DAFTAR ISI TERIMA KASIH KATA PENGANTAR PANGGILAN SEBAGAI IBU ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Mengenang 21 tahun silam Awal perjalanan Pengorbanan sebagai ibu Mimpi yang tak terwujud Jalan yang sulit BELAJAR – SUATU PERJALANAN UNIK YANG MENANTANG Belajar di Sekolah Luar Biasa Singapura Refleksi ibu Aktivitas di luar sekolah Makalah mengenai Erika dalam kongres anak berbakat Mendayagunakan fungsi belahan otak kanan LIKA LIKU MENCAPAI PUNCAK PRESTASI Aktivitas dan prestasi lainnya sampai tahun 2000 di Singapura Hal-hal yang memupuk perkembangan Erika di Singapura Annual Prize Giving Day MENUJU MELBOURNE – AUSTRALIA Pengalaman integrasi di Methodist Ladies’ College Tantangan berikutnya Keberhasilan di Methodist Ladies’ College PERJUANGAN YANG TIDAK PERNAH BERAKHIR Kembali ke Singapura Mengisi waktu menunggu kuliah JATI DIRI ERIKA Aktivitas Erika lainnya Sebelas hari di Thailand, Kamboja dan Vietnam KULIAH DAN PERJALANAN SOSIAL DI TAHUN 2007 Tahun 2008 yang mewarnai hidup Erika MENJELANG USIA KEDUA PULUH SATU Kekuatiran dan harapan Buka jendela buka hati
PENUTUP Bagaimana mempunyai anak tunarungu merubah kehidupan saya Kasih LAMPIRAN Mail from Erika, your pritil Happy Mother’s Day Karakteristik Erika dalam foto DAFTAR PUSTAKA
TERIMA KASIH Tidak mungkin saya melewati perjalanan ini dengan kekuatan sendiri. Syukur kepada Tuhan yang senantiasa menjadi sumber kekuatan saya dalam mendampingi dan membesarkan Erika. Saya kadang marah pada-Mu, dan sebanyak itu pula saya “kembali” kepada-Mu. Belajar dari pengalaman hidup menjadi orang tua anak berkebutuhan khusus memperkokoh iman keyakinan, menjadikan saya tetap rendah hati dan senantiasa bergantung pada-Mu. Saat ini saya teringat pada almarhum papi dan mami tercinta yang terus mendoakan kami. Pada saat kami mendengar vonis dokter bahwa Erika tunarungu, mami dan papi ada bersama kami, mendukung kami secara emosionil, memberikan perhatian “lebih” (dalam arti positif) kepada Erika dibandingkan dengan cucu-cucu lainnya. Dari papi dan mami saya belajar dan memperoleh teladan, apa artinya “berjuang”. Papi tidak ingin anak-anaknya bergantung pada orang tua, seperti mengharapkan harta warisan atau bisnis orang tua. Kami menjalankan semua kehidupan kami sendiri, mulai dari bawah. Dari mami khususnya saya belajar apa artinya “tekun dan gigih”. Mami menguasai bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, Jawa, dan pada usianya yang ke-85 saat ini masih bersemangat belajar bahasa Mandarin dan berlatih kolintang. Saya tahu apa artinya “tahan banting” karena mami papi dulu setia mengantarkan kami berlatih renang sampai sepuluh kali seminggu, setiap pagi dan sore terutama menjelang pertandingan. Demikianlah karakter saya dibentuk untuk siap membesarkan Erika. Terima kasih juga untuk suami yang terus mendampingi saya dalam suka dan duka. Kami menjadi satu tim yang terjun langsung, bergelut dalam menanamkan disiplin, saling mengisi, melengkapi dan memberi kekuatan dalam memenuhi berbagai kebutuhan Erika. Kami juga sering adu debat, konflik dan saling menyalahkan. Tetapi dilain pihak juga saling menghibur dan memaafkan. Kami terus belajar menjadi orang tua yang lebih bijak. Anak-anak dan menantu-menantu Eric & Kiat, Astrid & Ivan yang mau belajar “bahasa” Erika, menjadi pengganti orang tua saat kami tidak berada di samping Erika dan memberi masukan kepada kami dalam memahami Erika. Mereka juga aktif terlibat berfungsi sebagai penasehat juga memarahi, berkomunikasi sambil tidak lupa memasukkan humor-humor segar, nonton t.v. dan film bersama lalu mendiskusikannya. Mereka semua memberi “warna yang dinamis” dalam kehidupan Erika. Anggota keluarga lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang selalu berada di belakang saya dan siap membantu saya bilamana saya membutuhkannya. Saya tahu mereka mau menjadi “pendengar” bagi keluh kesah kami. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua guru, instruktur, pelatih, pembina, pembimbing, pendidik yang sabar, penuh dedikasi dan kesungguhan dalam mengaktualisasikan semua potensi Erika. Saya juga bersyukur pada rekan-rekan psikolog yang memberikan masukan khususnya mengenai anak berkebutuhan khusus. Saya juga teringat teman-teman seiman, yang juga memberi andil dalam mendukung
emosi saya, berempati, saling mendoakan dan menguatkan dalam “kelompok tumbuh bersama”. Saya juga mengucapkan syukur bagi setiap saudara / saudari yang meliput Erika baik di majalah, surat kabar maupun tayangan televisi. Semua ini ikut membantu tercapainya harapan Erika untuk terus maju mencapai cita-citanya. Menjadi mama bagi Erika, memberikan rasa cemas yang mencekam tetapi juga saya bisa merasakan kelegaaan dan kepuasan yang tiada taranya sewaktu menyaksikan semua keberhasilan Erika. Tuhan mempercayakan Erika kepada saya, artinya saya diberikan beban tanggung jawab yang besar tetapi sekaligus suatu keistimewaan karena saya terpilih menjadi mama Erika. Hari-hari membesarkan dan mendidik Erika dilalui dengan upaya berkecepatan maksimum dengan meregangkan segenap kekuatan dan kemampuan saya. Lelah namun puas. Saya akui bahwa saya tidak pernah selesai untuk dilatih terus dalam hidup ini, menjadi mama buat Erika. Saya bisa menyaksikan bahwa cinta kasih kami yang sematamata bersumber dari cinta kasih ilahi yang memampukan saya tetap rendah hati dalam “melayani” kekasih-kekasih saya, termasuk Erika.
KATA PENGANTAR Perjalanan hidup seorang anak manusia akan dapat menggambarkan bagaimana dinamika pembentukan kepribadian anak manusia itu hingga kondisi, keberadaannya saat ini. Setiap anak manusia, lahir dengan karunia, bakat dan talenta yang Tuhan berikan pada individu tersebut (1 Kor 12; Roma 12). Setidaknya itu yang saya yakini merupakan prinsip hidup yang sangat esensial dimiliki oleh oleh setiap pendidik, baik itu orang tua maupun guru, serta pendamping anak. Dengan prinsip dan belief tersebut, setiap pendidik akan berupaya memaksimalkan potensi, bakat, karunia anak yang dititipkan Tuhan padanya, baik anak itu lahir normal maupun, bahkan, menurut saya, anak yang lahir dengan memiliki kebutuhan dan perhatian khusus. Maryam dan Rudy mungkin belum sepenuhnya menyadari penerapan pengembangan jati diri yang mereka jalani bersama Eric dan Astrid, sampai hadirnya Erika yang membutuhkan perhatian, dedikasi dan bimbingan dengan paradigma khusus. Ketika buku ini selesai ditulis, hasil dari pendekatan khusus yang dilakukan selama 21 tahun oleh Maryam sebagai pendidik utama dari Erika, dapat dinikmati oleh para pembaca. Dengan mengikuti fase-fase penting dalam kehidupan perkembangan dan pertumbuhan Erika yang tuli sejak lahir, tetapi baru teridentifikasi di saat usianya 20 bulan, pembaca dapat mengikuti dan belajar bagaimana perjalanan pembentukan jati diri dari seorang Erika terwujut. Buku ini dapat memberi banyak pembelajaran bagi para pendidik, orangtua, pemerhati pendidikan maupun siapa saja yang ingin mengembangkan anak didiknya sesuai dengan potensi dan kasih karunia yang Tuhan berikan kepadanya. Ada beberapa makna yang bisa saya garis bawahi disini. Pertama, membaca dan memahami dunia bisu dan sunyi dari seorang tuli. Pengalaman yang nyata didasari dengan pengkhayatan yang dalam, dikuatkan dengan latarbelakang pendidikan Psikologi dan Musik yang dimiliki Maryam, dapat membuat pembaca lebih memahami seperti apa dunia orang bisu itu. Kedua, bentuk intervensi dini yang dilakukan sebagai upaya mengisi periode kritis atau golden period dari masa pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya dengan gangguan pendengaran. Sangat jelas digambarkan bagaimana bentuk pendekatan, pembimbingan, baik yang bersifat fisik, sosial-emosional, komunikasiberbahasa maupun akademik mulai Erika bayi sampai ia merantau
sejak di kelas tujuh. Hal ini dapat terjadi karena proses penerimaan mereka atas keadaan Erika, sesuai tahapan reaksi orang tua ketika mengetahui bahwa anaknya cacat, dari Kubler Ross, dapat cepat tercapai. Ketiga, bahasan yang menggunakan kerangka pikir teoretik dengan analisis yang cukup sistematis. Buku ini bukan hanya sekedar novel atau perjalanan hidup seorang Erika, tetapi dilengkapi dengan daftar pustaka yang menunjang, kajian praktis dari studi kasus Erika, dapat juga digunakan sebagai referensi, penguat kerangka pikir dari suatu rancangan intervensi dan penelitian ilmiah maupun terapan. Keempat, dukungan keluarga dan fasilitas pendidikan sebagai pilar–pilar utama mencari bentuk pendidikan yang tepat bagi individu berkebutuhan khusus. Tidak hanya pembaca yang memiliki anak yang tunarungu, tetapi pembaca lainpun akan dapat memahami perbedaan dan dampak dari suatu metode pembelajaran serta teknik berkomunikasi bagi anak tunarungu. Kelima dan terakhir, suatu bentuk kesaksian hidup yang dapat membangun motivasi para pendidik. Besarnya kuasa doa dan kesadaran untuk terus menerus bersandar pada kekuatan Tuhan dalam menghadapi masa-masa sulit dan prinsip-prinsip hidup. Pencerminan nilai kehidupan yang dimiliki keluarga Maryam dan Rudy, dapat menjadi model bagi pembaca. Tercakup di dalamnya ungkapan kepasrahan diri, pada Tuhan Yang Maha Kasih, kejujuran akan segala kekuatiran dan harapan di balik kemandirian dan kreativitas yang ditampilkannya saat ini. Sebagai penutup, saya mengajak pembaca untuk turut mengucapkan PROFICIAT, untuk 21 tahun pendampingan penulis buku ini pada Erika. Juga mendorong pembaca untuk secara kritis menilai, apakah dengan gambaran diri Erika yang cerdas, mudah belajar, beradaptasi dengan berbagai lingkungan, kreatif, imajinatif, komunikatif dan produktif, ia dapat diklasifikasikan sebagai individu yang tergolong Gifted –Deaf ??. Saya percaya dengan penyertaan Tuhan saja, Maryam dan seluruh Keluarga Rudyanto akan dapat senantiasa menjadi unsur protektif bagi tingginya resiliensi, daya tahan Erika dalam menghadapi tantangan menuju masa depannya yang diimpikannya. Selamat membaca dan mendapat makna…..Tuhan memberkati kita sekalian...!! Dr. Frieda Mangunsong M.Ed, Psi
PENDAHULUAN Menjadi orangtua bagi Erika yang tunarungu tidak pernah kami bayangkan sedemikian “menantang”nya. Dalam banyak hal kami “jatuh – bangun”, berusaha mencari kehendakNya dan berserah kepada-Nya. Tidak ada yang kami lakukan untuk Erika adalah usaha dan kemampuan kami sendiri, banyak yang membantu, ikut berupaya, memberikan saran dan mendukung kami sekeluarga. Semuanya dilakukan dengan penuh kasih sayang. Buku ini adalah perjalanan hidup kami membesarkan Erika sampai usianya yang saat ini mencapai 21 tahun. Perjalanan masih panjang namun kami merasa bahwa sudah waktunya kami membagikan pengalaman kami ini sebagai ucapan syukur kami karena kami telah dipercaya oleh Tuhan sebagai orang tua bagi Erika. Segala keberhasilan Erika, kami kembalikan semata-mata demi untuk kemuliaan Tuhan. Diawal kami mengetahui Erika tunarungu, sungguh berat penyesuaian diri yang kami harus lakukan. Itu bisa dibaca di bab satu. Selama 21 tahun isteri saya, Maryam dengan gigih, tekun dan pantang menyerah terus belajar dan focus pada satu tujuan yaitu mengembangkan Erika seoptimal mungkin sesuai dengan talenta yang diberikan Tuhan. Hal ini tertuang dalam bab dua. Tidak ada cara yang sederhana, mudah, satu-satunya, instant, jitu dalam mengembangkan Erika apalagi dalam dunia yang penuh persaingan dan individualistis ini. Tidak hanya mengembangkan ranah kognitif dan psikomotor, tetapi mengembangkan ranah afektif adalah tantangan yang tidak kalah beratnya dalam dunia yang semakin bobrok ini. Pengalaman hidup kami bersama Erika adalah latihan dan tempaan yang memampukan kami terus bertumbuh sebagai orang tua. Maryam beberapa kali merenung panggilannya sebagai isteri, ibu dan sekaligus psikolog pendidikan. Buku ini adalah perjuangannya secara detil menghayati dan memerankan berbagai panggilannya itu. Bagaimana dia mengajar, mendidik, mendorong, mengatasi diskriminasi yang dialami Erika dan bagaimana dia mendapatkan kekayaan spiritual melalui penyerahan dirinya pada Tuhan. Bab tiga, empat dan lima adalah perjuangan Maryam mendampingi Erika “ditolak” oleh lingkungannya, perjuangan Erika menembus prestasi dunia orang “mendengar” dan menyesuaikan diri dengan “ketidak adilan” yang dialaminya. Saya lulus sebagai sarjana komunikasi massa, senang bergurau dan supel dalam bersosialisasi, Maryam sebagai psikolog pendidikan lulusan Universitas Indonesia dengan predikat “cumlaude”. Kombinasi yang lengkap dan ideal untuk mendidik Erika yang mengalami cacat pendengaran yang sekaligus mempengaruhi komunikasinya. Tapi, dalam perjalanan hidup dengan Erika, banyak hal yang kami rasa kurang, tidak mampu dan terus harus kami cari. Kami menjajaki, terus mencoba berbagai bentuk komunikasi yang sesuai dengan kekuatan, kelemahan dan kebutuhan Erika. Kami tidak ingin hanya berbasa basi berkomunikasi dengan Erika, tetapi kami ingin sampai pada taraf intimasi yang mendalam di mana kami bisa saling mencurahkan isi hati kami yang terdalam. Itu
sulit dicapai kalau kami tidak bisa saling “menerima” keberadaan kami masing-masing dan saling “mempercayai”. Sebagaimana semua orang tua, Maryam ingin agar Erika mampu memakai sisa-sisa pendengarannya, membaca ujaran dan berbicara. Sering kali hal ini membuat Erika rendah diri dan tertekan, di lain pihak Maryam merasa bersalah dan gagal. Jurang komunikasi antara orang tua dengan Erika yang remaja semakin melebar, tidak mudah kami jembatani. Sebabnya antara lain latar belakang perbedaan sebagai orang tua yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, Indonesia sangat berbeda dengan Erika yang lahir di Jakarta dan menempuh pendidikan dasarnya di Singapura lalu melewati masa remajanya di Melbourne, Austtralia. Perbedaan karakter antara kami dan Erika juga memperuncing konflik-konflik yang kami alami. Dinamika naik turun semua hal di atas mewarnai “jati diri” Erika yang tertuang dalam bab enam. Erika mungkin bukan tipikal anak tunarungu Indonesia, tetapi perasaan, harga diri, tahap perkembangan, ambisi dan berbagai konflik yang dialami Erika pasti sama dengan anak tunarungu dimana-mana, termasuk Indonesia. Bab tujuh dan delapan Erika dengan berbagai ambisi, petualangan dan impian yang ingin dicapainya. Pengalaman ini semua memperkaya hidupnya, menambah kebanggaannya sebagai anak tunarungu dan membuktikan bahwa anak tunarungu bisa menyamai bahkan melebihi prestasi anak “mendengar”. Bergabung dan berbagi dengan sesama orang tua tunarungu, mengikuti berbagai seminar, konferensi dan membaca buku-buku telah memberikan masukan dan pengalaman yang berharga, namun Maryam bukan wanita super. Dia kadang merasa rendah diri, suatu perasaan mengasihani dirinya sendiri kalau dia bergabung dengan teman-temannya yang dalam ukuran dunia sukses di bidang materi, pendidikan, pekerjaan sehingga mampu menunjukkan kehebatan mereka masing-masing. Namun kami merasa persatuan yang erat dan indah bersama dengan anak-anak, Eric, Astrid, menantu-menantu kami Kiat, Ivan dan juga mami Maryam dan sanak keluarga lainnya. Saya juga melihat lewat perjalanan hidup dengan Erika , Maryam mampu memberikan kekuatan, perasaan tenang, kelegaan dalam meringankan beban sesama orang tua anak tunarungu lainnya. Di tengah dunia yang serba tidak menentu inipun, pengalaman Maryam mampu menguatkan berbagai kelompok orang-orang yang membutuhkan layanan psikologi dan keyakinan iman untuk terus percaya dan patuh pada kehendak Tuhan. Dasar yang kuat yang sudah ditanamkan selama 21 tahun masih harus terus didoakan agar Erika mampu menyelesaikan kuliahnya, mendapat pekerjaan dan hidup berkeluarga dengan belahan jiwanya. Semoga buku ini membantu seluruh orang tua anak berkebutuhan khusus untuk terus berjuang, menghayati panggilannya dan berani memerankan fungsinya ditopang oleh kekuatan yang berasal dari Tuhan. Selamat berjuang! Rudyanto Gunawan
1. PANGGILAN SEBAGAI IBU ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MENGENANG 21 TAHUN SILAM 29 Oktober 1988, di Jakarta Erika lahir disambut gembira oleh seluruh anggota keluarga. Apalagi kehadiran Erika sangat ditunggu-tunggu oleh kakak2nya, Eric (sembilan tahun) dan Astrid (hampir tujuh tahun). Kami merasa sangat bahagia, karena Erika lahir sehat dan tidak kurang suatu apapun. Waktu berjalan tanpa terasa, Erika duduk pada usia tiga bulan, mengoceh pada usia enam bulan dan berjalan pada usia satu tahun. Tetapi melewati usia satu tahun, ocehannya tidak menjadi sebuah kata atau phrasa yang “berarti”. Kami mulai merasa ada sesuatu yang tidak benar, karena Erika belum bisa bicara. Beberapa kali kami memanggil Erika, dia tidak menoleh. Mula-mula kami menganggap Erika adalah anak yang cuek (tidak peduli) sehingga kalau dipanggil dia tidak menengok. Sering kami secara sengaja mencoba memanggil namanya atau menepuk tangan di belakang badannya. Usaha atau eksperimen kami ini kadang diresponi oleh Erika, namun lebih sering Erika tidak berespons. Sampai suatu saat sepulang saya bekerja, saya ingin menarik perhatian Erika yang saat itu sedang duduk di teras depan rumah. Saya membunyikan klakson mobil beberapa kali, dan alangkah kagetnya saya karena Erika tidak bergiming sedikitpun. Bingung dan sekaligus lemas, saya tidak bisa menyembunyikan kekuatiran saya, langsung saya menelepon suami. Kami lalu pergi ke dokter keluarga yang akhirnya merujuk kami ke dokter ahli Telinga Hidung dan Tenggorokan (THT). Saat kami membawa Erika ke dokter THT usianya waktu itu 20 bulan. Pertama kali memasuki ruang periksa dokter THT, Erika menangis keras. Dan dokter itu tanpa memeriksa apapun mengatakan bahwa Erika tuli. “Tangis”nya yang membuat dokter itu pasti bahwa Erika mengalami gangguan pendengaran. Menurut beliau, nada tangis anak tuli berbeda. Hanya kira-kira lima menit kami berada di ruang praktek dokter tersebut. Kami kemudian diberi surat rujukan ke dokter syaraf anak untuk melakukan prosedur tertentu supaya mengetahui derajat gangguan pendengaran Erika.
Beberapa hari kemudian kami pergi mengunjungi dokter syaraf anak. Untuk menjalani prosedur tersebut, Erika harus “ditidurkan”. Betapa sedih hati kami karena Erika meronta menolak untuk minum obat yang diberikan suster. Beberapa saat setelah obat berhasil ditelan, Erika mulai diam, tenang dan akhirnya tidur. Pada saat itulah dokter memeriksa fungsi syaraf pendengaran Erika. Ini adalah awal di mana kami dipersiapkan secara mental untuk menerima kenyataan “fungsi pendengaran” anak kami. Kekuatiran kami bahwa Erika mengalami gangguan pendengaran akan dibuktikan melalui test tersebut. Vonis dokter ahli syaraf anak yang menyatakan bahwa anak kami ERIKA, tunarungu membuat kami diam, jantung kami seolah-olah berhenti berdetak dan kami hanya bisa saling berpandangan. Dokter mengkonfirmasikan keadaan anak kami. Sesuatu yang dulu hanya dugaan, sekarang menjadi kenyataan yang pasti. Hal yang kami sangka hanya merupakan ekspresi karakter Erika, ternyata merupakan gangguan pendengaran yang parah di mana Erika tidak mampu mendengar. “Tuli” tepatnya, karena dia hanya mampu mendengar suara-suara diatas 90 db.
Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak berdiam diri, kami berganti-ganti memandangi wajah Erika, tidak ada suara ………….yang ada hanya tetesan air mata. Kami bingung, sedih, takut, cemas, dan merasa tidak berdaya! Mengapa, Tuhan? Mengapa harus Erika? Apa salah kami? Kasihani kami, ya Tuhan! Saya tidak bisa membayangkan hidup sepi tanpa suara. Bagaimana Erika akan bisa berbicara? Bagaimana Erika akan bisa mengekspresikan perasaan dan keinginannya? Bagaimana Erika akan mengerti percakapan kami? Bagaimana Erika akan menyerap pengetahuan? Bagaimana Erika akan menikmati indahnya lagu, musik dan hiburan? Dia tidak bisa mendengar. Dia tidak bisa berbicara. Dia tidak bisa menyanyi. Dia tidak bisa mengekspresikan apa yang ada di hatinya. Dia pasti mengalami kesulitan berteman. Dia pasti sulit mengendalikan emosinya. Dia pasti sukar beradaptasi. Dia pasti terhambat perkembangannya. Dia pasti sulit mengikuti pendidikan umum. Dia diperlakukan sebagai anak cacat. Dia tidak bisa…….ini…… itu…….oh……… 1001 macam bayangan melintas di pikiran kami. Betul, gangguan pendengaran hanyalah soal yang kecil kelihatannya, tetapi membayangkan dampaknya? Saya ngeri mengantisipasi hidup Erika selanjutnya. Manusia adalah mahluk sosial dan ketunarunguan yang dialaminya akan menyebabkan ia sulit bersosialisasi, tidak diterima oleh teman-teman di lingkungannya …..ah sungguh dahsyat akibatnya. Ia akan kesepian di tengah dunia yang hiruk pikuk. Hati saya diliputi berbagai perasaan, mulai dari sedih, kecewa, bingung, merasa bersalah, tidak berdaya, cemas, dan marah. Apa artinya anak adalah anugerah dari Tuhan? Apa maksudnya bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan yang baik, rancangan damai sejahtera? Apa maksudnya bahwa anak adalah ciptaan Tuhan yang sangat bernilai, seindah dan sesempurna Tuhan sebagai penciptanya? Kami langsung ke kamar, mengunci pintu dan menghabiskan tangis kami di tempat tidur. Hening. Suami saya tidak mampu ke kantor lagi, beberapa hari dia menghabiskan waktunya di kamar menyendiri. Tidak ada lagi kegiatan menonton televisi, aktivitas yang selalu dilakukannya sesudah pulang kantor. Kalaupun ada, suami saya akan mengecilkan volumenya, sehingga tidak ada suara yang bisa didengar dari televisi. Yah, dia mencoba menghayati, bagaimana hidup tanpa suara, dia mencoba memahami percakapan dari komat kamit orang-orang di televisi. Pandangannya kosong, yah karena dia tidak mampu mengerti percakapan yang terjadi. Apa artinya gambar-gambar yang bergerak di
televisi? Hanya sejauh terkaan saja. Intinya tidak ada yang dapat dimikmati melalui televisi. Saya sebagai mama Erika mulai merencanakan berbagai hal. Saya mencoba mengatakan pada diri sendiri bahwa saya harus memiliki tekad, semangat, motivasi dan daya tahan untuk berjuang mengatasi kekurangan Erika. Saya harus yakin bahwa Tuhan menganugerahkan Erika kepada kami dengan maksud yang baik, bukan untuk mencelakakan kami. Saat ini kami belum bisa melihat dan merasakan apa yang baik dan indah tersebut. Akan tetapi kalau Tuhan sudah mengizinkan hal ini terjadi dalam kehidupan kami berdua, maka kami harus mengimani bahwa ini adalah panggilan istimewa yang diberikan kepada kami sebagai orang tua anak berkebutuhan khusus. Namun hal ini tidak cukup, saya harus menentukan prioritas, apa yang harus diutamakan dalam hidup saya sekarang. Saya harus menata kembali hidup saya. Saya harus melakukan perubahanperubahan. Saya harus membantu suami dan anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan anak bungsu kami atau adik mereka yang memiliki label anak tuli, anak tunarungu, anak cacat, anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Untuk itu, saya harus berkorban. Tugas yang berat, namun Tuhan berjanji kalau Dia akan menyertai kami senantiasa. AWAL PERJALANAN Mata Erika yang lebih banyak mencerminkan pandangan yang “kosong” menjadi tantangan bagi saya, mamanya untuk bereaksi dan tidak diam terpaku pada perasaan. Setiap malam saya membaca bukubuku pendidikan anak luar biasa, khususnya mengenai anak tunarugu. Saya harus bertindak cepat, karena usia Erika sudah melewati 20 bulan, di mana saya nyaris tidak melakukan apa-apa untuk mengkompensasi gangguan pendengarannya. Di beberapa tempat di luar negeri, segera setelah anak lahir, anak diberi beberapa rangkaian test, salah satunya untuk mendeteksi apakah anak mengalami gangguan pendengaran. Akan berbeda sekali perkembangan Erika, seandainya saya tahu dia mengalami gangguan pendengaran sejak berusia satu hari. Masa peka perkembangan anak dalam segi bahasa, berpikir, emosi, sosial pada lima tahun pertama tidak mungkin terulang lagi. Erik Erickson dalam teori sosial emosi mengatakan bahwa pada usia nol sampai satu setengah tahun anak mengembangkan rasa “percaya vs tidak percaya” (sense of trust vs mistrust). Bagi anak tunarungu, kehangatan, rasa aman dan nyaman akan tertunda, karena
orang tua biasanya mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut melalui kata-kata, nyanyian atau bahasa. Orang tua tidak selalu langsung hadir secara fisik, saat anak menangis. Mungkin ibu hanya berdendang ria dari dapur atau berusaha menenangkan anak sambil mengucapkan kata-kata merdu, namun semua itu tidak mampu didengar anak tunarungu. Oleh karenanya pertumbuhan rasa “percaya” pada anak tunarungu akan terhambat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan emosi dan sosialnya. Menyadari hal ini, maka saya selalu berusaha hadir secara fisik, memberikan ekspresi tubuh dan mimik muka yang nyata saat Erika menangis atau berteriak, juga pada saat ia tertawa atau mengoceh. Saya berusaha memahami apa yang ada di balik tangisan, teriakan, tawa dan ocehannya. Saya mencoba berempati apa gerangan yang ada dibalik tangisan, teriakan, tawa dan ocehannya. Sentuhan fisik, belaian, juga lebih banyak saya berikan. Saya sengaja memberikan pandangan mata yang fokus menatap mata Erika untuk memulai suatu kontak sosial.
Hal lain yang nyata berubah adalah bentuk visualisasi melalui gambar yang banyak saya buat, gunting lalu saya pajang di seluruh dinding rumah. Setiap minggu saya mengganti dekorasi rumah saya dengan berbagai gambar agar pengetahuan Erika tetap terstimulasi melalui penglihatannya. Tulisan-tulisan saya buat dan saya taruh pada benda konkritnya agar Erika bisa “klik” mulai memahami bahwa setiap benda memiliki nama. Jadi semacam prakarya atau pekerjaan tangan yang menjadi aktivitas saya setiap malam untuk mempersiapkan perkembangan bahasa dan pengetahuan umumnya. Tanpa pendengaran yang dimilikinya, Erika membutuhkan banyak “masukan” melalui penglihatannya. Saya perlu mendemonstrasikan dan menjelaskan kembali kejadian-
kejadian di sekelilingnya dengan “acting” yang lebih ekstrim, supaya Erika memahami apa yang terjadi. Dari segi medis, kami juga melakukan kunjungan ke dokter THT lain untuk mengkonfirmasikan vonis terhadap Erika, sekaligus untuk mencari masukan dan mengumpulkan pendapat lain dari para professional di bidang tunarungu. Kami juga mengunjungi ahli audiologist untuk mengukur dan mendapatkan data audiogram pendengaran Erika. Data-data ini diperlukan untuk memberikan alat bantu dengar bagi Erika. Kami juga pergi dan melihat berbagai macam alat bantu dengar sebelum membeli alat tersebut yang relatif cukup mahal. Tidak cukup dengan aktivitas di atas, kami juga percaya bahwa Tuhan membuat mujizat dan kami ingin hal itu terjadi bagi Erika. Kami pergi ke berbagai kebaktian doa dan penyembuhan. Teman-teman yang mengetahui anak kami tunarungu juga berusaha banyak memberikan masukan, datang berdoa dan menguatkan kami, membujuk kami untuk mengikuti berbagai “kesembuhan Ilahi”. Tidak hanya itu, kami juga mencoba berbagai terapi alternatif lainnya, seperti yang disarankan oleh beberapa kerabat yang prihatin dengan keadaan anak kami.
Tidak dapat dibayangkan, kami mengalami fluktuasi emosi yang naik dan turun. Kami lelah secara fisik. Kami harus beradaptasi dengan “kenyataan” baru dan aktivitas yang berbeda. Kami harus menerima kenyataan bahwa Erika tetap tuli, di samping berbagai usaha yang
telah kami lakukan. Kami tetap melihat Erika banyak bengong dan tetap “tidak mengerti” pada apa yang terjadi di sekelilingnya. Tiga bulan sejak vonis, kami lewati dengan aktivitas yang saya jalankan dengan kecepatan kilat. Pada ulang tahun Erika yang kedua, sejenak saya berefleksi dan saya mencoba mengekspresikan perasaan dan harapan saya melalui surat di bawah ini.
