Filsafat Terbit Di Timur

Page 1

Mata Kuliah Pertemuan

: Filsafat Timur : Pertama Filsafat Terbit Di Timur Oleh: Ahmad Fadhil

Kajian Filsafat Timur hingga saat ini sangat penting. Penyebabnya adalah masih adanya carut marut pemikiran dan etika seputar orisinalitas, urgensi, dan posisi kebudayaan atau peradaban Timur. Banyak ahli sejarah, saintis, dan filsuf Barat yang berusaha memaksakan pandangan bahwa bangsa Yunani adalah pencipta pemikiran, ilmu, etika, sosial, politik, seni, matematika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat. Seolah-olah kebudayaan Yunani adalah ciptaan para jenius yang tidak belajar kepada pendahulu, tidak didahului kebudayaan lain, tidak berkaitan dengan Mesir Kuno, Kan’an, Babilonia, Asyur, Persia, India, dan Cina. Seolah-olah kebudayaan Yunani itu kemunculan dan perkembangannya murni Eropa.1 Jika kita mengajukan pertanyaan, “Di manakah filsafat dan ilmu pengetahuan lahir?” kepada orang terpelajar di sekitar kita, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab, “Yunani.” Jawaban ini tidak benar. Al-Husayni mengatakan,2

“Mukjizat Yunani” adalah omong kosong. Tidak mungkin ilmu dan filsafat lahir secara tiba-tiba di Yunani tanpa pendahuluan apa pun, tanpa berhutang budi pada bangsa dan kebudayaan sebelumnya seperti yang dikatakan sejumlah orang aneh penganut mazhab Erosentris. Timurlah sumber ilmu dan filsafat yang selanjutnya dikembangkan oleh bangsa-bangsa dari peradaban yang muncul belakangan. Orang-orang aneh itu tahu bahwa kebudayaan tertua muncul di negeri-negeri Timur, bahwa kebudayaan Timur sangat gemilang dan matang dalam ukuran zamannya dan karena itu tentu saja berdiri di atas pondasi ilmu; tapi mereka mengatakan bahwa ilmu timur adalah ilmu yang berlandaskan pada pengalaman dan eksperimen turun temurun; Cuma mengejar manfaat praktis atau tidak dilandasi penelitian demi pengetahuan tentang penyebab-penyebab fenomena semata-mata; tidak cemerlang dalam aspek analisa rasional teoritis untuk mengungkap prinsip umum di balik aplikasi praktis seperti yang dicapai oleh peradaban Yunani. 3 1

Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, Mahmud Muhammad ‘Ali Muhammad, Elharam: Ein for Human and Social Studies, cet. I, 1998, h. 5. 2 Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafah alGharbiyyah, Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Kairo: Matba‘ah Misr, cet. I, h. 7. 3 Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, h. 5-6. 1


Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangsa Mesir telah menggunakan matematika dalam mengukur tanah, menggali sungai, dan tujuan praktis lainnya. Mereka juga menggunakan matematika dan mekanika dalam membangun piramida yang hingga sekarang masih menjadi keajaiban dunia untuk menyimpan jenazah yang telah dimumi karena keyakinan akan keabadian jiwa dan hisab pada hari akhir. Untuk hal ini, diperlukan ilmu kimia dalam membalsem jenazah dan memproduksi minyak, celupan, dan pewarna. Juga tujuan keagamaan lainnya. Tapi, mereka mengatakan bahwa bangsa Yunanilah yang telah menciptakan ilmu-ilmu tersebut dalam bentuk teoritis murni, melampaui periode individual inderawi kepada periode definisi dan bukti demonstratif, mencapai hukum dan teori yang bersandar kepada demonstrasi rasional. Bangsa Yunanilah yang pertama mengkaji ilmu-ilmu dengan semangat ilmiah dan Aristoteleslah yang berjasa mendirikan ilmu teoritis.4 Pandangan ini tidak ilmiah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang menegaskan bahwa kebudayaan saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan lainnya. Kebudayaan terdahulu mempengaruhi kebudayaan yang kemudian. Pandangan ini adalah salah satu buah sikap fanatik buta, yaitu keyakinan seseorang bahwa dirinya memonopoli kebenaran dan kebaikan sedangkan orang lain tidak memilikinya. Sikap fanatik itu tercela karena membuat seseorang tidak hanya menisbahkan pada dirinya segala kebaikan, tapi juga membuat dirinya tidak dapat melihat kelebihan dirinya kecuali dengan mengingkari kelebihan orang lain. Na‘im Farh mengatakan bahwa sebuah kebudayaan boleh jadi tidak orisinal dalam pengertian hasil ciptaan satu masyarakat tertentu, melainkan buah dari komunikasi dan asimilasi berbagai bangsa. Kian berkembang bangsa-bangsa dan sarana-sarana komunikasi, kian jelas hal tersebut.5 Dan, berkaitan dengan akar Timur bagi kebudayaan Yunani, banyak penulis yang telah menegaskannya. Di antaranya Mustafa al-Nashshar dalam dua bukunya Madrasah alIskandariyyah al-Falsafiyyah Bayna al-Turath al-Sharqi wa al-Falsafah al-Yunaniyyah dan Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyyah min Manzur Sharqi karya Mustafa al-Nashshar. Clement al-Iskandarani mengatakan bahwa Democritos mempelajari hikmah dari Babilonia dan menukil amthal, asatir, dan khurafat (fabel) Ahiqar ke dalam bahasa Yunani (al-Ighriqiyyah) dalam bentuk yang sesuai dengan pola pikir Yunani. 6 Ahiqar adalah menteri Raja Ashur. 7 Literatur kisah Ahiqar tertua ditemukan oleh Delegasi Jerman (1906-1908) di pulau al-Filah, Mesir, yang ditulis pada kertas-kertas al-burdi pada zaman Kerajaan Iran pada masa pemerintahan Darius dan Ahshuyirush, yakni pada abad 5 SM, atau menurut perkiraan Edward Sachau, pada tahun 550-450 SM..8 Al-Husayni mengatakan bahwa akar filsafat Yunani ada di India. 9

