SYIAH BUKAN UNTUK DIPERANGI (Terjemahan artikel dalam buku Azmah al-Wa'y ad-Dini karya Fahmi Huwaidi, Dar ash-Shan'a al-Yamaniyah, cet. 1, 1988 M) Saya tidak tahu ada umat lain bagaimanapun tingkat kemajuan dan kecerdasannya, yang mengacaukan potensinya, salah dalam menentukan sarana dan tujuan, merobekrobek barisannya, menyulut kebakaran di rumahnya sendiri, dan melakukan tindakan yang menyenangkan pihak yang mengharapkan kehancuran agama dan dunianya, seperti yang kita lakukan dengan suka rela! Saya bermaksud mengejutkan teman saya dengan mengatakan bahwa sebagian kaum Muslim di Timur (?) menyangka bahwa orang Syiah memiliki ekor seperti binatang, roh mereka akan bereinkarnasi menjadi binatang, dan mereka tidak pernah makan seperti layaknya makhluk lain! Ternyata teman saya tidak terkejut, karena di negerinya, Irak, dia telah mendengar orang yang menyebarkan dongeng dan cerita serupa tentang orang Syiah yang menggambarkan mereka dalam bentuk binatang yang aneh dan sifat, kebiasaan, dan nasibnya setelah kematian berbeda dengan makhluk lain. Cerita aneh tersebut ada di awal buku Ashl asy-Syiah wa Ushuluha (Asal Muasal Syiah dan Prinsip-Prinsipnya) karya Allamah al-Husain Kasyif al-Ghitha. Meski cerita ini telah berumur lebih dari setengah abad, tapi pengaruhnya masih ada di tengah-tengah kita hingga sekarang. Maksud saya, yang masih ada adalah sampai sekarang bukanlah detail cerita itu, melainkan sika curiga yang membuka gerbang untuk pelbagai kemungkinan perusakan dan penghancuran citra, serta perpisahan dan perceraian sebaagi konsekuensinya. Pada akhirnya, sikap ini berarti penistaan terhadap akidah 100 juta kaum Muslim, usaha mengeluarkan mereka dari agama Islam, dan penghapusan mereka dari peta kaum Muslim. Ya, logika ini memang sederhana! Belum lama ini, di Mesir, seorang penulis kenamaan mencampuradukkan Syiah dengan komunisme, menganggap keduanya sama, lalu berdasarkan hal ini menyerang keduanya sekaligus. Kebetulan salah seorang guru saya—yang menceritakan kisah ini —membaca artikel tersebut sebelum dipublikasikan. Jika tidak, ini akan menjadi skandal terbesar dalam jurnalistik Mesir!! Saya tidak bermaksud merunut berbagai cerita seputar masalah ini. Sebab, orang yang mampu berkeliling ke negeri-negeri Arab pasti dapat melihat sendiri pengaruh sikap curiga tersebut dari kubu Ahlussunnah terhadap Syiah. Bahkan, saya mendengar ada seorang ulama "Salafiyah" di salah satu negeri Arab menyusun buku yang menggambarkan akidah Syiah bukan sekadar bertentangan dengan Islam, tapi lebih buruk daripada Ahlul Kitab, Shabiah, Majusi, dan penyembah berhala! Saya ingat pengalaman saya di salah satu negara Teluk, saat saya mencari masjid untuk shalat Jumat, lalu saya bertanya kepada seorang anak, anak itu menunjuk ke dua arah sambil berkata, ini masjid kaum Muslim, dan itu masjid orang Syiah! Tidak jauh-jauh, di tangan saya masih ada artikel-artikel seminggu ini yang mengomentari peristiwa berdarah di Masjidil Haram Mekkah. Tanpa alasan jelas, artikel-artikel ini membuka kembali file Sunnah-Syiah dalam konteks menggugat, menjelek-jelekkan, merusak, dan menuduh akidah Syiah dalam bentuk yang pasti menggelisahkan dan mencengangkan hati seorang muslim. Anehnya, artikel-artikel ini mengarahkan tuduhan kepada Pemerintah Iran, dan bukannya kepada mazhab Syiah Imamiyah. Dan, yang lebih aneh lagi, artikel-artikel ini dipublikasikan di Mesir, negara pelopor dalam upaya harmonisasi antar mazhab, yang tidak memiliki