Erika, Anakku Sayang, ”29 Oktober 1988, jam 2 pagi engkau lahir dan disaksikan dengan bangga oleh papamu, Sayang. Masa kehamilan dan proses kelahiran yang normal, bersamaan dengan kesibukan mama menyelesaikan studi lanjutan S2 Psikologi Pendidikan di Universitas Indonesia. Anakku Sayang, sekian lama mama dan papa kurang peka akan ketidak mampuanmu mendengar. Baru pada 18 Juli 1990 di saat usiamu satu tahun delapan bulan mama dan papa sadar akan kenyataan yang sangat pahit ini. Shock adalah reaksi papa yang pertama. Mama berusaha tabah anakku sayang, karena yakin dunia sudah maju untuk mendidik anakanak tunarungu. Tetapi pada saat tertentu mama sangat sedih, merasa bersalah dan cemas akan masa depanmu, Nak! Namun opa, oma, keluarga, sahabat, teman datang memberi perhatian, simpati, kekuatan dan buku-buku yang sangat bermanfaat. Mama dan papa bertekad mencari informasi dan berusaha sekuat kemampuan untuk mengatasi hambatanmu, Sayang. Hari ini, usiamu tepat dua tahun, usia di mana anak-anak lain sudah pintar mengoceh dan mulai banyak berbicara. Kamu…….. belum mampu….Sayang, dibutuhkan usaha yang besar, waktu yang lama untuk kamu bisa berbicara. Tabah dan berjuanglah terus, Nak! Mama papa senantiasa berdoa agar kamu kuat menembus tembok yang membatasi komunikasimu. Erika, engkau tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kami sekeluarga. Terima kasih Tuhan atas kepercayaan-Mu menitipkan Erika pada kami berdua, terima kasih untuk kelucuan-kelucuan yang kami nikmati. Erika sudah mampu berkomunikasi sedikit dengan bahasa tubuhnya dan bahasanya sendiri. Erika adalah Erika yang nakal yang ingin mengatur kakak-kakaknya namun juga Erika yang polos yang berdoa sebelum makan. Yah, Erika memang menggemaskan dan juga mengharukan. Kamu juga membanggakan! Betapa banyak orang yang kagum melihat keberanianmu meluncur di papan luncur dan berenang. Tetapi kamu juga anak yang suka malu-malu dan belum mau ditinggal sendiri diwaktu sekolah.”
Sejak September 1990 kamu mulai bersekolah di SLB/B Santi Rama. Opa omamu juga banyak menolong membantu mengantarkan dan menungguimu di sekolah. Sejak 20 September 1990 kamu juga memperoleh alat bantu dengar, alat yang diharapkan bisa merangsang sisa-sisa pendengaranmu. Selamat berjuang, Anakku Sayang! Mama, Papa, kakak-kakakmu, Eric dan Astrid, senantiasa mendukung dan membantumu berjuang dari belakang. Kekuatan dari Tuhan adalah sumber pengharapan kita. Aku sangat menanti-nantikan Tuhan, lalu Ia menjenguk kepadaku dan mendengarkan teriakku minta tolong (Mazmur 40:2) Selalu ada penyesalan dan keraguan dibalik harapan dan optimisme kami. Ada sukacita menyaksikan perkembangan Erika tapi tetap ada kecemasan yang mendalam melihat hambatan Erika berbicara dan berbahasa. Tidak selalu Erika mau memakai alat bantu dengarnya. Dia lebih banyak menarik untuk mencoba melepaskan alat tersebut. Kami berusaha memakai alat bantu-alat bantu dari sponge dan benang tali, kreativitas kami sendiri, agar Erika melihat kami semua sama dengan dia, memakai sesuatu di telinganya. Di lain kesempatan kami juga berusaha menjelaskan bahwa kami memakai kacamata sebagaimana Erika memakai alat bantu dengar. Kami akui, tetap sulit, karena Erika belum bisa mengasosiasikan antara alat bantu dengar yang dipakainya dengan suara yang bisa didengarnya. Konsistensi, disiplin serta permainan dan aktivitas mendengar yang dilakukan sewaktu Erika memakai alat bantu dengar adalah kunci yang lambat laun membuat Erika akhirnya mau memakai alat bantu dengarnya Mula-mula Erika memakai alat bantu dengar di belakang telinga, tetapi kemudian diganti dengan alat bantu dengar poket yang digantung di lehernya. Hal ini ternyata lebih membantu, karena Erika bisa melihat dan mengasosiasikan antara suara yang didengarnya dengan alat bantu poket yang dipakainya. Namun dampak lain adalah setiap kali Erika memakai alat itu, sejumlah pasang mata orang yang melihat Erika, menatap tajam pada benda aneh itu. Sekian kali pula kami harus menjelaskan pada orang-orang yang melihatnya bahwa Erika tuli, oleh karena itu ia membutuhkan alat ini. Awal perjalanan panjang kami bersama Erika, kami lalui dengan suka dan duka. Suka, karena banyak hal-hal baru yang harus kami pelajari dan menantang bagi kami untuk kami coba bersama Erika. Duka, karena kami sama sekali belum melihat perkembangan yang nyata dari hasil kerja keras kami yang kami lakukan dengan kecepatan maksimum. Kami masih melalui proses jatuh bangun untuk menerima Erika sebagaimana adanya.
PENGORBANAN SEBAGAI IBU Setiap anak membutuhkan sentuhan lembut ibunya, juga perhatian dan fokus dari ibunya setiap hari. Anak memerlukan seseorang yang mau menyisihkan waktu dan energi baginya, yang bisa membangun dan mengukuhkannya serta memberi rasa aman dan nyaman baginya. Anak adalah titipan Tuhan yang sangat berharga, melebihi kekayaan materi atau benda berharga apapun. Mengasihi dan mengasuh mereka berarti memberikan hidup yang berarti dan relasi yang mendalam dengan anak. Apa yang ada di dalam benak Sang Pencipta sewaktu Dia menciptakan manusia? Apa benar Tuhan mempunyai rancangan yang indah, rancangan damai sejahtera bagi setiap manusia yang percaya padaNya? Mengapa hidup terasa begitu sulit? Hari sudah larut malam, beberapa pekerjaan masih harus diselesaikan. Mengetahui Erika yang tunarungu sering membuat kami tidak bisa tidur malam. Kedua kakaknya juga membutuhkan perhatian. Pekerjaan dan karir saya juga menuntut kemampuan dan konsentrasi saya. Apa benar, kebahagiaan dan damai akan saya rasakan kalau saya mau kembali pada pandangan dan pemikiran Tuhan pada saat dia menciptakan saya sebagai manusia? Di sisi lain sering saya merasa keluarga dan masyarakat mendorong saya untuk terus mencapai apa yang menjadi impian saya, melakukan apa yang menurut saya “penting” dalam hidup ini. Saya menikah dan mempunyai tiga anak tetapi saya tetap ingin berkarya dan berkarier. Mungkinkah? Erika membutuhkan saya, saya harus memilih! Mungkinkah saya hanya menjadi isteri dan ibu? Tidak kah ini meminimalkan apa yang Tuhan rencanakan yang terbaik buat saya? Sebagai orang yang penuh
semangat, tekad dan selalu ingin mencapai yang terbaik dan sempurna, saya ingin merealisasikan sesuatu yang penting dalam hidup saya ini. Oh mengapa kehidupan menjadi bergitu sulit? Saya tahu, menjadi ibu adalah panggilan yang mulia dan sangat penting. Tapi ………….bagaimana saya bisa mempercayai maksud Tuhan ini? Abraham mengikuti perintah Tuhan untuk pergi ke suatu tempat yang tidak diketahuinya. Hannah menunggu keajaiban (untuk mendapatkan anak), tanpa mengetahui kapan. Maria mengalami keajaiban mengandung tanpa mengetahui bagaimana terjadinya. Yusuf percaya bahwa Tuhan mempunyai tujuan hidup baginya, walaupun dia harus melewati banyak pengalaman hidup yang pahit. Percayalah pada Tuhan dengan segenap hatimu! Memang kata-kata ini menguatkan saya, tapi……..Tuhan, terus terang…….itu terjadi hanya sekali-sekali. Katanya, perjalanan yang terjauh dalam kehidupan adalah dari “kepala” ke “hati”. Sering kali kita “memilih” misalnya untuk tidak mempunyai anak, setelah mempertimbangkan dan memikirkannya beribu-ribu kali, dan keputusannya adalah “Saya tidak siap”. Pilihan dan keputusan yang sering kali disesali oleh wanita-wanita yang fokus pada karirnya, setelah beberapa tahun telah dilewatinya tanpa kehadiran anak. Kapankah kita “siap” menjadi mama? Tapi Tuhan, saya sudah siap dan sungguh saya bersyukur dikaruniai tiga anakanak. Namun…….mengapa rasanya hidup sebagai mama makin lama begitu berat? Saya sedikit terhibur dan dikuatkan setelah merenungkan sejenak catatan harian seorang mama, demikian: ”Saya bukan seorang mama yang sempurna, karena saya memiliki banyak kelemahan dan kekurangan. Siapakah saya? Saya tidak layak membesarkan seorang anak, karena saya penuh dengan dosa dan cacat cela. Tetapi saya percaya bahwa Tuhan mempercayakan anak ini kepada saya sebagai mama, dan saya akan bertanggung jawab penuh berfungsi sebagai mama dengan sungguh-sungguh. Saya berharap dapat mengembangkan anak ini dengan dasar yang kuat di dalam Tuhan dan memberikan kasih sayang yang dibutuhkannya. Doa saya agar Tuhan memampukan saya dan memakai saya sebagai mama bagi anak saya ini.”
Erika yang spontan penuh semangat Percayalah pada Tuhan, jangan bersandar pada pengertianmu sendiri, akuilah Dia di dalam segala lakumu (Amsal 3:5-6). Ayat ini pada kenyataannya tidak mudah mempraktekkannya, karena manusia sering merasa “lebih tahu atau sok tahu”. Memang menjadi wanita, ……….menjadi mama……………membutuhkan “hati” yang sangat besar. Berapa lama, berapa tahun kepala/otak perlu diasah? Berapa lama, berapa tahun menciptakan “hati yang besar” agar bisa berfungsi sebagai mama? Karena hati ini lah yang memampukan wanita menaruh di bawah salib, semua kesenangan , kenikmatan, dan keinginan pribadinya demi orang-orang yang dikasihinya,…….yaitu suami dan anak-anak. Akhirnya dengan berat hati, saya mulai melepaskan satu persatu aktivitas yang membuat saya bangga karena bisa mengaktualisasikan potensi diri saya. Saya mulai mengurangi murid-murid piano saya, karena saya sering mengeluarkan air mata tanpa sadar, sewaktu mengajar mereka. Musik yang tadinya begitu indah dan ingin saya tularkan pada anak-anak didik saya, menjadi begitu menyakitkan karena anak saya sendiri tidak mampu mendengar apalagi menikmatinya. Aktivitas koor dan pelayanan mengiringi kebaktian di gereja dengan piano dan organ saya tinggalkan. Terlalu pedih! Dan sungguh saya akhirnya ambruk pada bulan Desember 1990, karena hati saya hancur, hati saya memberontak, hati saya tidak terima. Mengapa Tuhan begitu kejam? Mengapa anak saya tidak bisa mendengarkan lagu-lagu Natal yang begitu indah? Mengapa Erika
tidak bisa menikmati gegap gempita keceriaan dan sukacita karena Tuhan sudah lahir bagi umat manusia? Mengapa Erika tidak bisa mengerti drama KASIH itu? Suami saya pada saat itu “lebih kuat” dari saya, dia banyak menghibur untuk menenangkan saya. Tidak banyak kata-kata yang diucapkan tapi tangannya sering membelai saya, pandangan matanya mencerminkan pengertiannya yang mendalam terhadap hati saya yang pilu dan pedih. Seringkali di tengah keheningan yang begitu mencekam, kami berdua hanya berdekapan, kami hanya mampu melipatkan tangan, berdoa, mencurahkan kesedihan dan kecemasan, kami minta kekuatan dari atas, berserah, kami mau taat, mau menjadi orang tua yang dipakai Tuhan. Hubungan kami berdua sebagai suami isteri semakin erat dengan pergumulan yang Tuhan taruh di pundak kami sebagai orang tua Erika. Kami juga menjadi sangat bergantung pada kekuatan dari Tuhan, karena merasa tidak mampu. Kami tidak lagi menghabiskan waktu-waktu kami di bulan Desember 1990 itu untuk berlatih koor atau drama, untuk mempersiapkan perayaan hari Natal. Kami pergi menyendiri, pergi ke tempat sepi, kami pergi jauh dari Jakarta, ingin merenung, ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Kami ingin mendengar suara-Nya, kami ingin mendapatkan kekuatan-Nya. Kami bawa ketiga anak-anak kami. Pulang dari retreat pribadi atau retreat keluarga itu, kami merasa disegarkan. Itu membuat langkah saya lebih mantap untuk maju dan melihat ke depan. Saya mengurangi beberapa aktivitas sosial karena tahu bahwa saya sekarang hidup dalam dua dunia, yaitu dunia orang mendengar dan dunia kaum tunarungu. Tidak mudah, karena dengan mengurangi aktivitas sosial itu saya juga merasa tersisihkan. Ada banyak kesenangan, minat dan hobi yang saya harus kurangi dan tidak bisa saya lakukan lagi. Saya mulai bergabung dengan kelompok orang tua yang senasib. Saya selalu berusaha mengajak Erika, ke mana saya pergi. Ini penting untuk meng”ekspose” Erika terhadap dunia luar. Proses berpikir dan pengetahuan umumnya bertambah melalui apa yang dilihat dan dialaminya secara langsung. Tidak cukup sampai di situ, karena saya harus banyak menerjemahkan dan menjelaskan ulang apa yang terjadi di sekitarnya, agar dia lebih mengerti. Dengan cara ini pula dia tidak merasa disisihkan, karena dia selalu dilibatkan dalam percakapan atau kegiatan yang sedang berlangsung. Apakah Erika mengerti, itu tidak menjadi soal, tetapi melibatkan Erika adalah kunci agar dia merasa diperlakukan sebagai manusia.
MIMPI YANG TAK TERWUJUD Erika masuk sekolah Sekolah Luar Biasa bagian B (SLB/B) Santi Rama sejak September 1990, saat itu usianya hampir dua tahun. Sesegera mungkin masuk sekolah adalah langkah yang bijaksana agar sedini mungkin kemampuan mendengar dan wicaranya diasah. Bayangkan, sewaktu anak-anak lain asik bermain-main, Erika dan anak-anak tunarungu lainnya harus berjuang untuk mengatasi tembok tebal yang memisahkan mereka dari anak-anak mendengar lainnya. Sisa-sisa pendengarannya dirangsang agar bisa peka menangkap suara, mengidentifikasi bunyi-bunyi yang kelak menjadi dasar mereka berbicara. Mereka dilatih untuk berbicara, karena baik orang tua dan orang mendengar lainnya mempunyai satu target utama yaitu anakanak tunarungu harus bisa berbicara kalau mau hidup di tengah orangorang mendengar. Layakkah mereka yang hanya memiliki begitu sedikit sisa pendengaran harus melalui proses pengasahan yang demikian tajam dan pendidikan yang demikian berat? Mungkinkah mimpi ini bisa terwujud?
Pertanyaan ini terus mengiang di benak saya. Saya tidak pernah bermimpi anak saya bersekolah di sekolah luar biasa. Penampilan fisik
sekolah yang kurang menarik, masa depan yang tidak menjanjikan, karakteristik murid yang khas walaupun memiliki guru-guru yang ramah, penuh dedikasi, selalu saya hindarkan. Label “sekolah luar biasa” sangat mengerikan! Saya memang kagum pada guru-guru yang senantiasa melihat kedalaman kemampuan yang pasti dimiliki setiap anak yang dididiknya, walaupun mereka tergolong begitu parah tingkat pendengarannya. Saya terharu melihat mereka mampu mencintai anak didiknya. Tetapi ……. tetap, saya merasa ini bukan tempat anak saya. Pendampingan orang tua, berangsur-angsur menenangkan, dan saya mulai berusaha untuk menerima kenyataan yang tak dapat saya elakkan, Erika bersekolah di sekolah luar biasa. Menempatkan Erika di sekolah ini akan membuka lebih banyak pintu harapan dibandingkan kalau dia bersekolah di sekolah umum. Erika membutuhkan metode khusus, pendekatan spesifik, latihan dan stimulasi yang berbeda yang hanya bisa diberikan oleh guru-guru yang secara khusus dididik untuk anak-anak tunarungu. Ratio guru berbanding murid adalah 1 : 10 agar murid-murid bisa melihat gerak bibir atau ujaran guru, di samping guru bisa membahasakan gerak gerik ekspresi anak tunarungu. Mimpi saya berubah, impian saya dulu di mana saya ingin Erika bersekolah di sekolah umum yang berprestise diganti dengan impian yang lebih nyata, yaitu Erika bisa tumbuh menjadi anak yang utuh, bahagia dan bisa menerima kecacatannya berjalan beriringan dengan kelebihannya. Saya juga berharap agar saya bisa lebih arif untuk melanjutkan hidup hari demi hari, tahun demi tahun, sebagai mama Erika. Erika mungkin akan kerap mengecewakan saya dengan kecacatannya, tetapi jauh di lubuk hati saya yang terdalam saya bertekad untuk terus mencintainya…….apapun juga keadaannya dan apapun juga yang terjadi. Saya mungkin tidak akan mendapatkan penghargaan atau tepuk tangan karena prestasi Erika, tetapi saya tahu saya bisa melakukan banyak hal bersama Erika dan saya tetap akan sama bahagianya karena saya tahu siapa saya sebenarnya. JALAN YANG SULIT Erika bersekolah di SLB/B Santi Rama selama dua tahun, sebagai murid Taman Latihan Observasi, semacam ”taman bermain” atau ”intervensi dini” bagi anak tunarungu, kemudian dia pindah ke SLB/B Pangudi Luhur. Di Santi Rama, Erika bersekolah setiap hari selama dua jam, tetapi di Pangudi Luhur, Erika bersekolah selama tujuh setengah jam setiap hari, sebagai murid kelas Persiapan-1, seperti Taman Kanak-Kanak untuk anak tunarungu. Perlu diketahui anak-anak
tunarungu di sekolah ini melewati 3 tahun bersekolah di tingkat Persiapan satu, dua dan tiga sebelum ke tingkat Sekolah Dasar. Saat itu usia Erika baru tiga tahun sembilan bulan dan ia bersekolah seperti layaknya orang dewasa bekerja. Jalan yang sulit dan berat bagi Erika, tetapi semuanya itu berusaha kami jalani, karena kami ingin Erika bisa berbicara dan berbahasa.
Erika yang ekspresif dengan Astrid Pada awal tahun 1993, suami ditugaskan untuk bekerja di Singapura, keputusan yang kami sambut dengan berbagai campuran perasaan. Itu berarti bahwa anak-anak harus pindah sekolah, saya harus
meninggalkan seluruh karya dan karir saya, mengikuti dan menopang keputusan suami pindah ke Singapura. Kekuatiran menyelimuti saya pribadi, akankah anak-anak mampu berganti bahasa dan menyesuaikan diri dengan perbedaaan kurikulum dan tuntutan pendidikan setempat? Apalagi Erika yang tunarungu? Menguasai bahasa Indonesia yang relatif lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Inggris, sudah sangat sulit. Mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang banyak memiliki huruf hidup, suara Erika masih tidak jelas dan sulit dimengerti orang-orang yang mendengarnya. Bahasa Inggris? Kepala saya menjadi sangat pusing memikirkannya. Namun pertimbangan sudah matang, kami memutuskan untuk pindah, mencoba tantangan baru bersama dengan ketiga anak-anak kami. Eric yang seharusnya sudah di kelas tiga SMP, hanya diterima di kelas dua SMP, Astrid yang sudah naik ke kelas enam, juga hanya diterima di kelas lima SD. Erika, putri kami yang tunarungu yang sudah bersekolah selama tiga tahun di Jakarta harus mulai lagi dari tingkat Nursery. Semua dilalui anak-anak kami dengan penuh perjuangan. Namun yang membuat kami bergumul adalah Erika tidak diterima di sekolah yang menggunakan system oral seperti di Jakarta, sehingga akhirnya dia bersekolah di Singapore School for the Deaf (SSD) yaitu sekolah luar biasa yang memakai system total komunikasi, yaitu kombinasi semua unsur mulai dari oral, ekspresi muka, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Ini menuntut saya untuk mempelajari bahasa yang baru, yaitu bahasa isyarat.
Kalau di Jakarta kesibukan saya setiap malam adalah membaca buku pendidikan untuk anak tunarungu, menyiapkan gambar-gambar dan pengayaan materi bahasa untuk dilatihkan pada Erika keesokan harinya, maka di Singapura, saya harus mengikuti kursus belajar bahasa isyarat, bahasa alamiah orang-orang tuli. Sungguh ajaib Erika begitu cepat menyesuaikan diri, berganti dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, dan belajar system isyarat Amerika dan Singapura,
sementara saya harus berjuang untuk belajar dan menguasai bahasa isyarat yang ternyata tidak mudah bagi orang-orang mendengar. Saya mencoba merefleksi pengalaman saya tersebut. Bagi Erika, adalah wajar dan alamiah kalau ia mampu menguasai bahasa isyarat dengan cepat, sementara saya harus berani untuk mengekspresikan diri melalui mimik dan gerakan-gerakan yang selalu terasa sangat canggung. Kalau di Singapura ada empat macam bahasa yang berjalan beriringan dan secara resmi diakui dan diterima pemerintah, maka mata saya juga dibukakan dan bisa menerima bahwa setiap bahasa dan kebudayaan memiliki keunikan dan keindahan masing-masing. Saya harus bisa berbesar hati menerima berbagai macam bahasa, termasuk bahasa isyarat. Saya akhirnya melihat bahwa sebagaimana bahasa lainnya, tidak ada bahasa yang statusnya lebih rendah. Semua bahasa adalah sarana untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, ide, pendapat dan alat untuk berkomunikasi. Saya belajar dan mengajar piano, dan salah satu fungsi musik juga sebagai alat ekspresi dan komunikasi. Mata saya semakin berbinarbinar dan saya merasa bersyukur karena bisa menyelami dan mengagumi indahnya setiap bahasa. Walaupun faktor usia sangat mempengaruhi kecepatan saya menguasai bahasa, namun saya bisa melihat antusiasme seluruh anggota keluarga kami dalam belajar bahasa yang baru ini. Bagi Erika, terjadi perubahan yang drastis, dunianya terbuka lebar, dia bisa pindah dari bahasa yang satu (oral) ke bahasa yang lain (isyarat) untuk mengekspresikan keinginan, perasaan, pikiran dan harapannya. Dia bisa berkomunikasi lewat ekspresi lisan, tulisan (menulis, menggambar), gerak tubuh, mimik muka dan bebas mengekspresikan diri melalui segala macam saluran ekspresi (menggambar, melukis, menari, balet, main musik, olahraga, dan permainan). Hal ini nyata kalau melihat Erika, dia lebih ceria, lebih spontan, lebih ekspresif, matanya lebih hidup, dia lebih mampu mengendalikan emosi, lebih bervariasi, kaya dan dalam sewaktu mengekspresikan emosi, sosial dan bahasanya. Dia menjadi anak sebagaimana umumnya anak-anak, polos dan riang, dia lebih percaya diri, karena sekarang dia tidak ragu-ragu atau bingung lagi untuk mengekspresikan diri.
2. BELAJAR – SUATU PERJALANAN UNIK YANG MENANTANG
Sungguh berbeda apa yang dipelajari anak-anak “mendengar” di Taman Bermain dengan anak tunarungu seperti Erika di Taman Latihan Observasi. Di bawah ini bisa dilihat perkembangan Erika melalui rangsangan yang diberikan guru – gurunya untuk melatih sisa - sisa pendengaran Erika, sebagai prasyarat untuk pengajaran berbicara. Dunia Erika yang sunyi mulai terbuka. Bidang Pengembangan Persepsi Bunyi Gerak dan Irama (latihan mendengar). Setelah lima bulan atau satu semester, Erika sudah bisa bereaksi terhadap bunyi-bunyi keras seperti bunyi tambur, rebana, gong, peluit dengan ekspresi muka atau kedipan mata. Dia juga berminat dan mencari bunyi “latar belakang” dengan mencari sumber bunyi seperti bunyi rebana yang dipukul tanpa sepengetahuan Erika. Bila ada bunyi keras ia menoleh, memutar kepalanya mencari bunyi tersebut. Dia juga mulai bisa membedakan antara bunyi keras dan lembut pada rebana yang sama. Hal unik lainnya adalah pengembangan kemampuan berkomunikasinya. Pada awal mulanya Erika dilatih untuk menunjukkan sikap ”keterarah wajahan ” kepada gurunya. Sikap memusatkan perhatian pada wajah guru khususnya bibir guru perlu dikembangkan agar anak tunarungu bisa membaca bibir atau ujaran gurunya. Ini adalah ketrampilan awal yang diperlukan anak tunarungu untuk mengerti suatu komunikasi. Perhatian Erika mudah beralih, ini memang umum untuk anak usia dua tahun. Sulit mengarahkan minat Erika untuk memperhatikan wajah guru apalagi gerak bibir yang dirasa sangat abstrak. Melalui berbagai latihan, Erika mulai mengeluarkan suara kalau menginginkan sesuatu, di samping menunjuk atau membuat gerakan tertentu. Langkah awal yang disambut gembira oleh kami semua. Bisa dibayangkan, kemampuan – kemampuan di atas yang sangat mudah dan alamiah dikuasai oleh anak “mendengar”, tetapi bagi Erika, membutuhkan waktu satu semester untuk menguasainya. Akibat lainnya adalah rasa percaya diri dan kemampuan sosial Erika pasti lebih rendah dan jauh terbelakang dari anak “mendengar”. Sebagai orang tua di satu pihak kemajuan ini sungguh melegakan, karena Erika lebih responsive terhadap reaksi – reaksi dari lingkungannya, tetapi di lain pihak saya masih belum puas karena sebagai psikolog saya tahu potensi Erika yang begitu besar. Hal ini terbukti sewaktu Erika ingin masuk ke SLB Pangudi Luhur. Di sana Erika melalui berbagai test antara lain Snijders-Oomen Non Verbal Intelligence Scale atau dikenal sebagai Test SON. Usia
kronologis pada saat dia ditest adalah 3,6 tahun namun kemampuan mentalnya setara dengan anak usia 5,6 tahun, atau dengan kata lain IQ nya = 145, tergolong “sangat superior”. Di sini, Erika berkembang pesat khususnya yang berkaitan dengan ketrampilan motorik halusnya. Tujuh setengah jam setiap hari Erika bersekolah, sejak jam 7.40 sampai jam 15.00. Bayangkan “beban” yang dialami Erika yang baru berusia tiga tahun sembilan bulan, dan pulang selalu membawa pekerjaan rumah. Saya sebagai orang tuanya ikut stress, karena tidak mudah bagi Erika untuk membuat pekerjaan rumah. Begitu banyak alasan untuk tidak mau membuatnya. Pokoknya segala cara, mulai dari bujukan, pendekatan bervariasi, macam - macam kreativitas saya cobakan. Pengembangan bahasa. Mengajarkan bahasa untuk anak tunarungu memakai metode khusus, di mana guru akan membahasakan apa yang anak coba ungkapkan melalui bunyi atau suara yang diucapkannya. Guru tentu harus bisa berempati untuk menduga, menebak dan memahami apa sebenarnya dibalik uu aa mm ba da ……atau gerakan yang diekspresikan anak dan menuliskannya ke dalam balon percakapan. Artinya apa yang dilihat oleh guru (secara visual), dibahasakan, sesudah itu dijadikan bahan bacaan (lihat contoh di belakang). Perjalanan panjang nan sulit untuk mengembangkan bahasa anak tunarungu. Selain itu murid-murid belajar bahasa melalui tulisan. Oleh karena itu mereka dilatih menulis ”huruf tegak bersambung”, yang tidak mudah bagi motorik anak-anak seusia Erika, dan juga lebih abstrak dibandingkan dengan ”huruf cetak”. Misalnya mengajarkan anak berusia tiga atau empat tahun menulis nama dengan huruf cetak. Contoh : NOAH. Saya bisa memakai illustrasi, begini : N, tulis angka satu lalu satu, terus buat escalator turun O, buat bola A, naik gunung, turun gunung, terus buat jembatan H, buat angka satu, lalu satu lagi, terus buat jembatan Tidak demikian halnya dengan ”huruf bersambung”, agak sulit mengkonkritkannya. Rapornyapun unik, di mana kemampuan berbahasa dan berbicaranya diuraikan ke dalam: 1. Kemampuan berbahasa : a. Reseptif b. Ekspresif 2. Kemampuan berbicara : a. Pembentukan suara
b. Pembentukan fonem c. Aksen bicara d. Kelancaran bicara 3. Persepsi bunyi dan irama musik a. Mendeteksi ada – tidak ada bunyi b. Membedakan bunyi : panjang – pendek tinggi – rendah cepat – lambat keras – lemah c. Mengidentifikasikan : sumber bunyi arah bunyi nama-nama bunyi d. Mengikuti irama 2/2 3/4 4/4 e. Ekspresi gerak dan tari 4. Persepsi bunyi dan irama bahasa a. Mendeteksi b. Membedakan bunyi : panjang – pendek tinggi – rendah cepat – lambat keras – lemah c. Mengidentifikasikan Selain kemampuan unik yang berbeda di atas, maka yang juga diajarkan dan tertera dalam rapor adalah: 1. Pendidikan Moral Pancasila a. Ketertiban b. Kebersihan c. Keamanan d. Keindahan e. Kekeluargaan f. Kerajinan 2. Kegiatan bermain bebas a. Di luar kelas b. Di dalam kelas 3. Kegiatan bermain terpimpin 4. Pengenalan lingkungan hidup a. Lingkungan manusia b. Lingkungan benda sekitar 5. Ungkapan dengan media kreatif a. Menggambar b. Prakarya 6. Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan a. Permainan b. Senam kanak-kanak c. Kesehatan 7. Pendidikan skolastik
a. Persiapan matematika b. Persiapan menulis/menulis c. Persiapan membaca/membaca Dedikasi, kesabaran dan kasih sayang guru, perjuangan, usaha dan kreativitas orang tua, ketekunan dan motivasi anak semua saling melengkapi dalam membuka dunia Erika. Terima kasih kepada semua guru-guru Erika di SLB/B Santi Rama dan Pangudi Luhur. Dasar yang kokoh telah ditanamkan melalui goresan awal yang mewarnai kehidupan Erika. BELAJAR DI SEKOLAH LUAR BIASA SINGAPURA Erika bersekolah di Singapore School for the Deaf (SSD) yang memakai metode total komunikasi. Sekolah ini memakai kurikulum yang sama dengan sekolah umum dan jam sekolahnya juga sama. Setelah bersekolah selama dua tahun di Taman Latihan dan Observasi Santi Rama lalu satu tahun di tingkat Persiapan Pangudi Luhur, Erika mengulang kembali di kelas “nursery” di Singapura. Kalau dulu, dia bersekolah selama tujuh setengah jam, sekarang hanya tiga jam. Kalau dulu memakai bahasa Indonesia sekarang bahasa Inggris. Kalau dulu metode oral, sekarang total komunikasi. Bahasa isyarat yang digunakan adalah SEE (Signing Exact English) yang merupakan bahasa isyarat Amerika yang sesuai dengan tata bahasa bahasa Inggris, lalu dimodifikasi untuk penggunaan di Singapura. Rapornya di sini dibagi dalam : 1. Kepribadian a. Kepemimpinan b. Tanggung jawab c. Percaya diri d. Stabilitas e. Aktivitas f. Perhatian g. Penyesuaian sosial 2. Perilaku sosial a. Partisipasi sosial b. Sikap terhadap kelompok c. Relasi dengan sesama 3. Kebiasaan belajar / bekerja a. Kebiasaan belajar b. Sikap terhadap tugas c. Belajar dan bekerja dengan sesama d. Perhatian di kelas
Kemampuan berbahasanya dinilai berdasarkan topik yang ada di buku paket. Topiknya antara lain mengenai binatang di laut, pakaian, transportasi, pekerjaan, olahraga dan sebagainya. Di Taman Kanak-Kanak rapornya berbeda, seperti di bawah ini: 1. Kemampuan kognitif a. Klasifikasi - memasangkan objek yang sama ukuran, bentuk, warna, teksturnya - mengurutkan objek misalnya dari yang paling kecil sampai paling besar, - memasangkan urutan atau pola tertentu b. Bahasa - memberi label antara gambar dengan kata, kalimat, phrasa. - meminta atau memberi respons dengan bahasanya sendiri - mampu menyebut namanya kalau ditanya - bisa memahami dan melakukan dua perintah yang tidak berhubungan c. Kemampuan membaca - bisa mengulang, menghafal dan mengenal huruf A-Z - mengenal kata, kalimat - dapat mengidentifikasi dan menyebutkan nama objek / gambar d. Kemampuan yang berhubungan dengan angka - mengenal symbol angka 1 – 30 - mengenal kuantitas nomer 1 – 20 - bisa menghitung dan mengerti sampai 20 - mengerti konsep ukuran, seperti panjang – pendek dan seterusnya e. Kemampuan menulis - dapat memegang dan menggunakan alat-alat tulis - bisa mewarnai - bisa “trace” dan “copy” pola-pola “pre-writing” - bisa menulis huruf-huruf 2. Perkembangan intelektual a. Diskriminasi visual b. Menunjukkan rasa ingin tahu c. Mampu berkonsentrasi d. Bisa mengerti e. Memiliki daya ingat yang baik 3. Perkembangan estetika. a. Berespons terhadap keindahan b. Menikmati musik dan gerakan c. Berpartisipasi dalam aktivitas musik
d. Menikmati aktivitas “art and craft” e. Bisa memakai peralatan dan materi sederhana untuk membuat sesuatu 4. Aktivitas dan ketrampilan a. Wicara - mampu mengeluarkan suara bila diminta - mampu mengontrol volume suara - mampu mengulangi pola / bunyi wicara b. Kemampuan mendengar - mampu mendenngar namanya - mampu mendengar / membedakan bunyi “lingkungan” - mampu mendengar / membedakan bunyi wicara c. Cerita - mampu menunjukkan perhatian terhadap cerita - senang mendengarkan cerita - mampu mengulangi cerita sesuai dengan alur cerita d. Aktivitas bermain terstruktur - menunjukkan kreativitas dalam bermain konstruktif - senang bermain puzzles - senang bermain manipulatif - memperlihatkan imajinasi dalam bermain e. Perkembangan fisik - kemampuan mengontrol motorik kasar - koordinasi otot - kesehatan secara umum f. Perkembangan sosial - senang membantu dan bisa bekerja sama - mau “berbagi” - senang bersama guru dan teman g. Perkembangan emosi - percaya diri - menunjukkan inisiatif - menunjukkan kemandirian h. Perkembangan moral - menerima dan menghargai otoritas - mengerti hak dan milik orang lain - menunjukkan tanggung jawab Dari sini bisa dilihat perbedaan penekanan antara SLB di Jakarta dan Singapura pada aspek-aspek yang ingin dikembangkan di tingkat Taman Latihan Observasi dan tingkat Persiapan di SLB Jakarta dengan Nursery dan Taman Kanak-Kanak di SLB Singapura. Seperti yang pernah diungkapkan sebelumnya, Erika menjadi Erika yang berbeda. Dia lebih ekspresif, lebih ceria, lebih spontan, lebih “hidup” setelah menggunakan “total komunikasi”.
