17 minute read
Dari Pra Biennale 20-25 Maret 2017: Sebuah Refleksi Orang Biasa
J. Seno Aditya Utama
(Tim Riset dan Basis Data Biennale Jogja XIV Equator #4)
Advertisement
Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta
Mencoba menyeruak dari ingar-bingar karya yang terpapar, membuat saya terhenti sejenak. Ini bukan ketiadaan kata yang harus terucap atau kehampaan ruang yang ditemui. Semua ada, atau setidaknya semua seperti ada, namun saya tergagap dan membisu untuk merespons semua itu. Bisa jadi hal ini disebabkan saya bukanlah orang yang memiliki pengetahuan tentang dunia seni. Setidaknya seperti yang telah dipelajari teman-teman yang mendalami ilmu tersebut. Saya semata suka seni, sebagai wadah tampung dan pewujud dunia batin serta permenungan saya tentang sesuatu. Sederhananya dapat dikatakan, melalui seni saya menikmati pengalaman emosional dan kekaguman terhadap sesuatu yang disebut “indah”. Saya tidak memiliki banyak kosakata, terminologi, atau
Pengunjung menyaksikan karya dalam ruang pamer Pra Biennale Foto: Penulis
jargon—seperti yang biasa tersaji dalam tulisan-tulisan seni rupa—untuk mengungkapkan refleksi ini. Seperti beberapa di antaranya: “pencapaian artisitik”, “… mewakili semangat kontemporer”, “presentasi dan representasi represi masyarakat” atau “... garis-garis dan sapuan yang bersinambung”. Pada konteks ini—saya menilai, pengalaman saya menikmati seni bukanlah hal yang canggih, sehingga dapat diungkapkan melalui kata-kata seperti tersebut sebelumnya. Meskipun demikian, harus saya sampaikan pula bahwa sebagai pembanding, saya sendiri tidak tahu seperti apa kecanggihan pengalaman seni yang melampaui pengalaman macam ini. Lengkap sudah situasi ketidaktahuan saya, bukan? Buta pengetahuan seni dan buta cara mengapresiasi dan memahami seni. Namun baiklah bila saya sampaikan ini: pengalaman seni saya tidak lebih seperti seorang yang bereaksi spontan terhadap suatu sensasi yang menerpa dirinya. Identik dengan saat orang melihat pemandangan alam atau melalui sebuah pengalaman yang sontak membuatnya berkata, “Wow!” (lih. Kandinsky, 1982). Dengan keterbatasan tersebut, tulisan ini tidak bermaksud menilai karya, namun lebih menggambarkan dunia batin orang biasa saat menghadapi ragam karya seni rupa yang tersaji di hadapannya.
Ancaman dan Ketegangan
Bila direfleksikan, bisa jadi ekspresi emosi spontan tersebut merupakan wujud elemen primitif manusia terkait pertahanan diri, terutama saat menyadari adanya ancaman terhadap dirinya. Ancaman akan memunculkan ketegangan (stress), sehingga memunculkan tiga respons emosi, yaitu: bertarung (fight), menghindari, (flight) atau terdiam (freeze) (Canon, 1929). Tentu saya tidak menganggap karya-karya tersebut sebagai ancaman, sehingga saya tidak harus mempertahankan diri. Namun pada pengertian lain, karya-karya tersebut adalah “ancaman” karena serta-merta dan serentak “menampakkan” dirinya pada saya. Tidak kuasa saya mengelak dan menghindarinya. Tidak kuasa pula saya menyembunyikan reaksi spontan terhadap terhadap karya-karya tersebut. “Ancaman” ini merupakan sebuah pengalaman baru yang masih asing bagi diri saya. Pada konteks pengalaman menikmati karya seni di Pra Biennale, respons saya rupanya terdiam. Meskipun demikian, masih terdapat ruang bagi saya untuk menyadari dan mengendapkan pengalaman ini: mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pada bagian berikut saya jelaskan singkat ketiga respons tersebut dan reflkesi saya terhadap ketiganya.
