balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2013
Gerak Komunitas
www.balairungpress.com
Pascareformasi
E V O R G N A M
“
Selamat datang
mahasiswa biasa
biasa-biasa saja
“
di Kampus yang
Ilustrasi: Balairung/Elvia Elvaretta
Lincak Proses panjang sudah terlewati. Dengan wajah sumringah, ribuan pemuda melangkah memasuki gerbang kampus biru dengan predikat baru: mahasiswa. Kedatangan itu bersambut euforia. Warga kampus biru pun ikut larut dalam hingar-bingar ini. Setiap tahunnya, rangkaian kegiatan untuk menyambut mereka dipersiapkan jauh-jauh hari. Kami pun tak ingin ketinggalan dalam ritual penyambutan mereka yang disebut-sebut sebagai intelektual muda. Balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru, yang terakhir terbit tahun 2011, kini terbit kembali. Koordinator dan Tim Kreatif dibentuk. Lini masa penggarapan pun dirancang, disusul rapat-rapat merumuskan tema dan pembagian kerja. Dibandingkan Balkon reguler yang terbit tiap bulan, Balkon Spesial Edisi Mahasiswa Baru 2013 ini hadir dengan wajah berbeda. Parameter dalam menentukan tema bertambah dari biasanya. Ruang lingkup pembahasan yang biasanya seputar kampus, kini diperluas hingga menjangkau Yogyakarta. Tampilan fisiknya pun diperbaharui. Dari segi ukuran, Balkon Spesial lebih besar dari Balkon Reguler dan Balkon Spesial yang pernah ada sebelumnya. Untuk memastikan Balkon Spesial ini menjangkau sebanyak-banyak pembacanya, jumlah eksemplar kami cetak jauh lebih banyak dari biasa. Berbagai perubahan ini menjadi tantangan tersendiri. Bagi divisi redaksi, reportase yang dilakukan mencakup wilayah yang lebih luas. Demikian pula divisi riset dengan jajak pendapatnya. Divisi perusahaan harus berkeringat lebih banyak, sebab biaya produksi yang harus dicari semakin bertambah. Sementara bagi Produksi dan Artistik, ruang kreativitas yang lebih luas sudah menunggu untuk dieksplorasi. Balkon Spesial kali ini menyoroti upaya mahasiswa mengatasi permasalahan sosial di sekitarnya. Tentu, upaya ini tak dapat dilakukan sendiri. Mereka bergabung, bahkan mendirikan perkumpulan untuk dapat menghasilkan kekuatan yang lebih masif. Awalnya kami sempat berdebat panjang untuk merumuskan definisi komunitas. Apakah organisasi dan LSM bisa disebut komunitas? Apa kriteria sebuah perkumpulan yang layak dan tidak layak disebut komunitas? Akhirnya, kami melonggarkan definisi. Kami sepakat bahwa perkumpulan dalam bentuk apa pun, selama di dalamnya terdapat mahasiswa, akan diangkat. Tulisan dalam Balkon Spesial merangkai peristiwa terkait komunitas di Yogyakarta dari masa ke masa. Di kota ini, berbagai komunitas tumbuh subur. Para pemuda dengan ketertarikan yang sama bernaung dalam sebuah wadah untuk berperan dan berproses bersama. Namun, tak semua komunitas kami angkat. Beberapa parameter kami buat untuk memilah agar fokus reportase tak meluber kemana-mana. Benang merahnya pun dipertegas: mahasiswa yang bergabung dalam perkumpulan dan berjuang memperbaiki keadaan. Agar bisa menyajikan gambaran aktivisme mereka secara komperhensif, tokoh-tokoh dari berbagai komunitas kami hadirkan sebagai narasumber. Kami juga ‘merekam’ dan menganalisis dinamika kegiatan dan peranan mereka dari masa ke masa. Tentu produk yang ada di tangan Anda ini bukanlah sebentuk basa-basi ritual penyambutan. Niatnya, Balkon Spesial ini kami hadirkan sebagai pemandu bagi segolongan ‘elite’ yang konon didapuk sebagai agent of change. Sebab kami percaya, intelektualitas tak cukup dibuktikan dengan membaca di ruang ber-ac sambil mendengarkan musik dan menyeruput secangkir coklat panas. Intelektualitas adalah juga keterlibatan. Akhirnya, selamat datang mahasiswa biasa di kampus yang biasa-biasa saja! Pemimpin Redaksi
Ibnu Hajjar Al-Atsqolani
Editor Pembina
Dr. Kuskridho Ambardi, M.A
Pemimpin Umum M. Misbahul Ulum
Koordinator Balkon Spesial I Nyoman Agus Aryawan
Tim Kreatif
Arifanny Faizal Dody Houston Muhammad Nabil Rifki Afwakhoir
4 - balkon spesial mahasiswa baru
Ahmad Syariffudin Dewi Kharisma Michellia Dian Puspita Hamzah Zhafiri Dicky Ibnu Hajjar Al-Atsqolani Khairul Arifin Khalimatu Nisa Linggar Arum Marisa Kuncaraning Probo M. Ageng Yudhapratama Yuliana Ratnasari
Penulis
Agung Hidayat Amalia Mufida Arifanny Faizal
Fikri Fawaid Desinta Wahyu Kusumawardani Dany Bilqis Desy Widya Deddy Setyadi Erni Maria Ganesh Cintika Hanna Nur Haqiqi Hartmantyo Pradigto Inda Lestari Inez Christyastuti Krisnia Ramadhany M. Ontokusumo Nuresti Tristya Nuzula Ichwanun Nabila Oktiviani Primardiani Rizky Nabila Suci Wulandari Sosiawan Permadi Unggul Wisnu
Kepala Riset
Muhammad Nafi’
Editor
Dias Prasongko Hesty Puji Rahayu Mira Tri Rahayu Yoga Darmawan
Penulis
Anggrelika P. Krestarya Ayu Diah Cempaka Gilang Pradhipta Sanggi Maya Desvita Utari Rifki Afwakhoir Roni Sulfa Ali Taufiq Hakim
DAFTAR
ISI
(Table of Contents)
6
Isu
Tentang Zaman yang Kita Tanggapi
20
Seputar Kampus
Laporan Utama Rupa Gerakan di Bawah Tirani
22
24 38
8 16
40
Pemimpin Perusahaan Yolanda Fajar Nurmanto
Staf Perusahaan
Amanda Rachmaniar Lilo Kurniawan Mila Nur Amalia M. Bikharul
Kilas
42
Apresiasi
Opini
Kolom Pakar
Opini
Sosok
Eureka
44
Dapur
Nurrokhman Randy Fachri Prabowo Tio Derma Yesika Sinaga Tresia
Illustrator
Hary Prasojo Syafa’atillah
Redaktur Artistik
Layouter
Anugraheni Tri Hapsari Humam Fauzi Lukas Alfario
Fotografer
Nawang Wulan
Mengupas Persoalan Gerakan Sosial
Potret
Benyamin Siburian Christine Berliana Pradipta M. Elvia Elfaretta Muhammad Nabil Randy Fachri Prabowo Vincentia Trisna Yoelinda
Kepala Produksi dan Artistik
Laporan Utama
Jajak Pendapat
Sastra
52
10
Rehal
Laporan Utama
27
Transisi Wajah Komunitas
14
Sisi Lain
Kisah ‘Orang-orang Malioboro’
32
34
46 54
12
Rehal
36 48
Interupsi
50
Si Iyik
Gores
Alamat Redaksi, Sirkulasi, Iklan dan Promosi.
Cover:
Ilustrasi: Benyamin Siburian Konsep: Tim Produksi dan Artistik
Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281 Website: www.balairungpress.com Email: balairungpress@gmail.com
Ardiansyah Bahrul Alam Iftina Rasyida Iksanti Morinka Avelin Muhammad Syafiq Luthfi Nur Rindiawan Uji Purbowo Tri Handoyo
Gerak Komunitas Pascareformasi - 5
Isu
Tentan yang K
Ilustrasi: Balairung/Muhammad Nabil
M
ei 1998. Pasukan anti huru-hara sudah siaga. Lengkap dengan helm, tameng pelindung serta memanggul senjata, mereka membentuk pagar. Di hadapan mereka, seorang pemuda berdiri tenang. Di atas aspal ia membentang almamaternya, membetulkan sikap berdiri, lalu mulai shalat. Ratusan pasukan diam tercengang. Si pemuda seakan tak hirau dengan popor senapan atau alas sepatu lars yang sebentar lagi siap menghantam kepalanya. Adegan itu menjadi pembuka Tragedi Jakarta, sebuah film dokumenter besutan Jakarta Media Syndication. Film berdurasi
6 - balkon spesial mahasiswa baru
42 menit itu mengabadikan detik-detik runtuhnya rezim otoriter Orde Baru sampai proses peralihan kekuasaan yang penuh kecaman. Peristiwa 1998 tampaknya begitu bersejarah bagi mahasiswa Indonesia. Lebih tepatnya, peristiwa peralihan kekuasaan oleh sidang rakyat (baca: demonstrasi) tak bisa dipisahkan dari mahasiswa.i Rezim Orde Lama yang runtuh, misalnya, menyisakan namanama seperti Soe Hok Gie serta aktivis mahasiswa era 60-an lain. Pun begitu pula penggulingan Soeharto dari kursi kekuasaan yang sudah 32 tahun ia duduki.
Para mahasiswa itu memang bukan sekelompok ksatria tangguh sejak semula. Mereka, anak-anak dari golongan kelas menengah itu, sehari-hari berkutat dengan diktat dan buku catatan. Pemahaman akan persoalan sosial rupanya membuat mereka merasa perlu turun tangan. Konon, hari ini demokrasi sudah dicecap. Keran kebebasan pun, kabarnya, sudah terbuka. Lantas, di tengah zaman yang megah begini rupa, apalah asyiknya membincangkan gerakan mahasiswa? Pun kita sudah sama-sama tahu, perjuangan mahasiswa ketika menumbangkan rezim otoriter lebih sering diceritakan dengan
ng Zaman Kita Tanggapi bumbu-bumbu heroisme a la tukang obat. Akan tetapi, sejarah bukanlah romantisme dangkal yang hanya mengagung-agungkan hari kemarin. Ia adalah proses dialog dengan masa lalu, untuk menelusuri raison d’ etre dari gejala sosial yang ada di masa kini. Maka, ada baiknya perbincangan soal gerakan mahasiswa kita letakkan pada sebuah lanskap yang lebih esensial: masyarakat yang sehat. Setiap masyarakat modern yang beradab dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan masyarakat: komunitas, pasar, dan badan publik.ii Komunitas menunjuk pada spontanitas non-transaksi ekonomi dan non-administratif. Aksi solidaritas korban bencana, penanaman pohon, atau pendampingan anak jalanan oleh sekelompok orang adalah contoh konkretnya. Sementara itu, pasar menunjuk pada spontanitas transaksi ekonomi tanpa komando dalam pengadaan barang/jasa yang diperlukan bagi kelangsungan hidup. Terakhir, badan publik, mengacu pada otoritas regulatif. Badan ini yang punya wewenang kepengaturan dengan klaim melindungi kepentingan umum. Ketiga poros ini semestinya berada dalam posisi setara dan saling memperkuat demi mewujudkan masyarakat yang sehat. Dominasi satu poros atas yang lain adalah jalan menuju malapetaka. Sayangnya, apa yang “ada” tak selalu berjalan menuruti apa yang “seharusnya”. Di tengah negara yang jadi arena pertarungan kepentingan, dominasi seakan tak terelakkan. Rezim Orde Baru adalah gambaran terang benderang dominasi badan publik atas hajat hidup warga negara. Hak-hak sipil dilanggar oleh
kekuasaan militer yang jadi alat penguasa. Parahnya, hak sipil warga negara dipecundangi persekutuan penguasa cum pengusaha. Hubungan ini dipetakan dengan begitu cerdik oleh Robison. Lewat magnum opus-nya, Indonesia: The Rise of Capital yang terbit pada 1986, ia berhasil mempertontonkan fakta bahwa kaum pengusaha, pemodal besar di Indonesia, tak lain adalah para pejabat negara sendiri. Mereka adalah para perwira militer, keluarga, sanak, teman, serta para taipan yang dekat dengan mereka. Maka, jalannya ekonomi bukan lagi ditujukan bagi kepentingan seluas-luasnya warga negara, melainkan demi akumulasi kapital bagi segerombolan teman sepergaulan. Kebebasan pada rezim ini hanya ada bagi para pengusaha cum penguasa. Pemandangan yang kita saksikan adalah rumah-rumah yang digusur demi pembangunan bendungan, tanah yang dicaplok demi pembangunan jalan tol, atau bangunan sekolah yang digusur untuk dibangun mall. Sementara mereka yang menolak, ataupun yang bersuara keras menentang tindakan barbar penguasa cum pengusaha mesti bersiap menghadapi militer atau ‘aparat tanpa bentuk’.iii Gerakan yang muncul dari masyarakat adalah respon atas kondisi tersebut. Otoritarianisme a la rezim orde baru membuat kehausan akan demokrasi begitu kuat. Tak heran jika tren gerakan prodemokrasi tumbuh subur layaknya jamur di musim hujan. Orde Baru akhirnya tumbang. Namun, runtuhnya rezim otoriter tak mesti membuat sebuah negara berjalan menuju masyarakat yang sehat. Prinsipprinsip demokrasi ternyata hanya benarbenar berlaku bagi segolongan elite saja.
Isu Keterbukaan hanya berarti keterbukaan untuk berinvestasi bagi pemodal besar. Kebebasan hanya diperuntukkan bagi investasi perusahaan multinasional yang mencari negara dengan upah buruh murah, pajak rendah, dan peraturan longgar. Kompetisi tak lain dari persaingan bebas, yang tentu merugikan bagi perekonomian rakyat yang bermodal kecil.iv Tuntutan akan demokrasi direduksi jadi hal yang prosedural dan teknis semata.v Kualitas demokrasi dipersempit sebatas mekanisme penyelenggaraan pemilu yang kompetitif dan adil. Akibatnya, kepentingan rakyat hanya jadi magnet meraup pemilih di masa kampanye. Pengentasan kemiskinan, pendidikan yang terjangkau dan berkualitas, dan pelayanan kesehatan cuma jadi janji manis untuk memenangkan pemilu. Usai ‘pesta demokrasi’ berakhir, rakyat miskin cuma tinggal gigit jari. Pembaca, apa yang kami sajikan kali ini adalah rekaman bagaimana mahasiswa menanggapi persoalan sosial di sekitarnya. Ketika kebebasan dikekang oleh rezim bertangan besi, mereka keluar dari ruang ber-ac, turun ke jalan meneriakkan reformasi. Ketika pendidikan, kemiskinan, kesehatan, dan berbagai persoalan lain terus bermunculan¬–sementara negara semakin tak bisa diharapkan–gerakangerakan kecil ini pun hadir. Kami percaya bahwa setiap zaman melahirkan generasi, dan setiap generasi harus menghadapi permasalahannya sendiri. Begitupun ragam gerakan mahasiswa yang berubah, ia menyesuaikan diri dengan tuntutan zamannya. Jumlahnya mungkin tak banyak. Dibandingkan penghuni kampus lainnya, mahasiswa yang bergabung dalam komunitas pun bisa dibilang kaum minoritas. Dampak yang ditimbulkan dari gerakan mereka juga belum bisa digolongkan masif. Tapi setidaknya, ada sedikit pembuktian bahwa menara gading pendidikan belum sepenuhnya membuat seseorang terasing dari persoalan nyata di tengah masyarakat. Akhirnya, selamat membaca dan berdialektika!
Oleh: Ibnu Hajjar Al-Atsqolani
Catatan Akhir: (Endnotes) i Antonio Gramschi misalnya, meyakini bahwa agama, media-massa, dan terutama sekolah (pendidikan) merupakan aparatus utama dari pembentukan hegemoni dalam proyek-proyek perubahan, apapun namanya (reformasi, revolusi, ataupun pembangunan). Pasalnya, kantung-kantung kelembagaan itu merupakan pembentuk cara berpikir, merasa dan berselera dalam setiap masyarakat. ii B Herry Priyono, Kepemimpinan Republik, Esai untuk Seminar Nasional “Rekonstruksi Kepemimpinan dari Perspektif Psikososial”, di Unika Soegijapranata, Semarang, 24 Mei 2003. iii Kisah Petrus (penebak misterius) yang diakui sebagai mekanisme menjaga ‘stabilitas sosial’ adalah contohnya. Sampai saat ini pun kita masih mengenal cara-cara represi dengan menugaskan aparat berpakaian preman. iv Berbagai kritik terhadap demokrasi prosedural disampaikan dengan cukup keras oleh Geoff Mulgen. v Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Yogyakarta: Resist Book, 2002.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 7
Laporan Utama
Rupa Gerakan
Tirani
Foto: Arsip Lembaga
di Bawah
Meski berada di bawah pemerintahan yang mengekang, mahasiswa tetap berkumpul menyalurkan minat dan idealismenya.
S
iang itu, Jalan Kusumanegara lengang dari hilir mudik kendaraan. Namun, puluhan mahasiswa berbondong-bondong menyusuri jalan sambil berorasi. Tuntutannya hanya satu, yaitu menggugat pemerintah karena belum memberikan ganti rugi lahan tanah untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo yang terletak di Desa Ngrambat, Kecamatan Geyer, Grobogan, Jawa Tengah. Aksi itu pun tidak berlangsung lama karena aparat segera melakukan tindakan represif. Melihat aparat mulai melakukan tindakan pembubaran dan pengejaran, para demonstran lari berhamburan mencari tempat persembunyian. Ada yang masuk perkampungan warga, ada juga yang bersembunyi di tempat peribadatan. Mahasiswa yang tidak lihai tertangkap, lalu dimasukkan ke dalam truk kemudian dibawa ke markas untuk ditahan.
8 - balkon spesial mahasiswa baru
Kisah itu diceritakan S. Hamzah, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kejadian 24 tahun silam itu adalah pengalaman pertamanya ikut aksi demonstrasi. Menurutnya, kegiatan mahasiswa saat itu sangat terbatas. Mereka dihadapkan pada kekuatan penguasa yang sangat besar. “Para aktivis selalu dikejar-kejar dan diawasi gerakgeriknya oleh pemerintah,� jelas Hamzah. Atas kekangan tersebut, menurut Hamzah, corak gerakan mahasiswa saat itu lebih condong menyoroti permasalahan sosial politik di Indonesia. Pada awalnya mahasiswa mulai resah dengan keadaan sosial politik negara. Pasalnya, peran masyarakat dalam kehidupan sosial dan politik dibatasi oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat yang menyampaikan kritik atau protes
Penulis: Agung Hidayat Fikri Fawaid Amalia Mufida
atas kebijakan. Hingga akhirnya para mahasiswa mulai menyadari kebutuhan untuk berserikat dalam menggalang persatuan. Maka pada awal 1990 para mahasiswa mengadakan pertemuan dengan agenda membahas sinergi gerakan mahasiswa di Yogyakarta yang masih parsial. “Dari hasil diskusi yang cukup panjang, akhirnya diputuskan membentuk sebuah organisasi mahasiswa di Yogyakarta untuk menjadi wadah pemersatu,� terang Hamzah. Tidak berselang lama, berdiri Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), Serikat Mahasiswa Yogyakarta (SMY), juga Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). FKMY, SMY, dan SMID adalah beberapa contoh perkumpulan yang digerakkan oleh mahasiswa saat itu. Selain organisasi-organisasi itu, mahasiswa juga banyak terkumpul dalam berbagai
Laporan Utama
Foto: Arsip Lembaga
golongan. Secara umum, Kuskridho Ambardi, Ph.D, dosen Fisipol UGM menjelaskan bentuk aktivisme mahasiswa pada saat itu setidaknya terbagi menjadi tiga bentuk, antara lain kelompok studi, gerakan demonstran, dan komunitas hobi yang berbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). “Pembagian tersebut dilatarbelakangi oleh minat dan cara pandang mahasiswa dalam melihat realitas kehidupan,” jelasnya. Lebih lanjut Dodi, sapaan akrab dosen Jurusan Ilmu Komunikasi ini, menjelaskan ketiga bentuk aktivitas mahasiswa tersebut. Dia menerangkan, kelompok studi biasa melakukan diskusi dalam mengisi kegiatan-kegiatannya. Tema-tema yang didiskusikan pun beragam. Mulai dari membahas isu-isu lingkungan, masyarakat, hingga persoalan bangsa sekaligus mengkritisi kebijakan pemerintah. “Untuk menjaga sikap independen kelompok studi itu, mereka menerbitkan tulisantulisan sebagai media yang sesuai dengan karakternya,” terang Dodi yang juga pernah menjadi aktivis kelompok studi. Selain berbentuk kelompok studi, para mahasiswa juga banyak yang terkumpul dalam bentuk gerakan demonstran. Mereka sering melakukan aksi turun ke jalan menyuarakan tuntutannya. Bahkan tidak sedikit anggota kelompok studi yang juga tergabung dalam aktivitas ini. Dodi menjelaskan, ada kalanya kelompok studi melakukan aksi bersama dengan kelompok demonstran. Misalnya pada medio 80-an akhir, ketika terjadi insiden pembantaian Santa Cruz. Sebagai bentuk penolakan, mereka melakukan aksi dengan konsep happening art. “Ada yang baca puisi atau teater yang dilakukan untuk mengkritik pemerintah,” jelasnya. Meski sering melakukan aksi bersama, sebagian besar mahasiswa lebih memilih kelompok studi sebagai tempat berkomunitas. Fenomena ini disebabkan karena kelompok studi tidak terlalu banyak membutuhkan biaya dan hanya memilki resiko yang kecil. Berbeda dengan kelompok UKM yang membutuhkan dana yang cukup besar ataupun gerakan demonstran yang selalu berhadapan dengan aparat. “Misalnya bila ingin ikut UKM fotografi, harus memiliki kamera sendiri, sedangkan kelompok studi lebih sederhana dan tidak perlu menanggung resiko besar,” tambah Dodi. Berbagai kelompok organisasi atau komunitas pada saat itu pun memiliki pengaturannya masing-masing. Bagi
kelompok demonstran, kegiatan berkumpul selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hamzah masih ingat betul saat-saat itu. Jika ingin mengadakan rapat, para aktivis mahasiswa harus memutar jalan dan berkeliling terlebih dahulu untuk mengelabui aparat. Hal ini jelas berbeda dengan kelompok studi yang lebih terbuka menggelar acara-acara mereka di dalam kampus. “Biasanya jumlah orang yang ikut diskusi hanya beberapa orang. Jadi tingkat ancaman yang dirasakan aparat tidak terlalu besar,” terang Dodi. Hal senada juga dikemukakan oleh Gunawan Hartono, mantan akvitis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Menjadi seorang aktivis pada masa orde baru itu sangat penuh tantangan, terutama dari penguasa. “Ketika mau mengadakan konsolidasi dengan kawan-kawan, harus ada cara jitu untuk mengelabui mereka. Biasanya dengan mengadakan rapat di luar kampus yang jauh dari hingar-bingar kehidupan mahasiswa,” ungkap Gunawan Hartono. Corak gerakan mahasiswa yang kritistertutup pun mencapai puncaknya pada 1998. Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, gerakan mahasiswa naik secara drastis dengan tuntutan yang lebih politis. Pada hari terakhir sidang umum MPR 1998, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para demonstran di Yogyakarta. Puluhan ribu mahasiswa memenuhi balairung UGM dalam aksi tersebut. “Pada tanggal 2-3 April, bentrokan terjadi di Boulevard UGM. Bentrokan kemudian berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-
kejar dan ditembaki oleh militer sampai kedalam kampus. 8 jam kampus UGM dikuasai oleh militer,” tutur Widodo Usman, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aksi mahasiswa saat itu merupakan respons atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Demonstrasi besar-besaran menuntut diturunkannya harga barang, dihapuskanya KKN, pencabutan dwi fungsi ABRI, dalam agenda besar bernama reformasi. Sehari menjelang turunnya Soeharto, sekitar satu juta rakyat yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta memenuhi alun-alun utara. Dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, mereka menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden. Inilah masa-masa revolusioner bagi mahasiswa. “Aksi pra reformasi yang menjadi kunci suksesnya adalah mahasiswa karena para tokoh yang ada tidak berani bersuara dan cenderung diam,” terang widodo. Selain menjadi puncak gerakan mahasiswa yang lebih revolusioner, peristiwa reformasi pun menjadi penanda berubahnya corak gerakan dan aktivitas mahasiswa. Kelompok diskusi yang sebelumnya ramai menyuarakan perubahan di lingkungan kampus perlahan mulai jarang ditemui. Aksi-aksi demonstrasi yang sebelumnya dilakukan bersama, kini terlihat lebih parsial dengan isu yang diangkat berbeda-beda. “Gerakan mahasiswa saat ini sudah terkikis dengan perkembangan zaman yang membuatnya menjadi lebih prgamatis,” tegas Gunawan yang juga alumnus Sosiologi UGM.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 9
Laporan Utama
Mengupas Persoalan Penulis: Ganesh Cintika Deddy Setyadi Dany Bilqis
Gerakan S
Ilustrasi: Balairung/Christine Berliana
Melalui komunitas, mahasiswa membantu masyarakat memenuhi kebutuhannya. Namun, upaya mereka tak jarang menemui kendala. Apa yang salah?