Setelah satu tahun di Singapura, Erika mampu membaca buku cerita “besar” dalam bahasa Inggris, sendiri. Gurunya mengomentari bahwa Erika senang sekali menceritakan kembali cerita tersebut di depan teman-temannya sesuai dengan urutan alur ceritanya. Demikian juga kemampuan menulisnya baik dan hasilnya rapih. Terima kasih kepada guru-gurunya di Jakarta, karena memberi bekal awal sehingga koordinasi mata tangannya baik sekali. Pada Mei 1996, saat Erika berusia tujuh tahun tujuh bulan terapist wicara nya mengevaluasi Erika dengan “The Carolina Picture Vocabulary test for the Deaf and Hearing Impaired”. Test ini untuk mengetahui kemampuan bahasa reseptif Erika. Dengan “manual sign” Erika memperoleh skor 121 yang artinya setara dengan kemampuan anak usia 11 tahun, kalau memakai mode “auditory verbal”, maka kemampuannya setara dengan anak usia empat tahun. Jelas, dari sini dapat disimpulkan bahwa Erika masih harus terus mengikuti terapi wicara untuk mengembangkan kemampuan “auditory verbalnya”. Dengan alat bantu dengarnya, Erika bisa mendengar 40 – 50 db untuk 1000 – 2000 Hz, dan 80 db untuk 4000 Hz. Erika memiliki perbendaharaan kosa kata yang sangat luas, tiga setengah tahun lebih tinggi dari usia kronologisnya, bila materi disampaikan dalam “manual sign”. Nyata bahwa kemampuan berpikir dan daya ingat Erika seperti sponge yang menyerap apa saja di lingkungannya melalui metode “total komunikasi”. Bahasa Inggris yang bukan bahasa ibu, yang baru didengar dan dipelajarinya pada usia empat tahun sembilan bulan, tidak menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan informasi dan menguasai bahasa. Belum sampai tiga tahun Erika berada di Singapura, kemampuannya sudah melewati kemampuan anak-anak seusianya yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Memang kita tidak bisa mendapatkan semua hal yang kita inginkan. Dengan total komunikasi, kemampuan mendengar dan berbicara Erika tentu tidak mendapatkan porsi pelatihan yang optimal. Manusia selalu harus “memilih”. Pilihan mana yang bijaksana? Itu semua tergantung pada anak, persepsi orang tua, pandangan masyarakat dan pergumulan mencari tahu apa kehendak Tuhan bagi hidup anak itu. Hal lain yang terlihat menonjol adalah keinginan Erika untuk membaca. Dia nampak sangat haus dan sejalan dengan kapasitas kecerdasannya yang “sangat superior”, dia memilih dan membaca banyak buku yang bervariasi. Kebiasaan di Singapore School for the Deaf , sebelum bel masuk berbunyi, semua anak yang sudah datang berkumpul di lapangan untuk membaca. Anak-anak yang lebih senior membantu adik-adiknya membaca, menjelaskan kalau mereka menemui kosa
kata sulit atau yang tidak dimengerti. Pulang sekolah ke perpustakaan, akhir minggu juga dihabiskan di perpustakaan. Dampak negatifnya adalah ukuran kacamata Erika terus bertambah. Sebagai orang tua sungguh cemas, karena Erika terlalu banyak menggunakan matanya sebagai kompensasi telinganya yang kurang berfungsi. Namun dampak positf lainnya adalah Erika lompat kelas, sesudah kelas tiga, kelas empat hanya dilalui selama dua bulan langsung ke kelas lima. Erika menyelesaikan kelas enam dengan mengikuti ujian akhir, PSLE (Primary School Leaving Examination) namanya. Kerja keras, dengan tuition ekstra yang diberikan gurunya tidak sia-sia karena Erika berhasil masuk ke SMP “ekspres”. Perlu diketahui bahwa di Singapura, murid-murid memasuki jurusan “ekspres” (empat tahun), “normal akademik” (lima tahun), “normal tehnik” (lima tahun) atau “kejuruan”, sesuai dengan hasil ujian akhirnya. Suatu prestasi yang gemilang, kalau Erika bisa masuk “ekspres”. Terima kasih dan salut yang luar biasa kepada guru kelasnya, karena mampu membangkitkan motivasi murid-murid, melalui perhatian, cinta kasih, dan dedikasi guru dengan mengizinkan semua murid untuk datang ke rumahnya kapan saja untuk bertanya dan belajar, tanpa imbalan apa-apa. Aktivitas di luar sekolahpun semakin banyak diikuti. Mulai dari les menggambar, ballet, berenang, kidsports, ice skating dan komputer. Tidak ada kata “tidak bisa” bagi Erika. Semua ingin dicobanya, semua ingin dijajakinya, semua diminatinya, seperti layaknya burung, dia ingin terbang tinggi menjajaki dunia.
REFLEKSI IBU Kepindahan ke Singapura tentu tidak mudah, terutama bagi kedua kakak Erika yang sudah mapan bersekolah di Jakarta. Bagi saya dan suami juga sama, karena selama 38 tahun kami selalu hidup di Jakarta, maka pengalaman hidup di luar negeri sangat baru dan sangat mencemaskan. Kami harus meninggalkan karir dan posisi kami yang cukup baik untuk mulai dari nol lagi. Saya masih menyimpan surat pengunduran diri saya sebagai guru piano di sekolah musik YPM. Bunyinya sebagai berikut :
”Perkenankanlah melalui surat ini saya mengajukan permohonan berhenti sebagai staf pengajar piano Sekolah Musik - Yayasan Pendidikan Musik (SM-YPM). Sejak tahun 1963 saya terdaftar sebagai murid SM YPM kelas elementer dan sejak 1975 saya telah diberi kepercayaan untuk mendidik anak-anak sampai saat ini, Maret 1992. Waktu yang cukup panjang namun merupakan waktu yang sangat berarti terutama bagi saya untuk belajar dan mengajar. Waktu di mana watak saya sebagai manusia dibentuk, kehidupan emosi dan rohani saya diasah. Namun semenjak saya mengetahui (Juli 1990) bahwa puteri bungsu saya tunarungu, maka saya banyak mengalami konflik terutama dalam status saya sebagai pengajar musik. Dengan peristiwa ini, saya lebih memahami “nilai dan arti” seorang anak. Saya menghayati sepenuhnya, sehingga saya mampu mendidik dan memperlakukan murid-murid secara individual dengan penuh penghayatan. Sabar, lebih peka dan gigih mencari alternatif jalan keluar adalah hikmat yang saya peroleh dari peristiwa tersebut. Akan tetapi di lain pihak saya bergumul terus menghadapi kenyataan yang dialami anak saya. Saya bisa mengajarkan pada anak didik saya untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, membagi keindahan, sukacita, kesedihan, beban berat melalui musik, maka bagaimana halnya dengan anak saya dan anak tunarungu lainnya? Dunia musik adalah dunia yang sangat menarik bagi anak-anak. Melalui musik, dunia anak “diperkaya”. Musik merupakan bahasa universal yang dapat dipahami oleh seluruh manusia di bumi ini. Saya bisa mengasah karakter anak melalui musik. Berangkat dari kenyataan inilah maka saya bertekad untuk mencari bentuk komunikasi yang sama “menariknya” untuk kaum tunarungu.
Kalau tangan dan sepuluh jari manusia mampu mengalunkan musik yang indah dan bahasa yang sangat “berarti”, mengapa melalui tangan dan jari yang sama, kita tidak dapat melakukan hal yang sama bagi kaum tunarungu? Oleh karena itulah melalui tangan dan jari-jari ini saya berusaha mendekati dan memasuki dunia kaum tunarungu yang sunyi sepi. Saya mempelajari bahasa isyarat, saya belajar “total communication”. Ternyata melalui bahasa ini saya bisa mengambil hati anak tunarungu, bisa berinteraksi dan saya terharu karena betul-betul bahasa yang “indah”, yang bisa memberikan pengaruh dan kekuatan yang sama yang saya rasakan melalui musik. Atas dasar inilah maka saya harus memutuskan status saya sebagai pengajar sekolah musik, karena “tidak fair” baik terhadap siswa YPM maupun pada kaum tunarungu. Rupanya panggilan saya harus dicurahkan pada kaum “special” (tunarungu) yang memang tidak banyak yang terpanggil untuk melayani maupun mendidiknya. Perkenankan saya juga mengutip cuplikan sebagian surat referensi mengenai saya, dari kepala bagian jurusan Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia pada saat saya mengundurkan diri.
…….has given services to the University of Indonesia, at the Faculty of Psychology during the period of 1987 to 1993 as a lecturer on Educational Psychology, Educational Psycho-diagnostics, Psychology of Handicapped Children, also as a trainer, researcher, and participating psychologist in civic/social activities. Her interest and activities toward educational psychology and psychology of special children during her stay as a staff member were very outstanding. She was very good instructor and trainer. She was willing to study in depth as a novice researcher. She is a responsible, dedicated and productive person. It was a joy to have her as a colleague…. Cuplikan referensi lainnya dari dosen pasca sarjana Universitas Indonesia yang menjabat sebagai sekretaris Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
…….has graduated from the Graduate Program of Psychology, University of Indonesia in February 1989 with judicium of Cum Laude. Because of her excellent performance in academic achievements, she was given an honor to become Associate Professor in teaching the Psychology and Education of the Handicapped for the Graduate Program’s students in 1991 – 1993.
This subject has become her major concern and interest since she found out her daughter deafness in 1990. She was actively and deeply learn about “the world” of hearing impairment and deafness by doing a comparison study in USA, did some researches and wrote publications on student’s manual/handbooks in area of Handicapped and the Psychology of the Deaf Children………” Perjalanan yang tidak mudah di Singapura, karena segala “bekal” yang dibawa dari Indonesia tidak diakui di Singapura. Menangis dan “melihat ke belakang” tidak ada gunanya dan bisa berdampak negatif bagi seluruh keluarga. Untuk bekerja baik di bidang psikologi dan musik piano, tidak memungkinkan di Singapura. Seperti perjalanan Musa, 40 tahun pertama hidupnya di istana Firaun, merasa menjadi …..”I am something”, tetapi 40 tahun berikutnya Musa hidup di padang belantara, sebagai ……”I am nothing”, seperti itu pulalah perasaan saya. Menyesal pindah ke Singapura? Bohong kalau saya mengatakan “Tidak”, karena beberapa kali dalam kenyataannya memang saya ingin sekali kembali. Tetapi, tidak ada pengorbanan yang terlalu besar bagi seorang ibu untuk anaknya. Karena itu saya harus tetap “percaya dan taat” pada pimpinan Tuhan, bersedia untuk terus diasah oleh Tuhan melalui perjalanan hidup yang saya alami untuk kelak berkenan dipakai-Nya semata-mata demi kemuliaanNya saja. AKTIVITAS DI LUAR SEKOLAH Erika adalah anak yang sangat aktif, bersemangat, spontan dan tidak henti-hentinya bertanya. Perjalanan pulang dari sekolah di dalam bus selalu diwarnai dengan percakapan tiada henti. Semua mata memandang kami, karena suara aneh yang dikeluarkan Erika dan tentunya gerak gerik total komunikasi yang unik di mata semua orang. Mula-mula saya malu dan terus terang terhambat dan canggung dalam berkomunikasi, tetapi lama kelamaan saya menjadi “biasa” dan wajar. Hal ini terbantu karena di Singapura ada empat bahasa yang dipakai, yaitu bahasa Inggris, Mandarin, Melayu dan India, sehingga toleransi masyarakat Singapura terhadap keberagaman sangat tinggi. Perjalanan Erika mengikuti berbagai ekstra kurikuler tidak mudah. Sejak usia empat setengah tahun Erika secara alamiah sudah bisa berenang sendiri di tempat dalam, tanpa alat pelampung. Tidak ada yang mengajarkan, dia hanya mengamati kakak-kakaknya berenang. Dia merasa bebas dan merdeka di dalam air, tidak pernah ada rasa takut, semuanya terasa sangat mudah bagi Erika. Mula-mula tentu Erika memakai pelampung agar dia tidak tenggelam, tetapi hal ini
tidak berlangsung lama. Mengetahui bakat renangnya ini, saya mencoba memasukkan Erika ke berbagai perkumpulan renang untuk mendapatkan pengajaran yang tepat dan benar. Namun selalu ada berbagai dalih untuk tidak menerima Erika, mulai dari ” kami tidak menerima anak cacat, kami tidak bisa berkomunikasi dengan Erika dan seterusnya”. Memasukkan Erika ke les komputer atau kursus bahasa juga menjumpai perlakuan yang serupa. ”Kami kuatir karena orang tua pasti tidak setuju anaknya dicampur dengan anak cacat, orang tua lain pasti akan mengeluh, karena kami, gurunya lebih banyak memberikan perhatian pada Erika. Kami merasa tempat ini bukan tempat bagi Erika dan menyarankan untuk menghubungi instansi lain”, demikian kata guru atau instruktur tersebut. Saya mencoba menawarkan membayar uang les atau kursus untuk dua orang, sebagai jalan keluarnya, agar saya bisa mendampingi Erika, tapi inipun ditolak dengan halus. Kadang-kadang mereka tidak memberikan alasan apapun, dan mengatakan ”tempatnya sudah penuh”. Pernah saya merasa begitu tidak berdaya dan kesal, tiba-tiba kepala menjadi pusing tanpa sebab. Di bus, saya merasakan sakit kepala, tetapi saya tahu ini psikosomatis, tidak ada dasar fisik yang menyebabkan saya pusing. Pengalaman kami ini pernah ditulis oleh wartawan dalam artikel di surat kabar ”The New Paper” tanggal 14 Oktober 2000, judulnya “Deaf champ no one wanted to teach”. Perjuangan kami akhirnya kami alihkan ke tempat les, kursus, klub di mana instruktur atau pelatihnya memiliki wawasan yang luas dan memiliki hati yang terbuka untuk mencoba. Erika les ballet di “Dance Arts Singapore”. Erika juga ikut kursus menggambar di mana kedua instrukturnya adalah suami istri yang setelah lebih dari sepuluh tahun menikah, baru dikaruniai anak, sehingga mereka mampu menerima anak sebagaimana adanya, dan menghargai setiap anak walaupun cacat sekalipun. Melalui dua aktivitas ini Erika menghargai keindahan, mampu mengekspresikan emosi termasuk agresivitasnya secara simbolik ke dalam tarian dan menggambar. Emosinya sebagai anak tunarungu yang biasanya mudah meledak, menjadi lebih terkendali. Ini semua tentunya proses, didapat setelah beberapa lama Erika mengikuti aktivitas-aktivitas ini. Kepekaan emosi dan sosialnya meningkat. Erika juga senang menghabiskan waktu bermain di pantai. Dia memilih “roller blade” atau main bulu tangkis. Saya sering tersenyum sendiri, karena dengan kepindahan kami ke Singapura, setelah satu tahun saya baru bisa menyesuaikan diri dan “menerima” peran saya yang baru. Melalui peran sebagai istri dan ibu, saya menjadi “kaya” dan trampil dalam berbagai hal, bisa atau pandai masak, membuat kue,
mengelola keuangan dan rumah, sampai memperbaiki alat-alat listrik dan mengecat rumah, menjadi pendengar yang baik, memberi nasihat, disiplin, konseling sampai melayani dan menjadi pendamping yang setia bagi suami. Hal ini mungkin tidak akan saya dapatkan kalau saya terus menetap di Jakarta, karena saya begitu bergantung pada pembantu, pengasuh anak, supir, keluarga. Sementara di Singapura saya ditempa untuk mandiri, kuat fisik dan mental, tanpa pembantu, supir dan keluarga. Kalau dulu sebagai psikolog, saya banyak mengevaluasi dan menentukan seseorang untuk diterima di sekolah, atau di tempat kerja atau layak dipromosi, maka di Singapura, saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak berdaya, banyak pintu ditutup, dibanting di depan muka saya, karena tidak mau menerima Erika. Memilih bersungut-sungut? Tidak. Saya tetap meyakini, bahwa saya harus terus mencoba, berjuang, berusaha, bertahan dan tahan banting. Saya memohon untuk terus mendapat kekuatan dari Tuhan dan kesabaran untuk menanggung ini semua. Saya yakini, “badai pasti berlalu”. MAKALAH MENGENAI ERIKA DALAM KONGRES ANAK BERBAKAT Dalam “4th Asia Pacific Conference on Giftedness” tahun 1996 di Jakarta, saya membuat makalah berjudul “The Realities, possibilities and hope of bringing up the gifted-deaf child”, suatu pengalaman dan analisa pendidikan mengenai perkembangan Erika. Realitasnya, Erika memiliki potensi yang tergolong sangat superior berdasarkan test SON, Wechsler Intelligence Scale, dan kreativitas yang tinggi berdasarkan “The Torrance Circles Adaptation Test of Figural Creative Thinking”. CQnya = 141. Dengan kapasitas dan kreativitas yang tinggi, Erika mudah bosan dalam membaca ujaran dan latihan bicara, yang dirasa rutin dan mekanis baginya. Dia tidak berminat, tidak kooperatif, dan sebagai orang tua saya menjadi semakin cemas, karena waktu berjalan terus. Kemajuan perkembangan bahasanya sangat lambat, selain itu Erika juga mudah mengamuk dan menjadi agresif. Setiap malam saya merasa bingung dan kadang diliputi rasa bersalah. Lima tahun pertama dalam kehidupan seorang anak adalah usia yang kritis untuk mengembangkan bahasanya. Seberapa jauh Erika kelak mencapai tingkat kemampuan berbahasa yang diharapkan, sangat tergantung pada stimulasi yang diberikan lingkungan pada masa peka
ini. Oleh karena itu saya mencoba mencari metode komunikasi lain yang melibatkan seluruh panca indera supaya potensinya tidak terpendam dan mencapai hasil yang lebih optimal. Memang tidak ada satu metode atau format yang ideal untuk mengembangkan anak tunarungu yang berbakat. Penglihatan tidak mampu mengatasi atau mengkompensasi masalah gangguan pendengaran. Walaupun potensinya tinggi dan berpikikir visualnya tergolong kreatif, tetapi kalau kemampuan berbahasanya kurang, maka perkembangan kognitif, prestasi akademis dan kemampuan sosialnya akan terpengaruh. Apalagi di Singapura, di mana kemampuan otak kiri lebih diutamakan, maka kelancaran verbal merupakan tolok ukur kompetensi intelektual seseorang. Kemungkinannya (possibilities) Erika akan mengalami banyak masalah, karena gangguan pendengarannya tergolong berat. Masalah yang dialami anak dengan gangguan pendengaran berat, adalah: 1. Memproses informasi. Anak akan mengalami interupsi dalam proses kognitifnya, karena perhatian terhadap stimulus, penerimaan stimulus, pemprosesan informasi yang masuk dan pengekspresiannya akan terganggu, karena ketuliannya. 2. Daya ingat. Anak sulit mengingat urutan yang diberikan baik secara verbal atau visual, karena daya ingat ini tergantung pada kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif anak. 3. Berpikir logis dan abstrak Anak akan menunjukkan keterlambatan yang signifikan pada usia akhir Taman Kanak-Kanak, karena pengalaman mereka hanya terbatas pada kemampuan sensomotorik dan proses visual spatial, tanpa pengalaman verbal. Keterbatasan bahasa akan mempengaruhi kemampuan berpikir logis, abstrak, proses berpikir tingkat tinggi dan kemampuan memecahkan masalah. 4. Motivasi. Keterbatasan bahasa, perhatian, pemahaman konsep, prestasi akademis, kemampuan sosial akan sangat mempengaruhi motivasi anak untuk belajar. 5. Prestasi akademis. Biasanya prestasi mereka lebih rendah.
6. Pemenuhan kebutuhan akan rasa aman, diterima dan dicintai, harga diri dan aktualiksasi diri juga terpengaruh. Mereka biasanya merasa rendah diri, lemah dan tidak berdaya. Perasaan terisolasi sangat terasa. Karena itu mereka biasanya mengalami masalah sosial dan emosi. 7. Kematangan Mereka merasa frustrasi, kesepian, tidak berdaya dan sangat sedih. Ini semua mempengaruhi tingkat kematangannya sebagai individu. Mengatasi hambatan di atas, kami banyak menggunakan media teknologi dan secara konsisten membuka wawasan Erika melalui “exposure” ke dunia luar. Guru juga banyak menjelaskan secara konkrit melalui komunikasi manual, gerakan dan “acting”. Membaca buku, menonton acara televisi dengan “subtitle” sangat membantu daya asosiasi dan pemahaman Erika. Kami lalu meneruskan dengan diskusi sambil mengajukan pertanyaanpertanyaan sesuai dengan “taxonomy Bloom”. Misalnya : cerita “Little Red Riding Hood”. 1. Mengapa “Red Riding Hood” pergi ke hutan? (pengetahuan) 2. Mengapa “Red Riding Hood” tidak percaya bahwa yang tidur di ranjang itu adalah neneknya? (pemahaman). 3. Apa yang harus kita ingat kalau kita bertemu dengan “orang asing” atau “orang yang tak dikenal”? (aplikasi) 4. Bagaimana ciri-ciri fisik nenekmu? (analisa) 5. Coba ceritakan pengalamanmu mengunjungi nenek. (sintesa) 6. Deskripsikan apa-apa saja yang menakutkanmu dan mengapa kamu takut? (evaluasi). Bagi anak berbakat, porsi pertanyaan yang memancing proses berpikir tingkat tinggi harus diperbanyak.
Hal lain yang kami lakukan adalah memberikan “pengayaan” pada Erika. Rasa ingin tahu Erika yang besar, mendorong kami untuk memberikan “Experiential Learning and Processing” yang lebih banyak merangsang proses kognitifnya. Kami meminta Erika untuk merefleksi, menganalisa dan mengkomunikasikan kembali pengalaman atau proses yang baru dilaluinya. Kami bermain peran memainkan peranperan dari cerita yang baru dibaca. Bentuk ini menjadi sangat “hidup” karena Erika bisa lebih ekspresif . Guru Erika mengevaluasi karakteristik perilaku Erika berdasarkan skala Renzulli-Hartman. Dia mengevaluasi 8 aspek karakteristik belajar, 9 aspek karakteristik motivasi, 10 aspek karakteristik kreativitas dan 10 aspek karakteristik kepemimpinan Erika. Penilaian ini menjadi bekal dan harapan (hopes) dalam memahami Erika secara menyeluruh dan mengaktualisasikan keberbakatan Erika. Aspek mana yang perlu mendapat perhatian untuk dipupuk dan aspek mana yang tetap harus dipertahankan. MENDAYAGUNAKAN FUNGSI BELAHAN OTAK KANAN Tidak ada satu pendekatan yang paling efisien untuk setiap pembelajar, termasuk pembelajaran bahasa bagi anak tunarungu. Dengan karakteristik Erika yang memiliki rasa ingin tahu yang besar, senang mengamati, senang membaca, menggambar, mempunyai minat yang luas, memiliki imajinasi visual yang baik, lebih banyak menggunakan mimik wajah dan ekspresi tubuh, senang bermain sendiri, mudah bosan terhadap aktivitas rutin mekanistik, maka pengalaman saya mengajar bahasa Indonesia pada mahasiswa
Singapura dan asing di ”the National University of Singapore” (NUS) sangat membantu. Kami merancang paket materi pengajaran dengan pendekatan yang bervariasi untuk mencapai tujuan akhir (target bahasa) yang sama. Sebelum mahasiswa diharapkan berbicara, mahasiswa diberi berbagai masukan untuk mencapai pemahaman bahasa. Dalam presentasi makalah kongres bahasa Indonesia untuk penutur asing di Bali pada tahun 2000, saya menyampaikan hasil riset dan pelaksanaan pengajaran bahasa Indonesia pada mahasiswa NUS. Judulnya “Mendayagunakan fungsi belahan otak kanan dalam pengajaran bahasa Indonesia”. Latar belakang masalah yang mendorong penelitian ini adalah : 1. Masyarakat dan sistim pendidikan terlalu menekankan aktivitas mental belahan otak kiri. Masyarakat umumnya lebih mementingkan analisa, logika, matematika dan jarang sekali memperhatikan atau kurang mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan dalam pembelajaran (Khoo, Adam 1999). Pada kenyataannya tidak lebih dari 10% mata pelajaran yang memakai fungsi belahan otak kanan, seperti kesenian dan musik. Bagaimana caranya memaksimalkan fungsi belahan otak kanan untuk pembelajaran? 2. Materi pengajaran dan pembelajaran yang kurang menarik. Banyak mahasiswa yang mengeluh materi belajarnya membosankan, kering dan pembelajaran hanya di belakang meja, sangat formal (Malouf Doug, 2000). Bagaimana merancang materi pengajaran yang menarik? Ini berkaitan dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. 3. Hambatan mencapai target belajar bahasa, bahasa ekspresif. Winitz (1981, 1982), Nord (1981) dan Krashen (1978) dalam Asher (1996) mengatakan bahwa “production cannot be taught”. “Production can be shaped perhaps, but not directly taught”. Pengalaman membuktikan bahwa terlalu dini mengharapkan siswa berbicara, bisa membuat mereka stress dan selanjutnya menghambat aspek komunikatif para pembelajar. Bagaimana pendekatan yang lebih baik untuk mencapai kemampuan berkomunikasi? 4. Langkanya bahan ajar untuk penutur asing.
Mengajarkan budaya Indonesia pada penutur asing sama pentingnya dengan mengajarkan bahasa Indonesia itu sendiri. Bagaimana pembelajaran yang kreatif dan bervariasi? Berdasarkan empat masalah di atas, kami beberapa staf pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing di NUS, merancang paket materi pengajaran melalui permainan, peragaan, menggambar, menyanyi, drama, bercerita dan berimajinasi, sedemikian rupa agar kedua belahan otak kiri dan kanan berfungsi optimal. Kami mendapat inspirasi dari Asher, James (1996) dalam bukunya “Learning Another Language Through Actions”, dan “Brain switching – Practical Applications of the right – left brain”. Secara teoritis tentunya pembelajar akan memiliki kekuatan otak yang ganda, karena memakai semua kapasitas otak yang dimilikinya. Hal-hal ini sangat membantu saya menyajikan bahan pengajaran bahasa kepada Erika dengan lebih menarik. Penelitian lain yang saya lakukan selama menjadi pengajar bahasa Indonesia di NUS adalah “Effect of cognitive style on reading performance in intermediate Indonesian language course”. Sejalan dengan perkembangan tehnologi, di mana siswa bisa mencari dan memperluas sendiri informasi melalui internet dan membaca, maka sangat penting untuk meningkatkan kemampuan dan pemahaman membaca setiap siswa. Penelitian membuktikan bahwa membaca juga dipengaruhi oleh gaya kognitif atau style berpikir siswa. Ada 4 style berpikir siswa, yaitu : 1. Wholist – Verbalisers 2. Wholist – Imagers 3. Analytic – Verbalisers 4. Analytic – Imagers Individu mempunyai kecenderungan masing-masing dalam mengorganisasikan atau merepresentasikan suatu informasi. WA (Wholist - Analytic) maksudnya adalah ada individu yang cenderung mengorganisasikan informasi secara menyeluruh (wholist), dan ada pula yang cenderung menganalisa bagian demi bagian (Analytic). VI (Verbalisers - Imagers), maksudnya adalah bagaimana informasi itu direpresentasikan, apakah secara verbal melalui kata-kata (Verbalisers) atau mengimajinasikannya ke dalam “gambar” (Imagers) Menurut Riding (1991), hasil yang diperoleh siswa dalam membaca akan berbeda, tergantung dari gaya berpikir siswa. Gaya berpikir ini
sangat dipengaruhi oleh belahan otak mana yang berfungsi dominan, belahan otak kiri atau kanan. “Gaya berpikir” ini harus dibedakan dengan “strategi belajar”. Gaya berpikir adalah kebiasaan tetap yang dipakai siswa dalam berpikir, mengamati, mengingat dan memecahkan masalah, sedang strategi belajar adalah cara siswa untuk menyelesaikan tugas atau menguasai situasi. Saya mengamati Erika membaca, dan mencoba mendiskusikannya, gaya berpikir mana yang merupakan kebiasaan Erika. Dengan memahami gaya berpikir Erika (wholist–Imagers), saya bisa mencari materi bacaan yang cocok dan mengupasnya atau menjelaskannya dengan memakai diagram atau gambar. Sejalan dengan itu, Erika juga menganalisa sendiri bagaimana dia mempersepsi dan memahami suatu bacaan dan komunikasi. Hasil tulisannya bisa dijumpai dalam judul “When the ears can’t hear, the eyes listen and the mind speaks”. Semua ini makin memperdalam pemahaman saya terhadap anak tunarungu dan secara khusus bagaimana mengoptimalkan pengajaran bahasa Erika.
