Urgensi dan Manfaat Filsafat Oleh: Ahmad Fadhil Secara naluriah manusia berusaha mengkaji dan meneliti kebenaran tentang berbagai hal. Naluri ini ada pada semua orang meskipun dalam takaran yang berbedabeda. Manusia selalu haus pada pengetahuan, lalu membuat ilmu tersendiri untuk setiap kumpulan permasalahan yang saling berkaitan. Salah satu ilmu itu disebut filsafat. Sebelum kita membahas secara lebih mendalam pengertian filsafat, dapat dikatakan di sini bahwa filsafat adalah ilmu yang menjawab banyak pertanyaan mendasar yang terlintas di benak manusia. Misalnya, pertanyaan tentang asal muasal wujud, awal dan akhir dunia, hakikat manusia serta hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan.1 Tapi, ada beberapa pandangan negatif terhadap filsafat. Pertama, filsafat dianggap sebagai sesuatu yang samar, suram, tidak jelas, susah dipahami, dan tidak berguna dipelajari. Kedua, filsafat adalah hura-hura pemikiran dan tidak pantas digeluti oleh bangsa yang sedang berkembang, yang cukup bagi mereka untuk berpikir dalam masalah-masalah yang langsung memberikan manfaat material dalam kehidupan sehari-hari saja. Ketiga, filsafat sudah tidak berguna di zaman sekarang ketika sains dan teknologi sudah sangat maju. Pandangan tersebut tidak benar. Orang yang merasa gentar saat mendengar kata filsafat, menganggapnya sebagai sesuatu yang samar, suram, tidak jelas, susah dipahami, dan tidak berguna dipelajari sudah ada sejak zaman dahulu. Zaqzuq mengutip perkataan Plato, “Orang-orang awam menyangka bahwa filsafat itu tidak berguna dan filsuf itu adalah pemimpi yang hidup di menara gading dan terasing dari kehidupan nyata, atau seperti terungkap dalam nada mencela, ‘Orang yang pergi ke kamar yang gelap untuk mencari kucing hitam yang tidak ada wujudnya.’”2 Anggapan ini menurut Zaqzuq menunjukkan ketidaktahuan banyak orang akan apa itu filsafat dan apa kegunaannya, atau seperti dalam ungkapan Oswald Coldbeh3
1
‘Ilm al-Falsafah, Markaz Nun li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Jam‘iyyah al-Ma‘arif al-Islamiyyah alThaqafiyyah, 2010, h. 14. 2 Madkhal ila al-Fikr al-Falsafi, h. 5. 3
Madkhal ila al-Fikr al-Falsafi, h. 6.
Kedua, filsafat bukan sesuatu yang tidak penting dan bukan sesuatu dapat diabaikan oleh bangsa mana pun. Rene Descartes mengatakan, “Hanya filsafat yang membedakan kita dengan orang-orang primitif dan barbar. Kebudayaan dan peradaban suatu bangsa itu diukur dengan kadar tersebarnya filsafat yang benar di kalangan mereka. Karena itu, nikmat Tuhan yang paling besar bagi suatu bangsa adalah Dia memberikan mereka para filsuf yang sejati.4 Ketiga, fungsi filsafat berbeda dengan fungsi ilmu-ilmu parsial. Sains, sebagai ilmu parsial, mengkaji sesuatu pada salah satu bagiannya saja, sedangkan filsafat mengkajinya sebagai keseluruhan; sains hanya mendeskripsikan sesuatu, sedangkan filsafat menggali substansinya serta menemukan nilai dan kadarnya. Atau, dengan kata lain, sains hanya menggambarkan fenomena (kulit, tampilan) sesuatu, sedangkan filsafat berupaya mencapai nomena (isi, hakikat) yang tersembunyi di balik penampilan tersebut. Lebih dari itu, filsafat pada dasarnya adalah pemikiran, dan pemikiran adalah ciri khas manusia baik mereka mau atau tidak. Zaqzuq mengatakan,5
4
Dikutip oleh Zaqzuq dari buku Mabadi‘ al-Falsafat li Dikart, terj. ‘Uthman Amin, Kairo: 1960, h. 48. Lihat: Madkhal ila al-Fikr al-Falsafi, h. 6. 5
Madkhal ila al-Fikr al-Falsafi, h. 7.