W
arga telah berkumpul di teras sebuah mushola Desa Koripan I, Dlingo, Bantul, DIY. Mereka mendengarkan sosialisasi para mahasiswa seputar pembuatan pelet, resep baru untuk pakan ternak ayam. Tak berapa lama, mereka berjalan menuju basecamp. Di sana telah tersedia jagung, molase, tepung ikan, minyak, kedelai dan garam sebagai bahan baku. Bahan-bahan tersebut lantas dicampur sesuai takaran. Adonan diaduk dengan tangan telanjang oleh warga dan mahasiswa. Maklum, aliran listrik yang
10 - balkon spesial mahasiswa baru
sedang putus membuat mesin penggiling tak bisa dipakai. Kegiatan hari itu adalah program Lingkar Studi Sains (LSiS), sebuah kelompok studi mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UGM. Komunitas ini bergerak di bidang pengabdian masyarakat. “Untuk mewujudkan itu maka LSiS ikut Program Hibah MITI,� ungkap Aulia Ari Ardha, Presiden LSiS 2012. Langkah awal LSiS dimulai dengan menjadikan Dusun Koripan I, Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Bantul
sebagai desa mitranya. Melalui program tersebut, LSiS bekerja sama dengan warga untuk membuat pakan ternak yang kemudian ditangani secara khusus oleh Departemen Community Development pada 2011. Aktivitas pemberdayaan masyarakat seperti yang dilakukan LSiS adalah salah satu bentuk gerakan sosial. Anthony Giddens (1989) menggarisbawahi tujuan atau kepentingan bersama sebagai basis gerakan ini. Kepentingan itu dapat berupa mengubah atau mempertahankan
Laporan Utama
Sosial tatanan masyarakat. Lebih lanjut, Herbert W. Simons (1984) menggolongkan gerakan semacam ini sebagai gerakan ekspresif, yaitu gerakan komunal dengan cara mengubah masyarakatnya, bukan sistem yang mengatur pemerintahannya. Gerakan ini dilakukan dengan kampanye atau pembentukan komunitas sosial yang berfungsi sebagai pelengkap peran pemerintah. Menurut Krisdyatmoko, Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) UGM, belakangan ini mahasiswa berperan melengkapi fungsi pemerintah dengan membentuk komunitas sosial. Akar dari gerakan semacam ini adalah kepedulian terhadap kondisi sosial di sekitarnya. Salah satu anggota Divisi Sosial Masyarakat (Sosmas) Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Farmasi, Annisa Novarina, mengatakan bahwa mahasiswa tidak bisa terus menerus berdiam diri melihat permasalahan dalam masyarakat. Hamas, Kepala Sekolah “Sunday Morning” Gadjah Mada Mengajar pun mengungkapkan pernyataan senada. Baginya, gerakan sosial adalah pelengkap langkah intelektual muda selain diskusi dan demonstrasi. Lebih lanjut, anggota komunitas Waterplant, Syifa Mujahidin, meuturkan, komunitas sosial adalah sarana mahasiswa menerapkan ilmunya dalam masyarakat (Balkon, Juni 2013). “Lebih baik melakukan hal kecil tapi terasa pengaruhnya, daripada merencanakan hal muluk tapi tak terealisasi,” imbuh Annisa. Namun, upaya yang dilakukan Syifa dan kawan-kawan untuk bergerak dalam masyarakat tak jarang menemui kendala. Keberlanjutan program yang dicanangkan masih menjadi taruhan. Misalnya, usaha desa binaan milik Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) yang bermodalkan dana Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Selepas koordinator PKM menyelesaikan studi di UGM tahun 2011, kegiatan ini tidak mampu dikembangkan lebih lanjut oleh warga secara mandiri. Masalah serupa dihadapi
Desa Mitra HMJ Farmasi di Candikarang, Sleman, Yogyakarta. Mahasiswa Fakultas Farmasi dan warga Candikarang pernah mengusahakan industri rumah tangga kripik tempe. Namun, inisiatif mereka ini tidak mendapatkan respons positif masyarakat. Industri kecil ini hanya bertahan selama beberapa bulan. Menanggapi permasalahan tersebut, Krisdyatmoko yang juga aktif dalam Desa Mitra bentukan IRE (Institute of Research and Empowerment) mempertanyakan pemahaman mahasiswa. Menurut Kris, untuk membentuk desa mitra seharusnya mahasiswa memiliki pemahaman mendalam terhadap masyarakat. ”Mahasiswa harus mengetahui latar belakang desa, apa potensi yang bisa dikembangkan dan hasil yang diharapkan,” tambahnya. Selain itu, mahasiswa harus ingat bahwa dalam desa mitra, kedudukan mahasiswa dan masyarakat sama. Keduanya harus saling memberi masukan terhadap pembangunan desa sehingga proses pembangunan desa menjadi proses belajar mereka. Dody Wibowo, pendiri Komunitas Cemara, sebuah komunitas yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak-anak di bantaran Kali Code, mendukung pendapat Kris. Menurutnya, mahasiswa harus menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat, bukan justru menjadikan masyarakat sebagai objek saja. “Sinergi antar keduanya, akan membuahkan keuntungan yang sama bagi mahasiswa dan masyarakat,” imbuh Dody. Tidak kalah penting, mahasiswa juga harus memerhatikan metode terminasi. Metode terminasi adalah metode untuk meninggalkan desa mitra. Dalam metode ini, mahasiswa harus meninggalkan warga secara bertahap sampai warga mampu berdiri sendiri. “Di sini peran komunitas harus pelan-pelan dikurangi sehingga nantinya kalau komunitas ini telah pergi, tetap ada keberlanjutan program,” tutur Kris. Selain pemahaman mengenai pembentukan desa mitra, urusan dana juga menjadi ganjalan. Usaha Tenun Mendong Kapstra misalnya, masih terkendala oleh dana sehingga rencana ini urung terlaksana. “Kami berharap ada dana dari PHPD atau PKM,” harap Anita, koordinator Desa Mitra Kapstra. Menanggapi hal itu, Dody berpendapat lain. Menurutnya, komunitas tidak bisa terus menerus mengharapkan uluran dana dari pemerintah. Beberapa
komunitas yang lebih dulu ada berjalan dengan membuat usaha mandiri. Sebagai contoh,Komunitas Sahabat Gloria yang menjual makanan kecil sebagai modal kegiatan. Komunitas yang bergerak bersama desa mitra justru punya peluang besar untuk mendapatkan dana secara mandiri. ”Komunitas dan warga desa bisa bergerak bersama untuk membuka usaha demi pembangunan desa,” tambah Dody. Namun, bekerja bersama warga masyarakat bukanlah hal yang mudah. Meskipun tujuan komunitas didasarkan pada kebutuhan masyarakat, tetapi tidak semua masyarakat turut mendukung. Seperti halnya Komunitas Waterplant, seringkali dicurangi oknum masyarakat yang memanipulasi anggaran dalam pembiayaan pembangunan air di desa. Dompet Shalahuddin yang memberikan beasiswa pada siswa SMA pun begitu. Meski para penerima beasiswa diberi fasilitas, mereka justru enggan untuk datang ke program pembinaan yang diadakan. Selain itu, kewajiban mahasiswa untuk kuliah biasanya menghambat kegiatannya di komunitas. Mahasiswa harus lulus dalam waktu sembilan tahun jika tidak ingin dikeluarkan dari kampus. Beban inilah yang menyebabkan lemahnya komitmen mahasiswa. ”Kuliah adalah pertanggungjawaban saya atas biaya yang sudah dikeluarkan orang tua, jadi bagi saya kuliah tetap nomor satu,” tutur Muthi Asih, salah satu anggota Komunitas Cemara. Dody mengakui, dalam komunitasnya sendiri masih terdapat sukarelawan yang tidak konsisten. Beberapa sukarelawan hanya mengikuti dua-tiga kali pertemuan, lalu keluar. Dody berpendapat, komunitas seharusnya dijadikan batu pijakan untuk mencapai perubahan. Untuk mencapainya, diperlukan sense of belonging setiap anggota. Setiap anggota seharusnya merasa bertanggungjawab atas tujuan yang disepakati komunitas. ”Bergabung dengan komunitas hendaknya tidak sekedar untuk mengisi waktu luang,” ungkap Dody. Kris berharap mahasiswa bisa belajar dari militansi mahasiswa orde baru. Mahasiswa orde baru fokus pada tujuan untuk menggulingkan rezim Soeharto. “Mahasiswa sekarang pun harus fokus pada substansi dan tujuan gerakannya,” pungkas Dosen Pembangunan dan Kesejahteraan itu.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 11
Laporan Utama
Transisi Wajah Komunitas Penulis: Rizky Nabila Suci Wulandari Unggul Wisnu
Ilustrasi: Balairung/Vincentia Trisna Yoelinda
Derasnya perubahan zaman menuntut komunitas beradaptasi. Perubahan terus dilakukan demi merespons dinamika sosial.
S
aptoraharjo gelisah. Kala itu, sekitar tahun 90-an, ia merasa perhatian masyarakat terhadap budaya Jawa semakin surut. Ia pun tergerak mendirikan Gayam 16. Dia optimis Gayam 16 bisa jadi wadah melestarikan budaya jawa melalui kegiatan belajar gamelan dan tari jawa. “Hingga saat ini kami rutin menggelar Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) setiap tahunnya sebagai wujud nyata visi komunitas ini,� ujar Desyana Wulani Putri selaku pengurus Gayam 16. Putri
12 - balkon spesial mahasiswa baru
menambahkan, Gayam 16 bisa berjalan karena visinya kuat. Gayam 16 hanyalah satu dari sekian komunitas di Yogyakarta. Ada berbagai komunitas lain dengan fokus berbeda, mulai dari seni, pendidikan, sampai politik. Derajad Sulistyo Widhyharto, S. Sos., M.Si. selaku dosen Sosiologi UGM menerangkan, komunitas merupakan sekumpulan orang yang hadir dalam masyarakat untuk mewadahi kesamaan kepentingan. “Komunitas ini bisa muncul secara alamiah
atau sengaja dibentuk,� terangnya. Berkembangnya komunitas adalah wujud respons masyarakat terhadap kondisi sosial pada zamannya. Visi dan tujuan komunitas pun berkembang sesuai tuntutan zaman. Coen Husain Pontoh dalam bukunya berjudul Malapetaka Demokrasi Pasar (2005) menjelaskan, partisipasi masyarakat dalam membangun kualitas kehidupan sebagai salah satu agenda mewujudkan demokrasi. Sebab seiring dengan runtuhnya rezim otoriter
Laporan Utama pascareformasi, negara justru jatuh ke genggaman korporasi. Peranan negara dalam menyediakan fasilitas publik dikalahkan oleh pasar. Maka, masyarakat yang berperan aktif dalam mengupayakan peningkatan kualitas hidup mutlak dibutuhkan. Ada perbedaan yang cukup mencolok antara komunitas yang tumbuh sebelum dan sesudah reformasi. Menurut Derajad, komunitas yang muncul sebelum reformasi sebagian besar berorientasi pergerakan politik. Pasca reformasi tujuan komunitas pun menjadi bervariasi. “Sejak reformasi, mulai berkembang komunitas hobi dan komunitas berbasis kepentingan pasar,” terangnya. Pascareformasi, sebagian besar komunitas juga mulai berorientasi pada pengabdian masyarakat. Derajad berpendapat bahwa perbedaan era sosial, ekonomi, budaya, dan politik antara orde baru dan reformasi sangat mempengaruhi hal tersebut. “Perbedaan antara orde baru dan reformasi menyebabkan kepentingan berkomunitas dulu dan sekarang berubah,” ujarnya. Jika dulu rezim politik otoriter membuat masyarakat haus akan demokrasi. Tuntutan pun lebih banyak terarah pada soal-soal politik. Sekarang tuntutan demokrasi secara normatif sudah terpenuhi. Perhatian mulai beralih pada kesejahteraan dan kualitas hidup. Di Yogyakarta misalnya, terdapat banyak komunitas yang berorientasi pengabdian masyarakat. Di antaranya Kali Code Fest, Komunitas Sampah Visual, dan Komunitas Blogger Jogja. Kali Code Fest adalah salah satu contoh komunitas yang menaruh perhatian pada kualitas hidup warga. Komunitas ini didirikan oleh Hernindya Wisnuadji pada Oktober 2011 lalu. Kepedulian Adji dan beberapa rekannya atas akses informasi di daerah Code menjadi pemicu lahirnya komunitas ini. “Kami ingin memfasilitasi manajemen informasi dan transfer pengetahuan lingkungan bagi masyarakat Code,” paparnya. Lebih lanjut Adji menjelaskan, sistem manajemen informasi akan membantu masyarakat luar untuk memetakan masyarakat Code. Sudah ada 50 anggota Kali Code Fest yang aktif dan ikut melaksanakan beberapa kegiatannya. “Program yang akan direalisasikan Juli ini adalah pembentukan website kampung di Jetisharjo dan kampung Jogoyudan,” kata Adji. Ia menambahkan, program yang dijalankan komunitas ini membantu layanan publik kawasan Code melalui citizen journalism
atau jurnalisme warga. Secara mandiri warga akan mengisi website ini melalui layanan sms yang akan disosialisasikan Kali Code Fest. “Website kampung nanti akan berisi data informasi kampung, acaraacara, juga berita yang terjadi di kawasan Code,” tambah Adji. Di UGM sendiri, peranan mahasiswa diwujudkan melalui berbagai cara. Mahasiswa dengan kesamaan minat, hobi, dan tujuan bergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lewat UKM, mereka bisa menyalurkan minat dan hobi sekaligus mengabdi kepada masyarakat. UKM Selam misalnya, yang sudah terbentuk sejak 1987. UKM ini didirikan oleh mahasiswa UGM yang peduli terhadap kelestarian ekosistem di laut. Setelah mendapatkan pelatihan resmi sebagai peselam, sekelompok mahasiswa UGM itu lantas mengukuhkan diri sebagai UKM. Mereka menjaring mahasiswa lainnya yang juga menyukai dunia laut untuk bergabung. Aktivitasnya tak hanya bersenang-senang di laut lepas. “Di sini bukan cuma diajarin selam. Ada 4 fokus kegiatan yaitu SAR, atlet, penelitan, dan fotografi sekaligus videografi bawah laut,” terang Aldian Giovanno selaku ketua organisasi ini. Kontribusi komunitas di Yogyakarta bukan berarti tanpa kendala. Tidak sedikit komunitas yang akhirnya menghilang. Kali Code Fest yang baru berumur sekitar 9 bulan pun sempat menghadapi kesulitan. “Warga Code kebanyakan cuma lulusan SMP jadi belum tentu bisa memahami tujuan komunitas ini,” papar Adji. Kali Code Fest pun dituntut untuk terus memberikan pemahaman kepada masyarakat, terutama warga Code. “Kami optimis bisa. Kami berusaha membangun ketertarikan warga dengan menjadikan mereka sebagai subjek dari program, bukan objek,” terang Adji. Variasi komunitas juga menjadi tantangan tersendiri. Adji berpendapat, memang sangat baik ketika banyak komunitas yang bermunculan. Namun, banyaknya komunitas yang berada pada domisili sama bisa menyebabkan kegagalan sistem. “Masing-masing komunitas punya visi berbeda sehingga diperlukan komunikasi yang baik antar komunitas supaya tidak saling adu kepentingan,” jelasnya. Pelajaran berharga juga dapat dipetik dari komunitas terdahulu yang akhirnya bubar. Contohnya Persada Studi Klub (PSK) sebuah komunitas yang bergerak di bidang kebudayaan dan sastra. PSK yang cukup terkenal di era 80-an akhirnya bubar
pada 1983 dikarenakan masalah internal. Kendala mengenai bentuk komunitas yang bersifat tidak mengikat menjadi salah satu persoalan. Pasalnya, anggota tidak memiliki kewajiban untuk terus berada pada sebuah komunitas seperti halnya organisasi. Hal ini menyebabkan anggota datang dan pergi sesuka hati. “Resiko komunitas ya gonta-ganti anggota,” kata Aldi. Terlepas masalah-masalah yang melanda komunitas, eksistensinya toh tetap bertahan hingga kini. “Kalau ada komunitas yang mati, pasti akan digantikan oleh komunitas yang lain,” ujar Putri. Kesadaran atas tujuan terbentuknya komunitas merupakan faktor penting penyebab bertahannya kelompok masyarakat ini. Selain itu, komunitas akan terus bermunculan demi merespons dinamika sosial. Derajad menjelaskan, kedepannya komunitas politik akan tetap ada sedangkan paham sosial budaya akan mengikuti arus untuk mempertahankan identitasnya. “Komunitas pasar akan mendominasi nantinya selain maraknya komunitas berbasis teknologi new media di masa depan,” ujar Derajad. Kebutuhan masyarakat terhadap komunitas akan meningkat seiring dengan kompleksitas zaman. Hal tersebut coba dibuktikan Yanuar Nugroho (2010) dalam Citizen In Action. Melalui riset yang membahas kolaborasi demokrasi, partisipasi, dan kebebasan informasi, Yanuar menyimpulkan eksistensi komunitas atau organisasi masyarakat sipil sangat signifikan. Eksistensi komunitas juga telah menjadi satu dari sekian komponen penting yang dapat menumbuhkan gerakan sosial atau perubahan sosial saat ini. Hal senada diungkapkan Derajad. Ia percaya bahwa komunitas tetap memiliki peran penting bagi masyarakat. “Komunitas menjadi penguat dan pelembagaan kepentingan masyarakat terhadap isu tertentu,” jelas sosiolog UGM itu. Para pegiat komunitas pun menyadari akan pentingnya eksistensi komunitas bagi kehidupan. Putri, misalnya, menjadikan kontribusi komunitas terhadap masyarakat sebagai salah satu tolak ukur berguna atau tidaknya sebuah komunitas. Ia pun meyakini eksistensi komunitas akan tetap kuat selama ada kepedulian terhadap kondisi sosial di sekitarnya. “Komunitas itu mesti terus ada sebagai wadah kepedulian masyarakat,” tegasnya.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 13
Sisi Lain
Kisah
‘Orang-orang Malioboro’
Mereka akrab dengan kehidupan menggelandang di Malioboro. Komunitas sastra jadi payung menempa diri dan mencari makna hidup.
S
epiring roti bakar menemani teh hangat yang telah tersaji di atas meja. Penikmatnya adalah tiga orang teman lama. Usia mereka sudah cukup senja, tidak lagi bisa dibilang muda. Tak lama beselang, seorang pria berkemeja warna putih ikut bergabung. Malam itu, dua pria yang tampak lebih muda juga ikut menikmati obrolan dan santapan yang tersedia. “Kami semua nanti mau rapat, Dik,” kata pria berkacamata bingkai bulat. Rapat pada Jumat malam itu bertempat di lantai satu Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib (EAN), Kadipiro, Yogyakarta. Hamparan tikar yang menjadi alas duduk mereka menambah suasana hangat dan sederhana. “Kami mau mbahas terbitan kedua Majalah Sabana,” lanjut pria tadi. Para orang tua yang hadir dalam rapat di Rumah Budaya EAN malam itu adalah alumni Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas sastra yang melegenda di era
80-an. Mereka adalah Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, E.H. Kartanegara, dan Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun. Nama Persada Studi Klub diambil dari nama rubrik sastra di Mingguan Pelopor Yogya, atau akrab disebut Pelopor. Rubrik ini terdiri dari dua bagian: Persada dan Sabana. Inilah asal usul nama Majalah Sabana yang mereka hidupi sekarang. Awalnya, Jussac M.R., selaku Pemimpin Redaksi Pelopor memberi jatah dua halaman untuk rubrik sastra. Jussac lalu menugasi Umbu Landu Paranggi untuk mengasuh rubrik ini. “PSK adalah halaman kreativitas bagi anak muda,” tutur Teguh. Anak muda yang menjadi kontributor halaman ini biasanya menulis puisi. Dua bagian rubrik PSK, yakni Persada dan Sabana, punya tingkatan masing-masing. Persada menjadi wadah bagi para penyair muda yang puisinya pertama kali dimuat.
