Biodiversitas vol. 7, no. 1, January 2006 (abstract in English)

Page 1

ISSN: 1412-033X


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: editor@unsjournals.com; unsjournals@yahoo.com. Online: www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 55/DIKTI/Kep/2005

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA: Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto, Kusumo Winarno (Ilmu Lingkungan)

PENYUNTING AHLI: Prof. Ir. Djoko Marsono, Ph.D. Prof. Dr. Hadi S. Alikodra, M.Sc. Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si. Prof. J.M. Cummins, M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Jusup Subagja, M.Sc. Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja, M.Sc. Dr. Setijati Sastrapradja Dr. Dedi Darnaedi Dr. Elizabeth A. Wijaya Dr. Yayuk R. Suhardjono

(UGM Yogyakarta) (IPB Bogor) (UNS Surakarta) (Murdoch University Australia) (UGM Yogyakarta) (ITB Bandung) (Yayasan KEHATI Jakarta) (Kebun Raya Bogor) (Herbarium Bogoriense Bogor) (Museum Zoologi Bogor)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.


PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan. Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya. PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.


Pengantar Terbitan Memasuki bulan Januari 2006 ada kemeriahan luar biasa. Dalam satu bulan terjadi tiga kali perayaan tahun baru, yaitu Tahun Baru Masehi 2006, Tahun Baru Hijriyah 1427, dan Tahun Baru Imlek 2557, untuk itu Pemimpin Redaksi beserta seluruh jajaran Dewan Redaksi dan pengelola jurnal “Biodiversitas, Journal of Biological Diversity” mengucapkan “Selamat Tahun Baru”, semoga pergantian tahun ini dapat diikuti perubahan sikap, tindakan, dan pola pikir untuk menjadi lebih progresif, demi membangun Indonesia baru yang lebih demokratis, toleran, dan menghargai nilai-nilai spiritualitas, sehingga dapat dicapai negeri yang adil, makmur, “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja” dan diberkahi Allah SWT, sebagaimana dicita-citakan oleh para Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers) dan termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Memasuki tahun baru 2006 ini, Redaksi mendapatkan pelajaran sangat berharga dari sebuah tulisan. Komunikasi yang tidak lancar di antara penulis dan pengelola jurnal menyebabkan sebuah tulisan yang telah terbit di sebuah jurnal ilmiah, pada tahun berikutnya terbit pula di jurnal ilmiah ini, sehingga dengan sangat terpaksa Dewan Redaksi memutuskan untuk menyatakan bahwa tulisan tersebut dianggap tidak pernah terbit di jurnal ini. Dengan ralat ini, Dewan Redaksi berlepas diri dan tidak lagi bertanggungjawab atas naskah tersebut. Semoga hal ini tidak merusak kerjasama dan sesrawungan ilmiah yang telah terbangun dengan baik selama ini. Dewan Redaksi perlu kembali mengingatkan para penulis untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh “Pedoman untuk Penulis”. Pedoman yang disusun dengan sangat detail dan gamblang tersebut dimaksudkan untuk menjadi ramburambu yang memudahkan para penulis dalam mempublikasikan karya ilmiahnya, tidak hanya dalam hal tata cara penulisan dan substansi naskah, namun juga pada aspek legal dan moral dari sebuah tulisan. Sekedar mengingatkan, dalam pedoman tersebut tersurat pula hal-hal berikut: Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan....... Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi..................... Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta................... Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini. Dewan Redaksi seringkali menerima tulisan yang kurang mengindahkan pedoman di atas. Adalah mudah bagi Dewan Redaksi untuk menolak sebuah tulisan yang secara substansi tidak sesuai dengan misi jurnal atau memiliki kualitas materi rendah. Namun rasa welas asih menyebabkan Dewan Redaksi sulit untuk mengirim balik sebuah naskah yang tidak mengikuti format atau bergaya bahasa semrawut. Untuk itu dengan segala cara dilakukan asistensi untuk membuat naskah tersebut “bunyi” dan enak dibaca. Namun hal ini dengan sendirinya menguras cukup banyak energi dan waktu, yang selanjutnya dapat berakibat pada kesalahan cetak dan molornya jadwal terbit. Untuk itu penulis dimohon dengan sungguh-sungguh untuk mengikuti tata cara penulisan naskah, serta tidak sungkan meminta bantuan pakar bahasa untuk mengedit manuskrip sebelum dikirimkan kepada Dewan Redaksi. Dewan Redaksi perlu pula melaporkan adanya penambahan jumlah artikel dalam setiap nomor. Pada tahun ini jumlah naskah yang diterbitkan dalam setiap nomor dinaikkan menjadi sekitar 20 buah (± 100 halaman), bertambah dari tahun sebelumnya yang hanya sekitar 15 buah (± 75 halaman). Selanjutnya dengan seleksi yang sangat ketat, naskah dengan tema “konservasi sumberdaya alam hanyati dan ekosistemnya” (konservasi biologi dan lingkungan) dapat diterbitkan dalam jurnal ini, melengkapi tema sebelumnya yang secara an sich membatasi diri pada keanekaragaman aras gen, spesies, dan ekosistem. Pada tahun 2006 ini berkembang pula wacana untuk membangun sebuah jaringan peneliti biodiversitas, yang mencakup penelitian mikrobia, tumbuhan dan hewan, baik pada tingkat gen, spesies, ekosistem, maupun budaya, mengingat hingga saat ini belum ada himpunan profesi yang dapat merangkul semua peneliti biodiversitas dari berbagai latar belakang ilmu. Himpunan profesi yang ada umumnya spesifik pada disiplin ilmu tertentu. Hal ini tentunya tidak buruk, tetapi tetap disadari perlu adanya sebuah jembatan yang mampu memfasilitasi komunikasi secara intens di antara para peneliti biodiversitas dari berbagai bidang ilmu tersebut. Dalam hal ini tampaknya perlu adanya seminar dan lokakarya ilmiah nasional untuk mempertemukan para peneliti biodiversitas di seluruh tanah air, serta membangun “Masyarakat Biodiversitas Indonesia” (Indonesian Biodiversity Society). Semoga wacana ini dapat dikembangkan untuk menjadi sesuatu yang riil yang bermanfaat bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Selamat membaca. Wassalam, Dewan Redaksi


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 1-3

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Soil Fungi in an Over-burned Tropical Rain Forest in Bukit Bangkirai, East Kalimantan SUCIATMIH♥ Microbiology Division, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor 16002

Received: 30 March 2005. Accepted: 6 July 2005.

ABSTRACT A study was conducted in Bukit Bangkirai forest, East Kalimantan, to understand the impact of forest fire on the existence of soil fungi. Three permanent plots were used for the research, i.e. undamaged plot (K), lightly damaged plot (LD), and heavily damaged plot (HD). Each plot was 1 ha and divided into 100 sub-plots (10 m x 10 m). For observation of soil fungi, in the center of the five randomly selected sub-plots from each plot was made a sampling plot (2 m x 2 m). After removing the organic matter surface (O layer), soil sample was collected from top layer (A) and second layer (B) in each of the five sampling plots. Soil fungi were isolated using dilution plate method and o they were incubated at room temperature (27-28 C). This process was replicated two times for each soil sample. The result indicated that forest fire decreased the diversity and population of soil fungi. The highest soil fungi population was found in the undamaged (K) plot at the top layer (A) (389.0 colonies/mg dry soil), while the lowest population was in the lightly damaged plot (LD) at the second layer (B) (12.3 colonies/mg dry soil). Gongronella butleri was dominant species in the area of the tropical rain forest which was fired in Bukit Bangkirai, East Kalimantan. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: damaged and undamaged plots, colony, population, soil fungi, soil layer.

INTRODUCTION According to Garty (1991) fire is a frequently occurring natural event, with almost all of the fires caused by lightning. In Indonesia, the forest fire occur almost every year mainly due to human activities such as clearing for large-scale plantation. The fire occured between 1997 and 1998 were aggraved because of the El Nino effect, which has caused Indonesia suffer from drought. In 1997, forest fire has destroyed at least 2 million ha forest in Indonesia. The fire resulted in loss of biodiversity and may alter soil physicochemical properties and thus affected the composition of soil microflora. Soil fungi have great influence on the cycling of nutrients, therefore determine soil fertility and promote plant growth. The present work was designed to investigate the effect of fire on the population, composition and distribution of soil fungi in an over-burned tropical rain forest in Bukit Bangkirai, East Kalimantan.

MATERIAL AND METHOD Description of areal study The experiment was conducted in a conservation forest, Bukit Bangkirai, East Kalimantan. The last fire occured in this forest was in mid of 1998. Three permanent plots, each represented undamaged (K), lightly damaged (LD), and heavily damaged (HD) sites, were established. Each plot ♥ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: suciatmih2002@yahoo.com

was ± 1 ha. At the time of study (July 2002), LD and HD plots were occupied by ferns and macarangas. Some parts of LD plot occupied by Dipterocarps trees. The plot was then divided to (10 m x 10 m) sub-plots. Collection of soil sample Each sub-plot was selected to assess the presence of soil fungi. Sampling plots (2 m x 2 m) were established at the center of the selected sub-plots, that is, each of the three plots included five sampling-plots. Soil samples for the fungous study were taken from the top layer (A) and the second layer (B) for each sample after removal of the surface organic matter. All the sample were kept in plastic bags and transported to the laboratory. These samples were air-dried and passed through 2 mm-mesh before the analysis of pH, total N, total organic C, and C/N ratio; and the isolation of soil fungi. Data were analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) and the least significant different (LSD) test. Isolation of soil fungi Soil fungi were isolated using the serial dilution plate technique (Suciatmih, 1999). A dilution of 1 part of soil to 1,000 parts of medium was used for planting. Two plates were used for each sample and incubated at room o temperature (27 C) for 3-5 days. “taoge sucrose agar” (TSA) containing streptomycin sulfate and amcillin antibiotics at the rate of 0.1 g/ 1000 ml and 0.05 g/1000 ml respectively was used for soil fungi. All fungi appearing during the incubation were transferred to TSA slant. The number of fungal colonies developing on each plate was counted and the number of fungi per mg of dry soil was calculated. Fungi identification follows Domsch et al. (1980), and Ellis (1993).


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 1-3

2

Table 1. Soil properties, pH and layer of plot. Soil pH Total organic Soil layer Total N (%) C/N ratio content (%) (cm) KCl H2O KA 4.292 ± 0.423a 3.538 ± 0.242a 1.72 ± 0.58cd 0.114 ± 0.045bc 0.096 ± 0.031ab 7,9 ± 074 a KB 4.578 ± 0.242ab 3.948 ± 0.250ab 1.01± 0.49abc 0.058 ± 0.018a 0.058 ± 0.018a LDA 4.748 ± 0.254abc 3.808 ± 0.143ab 1.62 ± 0.50bc 0.102 ± 0.024abc 0.101± 0.025ab 5,4 ± 0,65 a LDB 5.010 ± 0.055c 4.124 ± 0.076b 0.74 ± 0.26ab 0.066 ± 0.014ab 0.068 ± 0.013a HDA 4.290 ± 0.323a 3.534 ± 0.662a 2.58 ± 1.44d 0.132 ± 0.054c 0.130 ± 0.056b 9,7 ± 3,8 a HDB 4.854 ± 0.334bc 4.094 ± 0.292b 0.47 ± 0.38a 0.064 ± 0.055ab 0.062 ± 0.052a Note: Value followed by the same letter in the same column are not significantly (p<0.05) different as determined by the least significant different (LSD) test. K= undamaged site, LD= lightly damaged site, HD= heavily damaged site, A= top layer, B= second layer. Plot

RESULT AND DISCUSSION Result of this study indicated that there were significant differences each in total N, C/N ratio, and total organic C to soil layer (p< 0.05). The top (A) layer contained more total organic C, total N, and C/N ratio than those in the second (B) layer (Table 1). Soil pH of both top (A) and second (B) layers of all plots were acid. There were significant differences in soil pH (both H2O and KCl) to soil layer (p< 0.05). Soil pH at the top (A) layer was lower than the second (B) layer. Table 2. Population of soil fungi at different soil layers. No

Plot

Soil layer

Colonies/mg dry soil

1 K A 389.0 a 2 B 35.8 c 3 LD A 128.4 b 4 B 12.3 c 5 HD A 209.0 b 6 B 19.6 c Note: Value followed by the same letter in the same column are not significantly (p<0.05) different as determined by the least significant different (LSD) test. K= undamaged site, LD= lightly damaged site, HD= heavily damaged site, A= top layer, B= second layer.

Table 3. Correlation between fungal colony and soil properties Soil properties

Regresion

Total organic content (C) Y= 37.2 + 70.5 x (r= 0.4307*) Total N Y= 129.6 + 38.3 x (r= 0.07) C/N ratio Y= 284.9 – 6.5 x (r= -0.16) pH (H2O) Y= 1253 – 242 x (r= -0.6 **) pH (KCl) Y= 958.7 – 215 x (r= -0.53**) Note: ** significantly different (p<0.01). * significantly different (p<0.05).

In general, soil under study had high sand fraction. Soil texture of K, LD, and HD plots at the top (A) layer were (sand 68.25%, silt 27.75%, clay 4.0%), (sand 73.5%, silt 23.5%, clay 3%), and (sand 85.4%, silt 13.4%, clay 1.2%) respectively, while at the second layer of K, LD, and HD plots were (sand 69.0%, silt 27.5%, clay 3.5%), (sand 73.75%, silt 23.25%, clay 3.0%), and (sand 85.4%, silt 13.4%, clay 1.2%) respectively. Soil of K plot had higher silt and clay fraction than that of other plots. Soil that has higher clay and silt fraction may have better attachment for microbes. There were significant differences in the population of soil fungi to plot (p< 0.01), soil layer (p< 0.01), and interaction between plot and soil layer (p< 0.05). Undamaged (K) plot at the top (A) layer had significantly higher spore population than that in the damaged (both LD

and HD) plots, while at the second (B) layer, there were no significant differences in soil fungal population between plots (Table 2). Results obtained clearly indicated that there was a marked decrease in the number of colonies with increasing layer depth. Lower fungal colony in deeper layer is in accordance with results reported by Eicker (1970). The higest number of fungal colonies was isolated from soils collected from K plot at the top (A) layer and the lowest came from LD plot at the second layer. Population of soil fungi was affected by forest fire. Fungal population in the damaged (both LD and HD) plots were lower than that in the undamaged (K) plot (Table 2). It could be considered that forest fire lead to a reduction and possibly the elimination of soil fungi. A significant and positive correlation (p< 0.05) was established between the fungal population and total organic C, while between the fungal population and soil pH (both H2O and KCl) was a significant and negative correlation (p< 0.01) (Table 3). It means that there were a decrease in the total organic C content and an increase in soil pH respectively to the second layer, accompanied by a rapid decrease in colony numbers. Brown (1958), found that there is a general tendency for fungus population to be poorer in the deeper layers of soil even if other factors are the same. It is probable that the combined effect of a number of factors, such as carbon content, pH, total N, C/N ratio, and probably some other factors, act together to bring about this vertical decrease in numbers. In this study there were no correlation between C/N ratio and total N to fungal colony. Waid (1960), lists temperature, moisture, carbon dioxide, and oxygen concentration, size of soil-pore spaces, durability of fungal mycelium, interaction between soil fungi and soil fauna and soil reaction as factors which may influence the growth and mycelium production of fungi in soil. Diversity of soil fungi also tend to decrease by forest fire. The damaged (both LD and HD) plots, appeared to have lower diversity of soil fungi namely 26 and 25 species respectively than the undamaged (K) plot namely 31 species (Table 4). Thirty seven apparently different fungi were isolated from the soils of the three plots, 18 of them have been identified to species and 19 of them to genus. Except for Cancellidium, Gliocephalis, and Helicorhoidion almost all the species identified were common, typical soil fungi which have been recorded worldwide ( Ito and Nakagiri, 1997a,b; Ito, et al., 1999; Ito et al., 2001). Table 4 shows the frequency of detection of fungi isolated from soil of plot. Gongronella butleri (Lendner) Peyronel and Dalvesto was detected in the highest frequency from the 60 samples used (30.0%) and from all six soil samples. According to Domsch et al. (1980), this fungus has a worldwide distribution with apparently higher frequencies in (sub) tropical regions. Suciatmih (2002) reported that this fungus was also found in Halimun


SUCIATMIH – Soil fungi in Bukit Bangkirai, East Kalimantan

Mountain at 700 m asl. The second dominant species was Penicillium sp.1 (28.3%). Cancellidium, Gelasinospora retispora, Gliocladium virens, Helicorhoidion, and Talaromyces wortmannii were detected in lowest frequency (1.7%). Prominent genera were Aspergillus, Penicillium and Trichoderma, which each had four species.

CONCLUSION Forest fire affected the diversity and population of soil fungi. The damaged (both LD and HD) plots, appeared to have lower diversity and population of soil fungi than that of the undamaged (K) plot. The highest fungal population was isolated from soils collected from undamaged (K) plot at the top (A) layer while the lowest was is from LD plot at the second layer. A significant and positive correlation (p< 0.05) was established between the fungal population and total organic C, while between the fungal population and soil pH (both H2O and KCl) were significant and negative correlation (p < 0.01). Gongronell butleri, was the highest frequency, while Cancellidium, Gelasinospora retispora, Gliocladium virens, Helicorhoidion, and Talaromyces wortmannii were of low frequency.

ACKNOWLEDGMENT I would like to thank Research Center for Biology-LIPI, Bogor, Indonesia and National Institute for Environmental Studies (NIES), Tsukuba-Japan to support this research.

3

Tabel 4. Fungi isolated from soil of plot and their frequency of isolation. K

LD

HD

Absidia corymbifera (Cohn) Sacc.& Trotter Aspergillus flavus Link ex Gray Aspergillus kanagawaensis Nehira Aspergillus niger van Tieghem Aspergillus sp. Cancellidium sp. Chaetomium sp. Cladosporium herbarum (Pers.) Link ex S.F. Gray Coniothyrium sp. Cunninghamella echinulata (Thaxt.) Thaxt. Curvularia lunata (Wakker) Boedijn Emericella nidulans (Eidam) Vuill Eupenicillium parvum (Raper & Fennell) Stolk&Scot Eupenicillium sp. Gelasinospora retispora Cain Gliocephalis sp. Gliocladium solani Gliocladium virens Miller, Giddens & Foster Gongronella butleri (Lendner) Peyronel & Dalvesto Gnomonia sp. Helicorhoidion sp. Mortierella sp. Mucor sp. Neurospora crassa Penicillium sp.1 Penicillium sp.2 Penicillium sp.3 Penicillium sp.4 Pestalotiopsis sp. Rhizoctonia sp. Syncepalastrum sp. Talaromyces wortmannii (Klocker) C.R. Benjamin Talaromyces sp. Trichoderma harzianum Rifai Trichoderma polysporum (Link ex Pers.) Rifai Trichoderma viride Pers ex Gray Trichoderma sp. Sterile dark mycelium Sterile white mycelium

A b 4 2 3 1 3 3 1 3 2 3 2 3 4 1 1 4 4 2 1 6 3 3 3 1 1 2 6 4

B 1 2 3 1 2 1 1 1 1 2 1 2 3 2 1 1 3 3 2 2 3 2 1 4 3

A 3 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 1 3 1 1 1 3 2 1 4 2 1 1 1 1 -

B 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 2 3 2 1 1 1 -

A 2 3 2 1 3 2 1 1 3 2 1 2 2 2 6 2 2 1 1 2

B 2 1 2 1 1 3 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1 2 1

Freq a (%) 13.3 13.3 15.0 11.7 11.7 1.7 8.3 11.7 6.7 6.7 3.3 15.0 11.7 5.0 1.7 6.7 6.7 1.7 30.0 18.3 1.7 5.0 5.0 3.3 28.3 5.0 23.3 6.7 10.0 10.0 5.0 1.7 31.7 21.7 11.7 10.0 6.7 23.3 16.7

Total number of strains Number of samples

68 10

56 10

40 10

24 10

41 10

27 10

60

Fungi

Note: a: Total number of positive samples/total number of samples x 100. b: Number of positive samples in each soil layer. K= undamaged site, LD= lightly damaged site, HD= heavily damaged site, A= top layer, B= second layer. Freq.= frequency.

REFERENCES Brown, J.C. 1958. Fungal mycelium in dune soils estimated by a modified impression slide technique. Transaction British Mycolgical Society 41: 81-88. Domsch, K.H., W., Gams, and T., Anderson. 1980. Compedium of Soil Fungi. Volume I. London: Academic Press. Eicker, A. 1970. Vertical distribution of fungi in Zululand soils. Transaction British Mycological Society 55 (1): 45-57. Ellis, M.B. 1993. Dematiaceous Hyphomycetes. London: International Mycological Institute. Garty, J. 1991. The postfire recovery of rock-inhabiting algae, microfungi, and lichens. Canadian Journal of Botany 70: 301-312.

Ito, T. and A. Nakagiri. 1997a. A mycofloral study on mangrove mud in Okinawa, Japan. IFO Research Communications 18: 32-39. Ito, T. and A. Nakagiri. 1997b. Mycoflora of the rhizospheres of mangrove trees. IFO Research Communications 18: 40-44. Ito, T., A. Nakagiri, M. Tanticharoen and L. Manoch. 2001. Mycobiota of mangrove forest soil in Thailand. IFO Research Communications 20: 5060. Ito, T., I. Okane., and A. Nakagiri. 1999. Mycoflora of the rhizosphere of Salicornia europaea L., a halophytic plant. IFO Research Communications 19: 34-40. Suciatmih. 1999. Keanekaragaman jamur tanah dan kemampuannya melarutkan fosfat pada lahan bekas tambang timah Singkep. Jurnal Mikrobiologi Tropika 2 (1 & 2): 51-54. Suciatmih. 2002. Diversity of soil fungi in Cipta Rasa of Gunung Halimun National Park at two altitudes. Berkala Penelitian Hayati 8(1): 11-14. Waid, J.S. 1960. The growth of fungi in soil. In: Parkinson, D. and J.S. Waid (ed.). The Ecology of Soil Fungi. Leverpool: Liverpool University Press.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 4-6

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Potensi Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata dalam Membersihkan Logam Kontaminan pada Limbah Penambangan Emas Potency of Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, and Micania cordata for cleaning metal contaminants of gold mines waste NURIL HIDAYATI♼, FAUZIA SYARIF, TITI JUHAETI Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 30 Mei 2005. Disetujui: 16 Juli 2005.

ABSTRACT Based on some findings that some plants are tolerant to contaminated media, this research was conducted to study more thoroughly about characters and potencies of some of them as hyperaccumulators. Three of the most tolerant plants were studied in this research i.e Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides,and Micania cordata. The plants were grown in different waste media, i.e. tailing from PT. Aneka Tambang (ANTAM) and people mine waste. Both waste have different characters, physically and chemically. Waste of PT ANTAM major contaminant was cianide (Cn) whereas people mine waste major contaminant was mercury (Hg). This different characters resulted in different plant responses. The plants grown under PT ANTAM waste media gave better performance than that grown under people mine waste media. The most tolerant species was C. pubescence followed by M. cordata and C. mucunoides. Ability in metal accumulation of C. mucunoides was the highest, followed by M. cordata and C. pubescence.The results raised some-prospects for phytoremediation technology for rehabilitating contaminated mined lands. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, Micania cordata, hyperaccumulators, phytoremediation.

PENDAHULUAN Sejumlah tumbuhan terbukti dapat beradaptasi terhadap lingkungan marginal dan ekstrim seperti tanah limbah yang banyak terkontaminasi zat-zat beracun dan memiliki kualitas fisik, kimia maupun biologis sangat rendah. Di antara tumbuhan ini bahkan ada yang memiliki toleransi tinggi sehingga mampu menyerap dan mengakumulasi logam kontaminan di dalam jaringannya. Potensi ini sangat penting dan berguna untuk dimanfaatkan sebagai mediator pembersih tanah dan perairan yang tercemar. Banyak penelitian membuktikan kemampuan tumbuhan sebagai hiperakumulator, misalnya hiperakumulator untuk seng (Zn) dan kadmium (Cd). Thalspi caerulescens mampu memproduksi biomassa hingga 5 metrik ton ha-1 dan -1 mengakumulasi Zn hingga 125 kg ha atau 20-40% dari berat keringnya (Salt, 2000; Li et al., 2000; Ebbs et al., 2000; Baker et al., 1994; Brown et al., 1995). Alyssum bertolonii dapat mengakumulasi nikel (Ni) (Salt, 2000; Reeves,1992). Reynourtria sachalinensis dan mikroalga Chlamydomonas sp. telah digunakan untuk remediasi lahan bekas instalasi senjata kimia yang terkontaminasi arsen (As) dengan kemampuan akumulasi > 2 g As kg-1 (Feller,

♼ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: herbogor@indo.net.id

2000). Atriplex codonocarpa dapat menyerap hingga 12,2% Na (13,0 g Na per tanaman) dan A. linleyi dapat menyerap hingga 13,8% natrium (Na) atau 44,6 g Na per tanaman untuk fitoremediasi tanah salin (Ishikawa et al., 2001). Tanaman Lolium multiflorum, Holcus lanatus dan Agrotis castellana telah digunakan untuk fitostabilisasi bekas penambangan emas yang terkontaminasi As dan Zn (Vangronsveld et al., 2000). Dari penelitian yang dilakukan di lahan bekas penambangan emas ditemukan banyak jenis tumbuhan yang toleran terhadap limbah. Beberapa di antaranya bahkan menunjukkan kemampuan akumulasi logam yang tinggi pada jaringannya, misalnya Ipomoea sp. yang mampu menyerap plumbum (Pb) hingga 44,00 ppm, sianida (Cn) hingga 35,70 ppm dan Cd 1,4 ppm, serta Micania cordata yang mampu menyerap hingga 11,65 ppm Pb dan 3,66 ppm Cn (Hidayati dan Saefudin, 2003; Juhaeti et al., 2005). Azolla yang tumbuh pada air limbah mengandung 94 ppm Pb; sedangkan genjer dan eceng gondok masing-masing mengandung 167 dan 196 ppm (Juhaeti dan Syarif, 2003). Beberapa jenis tumbuhan juga terbukti mampu beradaptasi pada lingkungan pembuangan limbah penambangan emas rakyat yang terkontaminasi merkuri (Hg) hingga 21,66 ppm, di antaranya Lindernia crustacea (L.) F.M. yang mampu menyerap Hg hingga 89,13 mg per kg berat keringnya dan Digitaria radicosa (Presl) Miq. yang mengandung Hg 50,93 mg/kg (Hidayati et al., 2004). Serangkaian penelitian dilakukan baik secara in situ maupun ex situ dengan tujuan memperoleh jenis tumbuhan


HIDAYATI dkk – Bioremediasi logam emas dengan C. pubescence, C. mucunoides, dan M. cordata

potensial untuk fitoremediasi lahan dan perairan yang tercemar limbah pengolahan emas. Diawali dengan skrining jenis tumbuhan yang toleran dari lokasi pembuangan limbah penambangan emas rakyat dan penambangan emas berskala besar. Diikuti penelitian lanjutan untuk memilih jenis-jenis tumbuhan yang potensial sebagai tumbuhan hiperakumulator, yakni memiliki daya adaptasi dan toleransi yang tinggi, mampu memproduksi biomassa dan mengakumulasi logam berat pada jaringan tajuknya dalam jumlah relatif besar. Di antara jenis tumbuhan hasil skrining yang menunjukkan potensi tinggi dan perlu diteliti lebih lanjut adalah Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata.

BAHAN DAN METODE Percobaan ini merupakan riset penggalian potensi tumbuhan hiperakumulator untuk membersihkan kontaminan pada lahan dan perairan yang tercemar limbah penambangan emas. Percobaan ex situ ini dilakukan di rumah kaca Laboratorium Fisiologi Stres, Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor dengan kondisi rata-rata suhu udara + o 30 C dan kelembaban + 88%. Media limbah diambil dari limbah tailing dam PT. Aneka Tambang (Antam) dan penambangan emas rakyat Pongkor. Bahan tanaman dikoleksi dari lokasi pembuangan limbah tailing dam. Dari sekitar 20 jenis tanaman koleksi dipilih tiga jenis cover crop yang dominan pada areal penimbunan limbah dan diharapkan merupakan jenis yang potensial untuk tujuan membersihkan logam berat pencemar pada lahan bekas penambangan. Jenis tumbuhan yang digunakan adalah Centrocema pubescence (T1), Calopogonium mucunoides (T2), dan Micania cordata (T3) yang ditanam pada dua jenis limbah penambangan yakni limah tailing (L1) dan limbah penambangan emas rakyat (L2). Percobaan dirancang secara acak kelompok dengan lima ulangan. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh produksi biomassa, penambahan cabang dan penambahan jumlah daun, penampakan visual gejala defisiensi dan keracunan unsur serta kandungan logam berat kontaminan yakni Pb, Cn dan Hg yang terakumulasi pada jaringan tanaman dan kandungan logam berat pada media yang dianalisis di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi bahan kontaminan limbah penambangan emas PT. Aneka Tambang dan penambangan rakyat berbeda terutama pada kandungan Hg dan Cn. Limbah PT. Aneka Tambang mengandung Cn relatif lebih tinggi dan Hg rendah. Limbah penambangan emas rakyat sebaliknya mengandung Hg sangat tinggi hingga 21,66 ppm dan Cn rendah (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena dalam proses pengolahan emas digunakan bahan yang berbeda, yakni Cn pada PT. Aneka Tambang dan Hg pada penambangan emas rakyat. Kandungan logam berat lainnya (Pb, Fe, Cd dan Zn) pada kedua limbah penambangan sama tingginya jauh melebihi kandungan logam berat tanah non limbah. Limbah PT. Aneka Tambang dan penambangan emas rakyat masing-masing mengandung 20 dan 30 kali (Pb); 50 dan 120 kali (Fe); 40 kali (Cd) dan 2 dan 3 kali (Zn) dibandingkan tanah non limbah. Disamping perbedaan dalam komposisi kimia dari kontaminan, limbah tailing dan limbah penambangan emas rakyat juga memiliki perbedaan dalam sifat-sifat fisiknya. Limbah tailing cenderung bertekstur pasir sementara limbah penambangan emas rakyat lebih bertekstur liat dengan porositas yang rendah. Tabel 1. Perbandingan kandungan logam berat limbah pengolahan emas milik PT. Aneka Tambang dan penambangan emas rakyat Pongkor. Jenis limbah

Penambangan emas rakyat Pongkor Cn (ppm) Hg (ppm) 0,022 239,38 0,013 5,067 0,011 20,574 0,005 21,645

PT. Aneka Tambang Cn (ppm) 0,155 0,999 0,121 0,006

Tanah Air 1. Air 2. Air 3.

Hg (ppm) 0,293 0,022 0,023 0,070

Perbedaan karakter limbah ini mengakibatkan perbedaan respon dan performa tanaman. Pada awal masa pertumbuhan, ketiga jenis tanaman mampu tumbuh pada kedua jenis limbah dengan cukup baik. Setelah lebih dari satu bulan laju pertumbuhan menurun sesuai dengan kemampuan dan karakter masing-masing jenis. Pada limbah penambangan emas rakyat pertumbuhan ketiga jenis tanaman lebih baik dibandingkan pada limbah tailing (Gambar 1). Di antara ketiga jenis tanaman, C. pubescence (T1) menunjukkan daya adaptasi dan pertumbuhan paling baik diikui oleh M. cordata (T3). Sementara C. mucunoides (T2) tidak dapat bertahan hidup setelah bulan ketiga (Gambar 1 dan 2). Laju pertumbuhan dan produksi biomassa ketiga jenis tanaman sangat rendah pada kedua media limbah. Walaupun demikian dua jenis tanaman yakni T1 dan T3 masih menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang cukup baik pada media limbah. 30

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

T1L1 T1L2 T2L1 T2L2 b

T3L1 T3L2

Jumlah Cabang

Jumlah Daun

Limbah penambangan emas rakyat dan penambangan emas skala besar memiliki karakteristik yang berbeda.

5

25

T1L1

20

T1L2 T2L1

15

T2L2 b

10

T3L1 T3L2

5 0

1

2

3

4

5

Waktu Pengamatan (minggu)

Gambar 1. Pertumbuhan daun tiga jenis tanaman pada dua jenis limbah. Keterangan: T1: C. pubescence, T2: C. mucunoides, T3: M. cordata L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat.

1

2

3

4

5

Waktu Pengamatan (minggu)

Gambar 2. Pertumbuhan cabang tiga jenis tanaman pada dua jenis limbah. Keterangan: T1: C. pubescence, T2: C. mucunoides, T3: M. cordata L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 4-6

6

perbaikan kualitas media tumbuh seperti pemupukan organik, manipulasi pH, aplikasi jasad renik, dan lain-lain.

Berat Kering (g)

35 30 25 20

KESIMPULAN

15 10 5 0

T1

T2

T3

Jenis Tanaman

Gambar 3. Produksi biomassa ketiga jenis tanaman pada dua jenis media limbah (berat kering dalam gram). Keterangan: T1: C. pubescence, T2: C. mucunoides, T3: M. Cordata, L1: Limbah tailing dam, L2: Limbah penambangan emas rakyat. Tabel 2. Serapan logam ketiga jenis tanaman pada dua jenis limbah. Perlakuan

Kandungan (ppm) Sianida Timbal Raksa (Cn) (Pb) (Hg)

Limbah Penambangan Emas Rakyat (L2) C. pubescence (T1) daun C. pubescence (T1) akar C. mucunoides (T2) M. cordata (T3) Limbah PT. Aneka Tambang (L1) M. cordata (T3)

3,36 0,47 3,51 2,27 4,03

0,014 29,91 0,29 1,30 11,94

0,0005 0,4800 0,6800 0,0005 0,1600

C. pubescence termasuk jenis yang dapat beradaptasi dengan baik pada media limbah sebagaimana ditunjukkan oleh produksi biomassa paling tinggi dibandingkan kedua jenis lain (Gambar 3), tetapi dalam penyerapan logam tidak superior karena C. mucunoides dan M. cordata terbukti menyerap logam dalam jumlah lebih besar. Dibandingkan dengan kedua jenis tanaman lainnya, C. mucunoides menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat dengan produksi biomassa paling rendah. Walaupun demikian tanaman ini menunjukkan kemampuan penyerapan logam berat yang paling tinggi untuk Cn dan Hg (Tabel 2). Seperti dikemukakan Salt (2000), tidak mudah memperoleh semua sifat hiperakumulator sekaligus dalam satu jenis tanaman. M. cordata walaupun bukan jenis yang memproduksi biomassa paling tinggi tetapi termasuk jenis yang dapat beradaptasi pada kedua jenis limbah. Kenyataan ini juga ditunjang oleh data dari penelitian yang menyimpulkan bahwa tanaman ini merupakan jenis yang dominan di lahan bekas penambangan emas (Sambas, 2002). Serapan logam M. cordata yang ditanam pada L1 terbukti lebih besar dibandingkan pada L2. Salah satu kemungkinan penyebab perbedaan ini adalah pertumbuhan akar tanaman pada L1 yang bertekstur pasir lebih banyak dibandingkan perakaran pada L2 yang lebih bertekstur liat. Pada C. pubescence ada indikasi bahwa akumulasi Cn lebih banyak pada daun, sedangkan Pb dan Hg lebih banyak pada akar. Hal ini sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan pada pemilihan tumbuhan hiperakumulator, yakni akumulasi logam berat pada tajuk yang jauh lebih tinggi dibandingkan akumulasi pada akar agar logam berat dapat terambil dengan mudah bersama tajuk tanaman pada saat pemanenan. Pertumbuhan ketiga jenis tanaman pada kedua jenis media limbah memang lebih rendah dibandingkan dengan media non lombah, tetapi hasil riset menyimpulkan bahwa ada harapan bagi jenis-jenis tanaman tertentu untuk dijadikan mediator rehabilitasi lahan bekas penambangan apabila disertai dengan perlakuan

Hasil percobaan menunjukkan bahwa beberapa tanaman memiliki kemampuan untuk tumbuh pada media limbah pengolahan emas yang memiliki karakteristik fisik dan kimia marjinal. Tanaman yang toleran pada media limbah menunjukkan penyerapan logam berat yang lebih tinggi, tetapi tingginya penyerapan logam tidak selalu berkorelasi positif dengan produksi biomassa. M. cordata dan C. mucunoides mampu menyerap logam dengan konsentrasi tinggi walaupun produksi biomassanya tidak terlalu tinggi, sebaliknya C. pubescence mampu memproduksi biomassa lebih tinggi pada limbah yang terkontaminasi logam berat, tetapi kemampuan menyerap logam berat lebih rendah dibandingkan M. cordata dan C. mucunoides.

DAFTAR PUSTAKA Baker, A.J.M., R.D. Reeves, and A.S. M.Hajar. 1994. Heavy metal accumulation and tolerance in British populations of the metallophyte Thlaspi caerulescens J.& C. Presl (Brassicaceae). New Phytologist 127: 61-68. Brown, S.L., R.L. Chaney, J.S. Angle, and J.M. Baker. 1995. Zinc and cadmium uptake by hyperaccumulator Thlaspi caerulescens grown in nutrient solutionn. Soil ScienceSociety American Journal 59:125-133. Ebbs, S., L. Kochian, M. Lasat, N. Pence, and T. Jiang. 2000. An integrated investigation of the phytoremediation of heavy metal and radionuclide contaminated soils: From laboratory to the field. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc. Feller, A.K. 2000. Phytoremediation of soils and waters contaminated with arsenicals from former chemical warfare installations. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc. Hidayati, N. dan Saefudin. 2003. Potensi Hipertoleransi dan Serapan Logam Beberapa Jenis Tumbuhan pada Limbah Pengolahan Emas. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Hidayati, N., T. Juhaeti dan F. Syarif. 2004. Karakterisasi Limbah dan Vegetasi yang Tumbuh pada Penambangan Emas Rakyat dan Penambangan Berskala Besar di Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Ishikawa, Y., K. Eguchi, T. Aoki, T. Hoshino, Y. Yamaguchi, M. Kubota, Y. Hiraga, A. Williams, T. Anzai, and M. Iahikawa, S. Matsumoto. 2001. Integrated phytoremediation in salt affected area. Dalam: Prosiding Workshop Vegetation Recovery in Degraded land Areas. Kalgoorlie, Western Australia, 27 October – 3 November 2001. Juhaeti, T. dan F. Syarif. 2003. Studi Potensi Beberapa Jenis Tumbuhan Air untuk Fitoremediasi. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Juhaeti, T., F. Syarif dan N. Hidayati. 2005. Inventarisasi tumbuhan potensial untuk fitoremediasi lahan dan air terdegradasi penambangan emas. Biodiversitas 6 (1): 31-33. Li, Y.M., R.L. Chaney, J.S. Angle, and M. Baker. 2000. Phytoremediation of heavy metal contaminated soils. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc. Reeves, R.D. 1992. The hyperaccumulation of nickel by serpentine plants. In: Baker, A.J.M., J. Proctor, and R.D. Reeves (eds.). The Vegetation of Ultramafic (Serpentine) Soils. Andover, Hampshire, UK.: Intercept Ltd. Salt, D.E. 2000. Phytoextraction: Present applications and future promise. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc. Sambas, E.N. 2002. Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah pada Areal Tailing Dam PT. Aneka Tambang (Antam) Pongkor. [Laporan Teknik]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Vangronsveld, J., A. Ruttens, M. Mench, J. Boisson, N.W. Lepp, R. Edwards, C. Penny, and D. van der Lelie. 2000. In situ inactivation and phytoremediation of metal-and metalloid-contaminated soils: Field experiments. In: Wise, D.L., D.J. Trantolo, E.J. Cichon, H.I. Inyang, and U. Stottmeister (eds.). Bioremediation of Cotaminated Soils. New York: Marcell Dekker Inc.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 7-9

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Kandungan Pigmen dan Lovastatin pada Angkak Beras Merah Kultivar Bah Butong dan BP 1804 IF 9 yang Difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba Pigment and Lovastatin content on the Red Rice cultivar Bah Butong and BP 1804 IF 9 which Fermented by Monascus purpureus Jmba ERNAWATI KASIM♼, NANDANG SUHARNA, NOVIK NURHIDAYAT Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002. Diterima: 15 Juli 2005. Disetujui: 22 September 2005.

ABSTRACT Research on the red rice fermented by Monascus purpureus had been done. The rice consisted of 2 cultivars such as Bah Butong and BP 1804 IF 9. The aim of the research was to know the content of the pigment and lovastatin of the fermentation result/ angkak. Angkak was powdered by using blender. To measure the content of pigment, the powder was extracted by methanol. By using spectrophotometer the content of the pigment could be measured with 390 nm wave lengths for yellow pigment and 500 nm for the red pigment. For lovastatin the powder was extracted by acetonitrile and H2SO4. By using HPLC the content of lovastatin could be measured. The results showed that the highest pigment content for yellow pigment was on the PB 1804 IF 9 cultivar, and red pigment was on the Bah Butong cultivar. The highest lovastatin content was on the BP 1804 IF 9. Key words: Monascus purpureus, red rice, pigment, lovastatin.

PENDAHULUAN Monascus purpureus adalah kapang utama pada angkak. Angkak adalah beras yang difermentasi oleh kapang sehingga penampakannya berwarna merah (Gambar1). Angkak sudah sejak lama digunakan sebagai bahan bumbu, pewarna dan obat karena mengandung bahan bioaktif berkhasiat. Kapang menghasilkan pigmen yang tidak toksik dan tidak mengganggu sistem kekebalan tubuh (Fardiaz dan Zakaria, 1996). Menurut Suwanto (1985); dan Ma et al. (2000), komponen pigmen yang dihasilkan oleh kapang adalah rubropunktatin (merah), monaskorubin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu), dan monaskorubramin (ungu). Pembentukan pigmen ini dipengaruhi konsentrasi glukosa dan etanol. Konsentrasi etanol di atas 4% (w/w) akan menghambat pembentukan pigmen pada beras. Intensitas pigmen merah yang dihasilkan kapang Monascus sp tergantung pada nutrisi dan kondisi lingkungannya. Hasil penelitian Kyu-Lee et al., (2001), menunjukkan bahwa glukosa dan monosodium glutamat (MSG) merupakan sumber karbon dan nitrogen terbaik untuk produksi pigmen merah. Monascus purpureus juga diketahui menghasilkan senyawa lovastatin (Palo, 1960: Hesseltine,1965; 1965; Ma et al., 2000). Lovastatin menghambat sintesis kolesterol karena menghambat aktifitas HMGCoA reduktase enzim penentu biosintesis kolestrol (Brown et al., 1991). Sifat ini dimanfaat-kan sebagai obat untuk program diet, pencegah

♼ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: noviknur@yahoo.com

atero-sklerosis, jantung koroner dan stroke. Pemberian lovastatin secara rutin kepada penderita hiperkolesterolemia dapat menurunkan kolesterol darah hingga 30%. Berbagai varietas beras dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan kapang M. purpureus. Santoso (1985) melaporkan bahwa beras pera dengan intensitas amilosa yang tinggi dan amilopektin yang rendah merupakan substrat yang baik untuk pembuatan angkak dan kandungan lovastatinnya. Beras mempunyai kandungan amilosa yang berkaitan erat dengan tingkat kepulenannya. Beras dengan struktur lengket atau ketan mempunyai intensitas amilosa yang sangat rendah (<9%), beras yang sangat pulen mempunyai kandungan amilosa yang rendah (9-20%), beras struktur pulen berintensitas amilosa tinggi (20-25%), sedangkan beras pera memiliki intensitas amilosa yang lebih tinggi yakni 25-30%. Kandungan protein pada beras umumnya berkisar antara 610%. Di samping itu beras juga mengandung vitamin B1, fosfat, kalium, asam amino, dan garam zinc. Kandungan senyawa-senyawa ini dapat mempengaruhi produksi pigmen (Linn, 1973). Khusus untuk asam amino, methionin merupakan asam amino essensial bagi biosintesis lovastatin karena merupakan prekursor langsung (Stocking dan Williams, 2003). Beras merah belum banyak digunakan sebagai substrat fermentasi M. purpureus. Kandungan amilosa beras merah relatif rendah, namun kandungan vitamin B1 dan mineral relatif tinggi (Damardjati, 1995). Penelitian ini mencoba menggunakan dua kultivar beras merah, Bah Butong dan BP 1804 IF 9, sebagai media fermentasi. M. purpureus Jmba dalam menghasilkan pigmen dan lovastatin. M. purpureus Jmba adalah isolat yang diketahui dapat memproduksi lovastatin sampai 0,92%.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 7-9

8

A

B

C

Gambar 1. A= biakan murni Monascus purpureus, B= beras yang difermentasi, C= inokulum angkak.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan adalah beras merah kultivar Bah Butong dan kultivar BP 1804 IF 9, kapang M. purpureus Jmba, medium Malt Ekstrak Agar, Tween 80, asam fosfat 0,1%, metanol dan lain-lain. Alat-alat adalah spektrofotometer, HPLC, sentrifuse, oven, inkubator, blender, standard lovastatin dan lain-lain.

Pengukuran lovastatin Kandungan lovastatin dapat diukur dari serbuk angkak yang dihasilkan. Sebanyak 1 gram serbuk angkak ditambah dengan 2 ml asetonitril dan 0,1 ml asam fosfat 0,1%, lalu dibiarkan selama 30 menit. Kemudian larutan disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatannya diinjeksikan pada kolom HPLC.

HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentasi Beras Isolat M. purpureus JmbA ditumbuhkan pada agar miring Malt Ekstrak Agar dalam tabung reaksi. Kemudian biakan diinkubasi pada suhu 27-32°C selama 14 hari. Suspensi spora dibuat dengan pengikisan dan homogenasi lapisan pertumbuhan kapang dalam 2,5 ml aquadest steril. Pembuatan starter fermentasi M. purpureus JmbA dilakukan pada 25 gr beras merah dalam cawan petri secara aseptis. Inkubasi dilakukan pada suhu 27-28° C selama 14 hari. Kemudian beras yang difermentasi dikeringkan dalam oven dengan suhu 45°C selama 1 minggu dan dihaluskan menjadi serbuk starter inokulum. Fermentasi beras sebagai media padat Ke dalam setiap cawan petri dimasukkan 25 gr beras yang sudah direndam selama 1 jam, lalu disterilisasi. Setelah dingin, beras diinokulasi dengan 2 gram inokulum. Inkubasi selama 14 hari pada suhu 27-32°C. Kemudian hasil fermentasi dikering-ovenkan selama 7 hari dengan suhu 40-45°C, lalu dihaluskan sampai menjadi serbuk. Serbuk ini siap untuk diukur intensitas pigmen dan kandungan lovastatinnya. Pengukuran kadar pigmen Untuk pengukuran intensitas pigmen dari angkak, diambil 0,05 serbuk inokulum, lalu diekstrak dengan 10 ml metanol. Ekstraksi dilakukan dengan pengocokan selama 24 jam, lalu disaring dan didapatkan filtrat. Dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm, intensitas pigmen kuning dapat diukur. Sedangkan intensitas pigmen merah diukur pada panjang gelombang 500 nm.

Pengukuran kadar pigmen Kedua kultivar beras merah yang difermentasi oleh M. purpureus berwarna merah, namun terlihat juga warna kuning-kemerahan. Intensitas pigmen kuning dan pigmen merah dapat diukur masing-masing pada panjang gelombang 390 nm dan 500 nm. Intensitas pigmen yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar pigmen kuning dan merah pada angkak. Sampel A1 Bah butong warna merah B1 BP 1804 IF 9 warna merah A2 Bah butong warna kuning B2 BP 1804 IF 9 warna kuning

Pigmen kuning 0,20 0,24

Pigmen merah 0,37 0,43 -

Intensitas pigmen tertinggi dari sampel-sampel tersebut dihasilkan oleh sampel B1 atau kultivar BP 1804 IF 9 yakni dengan intensitas 0,43 (pigmen merah), sedangkan yang terendah dihasilkan oleh sampel A2 atau kultivar Bah Butong yakni 0,20 (pigmen kuning). Dari pigmen yang dihasilkan terlihat bahwa pigmen merah lebih dominan dibandingkan pigmen kuning. Pigmen yang terkandung pada angkak mempunyai sifat larut dan kestabilan yang tinggi, mudah dicerna dan tidak beracun (Su dan Wang, 1977; Yuan, 1980). Angkak sering digunakan untuk pewarna makanan dan minuman. Daya tarik suatu jenis makanan dipengaruhi oleh kenampakan suatu warna; di samping itu kenampakan berperan penting dalam menentukan mutu pangan. Industri makanan menggunakan


KASIM dkk. – Kandungan pigmen dan lovastatin pada angkak beras merah

pigmen angkak untuk mewarnai bahan makanan agar terlihat lebih menarik selera konsumen. Kalau dibandingkan dengan hasil penelitian Kasim dkk, (2005), dari 19 isolat M. purpureus yang ditumbuhkan pada beras putih pera, intensitas pigmen kuning berkisar antara 1,12 dan 2,33. Sedangkan pada penelitian ini hanya berkisar antara 0,20 dan 0,24. Intensitas pigmen merah juga jauh lebih tinggi pada media beras putih pera, yakni berkisar antara 0,40 dan 2,50. Pada penelitian ini hanya berkisar antara 0,37 dan 0,43. Disini terlihat bahwa media beras putih pera lebih baik dibandingkan dengan media beras merah, untuk penghasil kedua jenis pigmen tersebut Hasil pengukuran lovastatin dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil ini menunjukkan bahwa hasil fermentasi kapang M. purpureus JmbA pada beras merah kultivar Bah butong menghasilkan kandungan lovastatin berkisar antara 0,23 dan 0,27%. Pada kultivar BP 1804 IF 9, menghasilkan kandungan lovastatin berkisar antara 0,20 dan 0,21%. Hasil penelitian terdahulu oleh Kasim dkk (2004) dengan menggunakan beras putih pera sebagai substrat padat, diketahui kandungan lovastatinnya dapat mencapai 0,92%. Di sini terlihat bahwa baik kandungan pigmen ataupun kandungan lovastatin pada substrat beras putih pera jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan kedua jenis senyawa tersebut pada media beras merah. Pigmen bisa mengindikasikan banyaknya lovastatin yang diproduksi. Prekursor pigmen lovastatin dan citrinin adalah tetraketida (Hajjaj et al., 2001; Stocking dan Williams, 2003). Tetraketida selanjutnya disintesis menjadi pigmen dan lovastatin (Stocking dan Williams, 2003). Tabel 2. Kandungan lovastatin pada sampel angkak yang diuji. No 1 2 3 4

Kode sampel A1 Bah butong warna merah B1 BP 1804 IF 9 warna merah A2 Bah butong warna kuning B2 BP 1804 IF 9 warna kuning

Kandungan lovastatin (%) 0,23 0,20 0,27 0,21

Santoso (1985) menyatakan bahwa beras pera dengan kandungan amilosa yang tinggi dan amilopektin rendah merupakan substrat yang baik untuk pembuatan angkak, terutama untuk produksi lovastatin, dibandingkan dengan beras merah yang memiliki kandungan amilosa yang rendah dan amilopektin yang tinggi. Hasil penelitian ini dengan menggunakan substrat padat beras merah, menghasilkan intensitas lovastatin rendah. Damardjati (1995) mengatakan bahwa beras merah mempunyai kandungan amilosa yang rendah yang berkisar antara 214%, yang dikatagorikan sebagai beras ketan. Steinkraus (1983) berpendapat bahwa pertumbuhan kapang M. purpureus pada beras ketan akan terhalang oleh melekatnya butiran ketan satu sama lain. Amilosa merupakan polisakarida linier, tersusun atas monomer-monomer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan Îą(1,4)-glukosida (Caret et al., 1993). Kapang M. purpureus

9

menghasilkan enzim amilase yang berfungsi menghidrolisis amilosa menjadi glukosa dan maltosa melalui pemutusan ikatan (1,4)-glukosida. Glukosa mudah digunakan untuk metabolisme mikroba.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedua kultivar beras merah yang digunakan dapat menghasilkan pigmen kuning dan pigmen merah. Kultivar BP 1804 IF 9 memproduksi baik pigmen kuning ataupun pigmen merah sedikit lebih tinggi daripada kultivar Bah Butong. Kandungan lovastatin pada kedua kultivar beras merah yang diuji berada dalam kisaran rata-rata atau tidak lebih tinggi dari 0,92% pada beras putih pera, yakni berkisar antara 0,21-0,27%.

DAFTAR PUSTAKA Brown,M.S., and J.L. Goldstein. 1991. Drugs used in the treatment of Hiperlipoproteinemia. The Pharmacological Basis of Therape. Caret, R.L., K.J. Denniston, and J.J. Topping, 1993. Principles and Applications of Organic and Biological Chemistry. New York: Wm.C. Brown Publishers. Damardjati, D.S. 1995. Karakteristik Sifat dan Standarisasi Mutu Beras Sebagai Landasan Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Padi di Indonesia. Bogor: Balitbio. Fardiaz, S.F.D.B, dan F. Zakaria. 1996. Toksisitas dan imunogenitas pigmen angkak yang diproduksi dari kapang Monascus purpureus pada substrat limbah cair tapioka. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 1 (12): 34-38. Hajjaj, H., P. Niederberger, and P. Duboc. 2001. Lovastatin Biosinthesis by Aspergillus terreus in a Chemically Defined Medium. Applied and Environmental Microbiology: 2596-2602. Hesseltine, C.W. 1965. A millennium of fungi, food, and fermentation. Mycologia 57:149-197. Kasim, E., S. Astuti., dan N. Nurhidayat. 2005. Karakterisasi pigmen dan kadar lovastatin beberapa isolat Monascus purpureus. Biodiversitas 6 (4): 245-247. Kyu-Lee, B., N.H. Park, H.Y. Piao, and W.J. Chung. 2001. Production of red pigments by Monascus purpureus in submerged culture. Biotechnolology and Bioprocess Engineering (6): 341-346. Linn, C.F. 1973. Isolation and cultural conditions of Monascus sp for the production of pigment in a submerged culture. Journal of Fermentation Technology 51: 135-142. Ma, J., Y. Li, Q. Ye, J. Li, Y. Hua, D. Ju, D. Zhang, R. Cooper, and M. Chang. 2000. Constituents of red yeast rice, a traditional chinese food and medicine. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 5220-5225. Palo, M.A. 1960. A study on angkak and its production. The Phippines Journal of Science 89: 1-22. Santoso, G.S.B. 1985. Produksi pewarna alami angkak dengan media fermentasi beras sosoh. Media Teknologi dan Pangan 11 (2): 34-38. Steinkraus, K.H. 1983. Hand Book of Indigenous Fermented Food. New York: John Wiley and Sons. Stocking, E.M., and R.M. Williams. 2003. Chemistry and biology of biosynthetic Diels-Alder reactions. Angewandte Chemistry International 42: 3078-3115. Su, Y.C, and H.W. Wang 1977. Chinese red rice angkak. Hand Book of Indigenous Fermented Foods. New York: John Wiley and Sons. Suwanto, A. 1985. Produksi angkak sebagai zat pewarna makanan. Media Teknologi Pangan 1 (2): 8-14. Yuan, C.S.1980. Fermentative production of ankak pigments (Monascus pigments). Proceeding of the Oriental Fermented Foods. Bangkok, Thailand.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 10-14

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal Augmentation of potential phosphate solubilizing bacteria (PSB) stimulate growth of green mustard (Brasica caventis Oed.) in marginal soil SRI WIDAWATI♼, SULIASIH Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002. Diterima: 22 September 2005. Disetujui: 22 Nopember 2005.

ABSTRACT The potential of phosphate solubilizing bacteria/PSB (Bacillus megaterium, B. pantothenticus, Chromobacterium lividum and Klebsiella aerogenes) were used as biofertilizer to increase the fresh leaf production of green mustard (Brasica caventis Oed.). An experiment was conducted at green house condition. The experiment were used 18 treatments such as single isolate of potential PSB (A,B,C,D), inoculants contain two isolates of potential PSB (E,F,G,H,I,J), inoculants contain three isolates of potential PSB (K, L, M, N), inoculants contain four isolate of potential PSB (O), chemistry fertilizer (P = control 1), organic fertilizer (Q = control 2), and without fertilizer (R = control 3). The treatments were arranged in Completely Randomized Design (CRD) with 5 replications. The result showed that the inoculants of potential PSB increased the fresh plant production of green mustard. The mix of four isolates of potential PSB (inoculants O) was the best to increase the fresh plant production of green mustard until 32.87% than other PSB inoculants, 207.84% than control 1,217.23% than control 2, and 930.60% than control 3. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: BPF/PSB, Wamena Biological Garden, Brasica caventis Oed.

PENDAHULUAN Fosfor merupakan unsur esensial kedua setelah N yang berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman, serta metabolisme dan proses mikrobiologi tanah. Fosfor dalam tanah, 70% berada dalam keadaan tidak larut (Foth, 1990), hal tersebut sangat berpengaruh terhadap serapan hara lain, khususnya pada saat unsur P menjadi faktor pembatas (Foth dan Ellis, 1988). Ketersediaan unsur P dalam tanah ternyata sangat bergantung pada aktivitas mikroorganisme dalam tanah (Amarisi dan Olsen, 1973), seperti adanya aktivitas dari kelompok bakteri pelarut fosfat/BPF (Rao, 1982). Bakteri pelarut fosfat (BPF) merupakan bakteri tanah yang bersifat non patogen dan termasuk dalam katagori bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Bakteri tersebut menghasilkan vitamin dan fitohormon yang dapat memperbaiki pertumbuhan akar tanaman dan meningkatkan serapan hara (Glick, 1995). Bakteri pelarut fosfat merupakan satu-satunya kelompok bakteri yang dapat melarutkan P yang terjerap permukaan oksida-oksida besi dan almunium sebagai senyawa Fe-P dan Al-P (Hartono, 2000). Bakteri tersebut berperan juga dalam transfer energi, penyusunan protein, koenzim, asam nukleat dan senyawa-senyawa metabolik lainnya yang dapat menambah aktivitas penyerapan P pada tumbuhan yang kekurangan P (Rao, 1994).

♼ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: widadomon@yahoo.com

Hasil penggalian keberadaan dan potensi mikroba tanah di daerah Kebun Biologi Wamena (KBW) menghasilkan 4 jenis bakteri potensial sebagai pupuk biologi, yaitu Bacillus megaterium, B. pantotheticus, Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes (Widawati dkk., 2005). Isolatisolat BPF tersebut adalah bakteri indigenus KBW dengan efektivitas teruji secara laboratoris dan skala rumah kaca pada tanaman legum tahunan seperti kaliandra (Latupapua dan Widawati, 2001), legum tumbuh cepat seperti kacang tanah (Widawati dkk.,2001; Rahayu dkk., 2001), tanaman obat tradisional seperti kumis kucing (Widawati dkk., 2002), dan temu lawak (Sugiharto dan Widawati, 2005). Selain tanaman tersebut, ke-4 isolat BPF telah teruji pula pada tanaman sayuran buah seperti terong (Widawati dan Suliasih, 2005). Efektivitas BPF sebagai pupuk biologi ramah lingkungan tersebut juga diharapkan dapat menjadi pupuk biologi tanaman sayur mayur seperti caysin dan sekaligus menaikkan produksi tanaman segar. Sayur-mayur merupakan komoditi pertanian di sekitar Kebun Biologi Wamena. Daerah tersebut merupakan zona kegiatan masyarakat sekitar untuk membangun ketrampilan teknis agrobiodiversitas ataupun komoditas mapan seperti budidaya sayuran dataran tinggi (Darnaedi, 2005). Zona tersebut mempunyai persediaan air yang cukup untuk waktu lama, sehingga cocok untuk ladang sayuran seperti caysin. Salah satu kendala untuk menanam caysin di daerah tersebut adalah kandungan nutrisi dan mineral dalam tanah. Sebagian zona di sekitar Kebun Biologi Wamena mempunyai kandungan nutrisi dan mineral dalam tanah rendah (lahan marginal), sehingga diperlukan perhatian khusus untuk dapat dikembalikan menjadi ekosistem yang subur untuk pertumbuhan tanaman.


WIDAWATI dan SULIASIH – Augmentasi BPF sebagai pemacu pertumbuhan Brasica caventis Oed.

Sistem organic farming (OF) dengan menggunakan teknologi mikroba indigenus potensial seperti inokulan BPF merupakan solusi terbaik. Inokulan BPF dapat membantu mengembalikan kesuburan tanah dan sekaligus meningkatkan produksi tanaman, khususnya tanaman sayur mayur dataran tinggi. Penerapan sistem OF sangat penting karena merupakan pengembangan sistem pelestarian lingkungan yang masih alami dan bebas dari bahan cemaran. Organic farming juga merupakan salah satu program intensifikasi budidaya yang diselenggarakan oleh LIPI dan pemerintah daerah setempat sebagai antisipasi dalam ketersediaan pangan di Wamena yang ternyata semakin lama semakin maju (Darnaedi, 2005). Percobaan ini bertujuan untuk mencari komposisi inokulan BPF terbaik sehingga mempunyai peluang besar untuk dimasyarakatkan di Wamena dalam melakukan kegiatan agrobiodiversitas. Tujuan lain dari augmentasi inokulan BPF pada tanaman adalah untuk menjaga lingkungan (ekosistem tanah) dari bahan cemaran yang berasal dari pupuk kimia (TSP) yang selama ini tidak diperkenankan digunakan di Wamena.

BAHAN DAN METODE Beberapa tanah sampel diambil dari Kebun Biologi Wamena, dikeringanginkan dan diisolasi BPF nya dengan menggunakan media selektif “Pikovskaya padat” dalam sebuah petridis. Kultur diinkubasi selama 5-7 hari pada o suhu 27 C, kemudian isolat dalam petridis tersebut diamati dan jika di sekeliling koloni bakteri terdapat daerah bening (holozone), maka isolat tersebut adalah BPF. Daerah bening diukur diameternya (cm), diamati gejala melarutkan fosfat dan warnanya, serta populasinya. Selanjutnya BPF yang mempunyai daerah bening paling besar dimurnikan dan diidentifikasi jenisnya. Isolat-isolat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya dalam melarutkan P alam (P2O5) dan P kimiawi (Ca3PO4) dalam media Pikovskaya cair menurut metode Gaur (1981). Selanjutnya BPF tersebut dibuat inokulan cair dan disuntikkan ke dalam bahan pembawa (carier) seperti gambut menjadi inokulan padat dan dapat digunakan sebagai pupuk biologi. Pembuatan inokulan BPF cair Hasil peremajaan dari 4 isolat BPF potensial (Bacillus megaterium, B. pantothenticus, Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes) diinkubasi 7 hari dan dipindahkan ke tabung besar berisi 25 mL Pikovskaya (BPF) miring dan masing-masing diperbanyak dalam erlenmeyer berisi medium cair (Pikovskaya) 500 mL. Inokulan cair dalam erlenmeyer tersebut digojok/shaker dengan kecepatan 120 rpm selama 5 hari (populasi bakteri 7 9 telah mencapai ± 10 -10 sel/ml). Pembuatan inokulan padat Sebanyak 60 mL inokulan cair dari masing-masing isolat BPF, yaitu Bacillus pantotheticus (a), Klebsiella aerogenes (b), Chromobacterium lividum (c), dan B. megaterium (d) disuntikkan ke dalam plastik yang berisi bahan pembawa (carier) berupa gambut halus. Kemasan tersebut masingmasing menjadi inokulan dengan kode A, B, C, dan D. Hal yang sama dilakukan terhadap kemasan carier yang diinfeksi dengan 2, 3, dan 4 isolat BPF, inokulan tersebut diberi kode E (a+b), F (a+c), G (a+d), H (b+c), I (b+d), J (c+d), K (a+b+c), L (a+b+d), M (a+c+d), N (b+c+d), dan O (a+b+c+d). Setelah Inokulan tersebut diinkubasi selama 5-7 hari pada temperatur ruang, maka inokulan tersebut siap diinokulasikan ke tanaman sayur mayur seperti caysin.

11

Penanaman di rumah kaca Penanaman di rumah kaca menggunakan media tanam tanah sebanyak 54 pot berukuran 3 galon yang berisi tanah marginal 5 kg (pH tanah = 5,11; kandungan P = 1,47%/sangat rendah; N total = 0,09%/sangat rendah; C organik = 0,87%/sangat rendah). Masing-masing pot ditanami 4 benih caysin yang kemudian diberi inokulan BPF dengan kode A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P (kontrol 1 = pupuk kimia/TSP+KCl+urea), Q (kontrol 2 = pupuk organik/kompos), R (kontrol 3 = tanpa pupuk). Percobaan tersebut disusun secara acak lengkap dengan 3 ulangan. Setelah berumur 2 bulan, tanaman dipanen dan dianalisis berat segar dari daun caysin per satu tanaman/pot, berat segar daun caysin 4 tanaman/pot, berat basah seluruh tanaman/pot (daun + akar).

HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah bening di sekitar koloni isolat BPF, merupakan tanda dari adanya aktivitas BPF dalam melarutkan P terikat. Hal tersebut terjadi karena adanya pelarutan Ca3(PO4)2. Tabel 1 menunjukkan bahwa holozone di sekitar BPF ke-4 isolat setelah diuji kembali di laboratorium Mikrobiologi masih menunjukkan reaksi positif dengan warna holozone putih bening, kecuali BPF “Klebsiella aerogenes” berwarna putih keruh. Diameter (cm) holozone ke-4 isolat tersebut hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa ke-4 jenis BPF mempunyai efektivitas sama dalam melarutkan P terikat yang ada di dalam media Pikovskaya padat, seperti dikemukakan oleh Rachmiati (1995), bahwa luas daerah bening tersebut secara kualitatif menunjukkan besar kecilnya kemampuan BPF melarutkan P dari fosfat tak larut. Jumlah P terlarut dan perubahan pH dalam 100 mL medium Pikovskaya cair selama 1 bulan rata-rata memperlihatkan adanya aktivitas BPF yang signifikan dalam melarutkan unsur P dari Ca3(PO4)2. Pelarutan P tertinggi dilakukan oleh Klebsiella aerogenes dengan persentase peningkatan fosfat rata-rata 90,78% dibandingkan kontrol tanpa inokulasi. Semakin meningkatnya pelarutan fosfat ternyata pH semakin menurun. Menurut pendapat Rao (1982), hal ini disebabkan adanya proses pembebasan BPF oleh sejumlah asam-asam organik seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glikooksalat, malat, fumarat, tartarat, dan asam alpha ketobutirat yang berakibat pada terjadinya pelarutan Ca-fosfat. Pelarutan P oleh BPF dari batuan fosfat rata-rata nilainya lebih kecil dibandingkan dengan pelarutan P dari Ca3(PO4)2. Hal ini membuktikan bahwa pelarutan P alam/rock fosfat membutuhkan waktu lebih lama dari P kimia, akan tetapi lebih ramah terhadap lingkungan. Hasil tersebut memperkuat hasil percobaan Latupapua dan Widawati (2001), yaitu P alam dengan BPF sebagai pupuk biologi akan berperan dalam penstabilan kesuburan tanah dalam jangka panjang. Hasil percobaan (Tabel 3) menunjukkan bahwa inokulan dengan kombinasi 4 jenis isolat BPF (O = Bacillus megaterium, B. pantothenticus, Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes) adalah yang terbaik dalam memacu pertumbuhan caysin. Hal ini terlihat pada persentase kenaikan berat daun segar 1 tanaman per pot (g) sebesar 877,67% dibandingkan dengan tanaman kontrol 3 (R = tanaman tanpa diberi inokulan/pupuk), 354,08% dibandingkan dengan tanaman kontrol 2 (Q = pupuk kompos), dan 61,81% dibandingkan dengan tanaman kontrol 1 (P=TSP+KCl+Urea), perbedaan nyata ini dapat dilihat juga pada Gambar 1.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 10-14

12

1

2

3

4

Gambar 1. Pengaruh inokulan BPF terhadap pertumbuhan caysin. Keterangan: 1. Tanaman caysin (1 pohon bagian atas) yang diberi inokula dengan 4 jenis BPF; 2. Tanaman caysin (1 pohon bagian atas) yang diberi pupuk TSP+KCl+Urea (kontrol 1); 3. Tanaman caysin (1 pohon bagian atas) yang diberi pupuk kompos (kontrol 2); 4. Tanaman caysin (1 pohon bagian atas) yang tidak diberi pupuk/inokulan (kontrol 3). Tabel 1. Jumlah populasi, diameter daerah bening, gejala dan warna daerah bening dari 4 isolat BPF potensial. No. sampel tanah 2 3 7 8

Warna tanah

pH tanah

Coklat kemerahan Abu-abu Coklat Coklat

5.00 4.60 5.30 4.90

Jenis BPF potensial Bacillus pantothenticus Klebsiella aerogenes Chromobacterium lividum Bacillus megaterium

ÎŁ Populasi BPF (cell/ml) 6 7 10 -10 6 7 10 -10 6 7 10 -10 6 7 10 -10

ÎŚ Holozone (cm) 1,34 1,35 1,33 1,34

Gejala & warna holozone Positif-Putih bening Positif putih keruh Positip putih bening Positip putih bening

Tabel 2. Nilai rata-rata kemampuan melarutkan P dalam media cair dari 4 isolat BPF potensial selama 1 bulan yang diamati/minggu. Perlakuan Isolat Bacillus pantothenticus Klebsiella aerogenes Chromobacterium lividum Bacillus megaterium Kontrol

Pupuk P kimiawi Ca3PO4 P tersedia Kenaikan P ppm ppm % 29,87 6,59 25,41 47,63 24,35 90,78 43,05 19,76 73,17 41,68 18,39 72,44 23,29 0 0

Berat daun segar 4 tanaman/pot (g) jika dibandingkan dengan kontrol 1, 2, dan 3 ada kenaikan sebesar 203,75%; 208,30%; dan 903,63%. Nilai statistik berat daun segar 1 tanaman terbesar dari 4 tanaman per pot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) pada Tabel 3

pH 5,46 5,00 5,43 5,08 7,00

Pupuk fosfat alam (P2O5) P tersedia Kenaikan P ppm ppm % 9,98 0,23 8,72 16,37 6,62 89,72 11,91 8,9 23,19 8,51 -4,99 8,87 9,73 0 0

pH 6,72 6,91 6,41 6,87 7.00

menunjukkan nilai sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan 606,42 g. Persentase kenaikannya jika dibandingkan dengan tanaman kontrol 3 (tanaman tanpa pupuk/inokulan) adalah 877,67%; 903,63%; 930,63; dan 32,87% jika dibandingkan dengan rata-rata hasil dari tanaman yang diberi inokulan dengan isolat BPF tunggal maupun campuran 2-3 isolat BPF.


