CERAMAH UMUM FAK. USHULUDDIN DAN DAKWAH Senin, 26 September 2011, Aula Lt. III Gedung Rektorat PENGARUH AGAMA TERHADAP KESEHATAN MENTAL Oleh: Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf LN (Ketua Prodi Bimbingan dan Konseling PPs Universitas Pendidikan Indonesia Bandung) Menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama (homo religius), yaitu makhluk yang memiliki rasa keagamaan, dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama. Kefitrahannya inilah yang membedakan manusia dari hewan, dan juga yang mengangkat harkat dan martabatnya atau kemuliaannya disisi Tuhan. Dengan mengamalkan ajaran agama, berarti manusia telah mewujudkan jati dirinya, identitas dirinya (self-identity) yang hakiki, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (khalifah Allah) di muka bumi. Sebagai hamba dan khalifah Allah, hidup manusia di dunia mempunyai tugas suci, yaitu ibadah atau mengabdi kepadaNya. Bentuk pengabdian itu, baik yang bersifat ritual-personal (seperti shalat, shaum, dan berdo’a) maupun ibadah sosial, yaitu upaya menjalin silaturahim (hubungan persaudaraan antar manusia) dan menciptakan lingkungan hidup yang bermanfaat bagi kesejahteraan atau kebahagiaan umat manusia (rahamatan lil’alamin). Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia telah memberikan petunjuk (hudan) tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk pembinaan atau pengembangan mental (rohani) yang sehat. Sebagai petunjuk hidup bagi manusia dalam mencapai mentalnya yang sehat, agama berfungsi sebagai berikut. 1. Memelihara Fitrah: Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), bersih dari dosa dan noda. Namun karena manusia mempunyai hawa nafsu (naluri atau dorongan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan), dan juga ada pihak luar yang senantiasa berusaha menggoda atau menyelewengkan manusia dari kebenaran, yaitu syetan, maka manusia sering terjerumus melakukan perbuatan dosa. Agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya dan terhindar dari godaan syetan (sehingga dirinya tetap suci), maka manusia harus beragama, atau bertaqwa kepada Allah, yaitu beriman dan beramal shaleh, atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Apabila manusia telah bertaqwa kepada Tuhan, berarti dia telah memelihara fitrahnya, dan ini juga berarti bahwa dia termasuk orang yang akan memperoleh rahmat Allah. 2. Memelihara Jiwa: Agama sangat menghargai harkat dan martabat, atau kemuliaan manusia. Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, maka agama mengharamkan atau melarang manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan, atau pembunuhan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. 3. Memelihara Aqal: Allah telah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu aqal. Dengan aqalnya inilah, manusia memiliki (a) kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, atau memahami dan menerima nilai-nilai agama, dan (b) mengembangkan ilmu dan teknologi, atau mengembangkan kebudayaan. Melalui kemampuannya inilah manusia dapat berkembang menjadi makhluk yang berbudaya (beradab). Karena pentingnya peran aqal ini, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk mengembangkan dan memeliharanya, yaitu hendaknya manusia (a) mensyukuri nikmat aqal itu, dengan cara memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk berpikir, belajar, atau mencari ilmu; dan (b) menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak aqal, seperti : meminum minuman keras (miras), menggunakan obat-obat terlarang, menggunakan narkoba (naza), dan hal-hal lain yang merusak keberfungsian aqal yang sehat. 