Penulis: Hanna Nur Haqiqi Krisnia Rahmadany Sosiawan Permadi Sedangkan bagi penyair yang dirasa sudah handal, karyanya akan dimuat di rubrik Sabana. “Sabanawan itu kelompok elitis, jajaran jenderal, panglima-panglimanya. Kalau Persadawan itu penggembira saja,” seloroh Karta. Ada pula kolom Pos Persada yang menjadi ruang bercengkrama Umbu dengan peminat rubrik ini. Di Pos Persada, Umbu biasanya mengapresiasi karya yang dikirim ke rubrik ini. Setiap karya yang diterima, baik yang dimuat atau tidak, akan dikomentari oleh Umbu. “Supaya mereka bangga dan sadar akan kekurangannya,” tutur Teguh. Tidak hanya komentar, sekadar sapaan atau semangat bagi mereka yang karyanya belum dimuat pun akan disampaikan Umbu lewat kolom ini. Kata-kata Umbu seperti, “Salam sayang”, “Salam manis”, atau “Salam sabar, semuanya masih dalam penilaian”, akan banyak ditemukan di kolom ini. “Umbu
14 - balkon spesial mahasiswa baru
Foto: Balairung/Nurrokhman
Selamatan pentas “Tafakur Anjing” karya Emha Ainun Najib oleh teater perdikan di Rumah Budaya EAN, Kadipiro, Yogyakarta pada Kamis (1/8).
Sisi Lain itu sosok guru yang sabar, ulet, telaten,” kenang Teguh. Hingga suatu hari, Umbu mengusulkan agar pegiat rubrik PSK membentuk komunitas. “Saya orang pertama yang menganjurkan supaya diadakan pertemuan,” kata Teguh. Jadilah pada 5 Maret 1968 , tujuh penyair Yogyakarta yang diwakili Umbu, memproklamasikan kelahiran PSK sebagai komunitas. Kantor Mingguan Pelopor di Jalan Malioboro 175 lantai atas menjadi saksi kelahiran komunitas ini. Saat itu Teguh dan Iman turut hadir. Ada pula empat pemuda lainnya, yaitu Ragil Suwarna Pragolapatria, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Sehari-hari para pegiat PSK sangat dekat dengan kehidupan di Malioboro. Pagi hingga sore, mereka berkumpul untuk mengobrol atau sekadar tiduran di kantor redaksi Mingguan Pelopor. Jika malam tiba, kebanyakan anakanak PSK turun menggelandang di Malioboro. Mereka merasakan akrabnya hidup dalam kemelaratan. “Enggak bisa dibedakan mana penyair, mana seniman, mana gelandangan,” tutur Karta. Ketika itu mereka membiasakan diri dengan kelaparan. Soalnya, banyak dari mereka yang tidak bekerja dan tidak mendapat kiriman dari orang tua. Masih lekat di ingatan Cak Nun, saking melaratnya anak-anak PSK dulu, mereka biasa melinting tembakau dari puntung rokok bekas. “Empat puntung rokok jadi satu linting,” imbuh Karta terbahak. Cak Nun lantas mencontohkan adegan ngelinting itu. Ia mengeluarkan tembakau dari puntung bekas yang telah ia hisap. Robekan kertas folio segi empat jadi wadahnya melinting. Sambil menggulung tembakau dalam lipatan kertas, ia berujar, “Kalau kita tidak mengalami seperti ini dulu, kita tidak akan jadi orang tangguh.“ Kemelaratan hidup justru membuat mereka semakin dekat satu sama lain. “Akhirnya kegiatan kami itu menulis bareng, sangat guyub,” kenang Karta. Suasana asah-asih-asuh ini terbawa dalam kegiatan pegiat PSK. Arisan puisi misalnya. Jika ada dari mereka yang memiliki rezeki lebih, maka ia akan menjamu teman-teman PSK melalui arisan puisi. Pembedah puisi, yang biasanya tokoh Sabanawan, akan diundang dalam arisan ini. “Seperti arisan biasa hanya tidak ada duit, arisannya puisi,” ujar Karta. Selain arisan puisi, ada pula
Foto: Balairung/Nurrokhman
pengadilan puisi. Melalui pengadilan ini, puisi karya anak-anak PSK dikoreksi dan dikritik pedas. Tidak ada istilah yang lebih senior yang mengadili. Semua yang hadir dalam pengadilan ini memiliki hak suara. Tidak jarang argumentasi tajam terlontar. Hal ini seringkali menciptakan suasana tegang. “Mau kreatif butuh pengorbanan. Mereka yang dikritik pun harus lapang dada,” ujar Teguh. Pengalaman dan suasana kekeluargaan yang ditawarkan oleh komunitas ini banyak menarik anakanak muda yang berminat pada dunia sastra. Ragil Suwarna P., pegiat PSK yang mendokumentasikan kegiatan komunitas ini, mencatat ada lebih dari seribu pemuda yang tergabung dalam PSK. Banyak di antara mereka yang akhirnya hidup dari dunia tulis menulis dan kepenyairan. PSK tidak punya struktur organisasi. Namun, Umbu sebagai pengasuh rubrik PSK memiliki peran penting dalam komunitas ini. “Ibaratnya Mas Teguh itu malaikat, Umbu tuhannya,” kelakar Cak Nun. Teguh menuturkan bahwa jika ada orang yang membawa puisi karyanya ke komunitas ini, puisi itu akan dibacakan dan dikomentari Umbu. “Kalimat kamu kok begini,” tutur Teguh menirukan Umbu. Peranan Umbu dalam komunitas ini begitu kuat. Hingga pada saat kepergian Umbu ke Bali pada 1977, pergerakan komunitas ini kian surut. Sepeninggal Umbu, Linus Suryadi mengambil alih peran sebagai pengasuh PSK, yang kemudian dilanjutkan oleh Teguh. Namun, tak satu pun dari mereka mampu menghidupi PSK layaknya Umbu. “Kami kehilangan sosok Umbu yang jenius dalam mengorganisasi anak-anak,” ujar Karta. Pergerakan PSK semakin lama semakin tidak terdengar gaungnya lagi sejak Mingguan PLPY berubah menjadi Harian PLPY dan
berpindahnya proses percetakan koran ini ke Semarang. Kemudian pada 1983, PLPY kolaps. Praktis, rubrik dan komunitas PSK pun mati. Meminjam istilah Iman, kini PSK tinggal dongeng saja. Namun, meskipun komunitas PSK bubar, namanya selalu disebut-sebut dalam sejarah kepenyairan Yogyakarta. Sosok Umbu sebagai guru bagi komunitas ini, dan lebih jauh lagi inisiatif Jussac untuk memberi ruang dua halaman bagi sastra di Mingguan PLPY, akhirnya melahirkan penyair-penyair Yogyakarta. Sederet penyair lahir dari komunitas ini, sebut saja Teguh, Iman, Cak Nun, Linus, Mustofa W. Hasyim, Korrie Layun Rampan, dan nama lainnya. Cak Nun berujar, “Dari PSK kami belajar mencari pemaknaan hidup dan persaudaraan, kebetulan medianya puisi.” Para pegiat PSK pun hanya bisa mengenang masa-masa kejayaan komunitas ini. Mereka masih ingat tempattempat di Malioboro yang sering disulap jadi panggung puisi. Ada dua taman yang dahulu menjadi tempat pegiat PSK biasa membaca puisi, yaitu Taman Garuda dan Taman Senopati. “Tiap malam mbengokmbengok di sana itu biasa,” banyol Teguh. Namun, kini Taman Garuda yang dahulu terletak di utara Hotel Inna Garuda telah berubah menjadi trotoar. Taman Senopati pun tinggal nama, wujudnya menjelma menjadi bangunan Monumen Serangan 1 Maret 1949. Wajah Malioboro yang dulu, kini telah berganti dengan hiruk-pikuk perputaran modal. Namun, bagi pegiat PSK, hakikat berproses di Malioboro tidaklah terganti. Pengalaman hidup menggelandang di Malioboro telah mengajarkan banyak hal kepada mereka. “Malioboro hidup di hati kami,” tutur Cak Nun.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 15
Jajak Pendapat
Mahasiswa Membaca Komunitas
Komunitas tidak lagi dipandang sebagai wadah alternatif di luar kegiatan kampus. Kebebasan dan keterbukaannya dianggap mampu menunjang prestasi akademis oleh mahasiswa.
K
omunitas adalah kelompok yang hidup dan saling berinteraksi. Sifatnya tidak mengikat dan terbuka untuk siapa saja, membuatnya diminati oleh semua kalangan. Komunitas seringkali dihubungkan dengan mahasiswa. Sebabnya, komunitas seringkali dijadikan pilihan oleh mahasiswa untuk menyalurkan ide, minat, dan bakat, selain di luar kehidupan kampusnya. Faktor kebebasan dianggap sebagai hal yang mempengaruhi banyaknya mahasiswa terlibat dalam komunitas. Di Yogyakarta, komunitas terhitung pesat perkembangannya. Banyaknya jumlah universitas di menjadi salah satu faktor fenomena tersebut. Banyak mahasiswa yang terlibat aktif dalam
16 - balkon spesial mahasiswa baru
berbagai kegiatan komunitas. Padahal, tak jarang kegiatan tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan perkuliahan. Kesempatan untuk mengembangkan bakatnya di luar universitas agaknya menjadi alasan utama di balik pilihan tersebut. Dalam memilih komunitas, mahasiswa punya preferensi yang berbeda-beda. Ada yang beralasan sebagai penunjang mata kuliah di kelas, ajakan dari teman, bahkan ada yang sekedar mengisi waktu luang. Selain itu, komunitas juga menjadi alternatif ketika unit kegiatan mahasiswa (UKM) tidak dapat menampung minat mahasiswa. Sebagai pencarian jawaban atas preferensi terhadap pemilihan komunitas,
Penulis: Ayu Diah Cempaka Taufiq Hakim Anggrelika P.Krestarya Grafis: Ardiansyah B
tim riset Balairung mengadakan survei yang melibatkan 69 mahasiswa dari empat universitas dan dilakukan selama Juni 2013 ini memilih UGM, UIN Sunan Kalijaga ISI, dan STIMIK AMIKOM sebagai sumber responden. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah stratified dengan menggunakan angket tertutup. Keempat perguruan tinggi tersebut dipilih bukan tanpa alasan.Ciri khas dari setiap universitas yang dipilih diharapkan mampu mewakili keberagaman di Yogyakarta. UGM dipandang sebagai universitas terbesar di Yogyakarta, ISI dengan identitas keseniannya, STIMIK AMIKOM dengan ciri teknologinya, dan UIN Sunan Kalijaga identik dengan nuansa keislamannya.
Jajak Pendapat Dari 69 responden, 47% mahasiswa mengikuti komunitas karena punya keterkaitan dengan disiplin ilmu yang dipelajari di bangku kuliah. Sebanyak 9% sangat setuju, 25% kurang setuju, dan 23% tidak setuju atas keterkaitan tersebut. Dapat dipahami ada perbedaan tipis dalam indikator pemilihan komunitas dengan latar belakang disiplin ilmu di bangku kuliah. Jika presentase responden yang setuju dan tidak setuju dijumlahkan, hanya terpaut 8%. Namun, demikian, responden lebih banyak menyetujui bahwa komunitas yang diikuti merupakan penunjang dari disiplin ilmu yang dipelajari di bangku kuliah. Mayoritas responden setuju bahwa komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa (UKM) memiliki kesesuaian dengan minat mereka. Sebanyak 55% responden setuju dan 39% mengaku sangat setuju. Hanya 2% responden yang memilih tidak setuju, dan 4% menyatakan kurang setuju. Mayoritas responden yang memilih komunitas yang sesuai dengan minatnya merupakan bukti bahwa komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa tidak pernah sepi. Bahkan, hal tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya jumlah komunitas di luar universitas. Keberadaan unit kegiatan mahasiswa di setiap universitas tidak lantas membuat para mahasiswa merasa puas. Terbukti dari 38% responden yang setuju dan 20% sangat setuju untuk berkomunitas di luar universitas. Tampaknya, kesesuaian minat dari komunitas yang ada di luar universitas mampu menarik minat para mahasiswa untuk ikut terlibat. Sedikitnya terdapat 12% responden yang tidak setuju dan 30% kurang setuju bahwa minat mereka tidak dapat tersalurkan dalam unit kegiatan mahasiswa, tetapi mayoritas responden lebih memilih berkomunitas sebab minatnya dapat tersalurkan. Ajakan dari teman biasanya merupakan sebuah faktor bagi mahasiswa untuk berkomunitas. Namun, dari survei yang telah dilakukan didapatkan hasil yang berbeda. Hanya 30% responden yang menyetujui hal tersebut, 36% kurang setuju, dan 34% tidak setuju. Kebanyakan responden dapat diartikan memilih komunitas disebabkan atas keinginannya sendiri, terkait dengan disiplin ilmu di kelas, atau pun karena minatnya tersalurkan. Hanya sepertiga dari seluruh
responden yang mengaku mendapat ajakan dari teman.
responden yang kurang setuju dan 3% tidak setuju atas indikasi tersebut.
Keterlibatan responden dalam berkomunitas merupakan tolak ukur atas serius dan tidaknya dalam berkomunitas. Mayoritas responden menyatakan serius dalam komunitas, sebanyak 68% setuju dan 16% sangat setuju. Namun, demikian, masih terdapat 11% responden kurang setuju dan 5% tidak setuju. Dari temuan tersebut dapat dipahami bahwa masih ada sebagian kecil responden yang kurang aktif dalam komunitas yang diikuti.
Senada dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman baru, ternyata komunitas yang diikuti oleh responden juga membantu pengembangan kemampuan. Mayoritas responden yang menyatakan setuju ada 66%, dan 14% sangat setuju. Hanya terdapat 7% responden yang menyatakan tidak setuju, dan yang kurang setuju sebanyak 13%. Banyaknya responden yang mengaku kemampuannya berkembang merupakan bukti bahwa kelonggaran komunitas justru membuat anggotanya bebas menyalurkan minatnya sesuai dengan motivasi ketika bergabung.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa mahasiswa tidak menjadikan kegiatan komunitas sebagai prioritas utama. Sebanyak 36% responden kurang setuju dan 18% tidak setuju komunitas menjadi tanggung jawab utama. Hanya 7% yang sangat setuju dan 39% setuju bahwa dalam berkomunitas, mereka hanya bertujuan untuk mengisi waktu luang. Hampir separuh responden yang mengaku sekedar untuk mengisi waktu luang. Namun, hal tersebut tidak bisa diartikan sebagai bentuk ketidakseriusan mahasiswa dalam berkomunitas. Pasalnya, selain untuk mengisi waktu luang, komunitas juga digunakan sebagai saluran melepas kepenatan kuliah. Waktu luang tersebut dimanfaatkan oleh responden yang ingin menyalurkan minat, menambah relasi, maupun mencari pengalaman lain. Komunitas di luar universitas juga merupakan sebuah kesempatan untuk menambah teman dan relasi. Setidaknya terdapat 57% responden yang setuju dan 41% sangat setuju, hanya 2% responden yang menyatakan kurang setuju atas pernyataan tersebut. Mayoritas responden lebih memilih untuk mencari teman dan memperluas relasi ketika mereka berkomunitas. Selain itu, berkomunitas di luar universitas merupakan saluran yang tepat untuk menambah relasi. Hal tersebut disebabkan oleh ciri khas komunitas yang dapat diikuti oleh siapa saja, yang memiliki gagasan dan tujuan yang sama.
Keberlangsungan komunitas yang mereka ikuti juga menjadi hal pokok. Hal tersebut merupakan sebuah bukti bahwa responden memiliki tanggung jawab atas komunitas yang diikuti. Berdasarkan temuan di lapangan, mayoritas responden menyatakan memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan komunitas, yakni sebanyak 72% setuju dan 16% sangat setuju. Hanya terdapat 7% responden yang kurang setuju dan 5% sisanya tidak setuju. Hasil survei ini mendukung asumsi umum preferensi berkomunitas mahasiswa. Latar belakang disiplin ilmu sebagai pertimbangan untuk berkomunitas bukanlah faktor utama. Kebanyakan responden menyatakan bahwa minat merupakan pertimbangan utama untuk berkomunitas. Selain itu UKM yang tidak dapat menampung minat mahasiswa juga menjadi faktor berpengaruh. Dengan begitu, pengembangan kemampuan, pengalaman baru, terutama relasi yang lebih luas menjadi lebih dipertimbangkan para mahasiswa untuk berkomunitas.
Selain penunjang disiplin ilmu yang diperoleh di kelas, mayoritas responden juga menyetujui bahwa ilmu dan pengalaman baru juga didapatkan dari berkomunitas. Sebanyak 48% responden setuju dan 45% sangat setuju terhadap alasan tersebut. Hanya sebagian kecil dari responden yang menganggap bahwa dalam kegiatan berkomunitas, seseorang tidak melulu akan memperoleh ilmu dan pengalaman baru. Terbukti dari 4%
Gerak Komunitas Pascareformasi - 17
Jajak Pendapat
MAHASISWA MEMBACA KOMUNITAS
Saya memilih komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa yang sesuai dengan minat saya.
Saya mengikuti komunitas untuk sekadar mengisi waktu luang.
Saya mengikuti komunitas untuk menambah teman dan relasi.
Saya memilih berkomunitas karena unit kegiatan mahasiswa di kampus tidak dapat menampung minat saya. Komunitas yang saya ikuti memberikan ilmu dan pengalaman baru.
Saya mengikuti komunitas di luar unit kegiatan mahasiswa yang berhubungan dengan disiplin ilmu yang saya pelajari di bangku kuliah.
Sejauh ini saya aktif terlibat dalam komunitas yang saya ikuti.
Sejauh ini komunitas yang saya ikuti membantu pengembangan kemampuan saya.
Saya mengikuti komunitas karena ajakan dari teman.
18 - balkon spesial mahasiswa baru
Saya merasa punya tanggung jawab atas kelangsungan komunitas yang saya ikuti.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 19
Apresiasi
Asa Musim Semi dalam Tari Penulis: Inda Lestari Desy Widya
Gerakan lembut menyertai penyampaian asa dalam ekspresi. Mengisahkan 100 tahun ritual penyambutan musim semi. Semua terbungkus apik dalam pementasan tari balet kontemporer.