WIDAWATI dan SULIASIH – Augmentasi BPF sebagai pemacu pertumbuhan Brasica caventis Oed. Tabel 3. Hasil augmentasi inokulan BPF potensial sebagai pemacu pertumbuhan caysin. Berat daun Berat daun Berat tanaman segar segar 1 segar 4 seluruh tanaman/pot tanaman/pot tanaman/pot (daun + batang + akar) (g) (g) (g) A 107,12 abc 392,96 a 412,83 ab B 104,80 abc 399,58 a 419,78 ab C 103,48 abc 405,08 a 426,37 ab D 101,36 abc 407,92 a 429,26 ab E 111,26 abc 423,52 a 444,57 ab F 123,14 ab 425,00 a 449,49 ab G 113,44 ab 425,00 a 449,55 ab H 117,86 a 431,50 a 456,14 ab I 117,38 a 437,68 a 463,37 ab J 119,68 a 441,42 a 467,61 ab K 121,78 a 455,30 a 481,50 ab L 125,98 a 464,46 a 494,02 ab M 122,90 a 459,40 a 488,80 ab N 119,00 a 476,20 a 506,19 ab O 139,22 a 575,48 a 606,42 a P 86,04 abcd 189,46 b 196,99 ab Q 30,66 bcd 186,66 b 191,16 ab R 14,24 d 57,34 b 58,84 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncan. Perlakuan

Terjadi hal yang sama pada percobaan Latupapua dan Widawati (2001), bahwa ke-4 BPF (Bacillus megaterium, B. pantothenticus, Chromobacterium lividum, dan Klebsiella aerogenes) yang diinokulasikan pada tanaman Calliandra sp., hasilnya jika dibandingkan dengan kontrol dapat menaikkan 417% bobot kering tanaman. Percobaan Sugiharto dan Widawati (2005) pada tanaman temu lawak yang diinokulasi dengan ke-4 BPF tersebut menghasilkan bobot kering rimpang temu lawak tertinggi (18,09 g/tanaman/pot) dibandingkan kontrol. Tanaman terong yang diinokulasi dengan ke-4 BPF tersebut juga menaikkan 400% jumlah buah terong dan 500% bobot segar buah terong jika dibandingkan dengan tanaman yang dipupuk kimia, kompos, dan 2 pupuk komersial yang dibeli di pasar (Widawati dan Suliasih, 2005). Hasil dari beberapa percobaan tersebut di atas menunjukkan bahwa isolat dari ke-4 jenis PBF jika dikombinasikan dalam satu inokulan padat, efektivitasnya dalam memacu pertumbuhan akan semakin solid dan cocok dengan beberapa tanaman termasuk tanaman caysin sehingga membuat tanaman semakin baik dalam menyerap P tersedia. Akibatnya produksi tanaman segar meningkat, meskipun tanaman tersebut ditanam dalam media tanah yang tidak subur (marginal). Seperti dikemukakan oleh Alexander (1977), bahwa efektivitas BPF dalam proses mineralisasi senyawa P organik melalui aktivitas enzimatis yang melibatkan enzim fosfatase, fitase, dan nuklease.akan menghasilkan P terlarut yang tersedia bagi tanaman. Efektivitas BPF dalam melarutkan unsur P yang terikat juga sangat berkaitan erat dengan cara beradaptasi dari BPF dengan lingkungannya. Dikemukakan oleh Rao (1982), bahwa lingkungan yang baik dan cocok untuk jenis BPF tertentu akan meningkatkan aktivitasnya dalam mengeluarkan asam-asam organik, enzim dan hormonhormon tumbuh untuk melarutkan unsur P tanah. Masing-masing jenis dari BPF yang diinokulasikan pada tanah marginal yang ditumbuhi oleh caysin ternyata mampu beradaptasi, mungkin karena masing-masing isolat tersebut dapat meningkatkan aktivitasnya dalam mengeluarkan asam-asam organik, enzim-enzim dan hormon tumbuh untuk melarutkan P terikat (Rao, 1982). Pelarutan P oleh BPF juga karena adanya pembentukan khelat oleh asam

13

organik terhadap anasir penyerap fosfat, kompetisi anion organik dan orthofosfat pada permukaan koloid yang menyebabkan mobilitas orthofosfat dalam larutan tanah menjadi meningkat dan absolut dalam melarutkan fosfat BPF (Illmer dan Schinner, 1995). Selain itu juga aktivitas pelarut fosfat oleh BPF tetap tergantung pada lingkungannya, seperti jenis vegetasi, kelembaban, suhu, aerasi, dan reaksi tanah (Supriyo et al., 1992). Selanjutnya Taha (1969) mengemukakan bahwa faktor kimia dan fisik tanah, serta vegetasi, rotasi tanaman dan kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan BPF. Wahyuningsih dkk. (1995) mengemukakan, bahwa isolat tunggal dapat meningkatkan secara langsung pelarutan P terikat tanah. Seperti terlihat pada Tabel 3, ternyata inokulan dengan isolat tunggal BPF efektif (A,B,C,D) mampu memacu pertumbuhan caysin. Hal yang sama juga terlihat dari percobaan terdahulu, bahwa inokulan kompos plus dengan isolat BPF tunggal jenis Bacillus megaterium dan B. pantothenticus mampu menghasilkan bobot kering daun kumis kucing tertinggi (113,90 gram/pot) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Widawati dkk., 2002). Sedangkan jenis Klebsiella aerogenes bersama-sama dengan 20 ppm pupuk P alam dapat menaikkan berat kering tanaman bagian bawah (akar + bintil + polong) sebesar 59,50% jika diban-dingkan dengan tanaman kontrol (Widawati dkk., 2002). Berat daun segar dari satu tanaman per pot (g) yang diambil dari 4 tanaman caysin per pot rata-rata lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan kontrol 1 (P), 2 (Q), dan 3 (R) (Tabel 3). Hasil percobaan juga menunjukkan bahwa, berat daun segar seluruh tanaman (4 pohon) per pot untuk semua perlakuan inokulan dengan BPF tunggal dan campuran pengaruhnya dalam memacu pertumbuhan caysin tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata jika dibandingkan dengan dengan kontrol 1 (P), kontrol 2 (Q), dan kontrol 3 (R). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tanah marginal memang perlu bantuan BPF yang bersifat biofertilizer dan berkemampuan melepaskan unsur P terikat sehingga tersedia bagi tanaman serta dapat memacu pertumbuhan tanaman. Hal tersebut telah dibuktikan pada percobaan yang dilakukan Rahayu dkk. (2001), bahwa ke-4 jenis BPF tersebut dapat menaikkan bobot kering polong dan biji kacang tanah sebesar 8,15-27,83% jika dibandingkan dengan tanaman kontrol yang ditanam pada lahan bekas galian emas. Pemberian inokulan BPF akan memperbaiki struktur tanah dan stabilitas agregat naik sehingga memudahkan penetrasi akar ke dalam tanah guna menyerap nutrisi yang tersedia. Selanjutnya proses fotosintesis senyawa penting lainnya untuk pertumbuhan akan meningkat sehingga menghasilkan asimilat yang tinggi dan dampaknya akan tampak pada kenaikan bobot daun segar sayuran caysin bila dibandingkan dengan kontrol. Selanjutnya Sastraatmadja dkk. (2001) mengemukakan bahwa BPF dalam bahan pembawa kompos dapat menstimulir aktivitas amonifikasi, nitrifikasi, fiksasi nitrogen dan fosforilisasi. Hal tersebut mungkin disebabkan adanya kerja dari berbagai mikroba yang sudah ada dalam tanah, oleh karena itu pemberian inokulan BPF akan meningkatkan produktivitas lahan tanam secara permanen. Terjadinya hal tersebut memang tidak terlepas dari fungsi timbal balik antara tanaman dan mikroba tanah/BPF indigenus dan yang terkandung dalam inokulan yang diinokulasikan pada tanaman caysin. Atlas dan Bartha (1993) mengemukakan bahwa aktivitas dan efektivitas mikroba indigenus dalam medium tanam (tanah) akan bersama-sama terpacu dan membentuk komunitas mikroba yang dapat mempercepat


14

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 10-14

mineralisasi unsur hara makro dan mikro. Unsur tersebut dibutuhkan oleh tanaman dalam pertumbuhannya, karena hanya dapat menyerap 15-26% saja unsur P dalam tanah. Kesuburan tanah untuk menghasilkan produksi tanaman lebih baik, tidak hanya bergantung pada komposisi kimia dan sifat fisik tanah saja, melainkan juga pada mikroba tanah indigenus (Rao, 1994). Sehingga apabila jumlah mikroba dalam media tanam mempunyai jumlah populasi 7 rendah (< 10 ), maka diperlukan introduksi mikroba potensial sebagai biofertilizer.

KESIMPULAN Empat isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B. megaterium sebagai inokulan padat, mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin. Inokulan O yang berisi 4 isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan B. megaterium merupakan inokulan terbaik sebagai biofertilizer dan menghasilkan berat daun segar 1 tanaman terbesar dari 4 tanaman per pot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan 606,42 g atau ada kenaikan 877,67%; 903,63%; 930,63 dari tanaman kontrol 3/R = tanaman tanpa pupuk/inokulan; 354,67%; 208,30%; 217,23% dari tanaman kontrol 2/Q = tanaman dengan pupuk kompos; dan 61,81%; 203,75%; 207,84% dari tanaman kontrol 1/P = tanaman dipupuk kimia. Ada kenaikan pada tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 32,87% dari tanaman yang diinokulasi dengan isolat BPF tunggal maupun campuran 23 isolat BPF.

DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. New York: John Wiley & Sons. Amarisi, S.L. and S.R. Olsen. 1973. Liming as related to solubility of P, and plant growth in acid tropical soil. Soil Scientist Society of America Proceeding 37: 716-721. Atlas, R.M. and R. Bartha. 1993. Microbial Ecology, Fundamentals and Applications. New York: Addition Wesley. Darnaedi, D. 2005. Kebun Biologi Wamena dalam perspektif pengelolaan sumber daya hayati papua. Seminar Sepuluh Tahun Proses Pembangunan Kebun Biologi Wamena (KBW). Puslit Biologi-LIPI. Jakarta, 12 Juli 2005.

Foth, H.D. 1990. Fundamental of Soil Science. 8th edition. New York: John Wiley & Sons. Foth, H.D. and B.G. Ellis. 1988. Soil Fertility. New York: John Wiley & Sons. Gaur, A.C. 1981. Phosphomicroorganism and varians transformation in compost technology. FAO Project Field Document No.13. Rome: FAO. Glick, BR. 1995. The enhancement of plant growth by free living bacteria. Canadian Journal Microbiology 41: 109-117. Hartono, A. 2000. Pengaruh pupuk fosfor, bahan organic dan kapur terhadap pertumbuhan jerapan P pada tanah masam latosol Darmaga. Gakuryoku 6 (1): 73-78 Illmer, P. and F. Schinner. 1995. Solubilization of organic calcium phosphates solubization mechanisms. Soil Biology Biochemistry 27 (3): 257-263. Latupapua, H.J.D. dan S. Widawati, 2001. Pupuk organik dan hayati sebagai agen pertumbuhan anakan kaliandra (Calliandra sp) pada tanah masam. Jurnal Biologi Indonesia 3 (1): 50-61. Rachmiati, Y. 1995. Bakteri pelarut fosfat dari rizosfer tanaman dan kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desember 1995. Rahayu, S.H., F. Syarif, E. Sambas, dan S. Widawati. 2001. Pemanfaatan inokulan Rhizobium dan BPF terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah di lahan bekas galian emas Jampang. Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI volume 2. PBI Cabang Bandung dan ITB, 26-27 Juli 2001. Rao, N.S.S. 1982. Phosphate solubilization by soil microorganisms. In N.S. Rao (ed.) Advanced in Agricultural Microbiology. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. Rao, N.S.S.1994. Mikroorganisma Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit UI. Sastraatmadja, D.J., S. Widawati, dan Rachmat. 2001. Kompos sebagai salah satu pilihan dalam penggunaan pupuk organik. Seminar pada Pelatihan Produk Teknologi Unggulan dan Ramah Lingkungan, UNILA Bandar Lampung, 5-6 Juli 2001. Sugiharto, A. dan S. Widawati. 2005. Pengaruh kompos dan berbagai pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan hasil temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Jurnal Biologi Indonesia 7 (9): 371-378. Supriyo, H., N. Matsue, and N. Yoshinaga. 1992. Chemistry and mineralogy of some soils from Indonesia. Soil Science Plant Nutrition 38 (2): 217-225. Taha, S.M., S.A.Z. Machmoud, A. Halim El Damaty, and A.M. Abd. El Hafez. 1969. Activity of phosphate dissolving bacteria in Egyption soils. Plant and Soil 31 (1): 151-160. Wahyuningsih, S., R.S. Mieke, dan N.F. Betty, 1995. Pengaruh aplikasi inokulan bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas cereviseae dan Pseudomonas sp) dan pupuk organik terhadap ketersediaan P dan populasi BPF pada humic hapdludults seri Jatinangor. Prosiding Kongres Nasional VI HITI. Jakarta: 12-15 Desember 2005. Widawati, S. dan Suliasih. 2005. The application of soil microbe from Wamena Botanical Garden as biofertilizer (compost plus) on purple eggplant (Solanum melongena L.). Gakuryoku 11 (4): in-press. Widawati, S., Suliasih, dan H.J.D. Latupapua.2005. Studi awal jenis bakteri pelarut fosfat dan penambat nitrogen yang diisolasi dari tanah Kebun Biologi Wamena, Jaya wijaya-Papua. Gakuryoku 11 (2): 147-150. Widawati, S., Suliasih, dan Syaifudin. 2002. Pengaruh introduksi kompos plus terhadap produksi bobot kering daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) pada tiga macam media tanah. Jurnal Biologi Indonesia 3 (3): 245-253. Widawati, S., Suliasih; dan A. Kanti. 2001. Pengaruh isolat BPF efektif dan dosis pupuk fosfat terhadap pertumbuhan kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI. Volume 2. PBI cabang Bandung dan ITB. Bandung, 26-27 Juli 2001.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 15-17

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Isolasi dan Uji Resistensi Beberapa Isolat Lactobacillus pada pH Rendah Isolation and resistance test of several isolates of Lactobacillus in low pH RIANI HARDININGSIH♥, ROSTIATI NONTA REFINA NAPITUPULU, TITIN YULINERY Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002. Diterima: 15 Juli 2005. Disetujui: 4 Desember 2005.

ABSTRACT Several isolates of Lactobacillus had been isolated from Indonesian fermented foods. Four isolates where isolated from tongcai (TT2), saguer drink (Sg.Mnd.N2), pindang ikan selar (PSl1) and sawi asin (S5) had been used in this research. The aim of the research was to get Lactobacillus isolates as probiotic candidate and to know its resistance to low pH. The treatment were several concentration of low pH of MRS broth medium, i.e. 2; 2.5; 3; and 6.5 (optimal pH). The optical density (OD) was measured after 24, 48, 72, and 96 hours respectively, with three replication by using spectrophotometer (λ = 600 nm). The results showed that all Lactobacillus isolates (i.e. TT2, Sg.Mnd.N2, PSl1, and S5) could been used as probiotic candidate because they were resistant to all of low pH used. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: low pH, Lactobacillus, probiotic.

PENDAHULUAN Lactobacillus termasuk golongan bakteri asam laktat yang sering dijumpai pada makanan fermentasi, produk olahan ikan, daging, susu, dan buah-buahan (Napitupulu et al., 1997). Sejauh ini telah diketahui bahwa keberadaan bakteri ini tidak bersifat patogen dan aman bagi kesehatan sehingga sering digunakan dalam industri pengawetan makanan, minuman dan berpotensi sebagai produk probiotik. Sifat yang menguntungkan dari bakteri Lactobacillus dalam bentuk probiotik adalah dapat digunakan untuk mendukung peningkatan kesehatan. Bakteri tersebut berperan sebagai flora normal dalam sistem pencernaan. Fungsinya adalah untuk menjaga keseimbangan asam dan basa sehingga pH dalam kolon konstan. Cartney (1997) melaporkan bahwa bakteri probiotik menjaga kesehatan usus, membantu penyerapan makanan, produksi vitamin, dan mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Selain itu dapat meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, metabolisme kolesterol, karsinogenesis, dan menghambat penuaan. Heprer et al., (1979) menyatakan bahwa pemberian suplemen yoghurt selama satu minggu, dapat menurunkan serum kolesterol pada manusia. Yoghurt dan susu menurunkan kolesterol setelah menginduksi hypercholesterolemia kelinci. Yoghurt lebih besar memberi pengaruh dari pada susu. Lactobacillus mempunyai potensi yang besar sebagai produk probiotik karena keunggulannya dibanding bakteri asam laktat lainnya (Davis dan Gasson. 1981; Muriana dan Klaenhammer, 1987). Selanjutnya Annonym (2000) mengatakan bahwa Lactobacillus plantarum dan L. casei dapat aktif pada pH rendah dan menghasilkan asam laktat

♥ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: noviknur@yahoo.com

dalam jumlah banyak sehingga pada makanan ternak dapat membantu menyimpan energi. Napitupulu et al. (2000) melaporkan bahwa Lactobacillus menghasilkan anti bakteri. Filtrat Lactobacillus dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Streptococcus, Staphylococcus aureus, dan Escerichia coli, bahkan filtrat yang sudah disimpan selama 6 bulan memiliki kemampuan sama. Lactobacillus juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri lain yang merugikan atau patogen (Tagg et al., 1976; Chassy, 1987). Goldin dan Gorbach (1992) mengatakan bahwa beberapa substansi antimikroba yang dihasilkan bakteri probiotik, misalnya L. acidophilus menghasilkan acidotin, acidophilin, bacteriocin, lactocidin, L. bulgaricus (bulgarican), L. plantarum (lactolin), L. brevis (lactobullin, lactobrevin), dan L. reuteri (rauterin). Beberapa kriteria penting untuk karakter fisiologi yang merupakan seleksi kelayakan bakteri sebagai produk probiotik antara lain uji pertumbuhan/resistensi bakteri probiotik pada pH rendah. Fetlinski dan Stepaniak (1994) menyebutkan bahwa dapat tidaknya suatu bakteri sebagai probiotik tergantung resistensi atau ketahanan probiotik terhadap pH rendah, garam empedu, dan kemampuan untuk hidup dalam sistem pencernaan. Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian ini, yang bertujuan untuk mendapatkan isolat Lactobacillus terseleksi sebagai kandidat probiotik dengan mengetahui resistensi/ketahanan hidup beberapa isolat bakteri Lactobacillus pada pH rendah.

BAHAN DAN METODE Sampel makanan fermentasi Sampel makanan fermentasi berasal dari beberapa daerah di Indonesia, yaitu tongcai, minuman saguer, pindang ikan selar, dan sawi asin. Pada sampel-sampel makanan ini dilakukan isolasi menggunakan media GYP (Glucose Yeast Peptone) dengan komposisi dalam 1 L


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 15-17

Isolasi dan karakterisasi bakteri Lactobacillus Isolasi dilakukan dengan mengencerkan 1 g sampel dengan larutan saline (0,85% NaCl) secara duplo pada o media GYP. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 C selama 2-3 hari. Zona jernih yang terbentuk diduga bakteri asam laktat. Selanjutnya dilakukan pewarnaaan gram dan uji katalase untuk mendapatkan bakteri Lactobacillus. Pewarnaan gram dilakukan menurut metode Hucker dan Conn dan uji aktivitas katalase dengan H2O2 3%. Reaksi katalase negatif apabila diteteskan pada sel bakteri namun tidak menunjukkan adanya busa atau buih setelah 1 menit. Karakter fisiologi: Resistensi Lactobacillus pada pH rendah Beberapa Lactobacillus yang diperoleh dari isolasi di atas ditanam pada media MRS Broth untuk digunakan sebagai starter dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 2-3 hari. Selanjutnya media MRS broth dimasukkan masingmasing ke dalam tabung sebanyak 20 mL. pH media diatur menurut perlakuan yaitu pH 2; pH 2,5; pH 3 dan pH 6,5 menggunakan pH-meter. Masing masing perlakuan diinokulasi dengan 10% starter. Sebagai kontrol adalah media MRS broth tanpa penambahan starter. Setelah diinkubasi selama 24, 48, 72, dan 96 jam dilakukan pengukuran OD (Optical Density) dengan Spektrofotometer (位 = 600 nm). Pengukuran dilakukan dengan tiga ulangan

Absorbansi

1.5

kontrol

1

pH 6.5 0.5

pH 2.0 pH 2.5

0 24

48

72

96

pH 3.0

Waktu inkubasi (jam)

Gambar 1. Uji resistensi isolat bakteri Lactobacillus sp. yang diisolasi dari tongcai (TT2) pada pH rendah. 1.4

Absorbansi

sebagai berikut: glukosa 10 g, yeast ekstrak 10 g, pepton 5 g, beef ekstrak 2 g, Na-acetat.H2O 1.4 g, salt solution 5 mL (salt solution: MgSO4.7H2O 0,1 g; MnSO4.4H2O 0,1 g; FeSO4.7H2O 0,1 g; NaCl 0,1 g; dH2O 50 mL) Tween 80 0,5 g, agar 20 g CaCO3 0,075 g/mL medium, dH2O 1 L. Media pemeliharaan isolat Lactobacillus adalah media MRS (de Man Rogosa Sharpe) agar (Oxoid), sedangkan media preculture dan pertumbuhan bakteri uji adalah media MRS Broth (Oxoid).

1.2

Kontrol

1

pH 6.5

0.8

pH 2

0.6 0.4

pH 2,5

0.2

pH 3

0 24

48

72

96

Waktu inkubasi (jam)

Gambar 2. Uji resistensi isolat bakteri Lactobacillus sp. yang diisolasi dari minuman Saguer (Sg.Mnd.N2).

1.4 1.2

Absorbansi

16

Kontrol

1

pH 6.5

0.8 0.6

pH 2

0.4

pH 2,5

0.2

pH 3

0 24

48

72

96

Waktu inkubasi (jam)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Morfologi dan fisiologi bakteri Lactobacillus spp. Kode biak S5 Sg.Mnd.N2 PSl1 TT2

Asal Sawi asin Saguer Pindang selar Tongcai

Gram

Bentuk sel

+ + + +

Rod Rod Rod Rod

Reaksi katalase -

Empat isolat yang diisolasi merupakan bakteri Lactobacillus. Anguirre dan Colins (1993) menyatakan bahwa bakteri asam laktat terdiri atas 4 genus, yaitu Lactobacillus, Streptococcus, Leuconostoc, dan Pediococcus. Genus Lactobacillus mempunyai ciri-ciri: bakteri berbentuk batang/rod, gram positif, dan uji katalase negatif. Hasil uji resistensi isolat bakteri Lactobacillus yang diisolasi dari masing-masing makanan fermentasi pada beberapa taraf pH rendah disajikan pada Gambar 1-4. Pada Gambar 1, hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengukuran OD terhadap isolat Lactobacillus TT2 dengan perlakuan pH rendah (pH 2, pH 2,5 dan pH 3), nilai

Gambar 3. Uji resistensi isolat Lactobacillus sp. yang diisolasi dari pindang selar (PSL1) pada pH rendah.

Absorbansi

Dari hasil isolasi dan karakterisasi serta identifikasi pada sampel-sampel makanan fermentasi diperoleh empat isolat Lactobacillus, yaitu: TT2 (tongcai), Sg.Mnd.N2 (saguer), PSl1 (pindang ikan selar), dan S5 (sawi asin). Pengamatan terhadap bentuk morfologi dan fisiologi biak Lactobacillus uji disajikan pada Tabel 1.

1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

Kontrol pH 6.5 pH 2 pH 2,5 pH 3 24

48

72

96

Waktu inkubasi (jam)

Gambar 4. Uji resistensi isolat bakteri Lactobacillus sp. yang diisolasi dari sawi asin (S5) pada pH rendah.

absorbansinya relatif stabil, sehingga dapat dikatakan bahwa Lactobacillus ini resisten dan mampu mempertahankan hidupnya pada kondisi pH rendah. Kerapatan optik (OD) rata-rata berkisar antara 0,66-0,71. Conway et al. (1987) mengatakan bahwa bakteri asam laktat lebih toleran terhadap asam. Penelitiannya menggunakan L. acidiphillus mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam lambung dari pada L. delbrueckii subsp. Bulgaricus, yang lebih resisten terhadap S. salivarius subsp. Thermophillus. Secara in vitro ketahanan terhadap pH rendah tergantung


HARDININGSIH dkk. – Kandidat probiotik Lactobacillus pada pH rendah

pada tipe buffer (Hood dan Zottola, 1988) dan keberadaan makanan atau pakan yang digunakan (Conway et al., 1987). Jika individu dalam keadaan berpuasa, pH lambung dapat mencapai 1 atau 2 dan banyak mikroorganisme termasuk Lactobacillus dapat bertahan hidup dari 30 detik sampai beberapa menit (Conway et al., 1987). Bila dibandingkan dengan isolat yang diinokulasi pada pH 6,5 dengan inkubasi selama 24 sampai 96 jam, terlihat kenaikan nilai absorbansinya. Pada pH 6,5 menunjukkan pertumbuhan isolat-isolat Lactobacillus yang paling tinggi, karena pH 6,5 merupakan pH optimum untuk pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Tagg (1976) melaporkan bahwa bakteri asam laktat mempunyai toleransi pH dengan rentang yang luas. Bakteri asam laktat juga mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali dari pada pH ekstraseluler (Hutkins dan Nannen, 1993). Gilliland (1990) menyatakan bahwa bakteri gram positif lebih sensitif terhadap lisozim tetapi Lactobacillus dan Streptococcus lebih resisten terhadap bakteri gram positif lainnya. Pada Gambar 2 dan 3 perlakuan pH rendah isolat Sg.Mnd.N2 dan PSl1 menunjukkan kecenderungan yang sama seperti pada Gambar 1. Optical density rata-rata stabil setelah inkubasi 24 jam sampai 96 jam. Dari hasil pengamatan tersebut diatas, mengindikasikan bahwa kedua isolat bakteri Lactobacillus yang diuji juga mempunyai ketahanan/resistensi terhadap pH rendah. Dengan kata lain, isolat isolat tersebut mempunyai potensi sebagai bakteri probiotik. Pada Gambar 4 tampak bahwa Lactobacillus S5 mempunyai nilai absorbansi lebih tinggi pada pH 6,5, 2,5 dan 3, dari pada pH 2. Lactobacillus dari asinan sawi lebih resisten dari pada isolat isolat uji yang lain. Hal ini disebabkan karena karakter fisiologis dari masing-masing Lactobacillus berbeda-beda. Perbedaan ketahanan membran sel bakteri terhadap kerusakan akibat terjadinya penurunan pH ekstraseluler menyebabkan keragaman ketahanan sel pada pH rendah. Beberapa peneliti memperkuat pernyataan tersebut seperti Robins-Browne dan Levine (1981) dalam penelitiannya mengatakan bahwa Lactobacillus delbruekii dan S. salivarius tidak dapat hidup pada usus halus akibat pH rendah pada lambung. Tannock et al. (1982) mengindikasikan bahwa strain bakteri yang diisolasi dari indigenous mikroflora dari satu spesies tidak sama dengan spesies lain, meskipun Lactobacillus dan Bifidobacterium sama-sama diisolasi dari host yang sama tetapi bakteri-bakteri tersebut mempunyai variasi biotypes yang berbeda. Hood dan Zottola (1988) menunjukkan bahwa sel L. acidophilus tidak dapat tumbuh pada pH rendah tanpa pengaruh lapisan polisakarida yang bersifat asam. Di bawah kondisi in vitro menghasilkan asam organik dan menurunkan pH lambung, dalam kondisi asam menghambat pertumbuhan E.coli dan beberapa strain Lactobacilli dan streptococci yang menghasilkan asam laktat dalam jumlah besar (Holdeman et al., 1977). Selanjutnya Fox (1988) menjelaskan bahwa bakteri ini dapat menurunkan pH intestin dan menurunkan pertumbuhan yang cepat dari E. coli. Dari hasil-hasil penelitian yang telah tersaji pada Gambar 1-4 tersebut di atas, terlihat bahwa peluang Lactobacillus yang berasal dari makanan fermentasi Indonesia, dalam pemanfaatannya sebagai bakteri probiotik adalah cukup besar. Empat isolat Lactobacillus uji yang berasal dari makanan fermentasi tersebut tahan/resisten pada pH rendah. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Conway et al (1987) bahwa probiotik efektif jika strain telah terseleksi tahan terhadap pH asam dan dapat dikembangkan pada sistem buffer seperti susu, yoghurt

17

atau makanan. Mikroorganisme probiotik yang digunakan secara oral lebih tahan terhadap enzim dalam mulut (amilase, lisozim) terhadap enzim pepsin atau lipase dan pH rendah (konsentrasi HCL tinggi) pada lambung, konsentrasi asam empedu, getah pankreas dan mucus pada usus halus. Untuk itu perlu kriteria seleksi strain mikroba.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini diperoleh empat isolat bakteri Lactobacillus yang diisolasi dari makanan fermentasi Indonesia, yaitu dari tongcai (TT2), minuman saguer (Sg.Mnd.N2), pindang ikan selar (PSL1) dan sawi asin (S5). Empat isolat Lactobacillus tersebut berpotensi sebagai bakteri probiotik, karena mampu mempertahankan hidupnya/resisten pada pH yang rendah. Diantara empat isolat Lactobacillus yang diuji yang terbaik adalah yang berasal dari sawi asin (S5).

DAFTAR PUSTAKA Anguirre, M and M. Colins. 1993. Lactic acid bacteria and human clinical infection. Journal of Applied Bacteriology 75: 95-107. Annonym. 2000. Pro-Store AT. Wisconsin: Agri-Nutrion consulting,Inc. Cartney, M.M. 1997. Enzymes, Probiotics and Antioksidan. New York: Mediterranean Synergy TM. Awarenness Corporation.USA Chassy, B., M. 1987. Prospect for the genetic manipulation of lactobacilli. FEMS Microbiology Review 46:297-312. Conway, P.L., S.L. Gorbach, and B.R. Goldin. 1987. Survival of Lactic acid bacteria in the human stomach and adhesion to internal cell. Journal of Diary Science 70:1-12 Davis, F.L. and Gasson. 1981. Reviews of the progress of dairy science: Genetics of lactic acid bacteria. Journal of Diary Review 48:363-376. Fetlinski, A. and L. Stepaniak. 1994. BIOLACTA-TEXEL sarl. Warszawska 111,Olsztin, Poland. Fox, S.M. 1988. Probiotics: Intestinal imoculants for production animals. Veterinary Medicine. August 1988: 806-830. Gilliland, S.E. 1990. Health and Nutritional benefits from lactic acid bacteria. FEMS Microbiology Reviews 87:175-188. Goldin, B.R. and S.L.Gorbach. 1992. Probiotic for humans. In Fuller, R. Probiotic the Scientific Basis. London: Chapman & Hall. Heprer, G. Fried, R. St Jean. 1979. Hypocholesterolemic effect of yoghurt and milk. American Journals of Clinical Nutrition 32:19-24. Holdeman, L.U., Gato, E.P. and Moore. W.E.C. 1977. Anaerobe Laboratory Manual. 4th ed. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University. Hood, S.K. and E.A. Zottola. 1988. Effect of low on the ability of Lactobacillus acidophilus to survive and adhere tohuman intedtinal intestinal cells. Journal of Food Science 53: 1514-1516. Hutkins, R.W., Nannen, N.L. 1993. pH homeostatis in lactic acid bacteria. Journal of Diary Science 76: 2354-2365. Muriana, P.M. and T.R. Klaenhammer. 1987. Conjugal transfer of plasmid encended determinants for bacteriocin production and immunity in Lactobacillus acidophillus 88. Aplied and Enviromental Microbiology 53: 552-560. Napitupulu N.R., A. Kanti, T. Yulinery, R. Hardiningsih, dan Julistiono, H. 1997. DNA plasmid Lactobacillus asal makanan fermentasi tradisional yang berpotensi dalam pengembangan sistem inang vektor untuk bioteknologi pangan. Jurnal Mikrobiologi Tropis 1: 91-96. Napitupulu, N., T. Yulinery, dan R. Hardiningsih. 2000. Pengaruh Lama Penyimpanan, Suhu dan Media terhadap Kemampuan Antibakteri yang Dihasilkan Lactobacillus dalam Menghambat pertumbuhan Beberapa Bakteri Patogen. [Laporan Teknik]. Bogor: Proyek penelitian Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat, Pusat Penelitian Biologi LIPI. Robins-Browne, R.M. and M. Levine. 1981. The fase of ingested Lactobacilli in the proximal small intestine. American Journals of Clinical Nutrition 34: 514-519. Schafasma, G. 1996. State of the art concerning probiotic strains in milk products. IDF Nutrition Newsletters 5: 23-24. Tagg, J.R. 1976. Bacteriocins of gram positive bacteria. Bacteriology Review 40: 722-756. Tannock, G.W., O. Szylit, and P. Raibaud. 1982. Colonization of tissue surfaces in the gastrointestinal tract of gnotobiotic animal by Lactobacillus strains. Canadian Journal of Microbiology 28:1196-1198.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 18-20

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Selenium dari Ekstrak Biji dan Akar Pinang (Areca catechu L.) yang Difermentasi dengan Konsorsium Acetobacter– Saccharomyces sebagai Antiseptik Obat Kumur The influence of Se content of the seed and the root of Areca catechu by fermenting of Acetobacter–Saccharomyces consortium as an antimicrobial gargle TITIN YULINERI♥, ERNAWATI KASIM, NOVIK NURHIDAYAT Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 1 Mei 2005. Disetujui: 5 Agustus 2005.

ABSTRACT The research on the using of Areca catechu seeds and roots extract contain selenium which fermented by Acetobacter–Saccharomyces consortium as a gargle had been conducted. The aim of the research was to know the influence of Se content of the seed and the root of Areca catechu by fermenting of Acetobacter–Saccharomyces consortium on the growth of Streptococcus mutans bacteria. The research consisted of four stages i.e. fermented the extract, isolated S. mutans, tested the activity of the antimicrobial and analyzed selenium concentration in the extract. The result showed that the concentration of selenium has fluctuation. The highest content of selenium of the seeds extract at 2.2 g/L concentration was 3.05 ppb on the fifteenth day while on the root extract at 8.8 g/L was 14.03 ppb on the twenty first day fermentation. Both of the extract has potential used as antiseptic gargle. The antimicrobial agents could inhibit the growth of S. mutans better than the three kinds of commercial gargles. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: selenium, Areca catechu, Acetobacter, Saccharomyces, Streptococcus mutans, antimicrobial, gargle.

PENDAHULUAN Selenium (Se) merupakan elemen esensial bagi hewan dan manusia yang diperoleh dari makanannya seperti bijibijian dan sayuran (Tapiero et al., 2003). Efek biologis dari Se awalnya hanya dipertimbangkan dari segi toksisitasnya saja. Sebagai mikroelemen, Se berperan dalam pertumbuhan, mengontrol metabolisme hormon tiroid dan testosteron (Rayman, 2002), sebagai antioksidan Se mereduksi senyawa peroksida, sehingga menurunkan radikal bebas dalam tubuh dan menghambat timbul dan berkembangnya kanker (Linder, 1992; Stolz et al., 2002) Kebutuhan Se rata-rata orang dewasa 50-200 µg sehari, sementara yang direkomendasikan 55 µg per hari (Anonim, 2003). Menurut penelitian LD50 konsumsi Se adalah 2,3-13 mg per kg (WHO, 1987). Asupan bahan mengandung Se berasal dari bahan makanan sehari-hari misalnya makanan yang berasal dari tumbuhan. Kemampuan beberapa jenis tumbuhan untuk mengakumulasi dan mentransformasi Se menjadi senyawa bioaktif sangat penting untuk kesehatan manusia dan lingkungan (Ellis dan Salt, 2003). Kandungan Se dalam tumbuhan merupakan potensi untuk dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat, misalnya pada tanaman pinang, salak, kopi, teh dan coklat (Foster dan Sumar, 1996). Pinang sudah banyak digunakan sebagai obat tradisional antara lain untuk luka, pembersih gigi dan gusi (Atjung, 1981). ♥ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 18 Bogor 16002 Tel. +62-251-324006. Fax.: +62-251-325854 e-mail: noviknur@yahoo.com

Dalam bidang kesehatan mulut, masalah yang sering dihadapi adalah karies atau plak gigi, yang terdiri atas kumpulan bakteri yang berkembang biak dan melekat erat di permukaan gigi. Plak terutama terdiri atas bakteri bercampur musin, sisa-sisa makanan, dan bahan bahan lain yang melekat erat di permukaan gigi. Pada awal pembentukan plak, jenis kokus gram positif terutama Streptococcus merupakan jenis yang paling banyak dijumpai, di samping bakteri yang berbentuk batang. Jenis bakteri yang mempunyai kemampuan paling besar untuk membentuk polisakarida ekstraselular adalah Streptococcus mutans dan S. sanguis. Bakteri ini mempunyai kemampuan untuk mensintesis sukrosa, glukosa atau karbohidrat lain menjadi polisakarida ekstraselular dan asam (Pelzar dan Chan, 1986; Panjaitan, 2002). Bakteri ini juga dapat menurunkan pH menjadi 5,25,5 dan menyebabkan demineralisasi gigi. Polisakarida ekstraselular akan membentuk plak gigi bila terdapat bakteri S. mutans dalam mulut. Pembentukan plak dan pembentukan asam berlangsung setiap kali mengkonsumsi gula dan selama gula tersebut berada dalam mulut. Resiko pembentukan plak dan asam ditentukan oleh frekuensi konsumsi gula bukan oleh banyaknya gula dimakan (Ariningrum, 2002). Bakteri S. mutans akan berkembang biak pada suhu 37oC selama 48 jam di media selektif. Di dalam mulut, bakteri ini dapat hidup bila terdapat permukaan padat seperti gigi atau geligi tiruan (Sosialsih, 2002). Bakteri ini dapat berkolonisasi di lubang dan celah gigi, permukaan gigi dekat gusi dan di lesi karies (Yunilawati, 2002). Plak gigi biasanya diawali dengan demineralisasi jaringan keras gigi yang ditandai oleh


YULINERI dkk. – Selenium dari ekstrak Areca catechu L. sebagai obat kumur

rusaknya jaringan email dan dentin akibat aktivitas metabolisme bakteri dalam plak gigi (Ford, 1993). Pertumbuhan plak gigi dapat dihambat dengan menghilangkan atau mengurangi bakteri dalam mulut, misalnya dengan obat kumur yang mengandung antiseptik. Analisis pinang di Filipina menyatakan bahwa buah pinang mengandung senyawa bioaktif yaitu flavonoid di antaranya tanin, yang dapat menguatkan gigi. Biji pinang dapat dimakan bersama sirih dan kapur, yang berkhasiat untuk menguatkan gigi. Air rebusan biji pinang juga digunakan sebagai obat kumur dan penguat gigi. Diduga bahwa tanaman pinang mengandung sejumlah komponen utama senyawa berbasis Se sebagai antibakteri. Hal tersebut dibuktikan dengan peranannya sebagai obat tradisional yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat luas dalam hal Se. Komponen Se ini dapat dihasilkan melalui proses fermentasi konsorsium Acetobacter-Saccharomyces (Bartholomew dan Bartholomew, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kandungan Se dari ekstrak biji dan akar pinang melalui fermentasi konsorsium Acetobacter-Saccharomyces terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans, sehingga diketahui potensinya sebagai antiseptik dalam obat kumur. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji dan akar pinang, mikroba campuran AcetobacterSaccharomyces dan isolat bakteri Streptococcus mutans. Penelitian ini dibagi menjadi 4 tahap. Tahap pertama fermentasi ekstrak contoh, pengambilan contoh dengan interval waktu 3 hari selama 21 hari, kedua pemurnian bakteri S. mutans, ketiga uji aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans, dan keempat analisis konsentrasi Se hasil fermentasi dengan menggunakan metode Analisis Aktivasi Neutron (AAN). Fermentasi ekstrak Contoh yang terdiri dari biji dan akar pinang ditimbang sebanyak 2,2 g, 4,4 g, dan 8,8 g. Masing-masing contoh ditambah dengan 100 g sukrosa dan 1000 mL akuades, lalu dipanaskan pada suhu 100°C, kemudian didinginkan selama 10 menit. Contoh disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121°C. Contoh didinginkan sampai mencapai suhu kamar, lalu diinokulasi dengan konsorsium Acetobacter–Saccharomyces, kemudian diinkubasi selama 21 hari. Isolasi Streptococcus mutans Bakteri S. mutans diisolasi dari karies gigi manusia, ditumbuhkan di media Streptococcal Selective Medium, dan o diinkubasi selama tiga hari pada suhu 37 C. Bakteri tersebut kemudian diidentifikasi. Koloni bakteri S. mutans dipindahkan dari media padat ke media cair, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Biakan murninya siap untuk diuji aktivitasnya. Uji aktivitas antibakteri Aktivitas antibakteri ditentukan dengan metoda cakram kertas Kirby- Bauer. Ekstrak contoh konsentrasi 2,2 g/L ; 4,4 g/L dan 8,8 g/L yang mengandung Se pada cakram kertas saring berdiameter 0,60 cm diletakkan di atas media selektif yang ditumbuhi bakteri S. mutans. Media tersebut o diinkubasi pada suhu 37 C. Pengamatan aktivitas antibakteri berupa zona bening di sekeliling kertas cakram dilakukan dengan interval waktu 24 jam sampai dengan 48 jam. Aktivitas antibakteri dibandingkan dengan standar SeO2 dan obat kumur komersial.

19

Analisis Se dengan AAN Vial plastik disiapkan dan direndam dengan HNO3 1 M selama 1 jam. Selanjutnya tabung tersebut dibilas dengan akuabides sebanyak 3 kali dan dikeringkan dengan aseton pada udara terbuka. Tabung diisi larutan 1 mL sampel yang akan dianalisis dan dikeringkan di bawah lampu bersuhu o 40 C sampai larutan sampel menjadi pekat, lalu ditambahkan lagi larutan sampel hingga volumenya mencapai 5 mL. Larutan standar Se dibuat dari 4,5 mL sampel yang ditambahkan dengan standar Se 100 ppb sebanyak 0,5 mL. Vial sampel yang sudah kering dan pekat ditutup dengan tutup vial kemudian dilapisi dengan lembaran aluminium. Sampel diiradiasikan dengan penembakan Neutron 3x1013 neutron cm-2det-1. Semua sampel yang telah diiradiasikan didiamkan selama sebulan agar unsur-unsur pengotornya meluruh. Selanjutnya sampel siap dicacah dengan spektroskopi sinar γ selama 3600 detik. Kandungan Se dari masing-masing konsentrasi ekstrak sampel diamati pada hari ke-1, 9, 15, dan 21. Penentuan konsentrasi Se dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: WC = CpsC x WS SpsS WC = Konsentrasi contoh WS = Konsentrasi standar CpsC = Luas cacahan contoh SpsS = Luas cacahan standar HASIL DAN PEMBAHASAN Dari ekstrak biji dan akar pinang yang difermentasi dengan konsorsium Acetobacter-Saccharomyces diperoleh data mengenai kandungan Se yang terdapat dalam contoh biji dan akar pinang. Kandungan Se yang didapatkan cenderung bervariasi. Hubungan konsentrasi Se dan waktu fermentasi pada contoh biji pinang pada konsentrasi ekstrak 2,2 g/L; 4,4 g/L dan 8,8 g/L, dapat dilihat pada Gambar 1a, 1b, dan 1c. Gambar 1a menunjukkan bahwa konsentrasi Se terbesar dihasilkan oleh ekstrak biji pinang konsentrasi 2,2 g/L, setelah fermentasi hari ke 9 yakni sebesar 3,05 ppb. Pada hari ke 15 dan 21, konsentrasi Se menurun menjadi 1,5 ppb dan 1,7 ppb. Demikian juga halnya dengan Gambar 1b dan 1c, konsentrasi Se tertinggi didapatkan pada fermentasi hari ke-9, yakni pada konsentrasi ekstrak 4,4 g/L dan 8,8 g/L, berturut turut sebesar 2,51 ppb dan 2,84 ppb. Dari tiga konsentrasi yang diamati, ternyata konsentrasi ekstrak 2,2 g/L pada fermentasi hari ke-9 merupakan konsentrasi Se tertinggi yang dihasilkan yakni 3,05 ppb. Gambar 2a, 2b, dan 2c, adalah hubungan konsentrasi Se dan waktu fermentasi pada contoh akar pinang pada konsentrasi ekstrak 2,2 g/L; 4,4 g/L dan 8,8 g/L. Konsentrasi Se tertinggi pada ekstrak akar pinang dengan konsentrasi 2,2 g/L; 4,4 g/L dan 8,8 g/L yakni setelah fermentasi hari ke 21, masing-masingnya adalah 4,69 ppb, 5,68 ppb dan 14,03 ppb. Konsentrasi Se tertinggi dari tiga konsentrasi adalah pada konsentrasi ekstrak 8,8 g/L yakni 14,03 ppb pada fermentasi hari ke 21. Kandungan Se hasil fermentasi dari berbagai konsentrasi ekstrak biji dan akar terlihat bervariasi. Dilaga (1997) mengatakan bahwa pada tumbuhan tidak hanya terdapat kandungan Se bebas, tetapi juga ada kandungan Se yang terikat dengan protein sebagai selenosistein, selenometionin dan selenoprotein yang berbeda-beda jumlahnya, sehingga dengan cara dihidrolisis melalui aktivitas enzim mikroorganisme dihasilkan kadar Se yang


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 18-20

Konsentrasi Se(ppb)

20

3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1

9

15

21

Hari

4 2 0 1

9

15

21

15 12 9 6 3 0 1

9

15 Hari

Hari

21

Konsentrasi Se(ppb)

6

Konsentrasi Se(ppb)

Konsentrasi Se(ppb)

A B C Gambar 1. Hubungan konsentrasi Se dengan waktu fermentasi ekstrak biji pinang. A. konsentrasi 2,2 g/L; B. 4,4 g/L; C. 8,8 g/L.

15 12 9 6 3 0 1

9

15

21

Hari

A B C Gambar 2. Hubungan konsentrasi Se dengan waktu fermentasi ekstrak akar pinang. A. konsentrasi 2,2 g/L; B. 4,4 g/L; C. 8,8 g/L.

berbeda pula. Dari pengukuran konsentrasi Se yang didapatkan melalui fermentasi kedua ekstrak tersebut, maka ekstrak biji dan akar pinang memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai antiseptik obat kumur. Pengujian daya hambat Se terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans dilakukan dengan kertas cakram yang direndam ke dalam masing-masing ekstrak kemudian diletakkan di atas media yang sudah ditumbuhi bakteri S. mutans. Efektivitas Se pada ekstrak ditandai dengan luasnya diameter zona bening (zona hambat) yang terbentuk antara kertas cakram dan koloni bakteri S. mutans. Dari hasil pengujian ekstrak biji dan akar pinang, ternyata zona hambat dengan diameter terbesar pada ekstrak biji adalah 0,18 cm, sedangkan pada akar 0,36 cm. Setelah dibandingkan efektivitas kedua ekstrak ini dengan 3 jenis obat kumur komersial dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans ternyata hasilnya seperti tercantum di Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan diameter zona hambat ekstrak biji dan akar pinang dengan tiga jenis obat kumur komersial terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans Contoh Ekstrak biji Ekstrak akar Obat kumur 1 Obat kumur 2 Obat kumur 3

Diameter zona hambat (cm) 0,18 0,36 0,02 0,01 0,00

Uji efektivitas pada tabel di atas menunjukkan bahwa ekstrak biji dan akar pinang jauh lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. mutans dibandingkan ketiga obat kumur komersial. Hal ini dapat dilihat dari luasnya zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri tersebut. Penelitian terdahulu oleh Kasim dkk. (2005), menyatakan bahwa uji ekstrak daun pinang yang difermentasi dengan konsorsium AcetobacterSaccharomyces memperlihatkan zona hambat antara kertas cakram dan bakteri seluas 0,77 cm. Dalam penelitian ini dengan ekstrak biji dan akar pinang, zona hambatnya berturut-turut adalah 0,36 cm dan 0,18 cm. Dapat dikatakan bahwa zona hambat ekstrak daun pinang lebih luas dibandingkan zona hambat ekstrak biji dan akar pinang, tetapi masih jauh lebih luas dibandingkan dengan zona hambat ketiga obat kumur komersial yang diuji. Dilaga (1992) melaporkan bahwa konsentrasi Se pada suatu tumbuhan berbeda dalam masing-masing bagian.

Konsentrasi Se tertinggi didapatkan di bagian daun dan batang, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah dihasilkan oleh bagian biji, buah dan umbi atau akar. KESIMPULAN Pada ekstrak biji pinang konsentrasi Se tertinggi terdapat pada fermentasi konsentrasi 2,2 g/L hari ke 9 sebesar 3,05 ppb, sedangkan pada ekstrak akar pinang konsentrasi Se tertinggi terdapat pada fermentasi konsentrasi 8,8 g/L hari ke 21 sebesar 14,03 ppb. Kedua jenis ekstrak ini berpotensi sebagai antiseptik obat kumur karena efektivitas ekstrak terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans menghasilkan zona hambat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tiga jenis obat kumur komersial. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Selenium. www.healthwell.com. [27 Juni 2004]. Ariningrum, R. 2002. Beberapa cara menjaga kebersihan gigi dan mulut. Cermin Dunia Kedokteran 126: 45-51. Atjung. 1981. Tanaman Obat dan Minuman Segar. Jakarta: Penerbit Yayagana. Bartholomew, A. and M. Bartholomew. 2001. Kombucha Tea Therapy. www.positive health.com/permit/Article/Nutrition/Kombucha.html. [Mei 2001]. Dilaga, S.H. 1992. Nutrisi Mineral pada Ternak; Kajian khusus unsur Se. Jakarta: Akademika Pressindo. Ellis, D.R. and D.E. Salt. 2003. Plant, selenium and human health. Current Opinion in Plant Biology 6: 273-279. Ford, T.R.P. 1993. Restorasi Gigi (The Restoration of Teeth). Penerjemah: Sumawinata, N. Edisi ke-2. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Foster, L.H. and S. Sumar. 1996. Se concentration in soya based milks and infant formulae available in the UK. Food Chemistry 56 (1): 93 – 98. Kasim, E., T. Yulinery, dan N. Nurhidayat. 2005. Pemanfaatan Se dari ekstrak daun pinang (Areca catechu L) yang difermentasi oleh konsorsium Acetobacter-Saccharomyces sebagai obat kumur. Gakuryolu 12 (3) (article in press). Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemahaman secara Klinis. Penerjemah: Parakkasi, A. Jakarta: UI Press. Panjaitan, M. 2002. Hambatan natrium fluorida dan varnish fluorida terhadap pembentukan asam susu oleh mikroorganisme plak gigi. Cermin Dunia Kedokteran 126: 40-44. Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Penerjemah: Siri, R. Jakarta: UI Press. Rayman, M. 2002. Se for human. Feeding Times 7 (2): 3-6. Sosialsih, L. 2002. Penambahan Vitamin E dan Detergen terhadap Sifat Fisik dan Daya Anti Bakteri Pasta Gigi Minyak Atsiri Daun Sirih. [Skripsi]. Bogor: IPB. Stolz, J.F., P. Basu, and R.S. Oremland. 2002. Microbial transformation of elements: the case of arsenic and selenium. International Microbiology 5: 201-207. Tapiero, H., D.M.Townsend, and K.D. Tew. 2003. The antioxidant role of selenium and seleno-compounda. Biomedicine & Pharmacotherapy 57: 134-144. WHO. 1987. Selenium Environmental Health Criteria 58. Geneva: WHO Yunilawati, R. 2002. Minyak Atsiri Daun Sirih sebagai Antibakteri Streptococcus mutans dalam Pasta Gigi. [Skripsi]. Bogor: IPB.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 21-24

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Pengkajian Kandungan Fitosterol pada Tanaman Kedawung (Parkia roxburgii G. Don.) Studies on phytosterol content of Parkia roxburgii G. Don. DJADJAT TISNADJAJA♥, SUCI LESTARI HIDAYAT, SUKMA SUMIRJA, PARTOMUAN SIMANJUNTAK Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911. Diterima: 30 Juni 2005. Disetujui: 5 September 2005.

ABSTRACT Kedawung (Parkia roxburgii G. Don.) is one of plants that originally could be found in almost all parts of Java Island. Due to lack of attention, at present situation this plant could be categorized as an endangered species. This plant species distributed widely in Africa. In several African countries, this plant has an important position either as food resource or alternative medicine. In Indonesia, traditionally kedawung tree often use as medicine, especially as part of “jamu gendong” formulation. This work was focused on the study of phytosterol content and it distribution. The research result show that almost all parts of kedawung tree have a significant content of phytosterol, which is dominated by beta-sitosterol. The highest beta-sitosterol content was founded in the stem of leaf (35.24% (w/w) and pod (29.67% (w/w). © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: endangered plant species, phytosterol, beta-sitosterol, traditional medicine.

PENDAHULUAN Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr., atau Parkia biglobosa atau Parkia roxburgii G.Don.) merupakan tumbuhan yang masih tergolong dalam keluarga polongpolongan atau Leguminosae. Tumbuhan ini tersebar secara luas di kawasan Afrika seperti Senegal dan Gambia. Kulit batang, daun, bunga dan polong dari tumbuhan ini banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional maupun bahan makanan. Kulit ari dan pulp dari polong di beberapa negara Afrika banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok (Houe’rou, 2005). Di Kandiga, Ghana tumbuhan ini memiliki posisi yang sangat penting sebagai salah satu sumber makanan dan bahan obat tradisional. Salah satu bentuk makanan yang populer adalah “dawa-dawa” yaitu hasil fermentasi dari biji kedawung (Shao, 2002). Mertz et al., (2001) melaporkan bahwa di Burkina Faso 78-85% kebutuhan konsumsi sayuran dipenuhi oleh dawa-dawa. Bahan makanan lain yang berasal dari tumbuhan kedawung dan berperan penting bagi masyarakat di Ghana adalah yang mereka kenal sebagai “dobulong” yaitu lapisan berwarna kuning yang menyelimuti biji. Dobulong ini kaya dengan kandungan vitamin C dan karbohidrat (Shao, 2002). Di Afrika, tumbuhan ini secara tradisional digunakan dalam beberapa macam pengobatan seperti diarhea, sakit gigi, infeksi, luka, luka bakar, rheumatik, bronchitis dan darah tinggi. Asuzu dan Harvey (2003), menunjukkan bahwa ekstrak metanol-air dari kulit batang P. biglobosa mampu menetralisir bisa ular N. nigricollis. Aiyelaagbe et al. (1996),

♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong-Bogor 16911. Tel. +62-21-8754587. Fax. +62-21-8754588. email: djadjatt@indo.net.id

menunjukkan bahwa biji dari Parkia biglobosa dan Parkia bicolor kaya dengan kandungan asam lemak. Lebih dari empat puluh persen kandungan asam lemak adalah berupa asam arahidat, dan asam lemak lainnya antara lain adalah asam stearat, linoleat dan palmitat. Di Indonesia, tumbuhan yang dikenal sebagai salah satu raksasa hutan ini tumbuh secara tidak berkelompok di seluruh Pulau Jawa pada daerah dengan ketinggian dibawah 500 m di atas permukaan laut (Heyne, 1987). Secara tradisional tumbuhan ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat berbagai penyakit. Biji kedawung tua sering digunakan untuk mengobati penyakit kolik dan juga sebagai bahan campuran obat kolera. Seduhan tepung biji yang dicampur dengan daun sembung biasa diminum untuk pengobatan penyakit kejang pada waktu haid, dan sebagai obat penguat lambung (Heyne, 1987). Biji kedawung juga banyak digunakan sebagai salah satu bahan campuran dari jamu, khususnya jamu gendong. Dari berbagai jenis jamu gendong yang ada, lima diantaranya yakni beras kencur, cabe puyang, pahitan, kudu laos dan uyup-uyup selalu menggunakan kedawung sebagai salah satu campurannya (www.lembaga.wima.ac.id; Suharmiati dan Handayani, 1998). Pada awalnya, senyawa sterol diketahui sebagai subtansi dari binatang baik sebagai hormon sex, asam empedu atau lainnya. Baru belakangan senyawa-senyawa ini terdeteksi pada jaringan tanaman. Tiga macam senyawa yang biasa disebut sebagai ”fitosterol” yaitu sitosterol (lebih dikenal sebagai beta-sitosterol), stigmasterol dan campesterol terbukti bisa ditemukan pada beberapa jenis tanaman tinggi. Beberapa jenis senyawa sterol tertentu seperti ergosterol, dapat ditemukan pada tanaman tingkat rendah seperti khamir dan jamur (Harborne, 1998). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa fitosterol mampu mengurangi kadar kolesterol total dan LDL kolesterol di dalam darah (National Nutritional Foods


22

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 21-24

Association, 2001). Kehadiran beta-sitosterol di dalam hati akan mempercepat rusaknya enzim spesifik yang dibutuhkan hati untuk memproduksi kolesterol, atau secara tidak langsung menghambat pembentukan kolesterol di hati. Beta-sitosterol memiliki struktur kimia yang hampir sama dengan kolesterol sehingga bisa menghambat absorpsi kolesterol oleh darah. Kolesterol yang tidak terabsorpsi oleh darah tersebut kemudian akan terekskresikan keluar tubuh (www.roex.com/newsletter, 2005). Mengingat peranan penting senyawa-senyawa fitosterol khususnya beta-sitosterol, maka dalam kajian kandungan senyawa kimia dari kedawung ini difokuskan pada kandungan fitosterolnya.

BAHAN DAN METODE Bahan Bagian-bagian tanaman kedawung (Parkia roxburgii G. Don.)yang digunakan sebagai sampel diperoleh dari Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur. Cara kerja Identifikasi nama botani. Identifikasi nama botani dilakukan untuk mengetahui nama biologi dari tanaman yang akan diteliti. Identifikasi botani dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Preparasi sampel. Bagian tanaman kedawung dipisah menjadi lima bagian yaitu biji, polong, tangkai daun, anak daun dan kulit pohon. Bagian-bagian tersebut dikeringkan dibawah sinar matahari, lalu dihaluskan dengan motor penggiling hingga ukuran + 100 mesh. Ekstraksi fitosterol. Ekstraksi dilakukan dengan sistem refluk dimana pelarut n-heksan digunakan sebagai pengekstraksi. Identifikasi awal ekstrak fitosterol. Identifikasi awal untuk mengetahui adanya senyawa steroid di dalam ekstrak yang diperoleh dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis. Pereaksi warna yang digunakan adalah serium sulfat, dan reagen Lieberman-Burchard (Goad dan Toshihiro, 1997). KLT dilakukan dengan menggunakan lempeng silikagel GF254 dan fase gerak n-heksan-etil asetat (4:1). Sebagai standar digunakan beta-sitosterol (mengandung 35% kampesterol). Pemurnian ekstrak fitosterol. Pemurnian fitosterol dilakukan dengan kromatografi kolom menggunakan fase diam silikagel 60 (70-230 mesh) dan eluen n-heksanaetilasetat (4:1). Silikagel yang digunakan + 25-50 kali berat ekstrak sampel. Sebelum dimasukan ke dalam kolom, ekstrak sampel ditambahkan celite 345 diaduk sampai homogen. Tiap fraksi ditampung sebanyak 5 ml. Semua fraksi yang mengandung senyawa dengan Rf berdekatan dengan standar dikumpulkan dan dipekatkan. Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Ekstrak hasil dari kromatografi kolom ditimbang dengan seksama lalu dilarutkan dalam kloroform sebanyak 5 mL, disaring menggunakan saringan membran porositas 0,25 µm dimasukan ke dalam vial dan dilakukan sonikasi selama 15 menit, kemudian di injek sebanyak 20 µL ke dalam alat KCKT. Perhitungan kadar. Kadar sterol dihitung dengan menggunakan rumus:

Kondisi KCKT yang digunakan: Fase diam : Kolom Bondapak C18 Fase gerak : Metanol-Kloroform (65:35) Laju alir : 1 mL/menit Detektor : UV 254 nm Tekanan : 70-71 kg/cm2 Sistem : Isokratik Uji kesesuaian sistem. Pengujian kesesuaian sistem dilakukan untuk mengetahui apakah alat, metode dan sistem kromatografi cair kinerja tinggi yang digunakan dapat memberikan hasil yang baik dalam proses analisis. Uji kesesuaian sistem dilakukan dengan perhitungan menggunakan data kromatogram dari hasil lima kali pengulangan injeksi 20 μL standar dengan konsetrasi yang sama ke dalam alat KCKT. Nilai batas maksimum simpangan baku relatif menurut Farmakofe Indonesia edisi IV adalah 2,0%. Uji kesesuaian sistem dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Simpangan baku: SD =

∑( Xn N- 1

Simpangan baku relatif: SDR = Keterangan: X1 = pengukuran individual;

X)

SD ×100% Χ

Χ = rata-rata N kali pengukuran N = jumlah pengulangan injeksi HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi nama botani Dari hasil identifikasi dan determinasi yang dilakukan di Herbarium Bogoriense Puslit Biologi-LIPI, diketahui bahwa sampel tanaman yang digunakan adalah Parkia roxburgii G. Don, yang merupakan anggota suku Mimosaceae. Ekstraksi sterol Dari hasil ekstraksi terhadap masing-masing sampel yang diambil dari beberapa bagian tanaman kedawung diperoleh data seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil ekstraksi bagian tanaman kedawung. Bobot ekstrak Berat awal Warna filtrat (g) (g) (%)* Biji 100,0123 Hijau 4,3808 4,38 Polong 100,1276 Bening coklat 0,2774 0,28 Anak daun 100,0006 Kuning 1,6389 1,64 Tangkai daun 100,0047 Kuning coklat 0,4713 0,47 Kulit pohon 100,0076 Kuning 0,5168 0,52 Keterangan: *% dihitung dari berat kering 1 kg simplisia. Sampel

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa bagian biji mengandung lemak yang cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Aiyelaagbe et al., (1996). Bagian tanaman yang lain tidak menunjukkan adanya kandungan lemak. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa secara umum kandungan senyawa kimia yang terekstraksi dengan n-heksan paling tinggi terdapat pada bagian biji, dengan bobot 4,3808 g, sedangkan yang terendah terdapat pada bagian polong dengan bobot 0,2774 g.