Ada masalah-masalah yang merasuk begitu saja ke dalam pikiran manusia dan mau tidak mau mereka harus memikirkannya. Manusia juga memiliki rasa penasaran dan keraguan yang mendorongnya untuk melakukan kajian. Hal ini telah dijelaskan oleh Plato, al-Ghazali, dan Kant.
Filsafat dan Manusia Sebagaimana telah disinggung, berpikir adalah ciri khas manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Mengenali dan merenungi karakteristik dan keistimewaan manusia ini akan memberikan kita pemahaman tentang peran dan nilai penting kajian filsafat. Karena itu, pada bagian awal pelajaran ini kita akan mengkaji jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini, “Apa hakikat manusia?” “Apa perbedaannya dengan makhluk lain?” “Apa masalah utama yang dihadapi oleh manusia?” “Apa arti pandangan dunia?” “Apa kebutuhan manusia terhadapnya?” “Apa peran filsafat dalam membentuknya?”6 Hakikat manusia
6
Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari, Qum: Dar Faraqid, cetakan ke1, h. 182.
Apa hakikat manusia? Para ahli logika mendefinisikan manusia sebagai hayawan natiq.7 Binatang yang berpikir atau homo sapiens.8 Artinya, manusia adalah salah satu jenis binatang dan memiliki banyak kesamaan dengan binatang-binatang lain. Tapi, adanya kesamaan ini tidak berarti manusia tidak memiliki keistimewaan yang membuatnya menjadi makhluk yang tidak ada bandingannya di antara makhluk-makhluk lain. Peradaban yang telah dibangun manusia menunjukkan perbedaan yang mendalam tersebut, yang dapat dirangkum dalam dua poin utama, yaitu keluasan dan kedalaman pengetahuannya dan tujuan yang hendak dicapainya.9 Perbedaan pengetahuan binatang dengan pengetahuan manusia Perbedaan pengetahuan binatang dengan pengetahuan manusia terdapat pada poin-poin berikut: Pertama, karena binatang-binatang tidak memiliki jalan untuk berhubungan dengan dunia luar kecuali dengan indera-indera zahirnya, maka pengetahuannya tentang dunia luar tidak lebih dari tampilan-tampilan luar, atau zahir, atau fenomena dari sesuatu tersebut. Pengetahuan binatang tidak dapat menembus ke dalam hakikat atau batin atau nomena sesuatu dan tidak dapat mengetahui relasi-relasi yang mengaitkan suatu benda dengan benda lainnya. Kedua, sebagai implikasi dari karakter itu, pengetahuan binatang bersifat parsial dan tidak dapat meningkat untuk mengetahui hukum-hukum universal yang mengatur dunia material bahkan wujud secara keseluruhan. Binatang tidak dapat mengetahui konsep-konsep dan hukum-hukum universal. Ketiga, pengetahuan binatang tidak melampaui lingkungan geografis tempat tinggalnya, sedangkan pengetahuan manusia dapat melampaui tempat tinggalnya. Manusia berusaha mengetahui gunung, lautan, tanaman, binatang tanpa terikat oleh tempat tertentu, bahkan berusaha mengetahui misteri di luar planet bumi. Keempat, pengetahuan binatang tidak melampaui momen waktu aktual hidupnya dan terputus dari masa lalu dan masa depan. Sementara itu, manusia berusaha 7
al-Muqarrar fi Sharh Mantiq al-Muzaffar Ma‘a Matnih al-Musahhah, Ra’id al-Haydari, Qum: Dhawi al-Qurba, cetakan ke-2, 1386 H, h. 13. 8 Lihat: Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, Jujun S. Suriasumantri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet. Ke-14, 1999, h. 1. 9 Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari,h. 183-184.