Bertarung
Bertarung pada pokoknya adalah agresi, tindakan untuk melukai atau melumpuhkan pihak lain. Bertarung membutuhkan penyaluran daya yang memadai dan strategi yang jitu untuk menang. Situasi yang dibaca adalah adanya serangan yang berpotensi mengancam diri, terlepas dari nyata-tidaknya ancaman tersebut. Misalnya, melawan penjambret yang mencoba mengambil tas adalah hal yang tidak pernah terbayangkan oleh seorang calon korban. Boro-boro menguasai suatu teknik bela diri, ia selama ini dianggap orang yang lembut, tidak suka kekerasan. Namun tindakan melawannya saat itu dapat diartikan sebagai bentuk respons
bertarung untuk menghadapi ancaman diri. Di samping itu, tindakan bertarung terkadang tidak memerlukan kondisi awal terkait terdeteksinya ancaman. Bertarung pada kondisi seperti ini, kaitannya bukan lagi dengan pembacaan situasi, melainkan dengan pembacaan kondisi diri. Intensi, narasi sejarah diri atau profil kepribadian menjadi ruang lingkup yang setidaknya dapat menjelaskan hal tersebut. Adanya keinginan untuk ekspansi wilayah misalnya, tidak memerlukan deteksi ancaman serangan dari wilayah yang ingin dikuasainya. Pada situasi ini, mengonstruksi ancaman jauh lebih dikedepankan ketimbang terdeteksinya ancaman nyata dari wilayah tersebut. Merespons pengalaman menyaksikan Pra Biennale, saya tidak berposisi untuk bertarung, mengingat saya merasa tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk menantangnya bertarung. Terlebih, saya tidak memiliki ambisi “mengekspansi” diri ke wilayah tersebut.
Menghindari
Menghindari pada pokoknya adalah mengambil jarak. Dengan berjarak, orang menyalurkan daya untuk menghadapi ancaman secara langsung. Bisa jadi karena daya ancaman dianggap lebih besar daripada potensi daya yang dimiliki untuk langsung menghadapinya. Bisa jadi pula disebabkan oleh ketidaktahuan tentang daya ancaman, sehingga kalkulasi risiko tidak dapat dilakukan dengan mudah. Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, tindakan mengambil jarak adalah mengalihkan kondisi tidak aman menjadi aman. Saat skripsi tidak juga rampung misalnya, bertemu atau berpapasan dengan dosen pembimbing adalah hal yang paling dihindari mahasiswa. Ia lalu tidak pernah ke kampus, atau kalaupun harus ke kampus, ia akan berada di tempat-tempat yang minim potensi bertemu dengan dosen tersebut. Situasi aman tentu dapat membatu menenangkan diri, sehingga proses penulisan skripsi dapat dilakukan dengan jernih. Namun, tetap terbuka sebuah kemungkinan bahwa situasi tenang justru membuat diri terlena. Proses penulisan tidak pernah terjadi; yang terjadi adalah lingkaran setan ketakutan dan keterlenaan pada rasa aman. Saya juga tidak akan menghindari terpaan pengalaman yang telah terjadi. Bagi saya, hal ini merupakan pengalaman baru sebagai bagian dari proses belajar memahami manusia dan masyarakat dengan segala kompleksitasnya. Karya yang tersaji merupakan artefak yang merepresentasikan dunia psikologis individu (imajinasi, memori, kreativitas, kecemasan, atau emosi) dan interelasinya dengan dunia sosial yang terjadi saat ini. Sangat disayangkan bila kesempatan ini berlalu begitu saja dan tidak tercatat sebagai sebuah refleksi.
Terdiam
Terdiam pada pokoknya adalah daya yang tertahan pelepasannya. Terdiam dapat diartikan kelumpuhan, ketidakmampuan, dan ambiguitas. Namun, terdiam dapat diartikan pula sebagai keberanian, konsolidasi, bahkan perlawanan. Terdiam adalah rentang variasi kemungkinan yang dapat dibaca dari tendensi terhadap dua kutub sebelumnya, yaitu bertarung dan menghindari. Kuat dan hampir setaranya tarikan-tarikan kedua kutub tersebut menimbulkan adanya titik pusat tegangan.