J
erit lengking wanita terdengar memecah ruangan sunyi dan gelap. Tak lama, suara itu menghilang perlahan, seiring nyala cahaya lampu. Tiba-tiba sekelompok orang berlari pontang-panting keluar dari balik layar. Mereka menggunakan pakaian semi balet warna-warni. Dipadu celana panjang, sang pria mengenakan kemeja sedangkan kaus tanpa lengan membalut tubuh para wanita. Hentakan kaki penari-penari itu menimbulkan suara gaduh di
atas panggung. Mereka bergerak cepat, melompat, dan meliukkan badan. Tak ada musik pengiring untuk gerakan-gerakan energik itu. Dengan ekspresi muka serius, mereka mengerutkan dahi seolah-olah berpikir. Suasana inilah yang menghiasi kebisuan di Taman Budaya Yogyakarta malam itu. Tarian tanpa musik itu disebut Tumulte. Berarti kesunyian yang terganggu oleh kericuhan akibat gerakan. Tumulte merupakan bagian pembukaan pertunjukan tari kontemporer bertajuk Le Sacre du Printemps. Tarian yang Foto: Dokumentasi IFI-LIP Yogyakarta
20 - balkon spesial mahasiswa baru
Apresiasi menceritakan ritual musim semi oleh kaum Pagan, suku asal Rusia penyembah banyak dewa. Tumulte ini dibawakan oleh dua belas orang penari. Berisi enam penari pria dan wanita yang saling berpasangan. Pada penggalan tari ini, sang pria memeluk tubuh penari wanita dari belakang. Namun, sang wanita melepaskan diri sambil menghela napas. Dengan langkah perlahan, sang pria kembali mendekati pasangannya. Para wanita lantas merentangkan tangan. Menyambut pelukan hangat dari sang pria. Mereka melangkah lamat-lamat dengan gerakan tubuh yang lambat. Namun, seketika mereka berhenti, dan mengangkat kaki kanannya seperti bangau. Diikuti gerakan cepat disertai lompatan (Alegro) dan perlahan meninggalkan panggung. Akhirnya, tersisa seorang penari di atas panggung. Wanita itu menggerakkan badan semakin cepat dan energik. Ia melompat, berputar, dan merentangkan tangan seolah-olah melepaskan asa dalam dirinya. Diiringi dengan Ecarte, gerakan meluruskan kaki hingga 90 derajat. Memasuki bagian ini, keheningan digantikan oleh gemuruh angin. Musik berupa desingan angin kencang mengiringi tariannya. Hentakan langkah kaki secara Allegro dan Ecarte membawanya ke segala penjuru ruangan. Saat wanita itu menjajaki bagian belakang panggung, mendadak muncul sepasang penari lain. Tak lama menari, pasangan wanita seketika tergeletak. Sang pria pun mengulurkan tangan membangkitkan pasangannya, mengajaknya kembali menari. Masih diiringi gemuruh angin, gerakan serupa dilakukan oleh dua pasangan lain yang menyusul tampil. Namun, penari pria yang sebelumnya bergerak cepat tiba-tiba terhuyung. Gerakannya melambat. Seolah-olah menjadi tak berdaya mereka terjatuh dan terkulai di lantai. Seakan tak mau kehilangan pasangannya, para penari wanita membangkitkannya. Dengan gerakan Allegro, mereka meraih tangan dan memeluk pasangannya. Sejenak, para penari meninggalkan panggung dan kembali dengan membawa kursi kecil berwarna hijau. Penari-penari ini lantas menyusun kursi dengan cara terbalik. Lalu meninggalkannya bersama sang penari tunggal di atas panggung. Wanita itu pun mengelilingi setiap kursi dengan gerakan cepat dan
langkah lebar. Lenguhan napas beratnya terdengar memenuhi ruangan. Mengalun bersama suara hujan dan tepuk tangan tunggal. Kebingungan, kegusaran, serta keputusasaan tergambar pada gerakan serta tarikan napasnya. ”Pada bagian solo ini, tergambar wanita muda misterius yang sedang menghadapi kematian,” kisah Jean-Claude Gallota, sang koreografer pementasan. Suasana panggung yang semula terang pun perlahan meremang, seolah-olah tenggelam dalam kebisuan dan kegelapan. Selaras dengan gerakannya yang mulai melemah. Beberapa penari muncul dari balik layar. Mereka membungkukkan badan, lalu meninggalkan panggung dengan gemulai. Tarian yang telah berusia seratus tahun ini pun mulai memasuki bagian kedua. Pour Igor. Penghormatan atas Igor Stravinsky, komposer yang pertama kali menciptakan tarian ritual musim semi. Keselarasan suara terompet, seruling, piano, biola, dan alat musik lain mengiringi ritual ini. Lantunan musik semakin meningkat. Begitu pun gerakan tarian yang juga semakin cepat. Penari lain kembali muncul seiring dengan pencahayaan panggung yang semakin terang. Mereka menari mengelilingi panggung, kemudian menduduki kursi masing-masing. Masih di atas kursi, mereka melenturkan badan ke arah kanan dan kiri. Dilanjutkan dengan gerakan merunduk serta Ecarte. Acara gelaran Institut Francais Indonesia (IFI) Yogyakarta ini pun memasuki bagian akhir. Pada bagian ini, penari duduk membentuk setengah lingkaran. Menyisakan sepasang penari yang masih berdiri. Pasangan ini bersamasama mengelilingi mereka yang masih duduk. Bergiliran, seluruh penari menari sembari berdiri lalu duduk di lantai panggung. Setelahnya, mereka yang duduk di lantai berganti mengelilingi penari yang tengah berdiri. Tetap pada posisi duduk, penari bergerak menyeret tubuhnya seakan menyapu lantai panggung. Dalam cahaya yang redup sesekali mereka merundukkan kepala, mengangkat tangan serta merentangkan jemarinya. Seolaholah berbahagia menyambut datangnya musim semi. Gallota bercerita, “Cahaya panggung dibuat redup karena ritual ini biasa dilakukan pada malam hari.” Musim semi adalah musim istimewa. Karena menjadi penanda hidupnya kembali tumbuhan yang mati pada
musim sebelumnya. Mencairnya salju dan tumbuhnya tunas baru membawa kebahagiaan bagi musim ini. Berbeda dengan kebahagiaan tersebut, pada segmen berikutnya tampak seorang wanita tergeletak di bagian depan panggung. Kontras dengan belasan penari lain di belakangnya. Meski tetap menari, rona kesedihan tergambar pada wajah mereka. Kepala merunduk, dahi mengerut, dan bibir terkatup memperkuat lukiskan kesedihan itu. Tak lama, datanglah seorang pria mendatangi wanita itu. Ia mengedarkan tangan pada sosok wanita tersebut. Mengurutkan pandangannya dari kepala hingga kaki, seolah-olah ingin memeriksa keadaaannya. Seakan tak mau kehilangan, ia berusaha membangunkan sang wanita. Mencium tangan lalu meliukkan badan mendekap sang wanita. Berharap ia segera terbangun dari tidur. Konon, pada zaman dahulu ritual musim semi ini ternyata diikuti oleh pengorbanan. Syaratnya, yang melakukan ini haruslah seorang wanita muda. “Pria yang datang diibaratkan sebagai dewa atau dokter yang ingin menyelamatkan sang wanita,” terang Gallota kepada penonton di akhir pagelaran. Menyiratkan datangnya harapan setelah musibah menghilang. Himma, salah seorang penonton pun menangkap makna yang sama. Bahwa manusia harus selalu memiliki harapan. Kebangkitan wanita pada tarian tersebut merupakan salah satu bukti terpenuhinya sebuah harapan. “Bangkitnya orang meninggal seakan menjadi hal yang tidak mungkin. Namun, dengan adanya harapan hal tersebut menjadi mungkin,” ungkapnya sambil tersenyum. Gallota pun mengisahkan bahwa ada pesan lain pada tarian ini, yakni kedamaian dan kebebasan. Karena pengorbanan bertolak belakang dengan kedamaian, Gallota berharap hal tersebut tidak lagi terjadi. “Pesan inilah yang ingin kami sampaikan melalui pementasan ini” pria asal Perancis ini menuturkan. Para penari kembali duduk di kursinya. Senyum lebar serta mata berbinar melukiskan kebahagian mereka. Kian lama musik pengiring mengalun kian lembut. Perlahan seluruh lampu menyala menerangi panggung dan para penari. Riuh tepuk tangan penonton pun menutup pementasan pada Minggu, 23 Juni 2013 itu.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 21
Kolom Pakar
Komunitas
Sukarelawan Intelektual – Antara
Manfaat dan
Mudharat
Dody Wibowo
Foto: Dokumentasi Pribadi
B
erbagai komunitas berbasis kesukarelawanan banyak bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Komunitas-komunitas tersebut bergerak di berbagai isu, dari pendidikan, lingkungan, seni, juga perdamaian untuk menyebut di antaranya. Yogyakarta pun jadi salah satu tempat komunitas tumbuh subur. Meletusnya Gunung Merapi pada 2010 bisa dicatat sebagai momen eksistensi komunitas di kota ini. Komunitaskomunitas sukarelawan tersebut bergerak di berbagai kegiatan. Mulai dari memenuhi kebutuhan darurat para korban bencana sampai pendidikan bagi anak-anak korban bencana, kebutuhan trauma healing, dan lain sebagainya. Ketika Forum Jogja Peduli—forum silaturahmi antar komunitas
22 - balkon spesial mahasiswa baru
(Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada) sukarelawan—dibentuk pada November 2012, tidak kurang dari 30 komunitas bergabung di dalamnya. Sebenarnya keberadaan komunitas sukarelawan di Indonesia, terutama yang dipelopori oleh anak muda, mulai marak muncul sekitar tahun 2000. Tahun 2002, Komunitas 1001 Buku dibentuk di Jakarta. Gerakan untuk berbagi buku kepada anak-anak di berbagai wilayah Indonesia ini kemudian direplikasi di berbagai kota di Indonesia. Pada 2009, ketika gerakan Indonesia Mengajar oleh Anies Baswedan dimulai, komunitas sukarelawan pun menjadi semakin banyak bermunculan. Pemberitaan kegiatan para pengajar muda Indonesia Mengajar di pelosok daerah di Indonesia sepertinya mampu menginspirasi
dan membangkitkan keinginan anakanak muda, terutama mahasiswa, untuk melakukan kegiatan serupa di daerahnya masing-masing. Fakta ini seakan menunjukkan bahwa mahasiswa sekarang bukanlah anakanak muda yang abai. Melalui berbagai komunitas yang didirikan, para mahasiswa menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang juga peduli pada berbagai masalah di masyarakat. Keberadaan komunitas-komunitas sukarelawan cum intelektual ini memang memberi image positif bagi mahasiswa,akan tetapi juga memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama, saya tertarik untuk mengetahui apa motivasi yang sesungguhnya dari para mahasiswa
Kolom Pakar ketika bergabung dalam komunitas sukarelawan? Kedua, seberapa serius para mahasiswa ini menjalankan kegiatan kesukarelawanannya? Dua pertanyaan tersebut menurut saya sangat penting untuk diajukan sekaligus untuk direnungkan oleh para mahasiswa yang sedang maupun ingin bergabung dalam komunitas sukarelawan.
Motivasi Apa motivasimu untuk mengikuti komunitas sukarelawan ini? Pertanyaan itu selalu saya tanyakan kepada mahasiswa yang ingin bergabung dalam komunitas yang saya kelola bersama dengan beberapa teman. Jawabannya beragam. Ada yang ingin menambah pengalaman, ada yang menyatakan ingin mengisi waktu luang, tetapi ada juga yang menjawab bahwa dia merasa terusik ketika melihat fenomena masalah sosial sehari-hari, seperti ketika melihat anak-anak kecil yang menjadi pengamen atau pengemis di jalanan. Motivasi menjadi penentu dasar komitmen seseorang dalam melakukan kegiatan sukarelawan. Seringkali orang menganggap, karena ini adalah kegiatan sukarela, maka tidak perlu komitmen yang tinggi dalam menjalankan kegiatan yang diikuti. Misalnya ada yang bilang, “Saya akan ikut kegiatan ketika saya punya waktu luang saja.� Artinya, komitmen seorang sukarelawan hanya sebagai pengikut. Mereka hanya menjadi pelaksana kegiatan, tidak terlibat dalam pembicaraanpembicaraan strategis seperti menentukan kebijakan komunitas maupun merancang kegiatan yang paling tepat untuk mencapai visi dan misi komunitas. Motivasi seperti ini menjadi dilema dalam keanggotaan komunitas sukarelawan cum intelektual. Di satu sisi, keanggotaan yang bersifat sukarela menjadikan tidak ada ikatan kuat dan pasti dalam komunitas. Tentu, mereka berhak untuk mengambil posisi tersebut. Di sisi lain, jika dilihat dari segi intelektualitas dan tanggungjawab, maka tidak sepantasnya seseorang dengan tingkat intelektualitas (yang seharusnya) tinggi—seorang mahasiswa—mengambil pilihan tersebut: hanya menjadi follower dalam komunitas sukarelawan intelektual. Mahasiswa seharusnya menyadari posisi dan kemampuan mereka yang kemudian berkorelasi positif pada cara berpikir yang lebih baik ketika melihat suatu masalah.
Sehingga ketika dia bergabung dalam suatu komunitas maka sudah sepantasnya komitmen yang dia berikan adalah komitmen yang menyeluruh. Saya banyak menemukan seorang mahasiswa yang bergabung dalam beberapa komunitas. Ketika saya telusuri, keanggotaan mereka dalam komunitaskomunitas tersebut lebih banyak sebagai follower saja, sangat disayangkan. Karena, komunitas adalah tempat bagi mahasiswa untuk melatih dan mengasah berbagai keterampilan yang dia miliki. Harapannya, ketika dia lulus kuliah keterampilan yang dia asah semasa menjadi anggota komunitas bisa menjadi nilai lebih ketika memasuki dunia kerja. Keengganan beberapa mahasiswa untuk berkomitmen penuh di suatu komunitas terkadang dikaitkan dengan aktivitas utama mereka sebagai mahasiswa. Alasannya, mereka tidak ingin kewajiban utamanya sebagai mahasiswa terganggu karena mengurusi kegiatan di komunitas. Memang hal ini bisa dipahami. Akan tetapi, bukankah itu sebuah konsekuensi yang harus dihadapi ketika bergabung dalam suatu komunitas. Justru dalam kondisi seperti itulah kemampuan sang mahasiswa untuk mengelola masalah diuji; bagaimana dia bisa mengatur waktu dengan baik, menempatkan prioritasprioritas dalam hidup, dan lain sebagainya. Komitmen yang rendah dari anggota komunitas tentu berdampak negatif bagi komunitasnya itu sendiri. Beberapa kali saya menemukan, bahkan juga terjadi di komunitas saya, kegiatan komunitas yang akhirnya terhambat karena anggota yang berkomitmen rendah. Dampak negatifnya ini tentu juga dirasakan masyarakat yang dilayani komunitas itu. Tak heran jika banyak masyarakat malah mempertanyakan keseriusan para mahasiswa ketika melakukan kegiatan sukarelawan.
Keseriusan Kita sering melihat beberapa kelompok masyarakat, kesukarelawanan diartikan sebagai kegiatan charity semata. Datang ke suatu wilayah atau kelompok yang dinilai memiliki masalah, memberi bantuan, didokumentasikan, lalu selesailah sudah kegiatan kesukarelawanan tersebut. Apa yang terjadi sesudahnya? Kadang jika bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran dan tidak melalui assessment yang
tepat, malah akan membawa masalah baru, seperti bantuan yang tidak sesuai kebutuhan dan rasa iri ketika bantuan yang diberikan ternyata hanya dinikmati pihak tertentu. Komunitas sukarelawan sepantasnya memahami masalah yang menjadi bidang kerjanya secara lebih menyeluruh. Hal itu dilakukan dengan membekali diri. Mahasiswa harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai isu, meneliti kondisi masyarakat penerima manfaat, dan aspek lain yang terkait. Sehingga kegiatan yang nantinya dilakukan bisa memberi manfaat yang maksimal. Sebagai contoh, komunitas sukarelawan yang fokus pada anak-anak penjual koran di jalan tidak boleh berhenti pada memberi bingkisan alat tulis kepada anak-anak tersebut atau memberi les pelajaran tambahan. Selayaknya mereka melakukan penelitian yang memadai mengenai masalah yang dimiliki oleh sang anak sehingga kita bisa memahami apa alasan dia berjualan koran, bagaimana kondisi sosial ekonomi keluarganya, bagaimana keadaan lingkungan tempat tinggal dan sekolahnya, untuk kemudian komunitas bisa merumuskan kegiatan apa yang paling tepat untuk dilakukan agar mampu memberi kontribusi perubahan yang lebih mengakar. Komunitas sukarelawan cum intelektual tidak bisa berjalan hanya dengan niat baik saja. Berbagai keterampilan dan pengetahuan pendukung bagi anggotanya mutlak diperlukan. Pengembangan kapasitas anggota komunitas harus dilakukan secara rutin karena selain berguna untuk memperbaharui kemampuan anggotanya, pengembangan kapasitas ini juga akan mampu memperkuat komitmen dari para anggota komunitas. Pada akhirnya kita harus memahami bahwa kegiatan komunitas sukarelawan cum intelektual bukanlah kegiatan sederhana pengisi waktu luang. Bukan pula kegiatan yang bisa dilakukan setengah-setengah. Komunitas adalah tempat berlatih bagi mahasiswa untuk bersentuhan langsung dengan realitas yang ada di masyarakat, sekaligus mengamalkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan di bangku kuliah.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 23
Sosok
Eksplorasi Humanistis Si Pekerja Seni Bersama kelompok seni, Djaduk Ferianto memelihara idealisme yang dimiliki. Seniman serba bisa ini pun tak ragu berbagi ilmu dan belajar dari siapa pun yang ditemui.
S
uatu siang, puluhan tahun silam, seorang bocah tengah asyik menabuh gendang. Ayahnya yang tengah terlelap pun terbangun dan memarahi. Sebuah sandal dari lemparan sang ayah lalu mendarat di tubuhnya. Walau dimarahi, si bocah tak lantas kapok menabuh gendang. Kelak sang ayah, seniman Bagong Kussudiardja, menyadari bakat seni dalam diri bocah itu. Maka ia mengirim si bocah ke sebuah padepokan seni di Bandung untuk berguru. Di kemudian hari, putra bungsu sang ayah itu juga menjadi seorang seniman. Seni musik, teater, pedalangan sampai membatik pun digelutinya. Gregorius Djaduk Ferianto, nama seniman serba bisa itu. Kemampuan Djaduk dalam bidang seni tidak hanya dipelajari dari bangku kuliah. “Dulu saya juga sempat belajar di Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia, tapi lalu keluar dari sana,” kisahnya. Djaduk kemudian memilih caranya sendiri. Apalagi ia berkeyakinan, belajar bisa di mana saja. Salah satu caranya dengan membiarkan diri berbagi bersama banyak orang, di antaranya anak muda. Cara berpikir anak muda yang kreatif serta jaringan
24 - balkon spesial mahasiswa baru
Foto: Balairung/Randy Fachri Prabowo
luas yang dimiliki menjadi dua hal yang diandalkan Djaduk. “Terlebih ketika hal itu terjadi di Yogyakarta, kota networking. Kamu bisa bertemu dengan siapa saja dan membangun jaringan yang kuat di kota ini,” tambahnya. Berkunjung ke “Universitas Sari Dele Tape” menjadi kegiatan yang rutin Djaduk lakukan untuk memperluas jaringan. Warung yang terletak di pinggiran kota Yogyakarta itu merupakan tempat favoritnya bediskusi santai dengan para pelanggan. Melalui obrolan itu, ia memperoleh pembelajaran yang tidak didapat dari bangku kuliah. “Bagaimana peristiwa besar dilihat oleh orang-orang kecil seperti itu, tentu menjadi lebih berbunyi,” katanya. Djaduk memang meyakini, ilmu yang ada dalam buku bukan satu-satunya kebenaran. Mungkin, seringnya terjun langsung ke masyarakat membuat Djaduk menjadi sosok yang humanis. Menurutnya, suatu tujuan akan lebih tercapai jika diusahakan secara berkelompok. “Sebagai orang timur, saya percaya budayanya yang komunal,” tuturnya. Ia meyakini setiap individu harus bekerja secara kelompok supaya dapat
Penulis: Inez Christyastuti Hapsari Nuresti Tristya Astarina melaksanakan tujuannya. Keyakinan itu mewujud dalam Kua Etnika, salah satu komunitas kesenian yang ia dirikan bersama kawan-kawan. Seniman itu menjadikan Kua Etnika sebagai wujud idealismenya memajukan musik etnik Indonesia. Musik-musik karya Kua Etnika tidak dimaknai melalui aliran maupun alat musik yang dimainkan, melainkan lewat semangat etnik yang mendasari karyanya. Dengan semangat etnik, ciri kedaerahan dari masing-masing pemain menjadi hal yang tidak bisa hilang. Kultur sebagai orang Jawa pun kentara pada karya yang dihasilkan. Mereka tak terpengaruh untuk meniru modernitas ala musik Barat. Prinsip yang dipegang teguh, bahwa karya tiap orang tak bisa ditiru orang lain. “Karena sejak awal, telinga kita mendengarkan referensi yang berbeda,” papar Djaduk. Tanpa mengikuti aliran musik tertentu, komunitas musik yang dibuat Djaduk ini mengedepankan musik sebagai
Sosok harmoni dan energi. Purwanta, sahabat Djaduk yang menjadi salah satu pendiri Kua Etnika, mengungkapkan, “Genre musik memang sudah kami tinggalkan sejak 20 tahun lalu.” Oleh karena itu, musik tak lagi didengar sebagai keteraturan nada saja, tetapi lebih pada kualitas eksplorasinya. Selain itu, kekuatan Djaduk dalam memahami dan menafsirkan musik pun menjadi nilai tambah atas hal ini. “Djaduk itu nggratil. Saat sedang jeda, benda apa pun seperti handuk, setir mobil, hingga alat dapur pun bisa dimain-mainkannya menjadi alat bermusik,” beber Purwanta. Walaupun sangat idealis, Djaduk tidak memungkiri bahwa biaya tetap diperlukan untuk menghidupi komunitasnya. Ia menyiasati hal itu dengan mendirikan komunitas seni lain bernama Sinten Remen, yang sifatnya lebih ditujukan pada industri. “Sebenarnya orangnya ituitu saja, tapi tujuannya sedikit berbeda,” bebernya. Sinten Remen diwujudkan Djaduk dan kawan-kawan sebagai ladang penghasil keuntungan. Musik keroncong yang menjadi ciri khas komunitas diubah mengikuti selera pasar. ”Kami sering memainkan lagu-lagu yang sedang tren dengan gaya keroncong supaya disukai anak muda, tapi tetap pada gaya bermusik kami,” ungkap Purwanta. Dengan demikian, keuntungan dari proyek ini dapat digunakan untuk menyubsidi proyek lain, seperti Kua Etnika. “Proyek mana yang sedang menghasilkan uang, disubsidi untuk membiayai proyek lainnya,” jelasnya. Dalam membina komunitas, Djaduk percaya, prestasi adalah keharusan. Untuk itu, diperlukan kontribusi dari seluruh anggota komunitas. Kontribusi itu tidak hanya berupa tenaga, tapi juga akal. “Kadang orang lebih menghargai okol daripada akal. Tak menyadari bahwa orang yang pendiam dalam pergaulan tapi mampu memberi usul saat rapat, sudah terhitung bekerja,” kritik lelaki yang memiliki lima anak ini. Beruntung, Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal masih memberi ruang untuk berekspresi. Ia dan kawan-kawannya dapat lebih mengasah ide-ide kreatif yang muncul dalam pikiran. Gagasan kreatif itu diwujudkan Djaduk dengan menghelat pertunjukan seni di tempat tak biasa. Adakalanya tempat perhelatan acara berdekatan dengan permukiman warga. Salah satunya, acara Ngayogjazz yang beberapa tahun ini diadakan di desa wisata di Yogyakarta. Tempat unik seperti itu justru memberi
Foto: Balairung/Randy Fachri Prabowo
ruang bagi Djaduk dan kawan-kawan untuk memanusiakan manusia. Bentuknya dengan memberi kesempatan untuk berkontribusi bagi warga. Terkadang ada warga yang turut menampilkan kesenian asli daerahnya. “Dengan begitu masyarakat menjadi bertambah ruang eksistensinya,” papar Djaduk. Ia percaya, pemberian ruang eksistensi bagi masyarakat seperti itu punya pengaruh yang besar dalam membangun kepercayaan diri bangsa. Tak hanya bergelut dalam bidang musik, Djaduk juga aktif dalam komunitas teater yang dinamainya Teater Gandrik. Keanggotaan dalam komunitas tersebut tidak mengikat, siapa pun bisa masuk asal punya komitmen. “Meski begitu seleksi alam juga terjadi, umumnya bagi anak muda yang hanya coba-coba ikut untuk tujuan instan. Seperti ingin cepat terkenal, menjadi bintang sinetron,” kritiknya. Tak seperti anak muda yang memilih jalan instan, sejak awal Djaduk menempa dirinya dengan keras. “Banyak orang yang melihat bahwa saat ini saya sukses, tapi sebelumnya benar-benar berjibaku. Sampai nggetih,” kisahnya. Petra, istri Djaduk, mengenang masa-masa itu, seperti saat Djaduk menjadi wakil budayawan Indonesia selama tiga tahun di Jerman. Selama di tempat itu, ia menjadi kepala rumah tangga. “Itu bahasa kerennya, tapi pekerjaannya sama saja dengan pembantu. Seperti ketika mengambilkan jas saat Presiden Habibie datang,” kenangnya. Hampir setiap kali ada tamu ia melakukan pekerjaan seperti menerima tamu dan mengalungkan rangkaian bunga.