4

Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, h. 6. Na‘im Farh, Mujaz Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim al-Siyasi wa al-Ijtima‘i wa al-Iqtisadi wa al-Thaqafi, Beirut: Dar al-Fikr, tt., h. 8. Dia menjelaskan beberapa jenis transmisi budaya dari satu bangsa ke bangsa lain, yaitu baik dengan cara perang dan penaklukan,atau dengan cara damai seperti dagang, wisata, hijrah; baik secara langsung maupun tidak (h. 8). Dia juga menjelaskan teori-teori jatuh-bangunnya peradaban, seperti teori Vico: jatuh bangunnya peradaban berada dalam siklus periode dewa-pahlawan-manusia biasa; teori Spingler: sejarah setiap peradaban sama dengan sejarah periode-periode organ biologis, yaitu lahir, anak-anak, pemuda, dewasa, tua, mati; teori Arnold Toynbee yang menolak peradaban adalah buah ras tertentu yang istimewa dari ras lainnya dalam hal keunggulan bakat biologi, juga menolak teori lingkungan geografis yang menyatakan peradaban muncul di lingkungan yang memudahkan kehidupan, dan menyatakan bahwa kondisi sulitlah yang mendukung munculnya peradaban karena peradaban muncul akibat tantangan dan respon terhadapnya (h. 910). 6 Anis Farihah, Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut: Manshurat Kulliyyah al-‘Ulum wa al-Adab Jami‘ah Beirut al-Amrikiyyah, 1962, h. 21. Amthal ini dipaparkan oleh Farihah pada h. 22-146 (dari teks berbahasa Arami, Suryani, dan Arab, dan dari kisah Alf Laylah wa Laylah). 7 Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, h. 7. 8 Ahiqar Hakim min al-Sharq al-Adna al-Qadim, h. 18-19. 9 Al-Falsafah al-Hindiyyah Dirasah Ba‘d Nawahiha ma‘a al-Muqaranah bi al-Falsafah alGharbiyyah, Abu al-Nasr Ahmad al-Husayni, Kairo: Matba‘ah Misr, cet. I, h. 7. 5

2


3


4


5


Orang-orang Yunani kuno pun mengakui jasa perabadan sebelum mereka. Muhammad mengatakan,10

Paparan ini tidak berarti mengagungkan Timur atas Barat atau merendahkan Barat di hadapan Timur, atau mengingkari jasa bangsa Yunani terhadap ilmu dan filsafat. Pendahuluan ini hendak menyatakan bahwa ilmu adalah akumulasi pemikiran manusia atau umat dari masa ke masa 10