TISNADJAJA dkk. – Kandungan fisterol pada Parkia roxburgii

Identifikasi dan isolasi senyawa sterol Identifikasi Identifikasi awal untuk mengetahui kandungan fitosterol pada bagian-bagian tanaman kedawung dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis dimana dua pereaksi pembentuk warna yaitu Cerium Sulfat dan reagen Lieberman-Burchard digunakan sebagai penampak noda. Metode kromatografi lapis tipis ini dilakukan pada tiga tahap proses yaitu pada hasil refluks setiap tiga jam, pada ekstrak sebelum kromatografi kolom, dan ekstrak setelah kromatografi kolom. Dari pengamatan yang dilakukan (Tabel 2; Gambar 1), terlihat bahwa setiap bagian tanaman memberikan warna yang positif, dimana pereaksi warna cerium sulfat menghasilkan warna merah, sedangkan reagen LiebermanBurchard menghasilkan warna hijau. Tabel 2. Hasil identifikasi senyawa sterol pada ekstrak n-heksan. Sampel Standar Biji Polong Anak daun Tangkai daun Kulit pohon

Serium Sulfat + + + + + +

Reagen LiebermanBurchard + + + + + +

Rf 0,625 0,625 0,625 0,625 0,625 0,625

Dari hasil analisis KLT ini didapatkan harga Rf untuk standar 0,625 dan masing-masing sampel ekstrak memberikan bercak pada harga Rf 0,625. Hal ini membuktikan bahwa pada semua bagian tanaman tersebut terdapat senyawa beta-sitosterol. Pada bagian biji, selain menghasilkan bercak dengan harga Rf yang sama dengan standar, juga menghasilkan 3 bercak lain dengan harga Rf 0,425; 0,7; 0,9. sedangkan pada polong terdapat empat bercak lain dengan harga Rf 0,35; 0,475; 0,775; 0,925. begitu pula pada anak daun dan tangkai daun terdapat empat bercak lain dengan harga Rf 0,325; 0,5; 0,75; 0,925

(i)

23

sedangkan pada kulit pohon terdapat empat bercak lain dengan harga Rf 0,325; 0 525; 0,75; 0,9. Data pengamatan tersebut menunjukkan bahwa pada bagian-bagian tanaman kedawung terkandung banyak senyawa kimia. Tetapi dalam penelitian ini, pengamatan lebih spesifik difokuskan terhadap kadar senyawa fitosterol yang terkandung pada bagian tanaman tersebut. Isolasi senyawa sterol Pemurnian atau isolasi senyawa fitosterol dari senyawa lain yang terdapat pada sampel dilakukan dengan metode kromatografi kolom. Dari hasil kromatografi kolom terdapat beberapa fraksi dari masing-masing sampel yang kemudian dilakukan uji kromatografi lapis tipis. Isolat masing-masing sampel yang memiliki Rf sama dengan standar digabungkan menjadi satu fraksi. Dari hasil pemisahan melalui kromatorafi kolom ini diperoleh data seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil isolasi senyawa sterol. Sampel

Biji Polong Anak daun Tangkai daun Kulit pohon

Berat awal (g)

Kromatografi kolom Silika gel 60;

Bobot pemekatan ekstrak hasil kromatografi kolom (g) (%) 0,0164 16,37 0,0522 52,15 0,0544 54,40 0,0451 45,05

0,1002 0,1001 0,1000 0,1001

gabungan 2 fraksi gabungan 3 fraksi gabungan 3 fraksi gabungan 3 fraksi

0,1000

gabungan 6 fraksi 0,0653

65,30

Setelah isolat dikeringkan, diperoleh ekstrak dengan bobot yang berbeda untuk masing-masing bagian tanaman. Bagian kulit pohon memberikan ekstrak dengan bobot paling tinggi diantara bagian tanaman lainnya. Hal ini belum bisa dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa bagian kulit pohon mengandung senyawa fitosterol paling tinggi, karena mungkin saja pada ekstrak tersebut masih terdapat

(ii)

Gambar 1. Kromatogram KLT ekstrak n-heksan. Keterangan: (i) Cerium sulfat, (ii) Lieberman-Burchard; Std = Standar, A = Biji, B = Polong, C = Anak daun, D = Tangkai daun, E = Kulit pohon.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 21-24

24

senyawa lain yang sulit dipisahkan dengan senyawa sterol melalui kromatografi kolom. Uji kesesuaian sistem Sebelum dilakukan penetapan kadar terlebih dahulu dilakukan uji kesesuaian sistem, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa suatu suatu sistem dapat digunakan untuk penetapan kadar dengan baik. Tabel 4. Hasil uji kesesuaian sistem untuk alat KCKT. Sampel Std.1 Std.2 Std.3 Std.4 Std.5 ΣX

Χ

SD SDR

Kampesterol Rf Luas area 1,883 2154340 1,871 2046641 1,883 2173760 1,875 2047494 1,883 2210569 10632804 2126560,80 75325,2272 0,0354%

β-Sitosterol Rf Luas area 3,108 2989058 3,108 2876927 3,117 3010089 3,121 2310751 3,117 2502368 13689193 2737838,60 314017,2256 0,1147%

Dari hasil pengujian (Tabel 4) diperoleh nilai simpangan baku relatif luas area standar kampesterol 350 ppm dan βsitosterol 650 ppm dengan 5 ulangan adalah sebesar 0,0354% untuk kampesterol dan 0,1147% untuk βsitosterol. Nilai tersebut memenuhi syarat simpangan baku relatif Farmakofe Indonesia edisi IV yaitu < 2%. Dapat disimpulkan bahwa sistem KCKT yang ditetapkan dapat digunakan untuk analisis penetapan kadar kampesterol dan β-sitosterol dari bagian tanaman kedawung, P. roxburgii (Mimosaceae). Analisis dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Berdasarkan hasil pemisahan melalui kromatografi kolom, diperoleh data bahwa bagian kulit pohon memiliki bobot paling tinggi dibandingkan bagian tanaman lainnya. Sementara dari hasil analisis kuantitatif yang dilakukan terhadap masing-masing sampel bagian tanaman Kedawung, P. roxburgii (Mimosaceae) dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (Tabel 5) terlihat bahwa polong (28,96% (b/b) dan tangkai daun (34,31% (b/b) menunjukkan kandungan beta-sitosterol tertinggi. Sementara kandungan kampesterol tertinggi (1,918% (b/b) ditunjukkan oleh bagian biji. Tabel 5. Hasil penetapan kadar senyawa fitosterol secara KCKT. Sampel Biji

Senyawa

Kampesterol β-Sitosterol Polong Kampesterol β-Sitosterol Anak daun Kampesterol β-Sitosterol Tangkai daun Kampesterol β-Sitosterol Kulit pohon Kampesterol β-Sitosterol

Area 244015 1725416 140190 4080608 212125 4261155 106572 2946142 538726 8389018

Kadar Kadar Total Total (%) (g/kg) 1,9180 20,07 200,6753 18,1520 0,7435 29,67 296,6963 28,9640 0,8034 22,40 224,0213 21,5989 0,9274 35,24 352,3835 34,3126 24,64 246,4327 1,1284 23,5168

Kadar (g/100g)

Bagian biji memiliki kadar kampesterol yang paling tinggi tetapi memiliki kadar beta-sitosterol paling kecil

dibanding sampel bagian tanaman lainnya. Secara keseluruhan, persentase kadar rata-rata senyawa fitosterol pada bagian biji paling kecil diantara bagian tanaman lain. Hal ini cukup beralasan, karena dari beberapa hasil penelitian sebelumnya memberikan data bahwa pada biji kedawung banyak mengandung lemak. Pada saat pengeringan diatas penanggas air, ekstrak biji kedawung tidak bisa kering seperti bagian tanaman lainnya, tetapi dilapisi cairan kental karena memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi. Bagian polong memiliki kadar kampesterol paling rendah tetapi memiliki kadar beta-sitosterol yang cukup tinggi hampir dua kali kadar beta-sitosterol pada biji. Sedangkan pada bagian anak daun dan kulit pohon diperoleh data yang tidak jauh berbeda dengan sampel bagian tanaman lainnya, dimana pada bagian tanaman tersebut memiliki kadar kandungan beta-sitosterol lebih tinggi dari pada kampesterol. Bagian tangkai daun memiliki kadar kampesterol yang cukup tinggi dan kadar betasitosterol paling tinggi diantara bagian tanaman lain. Secara keseluruhan bagian tangkai daun memiliki persentase kadar rata-rata senyawa fitosterol paling tinggi di antara bagian tanaman lainnya. Dari data yang diperoleh tersebut, berdasarkan persentase kadar rata-rata senyawa fitosterol, bagian tangkai daun memiliki kadar tertinggi, kemudian polong, kulit pohon, daun dan biji.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian penetapan kadar fitosterol yang telah dilakukan pada tanaman kedawung, Parkia roxburgii G. Don (Mimosaceae) maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (i) Seluruh bagian tanaman kedawung, P. roxburgii (Mimosaceae) antara lain biji, polong, daun, tangkai daun, kulit pohon mengandung senyawa fitosterol yang cukup signifikan. (ii) Kandungan fitosterol paling tinggi terdapat pada bagian tangkai daun, 35,24% (b/b) dan polong, 29,67% (b/b). (iii) Senyawa betasitosterol merupakan komponen utama dari kandungan fitosterol yang terdeteksi pada setiap bagian tanaman.

DAFTAR PUSTAKA Aiyelaagbe, O.O., E.O. Ajaiyeoba and O. Ekundayo. 1996. Studies on the seed oils of Parkia biglobosa and Parkia bicolor. Plants Foods Human Nutrition 49 (3): 229-233. Asuzu, I.U. dan A.L. Harvey, 2003, The antisnake venom activities of Parkia biglobosa (Mimosaceae) stem bark extract. Toxicon 42 (7): 763-768. Goad L.J., and A. Toshihiro. 1997. Analysis of Sterol. London: Blackie Academic & Propesional. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta: Departeman Kehutanan. Harborne, J.B. 1998, Phytochemical Methods. 3rd ed. London:Chapman & Hall. Houe’rou, L. 2005. Parkia biglobosa (Jacq.)R.Br.ex G. Don. www.fao.org, [26 Januari 2005]. Mertz, O., A.M. lykke, and A. Reenberg. 2001. Importance and seasonality of vegetable consumption and marketing in Burkina Faso. Economic Botany 55 (2): 276-289. National Nutritional Foods Association. 2001. Plants Sterol and Stanols, www.nnfa.org/services/science. [6 Juli 2005]. Shao, M., 2002, Parkia biglobosa: Changes in Resource Allocation in Kandiga, Ghana. [Thesis]. Michigan: Michigan Technological University. Suharmiati dan L. Handayani. 1998. Bahan Baku, Khasiat dan Cara Pengolahan Jamu Gendong: Studi Kasus di Kotamadya Surabaya, 1998. www.tempo.co.id/medika. www.roex.com/newsletters. 2005. Roex Beta-sitosterol for Men and Women, [28 Juni 2005].


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 25-29

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Pemeriksaan Farmakognosi dan Penapisan Fitokimia dari Daun dan Kulit Batang Calophyllum inophyllum dan Calophyllum soulatri Phytopharmaceuticals and phytochemicals evaluation on leaves and bark of Calophyllum inophyllum and Calophyllum soulatri SRI BUDI SULIANTI1, EMMA SRI KUNCARI1, SOFNIE M. CHAIRUL2 1

2

Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Jakarta Selatan 12070. Diterima: 30 Juni 2005. Disetujui: 5 September 2005.

ABSTRACT Phytopharmaceuticals and phytochemicals evaluation on two species of Calophyllum (C. inophyllum and C. soulatri) had been done. Phytopharmaceuticals had been carried out by macro- and microscopic observation and also phytochemical screening by Ciuley Method (1984). Macromorphology of two species of Calophyllum was quite different. Leaf surface of C. inophyllum were obovate lamina, entire margin, obtuse apex, symmetrically base, petiole 1.5-2.0 cm, upper surface were green, shine, glabrous, occurrence of oil gland, and lower surface were long (hirsute), midrib, pinnate venation. C. soulatri were ovate lamina, entire margin, acute apex, symmetrically base, petiole 1.5-2.0 cm, upper surface were green but not shine, glabrous, no occurrence of oil glands and lower surface were long (hirsute), midrib, 2 2 pinnate venation, green, and glabrous. Leaf dimension of C. inophyllum (± 20x10 cm ) was wider than C. soulatri (± 10x5 cm ). Leaf micromorphology of two species was also different in stomata type, C. inophyllum was paracytic type while C. soulatri was anisocytic type. Oil glands in C. inophyllum were higher than C. soulatri. There were no hair glands that found in these species. Micromorphology bark identified of two species showed that the number of oil glands in C. inophyllum is more than C. Soulatri, Ca oxalate of C. inophyllum is in simple and twin forms which C. soulatri is loose aggregates of numerous prisms which have grown together to form a roughly spherical mass which has projecting points and angles all over surface. Phytochemical screening identified that these species contents are have similar chemical groups (volatile oil, fatty acids, steroids/ triterpenes, tannin, flavonoids and reducing sugar). © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Calophyllum inophyllum, C. soulatri, Clusiaceae, phytopharmaceuticals and phytochemicals evaluation.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di zona khatulistiwa (tropik) dan terkenal mempunyai kekayaan alam dengan beranekaragam jenis tumbuhan, tetapi potensi ini belum seluruhnya dimanfaatkan sebagai bahan industri khususnya tumbuhan berkasiat obat. Masyarakat Indonesia secara turun-temurun telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk bahan obat tradisional baik sebagai tindakan pencegahan maupun pengobatan terhadap berbagai jenis penyakit. Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional akan terus berlangsung terutama sebagai obat alternatif, hal ini terlihat pada masyarakat daerah yang sulit dijangkau oleh fasilitas kesehatan modern. Dalam masa krisis ekonomi seperti saat ini, penggunaan obat tradisional lebih menguntungkan karena relatif lebih mudah didapat, lebih murah dan dapat diramu sendiri, selain itu bahan bakunya dapat ditanam di halaman rumah sebagai penghias taman ataupun peneduh halaman

♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Juanda 22, Bogor 16002. Tel./Fax. +62-21-324616. e-mail. herbogor@indo.net.id.

rumah. Kegiatan ini dikenal dengan istilah tanaman obat keluarga (TOGA) dan menjadi anjuran pemerintah. Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional umumnya hanya didasarkan atas pengalaman/warisan tanpa mengetahui kandungan kimianya secara detail. Tumbuhan tersebut jika ditelaah lebih lanjut mempunyai kandungan kimia aktif biologis. Potensi bahan kimia tersebut dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, pertanian, dan industri. Penelitian dan penggunaan obat tradisional pada saat ini lebih digalakkan (Chairul dan Sulianti, 2002). Di bidang kesehatan, telah banyak tumbuhan obat yang diketahui dengan jelas struktur molekulnya dan digunakan secara global dalam pengobatan berbagai penyakit, tetapi mengingat terdapat lebih dari 250.000 spesies tumbuhan tinggi di muka bumi, maka diduga masih banyak obat baru yang dapat ditemukan dari dunia tumbuhan (Achmad, 1995). Di antara sekian banyak jenis tumbuhan obat, terdapat genus Calophyllum (Clusiaceae) yang banyak tumbuh di kawasan pantai. Genus ini terdiri dari 190 spesies, antara lain: C. inophyllum Linn. dan C. saulatri Burm F. Beberapa spesies lainnya yang juga banyak dikenal adalah: C. muscigerum Boerl & Kos., C. pulcherrinum Wall., C. venulasum Zoll & Mor., dan C. walichianum Planch & Triana (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1963; Heyne, 1987; Lemmens dan Soerianegara, 1994). Anggota Famili


26

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 25-29

Clusiaceae ini umumnya mengandung resin, minyak atsiri, steroid, tannin, triterpen, dan saponin (Heyne, 1987; Govindachari et al., 1967; Burkill, 1935). Belakangan ini ditemukan pula senyawa yang berkhasiat anti HIV (Human Immunodeficiency Virus) dari tanaman nyamplung (C. inophyllum) yaitu: inophyllum A-E, inophyllum P, inophyllum G-1, dan inophyllum G-2. Di Indonesia tumbuhan ini telah digunakan sebagai obat tradisional, baik bagian daun, kulit batang, biji, maupun bunga. Seduhan daun dapat digunakan untuk mencuci mata yang meradang. Rebusan kulit batang digunakan untuk mengobati penyakit keputihan dan rematik. Biji digunakan untuk mengobati kudis, borok, dan penumbuh rambut. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai racun ikan (Burkill, 1935; Govindachari, 1967; Kaizu et al., 1968; Perry dan Judith, 1980; Heyne, 1987; Lemmens dan Soerianegara, 1994). Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan farmakognosi (makroskopik dan mikroskopik) serta penapisan fitokimia, terhadap kedua jenis Calophyllum, yaitu: C. inophyllum dan C. saulatri. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas informasi pemanfaatan tumbuhan tersebut sebagai obat alternatif.

serbuk yang diperoleh dikumpulkan dan disimpan dalam wadah tertutup rapat. Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan membandingkan morfologi tumbuhan yaitu batang, kayu, daun, buah, dan bunga dari C. inophyllum dan C. soulatri dengan pustaka. Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk kering simplisia dengan melakukan pemeriksaan terhadap fragmen pengenal antara lain stomata, sel batu, kristal Ca oksalat, lapisan gabus, kelenjar minyak, kelenjar rambut, dan berkas pengangkut. Penapisan fitokimia Penapisan fitokimia terhadap serbuk kering daun dan kulit batang C. inophyllum dan C. soulatri dilakukan berdasarkan pustaka Cuilei (1984). Serbuk simplisia diekstrak dengan pelarut yang berbeda kepolarannya, yaitu: eter, alkohol, dan air. Ketiga ekstrak tersebut dianalisis secara terpisah menurut sifat fisika-kimia dari setiap kelompok zat aktif utamanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan kimia yang digunakan antara lain: air suling, metanol, etanol 2% dan 10%, kloroform, eter, larutan jenuh SbCl3, kloralhidrat, asam klorida p, 2% dan 10%, asam asetat anhidrat, ammonium hidroksida 10% dan 25%, larutan NaOH 10%, KOH 0,5 N dan 1 N, asam sulfat p, FeCL3, pereaksi Stiasny, pereaksi Dragendorf, pereaksi Libermann-Bouchard, serta pereaksi Mayer. Alat yang digunakan yaitu: ayakan mesh 100, corong, corong pisah, tabung reaksi, cawan penguap, pipet, batang pengaduk, erlenmeyer, gelas ukur, neraca analitik, pH meter, sentrifus, lampu UV, penangas air, mesin penggiling sampel Merk Retsch Muhle, mikroskop binokular merk Nikon dan perlengkapannya. Cara kerja Pengumpulan bahan Bahan untuk penelitian fitokimia dan pemeriksaan mikroskopik adalah spesimen kering daun dan kulit batang C. inophyllum Linn dan C. soulatri Burm F. koleksi Herbarium Bogoriense yang diperoleh dari Pulau Semau, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap koleksi tumbuhan hidup di Kebun Raya Bogor. Determinasi tanaman Daun dan kulit batang yang akan diteliti terlebih dahulu dideterminasi dengan berpedoman pada pustaka Backer dan Bakhuizen van den Brink (1965). Untuk memastikan kebenaran contoh tanaman tersebut, maka dilakukan determinasi di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Penyediaan simplisia Daun dan kulit batang yang dikoleksi dibersihkan dari kotoran yang melekat, kemudian dipotong kecil-kecil dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Bahan yang sudah kering dihaluskan dengan mesin penggiling. Selanjutnya

Pemeriksaan terhadap kedua jenis Calophyllum di Kebun Raya Bogor, diketahui bahwa C. Inophylum berhabitus pohon, tinggi dapat mencapai 25 m, batang beteng tidak lurus dan bercabang rendah dekat permukaan tanah. Mempunyai kayu yang beratnya ringan hingga sedang, tetapi agak padat dan halus strukturnya, berurat kusut sehingga tidak mudah belah, mempunyai dua macam warna yaitu kelabu dan merah pudar, pada batang keluar cairan berwarna kuning kemerahan. Sedangkan C. soulatri berhabitus pohon, tinggi dapat mencapai 30 m, batang bundar, lurus, jarang berbanir, kayu ringan, berwarna merah muda, mengkilat dengan urat yang tidak teratur, mempunyai kekerasan yang sedang, kayu mengeluarkan cairan warna kuning yang lambat laun berubah manjadi kemerahan. Pengamatan daun, bunga dan buah dilakukan dengan menggunakan spesimen herbarium yang terdapat di Herbarium Bogoriense kemudian membandingkannya dengan material yang diperoleh dari Pulau Semau, Kupang, NTT serta data pustaka yang ada sebagaimana yang tercantum pada Gambar 1 dan Tabel 1 (Lemmens dan Soerianegara, 1994; Heyne, 1987). Pada pemeriksaan mikroskopik terhadap daun C. soulatri ditemukan fragmen pengenal stomata tipe Clusiaceae (anisositik) yaitu stomata dikelilingi tiga atau empat sel tetangga yang bentuknya tidak seragam, salah satu sel tetangga lebih kecil dari sel tetangga lainnya. Sementara itu tipe stomata yang ditemukan pada C. inophyllum adalah parasitic yaitu stomata yang dikelilingi sel tetangga yang sejajar dengan stoma (Gambar 2) (Sutrian, 1992). Ca oksalat pada daun dan kulit batang C. inophyllum berupa hablur dengan dua bentuk kristal yaitu prisma dan kubus, sedangkan pada C. soulatri berbentuk prisma dan amorf. Kristal Ca oksalat terbentuk selama tumbuhan melakukan metabolisme. Kristal ini beracun bagi tumbuhan, oleh karena itu diikat oleh ion-ion seperti kalsium dan magnesium sehingga akan terbentuk macam-macam kristal. Perbedaan kristal ini dapat dijadikan sebagai fragmen pengenal yang spesifik (Gambar 3)(Lemmens dan Soerianegara, 1994).


SULIANTI dkk. – Kandungan kimia Calophyllum inophyllum dan C. soulatri

Gambar 1. Bentuk morfologi daun dari C. inophyllum (atas) dan C. saulatri (bawah).

Gambar 2. Tipe stomata dari daun C. inophyllum (atas), C. soulatri (bawah).

Gambar 4. Penampang melintang daun C. inophyllum (atas), C. soulatri (bawah)

Gambar. 3. Kristal Ca okasalt inophyllum (atas), C. soulatri (bawah).

27

C.

Gambar 5. Penampang melintang batang C. inophyllum (atas), C. soulatri (bawah)


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 25-29

28

Tabel 1. Hasil pemeriksaan makroskopik C. inophyllum dan C. soulatri. C. inophyllum Bagian

Daun

Data Pustaka (Lemmens dan Soerianegara, 1994; Heyne, 1987) Hijau mengkilat, tulang daun membelah tegas, bentuk daun panjang oval dan ujung daun tumpul, permukaan daun licin, pertulangan daun menyirip dan tampak kelihatan jelas, tangkai daun panjangnya 1,5-2 cm.

C. soulatri

Pengamatan Hijau mengkilat, tulang daun membelah tegas, bentuk daun panjang oval dan ujung daun tumpul, permukaan daun licin, pertulangan daun menyirip dan tampak kelihatan jelas, tangkai daun panjangnya 1,5 cm.

Data Pustaka (Lemmens dan Soerianegara, 1994; Heyne, 1987) Hijau mengkilat, yang muda merah coklat, tulang daun membelah tegas, pertulangan daun menyirip dan tampak tidak jelas, bentuk daun lonjong, ujung daun tumpul atau lancip.

Pengamatan Hijau mengkilat, tulang daun membelah tegas, pertulangan daun menyirip dan tampak tidak jelas, bentuk daun oval lancip, ujng daun tumpul atau tajam, permukaan daun licin, tangkai daun panjangnya 1,5-2 cm.

Buah

Buah bulat, pada bagian ujungnya sedikit meruncing, berwarna hijau terusi sewaktu masih dipohon, daging buahnya tipis, bijinya bundar dan mempunyai kulit yang sangat keras.

Buah bulat, pada bagian ujungnya sedikit meruncing, berwarna hijau, daging buahnya tipis, bijinya bundar dan didalamnya terdapat inti berisi minyak berwarna kuning.

Buah bulat ataupun oval, pada bagian atas meruncing berwarna ungu muda

Buah oval ataupun lonjong, bagian atas meruncing, berwarna ungu muda, kulit biji tipis. Panjang 1-1,25 cm

Bunga

Bunga muncul dari tangkai sepanjang 5–10 cm, bergerombol 4 kuntum, warnanya putih dengan diameter 2–2,5 cm, harum baunya dan benang sarinya berwarna kuning.

Bunga muncul dari tangkai, bergerombol, warnanya putih, baunya harum dan benang sarinya berwarna kuning.

Bunga muncul dari tangkai, anak tangkai bunga tunggal, daun kelopak 4, berwarna putih atau kekuningan daun kelopak tidak ada, diameter 1,25-2 cm, benang sari berwarna putih atau kekuningan dan barbau harum.

Bunga muncul dari tangkai, berkelopak 4, berwarna putih atau kekuningan dengan diameter 1,25-2 cm, benang sarinya putih atau kekuningan dan berbau harum.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan mikroskopik C. inophyllum dan C. soulatri. Bagian Tumbuhan Daun

Kulit batang

Fragmen

C. inophyllum

C. soulatri

Stomata

Berbentuk bulat panjang dan dikelilingi tiga atau empat sel tetangga yang bentuknya tidak seragam, salah satu sel tetangga jelas sekali lebih kecil dari sel tetangga lainnya.

Berbentuk bulat panjang dan dikelilingi tiga atau empat sel tetangga yang bentuknya tidak seragam, salah satu sel tetangga jelas sekali lebih kecil dari sel tetangga lainnya.

Kristal Ca Oksalat

Hablur Ca oksalat tunggal dengan bentuk prisma dan kubus dengan jumlah lebih banyak dari C. soulatri.

Hablur, tunggal dengan bentuk prisma dan amorf, jumlah kristal Ca oksalat sedikit.

Sel batu

Tampak adanya dinding tebal dengan warna kuning kehijauan. Bentuk panjang dan berpasangan.

Tampak adanya dinding tebal, berwarna kuning ke-hijauan dengan bentuk agak memanjang dan tunggal.

Lapisan gabus

Berdinding tipis, tampak seperti berlapis dan sebagian tertutup oleh butir-butir minyak. Lapisan ini berwarna jernih dengan dinding sel berwarna hijau muda.

Berdinding tipis, tampak seperti berlapis dan sebagian tertutup oleh butir-butir minyak. Lapisan ini berwarna jernih dengan dinding sel berwarna hijau muda.

Berkas pengangkut

Tampak seperti pipa-pipa kecil yang berbentuk spiral yang panjang. Letak antara yang satu dengan yang lainnya berhubungan.

Tampak seperti pipa-pipa kecil yang berbentuk spiral yang panjang. Letak antara yang satu dengan yang lainnya berhubungan.

Kelenjar minyak

Berwarna jingga, tersebar terdapat pada lapisan gabus.

sebagian

Berwarna jingga, tersebar dan banyak terdapat pada lapisan gabus. Terdapat lebih banyak daripada C. inophyllum.

Kristal Ca oksalat

Hablur Ca oksalat tunggal, berbentuk prisma dan kubus, jumlah lebih banyak daripada C. soulatri

Hablur Ca oksalat tunggal dengan bentuk prisma dan amorf, jumlah sedikit.

dan


SULIANTI dkk. – Kandungan kimia Calophyllum inophyllum dan C. soulatri

Kelenjar minyak kulit batang C. inophyllum berwarna jingga dengan jumlah banyak dan tersebar. Pada C. soulatri juga ditemukan kelenjar minyak yang sama pada C. inophyllum (Gambar 2 dan 3). Lapisan gabus pada C. inophyllum berdinding tipis, banyak dan tersebar. Bentuk lapisan gabus yang seperti ini ditemukan juga pada C. soulatri (Gambar 4). Lapisan gabus merupakan aktifitas kambium, berfungsi sebagai lapisan pelindung menggantikan fungsi epidermis (Lemmens dan Soerianegara, 1994). Kelenjar rambut yang ditemukan pada C. inophyllum jumlahnya sedikit sama seperti pada C. soulatri. Berkas pengangkut pada C. inophyllum juga tampak seperti pipa kecil yang berbentuk spiral, sama dengan yang dijumpai pada C. soulatri (Gambar 4). Sel batu pada batang C. inophyllum berbentuk agak panjang dan berpasangan, sedangkan sel batu pada C. soulatri berbentuk panjang dan tunggal dengan letak tersebar. Sel batu berdinding tebal, sehingga tidak elastis tetapi kaku. Perbedaan bentuk sel batu ini dapat dijadikan fragmen pengenal yang spesifik (Gambar 5) (Lemmens dan Soerianegara, 1994 ; Sutrian, 1992). Table 3. Penapisan fitokimia C. inophyllum dan C. soulatri. C. inophyllum C. soulatri Golongan senyawa kimia Daun Batang Daun Batang 1. Minyak atsiri ++ + ++ + 2. Lemak dan asam lemak +/+ +/+ +/+ +/+ 3. Steroid/triterpen + ++ + ++ 4. Karotenoid + + 5. Alkaloid 6. Emodol 7. Kumarin + + 8. Tanin + +++ + +++ 9. Gula pereduksi +++ ++ +++ ++ 10. Flavonoid 11. Antosian 12. Poliuronida 13. Glukosida 14. Saponin + + Keterangan: - = tidak terdeteksi; + = terdeteksi; ++ = sedang; +++ = banyak. No.

Dari hasil penapisan fitokimia serbuk daun C. inophyllum dan C. soulatri kandungan kimia yang terdeteksi adalah minyak atsiri, lemak dan asam lemak, steroid/ triterpen, tanin, karotenoid dan gula pereduksi. Sedangkan hasil penapisan fitokimia pada serbuk kulit batang C. inophyllum dan C. soulatri kandungan kimia yang terdeteksi adalah minyak atsiri, lemak dan asam lemak, steroid/ triterpen, tanin, karotenoid, gula pereduksi, kumarin dan saponin. Minyak atsiri pada daun kedua jenis Callophyllum, C. inophyllum dan C. soulatri, jumlahnya sedang (++), sedangkan pada kulit batang hanya terdeteksi (+). Lemak dan asam lemak pada daun dan kulit batang sama yaitu terdeteksi (+/+). Jumlah steroid/ triterpen pada daun lebih

29

sedikit (+) daripada kulit batang (++). Karotenoid pada daun terdeteksi (+), sedangkan pada kulit batang tidak terdeteksi (-). Kumarin pada daun tidak terdeteksi (-), sedangkan pada kulit batang terdeteksi (+). Tanin pada daun terdeteksi (+), sedangkan pada kulit batang jumlahnya banyak (+++). Gula pereduksi pada daun banyak (+++), sedangkan pada kulit batang sedang (++). Saponin pada daun tidak terdeteksi (-) sedangkan pada kulit batang terdeteksi (+). Golongan senyawa kimia yang tidak terdeteksi pada daun dan kulit batang adalah alkaloid, emodol, flavonoid, antosianin, poliuronida, dan glukosida (Tabel 3).

KESIMPULAN DAN SARAN Pemeriksaan mikroskopik terhadap C. inophyllum dan C. soulatri menunjukkan adanya banyak persamaan yaitu tipe stomata anisositik, kelenjar rambut sedikit, kelenjar minyak berwarna jingga, lapisan gabus sebagian tertutup kelenjar minyak, dan jaringan pengangkut tampak seperti pipa kecil berbentuk spiral. Sedangkan perbedaannya yaitu kristal Ca oksalat pada C. inophyllum berbentuk sel batu panjang dan berpasangan, sedangkan pada C. soulatri agak memanjang dan tunggal. Kristal Ca oksalat pada C. inophyllum berbentuk prisma dan kubus, sedangkan pada C. soulatri berbentuk prisma dan amorf. Komponen fitokimia yang terdapat pada C. inophyllum dan C. soulatri adalah minyak atsiri, lemak dan asam lemak, tanin, steroid/triterpen, karotenoid, kumarin, gula pereduksi, dan saponin.

DAFTAR PUSTAKA Achmad, S.A. 1995, Peranan tumbuhan hutan tropis dalam pengembangan obat-obatan. Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Aromatik. Simpul Nasional APINMAP dan UNESCO, Bogor, 10-12 Oktober 1995. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Volume I. Gronigen: N.V.P. Noordhff. Burkill, I.H. 1935, A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. Volume I. London: Goverments of the Straits Settlements and Federated Malat States. Chairul dan S.B. Sulianti. 2002. Pendayagunaan sumber daya nabati (tumbuhan) dalam pelayanan kesehatan masyarakat menuju Indonesia sehat 2010. Berita IPTEK 43 (1): 71 -82. Cuilei, J. 1984. Methodology for Analysis of Flowering Vegetables Drugs, Bucharest: Faculty of Pharmacy, University of Rumania. Govindachari, R.T., N.B.R. Wiswanathan, R.R. Pai, and Srinivasan. 1967. Triterpenes of Callophyllum inophyllum Linn. London: Pergamon Press. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Kaizu, K., H. Ogihashi, and I. Mitsui. 1968. The piscicidal constituents of Calophyllum inophyllum Linn. Tetrahedrons Letters: 2383. Lemmens, R.H.M.J. and I. Soerianegara. 1994. Plants Resources of SouthEast Asia. Bogor: Prosea. Perry, L.M. and Judith. 1980. Medicinal Plants of East and South-East Asia, Cambridge: The MIT Press. Sutrian, Y. 1992. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 30-33

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Inventarisasi Anggrek di Cagar Alam Gunung Tinombala, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah Inventory of orchids in Mount Tinombala Natural Reserve, Tolitoli Regency, Central Sulawesi DYAN MEININGSASI SISWOYO PUTRI♥ Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan, Bali 82191. Diterima: 12 September 2005. Disetujui: 1 Desember 2005

ABSTRACT The aims of the research were to inventory the flora of Sulawesi, especially orchids in the Mount Tinombala Natural Reserve and to collect the plant materials for planting as a collection plants in Bali Botanical Garden. The method used in this research was explorative method at the place with altitude more than 700 m above sea level. The result of the research was 50 collection number of orchids which was consist of 72 specimens, 19 families and 24 species found in the Mount Tinombala Natural Reserve, Tolitoli Regency, Central Sulawesi. Two numbers of them that unidentified yet called as a genus dubious. Dendrobium and Eria were the genus that dominant in the natural reserve and one species that predicted as a new collection for the Bali Botanic Garden was Macodes petola Lindl. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: orchids, inventory, Mount Tinombala Natural Reserve, Tolitoli, Central Sulawesi.

PENDAHULUAN Sulawesi adalah pulau terbesar dan terpenting di Wallace, suatu wilayah unik di dunia, tempat bercampurnya tumbuhan dan hewan dari Asia dan Australia. Sebagai akibat peralihan antara Paparan Sunda dan Sahul maka Sulawesi memiliki kekayaan flora dan fauna yang melimpah (Kinnaird, 1997). Menurut Whitten et al. (1987), dari 100 km2 kawasan di Sulawesi yang telah dieksplorasi baru terkoleksi 23 spesimen herbarium. Apabila dibandingkan dengan pulau Jawa dalam luasan yang sama, telah berhasil dikoleksi 200 spesimen herbarium. Kondisi ini menunjukkan masih diperlukan lebih banyak kegiatan eksplorasi flora di Sulawesi untuk mengungkap kekayan flora dan potensinya. Sebanyak 27 suku, 40 marga, dan 76 jenis pohon dinyatakan endemik di Sulawesi. Data terakhir khusus tentang tumbuhan berkayu di Sulawesi disebutkan adanya 120 suku dari sekitar 13.000 spesimen herbarium (Keβler, 2000). Kelompok suku yang terbanyak ditemukan secara berurutan adalah Euphorbiaceae, Rubiaceae, dan Myrtaceae. Sedangkan untuk jenis anggrek menurut Schlechter (1925) dalam Yuzammi dan Hidayat (2002), tercatat sekitar 253 jenis yang tumbuh di Sulawesi. Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali (KREKB) memiliki tugas dan fungsi mengkonservasi flora Indonesia. Hingga saat ini KREKB telah mengkoleksi tumbuhan dari Sulawesi sebanyak 985 nomor, 1.972 spesimen, 73 suku, 195 marga dan 309 jenis. Koleksi anggrek yang berasal dari Sulawesi sebanyak 538 nomor, 841 spesimen, 1 suku, 44 marga dan 110 jenis. Jumlah tersebut relatif masih sedikit jika

♥ Alamat korespondensi: Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273. e-mail: meiningsasi@yahoo.com.

dibandingkan dengan kekayaan flora Sulawesi yang sesungguhnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh KREKB dalam upaya mengkonservasi flora Indonesia adalah melakukan kegiatan eksplorasi dan pengkoleksian flora asli Indonesia untuk selanjutnya ditanam sebagai tanaman koleksi di KREKB. Tanaman koleksi tersebut selanjutnya akan menjadi objek penelitian bagi para peneliti untuk dapat digali potensi dan informasi ilmiahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendaftar keanekaragaman flora Sulawesi, khususnya anggrek di kawasan hutan Cagar Alam (CA) Tinombala, sekaligus melakukan pengkoleksian material tumbuhan untuk ditanam sebagai tanaman koleksi di KREKB.

BAHAN DAN METODE Kegiatan ini dilakukan di kawasan hutan CA Tinombala, khususnya di kawasan hutan Desa Labonu, Air Terjun Labonu, dan hutan Gunung Pasir Putih selama 18 hari, mulai tanggal 23 Juli s.d. 10 Agustus 2004. Metode yang digunakan adalah metode jelajah (eksploratif) pada kawasan hutan CA Tinombala, pada ketinggian lebih dari 700 m. dpl. Hal ini disesuaikan dengan ketinggian kawasan KREKB yang memiliki ketinggian 1.000-1.200 m.dpl., dengan harapan tanaman yang dikoleksi akan lebih mudah beradaptasi dan tumbuh di KREKB. Pengkoleksian material tumbuhan dilakukan untuk mendapatkan bibit tumbuhan berupa biji, setek, anakan, dan/atau tunas. Pembuatan spesimen herbarium dilakukan untuk membantu mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan yang diperoleh. Semua data dan informasi tentang tumbuhan yang dikoleksi dicatat dalam buku lapangan. Data tersebut antara lain: nama jenis, nama lokal, suku, kondisi tempat hidup, ketinggian (altitude), posisi lintang dan bujur, data morfologi, jenis dan jumlah material tumbuhan dan lain-lain.


PUTRI – Anggrek di Cagar Alam Gunung Tinombala, Tolitoli

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi fisik Cagar Alam Gunung Tinombala Secara geografis, hutan CA Gunung Tinombala terletak antara 0o34’-0o49’ LU dan 120o38’-120o56’ BT. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, kawasan ini termasuk dalam Kecamatan Moutong, Kabupaten ParigiMoutong (Parimo) dan Kecamatan Dondo, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Hampir 90% luas keseluruhan cagar alam ini berada di wilayah Kabupaten Tolitoli. Berdasarkan wilayah pengelolaan konservasi Sub-Balai KSDA Sulawesi Tengah, kawasan ini termasuk dalam wilayah pengelolaan Seksi Konservasi Wilayah II Boul-Tolitoli di Tolitoli. Batas-batas kawasan adalah barat: Kecamatan Tomini; timur: Kecamatan Momunu; utara: Desa Labonu, Desa Kayulompa, Kecamatan Dondo, Kabupaten Tolitoli; selatan: Desa Tinombala, Kecamatan Moutong, Kabupaten Parimo. Penetapan kawasan ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 339/Kpts-II/1999 tanggal 24 Mei 1999 dengan luas 37.106,12 ha yang sebelumnya pada tahun 1989 ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah TK.I. Sulawesi Tengah No. 1844/3932/DINHUT/1989, tanggal 30 Agustus 1989. Keadaan topografi kawasan hutan CA. Gunung Tinombala secara keseluruhan adalah berbukit-bukit o sampai pegunungan dengan kemiringan lebih dari 15 dan terletak pada ketinggian antara 50-2.200 m.dpl. Sebagian besar tanah Gunung Tinombala tersusun dari bahan asam seperti gnesis, schists, dan granit. Jenis tanah ini terdapat di perbukitan dan pegunungan Tinombala, sedangkan tipe tanah lain yang menyusun kelompok hutan adalah alluvial, podsolik dan latosol, yang membentuk tanah berpasir hingga lempung. Berdasarkan pengklasifikasian tipe iklim menurut Oldeman, kawasan CA. Gunung Tinombala termasuk tipe iklim C1, dengan kisaran curah hujan ratarata sebesar 2.000-3.000 mm/tahun. Hari hujan rata-rata bulanan yang terbanyak jatuh pada bulan Februari, Maret, Mei, dan Juni. Dengan topografi yang berbukit dan bergunung, CA. Gunung Tinombala memiliki fungsi hidrologis dan tata air untuk daerah-daerah di bawahnya. Di dalam kawasan terdapat beberapa sungai dan anak sungai, di antaranya adalah Sungai Lambunu, Sungai Merah, dan Sungai Bosagon (Yuzammi dan Hidayat, 2002). Kondisi vegetasi Cagar Alam Gunung Tinombala Secara umum, koleksi anggrek yang ditemukan di lokasi penelitian kondisinya relatif baik, terdiri dari 50 nomor koleksi, 72 spesimen, 19 marga dan 24 jenis. Material koleksi anggrek yang diperoleh adalah bentuk tanaman dan/atau anakan. Sebagian besar berupa anggrek epifit dari marga Bulbophyllum, Dendrobium, Eria, Coelogyne, Aerides, Phreatia, Agrostophyllum, Apendicula, Dendrochillum, Flickingeria, dan Phalaenopsis. Anggrek ini menempel pada batang atau ranting pohon yang tumbang dan pada cabang-cabang pohon dengan ketinggian antara 5-10 m dari permukaan tanah. Anggrek tanah yang berhasil di koleksi adalah Phaius, Plocoglottis, Nervelia, Acriopsis, Macodes petola Lindl., Spathoglottis plicata Blume, Grammathophyllum scriptum Blume., dan Grammathophyllum stapeliaeflorum J.J. Smith. Kelompok marga anggrek yang unik dan/atau menarik adalah Bulbophyllum, Coelogyne, Cymbidium, Eria, Grammatophyllum, Plocoglottis, dan Phalaenopsis. S. plicata merupakan jenis anggrek yang cukup melimpah, tumbuh di semak-semak atau tempat terbuka, pada ketinggian hingga 1.500 m. dpl. Anggrek ini banyak dijumpai di sepanjang jalan poros Kota Raya-Tolitoli. Beberapa jenis anggrek yang telah teridentifikasi adalah:

31

1. Eria javanica (Sw.) Bl. Jenis ini memiliki beberapa nama lain (sinonim) yaitu: Dendrobium javanicum Sw., Dendrolirium rugosum Bl., Eria stellata Lindl., Eria rugosa (Blume) Lindl., Eria fragrans Rchb.f., dan Octomeria stellata (Lindl.) Spreng (Comber, 1990; Pridgeon, 2003). Anggrek ini epifit, batang berbentuk umbi-semu, terletak di rimpang setiap 5 cm, simpodial, membulat telur, panjang 5-9 cm. Daun melanset, tangkai daun pendek, bagian pangkal tebal, panjang 50 cm, lebar 10 cm, ujung lancip, setiap umbi mempunyai 2 helai daun. Perbungaan majemuk dalam rangkaian tandan, jumlah 2-3 tangkai, panjang 30-70 cm, jumlah bunga setiap tandan 2040 kuntum. Bunga berbau harum, lebar 4 cm, daun kelopak dan daun mahkota berukuran 3x7,5 mm, kuning pucat, terkadang dengan urat daun warna ungu atau merah. Bibir bentuk pita, bertaji 3, taji samping kaku dan membulat, taji tengah melanset dengan 3-5 lunas yang memanjang di sepanjang bibirnya, beralur kuning (Suryowinoto, 1987). Anggrek ini biasa tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan pada ketinggian 2.400 m. dpl. Masa berbunga sekitar Agustus sampai Maret (Sastrapradja, 1976). 2. Acriopsis javanica Reinw. Ex Blume Anggrek ini memiliki sinonim antara lain: Acriopsis griffithii Rchb.f., A. sumatrana Schltr., A. papuana Kraenzl., A. philippensis Ames., dan A. floribunda Ames (Comber, 1990; Millar, 1978; Tim, 1995). Anggrek ini epifit (menempel pada pohon inang) dengan pertumbuhan batang simpodial (tumbuh ke samping/merayap) dan memiliki umbi semu yang bergerombol. Daun muncul pada setiap umbi sebanyak 2-4 helai, berbentuk pita panjang dengan panjang sekitar 30 cm dan lebar 2 cm. Perbungaan berbentuk malai, menjuntai, panjang sekitar 50-60 cm. Bunga berukuran kecil (lebar sekitar 1-2 cm), kelopak dan mahkota bunga berwana putih-kuning kusam kecoklatan. Bibir berwarna putih dengan dominasi warna ungu muda pada bagian tengahnya (Sastrapradja, 1979). Anggrek ini ditemukan di hutan-hutan sekunder ataupun hutan primer di ketinggian hingga 1.000 m. dpl, umumnya menyukai tempat yang agak ternaungi dan lembab (Sulistiarini dan Uway, 2003). 3. Dendrobium macrophyllum A. Rich. Anggrek ini memiliki beberapa sinonim, yaitu: Dendrobium veitchianum Lindl., D. ferox Hassk., D. brachythecum F. Muell. & Kraenzl., D. ternatense J.J. Smith., D. psyche Kraenzl., dan D. musciferum Schltr (Comber, 1978; Lavarack et al., 2000). Merupakan anggrek epifit dengan umbi-semu beruas banyak, pangkal umbi sempit, semakin ke atas semakin besar, simpodial. Pada ruas terbesarnya berusuk jelas, panjang umbi-semu ± 1025 cm. Daun terletak di ujung umbi-semu sebanyak 3-4 helai, beruas, bulat telur-memanjang, sedikit melipat, tulang daun bagian bawah menonjol lemah, panjang ± 11-17 cm, lebar ± 2-5 cm. Perbungaan majemuk tandan, panjang tandan ± 17-35 cm, jumlah ± 25 kuntum, besar, agak rapat, bersilangan. Bunga kuning-hijau-krem, ujung kehijauan, punggung berambut panjang, daun pelindung berbentuk lanset ± 1,5 cm, lebar ± 0,5-6 cm membentuk lunas, daun kelopak panjang ± 2,5 cm, lebar ± 1,25 cm, membentuk mentum; daun mahkota berbentuk tombak terbalik, berkuku, tepi bergelombang, panjang ± 2,5 cm, lebar ± 1,5 cm, warna kuning krem, ujung dan tepi lebih tua. Bibir menancap pada ujung kaki tiang, bertaji 3, taji samping menyetiga, menggulung ke dalam, warna kuning-hijau, bagian dalam bergaris coklat-ungu, bagian luar titik-titik ungu, pangkal polos; antara kedua pangkal taji samping terdapat tonjolan; taji tengah berbentuk bulat sedikit melebar, ujung


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 30-33

32

No. koleksi

Nama tumbuhan (Latin/daerah)

Jumlah material Jenis material

No.

Habitus

Tabel 1. Jenis-Jenis anggrek (Suku Orchidaceae) hasil inventarisasi dari kegiatan eksplorasi di kawasan hutan Cagar Alam Gunung Tinombala, Desa Labonu, Kecamatan Basidondo, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah.

Keterangan (habitat, ketinggian, posisi geografi)

o

o

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

dd 1 dd 8 dd 9 dd 15 dd 16 dd 17 dd 36

Cymbidium sp. Phaius sp. Bulbophyllum sp. Bulbophyllum sp. Eria javanica (Sw.) Bl. Phreatia sp. Dendrobium sp.

E T E E E E E

4 1 5 2 4 1 1

A T T T T T T

8. 9. 10. 11. 12.

dd 37 dd 39 dd 45 dd 46 dd 50

Nervelia sp. Aerides sp. Cymbidium sp. Cymbidium sp. Agrostophyllum sp.

T E E E E

1 1 1 1 1

T T T T T

13. dd 55

Eria sp.

E

1

T

14. dd 57

Coelogyne sp.

E

1

T

15. dd 78

Cymbidium sp.

E

2

T

16. dd 87 17. dd 97

Coelogyne sp. Dendrobium sp.

E E

1 4

T T

Phalaenopsis sp. Bulbophyllum sp. Bulbophyllum sp. Dendrobium sp. Aerides sp. Spatoglottis plicata Bl. Grammatophyllum scriptum Blume 25. dd 103 Genus dubuois 26. dd 128 Dendrobium sp.

E E E E E T T

1 1 1 1 1 1 2

T T T T T T T

E E

1 1

27. dd 129 Eria sp.

E

1

28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.

E E E E T E E E

1 1 1 1 1 1 1 1

T Tumbuh di pohon coklat o T Menempel di tonggak kayu lapuk, ternaungi, lembab, 675 mdpl, 00 40’33,9” N, o 20 39’23” E o T Menempel di tonggak kayu lapuk, ternaungi, lembab, 675 mdpl, 00 40’33,9” N o 120 39’23” E o o T Menempel di kayu lapuk, lembab, 875 mdpl, 00 40’33,9” N, 120 39’23” E o o T Menempel di kayu lapuk, lembab, 875 mdpl, 00 40’33,9” N 120 39’23” E o o T Menempel di kayu lapuk, lembab, 875 mdpl, 00 40’33,9” N 120 39’23” E o o T Menempel di kayu lapuk, lembab, 875 mdpl, 00 40’33,9” N 120 39’23” E o o T Tanah liat merah berpasir, lereng bukit, lembab, 700 mdpl, 00 40’45,6” N 120 39’57” E T Menempel di pohon dengan ketinggian 30 m T Menempel di pohon o o T Tempat terbuka, 2200 mdpl, 00 38’4,3” N, 20 40’2,5” E

T

1

T Tempat terbuka, 2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E

T

1

A Ternaungi 2200 mdpl, 00 38’4,3” N, 120 40’2,5” E

T E E E E E E E E E E E E

1 1 2 1 1 2 2 3 1 1 2 1 1

T T T T T T T T T T T T T

18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.

dd 102 dn 528 dn 529 dn 530 dn 535 dn 536 soam 1

dd 137 Acriopsis sp. dd 138 Dendrobium sp. dd 139 Dendrobium sp. dd 140 Phalaenopsis sp. dd 158 Phaius sp. moses 1 Eria ornata (Bl.) Lindl. moses 2 Apendicula sp. dd 168 Dendrobium macrophylla A. Rich. dd 171 Grammathophyllum stapeliaeflorum J.J. Smith. dd 173 Acriopsis javanica Reinw. ex. Blume dd 174 Macodes petola Lindl. dd 178 Agrostophyllum sp. dd 180 Dendrocillum sp. dd 181 Genus dubuois dd 184 Plocoglotis sp. dd 185 Dendrobium sp. dd 188 Eria sp. dd 197 Eria sp. dd 198 Cymbidium sp. dd 199 Eria sp. dd 200 Dendrobium sp. dd 204 Flickingeria sp. dd 204 Flickingeria sp.

Kebun coklat, 450 mdpl, 00 40’7” N, 120 39’53” E o o Dalam hutan, 450 mdpl, tempat ternaungi, 00 40’6” N, 120 39’59” E o o Dalam hutan, 450 mdpl, tempat ternaungi, 00 40’6” N,120 39’59” E o o Dalam hutan, 460 mdpl, tempat ternaungi, lereng tebing, 00 40’5” N, 120 40’01” E o o Dalam hutan, 460 mdpl, tempat ternaungi, lereng tebing, 00 40’5” N, 120 40’01” E o o Dalam hutan, 572 mdpl, tempat ternaungi, 00 40’5” N, 120 40’01” E o Dalam hutan, 700 mdpl, tempat ternaungi, menempel pada pohon rebah, 00 40’5” N, o 120 40’01” E o o Dalam hutan, 750 mdpl, tempat ternaungi, lembab, 00 40’5” N, 120 40’01” E o o Dalam hutan, 825 mdpl, tempat ternaungi, lereng tebing, 00 40’5” N 120 40’01” E o o Dalam hutan, 1.100 mdpl, tempat ternaungi, lembab, 00 40’5” N 120 40’01” E o o Dalam hutan, 1.050 mdpl, tempat ternaungi, lembab, 00 40’5” N 120 40’01” E o Dalam hutan, 900 mdpl, tempat ternaungi, menempel pada batu, lembab, 00 40’5” N o 120 40’01” E o Tepi hutan, 700 mdpl, tempat terbuka, menempel pada pohon tumbang, 00 40’5” N o 120 40’01” E Dalam hutan, 900 mdpl, tempat terbuka, tepi jalan, menempel pada pohon rebah, o o lembab, 00 40’5” N 120 40’01” E o Lembab, menempel di tonggak kayu, 1150 mdpl, lereng tebing, 00 39’20” N, o 120 40’00” E o o Tempat terbuka, menempel di pohon, 1800 mdpl, 00 39’8,3” N 120 40’7,4” E o Tepi aliran sungai, lembab, tanah liat merah berpasir, 1650 mdpl, 00 39’8,3” N, o 120 40’7,4” E o o Lereng tebing, lembab, menempel di pohon, 1000 mdpl, 00 39’0,1” N 120 40’18” E o o Menempel di pohon, 620 mdpl, 00 40’13,7” N 120 39’55” E o o Tepi sungai, lembab, 620 mdpl, 00 40’13,7” N 120 39’55” E o o Tepi sungai, lembab, 620 mdpl, 00 40’13,7” N 120 39’55” E Menempel di pohon tumbang Tempat terbuka, 1500 mdpl Tumbuh di rebahan kayu lapuk pohon Dao

o

o

o

o

o

o

Ternaungi 2200 mdpl, 00 38’4,3” N, 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon 2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon ,2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon ,2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon ,2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon ,2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Ternaungi, lembab, menempel di pohon ,2200 mdpl, 00 38’4,3” N 120 40’2,5” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E o o Tempat terbuka, 2000 mdpl, 00 38’28,4” N 120 40’17,65” E

Keterangan: T = terestrial, E = epifit, T = tanaman dewasa, A = anakan.


PUTRI – Anggrek di Cagar Alam Gunung Tinombala, Tolitoli

pangkal polos; antara kedua pangkal taji samping terdapat tonjolan; taji tengah berbentuk bulat sedikit melebar, ujung melekuk ke dalam, meruncing, warna hijau muda, bergaris terputus titik coklat-ungu. Banyak tumbuh di hutan pada ketinggian <1.000 m. dpl. Masa pembungaan bulan Nopember, Januari, Februari, Maret dan April. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, anggrek ini dilindungi dengan status konservasi rawan (Siregar dkk., 2004). 4. Grammathophyllum stapeliaeflorum (Teijsm. & Binn.) J.J. Smith. Anggrek ini memiliki beberapa sinonim yaitu: Cymbidium stapeliaeflorum (Teijsm. & Binn.) J.J. Smith., C. stephensii Ridl., C. huttonii Hook.f., Grammangis huttonii (Hook.f.) Benth., dan G. stapeliaeflorum (Teijsm. & Binn.) Schltr (Comber, 1990; Holliman, 2002). Anggrek epifit dengan umbi-semu, 13-15x5-6 cm, tumbuh berdekatan pada rimpang, berbuku satu, agak pipih, berdaun 2 atau 3 helai. Daun melonjong, 26-30x6-7 cm, melebar di bagian tengah ke ujung, kaku, dan liat. Perbungaan menggantung, bunga 7-10 kuntum, tangkai pendek. Bunga coklat muda, bercak coklat gelap atau ungu gelap hampir hitam dan rapat; kelopak menyetiga, ujung runcing, bagian atas menaungi tugu; mahkota lebih gelap dari kelopak, ukuran lebih sempit. Bibir bertaji tiga; taji samping tegak membun-dar; taji tengah membundar dan bergelombang. Tumbuh di ketinggian 50-1.000 m dpl. Masa pembungaan Nopember. 5. Spathoglottis plicata Blume Anggrek ini memiliki beberapa sinonim yaitu: Bletia angustata Gaud., Paxtonia rosea Lindl., Phaius rumphii Blume, dan Spathoglottis spicata Lindl. (Comber, 1990). Anggrek terrestrial, dengan batang/umbi semu membulat telur, masing–masing mendukung 4-7 daun, monopodial. Daun sempit, lanset, panjang mencapai 100 cm dan lebar 6 cm, ukurannya dapat lebih besar apabila tumbuh di tempat yang subur dan lebih kecil di tempat yang kurang subur. Bunga tandan, tangkai bunga biasanya lebih panjang dari pada daun, mencapai 2 m, mendukung 10-30 bunga yang tidak mekar serempak, biasanya hanya 5-6 yang mekar secara bersamaan. Bunga biasanya berwarna biru keunguan, tetapi ada yang berwarna merah muda atau putih, diameter sekitar 5 cm, daun kelopak melebar, melanset, daun mahkota bulat telur lebih lebar dari pada daun kelopak. Bibir rata dengan cuping samping dan letak tugu, bagian ujung lebih lebar dari pada pangkal, berwarna lebih tua dari pada daun kelopak dan daun mahkota (Puspitaningtyas dkk., 2003). Banyak ditemui di pinggiran hutan dan tanah yang baru dibuka pada ketinggian 1.600 m dpl. Masa pembungaan Januari-Desember. Dari 50 nomor koleksi yang didapatkan, terdapat satu jenis yang belum dikoleksi KREKB, yaitu Macodes petola Lindl. Anggrek ini epifit pada pohon tumbang yang telah membusuk, pada ketinggian 2.200 m. dpl. Anggrek ini dapat dimanfaatkan sebagai obat kanker (KRB, 2000), sehingga perlu upaya serius untuk membudidayakan atau mengembangkannya untuk mencegah kepunahan di alam sebagai akibat pengambilan yang tidak terkendali. Hal ini perlu dilakukan mengingat tim eksplorasi hanya menemukan di satu lokasi dengan jumlah yang sangat terbatas, yaitu: satu tanaman. Kawasan hutan CA. Gunung Tinombala merupakan kawasan yang hampir belum pernah dieksplorasi dan diinventarisasi kekayaan floranya. Dugaan ini berdasarkan tidak tersedianya data floristic mengenai vegetasi di kawasan tersebut. Selain itu, kawasan ini sangat rawan

33

terhadap ancaman kerusakan akibat perambahan dan penebangan liar yang diperkirakan akan terus meningkat karena adanya jalan trans Sulawesi yang melintasi kawasan CA. Gunung Tinombala. Untuk itu perlu upaya yang serius untuk menyelamatkan jenis-jenis flora endemik, unik, potensial, dan langka di kawasan tersebut, khususnya anggrek. Melalui kegiatan inventarisasi dan koleksi jenisjenis anggrek, diharapkan dapat diperoleh informasi baru untuk melengkapi informasi yang telah ada dan untuk keperluan penelitian. Selanjutnya jenis-jenis anggrek yang terkoleksi dapat diungkap potensinya untuk kepentingan pendidikan, konservasi, display, reintroduksi, dan lain-lain. KESIMPULAN Dari hasil eksplorasi dan inventarisasi jenis-jenis anggrek di kawasan CA. Gunung Tinombala didapatkan 50 nomor koleksi, 72 spesimen, 19 marga dan 24 jenis. Dua nomor koleksi di antaranya masih belum berhasil diidentifikasi, sehingga masih dalam istilah genus dubuois. Jenis-jenis anggrek yang dominan di kawasan hutan CA. Gunung Tinombala adalah dari marga Dendrobium dan Eria. Dari jumlah yang didapat tersebut satu jenis anggrek yang diperkirakan baru bagi Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali, yaitu: Macodes petola Lindl. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Deden Mudiana, Ida Bagus Arnawa, I Gusti Ngurah Putu Wisnu, I Gusti Putu Widarma, I Wayan Lepus, Jemmy Indrayani Kello, Marwan, Mosses Piter, dan I Nengah Suamba, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah beserta stafnya, yang telah banyak membantu pelaksanaan kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Comber, J.B. 1990. Orchids of Java. London: Betham-Moxon Trust & Royal Botanic Gardens, Kew. England. Holliman, J. 2000. Botanic’s Orchids. San Diego: Laurel Glen Publishing. Keβler, P.J.A., 2000. Checklist of Woody Plants of Sulawesi. Blumea Supplement 14. Leiden: National Herbarium of the Nederland, Universiteit Leiden Branch. Kinnaird, M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: GEF-Biodiversity Collection Project dan Yayasan Pengembangan Wallacea. KRB (Kebun Raya Bogor). 2000. Sulawesi Tengah 2000. [Laporan Eksplorasi]. Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan, LIPI. Lavarack, B., W. Haris, and G. Stocker. 2000. Dendrobium Orchids. Sidney: Kangaroo Press. Millar, A. 1978. Orchids of Papua New Guinea an Intoduction. Canberra: Australian National University Press. Pridgeon, A. 2003. The Illustrated Encyclopedia of Orchids. Oregon: Timber Press, Inc. Puspitaningtyas, D.M., S. Mursidawati, Sutrisno, dan J. Asikin. 2003. Anggrek Alam di Kawasan Konservasi Pulau Jawa. Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Sastrapradja, S. 1976. Anggrek Indonesia. Bogor: LBN LIPI. Sastrapradja, S. 1979. Anggrek Indonesia. Bogor: LBN LIPI. Siregar, M, I.N. Lugrayasa, I.B.K. Arinasa, and D. Mudiana. 2004. An Alphabetical List of Plant Species Cultivated in ‘Eka Karya’ Bali Botanic Garden Catalogue 2004. Bali: ‘Eka Karya’ Botanic Garden Bali LIPI. Sulistiarini, D. dan Uway W.M. 2003. Jenis-Jenis Anggrek Taman Nasional Boni Nani Wartabone. Bogor: CV. Mitrayuda. Suryowinoto, M. 1987. Mengenal Anggrek Alam Indonesia. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Tim, Y.W. 1995. Orchids of The Singapore Botanic Gardens. Singapore: National Park Board Singapore Botanic Gardens. Whitten, A.J., M. Mustafa, dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yuzammi dan S. Hidayat. 2002. Flora Sulawesi, Unik, Endemik dan Langka. Bogor: Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 34-38

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan Diet and its composition of the proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) in rubber forest of Tabalong District, South Kalimantan MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO1,♼, HADI SUKADI ALIKODRA2, MUHAMMAD BISMARK3, HERU SETIJANTO4 1

Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarbaru 70714. 2 Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan, Bogor 16118. 4 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. Diterima: 6 September 2005. Disetujui: 12 Oktober 2005.

ABSTRACT Diet of the proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb) inhabiting rubber forests was poorly known. The research objectives were to identify plants or other organisms which functions as food sources, estimate the amount of food a day, and determine the content of food nutrition. Identification of food sources and estimation of the amount of food were conducted in the field, but the nutrition content was analyzed in the laboratory. Eighteen plant species belonging to at least ten families were found as food sources. The monkey was likely to be folivore. Based on IARF (individual activity records of feeding) method, most of food was consisted of leaves (80.9%) and others were flowers (11.3%), fruits (6.77%), and barks (0.95%). The monkey also fed grasshoppers and termites, although few occasions were found. However, the number of food plant species and the percentage of food composition could change, because on some locations, out of the research location, we found and also people reported other plant species consumed by the proboscis monkey. By sampling the feeding rate on leaves of three species, the amount of food ranged 919.96-1537.59 g wet weight or 168.57-515.94 g dry weight. In addition, those sampled leaves contained nutrition and essential minerals that were required by this colobine monkey. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: proboscis monkey, food, nutrition, rubber forest.

PENDAHULUAN Jenis pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan mangrove, hutan rawa gambut, atau hutan riparian (pesisir) telah didokumentasikan. Bennett dan Sebastian (1988) melaporkan bahwa bekantan termasuk folivora. Daun merupakan jenis pakan utama bagi bekantan. Menurut Bismark (1987a,b), proporsi daun mencapai 92% dari seluruh pakan. Tingginya tingkat konsumsi terhadap daun disebabkan keragaman jenis pohon yang rendah dan produksi buah yang tidak selalu ada (Soerianegara et al. 1994). Walaupun termasuk folivora, bekantan bukan folivora sejati. Primata ini mengkonsumsi hampir seluruh bagian tumbuhan yang mencakup akar, kulit batang, daun, buah, dan bunga (Supriatna dan Wahyono 2000). Bekantan biasanya berperan sebagai folivora antara Juni dan Desember serta berperan sebagai frugivora antara Januari dan Mei. Selama periode paceklik, bekantan memanfaatkan pakan dengan kualitas gizi rendah tetapi tersedia melimpah, seperti daun-daun tua (Yeager, 1989). Bahkan Bismark (1980), Yeager (1989), Soerianegara et al. (1994),

♼ Alamat korespondensi: Kampus Unlam, Banjarbaru 70714 Telp./Fax: +62-511-4772290 e-mail: asoendjoto@telkom.net

serta Supriatna dan Wahyono (2000) menyebutkan bahwa bekantan juga memakan rayap, kepiting, nyamuk, dan larva serangga. Bekantan tidak hanya memvariasikan makanan sesuai dengan ketersediaan pakan pada setiap musim, tetapi juga memanfaatkan tumbuhan di tipe habitat berbeda sebagai sumber pakan. Apabila tidak melakukannya, primata ini tidak dapat dijumpai di tipe habitat hutan karet, hutan rawa galam, dan hutan bukit kapur/karst. Adanya bekantan di tipe-tipe habitat ini dilaporkan Soendjoto et al. (2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tumbuhan atau organisme lain yang menjadi sumber pakan bekantan di hutan karet, memperkirakan jumlah pakan per hari, dan menentukan kandungan nutrisinya.

BAHAN DAN METODE Data yang dikumpulkan adalah jenis pakan, jumlah pemakan, laju ambil pakan, berat pakan, serta kandungan nutrisi pakan. Pengumpulan data dilakukan antara April 2003 s.d. Juli 2004, di hutan karet Desa Simpung Layung, Kabupaten Tabalong. Jenis pakan mencakup nama spesies dan bagian tumbuhan yang dimakan. Jenis tumbuhan diidentifikasi di Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Bagian tumbuhan dikelompokkan ke dalam daun, bunga, buah, dan kulit batang. Catatan khusus ditambahkan untuk bagian tumbuhan yang tidak termasuk dalam empat kelompok ini


SOENDJOTO dkk. – Pakan Nasalis larvatus di hutan karet Tabalong, Kalimantan Selatan

atau untuk pakan tertentu, misalnya dari hewan. Panduan untuk mendata bagian-bagian tumbuhan yang disukai menggunakan metode IARF (individual activity records of feeding) (Yeager, 1989). Pada metode ini, satu jenis pakan yang teramati dimakan oleh satu individu bekantan diberi nilai 1. Pengombinasian data ini dengan kerapatan spesies tumbuhan pakan tersebut dipergunakan untuk menentukan rasio seleksi pakan. Tiga spesies tumbuhan, yaitu karet (Hevea brasiliensis), kujamas (Syzygium stapfiana), dan tiwadak banyu (Artocarpus teysmanii) dipergunakan untuk menduga jumlah pakan dan mengukur kandungan nutrisi. Bagian tumbuhan yang diambil sebagai sampel disesuaikan dengan yang dimakan bekantan. Jenis tumbuh-tumbuhan di atas dipilih dengan pertimbangan bahwa karet merupakan pohon yang dominan, sedangkan kujamas dan tiwadak banyu adalah pohon yang hidup di perairan (baruh). Pertimbangan lainnya adalah ukuran daun atau ukuran petikan. Daun kujamas berukuran kecil atau dipetik dalam ukuran sedikit oleh bekantan. Sebaliknya, daun karet dan tiwadak banyu berukuran lebih besar dan dipetik dalam ukuran besar juga oleh bekantan. Jumlah pakan per hari diperkirakan dari perkalian antara laju ambil pakan, berat basah (atau berat kering) pakan yang diambil per satuan tertentu, dan proporsi waktu makan per hari. Laju ambil pakan dihitung menggunakan digital stopwatch. Berat (basah dan kering) tumbuhan pakan ditimbang dengan neraca hingga ketelitian 0,0001 g. o Pengeringan dilakukan di oven pada suhu 110 C selama 24 jam. Proporsi waktu makan diperoleh dari penelitian aktivitas harian. Uji statistik (uji t) dipergunakan untuk menentukan signifikansi perbedaan. Kandungan nutrisi, tanin, gross energy (GE), dan mineral ketiga jenis tumbuhan tersebut dianalisis, setelah dikeringanginkan selama 15 hari. Kadar abu, protein, serat kasar, lemak, serta kandungan mineral makro (P, K, Ca, Na, Mg, S) dan mikro (Fe, Mn, Cu, Zn) dianalisis di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor sedangkan tanin dan GE berturut-turut dianalisis di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor serta Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB Bogor.