When the ears can’t hear, the eyes listen and the mind speaks.
My hearing friend asked me, since I’m deaf, do I see the signing in my mind. I paused to check, burrowing deep inside my brain and I saw the signing! My mind speaks in a mixture of ASL/SEE with a small splatter of AUSLAN at the moment. When I was spending the last six years in Australia, my mind was speaking mainly in AUSLAN, sometimes switching to ASL/SEE for a while before switching back. I remember the embarrassing moments of signing the wrong language to my friends! My hearing friends also have similar embarrassing moments of where they signed to people who don’t know sign language. I find it really fascinating to know that I see the signing in my mind while my hearing friends and family hear the voices in their mind. My hearing friend even told me that when she reads Harry Potter book, she hears the voice with a British accent. How interesting! I am discovering more and more about the sounds in the hearing world and
even Singapore’s Singlish. I learnt that Chinese people tend to say “Flench Flies” whenever they order French Fries at Macdonald. And that ‘doubt’ has a silent ‘b’. And so on. Hmm… If you can peek inside my mind, you will find a film. A silent film. Whenever my conscience nags at me, I see my Mama in the “video”, zoomed towards her face with her hands visible. I always do not see the whole body, only the head and upper part of the body. My mama in the video would be signing big with her mouth moving exaggeratedly in the silence. When I’m having my own opinions, the “thoughts swirling around in my mind” would look like this: the bird eye view of my arms and hands signing. Just my arms and hands signing. The rest of my body is chopped off. Well, not exactly chopped off. It’s more like veiled in the darkness. The video in my mind has a pure black surrounding. That’s why I originally chose the black background for my blog. Haha. I guess I’ve been watching too many videos of where the interpreters stood in front of the black background and that the signature colour of interpreters’ shirt is black. If I remember someone saying something, this person would appear in the video, and as usual, a close up shot of his/her face and the hands. Once my friend mouthed something to me because she had her hands full of books. I didn’t catch what she said. I just stared at her while my brain hastily pushed “pause” button, and rewind the film backwards and then played the film in a normal speed. …Rewind again, fastforwarded to a part that I didn’t understand, and played that part in a slow motion. Pretty much like a “Run Lola Run” style. I eventually solved her cryptic mouth movements and I nodded in response. Skeptical, my friend asked me if I really understood her. Me: Yeah, you asked me if I want to go to the tuckshop with you. Friend: Oh, sorry. I just thought you might not understand me because Me (Finishing her sentence): I stared at you like an idiot for a full minute? Haha. I explained to her that my mind was busy trying to translate her mouth movements into Sign language. Anyway, what do I see when I’m reading a novel? Exactly like watching the film with no subtitles, audio and even signing. Why need signing when the characters in the book are often hearing? Yeah. But this time, the backdrop in my mind is not black! This is how my mind “thinks” and “speaks”.
3. LIKA LIKU MENCAPAI PUNCAK PRESTASI
Erika seolah-olah lahir sebagai “water baby” (bayi air). Itu komentar teman-teman yang melihat bagaimana Erika berenang, begitu tenang, lancar tetapi daya dorong atau tarikannya di dalam air sangat kuat. Orang sering tidak percaya bahwa di balik tubuhnya yang kecil tetapi cukup tinggi ini, ada kekuatan dan determinasi untuk mencapai garis akhir renang secepat-cepatnya. Setelah perjalanan panjang keluar masuk beberapa perkumpulan renang, akhirnya Erika kami masukkan ke kelompok Fighting Fish di sebuah sekolah internasional yang tempatnya jauh di Singapura Barat, padahal kami tinggal di Singapura Timur. Erika juga masuk klub local Swim Fast tetapi hal ini tidak berlangsung lama, dia juga ikut latihan bersama teman-teman “handicapped” lainnya di bawah naungan Singapore Sport Council for the Disabled (SSCD). Dengan talenta Erika, disiplin, ketekunan, semangat berlatih, merasa bebas di dalam air dan sukacita yang dirasakan bersama temantemannya, prestasi Erika mulai nyata. Kesempatan bertanding mulai terbuka dan dia mulai mendapatkan pengalaman yang berharga menapaki tangga suksesnya. Memang tidak mudah, pernah disertai tangis, karena gugup dan kuatir menjelang suatu pertandingan besar (international). Bagaimana mengatur napas, strategi pengaturan tenaga, taktik start, balik dan finish yang cepat dan tepat, pokoknya benar-benar secara fisik dan mental Erika diasah. Erika mengikuti lomba di dalam klubnya, antar klub dengan anak-anak “mendengar’, seperti Tanglin Club Annual Swimming Championship, Fighting Fish Intersquad Meet, Dutch Club Neptune League, Singapore Island Country Club Neptune League, British Club Neptune League, Marsiling Open Swimming Championship. Di samping itu Erika secara rutin mengikuti lomba renang yang diselenggarakan oleh Singapore Sports Council for the Disabled, yaitu 17th, 18th, 19th, 20th, National swimming Championships khusus untuk anak-anak cacat. Lomba International yang pernah diikutinya adalah The Kualalumpur Piranhas Friendly Swim Meet, Jakarta Aquadragons International Invitational, Orange County Swim Conference, Los Angeles CA, Orange County Swim Conference Dual Meet, Los Angeles CA, 16 th Annual Chino Valley Aquatics Invitational USA, Hongkong Island Stingrays Invitational Competition, ISB Panthers Invitational Meet, Bangkok, Thailand. Semuanya tentu melawan anak-anak “mendengar” seusianya. Erika pelan-pelan mendapatkan rasa percaya diri, dia mulai mau bergabung dengan teman-temannya dan lebih berani bergaul. Walaupun banyak kali teman-temannya yang berinisiatif lebih dahulu mengajak Erika, namun Erika tetap harus mempelajari tips dalam menyesuaikan diri. Kami sebagai orang tua lebih banyak mendorong,
berfungsi sebagai tempat yang memberikan rasa aman, tempat “mendengar” untuk Erika mencurahkan rasa cemas dan bingung. Kasih sayang dan kesempatan ini rupanya memampukan Erika untuk mengatasi ketuliannya. Erika bisa bersaing dengan sesama teman mendengarnya di renang dan semakin ekspresif. Suatu saat ada wartawan menulis artikel mengenai Erika, dengan judul “She is a winner but needs mum’s help to start race”. Judul ini ingin mengatakan karena Erika tunarungu, maka dia selalu membutuhkan ibunya untuk memberi “tanda”, dengan menyentuh betisnya pada waktu start. Erika mulai berenang pada usia dua tahun dan sejak usia tujuh tahun dia mulai mengikuti pertandingan renang. Sampai artikel di atas ditulis pada 27 September 2000, Erika sudah mengikuti kira-kira 30 pertandingan baik local maupun international. Pelatihnya mengatakan “dia tidak pernah menyerah, seberapa berat pun latihannya”. Ketekunan dan daya juang inilah yang membawa Erika ke arah sukses. Artikel itu selanjutnya juga mengatakan orang tua Erika selalu menghargai segala usahanya, memberikan peluk dan cium sebagai pengantar tidurnya. Erika selalu mempunyai target dan impian ingin bertanding di arena Olympiade, namun satu hal yang diinginkannya ”I’d like to hear mama and papa cheer for me!” Artikel itu kemudian dijadikan kesaksian oleh Eric dan Astrid, kakakkakak Erika, yang saat itu sudah bersekolah di Melbourne Australia. Eric, memakai artikel ini sebagai ilustrasi pada saat dia “berbagi” di tengah persekutuan mahasiswa di Universitasnya. Kata Eric, Erika ingin mengatakan bahwa “disability does not equal inability”. Eric dan Astrid berharap pada satu saat nanti Erika mampu mengatakan pada dunia, “be a believing believer and believe the unbelievable”. Kita semua adalah juga “disabled”, karena sejak kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, maka dosa telah membelenggu manusia. Coba lihat bagaimana karakter kita yang tidak baik, pikiran kita yang kotor, relasi dengan sesama yang kurang harmonis bahkan ada yang hancur, dan banyak hal lain yang membuat kita sama dengan Erika, menjadi “crippled”. Akan tetapi sebagaimana mama Erika yang selalu ada bersama dengan Erika, Tuhan juga selalu ada bersama kita dalam setiap pertandingan yang akan dihadapi, demikian kata Eric.
Mama harus selalu menyentuh betis Erika agar Erika lompat memulai pertandingannya, demikian juga Tuhan selalu menyentuh dan ingin kita “lompat dan mulai bertanding” dalam dunia ini. Banyak kali kita cemas, merasa tidak mampu, tidak berdaya, putus asa, tetapi ingat,
Tuhan memberikan “tanda”. Dia yang selalu akan memimpin kita. Setiap pagi, saat kita bersaat teduh dengan Tuhan, Dia selalu membisikkan kita dan menyentuh kita, untuk berani lompat berjuang dalam hidup ini. Kalau kita berdoa, membuka firman Tuhan dan mendengar dukungan dari teman, itu semua artinya Tuhan sedang bekerja memberi “tanda” kepada kita, “ayo, jalankan hidup ini!” Setiap manusia akan menghadapi ujian, tantangan, pergumulan dalam hidupnya. Lakukan saat teduh kita, yakin Tuhan akan “menyentuh” kita, sehingga kita mampu melalui ujian, tantangan dan pergumulan itu, serta menyelesaikannya dengan baik. Artikel itu diakhiri dengan Erika mengatakan satu hal yang ingin didapatkan sebagai trophy kemenangan adalah mendengar papa dan mama “cheer” untuknya. Teruslah bertekun, konsisten, tidak kehilangan arah dan percaya pada-Nya. Bagian kita adalah tetap taat pada kehendak-Nya (not mine but Thine), maka di ujung garis akhir sana, saya, kita dan Tuhan akan menyambutmu , demikian kata Eric selanjutnya. Pilipi 3 ; 13 – 14 mengatakan “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah” . Sudah siapkah kita menjalani hidup ini, dengan berjalan bersama-Nya, mendengar-Nya, dan berjuang mencapai tujuan akhir yang akan disambut-Nya? Apa tujuan akhir yang ingin anda capai dalam hidup ini? Saya berharap semoga satu hal yang dipilih dalam hidup dan perjuanganmu adalah menyenangkan hati Tuhan, Eric mengakhiri ”sharing”nya. Beberapa prestasi yang Erika dapat di dunia renang adalah penghargaan sebagai “outstanding deaf sportswoman award” pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Dia memenangkan tiga medali emas dan satu perak di Malaysian Paralympics Games and ASEAN Invitation Championships di Kualalumpur pada Mei 2000. Erika juga memenangkan tiga medali perak dan dua medali perunggu di 6 th Asia Pacific Games for the Deaf yang berlangsung November 2000 di Taiwan. Dia juga masuk “final B” untuk 100 m gaya punggung di 19 th Deaflympics yang berlangsung Juli 2001 di Roma, Italia. Penghargaan tertinggi yang didapatkannya adalah Erika terpilih sebagai “top ten sportswomen of the year 2000” oleh CISS (Comite International des Sports des Sourds) atau International Committee of Deaf Sports. Ini berarti Erika adalah top atlit tunarungu terbaik di dunia. Luar biasa! Erika menduduki tempat kedelapan, dan atlit termuda berusia 12 tahun.
Atlit wanita tunarungu terbaik dunia tahun 2000 secara lengkap sebagai berikut : 1. Cecilia Ferm, 25 tahun, atlit bola basket asal Swedia. 2. Tone Myrvoll, 35 tahun, atlit ski dari Norwegia 3. Petra kurkova, 27 tahun, atlit ski dari Republik Czech 4. Kiyomi Hashimoto, 28 tahun, atlit atletik dari Jepang 5. Olga Dula, 29 tahun, atlit orienteering dari Russia 6. Heather Lightfoot, 24 tahun, atlit atletik dari USA 7. Greet Vergult, 22 tahun, atlit atletik dari Belgia 8. Erika Levi, 12 tahun, atlit renang dari Singapura / Indonesia 9. Kenia Rosa Carvajal Davila, 24 tahun, atlit atletik dari Cuba 10. Agita Intsone, 33 tahun, atlit orienteering dari Latvia.
Akhirnya usaha, jerih payah dan perjuangan Erika tidak sia-sia, diakui sampai tingkat dunia. Mazmur 66 : 5 : pergilah dan lihatlah pekerjaan-pekerjaan Allah, Ia dahsyat dalam perbuatanNya terhadap manusia Mazmur 66 : 9 : Ia mempertahankan jiwa kami di dalam hidup dan tidak membiarkan kaki kami goyah. Mazmur 66 : 12 : Engkau telah membiarkan orang-orang melintasi kepala kami, kami telah menempuh api dan air; tetapi Engkau telah mengeluarkan kami sehingga bebas. Ketiga ayat ini diberikan Eric, karena putra putri kami mengetahui perjuangan kami. Dia tahu kelelahan dan frustrasi kami saat mencoba memasukkan Erika ke berbagai klub renang. Eric mengatakan, jangan mempedulikan orang yang mencurigai dan berprasangka pada kami, faktanya adalah buah keberhasilan pekerjaan Tuhan telah dinyatakan dalam kehidupan Erika. Saya berharap saya makin dikuatkan dan mampu terus bertahan menghadapi perlakuan dan penolakan masyarakat terhadap Erika dan pada waktu-Nya Tuhan akan menunjukkan “kebenaran”Nya. AKTIVITAS DAN PRESTASI LAINNYA SAMPAI TAHUN 2000 DI SINGAPURA Erika juga memperoleh beberapa sertifikat, seperti : 1. Olahraga “ice skating” dari Ice World Kallang. 2. “Best behaved student” sewaktu di SD kelas dua dan tiga. 3. Standard “perak” dan “emas” dalam National Physical Fitness Award. 4. Kidsports karena telah menyelesaikan program “Intro to Games and Fun to be fit”. 5. “Achievement certificate” di “Kidsports colouring competition”. 6. Juara ketiga di “Jurong Birdpark Art Competition”. 7. “Certificate of achievement” dalam menyelesaikan program Power media, MS Word 2000, MS Powerpoint 2000 & Internet Explorer 4,0. 8. “Certificate of Participation” mengikuti children’s pastry class di The Raffles Culinary Academy. 9. “Certificate of Commendation” sebagai “group terbaik” dalam “Annual camp Millineum Fun and Health”. 10. “Merit Award” dari Singapore Courtesy Council.
11. “Bright Star” yang menyatakan kemampuan Erika mengetik di komputer : Erika has typed at the scary speed of 19 wpm with the creepy accuracy of 100 percent. Sementara itu artikel yang menceritakan perjalanan hidup Erika adalah: 1. “Anak tunarungu bisa mandiri”, majalah Ayah Bunda Pebruari – Maret 1991. 2. “ Capturing Silence”, majalah Photo Asia – Juni 1996. 3. “Life is never still in Erika’s world of silence”, Strait Times, 31 Agustus 1996. 4. “They can use fingers to spell”, Strait Times 21 Juli 1999. 5. “Golden Moments for Singapore”, majalah KM tahun 2000. 6. “She’s a winner but needs mum’s help to start race”, The New Paper, 27 September 2000. 7. “You won’t believe what she went through” , Strait Times 14 Oktober 2000. 8. “Deaf champ no one wanted to teach”, The New Paper 14 Oktober 2000. 9. “We did it”, Bukit Batok Gazette Desember 2000. 10. Beberapa penerbitan bulletin Signal, Singapore Association for the Deaf. 11. “Victory over adversity” majalah Wesley Tidings Pebruari – April 2001. 12. “Top ten sportswomen of the year of 2000”, Bulletin CISS April 2001. 13. “Award proves Erika is a talent”, Herald Sun, 23 Agustus 2001. 14. “Golden strokes for quiet achiever”, Progress Leader, 3 September 2001. Kehidupan Erika juga pernah ditayangkan dalam acara selama 30 menit di televisi dengan judul “Changing Lives”. Tayangan ini merupakan mujizat bagi kami sekeluarga. Mengapa? Sejak 1999, setelah mengunjungi kakak-kakak Erika yang bersekolah di Melbourne, Australia, Erika sangat senang dan langsung tertarik ingin bersekolah di sana. Test demi test dilaluinya, namun pintu kembali ditutup, karena pengajuan visa untuk tinggal menetap secara permanen akhirnya gagal, karena Erika sebagai salah satu anggota keluarga tidak berhasil lulus test kesehatan, karena ketunarunguannya. Kami lalu mencoba memohon visa belajar untuk Erika. Inipun menemui jalan yang tidak mudah. Aplikasi visa belajar yang bagi kakakkakaknya hanya membutuhkan tiga minggu, bagi Erika memerlukan tiga bulan. Tekun dan gigih berjuang itulah kuncinya, dan kalau itu
memang kehendak Tuhan, maka Tuhan bisa memakai cara apa saja yang tidak terpikir sebelumnya. Produser riwayat hidup Erika yang ditayangkan dalam acara “changing lives” mengetahui pergumulan kami dan dialah yang berinisiatif, aktif melakukan kontak dengan staf kedutaan Australia, mencari tahu masalahnya dan mendorong staf kedutaan untuk meresponi lebih aktif sehingga permohonan visa belajar Erika akhirnya diterima. Awal Pebruari 2001 Erika baru bisa berangkat belajar di Melbourne, Australia. HAL-HAL YANG MEMUPUK PERKEMBANGAN ERIKA DI SINGAPURA Sejak kami tahu bahwa Erika tunarungu, kami mencoba untuk mengenal budaya, keluarga dan asosiasi anak tunarungu. Kami tahu, bahwa satu kaki kami harus berada di dunia “sunyi”, sementara kaki lainnya di dunia “mendengar”. Setiap Jum’at malam di Singapura, Erika bersama kami akan berkunjung ke restoran Mc. Donald. Di sana selalu ada sekelompok kaum tunarungu yang makan, ngobrol dan berdiskusi. Asik kalau melihat mereka berkomunikasi. Mereka tidak segan-segan mengajak Erika ngobrol walau usia mereka berbeda sangat jauh. Herannya, mereka bisa ngobrol sampai berjam-jam. Dua tiga jam berlangsung tanpa terasa. Erika juga mempunyai guru private yang datang setiap Minggu ke rumah kami. Guru ini juga tuli, dan Erika merasa puas belajar bersamanya. Dua jam, terasa sangat cepat. Memang kami tidak menekankan pendalaman mata pelajaran semata-mata, tetapi kami juga ingin Erika mempunyai “model” orang tuli, di mana melalui dia, Erika belajar “nilai” sosial dan teladan lainnya. Guru tuli ini sebenarnya tidak berprofesi sebagai guru, dia bekerja di kantor, namun saya melihat relasi Erika dengan guru ini baik dan dalam. Banyak hal Erika tidak mau mendengar kalau itu disampaikan oleh saya, namun melalui guru ini ternyata Erika “lebih patuh, mau mendengar dan menurut”. Hal ini juga saya amati sewaktu Erika berlatih renang. Ada guru tuli yang juga anggota tim renang yang berlatih bersamasama di bawah Singapore Sport Council for the Disabled, organisasi olahraga anak cacat di Singapura. Orang buta, tuli, cacat mental, fisik, dan kelainan otot semua berlatih bersama. Kebersamaan yang terasa sangat kental. Kagum, kalau melihat mereka saling menolong dan mempunyai cara berkomunikasi tersendiri yang kreatif. Bayangkan orang buta berkomunikasi dengan orang tuli. Orang yang cacat fisik membantu orang buta, dan seterusnya. Unik dan tidak ada kata “tidak bisa”. Mereka bisa menemukan caranya sendiri dalam berkomunikasi.
Nah, kembali ke Erika, ternyata dia lebih “mendengar” salah satu guru tulinya di Singapore School for the Deaf yang saat itu berfungsi samasama sebagai atlit renang. Kesulitan saya adalah Erika rewel sekali makan, sulit membujuk dia makan makanan yang bergizi dan sehat. Dia juga keras kepala, dan sering mengikuti caranya sendiri semaunya. Melalui kebersamaan ini, pelan-pelan “nilai” yang saya ingin masukkan ke Erika lebih mudah “dimengerti” dan “diperhatikan” kalau diberikan oleh sesamanya yang tuli. Rupanya Erika lebih “menyegani” dan mungkin cara penyampaiannya lebih “masuk akal”, tidak menggurui, dan dalam bahasa mereka yang “alami”. Hal lain yang khas tunarungu adalah Erika senang menulis catatan harian. Kebiasaan ini memang dilatih sejak Erika kelas satu. Guru mulai menanamkan kebiasaan ini dengan “ a sentence a day”, di mana anak-anak dirangsang untuk menulis apa saja, cukup satu kalimat setiap hari. Teman-teman lainnya bisa saling melengkapi dengan phrasa atau kalimat berikutnya. Guru juga menganjurkan murid untuk membuat catatan harian yang bisa “dibagikan” dan dibaca oleh gurunya keesokan harinya. Guru lalu memberi jawaban atau komentar, di mana yang penting adalah terjalinnya komunikasi, bukan memeriksa kosa kata atau tata bahasanya. Memang semula tujuannya adalah untuk mengembangkan bahasa anak, tetapi ini juga merupakan ekspresi yang kreatif dalam mengungkapkan isi hati dan pikiran anak, karena wicara anak tunarungu yang “tidak jelas” sering membuat lawan bicaranya salah mengerti. Dengan bahasa tertulis, maka anak tetap bisa menyampaikan isi hati dan pikirannya secara bebas. Dengan kemampuan bahasa Inggris dan bahasa isyarat, Erika mempunyai banyak kesempatan untuk menonton video atau DVD yang kami pesan dari USA. Hal ini sangat membantu dalam menanamkan etika dan nilai moral. Dengan visualisasi, nilai-nilai yang abstrak dan sulit dipahami menjadi lebih mudah ditanamkan, dimengerti dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Erika juga memiliki wadah dengan sesama anak cacat yang diperhatikan secara khusus di gereja Wesley Methodist, Singapura. Sejak tahun 1991 gereja ini melayani kamu tunarungu secara rutin dengan menyediakan ”interpreter” (orang yang bisa berbahasa isyarat) atau orang yang bisa mengetik cepat di laptop lalu ditayangkan di layar, dalam satu kebaktian. Bagi anak-anak usia TK atau SD ada sekolah minggu yang dilayani “one by one” (satu murid satu guru). Kebersamaan ini tidak hanya terjadi di gereja saja, tetapi juga mereka berekreasi, bermain komputer, berolahraga atau outing
(jalan-jalan ke luar). Walaupun mereka berbeda dan “kurang” secara fisik atau mental, tetapi mereka diajarkan pentingnya bergantung pada Tuhan dan bersyukur untuk aspek positif lainnya yang mereka miliki. Dan mereka juga merasa “aman” karena dalam perjalanan hidup mereka, selalu ada “sesama” yang mau membantu dan peduli, juga “sahabat sejati” dalam diri Tuhan.
Erika, anakku sayang, engkau telah diberkati dengan potensi kecerdasan yang tinggi, talenta yang banyak, kesempatan yang indah, keluarga dan teman-teman yang siap membantumu. Sesuai dengan waktu Tuhan, mama papa ingin sekali engkau juga mengambil keputusan menjadi anak Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama kaum tunarungu. ANNUAL PRIZE GIVING DAY Hanya segelintir orang tua yang mendapatkan penghargaan dari Singapore School for the Deaf karena memberikan kontribusi pada sekolah dan menunjukkan dedikasi tinggi untuk mengembangkan Erika mengatasi ketunarunguannya. Saya tidak menyangka kalau saya diundang sebagai “tamu kehormatan” (guest of honour) untuk memberikan hadiah dan penghargaan pada “Annual Prize Giving Day” di bulan November 2000. Jerih payah, ketekunan, perjuangan dan dukungan emosi yang secara konsisten kami berikan pada Erika, dilihat, diakui dan dihargai oleh orang atau instansi lain. Dalam kata sambutan yang saya berikan, saya mengakui tidak mudah membesarkan anak tunarungu, walaupun secara teoritis kami tahu anak tuli bisa melakukan semua hal yang dilakukan anak “mendengar”. Sejak kami memilih dan memutuskan “total komunikasi” sebagai cara kami berkomunikasi dengan Erika, maka kami harus terus belajar, meningkatkan ketrampilan komunikasi, memperluas pengetahuan dan wawasan, menganalisa kegagalan dan menjajaki kemungkinan lain untuk lebih maju. Seperti makanan tanpa garam (salt), maka akan terasa hambar, demikian juga saya sebagai orang tua Erika. Tips di bawah ini terus menyadarkan saya sebagai orang tua, dan hari itu saya ”bagikan” pada sesama orang tua dan guru-guru. S : SERVE them with SINCERE INTEREST (Layani mereka dengan tulus hati). Anak tunarungu lebih sensitive, mereka akan merasa, kalau kita tidak tulus,
segan melayani atau tidak peduli dengan mereka. Lahir dengan gangguan pendengaran dampaknya lebih serius dari pada gangguan penglihatan. Semua yang diketahui anak tunarungu karena mereka “diberi tahu” dan “diajarkan”. Dengan demikian orang tua mempunyai peran dan tanggung jawab “melayani” mereka dalam arti “memberikan informasi dan pengetahuan”. A : ATTENTION with AFFECTION (Perhatian dengan afeksi) Tuli adalah musibah yang sangat menyedihkan (the most desperate of human calamities). Mengapa? Karena mereka biasanya diabaikan. Ini sebenarnya masih untung, lebih parah lagi kalau mereka kesepian dan ditolak. Orang tua, ingat anak tunarungu pun membutuhkan CINTA dan DISIPLIN. L : LOOK BEYOND with your SENSITIVE LISTENING SKILL and HEART. Jangan melihat kegagalan anak sebagaimana yang tertera di rapor mereka. Coba bersabar dan cari akar masalahnya, analisa kekuatan dan kelemahannya. Dari sini, orang tua bisa lebih memahami dan coba bekerja sama dengan guru dan para ahli untuk mengatasinya. T : TOTALLY TUNE INTO THEIR LIVES. Saya menyadari bahwa hadirnya anak tunarungu di dalam keluarga membawa perubahan besar bagi setiap anggota keluarga. Kita semua harus menata kembali kehidupan ini, juga dengan keuangan dan lain-lainnya. Tetapi, tetaplah “bertahan”, ingat “pemenang selalu melalui pengorbanan” dan “yang kalah selalu banyak berdalih” (Winners always make sacrifices and losers always make excuses). Terima kasih pada seluruh guru yang sudah berusaha, memberikan perhatian dan kemampuannya dalam membentuk setiap anak tunarungu termasuk Erika, untuk mengaktualisasikan potensinya.
4. MENUJU MELBOURNE, AUSTRALIA
Sewaktu liburan mengunjungi kakak-kakaknya di Melbourne, Erika tertarik dan ingin bersekolah di sana. Kami menuju sekolah Methodist Ladies’ College (MLC), sekolah umum khusus untuk anak-anak
perempuan, tetapi memiliki layanan untuk anak-anak tunarungu sehingga Erika bisa integrasi belajar bersama dengan anak-anak “mendengar”. Maret 1999 Erika di test dengan TORCH untuk melihat kemampuan atau pemahaman membacanya. Erika mencapai percentile 96 dan stanine score 8. Artinya Erika mempunyai kapasitas yang sama atau lebih tinggi dari “raw score” yang diperoleh 96 % anak-anak seusianya. Demikian juga dengan test matematika. Erika menunjukkan “excellent mastery” (kemampuan cemerlang) dalam memproses soal-soal matematika anak-anak seusianya. Kemampuan menulisnya juga dievaluasi, dan mengindikasikan “a sound knowledge of spelling and appropriate use of grammatical structures” (pengejaan kata-kata yang sesuai dengan penggunaan tata bahasa yang cukup tepat). Kesimpulan akhirnya adalah kemampuan Erika berfungsi sesuai dengan usianya atau lebih tinggi dalam setiap area yang dievaluasi. Erika sangat potential dan bisa diterima di Methodist Ladies’ College. Akhirnya kami memproses permohonan visa untuk kami sekeluarga, termasuk Erika. Perjalanan permohonan ini ternyata sangat berlika liku, test demi test harus dilalui, baik di Singapura maupun Melbourne. Kami membutuhkan waktu lebih dari satu tahun dan khusus untuk Erika, kami mempersiapkan surat dari berbagai pihak, yaitu : 1. Dr. Hamish Ewing, Associate Professor of Surgery dari The Northern Hospital – The University of Melbourne Australia. 2. Ms. Rosa Storelli, kepala sekolah Methodist Ladies’ College . 3. Ms. Juliet Christophers, coordinator guru-guru anak tunarungu Methodist Ladies’ College. 4. Mr. John M. Lovett, A.M., president International Committee of Sports for the Deaf. 5. Mdm. Hanisnah Kasmuri, guru Erika saat itu di Singapore School for the Deaf. 6. Harold Robers, M.A. Ph.D dan Ms. Elaine Garofalo M.Ed dari Psycare Consultants Singapore. 7. Dr. Goh Yau Hong, Ear Nose Throat doctor dari Singapore General Hospital. 8. Treena & Ian Skeggs-Grant, pelatih renang Fighting Fish – Singapore American Community Action Council. Beberapa pokok yang ditekankan dalam uraian mereka adalah : 1. Associate Professor Hamish Ewing mengkonfirmasikan bahwa tunarungu bukan masalah kesehatan dan tidak membutuhkan pengobatan medis lanjutan. 2. Juliet Christophers mengatakan kalau Erika tumbuh seimbang baik secara sosial maupun emosional dan tidak membutuhkan intervensi medis. Erika mempunyai potensi mencapai sukses da-
lam pendidikannya dan dia sudah diterima di kelas tujuh Methodist Ladies’ College untuk tahun 2001. 3. Guru kelasnya di Singapore School for the Deaf menyatakan bahwa Erika adalah murid yang “di atas rata-rata” di mana sekolah itu memakai kurikulum yang sama dengan anak “mendengar”. Erika juga mengikuti ujian akhir kelas enam yang sama dengan semua anak “mendengar” di Singapura. 4. Harold Robers M.A., Ph.D dan Ms Elaine Garofalo M.Ed menyatakan bahwa Erika adalah anak yang cerdas dengan kapasitas kecerdasan tergolong “superior”. IQ Verbal = 108 atau 70 th percentile. IQ Performance = 132 atau 98 th percentile dan IQ total berdasarkan WISC-III = 122 atau 93 rd percentile, artinya dia memiliki potensi untuk mencapai sukses di bidang akademik. 5. Dr. Goh Yau Hong dari Singapore General Hospital menyatakan bahwa Erika adalah anak yang mandiri dan cerdas. Namun keputusan yang kami dapat sungguh mengecewakan, permohonan visa kami ditolak dengan alasan Erika tidak memenuhi kriteria standard kesehatan atau tidak lulus test kesehatan, semata-mata karena dia tuli. Kami mengeluarkan biaya berpuluhpuluh juta dan kami gagal. Di manakah keadilan ini? Masyarakat melihat ketunarunguan Erika seperti “uang yang robek”, sehingga tidak laku sebagai alat jual beli. Erika tidak diterima, pintu sekali lagi ditutup di depan mata kami. Akhirnya kami mencoba mengajukan visa belajar. Permohonan visa inipun tidak mudah. Bagi Erika diperlukan waktu 3 bulan dan itupun dibantu oleh tayangan riwayat hidup Erika berjudul “Changing Lives” di televisi dan inisiatif produsernya untuk membantu mengadakan kontak dengan instansi-instansi yang berwewenang. Walaupun terlambat satu minggu, Erika akhirnya berangkat ke Melbourne belajar di Methodist Ladies’ College. PENGALAMAN INTEGRASI DI METHODIST LADIES’ COLLEGE Erika berangkat ke Melbourne pada bulan Pebruari 2001. Kami merasa program di Methodist Ladies’ College cocok dalam mengembangkan potensi akademik, kepribadian dan olahraga renang yang digemari Erika. Selain itu Erika mendapat kesempatan berintegrasi dengan anak-anak “mendengar” sambil tetap mendapat bantuan dari unit tunarungu di Methodist Ladies’ College. Erika membutuhkan “interpreter” atau “note taker” karena ketunarunguannya. Perasaan Erika saat itu lebih banyak gugup karena merasa tidak biasa berkomunikasi dengan teman-teman “mendengar”. Di Singapura,
seluruh temannya tunarungu dan hanya berjumlah maksimal sepuluh murid dalam satu kelas. Sekarang, jumlah muridnya begitu banyak, sekolahnya begitu besar, dan bahasa isyarat yang digunakan adalah Australian Sign Language (AUSLAN). Tetapi dia menyadari bahwa teman-temannya penuh perhatian, interpreternya begitu sabar, dan banyak temannya ingin belajar “bahasa Erika”. Dia mempunyai sahabat juga tunarungu, yang ceria, senang memeluk dan menggandeng Erika. Kehidupan sosial di Australia juga berbeda, senang pesta, dan Erika pun belajar lebih mandiri, jauh dari orang tua. Erika pun tetap menunjukkan prestasinya di sekolah maupun renang. Saya tidak bisa selalu mendampingi Erika di Australia, karena saya juga mendampingi suami di Singapura. Australia mempunyai empat musim dan cuacanya berubah-ubah. Erika harus berjalan sendiri ke tempat latihan renangnya di tengah udara yang begitu dingin membeku saat musim dingin. Tetapi dia mampu bertahan, dan berangkat berlomba di tingkat dunia, 19th Deaflympic di Roma, Italia tahun 2001. Pada akhir tahun ajaran, Erika memperoleh “certificates of distinction” dalam pelajaran matematika dan science. Memang tidak heran, karena pendidikan dasar Erika di Singapura memiliki standard matematika dan science yang tinggi. Erika bisa memilih jalur “percepatan” (akselerasi) karena potensi dan prestasinya di bidang matematika. Tetapi setelah diskusi dengan interpreter Erika, kami memutuskan untuk Erika tetap di jalur biasa, karena banyak hal dari kepribadiannya yang masih harus dikembangkan. Erika tergolong pemalu, belum berani mengekspresikan diri, masih hati-hati, dan sebagainya. Di kelas delapan Erika termasuk siswa yang mendapat “academic achievements” sebagai siswa yang berprestasi. Suatu prestasi yang mengagumkan karena jumlah murid kelas delapan kira-kira 220 siswa. Erika juga memperoleh “certificates of distinction” untuk pelajaran Art (keramik), drama, geografi, home economics, dan matematika. Tidak hanya bidang ilmu pasti, Erika juga menunjukkan kemampuan di bidang seni, ilmu sosial dan drama. Methodist Ladies’ College mempunyai falsafah untuk menyediakan pengalaman pendidikan yang berfokus pada “kebutuhan” masingmasing siswa. Untuk itu pendidikannya bertujuan untuk mengembangkan rasa percaya diri, harga diri dan menumbuhkan keyakinan dalam diri siswa bahwa setiap siswa mampu mencapai keberhasilan. Pengalaman positif ini akan memberikan kontribusi penting menuju sukses dalam kehidupan setiap siswa. Karena itu sekolah ini menawarkan begitu banyak mata
pelajaran di mana siswsa bisa memilih mata pelajaran apa yang ingin dipelajarinya sesuai minat dan kemampuannya.