mengetahui hal-hal yang ada di masa lalu untuk dijadikan pelajaran agar dapat hidup di masa sekarang dan merancang masa depan yang lebih baik.10 Penjelasan tersebut dapat dirangkum dalam bagan berikut: N
Pengetahuan binatang
Pengetahuan manusia
1
Berkaitan dengan zahir
Dapat menyentuh hakikat (nomena)
o atau penampilan luar sesuatu. 2 Bersifat parsial 3 Spasial 4 Temporer dan a historis
sesuatu. Universal Tidak dibatasi oleh ruang Tidak dibatasi waktu dan historis
Perbedaan tujuan binatang dengan tujuan manusia Selanjutnya, apa perbedaan tujuan yang hendak dicapai oleh binatang dan manusia? Perbedaan manusia dengan binatang—dan dapat kita katakan juga perbedaan antar
manusia
satu
dengan
lainnya—sangat
ditentukan
oleh
karakteristik
pengetahuannya, karena tujuan adalah buah dari pengetahuan. Tujuan hidup binatang memiliki karakteristik berikut ini: Pertama, hal-hal bersifat material dan fisikal saja. Yaitu tidak lebih dari sekadar makan, minum, tidur, bermain, seks, dan lainnya yang berkaitan dengan badan dan materi, dan tidak mungkin meningkat kepada hal-hal yang bersifat spiritual dan moral. Kedua, hal-hal yang bersifat personal dan individual saja. Jika ada binatang yang terlihat dapat bekerja sama seperti semut dan lebah, ini tidak menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan berdasarkan kehendak bebas mereka, melainkan karena naluri yang ditanamkan pada diri mereka membuat mereka melakukan hal tersebut. Tujuan hidup manusia, manusia mana saja, yang ada pada dirinya secara fitri, adalah sebagai berikut:
10
1.
Mengetahui hal-hal yang belum dia ketahui.
2.
Mencintai kebaikan dan kebajikan.
3.
Mencintai keindahan.
4.
Kecenderungan untuk mencipta.
5.
Cinta dan ibadah.
Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari,h. 184-186.
Kelima karakteristik tujuan manusia ini berpusat ke satu poros, yaitu cinta kepada kesempurnaan. Al-Khumaini di dalam Risalah al-Talab wa al-Iradah, seperti dikutip oleh al-Haydari, mengatakan, “Ringkasnya, manusia, berdasarkan fitrahnya, adalah pencinta kesempurnaan absolut. Fitrah ini diikuti oleh fitrah lain yaitu upayanya menghindari kekurangan dalam bentuk apa pun.”11 Sampai di sini, kita dapat menyatakan bahwa karakter manusia yang membedakannya dari binatang-binatang lain dapat dirangkum dalam dua poin: 1.
Manusia adalah makhluk yang berpikir.
2.
Manusia adalah pencinta kesempurnaan absolut.
Problem asasi dalam hidup manusia Setelah memahami perbedaan manusia dengan binatang-binatang lain, pertanyaan selanjutnya yang akan kita diskusikan adalah apa problem asasi yang harus dijawab oleh manusia—makhluk yang berpikir dan pencinta kesempurnaan absolut itu —di dalam hidupnya di dunia? Dengan ungkapan lain, jika manusia adalah pencari kesempurnaan yang absolut, maka apakah ada jalan yang mengantarkannya kepada tujuannya itu? Jika ada, apa? Pertanyaan abadi dan asasi bagi manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian: 1. Pertanyaan tentang hakikat wujud. 2. Pertanyaan tentang hakikat manusia. 3. Pertanyaan tentang jalan kesempurnaan. Berkaitan dengan hakikat wujud, manusia mempertanyakan di antaranya hal-hal sebagai berikut: a. Apakah yang disebut dengan wujud itu sama dengan materi ataukah materi hanya salah satu aspek dari wujud? b. Jika kita menerima asumsi yang kedua, maka apakah ada ikatan antara dunia materi dengan apa yang ada di balik dunia materi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan membawa manusia pada pengetahuan tentang Allah.
11
Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari, h. 187-188.