Lika-liku hidup itu membuat Djaduk terbiasa menghadapi segala rintangan. Contohnya adalah saat berbagai kritik datang menuai karyanya. Kritik tidak membuatnya jatuh, ia justru menganggapnya sebagai bahasa cinta. “Saat masih ada yang mengkritik, berarti masih ada yang memerhatikan kita,” katanya santai. Meski begitu, ada juga orang yang tak siap menghadapi kritik. Kritikus lalu dianggap sebagai musuh sementara kritik itu tidak membawa kepentingan dan tidak merendahkan orang lain. “Seperti pepatah Jawa, ‘ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake’,” katanya penuh kesungguhan. “Pak Djaduk bisa menjadi seperti sekarang ini karena berani mencoba dan berani di-unek-unekke (dimarahi—red). Namun, dibegitukan pun ia tidak pernah jatuh,” tambah sang istri. Meski memiliki mental yang kuat terhadap kritik, anggapan masyarakat terhadap seniman masih disayangkan Djaduk. “Masyarakat masih menganggap seniman sebagai makhluk aneh,” keluh salah satu dari lima musikus perkusi dunia peraih Grand Prize UNESCO tahun 2000 itu. Namun, akhir-akhir ini pandangan tersebut sudah agak bergeser, seniman dilihat sebagai seseorang yang punya dunia tersendiri. “Saya terkadang bingung saat menulis status pekerjaan di identitas saya. Ya sudah, saya tulis saja bukan seniman, tapi pekerja seni,” kata Djaduk sambil tertawa.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 25
ETALASE
26 - balkon spesial mahasiswa baru
Potret
Menengok Budaya Maritim
dalam Pameran Seni Rupa
ART|JOG|13
oleh: Nurrokhman Nawang Wulan
“Sebagai bangsa maritim, Indonesia justru tidak memiliki sisa peradaban maritimnya. Contohnya adalah Museum Bahari yang berada di Jakarta. Kapal-kapal yg berada di dalam museum tersebut tergolong kecil, bahkan seperti sekumpulan mainan.� (Romo Banar)
Gerak Komunitas Pascareformasi - 27
Potret
H
alaman depan Taman Budaya Yogyakarta pada malam itu tampak berbeda dari biasanya. Instalasi 360 lembar besi bekas drum minyak membungkus rapat muka gedung TBY dengan hanya menyisakan sedikit bagian balkon yang tidak ditutup. Perubahan itu memberi gambaran seperti dinding kapal. Setelah masuk ke halaman dapat disaksikan sebuah instalasi komidi putar yang terlihat terang dan unik lantaran terdapat 7 buah boneka di dalamnya, masing-masing menggambarkan sosok petualang, pedagang, ahli agama, ahli gambar, juru masak, politisi/diplomat, dan ahli bahasa. Itulah sekilas pemandangan yang terlihat dalam pameran seni rupa kontemporer ART|JOG|13. Pameran yang berlangsung sejak tanggal 6 hingga 20 Juli 2013 ini memajang 158 karya dari 115 seniman hasil seleksi Panitia dari ribuan karya yang diterima sebelumnya.
28 - balkon spesial mahasiswa baru
Potret
M
engangkat persoalan mengenai kelautan, tahun ini Heri Pemad Art Management selaku pihak penyelenggara memilih tema “Maritime Culture�. Tema ini dimaksudkan sebagai pintu masuk pengunjung pada pola pikir maritim, yang sebenarnya melekat dengan bangsa Indonesia yang memiliki wilayah laut yang luas, tetapi mulai dilupakan. Padahal, dalam kaitannya dengan budaya maritim inilah, Indonesia memiliki peranan penting dalam perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pengunjung diharapkan mampu menemukan korelasi kebudayaan maritim dengan beragamnya seni tradisi di Indonesia yang berkembang saat ini.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 29
30 - balkon spesial mahasiswa baru
Gerak Komunitas Pascareformasi - 31
Opini
Ilustrasi: Balairung/Muhammad Nabil
Menciptakan Generasi
Mandiri 32 - balkon spesial mahasiswa baru
Oleh: Prio Arif Budiman (Kepala Departemen Media Informasi BEM KM FMIPA UGM)
S
ekarang ini banyak sekali doktrin dari mahasiswa kepada calon mahasiswa, khususnya anak SMA, mengenai kuliah dan organisasi. Para mahasiswa ini menyerukan bahwa kuliah merupakan tuntutan utama sebagai sarana membangun hard skill. Sementara itu, organisasi adalah pengimbangnya sebagai soft skill. Kedua elemen di atas wajib dipelajari. Hard skill diharapkan mampu mengantarkan seseorang sukses di bidangnya. Di sisi lain, soft skill membantu seseorang meningkatkan kemampuan dalam bidang-bidang lain di luar akademis, semisal kemampuan berbicara di depan publik (public speaking) hingga memperluas pergaulan dan relasi. Pada akhirnya kedua elemen ini menyatu mengantarkan manusia sebagai pelaku kehidupan meraih kesuksesan. Sebagian mahasiswa yakin sepenuhnya akan hal itu. Tentu hal ini tidak ada salahnya, karena suatu pendapat bisa dijustifikasi di sisi kebenaran dan kesalahannya. Akan tetapi dalam tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk melihat permasalahan yang lebih esensial, dengan memerhatikan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini. Saat ini Indonesia adalah negara dengan jumlah calon pekerja jauh melampaui lapangan kerja yang tersedia. Setiap tahun, jumlah angkatan kerja selalu meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 6,32% atau 7,61 juta orang. Sementara jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 120,4 juta orang, bertambah sekitar 3 juta orang dibanding angkatan kerja pada Agustus 2011, sebesar 117,4 juta orang.
Opini Tujuan kita kuliah di perguruan tinggi tak lain dan tak bukan adalah untuk menuntut ilmu. Pada akhirnya segala hal yang kita pelajari maupun pengalaman yang kita dapatkan bisa memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar. Semua itu tak lain dari pertanggungjawaban kita, sebagai golongan yang sering dieluelukan sebagai “agent of change”. Dan, sebagaimana orang bijak sering berkata, maju ataukah mundurnya suatu bangsa tergantung dari pemudanya. Nah, mencapai tujuan itu? Bagaimana segolongan pemuda mampu membuat perubahan positif bagi bangsa? Pertanyaan inilah yang sering kali muncul di benak kita. Sebenarnya jawabannya sederhana, tetapi juga sulit dilaksanakan. Bagi saya, caranya tak lain adalah meningkatkan kreativitas dan jiwa berwirausaha. Melihat kondisi pengangguran yang semakin tumbuh subur, sementara lapangan kerja yang semakin sempit, saat ini masyarakat Indonesia sangat membutuhkan para pemuda yang kreatif dan memiliki jiwa wirausaha yang tinggi. Tentu kita boleh belajar dari negara lain. Cina, contohnya. Negara dengan jumlah penduduk yang sangat padat ini mampu mencapai kemandirian ekonomi. Caranya cukup sederhana, yaitu menduplikat dan mengubah sedikit produk luar negeri, kemudian melemparnya ke pasaran dengan klaim ‘produk mandiri’. Mungkin banyak stigma dan halangan, tapi kita dapat mengadopsi cara tersebut demi kemajuan bangsa ini.
Kita akan lebih terkejut jika melihat data dari Kementerian UKM dan Koperasi yang merilis setidaknya ada 493.000 sarjana lulusan perguruan tinggi yang hanya jadi pengangguran. Lantas, apakah lulusan perguruan tinggi ini salah? Apakah mereka tidak menguasai hard skill dan soft skill?
Bagi para pemula, cara efektif berwirausaha adalah mempelajari produk mana yang sesuai dengan selera pasar, kemudian kita mencoba membuat dengan versi kita dengan modifikasi sesuai pemikiran kita hingga pada akhirnya kita mampu menciptakan produk baru dengan inovasi yang dikembangkan. Tentu ilmu dan pengetahuan sebagai mahasiswa sangat bermanfaat untuk membuat kita mampu mengkolaborasikan kegiatan usaha dengan disiplin ilmu yang dipelajari di kelas.
Selama ini, Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta telah terlalu banyak menanamkan doktrin. Seolah-olah, dengan menguasai soft skill dan hard skill, maka kesuksesan sudah di depan mata. Padahal, sebagai seorang pelajar yang terpenting adalah bagaimana ia membuat inovasi-inovasi terbaru dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam tataran praksis misalnya, seorang mahasiswa statistika yang sedang berwirausaha hendaknya menerapkan teori yang dipelajari. Misalnya menghitung pangsa pasar dan lain-lain. Tujuannya sekaligus untuk menguji keefektifan dan validitas teori tersebut, masih layak digunakan ataukah perlu revisi. Manfaat penerapan hard skill dalam berwirausaha
selain itu adalah sebagai pengalaman kerja dari teori yang diperoleh. Ditambah pula dengan soft skill sebagai cara memperluas relasi dan kemampuan komunikasi guna membangun jaringan, tentu usaha kita makin lancar. Memang semua usaha belum tentu berhasil, tetapi kita sebagai manusia wajib untuk berusaha. Saya hanya ingin menekankan bagi mahasiswa sekarang agar memiliki jiwa wirausaha, mengembangkan kreatifitas serta soft skill dan hard skill sebagai modal. Ketiganya tentu tak boleh dipisahkan. Seseorang yang menguasai hard skill saja belum tentu kemampuannya memberikan manfaat kepada sekitarnya. Begitu pula seseorang yang hanya menguasai soft skill. Banyak mahasiswa yang berkoar-koar, demonstrasi dan lain sebagainya tetapi nyatanya akademiknya jeblok. Begitu pula seseorang yang memiliki keduanya tapi tak punya kepekaan berwirausaha, sebagian besar hanya berakhir sebagai pekerja. Meski begitu, semuanya kembali lagi kepada “Sang Aktor“ pelaku kehidupan. Perubahan memang sulit. Tapi, persoalannya tinggal mau atau tak mau melakukan perubahan.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 33
Opini
Y
ogyakarta. Mungkin nama kota ini sudah tidak lagi asing bagi telinga rakyat Indonesia. Sebutan akrabnya: “Jogja�. Berbagai julukan disematkan bagi kota ini, mulai dari kota budaya, kota wisata hingga kota pendidikan atau kota pelajar. Apabila musim liburan datang, sejauh mata memandang banyak terlihat para pelancong atau wisatawan yang hilir mudik. Mereka berasal dari dalam negeri maupun luar. Jogja pun seakan sudah menjadi tujuan rutin karyawisata bagi sekolah-sekolah. Bagi para lulusan sekolah menengah atas dari seantero negeri, Jogja pun menjadi magnet tersendiri. Dari ujungujung negeri ini berdatanganlah para penimba ilmu, termasuk saya sendiri. Meskipun sama-sama kota pariwisata, tetapi kota saya yang terkenal akan dodol dan dombanya tersebut masih karut-marut, bahkan termasuk salah satu kabupaten yang terbelakang. Belum lagi kasus pernikahan kilat berumur empat hari yang menjerat mantan bupatinya. Sebagai kota budaya dan wisata, Jogja menyuguhkan beragam kekayaan budaya baik itu peninggalan bersejarah, kesenian tradisional maupun kuliner. Ada tiga peninggalan sejarah yang menjadi ikon Yogyakarta. Pertama, Benteng Vredeburg yang letaknya sangat strategis, berada di titik nol kilometer. Benteng ini dibangun pada 1765 dan merupakan saksi bisu sejarah penjajahan Belanda. Benteng yang dahulu bernama Rustenburg ini awalnya difungsikan sebagai benteng pertahanan penangkal serangan dari pihak keratin. Barulah pada 1788 benteng ini berganti nama menjadi Vredeburg. Akan tetapi nama resmi benteng yang disahkan pada 23 November 1992 ini adalah Museum Benteng Yogyakarta,. Kedua, Istana presiden atau lebih sering disebut dengan Gedung Agung. Ikon yang satu ini pun seakan tidak ingin kalah pamor dengan benteng Vredeburg, Istana ini berdiri dengan gagah di jantung ibu kota yang padat. Istana ini didirikan pada Mei 1824 atas prakarsa Anthony Hendriks Smissaerat dengan maksud sebagai istana residen Belanda di Yogyakarta. Dengan adanya istana ini tentulah melengkapi keelegan-an dan wibawa Jogja itu sendiri. Serta tidak boleh dilupakan bahwa istana ini merupakan saksi sejarah. Sebab, istana ini pernah menjadi kantor Kepresidenan pada masa Bung Karno karena waktu itu ibukota negara beralih ke Yogyakarta.
34 - balkon spesial mahasiswa baru
Yogyakarta:
Kota
(Perspektif Mahasiswa Rantau)
Istana ini juga menjadi tempat pelantikan Jendral Soedirman. Terakhir, apalagi kalau bukan Keraton. Tempat kediaman sultan ini merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Arsitekturnya memiliki keunikan tersendiri dan tentunya mengandung makna filosofis. Perangkat keraton seperti pemangku adat dan prajurit kesultanan tetap masih ada. Kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Didalam Keraton tersebut terdapat beberapa koleksi benda bersejarah seperti replika pusaka keraton dan hadiah pemberian rajaraja Eropa. Tidak sebatas pada keagungan Benteng Vredeburg, elegannya Gedung Agung serta megahnya Keraton. Jogja pun turut diwarnai oleh warisan budaya yang tak ternilai. Berbagai ritual warisan leluhur yang menjadi ciri khas Jogja tetap terlestarikan sampai sekarang. Hal ini tentu menjadi daya tarik dan daya jual terhadap para pelancong. Salah satu ritual warisan leluhur itu di antaranya adalah upacara tumplak wajik, garebeg sekaten, siraman, dan labuhan. Meskipun begitu tidak serta-merta Jogja menjadi kota yang menutup diri dari perkembangan zaman modern. Terbukti bahwa para seniman mampu mengkreasikan seninya yang beriringan dengan perkembangan zaman seperti. Jogja disamping mempertahankan warisan budaya juga adaptif terhadap perkembangan zaman yang ada. Terlabeli sebagai kota pendidikan atau kota pelajar memang dirasa benar adanya. Bapak Pendidikan Nasional Indonesia sendiri merupakan putra Jogja keturunan
Opini
Serba Ada
Oleh: Luthfi Dwi Hartono (Departemen Kajian Strategis dan Kebijakan Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM)
Ilustrasi: Balairung/Christine Berliana
darah biru keraton yang semua orang sudah barang tentu tahu, dialah Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau lebih familiar disebut dengan Ki Hajar Dewantara. Filosofi pendidikannya begitu menyentuh esensi pendidikan. Filosofinya,“ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya, “di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”. Berbekal filosofi itu lahir sederet universitas ternama yang banyak melahirkan intelektual dan pemimpin bangsa di negara kita ini. Sudah bukan lagi fakta yang mengejutkan apabila masyarakat Indonesia malas membaca, di mana budaya membaca masih sangat jarang dan merambah semua kalangan baik anak muda maupun dewasa. Kalau di tempat lain, kalangan anak muda yang rajin membaca acap kali dilabeli “kurang gaul” atau “kutu buku”. Tapi hal itu tampak tak berlaku di Jogja. Baru pertama kali seumur hidup saya melihat bapak tukang becak di pagi hari telah “melahap” surat kabar, sambil ditemani secangkir kopi hangatnya. Kejadian itu sudah berkali-kali mampir di depan mata saya, di berbagai tempat. Hal itu, di tempat lain, bisa jadi suatu pemandangan yang aneh bahkan tak lazim, mengingat predikat Indonesia sebagai negara yang masih menduduki peringkat buncit dalam hal minat membaca. Hal yang tak kalah penting, Jogja sangat bersahabat dengan dompet mahasiswa. Biaya hidup di sini terjangkau, bahkan bisa dikatakan murah apabila dibandingkan dengan kota besar lain semacam Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Untuk makan, kita tidak perlu
merogoh dompet terlalu dalam. Makanan yang didapat pun tidak mengorbankan kebutuhan gizi yang harus dipenuhi. Harga kost atau kontarakan ditawarkan dengan harga terbilang miring, sekali lagi tentunya, apabila dibandingkan dengan kota besar lain. Kebutuhan lainnya seperti laundry pun ramah bagi kantong mahasiswa. Kalau butuh sandang murah, sudah barang tentu Malioboro tempatnya. Malioboro merupakan jalan yang berada di jantung kota Jogja ini bagaikan jalur sutra karena sepanjang tersebut terdapat pusat pemerintahan, bangunan bersejarah serta stasiun kereta api dan yang terpenting merupakan pusat perbelanjaan dari mulai toko sampai lapak kaki lima berjejer. Tidak pelak Malioboro menjadi tempat adu kelihaian negosiasi atau tawar menawar harga entah itu pakaian, aksesoris, atau merchandise. Semuanya tumpah ruah, bahkan tidak sedikit sampai adu urat halus dan mengeraskan kepala masing-masing agar harga yang diinginkan tercapai baik oleh pembeli maupun penjual. Hukum rimba dunia dagang berlaku di sini, siapa yang lihai menawar dan siapa yang bisa memikat pelanggan, dialah yang mendapatkan keuntungan. Untuk masalah berwisata, meski hanya atau sekadar melepas penatnya hiruk-pikuk perkuliahan atau sengaja memanfaatkan waktu senggang atau libur, wisata murah meriah semua tersedia. Yang sangat berminat terhadap warisan budaya dan kesejarahan bisa mengunjungi Benteng maupun Keraton, yang hobi membaca dan sudi merogoh dompet untuk membeli buku tersedia di Taman Pintar, atau yang memang hanya ingin memuaskan nafsu indrawi tanpa disertai kemampuan finansial yang cukup bisa hanya berjalan-jalan melihat-lihat, apabila perut sudah mulai berontak membutuhkan asupan makanan yang menyehatkan badan dan dompet bisa mengunjungi angkringan sesuka hati. Ya, begitulah kiranya gambaran Jogja dalam benak saya, kota yang penuh warisan bersejarah, kota budaya dan wisata, kota pelajar atau kota pendidikan, kota yang masih menjunjung warisan budaya, dan kota yang unik. Patut diakui sebagian kisah perjalanan hidup telah saya lewati di kota ini dan saya merasa beruntung bisa melewatkannya bersama kota ini.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 35
Eureka
Hambatan Program Pengentasan Kemiskinan Penulis: Balairung/Rifki Afwakhoir
Kata “kemiskinan� sulit lepas dari muka Indonesia. Pemerintah dan rakyat belum bisa berkolaborasi untuk membersihkannya.
