13 minute read

Mempertanyakan Equator dan Konteksnya di Indonesia

Bodrek Arsana (Peneliti independen)

Longmarch dan flashmob Warga Taman Tiban, bagian dari Biennale Jogja XIII Equator #3. Foto: Dhomi Indra Marfasa Dok: Arsip YBY Pada mulanya adalah istilah dan konsep dalam ilmu yang mempelajari hal ikhwal menyangkut bumi. Equator atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama garis khatulistiwa (atau juga ekuator) adalah istilah dan konsep dalam ilmu Geografi. Equator atau khatulistiwa didefinisikan sebagai garis imajiner yang membelah bumi menjadi dua bagian, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Istilah ini kemudian dipinjam dan dibawa ke dalam berbagai ranah lain seperti geopolitik, ekonomi, budaya, pertahanan-keamanan hingga kemudian dalam ranah kesenirupaan. Lalu bagaimana makna yang muncul dan

Advertisement

berkembang atas pemakaian istilah dan wacana equator atau khatulistiwa di luar ilmu Geografi tersebut? Dalam ranah geopolitik, istilah dan konsep ekuator 'dipinjam' dan dimaknai sebagai garis geografis imajiner yang membagi dunia menjadi dua kutub politik, yaitu negara-negara di belahan bumi utara dan selatan. Kedua kutub politik ini dikonstruksikan sebagai berdiri secara diametral di mana kutub politik belahan utara lebih dominan, lebih unggul daripada negara belahan selatan bumi. Dalam istilah geo-ekonomi ekuator ini dimaknai sebagai pemilahan antara negara-negara maju dan kaya yang berada di belahan utara, dengan negara-negara berkembang dan miskin di belahan selatan. Demikian pula halnya dalam ranah budaya, kelompok negara dengan budaya yang lebih modern, beradab, dan maju berada di bagian utara ekuator, sementara budaya negara-negara di selatannya dianggap kurang atau tidak modern, bahkan disebut terbelakang. Di ranah pertahanan-keamanan, ekuator dimaknai menjadi pemilahan negaranegara dengan persenjataan hebat dan sistem keamanan negara yang canggih yang lagi-lagi berada di belahan utara, dan negara-negara kurang stabil dengan sistem persenjataan standar di belahan selatan.

Tak pelak, kolonialisme adalah satu bentuk terjemahan paling telanjang dan banal dari pemaknaan konsep ekuator ini. Asumsi dasarnya adalah bahwa ada bangsa yang merasa lebih unggul—di belahan utara bumi—dan bangsa lain yang dianggap paria—di belahan selatan. Meminjam terminologi Samuel Huntington, konsep ekuator dalam terjemahan kolonialisme ini kemudian dikenal dengan clash of civilization (perang peradaban) antara Barat dengan Timur. Bila meminjam istilah pengkritik kolonialisme terkemuka Edward Said, maka makna ekuator dalam terjemahan kolonialisme adalah hegemoni peradaban Barat atas Timur. Edward Said menyebut pandangan ini sebagai orientalisme, di mana peradaban Timur dinilai menurut standar peradaban Barat. Sebelum Edward Said, dalam ranah teori lahir dependency theory (teori ketergantungan). Terlepas dari beberapa kritik atasnya, teori ini menggambarkan ketergantungan negara-negara di belahan selatan bumi (pinggiran) kepada negaranegara di belahan utara bumi (pusat). Kiranya hampir separuh usaha di ranah teori dihabiskan untuk mengurai bagaimana pemilahan oleh garis ekuator menjelma menjadi kolonialisme dengan berbagai turunannya hingga kini. Usahausaha yang relatif baru dalam menelanjangi turunan kolonialisme di Indonesia mewujud dalam perdebatan wacana dan teori cultural studies (kajian budaya) serta poskolonialisme. Kedua kajian tersebut memperoleh relevansinya bila kita kaitkan dengan perhelatan politik yang baru-baru ini membelah publik di Indonesia. Perhelatan itu adalah pemilihan gubernur Jakarta yang mengeksploitasi ᵢ secara banal sentimen suku, ras, agama dan antargolongan yang sekian lama ditabukan oleh rezim Orde Baru. Politik identitas mengharubiru publik di Indonesia; bila ditelisik ke belakang, ini merupakan warisan rezim kolonial dengan politik pecah belahnya.