Berkaitan dengan hakikat manusia, manusia bertanya di antaranya tentang halhal sebagai berikut: a. Apakah manusia hanyalah badan yang dapat diindera ini saja ataukah selain itu dia memiliki ruh yang bersifat immateri dan tidak terindera? b. Jika kita menerima asumsi kedua, apakah ruh akan abadi setelah kematian dan hancur leburnya badan? c. Mungkinkah manusia akan dibangkitkan atau dihidupkan kembali? d. Apakah ada keterkaitan antara kedua kehidupan tersebut? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan membawa manusia pada pengetahuan tentang maad, “dunia lain”, atau alam akhirat. Pada bagian ketiga, berkaitan dengan jalan menuju kesempurnaan, manusia mempertanyakan hal-hal yang mengaitkan awal dengan akhir kehidupannya dan menjelaskan peran Sang Pencipta dalam memberikan bimbingan bagi manusia menuju kebahagiaannya yang abadi. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pada bagian ketiga ini akan membawa manusia pada kesimpulan bahwa dia memiliki cara untuk mengetahui metode yang benar bagi kehidupan individual dan sosial, dan menerapkan cara itu bukan hanya akan memberikan kebahagiaan di dunia yang terbatas dan dapat menghilang dengan cepat, tapi juga akan memberikan kebahagiaan yang abadi. Cara atau atau jalan itu adalah “wahyu” yang diturunkan Allah kepada para nabi. Dari paparan ini terlihat jelas hubungan antara filsafat dengan agama. Poin ini akan kita bahas lebih lanjut pada pelajaran selanjutnya. Himpunan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu disebut dengan al-ru’yah alkawniyyah (pandangan dunia, weltanschaung), yaitu sistem pemikiran dan ideologis yang menentukan perilaku manusia di dalam kehidupan di dalam berbagai aspek.12 Tidak ada manusia di dunia yang tidak berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan yang ada secara fitri di dalam jiwanya ini. Secara alami setiap orang akan mencari jawabannya. Jika dia tidak mendapat atau tidak tuntas dalam mencari jawaban
12
Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari, h. 189-192.
yang rasional, maka dia akan memegang jawaban dari sumber yang lain, dari legenda misalnya. Karena itu, sering kita dapati orang yang meyakini adanya hal-hal yang tidak memiliki dasar kebenaran sama sekali, meyakini adanya keberuntungan, hantu, dan yang seperti itu. Keyakinan ini akan tercermin secara langsung pada perilakunya dalam kehidupan. Akhlak, perbuatan, dan kemampuan mental mereka dipengaruhi oleh keyakinan ini. Filsafat menjamin akan memberikan jawaban rasional bagi masalah-masalah tersebut. Kita tidak dapat mengabaikan ilmu ini, karena filsafat adalah ilmu yang dapat menghilangkan dahaga manusia dalam bidang ini. Ini juga menunjukkan urgensi filsafat karena filsafat memberikan neraca dan timbangan atas hal-hal yang benar-benar ada, yang dengannya orang dapat membedakan wujud yang hakiki dari ilusi dan khurafat. Ini adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia.13 Dengan meneliti sejarah peradaban manusia dalam berbagai periode, maka kita akan melihat bahwa manusia terbagi ke dalam dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang mengingkari adanya awal dan akhir bagi dunia ini. Bahtera umat manusia menurut pandangan kelompok ini seperti kapal laut-kapal laut yang terus bermunculan di permukaan laut, lalu dipermainkan oleh ombak, sampai tenggelam ke dasar lautan tanpa mencapai tepian yang aman dan tenang. Inilah kelompok yang terkena problem keterlantaran dan kehilangan afiliasi. Mereka adalah manusia kontemporer yang telah mewujudkan kemajuan luar biasa dalam teknologi, lalu kebingungan dan tidak mengetahui dari mana ia berasal? Ke mana akan pergi? Ke mana dia harus mengarah? Bagaimana dia harus melangkah? Kedua, kelompok yang mencari jawaban tentang awal dan akhir kehidupan serta jalan lurus yang mengantarkan ke tujuan. Mereka adalah para pemikir/filsuf yang memiliki kesiapan yang cukup untuk berpikir secara serius untuk mencari dan mempersembahkan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan tersebut.14 Kelompok pertama dapat disebut sebagai kaum atheis/materialis. Termasuk di dalamnya orang-orang yang mengambil sikap diam atau mengakui ketidaktahuan tentang masalah-masalah tersebut. Mereka dapat disebut sebagai kaum agnostisis.
13 14
‘Ilm al-Falsafah, Markaz Nun li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, h. 14-15. Madkhal ila Manahij al-Ma‘rifah ‘Inda al-Muslimin, Kamal al-Haydari, h. 189-190.
Kelompok kedua disebut sebagai kaum spiritualis. Termasuk di dalamnya orang-orang yang telah menjawab masalah-masalah ini dengan menyatakan bahwa sumber pengetahuan mereka tentangnya adalah wahyu, yaitu para nabi/rasul, yang kemudian dilanjutkan oleh sekelompok ulama yang mengikuti jejak mereka dalam menjelaskan prinsip-prinsip keyakinan ini yang disebut para teolog/mutakallim.15 Dari penjelasan ini, kita dapat mengerti mengapa para ulama Islam menggunakan istilah Usul al-Din bagi ketiga masalah yang membentuk pandangan dunia tersebut. Sebab, pengetahuan tentang Allah merupakan jawaban bagi pertanyaan pertama, “Dari mana?” Pengetahuan tentang ma‘ad atau alam akhirat adalah jawaban bagi pertanyaan kedua, “Ke mana?” Dan pengetahuan tentang wahyu dan kenabian adalah jawaban bagi pertanyaan ketiga, “Di mana?” Jadi, ideologi, yaitu pemikiran-pemikiran dan kaidah-kaidah legal dan moral yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara langsung, yang mencakup ungkapan “engkau harus melakukan ini” dan “engkau tidak boleh melakukan ini”, semuanya muncul dari pandangan dunia. Misalnya, proposisi praktis yang menyatakan, “Engkau harus beribadah kepada Allah,” muncul dari proposisi teoritis yang menyatakan, “Allah adalah Pencipta alam, manusia, dan semua makhluk yang ada.” Selama proposisi teoritis ini belum terbukti, maka tidak ada tempat bagi proposisi praktis yang menetapkan perilaku tertentu bagi manusia tersebut. Jelas bahwa keyakinan tentang wujud Allah tidak berkaitan secara langsung dengan perilaku manusia, karena proposisi ini tidak mengandung pengertian harus atau tidak boleh. Proposisi ini adalah bagian dari pandangan dunia. Ini berbeda dengan keyakinan tentang “Kewajiban beribadah kepada Allah.” Keyakinan ini berkaitan secara langsung dengan perilaku manusia dan menetapkan tanggung jawab tertentu. Mutahhari mengatakan, “Mengapa kita melihat Si A membela ideologi ini sedangkan Si B membela ideologi yang lain? Jika kita bertanya kepada mereka tentang penyebab yang membuat mereka meyakini ideologi itu dan bukan yang lain, maka engkau akan mendapatkan jawabannya berasal dari pandangan dunia yang mereka anut tentang manusia, dunia, sejarah, dan wujud. Jadi, ideologi adalah anak dari pandangan dunia. Jika pandangan dunia berbeda satu dengan yang lainnya, maka itu akan 15
Perbedaan antara filsafat /filsuf dan ilmu kalam/teolog akan didiskusikan lebih lanjut.
berimplikasi perbedaan ideologi satu dengan lainnya, karena dasar pemikiran yang menjadi pijakan ideologi adalah penjelasan yang dimiliki manusia tentang alam, manusia, dan wujud.� Penjelasan ini juga menerangkan relasi yang sangat erat antara ideologi dengan pandangan dunia. Jika pandangan dunia itu berasas pada keimanan kepada Allah, akhirat, dan kenabian dan wahyu, maka perilaku praktis yang dituntutnya akan berbeda sama sekali dengan perilaku praktis yang dituntut oleh pandangan dunia materialistis yang berasas pengingkaran pada awal dan akhir. Filsafat sangat penting dipelajari untuk memahami berbagai aliran pemikiran dan ideologi yang tersebar di dunia, karena setiap aliran pemikiran dan ideologi terbentuk di atas pondasi berupa ide-ide filosofis, sementara manusia pada zaman sekarang tidak dapat melepaskan diri dari aliran pemikiran dan ideologi yang ada di sekitarnya, yang mempengaruhinya baik secara langsung atau tidak langsung, baik secara positif atau negatif, karena dunia pada saat ini sudah sangat terkoneksi satu dengan lainnya.16 Para filsuf Islam menyebut pandangan dunia dengan istilah filsafat teoritis dan ideologi dengan istilah filsafat praktis.
16
Madkhal ila al-Fikr al-Falsafi, Juzif Bukhinski, terj. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Madinat Nasr: Dar alFikr al-‘Arabi, cet. III, 1416 H./1996 M., h. 3-4.