35

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis pakan Di hutan karet Simpung Layung, ditemukan 18 spesies (>10 famili) tumbuhan yang menjadi pakan bekantan (Tabel 1). Tumbuhan yang sering dimakan oleh bekantan adalah karet dan kujamas. Karet dan kujamas merupakan tumbuhan dominan di hutan karet desa ini (Soendjoto et al. 2005). Karet diusahakan masyarakat sebagai penghasil getah/lateks dan sumber mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat. Berbeda dengan karet, kujamas merupakan tumbuhan liar pada bagian hutan yang tidak dipelihara intensif. Tumbuhan ini sering dijumpai tumbuh di sekitar baruh. Adaptasinya terhadap baruh ditunjukkan oleh adanya akar jangkar yang mirip dengan perakaran bakau. Baruh adalah salah satu sumber air (selain sungai dan sungai kecil) di hutan karet dan merupakan tempat bagi bekantan untuk memulai, menetap sementara, atau mengakhiri perjalanan harian. Beberapa baruh lebih sering dikunjungi bekantan daripada baruh lainnya. Kondisi ini dipicu oleh keanekaragaman tumbuhan dan jauhnya letak baruh dari sumber gangguan atau aktivitas manusia (Soendjoto et al., 2005). Bekantan tidak hanya menggunakan ke-18 spesies tersebut sebagai tumbuhan pakan, tetapi juga memanfaatkan spesies lain (Tabel 2). Di hutan karet di luar lokasi penelitian (Desa Simpung Layung) yang masih termasuk wilayah administrasi Kabupaten Tabalong, ditemukan bahwa bekantan memakan buah terung, buah kumanjing, buah picung, dan daun rengas. Penduduk juga melaporkan bahwa bekantan memakan bunga pampakin. Temuan penelitian dan laporan masyarakat ini memperkaya daftar tumbuhan yang menjadi sumber pakan bekantan di hutan karet, termasuk dalam hal ini laporan Soendjoto et al. (2002) dan Soendjoto (2004a,b). Alikodra dan Mustari (1994) menyebutkan 12 spesies dan Soerianegara dkk. (1994) melaporkan 4 spesies tumbuhan mangrove menjadi sumber pakan bekantan, antara lain: bakau (Rhizophora apiculata), api-api (Avicennia alba), dan rambai (Sonneratia caseolaris). Yeager (1989) melaporkan bahwa di hutan rawa gambut terdapat sekitar 47 spesies tumbuhan dan jejambuan

Tabel 1. Jenis dan komposisi pakan bekantan di hutan karet Desa Simpung Layung, Kabupaten Tabalong. Tumbuhan pakan Rasio seleksi Kulit Jumlah Daun Bunga Buah Kepadatan batang (IARF) Famili Nama ilmiah Nama lokal T/K Rel 1. Dilleniaceae Galigantan 5 4 9 385 0,023 0,171 Dillenia excelsa 2. Elaeocarpaceae Elaeocarpus stipularis Bangkinang burung 22 7 29 49,38 0,587 4,374 3. Euphorbiaceae Hevea brasiliensis Karet 164 26 190 13.270 0,014 0,104 4. Hypericaceae Cratoxylum cochinchinensis Mampat 16 16 245 0,065 0,484 5. Moraceae Tiwadak 15 6 21 10 2,1 15,65 Artocarpus integer 6. Moraceae Tiwadak banyu 24 24 2,5 9,6 71,54 A. teysmanii 7. Moraceae Kariwaya 17 17 62,5 0,272 2,027 Ficus binnendykii 8. Myrtaceae Kujamas 171 21 6 198 14.476,88 0,014 0,104 Syzygium stapfiana 9. Myrtaceae Salam, duhat 2 2 332,5 0,006 0,045 S. polyanthum 10. Myrtaceae Serai merah 19 5 24 225 0,192 1,431 S. pyrifolium 11. Myrtaceae Syzygium sp. 1 4 4 260 0,015 0,112 12. Myrtaceae Syzygium sp. 2 Salam laki 3 4 7 165,63 0,042 0,313 13. Symplocaceae Symplocos cochinchinensis Geminting 13 13 3.957,5 0,003 0,022 14. Verbenaceae Vitex pubescens Alaban 33 14 8 55 113,13 0,486 3,622 15. TT TT Lumut 6 6 TT 16. Palmae Aren, enau 9 9 L Arenga pinnata 17. Palmae Tuu 8 8 L Calamus scipionum 18. Rosaceae Bambab 5 5 L Rubus moluccana Jumlah 514 74 43 6 637 13,419 100 R e l a t i f (%) 80,9 11,3 6,77 0,95 100 Keterangan: T/K = total IARF dibagi kepadatan; Rel = relatif (%) ; TT = tidak teridentifikasi. Data kepadatan (individu/ha) dimodifikasi dari Soendjoto (2005). Tumbuhan pakan nomor 16, 17, 18 terdapat di luar tapak sampel (L). Tumbuhan pakan yang berupa lumut menempel pada kulit batang kujamas. No


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 34-38

36

(Eugenia spp.) yang menjadi sumber pakan bekantan. Salter et al. (1985) menyebutkan bahwa 3 dari 90 spesies tumbuhan pakan di hutan riparian dan mangrove adalah Bouea sp., Buchanania sp., dan Bruguiera gymnorrhiza. Soendjoto et al. (2001), melaporkan bahwa sumber pakan bekantan di hutan galam antara lain galam (Melaleuca cajuputi), piai (Acrostichum aureum), dan kelakai (Stenochlaena palustris). Dari laporan dan hasil penelitian tentang ekologimakan bekantan, Soendjoto (2003) mendaftar lebih dari 200 spesies tumbuhan sumber pakan bekantan. Bagian tumbuhan yang dimakan dan jumlah pakan Data IARF (Tabel 1) menunjukkan bahwa pakan yang berupa daun mencapai 80,9%, sedangkan bunga, buah, dan kulit batang berturut-turut adalah 11,3%, 6,77%, dan 0,95%. Besaran persentase ini bersifat sementara dan bisa berubah, apabila jenis pakan yang ditemukan di luar lokasi penelitian (Tabel 3) dan jenis pakan yang berasal dari hewan juga ikut diperhitungkan. Bekantan memakan rayap dan belalang, walaupun jumlah kejadian ditemukannya memakan kedua jenis hewan itu jarang; memakan rayap ditemukan 2 kejadian dan memakan belalang hanya 1 kejadian. Memakan rayap dan belalang adalah upaya bekantan untuk memperoleh protein hewani. Hal ini menguatkan pendapat Bismark (1987b) dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi gigi taring bekantan. Pada primata, gigi taring berperan untuk menunjukkan pengancaman dan tingkat hirarki dalam sistem sosial, serta sebagai alat mekanik untuk menggigit dan mencabik-cabik sumber protein hewani (Swindler 1998). Walaupun demikian, frekuensi bekantan memakan serangga tergolong jarang. Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya sistem pencernaan kompleks pada bekantan. Menurut Bennett dan Gombek (1993), sistem pencernaan yang kompleks tidak dapat mencerna (i) sumber pakan kaya protein hewani, seperti serangga, dan (ii) bebuahan kaya energi dan manis, karena bakteri-bakteri yang berperan dalam pencernaan memfermentasikan pakan dengan cepat sehingga terbentuk gas dan asam dalam

perut. Perut kembung ini selanjutnya justru dapat menyebabkan kematian bekantan. Berdasarkan jenis pakan yang ditemukan dalam penelitian ini dan juga yang dilaporkan oleh peneliti lain (Tabel 3), bekantan dapat digolongkan omnivora. Hal ini sesuai dengan pendapat Cowlishaw dan Dunbar (2000) bahwa primata pada umumnya adalah tipikal omnivora. Namun, karena kecenderungan pakannya lebih mengarah kepada tumbuhan dan komposisi pakan tersebut lebih besar pada daun, bekantan lebih sering digolongkan folivora. Berdasarkan sampel tiga spesies tumbuhan dan asumsi-asumsi seperti yang tertera pada keterangan Tabel 4, maka jumlah pakan individu bekantan per hari bervariasi. Jumlahnya berkisar 919,96-1.537,59 g berat basah (BB) atau 168,57-515,94 g berat kering (BK). Sebagai bahan pembanding, Bismark (1987b) – tanpa menyebut spesies tumbuhan yang dimakan oleh bekantan – menduga bahwa di hutan mangrove jumlah pakan individu bekantan per hari berkisar 1.500-1.750 g (BB) daun, sedangkan Soerianegara et al. (1994) menduga 900 g (BB) atau 231,6 g (BK). Laju bekantan memakan pakan bervariasi, yaitu 7,64 petik/menit terhadap karet, 14,77 petik/menit terhadap kujamas, dan 2,27 petik/menit terhadap tiwadak banyu (Tabel 4). Variasi laju makan disebabkan perbedaan kondisi jenis pakan – pada penelitian ini jenis pakan yang digunakan sebagai sampel adalah daun – dan kewaspadaan terhadap predator. Daun yang dimakan bekantan memiliki perbedaan ukuran dan tingkat kekerasan (Tabel 5). Perbedaan ukuran yang sangat signifikan secara statistik (Tabel 6) dan perbedaan tingkat kekerasan ini menyebabkan perbedaan frekuensi penyuapan dan pengunyahan. Pucuk kujamas berukuran kecil dan relatif lunak. Pucuk ini (i) dipetik tangan, disuapkan ke mulut 1-2 kali, dan dikunyah 2-8 kali/suap atau (ii) digigit langsung dan dikunyah 2-8 kali/suap. Daun muda tiwadak banyu berukuran besar dan agak keras. Setelah dipetik dengan tangan, daun ini (i) dirobek dengan tangan, disuapkan ke mulut (hingga 6 kali), dan dikunyah hingga 40 kali/suap, atau (ii) dicabik dengan gigi atau mulut dan langsung dikunyah. Pucuk tiwadak banyu dimakan seperti cara memakan pucuk kujamas.

Tabel 2. Tumbuhan pada hutan karet di luar lokasi penelitian yang ditemukan oleh peneliti atau dilaporkan oleh masyarakat, menjadi sumber pakan bekantan Spesies tumbuhan Bagian yang dimakan Nama ilmiah Nama lokal Pampakin Bunga Durio kutejensis Kumanjing Buah Garcinia parviflora Rengas Daun pucuk Gluta renghas Musa spp. Pisang Buah Picung, kluwak Buah Pangium edule Solanum sp. Terung Buah Jaring Daun, buah Pithecelobium lobatum Keterangan: TP = temuan peneliti; LM = laporan masyarakat.

Sumber dan lokasi LM: Kampung Ulan, Desa Binjai, Kecamatan Muara Uya TP: Hutan Salihin, Desa Bilas, Kecamatan Upau TP: Rawa Panepeh, Desa Kaong, Kecamatan Upau LM: Desa Pasar Baru, Kecamatan Muara Uya TP: Hutan karet milik Hasbullah, Desa Batupulut, Kecamatan Haruai TP: Hutan karet Desa Jabang, Kecamatan Haruai LM: Hutan Manunggul, Desa Jaing Hilir, Kecamatan Murung Pudak

Tabel 3. Komposisi bagian pakan yang dimakan oleh bekantan. Daun 96,2

Buah 3,5

92 81,00 51,9

3,5 8,50 40,3

50

40

Komposisi pakan (%) Jenis pakan lainnya 0,3 (serangga)

4,5 (ranting dan ujung akar bakau) 7,70 (bunga) ; 1,80 (serangga) ; 1,00 (pakan lainnya) Kurang dari 1% adalah bahan-bahan dari hewan. Dari semua daun 79,3% berupa daun muda, sedangkan dari buah 91,7% berupa biji atau biji dan daging buah Bunga, biji, serangga: sisanya

Sumber Bismark (1980). Diukur dari berat kering kotoran. Daun di sini mencakup pucuk daun, daun muda, daun tua dan tangkai daun, sedangkan buah mencakup buah, biji, kuncup bunga, dan kulit kayu Bismark (1987b) Soerianegara et al. (1994) Yeager (1989)

Supriatna dan Wahyono (2000)


SOENDJOTO dkk. – Pakan Nasalis larvatus di hutan karet Tabalong, Kalimantan Selatan

37

Tabel 4. Dugaan jumlah pakan individu bekantan per hari. Jumlah pakan per hari (g) Bagian yang Berat basah Berat kering Kadar air Laju makan dimakan (g) (g) (%) (petik/menit) Berat basah Berat kering Pucuk 0,64 (52) 0,07 (52) 88,59 (52) 7,64 (26) 1.443,31 168,57 Daun muda 0,68 (30) 0,23 (30) 67,12 (30) 7,64 (26) 1.537,59 515,94 Kujamas Pucuk 0,30 (67) 0,08 (67) 72,90 (67) 14,77 (25) 1.313,18 350,78 Tiwadak banyu Pucuk 0,34 (22) 0,04 (22) 87,35 (22) 14,77 (25) 1.504,66 173,92 Daun muda 1,36 (18) 0,28 (18) 77,97 (18) 2,27 (29) 919,96 192,08 Keterangan: Nilai dalam kurung adalah jumlah sampel. Jenis pakan yang diperhitungkan adalah daun dan tangkainya. Asumsi dalam perhitungan adalah sebagai berikut: (a) Waktu makan per hari adalah 297,36 menit (Soendjoto 2005). (b) Pakan yang dimakan per hari hanya satu spesies tumbuhan. (c) Bagian yang dijadikan sampel adalah yang dipetik dan dimakan bekantan. (i) Pucuk karet adalah daun majemuk (terdiri atas 3 helai daun, tangkai daun, beserta tangkai pokok) yang berwarna merah tua atau keunguan dan tumbuh di ujung ranting, sedangkan daun muda adalah daun majemuk yang sudah berwarna hijau. (ii) Pucuk kujamas adalah sederet daun tunggal berhadapan (terdiri atas 2-8 helai dan tangkai daun beserta tangkai pokok) yang masih berwarna merah. (iii) Pucuk tiwadak banyu adalah daun yang masih terbungkus seludang dan terletak pada ujung ranting, sedangkan daun muda adalah helaian daun (termasuk tangkainya) yang (•) seludangnya sudah terlepas, tetapi kedua sisi helaian daunnya masih mengatup. Yang terlihat langsung adalah bagian belakang daun dengan tulang-tulang daun yang masih menonjol atau (••) sudah terbuka sama sekali dan berwarna hijau muda. (d) Laju makan diukur dalam satuan petik/menit. Setiap bagian yang dipetik akan dimakan oleh bekantan. (e) Laju makan terhadap pucuk tiwadak banyu diidentikkan dengan laju makan terhadap kujamas. (i) Ukuran pucuk tiwadak banyu mirip dengan ukuran kujamas (Tabel 5). (ii) Ketika memakan pucuk tiwadak banyu, bekantan melakukannya dengan sekali petik dan sekali suap. Spesies tumbuhan Karet

Tabel 5. Ukuran dan tingkat kekerasan helaian daun karet, kujamas, dan tiwadak banyu Spesies Karet

Susunan Yang dijadikan Helai daun daun sampel pada Tp Daun majemuk Pucuk 3 menjari Daun muda 2-3

PD (mm)

LD (mm)

PTp (mm)

Tingkat kekerasan

65,56 (25; 28-120) 87,04 (84; 41-142) 44,07 (30; 19-71) 44,77 (22; 17-69)

20,72 66,89 Lunak (25; 9-36) (52; 12-161) 31,42 52,03 Lebih keras daripada (84; 14-53) (30; 29-80) daun muda tiwadak banyu Kujamas Daun tunggal Pucuk 2-8 13,44 31,82 Lunak berhadapan (32; 4-26) (67; 4-71) Tiwadak Daun tunggal Pucuk (kuncup) 1 Daun masih Lunak banyu tertutup seludang Daun muda 1 124,72 57,22 Agak keras (18; 79-206) (18; 33-95) Keterangan: Panjang daun (PD) diukur dari pangkal tangkai hingga ujung daun. Lebar daun (LD) diukur pada bagian helai yang memiliki ukuran terlebar. Panjang tangkai pokok (PTp) adalah panjang tangkai pada daun majemuk (misalnya pada karet) atau tangkai yang dilekati oleh 2-8 daun tunggal (pada kujamas). Tingkat kekerasan dinilai secara subyektif oleh peneliti. Angka dalam kurung adalah jumlah sampel dan nilai kisaran minimum-maksimum.

Tabel 6. Perbedaan lebar daun tiga spesies sampel secara statistik. KuP x KuP x KuP x TM x TM x TM KaP KaM KaP KaM t hitung 11.2305 9,5350 3,8761 8,0839 8,2311 Derajad bebas 48 114 55 100 41 P < 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01 < 0,01 Keterangan: KuP = daun pucuk kujamas, TM = daun muda tiwadak banyu, KaP/KaM = daun pucuk/muda karet.

merupakan bentuk istirahat bekantan untuk menyegarkan otot-ototnya dan mencerna pakan.

Parameter

Kewaspadaan atas datangnya gangguan atau ancaman predator dapat membuat bekantan menghentikan kegiatan makan (termasuk mencari, memetik, atau menyuap pakan) untuk sementara waktu. Bersamaan dengan penghentian makan, bekantan mengarahkan pandangan ke tapak datangnya gangguan. Apabila gangguan dianggap membahayakan, bekantan bersembunyi atau melarikan diri menjauh. Sebaliknya, apabila gangguan dianggap tidak membahayakan, bekantan melanjutkan makan. Boonratana (2000) menghubungkan kewaspadaan bekantan dengan jenis pakan. Bekantan menghabiskan banyak waktu untuk berwaspada, ketika jenis pakan jarang (yaitu bunga), dan sedikit waktu untuk berwaspada ketika pakan banyak (yaitu buah). Dengan mempertimbangkan kemungkinan hadirnya predator, kewaspadaan menambah kemungkinan untuk memperhatikan letak jenis pakan. Kewaspadaan tidak memerlukan banyak energi dan

Kandungan nutrisi dalam pakan Dalam kaitan dengan pakan bekantan, terdapat empat hal yang perlu dicatat. Pertama, bekantan memakan jenis pakan (daun, bunga, buah) dari berbagai spesies tumbuhan. Memvariasikan pakan merupakan upaya bekantan atau hewan lain pada umumnya untuk menjaga kebutuhan nutrisi. Nutrisi yang tidak diperoleh dari spesies tumbuhan atau dari jenis pakan tertentu, diupayakan untuk diperoleh dari jenis pakan atau spesies tumbuhan lainnya. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa protein lebih banyak dimiliki daun karet daripada daun tiwadak banyu dan kujamas, tetapi Ca lebih banyak dimiliki daun tiwadak banyu daripada daun karet dan kujamas serta serat kasar lebih rendah pada daun kujamas dibandingkan pada daun karet dan tiwadak banyu. Kedua, bekantan ditemukan lebih sering memakan pucuk atau daun muda daripada daun tua. Hal ini sesuai dengan pendapat Bennett dan Sebastian (1988) bahwa (i) bekantan mengutamakan daun muda, walaupun daun tua melimpah dan (ii) primata ini akan memakan daun tua, apabila daun muda tidak tersedia lagi. Walaupun data masih belum memadai (karena yang dianalisis hanya tiga spesies daun), faktor penyebab pemilihan daun muda ini disebabkan kadar airnya lebih banyak. Pada Tabel 16


38

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 34-38

diketahui bahwa kadar air pada pucuk mencapai 87,3588,59% dan pada daun muda 67,12-77,97%. Bismark (1987b) melaporkan bahwa di hutan mangrove bekantan memakan daun dengan kandungan air 68,4%. Faktor penyebab lainnya adalah tingkat kecernaan yang tinggi pada daun muda daripada daun tua. Tingginya tingkat kecernaan ini dapat diukur dengan rendahnya kadar serat kasar yang dikandung oleh pucuk atau daun muda (Tabel 7). Menurut Perry et al. (2003), pakan yang kecernaannya tinggi pada umumnya memiliki kandungan serat rendah. Tabel 7. Kandungan kimia daun tiga spesies tumbuhan pakan. Tiwadak banyu Karet Kujamas Satu an Pucuk Muda Tua Muda Tua Muda Kadar air* % 15,79 20,59 16,57 15,94 14,06 17,13 Abu % 9,29 5,14 6,29 4,18 4,99 2,49 Protein % 14,90 15,22 16,30 42,84 30,87 9,80 Serat kasar % 15,26 22,68 31,92 10,01 25,37 9,24 Lemak % 3,60 2,85 3,44 7,00 4,96 3,44 Energi kal/g 3.964 3.565 3.894 3.906 4.036 3.940 Tanin % 0,0030 0,0046 0,0026 0,0040 0,0017 0,0122 P % 0,19 0,15 0,14 0,32 0,32 0,13 K % 1,25 0,83 0,67 2,01 1,55 0,75 Ca % 3,14 1,18 1,98 0,12 0,34 0,44 Na % 0,03 0,01 0,01 0,03 0,02 0,06 Mg % 0,44 0,26 0,32 0,23 0,27 0,14 S % 0,12 0,11 0,13 0,26 0,25 0,10 Fe ppm 121,0 151,3 122,5 137,8 125,6 86,2 Mn ppm 51,8 24,8 32,7 100,8 191,8 24,5 Cu ppm 15,6 10,6 11,6 35,7 31,7 15,9 Zn ppm 58,6 72,0 21,5 84,6 75,7 37,1 Keterangan: * = kadar air setelah sampel dikeringanginkan selama 15 hari. Zat

Ketiga, setelah memetik pakan, bekantan tidak selalu memakan seluruh bagian tumbuhan yang dipetik. Pucuk kujamas yang dipetik biasanya dimakan seluruhnya, tetapi petikan daun karet atau tiwadak banyu kadang-kadang hanya dimakan sebagian saja, sisanya dibuang begitu saja. Tidak diketahui dengan pasti alasan bekantan berperilaku demikian. Di hutan mangrove, bekantan juga memakan sebagian daun pakan dan membuang sisanya. Menurut Bismark (1986) cara ini merupakan upaya bekantan untuk mengefisiensikan energi dalam pencernaan pakan, mendapatkan gizi lebih baik, dan menghindari pengaruh racun. Keempat, bekantan memakan dan menyukai sumber pakan yang justru memiliki kadar tanin tinggi. Hal ini menunjukkan toleransi yang besar terhadap kadar tanin pakan. LeinmĂźller et al. (1991) melaporkan beberapa publikasi tentang dampak toksik tanin, yaitu pengurangan nafsu makan dan kehilangan berat tubuh domba dan kambing serta adanya racun pada ginjal dan hati hewan yang memiliki sistem pencernaan sederhana (monogastrik).

KESIMPULAN DAN SARAN Delapan belas spesies (>10 famili) tumbuhan ditemukan sebagai sumber pakan bekantan di hutan karet. Karet dan kujamas merupakan sumber pakan utama. Jumlah spesies tumbuhan pakan ini dapat bertambah, karena di lokasi lain yang bukan lokasi penelitian ini bekantan ditemukan juga memakan beberapa spesies tumbuhan lain. Sebagian besar pakan bekantan adalah daun, sedangkan lainnya

berupa bunga, buah, dan kulit batang. Berdasarkan besarnya persentase pakan yang berupa daun bekantan di hutan karet cenderung tergolong folivora. Jumlah pakan per hari berkisar 919,96-1.537,59 g berat basah atau 168,57515,94 g berat kering. Kandungan nutrisi dari tiga spesies tumbuhan pakan yang dijadikan sampel bervariasi. Penelitian masih perlu dilanjutkan untuk melengkapi data kandungan nutrisi pada bagian tumbuhan spesies lainnya yang juga menjadi sumber pakan bekantan di hutan karet.

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. and A.H. Mustari. 1994. Study on Ecology and Conservation of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus Wurmb) at Mahakam River Delta, East Kalimantan: Behaviour and Habitat Function. Annual Report of Pusrehut 5: 28-38. Bennett, E.L. and A.C. Sebastian. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. International Journal of Primatology 9 (3): 233-255. Bennett, E.L. and F. Gombek. 1993. Proboscis Monkeys of Borneo. Kuala Lumpur: Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd. & Koktas Sabah Berhad. Bismark, M. 1980. Populasi dan Tingkahlaku Bekantan (Nasalis larvatus) di Suaka Margasatwa Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Bogor: Laporan Lembaga Penelitian Hutan No. 357. Bismark, M. 1986. Studi habitat dan tingkahlaku bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai. Buletin Penelitian Hutan 474: 67-79. Bismark, M. 1987a. Sosio ekologi bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Rimba Indonesia 21 (2-4): 24-35. Bismark, M. 1987b. Strategi dan tingkah-laku makan bekantan (Nasalis larvatus) di hutan bakau, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan (492): 1-10. Boonratana, R. 2000. A short note on vigilance exhibited by proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Tigerpaper 27 (4): 21-22. Cowlishaw, G. and R. Dunbar. 2000. Primate Conservation Biology. Chicago: University of Chicago Press. Leinmßller, E., H. Steingass and K. Menke. 1991. Tannins in ruminant feedstuffs. Animal Research Development 33: 9-62. Perry, T.W., A.E. Cullison and R.S. Lowrey. 2003. Feeds & Feeding. 6th Ed. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Salter, R,E,, N.A. MacKenzie, N. Nightingale, K.M. Aken and P. Chai. 1985. Habitat uses, ranging behaviour, and food habitats of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak. Primates 26 (4): 436-451. Soendjoto, M.A. 2003. Adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus) terhadap Hutan Karet: Studi Kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. [Usulan Penelitian]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Soendjoto, M.A. 2004a. A new record on habitat of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) and its problems in South Kalimantan, Indonesia. Tigerpaper 31 (2): 17-18. Soendjoto, M.A. 2004b. Adaptasi bekantan terhadap habitat dan permasalahannya. Warta IWF 8 (1): 4-5. Soendjoto, M.A. 2005. Adaptasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) terhadap Hutan Karet: Studi Kasus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Soendjoto, M.A., Djami’at, Johansyah, and Hairani. 2002. Bekantan juga hidup di hutan karet. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (4): 27-28. Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, and H. Setijanto. 2003. Persebaran dan status habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Media Konservasi 8 (2): 45-51. Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, and H. Setijanto. 2005. Vegetasi tepi-baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di hutan karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas 6 (1): 40-44. Soendjoto, M.A., M. Akhdiyat, Haitami, and I. Kusumajaya. 2001. Bekantan di hutan galam: Quo vadis?. Warta Konservasi Lahan Basah 10 (1): 18-19. Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra, and M. Bismark. 1994. Studi Habitat, Sumber Pakan, dan Perilaku Bekantan (Nasalis larvatus) sebagai Parameter Ekologi dalam Mengkaji Sistem Pengelolaan Habitat Hutan Mangrove di Taman Nasional Kutai. Bogor: Laporan Akhir Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, IPB. Supriatna, J. and E.H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Swindler, D.R. 1998. Introduction to the Primates. Seattle: Washington Press. Yeager, C.P. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). International Journal of Primatology 10 (6): 497-530.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 39-43

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Variasi Jenis dan Kultivar Mangga di Madiun dan Sekitarnya; Pengembangan dan Permasalahannya The species and cultivars of mango in Madiun and its surroundings; the development and its problems NURUL SUMIASRI♥, JITNO RIJADI, DODY PRIADI Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911. Diterima: 19 Juli 2005. Disetujui: 29 Agustus 2005.

ABSTRACT The East Java province is one of distribution areas of mango in Indonesia. These plants can be found almost in all areas in that province. The central distribution in some regency namely Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi, Kediri and Tulungagung. The aim of this research was to know species diversities among diversity within species (cultivar) which was planted recently since the genetic erosion was going fast. Therefore several areas in Madiun and its surroundings (Ngawi, Nganjuk, Kediri, and Tulungagung) were selected for this study. The results as follows: there were two species mango planted in those areas namely Mangifera indica L. (14 cultivars) and Mangifera odorata Griff. (2 cultivars). According to the taste, can be classified into good (for example ‘arumanis’, ‘santog’,’madu’, ‘manalagi’, ‘golek’) and not too good taste (for example ‘kopyor’, ‘kelem’, ‘dodonilo’, ‘cempuro’). According to the diversity status,the following cultivars could be classified as endangered (i.e. pakel, madu, kopyor, santog gunung, dodonilo, cempuro and pelem lanang). Aside of those cultivars, however, we might find some cultivars which are commonly abundance (i.e. gadung, podang, podang gunung and podang sawahan). Besides that developing, marketing and processing still need to be developed to increase its added value, because in practice the marketing and processing still traditionally system. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: variation, species, cultivars, mango, Madiun.

PENDAHULUAN Mangga (Mangifera indica L.) termasuk famili Anacardiaceae banyak dijumpai di daerah Asia Tenggara terutama di kepulauan Melanesia. Tanaman ini telah dibudidayakan sejak 4000 tahun silam (Candole, 1984). Tanaman ini merupakan jenis tanaman komersial di Asia Tenggara dan Asia Selatan seperti, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand India, dan Pakistan. Tiga jenis buahbuahan yang mendapat prioritas untuk dikembangkan oleh pemerintah sebagai primadona hortikultur di Indonesia adalah pisang, jeruk dan mangga. Adapun jenis-jenis yang dimaksud adalah jenis yang termasuk tumbuhan asli (Setijati dkk., 1987 ). Mangga merupakan salah satu jenis buah-buahan di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Rismunandar, 1983). Dalam upaya pengembangan hortikultura, Departemen Pertanian RI mengembangan suatu proyek terpadu pada komoditi mangga di beberapa sentra tanaman mangga di Jawa Barat (Mahendra et al., 2002). Adapun salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan income penduduk pada daerah sebaran mangga secara agrobisnis melalui peningkatan produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran. salah satu daerah persebaran mangga lainnya yang juga ♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911. Tel.: +62-21-8754587 Fax.: +62-21-8754588 e-mail: nurulsumi@yahoo.com

berpotensi untuk dikembangkan adalah Jawa Timur (Said, 2002). Keanekaragaman kultivar mangga di setiap daerah persebaran berbeda misalnya kultivar mangga di Jawa Timur, misalnya: Madiun, Kediri, Tulungagung, dan Ngawi berbeda dengan di Jawa Barat. Pada saat ini, erosi genetika berjalan sangat cepat yang juga terjadi pada tanaman mangga. Hal ini disebabkan oleh beberapa kasus, misalnya penurunan populasi tanaman mangga karena daerah persebarannya dibangun menjadi kota dan pemukiman. Kultivar impor dijual dengan harga lebih murah dibandingkan kultivar lokal, dan masyarakat hanya membudidayakan mangga yang mempunyai nilai ekonomi tinggi misalnya mangga gadung, manalagi, dan lain-lain, sehingga mangga yang nilai ekonominya lebih rendah karena rasanya kurang enak misalnya mangga kopyor, kapuk dan lain-lain mulai ditinggalkan pembudidayaannya. Untuk menanggulangi erosi genetika tersebut, dilakukan beberapa upaya antara lain pelestarian plasma nutfah mangga secara ex situ seperti di Pasuruan dan Subang, serta gerakan penghijauan dengan menanam mangga di pekarangan seperti di Nganjuk. Dalam upaya pengembangan tanaman mangga, diperlukan data keanekaragaman kultivar mangga untuk tujuan peningkatan sifat genetiknya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kultivar mangga (IBPGR,1989) terutama sifat-sifat dari setiap kultivar tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadi sumber genetik untuk untuk meningkatkan kualitas mangga pada masa-masa yang akan datang.


40

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 39-43

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di kabupaten Madiun, Nganjuk, Kediri, dan Tulungagung, Propinsi Jawa Timur (Gambar 1). Penelitian dilakukan pada musim buah mangga, bulan Nopember 2004.

podang, cempuro, podang sawahan, manalagi, apel dan pelem lanang, sedangkan M. odorata hanya dua kultivar, yaitu: pakel dan kelem. Secara keseluruhan terdapat 16 kultivar mangga, terdiri 21 nomor (Tabel 1). Gambar morfologi buah mangga masak disajikan pada Gambar 2 dan 3.

A

B

C

F

G

H

K

Gambar 1. Daerah pengamatan di Madiun dan sekitarnya (warna merah).

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan mengamati kultivar mangga yang dibudidayakan penduduk, di kebun, pekarangan, dan tepi-tepi jalan. Selain itu dilakukan pengamatan kultivar mangga yang dijual dipasarpasar tradisional dan kultivar tersebut dianggap mempunyai nilai ekonomi. Pengamatan keanekaragaman kultivar dilihat dari bentuk morfologi dan warna buah. Untuk melengkapi data lapangan, dilakukan pula wawancara dengan penduduk dan instansi terkait. Pengumpulan data melalui wawancara dilakukan secara partisipatory method (Deptan, 2005). Di setiap kabupaten diambil 10 responden yang dianggap mewakili. Responden dipilih orang yang mempunyai kebun mangga minimal 20 pohon mangga, sehingga total populasinya kurang lebih 1000 pohon mangga.

L

D

E

I

J

M

Gambar 2. Kultivar mangga yang dijumpai di Madiun dan Nganjuk. Keterangan: A. madu, B. kelem, C. santog magetan, D. kopyor, E. podang, F. santog caruban, G. gadung, H. golek nganjuk, I. santog gunung, J. cempuro, K. dodonilo, L. podang Gunung, dan M. kopyor caruban.

A

B

C

F

G

H

D

I

HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman jenis dan kultivar mangga Di Madiun dan sekitarnya kultivar mangga yang umum dijumpai adalah gadung baik di lapangan maupun yang dijual di pasar tradisional. Hal ini disebabkan kultivar tersebut merupakan kultivar yang dipilih untuk tanaman penghijauan, di samping rasanya enak dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebagai tanaman penghijauan, mangga gadung tidak hanya dibudidayakan di pekarangan dan kebun, tetapi juga dibudidayakan sebagai tanaman tepi jalan seperti di Kabupaten Madiun. Bibit tanaman penghijauan ini disediakan oleh Dinas Pertanian Rakyat (Diperta) setempat Di lokasi pengamatan dijumpai dua jenis mangga, yaitu Mangifera odorata Griff dan Mangifera indica L. Berdasarkan jumlah populasinya, M. indica lebih banyak dibudidayakan dari pada M. odorata. M. indica dapat dijumpai sebanyak 14 kultivar, yaitu: madu, kopyor, santog, gadung, golek, santog gunung, dodonilo, podang gunung,

Gambar 3. Kultivar mangga yang dijumpai di daerah Kediri dan Tulungagung. Keterangan: A. gadung, B. Podang, C. sawahan, D. golek, E. golek banyakan, F. manalagi, G. pakel, H. pelem lanang, dan I. apel.

Pertanaman Beberapa jenis dan kultivar mangga yaitu pakel, kelem, dodonilo, cempuro, madu, kopyor, santog gunung, dan pelem lanang mengalami erosi genetika sehingga tergolong langka. Penyebabnya antara lain sebagai berikut: (CITES, 1997; Puslitbang Biologi, 2001) (i) Bentuknya kurang menarik (cempuro, pelem lanang) dan kurang disukai, sehingga petani jarang membudidayakan, akibatnya, lama kelamaan kultivar tersebut menjadi langka. Kasus pada pelem lanang (Gambar 3), mangga ini berukuran jauh lebih kecil dibandingkan kultivar lainnya, daging buahnya tipis


SUMIASRI dkk. – Kultivar mangga di Madiun dan sekitarnya

dan bijinya besar meskipun rasanya manis. (ii) Rasanya kurang enak (pakel, cempuro, dan kopyor). Mangga tersebut rasanya kurang manis dan asam sedangkan cempuro daging buahnya banyak mengandung serat. Mangga kopyor daging buahnya banyak mengandung air dan serat. Karena sifat-sifatnya demikian maka tidak dibudidayakan akhirnya menjadi langka. (iii) Kisaran persebarannya terbatas dan produksi per pohonnya rendah (mangga madu). Meskipun mempunyai potensi ekonomi tinggi (harga mahal), rasa manis seperti madu, dan daging buah bertekstur lembut mangga ini tergolong langka. (iv)

41

Secara umum, erosi genetika disebabkan oleh karena adanya pertambahan penduduk yang mendesak habitat pertanaman mangga misalnya daerah pertanaman mangga dikonversi menjadi pemukiman, pelebaran jalan, daerah industri, dan perkotaan Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka populasi tanaman mangga menjadi semakin jarang (golek dan manalagi). (v) Kultivar baru yang merupakan mangga pendatang dari daerah lain, misalnya mangga apel dari Thailand. Mengingat tanaman pendatang yang baru masuk ke daerah tersebut dan belum dikenal secara luas maka populasinya masih rendah/sedikit.

Tabel 1. Jenis dan kultivar mangga di daerah Madiun dan sekitarnya Sifat

Keterangan

Bentuk buah bulat telur; Kulit buah berwarna kuning bila masak; Daging buah kuning muda bila masak; Rasa kurang manis; Seratnya banyak Bentuk buah bulat; Kulit buah berwarna hijau muda bila masak; Daging buah kuning muda bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit

Langka

Mangifera indica L. Madu Sleko (Madiun)

Langka

4

Kopyor

Langka

5

Santog

6

Gadung

7

Golek

8

Santog gunung

9

Dodonilo

10

Podang gunung

11

Podang

12

Cempuro

13

Podang sawahan

14

Manalagi

15

Apel

16

Pelem lanang

Bentuk buah bulat; Kulit buah berwarna hijau tua bila masak; Daging buah kuning kemerahan bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Setiap pohon buahnya tidak lebat; Struktur perakarannya kuat. Pagotan (Madiun) Bentuk buah bulat telur; Kulit buah berwarna hijau kekuningan bila masak; Daging buah Caruban (Madiun) kuning terang bila masak; Rasa manis; Seratnya banyak; Kadar airnya banyak; Struktur perakarannya kuat. Pagotan Bentuk buah lonjong; Kulit buah berwarna kuning cerah bila masak; Daging buah (Madiun), kuning bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat; Kadar air Caruban (Madiun) sedikit; Struktur perakarannya kuat. Saradan Bentuk buah lonjong; Kulit buah berwarna hijau tua bila masak; Daging buah kuning (Madiun), bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat dan pulen; Kadar Berbek (Nganjuk) air sedikit; Struktur perakarannya kuat. Banyakan (Kediri) Nganjuk Bentuk buah lonjong, besar dan panjang; Kulit buah berwarna kuning bila masak; Berbek (Nganjuk) Daging buah kuning kemerahan bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur Banyakan (Kediri) daging buah padat dan pulen; Kadar air sedikit Nganjuk Bentuk buah lonjong, ukuran besar mendekati Golek; Kulit buah berwarna kuning cerah bila masak; Daging buah kuning bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat; Kadar air sedikit; Struktur perakarannya kuat. Bagor (Nganjuk) Bentuk buah bulat telur, ukuran kecil; Kulit buah berwarna hijau kekuningan bila masak; Daging buah kuning bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah lembek; Kadar air banyak Warujayeng Bentuk buah bulat telur, ukuran lebih besar dari pada podang sawahan; Kulit buah (Nganjuk) berwarna kuning kemerahan bila masak; Daging buah kuning kemerahan bila masak; Rasa manis; Seratnya sedang; Tekstur daging buah agak lembek; Kadar air sedang Caruban (Madiun) Bentuk buah bulat telur; Kulit buah berwarna hijau kekuningan bila masak; Daging buah kuning kemerahan bila masak; Rasa manis; Seratnya sedang; Tekstur daging buah agak lembek; Kadar air sedang Nganjuk Bentuk buah tidak beraturan; Kulit buah berwarna hijau kekuningan bila masak; Daging buah kuning bila masak; Rasa kurang manis; Seratnya banyak; Tekstur daging buah agak lembek; Kadar air sedang Brebek (Nganjuk) Bentuk buah bulat telur; Kulit buah berwarna kuning kemerahan bila masak; Daging buah kuning kemerahan bila masak; Rasa manis; Seratnya sedang; Tekstur daging buah agak lembek; Kadar air sedang Banyakan (Kediri) Bentuk buah bulat telur; Kulit buah berwarna hijau keabu-abuan bila masak; Daging buah putih kotor bila masak; Rasa manis sekali; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat; Kadar air sedikit Tulungagung Bentuk buah bulat seprti apel; Kulit buah berwarna hijau kemerahan bila masak; Daging buah putih kekuningan bila masak; Rasa agak masam; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat; Kadar air sedikit Tulungagung Bentuk buah lonjong dan panjang; Kulit buah berwarna hijau kekuningan bila masak; Daging buah kuning dan tipis bila masak; Rasa manis; Seratnya sedikit; Tekstur daging buah padat; Kadar air sedikit

No.

Kultivar

Daerah sebaran

I 1

Mangifera odorata Griff. Pakel Tulungagung

2

Kelem

II 3

Tulungagung

Populasi terbatas

Umum

Umum

Populasi rendah Langka

Langka

Umum

Umum

Langka

Umum

Jarang

Jarang

Langka

Keterangan: Berdasarkan derajat kelangkaan tanaman (Sumiasri, 1991), populasi jenis dan kultivar tanaman mangga yang dijumpai dapat dikategorikan: (i) Langka = yaitu jenis tanaman yang populasinya telah berkurang secara drastis, sehingga apabila faktor-faktor yang mengancam tidak dapat diatasi, maka akan terancam kelangsungan hidupnya dan punah; (ii) Umum = suatu jenis tanaman yang populasinya sering ditemui, (iii) Populasi rendah = jenis tanaman yang populasinya mulai menciut sampai kategori yang menjurus kerawanan; (iv) Jarang = Jenis tanaman yang penyebarannya terbatas/lokal dan keadaannya terancam sehingga jumlah populasinya terus berkurang.


42

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 39-43

Di dunia perbuahan, gaung Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia, bahkan ada yang berpendapat bahwa buah nasional Indonesia kini terdesak oleh buah impor. Mangga, pisang, pepaya, semangka, dan melon adalah lima buah utama yang banyak dikonsumsi masyarakat namun kualitas produk dan manajemen pemasarannya masih kalah bersaing dengan Malaysia yang sudah mengekspornya ke Singapura, Jerman, Inggris, Belanda, dan Perancis. Kultivar mangga Indonesia yang telah di ekspor ke Eropa dan Singapura adalah mangga arumanis (Trubus, 1994). Pemasaran buah mangga dipengaruhi beberapa faktor antara lain karakteristik daerah/lokasi, sumber daya manusia, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan inovasi dalam bidang pertanian. Untuk kepentingan ekspor, penampilan buah yang prima sangat diperlukan. Hal ini sangat ditentukan oleh cara budidaya dan penanganan lepas panen (Anonim, 1988). Budidaya mangga umumnya dilakukan di halaman rumah/kantor, pekarangan, tepi jalan, ladang, sawah, dan lereng-lereng gunung. Penanaman mangga di sawah biasanya dipersiapkan untuk perkebunan mangga. Persiapan lahan umumnya dilakukan dengan membuat 3 lubang tanam berukuran 60x60x60 cm . Sebagai pupuk dasar, pada lubang tanam tersebut diberi pupuk kandang (kotoran sapi) yang sudah menangas sebanyak 10 kg. Untuk pemeliharaan tanaman, pada umur dua tahun diberikan pupuk susulan dengan pupuk anorgaik (NPK) sebanyak 200 g per pohon. Pada umur tiga tahun diberikan pupuk susulan NPK sebanyak 300 g. Dengan cara ini pohon mangga dapat berbuah pada umur 4,5 tahun. Bersamaan dengan pemupukan dilakukan penggemburan tanah di sekitar tanaman. Pemeliharaan tanaman disesuaikan dengan kondisi lahan setempat, sehingga pemeliharaan tanaman mangga di Madiun berbeda dengan daerah lain, misalnya Indramayu (Anonim, 2001). Untuk kepentingan penghijauan, bibit mangga berasal dari okulasi yang diperoleh dari Kebun Bibit Hortikultura Madiun yaitu mangga gadung. Dengan cara ini produksi buah per pohon dapat mencapai 300-400 buah selama musim buah. Untuk menginventarisasi dan menyelamantkan spesies, kultivar buah unggul Indonesia, pada tahun 1991dan 1994 dilakukan Lomba Buah Unggul Nasional yang diselenggarakan oleh majalah Trubus. Lomba ini diikuti oleh hampir seluruh propinsi di Indonesia, pesertanya adalah petani, pengusaha,hobiis dan Dinas Pertanian. Pada lomba tahun 1994 pemenangnya adalah mangga arumanis dari Ngawi dan Madiun, mangga manalagi dari Situbondo dan Demak. Kegiatan semacam ini akan memicu gairah masyarakat/petani untuk bertanam buah-buahan lokal yang produktif, selain itu dari segi konservasi plasma nutfah merupakan pelestarian lekat lahan. Pemasaran Harga buah mangga pada dasarnya berfluktuasi sesuai ketersediaannya di pasaran. Pada puncak musim panen produksi kultivar yang umum dibudidayakan sangat melimpah, misalnya mangga podang, sehingga harganya merosot seperti di Pasar Banyakan, Kediri, harganya hanya Rp 1200,00 per kilogram. Pada awal musim buah, karena buah masih jarang dijumpai, harganya Rp 4000,00 per kilogram, dan pada akhir musim buah karena sediaan buah tinggal sedikit harganya juga lebih mahal naik Rp 3500,00 per kilogram, sehingga harga rata-rata dalam setahun sekitar Rp. 2900,00 per kilogram. Harga buah yang relatif murah ini lama kelamaan akan menyebabkan minat petani

untuk membudidayakan mangga secara intensif menurun, sehingga menurun pula populasi tanaman mangga di lapangan. Kondisi ini akan menyebabkan erosi genetika pada saatnya nanti. Pemasaran buah mangga dilakukan dengan berbagai cara, terutama sistem ijon. Pada sistem ini tanaman mangga yang belum dipanen (buah masih belum matang) dijual ke tengkulak, misalnya satu pohon mangga podang dapat dihargai sekitar Rp 100.000,00-200.000,00, tergantung kelebatan buah di pohon. Selain itu buah mangga dijual pula di tepi-tepi jalan/kios buah terutama di daerah wisata dengan harga jual yang relatif lebih mahal daripada harga pasar. Penjualan buah dilakukan juga di pasar-pasar tradisional, harga di sini relatif lebih murah dibandingkan di tempat lain. Dalam partai besar, mangga dijual di pasar khusus buah, misalnya Pasar Banyakan, Kediri. Pengembangan pasar domestik mangga seperti di pasar ini perlu dilakukan mengingat akan segera diberlakukannya pasar bebas dunia oleh World Trade Organization, termasuk ASEAN Free Trade Area (AFTA), dimana pasar domestik bebas dimasuki barang-barang impor. Hal ini merupakan resiko akibat banyaknya produk yang sama dari produsen-produsen di luar negeri. Sukar bagi Indonesia untuk membendung barang impor karena telah sepakat dan setuju menandatangani Perjanjian Bebas Dunia (WTO) sejak 1995. Sejak tahun 2000 telah dilakukan penentuan tarif bagi beberapa komoditas. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk memperkuat produksi lokal dengan cara meningkatkan mutu dan menjual dengan harga murah. Selama ini barang lokal seringkali lebih mahal daripada produk impor (KADIN, 2002), misalnya mangga apel dari Thailand yang telah masuk di pasar Madiun dan sekitarnya. Di pasar kawasan penelitian, buah mangga dijual dengan satuan kuintal dan dikemas dalam keranjangkeranjang buah yang terbuat dari bambu. Pengepakan buah perlu mendapat perhatian, karena pengepakan yang kurang baik akan mempercepat proses pembusukan. Kerusakan akibat pengepakan yang kurang baik dapat mencapai 25% (Broto dan Sabari, 1989). Penjualan dalam partai besar, pada umumnya untuk dipasarkan ke luar daerah misalnya ke Surabaya, Tulungagung, Surakarta dan lain-lain. Mangga kelas I dengan ciri-ciri tidak cacat, ukuran besar dan seragam, serta rasanya enak dipasarkan di swalayan dengan harga yang relatif lebih tinggi (Anonim, 2001). Penanganan pasca panen Sampai saat ini penanganan pasca panen buah mangga di Madiun dan sekitarnya belum dikembangkan secara intensif. Pada umumnya buah mangga dijual sebagai buah segar baik yang sudah maupun belum matang. Pada umumnya petani memanen atau menjual mangga ketika buahnya sudah cukup tua (kematangan 60%), sedangkan kegiatan pemasakan (pemeraman atau pengkarbitan) dilakukan oleh para pedagang. Akibatnya mutu produk masih beragam, tampilan fisik belum menarik, dan keragaman varietas (Supriatna, 2005). Penjualan buah yang belum matang biasanya untuk keperluan rujak. Mangga muda juga dapat diawetkan dengan kadar gula tinggi menjadi manisan baik dalam bentuk basah atau kering (Anonim, 2001) Penanganan pasca panen buah mangga selama ini masih dilakukan tanpa sentuhan teknologi pengolahan pasca panen yang cukup berarti. Hal ini memberi peluang usaha yang cukup luas dalam pengolahan pasca panen


SUMIASRI dkk. – Kultivar mangga di Madiun dan sekitarnya

serta pengembangan hortikultura komoditas mangga di Jawa Timur, misalnya industri sirup, selai, dan lain-lain; terlebih propinsi ini merupakan salah satu daerah sebaran mangga dan sentra produksi buah mangga di tanah air. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan teknologi tepat guna untuk meningkatkan keterampilan petani yang didukung oleh pemerintah daerah. Daging buah mangga muda mengandung asam, vitamin C dan Ca yang berbeda-beda kadarnya pada setiap kultivar (Yuniarti dan Suhardi, 1989). Sedangkan daging buah mangga yang telah matang pada 100 gr bahan mengandung kalsium 9 mg, fosfor 3 mg, besi 0,2 mg, retinol 1900, thiamin 0,06 mg, dan asam askorbat 41 mg (Lakitan, 1995). Di Thailand, pengawetan buah mangga dalam kaleng, sari buah mangga dan manisan mangga telah dilakukan dan merupakan industri besar dengan produk yang diekspor ke luar negeri. Hal ini sangat bermanfaat untuk memperoleh buah mangga di luar musim (Amiarsi dkk., 1989) serta sangat diperlukan mengingat pada musim buah mangga, produksi buah melimpah hingga busuk tanpa dimanfaatkan. Beberapa industri buah mangga yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain sirup, manisan dan jus dalam kemasan sachet. Untuk membantu usaha dalam skala kecil dan menengah serta memajukan keterampilan petani perlu adanya kerjasama dengan pihak lain seperti Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, seperti program IPTEKDA dimana petani dapat mengadopsi teknologi pasca panen yang lebih bernilai tambah.

KESIMPULAN Di Madiun dan sekitarnya, terdapat dua jenis mangga (16 kultivar), yaitu M. indica (14 kultivar) dan M. odorata (2 kultivar). Sifat baik maupun kurang baik yang terdapat pada mangga perlu dilestarikan untuk keperluan perakitan/pemuliaan tanaman. Tanaman mangga dibudidayakan di kebun, pekarangan, dan tepi-tepi jalan. Erosi genetika pada tanaman mangga telah terjadi sehingga menyebabkan beberapa kultivar mulai jarang dijumpai bahkan telah menjadi langka. Dalam upaya mengatasi erosi genetika dan menambah pendapatan petani telah digalakkan penghijauan dengan menggunakan tanaman mangga (mangga gadung). Permasalahan lain yang perlu diatasi adalah pemasaran dan penanganan pasca panen buah. Untuk mengatasi harga buah yang murah pada saat musim panen perlu dijajagi pemasaran ke luar daerah dengan memperbaiki teknik pengemasan buah. Untuk mangatasi panen yang berlimpah, perlu adanya

43

introduksi teknologi tepat guna pengolahan pasca panen misalnya industri sirup, selai, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA Amiarsi, D., Sabari S.D., dan S. Pratikno. 1989. Pengaruh kadar dan lama perendaman buah mangga dalam larutan garam dan gula terhadap mutu manisan basah. Penelitian Hortikultura 3 (4): 42-50. Anonim. 1988. Produksi Buah-buahan Tahun 1981-1986 di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Pertanian RI. Anonim. 2001. Mangga. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Broto, W. dan Sabari S.D. 1989. Pengaruh perendaman buah dalam larutan CaCl2 dan Ca(NO3)2 pada beberapa tingkat kevakuman terhadap pematangan mangga gedong. Penelitian Hortikultura 3 (4): 51-55. Candole, A.D. 1984. Origin of Cultivated Plant. London: Vegal Paul Trench and Co. CITES. 1997. CITES Criteria. www. highnorth.no/Library/Trade/CITES/ci-aniw.htm Departemen Pertanian (Deptan). 2005. Petunjuk Teknis Participatory Rural Appraisal (PRA) Program Rintisan Dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI. International Board of Plant Genetic Resources (IBPGR).1989. Descriptors for Mango. Rome: International Board for Plant Genetic Resources. KADIN. 2002. Pengembangan pasar domestik dan ekspor dalam menunjang pemasaran produk agribisnis. Lokakarya Nasional Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Sinergitas Pengembangan Kawasan. KAADIN, Jakarta, 4-5 Nopember 2002. Lakitan, B. 1995. Hortikultura. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Mahendra, M.S., M. Suryadi, and N. Padmono. 2002. Current status of the rural economy and measures for vitalizing it and increasing farmers’ income in Indonesia: development of substantial Gedong Gincu mango plantations in West Java In: Mori, Y., T. Hayashi and E. Highley (eds). Value addition to agricultural product: Towards increase of farmers’ income and vitalization of rural economy. Proceedings of 9 th JIRCAS International Symposium. Japan International Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS). Tsukuba, October, 16-17, 2002. Puslitbang Biologi. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. Rismunandar, 1983. Membudidayakan Tanaman Buah-Buahan. Bandung: Penerbit SInar Baru. Said, E.G. 2002. Mengembangkan pelaku dan manajemen agribisnis/ agroindustri nasional. Sosialisasi dan Pelatihan P-KSP, Kabupaten Pasir, Propinsi KalimantanTimur. Bapeda Kabupaten Pasir, Tanah Grogot, 12 Agustus 2002. Setijati, D. Sastrapradja, dan M.A. Rifai. 1987. Mengenal Nusantara Melalui Kekayan Floranya. Bogor: Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional. Sumiasri, N. 1991. Plasma nutfah nabati dan derajat kelangkaannya. Seminar Konservasi Tumbuhan Indonesia. Lembaga Biologi NasionalLIPI, Bogor, 15 Oktober 1991. Supriatna, A. 2005 Budidaya dan Prospek Pemasaran Mangga Gedong Gincu . www.litbang.deptan.go.id/artikel/one/98 Trubus. 1994. Buah Nasional yang Potensial. Trubus 25 (Desember 1994): 6-9. Yuniarti dan Suhardi. 1989. Penentuan saat petik dan lama penyimpanan mangga gadung untuk konsumsi segar. Penelitian Hotikultura 3 (3): 8993.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 44-48

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64 The relation between stomata index and drought resistant at rice somaclones of Gajahmungkur, Towuti, and IR 64 ENDANG GATI LESTARI♼ Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), Bogor 16111. Diterima: 19 Juli 2005. Disetujui: 29 Agustus 2005.

ABSTRACT Plant response to drought stress depends on the physiological and biochemical response of the individual plant. Plant resistant toward the drought stress is controlled by so many genes that identification toward the drought stress resistant plant could use one or several characters related to drought. In order to find out the relationship between stomata density and the drought stress resistant plant, observation on the stomata density at the lower leave epidermis of various rice (Oryza sativa L.) somaclones originated from radiated callus using gamma ray. The observed varieties are Gajahmungkur, Towuti, and IR 64. The plant observed is the ones selected drought resistant by using PEG, root penetration test to paraffin layer, and proline content test. Stomata density observation on several somaclone shows that the radiation treatment to the three varieties may change the stomata width, length and density. Stomata with the lower density than the control shows the higher resistant to the drought viewed from the variable of filled grain, at the stress treatment given in the experiment. Gajahmungkur variety, which is basically higher land rice, has the lower density of stomata than that of Towuti and IR 64. In conclusion, the stomata density can be applied as one indicator on the stress resistant level of rice. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: stomata, drought resistant, rice (Oryza sativa L.).

PENDAHULUAN Air di dalam jaringan tanaman selain berfungsi sebagai penyusun utama jaringan yang aktif mengadakan kegiatan fisiologis, juga berperan penting dalam memelihara turgiditas yang diperlukan untuk pembesaran dan pertumbuhan sel (Kramer, 1963). Peranan yang penting ini menimbulkan konsekuensi bahwa secara langsung atau tidak langsung defisit air tanaman akan mempengaruhi semua proses metabolisme dalam tanaman yang mengakibatkan terganggunya proses pertumbuhan (Pugnaire dan Pardos, 1999). Menurut Kramer (1963) kekurangan air di dalam jaringan tanaman dapat disebabkan oleh kehilangan air yang berlebihan pada saat transpirasi melalui stomata dan sel lain seperti kutikula atau disebabkan oleh keduanya. Namun lebih dari 90% transpirasi terjadi melalui stomata di daun. Selain berperan sebagai alat untuk penguapan, stomata juga berperan sebagai alat untuk pertukaran CO2 dalam proses fisiologi yang berhubungan dengan produksi. Stomata terdiri atas sel penjaga dan sel penutup yang dikelilingi oleh beberapa sel tetangga (Fahn, l982). Mekanisme menutup dan membuka-nya stomata tergantung dari tekanan turgor sel tanaman, atau karena perubahan konsentrasi karbondioksida, berkurangnya cahaya dan hormon asam absisat (Lakitan, 1996). Stomata berperan penting sebagai alat untuk adaptasi

♼ Alamat korespondensi: Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor 16111. Tel. +62-251- 337975, Fax. +62-251-338820 e-mail: borif@indo.net.id

tanaman terhadap cekaman kekeringan. Pada kondisi cekaman kekeringan maka stomata akan menutup sebagai upaya untuk menahan laju transpirasi. Senyawa yang banyak berperan dalam membuka dan menutupnya stomata adalah asam absisat (ABA). ABA merupakan senyawa yang berperan sebagai sinyal adanya cekaman kekeringan sehingga stomata segera menutup (Pugnaire dan Pardos, 1999). Beberapa tanaman beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dengan cara mengurangi ukuran stomata dan jumlah stomata (Price dan Courtois, 1991). Mekanisme membuka dan menutup stomata pada tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan sangat efektif sehingga jaringan tanaman dapat menghindari kehilangan air melalui penguapan (Price dan Courtois, 1991; Pugnaire dan Pardos,1999). Mekanisme toleransi pada tanaman sebagai respon adanya cekaman kekeringan meliputi (i) kemampuan tanaman tetap tumbuh pada kondisi kekurangan air yaitu dengan menurunkan luas daun dan memperpendek siklus tumbuh, (ii) kemampuan akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam, (iii) kemampuan untuk melindungi meristem akar dari kekeringan dengan meningkatkan akumulasi senyawa tertentu seperti glisin, betain, gula alkohol atau prolin untuk osmotic adjustment dan (iv) mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah hilangnya air melalui daun (Nguyen et al., 1997). Dengan adanya osmotic adjustment tersebut memungkinkan pertumbuhan tetap berlangsung dan stomata tetap membuka. Dari penghitungan kerapatan stomata pada somaklon padi (Oryza sativa L.) yang dianggap tahan kekeringan hasil seleksi in vitro ini diharapkan dapat diidentifikasi


LESTARI – Kerapatan stomata padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64

somaklon yang tahan kekeringan. Perbaikan genetik tanaman yang toleran kekeringan memerlukan identifikasi yang berhubungan dengan mekanisme ketahanan kekeringan yang bermanfaat untuk seleksi pada populasi yang besar (Blum dan Ebercon, l981). Tujuan penelitian adalah untuk melihat hubungan antara kerapatan stomata dengan ketahanan terhadap kekeringan pada somaklon padi hasil radiasi dan seleksi in vitro. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kriteria seleksi ketahanan tanaman padi terhadap kekeringan.

BAHAN DAN METODE Bahan tanaman yang diamati adalah berbagai somaklon varietas Gajahmungkur, Towuti dan IR 64 hasil radiasi dan seleksi in vitro. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian Bogor, dari bulan Januari s.d. Nopember 2004. Somaklon Gajahmungkur diamati sebanyak 5 nomor, Towuti 5 nomor dan IR 64 sebanyak 6 nomor, sebagai kontrol digunakan tanaman induk tanpa perlakuan radiasi dan seleksi. Perlakuan radiasi yang diberikan pada eksplan kalus sebagai berikut: pada varietas Gajahmungkur dan Towuti sebesar 1000, 1500 dan 2000 rad sedangkan pada varietas IR 64 sebesar 300, 500, 700 rad, dan seleksi in vitro menggunakan (0, 5, 10 dan 15% PEG). Tunas yang didapatkan kemudian ditanam di rumah kaca untuk diseleksi yang tahan kekeringan. Tanaman hasil seleksi in vitro tersebut diseleksi terhadap kekeringan dengan mengecambahkan benih menggunakan larutan PEG (BM 6000) 20% untuk memberikan stres osmotik. Benih yang berkecambah kemudian diseleksi lebih lanjut dengan uji daya tembus akar pada lapisan lilin. Somaklon yang dianggap mempunyai ketahanan terhadap kekeringan kemudian diuji kandungan prolinnya dan dilanjutkan dengan perlakuan cekaman kekeringan di rumah kaca. Dari seleksi tersebut didapatkan beberapa somaklon yang diduga tahan terhadap kekeringan. Beberapa nomor diambil sebagai sampel untuk diamati karapatan stomatanya. Pengamatan indeks stomata pada daun tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: daun difiksasi dalam alkohol 70%, kemudian larutan fiksatif dibuang diganti dengan akuades. Selanjutnya direndam dalam larutan HNO3 25% selama 15-30 menit untuk menghancurkan jaringan mesofil. Sebelum disayat menggunakan silet, daun tersebut terlebih dahulu dicuci menggunakan akuades. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikat, sayatan epidermis direndam dalam larutan bayclin selama 1-5 menit kemudian dicuci menggunakan akuades. Sayatan epidermis yang telah didapatkan kemudian diwarnai dengan pewarna safranin selama satu menit kemudian dicuci menggunakan akuades. Sediaan berupa lapisan epidermis diletakkan di atas gelas obyek kemudian ditetesi gliserin 10% dan ditutup dengan gelas penutup. Peubah yang diamati: jumlah stomata tiap bidang pandang, panjang serta lebar stomata. Penghitungan dilakukan pada 10 bidang pandang yang berbeda. Berikut rumus penghitungan stomata: Kerapatan stomata =

Indeks stomata =

Jumlah stomata Satuan luas bidang pandang Jumlah stomata Jumlah stomata + sel epidermis

45

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan pada epidermis daun bagian bawah dari varietas Gajahmungkur, Towuti dan IR 64, menunjukkan bahwa susunan epidermis permukaan bagian bawah daun terdiri atas stomata, sel panjang, sel silika, dan sel gabus. Sel penutup pada kedua permukaan berbentuk halter dan tersusun dalam deretan sejajar (Gambar 1). Varietas Gajahmungkur mempunyai stomata dengan kerapatan paling rendah, identifikasi yang telah dilakukan oleh Suardi (1998) menunjukkan bahwa Gajahmungkur termasuk dalam padi gogo yang tahan kekeringan. Kerapatan stomata pada suatu tanaman berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, demikian pernyataan Mc Cree dan Davis (1994) dan sesuai dengan hasil penelitian Sulistyaningsih et al. (1994) bahwa ukuran stomata dan kerapatan stomata berkaitan dengan ketahanan terhadap cekaman air. Pugnaire dan Pardos (1999) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap cekaman kekeringan antara lain dengan modifikasi daun yaitu mengurangi luas daun. Tanaman yang tahan kekeringan mengembangkan sejumlah strategi yang berhubungan dengan proses fisiologi. Mekanisme ketahanan kekeringan tersebut dibagi menjadi tiga kategori yaitu escape, avoidan dan toleran. Yang termasuk dalam escape meliputi perkembangan daun menjadi lebih sempit dan mempunyai lapisan kutikula tebal termasuk jumlah stomata pada epidermis bagian bawah, dan kemampuan stomata menutup dengan cepat (Courtois dan Lafitte, 1999). Daun genotipe padi gogo yang toleran terhadap keke-ringan berbeda dengan yang peka apabila dilihat dari warna kehijauan (greenes), luas, ketebalan, serta bentuknya (Soepandi et al., 1999; Chozin et al., 1999). Selain itu anatomi daun seperti ukuran palisade, klorofil dan stomata sangat menentukan efisiensi fotosintesis (Sahardi, 2000). Selain stomata dijumpai pula sel lain yaitu sel buliform yang berperan sebagai alat untuk adaptasi ter-hadap cekaman kekeringan, yang umumnya dijumpai pada Gramineae dan beberapa monokotil. Sel tersebut lebih besar dibandingkan sel epidermis, fungsi sel tersebut untuk beradaptasi dengan menggulung daun pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan (Price dan Courtois, 1991). Hasil penelitian Poejiastuti (1994) pada studi komparatif anatomi daun beberapa genotipe kedelai yang peka dan yang toleran terhadap cekaman kekeringan menunjukkan adanya perbedaan kerapatan stomata pada genotipe yang tahan dan yang peka, adanya penyiraman atau sebaliknya pada perlakuan cekaman kekeringan tidak menimbulkan adanya perubahan kerapatan stomata. Penelitian Miskin et al. (1992) menunjukkan kerapatan stomata yang tidak berbeda pada tanaman yang tumbuh di dalam lingkungan yang berbeda. Sulistyaningsih et al. (1972) mengamati stomata dari beberapa anggota genus Saccharum yang tahan kekeringan, dan dapat disimpulkan bahwa ukuran stomata pada tanaman tersebut lebih kecil dengan kerapatan yang rendah, selain itu didapatkan adanya sel buliform berukuran besar dengan kerapatan lebih tinggi. Pada penelitian ini stomata yang diamati diambil dari somaklon asal kalus yang telah diberi perlakuan radiasi dan seleksi in vitro. Radiasi menggunakan sinar gamma terbukti dapat menimbulkan perubahan baik pada tingkat jaringan maupun pada tingkat sel. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dickison (2000) bahwa radiasi ionisasi dapat menyebabkan adanya perubahan pada sel palisade, sel spons atau peningkatan atau penurunan jaringan berkas pengangkut, adanya perubahan anatomi tersebut pada umumnya diikuti oleh perubahan aktivitas fisiologi.


46

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 44-48

Tabel 1. Kerapatan dan ukuran stomata pada beberapa somaklon Gajahmungkur, Towuti dan IR 64. Rerata Rerata Perlakuan radiasi dan Somaklon 2 panjang kerapatan/mm seleksi in vitro (Âľm) Gajahmungkur Kontrol (benih) G0 132,91 26,07 1500 rad (20% PEG) GM 9,1 121,15 25,71 1500 rad (20% PEG) GM 14,3 277,42 22,5 0 rad (0% PEG) GM 1,2 193,03 23,15 1500 rad (20%PEG)) GM 6,2 193,03 23,15 1500 rad (0% PEG) GM 24,3 143,45 26,07 Towuti Kontrol (benih) T0 581,37 20,35 1000 rad ( 10%PEG) T 19,1 397,67 22,5 (0 rad 0% PEG) T 23 209,76 32,14 1500 rad (0% PEG) T 4,2,2 275,31 26,66 !500 rad (15%PEG) T2 253,16 27,91 1000 rad (10%PEG) T 21,2 175,10 27,91 IR 64 Kontrol (benih) IR 0 325,49 25,17 500 rad (0%PEG) IR 13 418,77 23,75 700 rad (15% PEG) IR 16 306,50 23,21 500 rad (0% PEG) IR 11 277,57 21,07 700 rad (15%PEG) IR 15 203,43 20,71 500 rad (0% PEG) IR 3 225,73 27,91 500 rad (0% PEG) IR 7,1 161,39 26,25 Keterangan: Gajahmungkur, T=Towuti, IR = IR 64.

Rerata lebar (Âľm) 16,42 15,35 17,08 13,6 13,63 16,42 14,28 15,83 18,57 16,66 17,08 17,08 14,28 17,5 13,92 13,57 15 17,08 14,16

Penghitungan jumlah stomata pada beberapa bidang pandang terhadap somaklon yang diamati menunjukkan bahwa kerapatan stomata pada Gajahmungkur paling rendah dibanding Towuti dan IR 64. Karakter genetik stomata yang menentukan tingkat adaptasi tanaman terhadap lingkungan kering dan kerapatan stomata yang rendah merupakan potensi untuk meningkatkan ketenggangan terhadap defisit air. Pada tanaman induk sebagai kontrol mempunyai kerapatan stomata sebesar 132,91/mm2 sedang pada berbagai somaklon yang diamati mempunyai kerapatan stomata terendah sebesar 121,15/mm2 dan tertinggi 277,42/mm2 (Tabel 1). Pada varietas Gajahmungkur tersebut perlakuan radiasi sampai 1500 rad tampaknya tidak menyebabkan kerapatan stomata menjadi lebih rendah dibanding dengan kontrol. 2 Namun demikian kerapatan stomata sebesar 277,42/mm masih dianggap rendah bila dibandingkan dengan somaklon asal Towuti dan IR 64, sehingga diduga penguapan melalui stomata dapat diminimalkan. Pengamatan terhadap panjang dan lebar stomata pada beberapa somaklon tersebut menunjukkan adanya perubahan menjadi lebih pendek dan lebih sempit dibandingkan tanaman induk seperti pada somaklon GM 14.3, GM 6.2 dan GM 24.3 yang dianggap tahan terhadap cekaman kekeringan berdasarkan uji cekaman kekeringan di rumah kaca (Lestari, 2005) mempunyai kerapatan 2 stomata (per mm ) lebih rendah dan menjadi berkurang panjang dan lebarnya (Tabel 1). Dari ketiga varietas yang diamati diperoleh bahwa kerapatan stomata tertinggi dijumpai pada somaklon varietas Towuti, pada varietas tersebut pada tanaman yang berasal dari benih tanpa perlakuan radiasi kerapatan stomata tiap mm2 sebesar 581,37 sedang pada tanaman yang berasal dari kalus yang diradiasi pada umumnya mempunyai kerapatan yang lebih rendah. Kerapatan terendah sebesar 175,10/mm2 pada somaklon T21.2 asal kalus diradiasi dengan dosis 1000 rad dan kerapatan tertinggi sebesar 397.67/mm2 pada somaklon T19.1 asal kalus diradiasi dengan dosis 1000 rad (Tabel 1). Dengan demikian pada varietas Towuti tersebut menunjukkan adanya hubungan antara tanaman yang tahan terhadap

kekeringan dengan kerapatan stomata yang rendah. Pengamatan terhadap ukuran stomata (panjang dan lebar) tampaknya tidak ada penurunan ukuran yang nyata karena pada umumnya stomata menjadi lebih panjang atau menjadi lebih lebar. Kerapatan stomata pada varietas IR 64 pada umumnya lebih rendah dibandingkan varietas Towuti namun lebih tinggi dibanding Gajahmungkur. Kerapatan stomata pada tanaman hasil seleksi in vitro terseleksi yang tahan kekeringan pada umumnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan kontrol, hal ini menunjukkan bahwa induksi mutasi dapat menimbulkan perubahan anatomi antara lain kerapatan stomata menjadi lebih rendah. 2 Kerapatan stomata paling rendah sebesar 161,39/mm dijumpai pada somaklon IR 7.1 dan tertinggi pada somaklon 2 IR 13 sebesar 418,77/mm . Pada tanaman yang berasal 2 dari benih, kerapatan stomatanya sebesar 325,48/mm . Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada umumnya panjang stomata pada beberapa somaklon IR 64 ini juga menurun bila dibandingkan dengan kontrol. Stomata terpanjang adalah 27,91 Âľm dan terpendek 20,71 Âľm. Penghitungan indeks stomata yaitu jumlah stomata pada satu bidang pandang dibagi dengan jumlah stomata dan jumlah sel panjang menunjukkan angka yang bervariasi. Pada somaklon Gajahmungkur memberikan angka lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman induk kecuali pada somaklon GM 9.1, stomata pada tanaman kontrol sebesar 0,44 sedangkan pada somaklon GM 9.1 hanya 0,22. Indeks stomata pada somaklon varietas Towuti juga bervariasi karena ada yang meningkat tetapi ada pula yang berkurang. Hasil yang berbeda dihasilkan pada varietas IR 64, somaklon varietas IR 64, pada umumnya lebih tinggi dibanding kontrol. Indeks stomata pada somaklon ketiga varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks stomata pada beberapa somaklon Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64. Perlakuan radiasi dan seleksi in vitro Gajahmungkur Kontrol (benih) 1500 rad (20% PEG) 1500 rad (20% PEG) 0 rad (0% PEG) 1500 rad (20%PEG)) 1500 rad (0 PEG) Towuti Kontrol (benih) 1000 rad (10%PEG) 0 rad (0%PEG) 1500 rad (0% PEG) !500 rad (15%PEG) 1000 rad (10%PEG) IR 64 Kontrol (benih) 500 rad (0%PEG) 700 rad (15% PEG) 500 rad (0% PEG) 700 rad (15%PEG) 500 rad (0% PEG) 500 rad (0% PEG)

Somaklon

Indeks stomata

Gajahmungkur GM 9.1 GM 14.3 GM 1.2 GM 6.2 GM 24.3

0,44 0.22 0.44 0.46 0,55 0,51

Towuti T 19.1 T 23 T 4.2.2 T2 T 21.2

0,64 0,80 0,53 0,62 0,64 0,55

IR 64 IR 13 IR 16 IR 11 IR 15 IR 3 IR 7.1

0.43 0,55 0,59 0,44 0,59 0,65 0,50

Indeks stomata pada ketiga varietas yang diuji menunjuk-kan pola yang sama dengan kerapatan stomata/mm2 pada beberapa somaklon menunjukkan indeks stomata yang lebih rendah dibandingkan induknya. Somaklon yang mempunyai kerapatan/mm2 lebih rendah dan indeks stomata lebih rendah dianggap lebih tahan terhadap kekeringan. Hasil yang berbeda dihasilkan pada penelitian Qosim et al., 2005. Pada penelitian tersebut


LESTARI – Kerapatan stomata padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64

didapatkan korelasi negatif antara kerapatan stomata dan trikomata dengan ketahanan penyakit karat pada beberapa kultivar krisan. Sel stomata pada varietas IR64, nampak berderet deret rapat membentuk garis lurus sejajar dengan sel panjang, stomata tersebut memenuhi bidang pandang (Gambar 2). Perlakuan radiasi dan seleksi yang menimbulkan perubahan anatomi dapat dilihat pada Gambar 3, pada tanaman asal benih (Gambar 3A) stomata yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan pada somaklon hasil radiasi dan seleksi in vitro (Gambar 3B). Stomata pada varietas Towuti tampak paling tinggi kerapatannya, bila dibandingkan dengan varietas Gajahmungkur dan IR 64. Stomata pada varietas Towuti berderet-deret beberapa lapis, dan memenuhi bidang pandang (Gambar 4B), namun pada beberapa somaklon menghasilkan stomata dengan kerapatan yang rendah (Gambar 4A). Perlakuan radiasi dan seleksi dapat menimbulkan perubahan anatomi antara lain stomata yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan pada somaklon hasil radiasi dan seleksi in vitro. Stomata pada varietas Towuti tampak paling tinggi kerapatannya, bila dibandingkan dengan varietas Gajahmungkur dan IR 64. Stomata pada varietas Towuti berderet-deret beberapa lapis, dan memenuhi bidang pandang, namun pada beberapa somaklon menghasilkan stomata dengan kerapatan yang rendah. Levit (1951) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi

47

ketahanan tanaman terhadap kekeringan termasuk diantaranya kecenderungan untuk memperlambat dehidrasi seperti absorbsi air permukaan secara efisien dan sistem konduksi air, luas permukaan daun dan strukturnya.

c d a

b

Gambar 1. Sayatan epidermis bawah daun, stomata berbentuk halter berderet-deret di antara sel tetangga. Perbesaran 40x10. Keterangan: a. Stomata, b. Sel panjang, c. Sel gabus, d. Sel silika.