4. Memelihara Keturunan: Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan upacara agama yang sakral (suci), yang wajib ditempuh oleh pasangan pria dan wanita sebelum melakukan hubungan biologis sebagai suami-istri. Pernikahan ini bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah (tentram, nyaman), mawaddah (cinta kasih, mutual respect), dan rahmah (mendapat curahan karunia dari Allah). Tarmizi Taher dalam ceramahnya yang berjudul “Peace, Prosperity, and Religious Harmony in The 21 Century : Indonesian Muslim Perspektives” di Georgtown AS, mengemukakan bahwa akibat disingkirkannya nilai-nilai agama dalam kehidupan modern, kita menyaksikan semakin meluasnya kepincangan sosial, seperti : merebaknya kemiskinan, dan gelandangan di kota-kota besar; mewabahnya pornografi dan prostitusi; HIV dan AIDS; meratanya penyalahgunaan obat bius, kejahatan terorganisasi, pecahnya rumah tangga hingga mencapai 67 % di negara-negara modern; kematian ribuan orang karena 1
kelaparan di Afrika dan Asia, di tengah melimpahnya barang konsumsi di sementara bagiam belahan dunia utara (Suara Pembaharuan, 27 Nopember 1997). M. Surya (1977) mengemukakan bahwa agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri. Hal ini diakui oleh ahli klinis, psikiartis, pendeta, dan konselor bahwa agama adalah faktor penting dalam memelihara dan memperbaiki kesehatan mental. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustrasi, dan ketegangan lainnya, dan memberikan suasana damai dan tenang. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup umat manusia. Kehidupan yang efektif menuntut adanya tuntunan hidup yang mutlak. Shalat dan doa merupakan medium dalam agama untuk menuju ke arah kehidupan yang berarti. Pada uraian berikut dikemukakan pendapat para ahli tentang pengaruh agama terhadap kesehatan mental, yaitu sebagai berikut. 1. William James (seorang filosof dan ahli ilmu jiwa Amerika) berpendapat bahwa : a. Tidak diragukan lagi bahwa terapi terbaik bagi keresahan adalah keimanan kepada Tuhan b. Keimanan kepada Tuhan merupakan salah satu kekuatan yang tidak boleh tidak, harus terpenuhi untuk menopang seseorang dalam hidup ini. c. Antara kita dengan Tuhan terdapat suatu ikatan yang tidak terputus apabila kita menundukan diri di bawah pengarahan-Nya, maka semua cita-cita dan harapan kita akan tercapai. d. Gelombang lautan yang menggelora, sama sekali tidak membuat keruh ketenangan relung hati yang dalam dan tidak membuatnya resah. Demikian halnya dengan individu yang keimananya mendalam, ketenangannya tidak akan terkeruhkan oleh gejolak superfisial yang sementara sifatnya. Sebab individu yang benar-benar religius akan terlindung dari keresahan, selalu terjaga keseimbangannya, dan selalu siap untuk menghadapi segala malapetaka yang terjadi. 2. Carl G. Jung (Ahli Psikoanalisis dari Jerman) mengemukakan sebagai berikut : a. Selama tiga puluh tahun yang lalu, pribadi-pribadi dari berbagai bangsa di dunia telah mengadakan konseling denganku dan akupun telah banyak menyembuhkan pasien, tidak kudapatkan seorang pasienpun diantara pasien yang telah berada pada penggal kedua umur mereka, yakni dari 35 tahun yang problem esensialnya bukan kebutuhan akan wawasan agama tentang kehidupan. b. Dapat kukatakan bahwa masing-masing mereka telah menjadi mangsa penyakit, sebab mereka telah kehilangan sesuatu yang telah diberikan oleh agama-agama yang ada di setiap masa. Sungguh, tidak ada seorang pun diantara mereka yang menjadi sembuh kecuali setelah ia kembali pada wawasan agama tentang kehidupan. 3. A.A. Briel (Psikoanalisis) mengatakan bahwa : “individu yang benar-benar religius tidak akan pernah menderita sakit jiwa”. 4. Henry Link (ahli ilmu jiwa Amerika) menyatakan bahwa berdasarkan pengalamannya yang lama dalam menerapkan percobaan-percobaan kejiwaan atas kaum buruh dalam proses pemulihan dan pengarahan profesi, ia mandapatkan bahwa pribadi-pribadi yang religius dan sering mendatangi tempat ibadah menikmati kepribadian yang lebih kuat dan baik ketimbang pribadi-pribadi yang tidak beragama yang sama sekali tidak menjalankan suatu ibadah. 5. Arnold Toynbee (sejarawan Inggris) mengemukakan bahwa krisis yang diderita orang-orang Erofa pada jaman modern ini pada dasarnya terjadi karena kemiskinan rohaniah, dan terapi satu-satunya bagi penderita yang sedang mereka alami ialah kembali kepada agama. 6. Dadang Hawari Idries (psikiater) mengemukakan, bahwa dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan (1) komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit, dan mempercepat pemulihan penyakit, (2) agama lebih bersifat protektif daripada problem producing, dan (3) komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit. 7. Larson berpendapat bahwa “In navigating the complexities of human health and realtionship, religious commitment is a force to consider” (untuk mengemudikan atau mengendalikan kompleksitas hubungan dan kesehatan manusia, maka komitmen terhadap agama merupakan suatu kekuatan yang patut diperhatikan). (Utsman Najati, 1985; Iqbal Setyarso dan M. Solihat, 1996). 8. Zakiah Daradjat (1982 : 58) mengemukakan bahwa “apabila manusia ingin terhindar dari kegelisahan, kecemasan, dan ketegangan jiwa serta ingin hidup tenang, tentram, bahagia dan dapat membahagiakan orang lain, maka hendaklah manusia percaya kepada Tuhan dan hidup mengamalkan ajaran agama. Agama bukanlah dogma, tetapi agama adalah kebutuhan jiwa yang perlu dipenuhi”. 2
9. Carrel (Aulia, 1980 : 19,20) mengemukakan bahwa “Apabila do’a itu dibiasakan dan bersungguhsungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas. … Ia merupakan semacam perubahan kejiwaan dan kebadanan ….. Ketentraman ditimbulkan oleh do’a itu merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan”. Mengenai tidak dikabulkannya do’a, selanjutnya Carrel mengemukakan “Do’a itu sering tidak berhasil, karena kebanyakan orang yang memanjatkan do’a itu masuk golongan orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, pembohong, penyombong, bermuka dua, tidak beriman dan mengasihi”. 10. Shelley E.Taylor (1994 : 227) mengemukakan beberapa hasil penelitian para ahli tentang dampak positif agama, atau keimanan kepada Tuhan terhadap kesehatan mental dan kemampuan mengatasi stress, yang diantaranya sebagai berikut. ♦ Palaotzian & Kirkpatrick (1995) mengemukakan bahwa agama (keimanan) dapat meningkatkan kesehatan mental dan membantu individu untuk mengatasi stress. ♦ Ellison (1991) mengemukakan bahwa agama dapat mengembangkan kesehatan psikologis banyak orang. Orang-orang yang kuat keimanannya kepada Tuhan lebih bahagia dalam hidupnya, dan lebih sedikit mengalami dampak negatif dari peristiwa kehidupan yang traumatik dibandingkan dengan orang-orang yang rendah keimanannya kepada Tuhan (tidak melaksanakan ajaran agama). ♦ Koenig dkk (1988) mengemukakan bahwa banyak orang yang secara spontan melaporkan bahwa agama sangat menolong dirinya pada saat mengatasi stress. McIntosh dkk (1993) telah melakukan penelitian terhadap para orang tua yang kehilangan anaknya, karena kematian secara tiba-tiba, dengan melihat dua hal, yaitu : keyakinannyha bahwa agama sebagai sistem keyakinan dan keaktipannya di gereja. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka dapat menerima kenyataan tersebut secara wajar. Secara lebih khusus, mereka mendapatkan dukungan sosial, dan lebih mampu mengambil hikmah (makna) dari peristiwa kehilangan tersebut. ♦ McCullough dkk (2000) mengemukakan bahwa keyakinan beragama dapat memperpanjang usia. ♦ Seybold & Hill (2001) agama itu bukan hanya sebagai bagian hidup yang bermakna, tetapi juga memberikan keuntungan dalam mengembangkan mental yang sehat. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kesehatan mental individu. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa individu tidak akan mencapai atau memiliki mental yang sehat tanpa agama. Mengenai kaitan antara keimanan kepada Tuhan dan pengamalan ajaran-Nya dengan kesehatan mental, dalam Al-quran banyak ayat yang menunjukan hal tersebut, seperti : 1. Surat At-Tiin mengisyaratkan bahwa “manusia akan mengalami kehidupan yang hina/jatuh martabatnya termasuk juga kehidupan psikogis yang tidak nyaman (mentalnya tidak sehat) kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh (berbuat kebajikan)”. 2. Senada dengan surat At-Tiin adalah surat Al-‘Ashr, yaitu bahwa “semua manusia itu merugi (celaka hidupnya, tidak tentram, atau perasaan resah dan gelisah) kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, dan saling mewasiati dengan kebenaran dan kesabaran”. 3. Surat Ar-Ra’du: 28, “yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan berdzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah, hati akan menjadi tentram (bahagia)”. Makna dzikir disini adalah : a. Menegakkan shalat (baik fardlu maupun sunnah). Melalui shalat yang khusyu seseorang akan memperoleh ketenangan bathin (sehat rohani), dan sehat fisiknya. Menurut Sentot Haryanto (2001) shalat mengandung aspek-aspek psikologis yang dapat mengembangkan mental yang sehat. Aspekaspek psikologis itu adalah (a) aspek olah raga, artinya gerakan-gerakan shalat itu (dari mulai takbiratul-ihram sampai salam) memberikan efek terhadap kesehatan jasmaniah dan rohaniah; (b) aspek relaksasi otot, yang menurut Walker aspek ini dapat mengurangi kecemasan, dan insomnia (kurang dapat tidur), mengurangi hiperaktivitas pada anak, mengurangi toleransi sakit, dan membantu mengurangi merokok bagi yang ingin berhenti merokok; (c) aspek relaksasi kesadaran indera, karena pada saat shalat seseorang seolah-olah terbang ke atas (ruh) menghadap kepada Allah secara langsung tanpa ada perantara; setiap bacaan dan gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti, serta ingatannya senantiasa hanya ke pada Allah; (d) aspek meditasi, shalat memiliki efek seperti meditasi atau yoga bahkan merupakan meditasi tinggkat tinggi bila dijalankan dengan benar dan khusyu; (e) aspek auto-sugesti, yaitu upaya untuk membimbing diri pribadi melalui proses 3
pengulangan suatu rangkaian ucapan secara rahasia kepada diri sendiri yang menyatakan suatu keyakinan atau perbuatan; (f) aspek pengakuan dan penyaluran (katarsis), shalat merupakan sarana hubungan atau komunikasi manusia dengan Allah secara langsung; (g) sarana pembentukan kepribadian, melalui shalat manusia akan memiliki kedisiplinan, bekerja keras, mencintai kebersihan, mencintai kedamaian, bertutur kata yang baik dan berpribadi “Allahu Akbar”; dan (h) terapi air (hydro therapy), sebelum shalat seseorang harus melakukan wudlu; dan wudlu ini ternyata memiliki efek refreshing, penyegaran, membersihkan badan dan jiwa, serta pemulihan tenaga. b. Mengucapkan lapadz-lapadz tashbih (Subhaanallaah =Maha Suci Allah) , tahmid (Alhamdulillaah = segala puji bagi Allah), takbir (Allaahu Akbar = Allah Maha Agung), dan tahlil (Laa ilaaha illallaah = tiada tuhan kecuali Allah) dengan memahami dan menghayati maknanya. c. Membaca Al-Quran dengan memahami arti dan maksudnya. Orang muslim meyakini bahwa membaca al-Quran adalah ibadah kepada Allah. Dengan membaca dan memahami isinya, akan diperoleh petunjuk-petunjuk kehidupan yang akan membawa kepada suasana kehidupan yang nyaman (sejahtera), baik yang terkait dengan kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. d. Bersikap ihsan, menyadari bahwa Allah senantiasa mengawasi semua perilaku (yang tampak maupun tersembunyi). Orang yang telah memiliki sikap ihsan tidak mungkin akan melakukan perbuatan yang tidak baik, meskipun