Bila dirunut sejarahnya dalam konteks Indonesia, kolonialisme menjelma ke dalam berbagai bidang. Dalam bidang

Kota Cinta: Bollywood Km 0 adalah pentas tari India massal di Km 0 Kota Yogyakarta sebagai bagian dari Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1 dengan negara mitra India. Foto: Dwi Oblo Dok: Arsip YBY politik, bisa disebutkan bahwa devide et impera yang dijalankan pemerintah kolonial kemudian sering kali direproduksi di masa pasca-kolonial hingga kini. Eksploitasi isu agama atau rasial demi kekuasaan politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 yang membelah masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia, adalah satu contohnya. Pada masanya, pemerintah kolonial telah relatif sukses menjalankan politik macam ini untuk menguasai nusantara. Konsepsi politik zero sum game atau yang dalam istilah ilmu politik diterjemahkan sebagai the winner takes all (pemenang mengambil semuanya) dimaknai secara sepihak (salah) dan telah mendorong kontestasi politik yang tidak sehat. Logikanya, bila kita menang maka kita mendapatkan semua (kekuasaan) dan lawan harus “dimusnahkan”. Muncul negasi pada kelompok lain yang diajak berkompetisi. Hal inilah yang tampak dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Turunan politik zero sum game telah menimbulkan antagonisme politik di tingkat bawah dan dampaknya sangat mengkhawatirkan, terutama ketika isu SARA digunakan

untuk meniadakan lawan politik bahkan kelompok yang berbeda. Adagiumnya, yang bukan kita adalah musuh yang layak “dimusnahkan”. Dalam istilah Jawa dikenal dengan ungkapan pejah gesang (hancur lebur), tiji tibeh (mati satu mati semua = bumi hangus). Konsep tersebut kiranya mengikuti alur politik pecah belah kolonial. Kelompok aristokrasi yang diberikan privilese oleh pemerintah kolonial kemudian menjadi sasaran balasan massa rakyat di awal kemerdekaan karena semua aristokrat ini dianggap komprador pemerintah kolonial. Demikian pula dengan golongan masyarakat Tionghoa yang sukses menjadi mediator bisnis di masa kolonial, hingga kini menjadi sasaran “peliyanan” oleh masyarakat yang mengklaim dirinya pribumi atau paling asli Indonesia.