Titik ini adalah situasi stasioner dengan tingkat intensitas bervariasi, tergantung tegangan dua kutub tersebut. Respons terdiam saya dapat diartikan sebagai munculnya ketegangan antara kedua kutub bertarung dan menghindari. “Pertarungan” saya adalah tarikan diri untuk memahami karya dan menemukan makna serta keindahan di dalamnya. Di samping itu, saya ingin juga memahami benang merah keseluruhan karya yang tersaji. Saya juga “menghindari” dalam bentuk ketidaksiapan untuk menyadari bahwa terdapat ragam respons diri saya terhadap karya-karya tersebut. Ada rasa hampa, tak berarti dan dingin, saat menghadapi suatu karya. Demikian pula, ada pula rasa bingung, sehingga muncul tanya di benak, “Di mana ya seninya?” Dua tarikan tersebut menegang, saling mengutarakan argumentasi, dan menyerang. Lalu menempatkan saya di titik tengah, yaitu terdiam dalam ketegangan.
***
Ketegangan yang saya rasakan bukanlah ketidakberdayaan maupun kondisi pasif. Ketegangan tersebut adalah proses atas tindakan saya dan terutama dapat bermakna positif. Secara teknis ketegangan itu saya sebut sebagai stress. Paparan sebelumnya secara singkat menjelaskan adanya tiga variasi respons yang muncul. Satu hal penting yang mendahului munculnya ketiga kemungkinan tersebut adalah faktor tegangan (stress). Stress tidak selalu berarti situasi negatif, seperti yang selama ini kita pahami. Stres adalah situasi ketegangan dan merupakan respons terhadap sesuatu. Dengan pemahaman ini, dapat dikatakan setiap saat kita berpotensi mengalami stres. Dari terjaga hingga kembali lelap tertidur, bahkan dalam tidur pun, situasi ketegangan tersebut bisa saja tidak terhindarkan. Bermimpi dikejar-kejar raksasa misalnya, tentu akan menjadi pengalaman tidur yang menegangkan. Membuat kita merasa lelah, meski kita baru saja isitrahat semalaman. Kata stres tidak selalu berkonotasi buruk, bahkan kita membutuhkan stres. Mempersiapkan presentasi untuk pertemuan esok hari misalnya, memunculkan ketegangan tertentu terhadap “ancaman” yang mungkin terjadi saat itu. Kita lalu mempersiapkan materinya dengan baik, sambil melatih halhal yang ingin kita sampaikan. Stres seperti penggambaran ini disebut eustres (stres positif). Sebuah situasi kebalikan dari distres, yaitu stres negatif yang sering dikeluhkan sebagai sebuah keadaan yang mengganggu kestabilan mental. Terkait terdiamnya saya dalam merespons karya-karya Pra Biennale, dapat dikatakan hal tersebut bukanlah dilatarbelakangi oleh rasa kagum (setidaknya pengalaman rasa kagum di masa lalu saya dapat mendeteksi munculnya rasa itu). Bagi saya, pengalaman emosi yang muncul lebih tepat disebut sebagai rasa bingung. Saya mengalami ragam paparan yang membingungkan. Saya tidak menemukan benang merah perjalanan batin saat menyaksikannya. Terhadap tiap-tiap karya, semua masih tampil sebagai dirinya, belum sebagai satu kesatuan makna. Bisa jadi hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa karya yang disajikan adalah karyakarya yang sudah dibuat oleh para seniman sebelum Pra Biennale. Maka dapat dimaklumi, belum muncul rangkaian pengalaman yang menyatu sebagai
sebuah pengalaman emosi dan keindahan yang dapat memunculkan kekaguman saya. Bisa saja ini menjadi persolan tertentu bagi aspek kuratorial. Namun bagi saya, aspek penting yang tidak dapat diabaikan adalah pendampingan para seniman yang terlibat. Mematangkan proses diri dan proses karya adalah pokok yang harus diperhatikan. Seniman yang fokus dalam berkarya dan berupaya mengenali lebih dalam gerak batin adalah situasi yang mendukung pematangan tersebut. Di samping itu, keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan dan kerja keras yang disertai kejujuran, akan membantu optimalisasi karya seniman. Saya melihat masih ada ruang positif dan harapan untuk mencapai itu. Untuk itu kerja cerdas dan kerja keras kedua pihak haruslah diperkuat. Pengelolaan organisasi harus lebih efektif dan jelas, dengan tidak mengabaikan aspek semangat dan filosofi keorganisasian yang ingin dibangun. Di