di tempat yang tersembunyi, karena menyadari bahwa Allah senantiasa melihat dirinya. e. Menyadari bahwa hidup ini tidak lepas dari ujian Allah, baik ujian dengan kenikmatan, rezeki, atau anugrah tahta dan harta; maupun dengan musibah, kesulitan, penyakit, kemiskinan, atau kegagalan dalam memperoleh yang diinginkan. Kesadaran tersebut mendorong seseorang untuk bersyukur apabila mendapat nikmat, dan bersabar apabila mendapat musibah. Apabila seseorang sudah memiliki sikap seperti tersebut, maka hidupnya akan bahagia (sehat mentalnya) dan terhindar dari gangguan mental. 4. Surat Al-Baqoroh :112 “tidaklah demikian, bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhan-Nya, dan tidak ada kekhawatiran atau kecemasan dan tidak pula kesedihan bagi mereka”. 5. Surat Al-Ahqof :13 “Sesungguhnya orang yang menyatakan Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka tetap istiqomah (teguh pendirian dalam keimanan kepada Allah dan menjalankan syariat-Nya), maka tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula berduka cita”. 6. Surat Al-Israa : 82 “ Dan Kami menurunkan dari Al-Quran, sebagai obat (penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” 7. Surat Yunus : 57 “Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu ‘mauidhah’ (nasihat) dari Tuhanmu, penyembuh bagi bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifaaun limaa fish shuduur), petunjuk, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Ayat “Syifaaun Limaa Fish Shuduur”, terkandung maksud bahwa Al-Quran merupakan obat yang dapat menyembuhkan atau menghilangkan berbagai penyakit hati manusia (amraadlul quluub). Al-Quran akan menjadi obat apabila dipahami isi kandungannya, dan diamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya. Penyakit-penyakit hati manusia itu diantaranya sebagai berikut. • Al-Isyraaku billaah: menyekutukan Allah, atau meyakini adanya tuhan-tuhan lain (dzat yang dipertuhan, atau disembah) selain Allah, seperti percaya kepada dewa-dewa, nyai roro kidul, dewi sri, jimat-jimat, dan dukun (para normal). • Riya: bersikap pamer, keinginan untuk dipuji oleh orang lain dalam melakukan suatu amal. Riya ini merupakan syirkul ashgar (musyrik kecil). • Al-kufru ilallaah: menolak perintah dan larangan Allah. • Annifaaq: bersikap ragu dalam beriman kepada Allah, atau karakteristik seseorang yang suka inkar janji, berbohong atau berdusta, dan berkhianat (tidak amanah). • Al-hasad: sikap dengki, dendam kesumat, iri hati atau keinginan untuk mencelakakan orang lain. • Al-ifsaad: sikap dan perilaku destruktif, trouble maker, mengganggu kenyamanan hidup orang lain (seperti premanisme, kriminalitas, penyalahgunaan obat-obat terlarang, tawuran dan meminum 4
minuman keras), atau merusak lingkungan hidup (seperti penggundulan hutan, pencemaran udara, membuang sampah di sembarang tempat). • Takabur: sikap sombong, arogan, suka membangga-banggakan diri, dan cenderung suka menghina (melecehkan) orang lain. Sikap ini biasanya muncul dari perasaan bahwa dirinya memiliki kelebihan dari orang lain, seperti dalam kecantikan, kekayaan, ilmu, jabatan, dan keturunan (basa sunda = “agul ku payung butut”). Dalam hadits dikemukakan bahwa “Tidak akan masuk surga, orang yang dalam hatinya ada sifat sombong, meskipun sebesar biji sawi”. • Bakhil: kikir, tidak mau menafkahkan harta kekayaannya di jalan Allah (tidak mau melaksanakan zakat, infaq, atau shadaqoh). • Hubbud dunya: sangat mencintai dunia dan melupakan akhirat (hamba dunia), sikap materialistik atau hedonistik. Bersikap “machievelis”, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (memperoleh jabatan/kedudukan, dan harta kekayaan). • Hubbusysyahawaat: mempertuhankan hawa nafsu, mengikuti dorongan hawa nafsu (instinktif), atau melakukan suatu perbuatan tanpa