Di ranah ekonomi mengemuka konsep ekonomi dualistik yang dikemukakan oleh J.H Boeke. Sederhananya, ada dua sistem ekonomi yang berdampingan sekaligus saling beroposisi biner di Hindia Belanda kala itu, bahkan hingga kini. Pertama, sistem ekonomi pra-kapitalistik yang dianut dan dijalankan oleh masyarakat “asli” nusantara dan kedua, sistem ekonomi kapitalistik yang diperkenalkan oleh peradaban Barat, yang dijalankan oleh pemerintah kolonial. Turunan dari pemikiran ekonomi dualistik ala Boeke ini misalnya dapat kita jumpai kini dalam istilah ekonomi formal versus informal, ekonomi resmi versus tidak resmi. Sistem ekonomi formal disebutkan sebagai sistem ekonomi modern yang diidentikkan dengan peradaban Barat sementara sistem ekonomi informal adalah ciri ekonomi masyarakat tradisional. Sistem ekonomi formal dan informal inilah yang kita warisi hingga kini dan merepotkan para cerdik pandai dalam analisisnya dan menyusahkan para pengambil kebijakan dalam penataannya. Sektor ekonomi informal sering dipersepsi sebagai layaknya anak tiri dalam sistem ekonomi, namun tetap mandiri dan minim ketergantungan pada negara. Sektor ekonomi informal ini juga disebut sangat tangguh bertahan menggerakkan roda perekonomian di saat krisis, berbeda dengan ekonomi formal yang gampang kolaps terkena efek domino krisis ekonomi dunia. Pemikiran-pemikiran seperti di atas tidak lepas dari konstruksi berpikir dikotomis dan dipengaruhi konsep ekonomi dualistis Boeke. Bila kolonialisme dimaknai sebagai salah satu terjemahan atas keberadaan ekuator, maka pertanyaannya: apakah Equator ini kemudian merupakan bentuk “inferioritas inlander” sebagaimana disinggung oleh seorang penanggap dalam gelaran diskusi Equator #3 sebagai rangkaian Biennale Jogja XIII di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Genealogi istilah tersebut bisa dilacak ke belakang, setidaknya di masa kolonial, saat sang tuan kolonial menyebut masyarakat jajahannya sebagai inlander. Terlebih lagi, sejauh ini negara-negara yang diajak berkolaborasi dalam empat kali perhelatan Biennale Jogja adalah negaranegara bekas jajahan negara-negara di belahan utara bumi. Apakah Equator dalam perhelatan Biennale Jogja ini merupakan ekspresi perasaan senasib dengan negaranegara jajahan yang secara geografis dilintasi garis ekuator? Seorang penyaji dalam rangkaian diskusi Equator #3 dalam rangkaian Biennale Jogja XIII menyebutkan semacam “jalan ketiga” yang terinspirasi dari Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai tawaran

posisi politik untuk Equator dalam Biennale Jogja. Sebuah posisi politik yang tidak berkiblat pada dua kutub politik yang mendominasi ranah geopolitik dunia di era awal hingga pertengahan abad ke-20, yaitu Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikomandani Uni Soviet. Bila posisi politik itu diterjemahkan ke dalam konsep Equator yang diambil Biennale Jogja, kira-kira bisa diartikan sebagai tidak menghamba kepada seni rupa Barat (negara-negara di belahan bumi utara yang artinya mencakup kedua blok politik era Perang Dingin tersebut) yang selama ini mendominasi jagat kesenian dunia. Posisi politik kesenirupaan Equator berdiri di atas kaki sendiri dengan cara menghimpun solidaritas kesenirupaan negara-negara yang berada di garis Equator (non-Barat). Tesis ini sekaligus berkeinginan untuk mementahkan model berpikir dikotomis dan biner yang diwarisi dari wacana kolonial. Model dikotomis dan oposisi biner yang dimaksud adalah seperti pemaknaan Equator dari ranah ilmu geografi, geopolitik, geo-ekonomi, geobudaya, dan geo-pertahanan keamanan yang dipaparkan sebelumnya. Namun posisi politik Equator dalam Biennale Jogja yang tidak menghamba pada kesenirupaan Barat bukanlah perdebatan baru dalam kontestasi ideologi di Indonesia. Paling tidak sejak awal abad ke-20, para cerdik pandai negara bekas jajahan ini telah sibuk memperdebatkannya. Dimulai dari sistem dan falsafah negara hingga urusan kebudayaan dan kesenirupaan. Perdebatan terkenal di ranah kebudayaan, khususnya sastra, terjadi antara tokoh cendekia yang berkiblat ke peradaban Barat, Sutan Takdir Alisjahbana, dengan Sanusi Pane yang mempertahankan keunggulan peradaban Timur. Sementara di ranah kesenirupaan, satu polemik yang menarik dikutip adalah perdebatan seputar Gerakan Seni Rupa Baru (modern) Indonesia yang mengambil tempat dalam perhelatan Jakarta Biennale 1975. Sebuah perdebatan yang secara simplistis disebutkan memuat nilai-nilai pembaharuan (modern-Barat) dalam seni rupa, melawan nilai-nilai lama (konservatifTimur). Perdebatan ini kemudian berlanjut ketika di sebuah media massa lokal Yogyakarta dimuat polemik antara Sudarmadji yang dianggap mewakili generasi dan ide-ide lama (konservatif) dengan Kusnadi yang disebut apresiatif terhadap seniman muda dengan ide-ide barunya (modern). Kusnadi melakukan pembelaan terhadap Gerakan Seni Rupa Baru yang dimotori oleh seniman-seniman muda dalam Biennale Jakarta 1975; sementara Sudarmadji menganggap sebaliknya, seniman-seniman muda ini belum dewasa dalam berkesenirupaan sehingga tendensinya ingin mendobrak dan menghilangkan ide-ide dan estetika lama dalam dunia kesenirupaan. Walau sudah banyak kritik yang dialamatkan pada konstruksi berpikir dikotomis di atas, namun dalam kenyataannya pola berpikir tersebut masih mewarnai perdebatan wacana dan praksis di berbagai ranah termasuk di dunia kesenirupaan hingga kini. Frasa-frasa “tidak terlalu menengok keluar (Barat)” dan mendefiniskan ulang tradisi dengan “menelisik ke dalam (Timur)” menjadi contoh atas masih melekatnya wacana dan praksis berpikir dikotomis tersebut. Setiap

