05-10-2015
Unsur PETA dan KNIL Warnai Konflik Senyap di Internal TNI Penulis : Rijal Mumazziq Z, Pengamat Sosial-Budaya, tinggal di Surabaya Jawa Timur
Di berbagai negara, tentara nasionalnya banyak dibentuk oleh penjajah secara resmi. Buku "Tentara Gemblengan Jepang" karya Joyce C. Lebra, di antaranya, mengurai peranan serdadu Jepang di era 1941-1945 dalam membentuk ketentaraan nasional di berbagai negara Asia atas nama solidaritas Asia--meski kenyataannya omong kosong belaka. Di Irak dan Afganistan, hari ini, kita melihat jika serdadu nasional di negara ini juga dilatih dan dipersenjatai oleh penjajahnya, AS, meski kemampuannya masih payah dalam menertibkan keamanan (di Irak, tahun lalu, Tikrit ditinggal tentara nasional Irak yang ketakutan dengan serbuan ISIS. Minggu ini, 7000 tentara nasional Afganistan gagal mempertahankan Provinsi Kunduz yang jatuh ke tangan sekira 1000 orang milisi Taliban). Parah banget kan? Di Indonesia, TNI adalah jenis tentara yang menciptakan dirinya sendiri, ini ungkapan-kalau nggak salah--dari Jenderal (Purn.) Sajidiman Surjohadiprodjo dalam acara "Mata Najwa" yang mengangkat kajian soal Jenderal Sudirman, beberapa minggu silam. Okelah, bisa diperdebatkan ungkapan di atas. Silahkan. Sampai saat inipun, kata Aiko Kurasawa, dalam "Kuasa Jepang di Jawa", banyak tentara Jepang veteran Perang Dunia II yang menganggap dirinya berjasa dalam pembentukan dan minimal pengukuhan dasar-dasar kemiliteran TNI. Bicara soal TNI kita, pada dasarnya memang tak bisa dilepaskan dari unsur eks PETA dan eks KNIL. Dua unsur ini yang diam-diam saling bertarung memperebutkan posisi elit ketentaraan, usai kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi dicanangkan Kabinet Hatta tahun 1948, yang secara tidak langsung dianggap menyingkirkan milisi lokal: laskar kiri (Pesindo) dan laskar muslim (Hizbullah dan Sabilillah), hingga milisi kedaerahan. Belum lagi perkara warlord di lapangan yang mengalami disorientasi kemiliteran karena wibawa dan kharisma mereka dipaksa berdasarkan pangkat resmi dari pemerintah, di mana mereka banyak yang turun satu-dua pangkat. Tentara eks PETA mulai kehilangan pelindung manakala Jenderal Sudirman berpulang pada 1950. Friksi antara eks PETA dan eks KNIL diam-diam meruncing sejak Hatta menempatkan Nasution, dari Div. Siliwangi, sebagai wakil panglima TNI, usai RERA sebagai pengimbangan kekuatan di tubuh militer. Tahun 1950-an, TB. Simatupang dan KSAD Kolonel AH. Nasution mulai menggeret tentara ke jalur politik. Konflik terbuka militer vs sipil semakin tampak saat Nasution dan para serdadu mengarahkan moncong meriam ke Istana Merdeka, 17 Oktober 1952, sambil menuntut dibubarkannya parlemen. Dominasi AD juga semakin kuat di tubuh angkatan perang. Pertengahan 1950-an, terjadi friksi di tubuh militer daerah melalui pembentukan Dewan Gajah, Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera serta Dewan Manguni di