mempertimbangkan pemikiran yang matang atau norma agama (impulsif), seperti : sikap agresif, berzina (free sex), menggunakan obat-obat terlarang (narkoba), membunuh, mencuri, dan berperilaku kriminal. • Al-hazan: selalu merasa cemas, sedih, stress, atau mudah frustrasi. • Al-kasal: sikap malas, atau keengganan untuk melakukan suatu kebaikan (seperti malas belajar dan bekerja, atau malas beramal shaleh). • Su’udhan: berburuk sangka (negative thinking) kepada orang lain. Apabila seseorang memiliki penyakit-penyakit hati di atas, berarti dia telah mengidap penyakit rohaniah yang mencampakkan nilai-nilai kemanusiaannya, sehingga dia termasuk golongan manusia yang “khusrin’ atau “aspala saafiliin” (kedudukan yang sangat hina di sisi Allah). Menurut Thantawy, tecapainya suatu kelebihan hidup manusia apabila tidak menunjukan penyimpangan dari moral (akhlak) dan tidak pula menunjukan penyimpangan aqidah/iman (A. Faruq Nasution, 1973 : 64-65). Uraian diatas menerangkan tentang begitu pentingnya peranan agama dalam kesehatan mental. Berdasarkan hal tersebut, maka memberikan pendidikan agama kepada anak, merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehubungan dengan pendidikan agama ini, Dadang Hawari (1997 : 167) mengemukakan “bagaimanapun perubahan-perubahan sosial budaya tersebut terjadi, maka pendidikan agama hendaknya tetap diutamakan. Sebab daripadanya terkandung nilai-nilai moral, etik dan pedoman hidup sehat yang universal dan abadi sifatnya”. Yang dimaksud pendidikan agama disini bukan hanya memberikan pelajaran agama kepada anak, akan tetapi yang terpokok adalah terkait dengan penanaman keimanan kepada Tuhan, pembiasaan mematuhi dan memelihara nilai-nilai, atau kaidah-kaidah yang ditentukan oleh ajaran agama (menjalankan perintah atau kewajiban, dan menjauhi larangan atau yang diharamkan Allah). Kepada anak dijelaskan tentang apa yang (1) diperintahkan Allah kepada manusia, seperti : shalat, zakat, shaum, haji, berdo’a, berbuat baik kepada sesama manusia (terutama kepada kedua orang tua), menuntut ilmu (belajar), bertutur kata yang sopan, dan berperilaku jujur; dan (2) yang dilarang atau diharamkan Allah, seperti : memakan makanan atau meminum minuman yang haram, berdusta, mencuri, berzina (free sex), membunuh, bermusuh-musuhan (tawuran), dan sikap hasud. Agar penanaman kaidah-kaidah agama tersebut mudah diamalkan oleh anak, maka cara yang paling ampuh untuk ditempuh orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya adalah memberikan uswah hasanah (contoh atau tauladan yang baik) kepada anak. Pendidikan agama ini perlu diberikan kepada anak sejak kecil (usia dini atau masa pra-sekolah), karena nilai-nilai agama yang terinternalisasi atau mempribadi sejak kecil akan menjadi benteng moral yang kokoh, dan mampu mengontrol tingkah laku dan jalan kehidupannya, serta menjadi obat anti penyakit (gangguan jiwa). Terkait dengan pentingnya pendidikan agama bagi anak, Zakiah Daradjat (1982 : 57) mengemukakan bahwa agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak akan menjadi bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, yang dapat menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan dan dorongan yang timbul. Keyakinan terhadap agama akan mengatur sikap dan tingkah laku seseorang secara otomatis dari dalam. Agar pendidikan agama ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka semua pihak yang terkait, yaitu orang tua, para pendidik (dosen atau guru), para tokoh masyarakat, para kyai/ajengan/ustadz dan pemerintah harus bekerjasama dalam menanamkan nilai-nilai agama melalui bimbingan, pengajaran, 5
pembiasaan, dan contoh-contoh (tauladan) serta berusaha semaksimal mungkin untuk menghilangkan atau menumpas berbagai sumber-sumber dekadensi moral yang terjadi di masyarakat.
6