A B Gambar 2. Stomata varietas IR 64, kerapatan stomatanya cukup tinggi.

A B Gambar 3. Stomata Gajahmungkur dari tanaman kontrol (A) dan dari tanaman somaklon No 9.1(B).


48

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 44-48

A Gambar 4. Stomata varietas Towuti kerapatannya sangat tinggi.

B

Pendekatan anatomi ini penting dilakukan guna mendukung pendekatan fisiologi maupun morfologi dalam menentukan genotipe yang peka maupun yang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman kekeringan. Korelasi antar karakter dapat dijadikan sebagai alat seleksi tidak langsung terhadap karakter utama. Seleksi tidak langsung akan berhasil jika karakter tersebut dapat diukur lebih cepat dan akurat dibandingkan karakter utama (Wricke dan Weber, l986). Kerapatan stomata dapat mempengaruhi dua proses penting pada tanaman yaitu fotosintesis dan transpirasi. Menurut Miskin et al., (1972) tanaman �barley� yang mempunyai kerapatan stomata yang tinggi akan memiliki laju transpirasi yang lebih tinggi daripada tanaman dengan kerapatan stomata yang rendah.

Fahn, A. l982. Anatomi Tumbuhan. Penerjemah: Soudiarto, A., T.. Koesoemaningrat, M. Natasaputra, dan H. Akmal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kramer, P.J. 1963. Water stress and plant growth. Agronomic Journal 55: 31-35. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: Rajawali Pers. Lestari, E.G. 2005. Seleksi in Vitro untuk Ketahanan terhadap Kekeringan pada Tanaman Padi. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Levit, J. 1951. Frost, drought and heat resistance. Annual Review of Plant Physiology 2: 245-268. Mc Cree, K.J. and S.D. Davis. 1994. Effect of water stress and temperature on leaf and on size and number of epidermal cells in grain sorghum. Crop Science 14: 751-705. Miskin, E.K., D.C. Rasmusson, and D.N. Moss. 1972. Inheritance and physiological efects of stomatal frequency in barley. Crop Science 12: 780-783. Nguyen, H.T., R.C. Babu, and A. Blum. 1997. Breeding for Drought Resistance in Rice Physiology and Molecular Genetic Considerative. Crop Science 37: 1426-1434. Poejiastuti, E. 1994. Studi Komparatif Anatomi Daun beberapa Genotipe Kedelai (Glycine max L. ) yang Peka dan Toleran terhadap Cekaman Kekeringan. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor. Price, A, and B. Courtois. 1991. Mapping QTLs Associated with Drought Resistance in Rice; Progress Problem and Prospect. Los Banos: International Rice Research Institute. Pugnaire, F.I., and J. Pardos. 1999. Constrains by water stress on plant growth. In Passarakli, M. (ed.) Hand Book of Plant and Crop Stress. New York: John Wiley & Sons. Qosim, W.A., M. Rachmadi, Hersanti, dan A. Suwarti. 2005. Korelasi antara karakter kerapatan trikoma dan stomata dengan ketahanan penyakit karat pada beberapa kultivar krisan pot. Zuriat 16 (1): 52-59. Sahardi. 2000. Seleksi Plasmanutfah dan Karakter Morfologi dan Pola Pewarisan Sifat Toleransi terhadap Naungan pada Padi Gogo. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Soepandi, D.M., A. Chozin, Sastrosumarjo, Suwarno, A.P. Lontoh, and T. Takano. 1999. Upland rice tolerance to shade: field screening and preliminary study on physiological mechanism. Proceeding of International Plant Breeding Symposium. Okayama, Japan. September 25-26, 1999. Suardi, D. 1988. Pemilihan varietas padi tahan kekeringan. Jurnal Litbang Pertanian 7 (1): 1-9. Sulistyaningsih, Y.C, Dorly, dan A. Hilda. 1994. Studi anatomi daun Saccharum spp. sebagai induk dalam pemuliaan tebu. Hayati 1 (2): 3235. Wricke, G, and W.F. Weber. l986. Quantitative Genetic and Selection in Plant Breeding. New York: Walter de Gruyter.

KESIMPULAN Somaklon Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64 yang dianggap tahan kekeringan pada umumnya mempunyai kerapatan stomata lebih rendah dibanding tanaman induknya. Tanaman yang dianggap tahan tersebut pada umumnya berasal dari kalus yang diinduksi mutasi menggunakan irradiasi sinar gamma.

DAFTAR PUSTAKA Blum, A., and A. Ebercon. l981. Cell membrane stability as a measure of drought and heat tolerance in wheat. Crop Science 21:43-47. Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo, and Suwarno. 1999. Physiology and Genetic of Upland Rice Adaptation to Shade. Final report of Graduate Team Research Grant. Jakarta: URGE Project. Directorate General of Higher Education. Ministry of Education and Culture Courtois, B., and R. Lafitte. 1999. Improving rice for drought-prone upland envinronments. In Ito-O’Toole, J. and B. Hardy (eds.) Genetic Improvements. Los Banos: International Rice Research Institute. Dickison, W.C. 2000. Integrative Plant Anatomy. New York: John Wiley & Sons.


ISSN: 1412-033X Januari 2006

BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 49-53

Analisis Vegetasi Hutan pada Beberapa Ketinggian Tempat di Bukit Wawouwai, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara Forest vegetation analysis of several altitudes in Wawouwai hill, Wawonii Island, Southeast Sulawesi PURWANINGSIH♼ Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 29 Mei 2005. Disetujui: 19 Desember 2005.

ABSTRACT Study on forest vegetation at some different altitudes in Wawouwai hill, Wawonii Island, Southeast Sulawesi had been carried out by using quadrate method. The sampled plots were 100 m, 300 m and 500 m asl. The aims of this research were to know the species composition and forest structure of the reserve forest remain in Wawonii Island. Based on analyzed data from the three plots, it has been recorded totally 88 species plants belong to 70 genera and 39 families. Dominant species on each plot was different. The dominant species in plot I were Palaquium obovatum, Polyalthia sp., Santiria laevigata, and Garcinia sp. The dominant species in plot II were Kjellbergiodendron celebicum, Baccaurea javanica, Santiria laevigata, and Calophyllum soulatri. Xanthostemon confertiflorum, Podocarpus neriifolius, Garcinia celebica and Gulubia sp. were dominant species in plot III. Forest structure was reflected by tree height and diameter classes. Forest structure usually was catagorized in strata B (<30 m) and C (<20 m). But, in the plot I & II some emergent trees (strata A) with up to > 30 m high were still found, however in plot III most of trees had a small diameter and occupied strata C (< 10 m high). Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: vegetation, forest, altitude, Wawonii, Southeast Sulawesi.

PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau (sebagian besar berupa pulau-pulau kecil) sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya alam daratan (terestrial) terutama sumberdaya hutan yang belum banyak diketahui dan tergali. Salah satu di antara pulau-pulau kecil tersebut adalah Pulau Wawonii (40.480 ha) yang terletak di Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara (Anonim,1976). Pada tahun 1995, 45% (18.216 ha) pulau ini masih tertutup hutan, sekitar 9.275 ha ditetapkan sebagai hutan negara dan 8758 ha sebagai hutan kemasyarakatan. Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi perubahan ekosistem akibat pembukaan hutan untuk dialihkan menjadi areal perkebunan. Pembukaan hutan yang semula berlokasi di kawasan Hak Penguasaan Hutan (HPH) lambat laun merambah hutan lindung yang sebagian besar masih berupa hutan primer. Hutan primer ini berfungsi untuk melindungi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan diperkirakan masih menyimpan jenis-jenis endemik. Dalam perkembangan selanjutnya akibat pertambahan jumlah penduduk, perluasan pemukiman serta kegiatan industri, pariwisata dan transportasi laut, pulau kecil ini menghadapi tekanan berat berupa pembukaan hutan untuk dieksploitasi sumberdaya alamnya. Pembukaan hutan yang tidak terkendali telah menye-babkan sebagian areal hutan rusak. Kerusakan ini tampaknya tidak terhindarkan dan semakin lama semakin luas. Perusakan hutan terparah ♼ Alamat korespondensi: Jl. Ir. H. Juanda 22, Bogor 16122. Tel.: +62-251-322035. Fax.: +62-251-336538. e-mail: herbogor@indo.net.id

dilakukan oleh perusahaan HPH, sehingga luasan hutan produksi dan hutan lindung semakin berkurang. Dampak negatif kerusakan ini telah dirasakan penduduk setempat seperti terjadinya perubahan aliran sungai, yang sebelumnya air jernih sekarang menjadi berlumpur dan tersumbat endapan tanah. Pulau Sulawesi secara biogeografi termasuk dalam kawasan Wallacea yang dicirikan oleh perpaduan flora dan fauna Asia-Australia dengan tingkat endemisitas jenis yang tinggi (WWF, 1980). Eksplorasi flora dan fauna belum pernah dilakukan di Pulau Wawonii sejak jaman Belanda, sehingga data biologi terutama spesimen floranya belum tercatat di Herbarium Bogoriense, padahal diduga banyak jenis-jenis baru yang endemik di pulau ini. Data vegetasi juga belum pernah dilaporkan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur hutan ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan untuk pengelolaan kawasan ini di masa yang akan datang.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda petak yaitu membuat petak-petak cuplikan pada beberapa ketinggian tempat. Di lokasi ini dibuat 3 petak penelitian 2 dengan luas masing-masing 0,5 ha (50x100 m ) untuk 2 petak yaitu pada ketinggian 100 m dpl (petak I), 300 m dpl (petak II), dan pada ketinggian 500 m dpl. (petak III) luasnya 0,3 ha (50x60 m2). Setiap petak dibagi menjadi 50 2 sub petak dengan luas 10x10 m , yang di dalamnya sub 2 petak lagi seluas 5x5 m . Pencuplikan data pohon (diameter


50

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 49-53

2 >10 cm) dilakukan pada sub petak ukuran 10x10 m , sedangkan anak pohon (diameter 2-9,9 cm) pada sub-petak 2 ukuran 5x5 m . Setiap individu pohon dan anak pohon yang terdapat di dalam petak diukur diameter batang, tinggi batang, bebas cabang, dan koordinatnya. Contoh daun dari setiap pohon yang diukur diambil untuk identifikasi. Kerapatan, frekuensi dan nilai penting dianalisis berdasarkan rumus Cox (1976). Nilai kekayaan jenis pohon dihitung berdasarkan: (i) indeks Menhinnieck, (ii) indeks diversitas Shanon (H’), dan (iii) indeks kemerataan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974).

HASIL DAN PEMBAHASAN

dan masih banyak jenis-jenis pohon berkualitas prima. Keanekaragaman jenis tumbuhan di berbagai zonasi pemanfaatan bervariasi, semakin jauh dengan pemukiman mempunyai diversitas jenis yang semakin tinggi. Pada areal hutan produksi tampak tingkat kerusakan hutan lebih tinggi dibandingkan hutan lindung, karena masyarakat dengan mudah dapat memasuki kawasan tersebut dan jaraknya dari pemukiman tidak terlalu jauh. Komposisi jenis Hasil pencacahan pada tiga petak cuplikan dengan luas total 1,3 hektar tercatat sebanyak 1755 individu pohon dan anak pohon, meliputi 88 jenis, tergolong dalam 70 marga dan 39 suku dengan total luas bidang dasar 34.48 m². Dari seluruh jumlah individu tersebut, 871 individu di antaranya berupa pohon (diameter ≥ 10 cm) yang terdiri atas 68 jenis, 56 marga dan 36 suku dengan kerapatan 548 pohon/ha dan luas bidang dasar 23,28 m². Pohon yang terdapat di ketiga petak cuplikan umumnya berperawakan kecil dengan rata-rata diameter batang berkisar antara 15-25 cm. Besarnya jumlah individu pohon berukuran kecil pada ketiga petak penelitian diduga erat kaitannya dengan letak lokasi dan tingkat gangguan akibat tekanan masyarakat. Persentase pohon berukuran kecil paling banyak dijumpai (86,48%) di daerah punggung bukit. Tampaknya daerah punggung bukit dengan lapisan tanah yang tipis dan berbatu menjadi kendala bagi pertumbuhan berbagai jenis pepohonan. Keadaan yang sama juga dijumpai pada beberapa daerah punggung bukit di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu dan beberapa daerah punggung bukit lainnya (Partomihardjo, 2001; Purwaningsih, 2005). Prameter data pohon dan anak pohon pada ketiga petak cuplikan disajikan pada Tabel 1. Komposisi jenis pohon antar petak memperlihatkan perbedaan terutama pada petak III. Pada petak I dan II komposisi jenisnya cenderung sama, tetapi pada Petak III sangat berbeda (Tabel 1b). Petak I memiliki jumlah jenis pohon lebih banyak dibandingkan petak II dan III. Hasil perhitungan indeks kekayaan jenis (Menhiennick) dan indeks diversitas (Shanon) juga menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Lebih tingginya jumlah jenis pada petak I banyak dipengaruhi adanya tumbuhan jenis sekunder yang toleran terhadap sinar matahari (light demanding) akibat terbukanya kanopi hutan, seperti Antidesma neurocarpum, Macaranga mappa. Gironniera subaequalis, Drypetes minahasae, Artocarpus elasticus, Sterculia cordata, dan Psychotria celebica. Hutan pada petak I lebih sering mendapat gangguan dengan tingkat kerusakan yang lebih tinggi dan memiliki topografi relatif datar. Hal ini mengindikasikan bahwa hutan-hutan alami yang terletak

Deskripsi daerah penelitian Propinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari empat 2 kabupaten, yaitu: Kabupaten Kendari (luas 16.184 km ) , 2 2 Kolaka (10.310 km ), Buton (6.242 km ), dan Muna (4.587 2 km ). Pulau Wawonii yang terletak di Kabupaten Kendari terbagi menjadi dua kecamatan, yaitu: Kecamatan Wawonii dan Kecamatan Waworete. Letak lokasi penelitian berada di bukit Wawouwai yang termasuk dalam wilayah Desa Lansilowo, Kecamatan Waworete. Di Pulau Wawonii terdapat 12 aliran sungai yang berasal dari hutan lindung yang lokasinya berada di tengah pulau dengan topografi berbukit-bukit. Keberadaan sungai-sungai ini tidak akan bermasalah apabila hutan lindung tetap dapat dipertahankan. Di pedalaman pulau terdapat 3 buah bukit dengan tinggi antara 600-800 m dpl. Penelitian ini dilakukan di desa Lansilowo yaitu desa tertua di Pulau Wawonii dengan jumlah penduduk sekitar 1000 jiwa, namun akibat pertambahan penduduk yang begitu cepat maka desa ini mengalami pemekaran menjadi beberapa desa. Beberapa perkebunan yang terdapat di pulau ini antara lain coklat, kelapa dan jambu mete, tetapi hasil utamanya adalah kopra-kelapa. Kebun kelapa banyak dijumpai bahkan sampai ke pedalaman pulau yang berbatasan dengan hutan produksi. Selain hasil kebun, masyarakat juga bermatapencaharian sebagai nelayan. Para nelayan biasanya membuat perahu sendiri dari jenis pohon-pohon tertentu yang dianggap kuat dan awet seperti dari suku Sterculiaceae dan Clusiaceae. Hutan di Pulau Wawonii termasuk hutan hujan dataran rendah dengan topografi datar sampai berbukit-bukit di bagian pedalaman pulau, bukit yang paling tinggi tercatat 800 m dpl dengan kemiringan berkisar 15-40°. Bukit tertinggi tersebut oleh penduduk setempat diberi nama Gunung Waworete. Pada umumnya Sulawesi Tenggara mempunyai curah hujan tidak terlalu besar dan berdasarkan klasifikasi klimatik (Schmidt & Tabel 1. Beberapa parameter data pohon dan anak-pohon yang terdapat pada Ferguson (1951) pulau Wawoni mempunyai tiga petak di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. curah hujan per tahun ± 1600 mm mempunyai iklim bertipe D, tergolong tidak terlalu basah Petak I Petak II Petak III dan kering. Musim hujan rata-rata 4-6 bulan (100 m dpl.) (300 m dpl.) (500 m dpl.) Parameter dan musim kemarau sedikit lebih banyak. Pohon Belta Pohon Belta Pohon Belta Puncak musim hujan terjadi pada bulan Maret Luas (ha) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,3 0,3 dan kemarau pada bulan Agustus. Kerapatan per ha 436 844 492 484 813 1277 Pulau Wawonii memiliki beberapa tipe LBD per ha 23,86 2,34 29,38 1,46 16,32 3,54 ekosistem di antaranya hutan bakau, hutan Jumlah Jenis 50 59 40 42 9 10 bukit karang, hutan dataran rendah, dan hutan Indek kekayaan jenis (Menhiennick) 3,39 2,87 2,55 2,70 0,58 0,51 pantai (BKSDA, 1999). Lokasi penelitian Indek diversitas (Shanon) 3,10 3,02 3,00 3,06 1,59 1,60 termasuk dalam tipe ekosistem dataran indek kemerataan (Eveness index) 0,83 0,81 0,86 0,86 0,72 0,69 rendah. Hutan Wawonii terdapat di tengah Persentase pohon diameter <20 cm 57,34 - 55,69 - 86,48 pulau yang berbukit-bukit dan berstatus hutan Persentase pohon diameter >50cm 4,59 - 6,91 0 lindung, di dalam hutan lindung masih dijumpai Rata-rata diameter (cm) 23,05 5,57 23,38 5,84 15,11 5,55 pohon-pohon dengan diameter cukup besar


PURWANINGSIH – Analisis vegetasi hutan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara

Tabel 1b. Jenis pohon dengan nilai kerapatan, luas bidang dasar dan nilai penting pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Petak I Petak II Petak III K/ha BA/ha NP K/ha BA/ha NP K/ha BA/ha NP Anacardiaceae 0 0 0 6 0,38 4,21 0 0 0 Buchanania arborescens Anacardiaceae 10 0,44 5,78 0 0 0 0 0 0 Dracontomelon da'o Anacardiaceae 2 0,19 1,81 0 0 0 0 0 0 Mangifera quadrafida Polyalthia sp. Annonaceae 10 0,55 7,32 0 0 0 0 0 0 Annonaceae 0 0 0 4 0,94 5,15 0 0 0 Polyalthia sumatrana Apocynaceae 4 0,39 3,66 4 0,68 4,27 0 0 0 Cerbera manghas Gulubia sp. Arecaceae 0 0 0 0 0 0 77 0,97 29,12 Burseraceae 28 0,90 17,83 70 2,33 33,51 0 0 0 Santiria laevigata Clusiaceae 0 0 0 0 0 0 3 0,03 1,55 Casuarina equisetifolia Clusiaceae 2 0,02 1,07 4 0,18 2,55 0 0 0 Calophyllum soulatri Calophyllum sp. Clusiaceae 2 0,04 1,19 0 0 0 0 0 0 Clusiaceae 0 0 0 6 0,26 3,79 0 0 0 Cratoxylum sumatranum Clusiaceae 2 0,02 1,10 8 0,29 4,30 227 3,26 75,35 Garcinia celebica Clusiaceae 0 0 0 24 0,50 10,55 0 0 0 Garcinia cf. rheadii Clusiaceae 0 0 0 12 0,67 7,56 0 0 0 Garcinia dulcis Clusiaceae 2 0,02 1,07 2 0,16 1,52 0 0 0 Garcinia laterifolia Garcinia sp. Clusiaceae 6 0,08 3,34 6 0,17 3,49 0 0 0 Combretaceae 4 0,84 5,55 0 0 0 0 0 0 Terminalia bellerica Combretaceae 0 0 0 4 0,10 2,28 0 0 0 Terminalia copelandii Ebenaceae 0 0 0 8 0,26 4,79 0 0 0 Diospyros maritima Ebenaceae 0 0 0 0 0 0 13 0,28 4,28 Diospyros undulata Elae 2 0,06 1,24 2 0,08 1,24 0 0 0 Elaeocarpus ovalis Euphorbiaceae 32 1,20 17,29 0 0 0 0 0 0 Antidesma neurocarpum Euphorbiaceae 10 0,27 6,17 30 1,00 15,20 0 0 0 Drypetes minahasae Euphorbiaceae 6 0,24 4,02 0 0 0 0 0 0 Macaranga mappa Euphorbiaceae 0 0 0 6 0,07 2,58 0 0 0 Ostodes macrophylla Euphorbiaceae 18 0,94 12,42 0 0 0 0 0 0 Pimelodendron aboinicum Cynometra sp. Fagaceae 0 0 0 4 0,04 2,08 0 0 0 Lithocarpus spicatus Fagaceae 10 0,42 5,69 18 1,13 9,78 0 0 0 Flacourtiaceae 16 1,45 13,57 0 0 0 0 0 0 Casearia Gnetaceae 0 0 0 10 0,20 4,41 0 0 0 Gnetum gnemon Hern 6 0,28 4,18 0 0 0 0 0 0 Hernandia ovigera Icac 2 0,02 1,09 0 0 0 0 0 0 Stemonurus scundiflorus Lauraceae 6 0,70 5,95 0 0 0 0 0 0 Alseodaphne cuneata Lauraceae 0 0 0 4 0,04 2,09 0 0 0 Endiandra rubescens Lauraceae 8 0,85 7,58 0 0 0 0 0 0 Nothaphoebe canescens Phoebe sp. Lauraceae 10 0,37 6,58 0 0 0 0 0 0 Lecy 2 0,02 1,10 0 0 0 0 0 0 Barringtonia racemosa Magnoliaceae 2 0,07 1,29 0 0 0 0 0 0 Magnolia candolii Moraceae 4 0,71 5,00 0 0 0 0 0 0 Artocarpus elasticus Horsfieldia sp. Myristicaceae 2 0,03 1,13 14 0,44 7,17 0 0 0 Myristicaceae 0 0 0 44 0,83 19,73 0 0 0 Knema cinerea Myristicaceae 4 0,44 3,86 48 0,89 21,88 0 0 0 Knema curtisii Myristicaceae 4 0,28 2,63 0 0 0 0 0 0 Myristica cf. robusta Myristicaceae 6 0,08 3,33 0 0 0 0 0 0 Ardisia lamponga 2 0,04 1,17 34 6,42 37,29 0 0 0 Kjellbergiodendron celebicum Myrtaceae 0 0 0 0 0 0 13 0,22 3,93 Leptospermum flavescens Myrtaceae Myrtaceae 0 0 0 24 1,31 14,43 0 0 0 Syzygium densiflora Syzygium sp. Myrtaceae 6 0,68 5,88 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 286 7,68 108,33 Xanthostemon confertiflorum Myrtaceae Chionanthus sp. Olea 4 0,06 2,28 0 0 0 0 0 0 Podocarpaceae 0 0 0 0 0 0 160 3,15 59,56 Podocarpus neriifolius 4 0,23 2,44 0 0 0 0 0 0 Xanthophyllum lateriflorum Poly Rubi 2 0,06 1,25 0 0 0 0 0 0 Gardenia tubifera Polygalaceae 4 0,13 2,57 0 0 0 0 0 0 Neonauclea calycina Rubiaceae 72 2,14 39,16 2 0,05 1,14 0 0 0 Psychotria celebica Rubiaceae 0 0 0 2 0,02 1,05 0 0 0 Tarrena incerta Sapindaceae 2 0,02 1,07 0 0 0 0 0 0 Mischocarpus sundaicus Sapindaceae 34 3,51 30,71 0 0 0 0 0 0 Pometia pinnata Sapotaceae 62 3,32 41,24 8 0,14 3,23 0 0 0 Palaquium obovatum Palaquium sp. Sapotaceae 0 0 0 50 5,47 37,88 0 0 0 Sapotaceae 0 0 0 10 2,87 14,65 0 0 0 Planchonella firma Saxifagraceae 0 0 0 0 0 0 20 0,36 8,57 Polyosma ilicifolia Sterculariaceae 6 1,36 8,70 0 0 0 0 0 0 Sterculia cordata Sterculariaceae 0 0 0 2 0,30 1,99 0 0 0 Sterculia macrophylla Adinandra sp. Theaceae 0 0 0 0 0 0 17 0,38 9,32 Thym 0 0 0 8 0,23 4,10 0 0 0 Gonystylus confusa Ulmaceae 16 0,39 9,69 14 0,96 10,10 0 0 0 Gironniera subaequalis Jenis

Suku

51

pada ketinggian rendah meskipun telah mengalami kerusakan tetapi masih memiliki nilai konservasi yang tinggi. Jenis-jenis pohon utama berdasarkan nilai penting (NP) tertinggi adalah Palaquium obovatum, Psychotria celebica, Pometia pinnata, Antidesma neurocarpum, dan Santiria laevigata (Tabel 2). Petak II yang terletak pada ketinggian 300 m dpl. memiliki jumlah jenis tertinggi. Tingkat kerusakan pada petak ini relatif lebih kecil dibandingkan petak I. Jenis-jenis utama berdasar-kan nilai penting tertinggi adalah: Palaquium sp., Kjellbergiodendron celebicum, Santiria laevigata, Knema curtisii, dan Knema cinerea. Petak III yang terletak pada ketinggian 500 m memiliki jumlah jenis paling sedikit. Hal ini juga ditunjukkan dari penghitungan nilai indeks kekayaan jenis, indeks diversitas, dan indeks kemerataan jenis. Tingkat kerusakan petak ini paling rendah dan sedikit mengalami gangguan, namun kondisi lingkungan setempat tampaknya menyebabkan hanya sebagian kecil jenis tumbuhan yang mampu tumbuh di atasnya. jenisjenis yang tumbuh pada petak III yang sebagian besar merupakan daerah punggung bukit diperkirakan telah mengalami adaptasi terhadap faktor lingkungan. Jenis yang cukup menonjol adalah Xanthostemon confertiflorum, Garcinia celebica Podocarpus neriifolius, Gulubia sp., dan Adinandra sp. Salah satu jenis utama yaitu Gulubia sp. (‘danke’) merupakan catatan jenis baru yang diduga endemik untuk daerah ini dan persebarannya hanya terdapat pada petak III. Pohon ini memiliki tinggi antara 10-17 m, diameter batang 10-16 cm. Tercatat sebanyak 23 individu pohon dan sebagian di antaranya sedang berbunga dan berbuah. Dari hasil pendataan jenis flora yang terdapat di lokasi penelitian tampaknya banyak persamaan dengan kawasan Indonesia bagian timur, seperti Maluku dan dapat dikatakan bukan daerah peralihan antara flora bagian barat dan timur. Clusiaceae tercatat sebagai suku yang paling banyak anggota jenisnya (8 jenis),


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 49-53

52

Tabel 2. Perbandingan kerapatan dan jumlah jenis di Pulau Wawonii dengan beberapa tempat lainn di Sulawesi.

150 100 50

Struktur hutan Struktur hutan dapat dilihat dari Gambar 1 dan 2 yaitu klasifikasi individu pohon berdasarkan kelas diameter dan tinggi pohon. Struktur hutan umumnya masuk dalam strata B (tinggi pohon <30 m) dan C (<20 m). Pada plot I dan II masih ditemukan strata A (>30 m), namun pada plot III seluruhnya termasuk strata C. Rata-rata dimeter pohon pada petak I dan II hampir sama (± 23 cm), sedangkan pada petak III rata-rata diameter pohon jauh lebih kecil (15 cm). Pohon dengan berdiameter >50cm masih dijumpai pada petak I dan II walaupun persentasenya kecil (<7%), sedangkan pada petak III tidak ada pohon yang berdiameter ≥40 cm. Begitu juga sebaliknya persentase pohon kecil paling banyak dijumpai pada petak III (87%), dengan tinggi pohon rata-rata 14 m. Pohon-pohon berdiameter besar (diameter >50 cm) pada petak I

90-100cm

80-90cm

60-70cm

50-60cm

70-80cm

Petak III (500 m dpl.)

Gambar 1. Kelas diameter pohon pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara 160 140 120 100 80 60 40 20

Petak I (100 m dpl.)

Petak II (300 m dpl.)

40-45m

35-40m

0 30-35m

0 0 0 0 0 0 0 0 0 108,33 75,35 59,56 29,12 9,32

Petak II (300 m dpl.)

25-30m

0 0 0 0 37,88 37,29 33,51 21,88 19,73 0 0 0 0 0

NP-3

10-15m

41,24 39,16 30,71 17,29 0 0 17,83 0 0 0 0 0 0 0

NP-2

40-50cm

0

<10m

Palaquium obovatum Psychotria celebica Pometia pinnata Antidesma neurocarpum Palaquium sp. Kjellbergiodendron celebicum Santiria laevigata Knema curtisii Knema cinerea Xanthostemon confertiflorum Garcinia celebica Podocarpus neriifolius Gulubia sp. Adinandra sp.

NP-1

Purwaningsih dan Yusuf (1994)

200

Petak I (100 m dpl.)

Jenis

Lokasi penelitian Purwaningsih (2005) Rahajoe dkk. (1995/1996)

250

20-25m

Tabel 3. Sepuluh jenis pohon utama berdasarkan nilai penting tertinggi pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Sumber

didominasi jenis Palaquium obovatum, Planchonela sp., Alseodaphne cuneata, Terminalia sp., dan Syzygium sp. Pohon-pohon besar pada petak II kebanyakan dari jenis Kjellbergiodendron celebicum, Baccaurea javanica, “nguru”, dan Planchonella firma, pohon besar ini masuk dalam strata A dengan tinggi >30 m. Pada petak I dan II masih banyak pohon-pohon berukuran besar dan beberapa jenis samasama ditemukan pada kedua petak tersebut, seperti Santiria laevigata, Garcinia sp., dan Polyalthia sp., sedangkan pada petak III umumnya berupa pohon-pohon berukuran kecil dan jenisnya sangat berbeda dengan dua petak sebelumnya.

30-40cm

disusul Euphorbiaceae dan Myrtaceae masing-masing 5 jenis, serta Lauraceae dan Rubiaceae masing-masing 4 jenis. Berdasarkan jumlah individu dan persebarannya Clusiaceae dan Myrtaceae tercatat sebagai suku yang paling umum dan djumpai di ketiga petak cuplikan. Jenis yang cukup melimpah dengan jumlah individu 286 pohon adalah Xanthostemon confertiflorum, namun persebaran jenis ini hanya terdapat pada petak III. Jenis dengan jumlah individu terbesar kedua adalah Garcinia celebica yang sebagian besar tersebar pada petak III, dengan jumlah pohon dan anak pohon mencapai 550 individu terdiri atas 227 pohon dan 323 anak pohon. Suku Myrtaceae merupakan jenis yang paling melimpah dengan jumlah individu mencapai 849 individu terdiri dari 352 pohon dan 497 anak pohon (Tabel 3.). Berdasarkan penghitungan nilai penting suku pohon dan anak pohon pada tiga petak penelitian terdapat beberapa suku yang sebarannya cukup luas dan dijumpai pada ketiga petak, seperti Myrtaceae, Clusiaceae dan Ebenaceae (Tabel 4.).

Jumlah jenis 88 87 31 64 67 63 54

15-20m

100-500 500-1000 100 180 200 400 650

Kerapatan (pohon/ha) 584 487 445 610 674 508 475

20-30cm

Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah Tanganga, Sulawesi Utara Dudepo, Sulawesi Utara Kosinggolan, Sulawesi Utara Toraut, Sulawesi Utara Mentayangan, Sulawesi Utara

Ukuran petak (ha) 1,50 0,90 0,20 0,35 -

10-20cm

Altitude (m)

10cm

Lokasi

Petak III (500 m dpl.)

Gambar 2. Kelas tinggi pohon pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara

Hutan yang telah mengalami gangguan atau tumbuh pada kondisi ekstrem, cenderung memiliki luas bidang dasar (LBD) lebih kecil dan kerapatan pohon lebih tinggi karena banyaknya pohon berukuran kecil. Total luas bidang dasar pada petak III paling rendah (16.32 m²/ha) yang diwakili oleh 813 pohon, maka rata-rata LBD/pohon 0,02 m². Kecilnya LBD menunjukkan bahwa pohon-pohon yang hadir adalah berdiameter kecil dan sangat rapat. Pada petak I dan II LBD lebih besar dan tidak jauh berbeda di antara keduanya. Jika dibandingkan dengan kerapatan dan kekayaan jenisnya di daerah lain di Sulawesi terlihat dengan luasan petak yang hampir sama jumlah jenis dan kerapatan pohon tidak jauh berbeda (Tabel 2.).


PURWANINGSIH – Analisis vegetasi hutan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara

53

Tabel 4. Jumlah jenis, jumlah individu, dan nilai penting suku (NPS) ≼10 untuk pohon dan anak pohon pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Suku Anacardiaceae Annonaceae Apocynaceae Arecaceae Burseraceae Clusiaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Fagaceae Flacourtiaceae Gnetaceae Lauraceae Myristicaceae Myrtaceae Podocarpaceae Polygalaceae Rubiaceae Sapindaceae Sapotaceae Saxifagraceae Theaceae

Pohon Jum. Jum. Indv. jenis 12 2 10 1 4 1 0 0 28 1 14 5 0 0 66 4 10 1 16 1 0 0 24 3 10 3 8 2 0 0 4 1 78 3 36 2 62 1 0 0 0 0

Petak 1 Petak 2 Anak pohon Pohon Anak pohon Pohon Jum. Jum. Jum. Jum. Jum. Jum. Jum. Jum. NPS NPS NPS NPS Indv. jenis Indv. jenis Indv. jenis Indv. jenis 10,16 14 3 10,37 6 1 5,54 30 2 16,59 0 0 6,97 6 2 5,09 4 1 7,05 0 0 0 0 0 4,95 6 2 5,18 4 1 6,16 2 1 3,56 0 0 0 184 2 48,65 0 0 0 10 1 6,24 77 1 12,56 50 1 13,88 70 1 25,17 26 1 15,94 0 0 15,86 98 3 26,82 62 7 41,34 96 6 57,87 227 1 0 4 1 2,78 8 1 5,55 4 1 4,61 13 1 35,76 76 3 23,18 36 2 17,03 40 1 18,16 0 0 6,43 14 1 5,08 18 1 10,54 30 1 14,46 0 0 12,12 6 1 3,38 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 1 2,56 0 1 5,74 32 1 15,70 0 0 20,70 14 3 9,67 4 1 3,99 0 0 0 0 0 12,58 14 2 7,60 106 3 37,99 112 4 64,30 0 0 9,63 8 4 9,78 58 2 44,14 6 2 7,73 286 2 0 6 1 3,00 0 0 0 0 0 0 160 1 4,27 2 1 2,25 0 0 0 4 1 4,59 0 0 34,83 110 3 31,20 4 2 7,11 32 2 15,88 0 0 27,80 4 2 5,26 0 0 0 0 0 0 0 0 30,50 96 1 26,28 68 3 51,78 8 1 6,95 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 1

Petak 3 Anak pohon Jum. Jum. NPS NPS Indv. jenis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 26,6 33 1 17,51 0 0 0 0 59,4 323 1 65,50 14,4 213 1 38,87 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 10,34 0 0 0 0 0 0 0 0 106 483 2 91,48 50,3 153 1 35,56 0 10 1 12,07 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15,8 3 1 10,91 15,6 50 1 17,75

Tabel 5. Persentase jumlah individu anak pohon berdasarkan diameternya dan beberapa jenis dominan pada tiga petak penelitian di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.

Persentase diameter batang <5,0 cm (%) Persentase diameter batang >8,0 cm (%) Jenis dominan

Petak I 43,13 16,82 Pinanga sp. Palaquium obovatum Psychotria celebica Santiria laevigata

Regenerasi Proses regenerasi hutan tampak dari hasil pencuplikan data anak pohon (Tabel 5.). Sumber bibit untuk proses regenerasi pada ketiga petak umumnya berasal dari induk pohon yang terdapat di dalam kawasan hutan. Pada tiga petak cuplikan tercatat 76 jenis anak pohon yang tergolong dalam 62 marga dan 37 suku yang diwakili oleh 1090 individu. Komposisi jenis anak pohon tidak jauh berbeda dengan komposisi jenis pohon. Hasil regenerasi pada petak I menunjukkan tingkat anak pohon yang paling dominan adalah Pinanga sp. (NP=46,28), pada petak II Garcinia cf. rheadii (NP=37,88), dan pada petak III Xanthostemon confertiflorum (NP=92,75). Beberapa jenis anak pohon tumbuh dominan, seperti Pinanga sp., Knema spp., dan Psychotria celebica, pada saat ekosistem mencapai klimaks akan digantikan strata lain seperti Palaquium obovatum, Diospyros spp., dan Garcinia spp. Hasil pengelompokkan diameter batang menunjukkan bahwa rata-rata diameter anak pohon pada tiga petak hampir sama >5 cm, tetapi persentase untuk yang berdiameter kecil dan besar sangat bervariasi. KESIMPULAN Vegetasi hutan Pulau Wawonii termasuk hutan pamah dengan vegetasi bertipe komunitas Clusiaceae-Myrtaceae. Keanekaragaman jenis paling tinggi pada ketinggian 100 m dpl dan paling rendah ketinggian 500 m dpl. Pada ketinggian 500 m dpl sangat berbeda dengan komposisi jenis dua petak lainnya yang paling dominan adalah Xanthostemon confertiflorum. Komposisi jenis berbeda-

Petak II 35,54 19,83 Garcinia cf. rheadii Knema curtisii Knema cinerea Drypetes minahasae

Petak III 48,45 17,23 Xanthostemon confertiflorum Garcinia celebica Diospyros undulata Podocarpus neriifolius

beda pada tiga petak penelitian (ketiga ketinggian tempat). Struktur hutan umumnya masuk dalam strata B (tinggi pohon <30 m) dan C (<20 m). Pada plot I dan II masih ditemukan strata A (>30 m), namun pada plot III seluruhnya termasuk strata C. Sumber bibit untuk proses regenerasi pada ketiga petak umumnya berasal dari induk pohon yang terdapat di dalam kawasan hutan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. BKSDA. 1999. Informasi Kawasan Konservasi Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: Sub Balai KSDA Sulawesi Tenggara. Cox, G.W. 1976. Laboratory Manual of General Biology. Dubuque, IO: San Diego State University & Win. C. Brown Company Publisher. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methodes of Vegetation Ecology. New York: John Wiley and Sons. Partomihardjo, T. 2001. Studi awal ekologi jenis-jenis pohon di hutan Cagar Alam Yapen Tengah, Yapen Waropen-Irian Jaya. Himpunan Ekologi Indonesia 3 (1): 1-21. Purwaningsih dan R. Yusuf, 1994. Struktur, komposisi dan regenerasi jenis flora dalam kawasan hutan Taman Nasional Boganinani Wartabone, Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengambangan Sumber Daya Hayati. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor, 4 April 1994. Purwaningsih dan Razali Yusuf, 2005. Komposisi jenis dan struktur vegetasi hutan di Kawasan Pakuli, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Biodiversitas 6 (2): 123-128. Rahajoe, J.S., S. Prawiroatmodjo, dan Z. Fanani. 1996. Fitososiologi hutan dataran rendah di Taman Nasional Boganinani-Wartabone. Laporan Teknik Proyek Penelitian, Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat Tahun 1995/1996. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI. Schmidt F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and period ratiosfor Indonesia with western New Guinea. Verhandelingen 42. Jakarta: Jawatan Meteorologi dan Geofisika. WWF. 1980. Cagar Alam Morowali; Suatu Rencana Pelestarian. Jakarta: Dirjen PHPA dan World Wildlife Fund.


ISSN: 1412-033X Januari 2006

BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 54-58

Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah Abundance and natural food resources of birds in Manusela National Park, Seram, Central Mollucas WAHYU WIDODO♥ Bidang Zoologi, Pusat Penelitan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 3 Agustus 2005. Disetujui: 19 Desember 2005.

ABSTRACT The aim of this research was to know the abundance and natural food resources of birds in the Manusela National Park, Seram (Ceram), Central Moluccas. The observations were done by “line-transect methods”, which in observe 70.50 hours totality. The results were found 51 species of birds in area of the national parks and 4 of all, namely red lory (Eos bornea), papuan hornbill (Rhyticeros plicatus), shining starling (Aplonis metallica), and grey-necked friarbird (Philemon subcorniculatus) were abundant. Fourty seven species of plants were known useful for 19 species of birds as the natural food resources, nesting-sites and roosting trees. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: species diversity, abundance, natural food resources, national park, Manusela.

PENDAHULUAN Manusela merupakan suatu kawasan hutan di Pulau Seram, Maluku Tengah. Kawasan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai satu-satunya taman nasional di Propinsi Maluku berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 pada tanggal 14 Oktober 1982 dengan luas 189.000 hektar. Tujuan pemerintah menetapkan Manusela sebagai taman nasional antara lain untuk mengkonservasi berbagai ekosistem yang terkandung di hutan Seram ke suatu areal sehingga memudahkan pengelolaannya. Hal ini disebabkan flora dan fauna di Taman Nasional (TN) Manusela termasuk satu kesatuan biografis Wallacea yang khas dan memiliki nilai endemisitas cukup tinggi (Isherwood dkk., 1997). Selain itu juga penting sebagai pelindung sumber plasma nuftah di Pulau Seram, terutama untuk pendidikan, kebudayaaan, kepariwisataan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. TN Manusela merupakan daerah tropis yang lembab dan selalu basah dengan curah hujan tersebar sepanjang tahun lebih dari 2000 mm (FAO, 1981). Lebih lanjut dinyatakan bahwa musim hujan di Manusela utara terjadi antara Nopember-April, sedangkan Mei-Oktober tampak lebih kering dengan curah hujan bulanan yang jarang melebihi 100 mm. Sebaliknya, di Manusela bagian selatan musim penghujan terjadi antara Mei-Oktober dan puncaknya pada bulan Juli. Fauna khas dan relatif mudah ditemukan di TN Manusela adalah burung. Menurut

♥ Alamat korespondensi: Gedung Widyasatwaloka Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong, Bogor 16911. Tel. +62-21-8765056, Fax.: +62-21-8765068 e-mail: wrfarida@indo.net.id

Alikodra (1989), beberapa jenis burung di TN Manusela ini dikenal spesifik, karena merupakan peralihan tipe Asia (seperti Rhyticeros plicatus) dan tipe Australia (seperti Casuarius casuarius). Kombinasi unik flora dan fauna AsiaAustralia di TN Manusela dapat menciptakan suatu nilai konservasi cukup tinggi. Namun, penelitian keragaman fauna burung dan kemelimpahan maupun pakan alaminya di TN Manusela masih belum banyak diungkapkan. Rencana-rencana masa depan bagi pengembangan wilayah Seram, terutama untuk daerah pemukiman, dan eksploitasi penambangan, pembalakan, serta sarana jalan tidak dapat dielakkan melintasi sebagian kawasan hutan TN Manusela. Hal itu diduga akan berpengaruh dan membawa dampak negatif terhadap diversitas fauna dan floranya. Upaya penelitian burung-burung di kawasan TN Manusela beserta sumber-sumber pakannya perlu dilakukan. Diharapkan data yang diperoleh dalam penelitian tersebut dapat digunakan sebagai masukan bagi pihakpihak yang berkepentingan.

BAHAN DAN METODE Area kajian Penelitian ini dilakukan di tiga pusat pengamatan, yaitu: L1=Manusela utara (0-100 m dpl). Survei dilakukan dari hutan Sasarata, pal batas TN No.556 hingga kampung Solea Baru; L2=Manusela tengah (0-200 m dpl). Survei dilakukan dari KM15-30 hutan Waipia-Saka; L3=Manusela selatan (0-500 m dpl). Survei dilakukan dari hutan sekitar S.Yana, Atuwahu, G.Sama, pal batas TN No.644 sampai G.Lata. Lokasi Manusela utara terletak di kecamatan o o Seram utara dan berada pada posisi 2 45’-3 15’ LS dan o o 128 45’-129 30’ BT (BPS, 1994). Sedangkan Manusela tengah dan Manusela selatan termasuk dalam kecamatan


WIDODO – Kemelimpahan dan sumber pakan burung di TN Manusela, Maluku Tengah o o Amahai yang terbentang di antara 3 7’-3 27’ LS dan o o 128 11’-129 45’ BT. Pada saat penelitian tercatat o temperatur rata-rata di Manusela utara 28 C dengan kelembaban 82%, sedangkan di Manusela tengah dan o selatan temperatur rata-rata 26,5 C dengan kelembaban 65,5%.

Bahan dan alat Materi penelitian adalah jenis-jenis burung yang dapat diketemukan di TN Manusela beserta habitat dan jumlah individunya. Alat bantunya adalah sebuah teropong binokuler 10x50 mm. Buku panduan pengamatan burungburung di lapangan mengikuti White dan Bruce (1986) serta Forshaw dan Cooper (1989). Cara kerja Metode penelitian ini mengikuti MacFadyen (1969), yaitu: setiap jenis burung yang ditemukan di sepanjang jalur-jalur pengamatan dan maksimal berjarak 50 m kiri atau kanan dari garis transek dicatat nama dan jumlah individunya. Pengamatan dilakukan antara pukul 07.00 s.d. 17.30 WIT, dengan total pengamatan secara keseluruhan di tiga lokasi selama 70.50 jam. Pengamatan tumbuhtumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pakan burung di alam, diamati secara langsung pada saat jenis burung tersebut sedang makan ataupun dari koleksi isi tembolok dan sisa-sisa kotoran. Untuk identifikasi tumbuhan, maka dilakukan koleksi dalam bentuk spesimen voucher, lalu dibuat herbariumnya. Analisis data Data-data yang diperoleh selama pengamatan, yaitu: jumlah individu dari setiap jenis burung maupun total seluruh jenisnya, dipergunakan untuk analisis-analisis sebagai berikut: Indeks keragaman jenis (H) (Emlen, 1974) n H= - ∑ ni / N . ln ni / N i=1 H=indeks keragaman Shannon-Wiener ni=jumlah individu jenis burung ke-i N =jumlah individu total jenis burung Indeks perataan (E) (Pielou, 1966) E=H/log S E=indeks perataan H=indeks keragaman Shannon-Wiener S=jumlah seluruh jenis burung Indeks dominasi (D) (Heddy dan Kurniati, 1996) Indeks dominasi (kemelimpahan) berguna untuk menggambarkan dominansi ekologi jenis-jenis burung yang ditemukan selama pengamatan. Rumus yang digunakan: D=

n

∑ [ni / N ]

2

i =1

D=indeks dominasi ni=jumlah individu jenis burung ke-i N=jumlah individu total jenis burung

55

Indeks kesamaan (Ss) (Heddy dan Kurniati, 1996) 2C Ss = --------------A+B Ss=indeks kesamaan Sorensen A=jumlah seluruh jenis burung di lokasi A B=jumlah seluruh jenis burung di lokasi B C=jumlah pasangan jenis di lokasi A dan B

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis burung dan kemelimpahannya Hasil penelitian di tiga lokasi pengamatan secara keseluruhan menunjukkan dijumpainya 51 jenis burung dari 30 suku. Penyebaran burung-burung tersebut adalah 44 jenis (22 suku) di Manusela bagian utara (L1), 26 jenis (17 suku) di Manusela tengah (L2) dan 24 jenis (15 suku) di Manusela selatan (L3). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah jenis burung terbanyak ditemukan di TN Manusela bagian utara. Hal ini disebabkan kondisi habitat burungburung di lokasi tersebut lebih baik, hutannya masih cukup luas dan relatif jauh dari gangguan aktifitas manusia. Jumlah jenis burung dalam keseluruhan pengamatan ini dibandingkan dengan penelitian oleh Bowler dan Taylor (1989), hanya sekitar 43%-nya. Bowler dan Taylor (1989) mencatat 170 jenis burung, tetapi 53 jenis burung di antaranya diketemukan di luar kawasan TN Manusela. Jika dibandingkan dengan jumlah jenis burung dalam pulau Seram, maka pengamatan ini hanya mewakili sekitar 27%, karena burung-burung di Seram dilaporkan sebanyak 197 jenis (Bowler dan Taylor, 1993). Stresemann (1914) menyatakan di Seram terdapat 153 jenis burung. Sedikitnya jumlah jenis burung dalam pengamatan ini mungkin disebabkan cakupan luas daerah survei yang terbatas, antara lain tidak dilakukan di daerah pegunungan di atas 500 m dpl. Kawasan TN Manusela memiliki ketinggian yang bervariasi mulai dari 0 hingga di atas 3000 m.dpl., yaitu: dari daerah pantai sampai pegunungan Binaya. Jumlah individu dan jumlah jenis burung serta nilai keragaman dan kemerataan secara rinci disajikan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai indeks keragaman jenis-jenis burung (H) di Manusela utara (L1) adalah 3,21, di Manusela tengah (L2) adalah 2,83, dan di Manusela selatan (L3) adalah 2,40. Nilai H tampak lebih besar di TN Manusela bagian utara daripada di bagian tengah dan selatan. Nilainya sedikit lebih besar dari angka 3. Tingginya keragaman jenis burung di Manusela utara, mungkin disebabkan adanya kondisi di lokasi tersebut yang cukup menunjang bagi berbagai aktifitas fauna burung. Habitat burung di L1 ini berupa hutan yang lebat dan terdiri dari pepohonan yang besar seperti Canarium, Ficus, Intsia, Shorea, dan lain-lain. Kawasan Manusela tengah dan selatan sebagian besar telah berubah menjadi hutan sekunder. Sesuai pendapat Alikodra (1989) bahwa keragaman kehidupan satwa liar di dalam hutan primer adalah tinggi. Jika hutan tersebut ditebangi dan menjadi hutan sekunder, biasanya akan terjadi penurunan keragaman jenis secara drastis. Heddy dan Kurniati (1996) menambahkan bahwa semakin banyak jumlah jenis burung yang membentuk suatu komunitas, semakin tinggi keanekaragamannya. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Lloyd dan Ghelardi (1964) bahwa keragaman jenis tinggi bila banyak jenis berada di suatu komunitas tersebut, dan keragaman jenis rendah jika hanya satu atau beberapa jenis saja yang mendominasi komunitas tersebut.


56

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 54-58

Tabel 1. Kemelimpahan individu burung-burung di TN Manusela beserta nilai indeks keragaman dan kemerataannya. Jenis burung Casuarius casuarius Butorides striatus Threskiornis molucca Aviceda subcristata Haliastur indus Megapodius reinwardt Streptopelia chinensis Macropygia amboinensis Reinwardtoena reinwardtii Chalcophaps indica Ptilinopus superbus Ducula perspicillata Ducula bicolor Cacatua moluccensis Charmosyna placentis Lorius domicella Eos bornea Trichoglossus haematodus Alisterus amboinensis Geoffroyus geoffroyi Eclectus roratus Tanygnathus megalorhynchos Centropus bengalensis Hemiprocne myastacea Collocalia esculenta Tanysiptera galatea Halcyon sancta Ceyx lepidus Merops ornatus Eurystomus orientalis Rhyticeros plicatus Pitta erythrogaster Hirundo tahitica Coracina atriceps Coracina novaehollandiae Dicrurus bracteatus Oriolus forsteni Corvus enca Rhipidura dedemi Rhipidura rufiventris Rhipidura leucophrys Pachycephala pectoralis Artamus leucorhynchus Aplonis metallica Philemon subcorniculatus Myzomela blasii Nectarinia aspasia Nectarinia jugularis Dicaeum vulneratum Zosterops atrifrons Lonchura molucca Total individu (N) Indeks keragaman (H) Indeks kemerataan (E)

Jumlah individu(n) L1 L2 L3 6 0 0 0 1 0 1 0 0 2 1 1 4 1 2 0 0 1 10 0 3 3 2 0 3 0 0 1 2 0 4 0 0 22 1 4 109 3 9 1 4 5 2 0 0 1 0 1 121 13 11 3 0 0 2 0 3 60 5 37 12 1 5 10 4 4 5 0 4 0 2 0 10 1 2 1 0 0 9 1 1 1 0 0 21 0 0 3 0 0 54 11 60 1 0 0 0 5 4 2 0 0 1 0 0 8 0 0 5 0 1 2 0 0 8 3 0 3 0 1 0 2 0 0 2 0 3 0 0 93 10 22 39 6 12 1 0 0 19 0 0 1 2 3 2 4 0 0 20 0 48 2 0 717 109 198 3,21 2,83 2,40 1,95 2,00 1,74

Jumlah total 6 1 1 4 7 1 13 5 3 3 4 27 121 10 2 2 145 3 5 102 18 18 9 2 13 1 11 1 21 3 125 1 9 2 1 8 6 2 11 4 2 2 3 125 57 1 19 6 6 20 50 1024 2,87 1,68

Nilai indeks kemerataan (E) pada masing-masing lokasi Manusela bagian utara (L1), Manusela tengah (L2), dan Manusela utara (L3) adalah 1,95, 2,00, dan 1,74. Dari hasil tersebut tampak bahwa di Manusela bagian selatan nilai indeks kemerataan relatif lebih rendah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Menurut Odum (1971) nilai indeks kemerataan yang rendah menunjukkan terjadinya pengelompokan individu-individu suatu jenis tertentu. Hal ini terjadi di Manusela selatan, di antaranya pada jenis R. plicatus yang ditemukan mengelompok di ketinggian 500 m.dpl., yaitu: di sekitar pal batas TN No. 644 pada hamparan hutan kenari.

Nilai indeks dominasi (D) jenis-jenis burung di Manusela utara (L1), Manusela tengah (L2), dan Manusela selatan secara berturut-turut adalah 0,06, 0,05, dan 0,15. Nilai indeks dominasi di ketiga lokasi ini relatif kecil, yaitu: antara 0,05-0,15, namun menurut Heddy dan Kurniati (1996) pada nilai D>0,05 suatu jenis sudah dapat dinyatakan melimpah. Kemelimpahan relatif jenis-jenis burung di Manusela utara, sebagai berikut: Eos bornea (16,87%), Ducula bicolor (15,20%), Aplonis metallica (12,97%), G. geoffroyi (8,37%), R. plicatus (7,53%), dan Philemon subcorniculatus (5,44%). Jenis burung yang melimpah di Manusela tengah adalah E. bornea (11,92%), R. plicatus (10,09%), A. metallica (9,17%), dan P. subcorniculatus (5,50%). Jenis burung yang melimpah di Manusela selatan adalah R. plicatus (30,30%), G. geoffroyi (18,68%), A. metallica (11,11%), dan P. subcorniculatus (6,06%). Ada empat jenis burung yang melimpah di seluruh lokasi pengamatan, yaitu: E. bornea (kasturi merah), R. plicatus (rangkong papua), A. metallica (si mata merah), dan P. subcorniculatus (burung siangsiang). Jenis-jenis burung tersebut melimpah karena memiliki beragam sumber pakan, antara lain nektar/bungabungaan dan buah-buahan yang melimpah di lokasi penelitian. Nilai indeks kesamaan Sorensen (Ss) burung-burung di Manusela utara dan tengah (L1-L2) adalah 60%, Manusela utara dan selatan (L1-L3) adalah 64%, dan Manusela tengah dan selatan (L2-L3) adalah 64,70%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa komposisi jenis-jenis burung yang ditemukan di tiga lokasi pengamatan pada umumnya hampir sama. Pada lokasi L2-L3 tampak sedikit lebih besar kesamaannya, karena letak kedua lokasi tersebut relatif dekat. Di lokasi L2 terdapat satu jenis khas yang tidak ditemukan di kedua lokasi lain, yaitu: Butorides striatus yang menempati habitat hutan mangrove. Pada lokasi L1 juga terdapat satu jenis yang khas yang tidak diketemukan di lokasi lain, yaitu: C. casuarius, sedangkan kekhasan di L3 adalah adanya M. reinwardt. Sumber pakan alami Jenis-jenis tumbuhan sumber pakan alami bagi burungburung yang ditemukan selama penelitian di TN Manusela disajikan pada Tabel 2. Pada tabel tersebut tercatat 19 jenis burung memanfaatkan 47 jenis tumbuhan sebagai sumber pakan ataupun untuk aktifitas lainnya. Dari 47 jenis tumbuhan ini yang dimanfaatkan oleh burung sebagai sumber pakan berupa buah-buahan sebanyak 50,62%, nektar/madu bunga (22,22%), dan biji (2,47%). Sebanyak 24,69% pohon dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, pohon tidur, bercumbu, berjemur ataupun sebagai tempat bersarang. Berdasarkan proporsi tersebut dapat diketahui bahwa jenis-jenis burung yang ditemukan di daerah penelitian sebagian besar adalah frugivora (pemakan buah), diikuti oleh nektarivora (pemakan nektar), dan paling sedikit adalah granivora (pemakan biji). Di antara kelompok frugivora terdapat burung paruh bengkok, yaitu: Tanygnathus megalorhynchos dan G. geoffroyi. Menurut Monk dkk. (1997), kedua jenis burung ini hidup arboreal dan frugivora. Buah-buahan yang dimakan oleh T. megalorhynchos antara lain bitangur (Callophyllum inophyllum) dan kayu bentang (Heritiera littoralis; Sterculiaceae). Kedua jenis tumbuhan ini biasanya tumbuh di dataran rendah dekat pantai. Hasil koleksi isi tembolok G. geoffroyi di Manusela utara menunjukkan banyak ditemukan buah leak (Leea indica), yang juga banyak tumbuh di lokasi tersebut. Di Manusela selatan, burung ini memakan buah Artocarpus sp. yang tumbuh di ladang penduduk, secara berkelompok dengan jumlah lebih dari 10 ekor.


WIDODO – Kemelimpahan dan sumber pakan burung di TN Manusela, Maluku Tengah

57

Tabel 2. Jenis dan bagian tumbuh-tumbuhan yang dimanfaatkan oleh burung-burung di TN Manusela. Jenis burung Casuarius casuarius

Jenis tumbuhan

Zosterops atrifrons Lonchura molucca

Elaeocarpus sphaericus Burckella pollei Eugenia sp. Pandanus sp. “hisapoane” Leea indica Ficus variegata Canarium vulgare Leea indica Geunsia petandra Gnetum gnemon Myristica sp Canarium vulgare Durio zibethinus Terminalia catapa Ochrosia coccinea Cocos nucifera Duabanga moluccana Fabermonthana aurantica Cocos nucifera Elaeocarpus sphaericus Eucalyptus deglupta Eugenia sp “tiga-tiga” “siki” Elaeocarpus sphaericus Eucalyptus deglupta Macaranga quadriglandulosa Phaleria capitata Grynops versteegi Aglaia argentea Musa sp Ficus variegata Canarium vulgare Durio zibethinus Spondias cytherea Terminalia catapa Leea indica Camnosperma sp Artocarpus sp Ochrosia coccinea Cynometra ramiflora Geunsia petandra Intsia bijuga Canarium vulgare Callophyllum sp. Heritiera littoralis Aglaia argentea Ceiba petandra Canarium vulgare Ficus variegata Macaranga quadriglandulosa Myristica sp Burckella pollei Durio zibethinus Arenga pinnata Albizzia sp Anthocephalus macrophylla Spondias cytherea Gnetum gnemon Horsfielda sylvestris Intsia bijuga “binong” Terminalia catapa Geunsia petandra Muntingia celebura Passiflora foetida “marong” Geunsia petandra Cynometra ramiflora Cocos nucifera Morinda bracteata Cocos nucifera Cocos nucifera Ficus variegata Baringtonia racemosa “hauruka” Albizzia sp Chloris barbata

Total 19 jenis burung

47 jenis tumbuhan

Ptilinopus superbus Ducula bicolor

Cacatua moluccensis

Charmosyna placentis Eos bornea

Trichoglossus haematodus Alisterus amboinensis

Geoffroyus geoffroyi

Eclectus roratus Tanygnathus megalorhynchos

Merops ornatus Rhyticeros plicatus

Aplonis metallica

Philemon subcorniculatus

Nectarinia jugularis Nectarinia aspasia

Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan burung Biji Buah Bunga/nektar Dahan/pohon + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Proporsi 2,47%

50,62%

22,22%

24,69%


58

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 54-58

Burung paruh bengkok pemakan buah-buahan lainnya adalah Eclectus roratus. Burung ini teramati bertengger pada pohon kayu besi (Intsia bijuga). Di Halmahera Tengah, burung ini ditemukan memakan jambu biji (Psidium guajava) dan di Bacan memakan pisang hutan (Musa sp.). Di Halmahera, burung jenis ini juga memakan buah durian (Durio zibethinus) (Widodo, 1998), sedangkan di Tanimbar Selatan memakan daun dan bunga Shorea sp. yang masih muda (Widodo, 1999). Cacatua moluccensis merupakan jenis endemik di Pulau Seram. Kakatua seram ini teramati memakan buah durian. Buah-buahan hutan lainnya yang dimakan adalah sejenis kamboja (Tabermonthana aurantica) dan Ochrosia coccinea. Keduanya termasuk suku Apocynaceae. Tercatat pohon tidur kakatua ini pada pohon Duabanga moluccana dan ketapang (Terminalia catapa). Pohon bersarangnya adalah kenari (Canarium vulgare). Tiga jenis nuri di daerah penelitian diketahui spesifik sebagai nektarivora yaitu: Charmosyna placentis, E. bornea, dan Trichoglossus haematodus. C. placentis yang memakan nektar kelapa (Cocos nucifera). E. bornea dan T. haematodus memakan nektar “matariya”/jalitri-jalitrian (Elaeocarpus sphaericus) dan Eucalyptus deglupta. Pakan alami yang juga disenangi oleh E. bornea adalah nektar bunga “nyato”/jambu-jambuan (Eugenia sp.). Pada musim bunga, tumbuhan ini banyak dikunjungi E. bornea. Nektar bunga lain yang juga disenangi E. bornea adalah “galala” (Erythrina sp.)(Juniper dan Parr, 1998). Di Manusela utara, E. bornea juga ditemukan bersarang pada pohon E. deglupta dan samama (Anthocephalus sp.). Sifat khas nuri/kasturi ini sebagai nektarivora, antara lain ditunjukkan oleh struktur lidah yang khas menyerupai sikat. Nektar bunga Eucalyptus spp. mengandung cukup banyak sukrosa, glukosa, dan fruktosa yang sangat diperlukan oleh tubuh burung sebagai sumber tenaga (Churchill dan Christensen, 1970). Jenis nuri lain yang ditemukan pada saat penelitian adalah Alisterus amboinensis. Sebagian besar sumber pakan burung ini adalah buah-buahan, antara lain pisang hutan, Macaranga quadriglandulosa, Phaleria capitata (Thymeliaceae), Aglaia argentea (Meliaceae), dan sejenis gaharu (Grynops versteegii). C. casuarius juga termasuk pemakan buah-buahan di hutan, terutama yang jatuh ke lantai hutan. Dua jenis tumbuhan sebagai sumber pakan kasuari yang sering ditemukan melalui bekas-bekas kotorannya adalah buah Burckella pollei dan Elaeocarpus sphaericus.

KESIMPULAN Di TN Manusela bagian utara, tengah, dan selatan tercatat 51 jenis burung. Empat jenis burung tercatat melimpah di semua lokasi, yaitu: Eos bornea, Rhyticeros plicatus, Aplonis metallica dan Philemon subcorniculatus. Ducula bicolor hanya melimpah di Manusela bagian utara,

sedang Geoffroyus geoffroyi melimpah di Manusela selatan. Sembilan belas jenis burung ditemukan memanfaatkan 47 jenis tumbuhan sebagai sumber pakan alami, tempat bersarang ataupun pohon tidur.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sigit E. Pratignyo selaku Pimpinan Proyek Penelitian, Pengembangan, dan Pendayagunaan Biota Darat (P3B) LIPI Bogor. Juga seluruh pihak yang telah berkenan memberikan dana, ijin dan menugaskan penulis untuk survei. Terima kasih disampaikan pula kepada Sdr. Agus Sujadi yang membantu dalam identifikasi nama-nama botani.

DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1989. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Bogor: PAU-IPB dan Lembaga Sumber Daya Informasi IPB. Bowler, J. and J. Taylor. 1989. An annotated checklist of the birds of Manusela National Park, Seram (birds recorded on the Operation Raleigh Expedition). Kukila 4 (1-2): 3-29. Bowler, J. and J. Taylor. 1993. Birdwatching areas: Manusela National Park, Seram, Maluku, Indonesia. OBC Bulletin 18: 21-25. BPS. 1994. Kecamatan Seram Utara dalam Angka. Ambon: Kantor Statistik Maluku Tengah. Churchill, D.M. and P. Christensen. 1970. Observations on pollen harvesting by brush-tongued lorikeets. Australian Journal of Zoology 18: 427-437. Emlen, J.T. 1974. An urban bird community in Tucson, Arizona: derivation, structure, regulation. Condor 76: 184-197. FAO. 1981. Proposed Manusela National Park, Management Plan 19821987. Bogor: Field Report of UNDP/FAO, National Park Development Project INS/78/061. FAO Field Report No. 15. Forshaw, J.M. and M. Cooper. 1989. Parrots of the World. Singapura: Toppan Printing Co.Pte.Ltd. Heddy, S. and M. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi dan Penerapannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Isherwood, I.S., J.D.A Willis, T.R.K. Edwards, J.M.M. Ekstrom, S.Kuriake, I.R. Lubis, H. Notatubun, J. Putnarubun, J.C. Robinson-Dean, and J.A.Tobias. 1997. Biological Surveys and Conservation Priorities in North-East Seram, Maluku, Indonesia. [Final Report of WaeBula 96]. Cambridge UK.: CSB Conservation Publications. Juniper, T. and M. Parr. 1998. Parrots, A Guide to the Parrots of the World. Amsterdam: Pica Press. LLoyd, M. and R.J. Ghelardi. 1964. A table for calculation the equibility component of species diversity. Journal of Animal Ecology 33: 217-225. MacFadyen, A. 1969. Animal Ecology, Aims and Methods. London: Chambridge University Press. Monk, K.A., Y. de Fretes, and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku.The Ecology of Indonesia Series Vol.V. Singapura: Periplus Editions. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: W.B. Saunders. Pielou, E.C.1966. The Measurement of diversity in different types of biological collections. Journal of Biology 13: 131-144. Stresemann, V.E. 1914. De vogel von Seran (Ceram). Novitates Zoological 21: 25-153. White, C.M.N. and M.D. Bruce. 1986. The Birds of Wallacea (Sulawesi, The Moluccas and Lesser Sunda Island, Indonesia). An Annotated Checklist No.7. London: British Ornithologist’s Union. Widodo, W. 1998. Kelimpahan, habitat dan pakan alami burung-burung paruh bengkok (Psittacidae) di Halmahera Utara. Ekologi 2 (3): 12-18. Widodo, W. 1999. Kelimpahan dan pakan alami burung-burung paruh bengkok (Psittacidae) di Tanimbar Selatan. Gakuryoku 5 (3): 168-175.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 59-62

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Morphological Study for Identification Improvement of Tambra Fish (Tor spp.: Cyprinidae) from Indonesia HARYONO, AGUS HADIAT TJAKRAWIDJAJA Zoology Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences Bogor, Cibinong Bogor 16911. Received: 1June 2005. Accepted: 22 July 2005.