TANTANGAN BERIKUTNYA Di Methodist Ladies’ College Australia, teman sekelas Erika yang samasama tunarungu menjalani operasi “cochlear implant” pada waktu berusia tiga tahun. Dia berbicara normal sebagaimana anak-anak “mendengar”. Tak ada orang yang menyangka kalau dia tuli. Walaupun dia kadang-kadang mengalami kesulitan dalam mengikuti diskusi kelompok, di mana dua sampai tiga orang sekaligus berbicara pada saat yang bersamaan, tetapi secara keseluruhan, komunikasinya sangat lancar, tidak monoton dengan suara yang jernih dan jelas. Ternyata mayoritas anak-anak tunarungu di Australia memperoleh layanan gratis untuk operasi cochlear implant sampai terapi auditory verbal. Pioneer dan penemu cochlear implant Prof. Graeme Clark memang berasal dari Melbourne.
Setelah satu tahun di Melbourne, Erika menyatakan keinginannya untuk dioperasi. Kami sekeluarga kaget, karena kemungkinan operasi ini selalu ditolak oleh Erika pada waktu di Singapura. Namun karena inisiatif operasi datang dari Erika sendiri, kami giat menjajaki, mulai membaca lagi manfaat dan resiko operasi, membandingkan biaya pelaksanaan operasi dan rehabilitasi antara Singapura dengan Melbourne serta mengupayakan pengadaan biayanya yang sangat besar. Alat bantu dengar (hearing aid) hanya memperkeras (volume) suara, bukan memperjelas suara. Kita tidak bisa mengharapkan alat bantu dengar bisa mengatasi masalah pendengaran Erika. Inilah bedanya dengan kacamata. Manfaat penggunaan alat bantu dengar sangat dipengaruhi oleh jarak dan tingkat kebisingan lingkungan. Setiap anak tunarungu mendapat keuntungan yang berbeda-beda dari pemakaian alat bantu dengar ini. Paling tidak, melalui alat bantu dengar, anak sadar akan suara-suara lingkungan, sehingga bisa mengurangi dan menghindari bahaya. Ada pula yang sampai bisa membedakan suara-suara, atau mampu menangkap perbedaan irama dan kecepatan wicara, bahkan ada yang mampu mengontrol suaranya sendiri dan mengembangkan ketrampilan wicara. Erika dengan gangguan pendengaran yang berat, tetap tidak mampu “menangkap” atau mendengar suara dengan “pitch” yang tinggi melalui penggunaan alat bantu dengarnya. Walaupun dia memakai alat bantu dengar secara rutin, Erika tetap tidak mampu memahami wicara dan mendengar percakapan yang terjadi, apalagi kalau percakapan itu tidak saling bertatap muka. Saya mencoba melihat ke belakang usaha kami sebagai orang tua. Kami sangat disiplin dalam memakaikan alat bantu dengar dan melatih pendengaran Erika. Saya dan suami cukup tegas namun kreatif, saling “mengisi”, membujuk, memberikan pujian, penghargaan positif, juga konsekuensi yang logis, dan cukup fleksibel terhadap Erika. Berbagai tipe disiplin, memberikan penjelasan verbal, menegakkan peraturan, menahan atau menunda “hak dan hadiah”, tentunya dengan mempertimbangkan usia Erika, sudah kami upayakan. Hasilnya tetap masih jauh dari apa yang kami harapkan. Apalagi mendengar dan mengucapkan kata-kata bahasa Inggris jauh lebih sulit dari pada bahasa Indonesia yang mempunyai banyak huruf hidup (a,i,u,e,o) dalam kata-katanya. Oleh karena itu kami mencoba menempuh operasi “cochlear implants”, teknologi modern canggih di mana dalam penelitiannya dikatakan kemampuan anak tunarungu untuk mendengar dan memahami percakapan dapat ditingkatkan.
Erika menjalani operasinya di Singapore General Hospital Singapura pada tanggal 16 September 2002 pada usia 13 tahun 10 bulan. Dia ingin sekali mendengar, dia mau mendengar suara dan bisikan Tuhan, itu yang dikatakan Erika kepada kakaknya. Beberapa minggu menjelang operasi, di persekutuan remaja di gereja Melbourne, Erika merasa terpanggil ke depan sewaktu ada “panggilan altar” untuk didoakan. Dia menangis dan mengatakan “Minggu lalu saya mati, tetapi sekarang hidup”. Sungguh waktu yang tepat. Tuhan yang memimpin Erika dan mempersiapkan diri dan hati Erika untuk masa depannya. Dia betul-betul berharap ingin mendengar panggilan Tuhan. Erika memang akhir-akhir ini sangat dekat pada Tuhan. Dia selalu melakukan saat teduh dan betul-betul “berjalan” bersama Tuhan. Dia sering merasa kesepian, memerlukan bantuan, karena kami sebagai orang tuanya lebih sering berada di Singapura. Memang dia merasa lebih tenang serta lebih kuat melalui ketergantungannya dengan Tuhan. Dia mampu melewati kehidupannya hanya bersama dengan kakak-kakaknya di Melbourne, Australia. Astrid, kakak Erika mengungkapkan bahwa Natal demi Natal, kami sekeluarga tidak hadir dalam pesta Natal, karena sedih membayangkan Erika. Tahun demi tahun di kebaktian Natal, Astrid selalu meneteskan air mata, minta Tuhan menyembuhkan Erika. Astrid percaya bahwa Tuhan sajalah yang akan membuat semuanya indah pada waktu-Nya. ”Mungkin akhir tahun ini, air mata yang Astrid keluarkan bukanlah karena kesedihan tetapi karena KASIH Tuhan yang begitu besar pada Astrid sekeluarga”, demikian katanya dalam e-mail kepada teman-temannya. Astrid sepertinya yakin bahwa melalui operasi ini, adiknya akan disembuhkan dan mampu mendengar. Dia minta dukungan doa teman-temannya untuk operasi adiknya, Erika. Kami menunggu operasi Erika dengan sangat tegang, berserah dan berharap bahwa semua operasi berjalan lancar dan sukses. Air mata suami saya tidak henti-hentinya turun karena kami memang sangat kuatir, tidak tega Erika harus menjalani operasi ini. Beberapa teman mendampingi kami, dan kami yakin bahwa Tuhan tidak akan mengecewakan kami. Kami berharap bisa membuka babak baru kehidupan Erika dengan telinga “bionic”nya. Kami minta dukungan doa dari keluarga, sahabat, teman, untuk : 1. Ketenangan dan tubuh yang sehat menjelang, saat dan sesudah operasi. 2. Tim dokter, perawat dan professional di Singapore General Hospital yang akan mengoperasi Erika. 3. Operasi agar berjalan dengan sukses tanpa efek samping. 4. Luka operasi agar cepat pulih sehingga setelah dua minggu alat yang ditanam bisa “diaktifkan”.
5. ”Speech processor, internal chip, transmitter coil, receiver, stimulator, electrode array” semuanya berfungsi dengan baik dan tidak memberikan efek negative di kemudian hari. 6. Syaraf pendengaran yang tidak berfungsi bisa dirangsang dan otak bisa cepat menyesuaikan diri dalam mempersepsi, mengidentifikasi dan memahami kode elektronik bunyi. 7. Terapi sesudah operasi di Singapore General Hospital Singapura dan Melbourne. 8. Kerjasama antar audiologist, speech therapist, guru yang mengajarkan Erika mendengar dan berbicara. 9. Semangat dan disiplin Erika untuk terapi intensif yang akan dijalaninya dalam satu sampai tiga tahun mendatang. 10. Kesabaran, pengertian dan dukungan keluarga dalam mendampingi Erika selama rehabilitasinya.
Erika juga mendapat banyak dukungan dari teman-teman sekolahnya. Mereka membuat kartu yang sangat besar dan berharap yang terbaik dari operasi ini serta Erika cepat sembuh dan bisa kembali ke Melbourne lagi. Erika nampak tegar menghadapi operasinya, dia mengatakan “Jangan kuatir, semua akan berjalan baik”. Dan
dengan semangat yang tinggi dia menyongsong hari operasinya, dan kami semua yakin, Tuhan akan turut campur tangan. Salah satu teman Astrid mendukung melalui surat elektronik. Intinya ia menulis, bahwa pasti banyak perubahan yang akan dialami Erika, tantangan secara khusus dialami semua panca indera Erika, apalagi otaknya yang harus menyesuaikan diri. Erika akan banyak melewati rasa sakit dan kekecewaan, bahkan mungkin mengakibatkan Erika “menarik diri”, tapi kami dikuatkan untuk tetap “bertahan”, pegang erat janji Tuhan, karena dia tidak akan mencobai kami melebihi kekuatan kami. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan ciptaan-Nya, dan siapa yang berharap pada Tuhan akan bisa terbang tinggi seperti burung rajawali. Kalau kami merasa begitu lelah dan berbeban berat, serahkanlah pada Tuhan, Dia akan memberikan kelegaan. Sebagai keluarga yang semuanya bersatu mendukung operasi ini, kami diyakinkan bahwa kami akan mampu melewati ini semua bersama Tuhan yang memberi kekuatan kepada kami. Setelah dua minggu operasi, hari yang ditunggu-tunggu tiba, di mana Erika mulai mendengar suara dengan telinga barunya. Kami melihat Erika kaget mendengar suara yang dulu tidak pernah didengarnya. Otaknya berusaha keras untuk menyerap dan mencerna apa yang terjadi. Erika mendengar suara detak jarum jam dinding, dia mendengar suara kertas koran yang dibalik, atau kresek-kresek suara plastik. Suara dengan “pitch” yang tinggi sekarang bisa didengarnya. Hasil audiogramnya membuktikan keberhasilan operasi ini. Artinya Erika secara teoritis sekarang mampu mendengar bunyi huruf s, sh, ch, k dan seterusnya. Sukses dari kemampuan Erika mendengar dan berbicara memang tidak semata-mata tergantung pada operasi. Operasi hanya memberikan 50 % keberhasilan sedang 50 % lainnya tergantung dari terapi auditory verbal yang dilakukan sesudahnya. Erika bersekolah di Melbourne, karena itu terapi auditory verbal dilakukan di sana. Namun karena biaya yang sangat tinggi, Erika hanya sesekali terapi dan selebihnya saya yang berperan atau berfungsi sebagai terapist bagi Erika. Saya kembali harus memilih, saya harus meninggalkan suami dan lebih lama tinggal di Melbourne. Saya juga harus berhenti dari mengajar di National University of Singapore (NUS) dan NUS Extension. Walaupun saya bekerja hanya paruh waktu mengajar bahasa Indonesia, namun saya bisa mengaktualisasikan potensi saya karena saya senang mengajar. Memang tidak mudah membagi waktu, karena saya tetap harus memprioritaskan fungsi dan peran saya sebagai ibu.
Selamat tinggal NUS, enam tahun berkarya di sana berjalan begitu cepat. Selama di Melbourne, saya mempraktekkan kemampuan dan ketrampilan saya memberikan terapi wicara untuk Erika. Saya mendapatkan pengarahan, bimbingan dan model dari staf di Singapore General Hospital serta bahan-bahan latihan yang disampaikan melalui e-mail. Secara teoritis saya sudah cukup dibekali tetapi dalam mempraktekkannya, banyak hal yang membuat kami berdua frustrasi. Erika yang sudah memasuki usia remaja, harus kembali seperti anak kecil yang baru belajar bicara, melakukan latihan-latihan yang membosankan dan dirasa kekanak-kanakan. Saya sebagai ibunya dianggap terlalu keras dan disiplin. Akhirnya Erika sering menangis. Sayapun sering menangis, karena kecewa dengan hasil yang dirasa kurang produktif. Saya banyak berhasil mendidik murid dan mahasiswa, tetapi tidak semudah itu mengajar dan mendidik anak sendiri. Saya juga tidak bisa selamanya meninggalkan suami di Singapura. Setelah dua sampai tiga bulan bersama Erika saya kembali mendampingi suami dan tinggal selama satu bulan di Singapura. Setiap kali saya kembali ke Melbourne, kami seolah-olah mulai berjuang dari nol lagi, karena apa yang telah saya ajarkan, banyak dilupakan Erika. Kami berdua menjadi frustrasi, hari-hari pertama dari pertemuan dilalui dengan tangis kecewa baik bagi saya maupun Erika. Erika mulai menurun semangatnya. Ia makin menyadari bahwa suaranya tidak baik, besar, dan parau. Banyak orang akan menoleh kepadanya, karena suara yang “aneh” ini. Rasa percaya dirinya makin menurun dan sejalan dengan usianya yang memasuki remaja, ia mulai lebih menyadari pentingnya penampilan fisik. Dia lebih mengutamakan tampil prima ketimbang memakai alat bantu dengar atau “speech processor cochlear implant”nya. Dia menghabiskan waktu untuk memakai lensa kontak untuk matanya daripada memasang alat bantu dengarnya. Erika bisa berjam-jam melihat penampilan dirinya di kaca daripada melihat gerak ujaran atau gerak bibir. Dia lebih banyak menggunakan alat bantu komunikasi elektronik daripada mencoba berbicara. Setelah satu tahun secara intensif kami berdua mencoba, saya akhirnya menurunkan tuntutan saya sedikit demi sedikit, karena menyadari bahwa Erika sekarang menganggap saya “tidak menerima dirinya sebagaimana adanya”. Di mata Erika, saya dianggapnya tidak memiliki toleransi terhadap kelemahannya dalam berbicara. Dari persepsinya, saya dianggap sangat kecewa menerima keberadaan Erika yang kurang bisa mendengar dan berbicara.
September tahun 2003, Erika mengikuti program sekolah, Marshmead, yaitu program di mana selama sepuluh minggu sejumlah murid kelas sembilan hidup di desa terpencil, terisolasi, jauh dari keramaian dan fasilitas yang memadai. Mereka belajar matematika, bahasa, science seperti biasa. Tetapi mereka harus belajar mandiri tanpa orang tua dan fasilitas orang modern atau orang kota. Mereka mengenal alam, menikmati alam dan belajar bertahan hidup dalam alam. Sebenarnya Erika dibekali dengan alat bantu dengar FM, disamping “cochlear implant”nya, tetapi ternyata di sana dia memilih untuk tampil bersahaja apa adanya, tanpa fasilitas pendukung tersebut. Di desa ini, memang kehidupannya sangat sederhana, hari-harinya dilalui tanpa hiruk pikuk kehidupan kota yang serba cepat. Kegiatan lainnya seperti menyuntik anak sapi, mempelajari bagaimana memelihara ternak, mengamati kehidupan di hutan, belajar menyusuri alam hanya dengan peta dan kompas, dan sebagainya. Sejalan dengan ciri khas kehidupan remaja, teman menjadi unsur yang sangat penting bagi Erika. Dia juga terus mencari bentuk identifikasi yang paling cocok baginya. Pulang dari Marshmead, Erika tampil sebagai Erika yang lebih riang, lebih spontan, namun juga Erika yang memilih untuk menjadi Erika sebagaimana adanya, yaitu remaja tunarungu dengan total komunikasi sebagai bentuk percakapan dengan sesamanya. Hal ini bisa dimengerti, karena beberapa teman-temannya bisa berbahasa isyarat dan teman lainnya mau berusaha mengklarifikasi komunikasi mereka secara tertulis seandainya mereka tidak mengerti Erika. Kenyataan ini membuat saya merenung, apakah saya gagal? Apakah sia-sia pengorbanan saya meninggalkan suami (walau untuk sementara) dan karir di National University of Singapore? Apalagi perjalanan operasi Erika juga diwarnai dengan masalah lutut saya. Satu bulan menjelang Erika operasi, saya dua kali masuk rumah sakit dan menjalani operasi lutut, karena ada pertumbuhan jaringan yang tidak normal (over growth tissue) yang menimbulkan sakit yang luar biasa di lutut sehingga saya tidak bisa berjalan dan melakukan aktivitas apapun. Inipun dilanjutkan dengan operasi yang kedua satu bulan setelah Erika operasi. Semuanya membutuhkan biaya besar dan saya harus menjalani fisioterapi untuk mengembalikan fungsi lutut dan kaki saya yang cukup lama, tidak hanya di Singapura tetapi juga di Melbourne. Beberapa bulan saya memakai penyanggah kaki untuk membantu saya berjalan. Dan dengan tas punggung, dan bantuan penyanggah ini pula saya bolak balik ke perpustakaan Melbourne University untuk memperlengkapi saya agar saya mampu berperan sebagai terapis wicara bagi putri saya, Erika.
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan, apakah saya gagal? Memang saya harus bisa menerima kenyataan bahwa Erika sudah remaja, sekarang. Saya tidak bisa memperlakukannya sebagai anak di mana saya bisa menguasai dan mendominasi untuk membentuk Erika sebagaimana yang saya harapkan, dengan tujuan mempermudah hidup Erika dalam dunia “mendengar”. Sebagai remaja, saya sekarang hanya bisa “mempengaruhi”nya agar Erika mau mempertimbangkan usul dan nasihat saya, bahwa semua alat bantu dengar yang dipakainya, operasi yang dilaluinya, terapi wicara membosankan yang harus dihadapinya mempunyai satu maksud yang baik yaitu agar Erika bisa lebih menyesuaikan diri dan “diterima” di dunia “mendengar”. Apapun pilihan Erika, saya harus bisa menghargainya. Masalah lain yang terlihat adalah Erika menjadi lebih kritis dan mempertanyakan “keberadaan” Tuhan. Dalam catatan hariannya, dia mempertanyakan, “Di manakah engkau Tuhan?” Salah satu alasannya, karena sahabatnya, teman sekelasnya di Singapura, hamil oleh remaja “mendengar”. Dia sangat kecewa, ingin marah, namun tidak berdaya. Masa remaja yang begitu indah hancur , karena sahabatnya terpaksa harus bersiap-siap menjadi ibu dalam usia yang masih sangat muda. ”Kami, kaum tunarungu banyak diperlakukan secara tidak adil,” demikian jeritannya dalam buku harian. Hal lain nya tentu karena Erika merasa bahwa operasinya tidak berhasil. Kekecewaan yang berusaha ditutupinya. Hati saya sebagai ibu juga hancur. Tuhan, apakah engkau tidak mendengar harapan Erika agar melalui operasi ini dia bisa mendengar suaramu? Tuhan, kabulkanlah doa kami semua. Yohanes 9 : 1 – 3 berjudul “Orang yang buta sejak lahirnya”. Bunyinya demikian : Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-muridNya bertanya kepadaNya :”Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus :”Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”. Saya meyakini, bahwa pekerjaan dan kuasa Allah akan dinyatakan dalam hidup Erika, tapi waktu Tuhan bukan waktu saya. Saya kembali harus “percaya dan tetap taat”. ”Erika, Anakku Sayang……. Jangan kamu marah dan menjauhi Tuhanmu”. Kembali kami harus banyak berlutut mohon doa, agar Erika tidak meninggalkan Tuhan, dan mau kembali mendekat pada Tuhan.
KEBERHASILAN DI METHODIST LADIES’ COLLEGE Pada waktu Erika di kelas tujuh, dia mengikuti “The Achievement Improvement Monitor” dari Victorian State Government untuk mengases kemajuan siswa dibandingkan dengan norma atau standard state Victoria. Hasilnya ternyata untuk bahasa Inggris (membaca, menulis, mengeja) dan matematika Erika berada di atas rata-rata siswa kelas tujuh di negara bagian Victoria. Bahkan untuk membaca dan matematika dia berada di top paling tinggi. Untuk menulis dan mengeja, dia pun berada di atas rata-rata siswa kelas tujuh seluruh state Victoria. Pada September sampai Oktober 2002 Erika ambil bagian dalam projek University of Melbourne yang berjudul “Cognitive factors associated with variance in language performance in students with severe-to-profound hearing loss”. Tugas atau test yang dijalaninya mencakup : 1. The Wechsler Intelligence Scale for children – Third Edition (WISC III). 2. The Clinical Evaluation of Language Fundamentals – Third Edition (CELF 3) 3. The Delis Kaplan Executive Function System (D-KEFS) 4. An Interview of metacognitive understanding. Kesimpulan hasilnya sebagai berikut: 1. Kemampuan kognitif tergolong superior, di mana skor IQ Performancenya ada di percentile 99, dan skor IQ Verbalnya di percentile 88. 2. Pemahaman verbal tergolong “high average” (rata-rata tinggi), ada di percentile 87. 3. Daya ingat verbal jangka pendek dan kemampuan memusatkan perhatian tergolong rata-rata. 4. Kemampuan visual-spatial dan proses visual tergolong superior. 5. Kecepatan mengerjakan tugas-tugas praktis yang membutuhkan koordinasi mata dan tangan, dengan tepat tergolong superior. 6. Penalaran konsep verbal tergolong superior. 7. Kemampuan “visual sequencing” tergolong superior. 8. Kemampuan penalaran spatial tergolong superior. 9. Diskriminasi visual, koordinasi visual motor dan daya ingat visual jangka pendek tergolong superior. 10. Kemampuan organisasi perceptual dan kemampuan merencanakan, tergolong rata-rata. 11. Kemampuan bahasa reseptif tergolong rata-rata. 12. Kemampuan memecahkan masalah dan perencanaan spatial tergolong rata-rata.
13. Kemampuan kreatif dan berpikir strategis tergolong ratarata. 14. Pengetahuan memformasi strategi dengan efektif tergolong rata-rata. Erika memang terus memberikan kebanggaan kepada kami. Beberapa hasil yang dicapai adalah: 1. Participation certificate dalam Dorothy Shaw Young Writers Competition 2. Certificate of Distinction dalam matematika dan science (kelas tujuh) 3. Certificate of Distinction junior level dalam 2002 Australian Geography Competition 4. Participation certificate dalam Australian Schools Science Competition ( kelas delapan) 5. Certificate of credit dalam 2002 Australian Mathematics competition junior division. 6. Certificate of Academic Achievement for outstanding results di kelas delapan. 7. Certificate of Distinction untuk drama, geography, home economics, art: ceramics, dan mathematics di kelas delapan. 8. Certificate of Merit untuk science dan mathematics C di kelas sembilan. 9. Certificate of Distinction untuk bahasa Inggris, practical Christianity, Art: visual art dan science di kelas sembilan. 10. Certificate of Credit dalam 2004 Australian Mathematics Competition intermediate division. 11. Certificate of Merit untuk drama: design workshop, bahasa Inggris, geography oceans dan physical education di kelas sepuluh. 12. Certificate of Distinction untuk Victorian Certificate of Education (VCE) Auslan 1/2 di kelas sepuluh. 13. Certificate of Distinction untuk VCE Auslan 3/4 di kelas 11. 14. Hasil VCE ujian akhir kelas 12, enter score = 92.1, artinya Erika menduduki top delapan % siswa di seluruh state Victoria. 15. Certificate of Distinction untuk VCE English di kelas 12. Erika juga memperoleh : 1. Work Experience Certificate dari Arthur Rylah Institute for Environmental Research, yang merupakan syarat yang harus dipenuhi siswa kelas sepuluh. 2. Award sebagai local weekly sports star oleh surat kabar Leader, community Newspapers. 3. Certificate of Appreciation sebagai volunteer at Deaf Basketball Shoot Out, tahun 2004
4. Certificate of Appreciation karena bekerja sebagai anggota dari “volunteer team” (Orange Army) dalam Melbourne 2005 Deaflympic Games. 5. Encouragement Award for Art, tahun 2006 Aktivitas sekolah dan komunitas lainnya : 1. “Volunteer helper” di Monnington Early Intervention Centre for Deaf Children, 2003 2. “Volunteer helper” di Singapore School for the Deaf, 2003. Kedua aktivitas ini merupakan aktivitas yang diwajibkan untuk menunjukkan kontribusi Erika dalam masyarakat sebagai syarat siswa kelas 9. 3. Berpartisipasi dalam “Houses swimming competition dan athletic competition”. 4. Dipilih untuk mendesign cover Senior School Booklet tahun 2005 dan 2006 5. Berpartisipasi dalam team sepakbola sekolah 6. Menjadi bagian dari team ”Silver and Green”, majalah sekolah tahun 2006. 7. Graphic Designer untuk majalah sekolah ”Silver and Green”, tahun 2006 Yang mengherankan adalah Erika bisa berhasil memperoleh hasil “distinction” untuk bahasa Inggris dan AUSLAN (bahasa isyarat Australia). Nilai bahasa Inggrisnya tidak mencerminkan karakteristik anak tunarungu yang biasanya mengalami keterbelakangan dalam bahasa. Dia bahkan tidak dimasukkan ke dalam kelas “English as a second language”, karena menurut gurunya, kalau dia dimasukkan ke dalam kelas tersebut, Erika akan menjadi bosan. Dia memiliki kemampuan yang tinggi untuk bahasa Inggris, menyamai anak-anak Australia yang bahasa “ibu”nya adalah Inggris. Kalau saya analisa, kemampuan bahasa Inggris Erika yang tinggi banyak didukung oleh system pengajaran di Australia, yang menekankan pada diskusi, analisa, dan pengolahan yang membutuhkan proses berpikir yang mendalam dan kritis. Erika juga bisa mengikuti setiap acara televisi karena ada program “sub title”, sehingga kemampuan memahami, asosiasi dan sintesanya juga terasah. Dia mampu menangkap alur cerita dengan membaca kalimat bahasa Inggris yang tertera di bawahnya. Kemampuan membacanya sangat cepat, juga kemampuan menangkap isi cerita. Ini juga didukung oleh minat bacanya yang tinggi. Jadi kalau dulu, dia mampu menebak ujaran guru atau orang “mendengar”, sekarang dia mampu memahami cerita di televisi atau di buku dengan membaca dan menebak arti kalimat secara cepat dan tepat.
Kemampuannya dalam mengekspresikan ide ke dalam bahasa tertulis juga mengesankan. Hal ini bisa dilihat dari tulisan pengalamannya sewaktu bekerja di Arthur Rylah Institute for Environmental Research dan sebagai tenaga kerja sukarela pada 20th Deaflympic di Melbourne, tahun 2005. PENGALAMAN ERIKA BEKERJA SELAMA SEMINGGU DI ARTHUR RYLAH INSTITUTE FOR ENVIRONMENTAL RESEARCH (KELAS 10) INFORMATIVE PIECE I am going to inform my readers of how my expectations of a typical workplace and people have changed. Black pants, a three-quarter sleeved shirt with collar, and a dark green coat were hanging on the knob of my cupboard. The night before I started work experience, I agonized over what clothes I should wear. What kind of clothes do environmental Researchers wear? I squeezed my eyes shut and tried to imagine the clothes of a person from that workplace. Images of E.R. flashed before my eyes. Of course, I was not going to a hospital but I supposed their work is similar to Environmental Researchers. Science is the main thing in their work, right? So jeans are out, they wouldn’t wear jeans. Tops with pictures or crazy phrases are also a “No No”. That was how I ended up choosing black pants and the conservative clothes hanging on the knob right now. As I left my home, my older brother had woken up and he saw me. “You look like you are a cashier at Coles,” he commented on my clothes. He had a silly smile plastered on his face. I didn’t know if he was teasing me or if he was trying to make me feel relaxed on my first day at work. I just rolled my eyes at him quickly before closing the door because I wanted to be early for work. At the workplace, I met Phoebe who introduced me to the people who I would spend most of my time with. Phoebe was very tall and she had her curly hair plaited into two plaits. To my surprise, I noticed that many people at the workplace wore casual jeans. Then I met a person who I want to talk about because he is a very memorable person. Since I saw him, the image of him still sticks in my head, crystal clear and sharp. I swear even after a year or five years, I will still remember the fine details of his face and his trademark clothing. I remember walking into an office on my first day to find a man I great contrast to the plain, dull background.