usaha untuk meninggalkannya selalu malah memperlihatkan dan semakin menegaskannya kembali dengan lebih kuat. Beban yang digendong di pundak dan trauma masa lalu sebagai bangsabangsa terjajah atau disebut secara peyoratif sebagi inlander sepertinya masih terus menghantui, terutama dalam cara berpikir. Istilah dan wacana ekuator sepertinya masih belum bisa leluasa meninggalkan beban masa lalu sebagai bangsa-bangsa terjajah ini. Lihatlah dalam berbagai pameran ataupun perhelatan kesenian (kesenirupaan) di Indonesia, selalu muncul istilah serta konsep modernitas, kontemporer dan istilah serta konsep tradisi, lokalitas yang merupakan bentuk-bentuk representasi kontestasi dinamis peradaban Barat dan Timur. Dalam konteks Indonesia kini, terjemahan ekuator yang masih berbau konstruksi berpikir dikotomis bisa ditemukan menjelma menjadi persoalan politik nasional, yaitu menyangkut isu kewilayahan. Persoalan isu kewilayahan: Jawa versus luar Jawa,

Ÿ Ruang Simposium Khatulistiwa dalam Biennale Jogja XIII Equator #3. Simposium Khatulistiwa adalah forum diskusi lintas disipliner yang diselenggarakan dua tahun sekali, berselang dengan Biennale Jogja Equator.

