Kedaulatan Allah dan Kebebasan Manusia

Page 1

Kedaulatan Allah Dan Kebebasan Manusia1 Ahmad Fadhil2 Pendahuluan Pada dua pertemuan terdahulu kita telah mendiskusikan urgensi kajian teologis, dalildalil rasional bagi wujud Tuhan, dan dalil-dalil rasional bagi prinsip tauhid. Hari ini kita akan mendiskusikan makna prinsip kedaulatan Allah (ha>kimiyyah Alla>h) yang menyatakan bahwa yang berdaulat hanya Allah saja sebagai salah satu bentuk tauhid, relasinya dengan kebebasan manusia, dan aspek-aspek politiknya. Sebelum itu, untuk sekadar menyegarkan ingatan, pada pertemuan pertama kita telah mendiskukan argumen-argumen rasional tentang wujud Tuhan. Salah satunya adalah dalil kausalitas. Dalil ini berbunyi: segala sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan. Alam ini ada. Jadi, alam ini ada yang mengadakan. Yang mengadakan alam adalah apa yang disebut sebagai Tuhan. Jadi, Tuhan itu ada. Kontroversi yang muncul seputar dalil ini adalah: Tuhan itu ada, segala sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan. Jadi, Tuhan itu adalah yang mengadakan. Bagaimana Anda menjawab kontroversi ini? Dengan belajar Teologi, ilmu Kalam, ilmu Tauhid, Anda diharapkan mampu menjawab kontroversi seperti ini. Selanjutnya, mari kita kembali kepada tema diskui kita hari ini. Ja‘far al-Subhani menerangkan tingkatan-tingkatan tauhid yaitu al-tawhi>d al-dha>ti>, al-tawhi>d fi als}ifa>t, al-tawhid fi> al-kha>liqiyyah, al-tawhi>d fi> al-rubu>biyyah, al-tawhi>d fi> al-ha>kimiyyah wa al-taqni> al-Isln, dan al-tawhi>d fi> al-‘iba>dah.3 Subjek diskusi kita hanya salah satu tingkatan tersebut, yaitu al-tawhi>d fi> al-ha>kimiyyah dengan membahas urgensi subjek ini dalam kehidupan manusia, tingkat kebebasan yang dapat dinikmati manusia di dalam pemerintahan/masyarakat yang berbasis pada konsep tauhid. 1

Disampaikan dalam Diskusi Teologi Kelas AF Khusus Semester IV Jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN “SMH” Banten pada hari Rabu, 25 Mei 2011. 2 Dosen Filsafat Islam IAIN “SMH” Banten. 3 Al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah ‘ala> D}aw’ Madrasah Ahl al-Bayt, Ja‘far al-Subhani, http://www.aqaed.com/book/316/ h. 46-61, diakses kembali pada hari Rabu, 25 Mei 2011. 1


Urgensi tema al-tawhi>d fi> al-ha>kimiyyah Tema ini penting karena pada zaman sekarang konsep kebebasan manusia adalah konsep kunci dan tuntutan utama manusia dalam bidang politik dan setiap pemerintahan dituntut untuk menjamin kebebasan bagi warganya. Tema ini sangat dekat dengan wacana Islam politik yang membawa kita kepada tema demokrasi, negara Islam, fundamentalisme, radikalisme, dan sebagainya. Ini membuat Ilmu Kalam yang mempelajari tema ini menjadi ilmu yang “seksi”, maksudnya ilmu yang sangat menarik.4 Kajian tentang tema ini bisa dengan menggunakan metode historis seperti yang telah dilakukan oleh Husayn ‘Atwan dalam bukunya Mala>mih min al-Shu>ra fi> al-‘As}r al-Umawi>5 dan Hadi al-‘Alawi dalam bukunya Fus}u>l min Ta>rikh al-Isla>m alSiya>si.>6 ‘Atwan memaparkan majlis-majlis, tokoh-tokoh, tema-tema, dan hasil-hasil shura pada masa dinasti Umawiyyah. ‘Alawi membahas konsep Islam politik, taktik dakwah Islam, khilafah dan khulafa’, wacana-wacana dan karya-karya dalam bidang politik Islam. Yang lebih menarik adalah pembahasannya tentang pengalaman pemerintahan agama pada masa Nabi saw serta pembunuhan-pembunuhan dengan motif politis yang terjadi pada masa Khilafah Rashidah, Dinasti Umawiyyah, dan Dinasti ‘Abbasiyyah. Dia juga membahas masalah pandangan Islam tentang penyiksaan serta beberapa tema lainnya.