That man seemed like he was thrown into the wrong place. He had “designer stubble” and his dark hair was spiky. He was wearing layered-look clothing and an even crazier item – a pair of jeans with holes. There was a very big hole in his jeans, located on his knee, and a few small holes, especially near his shoes. I didn’t think he was fashion conscious! His left ear was pierced. Holy cow! I bet he had a tattoo or more hidden somewhere on his body, probably on his forearm and back. Very different from what I expected. I learnt that his name was Rob, he was doing office work, research on endangered animals and I would be spending most of my first day with him. He was very friendly. even though earlier I was given a quick tour around the building by Phoebe, Rob said that I did not see the fishes in the tanks and the turtles in the pond. He thought I should see them so he gave me another, more interesting tour. As I am deaf, I usually communicate with people through writing, but Rob sometimes used simple gestures and miming. When I entered the laboratory of fishes, he warned me of the wet floor by miming. Tapping me on my shoulder to get my attention, he mimed, pretending to slip on the damp floor. In the eyes of a deaf person, who relies heavily on visual things, he was certainly amazing at miming. I think he was the first person to break my stereotyped image of hearing people miming very badly. Rob also invited me to eat lunch with him and his co-workers at a street café on my first day. We went there I Rob’s car. His car was small, dusty and quite old. So, the car did match its driver! Although the building where I worked was a bit ugly, the walls were plain white with brown trimming. But the people there were very lovely. I immediately felt at home in the workplace. I didn’t feel intimidated, just comfortable. There was a nice lady who had an incredible passion for bats. She was researching bats – how they affected the paddock trees. I have read some of her work, which took ten years of research! It was a very long time. I supposed you needed to have a real passion to keep motivated, especially when you were working on one project for many years. She had a little bat for a pet. On my last day, she brought her pet especially for me to see. After seeing her pet bat, I realized that not bats are ugly. Her bat was so cute, only the size of your fist! It didn’t have a pig-snout. It looked more like a cute, dark brown, furry mouse with wings. She let me hold the bat and I fed him worms. I fell in love with the bat, although he farewelled me by poohing and peeing on my clothes. I think he didn’t like my cold-blooded, reptile-ish hands much. One man told me that my hands were like cold-blooded reptiles, after shaking hands with me. The people I have told you about are just tiny pieces of the picture. There was an old lady with snow-white hair who was actually a cool
dude! She said some funny things. Many people, especially Rob and his friends liked her and they liked to tease her. Once, she told me that the boys (Ron and his friends) were morons. She often seemed suspicious when people communicated with me through writing as if she thought that they were talking about her. She narrowed her eyes into slits; her lips pursed as she tried to peer over their shoulders and read what they wrote. My work experience felt like three-days rather than one week and it really changed the way I thought people in the work force. I thought they would be a bit boring, formal and polite. But I’m glad to say that I was totally wrong. They taught me what having a passion really means. I liked the relaxed work environment there; however I probably would not work in the environmental science area as I think my real passion is somewhere else, maybe in marine biology.
MY EXPERIENCE AT 20TH DEAFLYMPICS Melbournian weather had been crazy. One minute, it was sunny and clear blue sky. Next minute, it was windy and rainy. When more than 3,500 athletes began arriving for the opening ceremony, the Melbournian weather welcomed them with wind and rain. However, that didn’t dampen their spirit. The athletes from 78 countries had their cameras clicking away. They were supposed to stay within their groups but I guessed they were too excited. I felt the same as them, eager to meet the new people. At last, our happy spirit influenced the weather and the rain stopped. It did not rain during the whole opening ceremony. Phew! I had so much fun volunteering at the Deaflympics. I did not mind working for eight and a half hours a day. My role was information services and so I had to do ushering, checking tickets and providing information. I did not care about having to stand for a quite long time while working. This was because it was worth it! I received more than I gave. I got to meet many interesting people from various countries. I got to watch many sports for free! I got to learn cultures and new signs. Most importantly, I got to have a lot of wonderful memories and surprises! The first thing that surprised me was the nice and friendly people I met through the day. I thought people would ignore the volunteers. Surprisingly, I was wrong! Some spectators and athletes were really
nice. They smiled, waved and patted their hands on my shoulder as they passed me. It was like they were acknowledging my work. The next day was even better. They began to talk with me when they saw my familiar face again. Soon, I made many friends. I realized, to make friends, you had to be friendly by smiling or saying “Hi!” first. At night, it got more fun! Federation Square, a popular place for the Deaf to gather together, was where I usually went when I finished my shift. It seemed that everywhere I went, I always bumped into deaf people – in the trams and on the streets. And we always chatted; it didn’t matter if we had not met before. I thought it was because we all knew that we shared one thing in common – Deafness. Each person I met, I had special memories of them. All of them had different personalities which made each memory unique. Italians were hard to forget because they were absolutely hilarious. They constantly teased and joked. Latvians loved to mock at Australian sign language because they used two hands for the alphabet. An Austrian, who translated wrongly on purpose, drove me and my Aussie friend mad. South African swimming relay team climbed on the first place for a joke before receiving their silver medals! Easy going Croatians were famous for their dancing ritual after winning a match. A friendly Hungarian taught me a few words in his language – “Szia!”, that’s “Hello!”. A lovely Japanese lady who seemed she would keep smiling forever taught me how to sign good morning, good afternoon and good night in Japanese sign language. There were so many more. I could not write all of those down. I would keep these memories safe and never would I forget them. I also got souvenirs – Austrian and Malaysian T-shirts from the swimmers! I did not get this kind of souvenirs when I was in Rome for Deaflympics 2001. Probably because I was a shy little girl then. Now, hanging on the wall next to my bed are the badges, my accreditation pass and my favorite Deaflympics photos. At the closing ceremony, being a volunteer, I had the privilege to be in the parade while the spectators were stuck sitting behind the fence. I have only one complaint about the Deaflympics. It was too short! I really wish it could go on longer, like a month. Time really flew fast during the Deaflympics. I could not believe it was over. But I do feel very lucky to have a great experience at the Deaflympics. It is probably the most awesome time in my sixteen years.
5. PERJUANGAN YANG TIDAK PERNAH BERAKHIR
Hasil VCE (Victorian Certificate of Education) yang gemilang dari Erika membuat kami lega dan sangat puas. Namun di sisi lain kami juga
tidak menyangka, bahwa pintu tidak selamanya terbuka untuk Erika, karena prasangka atau citra yang negatif dari label “tunarungu”. Erika memutuskan untuk kembali ke Singapura meneruskan pendidikan tingginya. Kami memang sudah habis-habisan dari segi keuangan, karena membiayai ketiga anak-anak kami sekolah dan kuliah. Eric anak kami yang pertama memperoleh gelar “Bachelor of Science”, “Bachelor of Medicine and Bachelor of Surgery” dari the University of Melbourne. Saat ini ia sedang mengambil training spesialisasi “otolaryngology head and neck surgery”. Astrid anak kami yang kedua memperoleh “Bachelor of Information System” dari the University of Melbourne dan “Master of Early Childhood Education” dari RTRC Wheelock University. Erika menyelesaikan SMP dan SMA nya di MLC sekolah yang mahal dan bergengsi di Melbourne. MLC kami pilih karena ada layanan bagi kaum tunarungu di sana. Mata pelajaran favorit Erika adalah “visual komunikasi”, karena di sini dia bisa berpikir ”out of the box”, menciptakan sesuatu yang kreatif dan original. Gurunya juga mengatakan bahwa Erika mampu mengekspresikan ide dan imajinasinya ke dalam bentuk design atau seni berstandard tinggi. Dia juga bisa berpartisipasi penuh dalam diskusi kelompok, mendiskusikan ide dan konsepnya serta memberikan saran-saran ke siswa lainnya. Gurunya terkesan dengan produksi yang dihasilkan Erika dalam VCE art folionya, di mana idenya unik namun diungkapkan secara jelas dan menarik. Menggambarnya juga baik, menunjukkan ketrampilan tingkat tinggi. Secara teoritis dia juga mampu memahami dan menganalisa “artworks” dan ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan Erika. Pemilihan studi “visual komunikasi” juga menjadi adu argumentasi bagi kami dengan Erika. Sejalan dengan minat Erika yang bertumbuh di bidang ini dan komitmennya untuk mendalami bidang ini sejak kelas 11 (2 SMA), membuat konsentrasi terhadap pelajaran matematika berkurang. Prestasi matematikanya berada “di bawah” (25 % terendah) di kelasnya. Komentar gurunya yang disampaikan dalam diskusi dengan Astrid, kakaknya menyatakan bahwa Erika sering membuang waktu dan terlihat “stress” mengerjakan tugas dengan “batas waktu”. Dasar-dasar matematika, metode matematika mana yang harus dipilih, belum dikuasainya dengan lancar atau dia kurang bisa mengaplikasikannya, artinya Erika perlu banyak berlatih, berlatih dan berlatih. Dia harus menguasai ketrampilan ini “by heart”. Erika juga terkesan masih asing menggunakan calculatornya . Sekali lagi, ini hanya bisa ditingkatkan dengan latihan. Erika harus banyak latihan mengerjakan soal-soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Saya tahu guru ini selalu menyediakan waktu khusus untuk Erika setiap dua minggu, untuk memeriksa metode berpikir Erika dalam mencari metode penyelesaian yang tepat.
Saya yang mengetahui kapasitas kecerdasan Erika yang tinggi menjadi begitu emosionil menerima kenyataan ini. Kalau dulu dia bisa berada di top 10 % sehingga disarankan masuk program “akselerasi”, sekarang dia berada di 25 % paling bawah dan membutuhkan bantuan tutor untuk memberikan les tambahan supaya bisa lulus. Apalagi dengan dia memprioritaskan pelajaran visual komunikasi, saya merasa dia makin tidak bisa diarahkan. Rumah dan kamar menjadi sangat kotor dan berantakan karena Erika mengerjakan tugas-tugas atau projek visual komunikasinya. Namun, guru matematika Erika masih mempunyai keyakinan dan percaya bahwa Erika bisa mengatasi hambatannya maka saya kembali diasah untuk lebih sabar dan berbesar hati menerima pilihan Erika (visual komunikasi) dengan konsekuensi bahwa nilai matematikanya tidak akan sebaik seperti apa yang saya harapkan. Dengan Erika bersekolah di MLC, wawasannya mengenai “arts” bertambah luas. Di MLC ditawarkan berbagai mata pelajaran arts, seperti di kelas tujuh dan delapan Erika bisa memilih melukis, menggambar, “print making”, keramik/sculpture atau kerajinan kayu. Di kelas sembilan dan sepuluh, Erika bisa memilih keramik, fashion dan textiles design, visual komunikasi, melukis dan menggambar, photography, “print making” dan kerajinan kayu. Di kelas 11 dan 12, dia bisa memilih melukis, menggambar dan “print making”, atau “visual communication design” atau ”design and technology – furniture design”, atau ”studio arts – keramik / sculpture” atau photography atau multimedia. Erika juga mengikuti “design talk” yang diselenggarakan oleh ”The Melbourne Arts Group”, dia banyak melihat pameran dan menganalisa berbagai karya eksibisi yang dipamerkan. Semua ini mempengaruhi karya Erika, sehinngga dia menunjukkan hasil yang berstandar tinggi di bidang visual komunikasi. Mata saya akhirnya dibukakan sewaktu saya membaca soal ujian VCE arts Erika, yang soalnya antara lain:
”Bandingkan dua karya kesenian dari Bernadino Licinio, The adoration of shepherds, c.1535, oil canvas, Hamilton Art Gallery, Herbert and May Shaw Bequest dengan William Hogarts, A Rake’s Progress, 1735, engraving, Hamilton Art Gallery dalam dua kualitas formal di bawah ini (pilih dua) : garis, bentuk, tekstur, warna, ”movement”, ”komposisi surface and depiction of space” serta ”modelling and tonal structure.” Ini baru soal pertama, dan saya makin “terbuka” setelah mengakhiri membaca semua soal ujian VCE-Arts Erika. Kalau tadinya saya memandang sebelah mata pada bidang “arts”, maka sekarang saya mulai bisa menghargainya. Soalnya terasa sulit bagi saya,
membutuhkan pengetahuan, pemahaman, analisa, sintesa, evaluasi yang mendalam untuk bisa menjawabnya. Misalnya, dengan pertanyaan di bawah ini : Bagaimana pendapatmu mengenai karya “Bunjil” yang diletakkan di Melbourne’s Docklands, apakah ini dapat dianggap sebagai “public sculpture” yang layak? Bagaimana responsmu terhadap ide komentar yang disampaikan oleh tiga orang seperti yang tertera dalam surat kabar? Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, pasti membutuhkan pemikiran yang mendalam. Siswa harus bisa menyampaikan sudut pandang mereka dalam menganalisa komentar-komentar tersebut. Jawaban yang baik harus “dalam” dan sama sulitnya seperti mencari metode yang tepat untuk menyelesaikan soal matematika. Karena itu saya bisa mengerti Erika juga menghabiskan banyak waktu untuk bisa berprestasi di bidang “arts”. Referensi yang luar biasa dari guru-guru Erika ditambah hasil gemilang VCE nya, tetap tidak menggoyahkan keputusan orang-orang yang berwenang di perguruan tinggi yang ditujunya di Singapura. Erika mendaftar di dua college, namun di salah satu college, Erika diharuskan mengikuti kursus bahasa Inggris selama 120 jam dan mengikuti ujian bahasa Inggris sebelum ia bisa diterima. Pernyataan ini seperti sambaran geledek di siang hari bolong bagi saya. Kembali saya tidak bisa menahan tangis, dan kepala langsung menjadi pusing. Kakaknya yang saat itu sudah menjadi dokter dan bekerja di salah satu rumah sakit di Melbourne menulis surat yang cukup tajam mempertanyakan hal ini. Dengan prestasi Erika di Singapura (sampai tahun 2000) lalu meneruskan studi selama enam tahun di Australia yang berbahasa “ibu” bahasa Inggris, di mana hasil ujian akhirnya menduduki top delapan % se Victoria dan mendapat “distinction” untuk bahasa Inggrisnya, tetap tidak diakui dan diharuskan mengikuti kursus bahasa Inggris selama 120 jam. Selain biaya dan membuang waktu, ini sama saja seperti orang Singapura yang sangat lancar berbahasa Mandarin harus mengikuti kursus bahasa Mandarin. Tidak ada masalah bagi kami kalau Erika harus mengikuti test bahasa Inggris, tetapi keharusan mengikuti kursus selama 120 jam membuat kami yakin bahwa hal ini adalah diskriminasi bagi Erika karena ketunarunguannya. Di kedua college tersebut, Erika juga melalui wawancara dan menunjukkan hasil port folionya. Di college yang mengharuskan Erika mengikuti kursus, salah satu pewawancaranya cukup terkesan dengan port folio yang Erika hasilkan. Ini ditunjukkannya sewaktu jam istirahat dia keluar mendekati Erika dan menawarkan untuk bekerja “free lance”. Tawaran yang menarik, namun akhir dari proses yang penuh
perjuangan ini tidak menggembirakan. Erika tidak diterima di tingkat satu sebagaimana seharusnya, tetapi ia diterima di tingkat “foundation”, yang setara dengan kelas 12. Namun di college yang kedua Erika diterima, sehingga Erika kuliah di situ. Erika sekarang lebih kuat secara mental menghadapi perlakuan yang tidak adil dari masyarakat. Dia malah yang menenangkan saya dan menghibur saya. Kepribadian yang jauh lebih matang dibandingkan dengan enam tahun silam di mana Erika adalah seorang remaja pemalu yang tidak ekspresif menjadi remaja yang tenang, mampu mengendalikan diri dan tahu kapan dan bagaimana harus bereaksi terhadap beragam perlakuan masyarakat. KEMBALI KE SINGAPURA Erika kembali ke Singapura akhir tahun 2006. Dia tahu apa yang ditujunya, minatnya sudah jelas, dia akan belajar ”visual komunikasi dan desain”. Selama dua tahun di kelas 11 dan 12 Erika mengambil mata pelajaran itu. Demikian juga bahasa Inggrisnya semakin mapan. Sampai di Singapura, dia menjadi tutor di YWCA, dia juga menjadi guru private bahasa Inggris untuk teman tunarungu yang tiga tahun lebih tua darinya. Semuanya dijalankan dengan motivasi untuk mengangkat derajat kemampuan sesamanya. Erika pernah menganalisa dan menulis pendidikan anak tunarungu di blognya. Saya sarikan tulisannya seperti di bawah ini. Pendidikan di Singapura menitik beratkan pada hasil akademik. Hasil inilah yang menentukan masa depan seseorang. Orang-orang Singapura juga sangat fanatik pada tuition untuk mempersiapkan ujian karena hasil ujian sangat menentukan. Dengan hasil ujian kelas 6, murid akan dimasukkan ke jurusan di SMP sesuai dengan hasil ujian tersebut. Ada ”ekspress, normal akademik dan normal tehnikal”. Hal ini seolah-olah mencerminkan status atau tempat seseorang di masyarakat. Yang “ekspress” berarti pandai. Yang “normal akademik” adalah siswa yang sedang-sedang atau rata-rata, sedang mereka yang di “normal tehnik” akan merasa sebagai siswa golongan bawah, yang tidak pandai atau tidak inteligen. Persepsi ini juga berlaku untuk Universitas. National University of Singapore (NUS), Nanyang Technology University (NTU) dan Singapore Management University (SMU) dianggap universitas yang bergengsi, sementara beberapa perguruan tinggi lain dianggap college yang menerima sisa-sisa yang bisa saja calon mahasiswanya tidak lulus dalam bahasa Inggris. Bidang “art” memang masih dianggap kelas yang lebih rendah atau tidak bergengsi di Singapura. Erika ingin
mengambil “visual komunikasi dan desain”, untuk itu pilihannya hanya ada di universitas yang dianggap kelas dua tadi. Masyarakat juga mempercayai bahwa anak-anak tunarungu SELALU memiliki kemampuan bahasa Inggris yang lebih rendah atau jelek. Karena itu dilemma yang dialami Erika terjadi. Dengan prestasi yang gemilang di sekolah bergengsi di negara Australia, di mana ujian akhir bahasa Inggrisnya A+, kemampuannya masih diragukan dan dia masih diwajibkan ikut kursus selama 120 jam. Label ini begitu kuat mempengaruhi Erika, sehingga pada mulanya diapun percaya bahwa TIDAK MUNGKIN untuk menyamai kemampuan anak “mendengar” dalam bahasa Inggris. Di Australia, pendidikan di SMP atau SMA, tidak dipecah-pecah seperti di Singapura. Mereka menawarkan mata pelajaran yang banyak dan bervariasi, dan mendorong siswa untuk menjajaki dan memilih mata pelajaran apa saja yang diminatinya untuk dipelajarinya. Oleh karena itu Erika bisa belajar mulai dari kerajinan kayu, keramik, drama, ocean geography, visual art, visual komunikasi, French Pattiserie dan sebagainya, selain mata pelajaran bahasa Inggris, matematika, kimia, biologi, science. Di sinilah apa yang diyakini bahwa anak tunarungu tidak bisa menyamai atau mengalahkan anak mendengar dalam bahasa Inggris “dipatahkan”. Teman-teman Erika, guru dan interpreter Erika begitu yakin bahwa Erika akan mendapat lebih dari 90 atau A dalam ujian akhirnya. Mereka menumbuhkan rasa percaya diri Erika bahwa TIDAK MUSTAHIL untuk menyamai bahkan melampaui prestasi anak “mendengar”. Tetapi banyak kali pada kenyataannya anak tunarungu memang tidak menunjukkan kemampuan membaca, menulis atau berbahasa seperti seharusnya. Erika mengatakan dalam analisisnya, ini disebabkan oleh :
1. Orang tua. Bayi dan anak berusia nol sampai lima tahun memiliki daya ingat, daya berpikir dan kemampuan belajar yang luar biasa. Bahasa memegang peran penting. Oleh karena itu sejauh mana orang tua terus menjalin komunikasi dengan anak tunarungu tidak hanya secara oral tetapi juga dengan total komunikasi yang merupakan bahasa alamiah mereka akan menentukan keberhasilan penguasaan bahasa anak. Lebih baik bilingualism (bahasa isyarat sebagai bahasa “ibu” atau bahasa pertama) dari pada monolingualism, dan penelitian membuktikan bahwa bahasa isyarat tidak memperburuk penguasaan bahasa Inggris seorang anak.
2. Guru. Bagi Erika, guru harus menguasai bahasa isyarat kalau ingin menjadi guru anak tunarungu. Pemahaman dan penguasaan bahasa Inggris akan lebih mudah bila guru menjelaskan melalui total komunikasi dan atau memakai pendekatan multi sensori dalam pengajarannya. 3. Akses mendapatkan informasi yang kurang memadai. Anak tunarungu lebih mengandalkan visualisasi, oleh karena itu program televisi dengan bahasa tulisan di bawahnya sangat penting agar anak tunarungu tidak ketinggalan informasi. Kalau tidak ada “subtitle” tentunya anak harus mengandalkan pada buku-buku atau internet untuk dibaca, karena dari sinilah mereka baru mendapatkan informasi. Di Australia, hampir semua saluran dan program televisi bahkan warta berita ada teks bahasa Inggris di bawahnya. Tidak heran kalau akhirnya Erika bisa mengalahkan banyak temanteman mendengar dan mencapai hasil tertinggi untuk bahasa Inggris yang bukan bahasa “ibu”nya. MENGISI WAKTU MENUNGGU KULIAH. Selama enam bulan menunggu mulai kuliah, Erika mencoba mencari pekerjaan, di samping menjadi tutor. Ternyata juga tidak mudah. Beberapa bahkan tidak pernah memanggil Erika untuk diwawancarai. Erika hampir putus asa. Kalau pun diterima, ternyata tempatnya jauh padahal bayarannya minim. Setelah beberapa lama mencoba, akhirnya Erika diterima bekerja di restoran Seoul Garden. Kerjanya cukup berat, dan membuat Erika sangat letih dan pernah jatuh sakit. Namun dibalik itu semua, Erika memperoleh pengalaman berharga, karena dia mengawali pekerjaannya dari bawah. Fisik dan mental yang sudah cukup kuat diasah melalui karirnya di renang dan hidup jauh dari orang tua di Melbourne, membuat Erika mampu bertahan bekerja di restoran Seoul Garden. Aktivitas lain adalah menonton film dokumenter, film cerita atau DVD. Beberapa festival seperti festival film animasi juga tidak dilewatkannya begitu saja. Kadang dia pergi menonton bersama teman-temannya, kadang sendiri dan hanya sesekali bersama dengan saya. Masa ini memang adalah masa di mana Erika lebih senang pergi bersama teman-temannya dari pada keluarganya.
Beberapa kali Erika menulis naskah cerita atau drama. Salah satunya adalah “War of the worlds”. Ini rencana “draft” yang dibuat Erika, sesudah itu dia menuangkannya dalam bentuk “script”. DRAFT PLAN FOR “WAR OF THE WORLDS” Issues in the world we are living : ----- Revenge ----- Forgiving It’s hard not to explode and take “an eye for eye” when someone backstab, spread awful and false gossip about you or is simply mean to you. Sometimes it feels good to take revenge just to serve them right. But is revenge really necessary?” Love your enemies”. Storyline : Kate and Sarah have been best friends since primary one. They share their deepest secrets with each other, cry and laugh together. As they grow up, they grow closer and closer. Ten years later, one thing changes them forever. Their friendship shatters into pieces. Sarah sees a beautiful dress that she longs for. But it is expensive so she decides to steal it. Kate persuades her not to do it. Sarah reluctantly agrees. Kate receives an sms from her new boyfriend and busies herself with sms ing him. Sarah sneakily snatches the dress and puts it into Kate’s school bag. They walk out of the door. Door bell rings. Startled, Kate stops and Sarah disappears. Police demands her to open the bag. Kate opens her bag and she has the biggest shock in her life. Inside her bag is the dress. She broke down, crying that she is innocent. Police doesn’t believe her. Her parents don’t believe her and they punished her harshly. Her boyfriend dumps her. In the room, alone. Full of anger, Kate takes a knife and stabs it in on the photo of her socalled best friend. Satan appears. He encourages her to have her sweet revenge. “You deserve it”, he tells her. He takes a remote from his pocket. Clicking on the remote, he shows her the fantasies of having revenge. ----- Gangster Queen. Punching and bashing Sarah up. ----- Karate
----- Assasin. Sleek, smart and cunning. Etc. Kate grins. Satan : ”Which would you like? Option A, B, C or D?” Angel appears. He grab’s Satan’s remote. And he proceeds to show what would happen after each short “film”. Consequences! Kate realizes that revenge is no use. It will hurt her even more, and also people in her life. Satan fights, persuading her that revenge is sweet. Sarah is mean to her. Must fight back. Kate sways…… Angel simply puts a comforting hand on her shoulder. Kate feels a bit calm. Kate knows what to do. Forgive Sarah. She tells Satan to go away. Satan refuses. Stubbornly sticking with her, poking at her, pulling her, moving around her, trying to squeeze in between Angel and Kate. Angel looks at Kate and show “prayer” sign. Kate nods and prays. “In Jesus’ name” Satan becomes very frightened at the sound of “Jesus”. He runs away. Kate sleeps. The next day. Police comes in. They tell her that she is innocent. Video shows that it is her friend, not her. She is free.
6. JATI DIRI ERIKA
Erika lahir di Indonesia ditengah-tengah keluarga yang selalu menggunakan bahasa Indonesia. Pindah ke Singapura pada usia empat tahun sembilan bulan dan menyelesaikan pendidikan SD nya di Singapore School for the Deaf, sekolah luar biasa khusus anak tunarungu. Walaupun sudah tinggal di Singapura, kami sekeluarga tetap menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Masa remaja Erika di SMP dan SMA dijalankan selama enam tahun di Australia. Bagi Erika dia merasa lebih nyaman dan bangga sebagai anak tunarungu yang dibesarkan bukan hanya dalam tiga budaya melainkan empat budaya, yaitu Indonesia, Singapura, Australia dan Tunarungu. Dia merasa lebih bahagia berada ditengah-tengah sesamanya. Dua puluh menit bersama dengan teman-teman tunarungu serasa seperti lima menit. Dan humor anak tunarungu jauh lebih lucu daripada anak “mendengar”. “Percayalah!”, demikian kata Erika dengan yakin. Erika juga pernah mengungkapkan dalam catatan hariannya bahwa dia merasa kurang senang sekarang kalau diajak pergi makan bersama dengan keluarga. Erika sering merasa tidak menjadi bagian dari keluarga. Erika menganggap kami hanya menerjemahkan intisari atau kesimpulan dari apa yang dipercakapkan, seolah-olah menganggap Erika bisa menarik kesimpulan atau memahaminya sendiri. Ini adalah pergumulan yang senantiasa dialami oleh keluarga anak tunarungu. Kami selalu berusaha untuk saling bergiliran menerjemahkan percakapan-percakapan kami kepada Erika, namun kami juga manusia yang tidak sempurna. Ada banyak kali kami merasa lelah, dan kami merasa tidak bisa menikmati lagi suatu percakapan karena harus mengulanginya untuk Erika dan sering kali kami juga menjadi emosi kalau Erika tidak sabar dengan menuntut kami pada saat itu juga untuk menerjemahkannya atau mengulanginya. Memang dibutuhkan empati dan toleransi yang besar dari setiap anggota keluarga. Karakter saya dan Erika juga berbeda. Erika memiliki karakter “popular sanguine”, karakter yang ekspresif, banyak energi, senang “fun” dan petualangan, optimis, selalu terlihat “menarik” bagi orang lain, “outgoing”, namun di sisi lain sering lupa, banyak omong, tidak terorganisasi. Sementara saya berkarakter “perfect melancholy”, cenderung introvert, lebih diam, banyak berpikir, selalu ingin sempurna, lebih berorintasi pada tugas, cenderung pesimis dan kritis. Buat saya, rapih dan teratur serta terorganisasi, merupakan prioritas, sementara Erika lebih banyak lupa, berantakan dan melihat di situlah seninya kalau dia kalang kabut mencari kaos kaki atau buku-bukunya.
Bagi saya, Erika lebih banyak cengegesan, sementara saya ingin keseriusan. Erika ingin selalu berada di luar rumah, sementara bagi saya, rumah adalah “jiwa” saya. Saya sering merasa sedih dan kesal melihat rumah berantakan. Dalam persepsi Erika, seberapa bersih dan teraturnya dia, tetap di mata saya akan terasa “belum cukup” bersih dan teratur. Sifat pelupanya, seperti mematikan AC, “water heater” atau lampu sangat menyebalkan, namun bagi Erika itu membuat rumah lebih “hidup” dan “bervariasi”. Suasana rumah yang tenang dan damai, dirasa sangat depresi bagi Erika. Erika pernah menggambarkan sepuluh ciri-ciri kepribadian atau sifatnya sebagai berikut : 1. Senang berenang. 2. Memiliki humor yang tinggi. 3. Keras kepala (kepala batu). 4. Berantakan. 5. Setia. 6. “Easy going” (santai, cuek). 7. “Outdoor person” (senang ke luar rumah) 8. Senang tidur larut malam dan bangun sianng. 9. Pelupa. 10. Tenang. Sebagai ibu, saya tentu harus belajar “menerima” keberadaan Erika. Dia memiliki karakter dasar atau “warna” yang berbeda dengan saya. Kalau saya tetap bersikokoh untuk membentuk dia ke arah yang saya kehendaki, maka kami pasti akan hidup dalam suasana terasing atau tegang, ada “jarak”, karena kami saling “mengeraskan hati” menganggap diri atau karakter kami lebih baik dan tanpa kami sadari, kami saling “melukai”. Dengan saya mulai memahaminya, mencoba melihat dari sudut pandangnya, maka Erika juga mulai mencoba berempati dan menghargai pendapat atau opini saya dalam diskusidiskusi kami. Erika pernah mengungkapkan dalam salah satu suratnya, seperti di bawah ini:
“I tried to talk to you so that we can work out the problems, discuss on things so that I can understand you, how your view the things. But you seem not willingly to talk to me, preferring to keep quiet. Okay, maybe this letter, I can try to work out things with you. Sometimes I wonder – maybe you didn’t know that I cried many times when you were away. I had tough time. I didn’t e-mail you because it hurts so much. It was hard to e-mail you because I’d cry. So I didn’t email you much.
I am struggling. I’m struggling with God. I’m struggling with myself. I put on a confident façade but I’m actually struggling inside. And you see me as a rude girl. Yes, I know I’ve been rude to you. Sometimes I feel not motivated especially with mathematic and chemistry because I feel stupid. Sometimes I wish and hope that you’d support, encourage me saying that “I can do it”. I don’t know what else to say. Because I feel like you hate the way I am today. You hate how I’ve become the person after being in Australia. I’m not perfect, mama! I make mistakes. Please understand that I’m not trying to hurt you. All I want is your hug and a knowledge that you are alright with who I am.” Sewaktu membaca surat di atas, saya merasa menyesal. Saya kembali menyadari karakter “sanguine” membutuhkan banyak afeksi, penerimaan dan pengakuan agar dia bermotivasi, sementara saya merasa bahwa kapasitas kecerdasan Erika seharusnya dia mampu berprestasi di bidang matematika dan kimia. Konflik semakin tajam, karena saya menganggap karakternyalah yang membuat dia tidak terorganisasi, tidak focus ditambah dengan anggapan saya bahwa bidang “arts” adalah “kelas dua” bila dibandingkan dengan matematika atau ilmu pasti. Saya juga tidak rela, kalau Erika gagal, karena kami telah habis-habisan mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk pendidikannya. Semua energi, waktu, tenaga dan perasaan sudah kami kerahkan dan fokuskan untuk pendidikan anakanak. Tanpa saya sadari, akhirnya saya lebih banyak memojokkan Erika, daripada merubah persepsi saya atau lebih sabar memberikan dorongan emosi yang dibutuhkannya. Apalagi seperti yang diakuinya sendiri bahwa sifatnya keras kepala, pelupa dan berantakan, makin membuat saya mudah emosi. Sewaktu Erika akan pulang dari Australia, Eric, kakaknya, menulis email kepada saya dan suami. Eric mempersiapkan kami untuk bisa menerima Erika apa adanya. Beberapa kali Erika mengungkapkan bahwa kami tidak atau belum bisa menerima Erika apa adanya. Kami masih terus mendorong Erika untuk menggunakan suaranya dalam komunikasi verbal. Sementara itu kami diantisipasi akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri kami dengan Erika, karena Erika yang sekarang adalah Erika yang penuh percaya diri, bangga akan jati dirinya sebagai anak tunarungu.