ABSTRACT The identification improvement among species of Tor was conducted based on fish specimens in Museum Zoology Bogor. Each species represented 8 specimens and measured 22 characters (in mm) used digital caliper. The Canonical variate analysis (discriminant function analysis) was used. The results showed these four species different in morphology, and Tor soro 100% grouping from its congeners. Five characters were selected to separate species. Commonly, population of tambra fish in the world was critical therefore needed conservation. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Keywords: fish, Tor, morphology, character, species, conservation.

INTRODUCTION Tambra fish or Mahseer also named Kings of the rivers was included to genera Tor and family Cyprinidae. Indonesia has four species of Tor viz., i.e: Tor tambroides Blkr, T. tambra (C.V.), T. douronensis (C.V.) and T. soro (C.V). Kiat (2004) reported that currently, there are about 20 different species have been designated as species under the genus of Tor from all across Asia. Weber and Beaufort (1916) named its genera by Labeobarbus, and differentiated to species based on median fleshy lobe on lower lip; then Kottelat et al. (1993) stated that systematics of Tor are still chaotic. The while, mostly species of Tor are threatened especially by clearing and over-fishing. Rachmatika (2005) reported that Tor spp. no founded at logged stations in the Seturan river of Melinau, East Kalimantan. Furthermore, Primack (1993) stated that a species with a low population density will tend to have only small population if its range fragmented by human activities. Tambra are the largest fishes found within the upper reaches of large rivers where they rule supreme. They grow to enormous sizes of more than a hundreds pounds therefore potential as fish consume. These fish are active swimmers usually preferring to move among the faster flowing waters or rapids. Feeding on variety of foodstuff, including smaller fishes, they occupy the topmost echelons of the complex riverine community (Kiat, 2004; Anonymus, 2003). Then, Sulastri et al. (1985) stated that the algae was main diet of this fish, followed by detritus and insects. In Malaysia, Kiat (2004) reported that these species has price 180 RM per kg, moreover up to 300 RM (RM: Ringgit Malaysia). In North Sumatera, Tor soro used as substitution of batak fish (Neolissochilus thieenmanni) for cultural ceremony. Tor spp. also potential for game fishing like as salmon fish because has strong power. Unfortunately,

population of Tor in native habitats is rare and its systematic still problem, also not yet success to domesticate. Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) is accidently has all species of Tor from Indonesia (Tor soro, T. douronensis, T. tambra, and T. tambroides). This study will be compare these species based on morphology. The results hoped for accurate identification that supported for domestication success (conservation). MATERIALS AND METHODS A total of 32 fish specimens in Museum Zoology Bogor (now Zoology Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences Bogor [LIPI] in Cibinong) were measured, each species represented by 8 specimens. Twenty-two measurements (in mm) of body characters were taken using digital caliper. These characters are TL: total length, HL: head length, HW: head width, HD: head depth, ED: eye diameter, SNL: snout length, IW: interorbital width, ML: mouth length, BD: body depth, BW: body width, CPL: caudal peduncle length, CPD: caudal peduncle depth, DBL: dorsal fin base length, DFH: dorsal fin height, PL: pectoral fin length, VBL: ventral fin base length, ABL: anal fin base length, PPL: pre pelvic length, PAL: pre anal length, PDL: pre dorsal length, SNBL: snout barbell length, MXBL: maxillary barbell length. This methods main refer to Hubbs and Lagler (1974). The canonical variate analysis (discriminant function analysis) were used study the morphological differences between species (Kendall, 1975; Morrison, 1978). The characters were transformed to percent of standard length; and all analyses were performed using SPSS.

RESULTS AND DISCUSSION ♼ Alamat korespondensi: Gedung Widyasatwaloka Jl. Raya Bogor-Jakarta Km. 46, Cibinong-Bogor 16911 Tel.: +62-21-8765056/64, Fax.: +62-21-8765068 e-mail: ikharyono@yahoo.com

The sample size, mean and standard deviation of characters measurement are presented in Table 1. This table shows that Tor tambroides has larger average head


60

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 59-62

length, head depth, mouth length, and pre pelvic length than others species. This result is important to compare among species of tambra fish. Hitherto, among species of Tor separated based on median lobe on lower lip (Figure 1) that completed with compare between osseous of dorsal ray and head length, anal and dorsal fin (Weber and Beaufort, 1916; Kottelat et al., 1993; Inger and Chin, 1990; Kiat, 2004). Weber and Beaufort (1916) explained that Tor soro without lobe, anal less high than dorsal; T. tambroides with lobe that reaching a line connecting corners of mouth; T. douronensis with lobe but not reaching a line connecting corners of mouth, stiff portion of osseous dorsal ray about as long as head without snout; T. tambra with lobe as T. douronensis but stiff portion of osseous dorsal ray not quite half as long as the head.

The generally description of Tor are body elongate, moderately compressed. Snout more or less prominent; mouth inferior or subinferior, horseshoe shaped; upper jaw strongly protractile. Lips more or less thick, continuous, the lower with an uninterrupted transverse fold, the median part of which may be developed into a lobe. Four barbels: an anterior rostral pair, the other pair behind corner of mouth. Suborbital bone narrow. Dorsal with 8-9 bones branched rays and scaly sheath at its base; its origin somewhat before or opposite to origin of ventrals; last osseous dorsal ray enlarged and smooth. Anal with 5 branched rays. Scales large, with fine, longitudinal or converging, more or less undulated lines. Lateral line running in the middle of the tail, complete with 21-28 scales. Specifically T. tambroides has body size larger than the others, Haryono (2003) reported caught its species in Bukit Batikap (Muller mountain region, Central Kalimantan) that 20 kg weights; moreover, local people informed was caught 80 kg. Smith (1945) also reported that the size of Tor reached 100 cm and weight > 30 kg. The while, size of T. douronensis from Kayan Mentarang Nature Reserve, now National Park in East Kalimantan commonly 3-5 kg (Haryono, 2002). Similarly with T. douronensis, the size of T. soro < 10 kg weights. The last species protected by local people in Kuningan Regency West Java after hundreds years at swimming pool viz. Cibulan, Cigugur, Pasawahan and Darmaloka. The body color this species is different among swimming pool, therefore interesting for genetics study. The morphometric data was examined by canonical discriminant Figure 1. The median lobe at lower lips of Tor. analysis with two steps. First step was examined all characters, and second of them only examined selected characters (5 characters). Table 1. The results of characters measurement (mean and standard deviation) The selection of characters following value of Wilk’s Lambda, and the T. tambra T. douronensis T. soro T. tambroides result of main characters viz. IW, Characters SL:154.650±50.469 SL:120.338±7.859 SL:120.488±11.402 SL:125.088±19.809 CPL, CPD, HW, and BD. The box plot n: 8 n: 8 n: 8 n: 8 first character (IW) represent at TL 133.398 ±2.467 133.175 ±2.488 132.247 ±2.841 129.118 ±3.391 Figure 2 that showed range its HL 26.462 ±1.346 27.325 ±2.003 25.678 ±1.081 28.438 ±1.442 character of Tor soro is widest, HW 16.269 ±0.721 16.173 ±0.706 15.311 ±1.096 15.657 ±0.593 whereas Tor tambra is smallest. HD 19.703 ±0.927 19.858 ±0.909 19.560 ±0.614 20.168 ±1.029 ED 6.014 ±0.654 6.733 ±0.660 6.132 ±0.255 6.931 ±1.009 Then plotting of selected characters SNL 10.204 ±0.750 9.772 ±0.835 9.331 ±0.666 9.548 ±0.379 by function 1, 2, and 3 explained IW 10.288 ±0.150 9.069 ±0.361 9.853 ±0.999 9.323 ±0.423 variation each 63.6%, 31.3% and ML 9.796 ±0.531 9.747 ±1.088 9.149 ±1.147 10.539 ±0.469 5.1% (Table 2.), and a joined these BD 30.324 ±2.070 30.733 ±1.684 29.231 ±3.227 28.752 ±3.094 function explained 87.5%. BW 16.235 ±1.622 14.466 ±1.889 15.516 ±1.098 13.864 ±0.517 Figure 3 showed that Tor soro CPL 15.255 ±1.231 17.163 ±0.959 16.392 ±1.896 16.792 ±1.573 different from its congeners by 100% CPD 12.345 ±0.737 12.771 ±0.672 13.177 ±0.944 11.981 ±0.963 grouping, 12.5% of Tor tambra DBL 14.891 ±0.727 15.674 ±1.021 15.733 ±1.772 15.281 ±0.696 DFH 26.108 ±2.238 25.814 ±1.785 24.951 ±1.880 24.371 ±3.423 grouping with Tor tambroides, 12.5% PL 23.531 ±3.464 23.236 ±0.882 22.472 ±0.792 22.670 ±1.350 of Tor douronensis grouping with Tor VBL 21.162 ±2.609 20.804 ±0.962 20.277 ±1.180 19.045 ±1.951 tambroides; Tor tambroides grouping ABL 8.287 ±0.706 8.685 ±0.569 8.403 ±0.276 7.960 ±0.520 with Tor tambra and Tor douronensis PPL 51.733 ±1.999 51.100 ±2.164 51.035 ±1.279 53.216 ±1.725 eaches 12.5%. Tor soro strictly PAL 75.800 ±2.761 75.890 ±1.143 76.838 ±1.129 76.600 ±2.036 separated that assumed no median PDL 51.570 ±1.011 50.131 ±2.209 50.135 ±2.424 50.156 ±1.351 lobe at lower lip, while the others SNBL 9.018 ±1.556 9.207 ±2.690 6.904 ±0.362 8.640 ±1.357 present but not similar. MXBL 10.076 ±0.601 10.803 ±2.685 8.481 ±1.247 10.518 ±1.711


HARYONO – Tor from Indonesia

11.5

INTERORBITAL WIDTH

11.0

10.5

10.0

9.5

9.0

8.5 8.0 Tor tambra

T. douronensis

T. soro

T.tambroides

SPECIES

Figure 2. Box plot of inter-orbital width (IW) of four species of Tor from Indonesia. 4

3

Function 2

2

0

2

4 1

Species Tor tambroides

-2 Tor soro Tor douronensis

-4 -4

Tor tambra

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

Function 1

Figure 3. Plotting four species of Tor from Indonesia.

Table 2. Selected characters, canonical variate function coefficient for four species of Tor . Standard and standardized (in brackets). Characters IW CPL CPD HW BD Constanta Eigenvalues (%)

1 -5.200 (-2.179) 0.294 (0.709) 0.004 (0.252) 0.043 (0.878) 0.041 (0.122) -11.355 63.6

Functions 2 -0.052 (0.147) 0.149 (0.261) 0.394 (1.823) -0.112 (-0.687) -0.381 (-0.464) -3.934 31.3

3 0.407 (0.250) -0.249 (0.084) 0.747 (0.720) 0.630 (0.706) 0.584 (0.116 -27.481 5.1

The description was explained by Kiat (2004), Roberts (1989, 1993; 1999), Tweedie (1956), Zhou and Cui (1996), and Kottelat (2001) that Tambra or Mahseer have large of head and mouth. The head is somewhat elongated allowing it to easily swim headlong against fast flowing waters with minimal resistance. The snout is obtusely rounded, and prominent. The inter-orbital space between the eyes is flat and the snout is pointed while the jaws are of equal length. They have two pairs barbells, one near the snout and the other at the maxilla. The nostrils are close together and nearer to the eye than to the snout. The mouth which is

61

both protrusible and suctorial. The mouth is slightly inferior, making it well adapted for feeding off the sub-stratum of fast flowing streams and rivers. Generally mature female have a more rounded belly as compared to males, which usually have a firmer and more keeled ventral surface. The large scales are descriptive of this group of fishes. The number of scales on the lateral line range from 20 to 30 usually. The cycloid scales, though large, are quite fine and can be eaten as a snack when fried or steamed. The coloration of Mahseer is also sought after by hobbyists for its beautiful coloration. Pigmented completely across the body, the coloration of the Mahseer is a rich matrix of yellow, red and blue. The completely description four species of Tor from Indonesia were described by Weber and Beaufort (1916) based on morphological characters, these are: Tor soro Dorsal fin with 3 spines and.8-9 rays; anal fin with 3 spines and 5 rays; Pectoral fin with 1 spine and 14-16 rays; ventral fin with 2 spines and 8 rays; linea leteralis with 2428 scales. Height 3.4-3.8 in SL, 4.3-4.6 in length with caudal. Head about 4.3 in SL, 5.4 in length with caudal. Eye about 4, about 1 1/3 in somewhat prominent snout and nearly twice in interorbital space. Mouth inferior. Lips moderately thick, median part of lower lip without lobe, but fixed to the skin. Rostral barbels about as long as eye or longer, shorter than maxillary ones. Length of operculum 11/2-13/4 in its height. Origin of dorsal nearer to snout than th th to base of caudal, opposite 7 or 8 scale lateral line, somewhat before origin of ventrals, separated by 8 or 9 scales from occiput. Dorsal concave, its third spine ossified, strong, somewhat shorter than head, without its flexible part shorter than head without snout. Anal oblique, not reaching caudal when depressed, its longest ray somewhat less than dorsal spine. Ventrals conspicuously shorter than, pectorals and much shorter than height of dorsal, far distant from anus, separated by 2scales from lateral line. Pectorals somewhat shorter than height of dorsal, far distant from ventrals. Caudal deeply incised, the lobes pointed, much longer than head. Least height of caudal peduncle 1 ½ in its lenghth, surrounded by 12 scales. Silvery, back olivaceous. Scales on upper surface with a darkish base, fins hyaline. Tor tambroides Dorsal fin with 3 spines and.9-10 rays; anal fin with 3 spines and 5 rays; pectoral fin with 1 spine and 15-16 rays; ventral fin with 2 spines and 8 rays; linea leteralis with 2324 scales Height 3 to more than 3.4 or somewhat more in length with caudal. Head about 3.6- 3.8, 4.6 – 5 in length with caudal. Eye 4 – 5, 1 ½ to 2 in interorbital space. Lips broad, swollen, thick, continuous, the upper one generally with an anterior lobe, the lower one with a long free median lobe, which reaches to aline connecting the corners of the mouth. Maxillary barbels somewhat longer than the rostral ones, slightly or much longer than eye. Origin of dorsal about in the middle between end of snout and root of caudal, separated by 8 or 9 scales from occiput, opposite to 7th scale of lateral line and slightly before origin of ventrals. Dorsal concave, third spine strong, osseous about 1 1/3 in head, its stiff portion as long as the head without snout. Anal truncate, depressed not reaching caudal, its height somewhat less than that of the dorsal. Ventral as long as height of anal, not reaching anus, separated by 2 scales from lateral line. Pectoral slightly shorter than height of dorsal. Caudal deeply forked, its lobe pointed, the lower one the longer, equal to or longer than head. Least height of


62

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 59-62

caudal peduncle about 1 ½ times in its length, surrounded by 12 scales, Silvery, back dark, as also the fins. Tor duoronensis Dorsal fin with 3 spines and.9 rays; anal fin with 3 spines and 5 rays; pectoral fin with 1 spine and 16 rays; ventral fin with 2 spines and 8 rays; linea leteralis with 2124 scales Height 3.2-3.3, 4.1 in length with caudal. Head 44.2, 5-5.3 in length with caudal. Eye 4 ½ – 5, 1 ½ or more in snout, twice or somewhat more in interorbital space. Rostral barbels about 1 ½ times, maxillary barbels about twice in eye. Lips thick, continuous, the lower one with median, more or less developed square lobe, the hindborder of which does not reach the line connecting the corners of the mouth. The blunt snout somewhat prominent, th th mouth inferior. Origin of dorsal opposite to 6 or 7 scale of lateral line and slightly before that of ventrals, separated by 8 scales from occiput, somewhat nearer to end of snout than to base of caudal. Dorsal concave, its third spine osseous, rather strong, slightly shorter than head, its stiff part about equal to head without snout. Anal truncate, slightly less high than dorsal, depressed not reaching caudal. Ventrals separated by 2 scales from lateral line, their length about equal to height of anal, distant from anus. Pectoral slightly shorter than height of dorsal. Caudal deeply forked, its lobe pointed, about equal to head. Least height of caudal peduncle 1 ½ or more in its length, surrounded by 12 scales. Silvery, back darkish. Base of scales of back and sides darkish. Tor tambra Dorsal fin with 4 spines and.8-9 rays; anal fin with 3 spines and 5 rays; pectoral fin with 1 spine and 14-16 rays; ventral fin with 1 spines and 7-8 rays; linea leteralis with 2224 scales. Height 3 ½-4, 4-4 1/5 in length with caudal. Head pointed, 3.3-4.2, 4.1-5.3 in length with caudal. Eye 5-6.6, 1 ¾ to more than twice in snout and about twice in slightly convex interorbital space. Maxillary barbels generally somewhat longer than the rostral ones and about equal to length of snout. Snout prominent, mouth inferior, lips thick, continuous, the lower one with a median well developed free lobe, the hindborder of which is convex or truncate, but does not reach the line connecting the corners of the th mouth. Origin of dorsal opposite to 7 scale of lateral line and slightly before that of ventral, separated by 8 or 9 scales from occiput, nearer to end of snout than to base of caudal. Dorsal concave, its fourth ossified spine rather feeble, with its flexible portion equal to head without snout, its stiff portion less than half length of head. Anal truncate, its height somewhat more than that of dorsal, depressed reaching base of caudal or not so far. Ventrals separated by 2 scales from lateral line, their length equal to height of anal or somewhat less, distant from anus. Pectorals much longer than height of dorsal, somewhat less than length of head. Caudal deeply forked, its lobe pointed, shorter than head. Less height of caudal peduncle 1 ½ in its length, more or less than twice in length of head, surrounded by 12 scales. Silvery, fins darkish. Tambra fish are interesting both consume fish and ornamental fish, however this fish has low population that resulted by constant degradation of freshwater. This fish very sensitive to water quality changes and can thrive only in waters which are clean and undisturbed. In addition, uncontrolled harvesting and distortion of the riverine ecosystem and its surrounding have contributed further to the general decline in number of tambra fish in the world.

Therefore, conservation is needed such as by method of protection and rehabilitation of rivers.

CONCLUSION Tor soro strictly separated from its congeners. Five morphology characters (IW, CPL, CPD, HW, and BD) most important for differentiated four species of Tor from Indonesia, beside median lobe on lower lips. Tor tambroides has body size larger than the others and interesting for continued study (domestication); Tor soro is important for genetics study. All species of Tor have economically potential and critical population so needed conservation.

AKNOWLEDMENTS Authors wishes to thanks Ng Chee Kiat, M.Sc. from Inter Sea Fishery Malaysia for trigger this study. Thanks also to Coordinator of Muller Project, Dr. Endang Sukara, APU and Dr. Dedy Darnaedi for theirs support of this study; Sophian Sauri and Gema Wahyu Dewantoro for measuring specimens of Tor in Museum Zoology Bogor (MZB).

REFERENCES Anonymus. 2003. Freshwater Fishes of Sarawak. Monthly Magazine of The Sarawak Timber Association 120 (August 2003): 4-6. Haryono. 2002. Studi pendahuluan komunitas ikan di perairan Taman Nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur. Zoo Indonesia 29: 41-49. Haryono. 2003. Komunitas Ikan di Perairan sekitar Bukit Batikap Kawasan Pegunungan Muller, Kalimantan Tegah. [Laporan Perjalanan]. Bogor: Puslit Biologi-LIPI. Hubbs, C.L. and K.F. Lagler. 1974. Fishes of the Great Lakes Region. Ann Arbor, MC.: University of Michigan Press. Inger, R.F. and P.K. Chin. 1990. The freshwater fishes of North Borneo. In: Fieldiana (ed.): Zoology Volume 45, Chicago Natural History Museum. Kinabalu: Tatana Printers. Kendall, S.M. 1975. Multivariate Analysis. London: Charles Griffin & Co. Ltd. Kiat, Ng-Chi. 2004. The Kings of the Rivers Mahseer in Malaysia and the Region. Selangor: Inter Sea Fishery. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari, and S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Singapore: Periplus. Kottelat, M. 2001. Fishes of Laos. Colombo-Srilangka: WHT. Publications (Pte) Ltd. Morrison, D.F. 1978. Multivariate Statistical Methods. Auckland: Mc.Graw Hill. Primack, R.B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sunderland: Sinauer Associates Inc. Rachmatika, I. 2005. Fish. In: Meijard, E. (ed.). Life after Logging Reconcilling Wildlife Conservation and Production Forestry in Indonesia Borneo. Bogor: CIFOR. Roberts, T.R. 1989. The freshwater fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). In: California Academy of Sciences No. 14. Los Angeles: California Academy of Sciences. Roberts, T.R. 1993. The freshwater fishes of Java, as observed by Kuhl and van Hasselt in 1820-23. Zoologische Verhandelingen 285: 1-94. Roberst, T.R. 1999. Fishes of the Cyprinids genus Tor in the Nam Theun watershed (Mekong basin) of Laos, with description of a new species. The Raffles Bulletin of Zoology 47 (1): 225-236. Weber,M.and L.F. Beaufort. 1916. The fishes of the Indo-Australian archipelago III, Ostariophysi: II. Cyprinoidea, Apodes, Synbranchi. Leiden: E.J. Brill, Ltd. Smith, H.M. 1945. The freshwater fishes of Siam or Thailand. In: Bulletin United States National Museum No. 188. Washington, D.C.: United States National Museum. Sulastri, I. Rachmatike, and D.I. Hartoto. 1985. Pola makan dan reproduksi Ikan Tor spp. sebagai dasar budidayanya. Berita Biologi 3 (3): 84-90. Tweedie, M.W.F. 1956. Notes on Malayan freshwater fishes. Bulletin of the Raffles Museum 27: 56-64. Zhou, W. and G.H. Cui. 1996. Thailand river carp, Tor douronensis. Ichthyological Exploration Freshwater 7 (2): 131-142.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 63-66

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak Waterbirds diversity in Peniti mangrove forest, Pontianak Regency DEWI ELFIDASARI1,♼, JUNARDI2 1

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta 12110 2 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Tanjungpura, Pontianak 78124 Diterima: 1 September 2005. Disetujui: 19 Desember 2005.

ABSTRACT The aim of this research was to know waterbirds diversity in the Peniti mangrove forest, Pontianak Regency. This research was found 19 species (9 families) of waterbirds that living in the Peniti mangrove forest, Pontianak Regency, West Kalimantan. This identification showed that four species were member of Sternitidae Family, three species were member of Ardeidae Family, other three species were member of Anatidae Family, two species were member of Laridae Family, two species from Accipritidae Family, and Alcedinidae Family. One species from Ciconidae Family, Scolopacidae Family, and Ploceidae Family. Thirteen species of them were protected in Indonesia; there were Egretta garzetta, E. sacra, Ardea cinerea, Ciconia episcopus, Larus ridibundus, L. brunnicephalus, Sterna sumatrana, S. dougallii, Anous minutus, Gygis alba, Halcyon pileata, Todirhamphus chloris, and Lonchura fuscans. Lochura fuscans was belonging to Indonesian endemic birds, because we only found this bird species in Kalimantan Islands. Two species, Haliaetus leucogaster and Haliastur indus were the International protected species according to Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: waterbirds, protected, endemic, species.

PENDAHULUAN Burung air adalah jenis burung yang seluruh hidupnya berkaitan dengan daerah perairan. Menurut Rusila-Noor dkk. (1999), burung air dapat diartikan sebagai jenis burung yang secara ekologis bergantung pada lahan basah. Lahan basah yang dimaksud mencakup daerah lahan basah alami dan lahan basah buatan, meliputi hutan mangrove, rawa, dataran berlumpur, danau, tambak, sawah dan lain-lain. Burung air dijumpai hidup secara berkelompok, umumnya dalam kelompok yang sangat besar dengan jumlah individu banyak. Hal ini merupakan salah satu upaya perlindungan diri pada saat mencari makan. Pembentukan kelompok pada saat makan bertujuan untuk mengusik mangsa yang bersembunyi di dalam lumpur (Sibuea dkk., 1995). Sebagian besar burung air adalah penghuni tetap daerah tropis dan subtropis. Biasanya mereka menjadikan daerah perairan atau lahan basah dan sekitarnya sebagai habitat, seluruh aktivitas hidup bergantung pada keberadaan daerah tersebut (Davies dkk., 1996). Menurut Ismanto (1990) beberapa spesies burung air termasuk famili Ardeidea menjadikan daerah perairan tawar dan sekitarnya seperti rawa, tambak, hutan bakau dan muara sungai sebagai habitat untuk tempat mencari makan. Powell (1986) menyatakan bahwa ordo Ciconiiformes umumnya memilih daerah estuaria sebagai tempat hidupnya, hal ini

♼ Alamat korespondensi: Jl. Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta 12110 Tel. +62-21-72792753 ext. 121, Fax. +62-21-7244767 email: dewielfidasari@yahoo.com

berkaitan dengan proses pencarian makan. Kehadiran burung air dapat dijadikan sebagai indikator keanekaragaman hayati pada kawasan hutan mangrove. Hal ini berkaitan dengan fungsi daerah tersebut sebagai penunjang aktivitas hidup burung air, yaitu menyediakan tempat berlindung, mencari makan, dan tempat berkembang biak (bersarang). Kawasan hutan mangrove adalah daerah perairan yang memiliki ekosistem produktif serta merupakan daerah peralihan antara lingkungan terestrial dan lautan. Daerah ini umumnya ditumbuhi oleh jenis vegetasi yang khas berupa tumbuhan yang relatif toleran terhadap perubahan salinitas, karena pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai yang dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pengikisan daerah pantai. Hutan ini juga berperan dalam mendukung kehidupan fauna di daerah pesisir dan lautan (Davies dkk., 1996) Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa seperti primata, reptilia, dan burung. Jenis burung yang hidup di daerah mangrove tidak selalu sama dengan jenisjenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya, karena sifat khas hutan mangrove (Rusila-Noor dkk., 1995). Secara lebih rinci, Rose dan Scott (1994) menggolongkan famili burung air di Indonesia sebagai berikut: Podicipedidae (titihan), Phalacrococidae (pecuk), Pelecanidae (pelikan), Ardeidae (kuntul, cangak, kowak), Ciconiidae (bangau), Threskiornithidae (pelatuk besi, burung paruh sendok), Anatidae (bebek, mentok, angsa), Gruidae (burung jenjang), Rallidae (ayam-ayaman, mandar, kareo, terbombok), Heliornithidae (finfoot), Jacanidae (ucingucingan), Rostratulidae, Haemotopodidae, Charadriidae (trinil), Scolopacidae (gajahan, berkek), Recurvirostridae,


64

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 63-66

Phalaropodidae, Burhinidae, Glareolidae (terik) dan Laridae (camar). Kalimantan Barat memiliki tipe pantai mangrove, terumbu karang, dan pantai berlumpur (Dinas Perikanan Kalimantan Barat, 1989). Salah satu jenis fauna yang menyukai daerah tersebut sebagai habitat untuk mencari makan adalah burung air. Keaneka-ragaman jenis burung air di kawasan hutan mangrove tersebut perlu diketahui mengingat peranannya sebagai indikator biologi kawasan tersebut. Informasi keanekaragaman jenis burung air di kawasan hutan mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat hingga saat ini belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian inventarisasi dan identifikasi keanekaragaman jenisnya.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini memilih objek burung air penghuni kawasan hutan mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Penelitian dilakukan pada bulan Maret s.d. Agustus 2004. Penelitian ini menggunakan metode survei dan pengamatan langsung di kawasan hutan mangrove dan sekitarnya. Pengamatan lapangan dilanjutkan analisis rekaman gambar di laboratorium. Penjelajahan jalur pengamatan dilakukan tiga kali dalam waktu yang berbeda sebagai ulangan. Pengamatan lapangan dimulai dengan menyisir sungai Peniti menuju muara, dilanjutkan menyisir daerah mangrove di sepanjang pesisir pantai Peniti dengan menggunakan kapal motor. Metode sensus burung dilakukan dengan membuat satu seri daftar jenis burung air yang berada/tampak di sepanjang lokasi penyisiran selama waktu pengamatan. Setiap jenis baru dicatat hingga mencapai 10 jenis, lalu dibuat daftar baru lagi. Jenis yang sama tidak boleh dicatat dua kali dalam satu daftar (MacKinnon dkk., 1994). Identifikasi jenis burung air juga dilakukan langsung di lapangan berdasarkan bentuk morfologinya, dengan merujuk Howes dkk. (2003), meliputi: (i) bentuk dan ukuran tubuh, paruh, dan kaki, (ii) warna bulu pada tubuh, paruh, dan kaki, (iii) ciri-ciri khas yang tampak, serta (iv) suara yang dihasilkan. Selain itu juga dilakukan dokumentasi dengan kamera video dan kamera foto untuk kemudian diidentifikasi lebih lanjut di laboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan adanya 19 famili burung yang hidup di kawasan hutan mangrove Peniti dan sekitarnya. Tujuh famili merupakan famili burung air dan sisanya adalah burung darat. Burung-burung tersebut dijumpai di sepanjang sungai Peniti hingga muara sungai dan daerah pesisir pantai Peniti menuju ke arah Laut Natuna. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa empat jenis merupakan anggota Famili Sternitidae, tiga jenis masingmasing anggota Famili Ardeidae dan Famili Anatidae, dua jenis dari Famili Laridae dan Famili Accipitridae sedangkan yang termasuk dalam Famili Ciconidae, Anatidae, Alcedinidae, dan Ploceidae masing-masing hanya satu jenis (Tabel 1.). Famili Scolopacidae belum berhasil diidentifikasi sampai tingkat jenis karena umumnya mereka terbang secara berkelompok dengan kecepatan yang tinggi. Dalam satu kelompok terbang biasanya terdiri dari lima hingga dua puluh ekor burung, masing-masing kelompok dapat terdiri lebih dari tiga jenis burung dari famili yang

sama, sehingga menyulitkan identifikasi. Berdasarkan kehadirannya pada saat pengamatan, jenis burung air yang selalu dijumpai adalah anggota Famili Sternitidae, Laridae, Scolopacidae, serta kuntul kecil (Egretta garzetta) dan sindang lawe (Ciconia episcopus) (Tabel 2.). Mereka merupakan burung air yang sering ditemukan di lokasi pengamatan, dengan jumlah yang relatif lebih banyak dibandingkan burung air lain yang terdapat di lokasi ini. Anggota Famili Sternitidae, Laridae, dan Scolopacidae umumnya dijumpai di sekitar kapal penangkap ikan yang sedang berlayar atau pada saat proses menarik jala oleh nelayan di pesisir pantai Peniti. Sedangkan E. garzetta dan C. episcopus dijumpai saat mencari makan di tepi pantai dan saat bertengger (istirahat) di atas pohon bakau. Jenis burung yang hanya terlihat dua kali dari tiga kali pengamatan adalah cangak abu-abu (Ardea cinerea), elang bondol (Haliastur indus), dan elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster). A. cinerea terlihat sedang terbang menuju ke sarang di atas pohon bakau pada kawasan hutan mangrove di pesisir pantai Peniti. H. leucogaster dan H. indus satu kali terlihat sedang terbang melayang di atas laut dan muara sungai Peniti, diduga keduanya sedang mengamati mangsa di laut. Keduanya juga tampak pada saat sedang bertengger di pohon bakau, masing-masing dijumpai pada lokasi yang berbeda. Hal yang paling menarik pada pengamatan kali ini adalah dijumpainya C. episcopus pada setiap kali pengamatan. Hal ini jarang sekali terjadi karena bangau ini termasuk salah satu jenis bangau yang saat ini sudah jarang terlihat, selain karena jumlahnya yang relatif tinggal sedikit, keberadaannya juga sulit ditemukan. Penduduk setempat menyebutnya dengan “burung kambing� karena bentuk dan ukuran tubuhnya yang relatif lebih besar dibandingkan dengan burung-burung air lainnya. Informasi dari penduduk setempat, C. episcopus terakhir kali terlihat di daerah ini pada akhir tahun 2002. Pada penelitian ini juga berhasil dijumpai jenis burung yang memiliki sebaran terbatas (endemik), merupakan jenis burung yang hanya ditemukan di pulau Kalimantan yaitu bondol kalimantan (Lonchura fuscans). Bondol kalimantan adalah burung pipit dengan seluruh bulu tubuh berwarna coklat kehitaman, paruh dan kaki berwarna hitam, hidup di sepanjang sungai dan menghuni daerah pedalaman (Tabel 2.). Burung ini termasuk jenis yang dilindungi di Indonesia karena status keberadaannya (Sujatnika dkk., 1995). Selain C. episcopus dan L. fuscans jenis lain yang termasuk dalam burung yang dilindungi di Indonesia adalah E. garzetta, E. sacra, A. cinerea, Sterna sumatrana, Sterna dougallii, Anous minutus, Gygis alba, Halcyon pileata, dan Todirhamphus chloris (MacKinnon dkk., 1994). Dua jenis yang termasuk dalam satwa dilindungi secara internasional berdasarkan Appendix II Konvensi Internasional untuk Perdagangan Satwa yang Terancam Punah (CITES) adalah dua jenis elang, H. leucogaster dan H. indus (Sujatnika dkk., 1995). Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa hampir semua burung air yang menghuni kawasan hutan mangrove Peniti merupakan jenis burung pemangsa ikan, hal ini berkaitan dengan morfologi burung dan sumber daya alam yang terdapat di kawasan ini. Rose dan Scoot (1994) menyatakan, lokasi mencari makan pada burung biasanya dipilih berdasarkan perbedaan bentuk dan ukuran tubuh setiap jenis serta makanan yang disukai. Selain ikan, jenis mangsa yang dapat diperoleh di daerah ini adalah hewanhewan air lain seperti udang, kepiting, ular air, kodok, serta mamalia kecil seperti tikus dan tupai.


ELFIDASARI dan JUNARDI – Burung air di hutan mangrove Peniti, Pontianak

65

Tabel 1. Jenis burung yang berhasil dijumpai pada daerah sekitar hutan mangrove Peniti. Famili Ardeidae

Nama Spesies Nama daerah Status keberadaan Kuntul kecil Banyak Egretta garzetta Kuntul karang Jarang Egretta sacra Cangak abu-abu Sangat jarang Ardea cinerea Ciconidae Sindang lawe Rentan Ciconia episcopus Anatidae Itik benjut Banyak Anas gibberifrons Itik penelope Jarang Anas penelope Itik rumbai Jarang Aythya fuligula Accipitridae Elang laut perut putih Sangat jarang Haliaeetus leucogaster Elang bondol Jarang Haliastur indus Scolopacidae Tringa sp. Trinil Banyak Laridae Camar kepala hitam Banyak Larus ridibundus Camar kepala coklat Banyak Larus brunnicephalus Sternitidae Dara laut tengkuk hitam Banyak Sterna sumatrana Dara laut jambon Banyak Sterna dougallii Dara laut hitam kecil Banyak Anous minutus Dara laut putih Jarang Gygis alba Alcedinidae Cekakak cina Jarang Halcyon pileata Cekakak sungai Jarang Todirhamphus chloris Ploceidae Bondol kalimantan Endemik Lonchura fuscans Keterangan: Status perlindungan: P: dilindungi di Indonesia, P II: Appendix II (CITES), *: Tidak diketahui.

Status perlindungan P P P P * * * P II P II * P P P P P P P P P

Tabel 2. Daftar kehadiran burung pada saat pengamatan. Famili Ardeidae

Ciconidae Anatidae

Accipitridae Scolopacidae Laridae Sternitidae

Alcedinidae Ploceidae

Nama spesies Egretta garzetta Egretta sacra Ardea cinerea Ciconia episcopus Anas gibberifrons Anas penelope Aythya fuligula Haliaeetus leucogaster Haliastur indus Tringa sp Larus ridibundus Larus brunnicephalus Sterna sumatrana Sterna dougallii Anous minutus Gygis alba Halcyon pileata Todirhamphus chloris Lonchura fuscans

Pengamatan I II III 17 21 15 3 1 1 1 1 3 8 5 4 2 3 2 1 1 1 1 1 32 17 23 1 4 2 4 6 3 31 26 24 21 29 23 19 6 11 5 2 7 1 2 4 4 2 1 2

Lokasi temuan Tepi pantai, di atas pohon bakau, terbang menuju hutan mangrove Tepi pantai Terbang menuju hutan mangrove Terbang menuju hutan mangrove, berdiri di tepi pantai dekat hutan mangrove Berenang di sungai Berenang di sungai Berenang di sungai Terbang diatas muara sungai Terbang menuju hutan mangrove, terbang diatas sungai Terbang di laut mengikuti kapal nelayan Terbang di laut, terbang mengikuti kapal nelayan Terbang di laut, terbang mengikuti kapal nelayan Terbang di laut, terbang mengikuti kapal nelayan Terbang di laut, terbang mengikuti kapal nelayan Bertengger pada tanaman bakau tepi pantai peniti Terbang di laut, terbang mengikuti kapal nelayan Bertengger pada tanaman bakau tepi pantai peniti Bertengger pada tanaman bakau tepi pantai peniti Bertengger pada tanaman bakau tepi pantai peniti

Salah satu penyebab kemelimpahan burung pada suatu lokasi adalah ketersedian bahan makanan. Bahkan beberapa kelompok burung dapat hidup lestari hingga saat ini disebabkan telah berhasil menciptakan relung yang khusus bagi dirinya sendiri untuk mengurangi kompetisi atas kebutuhan sumber daya dan sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan. Egretta garzetta, E. sacra, dan Ardea cinerea merupakan burung air yang biasa mencari mangsa di daerah pesisir pantai atau muara sungai yang berlumpur. Ketiganya merupakan pemangsa ikan dan umumnya memiliki kebiasaan khusus dalam mencari makan, yaitu dengan cara berdiri pada suatu tempat atau mengikuti mangsa.

Sedangkan kelompok burung dara laut dan camar seperti Sterna sumatrana, S. dougallii, Gygis alba, Halcyon pileata, dan Todirhamphus chloris memiliki pola mencari makan yang berbeda dengan famili Ardeidae. Kelompok ini biasanya terbang di sekitar mangsa atau berdiri mengamati mangsa dari atas dahan atau tempat yang tinggi, kemudian akan menukik masuk ke dalam air untuk menangkap mangsa yang sedang berenang. Perbedaan pola dan cara memperoleh mangsa ini diduga mampu menciptakan kebersamaan antara beberapa jenis burung untuk dapat hidup dan mencari mangsa bersama-sama pada waktu dan lokasi yang sama.


66

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 63-66

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Jenis burung di hutan mangrove Peniti sebanyak 19 jenis berasal dari 9 famili. Burung air yang paling sering dijumpai pada saat pengamatan berasal dari famili Sternitidae dan Scolopacidae. Sebelas jenis termasuk dalam jenis yang dilindungi di Indonesia yaitu: Egretta garzetta, E. sacra, Ardea cinerea, Ciconia episcopus, Larus ridibundus, L. brunnicephalus, Sterna sumatrana, S. dougallii, Anous minutus, Gygis alba, Halcyon pileata, Todirhamphus chloris, dan Lonchura fuscans. Dua jenis termasuk dalam jenis yang dilindungi berdasarkan Appendix II CITES, yaitu: Haliaeetus leucogaster dan Haliastur indus. Jenis burung endemik yang hanya dijumpai di Pulau Kalimantan adalah bondol kalimantan (Lonchura fuscans).

Davies, J., G. Claridge, dan C.H.E. Niranita. 1996. Manfaat Lahan Basah Dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Bogor: Direktorat Jendral PHPA & Asian Wetland Bureau. Dinas Perikanan Kalimantan Barat. 1989. Pemanfaatan sumber daya dan program pengembangan perikanan Daerah Tingkat I Kalimantan Barat. Prosiding Temuan Karya Ilmiah Pengkajian Potensi dan Prospek Pengembangan Perikanan Wilayah Kalimantan. Pontianak, 11-12 Januari 1989. Howes, J., D. Bakewell, dan Y. Rusila-Noor. 2003. Panduan Studi Burung Pantai. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme. Ismanto. 1990. Populasi dan Habitat Burung Merandai di Rawa Jombor Jawa Tengah [Laporan Penelitian]. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM. MacKinnon, J., K. Phillips dan B. van Ballen. 1994. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam) [LIPI-Seri Panduan Lapangan]. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI. Powell, G.V.N. 1986. Habitat use by wading birds in a subtropical estuary: implication of hydrography. Auk 104:740-749. Rose, P.M. and D.A. Scott. 1994. Waterfowl Population Estimates. IWRB, Publication No.29. Slimbridge. U.K.: IWRB. Rusila-Noor, Y., M. Khazali, and I.N.N Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: PKA & Wetlands International-Indonesia Programme. Sibuea, T.Th, Y. Rusila-Noor, M.J. Silvius, dan A. Susmianto. 1995. Burung Bangau, Pelatuk Besi dan Paruh Sendok di Indonesia. Panduan untuk Jaringan Kerja. Jakarta: PHPA & Wetlands International-Indonesia Programme Sujatnika, P.J., T.R. Soehartono, M.J. Crosby dan A. Mardiastuti. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia: Pendekatan Daerah Burung Endemik (Conserving Indonesian Biodiversity: The Endemic Area Approach). Jakarta: PHPA & BirdLife International-Indonesia Programme.

UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini didanai oleh Forum HEDS-Project. Untuk itu dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terimakasih kepada pendana atas bantuannya sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 67-72

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali Diversity and abundance of macrozoobenthos in mangrove rehabilitation forest in Great Garden Forest Ngurah Rai Bali YULIA RAHMA FITRIANA1,2,♥ 1

Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (UNILA), Bandar Lampung 35145 2 Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fahutan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus Darmaga Bogor 16680 Diterima: 8 Juli 2005. Disetujui: 19 Desember 2005.

ABSTRACT Rehabilitation of mangrove was required to increase biodiversity and abundance population of fauna, including macrozoobenthos. The aims of this research were to study influence of biotic and abiotic factors to diversity and abundance of macrozoobenthos. This research was conducted on June, 2003 in Great Garden Forest (Tahura) Ngurah Rai, Bali. The observation plots were Rhizophora apiculata’s and Rhizophora mucronata’s planted in different plant density. The results of this experiment showed that diversity and abundance of macrozoobenthos were not significant correlation to the density of the plants. The abundance of macrozoobenthos was negatively correlation to substrate texture. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: makrozoobenthos, diversity, abundance, rhizophora, mangrove.

PENDAHULUAN Hutan mangrove dunia sebagian besar tersebar di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Dari keseluruhan mangrove dunia, Indonesia memiliki area mangrove terluas (4,255 juta ha), disusul Brazil (1,340 juta ha), Australia (1,150 juta ha), dan Nigeria (1,0515 juta ha). Luas mangrove di Indonesia sekitar 23% dari total mangrove dunia (Spalding dkk., 1997). Saat ini mangrove telah mengalami degradasi karena berbagai sebab dan permasalahan yang dihadapinya. Degradasi hutan mangrove Indonesia terjadi akibat pemanfaatan yang kurang tepat atau mengalami perubahan fungsi, salah satunya menjadi areal pertambakan udang. Di samping itu, kegiatan pemanfaatan kayu hutan bakau untuk bahan baku arang dan kayu bakar menjadi pendorong menurunnya kualitas hutan mangrove. Hutan mangrove yang terdegradasi akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove sehingga fungsi alaminya terganggu. Keadaan tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang memiliki berbagai fungsi dan manfaat, meliputi fungsi fisik, biologi, dan ekonomi atau produksi. Upaya rehabilitasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor biotik dan abiotik. Keduanya mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi mangrove. Menurut Marsono dkk. (1994) keberhasilan rehabilitasi mangrove dapat meningkatkan keanekaragaman dan populasi biota laut. Salah satu biota tersebut adalah golongan invertebrata

♥ Alamat korespondensi: Jl. Sumateri Brojonegoro No.1, Bandar Lampung 35145. Tel./Fax.: +62-721-701609 Pswt. 841. e-mail: fitriana_euy@yahoo.com

yang merupakan komponen penting ekosistem mangrove dan menyediakan berbagai sumber makanan bagi manusia dan hewan lain yang lebih tinggi tingkatan trofiknya (Chaudhuri dan Choudhury, 1994). Invertebrata yang berupa organisme benthos (organisme yang hidup atau tinggal di dalam sedimen) memproduksi berjuta larva dalam bentuk meriplankton yang mendukung populasi ikan dan menjaga keseimbangan ekosistem dengan membuat lubang, sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam tanah. Oleh karena itu, ulasan mengenai populasi makrozoobenthos (> 1 mm), sebagai bagian dari ekosistem mangrove, di kawasan rehabilitasi perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobenthos serta pengaruh beberapa aspek lingkungan di hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali.

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilakukan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, Propinsi Bali pada bulan Juni 2003. Secara geografis, kawasan ini terletak pada o o o o 115 09’-115 23’ BT dan 08 42’-8 49’ LS. Cara kerja Penentuan blok dan petak contoh Penentuan petak contoh dilakukan dengan menentukan blok contoh terlebih dahulu. Tiga blok dipilih secara sengaja (purposive) dari keseluruhan lima blok penanaman yang ada atas dasar aksesbilitasnya. Pada setiap blok terpilih,


68

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 67-72

petak contoh ditentukan dengan mempertimbangkan jarak tanam dan jenis tegakannya. Petak-petak contoh tersebut merupakan petak yang ditanami Rhizophora apiculata atau Rhizophora mucronata yang masing-masing berjarak tanam 2 2 2 1x1 m , 2x1 m , dan 2x2 m , dengan anggapan terdapat perbedaan kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap jarak tanam dan jenis tegakan. Pengambilan data tegakan Data tegakan diambil pada setiap petak contoh terpilih dengan menggunakan plot bujur sangkar dengan sisi 5 m yang diletakkan secara acak dalam petak. Jumlah plot setiap petak sebanyak tiga buah dan dianggap sebagai ulangan. Pada setiap plot, diukur tinggi dan diameter tegakan. Rata-rata tinggi dan diameter tegakan pada setiap petak didapat dengan merata-ratakan tinggi dan diameter tegakan pada setiap plot. Sementara itu, besaran data tegakan pada setiap petak didapat dengan merata-ratakan data dari plot-plot pengamatan. Pengambilan contoh substrat Pengukuran parameter fisika dan kimia substrat dilakukan pada setiap petak sebanyak satu kali. Parameter fisika yang diukur meliputi tekstur dan tipe substrat, sedangkan parameter kimia yang diukur adalah kandungan karbon organik. Pengambilan contoh substrat dilakukan dengan membenamkan pipa paralon sedalam 20 cm dan memindahkan substrat ke dalam kantung plastik. Pada setiap lokasi diambil 200 g contoh substrat. Contoh substrat dianalisis di Laboratorium Tanah IPB Bogor. Hasil analisis berupa kandungan karbon organik dan komposisi tekstur dengan satuan persen. Perhitungan kandungan karbon organik menggunakan metode Walkey & Black, kemudian dikategorikan berdasarkan persentasenya, yaitu sangat rendah jika kandungan karbon < 1,00; rendah 2,01-3,00; sedang 1-2,00; dan tinggi > 5,00. Penetapan komposisi tekstur dilakukan dengan cara pipet. Komposisi tekstur dapat dipergunakan untuk menetapkan kelas tekstur tanah. Penetapan tersebut dilakukan dengan menggunakan bantuan segitiga tekstur terhadap komposisi substrat yang diperoleh. Pengambilan data lahan petak pengamatan dan contoh makrozoobenthos Data mengenai lahan dari petak-petak pengamatan meliputi ketinggian lahan, salinitas di musim kering, drainase, dan waktu penanaman tegakan yang didapatkan dari The Forest Inventory Data Card in Bali (Ministry of Forestry and Japan International Cooperation Agency, 1999a,b). Data makrozoobenthos diambil pada setiap petak contoh terpilih sebanyak satu kali pada saat surut. Lokasi pengambilan data adalah di bawah tegakan yang berada dalam plot pengukuran tegakan. Pengambilan contoh makrozoobenthos yang ada di substrat dilakukan dengan membenamkan kotak berukuran 20x20 cm2 sedalam 20 cm. Seluruh substrat yang berada di kotak tersebut diangkat dengan sekop, selanjutnya disimpan dalam kantung plastik. Pemisahan antara makrozoobenthos dengan substrat dilakukan di laboratorium lapangan dengan bantuan air serta saringan berukuran 1 mm. Makrozoobenthos yang telah terpisah dari substratnya dimasukkan ke dalam larutan formalin 4% agar tidak membusuk dan rusak sebelum diidentifikasi. Contoh organisme makrozoobenthos diidentifikasi di Laboratorium Limnologi IPB Bogor. Data tersebut dianalisis untuk mendapat besaran kemelimpahan,

keanekaragaman, keseragaman, dominansi, dan indeks penyebarannya. Kemelimpahan Kemelimpahan adalah jumlah individu per satuan luas atau per satuan volume. Rumus yang digunakan adalah:

Di =

ni A

Di : kemelimpahan individu jenis ke-i ni : jumlah individu jenis ke-i A : luas kotak pengambilan contoh 2 didapatkan dengan Kemelimpahan setiap m mengkonversi kemelimpahan setiap kotak pengambilan contoh makrozoobenthos. Indeks keanekaragaman (Krebs, 1978a,b) Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman, produktivitas, tekanan pada ekosistem, dan kestabilan ekosistem. s

H ' = −∑ ( pi )(log 2 pi ) i =1

H’ : indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S : jumlah spesies pi : proporsi jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu total contoh Tolak ukur indeks keanekaragaman tersaji pada Tabel 1. (Restu, 2002). Tabel 1. Nilai tolak ukur indeks keanekaragaman. Nilai tolak ukur

Keterangan

H’ < 1,0

Keanekaragaman rendah, miskin, produktivitas sangat rendah sebagai indikasi adanya tekanan yang berat dan ekosistem tidak stabil Keanekaragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang. Keanekaragaman tinggi, stabilitas ekosistem mantap, produktivitas tinggi, tahan terhadap tekanan ekologis.

1,0 < H’ < 3,322

H’ > 3,322

Indeks Keseragaman (Krebs, 1978a,b)

J '=

H' H' = log 2 S H maks

J’ : indeks keseragaman (Evenness index) H’ : indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S : jumlah spesies Indeks dominansi (Simpson, 1949 dalam Odum, 1971; Southwood dan Anderson, 2000) 2

s ⎛ ni ⎞ C = ∑ ⎜ ⎟ = ∑ Pi 2 i =1 ⎝ N ⎠ i =1 s

C : indeks dominansi (Index of dominance) ni : nilai dari setiap spesies (jumlah jenis individu ke-i) N : nilai total dari seluruh spesies (jumlah individu total yang telah ditemukan) Pi : perbandingan jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah individu total yang telah ditemukan


FITRIANA – Makrozoobentos di hutan mangrove Tahura Ngurah Rai, Bali

Indeks penyebaran/dispersi jenis ⎡⎛ n 2 ⎞ ⎤ n ⎢⎜⎜ ∑ xi ⎟⎟ − N ⎥ ⎢⎝ ⎥⎦ ⎠ Id = ⎣ N (N − 1) Id : indeks penyebaran dispersi n : jumlah unit pengambilan contoh xi : jumlah individu setiap petak contoh N : jumlah individu total yang diperoleh Kriteria : Id < 1 : penyebaran spesies seragam Id = 1 : penyebaran spesies secara acak Id > 1 : penyebaran mengelompok Koefisien kesamaan (Krebs, 1978a,b)

B=

∑X ∑ (X

ij ij

− X ik

+ X ik )

B : ukuran ketidaksamaan Bray-Curtis Xij, Xik : jumlah individu spesies ke-i dalam setiap contoh N : jumlah spesies dalam contoh Koefisien kesamaan ditentukan dengan 1-B. Analisis data Analisis data gabungan dilakukan dengan SPSS 11.0 for Windows (Santoso, 2003a,b), mencakup analisis kelompok dan uji non parametrik (Mann-Whitney, KruskalWallis, dan Spearman). Analisis kelompok (kluster) bertujuan untuk mengelompokkan petak-petak ke dalam suatu kelompok yang relatif homogen berdasarkan komponen yang diamati. Kelompok-kelompok yang didapat masing-masing memiliki sifat yang berbeda, sedangkan dalam satu kelompok, petak-petak memiliki sifat yang hampir serupa. Metode yang dilakukan adalah hierarchical method yang memulai pengelompokkan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan paling dekat. Kemudian diteruskan ke obyek lain yang mempunyai kedekatan kedua dan seterusnya sehingga terbentuk semacam pohon dengan hirarki yang jelas antar obyek. Masing-masing kelompok menggambarkan karakteristik tertentu. Perhitungan rata-rata indeks keanekaragaman dan kemelimpahan dilakukan pada masing-masing kelompok, sehingga keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobenthos dari kelompok-kelompok yang ada dapat dibandingkan. Perbedaan kemelimpahan dan keanekaragaman pada masing-masing petak bertegakan R. apiculata dan R. mucronata diuji Mann-Whitney untuk mengetahui apakah dua buah sampel yang bebas berasal dari populasi yang sama. Berbeda tidaknya kemelimpahan, keanekaragaman dan kandungan karbon organik pada masing-masing jarak tanam dan pada kategori kandungan karbon organik diuji

69

Kruskal-Wallis untuk mengetahui apakah sampel-sampel tersebut berasal dari populasi yang sama. Korelasi antara kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos diuji Spearman dengan variabel kandungan pasir, debu, liat, karbon organik, dan jarak tanam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi tegakan Tegakan R. apiculata mempunyai diameter rata-rata 2,12-5,12 cm dan tinggi 1,64-5,96 m. Sedangkan tegakan R. mucronata mempunyai diameter rata-rata 3,27-6,64 cm dan tinggi tegakan 3,26-6,55 m. Perbedaan diameter dan tinggi ini disebabkan perbedaan karakteristik lahan penanaman pada masing-masing blok. Berdasarkan kondisi pertumbuhan tegakan, petak-petak pada Blok V merupakan petak pertumbuhan yang kurang baik, walaupun tahun tanamnya tidak berbeda jauh dengan petak-petak lain. Tingkat keberhasilan hidup R. apiculata sangat rendah apabila jenis ini ditanam pada ketinggian lahan 110 cm atau lebih, sedangkan pada R. mucronata tidak ditemukan perbedaan tingkat keberhasilan hidup pada beberapa ketinggian lahan, tetapi cenderung menurun pada ketinggian lebih dari 200 cm (Taniguchi, 1997). Blok V cenderung memiliki karakteristik lahan (termasuk ketinggian, salinitas, dan kedalaman lumpur) yang kurang mendukung pertumbuhan mangrove, hal ini diduga mempengaruhi laju pertumbuhan tanaman di blok tersebut. Untuk mengetahui korelasi antara diameter dan tinggi, dilakukan uji korelasi Spearman. Hasil uji ini mengindikasikan bahwa diameter dan tinggi rata-rata tegakan pada kedua jenis tegakan memiliki korelasi yang nyata dan bersifat positif (rs=0,719; probabilitas=0,001). Semakin besar diameter batang, maka semakin tinggi tegakannya, begitu pula sebaliknya.

Kondisi substrat dasar Tipe substrat ditentukan dengan melihat perbandingan kandungan pasir, debu, dan liat. Di seluruh petak pengamatan, kandungan pasir dalam substrat lebih dominan dibandingkan kandungan debu dan liat (Tabel 2.). Berdasarkan perbandingan tersebut, didapatkan hasil bahwa substrat mangrove di petak-petak pengamatan pada umumnya adalah lempung berpasir dan pasir. Bahan organik tanah merupakan material penyusun tanah yang berasal dari sisa tumbuhan dan binatang, baik yang berupa jaringan asli maupun yang telah mengalami pelapukan. Sumber utama bahan organik tanah berasal dari daun, ranting, cabang, batang, dan akar tumbuhan. Kandungan karbon organik di lokasi penelitian termasuk sangat rendah sampai sedang dengan kandungan berkisar 0,34-2,34%. Pada petak yang memiliki kandungan karbon organik lebih rendah, terlihat Tabel 2. Kualitas substrat di lokasi pengamatan. bahwa kandungan pasirnya jauh Blok II Blok III Blok V Jenis Karakteristik lebih tinggi dibandingkan petak tegakan substrat* (1X1) (2X1) (2X2) (1X1) (2X1) (2X2) (1X1) (2X1) (2X2) yang memiliki kandungan karbon RA C-Organik 2,34 0,98 0,94 1,17 1,43 1,13 0,87 1,24 0,56 organik yang lebih tinggi. Ditinjau Pasir 44,28 68,03 46,4 58,81 43,61 66,07 80,06 67,75 84,58 dari jenis tegakan dan jarak Debu 20,3 21,65 32,37 17,9 30,02 19,4 16,86 21,62 10,15 tanam, kandungan karbon organik Liat 35,42 10,32 21,23 23,28 26,37 14,09 3,08 10,63 5,27 lebih besar pada jarak tanam yang RM C-Organik 1,92 1,17 1,58 1,47 1,21 1,28 2,04 0,34 1,51 lebih rapat pada tegakan R. Pasir 31,43 79,64 65,92 66,24 81,21 57,28 64,45 97,09 63,48 apiculata (Gambar 1.). Hal ini Debu 37,11 12,71 16,95 19,46 3,57 13,49 25,95 0,94 24,66 diduga karena semakin rapat jarak Liat 31,46 7,65 17,13 14,3 15,22 29,23 9,6 1,97 1,86 Keterangan: RA=Rhizophora apiculata, RM=Rhizophora mucronata; * Satuan seluruh tanam, maka semakin banyak karakteristik dalam (%). dihasilkan sumber bahan organik


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 67-72

70

berupa serasah maupun sisa tumbuhan yang masuk ke dalam substrat. Sebaliknya pada petak bertegakan R. mucronata, kandungan karbon organik justru lebih tinggi di 2 petak-petak berjarak tanam 2x2 m dibandingkan dengan 2 petak 2x1 m . Hal ini karena pada jarang yang lebih renggang pertumbuhannya lebih baik. Namun, berdasarkan uji Kruskal-Wallis, karbon organik pada berbagai jarak tanam tidak berbeda nyata, walaupun terdapat kecenderungan lebih tinggi pada petak-petak berjarak tanam 1x1 m2.

Gambar 1. Hubungan antara rata-rata kandungan karbon organik (C-organik) dengan jarak tanam pada tegakan Rhizophora apiculata (RA), Rhizophora mucronata (RM), dan rerata totalnya.

Jenis makrozoobenthos Dari hasil pengamatan dijumpai 20 jenis makrozoobenthos, yang berasal dari empat kelas yaitu Polychaeta, Crustaceae, Gastropoda, dan Pelecypoda. Pada petak R. apiculata terdapat 12 jenis makrozoobenthos, yaitu Lumbrineris sp., Notomastus sp., Heteromastus sp., Nereis sp., Maldane sp., Callianassa sp., Euplax sp., Uca sp., Cleistostoma sp., Littorina sp., Cerithium sp., dan Tellina sp. Sedangkan pada petak R. mucronata terdapat 14 jenis makrozoobenthos, yaitu Lumbrineris sp., Maldane sp., Scoloplos sp., Erichthonius sp., Alpheus sp., Metaplax sp., Uca sp., Ocypode sp., Sesarma sp., Littorina sp., Cerithium sp., Telescopium sp., Lyonsia sp., dan Tellina sp. Crustaceae ditemukan hampir di seluruh petak, sedangkan yang jarang ditemukan di petak keseluruhan adalah Pelecypoda (Tabel 3.). Penyebaran tersebut sejalan pula dengan komposisi masing-masing kelas pada setiap jenis tegakan. Komposisi jenis Gastropoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan Pelecypoda dan Polychaeta (Gambar 2). Crustaceae merupakan fauna mangrove dengan penyebaran yang luas (Pearson, 1985). Crustaceae dan Molusca mendominasi komunitas fauna benthik pada kebanyakan ekosistem mangrove (Kennish, 1990). Penyebaran yang luas ini menyebabkan komposisi kelas Gastopoda dan Crustaceae lebih besar dibandingkan kelaskelas lain. Crustaceae yang ada di keseluruhan petak,

didominasi oleh jenis Uca sp. dari famili Ocypodiae yang berdiam di habitat yang cenderung berlumpur atau berlumpur berpasir. Molusca yang ditemui di lokasi pengamatan terdiri dari jenis Molusca sejati hutan mangrove (Telescopium sp.) dan jenis fakultatif (Littorina sp. dan Cerithium sp.). Jenis Molusca asli mangrove umumnya merupakan pemakan serasah dengan berbagai tingkat kesegaran, hanya beberapa jenis yang memakan alga dan predator. Sedangkan jenis fakultatif, umumnya memakan alga atau mikroflora dan fitoplankton. Pelecypoda bersifat menetap pada suatu tempat dan tidak dapat bergerak aktif, sehingga kelas ini mempunyai toleransi yang lebih terbatas dibandingkan Gastropoda. Pelecypoda dapat dijumpai di laut maupun di air tawar, termasuk filter feeder, pemakan plankton, dan butiran-butiran kecil lainnya (Awaluddin, 1999). Sedangkan Gastropoda memakan deposit materi di permukaan lumpur dan akar mangrove. Distribusi dan niche Polychaeta bergantung pada tipe sedimen (Kennish, 1990). Tempat ideal bagi pemakan deposit adalah substrat berlumpur.

Pelecypoda 18%

Polychaeta 8% Crustaceae 28%

Crustaceae 41%

(a)

(b)

Gambar 2. Komposisi makrozoobenthos di petak pengamatan bertegakan Rhizophora apiculata (a) dan Rhizophora mucronata (b).

Karakteristik komunitas makrozoobenthos Makrozoobenthos yang ditemukan pada masing-masing petak pengambilan contoh berkisar 1-7 jenis. Jumlah jenis pada keseluruhan petak tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, kecuali pada Blok V (Tabel 4.). Kemelimpahan makrozoobenthos berkisar 25-700 individu/m2. Berdasarkan uji Mann-Whitney kemelimpahan makrozoobenthos pada kedua jenis tegakan tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, masing-masing kategori jarak tanam (1x1 2 2 2 m , 2x1 m , dan 2x2 m ) dan kategori kandungan bahan organik (sangat rendah, rendah, dan sedang) memiliki kemelimpahan makrozoobenthos yang tidak berbeda nyata pada pada masing-masing kategori. Jumlah jenis dan kemelimpahan di keseluruhan petak jauh lebih kecil dibandingkan di wilayah Suwung Kangin, Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Restu (2002) mengamati bahwa di wilayah tersebut terdapat 74 jenis makrozoobenthos dengan kemelimpahan 1077 individu/m2.

Blok II Blok III Blok V (1X1) (2X1) (2X2) (1X1) (2X1) (2X2) (1X1) (2X1) (2X2) Polychaeta + + + + Crustaceae + + + + + + + + Gastropoda + + + + + Pelecypoda + Polychaeta + + + + RM Crustaceae + + + + + + + + Gastropoda + + + + + + Pelecypoda + + Keterangan: RA=Rhizophora apiculata, RM= Rhizophora mucronata; + = ada, - = tidak ada. Kelas

Gastropoda 44%

Gastropoda 46%

Tabel 3. Penyebaran kelas makrozoobenthos yang ditemukan di lokasi pengamatan. Jenis tegakan RA

Polychaeta 14%

Pelecypoda 1%

Indeks keanekaragaman Indeks keanekaragaman makrozoobenthos di kese-luruhan petak pengamatan berkisar antara rendah sampai sedang. Namun sebagian besar indeks keanekaragaman termasuk dalam kategori sedang (1<H’<3,32). Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitasnya cukup tinggi, kondisi ekosistem seimbang, dan tekanan ekologi sedang. Sedangkan petakpetak yang memiliki keanekaragaman


FITRIANA – Makrozoobentos di hutan mangrove Tahura Ngurah Rai, Bali

71

Tabel 4. Karakteristik komunitas makrozoobenthos di lokasi pengamatan. Blok II (1X1) (2X1) (2X2) Jumlah Jenis 4 4 1 RA 2 Kelimpahan/m (D) 100 125 75 Indeks Keanekaragaman (H’) 2,000 1,922 0,000 Indeks Keseragaman (J’) 1,000 0,961 Indeks Dominansi (C) 0,250 0,280 1,000 Jumlah Jenis 2 3 4 RM 2 100 125 250 Kelimpahan /m (D) Indeks Keanekaragaman (H’) 0,811 1,371 1,357 Indeks Keseragaman (J’) 0,811 0,865 0,678 Indeks Dominansi (C) 0,625 0,440 0,520 Keterangan: RA=Rhizophora apiculata, RM= Rhizophora mucronata. Tegakan

Karakteristik Komunitas

rendah (H’<1,00) menandakan bahwa petak tersebut miskin, produktivitasnya rendah, tekanan ekologi yang berat dan ekosistem tidak stabil. Berdasarkan uji Mann-Whitney, keanekaragaman makrozoobenthos pada kedua macam tegakan tidak berbeda nyata. Sedangkan berdasarkan uji Kruskal-Wallis, keanekaragaman makrozoobenthos tidak berbeda nyata pada masing-masing kategori jarak tanam (1x1 m2, 2x1 m,2 dan 2x2 m2) dan kategori kandungan bahan organik (sangat rendah, rendah, dan sedang). Indeks keseragaman Indeks keseragaman makrozoobenthos di petak-petak pengamatan termasuk tinggi (merata), walaupun ada beberapa petak yang tidak memiliki indeks ini karena indeks keanekaragamannya nol. Nilai indeks keseragaman di keseluruhan petak berkisar 0,68-1,00. Indeks keseragaman yang mencapai nilai 1,00 berarti bahwa semua sampel yang ada di petak tersebut memiliki jumlah jenis organisme yang sama. Indeks dominansi Nilai indeks dominansi memperlihatkan kekayaan jenis komunitas serta keseimbangan jumlah individu setiap jenis. Nilai indeks di keseluruhan petak termasuk rendah sampai tinggi dengan kisaran 0,25-1,00. Hal ini berarti terdapat petak-petak pengamatan yang tidak mengalami dominansi jenis makrozoobenthos tertentu, namun terdapat pula petak-petak didominansi satu atau beberapa jenis tertentu. Tingginya dominansi menunjukkan bahwa tempat tersebut memiliki kekayaan jenis yang rendah dengan sebaran tidak merata. Adanya dominansi menandakan bahwa tidak semua makrozoobenthos memiliki daya adaptasi dan kemampuan bertahan hidup yang sama di suatu tempat. Hal ini juga berarti makrozoobenthos di lokasi pengamatan tidak memanfaatkan sumberdaya secara merata. Pola penyebaran dan indeks kesamaan jenis Berdasarkan perhitungan indeks penyebaran (Id), makrozoobenthos di keseluruhan lokasi penelitian memiliki pola penyebaran mengelompok (Id > 1). Pengelompokkan terjadi baik pada komunitas makrozoobenthos di bawah tegakan R. apiculata maupun R. mucronata (Tabel 5.). Hal ini menandakan adanya penyebaran sumberdaya untuk mendukung kehidupan makrozoobenthos yang mengelompok dan tidak merata pada seluruh lokasi pengamatan.