4

Ilmu Kalam juga memberikan argumentasi tentang adanya wujud yang bersifat non material dan berada di luar jangkauan indera, sementara menjelaska bagaimana pengetahuan ini bisa diperoleh dan absah adalah tugas filsafat. Karena itu, Subhi mengatakan bahwa ilmu Kalam menempati posisi yang penting dalam ilmu filsafat, sehingga beberapa spesialis Filsafat Islam membagi bidang-bidangnya menjadi: 1) Ilmu Kalam, 2) Tokoh-tokoh filsuf muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufayl, Ibnu Rushd, dan lain-lain yang telah berupaya mengharmoniskan agama dengan filsafat, dan 3) Tasawuf. Perlu diungkap di sini bahwa Subhi tidak setuju dengan penamaan “Filsafat Arab” dengan alasan: 1) Tidak ada pembahasan dalam ilmu ini yang berkaitan dengan bangsa atau ras tertentu yaitu Arab, 2) Semua tema ilmu ini berkaitan dengan agama, 3) Ilmu Kalam Islam sebanding dengan Lahu>t Kristen, 4) Para filsuf muslim berusaha mengharmonisasi filsafat dengan agama, bukan filsafat dengan kearaban, 5) Ada tasawuf Budha, Yahudi, Kristen, dan tidak ada ada tasawuf Inggris, Perancis, atau Arab, dan 6) Semua kajian dalam ilmu ini dapat dipahami jika dilepaskan dari kearaban, tapi tidak dapat dipahami jika dilepaskan dari keislaman. (Fi> ‘Ilm al-Kala>m Dira>sah Falsafiyyah li Ara>’ al-Firaq alIsla>miyyah, I, al-Mu‘tazilah, Ahmad Mahmud Subhi, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, cet. V, 1405 H./1985 M., h. 15-16 dan footnote * pada halaman 16). 5 Mala>mih min al-Shu>ra fi> al-‘As}r al-Umawi>, Husayn ‘Atwan, Beirut: Dar al-Jayl, cet. I, 1411 H./1991 M.. 6 Fus}u>l min Ta>rikh al-Isla>m al-Siya>si>, Hadi al-‘Alawi, Nicosia: The Center for Socialist Studies and Research in the Arab World, cet. II, 1999. 2


Berdasarkan kajiannya tersebut ‘Alawi menegaskan bahwa negara Islam (al-dawlah al-isla>miyyah) setelah masa Khilafah Rashidah tidak terikat oleh hukum-hukum syariat, kecuali dalam bidang pengadilan. Bidang pengadilan pun sesungguhnya diselenggarakan berdasarkan syariat Islam hanya pada hal-hal yang tidak berkaitan dengan kebijakan negara dan kepentingan para penguasa.7 Kebebasan manusia di bawah naungan kedaulatan Tuhan Kebebasan, sebagaimana diterangkan oleh al-Quran dan riwayat dari Rasul saw, adalah hak asasi manusia yang paling pasasi, berasal dari tabiat mereka, dan tidak bersumber dari kesepakatan sosial. Kebebasan adalah tujuan luhur dan hanya dapat diraih manusia setelah menempuh perjalanan yang sulit dan penuh ujian. Dari firman Allah QS al-Insan: 2 dan al-Baqarah: 124 dapat dideduksi bahwa ibtila>’ (ujian) adalah salah satu faktor pembentukan pribadi manusia yang melihat dan mendengar, dan yang mengusahakan derajat yang tinggi, yaitu ima>mah (kepemimpinan); bahwa manusia yang bebas seperti Ibrahim adalah orang yang telah terbebas dari kuasa motif internal dan eksternal dan tidak lagi bereaksi terhadapnya, juga orang yang mampu mengendalikan peristiwa dan kejadian di sekitarnya. Faktor-faktor eksternal memaksa orang untuk bereaksi. Reaksi masing-masing orang biasanya sebanding dengan “bobot internal” dirinya, bisa reaktif irrasional atau aktif rasional. Reaksi rasional ini ada dalam bentuk yang bertingkat-tingkat dan tergantung kepada derajat “kemurnian” masing-masing individu.8 Baqir al-Sadr mendefinisikan bobot internal manusia sebagai kandungan intelektual dan spiritual seseorang, pemikiran dan kehendaknya, tujuan dan penggerak bagi perjalanannya di dalam arus sejarah umum, yang membentuk infrastruktur masyarakat, dan merupakan perwujudan dari “konsep ideal” yang dipilih oleh orang tersebut.9 Jadi, bobot internal seseorang atau muatan intelektual dan kekuatan spiritual seseorang ditentukan oleh konsep ideal yang dia pilih atau dia anut yang pada gilirannya bobot internal ini sangat berpengaruh terhadap gerakan sejarah dan perjalanan umat manusia. Dari gambaran Baqir al-Sadr tersebut, dapat kita gambarkan bahwa: konsep 7

Fusul, h. 6. “Al-Hurriyyah fi Duktrin (Nazariyyah) al-Mahdawiyyah” dalam al-Maw ‘ud Majallah Takhassusiyyah Ta‘ni bi al-Mahdawiyyah, Qum: Mu’assasah al-Mustaqbal al-Mudi‘, edisi pertama, Rajab 1427 H., h. 178-185. 9 Al-Tajdi>d al-Kala>mi> ‘Inda al-Shahi>d al-Sadr, al-As‘ad bin ‘Ali, Qum: Markaz al-Abhath al-‘Aqa’idiyyah, cet. I, 1427 H., h. 8

3


ideal ďƒ tujuan hidup ďƒ bobot internal manusia ďƒ gerakan sejarah dan perjalanan umat manusia. Karena itu, karakteristik langkah manusia secara individual atau sosial dapat dilihat dari konsep ideal mereka. Jika konsep ideal yang dipilih seseorang atau suatu masyarakat baik dan luhur, maka tujuan orang dan masyarakat itu akan baik. Begitu juga sebaliknya. Baqir al-Sadr menjelaskan bahwa ada tiga macam konsep ideal, yaitu: Pertama, konsep ideal yang diambil dari realitas kehidupan dengan segala kondisi dan situasinya. Konsep ideal ini berumber dari kristalisasi realitas dan transformasi kondisi realitas yang relatif menjadi absolut agar masyarakat tidak dapat melampaui realitas itu dan tidak dapat mengangkat obsesinya dari tataran realitas. Konsep ideal ini dipilih atau dianut seseorang disebabkan dua faktor. Pertama, faktor psikologis, yakni kondisi kemalasan dan rasa nyaman dengan kebiasaan mengkultuskan fenomena tertentu. Kedua, faktor sosiologis, yakni hegemoni para tiran yang memandang tauhid sebagai pelanggaran terhadap batas-batas realitas dan ancaman terhadap kekuasaan mereka. Untuk menjaga kepentingan mereka, maka para tiran itu menutup mata manusia dari semua cakrawala di luar realitas. Para tiran selalu berusaha membekukan gerakan masyarakat, mengubah realitas yang relatif menjadi absolut, memenjara masyarakat dengan simbol-simbol masa lalu yang sempit. Karena itu, perang antara tauhid melawan kekafiran sesungguhnya adalah perang antara kemajuan melawan kebekuan. Tiran dan manifestasi ekonomi, sosial, maupun politiknya adalah institusi yang menarik masyarakat ke belakang dan menghalang-halangi mereka dari kemajuan. Masyarakat yang menganut konsep ideal yang pertama ini akan menjadi masyarakat semu yang hidup dalam keterpecahbelahan. Sebab, dengan ketiadaan akidah tauhid, maka tiada juga kerangka yang menyatukan mereka. Setiap orang akan tertarik oleh kebutuhan dan kepentingannya sendiri, seperti makan, minum, dan kesenangan murahan bagi diri dan keluarganya. Kedua, konsep ideal terbatas yang bukan pengulangan dari realitas, melainkan proyeksi futuristik yang diambil dari salah satu bagian dari perjalanan futuristik yang panjang. Boleh jadi ada pembenaran bagi fenomena ini, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami kemutlakan karena keterbatasan pikiran mereka. Bahaya fenomena ini

4


adalah melekatkan sifat absolut pada masa depan yang dekat. Kemajuan yang dapat diperoleh masyarakat yang menganut konsep ideal ini terbatas pada horison konsep ideal tersebut. Ketiga, konsep ideal yang diimani oleh akidah tauhid, yaitu Allah. Urgensi kultural akidah ini dijelaskan oleh Baqir al-Sadr dalam dua poin. Pertama, akidah tauhid menciptakan keselarasan antara kesadaran manusia dengan realitas alam yang menetapkan konsep ideal ini sebagai fakta fundamental. Allah adalah konsep ideal. Ini fakta yang pasti. Manusia harus menyadari dan terkait dengan hal ini. Manusia berjalan menuju Allah, baik mereka mau atau tidak. Orang-orang yang menentang Allah pun berjalan menuju Allah tanpa mereka sadari. Kedua, akidah tauhid menciptakan perubahan besar secara kuantitatif dan kualitatif bagi perjalanan manusia dan masyarakat. Jadi, tauhid adalah pondasi bagi bobot internal manusia yang menjadikan Allah sebagai konsep ideal. Konsep ini akan membebaskan manusia secara internal dan membebaskan alam secara eksternal. Pembebasan manusia secara internal terjadi dengan pembebasan dirinya penyembahan terhadap nafsu dan syahwat, serta mengaitkannya dengan cakrawala yang lebih luas dan tujuan yang lebih tinggi. Pembebasan alam secara eksternal artinya pembebasan alam dan masyarakat dari kekuasaaan tiran dan segala macam eksploitasi. Karena itu, kata Baqir al-Sadr, jiha>d akbar tidak dapat terpisah dari jiha>d as}ghar.10 Dalam ideologi Islam, orang dianggap memiliki kebebasan dan kehendak ketika dia memiliki reaksi yang bersifat rasional dan memiliki kemurnian yang tinggi. Nasihatnasihat yang terkandung di dalam ajaran Islam selalu berusaha meningkatkan level kemurnian dan ketulusan reaksi rasional serta menguatkannya dan menghilangkan faktor-faktor yang mencemari dan mengotorinya. Kebebasan seseorang terlihat dari pilihan, sikap, perilaku, dan kata-katanya. Faktorfaktor yang mencemari hal itu seperti kecenderungan nafsu, insting, kesukuan, golongan, atau kepentingan individual yang sempit adalah faktor-faktor yang mengurangi kebebasan. Karena itu, orang yang tersubordinasi dan terbelenggu perbudakan oleh pihak lain adalah budak, meskipun dia berteriak-teriak mengaku sebagai orang bebas. 10

Al-Tajdi>d al-Kala>mi> ‘Inda al-Shahi>d al-Sadr., h.

5


Jadi, berbeda dengan ideologi-ideologi Barat yang menganggap hilangnya penghalang eksternal dari hadapan seseorang sudah cukup sebagai jaminan untuk mewujudkan kebebasan, ideologi Islam berpandangan bahwa hilangnya penghalang eksternal dan internal sebagai syarat penting untuk kebebasan. Daftar Pustaka Al-‘Alawi, Hadi, Fus}u>l min Ta>rikh al-Isla>m al-Siya>si>, Nicosia: The Center for Socialist Studies and Research in the Arab World, cet. II, 1999. Al-Subhani, Ja‘far, Al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah ‘ala> D}aw’ Madrasah Ahl al-Bayt, http://www.aqaed.com/book/316/ h. 46-61, diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011. ‘Ali, al-As‘ad bin, Al-Tajdi>d al-Kala>mi> ‘Inda al-Shahi>d al-Sadr, Qum: Markaz al-Abhath al-‘Aqa’idiyyah, cet. I, 1427 H.. ‘Atwan, Husayn, Mala>mih min al-Shu>ra fi> al-‘As}r al-Umawi>, Beirut: Dar alJayl, cet. I, 1411 H./1991 M.. Subhi, Ahmad Mahmud, Fi> ‘Ilm al-Kala>m Dira>sah Falsafiyyah li Ara>’ al-Firaq al-Isla>miyyah, I, al-Mu‘tazilah, Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, cet. V, 1405 H./1985 M.. ...., “Al-Hurriyyah fi Duktrin (Nazariyyah) al-Mahdawiyyah” dalam al-Maw ‘ud Majallah Takhassusiyyah Ta‘ni bi al-Mahdawiyyah, Qum: Mu’assasah alMustaqbal al-Mudi‘, edisi pertama, Rajab 1427 H., h. 178-185.

6


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.