sensitivitas apa pun terhadap Syiah, dan rakyatnya sering disebut para sejarawan sebagai "para pencinta Ahlul Bait." Jadi, masalah ini telah melewati batasan sikap yang gegabah dan tidak bertanggung jawab, sehingga banyak penulis menjadi korban pengetahuan yang rancu. Setiap peneliti yang jujur—apa pun keyakinannya—pasti dapat melihat kesalahan dan kerancuan di dalam artikel-artikel tersebut dalam tiga level: pengetahuan umum, akidah Syiah, dan sejarah pertikaian Syiah-Sunni. Saya tidak tahu, bagaimana penulis yang terbatas pengetahuannya seperti saya dapat mengkaji masalah ini tanpa terjerumus ke dalam tuduhan atau bisik-bisik negatif dari pembaca, atau pembelaannya terhadap Syiah tidak dianggap sebagai pembelaan terhadap Pemerintah Iran. Hal serupa ini tidak pernah terlintas di pikiran saya, sebab yang penting bagi saya aspek-aspek ilmiah dan historis serta kesatuan umat Islam dan bukannya perselisihan atau pertimbangan politis. Saya tidak tahu bagaimana kita dapat mengendalikan emosi sehingga kita dapat membedakan aksi Pemerintah Iran dengan ajaran mazhab Syiah; menyadari bahwa komunitas Syiah lebih luas daripada wilayah negara Iran yang hanya menyumbang setengah pemeluk Syiah saja, sehingga kemarahan terhadap aksi yang terjadi di Mekkah tidak berubah menjadi api yang membakar hubungan Sunnah-Syiah dan membakar kepala pengikut Syiah di mana saja mereka berada, yang beberapa juta di antaranya adalah orang Arab yang hidup di sekitar kita, dan sebagian lagi tersebar di India, Pakistan, Afganistan, Turki, dan Azerbaijan. Saya tidak tahu bagaimana kita dapat berbeda paham secara bijaksana, tidak saling melanggar kehormatan sesama, dan tetap menghormati wilayah sakral yang tidak boleh diserang atau diperangi, yaitu wilayah akidah, khususnya jika pemeluk akidah itu adalah kaum Muslim seperti kita yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebutlah ini cara beradab dalam bertikai, tapi saya lebih suka menyebutnya cara dan etika Islam. Nabi saw dalam salah satu sabdanya melarang tiga hal dan pelanggaran atasnya akan menyebabkan murka Allah sehingga pelakunya tidak Dia lindungi pada hari tiada perlindungan selain dari-Nya, salah satunya adalah, "Keji dalam bertikai." Saya tidak tahu kapankah tiba waktunya kita dapat memenuhi syarat berdialog dalam masalah apa saja, sehingga kita dapat menentukan tujuan, kelayakan, peserta, kepantasan tempat berdialog, juga metode dan etikanya. Sebab, beberapa tulisan tampaknya hanya bertujuan membuat para penganut Syiah menanggalkan akidah mereka, sementara para penulisnya sendiri nampaknya tidak cukup mengetahui masalah yang diperbincangkan, sehingga mereka terjerumus ke dalam pelbagai kesalahan dan kerancuan. Di samping itu, koran-koran ikut mem-blow up masalah yang seharusnya didiskusikan di forum ilmiah, seperti akar pertikaian antara Sunnah dengan Syiah, konsep taqiyah, ruj'ah, wilayah, dan lainnya. Saya tidak tahu kapan kita sadar bahwa tata cara dialog kita sangat berbahaya dan dapat menjerumuskan kita ke dalam pertikaian yang lebih dalam. Dalam kasus ini, dialog bermuara ke arah perpecahan umat Islam, peningkatan pertikaian sesama kita, dan penyegaran kembali rasa kebencian lama. Sungguh aneh, beberapa penulis menyatakan dalam pendahuluan bukunya bahwa dia menginginkan persatuan umat Islam dan tidak memusuhi mazhab dan akidah Syiah, tapi beberapa baris kemudian dia kembali lagi ke sikap lama itu, menembakkan peluru dari senjata berat dan senjata kimia ke arah pengikut mazhab Syiah secara keseluruhan. Akhirnya, saya tidak tahu apakah kampanye negatif terhadap Syiah ini merugikan rezim yang berkuasa di Iran atau tidak. Saya kira hal ini menguntungkan mereka dan menyatukan kaum Syiah di sekitar mereka. Sebab, kritik dan hujatan seperti yang dilakukan para penulis artikel tersebut memberikan kesan bahwa pertikaian ini