Indonesia Barat versus Indonesia Timur, menjadi semakin kompleks karena berjalinkelindan dengan isu agama. Bila Anda menyebut asal dari Bali, otomatis Anda akan dianggap beragama Hindu. Padahal ada penganut non-Hindu lahir dan telah berdiam di Bali selama sekian generasi, misalnya komunitas-komunitas Muslim Bali seperti Kampung Muslim Kepaon di Denpasar dan Pegayaman di Buleleng. Identitas selalu dianggap tunggal dan statis hingga kemudian mendorong munculnya politik otentisitas. Mengklaim identitas diri paling asli, murni, tidak tercampur dan kemudian menganggap yang lain sebaliknya. Klaim identitas paling asli ini kemudian diikuti dengan klaim otoritas, bahwa karena dia asli (yang sebenarnya problematis) maka memiliki hak atas kepemimpinan. Hal inilah yang mengemuka dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia lewat isu putra daerah. Turunannya kemudian dikaitkan dengan agama yang mayoritas dianut penduduk di sebuah wilayah. Misalnya, karena di Jakarta mayoritas penduduknya beragama Islam, maka pemimpinnya harus beragama Islam dan tidak boleh beragama lain. Hampir sejak awal keberadaan kepulauan nusantara hingga kini, persoalan di atas menjadi pekerjaan rumah yang tidak selesai. Bahkan baru-baru ini, bermula dari eksploitasi isu etnis dan agama untuk politik kekuasaan dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, Indonesia terkesan terbelah karena isu sektarian. Namun pasca-pemilihan gubernur tersebut, pembelahan yang terjadi lebih terkait dengan lahirnya kelompok-kelompok yang coba mengusung isu negara agama, yang kemudian direspons oleh kelompokkelompok yang mengedepankan konsesus nasional kebangsaan Indonesia. Perdebatan ini punya sejarah sepanjang umur Republik Indonesia ini, yakni antara yang menginginkan agama tertentu diakomodir dalam konstitusi negara Indonesia dengan yang mengedepankan bahwa Indonesia dibentuk oleh keberagaman etnis serta agama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berbarengan dengan perhatian yang semakin diarahkan pada pembangunan di luar Jawa, rezim saat ini juga melakukan semacam aksi afirmatif (affirmative action) untuk kehidupan kesenian (kesenirupaan) masyarakat di luar pulau Jawa. Penambahan pendirian institut seni atau sekolah tinggi seni di luar Jawa, misalnya di Papua, menjadi contohnya. Para cerdik pandai memberi label pemerintahan Jokowi ini sebagai new developmentalism (Warburton 2016) atau kapitalisme negara (Widojoko 2017). Model pembangunan ini menekankan pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan, sekolah untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah Jawa dengan luar Pulau Jawa. Ranah kesenian (kesenirupaan) juga menjadi perhatian pemerintah dalam kolaborasi dengan kampanye pariwisata. Lalu kira-kira di manakah relevansi konsep Equator dalam perhelatan Biennale Jogja XIV dan sumbangsihnya (bila meminjam istilah pejabat di era Orba) dalam kehidupan kesenian (kesenirupaan) di Indonesia dan negara-negara dalam lintasan ekuator? Menengok semangat Dasasila Bandung hasil Konferensi Asia