samping itu, perlu juga tetap menjaga dan memunculkan isu secara sistematis, baik bagi seniman maupun bagi publik seni rupa dan publik secara keseluruhan. Membaca situasi saat ini saya anggap ini adalah kondisi eustres. Pra Biennale adalah tambang yang telah direntangkan. Kondisi-kondisi yang tampak adalah yang tercipta dan sekaligus diciptakan untuk melakukan evaluasi dan refleksi. Semakin mendekati Biennale pada November nanti, tambang tersebut akan semakin kuat tegangannya. Pada saat itu akan muncul karya-karya yang meletup dan proses kuratorial yang mengerucut. Terlihatlah kemudian, bahwa tambang tersebut rupanya bukan seutas tambang, melainkan sebuah jaring. Ketika sebuah tambang menegang maka itu akan menarik pilinan tambang-tambang di sekitarnya, sehingga sebagai jaring ia mampu menangkat sesuatu dari dasar lautan. Kita harapkan yang terambil adalah ikan segar, sebagai santapan lezat dan bergizi bagi kita semua. Bukan sampah lautan yang berisi sepatu, plastik, kaleng, atau pesan dalam botol. Namun katakanlah demikian, setidaknya kita sudah membersihkan lautan untuk kemudian dapat menikmati laut dengan nyaman. ***
Referensi
Walter Bradford Cannon. (1929). Bodily Changes in Pain, Hunger, Fear, and Rage. New York: Appleton-Century-Crofts. Kandinsky .W. (1982). Kandinsky: Complete Writings on Art. Lindsay, K.C. & P. Vergo. Boston:
Adalah peristiwa Biennale Jogja (BJ) yang terjadi kesepuluh kalinya, pada tahun 2009. Kemudian ia dikenal dan dikenang banyak orang dengan nama: Jogja Jamming. Sesungguhnya ia adalah kecelakaan sekaligus berkah alias anugerah. Setidaknya, bolehlah disebut semacam blesssing in disguise. Saya tidak akan membicarakan sejarah Biennale Jogja dari awal berdirinya. Justru dari momen BJ X itulah saya akan memulai tulisan sederhana ini.
Judul atau tajuk resmi peristiwa seni rupa dua tahunan ini adalah “Gerakan Arsip Seni Rupa Yogyakarta” sebagaimana ditawarkan oleh salah satu kuratornya, Wahyudin, ketika itu. Namun nama resmi itu menjadi kurang berbunyi dibandingkan dengan julukan baru “Jogja Jamming” tersebut. Kegiatan utamanya, yakni memamerkan karya dari perupa terpilih, ternyata kalah jauh populer dibanding 'acara tambahan' yang menyertainya. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dengan kata lain, parallel events atau supporting events, bahkan acara off- dan off-off-nya lebih disukai daripada main event-nya sendiri. Inilah penjelasan dari kecelakaan di alinea pembuka di atas. Meski beberapa oknum menyebut kejadian luar biasa itu lebih menyerupai festival daripada pameran penting dua tahun sekali dan bukanlah biennale yang tertib menurut konsep dan definisi universal, tak boleh dimungkiri, ia (Biennale Jogja X) adalah yang paling terkenal hingga hari ini. Lengkap dengan kemeriahan, keramaian, kemegahan, kebesaran, keindahan, keriuhan, keterlibatan, kebahagiaan, kelucuan, keakraban, kebaruan, dan juga kekacauan serta kebisingan yang dihasilkannya. Ia terus menjadi buah bibir dan acuan bagi sebagian besar perupa dan masyarakat penontonnya. Pun menjadi semacam ukuran atau malah momok menakutkan bagi penerusnya. Dan di rentang waktu panjang, sejak terpilihnya kurator hingga kegiatan dianggap selesai—lebih dari enam bulan, lebih lagi jika pasca-event dihitung—ada satu hal yang saya katakan sebagai sebuah berkah atau anugerah. Yaitu munculnya wacana tentang pentingnya sustainability alias keberlangsungan acara unggulan ini. Tidak hanya berhenti sebagai wacana belaka, panitia dan penyelenggara Biennale Jogja X mengajak beberapa stakeholder seni rupa di kawasan ini untuk melakukan audensi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, hingga mewujud sebuah lembaga bernama Yayasan Biennale Yogyakarta. Jika sebelumnya Taman Budaya Yogyakarta—yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta—bertindak sebagai pelaksananya, maka sejak yayasan ini terbentuk, tugas tersebut telah berpindah tangan. Termasuk dalam penentuan dan atau pemilihan tema, kurator, dan hal-ihwal seturut dengannya.
Estetika itu Hukumnya Wajib
Yuswantoro Adi
(Pelukis, tinggal di Yogyakarta)
Nah, pada penugasan pertama, Yayasan Biennale Yogyakarta telah membuat sebuah keputusan besar: memilih tema “Equator” yang bersifat serial. Hingga jilid kelima, artinya akan berlaku terus-menerus selama 10 tahun! Sebuah keputusan yang cerdas lagi hebat, namun terlalu berani dan punya potensi risiko yang tinggi pula. Ia beda, unik, baru, dan belum pernah ada penyelenggara biennale dari kota atau negara lain yang memilih tema semacam itu, apalagi untuk waktu yang tidak sebentar. Sampai jilid ketiga dan menjelang jilid keempat, tema tersebut telah berjalan. Sayangnya hanya sekadar bisa berjalan, bahkan boleh dibahasakan sebagai tertatih-tatih. Kenapa bisa begitu? Ada dua alasan besarnya. Pertama, apa boleh buat ia pasti akan dibandingkan dengan peristiwa serupa sebelumnya. Dan berhubungan langsung atau tidak, sertamerta akan timbul hal baru kedua, bernama penolakan alias resistensi. Jika engkau pelawak lucu yang harus tampil setelah pelawak yang sangat-sangat lucu sekali, maka engkau bakal tetap dianggap tidak lucu, meskipun sesungguhnya lumayan lucu. Biennale XI atau Equator seri pertama disaksikan oleh penonton relatif sama yang sebelumnya telah menikmati kemeriahan, keramaian, kemegahan, kebesaran, keindahan, dan seterusnya. Semoga analogi sederhana tersebut cukup membantu membayangkan kondisinya. Agar lebih jelas, tema dan konsep Equator itu sangat baru, berbeda, dan belum terlalu dikenal. Untuk itu perlu cara bagus menjelaskannya. Sebagian besar peserta pameran ini juga belum diakrabi, butuh pendekatan yang menimbulkan simpati. Sayangnya, pihak yang berwenang untuk menyampaikan penjelasan tersebut, termasuk kurator dan penyelenggara lainnya, membuat kondisinya jadi tidak mudah dengan perilaku yang kurang bersahabat dengan kawan-kawan media. Padahal, rasanya semua orang sudah mafhum bahwa media adalah senjata andalan untuk mengenalkan apa pun. Bagai virus, kekurangbersahabatan itu langsung menular ke mana-mana. Alhasil ada resistensi alias penolakan yang tak terelakkan terhadap biennale 'baru' ini. Indikasi yang paling mudah ditemui adalah orang tak merasa perlu menonton pembukaan pamerannya. Di hari selanjutnya, pameran juga tidak dihadiri jumlah penonton yang cukup. Jangankan menonton, membicarakan saja malas. Bahkan yang lebih kejam malah menganggap Biennale Jogja sudah tidak lagi penting! Begitu seterusnya dan sialnya kondisi semacam itu berlanjut sampai jilid ketiga kemarin. Pengantar lumayan panjang itu perlu dituliskan semata agar memudahkan saya untuk masuk ke bahasan estetika. Mari kita perhatikan setiap hal dan persoalan secara cermat lagi teliti supaya sidang pembaca sekalian tidak salah mengenali apalagi salah dan berburuk sangka terhadap tulisan saya ini. Memang sederhana kelihatannya, namun berhati-hati tetap lebih baik, bukan? Pengertian Estetika menurut Wikipedia adalah “salah satu cabang filsafat yang membahas bagaimana keindahan bisa terbentuk, dan bagaimana supaya dapat merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian
Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta
terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.” Demi membaca itu, maka estetika macam apa yang bisa kita lihat atau kita berikan penilaiannya manakala serial Equator ditonton pun tidak oleh mereka yang menujukkan sikap resistensi tersebut? Yang saya maksud dengan penyebutan “mereka” dalam tulisan ini adalah sebagian perupa yang berdomisili di Yogyakarta, wartawan, dan atau pelaku media (termasuk media sosial), serta masyarakat penonton seni. Dan jangan lupa, jumlah mereka jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan yang tidak bersikap resisten
Maka, menjadi kewajiban Equator #4 untuk mengajak kembali orang, perupa dan siapa pun untuk hadir menyaksikan perhelatan istimewa ini. Artinya merayu sebisa mungkin, kemudian mengubah penolakan menjadi penerimaan. Cara yang paling masuk akal adalah menghadirkan kembali estetika visual. Dengan kata lain, menghadirkan hal terkait keindahan alias estetika sebagai bagian wajibnya, bukan sekadar bersifat sunah seperti beberapa seri Equator sebelumnya. Tentu masih ada upaya dan atau siasat pelengkap lainnya. Setidaknya ada empat kemungkinan yang saya pikirkan tentang itu. Berikut di bawah ini:
1. Periksa ulang makna dan pengertian ekuator
Ekuator atau lintasan khatulistiwa adalah letak geografis di peta bumi dengan batasan sekitar 23 derajat di garis lintang utara maupun selatan. Dengan demikan, harusnya jelas siapa atau negara mana yang termasuk di dalamnya. Mari kita periksa satu demi satu. India, negara pertama yang digandeng Biennale Jogja Equator terletak di koordinat 8º hingga 37º Lintang Utara (LU) dan membentang dari 68º sampai 97º Bujur Timur (BT). Kedua, Arab Saudi yang posisi koordinatnya antara 15°–32°LU dan antara 34°–57°BT. Di utara dan sebetulya lebih ke cenderung ke wilayah subtropik daripada khatulistiwa yang tropika. Nigeria sebagai negara pilihan ketiga, berada di 5°–14° LU dan 4°–16° BT. Dan yang sebentar lagi, secara astronomis Brasil terletak di antara 5° LU–33° Lintang Selatan (LS) dan antara 46°–74° Bujur Barat (BB). Nah dari empat pilihan yang telah dilakukan, tiga di antaranya baru sekadar menyerempet atau mendekati garis khatulistiwa, dan ketiganya terletak di sebelah utaranya. Hanya satu negara yang benar-benar dilintasi oleh garis ekuator sebagaimana Indonesia, yakni Brasil. Sejatinya, ini mewakili pertanyaan saya: “Kok belum ngekuator banget?”
2. Periksa ulang konsep Biennale
Equator
Dari rujukan informasi yang saya dapatkan, disebutkan bahwa seri pertama Biennale Equator bertajuk Shadow Lines. Istilah ini merujuk pada “garis imajiner yang membawa orang-orang untuk bersatu, dan sekaligus memisahkan mereka. Shadow Lines juga merujuk pada batasan geopolitis dan penciptaan negara modern di Asia Selatan.” Dalam gelaran ini, ada 40 seniman Indonesia dan India yang terlibat. Tema yang dipilihnya adalah “Religiusitas, Spiritualitas, dan Kepercayaan”. Eksplorasi atas tema ini ingin menunjukkan “beragam pendekatan dan cara pandang dalam
menyikapi ranah ini dengan interpretasi atas situasi kontemporer mereka, bersumber pada pengalaman personal dan struktur politik di negara tempat mereka hidup.” Selanjutnya, kita tilik sejenak konsep kuratorial Equator #2. Di sana dinyatakan bahwa Biennale Equator “berani mengimajinasikan cakupan wilayahnya sendiri.” Dengan pilihan wilayah kerja semacam ini, negara-negara yang direncanakan akan terlibat adalah negara dalam kategori 'non-Barat' atau 'Dunia Ketiga'. Kategori ini berkaitan erat dengan sejarah kolonial, pascakolonial, serta relasi yang lahir sebagai imbas dari globalisasi abad ke-20. Proyek ini diharapkan mampu menggali dan membaca ulang sejarah serta proyeksi baru tentang kawasan khatulistiwa.
Meski mungkin benar 'non-Barat', tetapi cukup tepatkah menganggap negara kaya raya seperti Arab Saudi sebagai 'Dunia Ketiga'? Lalu di perhelatan Equator #3 bersama Nigeria, saya hanya mendapati kata “Hacking Conflict” sebagai konsepsi atau sekadar judul. Pada biennale yang akan datang, kurator Sigit Pius menawarkan tema “Mengintip Hubungan Intim Dua Negara Padat Populasi”. Nah, adakah konsep/tema serial Equator ini menghasilkan olahan visual yang bisa didekati dengan prespektif estetika? Jujur untuk tiga seri terdahulu, saya gagal mendapatkannya. Meski tidak secara langsung menyaksikan wujud fisik karya seni rupa tersebut, bukan berarti saya tidak mengintip dan kulak informasi dari berbagai sumber. Sebagai perhelatan seni rupa yang dipandegani oleh (baca: menggunakan jasa) kurator yang lebih mementingkan wacana daripada tampilan visual, memang agak susah menemui hal ihwal artistik, keindahan, dan atau filosofi seni nan estetis itu. Sebabnya (lagi), bagi kelompok ini seni rupa bukanlah soalan visual, melainkan bagaimana soalan itu di/ter-kata-kan. Dan karenanya (lagi), estetika bukan lagi ukurannya.
3. Menawarkan estetika baru
Sangat bisa jadi Anda menuduh tulisan saya sebagai pemikiran yang sudah kuno, sudah bukan zamannya lagi. Barangkali sebagian menduga ini menggunakan pendekatan modernisme, belum lagi postmodern apalagi kontemporer. Namun izinkanlah saya membela diri dengan membeberkan beberapa kesalahpahaman kontemporer yang berlaku sejauh ini. Anything Goes alias apa pun boleh sempat menjadi jargon utama kelompok salah kaprah ini. Padahal sejatinya jika apa pun boleh, maka akan menjadi ajaib jika kelompok ini bersikukuh menuntut untuk menyebut perbuatan mereka sebagai seni dan kesenian. Semestinya yang lain juga boleh menganggap 'kesenian' itu sebagai bukan atau apalah. Alasannya, untuk menentukan boleh atau tidaknya sesuatu disebut sebagai seni, ada syarat dan ketentuan yang tegas dan jelas. Bahwa di dalam dunia kreatif, seni bersifat otonom itu benar adanya. Namun kebanyakan orang salah menerjemahkan otonom sebagai bebas semata. Satu hal penting dalam makna yang terkandung dalam kata ini adalah mempunyai hukumnya sendiri (having its own laws). Hukum dalam konteks itu jelas bicara tentang aturan, bukan sembarangan apalagi asal-asalan.
Kesalahpahaman dan atau kesalahkaprahan berikutnya adalah karena sudah memegang perspektif post-modern, maka modernisme dianggap telah lewat. Bukan begitu cara melihatnya. Untuk tiba pada yang-post, seseorang harus sudah mampu melewati atau khatam perspektif yang mendahuluinya. Nah, aneka kesalahan inilah yang akhirnya membolehkan karya seni yang tidak lagi harus nyeni. Bagi saya, justru karena Biennale adalah peristiwa seni rupa, maka mau tak mau kandungan alias konten seni rupanya harus lebih banyak dibanding unsur pelengkapnya.
4. Banyak-banyaklah berdoa
Kurator terbaru, Sigit Pius, telah menjelaskan pada saya tentang konsep dan laku artistik menyiapkan Equator jilid keempat ini. Salah satu temuan kreatifnya adalah memperlakukan perhelatan ini sebagai semacam pernikahan. Tentu ada banyak adat dan tata cara serta upacaranya. Salah satu yang akan membukanya adalah menggelar EdanEdanan sebagai pembuka jalannya. Saya cenderung percaya ia mampu melampauinya dengan baik, Namun tak lupa mengingatkan bahwa musuh terbesarnya adalah resistensi sebagaimana berulang kali disebut di muka. Dan satu lagi: angka 4 adalah pertanda sial dalam peruntungan bangsa Tiongkok. Tapi kelompok beranggotakan 4 orang pemuda tampan dari Taiwan yang bermain di serial Meteor Garden justru meraih kesuksesan, bukan? Semoga semangat dan niat baiknya mampu melahirkan pemahaman dan pemaknaan baru mengenai lintasan khatulistiwa melalui proses dan dinamika terkait estetika dalam penyelenggaraan Biennale Jogja. Dan sekali lagi, percayalah, manakala kau percaya kesenian maka ia tak akan pernah mengkhianatimu. Keindahan apalagi yang engkau dustakan?
Yogyakarta,17 Mei 2017