diarahkan pada mazhab Syiah, dan bukan para rezim di Teheran, dan bertujuan membasmi akidah Syiah sebagai sebuah episode baru dari aksi yang disebut sebagai "kezaliman historis" sehingga para penganut Syiah yang "terkena peluru nyasar dan tidak bertanggung jawab" ini akan mendapati dirinya terpaksa berlindung di bawah rezim Iran. Saya pikir, hal ini sangat menyenangkan para penguasa di Teheran! Jika kita bermaksud memeriksa kesalahan dan kerancuan yang dilakukan terhadap mazhab Syiah, maka akan kita dapati poin-poin utamanya sebagai berikut: Pertama: Kesalahan yang berkaitan dengan pengetahuan umum Beberapa penulis nampaknya lupa bahwa Syiah terdiri dari banyak sekte. Ada yang moderat dan ada yang ekstrem. Ada yang berakidah sahih dan ada yang berakidah salah. Sekte Syiah yang moderat dan berakidah sahih utamanya adalah az-Zaidiyah (dinisbatkan kepada Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin, terkonsentrasi di Yaman, dan sangat mirip dengan Ahlussunnah) dan al-Imamiyah al-Itsna 'Asyariyah, sekte Syiah yang terbesar dan terpopuler yang akhir-akhir ini menjadi sasaran kritik. Mereka disebut al-Imamiyah karena menganggap imamah (kepemimpinan) sebagai prinsip akidah, sedangkan sebutan al-Itsna 'Asyariyah dinisbahkan kepada dua belas imam mereka yang berasal dari keturunan Rasulullah saw. Terkadang mereka disebut alJafariyah, nisbah kepada Imam Jafar ash-Shadiq, pendiri fiqih Syiah. Jika dalam bahasa sehari-hari julukan Syiah ditujukan kepada sekte al-Imamiyah alItsna Asyariah atau al-Jafariyah saja, maka dari sudut pandang ilmiah hal ini mengandung simplifikasi, karena sekte al-Itsna Asyariyah bukanlah keseluruhan Syiah. Dalam artikel-artikel yang kami baca, nampak kerancuan yang memalukan akibat pencampuran antara sekte al-Imamiyah dengan sekte Syiah lainnya yang terkenal ekstrem dan berakidah menyimpang. Misalnya, sekte yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan (sekte as-Sabaiyah, dinisbahkan kepada Abdullah bin Saba, seorang Yahudi). Juga sekte yang beranggapan bahwa posisi Ali bin Abi Thalib lebih tinggi daripada Rasulullah saw, Jibril salah alamat dalam menyampaikan wahyu, sehingga menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw dan bukannya kepada Imam Ali. Mereka mendasarkan anggapan tersebut pada kemiripn keduanya, "seperti miripnya gagak dengan gagak yang lain." Karena itu mereka disebut sekte alGhurabiyah. Lalu, dalam suasana kemarahan yang mengiringi perusakan terhadap Masjidil Haram di Mekkah, kaum Syiah dituduh telah menodai kesucian masjid yang disakralkan kaum Muslim dan menyembunyikan Hajar Aswad. Ini adalah pencampuran antara mazhab Syiah dengan mazhab al-Qaramithah yang pada abad keempat Hijrah pernah menguasai Makkah dan memindahkan Hajar Aswad. Banyak referensi ilmiah yang terpercaya membedakan sekte al-Itsna Asyariah dengan sekte ekstrem dan menyimpang lainnya, dan membebaskan sekte ini dari tuduhan menuhankan Imam Ali atau menempatkan beliau pada posisi yang lebih tinggi daripada Nabi Muhammad saw. Tuduhan tersebut memang seharusnya dinafikan dari kedua belas imam sekte ini. Masalah ini telah dianggap selesai pada permulaan tahun 1960-an, ketika Syekh Mahmud Syaltut, Syaikh al-Azhar, mengeluarkan fatwanya yang sangat terkenal, yang menyatakan bahwa mazhab al-Itsna Asyariah adalah sekte agama yang boleh dianut oleh setiap kaum Muslim. Dari sisi lain, beberapa penulis biasa menyebut orang Syiah sebagai orang Persia. Ini salah. Saya telah katakan bahwa penganut Syiah di Iran hanya setengah dari penganut sekte al-Jafariyah. Setengahnya lagi hidup di luar Iran. Yang penting, orang yang hendak berbicara dalam masalah ini harus mengetahui bahwa di negara-negara Arab ada sekitar delapan juta penganut Syiah. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Arab. Jadi, menggeneralisasi corak Persia kepada Syiah bukan sekadar
kesalahan ilmiah, tapi juga kesalahan politis, karena hal ini melukai perasaan delapan juta orang tersebut, yang sebagian besar tinggal di Irak, sedangkan sisanya tersebar di berbagai negara Teluk, Saudi Arabia, dan Libanon. Sekadar informasi, tidak semua penganut Syiah di Iran orang Persia. Orang Turki tidak sedikit di sana. Selain itu, di wilayah Khuzastan di Persia, ada banyak penganut mazhab Sunni. Orang Turkilah yang men-Syiah-kan Iran pada awal abad 16 Masehi di bawah pimpinan Shah Ismail ash-Shafawi, dan orang-orang Arablah yang menyebarkan ajaran-ajaran mazhab Syiah di sana, ketika Dinasti ash-Shafawiyin mengundang mereka dari Jabal Amil di Libanon dan dari Bahrain. Dari sisi lain, sungguh mengherankan seorang ulama menamakan perang di Libanon sebagai perang Syiah-Sunni, dengan dalil sikap Organisasi Amal—yang dicitrakan oleh banyak media massa sebagai organisasi para pemeluk Syiah—terhadap kampkamp pengungsi Palestina. Ini adalah perkataan yang benar yang disampaikan untuk tujuan yang salah. Pertama, Organisasi Amal tidak memerangi warga Palestina di pengungsian dikarenakan mereka penganut mazhab Sunni, tapi karena Organisasi Amal berpusat di Suriah yang memiliki sikap tersendiri terhadap warga Palestina, khususnya para pengikut Yasser Arafat. Kedua, kelompok Syiah yang lebih dominan di Libanon, yaitu Hizbullah, menentang sikap Organisasi Amal dan menjalin kerja sama dengan orang-orang Palestina di Tripoli dalam melawan Israel. Sikap ini dipelopori oleh kelompok Syekh Said Syaban. Terakhir, pernyataan paling aneh adalah orang Syiah mengkafirkan orang Sunni dan perang Irak-Iran adalah salah satu buah sikap tersebut. Saya tidak mendapatkan bukti bagi pernyataan tersebut di dalam fiqih maupun sejarah Syiah. Warga Irak pun tidak berkata seperti itu. Mereka sangat mengetahui bahwa perang tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah Syiah-Sunni, apalagi banyak di antara tentara Irak yang berperang melawan Iran adalah penganut Syiah. Kedua: Kesalahan yang berkaitan dengan akidah Syiah al-Imamiyah Pernyataan paling buruk dan berbahaya yang ditujukan kepada Syiah al-Imamiyah adalah pernyataan seputar akidah mereka yang tidak berlandaskan pada dasar ilmiah yang benar. Peryataan tersebut termuat dalam resendi yang dipublikasikan korankoran Mesir terhadap dua buku tentang Syiah yang terbit di India dan Pakistan, yang memuat informasi yang beredar di dunia Arab sekitar 30 tahun lalu (buku Fahmi Huwaidi ini terbit pada tahun 1988—Fadhil). Salah satunya berjudul al-Khuthuth al-'Aridhah li al-Asas al-Lati Qama 'Alaiha Din asy-Syiah al-Imamiyah al-Itsna 'Asyariyah (Garis-garis Besar Prinsip Agama Syiah Imamiyah Itsna Asyariah) karya Muhibbuddin al-Khathib. Judul buku ini telah menyatakan secara implisit bahwa Imamiyah adalah agama lain selain Islam. Lalu, isi buku ini menuturkan informasi bahwa orang Syiah memiliki al-Quran tersendiri, menganggap al-Quran yang ada sekarang telah kehilangan tiga per empat dari aslinya, menyatakan imam sama dengan Tuhan, mendahulukan wilayah dan imamah daripada syahadat, serta menyimpang dari ajaran Islam dengan konsep al-imam al-ghaib dan taqiyah yang mereka yakini. Ringkasnya, tuduhan-tuduhan ini mengeluarkan penganut Syiah Imamiyah dari Islam. Meskipun tidak mengatakan secara tegas mereka adalah orang kafir, namun informasi yang dimuat buku ini menyatakan hal tersebut dengan tegas. Tindakan ii membangkitkan kembali kebencian lama, yang seharusnya sudah hilang sejak seperempat abad lalu, ketika al-Azhar membebaskan Syiah Imamiyah dari tuduhan seperti itu. Al-Azhar telah membuka gerbang dialog Ahlussunnah dengan Imamiyah dan Zaidiyah, serta memasukkan pembahasan tentang Imamiyah ke dalam kurikulum Universitas al-Azhar. Majma al-Buhuts al-Islamiyah di Kairo pun telah
menjadikan mazhab Imamiyah sebagai salah satu sumber fiqih Islam yang diakui, dan Kementerian Wakaf Mesir mencetak buku al-Mukhtashar an-Nafi fi Fiqh alImamiyah (Ringkasan Fiqih Mazhab Imamiyah) dan membagikannya secara CumaCuma kepada kaum Muslim. Ketika langkah-langkah tersebut dilakukan, artinya tuduhan terhadap akidah Imamiyah yang mengeluarkan mereka dari agama Islam telah gugur. Karena itu, mengapa kita sekarang kembali ke titik nol dan mundur 40 tahun ke belakang untuk berdebat apakah Imamiyah memiliki mushaf yang berbeda dengan kita atau tidak, dan apakah imam sama dengan Tuhan?! Jika Syiah menganggap imamah sebagai prinsip akidah, sedangkan Ahlussunnah menganggapnya sebagai furu, maka hal ini memang memiliki konsekuensi fiqih yang sangat rumit. Namun hal ini tidak mempengaruhi kelurusan akidah dan kesahihan Islam mereka. Lalu, masalah al-imam al-ghaib dan taqiyah. Saya tidak mengetahui apa alasan ilmiah yang cukup kuat untuk membuka kembali dua poin ini dan menganggapnya sebagai titik lemah akidah Syiah. Sebab, konsep al-imam al-ghaib secara objektif tidak berbeda dengan konsep "al-Mahdi" yang diimani oleh sekte Ahlussunnah berdasarkan beberapa hadits ahad. Sekte Imamiyah memang menyatakan keagungan 12 orang imam dan menganggap perkataan atau "hadits-hadits" yang mereka riwayatkan sebagai sunnah. Ini adalah salah satu perbedaan penting antara fiqih Imamiyah dengan fiqih Ahlussunnah. Tapi, masalah yang rumit ini harus diserahkan kepada para ulama dari kedua belah pihak. Selain itu, "hadits-hadits" kedua belas imam itu hanya berkisar pada wilayah realitas kaum Muslim yang sangat sempit, karena mreka pada hakikatnya hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, bukan pemimpin politis. Jika kita menganggap upaya mempersempit perbedaan antara kaum Muslim sebagai tujuan kita, maka kita mungkin boleh mengatakan bahwa penyematan sifat 'ushmah kepada beberapa cucu Rasulullah saw, yang jalur keturunannya sudah terputus sejak 12 abad lalu, adalah tindakan yang tidak berbahaya, selama sifat tersebut tidak disematkan kepada pengganti atau wakil mereka. Bahkan, saya pikir, konsep al-imam al-ghaib pun tidak berbahaya selama tidak menghambat pengaturan persoalan manusia pada zaman sekarang. Pada konteks ini saya kutipkan perkataan Syekh Hasan al-Banna, ketika ditanya tentang beberapa poin sekitar perselisihan SunnahSyiah sebagai berikut, "Pada saat al-imam al-ghaib itu muncul, saya akan menjadi orang pertama yang membaiatnya." Konsep taqiyah, dalam pengertian berbedanya interaksi zahir dengan kandungan batin bukanlah ciptaan orang Syiah seperti disangka banyak orang. Ini adalah perilaku yang ada dasarnya di dalam Islam. Istilah taqiyah pun diderivasi dari ungkapan al-Quran, "Kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti mereka." (QS. Ali Imran: 28) Artinya, dibolehkan jika tindakan itu terpaksa dilakukan untuk menjaga diri dari bahaya yang tidak dapat ditanggung. Inilah yang dilakukan oleh sahabat Ammar bin Yasir ketika disiksa dengan kejam agar mengingkari Nabi Muhammad saw. Beliau pun melakukan hal tersebut secara terpaksa. Berkaitan dengan hal ini, Allah menurunkan ayat, "Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan (maka dia tidak berdosa)." (QS. An-Nahl: 106) Para sahabat yang lain pun mengakui prinsip taqiyah ini, sebagaimana dijelaskan oleh perkataan Abdullah bin Abbas yang dikutip oleh Ibnu Katsir, "Taqiyah itu bukan dengan tindakan, tapi dengan perkataan."