Al-Usul al-Sharqiyyah li al-‘Ilm al-Yunani, h. 7. 6


dan menggugurkan klaim suatu bangsa tertentu adalah satu-satunya pemilik dan pembangun ilmu dan bangsa tertentu adalah tidak memiliki kemampuan dalam mengembangkan ilmu. Karena itu, sikap fanatik, rasis, dan keyakinan akan satu sumber pengetahuan adalah perilaku buruk yang harus ditanggalkan. Bangsa Yunani memiliki peran dan orisinalitas ilmiah. Tapi, orisinalitas dan keistimewaan mereka itu tidak berasal dari nol. Keagungan Yunani terletak pada kemampuan mereka mentransfer khazanah kebudayaan lain yang tertangkap oleh indera dan akal mereka, lalu melokalkannya. Artinya, mencerna kebudayaan itu hingga selaras dengan lingkungan mereka sendiri, sesuai dengan jati diri mereka, atau mengkritisinya sedikit demi sedikit sehingga mereka berhasil melampaui periode timur dalam ilmu dan memulai periode baru yang berbeda. Sifat akumulasi ilmu pengetahuan ini menunjukkan adanya komunikasi dan dialog antar peradaban. Dialog itu telah terjadi di masa lalu, dan juga akan berlangsung sekarang dan di masa depan. Tidak ada penghalang antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Semua peradaban itu adalah milik umat manusia. Setiap orang dan setiap bangsa berhak dan berkewajiban mengembangkan atau memperkaya warisan kebudayaan yang mereka terima dari generasi terdahulu, yang pada waktunya dulu juga telah memperkaya apa yang mereka terima dari generasi yang lebih terdahulu. Setiap peradaban saling mempengaruhi satu dengan lainnya tanpa kehilangan ciri khas mereka masing-masing akibat keistimewaan tempat dan zaman masing-masing. Kuliah ini bertujuan menyadarkan bahwa cakrawala kemanusiaan itu sangat luas, palungnya sangat dalam, dan bentangan zamannya sangat panjang. Dan Yunani bukanlah ujung cakrawala, dasar palung, dan akhir bentangan zaman. Al-‘Aqqad mengatakan manusia seyogyanya melipat cakrawala itu, menyelami palung itu, dan mengarungi bentangan zaman itu. Bukan saja karena hal ini akan mengajarkan orang itu tentang sejarah seorang tokoh, 11 membuatnya memahami sejarah sebuah bangsa, tapi juga karena hal ini akan mewujudkan makna dirinya, mengantarkannya kepada kesempurnaan, seiring dengan pengetahuannya tentang satu dari sekian tujuan yang bisa diraih oleh kekuatan manusia.12 Sebagai seorang muslim, mungkin Anda tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan, “Kapan Islam masuk ke Persia, Mesir, India, Cina, Jepang, Nusantara? Siapa yang menyebarkannya?” Lalu, sebagai seorang yang haus pengetahuan, Anda juga mungkin akan bertanya, “Bagaimana sejarah peradaban-peradaban kuno seperti Mesir, Persia, India, dan Cina?” Ini adalah pertanyaanpertanyaan yang dijawab dengan kajian historis. Kuliah ini terbuka untuk pembicaraan tentang hal tersebut, karena hal itu penting dalam memberikan kita perspektif berbeda dari para pemuja peradaban Yunani atau kaum Eropasentris. Namun demikian, dalam kuliah ini kita akan fokus pada pertanyaan-pertanyaan jenis lain, “Apa yang dipikirkan oleh orang-orang Mesir, Persia, India, Cina, Jepang, dan Nusantara, juga orang-orang Arab, sebelum mereka mengenal Islam?” Karena itu, kajian ini berhutang budi kepada ilmu sejarah, ilmu geografi (baik Historical Geography maupun Human Geography), Geologi, Palae-Climatology, berbagai cabang ilmu Fisika, Stratigraphy, Paleontology, Anthropology, Geochronology, dll. 13

11

Untuk mengenal Ghandi misalnya, bacalah buku-buku: Ruh ‘Azim al-Mahatma Ghandi karya ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Ghandi, Ghandi Nash’atuh, Ghandi Muqatil bila Hurub, 12 Ruh ‘Azim al-Mahatma Ghandi, Abbas Mahmud al-‘Aqqad, Kairo: Shirkah Fann al-Tiba‘ah, tt., h. 5. Jalan paling mudah untuk melakukan hal tersebut menurut al-‘Aqqad adalah mempelajari kehidupan tokohtokoh agung, karena mereka serupa tapi juga sekaligus berbeda satu sama lain. Mereka memberikan kepada kita bentuk-bentuk kemampuan, jenis-jenis fitrah, dan lebih dari itu mereka memiliki akhlak yang mulia. 13 ‘Abd al-Latif Ahmad ‘Ali, Muhadarat fi Tarikh al-Sharq al-Adna al-Qadim, Beirut: Maktab Karidiyyah Ikhwan, 1991, h. 19-22. 7


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.