(1X1) 4 325 1,760 0,880 0,325 1 25 0,000 1,000

Blok III (2X1) 2 75 0,918 0,918 0,556 4 125 1,922 0,961 0,280

Petak Tanam Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata

Id 1.584 1.869

Pola Penyebaran mengelompok mengelompok

(1X1) 4 325 1,669 0,835 0,373 7 700 1,964 0,700 0,372

Blok V (2X1) 3 700 1,383 0,873 0,411 2 50 1,000 1,000 0,500

(2X2) 1 150 0,000 1,000 5 375 1,966 0,847 0,298

Dengan adanya penyebaran yang mengelompok, dapat ditentukan indeks kesamaan jenis makrozoobenthos pada masing-masing jarak tanam di setiap blok (Tabel 6.). Apabila petak-petak pengamatan digolongkan menurut jenis tegakan dan jarak tanamnya, dengan merata-ratakan indeks kesamaan yang telah diperoleh, pada petak bertegakan R. apiculata dan R. mucronata, secara umum kesamaan jenis terbesar terdapat antara petak berjarak tanam 2x1 m2 dengan 2x2 m2 dan tekecil pada petak 1x1 m2 dengan 2x2 m2. Tabel 6. Hasil pehitungan indeks kesamaan jenis makrozoobenthos.

Nomor Blok Blok II Blok III Blok V Rata-rata

R. apiculata (1x1) (2x1) (1x1) dengan dengan dengan (2x1) (2x2) (2x2) 0,444 0,889 0,143 0 0 0 0,244 0 0,140 0,229 0,296 0,094

R. mucronata (1x1) (2x1) (1x1) dengan dengan dengan (2x1) (2x2) (2x2) 0,133 0,250 0,286 0,667 0,364 0 0,118 0,824 0,316 0,306 0,479 0,201

Analisis kelompok Analisis kelompok didasarkan atas aspek habitat pada setiap petak pengamatan. Data yang digunakan adalah kandungan pasir, debu, liat, dan kandungan karbon organik. Berdasarkan hasil analisis kelompok, didapatkan tiga kelompok (cluster) besar. Kelompok pertama terdiri dari petak II/1M (petak pada blok II, berjarak tanam 1x1 m, bertegakan R. mucronata) dan petak II/1A (petak pada blok II, berjarak tanam 1x1 m, bertegakan R. apiculata). Sedangkan kelompok kedua adalah petak-petak sisanya, kecuali petak V/2M dan V/4A yang termasuk anggota kelompok ketiga. Kelompok pertama terdiri dari petak-petak yang memiliki kandungan pasir, debu, dan liat yang hampir sama komposisinya serta kategori karbon organik sedang (Tabel 7.). Kelompok kedua terdiri dari petak-petak yang memiliki kandungan pasir yang lebih besar dibandingkan debu dan liat serta karbon organik dengan kategori rendah. Pada kelompok ketiga memiliki kandungan pasir dominan dan kandungan karbon organik sangat rendah. Tabel 7. Rata-rata kandungan pasir, liat, debu, dan karbon organik pada masing-masing kelompok. Aspek habitat

Tabel 5. Hasil perhitungan pola penyebaran makrozoobenthos.

(2X2) 4 200 1,549 0,774 0,438 4 100 2,000 1,000 0,250

Pasir (%) Liat (%) Debu (%) Karbon Organik (%)

I 37,86 33,44 28,71 2,13

Kelompok II 64,92 14,20 17,24 1,29

III 90,84 6,25 23,14 0,45


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 67-72

72

Hasil perhitungan rata-rata kemelimpahan dan keanekaragaman pada masing-masing kelompok disajikan pada Gambar 3. Kemelimpahan terbesar terdapat pada kelompok kedua dan terkecil pada kelompok pertama maupun ketiga. Pada petak-petak kelompok kedua, banyak individu makrozoobenthos yang menyenangi kondisi habitat ini. Sedangkan rata-rata keanekaragaman terbesar, dengan perbedaan yang tidak jauh, terdapat pada kelompok kedua dan pertama, sedangkan yang terkecil terdapat pada kelompok ketiga.

lingkungan dan hubungannya maupun dengan jenis lain.

dengan

sesama

jenis

KESIMPULAN Di hutan mangrove hasil rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali dijumpai 20 jenis makrozoobenthos dari empat kelas, yaitu: Polychaeta, Crustaceae, Gastropoda, dan Pelecypoda, dengan pola penyebaran mengelompok. Keanekaragaman makrozoobenthos di lokasi pengamatan termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Kemelimpahan makrozoobenthos berkorelasi negatif dengan kandungan tekstur liat, makin tingginya kandungan liat makin rendah kemelimpahan makrozoobenthos. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobenthos pada semua jarak tanam kedua jenis Rhizophora tidak berbeda nyata.

UCAPAN TERIMAKASIH Gambar 3. Rata-rata indeks keanekaragaman dan kelimpahan pada masing-masing kelompok.

Analisis korelasi Spearman Hasil uji korelasi Spearman antara kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos dengan aspek-aspek yang diamati disajikan pada Tabel 8. Nilai korelasi menggambarkan keeratan hubungan antara keduanya. Tabel 8. Nilai korelasi Spearman (rs) pada masing-masing aspek dengan kelimpahan maupun keanekaragaman makrozoobenthos. Aspek Pasir Debu Liat Karbon organik Kerapatan tegakan

Kelimpahan

Keanekaragaman

-0.038 -0.141 -0.522 0.048 0.203

-0.336 0.014 -0.105 0.360 0.071

Kemelimpahan makrozoobenthos berbanding terbalik dengan kandungan tekstur substrat (khususnya liat) serta berbanding lurus dengan karbon organik dan kerapatan tegakan. Berdasarkan nilai korelasinya, didapatkan bahwa kemelimpahan berkorelasi paling besar dengan kandungan liat dan kerapatan tegakan. Semakin rendah kandungan liat, maka kemelimpahan makrozoobenthos akan cenderung meningkat. Begitu pula, semakin tinggi kerapatan tegakan, maka semakin besar kemelimpahan makrozoobenthos. Keanekaragaman makrozoobenthos berbanding terbalik dengan kandungan tekstur (khususnya pasir) serta berbanding lurus dengan kandungan debu, karbon organik, dan kerapatan tegakan. Kandungan pasir dan karbon organik memiliki korelasi terbesar. Kandungan pasir yang lebih sedikit cenderung memiliki keanekaragaman makrozoobenthos yang lebih besar. Sebaliknya kandungan karbon organik yang lebih besar memiliki keanekaragaman yang lebih besar pula. Dari uji ini didapatkan hasil bahwa kemelimpahan makrozoobenthos lebih dipengaruhi oleh keadaan substrat sekitarnya, sebagai akibat jarak tanam tegakan dan kandungan karbon organiknya. Sebaliknya keanekaragaman diduga lebih dipengaruhi oleh toleransi masing-masing jenis makrozoobenthos terhadap keadaan

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Agus Priyono, M.S., Ir. Nyoto Santoso, M.S., Lembaga Pengkajian dan Penelitian Mangrove, dan Mangrove Information Centre Bali atas bantuan dan fasilitas dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Awaluddin. 1999. Pola Penyebaran Makrozoobenthos Kelas Pelecypoda dan Gastropoda pada Pantai Abrasi dan Akresi di Pantai Barat Pulau Selayar, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Chaudhuri, A.B and A. Choudhury. 1994. Mangrove of the Sundarbands. Bangkok: IUCN-The World Conservation Union. Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Volume 2, Biological Aspects. Florida: CRC Press, Inc. Krebs, C.J. 1978a. Ecological Methodology. New York: Harper and Row Publisher. Krebs, C.J. 1978b. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York: Harper and Row Publishers. Marsono, D., E.P. Rahayu, dan Udiono. 1994. Peran rehabilitasi mangrove terhadap keanekaragaman biota (studi kasus di pantai Pemalang). Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. Jember, 3-6 Agustus 1994. Ministry of Forestry and Estate Crops Indonesia and Japan International Cooperation Agency. 1999a. The Forest Inventory Data Card in Bali Site (1) Block I-II. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, The Forest Management Component. Ministry of Forestry and Estate Crops Indonesia and Japan International Cooperation Agency. 1999b. The Forest Inventory Data Card in Bali Site (2) Block III-V. Denpasar: the Development of Sustainable Mangrove Management Project, the Forest Management Component. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Pearson, S. 1985. Adaptations of mangrove animals. Training Course on the Ecophysiology of Mangrove Species. Townsville, 1-14 Mei 1985. Restu, I.W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso, S. 2003a. Buku Latihan SPSS Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT Gramedia. Santoso, S. 2003b. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: PT Gramedia. Southwood, T.R.E. and P.A. Anderson. 2000. Ecological Methods. London: Blackwell Science. Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas. West Yorkshire: The International Society for Mangroves Ecosystems, The World Corservation Monitoring Centre, and The International Timber Organization. Taniguchi, K. 1997. The 5-year Report on the Silvicuture Component of the Development of Sustainable Mangrove Management Project, Bali and Lombok, Republic of Indonesia. Denpasar: The JICA Mangrove Centre.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 73-76

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan Kering Gunung Kidul, Yogyakarta Vegetative growth of upland rice and some pineapple varieties in intercropping at dryland Gunung Kidul, Yogyakarta MUJI RAHAYU1,♥, DJOKO PRAJITNO2, ABDUL SYUKUR2 1

Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126. 2 Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 55281. Diterima: 22 Juli 2005. Disetujui: 16 Agustus 2005.

ABSTRACT The aims of this research were to study vegetative growth of upland rice and some pineapple varieties in intercropping at dryland. The research was conducted from October 2003 until March 2004 at Logandeng village, Playen, Gunung Kidul regency, Yogyakarta province. The design of the field experiment was 3x2 factorial + 3 additional treatments arranged in randomized complete block. The first factor was pineapple varieties i.e. queen blitar (NB), queen hijau bogor (NQ) and cayenne subang (NC), while second factor was intercropping degree i.e. pineapple monoculture (P0) and 50% proportion of intercropping system (P50). The additional treatments consist of upland rice monoculture (P100), intercropping with proportion queen blitar 25%: 75% upland rice (P75) and intercropping with proportion queen blitar 75%: 25% upland rice (P25). The results of this research showed the best of upland rice growth on upland rice monoculture and the highest of pineapple growth on cayenne subang varieties monoculture. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: pineapple varieties, upland rice, intercropping, growth.

PENDAHULUAN Jumlah penduduk yang semakin besar mengakibatkan kebutuhan pangan juga meningkat. Terjadinya perubahan fungsi lahan untuk pertanian menjadi non pertanian menyebabkan semakin menurunnya produksi bahan pangan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi dan memenuhi kebutuhan pangan, pertanian di lahan kering merupakan salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan. Padi gogo merupakan salah satu tanaman pangan yang berpotensi untuk dikembangkan. Pada tahuntahun mendatang peranan padi gogo dalam penyediaan gabah nasional menjadi semakin penting. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya areal persawahan dan adanya indikasi pelandaian peningkatan laju produksi padi sawah, sedangkan tingkat pertumbuhan penduduk cukup tinggi (Saaludin, 1993). Pada umumnya penduduk di wilayah lahan kering selain menghadapi masalah pangan, juga masalah kekurangan gizi, terutama buah-buahan. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah kekurangan gizi tersebut adalah dengan penanaman tanaman buahbuahan. Nanas merupakan buah yang sangat bermanfaat dan nilai gizinya cukup tinggi. Beberapa varietas nanas

♥ Alamat korespondensi: ♥ Alamat korespondensi: Candikuning, Baturiti, Tabanan, Jl. Ir. Sutami 36a Surakarta 57126. Bali 82191. Tel. Fax.: +62-368-21273. Tel. &&Fax.+62-271-663375. e-mail: direkbg@singaraja.wasantara.net.id, e-mail: editor@unsjournals.com (ed.). igtirta59@yahoo.com

yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya golongan Cayenne dan Queen (Santoso, 1998). Berdasarkan jalur yang dilalui karbon dalam fotosintesis, tanaman nanas termasuk CAM (Crassulaceae Acid Metabolism). Stomata tanaman nanas terbuka pada malam hari untuk menyerap CO2 dan tertutup pada siang hari untuk mengurangi transpirasi. Keadaan ini menyebabkan tanaman nanas tahan kekeringan (Gardner et al., 1991). Tumpangsari tanaman pangan dan tanaman buahbuahan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan pangan, sekaligus pemenuhan kebutuhan buah-buahan. Pengaturan populasi tanaman merupakan faktor yang penting supaya hasil tanaman yang ditumpangsarikan tinggi (Palaniappan, 1985). Pemilihan jenis tanaman yang akan diusahakan dalam tumpangsari harus tepat sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan. Apabila dua tanaman tumbuh bersamasama dalam pertanaman tumpangsari, maka akan terjadi saling mempengaruhi antara satu dengan tanaman yang lain (Beets, 1982). Untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta menekan pengaruh kompetitif sekecil-kecilnya (Prajitno, 1992). Jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan dan habitus berbeda, sehingga dapat memanfaatkan faktor-faktor pertumbuhan dengan lebih baik. Fase pertumbuhan tanaman padi gogo terdiri dari fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan (Basyir et al., 1995). Fase pertumbuhan tanaman nanas terdiri dari fase vegetatif


74

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 73-76

lambat, vegetatif cepat, generatif dan vegetatif berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif padi gogo dan beberapa varietas nanas dalam sistem tumpangsari di lahan kering.

Pertumbuhan vegetatif awal nanas yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi dan indeks luas daun. Data dianalisis dengan analisis keragaman dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan’s (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% (Gomez dan Gomez, 1983).

BAHAN DAN METODE HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan padi gogo Tinggi tanaman Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tinggi tanaman padi gogo sampai dengan 77 hari setelah tanam tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Tinggi padi gogo mulai 21 sampai dengan 77 hari setelah tanam dapat dilihat pada Gambar 1. Tinggi tanaman padi gogo (cm)

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2003 sampai dengan Maret 2004 di desa Logandeng, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap 3x2 faktorial ditambah 3 perlakuan tambahan dan diulang 3 kali. Faktor pertama, varietas nanas yaitu varietas queen blitar (NB), queen hijau bogor (NQ) dan cayenne subang (NC). Faktor kedua, derajat tumpangsari yaitu monokultur nanas (P0) dan tumpangsari nanas dan padi gogo dengan perbandingan populasi 50%: 50% (P50). Perlakuan tambahan terdiri dari monokultur padi gogo (P100), tumpangsari varietas queen blitar 75%: 25% padi gogo (P25) dan tumpangsari varietas queen blitar 25%: 75% padi gogo (P75). Perlakuan tambahan hanya pada varietas queen blitar karena untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai pertumbuhan vegetatif padi gogo dan nanas pada proporsi atau derajat tumpangsari yang lainnya (P25, P75 dan P100 ). Bibit nanas berasal dari tunas anakan berumur 2-3 bulan, sedangkan padi gogo ditanam langsung dengan cara ditugal. Nanas ditanam dengan jarak tanam 140x70 cm, sedangkan untuk padi gogo adalah 25x22,5 cm. Pupuk kandang diberikan sebelum tanam dengan dosis 20 ton/ha, sedangkan pupuk kimia diberikan untuk tanaman padi gogo dengan dosis urea 350 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 150 kg/ha dan diberikan 3 kali yaitu 1/3 bagian pada 21 hari setelah tanam, 2/3 bagian pada 35 dan 50 hari setelah tanam. Parameter pengamatan pertumbuhan vegetatif padi gogo meliputi tinggi tanaman, luas daun, indeks luas daun, berat kering tanaman, laju pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih dan persentase sinar matahari terserap.

80 70 60 50 40 30 20 10 0 21

28

35

42

49

56

63

70

77

P engam atan (hs t) N B0P100

NB25P75

NB50P50

NB75P25

NQ50P50

NC 50P50

Gambar 1. Tinggi tanaman padi gogo (cm) mulai 21 sampai 77 hari setelah tanam.

Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan tinggi padi gogo berlangsung cepat mulai 21 sampai dengan 56 hari setelah tanam dan setelah umur 56 pertumbuhan lebih lambat. Tinggi tanaman padi gogo pada 77 hari setelah tanam yang tertinggi pada monokultur padi gogo yaitu 68,74 cm, sedangkan tinggi tanaman padi gogo untuk kombinasi perlakuan yang lain Tabel 1. Hasil analisis kontras ortogonal luas daun, indeks luas daun (ILD), berat kering adalah NC50P50 (62,95 cm), tanaman, laju pertumbuhan tanaman dan laju asimilasi bersih tanaman padi gogo. NB50P50 (63,15 cm), NQ50P50 (58,85 cm), N25P75 (63,66 cm) 2 ILD Berat kering (g) LPT (g/cm2/hari) LAB LD (cm ) dan NB75P25 (55,89 cm). Hal ini Perbandingan 49 HST 49 HST 35 HST 49 HST 21- 35 HST 35 - 49 HST 21-35 HST berarti bahwa keberadaan Mono vs. TS tanaman nanas dalam a a a a a a a Mono 1005,065 1,787 1,913 5,913 0,00022 0,00051 0,00122 tumpangsari dengan tanaman a a b b b a a TS 893,418 1,588 1,417 4,802 0,00015 0,00043 0,00104 padi gogo tidak mengganggu Blitar vs. Non Blitar pertumbuhan tinggi tanaman b b a b a a a Blitar 851,781 1,514 1,563 4,474 0,00017 0,00056 0,00109 padi gogo. Keadaan ini a a b a b b a Non Blitar 955,873 1,699 1,197 5,294 0,00013 0,00052 0,00096 disebabkan karena sampai Bogor vs. Subang dengan umur 77 hari setelah b b b a b b a Bogor 834,553 1,484 1,153 4,860 0,00012 0,00047 0,00097 a a b a b b a tanam pertumbuhan vegetatif Subang 1077,193 1,915 1,240 5,727 0,00013 0,00057 0,00095 awal tanaman nanas masih Bl 50 vs. Bl 25, 75 b b a b a a a lambat dan belum menaungi Bl 50 875,195 1,556 1,750 4,287 0,00019 0,00032 0,00134 b b a b a a b tanaman padi gogo. Habitus padi Bl 25, 75 840,074 1,493 1,470 4,567 0,00016 0,00039 0,00097 gogo lebih tinggi dibandingkan Bl 25 vs. Bl 75 b b a b a a a tanaman nanas sehingga Bl 25 864,053 1,536 1,567 4,887 0,00017 0,00042 0,00107 b b a b a a a tanaman padi gogo masih Bl 75 816,094 1,451 1,373 4,247 0,00014 0,00037 0,00086 menerima cukup sinar matahari CV 8,99% 8,98% 15,40% 10,20% 17,20% 14,18% 15,53% yang dibutuhkan untuk Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak fotosintesis. berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.


RAHAYU dkk. – Tumpangsari padi gogo dan nanas di Gunung Kidul

Luas daun, indeks luas daun, berat kering tanaman, laju pertumbuhan tanaman dan laju asimilasi bersih Hasil uji kontras ortogonal beberapa parameter yang diamati pada pertumbuhan vegetatif tanaman padi gogo dapat dilihat pada Tabel 1. Luas daun dan indeks luas daun 49 hari setelah tanam pada monokultur padi gogo tidak berbeda nyata dengan tumpangsari, namun berat kering yang dihasilkan lebih tinggi pada monokultur padi gogo. Hal ini karena persentase sinar tersekap pada monokultur padi gogo lebih besar daripada tumpangsari sehingga meningkatkan hasil fotosintesis yang diperoleh. Penetrasi dan distribusi cahaya pada setiap tanaman ditentukan oleh kerapatan dan kedudukan daun pada batang serta bentuk dan ukuran daun (William dan Joseph, 1970). Persentase sinar matahari tersekap tanaman padi gogo dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis kontras ortogonal persentase sinar tersekap tanaman padi gogo (%). Perbandingan

Persentase sinar tersekap (%) 21 HST 35 HST 49 HST

80 HST Mono vs. TS a a a a Mono 46,390 52,524 72,439 94,411 b b b a 46,400 64,208 89,357 TS 39,864 Blitar vs. non blitar b b b a Blitar 40,422 45,588 63,585 88,720 b b a a 47,619 65,142 90,314 Non blitar 39,027 Bogor vs. subang b b a a Bogor 38,506 46,515 66,633 89,344 b b a a 48,722 63,650 91,283 Subang 39,547 Bl 50 vs. Bl 25, 75 b b b a Bl 50 41,655 45,691 63,425 88,577 b b b a 45,537 63,665 88,792 Bl 25, 75 39,866 Bl 25 vs. Bl 75 a b a a Bl 25 43,187 48,121 67,423 91,964 b b b b 42,952 59,907 85,619 Bl 75 36,425 CV 7,11% 6,35% 3,53% 2,29% Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Luas daun dan indeks luas daun pada tumpangsari tanaman padi gogo dengan nanas queen blitar secara nyata lebih rendah daripada tumpangsari dengan nanas queen hijau bogor dan cayenne subang , sedangkan queen hijau bogor dan cayenne subang tidak berbeda nyata. Hal ini karena dalam tumpangsari tanaman padi gogo dengan nanas queen hijau bogor dan cayenne subang , tanaman padi gogo lebih giat melakukan fotosintesis sehingga mampu menghasilkan berat kering tanaman yang tinggi. Keadaan ini didukung oleh persentase cahaya matahari yang tersekap pada tumpangsari padi gogo dengan nanas queen hijau bogor dan cayenne subang lebih tinggi daripada tumpangsari dengan nanas queen blitar , sehingga dengan luas daun yang juga tinggi akan mampu memanfaatkan sinar matahari lebih efisien dan meningkatkan hasil fotosintesis. Indeks luas daun tanaman mempunyai hubungan erat dengan hasil biji maupun berat kering suatu tanaman. Berat kering tanaman akan meningkat dengan meningkatnya indeks luas daun sampai pada tingkat tertentu dan akhirnya tetap (Chang, 1968). Pertumbuhan tanaman nanas Hasil analisis pertumbuhan vegetatif tanaman nanas sampai 140 hari setelah tanam dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa varietas nanas berpengaruh

75

terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, berat kering dan indeks luas daun pada umur 144 hari setelah tanam. Pertumbuhan tanaman nanas varietas cayenne subang paling baik dibanding queen blitar dan queen hijau bogor. Hal ini dipengaruhi oleh genetis masing-masing varietas. Varietas cayenne subang merupakan jenis nanas yang mempunyai habitus lebih besar dibandingkan queen, sedangkan queen blitar dan queen hijau bogor tidak berbeda nyata karena keduanya termasuk jenis yang sama sehingga mempunyai pertumbuhan yang hampir sama (Collins, 1960). Tabel 3. Pengaruh padi gogo dan derajat tumpangsari terhadap pertumbuhan nanas pada 140 HST.

Faktor

Tinggi (cm)

Jml daun (helai)

Lebar kanopi (cm)

Berat kering (g)

ILD

Varietas nanas b b b b b queen blitar 50,26 18,40 66,72 37,72 0,09 b b b b b queen hijau bogor 50,29 20,87 61,47 36,21 0,16 a a a a a cayenne subang 57,62 29,10 78,43 68,89 0,25 Derajat tumpangsari d d d d d 50 53,84 23,29 69,58 45,77 0,16 d d d d d 100 51,60 22,29 68,16 49,44 0,17 Interaksi (-) (-) (-) (+) Orthogonal contrast Tamb. vs. faktorial m n m m m Tambahan 53,09 19,23 69,71 31,25 0,10 m m m m m Faktorial 52,72 22,79 68,87 47,60 0,17 TS 25:75 vs. TS 75:25 m m m m m TS 25:75 53,32 19,07 68,36 29,34 0,11 m m m m m TS 75:25 52,87 19,40 71,05 33,16 0,09 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom dan faktor yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%. (+): ada interaksi ; (-): tidak ada interaksi.

Derajat tumpangsari sampai pada 140 hari setelah tanam secara tunggal tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman nanas. Hal ini menunjukkan bahwa pada pertumbuhan vegetatif awal nanas yang ditanam baik secara monokultur maupun tumpangsari tidak mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar kanopi, ILD dan berat kering. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan nanas masih berlangsung lambat dan keberadaan tanaman padi gogo dalam sistem tumpangsari tersebut tidak mengganggu pertumbuhan tanaman nanas. Keadaan ini juga terlihat pada pertumbuhan padi gogo yang menunjukkan keberadaan tanaman nanas dalam tumpangsari juga tidak mengganggu pertumbuhan tanaman padi gogo. Produksi bahan kering tanaman merupakan keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi (Guritno dan Sitompul, 1995). Pertumbuhan vegetatif tanaman akan berpengaruh terhadap bahan kering total tanaman yang terbentuk. Besarnya berat kering yang terbentuk pada fase vegetati awal nanas sampai dengan umur 140 hari setelah tanam disajikan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 terlihat bahwa berat kering tanaman nanas tertinggi pada monokultur nanas dihasilkan oleh varietas cayenne subang . Keadaan ini dipengaruhi oleh tinggi, jumlah daun, lebar kanopi dan indeks luas daun tanaman nanas varietas cayenne subang yang ditanam secara monokultur paling tinggi dibanding kombinasi perlakuan yang lain sehingga berat kering total tanaman yang terbentuk juga paling tinggi. Selain itu, berat kering yang besar juga disebabkan dari habitus varietas cayenne subang yang lebih besar.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 73-76

76

cepat diperoleh pada monokultur nanas varietas cayenne subang .

100 88.09

90

Berat kering (g)

80

DAFTAR PUSTAKA

70 60

50.47

49.69

50 40

37.15 35.26

33.16

29.34

24.97

30 20 10

0.00

NC100P0

NC50P50

NQ100P0

NQ50P50

NB100P0

NB75P25

NB50P50

NB25P75

NB0P100

0

Perlakuan (treatment)

Gambar 4. Berat kering tanaman nanas (g) akibat pengaruh varietas nanas dan derajat tumpangsari.

KESIMPULAN Pertumbuhan vegetatif tanaman padi gogo yang terbaik diperoleh pada monokultur padi gogo, sedangkan pertumbuhan vegetatif awal tanaman nanas yang paling

Basyir, P., Suyamto, dan Supriyatin, 1995. Padi Gogo. Malang: Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Beets, W.C. 1982. Multiple Cropping and Tropical Farming System. London: Gower Publishing Company Limited. Chang, J.H. 1968. Climate and Agricultural an Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Company. Collins, J.L. 1960. The Pineapple: Botany, Cultivation, and Utilization. New York: Interscince Publisers Inc. Gardner, R.F., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H. dan Subiyanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gomez, A.A., and K.A. Gomez. 1983. Statistical Procedurs for Agricultural Research. Institute Book. Second Edition. New York: John Wiley and Sons. Guritno, B. dan S.M. Sitompul. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Palaniappan, S. P. 1985. Cropping System in The Tropic. New Delhi: Wiley Eastern Limited and Tamil Nadu Agricultural University. Prajitno, D. 1992. Pengoptimalan Sistem Pertanaman di Daerah Aliran Sungai Progo. [Disertasi]. Yogyakarta: Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Saaludin, D. 1993. Pengaruh berbagai jarak tanam dengan jumlah benih perdapur terhadap pertumbuhan dan hasil padi varietas arias yang ditanam secara gogo. Majalah Universitas Jambi 30: 96-116. Santoso, A.D. 1998. Sari Buah Nanas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. William, L.N. and K.T. Joseph. 1970. Climate Soil and Crop Production in Humid Tropics. London: Oxford University Press.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 77-80

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Nitrogen terhadap Tanaman Sayuran Effect of three different nitrogen fertilizers on several vegetable crops WIDIATI HADI ADIL♼, NOVIANTI SUNARLIM, IKA ROOSTIKA Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), Bogor 16111. Diterima: 19 Juli 2005. Disetujui: 29 Agustus 2005.

ABSTRACT Applications of three different sources of N fertilizers (urea, compost from slaughter house and chicken manure compost) on vegetable crops (tomato, okra and spinach) were conducted in the green house of Research Institute for Food Crop Biotechnology, Bogor from August of 1999 to April of 2000. Treatments consisted of: (i) without fertilizer, (ii) 5 g N/pot of urea, (iii) 10 g N/pot of slaughter house compost, (iv) 10 g N/pot of chicken manure compost, (v) 5 g N/pot of urea + 10 g N/pot of slaughter house compost, and (vi) 5 g N/pot of urea + 10 g N/pot of chicken manure compost. Completely Randomized Design with 3 replicates was used in the experiments. In the first experiment, tomatoes were planted in the first season, following by okra in the second season. In the second experiment, spinach was planted for 6 times. Urea and compost were applied only once at the beginning of the experiment. Results of the experiments showed that for the first experiment, the highest N-uptake for tomatoes and okra was obtained from the treatment 5 g N/pot of urea + 10 g N/pot of chicken manure compost, although the highest fresh weight of tomatoes and okra fruits were not from this treatment. The treatment of 10 g N/pot of either slaughter house or chicken manure composts gave the highest fresh fruits weight. In the second experiment, the highest dry weight and N-uptake of spinach were obtained from the treatment of 5 g N/pot of urea + 10 g N/pot of chicken manure compost. Š 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: urea, compost, tomato (Lycopersicon esculentum Mill.), okra (Abelmoschus esculentus L. Moench), spinach (Amaranthus tricolor).

PENDAHULUAN Pemberian kompos pada tanaman sayuran sangat penting untuk menyediakan hara yang dibutuhkan tanaman. Sayuran memerlukan banyak sekali hara tanaman. Pemberian yang terlalu banyak dapat mengakibatkan ketidak seimbangan hara di dalam tanah dan tanaman. Selain itu tidak semua N dari kompos dapat diserap oleh tanaman, sehingga mengakibatkan berlebihnya hara N dan dapat menjadi polusi lingkungan (Smith and Peterson, 1982). Pada tanaman cabe merah dan tomat, pupuk N sangat diperlukan dalam jumlah yang besar (sekitar 150 kg/ha) untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Sumarni (1996) melaporkan bahwa 20-30 ton/ha pupuk kandang diperlukan untuk mendapatkan hasil sayuran yang tinggi. Percobaan pada tanaman tomat menunjukkan bahwa pemberian 30 t/ha sampah kota menghasilkan hasil tomat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian sampah kota yang lebih rendah (Sutapradja dan Sumarna, 1991). Nurtika dan Hidayat (1998) melaporkan bahwa bila tomat ditanam dengan cara tanam ganda dan diberi pupuk kandang 7,5 t/ha pada varietas intan menghasilkan jumlah buah dan bobot buah paling tinggi. Penelitian pemberian pupuk N dan pupuk organik pada tanaman bayam dan okra masih jarang dilakukan. Tanaman bayam merupakan tanaman sayuran yang digemari oleh semua lapisan masyarakat dengan gizi yang tinggi yaitu dengan kandungan kalsium dan vitamin A yang

♼ Alamat korespondensi: Jl Tentara Pelajar 3A Bogor 16111. Tel. +62-251- 337975, Fax. +62-251-338820 e-mail: borif@indo.net.id

tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Gruben (1976) menunjukkan bahwa pemberian kompos sampah kota menaikkan hasil bayam selama 4 kali penanaman, dan hasil bertambah tinggi bila ditambah dengan pemberian pupuk NPK. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sumarna (1993) pada 3 macam jenis tanah menunjukkan bahwa tanah Aluvial memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis tanah lainnya (Andosol dan Latosol). Pemberian pupuk kandang 60 t/ha (60 g kompos pada 2 kg tanah/pot) menaikkan hasil secara nyata, tetapi penambahan kompos dari 60 menjadi 90 t/ha tidak menaikkan hasil. Hasil penelitian pemupukan N dan K pada bayam menunjukkan tidak terdapat perbedaan bobot basah bayam dengan pemberian pupuk N sampai 75 kg N/ha atau pemberian pupuk K sampai 200 kg K2O/ha (Subhan, 1992). Menurut Alvarez et al. (1995), kompos berpengaruh secara langsung dengan melepas hara yang dikandungnya dan secara tidak langsung dengan mempengaruhi kapasitas tukar kation yang mempengaruhi serapan hara. Kompos di dalam tanah dapat berpengaruh positif yaitu merangsang pertumbuhan atau negatif yaitu menghambat pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian yang menggunakan kompos yang berasal dari limbah peternakan ayam, sapi dan domba diketahui dapat menaikkan pertumbuhan tanaman sedangkan kompos dari peternakan babi menghambat pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian mineralisasi dari dua kompos (dari pemotongan sapi dan kotoran ayam) menunjukkan bahwa serapan N dari kedua kompos tersebut masih naik pada 31 minggu setelah tanam, sedangkan serapan N dari urea sudah berhenti pada 16 minggu setelah tanam (Sunarlim et al., 1999a). Dengan masih berlangsungnya mineralisasi N sampai 31 minggu setelah tanam maka kemungkinan kompos tersebut dapat digunakan untuk menanam


78

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 77-80

tanaman sayuran selama 2 musim. Selain itu hasil penelitian takaran kompos pada tanaman tomat, cabai merah dan bayam menunjukkan bahwa takaran optimum untuk semua tanaman sekitar 10 g N/pot (Sunarlim et al, 2001), sehingga takaran ini digunakan pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian 2 macam kompos yang dikombinasikan dengan pupuk urea terhadap hasil tomat dan okra yang ditanam berturutan dan tanaman bayam yang ditanam 6 kali berturut-turut.

Pengamatan dilakukan terhadap bobot kering tanaman, banyaknya buah/tanaman, bobot buah segar, serapan hara N, dan efisiensi serapan hara N. Serapan hara N tomat dan okra dihitung dari bobot brangkasan kering dikalikan dengan % N tanaman dan ditambah dengan bobot buah kering dikalikan dengan % N buah, sedangkan untuk bayam dihitung dari bobot brangkasan kering dikalikan dengan % N tanaman. Efisiensi serapan hara pada takaran x pupuk N dihitung dari serapan hara takaran x pupuk N dikurangi dengan serapan hara tanpa pupuk dibagi takaran x pupuk N.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan (Balitbio) Bogor dari bulan Agustus 1999 s.d. April 2000. Analisis parameter kimia dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. Perlakuan terdiri dari 6 macam yaitu: (i) tanpa pupuk N, (ii) 5 g N/pot dari urea, (iii) 10 g N/pot dari kompos pemotongan sapi, (iv) 10 g N/pot dari kompos kotoran ayam, (v) 5 g N/pot urea + 10 g N/pot kompos pemotongan sapi, dan (vi) 5 g N/pot urea + 10 g N/pot kompos kotoran ayam. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam. Pada percobaan pertama, tomat (Lycopersicon esculentum Mill.), ditanam pada musim pertama sampai panen sekitar 4 bulan, yang dilanjutkan dengan okra (Abelmoschus esculentus L. Moench) sekitar 3 bulan. Tiap pot ditanam satu tanaman baik tomat maupun okra. Pada percobaan kedua, bayam (Amaranthus tricolor) ditanam 6 kali berturut-turut, setiap panen berumur sekitar 4-5 minggu. Tiap pot ditanam lima tanaman bayam setiap kali tanam. Urea dan kompos diberikan hanya sekali yaitu pada saat penanaman pertama dan tak ada penambahan pupuk N setelah itu. Tanaman sayuran ditanam di pot yang berisi 10 kg tanah kering angin. Tiap pot diberikan pupuk dasar sebanyak 1,6 g P2O5, 1 g K2O dan 0,5 g Mg SO4 pada saat tanam. Varietas tomat yang ditanam adalah varietas intan, varietas okra adalah clemson spineless dan varietas bayam giti hijau. Kompos dari pemotongan sapi (campuran rumput, kotoran dan isi perut sapi) berasal dari pabrik kompos di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Cakung, Jakarta. Waktu pengomposan (dekomposisi) selama 6-7 minggu. Kompos bebas dari biji gulma dan mikroorganisme patogen (Schuchardt et al., 1996). Kompos kotoran ayam berasal dari pabrik kompos di peternakan ayam “PT Sumber Inti Harapan� Tangerang. Tabel 1 menunjukkan hasil analisis kimia dari kedua kompos tersebut. Kompos dari pemotongan sapi mempunyai kandungan C dan K yang tinggi, sedangkan kompos kotoran ayam mempunyai kandungan P yang tinggi. Tabel 1. Hasil analisis kimia dari dua macam kompos. Parameter kimia Kadar air (%) C-organik (%) N-Kjd (%) N-NH4 (%) N-NO3 (%) N- total (%) P (%) K (%) pH H2O pH KCl C/N

Kompos pemotongan sapi 26,11 23,99 1,94 0,14 0,01 1,95 0,64 2,45 7,24 6,99 13

Kompos kotoran ayam 31,46 13,59 0,85 0,14 0,04 0,89 1,19 0,71 6,51 6,45 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Tomat-okra Hasil penelitian pada tanaman tomat dan okra yang ditanam berturutan terlihat bahwa bobot buah segar tomat yang ditanam pertama sebelum okra, dipengaruhi secara nyata oleh pemberian kompos baik yang berasal dari pemotongan sapi maupun dari kotoran ayam. Pemberian kompos menaikkan bobot buah segar secara nyata. Pemberian urea sebanyak 5 g N/pot menyebabkan tanaman tidak tumbuh akibat kandungan N terlalu tinggi. Menurut Birch and Eagle (1969) urea dengan dosis tinggi melepaskan N yang tinggi ke tanah sehingga mengakibatkan kandungan N di dalam tanah terlalu tinggi yang menyebabkan keracunan bagi tanaman. Bila urea ini dikombinasikan dengan kompos kotoran ayam maka tanaman menghasilkan buah dengan bobot yang tidak berbeda dengan kompos kotoran ayam saja, tetapi bila urea dikombinasikan dengan kompos pemotongan sapi maka bobot buah segar yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan kompos pemotongan sapi saja. Okra yang ditanam setelah tomat juga memperlihatkan respon yang sama. Bila hanya urea yang diberikan maka tanaman tidak dapat tumbuh, tetapi bila dikombinasikan dengan kompos maka bobot buah segar hampir sama dengan pemberian kompos saja kecuali pada kombinasi dengan kompos pemotongan sapi (Gambar 1). Pemberian kompos baik kompos saja maupun yang dikombinasikan dengan urea menghasilkan buah yang jumlahnya secara nyata lebih tinggi daripada kontrol (Gambar 2). Hasil serupa dilaporkan oleh Ogunlela et al. (2005) bahwa aplikasi kompos pemotongan sapi dapat meningkatkan bobot polong hijau hingga 131% dari perlakuan kontrol. Kenaikan bobot dan banyaknya buah segar bukan akibat pemberian urea tetapi akibat pemberian kompos baik kompos yang berasal dari pemotongan sapi maupun dari kotoran ayam. Semua panen (6 kali tanam), tidak memperlihatkan adanya perbedaan nyata pada bobot kering tanaman, serapan N, dan efisiensi serapan N di antara perlakuan kompos, baik kompos saja maupun yang dikombinasikan dengan urea. Efisiensi serapan N perlakuan kompos kotoran ayam yang dikombinasikan dengan urea sebesar 23% dan yang tidak dikombinasikan dengan urea sebesar 24%. Nilai tersebut lebih tinggi dari pemotongan sapi yang dikombinasikan dengan urea yaitu 16% dan tidak dikombinasikan dengan urea yaitu 18% (Gambar 8). Serapan N pada tanaman tomat yang ditanam pada musim pertama memperlihatkan penyerapan N yang tinggi pada perlakuan kompos dan kombinasi kompos + urea, dan berbeda nyata dengan kontrol. Serapan N di antara perlakuan tidak berbeda nyata. Tomat pada perlakuan 5 g N/pot tidak tumbuh maka tidak dapat diketahui serapan N dari perlakuan urea saja. Serapan N pada tanaman okra


ADIL dkk. – Pengaruh pupuk nitrogen terhadap tanaman sayuran

0N 10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

1200 900 600 300 0

0N 10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

250 Bobot buah segar (g/pot)

Bobot buah segar (g/pot)

1500

79

200 150 100 50 0 Okra

Tomat

0N 10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

25 20 15 10 5 0

Banyaknya buah/pot

Banyaknya buah/pot

Gambar 1. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap bobot buah segar tanaman tomat (kiri) dan okra (kanan) yang ditanam berturutan. 0N 10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U]+10N A

12 10 8 6 4 2 0 Okra

Tomat

Serapan N (g/pot)

3 2 1 0 Tomat

Okra

Total

0N 5 N Urea 10 N sapi 10 N ayam 5N Urea+10N sapi 5N Urea+10N ayam

40 30 (g/pot)

Bobot kering tanaman

Gambar 3. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap serapan N tanaman tomat dan okra yang ditanam berturutan.

20 10

10 N sapi 10 N ayam 5N Urea+10N sapi 5N Urea+10N ayam

30 25 20 15 10 5 0 Tomato

Okra

Total

Gambar 4. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap efisiensi serapan N tanaman tomat dan okra yang ditanam berturutan. 0N 5 N Urea 10 N sapi 10 N sayam 5N Urea+10N sapi 5N Urea+10N ayam

1.2

Serapan N (g/pot)

0N 10 N sapi 10 N ayam 5N Urea+10N sapi 5N Urea+10N ayam

4

Efisiensi serapan N (%)

Gambar 2. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap banyaknya buah segar tanaman tomat (kiri) dan okra (kanan) yang ditanam berturutan.

1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

0 Ke 1

Ke 2

Ke 3 Ke 4 Waktu tanam

Ke 5

Ke 6

10 N sapi 10 N ayam 5N Urea + 10N sapi 5N Urea + 10N ayam

Efisiensi serapan N (%)

Ke 1

Ke 2

Ke 3

Ke 4

Ke 2

Ke 3

Ke 4

Ke 5

Ke 6

Waktu tanam

Gambar 5. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap bobot kering tanaman bayam yang ditanam sebanyak 6 kali. 12 10 8 6 4 2 0

Ke 1

Ke 5

Ke 6

Waktu tanam

Gambar 7. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap efisiensi serapan N tanaman bayam yang ditanam sebanyak 6 kali.

yang ditanam pada musim kedua menurun bahkan tidak ada perbedaan antara serapan N pada perlakuan dan kontrol. Total serapan N dari kedua musim terlihat bahwa kombinasi urea dan kompos kotoran ayam memberikan serapan yang terbaik yaitu menghasilkan total serapan N tertinggi dan juga melebihi perlakuan kompos kotoran ayam saja (Gambar 3). Hasil yang sama juga didapat dari penelitian dengan menggunakan cabai merah dan tomat. Serapan N tertinggi didapat dari perlakuan urea + kompos yang berasal dari kotoran ayam (Sunarlim et al., 1999b).

Gambar 6. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap serapan N tanaman bayam yang ditanam sebanyak 6 kali.

Berbeda dengan serapan N, maka efisiensi serapan N perlakuan kompos tanpa kombinasi dengan urea pada tomat memberikan efisiensi serapan N yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikombinasikan dengan urea. Pada tanaman okra, efisiensi serapan N tidak berbeda nyata di antara perlakuan. Total efisiensi serapan N tertinggi didapat dari perlakuan kompos pemotongan sapi (24%) dan terendah dari kompos pemotongan sapi yang dikombinasikan dengan urea (15%) (Gambar 4). Dari hasil yang didapat bisa disimpulkan bahwa pemberian kompos sebanyak 10 g N/pot cukup untuk tanaman tomat saja yang ditanam pertama kali, tanaman okra yang ditanam berikutnya tidak dapat tumbuh dengan baik. Kompos diperlukan lagi untuk penanaman selanjutnya setelah penanaman pertama. Penambahan urea pada kompos tidak memperbaiki pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Sunarlim et al. (1999a), N yang berasal dari urea diambil oleh tanaman pada 4 bulan pertama, sedangkan N yang berasal dari kompos masih dapat diambil tanaman sampai 8 bulan. Hal ini tidak sejalan dengan hasil yang didapat dari penelitian ini karena N dari kedua sumber sudah terambil pada 4 bulan pertama. Hal ini


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 77-80

100 50 0 Perlakuan

Serapan N (g/pot)

Bobot kering

tanaman (g/pot)

0N 5 N Urea 10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

5

Total 6 kali tanam 0N 5 N Urea 10 N s api 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

4 3 2 1 0 Perlakuan

(%)

Total 6 kali tanam

Total 6 kali tanam 150

Efisiensi serapan N

80

30 25 20 15 10 5 0

10 N sapi 10 N ayam 5N U+10N S 5N U+10N A

Perlakuan

Gambar 8. Pengaruh pemberian pupuk N terhadap total bobot kering tanaman, serapan N dan efisiensi serapan N bayam yang ditanam sebanyak 6 kali.

terlihat dari serapan N pada tanaman kedua yang sudah menurun bahkan jumlahnya hampir sama dengan kontrol. Bayam Hasil analisis statistik pada keenam penanaman bayam menunjukkan bahwa tanaman bayam dipengaruhi secara nyata oleh pemberian kompos. Pemberian urea dengan takaran 5 g N/pot menyebabkan tanaman tidak tumbuh pada awal pertanaman (tanam kedua dan ketiga), tetapi pada 3 tanam selanjutnya tanaman bayam tumbuh tetapi pertumbuhannya tidak baik. Diduga takaran urea tersebut sudah terlalu tinggi sehingga menyebabkan keracunan pada tanaman. Pada tanam pertama kompos kotoran ayam tanpa urea memberikan bobot kering tanaman tertinggi, tetapi pada tanam selanjutnya kompos kotoran ayam yang dikombinasikan dengan urea memberikan bobot kering tanaman tertinggi (Gambar 5). Menurut Agele et al. (2004) dan Adekayode (2004), aplikasi kompos kotoran ayam dapat meningkatkan hasil yang berupa bobot biomassa tajuk hingga 70,6%. Bobot kering tanaman menurun dengan bertambahnya waktu tanam, dan penanaman setelah keempat memberikan bobot kering tanaman hanya tinggal sekitar setengahnya kecuali pada perlakuan kompos kotoran ayam yang dikombinasikan dengan urea. Seperti halnya bobot kering tanaman, serapan N tanaman juga dipengaruhi secara nyata oleh pemberian kompos baik yang berasal dari pemotongan sapi maupun dari kotoran ayam. Serapan N pada tanam kelima dan keenam sudah berkurang setengahnya dibandingkan dengan tanam pertama (Gambar 6). Efisiensi serapan N tertinggi didapat dari pemberian kompos kotoran ayam pada 3 tanam pertama. Kompos dari kotoran ayam mempunyai efisiensi serapan yang lebih baik dibanding kompos dari pemotongan sapi. Kompos kotoran ayam yang dikombinasikan dengan urea mempunyai efisiensi serapan N yang lebih tinggi dibanding kompos pemotongan sapi. Penanaman bayam pada 3 tanam berikutnya mempunyai efisiensi serapan N yang rendah untuk semua perlakuan (Gambar 7). Hal ini dapat disimpulkan bahwa kompos hanya baik untuk tanaman bayam sampai 3 kali atau sekitar 4 bulan. Hasil yang sama juga didapat dari penelitian dengan tomat dan okra, bahwa kompos yang diberikan hanya cukup untuk 1 musim tanam saja. Penanaman pada musim berikutnya memberikan hasil yang kurang baik, seperti halnya bayam pada tanam keempat, kelima dan keenam.

KESIMPULAN Kompos dengan takaran 10 g N/pot hanya baik digunakan untuk satu musim tanam. Pada musim kedua pertumbuhan tanaman tidak optimal, perlu penambahan

kompos. Kompos yang berasal dari kotoran ayam lebih baik dari kompos yang berasal dari rumah pemotongan hewan. Untuk memperoleh hasil yang tinggi, tidak diperlukan penambahan urea pada kompos.

DAFTAR PUSTAKA Adekayode, F.O. 2004. The use of manure to increase the yield and quality of Amaranthus to feed rabbit in a humid tropical region. Journal of Animal and Veterinary Advances 3 (11): 763-768. Agele, Adeosun, dan Oluwadare. 2004. A lysimeter study of nutrient release, leaching losses and growth response of amaranthus resulting from application of inorganic and organic nitrogen sources. Journal of Food, Agriculture and Environment 2 (2): www.world-food.net/scientificjournal/ 004/issue2/abstracts/abstract57.php. [11 Agustus 2005]. Alvarez, M.A.B., S. Gagne and H. Antoun. 1995. Effect of compost on rhizospheremicroflora of the tomato and on the incidence of plant growth-promoting rhizobacteria. Applied and Environmental Microbiology 61 (1): 194-199. Birch, P. and D. Eagle. 1969. Toxicity of seedlings to nitrite in sterilized composts. Journal of Horticultural Science 44: 321-330. Gruben, G. J. H. 1976. The Cultivation of Amaranth as a Tropical Leaf Vegetable. Amsterdam: Department of Agriculture Research. Nurtika, N. dan A. Hidayat. 1998. Pengaruh pupuk kandang pada teknik budidaya tomat di lahan kering. Jurnal Hortikultur 8 (1): 1000-1005. Ogunlela, Masarirambi, dan Makuza. 2005. Effect of cattle manure application on pod yield and yield indices of okra (Abelmoschus esculentus L. Moench) in a semi-arid subtropical environment. Journal of Food, Agriculture, and Environtment 3 (1): www.worldfood.net/scientificjournal/2005/issue1/abstract26.php. Schuchardt, F., F. Sahwan, S. Wahyono, and M. Efendi. 1996. Erfahrungen bei der kompostierung von schlachthofabfallen unter tropischen bedingungen. Entsogungspraxis 14 (6): 22-25. Smith, J.H. and J.R. Peterson. 1982. Recycling of nitrogen through land application of agricultural, food processing, and municipal wastes. In F. J. Stevenson (ed.) Nitrogen in Agricultural Soils. Wisconsin: ASA. Subhan. 1992. Pengaruh dosis pupuk nitrogen dan kalium terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bayam kultivar giti hijau (Amaranthus tricolor L.). Buletin Penelitian Hortikultura 24 (1): 29-36. Sumarna, A. 1993. Pengaruh jenis tanah, jumlah pemberian air dan dosis pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman bayam (Amaranthus tricolor L.). Buletin Penelitian Hortikultura 25 (3): 60-71. Sumarni, N. 1996. Budidaya tanaman cabe merah. Dalam Duriat, A.S., A. W.W. Hadisoeganda, T.A. Soetiasso dan L. Prabaningrum (eds). Teknologi Produksi Cabai Merah. Bandung: Balitsa Lembang. Sunarlim, N., W.H. Adil, F.L. Sahwan and F. Schuchardt. 1999a. The mineralization of nitrogen from two different composts in the soil. Indonesian Journal of Crop Science 14 (2): 35-40. Sunarlim, N., W.H. Adil, F.L. Sahwan and F. Schuchardt. 1999b. The effects of three different nitrogen sources on red peppes and tomatoes cropping pattern. In Ginting, C., A. Gafur, F.X. Susilo, A.K. Salam, Erwanto, A. Karyanto, S.D. Utomo, M. Kamal, J. Lumbanraja, and Z. Abidin (eds.). Proceeding Internationnal Seminar: Toward sustainable agriculture in humid tropics facing 21st century. UNILA. Bandar Lampung, Indonesia. September 27-28, 1999. Sunarlim, N., W.H. Adil, F.L. Sahwan, and F. Schuchardt. 2001. The Application of Compost to Vegetable and Ornamental Crops. [Research Report]. Institute for Food Crops Biotechnology Bogor, Agency for Assessment and Application Technology Jakarta, Indonesia and Federal Agricultural Research Centre (FAL), Braunschweig, Germany Sutapradja, H. dan A. Sumarna. 1991. Pengaruh kedalaman pengolahan tanah dan dosis kompos sampah kota terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) Buletin Penelitian Hortikultura 21 (2): 20-25.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 81-84

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Pengaruh Beberapa Jenis Media Tanam dan Pupuk Daun terhadap Pertumbuhan Vegetatif Anggrek Jamrud (Dendrobium macrophyllum A. Rich.) The effects of planting media and leaf fertilizers on the growth of jamrud orchid (Dendrobium macrophyllum A. Rich.) I GEDE TIRTA♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan, Bali 82191.

Diterima: 18 Agustus 2005. Disetujui: 29 Nopember 2005.

ABSTRACT Jamrud orchid (Dendrobium macrophyllum A. Rich.) have attractive flowers which make the orchid become one of high economic ornamental plants. The orchid is one of endangered species. Its growth is slow, however appropriate planting media and leaf fertilizers can improve the growth of the orchid. The experiment was conducted from February to June 2003, at “Eka Karya” Bali Botanic Garden. The design used in the experiment was completely randomized block with two treatments and four replicates. The first factor were six kinds of planting medias (roots of C. contaminans, roots of Asplenium nidus, charcoal, roots of C. contaminans+roots of A. nidus, roots of C. contaminans+charcoal and roots of A. nidus+charcoal). The second factor were four kinds of fertilizers (plant catalyst, super bionik, inabio and subur inti persada) and one treatment without fertilizer. The results of experiment showed that the interaction between planting medias and leaf fertilizers significantly affected increment of plant height at 12, 14, 16 and 18 weeks after planting, of leaf number at 14, 16 and 18 weeks after planting, of root length, of plant fresh weight and oven dry weight. Treatment of C. contaminans roots and of A. nidus roots combined with inabio fertilizer produced the highest vegetative growth. This treatment increased the total oven dry weight of plant (54.81%), increased the weight of plant (67.48%), of root length (41.63%), of total leaf number (70.73%), of plant height (59.01%) and bud number (72.22%) compared with treatment without fertilizer in the same media. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: planting media, leaf fertilizers, growth, Dendrobium macrophyllum A.Rich.

PENDAHULUAN Salah satu kelompok tanaman yang banyak tumbuh di belantara Indonesia adalah anggrek. Dalam dunia tumbuhtumbuhan anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang jenisnya sangat beragam. Jenis anggrek berjumlah 17.500 (Sastrapradja dan Gandawidjaja, 1979), di antaranya adalah Dendrobium, Vanda, dan Phalaenopsis. Menurut Lestari (1985) Dendrobium merupakan salah satu marga terbesar, diperkirakan berjumlah 1.600 jenis. Beraneka ragam jenis anggrek Dendrobium seperti anggrek jamrud (Dendrobium macrophyllum A.Rich.) sangat diminati oleh masyarakat. Anggrek ini sangat populer karena menghasilkan bunga yang cantik dengan warna yang menawan, mempunyai potensi besar ditinjau dari genetis dan ekonomi. Seperti beberapa jenis anggrek lainnya cara hidup anggrek jamrud epifit. Berdasarkan morfologinya, tergolong anggrek simpodial dengan batang semu (pseudobulb). Pada saat ini pengusahaan anggrek akan menghadapi masalah terutama pada negara dimana ketersediaan media tumbuh semakin sulit dan ketersediaan air menjadi terbatas ♥ Alamat korespondensi: Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-368-21273. e-mail: igtirta59@yahoo.com.

serta mahal harganya (Campbell dan Mathes, 1989). Penggunaan media organik seperti kulit kayu atau akar pakis mulai terbatas, media tersebut mudah melapuk sehingga harus sering diganti (Gordon, 1997). Oleh karena itu menurut Grove (1998) para pencinta anggrek selalu mencari medium tumbuh yang baru. Medium yang diperlukan adalah medium yang dapat menyimpan air dan unsur hara serta melepaskannya pada perakaran secara perlahan-lahan, tidak mudah melapuk, tersedianya udara yang cukup bagi perakaran, mudah didapat dan relatif murah harganya. Akar pakis sesuai untuk media anggrek karena memiliki daya mengikat air, aerasi dan drainase baik, melapuk secara perlahan-lahan, serta mengandung unsur-unsur hara yang dibutuhkan anggrek untuk pertumbuhannya (Syaifullah dkk., 1997). Selanjutnya menurut Widiastoety dan Hendastuti (1985) media tanam akar pakis merupakan media tumbuh yang baik untuk pertumbuhan tanaman anggrek Phalaenopsis. Namun bila akar pakis yang tumbuh di hutan ini diambil secara terus menerus untuk digunakan sebagai media tanam, dikhawatirkan keseimbangan ekosistem akan terganggu. Menurut Widiastoety (1986) media pecahan arang kayu tidak lekas lapuk, tidak mudah ditumbuhi cendawan dan bakteri. Walaupun sukar mengikat air dan miskin zat hara, tetapi arang cukup baik untuk media anggrek. Di daerah penghasil kopi di Bali, banyak tersedia kayu tanaman kopi sehingga arang dari kayu ini


82

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 81-84

mempunyai potensi dipakai media tanam anggrek. Kadaka (akar paku sarang burung) adalah semacam media tanam anggrek yang mempunyai potensi baik karena dapat menyimpan air dan unsur hara cukup lama serta tidak lekas melapuk. Media tanam yang biasa digunakan yaitu pecahan genting, arang kayu dicampur dengan cacahan akar pakis. Dendrobium, Bulbophyllum, Oncidium dan jenis anggrek lainnya yang berakar halus, elok dilekatkan pada akar pakis yang ringan, agak longgar atau jarang susunan seratnya, mudah dimasuki akar-akar yang halus (Latif, 1960). Penggunaan media tanam secara kombinasi diharapkan dapat memberikan lingkungan perakaran lebih baik disamping tersedia air dan unsur hara bagi tanaman anggrek. Pemberian unsur hara selain diberikan lewat tanah umumnya diberikan lewat daun. Pupuk daun adalah bahanbahan atau unsur-unsur yang diberikan melalui daun dengan cara penyemprotan atau penyiraman kepada daun tanaman agar langsung dapat diserap guna mencukupi kebutuhan bagi pertumbuhan dan perkembangan (Sutedjo, 1999). Seperti tumbuhan lainnya, anggrek selalu membutuhkan unsur hara untuk mempertahankan hidupnya. Kebutuhan tanaman anggrek akan unsur hara sama dengan tumbuhan lainnya, hanya anggrek membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperlihatkan gejala-gejala defisiensi, mengingat pertumbuhan anggrek sangat lambat. Di alam bebas/habitat aslinya anggrek memperoleh unsurunsur tersebut dari udara dan bahan-bahan organik yang terakumulasi di sekitar perakaran dan secara konstan jumlah unsur-unsur ini bertambah akibat adanya daun-daun yang gugur dan bahan-bahan lain yang membusuk. Dalam usaha budidaya tanaman anggrek, habitatnya tidak cukup mampu menyediakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan. Untuk mengatasi hal tersebut, biasanya tanaman diberi pupuk baik organik maupun anorganik. Pupuk yang digunakan biasanya pupuk majemuk yaitu pupuk yang mengandung unsur makro dan mikro. Beberapa jenis pupuk daun (bayfolan gandasil, hyponex, vitabloom, dll.) sudah tersedia di pasaran dan sudah banyak dipakai petani anggrek, tetapi ada jenis pupuk baru (inabio, super bionik, plant catalyst 2006, dan SIP = subur inti persada ) yang tersedia belum banyak digunakan. Pupuk baru ini mempunyai potensi untuk digunakan karena kelebihan unsur hara yang dikandungnya. Pada saat ini pemanfaatan media tanam anggrek dari arang kayu kopi dan kadaka belum banyak dilakukan. Pemanfaatan jenis pupuk daun terutama jenis-jenis yang baru pada tanaman anggrek masih sangat terbatas. Hal ini perlu dikaji lebih jauh dalam budidaya anggrek sehingga pertumbuhan dan produksinya menjadi lebih baik serta terhindar dari kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis media tanam dengan pupuk daun terhadap pertumbuhan anggrek D. macrophyllum. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti, pengusaha dan penggemar anggrek didalam budidaya anggrek.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan percobaan pot yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2003, bertempat di pembibitan UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karyaâ€? Bali. Ketingian tempat 1250 m di atas permukaan laut. Suhu berkisar 11-30°C kelembaban udara 65-95%.

Bahan tanaman yang digunakan adalah anggrek Dendrobium macrophyllum A. Rich. yang berasal dari Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali. Media tumbuh yang digunakan akar pakis (Cyathea contaminans (Hook.) Copel.), akar kadaka (Asplenium nidus L.), dan arang yang terbuat dari kayu kopi (Coffea robusta Linden ex De Wildem). Bahan media tanam lain yang digunakan adalah pecahan batu bata merah yang diletakkan di dasar pot. Bahan pupuk daun yang digunakan yaitu plant catalyst 2006, super bionik, inabio, dan SIP. Hasil analisis kandungan kimia pupuk daun yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pot tanah dengan ukuran tinggi 10 cm dan diameter 17 cm, kawat tiang penyanga 3 mm, timbangan analitik, sekop, gunting stek, hand sprayer, ember plastik, gelas ukur, oven, jangka sorong, penggaris, dan alat tulis lainnya. Tabel 1. Hasil analisis kandungan kimia pupuk daun. Kandungan Hasil analisis Ket. kemasan laboratorium*) K2O N P2O5 K2O N P2O5 (%) (%) Tepung 500 g 0,420,23 12,5 0,04 0,2112,45 KS Plant catalyst Super bionik hijau Cair 500 mL 8,151,25 5,05 8,15 1,71 3,37 KS Inabio Cair 1L 10 8 2 3,24 5,01 1,51 KS SIP Cair 250 mL 0,221,44 0,59 0,06 0,07 0,01 KS Keterangan: KS= Kurang sesuai; kandungan N, P dan K yang tertera dalam kemasan lebih besar dibandingkan dengan yang sebenarnya/hasil analisis, kecuali kandungan N pada super bionik. *) = Hasil analisis Laboratorium PT. Superintending Company of Indonesia (Sucopindo) Denpasar, Bali. Merek pupuk

Jenis Jumlah Pupuk Pupuk

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan terdiri dari 2 faktor yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah jenis media (M) yang terdiri atas 6 jenis yaitu: akar pakis, kadaka, arang, akar pakis+kadaka, akar pakis+arang kadaka+arang. Faktor kedua adalah jenis pupuk daun (P) yang terdiri dari 5 jenis yaitu: (i) tanpa pemberian pupuk, (ii) pupuk plant catalyst 2006, (iii) super bionik, (iv) inabio, dan (v) SIP. Terdapat 30 kombinasi perlakuan dengan 4 ulangan sehingga diperlukan 120 pot. Pengamatan variabel pertambahan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, dan jumlah tunas dilakukan setiap 2 minggu. Variabel jumlah akar, panjang akar, berat basah total tanaman, dan berat kering total tanaman diukur setelah 18 mst. Penghitungan setiap variabel pertambahan (tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, jumlah akar, panjang akar, berat basah total tanaman dan berat kering oven total tanaman) dilakukan dengan mencari selisih pada setiap pengukuran dengan keadaan awal/sebelum pemberian perlakuan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiraman, penanggulangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali sehari dalam cuaca cerah dan apabila hujan tidak disiram. Untuk proteksi tanaman dilakukan penanggulangan hama secara mekanis dengan memungut hama seperti siput telanjang (Filicaulis bleckeri). Pembersihan gulma dilakukan setiap 2 minggu sekali. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara penyemprotan melalui daun 2 kali seminggu. Pupuk yang digunakan sesuai dengan perlakuan -1 -1 yaitu plant catalyst 2 g L , super bionik 3 mL L , SIP 5 mL -1 -1 L dan inabio 2,5 mL L jumlah larutan pupuk untuk 12 pot tanaman adalah 1 L. Sebelum dipupuk tanaman anggrek diselungkup dengan kotak acrilic agar pupuk tidak menguap ke tanaman lain.


TIRTA – Pertumbuhan vegetatif anggrek Dendrobium macrophyllum A. Rich.

Data dianalisis secara statistika dengan sidik ragam, dengan menggunakan computer programme dari Microsoft Excel Version 2000 (Microsoft Excel, 2000). Jika pengaruh interaksinya nyata atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (UJBD) pada taraf 5% (Gasperz, 1991). Jika pengaruh interaksi tersebut tidak nyata terhadap variabel yang diamati maka pengaruh tunggal dari perlakuan bersangkutan diuji dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistika terhadap semua variabel yang diamati menunjukkan bahwa interaksi perlakuan beberapa jenis media tanam dan jenis pupuk daun berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap pertambahan tinggi tanaman pada umur 12 dan 14 mst. dan pertambahan jumlah daun pada umur 14 mst. (Tabel 2). Interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pertambahan tinggi tanaman, pertambahan jumlah daun dan jumlah tunas pada umur 16 dan 18 mst., pertambahan panjang akar, pertambahan berat basah total tanaman dan pertambahan berat kering total tanaman. Tabel 2. Signifikansi Pengaruh Perlakuan Beberapa Jenis Media Tanam, Pupuk Daun dan Interaksinya Terhadap Variabel yang Diamati. No. Variabel

Perlakuan M P

MxP Pertambahan tinggi tanaman (cm) a. Umur 4 mst. tn tn tn b. Umur 6, 8 dan 10 mst ** ** tn c. Umur 12 dan 14 mst ** ** * d. Umur 16 dan 18 mst ** ** ** 2 Pertambahan diameter batang (cm) a. Umur 4 mst tn tn tn b. Umur 6, 8 dan 10 mst * ** tn c. Umur 12, 14, 16 dan 18 mst ** ** tn 3 Pertambahan jumlah daun (helai) a. Umur 4 mst tn tn tn b. Umur 6, 8, 10 dan 12 mst * ** tn c. Umur 14 mst ** ** * d. Umur 16 dan 18 mst ** ** ** 2 4 Pertambahan luas daun (cm ) a. Umur 4 mst tn tn tn b. Umur 6, 8, 10, 12, 14 dan 18 mst ** ** tn 5 Jumlah tunas (buah) a. Umur 6, 8 dan 10 mst tn * tn b. Umur 12 dan 14 mst tn ** tn c. Umur 16 dan 18 mst ** ** ** 6 Pertambahan jumlah akar ( buah) ** ** tn 7 Pertambahan panjang akar (cm) ** ** ** 8 Pertambahan berat basah total (g) ** ** ** 9 Berat kering total (g) ** ** ** Keterangan: tn = tidak nyata (p>0,05); * = nyata (p<0,05); ** = sangat nyata (p<0,01); M = Jenis media; P = Jenis pupuk; MxP = Interaksi M dan P; mst = minggu setelah tanam. 1

Pertambahan berat kering total tanaman tertinggi (1,35 g) diperoleh pada media campuran pakis dan kadaka yang diberi pupuk inabio. Peningkatan tersebut 54,81% lebih tinggi jika dibandingkan dengan media pakis dengan pupuk yang sama (Tabel 3). Penggunaan media campuran kadaka dan pakis yang diberi pupuk inabio dibandingkan dengan tanpa pupuk menyebabkan peningkatan 65,19%. Hal ini menunjukkan bahwa media yang terbaik adalah campuran antara pakis dengan kadaka ditambah pupuk inabio. Peningkatan pertambahan berat kering total tanaman yang disebabkan oleh penggunaan media campuran pakis dan kadaka ditambah pupuk inabio

83

tersebut didukung oleh peningkatan berat basah total tanaman (67,48%) pada perlakuan yang sama. Nilai variabel berat basah yang meningkat tersebut diakibatkan oleh peningkatan pertambahan panjang akar tanaman 41,63%, pertambahan jumlah daun 70,73%, pertambahan tinggi tanaman 59,01% dan jumlah tunas 72,22% (Tabel 3). Pertambahan jumlah daun mengakibatkan luas daun tanaman meningkat, yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan indeks luas daun (ILD). Peningkatan ILD tersebut berarti kamampuan tanaman melakukan fotosintesis meningkat (Goldsworthy and Fisher, 1996), sehingga asimilat yang tersedia juga meningkat dan dialokasikan kebagian tanaman bernilai ekonomis. Pertambahan berat basah total tanaman pada media campuran pakis dan kadaka yang diberi pupuk inabio memiliki nilai sama dengan pupuk super bionik (Tabel 3). Hal tersebut hanya menambah berat basah tanaman sedangkan berat kering total tanaman tidak bertambah. Hal ini berarti pupuk super bionik hanya menambah air. Penggunaan media pakis yang dicampur dengan kadaka dan diberi pupuk inabio dapat memberikan lingkungan perakaran yang baik disamping dapat memenuhi kebutuhan akan unsur hara. Media pakis memiliki sifat-sifat unggul seperti memiliki daya mengikat air, aerasi dan drainase baik, melapuk secara perlahan-lahan, serta mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman anggrek (Syaifullah dkk., 1997). Media campuran pakis dan kadaka tanpa pupuk, memberikan berat kering total tanaman yang tertinggi (0,47 g) di antara jenis media yang lain (Tabel 3), kecuali jika dibandingkan dengan media campuran kadaka dan arang. Pertambahan berat basah total tanaman pada media campuran pakis dan kadaka (2.13 g) lebih tinggi 59,15% dibandingkan dengan media arang. Kadaka memiliki serat rapat dan halus sehingga dapat menyimpan air dan hara lebih baik dibandingkan dengan media lainnya. Di antara keempat jenis pupuk yang dicoba, pupuk inabio merupakan pupuk yang terbaik. Hal ini ditunjukkan oleh pertambahan berat kering total tanaman tertinggi 1,35 g dibandingkan tanpa pupuk 0,47 g (Tabel 3). Keunggulan pupuk inabio disebabkan oleh kandungan nitrogen yang lebih tinggi 5,01% dibandingkan dengan 3 pupuk lainnya (Tabel 1). Kandungan nitrogen yang tinggi menyebabkan pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, luas daun, jumlah tunas, jumlah akar, dan panjang akar) lebih baik karena fungsi nitrogen dapat meningkatkan jumlah dan luas daun yang meningkat akibat penggunaan media campuran pakis+kadaka yang diberi pupuk inabio. Hal ini mengakibatkan meningkatnya fotosintat sehingga meningkatkan pertumbuhan organorgan vegetatif. Dari sekian unsur hara, nitrogen utama dibutuhkan anggrek dalam pertumbuhan vegetatifnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tisdale et al. (1990) bahwa nitrogen adalah unsur hara makro yang sangat diperlukan tanaman. Bila dalam keadaan kekurangan akan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman dan sebaliknya akan memperpanjang fase pemasakan buah. Nitrogen adalah unsur makro primer yang merupakan komponen utama berbagai senyawa dalam tubuh tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung nitrogen dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat dan O2, namun proses tersebut tidak bisa berlangsung untuk menghasilkan protein dan asam nukleat bilamana nitrogen tidak tersedia. Nitrogen yang tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein, dan disamping itu juga merupakan bagian integral dari klorofil (Nyakpa dkk., 1988).