Para ulama telah menjelaskan aturan dan syarat taqiyah yang tidak dapat saya jelaskan sekarang. Poin yang perlu kita perhatikan sekarang adalah prinsip ini diakui oleh ajaran Islam, bukan hanya oleh mazhab Syiah saja. Jika suasana penindasan dan pengejaran terhadap para penganut Syiah sepanjang sejarah telah membuat mereka lebih sering bertaqiyah dan mengubahnya dari sekadar sarana menjadi prinsip keyakinan, atau dari taktik menjadi strategi, maka ini persoalan lain. Perubahan situasi sejarah boleh jadi mengembalikan posisi tersebut kepada keseimbangannya semula. Selanjutnya, poin yang berkaitan dengan wilayah al-faqih (kekuasaan di tangan ahli agama) yang dianggap oleh banyak orang sebagai prinsip mazhab Syiah dan membuat mazhab ini mendapat serangan yang sengit. Konsep wilayat faqih dalam pengertiannya saat ini hanya mewakili sikap salah satu aliran pemikiran dalam Syiah yang tidak disepakati oleh para ulama Syiah sendiri. Konsep ini bukanlah ciptaan Imam Khomeini seperti yang disangka banyak orang, melainkan konsep yang dilontarkan sejak lama di kalangan ulama fiqih Syiah yang menyerukan kekuasaan absolut bagi ahli fiqih. Konsep ini diformulasi pada awal abad 19 oleh Allamah Ahmad an-Niraqi dalam sebuah buku yang tidak mendapat perhatian luas berjudul Awaid al-Ayyam yang memuat bab khusus tentang wilayat faqih. Aliran ini ditentang oleh mayoritas ahli fiqih Syiah yang menyerukan keksuasaan yang relatif, bukan yang absolut, dan terbatas pada masalah sosial. Ulama kontemporer yang paling menentang konsep ini adalah Ayatullah as-Sayyid al-Khui, tokoh besar di Irak yang menulis penolakannya dalam risalah berjudul Asas alHukumah al-Islamiyah, dan Dr. Muhammad Jawwad Mughniyah, salah seorang ahli fiqih Imamiyah yang paling terkenal di Libanon, penulis buku al-Khumaini wa adDaulah al-Islamiyah. Tokoh lainnya adalah Ayatullah Syariatmadari dan Ayatullah Marasyi Najafi, dua orang tokoh Syiah terbesar saat ini. Yang penting bagi kita dalam masalah ini, konsep wilayat faqih tidak dapat dijadikan gerbang untuk menyerang mazhab Syiah secara keseluruhan, karena mazhab ini memuat aliran lain yang menolak konsep tersebut. Ketiga: Kesalahan yang berkaitan dengan sejarah Orang yang mencermati akidah seharusnya mencermati juga sejarah, terutama seputar pertikaian dalam masalah kepemimpinan kaum Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Para pengikut Syiah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling berhak menjadi pemimpin, lalu hak ini dirampas oleh Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Mereka menuduh kedua sahabat ini telah merampas hak kepemimpinan dari Ahlul Bait, sehingga buku-buku Syiah klasik berisi banyak celaan terhadap keduanya, bahkan menyifati keduanya sebagai "berhala kaum Quraisy." Tindakan menghidupkan kebencian lama ini tidak ada gunanya, begitu juga pembahasan tentang siapa sebenarnya yang paling berhak menjadi khalifah, apakah Abu Bakar atau Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, saya pikir, beberapa hal perlu diungkap kembali: 1. Syiah Imamiyah bukan pihak yang memulai mencaci para sahabat. Fakta sejarah menyatakan bahwa orang-orang dari Dinasti Umawiyah-lah yang memulai mencaci Ali dari atas mimbar Jumat. Tradisi tercela ini hanya ditinggalkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Artinya, Ali terus menerus dicela dari atas mimbar-mimbar hampir selama setengah abad. 2. Celaan terhadap Abu Bakar dan Umar, jika pernah terjadi sebagai reaksi terhadap tindakan orang-orang dari Dinasti Umawiyah, adalah unsur eksternal yang merasuki pemikiran Syiah, yang diakibatkan oleh masa penuh fitnah dan dekadensi, serta merusak hubungan Sunni-Syiah. Itulah masa ketika salah
seorang ahli fiqih bermazhab Syafiiiyah mengeluarkan fatwa bahwa makanan yang bercampur dengan arak harus dilemparkan kepada anjing atau kepada penganut mazhab Hanafiyah, lalu salah seorang ahli fiqih bermazhab Hanafiyah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan laki-laki bermazhab Hanafiyah menikahi perempuan bermazhab Syafiiyah karena keimanannya diragukan, sementara ahli fiqih bermazhab Hanafiyah lainnya membolehkan hal ini dengan menqiyaskan perempuan tersebut dengan perempuan Ahlul Kitab. 3. Fiqih Syiah yang otentik menyebut para sahabat, termasuk Abu Bakar, dengan ungkapan-ungkapan yang penuh penghormatan. Di dalam ash-Shahifah asSajjadiyah, yaitu doa-doa yang dibaca oleh Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, dan didawamkan pembacaannya oleh para penganut Syiah sampai sekarang, terdapat nash yang menyatakan, "Semoga Allah menurunkan rahmat dan ridha bagi para sahabat Muhammad yang telah menderita dalam membantunya, melindunginya, berlomba menjalankan ajarannya, dan memenuhi ajakannya ketika beliau menjelaskan argumentasi risalahnya." 4. Sekarang ini buku-buku Syiah telah dibersihkan dari celaan terhadap para sahabat, khususnya Abu Bakar dan Umar. Untuk meneliti masalah ini, saya telah mengumpulkan 11 buku peradaban Islam yang sekarang diajarkan kepada murid-murid tingkat SD, SMP, dan SMU di Iran, dan membaca semua kandungan pelajaran tentang Ahlussunnah, Khulafa ar-Rasyidin, dan para sahabat. Saya dapati semua buku tersebut menyebut para sahabat dengan penuh penghormatan. Saya tidak menafikan adanya perselisihan antara Sunni-Syiah, adanya beberapa wacana yang masih harus didialogkan oleh para ulama dari kedua belah pihak, dan adanya beberapa ranjau yang harus dibersihkan dari jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak. Tapi, saya perlu mengingatkan satu hal, kita tidak boleh memicu pertentangan antar-mazhab, baik antara Sunnah dengan Syiah, Salafiyah dengan Ibadhiyah, Zaidiyah dengan Mutashawwifah, atau antara kaum Muslim secara umum dengan non Muslim. Menyalakan api pertikaian ini bukan hanya membakar salah satu pihak, tapi membakar seluruh umat Islam. Saya tidak tahu ada umat lain bagaimanapun tingkat kemajuan dan kecerdasannya, yang mengacaukan potensinya, salah dalam menentukan sarana dan tujuan, merobekrobek barisannya, menyulut kebakaran di rumahnya sendiri, dan melakukan tindakan yang menyenangkan pihak yang mengharapkan kehancuran agama dan dunianya, seperti yang kita lakukan dengan suka rela!