Eric mengatakan bahwa Erika pergi sambil meninggalkan surat yang menyatakan terimakasih dan permohonan maafnya untuk masa enam tahun di Melbourne. Dia meninggalkan Australia dengan hati yang sangat berat. Eric juga mencoba menjelaskan bahwa Tuhan memiliki rencana yang besar bagi kami sekeluarga, kami sekarang adalah keluarga dengan latar belakang budaya yang berbeda. Eric bangga memiliki orang tua yang berkorban demi anak-anaknya, sesuatu yang dia tidak cukup dapat mengekspresikannya dengan kata-kata. Erika tetap akan menjadi anak yang banyak memberikan “tantangan” bagi kami, dan kami tetap harus “berkorban” demi Erika, tetapi Eric percaya bahwa Tuhan akan memampukan kami untuk menjalaninya. AKTIVITAS ERIKA LAINNYA Setelah tiga bulan di Singapura, Erika bersama teman-temannya dari kelompok ”Ministry of Hearing Impaired” gereja Wesley Methodist mengadakan kunjungan ke sekolah tunarungu di Pilipina selama lima hari. Interaksi dengan sesamanya juga dengan anak-anak mendengar yang ada di sekolah itu membawa kesan yang tak terlupakan. Di sini pun anak-anak tunarungu dan anak-anak “mendengar” yang juga bersekolah di situ sangat aktif berinteraksi dengan Erika. Erika mulai menyadari kecintaannya pada pendidikan yang mulai bertumbuh dalam dirinya. Pengalaman lain selama lima hari ke Hongkong mengamati “post production” dari pembuatan film iklan. Erika belajar dengan melihat pakar mengedit film iklan. Ini meningkatkan pengetahuannya dan Erika memperoleh pengalaman baru dalam proses pembuatan film. Hal ini memperluas wawasannya dan bisa menjadi bekal untuk kuliahnya. “Adventure camp” di Kualalumpur adalah kegiatan lainnya yang dilakukan selama enam hari antara mahasiswa Nanyang Technology University (NTU) dengan remaja tunarungu. Trekking, rafting, tidur di gua, dan berbagai kegiatan ”outbound” lainnya dilakukan dengan semangat. Ada kejadian yang mengagetkan ketika Erika tanpa sepengetahuan kami memesan tiket untuk berangkat ke Thailand, Kamboja dan Vietnam sendiri dari uang hasil kerjanya di restoran Seoul Garden. Memang dia akan bertemu dengan anggota kelompok tour lainnya di Thailand, tetapi semua persiapan dan perjalanan menuju Thailand harus dijalaninya sendiri. Siapa teman-teman lainnya dalam kelompok tour itu baru akan diketahui di Thailand. Itulah Erika, “I choose the love of travelling over the trust my family have in me”
Astrid kakaknya sangat tajam mengkritik Erika, dan berkata “Kamu kekanak-kanakan dan tidak matang!” Eric, juga menyebut “Kapan kamu bertumbuh?” “Apakah kamu tidak menyadari betapa kuatirnya mama dan papa karena kamu pergi sendiri?” “Apakah itu bukan egois dan tidak matang, karena memikirkan diri sendiri dan tidak mempedulikan perasaan orang lain?” Tetapi Erika tetap gigih memutuskan untuk berangkat! SEBELAS HARI DI THAILAND, KAMBOJA, DAN VIETNAM Erika bertemu dengan anggota kelompok tour lainnya di Thailand, empat dari Inggris dan dua dari Australia. Mereka adalah ayah dan anak perempuannya (dari Inggris), lalu dua perempuan yang sudah bersahabat selama 18 tahun (dari Inggris) dan dua kakak beradik lakilaki dari Australia. Bayangkan, hanya Erika yang pergi sendiri, satusatunya dari Singapura dan tunarungu. Kekuatiran saya apakah Erika bisa bangun sendiri dan tidak tertinggal? Sebagai anak tunarungu bagaimana membangunkannya? Dia tidak akan mendengar “morning call”, dan dia tinggal seorang diri di kamarnya. Tetapi ternyata hal yang kami kuatirkan tidak pernah terjadi. Erika langsung cepat akrab dengan enam orang ini. Dia berkata biasanya ada orang yang senang menyendiri, tidak bisa bergaul, ada pula yang masa bodoh, tetapi ada yang memang berminat untuk mengenal dan memahami orang lain. Erika senang karena keenam teman-temannya ini termasuk golongan yang terakhir. Mula-mula Erika berkomunikasi secara tertulis, dalam satu hari, satu buku habis. Erika merencanakan untuk membeli dua buku untuk berkomunikasi keesokan harinya. Bahkan ada yang bergurau mengusulkan sebaiknya Erika membeli enam buku untuk setiap orang. Tapi lucunya, hari kedua, satu bukupun tidak habis. Ternyata mereka semua minta diajarkan bahasa isyarat, sehingga tidak diperlukan lagi catatan untuk menulis. Begitu antusiasnya mereka belajar, sehingga timbul niat iseng pada diri Erika. Ada yang menanyakan bagaimana mengatakan, “Saya tampan” dalam bahasa isyarat, tetapi Erika justru mengajarkan “Saya jelek/buruk rupa”. Sewaktu dia menunjukkan kebolehannya berbahasa isyarat :”Saya tampan” dengan bangga, Erika lalu mengedarkan catatan kecil ke teman sebelahnya, yang mengatakan bahwa dia tertipu, karena yang didemonstrasikannya sebenarnya berarti “Saya jelek”. Keenam teman-teman Erika tertawa terbahak-bahak. Erika begitu terharu dan tersentuh, karena mereka semua betul-betul berusaha untuk mempelajari bahasa isyarat agar bisa berkomunikasi
dengan Erika. “I’m very touched by their effort. They made unbelievable effort to learn the signs to talk to me ”, demikian kata Erika. Waktu berjalan begitu cepat. Erika ingin mempelajari keunikan Thailand, cara hidupnya, kebiasaan-kebiasaannya, kebudayaannya. Dia memang tidak suka ke pusat belanja, karena toko-toko seperti ini sudah dipengaruhi negara barat. Dia lebih senang yang autentik asli Thailand seperti mengunjungi pasar malam di mana dia bisa mencoba berbagai makanan khas Thailand, dan suasananya pun khas Thailand. Sayang Erika hanya dua hari di Thailand. Erika juga pernah akan ditipu sewaktu naik taksi. Pengemudi taksi tahu bahwa Erika adalah orang asing, dia memasang tarif tinggi. Erika sudah melakukan penelitian sebelumnya, dia tahu berapa biaya yang seharusnya. Dia juga minta dituliskan dalam bahasa Thai tempattempat yang akan ditujunya. Sebelum berangkat dia juga meminjam buku perpustakaan mengenai negara-negara yang akan dikunjunginya. Dengan tegas, dan mata yang menatap tajam kepada pengemudi, Erika menolak dan menuntut tarif yang selayaknya. Itulah Erika yang mengerti tips menolak dan menawar dengan ekspresi muka dan bahasa tubuhnya. Perjalanan dilanjutkan ke Kamboja selama tujuh hari. Erika juga mengunjungi sekolah kecil di pedesaan di mana setiap anggota rombongan diberi kesempatan untuk melatihkan bahasa Inggris kepada anak-anak yang tergolong kurang beruntung ini. Kebanyakan dari mereka anak yatim atau yatim piatu dan miskin. Erika berdiri di belakang, merasa tidak mampu dan kuatir karena bicaranya yang tidak jelas dan sulit dimengerti, namun walaupun Erika berusaha menyembunyikan diri, mayoritas anak-anak ini lari menghampiri Erika. Mereka menanyakan nama Erika, apakah Erika sudah punya pacar dan seterusnya. Walaupun Erika mengatakan, “saya tuli”, mereka tetap antusias bercakap-cakap dengan sekali-sekali dibantu bahasa tulisan. Interaksi yang menarik sehingga kekuatiran Erikalenyap. Mereka tidak henti-hentinya menarik tangan Erika, tidak peduli Erika tidak bisa mendengar. Bagi Erika, liburan bukan untuk bermalas-malasan, tetapi ia ingin berpetualang memahami budaya mereka. Misalnya mengapa gambar “Angkor Wat” ada di mana-mana, di bendera, di botol bir, di kaleng minuman sprite, coca cola, kartupos dan banyak lainnya. Untuk benarbenar bisa memahami, tentu harus bertanya lebih dalam, menggali satu persatu, mengupas lapis demi lapis untuk bisa memahaminya. Itulah yang diinginkan Erika.
Dua hari terakhir dihabiskan di Vietnam. Di sinipun Erika bisa berteman dengan satu wanita yang mengajaknya berkeliling kota dengan motornya. Pengalaman unik karena sesudahnya Erika diajak bertamu dan mampir di rumahnya sambil berbicara dari hati ke hati. Erika mengenal kehidupan orang Vietnam dengan terjun langsung mengikuti gerak irama kehidupan wanita Vietnam itu. Sedih, itu yang dikatakan Erika, karena setelah sebelas hari bersama, di mana Erika merasa sudah “dekat” menjalin relasi untuk mengetahui kehidupan teman-teman dan masyarakat yang dikunjunginya, belajar sejarah masing-masing negara, sudah mendapat beberapa teman asing, akhirnya harus berpisah.
7. KULIAH DAN PERJALANAN SOSIAL DI TAHUN 2007
Menjelang kuliah dimulai, Erika menjajaki bagaimana menyesuaikan diri dengan teman-teman mendengar, tips berkomunikasi dengan
dosen dan mengenal pribadi dan keunikan masing-masing dosen dari mahasiswa yang lebih senior. Karena itu Erika cukup mampu mengikuti kuliah dengan segala tantangannya. Di tengah kesibukan kuliahnya, dia masih bekerja untuk membuat naskah, dan berteater. Tujuannya agar setiap penonton baik yang tunarungu maupun yang mendengar bisa tertawa, menangis, menikmati dan belajar nilai-nilai tertentu melalui penampilan drama tersebut. Dia juga mendesain kartupos, brosur, poster untuk meningkatkan kesadaran terhadap “Yuksam’s biodiversity, ecotourism and conversing the environment”. Erika terpilih melalui seleksi untuk selama 23 hari di bulan Desember 2007 melakukan perjalanan bersama mahasiswa Singapore Management University (SMU) ke Yuksam, suatu desa di pegunungan di India Utara. Inilah yang diinginkan Erika, hidup bersama dengan penduduk di gubuk desa tersebut, makan bersama mereka dengan makanan lokal (tentunya makanan sederhana, ala kadarnya), belajar kebudayaan dan memahami gaya hidup mereka. Bagi Erika tidak masalah tinggal di desa, karena sewaktu Marshmead kelas sembilan di Australia, dia juga hidup selama sepuluh minggu tanpa televisi, tanpa internet. Mandi di sungai atau tidak mandi beberapa hari, bukan masalah bagi Erika.
Sungguh hadiah Natal yang mencengangkan Erika, surprise yang tidak disangkanya, kata Erika, bayangkan 23 hari ke Yuksam dengan gratis. Dalam persiapannya, Erika juga menjadi “deaf protagonist” dalam film dokumenter “Dare to Dream”. Film ini ingin menyatakan pandangan seorang tunarungu dalam melihat aspek kebudayaan orang Sikhim. Selama shooting, Erika mengakui merasa cemas. Tangannya akan bergetar gugup, dan kalimat yang sudah hafal di kepalanya bisa tibatiba lupa atau kosong (“blank”). Beberapa kali shooting diulang, karena gerak gerik atau bahasa isyarat Erika terasa lamban dan canggung. Diapun sering mengganti bahasa isyaratnya dari Signing Exact English (SEE - bahasa isyarat dengan struktur tata bahasa Inggris) ke American Sign Language (ASL - bahasa isyarat tanpa struktur tata bahasa Inggris). Dia merasa lebih fasih dengan bahasa alamiahnya, ASL. Singkat cerita, tampil dengan bahasa alamiahnya mengasah rasa percaya diri Erika menjadi semakin kokoh. Di Sikhim, Yuksam, Erika sempat bertemu dengan wanita tuli bernama Kali, berusia 55 tahun. Di desa ini ada tiga orang tunarungu. Kali tidak pernah pergi ke sekolah, dia hanya berkomunikasi dengan gerak gerik
sederhana sambil menunjuk. Bayangan Erika sebelum bertemu Kali, tentunya dia akan menunjukkan ekspresi muka stress, tidak puas, penuh frustrasi atau kemarahan di lubuk hatinya. Namun kenyataannya justru sebaliknya, Kali tampil begitu tenang, ada damai dalam ekspresi wajahnya. Sambil menunjuk pada rumput, tanaman dan sapi, Erika berkesimpulan, itulah yang dikerjakannya setiap hari. Bagaimana mungkin Kali bisa begitu tenang? Analisa Erika, mungkin Kali beranggapan tidak ada gunanya terus-terusan marah, atau dia mempunyai prinsip, terima dan bersyukurlah untuk apa yang ada atau karena dia hidup di desa terpencil, sederhana, sehingga tidak tahu di luar sana sebenarnya dia dapat belajar dan mendapatkan lebih dari yang sekarang didapatnya. Tentu saja itu hanya asumsi Erika, karena Erika tidak mungkin bisa menanyakannya pada Kali. Kali yang bebas dari rasa cemas, stress atau tangis memberikan impresi mendalam bagi Erika. Orang-orang di desa menyatakan betapa Kali sangat senang dikunjungi oleh sesama tunarungu. Begitu besar pengaruh yang kami bawa sebagai kaum tunarungu yang memperhatikan sesamanya, demikian kata Erika dalam buku hariannya. Diam-diam dalam lubuk hatinya Erika bertekad akan belajar lebih banyak lagi untuk mengetahui dan memahami sesama tunarungu dari negara terbelakang atau negara berkembang. Pengalaman yang berkesan meninggalkan tekad yang dalam. Itulah tahun 2007 yang padat dengan aktivitas bervariasi yang diakhiri dengan pelayanan kemasyarakatan di desa terpencil di gunung India Utara. Pulang dari Sikhim, Erika harus melakukan “post trip community service” selama 100 jam di Singapura. Pada prinsipnya memang Erika harus mengembalikan biaya dan kesempatan pergi ke Sikhim dengan bekerja, misalnya membersihkan pantai, di Indonesia mungkin sama dengan pemulung. Akan tetapi, sekali lagi, tidak ada pekerjaan yang hina di dunia ini dan Erika belajar berempati dengan orang-orang “kecil” sewaktu berfungsi sebagai pemulung. TAHUN 2008 YANG MEWARNAI HIDUP ERIKA Erika tidak pernah berhenti mempunyai keinginan untuk mengetahui apa yang terjadi di lingkungannya, baik di Singapura tempat dia belajar, maupun di seantero dunia. Berbeda dengan teman-teman tunarungu lainnya, Erika ingin selalu terbang tinggi, langit adalah batasnya. Dia selalu haus, dia selalu punya impian, dia selalu ingin menjajaki lebih dan lebih banyak lagi.
Melalui seleksi dan audisi yang ketat, Erika berhasil terpilih untuk bermain dalam drama “Moonbird”. Latihan demi latihan yang melelahkan harus dilalui di samping kuliahnya. Dia harus menandatangani kontrak, tidak boleh terlambat dan kalau absen, ada sangsinya. Kadang hal ini membawa konflik bagi Erika, pada saat dia harus ujian, waktunya bertepatan dengan saat latihan. Dan di Singapura, sulit untuk mendapatkan toleransi, karena semuanya sudah tertulis hitam di atas putih. 45 kali pertunjukkan di kedutaan besar Perancis selama tiga minggu. Pertunjukan Moonbird ini juga ditampilkan di Esplanade pada tahun 2009, sayangnya dipersingkat menjadi hanya enam kali pertunjukan karena virus flu H1N1 yang sedang melanda Singapura. Hanya kelompok yang berkaliber “dunia” atau yang sudah diakui “kualitas”nya yang boleh tampil di Esplanade, Singapura. Usaha untuk mempertunjukkan Moonbird di UK tahun 2009 juga tidak terlaksana, karena krisis ekonomi yang melanda dunia. Betul-betul pengalaman indah di mana Erika bisa mengekspresikan dirinya melalui tokoh yang diperankannya. “Menarik dan berbakat”, itu kata orang-orang yang melihat pertunjukan Erika. , Kejadian yang menarik, salah satu “backstage crew” yang cepat menguasai bahasa isyarat mengetahui minat Erika yang senang “travelling”. Dia mengundang Erika untuk tinggal bersamanya di rumah temannya di Barcelona. Wouw……..undangan yang tidak disangka-sangka. Bulan Juni 2008, Erika juga terpilih mengikuti “Deaf Asia Pacific camp” di Indonesia. Beberapa tunarungu dari Eropa juga mengikuti camp ini. Persahabatan terjalin. Erika yang gigih ini melihat peluang, dia sekali lagi memutuskan untuk pergi ke Eropa selama satu bulan dari uang hasil pertunjukan Moonbird. Dia berkata, ” Saya akan tinggal dengan teman-teman, mama papa cukup membiayai makan saya sehari-hari.” Kaget, takut dan bingung meliputi perasaan saya, lebih dari pada kagum. Semakin lama, Erika semakin terbang jauh, semakin lama kami tidak bisa lagi mengikutinya. Berlutut, berdoa dan berserah, itulah yang hanya kami bisa lakukan. Banyak pengalaman yang membuat lutut kami begitu lemas, seolaholah tidak bisa berdiri. Dia cerita di Italia, teman tunarungunya tidak bisa menjemputnya di bandara Milan. Maka dia harus naik bis selama setengah jam ke stasiun kereta api. Lalu selama dua jam naik kereta api ke Modena, tempat temannya. Dia tiba di sana jam 00.07 tengah malam, selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Bayangkan
pertama kali naik kereta sendirian di negara yang bukan berbahasa Inggris. Erika mengakui bahwa “Life has a way of surprising us”. Dia seolah-olah dikelilingi oleh “guardian angels”. Erika memang tidak yakin “jalur” mana ke Modena, dia bertanya pada seorang wanita, tapi wanita ini juga tidak paham, lalu Erika bertanya lagi pada seorang lakilaki hitam tinggi. Kedua orang ini cukup peduli dan mengarahkan Erika sampai ke gerbong dan tempat duduk yang benar. Di dalam kereta, Erika menarik perhatian tiga orang yang duduk di dekatnya. Erika yang kurus mungil dengan ekspresi wajah cantik menawan dan selalu tersenyum, membuat orang-orang berusaha ingin berinteraksi dengan Erika.
Erika saat itu yakin bahwa “Smiling is very powerful”, tetapi sekaligus juga menyesal bahwa ia hanya paham sedikit sekali katakata Italia, sementara mereka tidak tahu bahasa Inggris. Tetapi dengan mata dan hati, Erika bisa berkomunikasi dengan orang-orang ini, paling tidak mengekspresikan “terima kasih” dan menyatakan “saya tuli” dengan bahasa tubuhnya. Pada lewat tengah malam, di malam terakhir Erika di Eropa selama satu bulan, travelling sendiri, dia mengirimkan berita singkat ke telepon genggam (hp) saya, menyerukan, “Tolong bantu doa, karena pesawat dari Barcelona terlambat terbang”, sehingga dia kuatir, dia tidak akan dapat naik pesawat berikutnya, dan selanjutnya akan gagal terbang ke Singapura. Selang beberapa jam kemudian, terdengar dering hp lagi yang menyatakan bahwa dia sudah di depan pintu pesawat dan semuanya berjalan lancar, karena banyak orang yang membantunya. Erika bercerita, bahwa beberapa saat sebelum pesawat mendarat, dia menunjukkan tiket pesawat berikutnya pada pramugari, yang akhirnya mengizinkan Erika untuk duduk di kelas bisnis, sehingga dia bisa cepat lari untuk mengantri “check in” pesawat berikutnya. Dia harus pindah terminal dan dengan ekspresi wajah dan komunikasi tubuhnya, dia bisa menimbulkan simpati sehingga memotong dua kali antrian panjang yang harus dilewatinya. Yang penting Erika berhasil sampai di “boarding hall” pada waktunya walaupun kemungkinan tas punggungnya tidak terbawa. Akhirnya, menjelang pagi baru saya bisa tidur, setelah lega mendapat berita dari Erika. Erika melihat banyak hal di Eropa, bagaimana orang Italia menggunakan kedua tangannya, bagaimana orang Spanyol menggoyangkan bahunya. Sama seperti banyak hal yang dia lihat di Singapura, bagaimana orang China menggunakan kedua tangannya, sebagaimana juga orang India menggelengkan kepalanya. Bukan hanya mengamati tetapi memahaminya. “Masing-masing memiliki budaya yang unik dan indah”, begitu kata Erika.
8. MENJELANG USIA KEDUA PULUH SATU.
Saya lahir dan besar di Jakarta. Erika menganggap saya sebagai ibu yang hangat, penuh perhatian, gigih, yang menjunjung beberapa nilai seperti sederhana, rendah hati dan kalaupun bisa menduduki posisi yang tinggi tetap harus memimpin dengan hati yang melayani. Doa
saya senantiasa agar kami tidak jatuh pada pencobaan duniawi seperti “duit – kuasa – nikmat” (DUKUN). Erika tetap senang menulis naskah atau cerita pendek. Dia juga sering menonton film. Minatnya terhadap buku tetap tinggi. Beberapa buku favoritnya antara lain Shantaram, Cat’s Eye, Hanoman, The Alchemist, To Kill a Mocking Bird. Dia menyelesaikan diploma visual komunikasinya pada Mei 2009 dan meneruskan mengambil Bachelornya. Pada tingkat tiga ini dia mengambil jurusan “Image and Communication” sesuai dengan saran dosennya. Dia tidak bisa secara otomatis diterima di tingkat 3, Erika harus melewati wawancara dengan tim dosennya. Erika menyadari dia tidak memiliki kualitas bicara yang bisa dimengerti orang lain, dia akan “kalah” untuk menyakinkan tim dosen secara “verbal”, karena itu dia mempersiapkan materi “power point” untuk membantu memperjelas ide dan pendapatnya. Justru di sinilah tim pewawancara menjadi terkesan, karena hal ini tidak dilakukan oleh mahasiswa “mendengar” lainnya. Sebagai mahasiswi tunarungu, dia selalu mempersiapkan hal-hal yang bisa menutupi kelemahannya, sekaligus menunjukkan kekuatannya, yang tidak terpikirkan oleh temantemannya, sehingga dia tetap mampu bersaing di dunia orang “mendengar”. Hal itu memungkinkan bagi Erika yang tunarungu, dengan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan teknologi modern. Pada bulan Juli 2009, Erika berkesempatan mengunjungi Melbourne. Di sini dia bertemu dengan sahabat-sahabatnya eks Methodist Ladies’ College, yang walaupun sudah dua setengah tahun tidak bertemu, tapi tetap menjalin kontak dengan mereka. Terima kasih untuk kemajuan teknologi yang sangat membantu kaum tunarungu. Pada akhir kunjungannya dia menulis sepuluh hal yang dicintainya mengenai Melbourne. 1. Menu makan pagi tetap ada sampai jam dua atau tiga siang. Hal ini menjadi urutan nomer satu karena kebiasaan Erika, yang tidur sampai lewat tengah malam atau menjelang subuh, sehingga selalu bangun di siang hari. Jadi sarapan pagi bagi Erika kira-kira jam satu atau dua siang. 2. Perjalanan dengan kereta api tidak pernah membosankan. Bagi Erika selalu ada peristiwa yang menarik, seperti melihat orang yang mabuk, di mana orang lain berpura-pura masa bodoh, dan lain sebagainya. 3. Pizza dan pasta yang lezat di restoran Italia. Makanan yang banyak diminati anak-anak muda, karena praktisnya.
4. Budaya “café”, di mana dia bisa minum coklat hangat yang “kaya, murni dan lezat” sambil bersantai di musim dingin. Minuman coklat ini adalah favorit Erika, di mana kelezatannya tidak ada bandingannya, kata Erika 5. Teman-teman dan sahabatnya, termasuk keponakan Elliot (anak Eric, putra pertama kami). Erika dengan teman-temannya masih selalu berinteraksi. Erika memang merasa aman dan nyaman di dunia tunarungu yang “sepi” tetapi dia juga memiliki temanteman “mendengar” yang walau tidak banyak jumlahnya namun tetap bisa ”mendalam” dalam relasinya. 6. Victoria bitter – bir Australia. Ini khas pemuda/i Australia berusia di atas 18 tahun yang merasa sudah dewasa karena bisa “minum”. 7. Program TV dengan “English subtitle” Ini yang membuat wawasannya luas, mampu menikmati hiburan sebagaimana orang “mendengar” dan bisa terlibat diskusi topiktopik yang sedang hangat. 8. Orang Australia yang sangat “hijau”. Mereka selalu berusaha memakai tas belanja “hijau” dan menghindarkan penggunaan tas plastik. 9. Mendapat teks singkat (sms) yang selalu diakhiri dengan phrasa, “Love, mwah! Xoxoxo Ini adalah cara “hangat” orang Australia mengakhiri berita singkatnya. 10. Tembok yang penuh tulisan atau gambar graffiti di stasiun kereta api. Erika yang memiliki kreativitas, merasa bisa menikmati karyakarya seniman awam Australia dengan mudah dan murah. Terlihat Erika menghargai kebebasan, kreativitas, persahabatan, cinta dan kepedulian terhadap lingkungannya. Hidupnya juga seperti remaja pada umumnya, siang menjadi malam dan malam menjadi siang, layaknya “burung hantu”. Dia juga tetap menghargai kesederhanaan di mana Erika lebih memilih naik tranportasi umum sehingga dia bisa mengamati gaya hidup orang-orang dan kejadian yang terjadi di sekitarnya. Bulan September 2009, Erika sekali lagi mengikuti Deaflympics yang ke-21 di Taipei, Taiwan. Ini ketiga kalinya dia hadir dalam Deaflympic. Pertama kali, di Roma, Italia, tahun 2001 sebagai atlit renang. Kedua kali di Melbourne, Australia, tahun 2005 sebagai “volunteer”. Di Deaflympics Taipei, Erika hadir dalam rangka penelitian kecil. Dia melakukan projek untuk meneliti, dengan menanyakan kepada orangorang apakah mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi antar bahasa. Erika yang tunarungu mencoba bertanya pada orang local
yang lalu lalang di jalan tanpa kertas dan pensil atau bolpen. Dia menganggap cukup berhasil kira-kira 50 %. Memang kebanyakan orang Asia tergolong malu-malu, tetapi ia sangat menikmati dan puas karena bisa bersosialisasi dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Inilah ciri khas karakter Erika, yang berbeda sekali dengan karakter saya yang lebih senang di rumah dari pada berpetualang. Tidak malu namun berani mencoba, dan tidak peduli pada reaksi orang lain. Dalam penelitiannya dia ingin melihat bagaimana komunikasi antar bahasa antara kaum tunarungu dan “mendengar”, juga antar orang “mendengar” dari berbagai budaya dan bahasa yang berbeda. Erika lalu mencoba mengembangkan metode komunikasi praktis dan efisien untuk turis selama melakukan perjalanannya. Dia juga sekaligus ingin mendorong orang-orang menyadari akan adanya bentuk komunikasi nonverbal yang mampu mengatasi keterbatasan antar bangsa dengan bahasa yang berbeda. Dan designers di bidang “image and communication” bisa menciptakan bentuk komunikasi visual yang menarik dan dimengerti oleh berbagai bangsa yang beragam. Selama olympiade utuk kaum tunarungu berlangsung, setiap hari Erika pasti akan pergi ke tempat di mana kaum tunarungu berkumpul. Peristiwa ini selalu sangat berkesan dan memberikan “arti” yang mendalam bagi Erika. Mereka bisa bercakap-cakap sampai jam lima pagi dan inilah yang dikatakan Erika “the real deaf culture”. Pengalaman mengikuti dan hadir di Deaflympics, merupakan kesempatan langka dan luar biasa untuk Erika. Saya menyaksikan sendiri sewaktu di Melbourne tahun 2005, dua minggu setelah Deaflympics berakhir, Erika masih tidak henti-hentinya bercerita mengenai peristiwa yang hanya terjadi setiap empat tahun ini. Bahkan sampai terbawa ke mimpi. Banyak hal yang diamatinya di Taipei, seperti budaya Taiwan yang berbeda, di mana dia harus mempersiapkan nama tempat dalam karakter bahasa China kalau pergi dengan taksi, karena mayoritas supir taksi tidak bisa berbahasa Inggris. Kalau naik escalator harus berdiri di sebelah kanan, tidak seperti di Singapura atau Australia, di sebelah kiri. Walaupun Taipei sangat padat dan penuh sesak, tetapi mereka lebih “hijau”. Mereka selalu menggunakan tas kertas atau kantong kertas. Kalau berbelanja barang-barang kecil, pegawai toko tidak akan memberikan tas (plastic) apapun. Selalu tersedia tong sampah yang berbeda untuk setiap jenis sampah. Sungguh menarik, kesadaran mereka untuk melestarikan lingkungan.
KEKUATIRAN DAN HARAPAN Erika betul-betul merupakan anugerah bagi kami, kemampuannya begitu tinggi, talentanya begitu banyak, penampilan fisiknya cantik, menarik dengan kepribadian yang ramah, supel, percaya diri dan penuh humor. Rasa ingin tahunya begitu besar dan apa yang dicobanya selalu berhasil. Seleksi, wawancara, audisi yang dilewatinya membawanya ke arah sukses. Wajahnya dan ketrampilan berbahasa isyarat bisa dilihat di presentasi pengumuman menjelang tinggal landas pada setiap penerbangan dengan pesawat Silk Air dan Singapore Airlines. Dia juga tampil sebagai pembawa acara (MC) di pesta “International Deaf Day Celebration” Singapura. Akan tetapi Erika bukan Erika, kalau dia tidak memberikan “tantangan” kepada kami orang tuanya. Dalam pandangan kami, Erika terlalu “berani atau nekad”, berani mengambil resiko, mencoba mengetest limit atau batas boleh / tidak, benar / salah, pandangan dan cara berpikirnya terkesan kritis dan vokal, jiwanya terlalu mandiri, memiliki ambisi yang tinggi, selalu
ingin merdeka terbang tinggi menembus awan di mana hanya langitlah yang menjadi batasnya. Ketuliannya tidak pernah menjadikan dia patah semangat atau rendah diri. Dia bangga atas identitasnya sebagai kaum tunarungu. Dia berhasil menyamai bahkan melewati prestasi orang “mendengar”. Sungguh, kami sangat bangga sebagai orang tua dengan prestasi Erika. Kami sungguh bersyukur atas berkat Tuhan. Tetapi kehebatan dan prestasi inilah yang membuat kami sering cemas. Erika semakin jauh dari Tuhan, kalau dulu dia selalu bersaat teduh setiap hari, berkomunikasi secara intim dengan Tuhan, sekarang Erika tidak pernah ke gereja atau persekutuan lagi. Erika merasa ragu dan menjadi “tidak percaya” akan keberadaan Tuhan. Ada peristiwa yang membuat dia menghindar ke gereja. Dia juga merasa banyak kemunafikan dari orang-orang yang pergi ke gereja. Dengan beberapa peristiwa yang dialaminya dan ketidak adilan yang dirasakan kaumnya, Erika merasa tidak yakin, kalau Tuhan itu ada.