Afrika 1955 bisa jatuh menjadi romantisisme masa lalu, atau dalam bahasa Sutan Takdir Alisjahbana disebut mengusap-ngusap kehebatan masa lalu layaknya mengusap lampu Aladin? Reinterpretasi atas Dasasila Bandung dengan konteks kekinian membutuhkan pembacaan ulang atas aspek geopolitikekonomi negara-negara yang dilintasi ekuator. Brasil misalnya, negara yang dilintasi ekuator dan menjadi negara yang diajak berkolaborasi dalam Biennale Jogja XIV ini, membangun blok ekonomi bernama BRICS yang merupakan singkatan dari Brasil, Rusia, India, Cina, Afrika Selatan. Kelompok negara yang gabungan kekuatan ekonominya oleh Goldman Sachs disebut akan mengalahkan negara-negara terkaya di dunia saat ini pada tahun 2050. Artinya, solidaritas negara-negara yang dilintasi ekuator bukanlah solidaritas tunggal, namun disesuaikan dengan konteks kepentingan negara-negara bersangkutan. Demikian pula, ekuator dalam konteks Indonesia mesti dimaknai dan diekspresikan secara tidak tunggal, bahkan kadang kontradiktif, sehingga perlu pembacaan yang disesuaikan dengan konteks ruang, waktu, dan kepentingannya. Ekuator tidaklah berada di ruang hampa dan tentu saja tidak bisa diterima begitu saja (taken for granted) tanpa sikap kritis. Setelah sekian usaha panitia Biennale Jogja yang dipicu oleh masukan pemikiran dari para penyaji dan penanggap dalam tiap diskusi sejak gelaran Equator pertama hingga ketiga, saya hanya ingin menawarkan satu pemikiran yang saya akrabi: suatu konsep yang mirip dengan Equator, yaitu konsep Nyegara Gunung. Berbeda dengan Equator yang cenderung dikotomis dan beroposisi biner, Nyegara Gunung beranjak melampauinya karena satu tidak meniadakan yang lain atau saling melengkapi. Konsepsi seperti Nyegara Gunung ini merupakan representasi kosmologi dan kosmogoni lokal tentu bisa ditemukan di berbagai tempat di Indonesia bahkan dunia. Secara harfiah, nyegara gunung terdiri atas kata segara—yang berarti laut—dan gunung. Dalam kepercayaan Bali dan berbagai kepercayaan lokal di dunia, dua tempat ini—laut dan gunung—dianggap sebagai tempat suci yang harus dijaga dan dilindungi. Nyegara Gunung merupakan kepercayaan manusia Bali tentang siklus kehidupan yang dikenal dalam konsep Utpeti (penciptaan), Stiti (pemeliharaan), Pralina (pemusnahan). Penciptaan bermula di pegunungan hingga berputar kembali saat abu jasad dibuang ke segara (laut) untuk kemudian dimulai penciptaan kembali dalam konsep reinkarnasi. Ritual ngaben dan ngasti adalah medium untuk menjamin tetap berjalannya siklus kehidupan manusia Bali. Dalam konsep Bali, ngaben atau yang lebih dikenal sebagai upacara pembakaran mayat ini adalah proses pemusnahan dan pengembalian bukan hanya atma (soul), namun juga jasad manusia (sarira kosha) kepada pembuatnya, yaitu Paramatma. Setelah jasad dibakar dalam upacara ngaben, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut, yaitu membuang abu dari jasad yang dibakar ke sungai atau ke laut (segara). Lewat upacara ngasti kemudian secara simbolis abu diambil di laut (pusatnya di Pura Goa Lawah Klungkung, Bali) untuk kemudian

disembahyangkan ke Pura Dalem Puri di komplek Pura Besakih. Selanjutnya ke Pura Dalem, tempat dari mana sang meninggal berasal, hingga terakhir diletakkan di pura keluarga di rumah. Pada titik ini, sang meninggal sudah menjadi hyang dewatidewata yang bersatu dengan penciptanya. Inilah siklus kehidupan manusia Bali dalam konsepsi Nyegara Gunung. Terjadinya kaliyuga, goro-goro—suasana hiruk pikuk atau chaos ketika antara kebaikan dan kebatilan menjadi samar—hingga masa sandyakala—beranjak surutnya (entah pasar, entah wacana dan kritik)—dalam kesenian (kesenirupaan), menurut konsepsi lokal Nyegara Gunung ini dengan arif dimaknai sebagai proses mencari keseimbangan dan penciptaan (bentuk baru). Semoga Biennale Jogja XIV tahun 2017 ini mampu menjadi medium upakara adat, entah dalam bentuk manten (pernikahan) seperti dimaksudkan kuratornya atau dalam rupa lainnya, menuju proses kreatif penciptaan (baru) tersebut.

Daftar bacaan Said, Edward, 2010. Orientalisme, Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwarsono, Alvin Y. So, 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia: Teori-teori Modernisasi, Dependensi, dan Sistem Dunia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Boeke, J.H. dan D.H. Burger. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bhatara. Alisjahbana, Sutan Takdir, Sanusi Pane, dkk. 1954. Polemik Kebudayaan. Miharja, Achdiat K. (ed.). Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementrian PP dan K Jakarta dan Balai Pustaka. Warburton, E. 2016. Jokowi and the New Developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(3), 297-320. Widojoko, Johanes Danang. 2017. Sisi Lain Pilkada Jakarta: Kembali Surutnya Kapitalisme Negara?. https://indoprogress.com/2017/04/sisi-lainpilkada-jakarta-kembali- surutnya-kapitalismenegara/

This article is from: