin ke rektorat untuk mengelola tanah,” imbuhnya. Melihat status pengelolaan saat ini, fakultas mempunyai otoritas lebih dalam mengelola aset milik UGM. Pengurus barang Fakultas Kehutanan, Agus Nugraha, mengatakan perawatan dan pemeliharaan barang berada dibawah otoritas fakultas. ”Ketika ada barang yang rusak maka pihak fakultaslah yang mengurusi semua itu,” tambahnya. Menanggapi hal ini, Dyah menganjurkan bahwa fakultas tidak boleh berdiri sendiri ketika mengelola aset. Harus ada
laporan pertanggungjawaban dari fakultas yang mengelola aset. Pertanggungjawaban tersebut berbentuk laporan kepada universitas, kemudian dilanjutkan kepada negara tiap bulan atau tiap tahun. Di sisi lain Donan berkata, “Komunikasi antara fakultas dan universitas sayangnya kurang terjaga.” Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Fakultas Biologi. Sejak tahun 2009 permasalahan tentang sertifikat Museum Biologi belum selesai. Hal ini disebabkan karena Fakultas Biologi masih menunggu langkah dari universitas untuk sertifikasi aset. Sedangkan universitas pun menunggu laporan dari fakultas. Donan mengungkapkan,”Sampai saat ini Museum Biologi terbengkalai tanpa adanya sertifikat”. Sementara itu, Suratman mengklaim bahwa semua aset sudah tercatat dan bersertifikat. Di lain pihak, Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) sebagai lembaga yang ikut meneliti keberadaan aset UGM juga kesulitan ketika ditanya perihal jumlah aset yang sudah tercatat. Fahrizan Rahman, salah satu peneliti PUKAT mengatakan PUKAT sendiri masih bergerak untuk mengetahui bagaimana mekanisme pencatatan aset tersebut. “Sayangnya UGM terkesan menutup diri ketika ditanya tentang keberadaan aset,” keluh Fahrizan. Ketidakjelasan sistem pengelolaan aset juga terjadi ketika fakultas menyerahkan pengelolaannya kepada yayasan. Menurut Fahrizan, ada banyak yayasan yang menaungi aset UGM seperti Fakultas Pertanian, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Hukum yang mempunyai yayasan untuk mengelola asetnya. Keberadaan yayasan menurutnya cenderung bermasalah. Misalnya kasus Fakultas Pertanian yang terjadi baru-baru ini. Lahan praktikum yang seharusnya milik negara menjadi milik yayasan. Lebih lanjut Fahrizan menekankan pentingnya penelusuran keberadaan yayasan. Ketika ditanya tentang keberadaan yayasan, Dyah menuturkan bahwa keberadaan yayasan sendiri dilegalkan. Yayasan akan berfungsi untuk mempermudah pengelolaan aset. Dalam mengelola aset, pasti dibutuhkan fungsi manajerial, kepegawaian dan gaji. Sering kali dosen sulit melakukan fungsi ini. Menurutnya fungsi ini akan efektif jika dijalankan oleh yayasan melihat statusnya milik swasta. Selain itu, pengelolaan aset membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Yayasan bisa menjadi alternatif untuk mencari uang,” terang Dyah. Ia menambahkan, tidak semua fakultas mempunyai biaya untuk mengelola aset, sehingga yayasan menjadi salah satu jalan alternatif karena mampu membiayai pengelolaan aset. Menanggapi keberadaan yayasan di beberapa fakultas, PUKAT tertarik untuk meneliti status yayasan-yayasan tersebut. “Perlu ditelusuri bagaimana kedudukan yayasan di universitas,” tegas Fahrizan. Menanggapi masalah yang ada, PUKAT menyimpulkan bahwa UGM harusnya lebih terbuka dalam proses pengawasan aset. “Seharusnya pengelolaan aset UGM mempunyai prinsip transparansi, sehingga semua civitas dapat mengetahui keberadaan aset sebagai bentuk pengawasan,” simpul Fahrizan. [Dimas, Joko, Lamia]
Juni 2014
7
Laporan Utama
Polemik
Kepemilikan Tanah Plumbon Tanah di daerah Plumbon yang ditengarai milik UGM, kini menjadi kompleks perumahan. Hal tersebut membuat Kejati DIY menyelidik status kepemilikan tanah tersebut.
K
ala itu di penghujung siang, lalu lalang kendaraan bermotor memadati jalan di depan salah satu perumahan di Plumbon. Perumahan yang berlokasi di Jalan Raya Plumbon, Banguntapan, Bantul itu dikenal dengan nama ‘Cipta Jogja Elegance’. Tanah yang semula adalah area persawahan kini telah berubah menjadi deretan hunian. “Saya ingat betul, sekitar 10 tahun yang lalu, tanah itu masih persawahan,” kenang Rohiyani, warga sekitar. Selain fakta bahwa tanah tersebut dijadikan perumahan yang dibangun pengembang, menurut Rohiyani, tanah itu adalah milik UGM. “Setahu warga disini, tanah itu milik UGM, tapi tidak pernah digunakan,” jelasnya. Rohiyani juga mengatakan bahwa dulu kakeknya adalah salah seorang petani yang pernah menggarap tanah itu. Di tempat yang berbeda, Sudarto, ketua Kelompok Tani Plumbon mendukung pernyataan tersebut. “Tanah itu awalnya berupa semak-semak. Lalu, petani setempat dipercaya untuk menggarap tanah oleh pihak UGM,” jelasnya. Sudarto menambahkan bahwa hasil penggarapan lahan oleh petani kemudian dipasok ke pihak UGM dengan prinsip bagi hasil. Setelah puluhan tahun menggarap tanah yang statusnya atas nama Fakultas Pertanian (Faperta) UGM itu, pada tahun 2005 para petani menghentikan pekerjaannya. “Waktu itu, ada salah seorang dari pihak UGM datang ke sini dan meminta petani untuk berhenti menggarap,” terang Sudarto. Ketua Kelompok Tani Plumbon itu juga menambahkan bahwa tanah itu sudah dijual oleh Yayasan Faperta ke pengembang. Menurut Dr. Jamhari, S.P., M.P., selaku Dekan Faperta UGM, alasan penjualan lahan tersebut didasari pada sistem irigasinya yang kurang memadai untuk penelitian. “Sebagai pengganti dari aset tanah tersebut, kami membeli tanah di daerah Sleman yang sistem irigasinya lebih memadai untuk penelitian,” tambahnya. Fakta mengenai status kepemilikan tanah di Plumbon tengah ditelusuri karena terdapat banyak keganjilan. Persoalan itu bahkan sampai ke ranah hukum dan sudah dalam tahap penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY.
8
balkon
Menurut Purwanta Sudamaji, S.H., selaku Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati, keganjilan itu terkait proses jual beli tanah yang dilakukan pihak UGM. Merunut penjelasannya, pembelian tanah dilakukan oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan UGM Fakultas Pertanian dan Kehutanan secara bertahap pada 1963. Berbanding terbalik dengan pernyataan pihak Kejati, Jamhari mengatakan tanah itu dibeli oleh dosen-dosen Faperta terdahulu. “Berdasarkan cerita pengurus yayasan periode sebelumnya, tanah dibeli dari hasil patungan dosen-dosen terdahulu,” jelasnya. Menurut Jamhari, tanah itu mulanya dibeli secara bertahap, lalu terkumpullah beberapa hektare tanah. Kemudian keseluruhan tanah itu didedikasikan untuk menunjang kegiatan perkuliahan Faperta. “Tanah itu dibeli untuk keperluan pratikum dan penelitian bagi civitas academica Faperta,” tambahnya. Namun ia mengakui, tidak semua tanah yang dibeli tersebut dipakai untuk tujuan itu, salah satunya tanah di Plumbon. Maka tidak mengherankan kalau kemudian tanah itu dipercayakan untuk digarap oleh petani setempat. Terkait pengelolaan, tanah itu diurus dan dikelola oleh Yayasan Pembina Faperta. Berdasarkan keterangan Purwanta, yayasan ini dibentuk pada 1969 oleh Faperta. Adapun anggotanya terdiri dari dosen-dosen Faperta, yang ketuanya adalah dekan Faperta yang tengah menjabat. “Alasan pembentukan yayasan itu sendiri adalah untuk mendukung Tri Dharma Fakultas Pertanian,” tegas Jamhari. Purwanta menjelaskan, sebelumnya pengelolaan tanah dilakukan oleh Faperta, lalu berpindah ke yayasan setelah yayasan terbentuk. Sementara itu, Jamhari berpendapat bahwa tanah itu milik yayasan. “Hal ini berdasarkan pada petikan Letter C dari pemerintah desa yang menyebutkan tanah itu milik yayasan,” ungkap Jamhari. Kasus ini mulai terendus setelah adanya laporan dari masyarakat setempat. “Pelaporan kasus ini berawal dari kabar dijualnya tanah UGM yang merebak di tengah masyarakat Plumbon,” kata Purwanta. Masyarakat Plumbon merasakan adanya keganjilan, karena tanah garapan
Ilustrasi : Balairung/Alan
mereka berubah menjadi perumahan yang dibangun oleh pengembang. Menurutnya, desas-desus warga tadi akhirnya berubah menjadi laporan masyarakat kepada Kejati untuk dilakukan penyelidikan.
siapa yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Tapi sudah ada beberapa orang saksi yang dimintai keterangan, seperti pemerintah desa, Ketua Yayasan Faperta, masyarakat setempat dan juga dari pihak UGM.
Sorotan utama perkara ini adalah bahwa Kejati menduga adanya penyalahgunaan aset negara oleh yayasan. Kejati menganggap bahwa tanah di Plumbon diperoleh dari pembelian dengan menggunakan uang negara. Pada dasarnya, aset negara tidak mudah untuk berpindahtangan, apalagi untuk dikomersialisasikan. Kejati juga menemukan fakta bahwa tanah-tanah di Plumbon tidak hanya dijual ke pengembang saja, namun juga ke individu serta beberapa pihak lain. Selain itu Kejati juga meyakini bahwa terdapat masalah pada aliran dana hasil penjualan tanah tersebut. Hal itu berdasarkan pada temuan Kejati bahwa uang yang mengalir tersebut berbentuk deposito, tabungan, dan asuransi atas nama pribadi.
Terkait dugaan Kejati, Jamhari berkomentar, jika UGM yang memiliki tanah itu, seharusnya ada bukti tertulis. Tapi, faktanya itu tidak tercatat sebagai aset milik UGM oleh Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Faisal Rahman selaku peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (PKAK) UGM menjelaskan bahwa ada aset yang tidak tercatat di universitas. “Selama ini UGM mengakui bahwa semua aset telah tercatat, tapi pada kenyataannya ada yang belum, salah satunya tanah Plumbon itu,” jelasnya. Menurutnya, jika memang tanah tersebut milik UGM maka terjadi keteledoran pencatatan oleh pihak universitas.
Setelah menjalani delapan bulan masa penyelidikan, Kejati telah memasukan perkara ini ke tahap penyidikan di bagian pidana khusus (pidsus). Artinya, ada indikasi bahwa tanah itu dibeli dengan menggunakan uang negara atau APBN lalu dijual oleh oknum yayasan. Purwanta menyatakan bahwa Kejati telah memiliki bukti yang melandasi masuknya perkara ke tahap penyidikan. Namun pihak kejati sendiri belum mau menjelaskan lebih lanjut terkait alat bukti yang ditemukan. “Kasus ini masuk ke pidsus, karena ada indikasi korupsi didalamnya, terutama terkait pemindahtanganan aset negara yang tidak sesuai dengan prosedurnya,” ungkap Purwanta. Sejauh ini Kejati sendiri belum bisa menetapkan
Menanggapi permasalahan tanah yang menimpa Yayasan Faperta, Dyah Ayu Widowati, S.H., M.Kn., dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM memberikan pendapatnya. Menurutnya, yayasan tidak mempunyai hak untuk membaliknamakan aset, hanya mempunyai hak untuk mengelolanya saja. “Harus ada pengawasan melekat yang lebih dari universitas supaya setiap yayasan pembina fakultas tidak berjalan sendiri-sendiri,” tambahnya. Dyah menambahkan bahwa keberadaan yayasan bukanlah sebuah masalah, asalkan ada pengorganisasian yang baik antara universitas dengan yayasan yang mengelola. [Ageng, Budi, Rizky]
Juni 2014
9
Sisi Lain
Lahan Aktualisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi
Seperti namanya, kebun Tri Dharma menjalankan tiga fungsi perguruan tinggi yaitu penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat.
G
umpalan-gumpalan asap mengepul keluar dari rokok yang dihisap Rohman, menyelimutinya selagi ia duduk di teras depan rumah. Meski mengaburkan pandangan, tabir asap itu tak sepenuhnya menutupi sosok sang pria. Kulit gelap dan mengeriput yang membalut tubuh bungkuknya masih terlihat jelas berada di balik tabir. Namun, keadaan fisik itu tak membatasinya untuk bekerja sebagai penjaga dan perawat Kebun Tri Dharma milik Fakultas Pertanian UGM.
sekumpulan orang yang berkegiatan di dalamnya.
Sejak sembilan tahun lalu, kegiatan sehari-hari Rohman tak pernah berlangsung jauh berbeda. Sebagai pengelola Kebun Tri Dharma, ia bersama tiga rekannya memiliki kewajiban memantau dan merawat lahan setiap hari. Perawatan lahan yang dilakukannya mencakup pengairan dan penjagaan keadaan tanah sehingga sesuai untuk keperluan Fakultas Pertanian UGM. “Biaya perawatan itu diberikan oleh pihak fakultas,� ujarnya.
Dyah kemudian bercerita bahwa Kebun Tri Dharma memiliki berbagai fungsi. “Lahan itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat praktikum,� ungkapnya. Ia lalu menjelaskan bahwa Kebun Tri Dharma juga berfungsi sebagai prasarana penelitian dan pengabdian masyarakat.
Diselingi hisapan rokok sesekali, Rohman kemudian bercerita tentang lahan tempatnya bekerja. Lahan praktikum yang berada di Desa Bantengan, Kecamatan Banguntapan tersebut rajin dikunjungi para mahasiswa dan dosen Fakultas Pertanian UGM. Hampir setiap hari ia menemukan
10
balkon
Sebagai aset Fakultas Pertanian UGM, Kebun Tri Dharma memiliki fungsi utama sebagai tempat penyelenggaraan praktikum. Dyah Weny Respatie, S.P., M.Si. menjelaskan bahwa setiap hari sejumlah mahasiswa melakukan praktikum. Jenis praktikum yang mereka lakukan pun beragam, sesuai dengan mata kuliah dalam satu semester. Salah satunya adalah praktikum mata kuliah Budidaya Tanaman Semusim yang diampu Dyah.
Mengenai fungsi praktikum, Dyah menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan kegiatan pengelolaan tanaman secara keseluruhan. Pada permulaan praktikum, mahasiswa menyiapkan bibit yang akan digunakan. Kemudian, secara berkelompok mereka membagi lahan yang dikerjakannya ke dalam petak-petak kecil. Proses pemetakan tanaman yang lebih dikenal dengan istilah plotting tersebut dilakukan dengan peralatan-peralatan bertani pada umumnya. Proses
plotting kemudian dilanjutkan dengan pemberian pupuk pada tanah yang telah disiapkan. Selesai menanam, tugas mahasiswa-mahasiswa yang terlibat dalam praktikum pun belum bisa dikatakan tuntas. Mahasiswa diwajibkan untuk merawat tanaman yang ditanamnya hingga masa praktikum selesai. Pemberian kewajiban sebagai syarat praktikum itu membuat banyak mahasiswa secara rutin mengunjungi Kebun Tri Dharma. Wiwin Widianingsih, mahasiswa Jurusan Agribisnis ’10, kemudian menambahkan bahwa kegiatan praktikum juga mencakup masa panen. “Sewaktu masa panen, kami memilah buah, daun dan batang tanaman,” ungkapnya. Prosedur yang dilakukan dalam rangkaian kegiatan praktikum mahasiswa tersebut tak jauh berbeda dengan keseharian para petani. Menurut Dyah, prosedur yang mencakup kegiatan bertani secara keseluruhan diperlukan supaya mahasiswa lebih mampu memahami teori. “Mereka jadi mengetahui bahwa menjadi petani itu ternyata tidak mudah,” lanjutnya. Sependapat dengan Dyah, Wiwit menilai penyelenggaraan praktikum dapat membantu pemahamannya terhadap mata kuliah tertentu. “Karena pertanian itu kan ilmu terapan, jadi kami lebih paham bila melakukan aplikasi teori secara langsung,” paparnya. Untuk meningkatkan pemahaman sebelum praktikum, mahasiswa membentuk kelompok-kelompok kecil yang melakukan proses pembelajaran mandiri. Salah satu kelompok studi yang melakukan pembelajaran di Kebun Tri Dharma adalah Agroteam, komunitas mahasiswa Jurusan Agronomi. Nurhidaya Ragil, mahasiswa Jurusan Pemuliaan Tanaman‘12, selaku anggota Agroteam menceritakan bahwa pembelajaran yang dilakukan serupa dengan materi praktikum. “Pembelajaran ini dilakukan karena dulu banyak terjadi kegagalan dalam praktikum,” ungkapnya. Ia kemudian mencontohkan kegiatan persilangan jagung yang dilakukan untuk menghadapi praktikum semester ganjil esok.
Lebih lanjut, Dyah menerangkan bahwa praktikum lapangan memungkinkan mahasiswa dapat melangsungkan praktikum tanpa adanya batasan ruang. Dengan luas sekitar 2,6 hektar, lahan praktikum tersebut dibagi menjadi beberapa petak yang kemudian dikelola oleh mahasiswa secara berkala. Pembagian mahasiswa ke kelompokkelompok kecil tersebut memungkinkan adanya alokasi waktu penggunaan lahan secara berkala. “Karenanya, belum ada masalah dalam pengaplikasian praktikum lapangan,” jelas Dyah. Berbeda dengan praktikum yang bertujuan untuk memberikan pemahaman teori, penelitian yang dilakukan berguna untuk mengembangkan ilmu dengan penemuanpenemuan baru. Sejumlah akademisi yang terdiri atas para mahasiswa S1, S2 dan S3 dan dosen Fakultas Pertanian UGM pun melakukan penelitian di Kebun Tri Dharma. Penggunaan Kebun Tri Dharma sebagai lokasi praktikum dan penelitian menyebabkan banyaknya permintaan terhadap alokasi lahan dari kelompok-kelompok studi tertentu. Agroteam, contohnya, membutuhkan luas lahan yang cukup untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran praktikum. Karena banyaknya permintaan alokasi lahan, seluruh kegiatan praktikum maupun penelitian, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak fakultas. Pengurusan izin penggunaan Kebun Tri Dharma itu bukan perkara yang mudah dilakukan. Menurut Nurhidaya, pengurusan izin harus dilakukan secepat mungkin apabila mahasiswa ingin mendapatkan luas lahan yang cukup. Pengurusan yang dilakukan pada awal semester itu dilakukan untuk menentukan alokasi penggunaan lahan Kebun Tri Dharma. Selain itu, jumlah pengguna dan kecepatan pengurusan izin juga mempengaruhi luas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan di dalamnya. “Karenanya, kami harus berebut lahan dengan praktikumpraktikum,” jelas Nurhidaya. [Lintang, Tiwi]
Sebagai prasarana berbagai jenis praktikum, Dyah berpendapat Kebun Tri Dharma telah mencukupi kebutuhan mahasiswa. Sebanyak 350 mahasiswa dapat melakukan praktikum di lahan tersebut selama periode mata kuliah berlangsung. Praktikum lapangan, seperti yang dilakukan di Kebun Tri Dharma, lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan kegiatan laboratorium. Ruang laboratorium yang sempit membuat para mahasiswa harus menghabiskan masa praktikum lebih lama dibandingkan praktikum lapangan.
Juni 2014
11
Jajak Pendapat
Menimbang Kebutuhan Lahan Praktek Mahasiswa Pertanian “Lahan praktek memiliki arti penting bagi mahasiswa fakultas pertanian. Sayangnya berbagai persoalan lahan praktek masih kerap luput dari pandangan”
B
aru – baru ini, kasus dugaan korupsi terhadap aset tanah milik universitas membawa nama Fakultas Pertanian UGM. Aset tanah tersebut berlokasi di Dukuh Plumbon, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Awalnya, tanah yang dibeli pada tahun 1963 ini diperuntukkan untuk menjadi sebuah lahan praktek mahasiswa. Namun, semenjak tahun 2005 beralih menjadi sebuah pemukiman warga. Perpindahan status tanah tersebut tidak memiliki pencatatan yang jelas. Masalah pencatatan tersebut menunjukkan adanya kelalaian baik dari pihak universitas maupun pihak Fakultas Pertanian. Kelalaian yang dimaksud merujuk pada pencatatan admisnistrasi pengelolaan aset. Aset dibeli dengan uang sebesar Rp 1,6 juta atas nama universitas pada tahun 1963 dengan dana APBN (Radar Jogja, 29 Maret 2014). Namun di lain pihak, Fakultas Pertanian menyatakan uang tersebut berasal dari uang sumbangan para dosen. Oleh karena itu, pengelolaan aset ini menjadi tidak transparan karena tidak mempunyai kepastian aliran dana. Bukti kepemilikan aset yang minim menjadi alasan lain kurang baiknya manajemen pengelolaan aset. Aset tanah di Desa Plumbon hanya dilengkapi oleh surat tanah letter C. Letter C merupakan tanda bukti berupa catatan dari kelurahan atas tanah yang surat kepemilikannya kurang. Adanya beberapa masalah dalam pengelolaan aset tanah di Desa Plumbon memunculkan kesempatan bagi sebagian orang untuk meraup keuntungan pribadi. Jack Bologne dalam Teori GONE (Greed, Opportunity, Needs and Exposure) menyatakan pendapat yang sama. Bologne menjelaskan bahwa kesempatan (opportunity) merupakan salah satu pendorong tindakan menyimpang. Artinya semakin besar sebuah kesempatan maka akan semakin kuat pula dorongan untuk melakukan penyimpangan. Sesuatu yang ironis melihat aset tanah Fakultas Pertanian masih dibutuhkan oleh mahasiswa untuk menunjang kegiatan pembelajaran.
12
balkon
Tim riset Balairung mengadakan penelitian kepada 100 responden untuk melihat seberapa besar kebutuhan mahasiswa terhadap lahan praktek. Riset dilakukan secara acak kepada mahasiswa di Fakultas Pertanian. Hasil jajak pendapat menunjukkan sebanyak 100 responden memerlukan lahan praktek. Keperluan terhadap lahan praktek tentu merupakan sebuah kewajaran karena Fakultas Pertanian mewajibkan adanya praktek lapangan. Selain itu, bidang ilmu pertanian merupakan ilmu terapan yang seharusnya membutuhkan aplikasi di lapangan. Sehingga, lahan praktek harusnya tetap tersedia secara cukup. Selain itu kondisinya dapat benar – benar mendukung kegiatan mahasiswa. Di sisi lain, jumlah lahan praktek yang dimiliki Fakultas Pertanian ternyata dirasa kurang memadai. Sebanyak 71 responden menganggap jumlah lahan praktek belum bisa mengakomodasi kebutuhan mereka. Padahal, lahan praktek yang jumlahnya cukup akan mendukung kualitas pembelajaran di Fakultas Pertanian. Beberapa lahan praktek masih digunakan bersama – sama baik oleh mahasiswa S1, S2, S3 maupun dosen. Kekurangan lahan praktek ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pihak Fakultas Pertanian. Selain jumlah lahan praktek yang kurang, penggunaan lahan praktek juga belum maksimal. Sebanyak 70 responden mengaku lahan praktek belum optimal baik dari segi intensitas pemakaian dan pemanfaatannya. Peraturan akademik Fakultas Pertanian, praktikum lapangan dilaksanakan 4-5 jam per minggu. Namun kenyataannya, praktikum lapangan rata – rata dilaksanakan hanya dua kali per semester. Selain untuk kegiatan praktikum lapangan, lahan praktek pertanian juga digunakan sebagai sarana penelitian. Beberapa mahasiswa pertanian berpendapat bahwa masih ada lahan – lahan praktek yang terbengkalai. Terbengkalainya lahan praktek menunjukkan adanya sikap kurang peduli dari pihak fakultas terhadap lahan praktek. Jika tidak segera diurus, lahan praktek akan menjadi tidak efektif
dan menimbulkan kesempatan untuk disalahgunakan. Tentu kita tidak berharap munculnya kasus penyalahgunaan aset lahan praktek. Tidak dipungkiri hal seperti itu dapat terjadi akibat lemahnya pengelolaan dan pengawasan aset. Kasus penjualan aset tanah Fakultas Pertanian terhadap pihak swasta menjadi salah satu persoalan aset yang cukup menarik perhatian. Beberapa koran lokal maupun nasional telah memuat berita mengenai penjualan aset lahan praktek Fakultas Pertanian. Berita yang dimuat menyangkut isu sensitif yakni isu penyalahgunaan uang negara. Namun, berita ini ternyata tidak cukup populer di mata mahasiswa pertanian. Sebanyak 58 responden mengetahui adanya kasus aset lahan praktek di Fakultas Pertanian. Kebanyakan dari mereka mengaku mengetahui adanya berita kasus aset dari mulut ke mulut. Responden yang mengetahui tidak mencari kejelasan terhadap kasus tersebut. Mahasiswa Fakultas Pertanian tetap melaksanakan kegiatan perkuliahan tanpa adanya gangguan dari pemberitaan kasus aset lahan praktek di fakultas mereka. Sebenarnya UGM sendiri telah memiliki badan dalam civitas universitas yang mengurus pengelolaan aset.
Keberadaan Direktorat Pengelolaan dan Pemeliharaan Aset (DPPA) seharusnya dapat menjadi kunci penyelesaian dari persoalan pengelolaan aset di UGM. Pengelolaan aset telah dituangkan dalam peraturan Rektor nomor 138/P/SK/ HT/2011 yang menyebutkan, tugas dan fungsi Direktorat Seksi Gedung, Perumahan dan Lahan yakni sebagai pelaksana administrasi sekaligus penyimpan dan pemelihara dokumen yang berkaitan dengan aset gedung dan lahan. Namun, sepertinya peraturan-peraturan tersebut kurang mampu mengatasi seluruh persoalan mengenai aset. Direktorat seharusnya lebih memerhatikan masalah pada sistem pemeliharaan dan pengelolaan aset. Fakultas yang diberikan otonomi dalam mengelola asetnya perlu terus dipantau. Bagaimanapun, sekarang tanah bekas lahan praktek mahasiswa Fakultas Pertanian telah menjadi perumahan. Harga perumahan juga terus mengalami kenaikan seiring berjalannya waktu. Mahasiswa yang mengaku bahwa lahan praktek masih kurang tidak dapat berbuat apapun. Kini, kita semua berharap kasus aset lahan praktek Fakultas Pertanian dapat mencapai tahap penyidikan hingga tuntas. [Aji, Diah, Very]
Grafis : Balairung/Angin
Juni 2014
13
Dialektika
Politik Membaca Perkembangan Ilmu
Ilmu sebagai ruang kontestasi kuasa berarti terjadi "pertarungan" antardisiplin ilmu dalam perkembangannya. Foto : Balairung/Aliftya
D
alam kurun waktu lima dekade terakhir, ilmu sosial berkembang begitu pesat di Indonesia. Sayangnya, progres yang berlangsung ini tidak mengarah kepada satu tujuan yang jelas. Ia terus bergerak tanpa visi sehingga alasan pengembangan ilmu menjadi terlupakan di tengah jalan. Akibatnya, perkembangan ilmu yang terjadi justru menimbulkan kesan naif. Umumnya kajian ilmu yang dilakukan berpusat pada kurikulum, publikasi ilmiah, dan kegiatan-kegiatan riset. Jarang sekali terdapat penelitian yang meletakkan perkembangan ilmu sebagai objek kajiannya hingga saat ini. Alhasil, hasil kajian ilmu tersebut diwarnai oleh perspektif yang relatif seragam. Ia tidak mengambil posisi sebagai kritik atas keadaan, tetapi hanya sebagai peneguh wacana semata. Masalah dalam perkembangan ilmu ini diawali dari rendahnya kesadaran politik yang dimiliki oleh ilmuwan di Indonesia. Oleh karena itu, urgen bagi ilmuwan untuk mengerti politik dalam mengawal perkembangan ilmu. Berangkat dari persoalan tersebut, Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Urgensi Politik Ilmu”. Diskusi ini diadakan di Jalan Kembang Merak B21, Perumahan Dosen UGM, Sabtu (26/4). Widya Priyahita, senior researcher Survey Meter dan Center for Development Innovation Wegeningen University, diundang pada diskusi sebagai pemantik. Widya mengawali diskusi dengan melontarkan satu pertanyaan, “Apa yang membedakan suatu disiplin ilmu dengan yang lainnya?”. Ia kemudian memaparkan objek material membahas tentang apa yang dikaji oleh suatu disiplin ilmu, sementara objek formal berkaitan dengan
14
balkon
bagaimana kita mengkajinya. Walaupun begitu populer di kalangan ilmuwan, tetapi menurutnya cara tersebut sudah tidak relevan digunakan dalam memisahkan satu disiplin ilmu dengan yang lainnya. Widya menjelaskan, seorang ilmuwan cukup bermodalkan objek formal saja untuk meneliti suatu fenomena. “Implikasinya ke depan adalah semua disiplin ilmu dapat menelaah satu objek material yang sama dengan pendekatan yang berbeda,” tambahnya. Penggunaan jilbab kemudian disebutkan pria yang akrab disapa Chiwot ini sebagai contoh objek kajian. Ia menerangkan, peristiwa yang terlihat sederhana tersebut dapat dipandang dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu. Misalnya, bila dilihat dari sisi politik, penggunaan jilbab dilihat sebagai suatu bentuk politik identitas. Widya memberikan contoh lain dengan melihat penggunaan jilbab dari segi ekonomi, dimana jilbab menjadi komoditas yang menguntungkan karena banyak yang menggunakan. Fenomena tersebut akan berkembang menjadi hal yang berbeda bila dikaji menggunakan kacamata fashion. Seseorang dapat mengetahui perkembangan model jilbab yang menjadi trend dari waktu ke waktu. “Dengan berpegang pada objek formal, kita mampu mendapatkan banyak pengetahuan dari satu fenomena dalam perspektif yang berbeda,” tuturnya. Widya melanjutkan dengan memaparkan terkait masalah yang terjadi dalam perkembangan ilmu di Indonesia. Isu pertama ia menjelaskan, pengeksplorasian ilmu saat ini cenderung dari satu dimensi saja, yakni ilmu sebagai teks. Padahal, teks hanyalah produk dari suatu ilmu. Widya menyayangkan penelitian yang dilakukan para ilmuwan
Ilmu yang masih dibaca secara normatif merupakan isu berikutnya yang dipaparkan oleh Widya. Ia menjelaskan, ilmu sesungguhnya merupakan hal yang politis dan dapat memberikan dampak politik. Namun, ilmu sosial masih dipandang sebagai sesuatu yang netral, bebas nilai, tidak mengandung kepentingan, serta terlepas dari konstelasi kuasa yang mengitarinya. “Cara pandang seperti ini karena prinsipprinsip positivisme pada ilmu eksak diadopsi begitu saja ke dalam ilmu sosial,” keluhnya. Membahas ilmu dalam konteks politik, ia menjabarkan ilmu ke dalam dua bahasan pokok. Bahasan yang pertama adalah ilmu sebagai wujud kuasa dimana ilmu memiliki relasi dengan wujud kuasa lainnya, seperti agama dan rezim. Ilmu sebagai ruang kontestasi kuasa merupakan bahasan kedua yang dijelaskan Widya. Menurutnya, ilmu sebagai ruang kontestasi kuasa berarti terjadi “pertarungan” antardisiplin ilmu dalam perkembangannya. “Nilai, ide, dan kepentingan dipertarungkan antara satu disiplin ilmu dengan yang lainnya,” jelasnya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukannya, Widya menyatakan bahwa ilmu di Indonesia bersifat apolitis. Artinya, tidak ada perjuangan kepentingan yang hadir di dalam ilmu tersebut. Ia berpendapat, ilmu sosial seharusnya dikembangkan dalam rangka mewujudkan suatu tujuan yang dianggap baik oleh subjek yang menghidupinya. Menurutnya, kondisi tersebut merupakan implikasi dari lemahnya kesadaran politik dalam diri ilmuwan. Menanggapi permasalahan tersebut, Widya menegaskan perlu diadakannya strategi politik pengembangan ilmu di Indonesia. Strategi politik dilakukan dengan menyusun tujuan yang jelas atas perkembangan ilmu tersebut. Selain itu, analisis dengan kacamata politik juga harus dilakukan--tidak hanya ke arah luar, tetapi juga mengarah ke diri sendiri. “Dengan begitu, ilmu yang tadinya hanya bersifat instrumental dapat menjalankan fungsinya dalam mengkritisi,” ujarnya.
Foto : Balairung/Aliftya
kurang mendalami aspek ilmu yang lain, yakni ilmuwan itu sendiri sebagai subjek atau objek dan setting sosial-politik yang melingkupinya.
Lemahnya kesadaran politik menjadikan seseorang tidak mampu memahami kondisi politik di sekitarnya. Widya menyebutkan kegiatan kuliah sebagai salah satu kegiatan yang politis. “Misalnya, saat kita kuliah kan seringkali dosen mengarahkan kita untuk membaca buku-buku referensi tertentu,” jelasnya. Ia juga menambahkan, dipelajarinya teori-teori tertentu juga merupakan tindakan politis dalam kegiatan kuliah. Absennya kesadaran politik di dalam diri membuat kita menerima keadaan tanpa berusaha mempertanyakan silabus yang disodorkan. Kesadaran politik memang perlu ditumbuhkan, terutama di kalangan ilmuwan. Widya menyatakan bahwa ilmu sosial di Indonesia memang belum sepenuhnya otonom. Menurutnya, ilmu yang otonom adalah ketika suatu ilmu mampu bersikap kritis dan reflektif terhadap dirinya sendiri. Kemampuan merumuskan visi dan cara memperjuangkan kepentingan juga menjadi indikator ilmu yang otonom. “Bila terciptanya sikap otonom, ilmu di Indonesia tidak lagi dikooptasi oleh pihak tertentu,” tegasnya. Ganesh, salah satu peserta diskusi, berpendapat mengenai usaha ilmu terlepas dari pengaruh positivisme. Menurutnya, bila antipositivisme ingin diaplikasikan dalam ilmu sosial, maka tidak ada kebenaran tunggal. Namun, keinginan untuk menguasai kebenaran itu akan muncul bersamaan dengan hadirnya antipositivisme. Widya menanggapi, kebenaran dalam antipositivisme menjadi beragam dimana nilai-nilai saling beradu. Kita diberikan kebebasan untuk menganut kebenaran yang dianggap paling baik.”Saat nilai-nilai tersebut beradu, memiliki standing position yang jelas adalah hal terpenting yang harus kita lakukan,” tandasnya. [Vidya]
Juni 2014
15
Opini
Isu Intoleransi di Tengah Hiruk-pikuk Pencapresan
D
i tengah hiruk-pikuk adu gagasan antarcapres, safari politik, serta kemunculan kampanye hitam yang saling menyudutkan, tampak masalah kebangsaan yang baru-baru ini muncul, yaitu anti toleransi. Di akhir bulan Mei, hanya dalam kurun waktu empat hari, Yogyakarta diguncang dua peristiwa yang seakan-akan meruntuhkan predikatnya sebagai city of tolerance. Kasus pertama terjadi pada kamis, 29 Mei lalu. Umat Katolik yang baru selesai berdoa bersama dan latihan paduan suara di Ngaglik, Sleman, diserang oleh sekelompok orang tak dikenal yang memakai sorban. Lalu tiga hari setelahnya, tepat pada peringatan hari kelahiran Pancasila, juga lagi-lagi terjadi penyerangan terhadap umat Kristen yang sedang menggelar kebaktian di Desa Tridadi, Sleman. Kejadian ini sungguh ironi di tengah peringatan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila yang mensyaratkan toleransi terhadap perbedaan. Apalagi hal tersebut juga terjadi ketika masyarakat sedang menanti calon pemimpin mereka untuk mengemukakan gagasan soal Indonesia ke depan. Aksi intoleransi ini melibatkan simbol-simbol keagamaan seperti sorban dan aktivitas keagamaan sebagai target serangan. Hal ini menandakan tarikan formasi identitas masih cukup kuat berada pada kutub ke-umat-an ketimbang kebangsaan yang berlandaskan pada kesamaan sebagai warga negara. Aksi-aksi intoleransi atas nama agama tersebut terjadi karena gagalnya negara menyempurnakan imaji kebangsaan seseorang sebagai seorang citizen yang mempunyai kesamaan hak dan kewajiban. Persamaan hak dan kewajiban ini sudah dijamin penuh dalam konstitusi UUD 1945, tak terkecuali kebebasan beribadah dan menjaga perdamaian. Alhasil kekosongan imaji tersebut diisi oleh paham-paham fundamentalis yang cenderung destruktif terhadap rajutan kedamaian sosial masyarakat. Untuk mengatasi persoalan anti toleransi yang sering berujung pada kekerasan tersebut, lagi-lagi negara harus hadir ke ranah sosial-politik masyarakat. Kehadiran negara terutama sekali diharapkan untuk menyempurnakan imaji kebangsaan masyarakat. Dalam usaha menyempurnakan imaji kebangsaan masyarakat memang tidaklah sepraktis
16
balkon
apa yang disampaikan oleh Ben Anderson yakni dengan cara pembangunan museum, pelaksanaan cacah jiwa, dan pembuatan peta (Anderson,2008). Namun, hal ini lebih jauh lagi dapat dicapai dengan merawat dan melaksanakan kontrak sosial yang telah dibangun oleh founding fathers kita ketika mendirikan negara Indonesia, yakni Pancasila. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila hendaknya diamalkan secara khidmat oleh negara sebagai pemegang otoritas tertinggi di republik ini. Pengamalan tersebut seperti halnya menjamin setiap warga dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Jadi, ketika ada penyerangan terrhadap sekelompok masyarakat, yang tergolong minoritas sekalipun, maka negara adalah aktor yang pertama hadir bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini karena negara adalah pihak yang kita serahi otoritas untuk menyelesaikan urusan-urusan publik. Dengan menjaga dan menjalankan kontrak sosial yang bernama Pancasila secara serius, masyarakat akan merasakan keberadaan negara. Oleh karenanya, bayangan kebangsaan masyarakat akan kembali penuh dan tarikan formasi identitas kebangsaan akan menguat. Tetapi dengan catatan, tanpa melalui jalur pragamatis dengan memberikan penafsiran tunggal terhadap Pancasila. Kembali kepada ramainya perbincangan mengenai “copras-capres�, dan ditengah klaim kedua kubu yang mengaku berjiwa Pancasila, hendaknya masyarakat semakin jeli kepada siapa pilihan ditentukan. Presiden yang terpilih haruslah mampu melaksanakan tugas kenegaraan dengan berpegang teguh pada Pancasila. Dengan begitu, peran negara akan dirasakan oleh masyarakat yang pada ujungnya mampu menyempurnakan kekosongan imaji kebangsaan seluruh rakyat Indonesia. Fadel Basrianto (Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM)
Potret
Lempuyangan dan Prameks, Suatu Realita Akhir Pekan Juni 2014
17
Potret Foto dan Teks: Setyawan Cahya Utama Setiap akhir pekan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta terlihat penuh sesak oleh calon penumpang. Ada bapak-bapak, ibu-ibu dan pelajar duduk bertebaran menambah kesan penuh sesak Stasiun Lempungyangan pada saat itu. Seperti biasa setelah kereta Prambanan Ekspres (Prameks) datang para penumpang berebut masuk karena takut tak kebagian kursi kereta menuju kota Surakarta. Tetapi alhasil masih banyak penumpang yang tak kebagian tempat duduk karena terlalu banyak penumpang yang berebut. Kemudian seorang penumpang kereta api mengeluh karena subsidi pemerintah terhadap kereta, membuat kondisi kereta semakin penuh sesak dan kadang terjadi keterlambatan keberangkatan. Selama perjalanan terlihat jelas bahwa banyak penumpang yang tidak sengaja tertidur karena terlalu lelah bekerja, berlibur, maupun menuntut ilmu. Semua isi gerbong kereta api bersama menjadi satu walaupun dengan kepentingan yang berbeda-beda.
18
balkon
Juni Juni 2014
19
Event
FMF Gelar Konser Perjuangan
Foto : Balairung/Ojik
F
orum Musik Fisipol (FMF) menggelar konser musik, Jumat (23/5) malam. Konser tersebut merupakan acara pertama yang digelar oleh anggota FMF angkatan 2013. Acara yang bertempat di Lapangan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM itu mengambil tema “MayDay Stand Up for Your Rights!” Konser tersebut merupakan acara pertama yang dipanitiai oleh anggota FMF angkatan tahun 2013. “Kami harap acara seperti ini dapat terus berlangsung di tahuntahun ke depan,” ungkap Yana Darmawan, mahasiswa FISIPOL ’13 selaku ketua acara. Pengambilan Mei sebagai bulan penyelenggaraan konser dilatarbelakangi oleh banyaknya hari nasional yang jatuh padanya. Beberapa di antaranya adalah Hari Buruh, Hari Pendidikan dan Hari Kebangkitan Nasional. Melalui pengadaan konser, FMF mencoba mengingatkan para pengunjung terhadap semangat perjuangan. Semangat bulan Mei itulah yang FMF coba tanamkan pada pengunjungnya. Hal itu dicapai dengan penampilan grup-grup musik yang membawakan lagu-lagu bertema keresahan sosial. Beberapa di antara lagu-lagu yang dibawakan mengisahkan mengenai prahara akibat Reformasi 1998 dan isu-isu sosial-politik saat ini.
20
balkon
Lagu-lagu bernuansa perjuangan tersebut dibawakan oleh band-band yang tampil pada malam itu. Grup musik bernama Selasar Barat, yang terdiri atas beberapa mahasiswa FISIPOL UGM, membuka rangkaian acara dengan lagu-lagu bertema serupa. Seluruh band pengisi acara merupakan mahasiswa UGM, namun tak terbatas pada mahasiswa-mahasiswa Fisipol saja. Beberapa grup musik yang berasal dari fakultas lain, termasuk Justimun dan Hail John dari Fakultas Hukum juga turut meramaikan jalannya konser. Selain itu, grup musik bernama Merah Bercerita, sebagai bintang tamu utama, menutup jalannya konser dengan memainkan beberapa lagu. Hadirnya beberapa grup musik asal luar FISIPOL pun menarik para mahasiswa fakultas-fakultas lain untuk mengikuti jalannya konser tersebut. Salah satu di antaranya adalah Ardi, mahasiswa Fakultas Psikologi ’13, yang mengikuti jalannya konser dari awal. Menurutnya, acara musik dengan tema yang cukup unik tersebut cukup mengasyikkan dan berjalan dengan tertib. Ia pun menyampaikan pengharapannya, “Semoga Fisipol makin kreatif dalam membuat acara musik dan semoga Psikologi juga mampu membuat acara seperti ini.” [Ipin]
Opini
Catatan di Tahun Politik
S
eusai sholat Jumat kemarin (25/04), Grha Sabha Pramana (GSP) sudah berjejal motor dan mobil yang parkir. Di pintu-pintu masuk bagian atas sudah disesaki manusia yang menunggu acara berlangsung. Acara apa itu, pembaca pastilah mengetahuinya. Acara bincang-bincang salah satu televisi swasta nasional yang sedari awal pengumumannya, menyebabkan seluruh mahasiswa UGM berburu cepat mendaftarkan diri lewat surel. Program acara yang mengundang tokoh-tokoh nasional ini membuat saya bertanya-tanya. Pasalnya ada beberapa nama yang tengah digadang-gadangkan akan berlaga pada pilpres besok. Mungkin terdengar tendensius, namun saya mohon anda meluangkan waktu sejenak untuk membaca tulisan ringan ini. Di lingkungan kampus, sudah menjadi hal yang biasa acara-acara semacam seminar, workshop, maupun diskusi berlangsung. Bahasan acara semacam itu pun beragam mulai dari sosial, ekonomi, politik dsb. Bukan suatu hal yang luar biasa, toh kampus merupakan ladang penyemaian bibit intelektual. Suatu hal yang wajar jika kita belajar dari orangorang yang berpengalaman. Nantinya pun, dari kampus inilah muncul berbagai macam perubahan intelektual. Perubahan itu macam-macam bisa berbentuk revolusi, reformasi, atau koalisi. Untuk yang terakhir, saya jadi teringat acara usai sholat jumat berjamaah di gelanggang mahasiswa minggu kemarinnya. Seharusnya dalam beberapa bulan kedepan, kampus harus hati-hati dalam menerima tamu. Soalnya mayoritas mahasiswa disini dalam pemilu kali ini pastilah pemilih pemula. Pada pesta demokrasi kali ini, sekitar tiga puluh persen dari total pemilih ternyata pemilih pemula. Data ini menunjukkan peran besar perolehan suaranya dalam menentukan nasib negara lima tahun kedepan. Sekaligus menjadikannya peluang bagi partai untuk meraup suara. Apalagi kata seorang teman dari Jurusan Politik Pemerintahan, pemilih pemula memiliki karakter yang cenderung loyal dan teredukasi dengan baik. Mereka disebut cenderung loyal karena pemilu pertamanya telah menjadi “pengalaman pertama yang berbekas�. Asumsi ini tidak pula saya setujui. Saya terpaksa mendebatnya soal kecenderungan kaum muda yang abai dan mudah lupa. Apalagi hal-hal berbau politik yang dirasa berat. Bagi kaum muda yang terkenal praktis, bukanlah hal penting untuk menyimpan lama-lama masalah rumit dalam kepala. Namun, untuk asumsi yang kedua saya setuju-setuju saja. Generasi internet saat
ini sudah tidak dapat halangi dari informasi. Berita-berita di dunia maya selalu sibuk menceritakan soal permasalahan politik paling mutakhir. Edukasi lewat teknologi komunikasi ini sangat memungkinkan mereka untuk cerdas dalam memilih. Namun, tampaknya cerdas saja tidak cukup untuk melakukan pilihan politik dengan baik. Kecenderungan pemilih pemula untuk apatis dalam pemilihan, membuat lembaga-lembaga intrakampus berlomba-lomba mengadakan program peningkatan minat mahasiswa untuk memilih. Seorang cerdas itu harus diajak untuk turut berpartisipasi. Maka muncullah slogan maupun acara-acara yang berbau semangat pesta demokrasi. Tapi, apa dengan alasan edukasi pula kita dapat menerima ketidakhati-hatian kampus. Juga teman-teman kita di gelanggang dalam menerima tamu usai sholat jumat tadi. Bagi saya dan semua orang memahaminya, kampus kawasan yang netral. Politik hanya dibatasi pada diri pribadi tanpa tendensi dalam mengarahkan suara dan bersikap. Kalau pun mau berwacana silakan saja. Namun, ada caranya yang lebih etis dan cantik. Bukan dengan tanpa tedeng aling-aling mengajak beberapa elemen alat politik untuk membicarakan strategi satu golongan. Saya memandang miris hal tersebut. Kalau masih seperti ini, dunia kampus masih belum beranjak dari sikap egois dan melupakan objektifitasnya sebagai kumpulan para intelektual. Agung Hidayat Pegiat Forum Muda Peduli Media Ilustrasi : Balairung/Hanin
Juni 2014
21
Eureka
Teror Kebijakan Amerika Serikat Kebijakan Amerika Serikat untuk memerangi terorisme di Asia Tenggara mengundang pertanyaan. Benarkah tujuan Amerika Serikat hanya memberantas aksi teror, atau ada tujuan lain dari kebijakan tersebut? Ilustrasi : Balairung/Alan
Judul Tesis Penulis Tahun
: Respon Asia tenggara Terhadap Perubahan kebijakan Anti Terorisme Amerika Serikat : Ezza hanindya Mufti : 2013
Ukuran dan Tebal Buku : 21cm x 29 cm, 118 halaman
22
balkon
A
merika Serikat telah dikenal sebagai negara adidaya sejak perang dunia kedua silam. Dari segi aspek ekonomi dan militer, negara ini lebih unggul dari negara-negara lain. Bila ditinjau dari kekuatan militer tak perlu dipertanyakan lagi. Amerika Serikat memiliki beragam pangkalan militer di penjuru dunia dengan berbagai senjata yang dimilikinya. Sedangkan di aspek ekonomi, Amerika Serikat tak lepas dari sumberdaya alam yang tersedia serta pengelolaan sumberdaya manusia yang dimaksimalkan. Selain itu, Pemerintah Amerika Serikat juga membangun infrastuktur dengan baik sehingga kegiatan ekonomi semakin ideal. Seiring berjalannya waktu, kestabilan keamanan negara Amerika Serikat mulai goncang. Ketidakstabilan itu disebabkan tragedi yang menimpa Amerika Serikat di tahun 2001. Beberapa pesawat jet secara serentak menabrak beberapa gedung pencakar langit di wilayah negara Amerika Serikat. Tragedi yang mengakibatkan korban jiwa lebih dari 3000 orang dikenang dengan istilah Teror 11 September 2001. Sejak terjadiya Serangan 11 September 2001 Amerika Serikat semakin gencar menyuarakan perang melawan terorisme. Terorisme merupakan perbuatan melawan hukum secara sistematis deangan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi badan, moral, harta dan kemerdekaan orang lain (hal.14). Dalam upaya memerangi terorisme, Amerika Serikat memfokuskan kerjasama dengan berbagi negara terutama di kawasan Asia Tenggara. Beberapa negara Asia Tenggara yang erat menjalain kerjasama memberantas terorisme yaitu Singapura, Filipina, dan Indonesia. Teror 11 September 2001 hingga saat ini belum diketahui secara pasti siapa yang harus bertanggung jawab. Namun, pemerintah Amerika Serikat berpendapat bahwa serangan teror 11 September 2001 dilakukan oleh gerakan Al-Qaedah pimpinan Osama bin Laden. Dilain pihak, Al Qaedah menyangkal tuduhan yang diberikan pemerintah Amerika Serikat. Berbagai perspektif pun muncul apakah benar serangan tersebut merupakan aksi dari gerakan Al Qaedah. Al Qaedah merupakan gerakan radikal yang mempunyai jaringan dibeberapa negara. Salah satu kawasan yang diduga Amerika Serikat sebagai sub jaringan Al Qaedah yaitu Asia Tenggara. Gerakan terorisme di Asia Tenggara dikaitkan dengan adanya gerakan Jamaah Islamiyah (JI) yang disinyalir pemerintah Amerika Serikat sebagai sayap Al-Qaedah. JI merupakan gerakan yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’Asyir. Namun, negara-negara ASEAN beranggapan JI telah dibubarkan dan telah tiada. Akan tetapi Amerika Serikat masih mensinyalir bahwa masih banyak gerakan terorisme di wilayah Asia Tenggara. Aksi memerangi terorisme Amerika Serikat terutama di wilayah negara Asia Tenggara membuat Essa Hanindya Mufti melakukan sebuah penelitian berbentuk tesis. Tesis tersebut mengulas penelitian bersifat deskriptif analisis yang mencakup penelitian mengenai kebijakan anti terorisme Amerika Serikat di negara-negara Asia Tenggara. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa negara-negara Asia Tenggara mendapat perhatian khusus dari Amerika Serikat. Asia Tenggara merupakan kawasan dengan jumlah penduduk yang cukup prospektif dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Terdapat indikasi bahwa ada kepentingan lain Amerika Serikat di negara-negara Asia Tenggara. Amerika Serikat mempunyai keinginan untuk menguasai sektor perekonomian dan mengendalikan berbagai kebijakan di Asia tenggara. Keinginan untuk mengendalikan berbagai kepentingan perekonomian dilakukan dengan menyuarakan kebijakan memerangi terorisme. Berbagai cara ditempuh Amerika Serikat untuk bekerjasama memerangi Terorisme di Asia Tenggara. Tesis dengan judul �Respon Asia tenggara Terhadap Perubahan kebijakan Anti Terorisme Amerika Serikat� ada perbedaan untuk memberantas aksi terorisme. Pada BAB IV dijelaskan bahwa negara-negara Asia Tenggara dibiayai oleh Amerika Serikat dalam operasional militernya untuk memerangi terorisme. Karakteristik kerjasama tersebut lebih menekankan pada tindakan militer daripada diplomasi. Di Asia Tenggara sendiri sebenarnya sudah ada agenda untuk memperkecil ancaman stabilitas keamanan kawasan melalui Forum Regional ASEAN. Dalam agendanya, forum tersebut lebih mengutamakan diplomasi untuk memperkecil ancaman stabilitas kawasan dibandingkan dengan tindakan militer. Memerangi terorisme di Asia Tenggara tentu tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Banyaknya konflik internal negara dan perselisihan ideologi antar negara merupakan tantangan yang berat untuk memberantas terorisme. Pemberantasan terorisme tidaklah efektif jika dilakukan menggunakan kekuatan militer dan tindakan-tindakan kekerasan. Perlunya kerjasama yang tepat dan tujuan yang jelas menjadi hal terpenting untuk memberantas terorisme. Contoh kerjasama yang tepat dalam pemberantasan terorisme yaitu penukaran informasi intelejen dan diplomatik antar negara. Salah satu negara di Asia Tenggara yang menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat adalah Indonesia. Di Indonesia sendiri aksi teror sangat lekat dibenak masyarakat. Teror bom di beberapa tempat di Indonesia menjadi alasan pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat untuk pemberantasan terorisme. Respon negara Indonesia terhadap bentuk kerjasama dari Amerika Serikat disambut dengan baik. Kerjasama tersebut seperti pelatihan penanganan teror dan pemberian biaya perlengkapan militer. Di Indonesia sendiri dibentuk beberapa detasemen anti teror bekerjasama dengan Amerika Serikat. Banyak manfaat yang diambil dari hasil penelitian Ezza Hanindya Mufti. Tesis ini berguna untuk membuka cakrawala negara-negara ASEAN bahwa untuk memberantas aksi terorisme membutuhkan kerjasama antar negara. Berbagai penemuan yang telah diuraikan secara runtut memperjelas pemahaman isi tesis. Namun, peneliti belum menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan dari campur tangan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Akan lebih sempurna jika disajikan pengaruh campur tangan Amerika Serikat di Asia Tenggara. [Hendra]
Juni 2014
23
Menilik Peran Borjuasi di Inggris dan Perancis
Rehal
Judul Penulis Penerbit Tebal buku Cetakan
: : : : :
Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa Kuntowijoyo Penerbit Ombak 205 halaman II/2013 Foto : Balairung/Naufi
24
balkon
“Sejarah adalah a science of human evolution. Maka semua orang perlu memiliki kesadaran hal itu� Marc Bloch
M
enyaksikan perubahan dalam peradaban Eropa pada abad 17 sampai abad 18, menunjuk pada adanya peran borjuasi dalam perkembangannya. Golongan Borjuasi muncul akibat dari doktrin-doktrin agama yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat Eropa, sehingga mengubah pandangan masyarakat zaman pertengahan yang tadinya teoritis menjadi humanis. Dalam sejarah Eropa, abad tersebut dapat dikatakan sebagai masa pembentukan menuju pada tingkat kematangan. Dengan munculnya borjuasi sebagai kekuatan sosial yang baru, membawa banyak perubahan baik dibidang sosial maupun budaya. Mengutip pengertian dari H. A. Ross, yang dimaksud dengan perubahan (transformation) ialah pergeseran-pergeseran yang “terjadi�. Perubahan atas transformasi berlangsung bukan karena kesengajaan semata, namun juga disebabkan oleh faktor-faktor di luar kesengajaan atau sudah direncanakan terlebih dahulu. Faktor-faktor di luar kesengajaan tersebut merupakan ide-ide atau cita-cita dari kaum borjuasi, yang hendak dikembangkan agar menjadi sebuah transformasi di Eropa. Munculnya borjuasi berdampak pada pergeseran struktur dan stratifikasi masyarakat, yang menimbulkan akibat-akibat sosial. Masyarakat Eropa yang dulunya sangat terpengeruh oleh ajaran-ajaran Katholik, perlahan meninggalkan ajaran tersebut dan cenderung memiliki pandangan yang universal. Arus pemikiran pada abad 17 dan 18 bertalian dengan gejala meningkatnya peran borjuasi untuk berbagai kepentingan. Oleh karena itu, munculnya borjuasi di panggung sejarah Eropa mempunyai konsekuensi sosial dan kebudayaan yaitu perubahan sosial dan kebudayaan itu sendiri. Hal ini mengakibatkan Eropa bergerak dari suatu kondisi yang statis menuju suatu dinamika baru. Selain itu, abad tersebut merupakan masa transisi ke arah modern, dapat ditandai dengan ilmu pengetahuan yang tidak lagi dibatasi seperti pada zaman Pertengahan. Dalam buku ini, Kuntowijoyo akan membahas peran borjuasi yang berhasil menggantikan peranan aristokrasi di zaman pertengahan. Hal itu ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi di Eropa. Namun, tahun dimulainya moderniasi di Eropa tidak dapat dipastikan dan masih menjadi sebuah perdebatan. Walaupun banyak pendapat yang berbeda mengenai kapan dimulainya Eropa modern, Kuntowijoyo menyebut abad 17 sebagai awal Eropa modern. Pandangan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada abad ini Eropa telah keluar dari suatu periode yang secara umum disebut sebagai reformation. Perancis dan Inggris merupakan dua negara yang menjadi sentral dimana revolusi terjadi. Kejadian yang
berlangsung di kedua negara itu bukan saja mempunyai lokasi penting dalam perkembang peran borjuasi, tetapi juga mempunyai akibat-akibat universal. Borjuasi mencapai taraf kematangannya di kedua negara tersebut, karena berhasil mengubah sistem kepimpinan di negara tersebut. Dalam buku ini, Kuntowijoyo memisahkan secara jelas peran borjuasi dalam perkembangan Eropa di Perancis dan Inggris. Buku yang menjadi karya pertama ini berasal dari sebuah skripsi di tahun 1969 saat penulis menjadi Asisten untuk Pengantar Sejarah Eropa dan Sejarah Kebudayaan Eropa Modern. Pada tahun itu, Gadjah Mada University Press menyurati penulis dan bersedia menerbitkan naskah skripsinya menjadi sebuah buku. Sumber-sumber yang dipakai dalam tulisan ini merupakan buku-buku terbatas terbitan 1950-an, ada juga beberapa buku dari tahun 1960-an. Walaupun demikian buku ini masih relevan jika dibacaa saat ini. Hal ini dapat dilihat dari penulisan Kuntowijoyo dalam menelaah perkembangan borjuasi di Perancis dan Inggris secara mendetail, sehingga buku ini memberi gambaran jelas tentang latar belakang sosial dari perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Buku berbahasa Indonesia ini dilengkapi pula biografi penulis yang dapat membantu para pembaca untuk mengenal Kuntowijoyo. Disisi lain, buku ini memiliki kekurangan. Misalnya, seperti alur penulisan yang maju mundur sehingga membingungkan para pembaca. Ditambah lagi, buku ini banyak menggunakan istilah-istilah yang sukar dimengerti, tetapi tidak dicantumkan terjemahannya. Dalam penyampainnya, penulis terlalu luas dalam mengembangkan suatu teori yang berkaitan dengan pembahasan buku ini, sehingga pembaca akan kesulitan dalam memahami tujuan utama pembahasan dari buku ini. Di dalam buku ini, penulis menempatkan golongan masyarakat yaitu borjuis sebagai sebuah gejala transformasi di Eropa. Pada masa transformasi tersebut terjadi perkembangan atau perubahan-perubahan masyarakat dan kebudayaan Eropa. Locus dari pembahasan ini ialah Inggris dan Perancis pada abad 17 sampai abad 18. Peran borjuasi menimbulkan banyak perkembangan dalam modernisasi masyarakat serta pertumbahan ekonomi kearah lebih produktif. Selain itu, peran borjuasi menimbulkan pemikiran-pemikiran yang lebih maju, juga mengakibatkan pertentangan melawan lembaga-lembaga zaman pertengahan. Sudut pandangan monokausal meilhat konsep Marxisme tentang perjuangan kelas, menjadi sandaran cara berfikir penulis dalam menyusun buku ini. Dari kekurangan dan kelebihannya secara umum dapat disimpulkan bahwa buku ini dapat menambah literatur Sejarah Eropa yang jarang ditemui. Dilihat dari pokok bahasannya,buku ini layak dibaca bagi siapapun yang ingin mendalami sejarah. Teutama sejarah Eropa pada masa perubahan dari zaman pertengahan menuju zaman modern dan tentu saja peran borjuasi. [Sativa]
Juni 2014
25
Apresiasi
Perempuan dalam Deretan Potret
Foto : Balairung/Aliftya
Beragam potret menceritakan kisah tentang perempuan. Melalui foto, kisah itu dimaknai dari sudut pandang yang berbeda
S
emenjak dulu, dalam cerita pengantar tidur yang disuguhkan kepada anak-anak, kisah tentang bidadari pasti identik dengan gambaran keindahan. Simbol-simbol kesempurnaan perempuan ada pada diri makhluk yang konon menghuni kahyangan ini. Dalam Legenda Jaka Tarub misalnya, dikisahkan Jaka Tarub mencuri selendang seorang bidadari yang sedang turun ke bumi. Dia menjebaknya untuk diperistri karena terpikat dengan kecantikan makhluk kahyangan tersebut. Barangkali dari cerita yang tertanam sejak kecil itu, gambaran ini tidak hilang sampai anak-anak tumbuh dewasa. Bidadari adalah makhluk dengan kesempurnaan fisik dan perilaku. Perempuan pun, yang sering disebut-sebut bidadari duniawi, dituntut untuk menjadi makhluk sempurna. Kenyataannya hal itu tidak sepenuhnya benar. Di balik gambaran keindahan dan kesempurnaan yang ditujukan padanya, perempuan memiliki banyak cerita yang tersimpan rapat. Cerita yang tidak terungkap oleh penglihatan orang kebanyakan. Sebuah kisah yang harus ‘diintip’ untuk mengetahui makna di baliknya. Hal itu pula yang coba
26
balkon
ditampilkan Publisia Photo Club (PPC) dalam pamerannya yang berjudul Mengintip Bidadari. Selama sembilan hari, sejak tanggal 17 April 2014, puluhan foto bertema perempuan dipamerkan di Galeri Grin Café & Art Space. Swastati Tita selaku ketua panitia mengisahkan, lewat pameran ini, dia dan kawan-kawannya mencoba menunjukkan bagaimana mereka menafsirkan kata perempuan. Bagi mereka, perempuan adalah makhluk dengan keelokan fisik dan kehalusan budi pekerti yang sering dikaitkan dengan sosok bidadari. Dalam pameran ini, mereka mencoba melihat itu semua dari sudut pandang berbeda. “Itulah sebabnya kami memilih judul Mengintip Bidadari dan bukan Melihat Bidadari,” ungkap Swastati. Perspektif berbeda itu tercermin salah satunya lewat foto berjudul “That Kind of Struggle” karya Riza Adrian Soedardi. Dalam foto itu, terlihat seorang perempuan yang sedang berusaha memakai eye liner. Tanpa sengaja dia mencoreng kelopak matanya. Harapannya tampil cantik pun pupus. Lewat foto itu, Riza seolah mematahkan anggapan mengenai perempuan yang dipandang sebagai sosok yang piawai dalam berdandan. Kepiawaian itu salah satunya terlihat ketika perempuan memakai eye liner. “Padahal kita pun sebagai perempuan butuh perjuangan dalam berdandan,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ica ini. Sosok perempuan tangguh turut ditampilkan pada pameran ini. Dalam foto berjudul “Banggalah” hasil bidikan Muhammad Risqi, seorang perempuan tampak berdiri di depan cermin. Pantulan parasnya yang ayu terlihat samarsamar karena gelap di sekelilingnya. Dengan eskpresi wajah kesal, perempuan itu menengadahkan kepala sambil menyibak rambut dengan tangannya. Foto itu bercerita bahwa perempuan cenderung lebih mudah mendapat cibiran bila mereka melanggar nilai dan norma. Misalnya, ketika berpakaian terbuka, perempuan akan lebih mudah mendapat komentar negatif. Dalam foto tersebut, kondisi itu digambarkan dengan wajah gelap perempuan yang terpantul lewat cermin. Pria berkacamata ini mengungkapkan, “Foto itu menyampaikan pesan bahwa seorang perempuan harus bangga terhadap dirinya, terlepas dari komentar negatif orang-orang di sekitarnya.” Jika Muhammad memilih perempuan sebagai objek fotonya, lain halnya dengan Riza Adrian Soedardi. Dengan judul “Kapan Aku Manten”, sepasang boneka pengantin berbusana adat Jawa ditampilkan dalam sebuah foto. Figur Loroblonyo itu mengisahkan konflik tentang pernikahan bagi perempuan yang menginjak usia menikah. Perempuan yang gemar menulis ini menceritakan, di masa kecil, dia membayangkan dirinya tumbuh dewasa dan menikah. Imajinasinya itu terwujud dalam permainan nikah-nikahan yang dia lakukan bersama teman-temannya. “Tapi ketika dewasa, justru pernikahan itu tidak semenarik bayangan kita di masa kecil,” ungkap Riza kecewa. Pernikahan kadang dipandang dengan perspektif berbeda oleh perempuan. Di satu sisi, banyak dari mereka
berkeinginan menikah, tapi jodoh tak kunjung datang. Di sisi lain, ada juga perempuan yang sebenarnya memiliki kesempatan menikah, tapi mereka mengesampingkan urusan pernikahan. Beberapa di antaranya bahkan memilih tidak menikah. Berbeda dengan Riza, Elrepyan Upadio mencoba mengeksploitasi tema yang lebih serius. El, begitu dia akrab disapa, mengangkat isu patriarkat dalam fotonya. Dalam foto itu terlihat seorang perempuan duduk memeluk lututnya. Tangannya memegang kepala menyiratkan ekspresi ketakutan. Sementara, di depannya terlihat sepasang kaki lelaki yang berdiri sambil berkacak pinggang. Kesan angkuh langsung tergambar dari bahasa tubuh lelaki tersebut. “Foto itu memperlihatkan bagaimana perempuan seolah terkungkung dalam kuasa lelaki,” komentar Swastati pada foto berjudul “Patriarki”. Patriarki atau patriarkat diartikan sebagai sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak. Kini, istilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “kekuasaan laki-laki”, khususnya dominasi laki-laki atas perempuan. Dominasi itu direalisasikan melalui bermacam media dan cara. Berangkat dari paradigma seperti itu, muncullah gerakan feminisme. Pemikiran feminisme dibangun atas kesadaran bahwa ada struktur yang tidak adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan tersebut, seperti diungkapkan dalam penelitian Muhamad Adji (2009:102), ditengarai karena sistem patriarkat yang memandang laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Kenyataannya, pandangan seperti itu tidak sepenuhnya benar. Perempuan dengan sifat lemah lembutnya mampu memegang peran yang cukup menentukan keberlangsungan hidup orang-orang di sekitarnya. Tak jarang, kebanyakan orang justru menggantungkan hidupnya pada sosok perempuan, misalnya dalam esai foto berjudul “Tak Terduga” karya Setyawan Cahaya Utama. Dalam fotonya, Setyawan menggambarkan kondisi rumah ketika sosok perempuan tidak ada. Kamar yang berantakan, piring-piring bekas yang belum tercuci, sampai kondisi halaman yang penuh dengan daun-daun kering terlihat jelas dalam fotonya. “Foto itu menggambarkan keadaan laki-laki kalau nggak ada wanita,” ujar pria berkacamata ini. Perempuan menyimpan cerita yang tidak pernah habis diperbincangkan. Lewat karyanya, PPC angkatan 2013 mencoba menyibak sedikit makna di balik cerita itu. Dalam usahanya yang dimanifestasikan melalui pameran fotografi, mereka menunjukkan perempuan bukan melulu makhluk cantik dan sempurna laiknya bidadari. Perempuan juga manusia dengan banyak sisi kehidupan. Dalam pameran ini, PPC mengajak pengunjung memahami perempuan dengan sudut pandang lain. Sebuah pemahaman yang muncul dari proses ‘mengintip’ untuk meresapi makna di balik setiap potret yang disajikan. [Ervina]
Juni 2014
27
Sosok
Foto : Balairung/Nala
Mengukir Prestasi di Dalam Keterbatasan Dengan keterbatasannya, ia pernah menghadapi banyak hambatan. Namun, hal itu tidak menjadi penghalang Karim untuk terus menorehkan prestasi.
B
eberapa tahun silam, seorang anak SD telah berhasil membanggakan orang tuanya. Berbekal krayon, pensil, dan spidol, ia memenangkan lomba menggambar yang diadakan di sekolahnya. Melalui prestasi tersebut, ia pun berhak mewakili sekolahnya untuk lomba di tingkat kota. Namun, kesempatan itu ia lewatkan,
28
balkon
lantas diberikan pada temannya yang lebih berambisi. Begitulah sedikit gambaran mengenai kerendahan hati Muhammad Karim Amrullah. Hari itu, Senin (21/4) bertempat di depan Gedung Kuliah Umum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, ia mulai menceritakan kisah hidupnya.
Selain memiliki hobi menggambar, Karim pun menekuni bidang fotografi. Kemampuannya menangkap objek melalui kamera itu juga menorehkan prestasi. Lomba foto yang diadakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta berhasil dimenangkannya saat ia duduk di kelas 3 SMP. Kompetisi ini digelar dalam rangka memperingati 60 tahun hubungan bilateral antara Indonesia dan Jerman. Tiga tahun kemudian, tahun 2012 tepatnya, setelah masuk Fakultas Hukum (FH) UGM, Karim langsung menyandang predikat mahasiswa baru terbaik di fakultasnya. Disamping itu, prestasinya merambah hingga kancah internasional. Karim menjadi perwakilan FH UGM untuk konferensi Asian Law Student Association (ALSA) yang diadakan di Singapura, awal 2014 lalu. Tak hanya itu, akhir Mei tahun ini, ia terpilih menjadi salah satu peserta Kongres Pancasila VI yang dilaksanakan di Universitas Pattimura, Ambon. Sementara itu, Karim juga menjabat sebagai sekretaris dari Forum Mahasiswa Difabel dan Partner (FMDP-UGM), yang sekarang telah menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel. Mengadvokasi kebutuhan para difabel adalah tujuan dari organisasi yang didirikan pada Juni 2013 ini. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam organisasi ini diantaranya mengajarkan bahasa isyarat dan memberikan berbagai motivasi kepada anggota difabel. Menjadi orang yang difabel namun berprestasi adalah kebanggaan tersendiri bagi Karim. Pemuda yang memiliki empat jari di tangan kiri dan tiga jari di tangan kanannya ini menuturkan, sekarang difabel masih menjadi kelompok yang terpinggirkan. Banyak orang yang tidak menghiraukan keadaan kaum difabel. ”Harusnya kita itu saling peduli, karena pada dasarnya difabel itu sama,” ungkap salah satu perintis UKM Peduli Difabel ini. Hal inilah yang menjadi salah satu alasannya menginisiasi hadirnya UKM tersebut. Meskipun memiliki aktivitas lain di luar kuliah, ia masih bisa mengatur jadwal kuliahnya. Menurutnya, kuliah itu adalah tujuan utama. Hal ini dibuktikan dengan indeks prestasi kumulatifnya yang bernilai 3,44. “Jika jadwal kuliah dan organisasi tabrakan, saya lebih mengutamakan kuliah,” ujar Karim sambil tersenyum simpul. Namun dibalik prestasi yang telah diraih, Karim pernah mengalami masa-masa sulit. Pemuda kelahiran 15 Juli 1994 ini pernah mengidap penyakit skoliosis. Meskipun belum diketahui penyebabnya, penyakit ini mengakibatkan pembengkokan pada tulang belakangnya. “Belum tahu sih disebabkan oleh faktor genetik atau virus,” tuturnya. Gejala yang dideritanya itu muncul sejak ia duduk dibangku SD. Untuk meminimalisasi dampak skoliosis, Karim sempat menggunakan brace. Tiga tahun lamanya ia mengenakan pakaian penyangga tulang itu. Akan tetapi, pembengkokan tulangnya tetap bertambah. Ketika ia duduk di kelas 3 SMP, tulangnya sudah membengkok hingga 80 derajat, dan akhirnya ia pun harus dioperasi. Resiko yang harus diterimanya ketika menjalani operasi sangat besar, diantaranya, kondisi kecacatan semakin bertambah atau meninggal.
Akhirnya, permasalahan tulang belakang Karim mendapat penanganan di ruang operasi. Ditemani kakaknya, tulang belakang Karim pun dibedah. Operasi yang berlangsung selama tujuh jam itu pun akhirnya berjalan lancar. Setelah itu, ia masih harus bertahan di rumah sakit selama sebulan untuk penyembuhan setelah operasi. Kini, struktur tulang belakangnya lebih tegak dari sebelumnya. Karim pun sekarang tidak lagi terganggu oleh penyakit yang membuat dirinya susah berjalan itu. Selain mempunyai masalah pada tulang belakang, saat duduk di bangku SD, Karim biasa dipanggil dengan sebutan “T-rex” oleh sebagian temannya. Awalnya, ia bisa menerima sebutan itu. Tidak lama kemudian ia sadar, kata itu adalah suatu ejekan tentang keadaan fisiknya yang seperti dinosaurus. “Mungkin karena keadaan tanganku yang seperti ini, sehingga dipanggil T-rex,” terangnya. Saat mengetahui hal itu adalah sebutan untuk keadaannya yang difabel, Karim menjadi sangat pesimis. Bocah yang dulunya suka bergaul itu menjadi sangat pendiam di sekolah. Ia juga selalu menghindar dari teman-temannya. Setelah dua tahun lamanya terpuruk, pikirannya mulai terbuka ketika ia membaca koran tentang diskriminasi difabel. Ia melihat masih banyak manusia yang hidupnya lebih ironis dari dirinya. “Ternyata banyak orang yang kurang beruntung dari saya,” tutur Karim. Selain itu, motivasi lain pun datang dari ibunya yang sering menasihati dan mengajari Karim untuk selalu bersyukur. Karim juga selalu teringat perkataan ibunya, “Kalau kami (keluarga) tidak malu, kenapa kamu harus malu?” Hal itulah kemudian yang menjadi penyemangat Karim untuk melanjutkan hidup. Kesuksesan dari mahasiswa yang memiliki minat terhadap kajian hukum tata negara ini tak lepas dari peran ibunya. “Ia yang terus menyemangatiku hingga saya bisa seperti sekarang ini,” tuturnya. Tak hanya itu, ibunya selalu mengajarkannya untuk berusaha berbuat baik kepada semua orang. Dari berbagai prestasi yang dituainya, Karim mampu menginspirasi orang disekelilingnya. Lusi Yolanda adalah salah satunya. Ia menyatakan, walaupun berbeda dari teman yang lain, Karim tetap bisa bergaul dan berinteraksi tanpa merasa dirinya berbeda. “Karim itu orangnya terbuka, tidak pernah menutupi dirinya dari pergaulan,” tutur mahasiswi FH ’12 ini. Selain itu, semangatnya untuk berprestasi juga sangat tinggi, itulah yang membuat Lusi terinspirasi. Untuk ke depannya, Karim masih memiliki beberapa harapan. Setelah lulus sarjana, ia ingin melanjutkan pendidikan S2 bidang hukum di National University of Singapore. Kelak setelah program masternya selesai, ia berniat kembali ke Indonesia. Bisa menjadi pengajar ataupun dosen di perguruan tinggi adalah tujuannya. Semuanya itu ia lakukan agar bisa berkontribusi bagi negara tanpa memandang kekurangan pada dirinya. “Semoga kelak nanti saya menjadi sosok yang berguna untuk negara dan bangsa,” harap pemuda yang gemar bersepeda ke kampus ini. [Dewi, Syauqy]
Juni 2014
29
Komunitas
MUMI : Sampaikan Pesan lewat Kampanye perubahan tidak melulu hanya dengan kata-kata. Berbagai macam aksi inovatif mereka kemas dalam konsep sosialisasi yang menarik.
S
enin malam (28/4), sekelompok pemuda berkumpul di sisi barat Grha Sabha Pramana UGM. Mereka berbaris rapi, membentuk dua banjar barisan penari. Sesaat kemudian, terdengar lagu mengalun dari pemutar musik yang ada di depan mereka. Bersamaan dengan itu, laksana penari, kedua tangan mereka diangkat ke atas membentuk berbagai macam sudut. Mereka yang berkumpul malam itu adalah anggota komunitas Muda Menginspirasi UGM. Malam itu, mereka sedang melakukan gladi kotor untuk acara Indonesian Day yang masuk dalam rangkaian acara Indonesia-Thailand Friendship and Cultural Exchange Program (ITFCP). Muda Menginspirasi atau biasa disebut dengan MUMI merupakan komunitas yang fokus mengawal isu-isu di bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Mereka mengawal isu-isu tersebut dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat umum. Pada awalnya program ini dirintis oleh Kementrian Minat dan Bakat Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM ‘13. “Sebelumnya MUMI dirancang BEM KM sebagai program kerja, bukan komunitas,” terang Ricco Survival Yubaidi, ketua komunitas MUMI. Semenjak pergantian pengurus BEM KM ‘13,
30
balkon
program ini resmi keluar dan sekarang di bawah naungan Direktorat Kemahasiswaan (Dirmawa) UGM. Ricco yang juga mahasiswa Diploma Teknik Sipil UGM ‘11 ini menjelaskan, semenjak di bawah naungan Dirmawa, MUMI berubah menjadi sebuah komunitas. Pangadiyono, S.I.P selaku Kepala Seksi Organisasi dan Fasilitas Kemahasiswaan UGM mengatakan, pengambilalihan ini dilakukan untuk memfasilitasi anggota MUMI untuk mengembangkan kreativitasnya. Dalam melakukan pengambilalihan MUMI, pihak Dirmawa melakukannya berdasarkan jumlah anggota dan keinginan komunitas tersebut untuk berkembang. “Tidak peduli komunitas itu sudah lama berdiri atau belum, asal positif dan bisa mengharumkan nama UGM tentu akan dibiayai,” tambah Pangadiyono. MUMI yang belum genap berusia dua tahun ini pada awalnya bernama Multilevel Campaign. Pemilihan nama ini bertujuan agar para anggotanya bisa saling menularkan ilmunya ke orang lain. Selain itu, diharapkan komunitas ini juga dapat mengkampanyekan berbagai isu yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, setelah dirasa
lingkungan. Kegiatan seperti sosialisasi HIV/AIDS dan “Sehat tanpa Rokok” diagendakan untuk menggagas isu seputar kesehatan. Misalnya, dalam program “Sehat tanpa Rokok” mereka melakukan aksi dengan menawarkan pengunjung di sekitar Grha Sabha Pramana untuk mematikan rokoknya dan menggantinya dengan permen. Selanjutnya, Ricco menuturkan kegiatan dari divisi lingkungan di antaranya adalah dengan melakukan penanaman pohon. “Kemarin, kita melakukan penanaman pohon di pesisir pantai selatan,” kata Ricco. Dalam melaksanakan programnya yang terdiri dari berbagai bidang, komunitas ini sering bekerjasama dengan berbagai institusi dari dalam maupun luar UGM. Mereka yang berasal dari institusi lain dikategorikan sebagai relawan. “Jadi mereka yang relawan tidak diikutkan dalam kepengurusan resmi,” jelas Ricco. Biasanya relawan ini akan bergabung saat kita mengadakan open recruitment (oprec) kepanitiaan yang sifatnya umum. Meskipun oprec tiap kepanitiaan sifatnya terbuka untuk umum, kepengurusan MUMI tetap diisi oleh mahasiswa dari UGM. “Karena komunitas ini berada di bawah naungan Dirmawa UGM, maka kepengurusan hanya mengambil dari mahasiswa UGM,” terang Ricco
Aksi Sosialisasi Foto : Balairung/Ryma
kurang akrab di telinga mahasiswa, Ricco mengusulkan penggantian nama itu menjadi Muda Menginspirasi. “Kalau Multilevel Campaign itu kesannya seperti program bisnis,” tuturnya. Meskipun mengalami perubahan nama, komunitas ini tetap mengusung tujuan yang sama dengan Multilevel Campaign. Dalam menjalankan program-programnya, kepengurusan MUMI dibagi menjadi tiga divisi yaitu pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Pemilihan ini disesuaikan dengan isu-isu yang akan dikawalnya. “Dari pembagian itu kemudian dibuat acara yang mengawal permasalahan dan perkembangan dari bidang-bidang tersebut,” jelas Ricco. Pengawalan isu seputar pendidikan misalnya dengan meluncurkan program “Cita-Citaku Setinggi Angkasa”. Dalam kegiatan tersebut mereka mensosialisasikan berbagai macam profesi ke murid-murid Sekolah Dasar (SD). Profesi seperti insinyur, kontraktor, dan peneliti mereka tampilkan di depan murid-murid SD. Tidak lupa, berbagai macam peranti yang mencerminkan dari masing-masing profesi juga diperagakan untuk memperkuat imajinasi anak-anak SD tentang pekerjaan tersebut. “Diharapkan sejak SD mereka menjadi berpikiran luas, kan profesi tidak hanya dokter,” terang Ricco. Selain program seputar pendidikan, MUMI juga mengagendakan program-program seputar kesehatan dan
Di tahun kedua ini, MUMI sudah mempunyai anggota sebanyak 60 orang. Penambahan ini tergolong pesat karena saat peluncuran awal komunitas ini hanya mempunyai anggota sekitar 10 orang. “Meskipun pada kenyataanya jumlah anggota yang aktif hanya sekitar 30 orang,“ imbuh Ricco. Robi’atul Azizah, staf divisi kesehatan MUMI yang juga mahasiswa jurusan Fisika UGM ’11 menceritakan bagaimana ia menjadi pengurus MUMI. Pada awalnya ia mengaku tidak mengetahui komunitas MUMI sama sekali. “Saya cuma diberitahu teman ada komunitas yang melakukan kegiatan di Sekolah Dasar,” kata Azizah. Ia merasa tertarik dengan acara itu, kemudian mendaftar sebagai relawan di kegiatan tersebut. “Acaranya bermanfaat sekali, kita bisa berbagi pengalaman ke anak-anak SD,” ujarnya. Semenjak terkesan dengan acara yang dibuat oleh MUMI, Oktober 2013 kemarin Azizah mengikuti oprec pengurus resmi MUMI. “Saya tergolong masih hijau karena baru sekitar 6 bulan menjadi pengurus,” tutur Azizah. Meskipun tergolong anggota baru, ia sudah merasakan manfaatnya bergabung dengan komunitas ini. “Jaringan yang didapatkan menjadi semakin luas, saya jadi mengenal komunitas-komunitas sejenis dari luar UGM,” kesan Azizah. Ricco mengungkapkan harapan kedepannya komunitas MUMI bisa bekerjasama dengan pusat-pusat studi di UGM sebagai penampung dan penyalur informasi. Dengan bekerjasama dengan pusat studi, MUMI berkeinginan membuat mahasiswa berwawasan lebih luas dengan menyebarkan isu-isu yang berkembang di masyarakat . “Karena dengan wawasan yang luas, mahasiswa menjadi lebih tanggap dan lebih siap saat terjun ke masyarakat,” pungkasnya. [Thoriq]
Juni 2014
31
Ilustrasi : Balairung/Hanif
Gores
32
balkon
Interupsi
Maling Profesional
S
eorang penyamun mengendap-endap dalam gorong-gorong di bawah kantor pemerintah. Ia hendak menghadiri rapat di ruang rahasia, tempat gerombolan bandit eksekutif di kota itu biasa menggelar rapat kerja. Dari gerak-geriknya, tampak si penyamun sudah mahir mengendap-endap dalam bisu. Detak jantung si penyamun pun sanggup lebur dalam kebisuan. Baginya, hening dan gelap adalah sigaraning nyawa alias belahan hidup. Tak heran, rekan-rekan seprofesi menjulukinya ‘Maling Profesional’. Sampai suatu ketika, seorang bandit dari kota lain menyempatkan studi banding kepada si penyamun untuk mengulik tips dan trik sukses jadi maling ekskutif. Si penyamun pun tak segan membagi pengetahuannya seputar dunia curi-mencuri dan tipu-menipu. “Kata orang bijak di kota, experience is the best teacher. Bah, ngibul! Bagiku, di gorong-gorong ini, tikus-tikus itulah guruku, junjunganku, nabiku!” ujar si penyamun berapi-api.
Masih dalam modus mengendap-endap, si penyamun akhirnya sampai di depan ruang rahasia tempat digelarnya rapat. Namun, dari dalam ruangan itu terdengar keributan yang tidak biasa. Ditunggangi rasa waswas dan penasaran, si penyamun mengintip ke dalam ruang rahasia melalui lubang kunci di pintu. “Alamak…., mampus diriku,” ujar si penyamun kalut, sembari menepuk jidat lebarnya. Ternyata ruangan itu sedang digeledah oleh penyidik pengadilan. Tampaknya usaha tipu-tipu si penyamun dan rekan-rekan banditnya tercium juga oleh penegak hukum. Namun, si penyamun sedikit lega. Belum ada rekan-rekan banditnya yang menghadiri rapat sehingga tak sempat diciduk dalam penggeledahan itu. Setelah berhasil menjinakkan kekalutannya, si penyamun lalu berbalik menuju gorong-gorong gelap, mengendapendap, sembari menggumamkan SAJAK PERBURUAN.
Begitulah si penyamun berpredikat maling profesional ini menjunjung tinggi para tikus penghuni gorong-gorong kota. Dari merekalah, si penyamun dan rekan-rekan banditnya dapat ide gila untuk mencuri sepotong tanah milik negara. Tanah itu mulanya diperuntukkan untuk lahan praktik kaum intelek di kota itu.
Hidup tikus selokan, berburu dan diburu Berburu sekejap kesenangan Diburu nama keadilan Oooh perburuan, siapa ‘kan menang? [Penginterupsi]
Sukses! Tanah itu berhasil dicuri dan berpindah tangan lalu dijual ke developer untuk dipupuk semen lalu ditanami batu bata. Rapat di ruang rahasia yang akan dihelat kali ini pun bertujuan membahas perkembangan kasus penjualan tanah curian itu.
Si Iyik + Tanah praktikum itu dibeli dari hasil patungan dosen-dosen Faperta terdahulu untuk lahan penelitian. - Lahan penelitian atau lahan untuk tambah uang jajan? + Pada dasarnya aset negara tidak mudah untuk dipindahtangankan, apalagi untuk dikomersialisasikan. - Itu kan idealnya, praktiknya masih bisa dikompromikan. Ilustrasi : Balairung/Maria
Juni 2014
33
Surat Pembaca
34
balkon
Jurnal Balairung
2001
2003
2002
2004
2005
2013
2006
2014
!
Segera
Juni 2014
35
36
balkon