”Erika, Anakku Sayang, betapa mama papa berharap kamu kembali lagi mendekat pada Tuhan. Belajarlah untuk memahami-Nya bukan dengan rasio dan perasaanmu. Manusia adalah mahluk yang terbatas, tidak mungkin bisa memahami rencana dan kuasa Tuhan yang melebihi akal manusia. Kamu harus menerima kedaulatan-Nya sambil terus mohon Tuhan menambahkan hikmat kebijaksanaan kepadamu, sehingga kamu mengerti apa yang terjadi dan yang kamu alami. Usiamu sekarang sudah 21 tahun (29 Oktober 2009) dan kamu sudah dewasa. Mama papa hanya bisa berharap, karena sekarang kamu begitu kokoh dan percaya diri dalam memilih serta memutuskan segala sesuatu, sendiri. Banyak hal yang mama dan papa kurang sepaham dan kurang menyetujuinya, tetapi dengan alasan dan logikamu, kamu bisa berdalih, berargumentasi bahkan memberontak. Seperti yang Eric, kakakmu, tuliskan dalam kartu ulang tahunmu yang ke-21, “Commit your plans to the Lord”. Tuhan telah memberkatimu dengan banyak talenta, dan Eric percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang besar dalam hidupmu. Eric “excited” untuk menunggu dan melihat apa yang Tuhan akan nyatakan dalam hidupmu. Selanjutnya Eric mengutip beberapa ayat seperti di bawah ini. Amsal 3 : 3-4 : “Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat
kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia”. Amsal 4 : 23 : ”Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan”. Kiat, istri Eric menambahkan : ”Kamu lahir sebagai anak bungsu, tetapi kamu “mencapai” lebih banyak, memenangkan lebih banyak penghargaan, piala dan medali, lebih banyak melancong dan berkeliling mengunjungi berbagai negara asing, lebih banyak teman (paling tidak, di facebook), jauh lebih kreatif, lebih ”photogenic” dan sebagainya, termasuk yang paling berantakan dan jorok di bandingkan dengan kakak-kakak mu”. Kiat lalu mengutip satu ayat: Yesaya 40:31 : “Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru, mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya, mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”. Teman Erika dalam ulang tahun Erika yang ke-21 juga memberikan peneguhan dan dorongan untuk selalu mengingat apa yang disampaikan Tuhan, melalui ayat di bawah ini. Pilipi 4 : 7-9 : Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. Jadi, akhirnya, saudara-saudara semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.
Anakku, mama papa tahu bahwa kamu masih terus ingin melanjutkan studimu. Erika ingin belajar “media produksi” setelah selesai dengan Bachelornya. Dia ingin meneruskan studinya di UK. Mama papa yakin engkaupun akan berhasil, tetapi apa artinya semua yang kamu capai ini, kalau jiwamu kering dan tidak selamat? Ingat dua tahun lalu Eric juga berdiskusi dan melalui e-mail memberikan masukan padamu mengenai “conformity”. Saya kutip sesuai dengan aslinya, dalam bahasa Inggris sehingga bisa dirasakan nuansa yang berbeda dari setiap terjemahan. Roma 12 :1-2 : terjemahan NIV Living Sacrifices. Therefore, I urge you, brothers, in view of God’s mercy, to offer your bodies as living sacrifices, holy and pleasing to God. This is your spiritual act of worship. Do not conform any longer to the pattern of this world, but be transformed by the
renewing of your mind. Then you will be able to test and approve what God’s will is, his good, pleasing and perfect will. Terjemahan lain dari The Message. Roma 12 : 1-2 : Place your life before God. So here’s what I want you to do, God helping you : take your everyday, ordinary life – your sleeping, eating, going to work, and walking around life and place it before God as an offering. Embracing what God does for you is the best thing you can do for him. Don’t become so well – adjusted to your culture that you fit into it without even thinking. Instead, fix your attention on God. You’ll be changed form the inside out. Readily recognize what he wants from you, and quickly respond to it. Unlike the culture around you, always dragging you down to its level of immaturity, God brings the best out of you, develops well – formed maturity in you. Terjemahan New Living Translation (“perhatikan perbedaan nuansa yang bisa memberikan pandangan atau perspektif baru”, kata Eric). Roma 12 : 1-2 : A living sacrifice to God. Don’t copy the behavior and customs of this world, but let God transform you into a new person by changing the way you think. Then you will learn to know God’s will for you, which is good and pleasing and perfect.
Anakku, cerna ayat-ayat di atas. Tulislah di kertas atau karton, taruh dalam bingkai dengan kreatif dan pajang di kamarmu. Sering ulangi, serap, terus pikirkan dan bayangkan dalam pikiranmu. Kamu bisa “berbeda” tetapi tidak perlu aneh atau membuat jarak dengan temantemanmu. Anakku, perbaharui pikiranmu (renewing the mind) dengan memberikan focus perhatian pada Tuhan (by fixing attention on God), ubahlah dirimu dari dalam sehingga tercermin dalam tingkah lakumu (change inside out). Harapan mama papa, kamu akan memberikan yang terbaik yang kamu miliki hanya untuk kemuliaan Tuhan. Ya Tuhan dengarlah doa kami, tarik Erika makin dekat padamu. Amin. BUKA JENDELA BUKA HATI Merenung perjalanan 21 tahun bersama Erika, saya merasa bahwa kami orang tuanya yang terus dididik dan diasah oleh Tuhan. Banyak kali kami menjerit minta tolong pada Tuhan. Beberapa kali kami merasa putus asa. Kami sampai pada keseimpulan bahwa mencapai
gelar Strata tiga lebih mudah daripada menjadi orang tua yang berhasil. Berawal dari keinginan kami untuk melatih sisa-sisa pendengaran Erika agar dia bisa berbicara dan menyesuaikan diri di dunia “mendengar”. Kami merasa bahwa itulah yang terbaik bagi Erika. Tetapi kami sadari bahwa akhirnya Erika menjadi anak yang tidak bahagia, pasif, banyak tertekan dan potensinya tidak teraktualisasikan secara optimal. Latihan dan pekerjaan rumah yang diberikan tidak dikerjakannya dengan motivasi. Saya dituntut sabar, tapi juga kreatif mencari cara-cara menarik dan bervariasi (Erika lebih tertarik pada warna, gambar, gerakan dinamis, humor). Saya juga harus bijaksana dalam mendisiplin, agar tetap tega, konsisten, namun tidak kaku dan tidak emosi dalam menerapkan konsekuensi atau hukuman terhadap perilakunya. Saya juga perlu belajar empati dan memahami karakter dasar Erika (kombinasi sanguine dan kolerik) sehingga menuntut pendekatan yang berbeda dari kakak-kakaknya. Dengan tertutupnya kesempatan Erika bersekolah di sekolah oral Singapura, maka hanya Singapore School for the Deaf, sekolah dengan total komunikasi sebagai satu-satunya pilihan bagi Erika. Saya banyak bergumul dalam mencari apa kehendak Tuhan bagi Erika, dan belajar untuk menerima kenyataan dan menyesuaikan diri. Saya, suami dan kakak-kakaknya harus belajar bahasa isyarat, bahasa yang tidak mudah bagi orang “mendengar”. Oma, om, tante dan sepupunya juga belajar. Saya jadi merenung, bahwa Erika pun mengalami kesulitan yang sama sewaktu dia belajar bahasa oral. Latihan demi latihan, bahkan sambil setengah tidur saya terus berlatih agar jari-jari saya lebih terampil dan otak ini tidak cepat lupa. Yang paling sukar adalah penghayatan dalam mengekspresikannya. Sampai sekarang pun saya masih canggung, bingung, nampak kaku, lamban dan tegang, kadang cepat sehingga gerakan saya tidak dimengerti, padahal latar belakang saya adalah guru piano. Bahasa ini tetap belum menjadi “bagian” yang wajar dalam hidup saya, walaupun saya terus berusaha. Selanjutnya saya melihat potensi Erika yang demikian besar dan merasa bahwa bidang matematika dan ilmu pasti lah yang paling tepat baginya. Namun pada kenyataannya “hati”nya tidak di sana, Dia lebih berminat pada “art dan design”, film dan segala hal yang berbau “petualangan”. Kami harus belajar sekali lagi “membuka hati” kami bahwa citra yang melihat bidang-bidang ilmu pasti lebih superior, adalah keliru. Semua bidang, apakah itu olahraga, kesenian, ilmu sosial, musik, ilmu pasti, kedokteran dan sebagainya semuanya “sama” di mata Tuhan. Manusialah yang mengkotak-kotakkan dan melihat bahwa bidang-bidang kedokteran dan ‘science” itu lebih
“bernilai” dan anak-anak yang masuk jurusan tersebut lebih pandai dan cerdas. Hal ini terekspresikan pada penekanan pendidikan di Indonesia dan Singapura. Belajar di Australia bertujuan untuk mengembangkan totalitas keseluruhan seorang anak, sehingga aspek kepribadian, pola sikap dan perilaku juga sangat penting untuk dikembangkan. Belajar tidak selalu harus “di belakang meja”. Sekali lagi saya diasah untuk melihat bahwa justru letak keberhasilan seseorang di masyarakat nanti lebih banyak tergantung pada karakter atau kepribadian anak, bukan prestasi akademiknya semata-mata. Semua aspek baik kognitif, afektif dan psikomotor sama pentingnya. Penghayatan saya akan dunia tunarungu juga berubah. Saya belajar memahami, menghargai keunikan komunikasi, kebudayaan dan nilai-nilai kaum tunarungu. Saya harus bisa berempati dengan melihat jauh di balik atau di belakang ucapan, perilaku, dan bentuk komunikasi mereka, Saya lebih mengerti dinamika konflik yang saya alami dengan Erika. Saya tidak bisa menjadi ibu yang dominan, otoriter dan ingin menguasai kaum tunarungu sehingga tanpa sadar meremehkan mereka kalau mereka tidak bisa berbicara jelas. Nyatanya dengan total komunikasi, Erika bisa mengaktualisasikan potensinya melebihi prestasi anak “mendengar”, bisa hidup mandiri jauh dari orang tua sejak kelas tujuh, bisa mengambil keputusan, berpetualang menjelajahi berbagai negara, sendirian dan hidup tanpa perlu mengandalkan bantuan orang lain. Dalam mengembangkan potensi Erika, sebagai pendidik dan psikolog, ternyata bekal saya belum memadai. Saya perlu tetap rendah hati dan meningkatkan tekad untuk terus belajar, misalnya mencari strategi latihan membaca, meningkatkan kemampuan berbahasa, memahami masalah kesulitan belajar bahasa. Artikel atau buku yang saya baca antara lain membandingkan dan memahami kebudayaan sebagai saluran informasi dan proses afektif, “writing to read and reading to write”. Juga yang berhubungan dengan perkembangan anak seperti “young children and metacognition”, “children as thinkers and communicators”, perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, moral , masalah perilaku anak dan remaja. Saya juga mencari bahan-bahan agar belajar bisa efektif, seperti “learning to learn”, memahami “cream” approach untuk belajar dan mengajar, efek “transfer” dari bahan bacaan terdahulu, mengembangkan pertanyaan-pertanyaan untuk mengembangkan “pemahaman” dalam mengajarkan bacaan, “tantangan” memberikan bahan bacaan yang tepat dan bermutu, gaya berpikir dalam membaca, “mindmaps”, “brain gym”, mengoptimalkan fungsi belahan otak kanan dan kiri dan seterusnya. Belajar tidak pernah akan berhenti, namun berlangsung seumur hidup.
Saat ini kami dipersiapkan kembali untuk “membuka hati” kami lagi dengan Erika mulai mempunyai hubungan khusus dengan pria tuli di mana seluruh keluarganya, yaitu mama, papa dan adiknya juga tuli. Tidak pernah terbayangkan bahwa kami akan mempunyai mantu atau besan yang juga tuli. Namun kembali, kami harus belajar “membuka jendela dan sekaligus hati” kami untuk menerima kenyataan tanpa prasangka apapun. Kalau Erika begitu bangga sebagai “anak tuli”, saya juga harus bisa berani menyatakan bahwa saya juga bangga sebagai “mama anak tuli”. Proses yang masih harus saya jalani dan terima dengan kebesaran hati saya untuk juga mau menerima pilihan anak saya. Tuhan, bantulah kami untuk melalui proses ini dengan hikmat kebijaksanaan yang dari padaMu saja, sehingga pada waktunya nanti saya mampu “mensyukuri” hal ini.
9. PENUTUP
Bagaimana mempunyai anak tunarungu mengubah kehidupan saya REFLEKSI DOSEN PSIKOLOGI UI YANG MENJADI IBU RUMAH TANGGA
Apa yang saya pakai Bukannya pakaian kerja rapih serasi bersepatu hak, tetapi pakaian rumah sederhana bersandal jepit. Bukannya merias diri tampil anggun berwibawa di depan mahasiswa, tetapi memakai bedak tipis untuk siap guling-guling bermain bersama E.
Apa yang saya makan Bukannya nasi dengan lauk pauk aneka citarasa dan pedas yang dibeli di kantin, tetapi makanan dengan kuah hambar hampir tanpa rasa yang dimasak sendiri.
Apa yang saya pikir Bukannya bahan kuliah psikologi pendidikan, terapi atau pelatihan pengembangan pribadi, tetapi berkutat dengan misteri kebutuhan anak TR.
Apa yang saya baca Bukannya topik psikologi, masalah perilaku dan kesulitan belajar, tetapi buku anak berkebutuhan khusus dan terapi wicara.
Apa yang saya tulis Bukannya rencana kuliah dan laporan psikologis tetapi menggambar dan menulis kata atau phrasa.
Apa yang saya doakan sebelum saya tidur Bukannya “Tuhan, berikan saya kemampuan untuk mengajar besok” , tetapi “Tuhan, berikan saya kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi Erika”.
Apa yang saya beli Bukannya baju, sepatu, tas dan buku psikologi untuk keperluan mengajar, tetapi alat peraga visual dan buku dengan gambar-gambar yang bervariasi.
Bagaimana saya mengisi waktu luang Bukannya pergi santai menonton film bersama suami, mendiskusikan misteri masalah komunikasi E dengan suami.
tetapi
Bagaimana saya hidup dengan gaji suami saja Bukannya membeli semua kebutuhan yang diperlukan, tetapi memilih dan menentukan apa yang bisa dibeli dengan budget yang ada. Bukannya hidup dengan pembantu tetapi berperan dan berfungsi sebagai pembantu.
Apa yang membuat rumah menjadi “beautiful home” Bukannya perabot rumah tangga yang mahal, tetapi senyum ceria yang murah diberikan secara gratis kepada suami dan ketiga anakanak.
Deskripsi tugas-tugas saya Bukannya menganalisa, menilai tugas dan laporan mahasiswa tetapi menganalisa buku menu memasak makanan kesukaan orang-orang yang saya kasihi. Bukannya kalimat-kalimat yang lancar keluar mengalir sewaktu mempresentasikan bahan kuliah tetapi kata-kata patah yang keluar satu persatu dari mulut yang membuka lebar. Bukannya mendampingi mahasiswa melakukan pengabdian masyarakat ke berbagai pelosok tempat, tetapi mengabdi untuk keluarga hampir sepanjang hari di rumah. Bukannya rapat dengan seluruh staf pengajar, tetapi diskusi hanya dengan suami. Bukannya memberi instruksi kepada staf, tetapi diam berempati “mendengarkan” Erika. Bukannya menyiapkan bahan pengajaran sesuai target yang ditentukan berdasarkan kemampuan saya, tetapi bergumul menyiapkan masa depan Erika tanpa daya dan harus bergantung pada rencana dan kehendak Tuhan semata
Jam kerja saya Bukannya jam 8 sampai 4 sore dan cuti 2 minggu antar semester, tetapi jam kerja yang tidak pasti, kadang-kadang 24 jam penuh dan tidak pernah ada cuti.
Prioritas saya
Bukannya berjuang membangun karir, mengasihi dan mengasuh keluarga.
tetapi
berkorban
untuk
Kekhususan saya Bukannya menjadi psikolog dengan kekhususan di bidang pendidikan, tetapi menjadi mama dengan harapan memiliki karakter serupa dengan Tuhan
Sumber siginifikansi saya Bukannya mencapai sukses, tetapi tulus “melayani” 29 Oktober 1988 – 29 Oktober 2009 – Maryam Rudyanto K.A.S.I.H. Refleksi mengenai KASIH dari ibu anak tunarungu Kasih itu sabar Sewaktu saya harus berulang-ulang memberi penjelasan sampai E mengerti Kasih itu murah hati Sewaktu saya begitu lelah, ingin mengeluh, tetapi tetap harus berpikir keras untuk bisa memahami dan berempati dengan E Kasih itu tidak cemburu Sewaktu melihat anak tunarungu lain lebih pandai berbicara daripada E Kasih itu tidak memegahkan diri Sewaktu melihat E berhasil dalam olahraga, dipuji karena kreativitas dan keberhasilan pendidikannya Kasih itu tidak sombong Sewaktu tahu E tampil sebagai “duta” keluar negeri
Kasih itu tidak melakukan yang tidak sopan Sewaktu banyak orang mengomentari E berdasarkan persepsi mereka masing-masing Kasih itu tidak mencari keuntungan diri sendiri Sewaktu saya ingin memprioritaskan karir saya lebih daripada berperan sebagai ibu yang perlu banyak berkorban untuk E Kasih itu tidak pemarah Sewaktu E tidak memberikan atensi, tidak patuh dan gagal Kasih itu tidak menyimpan kesalahan orang lain Sewaktu orang-orang di lingkungannya memperlakukan E secara tidak adil, menutup pintu bagi E untuk belajar berenang, komputer, bahasa dan kuliah Kasih itu tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran Kebenaran yang sungguh bagi saya adalah Tuhan mempercayakan E ke dalam tangan pemeliharaan kami, dan E merupakan titipan Tuhan yang berharga dan sempurna Kasih itu menutupi segala sesuatu Sewaktu saya harus berperan ganda karena suami sering tidak berada di tempat Kasih itu percaya segala sesuatu Karena kuasa dan pekerjaan Tuhan akan dinyatakan dalam perjalanan hidup E Kasih mengharapkan segala sesuatu Karena yakin Tuhan pasti memiliki rancangan damai sejahtera bagi E Kasih itu sabar menanggung segala sesuatu
Karena itu saya harus berjuang terus sampai E mencapai cita-citanya setinggi langit Kasih tidak berkesudahan Walaupun saya gagal karena kekuatan saya yang terbatas, tetapi Tuhan tidak pernah gagal dan terus setia mengasihi anak-anaknya. 29 Oktober 2009 – 29 Oktober 1988 Maryam Rudyanto
10. LAMPIRAN 2004 CHRISTMAS PRESENTS - Mail from Erika, your pritil Time changes….. Children grow into teenagers. Teenagers grow into young adults. Young adults get married and move out. But remember one thing that NEVER changes…… It’s my love for you. I will always love you! Why mama is my Hero! She shows a GREAT strength that not many mothers have. She doesn’t or never have lack of belief in her children that they could do things. Mostly important, she has a wonderful big heart, filled with endless love for her family – husband, 3 children. She’s truly a Hero! Why papa is my Hero! Not many father would spend time with their children because they are too focused on their work. However, our papa spends time with his children when he could. He would play soccer, eat prata and walk, and watch t.v. and TALK with his children! He also cares for his wife, mama too! He always say the amazing things mama has done for us. He’s my Hero! Your love is more worthy and expensive than presents. Just give me hugs and kisses ands that will be enough. Who is the King of jokes? Papa! Who is the Prince of jokes? Eric! Papa, I love discussing about photos and art with you! Remember when we ate at an Indian place, we talked about photos – How you say that to make a good picture we should take a picture that many people never see at that angle. Luv! You are awesome! Coz you think of your family first, above yourself.
THANK YOU …for not being like some parents who don’t try their best to try to communicate with their children …. so much for your hard work and love so I could go to a very good school where I learn a lot ….for making / teaching me to be proud of who I am. …..for interpreting the film for me, mama! You could resistant me from meeting deaf people to keep me as a ”hearing” person. But you chose not to do that because you know I will be a bit happy meeting deaf people. And I am! Thank you so much …so much for accepting me who I am! ….for exposing me to the world as you teach me. …..for trying your best to understand me. ….for giving me freedom. e.g. not pressuring or order me to be at home at 7pm …so much for not leaving me in silence. ….for teaching me to see that my deafness is not a barrier to what I want to achieve. …..for letting me make my choices. I really APPRECIATE it. FUNNY THOUGHTS If a day before a holiday is called Christmas Eve, is the day After Christmas, Adam? If corn oil is made from corn, and vegetable oil is made from vegetables, then what is baby oil made from?
Why is there a light in the fridge but not in the freezer? Why do the numbers on phones go down while the numbers on calculators go up? Gender racist quote….. Eric : That’s why girls can’t do physics, when I failed to visualize how the car is parked Papa : You can know it the driver is female by looking at the tyres (not straight when park) P.S: Mama, this is a joke. Laugh! Erika : Mama, is it true that men can’t do more than one thing at the same time? Eric: Chemistry is for girls because chemistry is like a cooking to the girls. Why are people so scared of mice, yet we all love Mickey Mouse? Mama - breast stroke, Eric - fly, Astrid - freestyle, Erika – backstroke Papa- DOG stroke! Wouw! Why is it illegal to park in handicapped parking space but it is okay to use a handicapped toilet? Why do police officers wear tight clothes and shiny shoes? Wouldn’t that make them slower when chasing someone? Why do they call it your “bottom” when it’s really In the middle of your body? Why is that when fish die in water they float to the top but When human die in water, they sink to bottom? Why isn’t chocolate considered a vegetable, if chocolate comes from cocoa beans, and all beans are vegetables? Why is the blackboard, green? LOVE Love you coz you help me believe that I’m worthy. Love you for sacrificing so much to see me happy.
Love it when you are there for me when I race. Love you for learning sign language, so you could communicate with me! Love it when you, papa walk “funny limp”. Love you for being wonderful parents who don’t force me to do things I don’t like. Love you coz you make me believe I’m equal to my hearing peers. Love your jokes, PAPA! Love tickling your belly. You are amazing coz I never see you give up. Papa’s ticklish kiss, mama’s duck kiss, result a happy Erika! Miracle! Dad didn’t fall sleep when watching Spiderman with me. Wouw! Papa’s famous habit…….. Erika, have you got bus card? Yes…… Later (a few minutes later) Erika, have you got bus card? Yes……. P.S. Love your stupid funny habit of repeating! Catatan Erika menuliskan semua phrasa / kalimat di atas di kertas, dirobekrobek tanpa gunting agar terlihat “berseni” lalu digulung dan dimasukkan ke kotak buatan sendiri, sebagai hadiah Natal. Saya hanya boleh mengambil, membuka dan membaca satu gulungan kertas setiap hari. Sungguh hadiah Natal yang kreatif dan mengharukan.
HAPPY MOTHERS’ DAY
My first poem is only for my dear mama This is my poem of expressing my gratefulness and thanks for all things you had done. I want to thank ……. My mother who gave all of her efforts to learn sign language just for her baby My mother who can be trusted to share my sorrows, happiness, doubts and everything. My mother who try her best to understand me (You did it!) My mother who punish me when I did wrong thing so that I will grow into better person. My mother who can make me feel loved with an extremely warm kiss My mother who guide me when I am in difficulties in my life My mother who did many thousands of things for me I’m so proud that you’re my MOTHER! Now I must say something to you. Thank you for bringing me up with your love. Thank you for teaching me about our God. Thank you God for giving me a wonderful Mama. Indeed, I am blessed with my loving Mama! I definitely don’t want other mothers because I HAVE YOU!
Sunday, February 14, 2010 From my heart February. Little cupids are flying around in the air. Their chubby cute naked ass wobbling like jelly. The sky seem pink today. I smile at thoughts of my friends, family and someone special. Today is Valentine's Day and I want to express from my heart how grateful I am to have love from my family. It's going to be cheesy one, but hey, Valentine's Day is only once a year. So it's time for me to grab the perfect excuse to be very cheesy for one day! Papa, Thank you for all of your hard work. You've been a great father. You provided a roof over me. You provided me food. You provided me the best education I could have. But the best of all, you provided me your love. Mama, Thank you for your beautiful sacrifice. You've been a wonderful mother.
You gave me a stable home. You gave me your caring hugs. You gave me the attention. You gave me your listening ears. But the best of all, you gave me your love. Brother and sister, Thank you for your teasing. Both of you have been marvelous. You treated me like a normal person. You made fun of me. You laughed at me. You bullied me. You torturted me. But the best of all, you showed me your love (in a weird way!) I might not show you much love. I"m sorry for that. But inside me, I'm really grateful to have you all. I love you forever and ever. Happy Valentine's Day! P.S: please pass my hugs and kisses to little real cupids with wobbly asses.
Erika Levi
11. DAFTAR PUSTAKA Asher, James J. Learning Another Language Through Actions. Sky Oaks Productions, Inc. 1996 Asher, James J. Brain switching – Practical Applications of the right-left brain. Sky Oaks Productions, Inc. 1996 Clark, M.D. When the same is different – A Comparison of the Information Processing Strategies of Deaf and Hearing people. American Annals of the Deaf, Oct 1991 Jones, C.J. Social and Emotional Development of Exceptional Students. Handicapped and Gifted. Charles C. Thomas Publisher, 1992 Khoo, Adam. I Am Gifted So Are You. Oxford University, 1999 Lee, J.F. & Van Patten, B. Making communicative language teaching happen. New York Mc.Graw Hill.1995 Malouf, Doug. How to teach Adults in a fun and exciting way. Business & Professional Publishing. 2000 Meadow, K.P. Deafness and Child Development, Berkeley, CA: University of California Press, 1980 Quinsland, L.K. & Long, G. Experiential Learning vs. Lecture Learning : A Comparative study with postsecondary hearing-impaired learners. Paper presented at the American Educational Research Association, San Francisco, CA, 1986 Quinsland, L.K. & Van Ginkel, A. Cognitive Processing and the Development of Concepts by Deaf Students. American Annals of the Deaf, Oct.1990 Riding, R.J. & Anstey, L. Verbal-Imagery learning style and reading attainment in eight year old children. Journal of Research in Reading, No.5, pp 57 – 66 Riding, R.J. & Ashmore, J. Verbaliser-Imager learning style and children’s recall of information presented in pictorial versus written form. Educational Studies, No.6 pp 141 – 145. 1980 Riding, R.J. & Cheema, Indra. ”Cognitive styles – an overview and integration”. Educational Psychology, 11, No.3 and 4 : pp 193 – 215. 1991 Riding, R.J. & Douglas, Graeme. “The effect of cognitive style and mode of presentation on learning performance”. British Journal of Educational Psychology, 63. pp 297 – 307. 1993
West, T.G. : In the Mind’s Eye. Visual thinkers, Gifted People with Learning Difficulties, Computer Images and The Ironies of Creativity. Promotheus Books, 1991 Whitmore, J.R. Hearing-Impaired Gifted Persons in Intellectual giftedness in disabled persons. Aspen Systems Corporation, 1985
KOMENTAR
(UNTUK COVER BELAKANG) Buku ini sangat bagus, bahasanya sangat mudah dipahami, memberikan banyak inspirasi, khususnya bagi para orangtua yang mempunyai putra atau putri tunarungu dalam memdampingi, membimbing, mendidik, membesarkan serta mendewasakannya dengan penuh cinta. Buku ini juga dianjurkan untuk dibaca oleh para guru anak tunarungu untuk menambah wawasan mengenai berbagai masalah ketunarunguan, bahkan para mahasiswa akan lebih termotivasi untuk mendalami dunia tunarungu. Dan yang terakhir berbahagialah anak-anak tunarungu yang mempunyai orangtua dan saudara yang sangat peduli dan penuh kasih seperti keluarga Erika ini. Maria C. Susila Juwati Seksi Pendidikan Yayasan Santi Rama Jakarta Saya mungkin salah satu orang tua yang juga memiliki anak dengan gangguan pendengaran yang paling gembira menyambut kehadiran buku ini. Menurut saya buku ini penuh dengan informasi pengalaman dari perjalanan hidup seorang ibu yang mendampingi putrinya. Begitu informatif sehingga dapat dipakai sebagai buku acuan bagi semua pihak, khususnya yang terlibat dengan ketunarunguan, yaitu para orang tua yang senasib, para guru di sekolah luar biasa, para guru/dosen yang mengajar anak tunarungu di sekolah umum, dan siapapun yang ingin mengetahui seluk beluk pengasuhan anak tunarungu. Dapat dijadikan motivasi untuk terus optimis dan berkembang bagi orang tua dalam mendampingi anak tuna rungunya. Seperti kita semua ketahui bahwa anak tuna rungu adalah sosok yang unik, jadi setiap anak punya keunikannya sendiri. Dari pengalaman ibu Maryam mendampingi Erika tentunya tidak bisa langsung diterapkan cara yang sama kepada anak tunarungu yang lain karena "keunikan" tersebut, namun hendaknya kita menarik garis, layaknya "benang merah" bahwa kesuksesan Erika adalah berkat pendampingan yang tekun dengan ketulusan hati dari ibu Maryam. Hal ini dapat kita teladani untuk memotivasi kita dalam melakukan pendampingan yang optimal terhadap anak kita, demi mencapai cita-cita yang setinggi langit dan memperoleh kehidupan yang baik di kemudian harinya. Elli Ting Siu Lie, orangtua dari Aditya Putra Gunadi.
Saya merasa kagum dan terharu setelah membaca buku ini dan berpendapat bahwa kisah Maryam sungguh bisa dijadikan contoh / teladan bagi pendidik pada umumnya dan orang tua khususnya ! Sebenarnya komentar Erika sendiri yang bisa dilihat pada lampiran, sudah menyimpulkan semuanya. Bila anak tunarungu dididik sedemikian sehingga mereka merasa sepenuhnya diterima oleh orang tuanya dan diperjuangkan untuk mendapatkan segala kesempatan, jadilah mereka seperti Erika, seorang wanita yang diperlengkapi untuk bisa memilih dan menjalani hidupnya mencapai pengaktualisasian diri dari semua potensi yang dimilikinya. Suatu perjuangan dan pengorbanan tiada kunjung henti serta komitmen total dari pihak orangtua ( khusus ibunya ) menjadikan Erika sebagai penyandang tunarungu, seorang pribadi yang tangguh, setara dan bahkan dalam berbagai aspek, melebihi orang muda pada umumnya ! Rasanya susah mencari pernyataan yang tepat untuk ditempatkan di cover buku Maryam dan sungguh suatu kehormatan bagi saya bila komentar saya bisa dipakai. Selamat bagi Marjam sekeluarga, Tuhan menguatkan dan memberkati selalu ! Ternyata Tuhan tidak akan mencobai umatnya melebihi kekuatannya. Lani Bunawan Ketua II, Kepala bagian Litbang dan psikolog Yayasan Santi Rama