P
ermukiman kumuh merupakan masalah umum yang dijumpai di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak diimbangi pertumbuhan ekonomi membuat timbulnya permukiman kumuh. Untuk menanggapi permasalahan ini, pemerintah Kota Cimahi membuat program bernama Bedah Rumah yang dicetuskan tahun 2006. Tujuan program ini adalah penyediaan rumah layak huni bagi masyarakat tidak mampu. Dalam tesis ini Budi Efriyanto meneliti faktor penghambat program Bedah Rumah Kelurahan Cipageran, Kota Cimahi. Ia memilih salah satu RW dari kelurahan tersebut. Alasannya adalah kemudahan akses dan dekat dengan tempat tinggal keluarganya. Penelitian ini bersifat deskriptifeksploratif. Maksudnya adalah penelitian ini mencoba mendeskripsikan hasil eksplorasi dengan pencarian hambatan. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Respondennya terdiri atas 2 golongan, yaitu pemerintah dan komunitas. Komunitas yang dimaksudkan adalah kumpulan orang yang memiliki posisi yang berbeda dalam struktur sosial di masyarakat. Anggota dari komunitas tersebut adalah ketua RW, ketua RT,
36 - balkon spesial mahasiswa baru
masyarakat penerima program bantuan, anggota pengajian, dan pekerja renovasi rumah. Golongan pemerintah adalah para pemangku kebijakan yang terlibat secara langsung dalam program ini. Analisis data menggunakan ATLAS.ti yang merupakan sebuah software pengolah data kualitatif. Budi membagi hambatannya dalam tiga objek. Objek tersebut terdiri atas hambatan komunitas, hambatan pemerintah, dan hambatan antara kedua pihak. Hambatan pada pihak pemerintah terdiri atas hambatan waktu, susunan organisasi, dan finansial. Hambatan pertama pada pihak pemerintah adalah hambatan waktu. Hal ini disebabkan kurangnya pegawai yang mengerjakan program ini. Hanya satu dari lima orang pegawai yang aktif ditugaskan. Seorang pegawai tersebut melakukan pengawasan 150 proyek yang sama di tempat yang berbeda. Jumlah 150 proyek tersebut tersebar dalam 150 RW di 15 kelurahan yang berbeda. Hal tersebut menjadi kesulitan bagi pegawai yang bersangkutan untuk mengalokasikan waktunya Hambatan kedua adalah hambatan susunan organisasi. Pemerintah kota
tidak mempersiapkan susunan organisasi dengan baik. Penunjukan pegawai yang bertugas pada program ini hanya berdasarkan penilaian pribadi oleh kepala dinas terkait. Dalam penunjukan, tidak ada kriteria keahlian yang harus dipenuhi, bahkan tidak ada pelatihan khusus untuk program ini. Selain itu, pada tingkat kelurahan sangat rentan dengan kemungkinan pemegang jabatan ganda. Hal tersebut membuat adanya kesempatan mengambil keuntungan finansial. Hambatan terakhir yang dialami pihak pemerintah adalah hambatan finansial. Terdapat banyak rumah yang membutuhkan perbaikan di 15 kelurahan Kota Cimahi. Namun, pemerintah hanya mampu mendanai 150 unit rumah setiap tahun. Pemerintah kota juga tidak menjamin keberlangsungan alokasi dana untuk setiap tahunnya. Situasi ini mengakibatkan terjadinya model giliran di RW-RW dalam kelurahan. Jika sebuah RW mendapat bantuan di tahun ini, kecil kemungkinan RW lain mendapat bantuan di tahun yang sama. Pada pihak komunitas hambatan terdiri dari beberapa hal. Hambatan
Eureka
Ilustrasi: Balairung/Muhammad Nabil
yang pertama adalah keberadaan elite capture. Maksud dari elite capture adalah kelompok elite dari golongan komunitas yang mengendalikan pelaksanaan program Bedah Rumah. Contohnya, kasus pada 2012 ditemukan indikasi penyelewengan dana bantuan. Seorang Ketua RW melakukan renovasi rumah saudaranya yang juga merupakan Ketua RT. Jabatan ketua RT merupakan pegawai negeri sipil di kantor kelurahan. Ia tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang berhak menerima bantuan program. Hambatan kedua yang dialami golongan komunitas adalah adanya kesenjangan sosial. Dalam kasus ini, pengambilan keputusan terkait program Bedah Rumah tidak melibatkan masyarakat secara luas. Kelompok elite memiliki andil yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Kelompok elite ini dapat memaksakan kehendaknya di dalam masyarakat. Hambatan terakhir pada golongan komunitas adalah hambatan pengalaman. Terdapat pengalaman kurang baik pada pelaksanaan program-program sebelumnya, misalnya dalam pengaturan
dana. Pengaturan dana yang kurang baik mengakibatkan tingkat partisipasi masyarakat rendah. Ada banyak program yang melibatkan masyarakat secara berkala. Salah satunya adalah program pembuatan trotoar dan pemeliharaan drainase pada RW 1, Kelurahan Cipageran. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dibayar atau hanya dibayar setengah dari gaji yang ditetapkan. Mereka rela tidak dibayar karena pelaksanaannya bersifat gotong royong. Masyarakat juga menganggap program ini merupakan salah satu tanggung jawab mereka. Namun, ada perubahan sikap ketika mereka mendengar kabar dari RW lain. Menurut kabar dari RW lain, program tersebut didanai dan digaji pemerintah. Sejak mendengar kabar tersebut, masyarakat merasa kecewa. Mereka menjadi tidak peduli dan tidak mau terlibat pelaksanaan program ke depannya. Hambatan terakhir adalah hambatan komunikasi di antara kedua pihak. Banyak masyarakat yang justru mengetahui program Bedah Rumah lewat media maupun teman mereka. Ketua RW
merupakan perantara masyarakat dengan pemerintah. Para penerima bantuan cenderung percaya dengan Ketua RW. Mereka yakin program pembangunan rumah akan selesai. Dalam hal ini RW yang merupakan salah satu elite capture, justru menyalahgunakan wewenang yang diberikan. Misalnya, ada Ketua RW yang memberikan bantuan pada saudaranya yang tidak termasuk kriteria penerima bantuan. Dari beberapa hambatan, Budi menarik kesimpulan bahwa hambatan utama yang dialami pemerintah adalah susunan organisasi. Jika seseorang memiliki lebih dari satu jabatan, ada kemungkinan orang tersebut menarik dana untuk keuntungan pribadi. Sedangkan pada golongan komunitas, Budi menyatakan bahwa hambatan utama adalah elite capture. Kemunculan kelompok elite menyebabkan pengendalian distribusi dan pengaturan pendanaan program bersifat terpusat untuk kalangan tertentu saja. Penelitian ini menggambarkan bahwa penciptaan lingkungan yang demokratis tidak menciptakan suasana yang demokratis. Persepsi akan rumah yang tidak layak huni tentu berbeda-beda. Dalam tesis ini tidak ada penjelasan kriteria rumah yang layak menerima bantuan. Ketika dibaca tentunya akan menimbulkan persepektif yang berbeda, tergantung golongan ekonomi pembaca. Kaum elite yang merupakan komunitas tidak disebutkan secara jelas. Dalam tesis ini kaum elite yang bisa kita tangkap adalah ketua RW saja. Padahal, masih ada kemungkinan anggota komunitas masuk dalam kelompok elite. Program-program pengentasan kemiskinan telah banyak diselenggarakan pemerintah. Namun, jarang sekali dari program-program tersebut dapat dikatakan berhasil. Keberhasilan tersebut terhalang oleh adanya faktor penghambat. Kita dapat melihat faktor penghambat berasal dari pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan program yang terkesan asal, seakan menghamburkan uang rakyat. Wajar saja kemiskinan belum hilang di Indonesia walaupun pemerintah telah melaksanakan berbagai program pengentasan kemiskinan. Keberadaan dominasi kaum elite menggambarkan bahwa demokrasi seakan tidak ada lagi. Hal tersebut merupakan cermin kondisi negara kita saat ini.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 37
Seputar Kampus
Jalan Terjal Menuju
Pengakuan Intern
Foto: Balairung/Anugraheni Tri Hapsari
Penulis: Erni Maria Hartmantyo Pradigto Nuzula Ichwanun Nabila
Dalam prosesnya menjadi universitas bertaraf internasional, UGM masih menemui beberapa halangan. Di samping fasilitas belum memadai, penggalian kekayaan Indonesia dan manfaat penelitian pun masih dipertanyakan.
K
emajuan di berbagai sektor terpantau oleh beberapa pihak mulai mengalami pergeseran ke kawasan Asia. Sebagai bagian dari Asia, Indonesia berpeluang untuk berperan besar dalam tataran internasional, seperti di bidang ekonomi dan politik. Pendapat tersebut disampaikan oleh Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno M.Sc., saat ditemui di kantornya Senin (22/7) lalu. Pratikno melanjutkan, Indonesia perlu membekali diri dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Ketiga aspek itu menjadi senjata utama bangsa ini dalam menghadapi kebangkitan Asia. Universitas dianggap menjadi salah satu pihak yang berperan penting dalam aktivitas pembekalan tersebut. Berangkat dari pandangan tersebut, Pratikno mengungkapkan bahwa UGM berupaya hadir sebagai universitas yang mampu diperhitungkan dalam masyarakat global. UGM pun merancang visi “menjadi perguruan tinggi nasional berkelas dunia yang inovatif, unggul dan mengabdi kepada bangsa dan kemanusiaan dijiwai
38 - balkon spesial mahasiswa baru
nilai-nilai budaya bangsa berdasarkan Pancasila.� Menyandang status sebagai universitas dengan pengakuan internasional merupakan salah satu gagasan yang dijanjikan dalam konsep tersebut. Berkaca dari visi UGM, diakui Pratikno, ada konsekuensi yang harus dilaksanakan. UGM dituntut untuk eksis dalam lingkungan masyarakat global dengan menempati peringkat tertinggi yang dibuat oleh lembaga pemeringkat universitas internasional, misalnya Webometrics. Hasil peringkat terbaru yang diumumkan pada 7 Febuari 2013 menunjukkan bahwa UGM menempati peringkat 70 di kawasan Asia. Sementara itu, menurut 4 International Colleges and Universities (4ICU), UGM yang sebelumnya berada pada peringkat 53 naik menjadi 26 di kawasan Asia. Meski demikian, Pratikno menuturkan bahwa UGM berupaya untuk tetap berakar pada nilai budaya bangsa. Dua konsep berbeda yang diusung UGM dianalogikan dengan pohon yang mengakar kuat ke
dalam dan menjulang tinggi ke atas. Konsep world class merupakan batang pohon yang menjulang tinggi keluar. Sementara itu, gagasan keindonesiaan diibaratkan sebagai akar yang kuat masuk ke dalam. UGM berusaha memproduksi ilmu pengetahuan dengan konten keindonesiaan yang kemudian dipublikasikan kepada masyarakat global. Pratikno menambahkan, sesuai dengan visi yang telah diusung, UGM berusaha untuk menggenjot penelitian dan publikasi pada level internasional di setiap fakultas. Di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, secara kuantitas diakui oleh Akhmad Syoufian, Ph.D., dosen Jurusan Kimia, penelitian sudah mengalami peningkatan. Akan tetapi, masih terdapat beberapa kendala yang mengiringi peningkatan kuantitas penelitian tersebut. Fasilitas yang belum memenuhi standar, misalnya, menjadi salah satu penghalang untuk meningkatkan kuantitas penelitian. Di tempat terpisah, Ketua Jurusan Kimia, Prof. Dr. Triyono, SU, juga menyatakan hal
Seputar Kampus
nasional
Electronic nose, salah satu alat yang dibuat oleh mahasiswa dan dosen jurusan fisika untuk membantu proses pembelajaran dan penelitian.
pandai berenang, kita harus menceburkan diri ke air. Jika hanya belajar teori dalam kelas, kapan bisanya?” seloroh Pujo. Senada dengan Kuwat dan Mukhtasyar, Pujo pun meragukan target penelitian taraf internasional akan tercapai. “Ini hanya akan mungkin terwujud jika semakin banyak mahasiswa yang terlibat dalam penelitian,” tegasnya. ketidaktertarikan dosen terhadap penelitian merupakan salah satu alasan tidak digemarinya penelitian di UGM. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya produktivitas dosen dalam membuat jurnal. Pujo menambahkan bahwa Ketidaktertarikan tersebut dapat diatasi dengan regulasi yang memaksa dosen untuk meningkatkan dan menumbuhkan semangat penelitian di UGM. Menanggapi pernyataan Pujo, Noverisita, mahasiswa Ilmu Sejarah ‘07, mengungkapkan kesulitannya dalam mendapatkan informasi tentang penelitian. Ia merasa, meskipun cukup banyak penelitian yang ditujukan ke mahasiswa, sulit baginya mendapatkan informasi. “Hanya mahasiswa yang dekat dengan dosen yang mendapatkan informasi. Pengumuman masih kurang,” keluhnya. Tidak seperti Noverisita, Parlina Arnita Ratna Budi, mahasiswa Sastra Perancis ‘10, menganggap hanya sedikit penelitian yang dilakukan mahasiswa. Meski begitu, ia setuju bahwa hanya mahasiswa yang memiliki kedekatan dengan dosenlah yang
Foto: Balairung/Tio Derma
yang senada. Peningkatan aktivitas penelitian tidak diiringi dengan fasilitas yang mendukung. Sebagai contoh adalah NMR (Nuclear Magnetic Resonance) yang dimiliki oleh Jurusan Kimia. Alat tersebut hanya memiliki kapasitas 60 Mhz. Menurut Sekretaris Jurusan Kimia, Nurul Hidayat Aprilita, S.Si., M.Si., untuk publikasi internasional, kapasistas NMR yang dibutuhkan haruslah sebesar 400 Mhz. “Tentunya kalau publikasi internasional pakai alat itu akan dipertanyakan validitasnya,” tandasnya. Fasilitas yang kurang memadai juga dapat ditemukan di Laboratorium Fisika Material. Hal tersebut berkaitan dengan kurangnya perhatian terhadap regenerasi berbagai alat laboratorium. Pertengahan 1980 adalah terakhir kalinya pengadaan alat baru di laboratorium itu. Hal ini disampaikan oleh Dr. Eng. Kuwat Triyana, M.Si., dosen Jurusan Fisika. Menurutnya, untuk memenuhi kebutuhan akan alat-alat, mereka harus membuat sendiri alat tersebut. “Pengadaan alat-alat didanai penelitian yang dilakukan dosen,” imbuhnya. Hal yang berbeda terjadi pada klaster sosial humaniora, misalnya Fakultas Filsafat. Selama ini kritik terhadap model penelitian UGM dilontarkan oleh Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin, Dekan Fakultas Filsafat. “Kita tidak begitu kompetitif dalam melakukan penelitian,” ungkapnya. Menurutnya, penelitian yang dilakukan bersifat terlalu monodisipliner . “Penelitian tidak melibatkan fakultas atau cabang ilmu lain,” keluhnya. Mukhtasyar juga menambahkan bahwa hasil penelitian akan lebih baik jika memandang masalah dari berbagai macam perspektif ilmu. Sementara itu, Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, mengungkapkan bahwa secara umum penelitian di UGM masih lesu. “Skill penelitian mahasiswa masih rendah karena tak begitu dilibatkan dalam penelitian,” ujarnya. Penelitian dianggapnya dapat membantu mahasiswa menemukan metode pemecahan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. “Jika ingin
memiliki akses melakukan penelitian. “Sudah peluang penelitian hanya sedikit, tidak dipublikasikan ke mahasiswa pula. Penelitian ditawarkan oleh dosen kepada mahasiswa secara personal, tidak di ruang publik,” ungkapnya. Konsep universitas bertaraf dunia dengan nilai keindonesiaan menjanjikan idealisme akademik dalam lingkungan masyarakat global. UGM berupaya mempertahankan eksistensinya dengan melakukan kegiatan penelitian. Penelitian yang telah dilakukan masih memiliki kelemahan dalam beberapa aspek. Selain itu, penelitian yang bersifat monodisipliner hanya menyajikan produk keilmuan dalam perspektif tertentu saja. Fasilitas yang belum memenuhi standar pun menghambat mahasiswa dan dosen untuk melakukan penelitian. Obsesi UGM yang memegang teguh nilai-nilai keindonesiaan masih menuntut pembuktian empirik. Kekayaan Indonesia masih perlu lebih banyak digali dan dikaji untuk disajikan dalam masyarakat global. Di samping itu, UGM juga perlu memerhatikan manfaat dari produk pengetahuan untuk masyarakat. Upaya penyampaian produk penelitian kepada publik dan manfaat konkret masih belum menemukan titik terang. Lalu pertanyaannya, apakah proses tersebut merupakan upaya menghasilkan produk keilmuan berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat atau hanya obsesi untuk meraih peringkat semata?
Gerak Komunitas Pascareformasi - 39
Kilas
S
Koin untuk Anak Bangsa
Foto: Dokumentasi Panitia
ebagian orang sering menyimpan uang koin dan melupakannya. Bentuk serta beratnya membuat kita malas membawa uang koin, bahkan tak jarang membuangnya. Hal ini dimanfaatkan Coin A Chance, sebuah komunitas sosial yang didirikan di Jakarta sejak 2008. Komunitas ini justru bergerak mengumpulkan koinkoin yang sering dianggap tak berharga itu. Gerakan ini berangkat dari kesadaran jika koin yang bernilai kecil dikumpulkan, akan menghasilkan uang yang bermanfaat. Pengumpulan koin juga dilakukan dengan menaruh setoples yang disebar di beberapa tempat strategis, antara lain Movie Box, Dixie Easy Dining, dan kantor Swaragama FM. Harapannya, masyarakat akan lebih nyaman dan mudah menyumbangkan uang koinnya. Hasil pengumpulan koin selanjutnya disalurkan dalam bentuk beasiswa bagi adik asuh yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Beasiswa diberikan setiap semesternya sebanyak Rp 250.000 untuk adik asuh SD, Rp 500.000 untuk adik asuh SMP, dan Rp 1.000.000 untuk adik asuh SMA. Minat masyarakat untuk mendonasikan koinnya melalui CAC cukup tinggi. Hal ini terlihat saat Coin Collecting Day ke-39 yang
diselenggarakan di Bunderan UGM pada Minggu (16/6) sore. Hari itu, CAC berhasil mengumpulkan uang sebesar Rp 1.520.100. Semakin banyak masyarakat dari berbagai daerah yang ingin berpartisipasi sebagai anggota CAC dan Coin Droppers. CAC yang tadinya terbentuk sebagai
Foto: Balairung/Nurrokhman
UKT Diterapkan, Solusi Ditawarkan
T
ahun 2013 menjadi tahun pertama diberlakukannya sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru yang ingin melanjutkan kuliah di PTN. Sejak awal penerapan kebijakan ini menuai banyak penolakan. Pasalnya, sistem UKT membebani mahasiswa baru dengan biaya tinggi setiap semester. Rasa keberatan itu juga dialami oleh Agustin Wulandari, mahasiswi dari program studi Ilmu Keperawatan 2013 yang diterima lewat jalur SNMPTN. Agustin dikenai UKT kelompok V, sebesar Rp 9.000.000. Ia mengeluhkan penentuan UKT yang hanya disandarkan pada penghasilan orang tua. “Menurutku enggak sesuai, soalnya kalau dapat sebesar itu cuma dilihat dari gaji pokok, enggak dilihat dari potongan-potongan dan
40 - balkon spesial mahasiswa baru
tanggungannya,” keluh Agustin. Pihak universitas ternyata menyadari berbagai keluhan terkait UKT. Menurut Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., hal tersebut dikarenakan kebijakan ini baru diterapkan pertama kali. “UKT itu repotnya memangkas ke yang kaya, ini suatu masalah yang kita hadapi.” Jelasnya. Meski demikian, kebijakan UKT yang dirasa memberatkan mahasiswa ini tidak bisa ditentang oleh UGM. Sebab, UGM terikat aturan hukum. “Ada peraturan menteri tentang itu, ya kita taati saja, yang penting kan bagaimana kita menjamin aksesibilitas,” ujarnya. Solusi yang diberikan UGM untuk menjamin akses terhadap keringanan biaya pendidikan adalah dengan beasiswa.
sebuah gerakan pun memiliki mimpi untuk berkembang menjadi organisasi yang lebih besar. “Mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan menjadi yayasan,” harap Ardhi, koordinator kegiatan CAC Jogja. [Oktiviani Primardianti]
Beberapa beasiswa seperti beasiswa Bidikmisi, beasiswa dari berbagai macam perusahaan, dan beasiswa dari alumni telah disiapkan. Elemen mahasiswa pun aktif mengawal kebijakan ini. Salah satunya dengan membentuk Posko Advokasi UGM. Posko Advokasi UGM merupakan salah satu upaya BEM KM UGM dalam membantu mahasiswa baru yang mengalami permasalahan biaya perkuliahan. “Tujuannya untuk menampung pengaduan dari maba 2013. Kalau mereka ada pertanyaan, kesulitan membayar, atau punya keraguan-keraguan,” ujar Cipuk Wulan Adhasari, Menteri Advokasi BEM KM UGM. Posko Advokasi, menurut Cipuk, bersedia membantu mahasiswa baru yang ingin mendapatkan kelompok UKT yang lebih rendah. “Kalau mereka benar-benar enggak mampu tetapi mendapatkan UKT yang tidak sesuai. Kita lihat bagaimana kondisi keluarganya,” ungkapnya. Posko Advokasi BEM KM UGM pun menyediakan berbagai sarana untuk membantu mahasiswa baru dalam menyelesaikan masalahnya, salah satunya melalui akun Facebook POSKO ADVOKASI UGM dan Twitter @ADVOKASI UGM. Akun-akun dunia maya tersebut dibuat agar mahasiswa baru yang berada di luar kota Yogyakarta atau di luar pulau Jawa tetap dapat menghubungi posko advokasi untuk mendapat bantuan. Mahasiswa baru yang berada di Yogyakarta pun bisa langsung datang ke Posko Advokasi UGM di sekretariat BEM KM UGM. [Desinta Wahyu Kusumawardani]
Kilas
Foto: Balairung/Yesika Sinaga
Gajah Mada Mengajar: Kontribusi Cerdaskan Bangsa
M
ushola Ash sholikhin, Dusun Gondang Pusung, Cangkringan, jadi tempat kegiatan Gadjah Mada Mengajar(GMM) pada Minggu (09/06) lalu. GMM merupakan gerakan non profit yang berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. “Salah satunya berupa program pengajaran kepada anak-anak,” ungkap Maharani Jibbreillia yang biasa disapa Rani, salah satu pengajar di GMM.
Minggu pagi itu, GMM sedang melaksanakan Sunday Morning School. Selain itu, GMM juga memiliki kegiatan pengajaran lain di Papringan. Kalau “Sunday Morning school” berfokus pada peningkatan pendidikan agama, sedangkan di Papringan berupa kegitan pengajaran umum. “Lokasi kegiatan GMM terbagi menjadi dua, pertama TPA di Cangkringan, yang kedua di Papringan,” ujar Rani. Mereka melakukan
pengajaran Bahasa Inggris dan Matematika. “Tapi kalau ada yang nanya perlajaran lain seperti IPA atau IPS juga dilayani,” tambahnya. Para pegiat GMM menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan kegiatannya. Misalnya, anak-anak yang terkadang bersikap bandel ketika belajar. Para pengajar dari GMM dituntut untuk menggunakan metode pembelajaran yang kreatif agar mereka merasa nyaman dan senang dalam proses belajar, “Metode untuk mendidik anak-anak ini tak bisa selalu sama, maka dari itu kami harus selalu kreatif,” ujar Rani. Para anggota GMM bersatu dalam gerakan Gadjah Mada Mengajar karena memilki satu tujuan yang sama, yaitu berusaha berkontribusi dalam usaha mencerdaskan bangsa. Mereka melihat arti penting sebuah pendidikan bagi generasi muda. Namun, sayangnya, tak banyak generasi muda yang memiliki kesempatan mendapat pendidikan yang layak. Usaha mencerdaskan bangsa pun tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan setiap elemen masyarakat. Maka perlu dilakukan upaya kolektif untuk mengatasi masalah ini. “Pendidikan Indonesia masih tertinggal, kalau kita nunggu pemerintah kapan mau jalan,” celetuk Muchlis Aditya, salah satu pengajar GMM. [M. Ontokusumo]
Malioboro dalam Rencana Revitalisasi Kota
M
Foto: Balairung/Nawang Wulan
alioboro sebagai tempat wisata dan ikon. Untuk meningkatkan kenyamanan wisatawan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) berencana melakukan revitalisasi kawasan Malioboro. Pemerintah daerah DIY mengaku telah menerima rekomendasi dari Bappenas terkait rencana tersebut. Kepala Unit Pelaksana Teknis Malioboro, Syarif Teguh Prabowo, mengatakan bahwa revitalisasi kawasan Malioboro akan dilakukan secara bertahap. Rencana jangka panjangnya, Malioboro akan dijadikan kawasan pejalan kaki. Pemerintah Kota (Pemkot) DIY akan mengkaji lebih lanjut mengenai mekanisme dan operasionalnya. Rencananya Pemkot DIY akan memindahkan kantong-kantong parkir yang berada di sisi timur ke sisi barat Malioboro. “Nantinya bekas lahan parkir di sisi timur akan dibuat khusus untuk pejalan kaki,” ujar Syarif, Selasa (11/6). Syarif menambahkan bahwa rencana revitalisasi Malioboro tidak sebatas untuk kawasan pedestrian. Kebijakan itu juga mengarah pada manajemen kota terpadu. Sebab Malioboro tidak bisa dipisahkan dari akses ke Bandara Adi Sucipto, Stasiun Tugu
dan Alun-alun Utara. “Pembangunan cagar budaya, penertiban reklame dan penataan taman juga menjadi fokus dalam revitalisasi kawasan Malioboro,” tandasnya. Sebagian pengunjung Malioboro medukung rencana tersebut. Soffatul Fuadiyyah, salah satunya. Ia menuturkan, kebijakan menjadikan Malioboro sebagai
kawasan pejalan kaki akan berdampak baik bagi wisatawan di Yogyakarta. “Apabila jadi dilaksanakan, tentunya akan menambah ciri khas kota wisata ini,” tuturnya. [Dessy Widya Astuti]
Gerak Komunitas Pascareformasi - 41
Sastra
BATAS
Oleh: Arifanny Faizal
Ilustrasi: Balairung/Benyamin Siburian
U
NDANGAN itu tergeletak begitu saja di meja makan. Harap memberi sambutan untuk acara reuni minggu depan, begitu tertulis pada secarik kertas yang ditempelkan di atasnya. Kepala pria itu muncul sebentar dari pintu dapur. “Mungkin ini bisa memperbaiki keadaan, Malinda,” katanya. Ia lantas kembali menekuni buku resep dan meracik aneka bumbu. Sementara aku masih terpaku pada kartu undangan. Hal seperti ini memang sudah menjadi beban beberapa tahun belakangan.
PEMUKULAN gong jadi pertanda dibukanya acara hari itu. Berbondongbondong setiap orang masuk ke dalam ruangan. Banyak yang menggunakan kursi roda, atau sekadar tongkat untuk menguatkan langkah. Wajah-wajah yang dulu cantik menjelma tua dan keriput. Pun,
42 - balkon spesial mahasiswa baru
laki-laki yang dulu gagah, kini renta dan tertatih-tatih berjalan. Aku meraih mikrofon untuk memulai sambutan. Ini memang bukan panggung pertama untukku. Namun, aku masih saja merasa gugup. Kenangan ketika dahulu berada di sini—berdiri di sini—mulai berputar kembali.
AKU ingat betapa penampilan pemuda itu tak menonjol di antara ratusan mahasiswa lain di fakultas. Tubuh mungil dan kulit cokelat—adalah sulit untuk mendeteksinya di antara ratusan orang lainnya. Namun, suaranya selalu lantang demi membela mereka yang tertindas. Semangatnya itu yang selalu menyadarkan kami bahwa dia pernah ada, dia pernah hidup. Setelah sekian lama, aku
memberanikan diri menyapanya. “Bagaimana kamu bisa begitu lancar berbicara?” tanyaku. Ia tampak ragu, mengulur-ulur waktu untuk menjawab dan menyusun katakata. Pertanyaan berat itu memang sudah kusiapkan sejak pertama kali bertemu. “Karena pesan seorang guruku di kampung.” “Kita harus menggunakan lima indra yang dianugerahkan Tuhan pada manusia dengan sebaik-baiknya,” kata Lukman. “Dengan mulut kita harus mengatakan hal-hal baik untuk memperbaiki keadaan, jadi kita pun harus tahu hal-hal yang bermanfaat untuk diungkapkan.” Saat itu, aku berdiri terpaku di hadapannya—menagih penjelasan yang kuharap lebih panjang. “Dengan telinga, kita bisa mendengar suara mereka yang tertindas di sekitar kita.” Ia mulai merinci. “Dengan mata, kita bisa mengawasi keadaan, lalu berupaya
Sastra memperbaiki ketidakadilan.” Jawaban Lukman sama sekali di luar dugaanku. Kemampuannya ia curahkan untuk orang lain, alih-alih arogansi dirinya sendiri. Sejak saat itu, aku mulai berani mengeluarkan pemikiran-pemikiranku dengan berbagai cara. Pertemuan dengan Lukman mengubah banyak hal dalam hidupku. “Imbalan apa yang akan aku dapat untuk semua ini?” Ia menyapaku yang baru saja keluar dari ruang wawancara. “Lagipula, bagaimana kamu bisa menyampaikan apa yang kamu pikirkan tanpa bicara?” tanyanya. Ia memandang berkas penelitian yang kubawa keluar dari ruangan.
AKU bersyukur bertemu dengan tipikal teman yang mengingatkanku untuk terus melakukan kebaikan—perbaikan. Namun, pada suatu ketika, pertemanan kami rusak akibat pertemanan Lukman dengan Martha. “Ke mana kamu yang dulu selalu ingin berbuat kebaikan?” tanyaku setelah melihat selembar foto keduanya layaknya pasangan—terasa begitu janggal. “Ini tidak baik... ini salah.” “Tahu apa kamu tentang benar dan salah? Di mana batas keduanya?” Aku keluarkan semua teori dan konsep tentang benar dan salah. Menurut agama, petuah orangtua dan pandangan orang-orang. Bahkan, aku yakin dia yang lebih sering membaca tahu lebih banyak. Yang membuatku heran adalah akhirnya dia menyalahi prinsipnya yang ingin selalu berbuat kebaikan. “Jangan lupa kalau manusia juga dianugerahi dengan pikiran, manusia bisa menciptakan logika.” Ia menambahkan sambil berbisik, “Yang kamu pilih kemandirian berpikir atau pandangan orang lain?” Aku berusaha mencerna pemikirannya yang rumit. “Kalau ternyata jiwaku adalah perempuan?” Pandangan Lukman menantangku, “Yang benar siapa? Kamu?” Aku belum tahu jawabannya. Saat itu, aku memilih mundur. Aku lantas juga melupakan bahwa ia pernah ada dan mengubah banyak hal dalam hidupku.
SAMPAI pada pembahasan tentang perjalanan kami setelah lulus kuliah dan
bekerja. “Menikmati jeruji penjara...” lanjutku. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku melihat semua teman-temanku. Tak semuanya menjalani kehidupan dengan baik. Namun, mereka berhasil lolos dari jerat hukum dengan cara ini-itu. Lukman tak seberuntung mereka. Lukman tidak akan datang hari ini. Ia yang cerdas luar biasa itu memutar balikkan logika sehingga yang disebut salah menjadi benar. Tentu, kebenaran semata-mata akan sesuai dengan pemahaman logikanya. Beberapa orang yang tak bersalah menjadi korban, masuk ke jeruji penjara. Namun, nasib baik tidak berpihak padanya. Dalam salah satu aksinya, ia tertangkap tangan—tak kuasa lagi melawan logika masyarakat tempat ia tinggal. Saat itu memang semua orang seperti sedang keranjingan memberantas orang-orang seperti Lukman. Ia bahkan tak sempat menjadi buronan, langsung dibekuk di halaman parkiran dengan sejumlah uang di tangan. Riuh tepuk tangan kembali membahana ketika foto-foto kenangan tampil di layar besar di belakangku. Wajah-wajah riang dalam foto itu seperti terbangun kembali dan bercerita. Sesungguhnya mereka tidak pernah menyangka akan terjebak dalam dunia putar balik logika. Hari ini semuanya jelas. Tidak semua yang bersalah akan menerima ganjaran perbuatannya. Seperti halnya mereka yang saat ini bercengkerama tanpa tekanan. Pikiranku melayang pada Lukman yang mendekam di dalam penjara. “Menikmati jeruji penjara...” Aku berusaha merangkai kata. Namun, gagal. Sambutan ini lama kelamaan menyudutkannya di hadapan manusiamanusia yang tak kalah berdosa. Aku tidak bisa melanjutkan sambutanku. Dengan bergegas, aku meninggalkan ruangan. Semua wajah melihat kepergianku, tapi tak satu pun berani menahan. Ke mana kecerdasannya? Dia seharusnya bisa melindungi dirinya sendiri. Dia seharusnya bisa memutarbalikkan perbuatan salahnya menjadi perbuatan yang bisa dianggap benar. Aku memikirkan pertemanan kami sepanjang perjalanan menuju tempat Lukman. Ia seakan hadir di setiap piala dan lembar piagam penghargaan, juga setiap panggung yang kudatangi. Setiap panggung kehidupan di mana benar dan
salah ditentukan oleh pandangan orangorang. Aku telah melupakan seorang teman karena batas benar dan salah ia yakini begitu abstrak. Sekarang aku sadar bahwa dunia memang tidak adil, semuanya serba rigid pada hal yang dianggap adil, dan salah-benar bisa dibolak-balikkan dengan logika. Saat ini, apa yang dahulu kuanggap sebagai kesalahannya—dengan memilih untuk berseberangan dengan pandangan masyarakat—tidaklah penting lagi dicarikan pembenaran. Lukman pada akhirnya membuatku melihat kehidupan dari sudut pandang yang lain. Aku tidak pernah berpikir akan bertemu lagi dengannya di tempat ini. Penjara. Aku adalah alasan kenapa ia bertahan di sana. Aku masih berhutang jawaban atas pertanyaan “Siapa yang benar?” Kini aku sudah berdiri di depan lembaga pemasyarakatan. Martha di sana dengan serantang makanan. “Kamu sudah tahu jawabannya?” Ia bertanya bahkan sebelum penjaga membukakan pintu untuknya. Aku menepuk pundaknya untuk menguatkan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia mau menjalankan hukuman penjara itu. Setidaknya, barangkali itu bisa mengurangi hukumannya di akhirat nanti. Ia masih seorang teman yang sama, kendati pernah tidak bersesuaian pandangan dengan orang-orang. Apalagi, kini batas benar dan salah telah menjadi abstrak. Aku yang telah dewasa lantas bebas dari batasan pandangan orang. Hari ini aku yang memberi pandangan. Hari ini aku yang menentukan dan memberi petuah. Pemikiranku bebas.
KEPALA pria itu muncul sebentar dari pintu dapur. Bau bumbu-bumbuan menyeruak ke udara. Ia datang dan menata hasil masakannya selama berjam-jam di meja makan. Orang itu akhirnya menjadi tempatku kembali pulang. “Aku terlalu serius menghadapi kehidupan.” Aku terkulai lemah di pangkuannya. “Padahal, segala sesuatunya terus berubah.” Ah, aku sudah menemukan jawaban. Aku melangkah ringan meninggalkan lembaga pemasyarakatan tanpa pernah menemuinya. Karena segala jawaban akan terus berubah... [*]
Gerak Komunitas Pascareformasi - 43
Rehal
Judul : Opium dan Revolusi: Perdagagan dan Penggu naan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945- 1950) Penulis : Julianto Ibrahim Penerbit : Pustaka Pelajar Tahun Terbit : 2013 Tebal : xii +157 halaman
Mengungkap Sisi Lain Candu dalam
Sejarah Revolusi
Dalam perjalanannya, perdagangan candu menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan Indonesia memulihkan perekonomian yang terpuruk.
O
pium atau candu, barang yang selama ini kita kenal sebagai barang ‘haram’, ternyata punya peran yang cukup penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada masa revolusi, candu menjadi komoditas utama dalam perdagangan karena dianggap paling cepat memulihkan perekonomian. Candu mampu menggantikan komoditas perkebunan seperti gula, karet, dan tembakau. Hal itu karena perdagangan gula, karet, dan tembakau tidak pasti harga jualnya dan memperoleh keuntungan yang lebih sedikit.
Dalam buku ini, Julianto Ibrahim menguak sisi lain dari perjuangan bangsa Indonesia lewat perdagangan candu di wilayah Surakarta pada masa revolusi. Candu menyebar setelah adanya perjanjian antara Amangkurat II dari Mataram dengan VOC. Perjanjian tersebut berisi jaminan monopoli candu oleh VOC dan disetujuinya impor candu ke Mataram tahun 1677. Ada lima pembagian bab pada buku ini. Pertama, bagian pendahuluan, bercerita latar belakang penulis memilih tema. Kemudian bab dua, berisi tentang kondisi ekonomi, sosial, dan konflik-konflik
yang terjadi. Bagian ketiga, mengenai pengelolaan candu di Surakarta dan menjelaskan bagaimana candu dikelola dari masa kolonial hingga revolusi. Pada bab terakhir, berisi tentang perdagangan dan penggunaan candu di Surakarta di masa revolusi. Bagian tersebut menjabarkan seperti apa dan bagaimana hubungan antara candu dengan pemerintah dan kesimpulan dari penulis. Pada masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan salah satu daerah dengan bandar-bandar candu yang besar. Beberapa di antaranya merupakan Foto: Balairung/Nawang Wulan
44 - balkon spesial mahasiswa baru
Rehal syahbandar-syahbandar Cina yang terkuat di Jawa. Para syahbandar Cina terkuat tersebut misalnya, Tio Siong Mo, Be Biauw Tjoan, Tan Tong Haij, dan Ho Tjiauw Ing. Pada awal masa revolusi, Surakarta menjadi basis kekuatan oposisi, partai politik, dan badan-badan perjuangan seperti Barisan Banteng dan Barisan Buruh Indonesia. Selain itu, Surakarta juga menjadi Kantor Besar Regi Candu dan Garam. Kantor tersebut berada di bawah kedudukan Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan bagian Intendance yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai salah satu pusat kekuasaan di Jawa, Surakarta banyak dihuni para priayi kaya dan orang-orang Cina. Keduanya merupakan konsumen candu terbesar di masa kolonial Belanda. Namun demikian, penggunaan candu yang semakin meluas ditentang keras oleh kaum muslim ortodoks dan orang-orang Jawa aliran etika dan tradisonal. Misalnya, Pakubuwono IV mengecam penggunaan candu karena menjadi penyebab perpecahan dan pembudakan oleh Belanda. Berdasarkan catatan yang ada, candu diperkirakan mulai masuk ke Nusantara pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Perkembangan maskapai komersial Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), punya andil besar dalam penyebaran candu di bumi Nusantara. Dalam perkembangannya, candu tidak bisa lepas dari gaya hidup para bangsawan, priayi, dan orang-orang Cina di Nusantara. Perdagangan candu akhirnya menjadi salah satu alternatif untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang porak-poranda pascapendudukan Jepang, terlepas dari legal atau ilegalnya cara ini. Sebenarnya, pemerintah Surakarta sudah mencoba mengurangi penggunaan candu di masyarakat. Caranya melalui kebijakan, yaitu setiap orang yang ingin mendapatkan candu harus punya surat izin dari kelurahan. Selain itu, diberlakukan pembatasan jumlah candu yang dapat dibeli. Namun, seiring adanya aturanaturan tersebut, terdapat pedagang candu ilegal, misal Nyah Gudir. Ia adalah wanita Cina yang tinggal di daerah Nusukan. Ia menjual candu yang mana pembeli dapat membeli sebanyak yang ia suka. Adanya perdagangan ilegal seperti yang dilakukan Nyah Gudir, menjadikan pembatasan ini mubazir. Selain itu, ringannya hukuman yang diterapkan dari pemerintah terhadap
pedagang candu ilegal dan pengguna yang tidak memiliki izin resmi, membuat aturan itu jadi tidak efektif. Ketidakefektifan aturan yang demikian menyebabkan berkembangnya penggunaan dan pedagangan candu di Surakarta. Pada mulanya, pengelolaan candu dilakukan dengan menggunakan Sistem Bandar. Hak dan lisensi untuk menjadi bandar ditentukan lewat pelelangan. Biasanya pelelangan dimenangkan oleh syahbandar Cina dengan menarik simpati pejabat Belanda, melalui pemberian ‘sumbangan’. Karena dianggap memiliki banyak kelemahan, pada 1894 Sistem Bandar diganti dengan Sistem Regi Candu. Regi Candu merupakan sistem di mana pemerintah punya kekuasaan untuk memproduksi dan mendistribusikan opium serta memberikan lisensi kepada agen-agen lokal. Sistem inilah yang kemudian diadopsi dan dipergunakan oleh pemerintah Indonesia dalam mencari dana untuk perjuangan revolusi. Di masa revolusi, pertumbuhan penduduk Surakarta mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini dikarenakan para simpatisan partai politik dan badan-badan perjuangan bermigrasi secara besarbesaran. Ditambah lagi, para pengungsi masuk ke Surakarta untuk mencari perlindungan dan keamanan karena terjadi banyak kekacauan dan pertempuran. Mereka memilih Surakarta sebagai kota tujuan karena dinilai relatif lebih aman. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi di Surakarta. Bertambahnya jumlah penduduk tanpa diikuti dengan pertumbuhan ekonomi menimbulkan kekacauan dan kerusuhan. Pada 1947, harga bahan pokok mengalami kenaikan 500%, bahkan mencapai 1000% pada pertengahan 1948. Kenaikan harga tersebut merupakan akibat dari terganggunya distribusi yang mana dikarenakan blokade oleh Belanda. Selain itu, peran kepolisian dalam menangani masalah sosial dan kriminalitas yang semakin tinggi menjadi tidak berarti. Hal ini dikarenakan jumlah polisi sangat terbatas. Ditambah lagi, mereka harus berhadapan dengan badan-badan perjuangan bersenjata yang menentang pemerintah. Pada masa-masa itu, Indonesia mengalami kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan karena blokade oleh Belanda. Ditambah lagi, beredarnya tiga mata uang yang berbeda, yakni
mata uang Jepang, NICA, dan Republik Indonesia (ORI), membuat perekonomian Indonesia semakin kacau. Hingga akhirnya, Menteri Keuangan saat itu, Mr. A.A. Maramis, meminta kepolisian membantu memperdagangkan candu untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri dan menggaji para pegawai. Saat itu, candu dianggap dapat menyediakan dana secara cepat. Badan-badan perjuangan banyak yang menyelundupkan candu untuk memenuhi kebutuhan mereka akan senjata dan peralatan perang. Ada beberapa cara perdagangan candu yang dilakukan badanbadan perjuangan, yaitu diselundupkan ke Singapura, ditukarkan sesuai dengan kebutuhan seperti senjata dan pakaian, atau dijual ke masyarakat. Penyelundupan ke Singapura sendiri baru dimulai pada Juli 1947 atas perintah Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Penyelundupan semakin intensif setelah dikeluarkannya perintah langsung dari Wakil Presiden Moehammad Hatta pada Februari 1948. Opium dan Revolusi: Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950) ini membawa kita merasakan kembali kondisi Surakarta pada masa revolusi. Dari awal, pembaca diberi gambaran kondisi sosial masyarakat Surakarta dari masa kolonial, perkembangannya, hingga masa revolusi. Kemudian adanya tabel dan grafik mempermudah pembaca memahami peristiwa yang terjadi. Hal menarik lainnya ialah hubungan antara pemerintah Indonesia dengan perdagangan dan penyelundupan opium ke luar negeri untuk mengumpulkan dana dan devisa. Penyelundupan ini penuh dengan risiko tertangkap kapal-kapal patroli Belanda atau karam di tengah samudra. Sayangnya, penulis tidak memberikan alasan yang spesifik terkait pemilihan Surakarta sebagai bahan penelitian. Hal itu menimbulkan pertanyaan mengapa bukan kota-kota pelabuhan di pesisir Jawa yang dipilih. Misalnya seperti Banten, Batavia, Semarang, dan Surabaya yang menjadi pusat perdagangan dan jalur utama masuk ke pulau Jawa. Di samping itu, mengenai bagaimana pemerintah mendapatkan candu pada masa revolusi juga kurang begitu gamblang dijelaskan.
Penulis: Roni Sulfa Ali
Gerak Komunitas Pascareformasi - 45
Rehal
Pencarian Makna Agama dengan Tarekat Judul : Tarekat Petani Penulis : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. Penerbit : LKiS Tahun Terbit : 2013 Tebal : xi+233 Tarekat bukan sepenuhnya ajaran Islam maupun kebudayaan Jawa, melainkan simbiosis dari keduanya.
O
rang Jawa tentu tidak asing dengan istilah sajen, nyekar, tahlilan, dan slametan. Kebanyakan dari kita masih menganggap hal-hal tersebut di luar syariat agama (Islam). Memang, Islam yang berkembang di Indonesia ini masih bercorak lokal. Maksudnya, masih ada percampuran agama dengan tradisi dalam
masyarakat. Sebenarnya, tradisi semacam itu bermula dari dakwah Wali Songo di Indonesia, khususnya Jawa. Mereka mengonsep Islam ke dalam budaya masyarakat Jawa yang saat itu masih menganut agama Hindu-Buddha. “Sebagian orang Jawa menganut tarekat. Tarekat adalah ajaran yang Foto: Balairung/Nawang Wulan
46 - balkon spesial mahasiswa baru
Rehal hidup di dalam historisitas kemanusiaan. Artinya, ia tidak akan terlepas dari konteks kebudayaan di mana ia hidup (hal. 6). Ajaran tarekat terkonseptualisasi dalam tiga hal mendasar, yakni: takholli (menjauhkan diri dari perbuatan tercela), tahalli (melakukan semua perbuatan terpuji), tajalli (menghias diri dengan akhlak terpuji sehingga Allah menampakkan cahaya di dalam dirinya).” (hal. 5) Selama ini, tarekat (Islam) masih sering dianggap sebagai ajaran Islam dan kejawen yang dicampur aduk. Nur Syam, dalam bukunya—yang berisi hasil penelitiannya—Tarekat Petani, mencoba melihat tarekat ini dari sisi yang lain, yaitu melalui kajian fenomenologi. Dengan metode fenomenologi ini, Nur Syam memaparkan makna-makna dari tradisi masyarakat Jawa yang juga dilakukan penganut tarekat. Ia ingin pembaca tidak memberi stigma kepada penganut tarekat hanya karena mereka memegang teguh tradisi dalam konteks keagamaan, seperti tahlilan, slametan, dsb. Nur Syam melakukan penelitian tarekat Islam yang ada di daerah Kuanyar, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Fokus utamanya adalah petani penganut tarekat Syattariyah. Memang, tidak semua petani di daerah Kuanyar adalah penganut tarekat, hanya beberapa dari mereka saja. Tarekat Petani ini menjelaskan sisi keagamaan tarekat Islam dan memahami maknanya dalam bingkai sosio-kultural. “Penganut tarekat tidak berbeda jauh dengan orang Islam kebanyakan, yang membedakan mereka salah satunya adalah melakukan amalan dzikir dengan jumlah relatif banyak. Mereka beraggapan semakin banyak membaca dzikir atau kalimat tauhid, maka akan semakin banyak kemungkinan untuk memperoleh rahmat dan petunjuk Tuhan yang berupa kebaikan di dunia dan di akhirat.” (hal. 121). Dalam tarekat, penganutnya lebih mengutamakan hakikat daripada sekadar ritual atau hal yang bersifat jasmaniah. Ajaran tarekat ini bersumber dari sabda Rasulullah yang berbunyi, “Apakah yang dinamakan Ihsan itu? Ihsan adalah engkau menyembah Tuhan seakan-akan engkau mengetahui-Nya dan seandainya engkau tidak mengetahui-Nya maka sesungguhnya Allah mengetahuimu,” (hal. 81). Penganut tarekat ini beranggapan bila seorang muslim yang hanya mengamalkan syariat, maka timbangannya di akhirat
akan ringan. Sebab, menurut mereka, tarekat adalah pemberat amalan manusia di akhirat kelak. Nur Syam menceritakan mengenai ketaatan ibadah dari (petani) penganut tarekat daerah Kuanyar. Mereka selalu menyempatkan untuk salat berjamaah di musala maupun masjid sekalipun sedang dalam kesibukan kerja. Selain salat wajib, mereka juga taat dalam melakukan salat sunnah. Hal ini dibuktikan dari perbincangan antara peneliti dengan seorang narasumbernya bahwa setiap hari narasumber bangun jam 03.00 pagi. Ia melakukan salat malam sampai dilanjutkan salat subuh. Ia juga taat dalam melakukan puasa sunnah. Selain itu, dalam hal berpakaian, para penganut tarekat tidak terlalu mementingkan tampilan fisiknya. Nur Syam mengamati beberapa orang (petani) penganut tarekat, mereka hanya memiliki beberapa potong pakaian saja. Misal, baju untuk menghadiri tawajuhan sama seperti pakaian yang digunakan untuk menghadiri acara resmi lainnya. Bukan alasan keterbatasan ekonomi yang mendasari cara berpakaian mereka. Orangorang tarekat memandang makna pakaian sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kesombongan. “Sebagai orang Jawa, penganut tarekat menggunakan kerangka konseptual budaya Jawa sebagai pedoman untuk melakukan berbagai tindakan yang ada dalam kehidupannya. Prinsip kehidupan orang Jawa dalam hubungan dengan alam dan sosial kemasyarakatan antara lain rukun, harmoni, dan slamet. Orang Jawa akan selalu mengedepankan rukun yang sering dislogankan dengan rukun agawe santoso, congkrah agawe bubrah. Harmoni juga merupakan konsep penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Harmoni yang dianut oleh orang Jawa bukan hanya keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam, makhluk-makhluk supranatural dan Tuhan. Slamet adalah tujuan akhir dari kehidupan, slamet di dunia dan di akhirat adalah tujuan semua manusia.” (hal. 3). Slamet adalah salah satu konsep terpenting dalam kehidupan. Penganut tarekat menyadari betapa pentingnya keselamatan dalam kehidupan. Ituah sebabnya, mereka menjaga kerukunan dengan sesamanya dan keharmonisan dengan alam, makhluk gaib, dan Tuhan.
tersebut, menyejarah dalam kehidupan masyarakat, bahkan kemudian menjadi bagian dari sistem keyakinan. Oleh karena itu, tradisi tersebut tidak hanya memiliki makna ritual saja. Slametan di masa pra-Islam adalah sarana untuk mempertemukan manusia dengan Dzat Suci dengan tata cara tersendiri. Setelah datangnya Islam ke Nusantara, tradisi tersebut telah meluas maknanya. Para (petani) penganut tarekat Syattariyah di Kuanyar juga melakukan hal yang sama sebagai orang Jawa. Slametan terkadang dilakukan di makam Bu Nyai Emban, tokoh pendiri desa itu. Tidak ada unsur mistis dan kemusyrikan, tempat tersebut hakikatnya hanya sebagai media karena penganut tarekat tetap berdoa kepada Allah SWT. Selain slametan, (petani) penganut tarekat melakukan tahlilan. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk manifestasi rasa sayang dan hormat kepada orang tua dan kerabat yang sudah meninggal. Selain bermakna religius, tahlilan juga penuh dengan nilai gotong royong dan saling menolong. Mereka berprinsip bahwa orang yang suka menolong, akan mudah mendapat pertolongan dari sesamanya. Sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari lingkungan sosialnya, (petani) penganut tarekat di Kuanyar tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Bahkan, selain aktif dalam tahlilan, yasinan dan sebagainya, mereka aktif sebagai pengurus RT ataupun RW. Mereka tidak menganggap dirinya eksklusif dari orang yang tidak menganut tarekat. Tarekat Petani ini sudah cukup baik dalam menjabarkan makna tarekat Islam dari sisi keagamaan dan sosiokultural. Sayangnya, masih ada beberapa kekurangan dalam tulisan Nur Syam ini. Salah satunya adalah petani penganut tarekat yang menjadi fokus utama buku ini hanya digambarkan sedikit saja oleh Nur Syam. Sebagian besar isi buku menjelaskan secara umum tentang tarekat Islam. Selain itu, banyak istilah-istilah teknis sehingga dapat membingungkan pembaca awam. Buku ini layak untuk dibaca bagi mereka yang ingin mengetahui tentang tarekat Islam dilihat dari sisi fenomenologisnya.
Penulis: Gilang Pradhipta Sanggi
Slametan muncul dengan konsep
Gerak Komunitas Pascareformasi - 47
Interupsi
Jeopardy!
Ilustrasi: Balairung/Elvia Elvaretta
T
iga orang peserta berjejer di balik meja. Tangan mereka besiap menekan tombol. Di hadapan mereka, berdampingan dengan sebuah layar besar, seorang pemandu acara sudah bersiap membacakan pertanyaan. Tangan para peserta langsung menyambar tombol usai keterangan dibacakan. Mereka beradu cepat. Namun, para peserta bukan berlomba menjawab pertanyaan. Mereka adu ketanggapan menyediakan jawaban. Ya, “Jeopary!”, itu menantang para peserta merangkum pertanyaan untuk jawaban yang telah disediakan. Permainan yang pertama kali muncul pada 30 Maret 1964 ini tentu tak asing di telinga warga Amerika Serikat. Beberapa inkarnasi sempat dilewati sebelum program versi Alex Trebek yang
48 - balkon spesial mahasiswa baru
ditayangkan sejak 10 September 1984 berhasil meraup perhatian warga Amerika. Semakin banyak pertanyaan yang cocok, semakin besar nominal uang yang mereka dapatkan. Sepanjang sejarah permainan ini, telah tercatat dua nama terunggul. Dua peserta itu adalah Brad Rutter dan Ken Jenning’s. Brad berhasil mencetak rekor kemenangan terbesar, yaitu $ 3.250.000. Sedangkan, Ken Jenning’s memegang gelar pemain dengan kemenangan terpanjang, 74 kali permainan. Februari 2011 menjadi bulan bersejarah bagi dua orang itu. Pada 1416 Februari 2011, mereka dipertemukan dalam pertandingan khusus bertajuk “The IBM Challenge”. Dari judul tersebut kita bisa tebak bahwa IBM (International
Bussines Machines) ikut andil dalam acara kali ini. IBM, perusahaan teknologi multinasional sekaligus konsultan yang pusatnya di Armonk, New York, ikut ambil bagian. Brad Rutter dan Ken Jenning’s tidak didatangkan untuk saling bersaing. Mereka harus melawan Watson. Namun, Watson bukanlah manusia. Kali ini, Brad dan Ken harus diadu dengan sebuah mesin! Permainan pun dimulai. Brad dapat giliran pertama memilih kategori yang ditawarkan, dan Brad berhasil menjawabnya. Pertanyaan kedua sukses dijawab oleh Watson. Selama permainan berlangsung, Watson sangat mendominasi. Ken tak mau kalah. Ia mencoba merebut kesempatan menjawab ketika Watson gagal. Posisi Watson semakin unggul ketika ia mendapatkan Daily Double, yang artinya
Interupsi ia dapat menentukan nominal uang yang diperoleh jika menjawab dengan benar. Di akhir permainan, Watson berhasil membuat Brad dan Ken tunduk. Watson, si mesin itu, menang telak dengan raihan $ 77.147. Sementara Brad dan Ken masingmasing hanya bisa mengumpulkan $ 21.600 dan $ 24.000. Sambil menatap mesin berwarna hitam itu, mereka hanya bisa bertepuk tangan sambil tersenyum. Tentu persoalan bukan pada permainan. Permainan hanya permainan. Namun, peristiwa kali ini bukan pertama kalinya mesin berhasil menang atas kemampuan manusia. Pada 11 Mei 1997, Deep Blue yang juga ciptaan IBM berhasil mengalahkan Garry Kimovich Kasparov, legenda juara catur dunia asal Rusia. Sama halnya dengan Deep Blue, kemampuan Watson tak perlu diragukan lagi. Perangkat lunak Watson ditunjang oleh server IBM POWER7 yang memang didesain untuk memberikan kecepatan yang sangat tinggi ketika Watson harus menganalisis bahasa yang rumit dan memberikan jawaban yang tepat atas petunjuk “Jeopardy!”. Kemajuan teknologi memang sangat didambakan setiap orang. Segala kepentingan manusia dapat dilakukan dengan praktis. Watson cuma salah satu contoh. Pertanyaannya sekarang, untuk apa kita susah-susah berpikir ketika mesin saja mampu melakukannya? Lalu, apakah kejadian di film Terminator, The Matrix, bahkan film anak-anak Nobita and The Robot Kingdom akan benar-benar terjadi? Apakah manusia akan kalah di tangan mesin ciptaannya sendiri?
Ilustrasi: Balairung/Elvia Elvaretta
Pradeep Khosla pun melempar pertanyaan. “Dapatkah Watson menciptakan Watson lainnya?” tanya Dekan Fakultas Teknik Carnegie Mellon University ini. Salah satu pesaing Watson dalam “Jeopardy!”, Ken juga gelisah. “Watson sudah menunjukkan bahwa ia mampu bermain “Jeopardy!” pada tingkat manusia. “Apakah keahlian saya ini sudah dicuri?” ucapnya pada harian The Washington Post.
Untungnya, masih ada udara segar bagi ketenangan manusia. “Saya di bidang ini sudah 25 tahun lamanya. Namun, kami tak pernah merasa berhasil. Saya selalu berusaha untuk membawa teknologi menuju kecerdasan manusia,” ucap Eric Nyberg, Profesor di Carnegie Mellon University yang juga peneliti IBM. Seorang profesor ilmu komputer di Portland State University, Bart Massey, melontarkan guyonan miris, “Jika Anda ingin membuat sesuatu yang memiliki kecerdasan manusia, kita punya cara yang bagus untuk itu. Hanya perlu waktu sembilan bulan dan sangat menyenangkan,” ujarnya.
Rasa penasaran ilmuwan juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Bukan takut dikalahkan dalam kuis-kuis atau permainan biasa, melainkan ketakutan akan dominasi mesin di era globalisasi ini. Boleh jadi, saat ini kita sudah memasuki era mesinisasi manusia. “Saya melihat saat ini kecerdasan manusia mengonsumsi kecerdasan mesin, bukan sebaliknya,” seloroh David Ferrucci, pemimpin peneliti IBM untuk Watson.
Pernyataan para peneliti bisa membuat manusia sedikit bernapas lega. Memang diperlukan banyak waktu dan kemampuan yang tinggi untuk menciptakan teknologi yang menyamai bahkan melebihi kecerdasan manusia. Kalau sudah begini, film Terminator dan film sejenis dapat dimaknai sebagai kekhawatiran masyarakat akan dominasi mesin.
Perkaranya, kita harus mengakui bahwa saat ini mesin memang sangat membantu seluruh kegitan manusia. Pesawat terbang tanpa awak dikendalikan oleh mesin. Robot juga mampu menggantikan peran pembantu rumah tangga. Bahkan saat ini sudah ada robot ala Terminator bernama Atlas. Manusia seakan dimakan waktu untuk sampai ke titik puncak kenyamanan. Kalau sudah begini, tidak heran jika timbul kekhawatiran manusia. Ah, Brad pun akhirnya bilang, “Setidaknya “Jeopardy!” masih tetap mengundang manusia sebagai peserta untuk waktu yang cukup lama. Sampai kita punya implan di otak kita.”
Penginterupsi
Gerak Komunitas Pascareformasi - 49
Si Iyik
Ilustrasi: Balairung/Benyamin Siburian
50 - balkon spesial mahasiswa baru
Gerak Komunitas Pascareformasi - 51
Dapur
Jalan Panjang
Menanggapi Zaman
Oleh: M. Misbahul Ulum
Ilustrasi: Balairung/Vincentia Trisna Yoelinda
A
pril 1950. Ketika itu Universitas Gadjah Mada baru berumur empat bulan. Madjalah Gadjah Mada terbit sebagai medium mahasiswa untuk mengemukakan suaranya. Majalah yang diprakarsai oleh Tatang Mahmoed, Mohammad Kamal, Zakaria Raib, Amir Alamsyah, Nazir Alwi, Soefa’at, dan Koesnadi Hardjasoemantri ini mendapuk Soelistio sebagai Ketua Dewan Redaksi pertama. Beberapa pengurusnya adalah mahasiswa yang juga menduduki posisi inti
52 - balkon spesial mahasiswa baru
dalam kepengurusan Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Namun, karena diterbitkan di luar kelembagaan universitas, terbitan ini disebut pers mahasiswa ekstrauniversiter. Setahun setelah Madjalah Gadjah Mada, tepatnya pada bulan desember 1951, hadir pula Madjalah GAMA. Karena diterbitkan di bawah payung Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah mada, majalah ini disebut pers
mahasiswa intrauniversiter. T. Jacob, pengurus Madjalah Gadjah Mada, turut menggawangi GAMA di redaksi. Dua tahun berselang, pada Juli tahun 1953, Madjalah Gadjah Mada mulai dikelola oleh Badan Penerbitan Gadjah Mada yang bergerak pula di bidang penerbitan diktat dan buku untuk SLTA dan Perguruan Tinggi. Lalu, pada 1962, Dewan Mahasiswa menerbitkan Madjalah Gema. Dawam Rahardjo pernah menjadi Pemimpin
Dapur Redaksinya pada 1967 dengan Abdul Hadi WM, Arselan Harahap, serta Makmur Makka sebagai anggotanya. Meneruskan Gema yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa. Pada 1974, terbitlah Gelora Mahasiswa (Gema). “Sudah sejak beberapa waktu lamanya, penerbitan khas mahasiswa Universitas Gadjah Mada telah terhenti,” tulis Rektor UGM, Sukadji Ranuwihardja kala itu. “Maka penerbitan Madjalah Gelora Mahasiswa diharapkan dapat menjadi wadah aspirasi segala macam pendapat para mahasiswa Universitas Gadjah Mada mengenai segala macam masalah baik yang menyangkut kehidupan kemahasiswaan pada khususnya maupun kehidupan masyarakat pada umumnya,” lanjutnya. Sayang, keharmonisan Gelora Mahasiswa dengan Sang Rektor berjalan tidak lama. “Rumah tangga” keduanya semakin bergejolak saat “pengerasan ideologi” lewat kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan menjelang Pemilu 1977. Kebijakan yang hendak menjinakkan aktivisme mahasiswa itu jelas-jelas mengundang perlawanan. Puncaknya ialah berita utama bertajuk “Soal BKK: Sukadji Yang Akan Digantung” di Gelora Mahasiswa No. 24/Th. VI/21 September 1979. Rektor marah. Sepucuk surat “talak”-nya tertanggal 27 September 1979 menamatkan riwayat Gelora Mahasiswa. “Mungkin ini untuk pertama kalinya
terjadi bahwa seorang rektor membunuh koran kampus. Kemudian koran (Gelora Mahasiswa—red) ini diganti dengan suatu penerbitan yang diberi nama Balairung. Namanya saja, yang berarti ruang audiensi dalam istana raja-raja ketika mau bertatapan wajah dengan rakyatnya, sudah menunjukkan sikap fungsional menyembah ketika menghadap ‘Sang Raja’. Di sana tersimpul keinginan untuk menanam sikap submisif sambil menghalau ‘badai’ agar tidak terjadi, meski di dalam cangkir kopi sekalipun,” tulis Daniel Dhakidae. Kesimpulan Dhakidae memang terasa terburu-buru. Sebab, pemberedelan Gelora Mahasiswa dan penerbitan Majalah Balairung tidak terjadi dalam satu tarikan napas. Ada jeda yang kosong antara tahun 1980-1984. Balairung baru terlahir pada 29 Oktober 1985 dalam seminar pers mahasiswa (persma) se-UGM. Pun, “pers ilmiah” yang ditengarai lahir saat pemberlakuan NKK baru mengejawantah secara utuh dalam bentuk Jurnal Balairung di tahun 2001 . Pergeseran dari Gelora Mahasiswa sebagai “subjek politis” menjadi “subjek akademis” baru terjadi seutuhnya dalam wujud Jurnal Balairung dengan jembatan Majalah Balairung. “Periode antara”, menurut istilah Ni’am. Sebuah jembatan yang dilewati begitu saja menuju “subjek akademis”. Di tengah kesesakan, meminjam istilah Heru Nugroho, banalitas intelektual, menyeriusi kembali lahan akademis sudah
tidak bisa ditawar. Lebih dari itu, tembok (ke)disiplin(an) keilmuan pun sudah mengungkung. Padahal, disiplin keilmuan tidak boleh menyendiri, satu sama lainnya harus saling mengisi demi kemanusiaan. Oleh karena itu, “Balairung adalah forum tempat bertemu dan bertukar pikiran, pendapat, dan pengalaman. Balairung diharapkan menjadi ikatan antara mahasiswa berbagai fakultas, jurusan, dan angkatan, serta dengan anggota civitas academica lainnya,” tulis Rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob (1980-1985), di Majalah Balairung Nomor 1 Tahun 1 Januari 1986. Bukan saja ikatan fisik, tetapi juga dan terutama, ikatan keilmuan. Kini, di usia yang menghampiri angka 28, Balairung tidak hanya punya jurnal. Ada tiga yang lainnya, Majalah Balairung, Buletin Balkon, serta portal berita www. balairungpress.com. Sedang, yang hadir di depan Anda ialah Balkon Spesial Maba, salam perkenalan kekomunitasan kita. Akhirulkalam, kalau ruang kelas sudah menghimpit hingga sakit, saat ilmu sudah bau anyir bangkai mayit, mari membina keluarga, melahirkan ilmu dengan canda di sini. Sebab, bila intelektualitas mahasiswa sudah tidak bernapas lagi, itulah tanda lonceng kematian keilmuan Kampus Kerakyatan yang berbunyi satu kali. Siapakah yang mau mengembuskannya kalau bukan kita? Selamat datang mahasiswa biasa di kampus ndeso yang biasa-biasa saja, yang sudah jadi (sok) ngota.
(Endnotes) . Lihat “Aspek Sejarah Pers Mahasiswa Kampus”, dalam Himawan Pambudi (ed), Ekologi, Manusia, dan Kebudayaan: Kumpulan Tulisan Terpilih Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H, M.L (Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2006), hal. 190. . Op. cit.. Hal 190-191. Beberapa pengurus Madjalah Gadjah Mada yang juga menjadi pengurus Dewan Mahasiswa. Nazir Alwi menjadi Ketua Dewan Mahasiswa, Soefa’at sebagai Wakil Ketuanya dengan Sekertaris, Koesnadi Hardjasoemantri. . Op. cit. Hal. 191. Hal ini juga berdasarkan temuan majalah Gama edisi No. 1/Th. II, Desember 1952 oleh Tarli Nugroho. Artinya, Majalah Gama edisi itu tengah merayakan ulang tahunnya yang pertama. Dengan kata lain, pertama kali diterbitkan pada bulan Desember 1951. . Op. Cit. Himawan Pambudi (ed). . Op. Cit. Himawan Pambudi. Lihat juga Abdul Nur Adnan, “Mahasiswa Pencetak “Diktator” Dengan Jaringan Internasional,” dalam HM. Nasruddin Anshoriy Ch dan Ana Nadhya Abrar (ed), Menebar Budi Menuai Sahabat; Mozaik Obituari Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H., M.L (Yogyakarta: Yayasan Koesnadi Hardjasoemantri, 2007), hal. 232. . Berdasarkan nomor edisi No.4/VI/1967 Majalah Gema yang ditemukan Tarli Nugroho, Majalah ini menginjak usia keenamnya pada tahun 1967. Berarti, tahun 1962 ialah usia pertamanya terbit. . Lihat “Sambutan Rektor UGM”, dalam Gelora Mahasiswa, Nomor Perkenalan, Mei 1974. Hal 1. Lebih jauh tentang Gelora Mahasiswa, lihat “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal 183-185. . “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal 184. . Op. cit. “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal 185. Lihat juga http://www.geloramahasiswa.or.id/2013/05/gelora-itu-sejarah-gelora-itulegenda.html . Daniel Dhakidae, “Sistem sebagai Totalisasi, Masyarakat Warga, dan Pergulatan Demokrasi”, dalam St. Sularto (ed.), Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 10. . Meskipun percobaan ke Jurnal sudah pernah dilakukan sebelumnya. Pada tahun 1999-2000 dan 2000-2001. Hasilnya ialah majalah semi jurnal edisi 30 (Membaca Ekspresi Yogya), 31 (Jangan Gadaikan Kampusku), 32 (Spiritualisme Indonesia) dan 33 (Kembali ke Desa). Lihat “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 34/ XVI/2001. Hal 181. Baca juga “Wartawan dan/atau Ilmuwan: Sebuah Jurnal & Komunitas Intelektual. “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 38/XIX/2005. Hal 159. . Op. Cit. “Dapur Balairung”, Jurnal Balairung Edisi 44/Th. XXIII/2011. Hal 187. . Istilah ini disitir Heru dari Hannah Arendt. 1992. Eichman in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. London: Penguin Book. Selengkapnya, periksa Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Heru Nugroho, 2012, “Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam. Terutama halaman 6-7. . Selengkapnya, periksa Sambutan Rektor UGM, “Suatu Balairung Tulisan”, dalam Nomor 1 Tahun 1 Januari 1986. Hal 1.
Gerak Komunitas Pascareformasi - 53
Gores
Ilustrasi: Balairung/Randy Fachri Prabowo
54 - balkon spesial mahasiswa baru
Gerak Komunitas Pascareformasi - 55
56 - balkon spesial mahasiswa baru