84

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 81-84

Tabel 3. Pengaruh interaksi antara beberapa jenis media tanam dan pupuk daun terhadap pertumbuhan vegetatif D. macrophyllum pada umur 18 mst. Berat Berat Panjang Jumlah Tinggi Jumlah kering basah akar daun tanaman tunas total total tanaman (helai) (cm) (buah) (g) (g) (cm) M1P0 0,17k 1,28mno 7,25ijklm 2,50h 0,36l 0,50i M1P1 0,42hi 2,98fghij 12,59bc 3,75gh 0,42l 0,75hi M1P2 0,43hi 3,00fghi 10,67cde 5,25ef 1,20de 2,25de M1P3 0,61ef 3,63efg 13,59ab 3,25h 1,30cd 2,25de M1P4 0,31ij 2,05jklm 8,59efghijklm 3,75gh 0,66k 2,25de M2P0 0,34ij 2,23hijkl 6,50lmn 2,75h 0,71jk 1,00ghi M2P1 0,42hi 1,85klmn 6,75jklmn 2,50h 0,96gh 1,25fgh M2P2 0,57efg 3,13fgh 10,58cde 3,50gh 1,27cd 2,50d M2P3 0,65e 3,71ef 13,34ab 5,50def 1,39bc 3,50b M2P4 0,32ij 2,78fghijk 7,25ijklm 5,25ef 0,78jk 1,50fg M3P0 0,15k 0,87o 4,67n 2,50h 0,71jk 1,50fg M3P1 0,24jk 1,08no 6,42mn 3,25h 0,80ij 1,50fg M3P2 0,26jk 1,55lmno 9,08efghij 2,75h 0,76jk 1,50fg M3P3 0,34ij 2,58hijk 10,25cdefg 3,75gh 0,77jk 2,50d M3P4 0,17k 1,00no 6,59klmn 3,25h 0,81ij 1,50fg M4P0 0,47gh 2,13ijklm 9,00efghij 3,00h 0,66k 1,25fgh M4P1 0,86cd 4,08de 9,34efghi 7,25c 1,10ef 2,75cd M4P2 1,20b 5,95ab 11,92bcd 8,75b 1,47b 3,75b M4P3 1,35a 6,55a 15,42a 10,25a 1,61a 4,50a M4P4 0,63ef 2,75ghijk 9,68defgh 3,75gh 0,92hi 1,75ef M5P0 0,16k 1,08no 6,26mn 3,25h 0,71jk 1,25fgh M5P1 0,63ef 2,58hijk 12,50bc 3,75gh 0,67k 1,75ef M5P2 0,90cd 4,75cd 8,00ghijklm 6,50cde 1,19de 3,75b M5P3 0,94c 5,28bc 8,92efghijk 7,25c 1,30cd 3,25bc M5P4 0,42hi 2,35hijkl 7,50hijklm 4,75fg 0,80ij 1,75ef M6P0 0,43hi 2,40hijkl 8,84efghijkl 3,75gh 0,81ij 1,25fgh M6P1 0,80d 4,15de 9,17efghi 5,75def 1,06fg 1,75ef M6P2 1,18b 5,30bc 9,35efghi 6,75cd 1,25d 3,75b M6P3 1,32a 6,15ab 10,41cdef 7,75bc 1,30cd 3,75b M6P4 0,53fgh 2,58hijk 8,10fghijklm 4,75fg 0,98gh 2,50d Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom adalah berbeda tidak nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%. M1=akar pakis, M2=kadaka, M3=arang, M4=akar pakis+kadaka, M5=akar pakis+arang dan M6=kadaka+arang. P0=tanpa pemberian pupuk, P1=plant catalyst 2006, P2=super bionik, P3=inabio dan P4=SIP (Subur Inti Persada).

Perlakuan

Pemberian dosis pupuk N yang semakin meningkat mengakibatkan peningkatan ketersediaan unsur N dalam tanah, yang memacu aktifitas fotosintesis dan pertumbuhan vegetatif tanaman (Havlin et al., 1999). Pupuk inabio yang memiliki kandungan nitrogen tinggi dibandingkan dengan ketiga pupuk lainnya ternyata lebih meningkatkan pertumbuhan vegetatif anggrek D. macrophyllum jika diberikan pada media campuran pakis dan kadaka yang juga mempunyai sifat unggul sebagai media tanam angrek. Hasil analisis pupuk menunjukkan bahwa pupuk plant catalyst dan super bionik hijau mengandung Fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan Nitrogen. Pupuk plant catalyst mengandung P2O5 12,45%: N 0,21% dan super bionik hijau P2O5 3,37%: N 1,71% (Tabel 1). Hal ini mengakibatkan respon yang lebih rendah terhadap pertumbuhan vegetatif D. macrophyllum dibandingkan dengan pupuk inabio.

KESIMPULAN DAN SARAN Interaksi perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap pertumbuhan anggrek D. macrophyllum. Media campuran pakis dan kadaka yang ditambah dengan pupuk inabio meningkatkan pertambahan berat kering total tanaman (54,81%), pertambahan berat basah total tanaman (67,48%), pertambahan panjang akar (41,63%),

pertambahan jumlah daun (70,73%), pertambahan tinggi tanaman (59,01%) dan jumlah tunas (72,22%). Penggunaan media tanam pakis yang dicampur dengan kadaka memberikan pertumbuhan vegetatif anggrek D. macrophyllum yang terbaik. Media campuran ini meningkatkan pertambahan berat kering total tanaman (0,74 g), pertambahan berat basah total tanaman (2,92 g), pertambahan panjang akar (1,83 cm), pertambahan jumlah daun (7 helai), pertambahan tinggi tanaman (0,61 cm) dan jumlah tunas (2,25 buah). Pemberian pupuk inabio memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan vegetatif anggrek D. macrophyllum. Pupuk ini meningkatkan pertambahan berat kering total tanaman (0,88 g), pertambahan berat basah total tanaman (4,42 g), pertambahan panjang akar (6,42cm), pertambahan jumlah daun (7,25 helai), pertambahan tinggi tanaman (0,95 cm) dan jumlah tunas (3,25 buah). Untuk memperoleh pertumbuhan vegetatif anggrek D. macrophyllum yang baik digunakan media campuran pakis dan kadaka (1:1) ditambah -1 pupuk inabio 2,5 mL L . Untuk mengetahui pertumbuhan generatif perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan menambah pupuk yang mengandung unsur P untuk merangsang pembungaannya.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali (Ir. Mustaid Siregar) atas izin dan bantuan fasilitas untuk mengadakan penelitian. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof. Ir. I.G.A. Mas Sri Agung, M.Rur.Sc., Ph.D. dan Ir. K. Suara, S.U. atas koreksi dan sarannya dalam penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Campbell, B., and M.C. Mathes. 1989. Orchids and hydro-pondering. American Orchid Society Bulletin 58 (7): 682-685. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico. Goldsworthy, P.R. and N.M. Fisher. 1996. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Penerjemah: Tohari. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gordon, S.W. 1997. Treating new ground. American Orchid Society Bulletin 66 (11): 1168-1169. Grove, M. 1998. Potting orchids. American Orchid Society Bulletin 67 (5): 496-505. Havlin, J.L, J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L.Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Sixth edition. Upper Saddle River: Prentice Hall. Latif, S.M. 1960. Bunga Anggrek Permata Belantara. Bandung: Sumur. Lestari, S.S. 1985. Mengenal dan Bertanam Anggrek. Semarang: Aneka Ilmu. Microsoft Excel. 2000. Microsoft Excel. Santa Rosa: Microsoft Corporation. Nyakpa, Y.M., A.A. Lubis., M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, B.H. Go, dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Sastrapradja, S. dan D. Gandawidjaya. 1979. Anggrek alam Indonesia yang mempunyai potensi budidaya. Buletin Kebun Raya. Bogor 4 (1): 37-42. Syaifullah, B. Marwoto, A. Muharam, dan T. Sutater. 1997. Anggrek. Jakarta: Balai Penelitian Tanaman Hias. Sutedjo, M.M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: Rineka Cipta. Tisdale, S.L., E.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1990. Soil Fertility and Fertilizer. Fourth edition. New York: Mc Millan Pub. Co. Widiastoety, D. 1986. Percobaan berbagai macam media dan kedudukan mata tunas pada kultur jaringan anggrek. Bulletin Penelitian Hortikultura 13 (3): 1-8. Widiastoety, D., dan L. Hendastuti. 1985. Pengaruh penggunaan berbagai macam medium tumbuh terhadap pertumbuhan anggrek Phalaenopsis cornu-cervi. Bulletin Penelitian Hortikultura 12 (3): 39-48.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 85-89

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Perkecambahan Spora dan Siklus Hidup Paku Kidang (Dicksonia blumei Moore) pada Berbagai Media Tumbuh Spore germination and life cycle of paku kidang (Dicksonia blumei Moore) on the various growing media SRI HARTINI ♥ Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16002. Diterima: 17 Mei 2005. Disetujui: 23 Nopember 2005.

ABSTRACT Dicksonia blumei Moore belongs to Dicksoniaceae (fern family). This plant has been used as ornamental plant, handy craft, traditional medicine particularly for styptic and growing medium for orchids and aroids. To obtain the material, people tended to exploit it in its natural habitat and neglected its sustainable. On the other hand current knowledge of its cultivation as well as conservation is very limited. As a result, this species become rare in the wild and its population decreased gradually. An experiment in spore germination of this species had been carried out at the Bogor Botanic Gardens nursery using five growing media viz. chopping root of tree fern (Cyathea contaminans), Calliandra macrophylla compost, chopping root of bird’s nest fern (Asplenium nidus), bamboo (Dendrocalamus giganteus) leaf compost and sandy mud. Parameters used were the best medium for spore germination and sporelings growth, life cycle of spore until young sporophyte were obtained. The result showed that the best medium for spore germination of D. blumei was chopping of tree fern root and bamboo leaf compost was worse. The life cycle consists of cell differentiated, young prothallus, mature prothallus, and young sporophyte phases, which took 10-36 weeks. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: germination, media, spore, Dicksonia blumei Moore, Bogor Botanic Gardens.

PENDAHULUAN Paku kidang (Dicksonia blumei Moore) merupakan salah satu jenis tumbuhan paku (Pteridophyta) yang termasuk dalam suku Cyatheaceae (Holttum, 1972) atau Dicksoniaceae (Jones, 1987). Jenis ini merupakan tumbuhan paku berbentuk pohon dengan batang cukup besar. Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 10 m, mempunyai perawakan ramping seperti halnya paku tihang (Cyathea contaminans). Batang bagian ujung diselimuti oleh bulu-bulu berwarna coklat kemerahan. Panjang daun mencapai 3 m, dengan tangkai diselimuti bulu-bulu berwarna coklat kemerahan, terutama di bagian pangkalnya. Daun menyirip ganda dua, panjang anak daun mencapai 70 cm, bercangap. Daun yang masih kuncup juga diselimuti oleh bulu-bulu halus berwarna coklat kemerahan. Indusia terletak di tepi daun, berderet, dan berbentuk bulat (Holttum, 1972). Seperti halnya paku tihang, paku kidang juga memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Menurut Perry (1980) dan Heyne (1987) bulu-bulu yang terdapat pada batang dan tangkai daunnya dapat digunakan sebagai obat penasak darah (menghentikan pendarahan pada luka). Penggunaan seperti ini terjadi pula pada jenis paku penawar jambe (Cibotium barometz), obat penasak dari bahan ini dianggap lebih baik dari obat penasak kimiawi. Menurut Dr. Winke di

♥ Alamat korespondensi: Jl.Ir. H.Juanda 13, Bogor 16002 Tel. & Fax.: +62-251-322187 e-mail: inetpc@indo.net.id

Leningrad dan para peneliti di Jerman dan Perancis pada tahun 1890 (dalam Heyne, 1987), bahan ini hanya memerlukan waktu 2 menit untuk membekukan darah segar yang baru keluar dari badan, sedangkan secara alami darah akan membeku dalam waktu 20-25 menit. Proses kerjanya, bulu yang ditempelkan pada darah yang sedang mengalir akan menggelembung, volumenya akan menjadi 5 kali lipat, sehingga air yang terkandung dalam darah akan terserap dan segera mengering. Menurut Chittenden (1951), Sastrapradja et al. (1978), dan Jones (1987) D. blumei mempunyai bentuk perawakan yang bagus, sehingga banyak ditanam orang sebagai tanaman hias, terutama di halaman pesanggrahanpesanggrahan di daerah pegunungan. Batang paku kidang ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan media tanam. Populasi jenis ini di alam sudah sangat menurun. Pengamatan oleh Dodo et al. (2002) di Gunung Gede pada tahun 2002 menunjukkan bahwa populasi paku kidang di lokasi tersebut sudah jarang, kemelimpahannya lebih rendah dari pada jenis paku pohon C. contaminans. D. blumei ditemukan pada ketinggian 2.170-2.700 m dpl Menurut Heyne (1987) pada saat masalah bahan pembeku darah banyak mendapat perhatian pada tahun 1850, tumbuhan ini masih banyak ditemukan di sekitar Kandang Badak, Gunung Gede pada ketinggian 2.400 m dpl. Jenis D. blumei ini belum termasuk dalam daftar jenis tumbuh-tumbuhan yang perlu dilindungi, seperti dalam World Conservation Monitoring Centre (WCMC, 1996), The 2000 International Union for Conservation of Nature Red List of Threatened Species (IUCN, 2000), PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Noerdjito


86

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 85-89

dan Maryanto, 2001) dan Buku Tumbuhan Langka Indonesia (Mogea, et al, 2001), namun menurut Suwelo (1999) jenis ini sudah termasuk dalam daftar flora langka yang perlu dilindungi undang-undang secara mutlak. Hal ini didukung dengan telah dimasukkannya tumbuhan ini dalam Appendix II CITES tentang tumbuhan yang boleh diperdagangkan baik tumbuhan liar atau hasil perbanyakan secara kuota. Pemanfaatan D. blumei yang terus-menerus akan menjadi masalah jika tidak diimbangi upaya budidaya yang memadai. Pengambilan material dari alam yang dilakukan secara besar-besaran akan mengakibatkan turunnya jumlah populasi. Kecepatan penurunan jumlah populasi ini didukung oleh kenyataan bahwa pertumbuhan D. blumei sangat lambat serta tingkat keberhasilan pertumbuhan spora menjadi tumbuhan dewasa di alam tergolong rendah. Perbanyakan tumbuhan paku dengan spora merupakan metode perbanyakan yang paling umum dilakukan untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah besar. Meskipun demikian, perbanyakan dengan spora hasilnya seringkali tidak sesuai harapan. Keberhasilan perkecambahan spora dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain media tumbuh, kemasakan spora, air, kelembaban, aerasi, dan derajat keasaman (pH). Media tumbuh yang baik akan menyediakan lingkungan yang baik pula bagi perkecambahan spora serta pertumbuhan bibit (Jones, 1987; Toogood, 1999). Jenis-jenis paku pohon, seperti Dicksonia, Cibotium, Cnemidaria, Cyathea, Nephelea, dan Trichipteris dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, namun umumnya menyukai tanah liat asam yang kaya bahan organik. Beberapa jenis dari Dicksonia dan Cyathea dapat bertahan hidup di tanah basah, namun secara umum paku pohon sebaiknya ditanam di tanah dengan drainase baik (Jones, 1987; Hoshizaki dan Moran, 2001). Di Indonesia media tanam untuk spora yang sudah biasa digunakan oleh petani tumbuhan paku hias adalah tanah lempung atau kompos daun bambu. Informasi mengenai perkecambahan spora Dicksonia khususnya D. blumei masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui media yang baik untuk perkecambahan spora D. blumei, serta mengetahui siklus hidupnya mulai dari spora yang dikecambahkan sampai terbentuk sporofit muda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai panduan dalam perbanyakan bibit, serta sebagai bahan reintroduksi, pengembangan, dan pelestariannya.

BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah spora D. blumei, cacahan batang pakis (C. contaminans), kompos kaliandra (Calliandra macrophylla), cacahan akar kadaka (Asplenium nidus), lumpur, dan kompos daun bambu (Dendrocalamus giganteus), sedangkan alat yang digunakan adalah kertas amplop samson, kertas koran, golok, baskom plastik berlubang, kantong plastik berwarna putih, timbangan analitik, pH meter, pinset, saringan teh, mikroskop, kompor, dandang, dan pengaduk kayu. Cara kerja Percobaan dilakukan di Kebun Raya Bogor pada bulan Mei s.d. Desember 2002. Spora yang digunakan berasal dari paku kidang yang tumbuh secara alami di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Pengambilan spora dilakukan pada bulan Juni 2002. Spora yang diambil merupakan spora yang sudah masak, ditandai dengan berubahnya warna indusia dari hijau menjadi coklat. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan spora dari jenis paku lain, anak daun tempat menempelnya spora dicuci dalam air mengalir. Selanjutnya dikeringanginkan di tempat yang hangat dan kering. Setelah itu dimasukkan ke dalam kertas amplop samson sampai kering dan spora berjatuhan di amplop. Penyimpanan spora dalam kantung plastik tidak dianjurkan karena kondisi di dalam plastik cenderung lembab dan mendorong tumbuhnya jamur. Sebelum dikecambahkan, spora dipisahkan dari kotoran (bulu-bulu atau sisik-sisik daun) dengan cara amplop dimiringkan perlahan-lahan, maka material berupa kotoran akan jatuh lebih dulu dan spora yang lebih lembut sangat perlahan berjalan dan cenderung tetap melekat di amplop. Untuk setiap perlakukan ditimbang sebanyak 0,5 g spora, dengan jumlah berkisar antara 950-1.000 butir. Dalam percobaan ini digunakan lima macam media tumbuh yaitu cacahan batang paku pohon (pakis), kompos kaliandra, cacahan akar kadaka, lumpur, dan kompos bambu. Sebelum digunakan untuk menyemai, media-media tersebut disterilkan terlebih dahulu dengan cara dikukus atau direbus selama 2-3 jam dan didiamkan sampai media dingin. Setelah media benar-benar dingin kemudian dimasukkan ke dalam baskom plastik berlubang dan spora seberat 0,5 g ditabur di atas media secara merata, dengan bantuan saringan teh. Setelah selesai menyebarkan spora, baskom secepatnya ditutup rapat dengan kantong plastik berwarna putih untuk menghindari kontaminasi. Percobaan disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakukan berupa kelima media tumbuh di atas. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu. Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan spora pada setiap media tumbuh dan siklus hidup mulai dari spora sampai dengan terbentuk sporofit muda. Pengamatan pertumbuhan spora dilakukan dengan mata telanjang berdasarkan pada persentase penutupan permukaan media tumbuh. Sedangkan pengamatan siklus hidup dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan mata telanjang.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan bibit Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa jenis media mempengaruhi perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit (Gambar 1.). Perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit yang paling baik ditunjukkan oleh spora yang disemai dalam media cacahan batang pakis, sedangkan yang paling jelek ditunjukkan oleh spora yang disemai dalam media kompos bambu. Pengamatan pada minggu pertama menunjukkan bahwa pada semua media tumbuh spora belum perkecambahan. Pada pengamatan minggu ke-2 spora sudah mulai berkecambah. Spora yang ditanam pada media cacahan batang pakis tumbuh lebih cepat dibandingkan pada media tumbuh lainnya, dimana sekitar 30% permukaan media sudah tertutupi bibit (prothalus). Pertumbuhan yang cepat ini diduga karena media cacahan batang pakis memiliki lingkungan tumbuh yang lebih baik dibandingkan media tumbuh lain. Di antara cacahancacahan batang ini memungkinkan terbentuknya kapilerkapiler yang terisi oleh lebih banyak air, sehingga terjadi keseimbangan sirkulasi air dan udara. Keseimbangan


HARTINI – Perkecambahan spora dan siklus hidup Dicksonia blumei Moore

60 40 20

M30

M28

M26

M24

M22

M20

M18

M16

M14

M12

M10

M8

M6

M4

M2

0

Waktu (minggu ke-)

Pakis

Kaliandra

Kadaka

Bambu

Gambar 1. Perkecambahan spora dan pertumbuhan semai.

tersebut akan menunjang kestabilan kelembaban udara, kelembaban tanah, dan suhu yang sangat dibutuhkan untuk perkecambahan spora. Pada pengamatan minggu ke-4 perkecambahan spora dan pertumbuhan bibit berlangsung hampir dua kali lipat (50%). Pada pengamatan minggu ke-10 pertumbuhan bibit sudah menutup seluruh permukaan media. Bibit dalam keadaan baik dan subur. Namun pada minggu-minggu berikutnya, pertumbuhan bibit terlihat sangat lambat. Hal ini kemungkinan karena telah terjadi kompetisi di daerah perakaran maupun daerah daun. Kompetisi di daerah daun disebabkan adanya pertumbuhan daun yang saling menaungi, sehingga terjadi persaingan dalam memperebutkan ruang, cahaya, dan udara. Sedangkan kompetisi di perakaran terjadi dalam memperebutkan nutrien dan air. Semakin rapat populasinya, maka tingkat persaingannya akan semakin tinggi, sehingga kecepatan pertumbuhan cenderung menurun. Spora yang ditumbuhkan pada media cacahan akar kadaka perkecambahannya lebih lambat dari spora yang ditumbuhkan pada cacahan batang pakis. Pada minggu ke2 setelah spora disemai, baru 10% dari permukaan media tertutup oleh prothalus. Namun pada pengamatan minggu ke-4 sudah 50% permukaan media tertutup prothalus. Pada minggu-minggu berikutnya pertumbuhan prothalus terus bertambah. Kondisi prothalus bagus dan subur. Spora yang ditumbuhkan pada kompos kaliandra kondisi perkecambahannya hampir sama dengan spora yang ditumbuhkan pada media cacahan akar kadaka. Pada minggu ke-2 sampai minggu ke-6 perkecambahan spora masih sangat sedikit. Permukaan media tumbuh yang tertutup prothalus baru 5-10%. Namun pada pengamatan minggu ke-8 permukaan media tumbuh yang tertutup prothalus sudah 5 kali lipat sehingga 50% permukaan media telah tertutupi oleh prothalus. Pada minggu-minggu berikutnya pertumbuhan prothalus terus bertambah. Kondisi prothalus bagus dan subur. Media cacahan batang pakis, cacahan akar kadaka dan kompos kaliandra tampaknya merupakan media yang cocok untuk perkecambahan spora. Sifatnya yang remah memungkinkan adanya sirkulasi udara yang baik dalam media. Selain itu ketiga media tersebut memiliki kemampuan untuk menahan dan meloloskan air dengan baik. Fluktuasi suhu dan kelembaban yang terjadi sangat rendah sehingga tidak mengganggu perkecambahan spora.

M36

80

M34

100

Ketiga media ini juga mempunyai permukaan yang agak kasar. Menurut Jones (1987) dan Harvey (2002) spora jenis-jenis Dicksoniaceae bagus dikecambahkan pada media yang mempunyai permukaan kasar. Spora yang ditumbuhkan pada media kompos bambu dan lumpur hasilnya hampir sama. Kedua media ini kurang cocok untuk mengecambahkan spora paku kidang. Perkecambahan spora pada kedua media ini sangat lambat, bahkan sampai dengan akhir penelitian hanya mencapai sekitar 30%. Derajat keasaman media kompos bambu yang sangat asam, dengan pH 4-4,5 tampaknya kurang cocok untuk perkecambahan spora. Lumpur Menurut Jones (1987) kebanyakan jenis spora tumbuh baik pada kisaran pH 6-6,5. Rendahnya derajat keasaman ini diduga karena masih terjadinya proses dekomposisi pada media ini. Masih adanya sisa-sisa daun dan ranting bambu menjadi faktor pemicu berlangsungnya proses dekomposisi. Akibatnya terjadi pengurangan oksigen yang sangat dibutuhkan untuk proses perkecambahan. Di samping itu terjadi pula kenaikan suhu dan penurunan kelembaban dalam media tumbuh. Kondisi lingkungan tumbuh tersebut kurang menguntungkan bagi perkecambahan spora dan pertumbuhan semai. Dodo et al. (2002) menyebutkan bahwa di alam D. blumei kebanyakan ditemukan pada habitat dengan derajat keasaman 6-7. Sedang media lumpur memiliki partikel-partikel yang sangat padat sehingga sirkulasi udara dalam media kurang baik. Media ini tidak memiliki kemampuan untuk menahan dan meloloskan air dengan baik, sehingga kurang sesuai untuk perkecambahan spora. M32

Penutupan permukaan (%)

120

87

Siklus hidup Hasil pengamatan siklus hidup mulai dari spora berkecambah sampai dengan terbentuknya sporofit muda disajikan pada Gambar 2. Siklus hidup dibedakan menjadi empat fase yaitu fase pembelahan sel, fase prothalus muda, fase prothalus dewasa, dan fase sporofit muda. Setiap fase ditandai adanya perubahan bentuk atau perubahan suatu organ. Adapun fase-fase siklus hidup tersebut adalah sebagai berikut. Fase pembelahan sel Perkecambahan spora diawali dengan terjadinya pembelahan sel menjadi beberapa sel yang disertai munculnya rhizoid. Di dalam bak persemaian fase ini terlihat sebagai bentukan seperti benang-benang yang sangat halus berwarna hijau transparan. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan bahwa sel-sel yang membelah berbentuk seperti pita bersekat-sekat dan berwarna hijau. Sedangkan rhizoid muncul dari pangkal sel yang membelah, jumlahnya dapat lebih dari satu, tidak bersekat-sekat, berwarna coklat. Warna hijau pada sel-sel tersebut disebabkan adanya klorofil. Rhizoid cenderung tumbuh ke arah bawah. Rhizoid merupakan akar semu yang berfungsi untuk menghisap air dan nutrisi dari dalam media tumbuh. Pada fase ini spora yang berkecambah diduga sudah mampu memenuhi kebutuhan makanan tubuhnya sendiri melalui proses fotosintesis yang dilakukan sel-sel berklorofil tersebut.


88

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 85-89

Gambar 2. Siklus hidup D. blumei dari spora sampai sporofit muda. Keterangan: 1. Spora, 2. Fase pembelahan sel, 3. Fase prothalus muda, 4. Fase prothalus dewasa: a. Arkegonium, b. Anteridium, 5. Fase sporofit muda, 6. Rhizoid.

adanya zat-zat kimia yang dikeluarkan oleh sel-sel dinding arkegonium. Ukuran prothalus pada fase ini rata-rata berdiameter 1-1,2 cm.

Fase prothalus muda Pada fase ini sel-sel yang telah membelah akan terus membelah hingga menjadi bentukan seperti lembaran kecil, yang disebut prothalus muda. Pengamatan dengan mata telanjang tampak jelas bentukan lembaran bundar kecil dan apabila dilihat dengan mikroskop tampak jelas berbentuk jantung, berwarna hijau, seperti melekat di permukaan media. Sedangkan rhizoid tidak terlihat karena tertanam di dalam media. Pada fase ini rhizoid yang terbentuk juga semakin banyak. Fase prothalus dewasa Prothalus muda terus tumbuh dan berkembang menjadi prothalus dewasa. Fase ini ditandai dengan suatu bentukan berupa sepasang lembaran yang menyerupai sayap kupu-kupu. Pertumbuhan selanjutnya adalah terbentuknya arkegonium dan anteridium pada organ yang menyerupai lembaran tersebut. Arkegonium tumbuh di dekat lekukan bagian atas sedangkan anteridium tumbuh di bagian bawah di dekat rhizoid. Arkegonium akan menghasilkan sel-sel kelamin betina (ovum), sedangkan anteridium akan menghasilkan sel-sel kelamin jantan (spermatozoa). Spermatozoa akan berenang ke arah ovum untuk bertemu dan disusul dengan terjadinya pembuahan. Pembuahan sangat membutuhkan kondisi kelembaban yang stabil (Anonim, 2005). Menurut Toogood (1999) sel-sel jantan dapat mendekati arkegonium karena adanya air pada permukaan prothalus dan

Fase sporofit muda Sel telur yang telah dibuahi akan tumbuh menjadi tumbuhan paku muda (sporofit) yang masih hidup pada prothalus. Sporofit ini pada umumnya tumbuh di sekitar lekukan bagian atas (‘cushion’). Sel-sel penyusun bagian ini berukuran lebih kecil tetapi letaknya lebih rapat, dibandingkan dengan sel-sel di sekitarnya. Sporofit muda terdiri atas akar (rhizoid) dan daun. Organ daun yang terbentuk merupakan daun sejati, artinya bagian-bagian

Tabel 1. Siklus hidup Diksonia blumei dari spora sampai sporofit muda pada setiap media tumbuh. Media

2

4

6

Minggu ke8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36

Cacahan batang pakis

Cacahan akar kadaka

Kompos kaliandra

Kompos bambu

Lumpur

Keterangan: Fase pembelahan sel

Fase prothalus muda

Fase prothalus dewasa

Fase sporofit muda


HARTINI – Perkecambahan spora dan siklus hidup Dicksonia blumei Moore

daun majemuk sudah dapat dibedakan dengan jelas antara tangkai daun, rakhis, dan anak-anak daun. Sporofit muda selanjutnya akan tumbuh menjadi sporofit dewasa, yang ditandai oleh menghilangnya prothalus dan kemudian akan menjadi tumbuhan paku dewasa yang dapat menghasilkan spora. Dari Tabel 1. dapat diketahui bahwa fase pembelahan sel dimulai pada minggu ke-2 setelah spora disemai untuk semua media tumbuh. Fase ini berlangsung rata-rata selama 2 minggu kecuali pada media cacahan akar kadaka fase ini berlangsung sampai minggu ke-6. Fase prothalus muda juga dimulai pada waktu yang sama untuk semua media semai, yaitu pada minggu ke-4. Fase tersebut ada yang berlangsung sampai minggu ke-24 yaitu pada media tumbuh kompos bambu. Pada media lumpur fase ini hanya berlangsung sampai minggu ke-12, sedang pada kompos kaliandra dan cacahan batang pakis fase ini berlangsung sampai minggu ke-20. Sedang pada media cacahan akar kadaka fase ini berlangsung sampai minggu ke-22. Fase prothalus dewasa paling cepat tampak pada minggu ke-12 setelah spora disemai yaitu pada media lumpur, sedang yang paling lambat baru muncul pada minggu ke-14 yaitu pada media kompos bambu dan kompos kaliandra. Fase ini berlangsung selama 14-24 minggu. Fase sporofit muda baru muncul pada minggu ke-10 setelah spora disemai, namun ada juga yang baru muncul pada minggu ke-34 setelah spora disemai. Pada media lumpur, fase sporofit muda mulai muncul pada minggu ke-10, namun pada media kompos bambu fase ini muncul paling terlambat, yaitu baru pada minggu ke-34. Pemunculan fase pembelahan sel dan fase prothalus muda berlangsung hampir bersamaan, namun fase prothalus dewasa dan sporofit muda dimulai pada waktu yang berbeda. Pada media lumpur waktu dimulainya fase prothalus dewasa dan sporofit muda ini lebih cepat dari pada media lain. Perbedaan waktu pemunculan setiap fase tersebut diduga karena perbedaan lingkungan dalam media tumbuh. Media lumpur diduga memiliki lingkungan tumbuh yang lebih baik untuk pertumbuhan prothalus dewasa dan sporofit muda dibandingkan media lain. Adanya butir-butir pasir yang tercampur dalam media lumpur berpengaruh terhadap keseimbangan antara pori-pori mikro dan makro media, sehingga menjadikan penyerapan dan pelolosan air, sirkulasi udara, fluktuasi suhu dan kelembaban menjadi baik, sehingga menguntungkan bagi perkecambahan spora.

89

KESIMPULAN Spora dan bibit D. blumei berkecambah dan tumbuh paling baik pada media cacahan batang pakis, serta berkecambah dan tumbuh paling jelek pada media kompos bambu. Siklus hidup paku pohon D. blumei mulai dari spora sampai dengan sporofit muda terdiri atas empat fase yaitu fase pembelahan sel, fase protalus muda, fase protalus dewasa, dan fase sporofit muda. Waktu yang diperlukan mulai dari spora berkecambah sampai dengan terbentuknya sporofit muda berkisar antara 10-36 minggu.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005. Propagating Ferns from Spores. www.users.bigpond.com/glenyakimoff/fern_propagation.html Chittenden, F.J. 1951. Dictionary of Gardening. Vol.I. Oxford: The Clarendon Press. Dodo, Hasanudin, Y. Setiana, dan Odang. 2002. Inventarisasi dan Study Ekologi Paku Pohon Cyathea contaminans dan Dicksonia blumei di Hutan Gunung Gede, Jawa Barat. Bogor: Pusat Konservasi TumbuhanKebun Raya Bogor LIPI. Harvey, R. 2002. Growing Ferns from Spores. www.anbg.govau/ferns/fern.spore.prop.html.5k Heyne,K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Penerjemah: Badan Litbang Kehutanan Jakarta. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Holttum, R.E. 1972. Cyatheaceae in Flora Malesiana. Vol. 6 Serie II. Groningen: Wolters-Noordhoff Publishing. Hoshizaki, B.J. and R.C. Moran. 2001. Fern Grower’s Manual. Revised and Expanded Edition. Portland, Or: Timber Press. IUCN. 2000. The 2000 IUCN Red List of Threatened Species. CD-ROM. London: SSC Red List Programme. Jones, D.L. 1987. Encyclopaedia of Ferns. London: British Museum (Natural History). Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor. Puslitbang Biologi-LIPI. Noerdjito, M. dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Bogor: Balitbang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense) Puslitbang Biologi-LIPI & The Nature Conservancy. Perry, L.M. 1980. Medicinal Plants of East & Southeast Asia: Attributed Properties and Uses. Cambridge: The MIT Press. Sastrapradja, S., J.J. Afriastini, D. Darnaedi, dan E.A. Widjaja.1978. Jenis Paku Indonesia. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI. Suwelo, I.S. 1999. Tinjauan status hukum konservasi tumbuhan alam. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Flora Nusantara. Bogor: UPT. Kebun Raya Indonesia LIPI. Toogood, A. (ed.). 1999. Horticultural Techniques. Cambridge: Royal Horticultural Society. WCMC. 1996. World Conservation Monitoring Centre; Globally & Nationally Threatened Taxa of Indonesia Status Report (562 Records). London: World Conservation Monitoring Centre.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 90-93

ISSN: 1412-033X Januari 2006

Fire Behavior in Pelalawan Peatland, Riau Province BAMBANG HERO SAHARJO♥ Forest Fire Laboratory, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University, Bogor 16680. Received: 15 July 2005. Accepted: 22 September 2005.

ABSTRACT During dry season it is easily recognized that smoke will emerge at certain place both in Sumatra and Kalimantan that is in peatland. The worst situation occurred when fire burnt buried log in the logged over area where the fire fighter did not have any experience and knowledge on how to work with fire in peatland. Finally it had been found that one of the reasons why firefighter failed to fight fire in peatland is because they do not have any knowledge and experience on it. In order to know the fire behavior characteristics in different level of peat decomposition for fire management and sustainable management of the land for the community, research done in Pelalawan area, Riau Province, Indonesia, during dry season 2001. Three level of peat decomposition named Sapric, Hemic, and Fibric used. To 2 conduct the research, two 400 m of plot each was established in every level of the peat decomposition. Burning done three weeks following slashing, cutting and drying at different time using circle method. During burning, flame length, rate of the spread of fire, flame temperature and following burning fuel left and the depth of peat destruction were measured. Results of research shown that in sapric site -1 where sapric 2 has fuel load 9 ton ha less than sapric 1, fire behavior was significantly different while peat destructed was deepest in -1 sapric 2 with 31.87 cm. In hemic site where hemic 2 has fuel load 12.3 ton ha more than hemic 1, fire behavior was significantly different -1 and peat destructed deeper than hemic 1 that was 12.6 cm. In fibric site where fibric 1 has fuel load 3.5 ton ha more than fibric 1, fire behavior was significantly different that has no burnt peat found. This results found that the different fuel characteristics (potency, moisture, bed depth, and type) at the same level of peat decomposition will have significantly different fire behavior as it happened also on the depth of peat destruction except fibric. The same condition occurred in the fire behavior at different level of peat decomposition. Key words: Fire, fuel, peat, sapric, hemic, fibric, Pelalawan.

INTRODUCTION Transboundary haze pollution due to the smoke from land preparation using fire become a big problem in Indonesia every years especially when the dry season come since last 10 years. It has been found that the smoke of fire rooted from land preparation using fire mostly (6080%) from an oil palm and industrial forest plantation illegally where rest of it to be believed made by shifting cultivation which unfortunately usually blaming for the smokes occurred (Saharjo, 2000). Zero burning policy had been used as a promising solution for reducing smoke which has an implication to reduce greenhouse gasses, unfortunately it was not work because the smoke increased due to high increasing of land conversion activity done for oil palm and industrial forest plantation hence law enforcement should be strictly applied. For the shifting cultivation they still have a chance to use fire for the land preparation but under controlled which hopefully will reduce greenhouse gas emission during burning. One promising solution is less smoke burning method. This method still uses fire for the land preparation but with fuel management and burning technique that hopefully will reduce the smokes. A previous research done shown the significant result for the secondary forest but not for the peat area that is still looking for the wrights answer. The choice of strategy in suppressing wildfires and

♥ Correspondence address: IPB Campus at Darmaga, Bogor 16680 PO.Box 168, Bogor 16001, West Java, Indonesia, Tel. +62-251-421929. Fax.: +62-251-621256 e-mail:saharjo@indo.net.id

carrying out prescribed burning depends largely on how the fire is expected to behave i.e., its rate of the spread, direction of travel and intensity. The aspects of fire behavior which are prerequisites for the start and spread of fire are flammable fuels, sufficient heat energy to bring fuels to the ignition temperature and adequate of oxygen (Lorimer 1990). How and why fire behave is determined by a number of inter related factors such as fuel, weather, topography and seasonal changes and tome of day (Lorimer 1990). In order to address this problem of land preparation using fire especially for shifting cultivation (small farmers), it is imperative that a method which still permits its use but with minimum environmental impact must be prescribed. One of the possible solutions is controlled burning during land preparation (Saharjo, 2005; Saharjo and Munoz, 2005). Thus, in order to know more and understand the dynamics of using fire in the land preparation especially for the shifting cultivation, this research was conducted.

MATERIAL AND METHOD Research site Research done since August 2001 until July 2002 in peatland the area belong to the community of Pelalawan village, Pelalawan sub-district, Pelalawan district, Riau Province. Research done in the peat area belong to the community closed to area belong to PT. Riau Andalan Pulp o and Paper (PT.RAPP). The site was located in 102 00’ E102o28’ E and 00o10’ N-00o40’ and administratively located in Pelalawan village, Pelalawan sub-district and Pelalawan District, Riau Province. Total peat area in this site was 5362.5 ha.


SAHARJO – Fire behavior in Pelalawan peatland

Based on vegetation analysis shown that research site was dominated by shrubs and ferns. Another tree vegetation found Shorea macrophylla, Macaranga pruinosa, Fivus sundaica, Stenochlaena palustris, Parastemon uruphyllus, Baccaurea pendula, Nephrolepis flaccigera and Gleichenia linearis. Climate in Pelalawan district cannot be separated from Riau province condition, generally the site was tropical climate with annually rainfall range between 2500-3000 mm o o with daily temperature from 22 C to 31 C. According to data made by Meteorological and Geophysical agency, Ministry of Transportation, annually rainfall in the period between January-December 2001 in the site was 3794.5 mm accompany by 86 rainy days. Based on survey result and information book about site map and soil for Solok and Pekanbaru 1997 stated that research that was in Pelalawan districts dominated by peat and include in physiographical group of peat dome. About 97.1% of the site was located in 0-8% slope why rest located in the slope of 8-15%. The site also less than 10 cm from the sea level or an average of 2-6 m. Peat All site covered by peat consist of three kind of different peat decomposition type namely sapric, hemic and fibric. Fibric was peat type that has low level of decomposition, low humus and resulted in very low nutrition protection capacity. Due to the lack of humic materials hence fibric was a poor media for agricultural activity. Fibric was also a high porosity which hard to protect the water penetration. Hemic was a peat type that has moderate level of decomposition and consists of several humic materials hence in better ability in nutrition protection capacity than fibric. Hemic was a good media for an agricultural activity as long as the peat still has high content of humic materials. Sapric or mature peat was a peat that has high content of humus and also have a very good ability in mineral protecting. Peatland acidity in the site categories was very acid, where pH ranges between 3.0-3.7. Peat classification for sapric, hemic and fibric conducted through laboratory analysis beside of using peat map made by PT.RAPP. In laboratory analysis, liquid color test in Napyrophosphate used to classified peat through a filter paper dipping as height as 1.25 cm into peat that had been watered with Na-pyrophosphate. Color shown through liquid movement and at the end of it then checked with Munsell book in order to know Pyrophosphate Index (PI) that was a value number minus a chrome number with different meaning : PI ≥ 5 means fibric, PI = 4 means hemic and PI ≤ 3 means sapric (USDA, 1975). Sampling data To reach the objective, the research conducted in the field and at laboratory scale. Two (2) plots of 400 m2 (20 m x 20 m) each with different characteristics of peat decomposition was established at hemic, sapric, and at fibric site. To protect from heat penetration during burning then 1-m depth and width canal was established surrounding the plot except in fibric plots. Before slashing and burning conducted, environmental condition measurement, fuel characterization and peat characterization conducted. Following those activity slashing was conducted where big log (diameter more than 10 cm) send out from the plot. Slashed logs and branching was separated through the plot. During slashed period (drying process) fuel characterization being conducted at different time measurement accompany by environmental

91

condition monitoring such as temperature, relative humidity and wind speed. Following 3 weeks drying process continued by burning the plot using ring method. During burning, fire behavior (rate of the spread of fire, flame height, flame temperature) monitored through handy camera Sony. Burning was done in the afternoon during 13.00 to 17.00 p.m. using torch made from bamboo filled with gasoline. Activities conducted before burning 2 Three sub - plot of 2 m (2 m x 1 m) in all the plot of 400 2 m at three different peat type (sapric, hemic, and fibric) was established in order to measure fuel characteristics such as fuel moisture, fuel bed depth, and fuel load. Three samples of 100 gram each of materials found in the subplots (litter, leaves, branches, and logs) were taken and used as samples for moisture content measurement. Samples taken put in the oven and dried for 48 hours at 75°C (Clar and Chatten, 1954). Fuel moisture content estimated through dry weight based measurement. Fuel load was estimated through the amount of plants materials both living and dead found in the subplot which were collected, separated and weighed. Fuel bed depth was measured by the average height of the association of living and dead plant materials of various sizes and shapes in the subplots. Activities conducted during burning Flame temperature at 0 cm and 1 cm under the peat surface were measured using data logger. The temperature censors (thermocouple) were placed in the subplot at two locations. Burning was conducted through ring method and allowing the fire to propagate naturally. Rate of the spread of fire was measured by the average distance perpendicular to the moving flame front per minute, using a stopwatch and through video camera recording. It was very difficult to measure the average height of the flame directly in the burning condition, and then flame height was calculated through video camera recording. Activities conducted after burning Fuel left in the plot was measured by establishing 5 subplots 1 m2 in every plot. These fuels left in the plot was weighted and checked. Soon, following burning, penetration heat depth was measured by digging 5 sub-plot 400 cm2 each in all the plots until 30 cm depth. Fire intensity was calculated using Byram’s equation (Chandler et al., 1983), 2.17 -1 FI = 273(h) , where FI is fire intensity (kW m ) and h is flame height (m). Data analysis A completely random design of variance was used to test for differences among subplots, based on the following model (Steel and Torrie 1981): Ymn = µ + Tm + Emn Where, Ymn = fuel and fire behavior parameter at m subplot in n replication µ = mean of the treatment population sampled Tm = treatment (slashing, drying, burning) Emn = random component To detect significant difference of fuel and fire behavior parameters among subplots (p ≤ 0.05), the Duncan test was used (Steel and Torrie, 1981).


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 90-93

92

RESULTS AND DISCUSSION Results Sapric During burning the rate of the spread of fire in sapric site (Table 1) was vary from 0.47 m minute-1 to 0.99 m minute-1, flame length from 1.55 to 2.11 m that resulted in fire intensity that vary from 791.96 kW m-1 to 1401.6 kW m-1 which reach flame temperature that vary from 800°C to 985° C at the peat surface and 1-cm below the peat surface that vary from 70°C to 90°C. Following burning it had been found that burnt peat depth was different that vary from 18 cm depth with 3% of peat affected to 31.87 cm with 1.75% of peat affected. Hemic Flame height during burning in hemic site (Table 1) was vary from 2.9 m to 3.6 m, where rate of the spread of fire was vary from 1.1 m minute-1 to 1.9 m minute-1 resulted in high flame temperature at the peat surface that vary from 900°C to 1100°C, where 1 cm below the peat surface that vary from 100°C to 130°C. This high flame temperature reflects the high fire intensity resulted that vary from 2949.5 kW m-1 to 5050.9 kW m-1. Following burning it had been found that burnt peat depth was vary from 7.16 cm with peat affected was 1.75% to 12.6 cm with peat affected was 3.25%. Fibric Flame temperature during burning in fibric site (Table 1) was vary from 3.69 m to 4.12 m, where rate of the spread of fire was vary from 1.47 m minute-1 to 3.31 m minute-1 which resulted in flame temperature at the peat surface that vary from 875°C to 900°C where 1 cm below the peat surface

that vary from 75°C to 90°C. The fire intensity in fibric site was quite high that vary from 5300 kWm-1 to 6721 kW-1. Following burning it had been found that no peat burnt. Discussions Rate of the spread of fire Rate of the spread of fire during burning (0.47 to 0.99 m/minute) in sapric site was the lowest (the fastest) compared to hemic (1.1 to 1.9 m/minute) and fibric (1.47 to 3.31 m/minute). A spreading forest fire is a complex combustion processes in which the flaming front is heating and then igniting unburned woody and herbaceous fuels (Johnson, 1992). Lowest rate of the spread of fire indicated that burning process in sapric site was quite slow among others site, as it can be seen through low fire intensity also in sapric where it was range between 791 to 1401.6 kW m-1 -1 while in hemic it was 2949.9 to 5050.9 kW m and in fibric 5300 to 6721.24 kW m-1 and it might be also due to different level of peat decomposed. Higher peat decomposed means that the peat as fuel will be looser or have more chance for heat being transferred downward. Heat produced by combustion of fuels can be transferred to the duff or to the mineral soil surface. The amount of heat transferred downward during the combustion of above ground fuels depend on the fuel present and fire behavior (DeBano et al., 1998). Flame height Flame height during burning in sapric site (1.55 to 2.11 m) was the lowest compared to hemic site (2.9 to 3.6 m) and fibric site (3.69 to 4.12 m). Low flame height resulted during burning in sapric believed due to the lower fuel bed depth (82.8 to 96 cm) and characteristics as it mention also by Chandler et al., (1983) that behavior of established fire depends principally on fuel bed depth characteristics. High

Table 1. Weather condition and fire behavior parameters during burning in Sapric, Hemic, and Fibric sites Parameter

Sapric Plot 1

Hemic Plot 2

Plot 1

Fibric Plot 2

Plot 1

Weather condition Temperature (°C) 38 38 36 39 37 Relative humidity (%) 55 50 55 48 53 -1 1.09 0.41 0.90 1.05 Wind speed (m sec. ) 0.41 Fire behavior -1 Fuel load (ton ha ) (119.16±27.17)a (110.83±27.17)a (39.5±8.0)a (51.8±5.7)b (188.0±6.02)b Fuel bed depth (cm) (96.0±45.89)b (82.8±21.33)a (71.8±4.28)a (101.6±9.09)b (97.0±25.26)a Fuel moisture (%) * Litter (8.63±1.10)a (6.8±1.1)a (7.3±0.9)b (11.92±3.52) a (12.35±1.87)a * Branches (11.5±2.8)a (14.3±3.9)b (21.64±6.65)a (24.54±7.01)a (15.60±3.59)b * Peat surface (81.8±1.5)b (77.2±1.4)a (81.8±1.5)b (77.2±1.4)a (85.6±1.34)a Flame height (m) (1.55±0.52)a (2.11±0.26)b (2.9±0.3)a (3.6±0.4)b (4.12±1.53)a -1 Fire Intensity (kW m ) (791.96±572.7)a (1401.61±355.17)b (1.1±0.2)a (1.9±0.2)b (6721.24±5018.34)b Rate of the spread of (0.47±0.15)a (0.99±0.26)b (2949.9±547.3)a (5050.9±1052.4)b (3.31±1.27)b -1 fire (m mnt ) Flame temp. (°C) - 1 cm below ground 70 90 100 130 75 - Ground 800 985 900 1100 875 Burned fuel% Litter 50 80 90 95 95 Branches 45 60 50 75 75 Log 5 7 5 (7.16±0.9)a (12.6±1.3)b Burned peat depth (cm) 18 31.87 4.7 13 0 2 7 1.75 3.25 0.04 Burned peat size (m ) 12 Burned peat% 3 1.75 0 0 Slope (%) 0 0 0.04 0.04 0 Duration (mnt.) 22.13 21.30 18.0 9.3 15.18 Burning time 11.22 a.m 13.43 p.m 16.30 p.m 13.05 p.m 12.25 p.m Note: Means are significantly different when standard errors are followed by different letters (p≤0.05).

Plot 2 36 52 0.67 (184.5±6.95)a (106.0±13.73)b (9.19±4.59)a (12.85±4.85)a (84.75±0.78)a (3.69±1.8)a (5300.28±4117.48)a (1.47±0.39)a 90 900 85 55 5 0 0.04 0 16.30 13.30 p.m


SAHARJO – Fire behavior in Pelalawan peatland

93

fuel available in sapric site and also dense (compact) will affect the performance of oxygen during burning, where it was believed as one of the reason why flame height was so slow compared to hemic and fibric site. Fuels densely packed and layered (Wheelan, 1995) do not permit access to oxygen and therefore constrains combustion, beside that compactness (Chandler et al., 1983) affects both the air supply to the burning particles and the rate of heat transferred to particles in the a head bed of the flame front.

surrounding burned area Higher level of peat decomposition seems have deeper peat burned as consequences more destruction resulted, sapric site that has the highest of peat decomposition has deeper pet burned (18 to 31.87 cm) compared to hemic site (7.16 to 12.6 cm) and fibric site where no peat burned found.

Fire Intensity Flame height and fuel available during burning was directly related to the fire intensity, which means that low flame length will have lower fire intensity too. Flame height in sapric site (1.55 to 2.11m) was the lowest among the site, this means that fire intensity in the sapric site (791 to 1401.6 kW m-1) was the lowest also among others site. Fire intensity (Brown and Davis, 1973) is directly proportional to the amount of fuel available for combustion at any given rate of the spread of fire front and higher heat transfer causes the adjacent fuels to be heated and burned, thereby releasing more heat and propagating fire (Johnson, 1992). Low fire intensity as it found in sapric site means that fire in this site was relatively under controlled when it blow-up or it can be managed with less destruction. The site that have higher fire intensity as it found in hemic site (2949.9 to 5050.9 kW m-1) and fibric site (5300.28 to 6721.24 kW m-1) means that fire will be difficult to be controlled and it might be more resources burnt or destroyed.

Results of research shown there was a tendency that low level of peat decomposition (fibric) will have lower rate of the spread of fire, higher flame height that directly related to fire intensity which finally resulted in less peat destroyed. This means that fire in the low level of peat decomposition was relatively difficult to be controlled. Among the three site Sapric, hemic, and fibric that burned, it had been found that fire in fibric site will be the most difficult to be controlled when fire blow up and sapric site will be the worst.

Flame temperature Flame temperature was one indicator on how the burnt site could or could not be controlled during burning because it explains also the situation in burning site. High flame temperature as it found in hemic site (900 to 1000°C) was indicator on how worst the damage would occur during burning. Peat with higher level of decomposition will have fuel characteristics more porous than that with lower level of peat decomposition (fibric). This means that the chance of heat transferred through penetration from the heat on surface was higher than peat with low level of peat decomposition. As a result it had been found that the flame temperature during burning at 1 cm below the peat surface was different, sapric (70 to 80°C), hemic (100 to 130°C) and fibric (75 to 90 °C).

REFERENCES

Peat destruction The impact of flame temperature resulted during burning, fire intensity or energy resulted during burning and different level of peat decomposition has a significant impact to the peat itself. Peat destruction due to penetration heat and energy downward depends on how much fuel are present and peat characteristics (Saharjo and Munoz, 2005), especially moisture content because peat destruction could be prevented through high peat moisture content resulting through the water from the canal

CONCLUSION

ACKNOWLEDGMENT Author thank to PT. Riau Andalan Pulp And Paper (PT.RAPP), PO Box 1080, Pekanbaru, Riau 28000, Indonesia, which had given chance to have a research collaboration and funding assistance.

Brown, A.A and K.P. Davis. 1973. Forest Fire: Control and Use. 2nd edition. New York: McGraw-Hill Book Company. Chandler, C., P. Cheney., P. Thomas., L. Trabaud., and D. Williams. 1983. Fire in Forestry, Forest Fire Behavior and Effects. Volume 1. New York: John Wiley and Sons, Inc. Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principles of forest fire management. Los Angeles, CA: Department of Natural Resources Division of Forestry. DeBano, L.F, D.G. Neary, and P.F. Ffolliott. 1998. Fire’s Effect on Ecosystems. New York: John Wiley and Sons, Inc. Johnson, E.A. 1992. Fire and Vegetation Dynamic. London: Cambridge University Press. Lorimer, C.G. 1990. Behavior and management of forest fire. In: Young, R and R.L. Giese. Introduction to Fforest Sscience. 2nd edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Saharjo, B.H. 2000. Fire research and society interest as limiting factors in minimizing large forest fire in Indonesia. Abstract of XXI IUFRO World Congress, Kuala Lumpur, Malaysia, August 2000. Saharjo, B.H. 2005. The role of weeds as fuels in prescribed burning. Tropics 14 (2): 203-210. Saharjo, B.H and C.P.Munoz. 2005. Controlled burning in peat lands owned by small farmers: a case study in land preparation. Wetlands Ecology and Management 13: 105-110. Steel, R.G and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics: A Biometrical Approach. 2nd edition. New York: McGraw-Hill, Inc. USDA. 1975. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. Washington D.C.: S.C.S. USDA Handbook No. 436. Wheelan, R.J. 1995. The Ecology of Fire. London: Cambridge University Press.


BIODIVERSITAS Volume 7, Nomor 1 Halaman: 94-99

ISSN: 1412-033X Januari 2006

R E V I E W: Species Diversity of Local Fruit Trees in Kalimantan: Problems of Conservation and Its Development MUSTAID SIREGAR♥ UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Tabanan – Bali 82191 Received: 15 July 2005. Accepted: 22 September 2005.

ABSTRACT The decrease in population of local fruit trees due to the forest destruction in some places in Kalimantan is a worrying trend.The genetic diversity of fruits in Kalimantan has been saved partly through indigenous agroforestry, as species cultivated from generation to generation by indigenous people have created miniature forests in the village agroecosystem. However, there is no doubt that the existence of local fruit trees has been threatened by the introduction of a superior fruit cultivars and other commercial plant species such as coconuts (Cocos nucifera), oil palm (Elaeis guinensis) and rubber trees (Hevea braziliensis). An ex-situ conservation program is proposed for the maintenance of diversity amongst local fruit species. © 2006 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Local fruit trees, indigenous agroforestry, conservation, Kalimantan.

INTRODUCTION Kalimantan is known having wet tropical forest area with high level of flora diversity in the world. Besides timber product, Kalimantan is also rich with various kinds of fruits which half of them is an endemic species (Airy Shaw, 1975; Bompard and Kostermans, 1985; Jarret, 1959a, 1959b, 1960; Seibert, 1988; Siregar et al., 1995). The apprehension about disappearance of the local fruits genetic diversity is getting more and more serious lately due to the destruction of forest in some places which are the origin habitat of those fruits. Forest fire, timber exploitation activities, shifting cultivation and the presence of a superior fruit cultivars or commercial plant species such as coconuts (Cocos nucifera), oil palm (Elaeis guinensis) and rubber trees (Hevea braziliensis) are considered to be the major cause of this problem. For all this time, local farmers were accused to be the destructor of forest due to their shifting cultivation activity. However in reality local farmers have an indigenous knowledge in agroforestry system. In this agroforestry system, they cultivated many species of local fruits. But because the attention of local government and some society institution (non governmental organization, NGO) so far is focused on the development of agroforestry system to make it more productive, it is worried that the local fruits in the traditional agroforestry system will disappear. Some special efforts are needed to save those local fruits so that it can be used to develop many species of superior fruits in the future.

♥ Correspondence address: Bedugul, Baturiti, Tabanan – Bali 82191 Tel. +62-368-21273; Fax. +62-368-22051 e-mail: meiningsasi@yahoo.com

FROM SHIFTING CULTIVATION TO INDIGENOUS AGROFORESTRY In order to fulfill their basic need, the hinterland societies in Kalimantan applies shifting cultivation system and they have been doing this system hereditary. Besides rice, they are also cultivate various staple plants such as cassava, corn and vegetables concurrently or in rotation. As they doing so, they also planted many kinds of forest seeds that yield wood suitable for building materials. Seeds from the local fruits that they grew in forest were planted in purpose or unpurposely from the fruits that they consumed. When they left the garden, in fallow stage the plants were still very small and during this period they grew together with many other wild plants. When the farmer came back, the trees that they grew before and other kinds which were considered useful, like trees that were used for building materials, trees where the bees live and sacred trees were not cut down, but their population were added continuously with many kinds of trees that useful for the farmers during they do their activities in that area. This particular area later on, developed and became local societies garden that we known as lembo, munan, simpukng, pulong bua, dalung bua, tundang kemurlan, karloka kemurlan, tembawang and pedukuhan (Siregar et al., 1995; Riswan and Suzuki, 1992). It is not clearly known when exactly these societies made these kinds of gardens for the first time. But from the process, the age is about the same with shifting cultivation activity it selves, went back to the first time when farming culture is known. In East Kalimantan, the transition from hunting and collecting fruits culture to farming culture is predicted to start since the relationship between native societies or local people and the outsiders in the era of Mulawarman Kingdom around the fourth century.


SIREGAR – Diversity of local Kalimantan fruit trees

a

d

b

e

c

f

95

Figure 1. Scheme showing the forming of indigenous agroforestry in Kalimantan: a. Natural forest; b. Slash and burn for planting rice in Shifting cultivation system, some fruit trees species were planted near hovel (1-2 years); c. Fallow stage and young garden around hovel (5 years up); d-e. The stage of fallow-planting rice and fruit trees development; f. Clump of fruit trees in mature garden.

With the accordance of technology transfer in its development, the agro forestry system that they develop was not only managing plants but also cattle business component. There were three kinds of cattle that they breed; chicken, cow and pig. Breeding chickens were done around the hut by making a stable from pieces of bamboo and wood. Generally pig and cow were let to be free around the hut and some of them were placed in the stable. The village which is dominated by Moslem inhabitants like Kutai race in East Kalimantan and Malay in West Kalimantan did not breed pigs. As a traditional farming, the input-output flow is relatively simple. The input in managing the garden came from its surrounding (high internal input), meanwhile the input from outside is relatively small (low external input). If it is not gardening season, the farmer just visited their garden when the fruits were ripe or harvesting their other garden yield. Pest and disease control, fertilizing and watering were

hardly ever done. This model of management gave an assumption that the farmers through their traditional and simple technology have created the forest to be economically and more profitable. This also showed that Kalimantan customs societies in opening the forest were not only taking the benefit from nature but also returning it to the form of ecosystem that more usefull through adoptability and adaptability with their environment so it will created a harmony with ecology, economy and sosioculture.

THE SPECIES DIVERSITY OF LOCAL FRUIT TREES If we notice the process of forming an agroforestry, it is natural that in Kalimantan societies agroforestry, there were many differences in age of trees, both planted in purpose or naturally. Besides that the attention to the plants relatively


96

B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 93-98

less, or even with no treatments at all. Mainly the gardens which were far from their resident, there were many kind of clumps, herbs and other low layer plants that grew well. So the diversity of species is one of the specific characters that highlighted in a traditional garden, one of the characteristic which is also owned by tropical forest. Even if we look more detail from its structure vertically or horizontally, traditional gardens in Kalimantan are similar to tropical rain forest. It is not easy to give a clear limitation for the kind of trees that produce fruits. However this paper will discuss more about wooden fruits that match with the category of Levang and de Foresta (1991), Prosea (1992, 1993) both as a major or minor functions, or the fruits consumed by local people as fresh fruits. Some kinds of fruits that can’t be eaten but came from a genus which generally known as fruits yielding group were put in the discussion, due to their importance as gene pool source to improve their group like the Artocarpus, Mangifera, Baccaurea and Durio genus. The fruits that belong to banana class (Musa spp.) and palm class (Palmae) were not discussed in this paper. One of the exploration result done by the writer in 1991 and added by the result of other research done by other researchers in Kalimantan there were 130 species of fruits noted. About 85 species of them were presumed native of Kalimantan signed by their wild presence in the forest. Ninety one species has been developed in the local societies garden and about a half of them nowadays were rarely found in the forest (Table 1). Table 1. Species diversity of fruits trees in Kalimantan and their utilization Location Number Species Edible non Non Forest Genus of harvested economic Fores garde edible & species for sale species t n garden 8 7 0 4 3 8 Artocarpus 15 12 3 9 0 4 1 7 Baccaurea 6 4 2 0 0 6 0 Citrus 7 2 3 2 2 1 4 Durio 12 1 5 6 6 3 3 Garcinia 13 8 4 1 1 5 7 Mangifera 6 3 3 0 1 2 3 Nephellium Other sp. 59 16 43 0 21 24 14 Total 130 45 76 9 39 45 46

From those 130 species of fruits trees which were noted, about 45 species of them were sold in the local market after harvest. But most of them were taken for self consumption without having economic value because of their sour taste like from Baccaurea group. Some of them can not be eaten, but classified as fruits groups because one of the member is commonly classified as fruit which have high economic value like the Garcinia genus. There were 15 species of Artocarpus genus, 11 species of them have been developed in the local societies garden and 12 species grew wild in forest (Table 1). As a comparison Jarret (1959a, 1959b, 1960) in Seibert (1988) found about 20 species of Artocarpus genus in Kalimantan, six species of them were endemic. Artocarpus integer were mostly planted in traditional garden around the forest. Generally, in the garden around the houses or yard we can found A. heterophyllus which predicted as a cultivar that came from outside the island. Both A. integer or A. heterophyllus were hoped to give cash income by their owner. Some endemic species (A.nitidus, A. abtusus and A. odoratissimus) have developed in small quantity at the garden, although they still can be found in the forest.

Baccaurea is a kind of fruit that can be found easily. There were about 12 species of them. About 11 species grew wild in the forest and 8 species of them have been developed in the garden. Most of the yield from this class were for self consumption, and not the kinds that gave cash income. As a result, Baccaurea population were very rarely found in the local societies garden. One of the species that the yield sometimes can be sold is Baccaurea motleyana that familiar in Java as “menteng”. Six species noted as Citrus spp. was predicted as an introduce species because they were not found widely in forest. Durio is a species of fruits that very familiar in Kalimantan and outside Kalimantan. Two species that were well known and give a lot of contribution to the farmers income were D. zibethinus which is known as “durian” and D. kutejensis known in East Kalimantan as “lai”. Many D. zibethinus in Kalimantan have varies in, taste, smell and the fruit flesh color. Beside the two species above, some species from Durio were often consumed by family, but were not generally sold like ‘karatongan’ (D. oxleyanus), ‘lahung’ (D. dulcis) and ‘durian udas’ (D. graviolens). Many species from Durio that inhabited Kalimantan forest as previously reported were not found in this studies. These species mainly the uneatable species, they were only appreciated just for their wood value. For comparison, Seibert (1988) noted more than 18 species of Durio genus inhabit Kalimantan and 14 species of them were endemic. Garcinia genus has many members, about 11 species. Nine species of Garcinia genus grew wild in the forest, and 6 species have been cultivated in the garden. In fact, only a few species of this genus were eatable, one of them has been known as ‘manggis’ (Garcinia mangostana) where many of its cultivar come from outside region. Thirteen species of Mangifera still can be found frequently in the inland of Kalimantan. Twelve species of them have been planted in the garden around the forest and in the local societies house yard. M applanata was the only species which was not found in the garden. Species diversity of Mangifera in this article were only a half from 24 species from Mangifera genus that have been reported in Kalimantan (Seibert, 1988; Bompard and Kostermans, 1992). M. indica and M. odorata are popular fruits. Beside those two species, M. pajang was frequently found in the indegenous agroforestry in East Kalimantan. So frequently M. foetida was found in ‘Pedukuhan’ - Kendawangan West Kalimantan. M. indica, M. odorata, M. pajang and M. foetida were the species that hoped to gave a cash income to the garden owners. Mangifera kasturi is an endemic species which is appreciated enough in South Kalimantan (Mac Kinnon et al, 2000). Another species is M. gedebe that frequently found and grew naturally around Mahakam River East Kalimantan. Many of this last species have been cut down and their woods were taken for furniture materials. Their young fruit were consumed as ‘sambal’ (traditional hot delicacy) material. M. applanata that grew naturally in peat forest in West Kalimantan also found planted in the garden. Only six species of Nephelium were found in this study. In fact, according Seibert (1988), Kalimantan with 22 species of Nephelium is a center of its diversity. About 22 species were known and 16 of them can be found in Kalimantan, including eight endemic species. However, in fact in one species it is very frequently known having many genetic variation. As an example, ‘rambutan’ (N. lappaceum) which is generally cultivated, having not less than 15 cultivar variation in Mekarjaya village; Sambas Regency, West Kalimantan. The farmer rely so much on


SIREGAR – Diversity of local Kalimantan fruit trees

this species to support the economy of the family. Other species which are predicted having many variation are N. maingayi and N. Ramboutan-ake. These two species were frequently found in the local societies garden and in their house yard. There are still many fruit trees in Kalimantan that have high value and they are valuable asset that need proper attention. Some of them produce fruits that economically gave cash income for the farmers like Annona muricata, Averrhoa bilimbi, A. carambola, Manilkara zapota, Persea

97

americana, Psidium guajava, Sandoricum koetjapi and Syzygium spp., most of the latest species were introduce species. Many of 'Lansat' (Lansium domesticum) or known as 'duku' outside Kalimantan, grew in local societies garden in East Kalimantan. One of the cultivar from this species which is quite familiar around Samarinda, but now seldom found is 'lansat air putih' compared with its family from the same species like cultivar from Lebak Cilong and Kahala-East Kalimantan, this cultivar is known having sweeter taste.

Table 2. Species of fruits trees found in Kalimantan.

No.

Species

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

Alangium javanicum (K. & V.) Wang. Alangium nobile Harm. Anacardium occidentale L. Annona muricata L. Annona squamosa L. Antidesma bunius (L.) Sprengel Antidesma sp. Artocarpus altilis (ParA.) Forst. A. anisophyllus Miq. A. dadah Miq. A. elasticus Reinw. ex Blume A. heterophyllus Lam. A. integer (Thunb.) Merr. A. kemando Miq. A. lanceifolius Roxb. A. nitidus Trecul A. obtusus Jarrett. A. odoratissimus Blanco A. scortechinii King A. tamaran Becc. A. Teysmannii Miq. Artocarpus sp. Averrhoa bilimbi L. Averrhoa carambola L. Baccaurea angulata Merr. B. bracteata M.A. var. bracteata B. dulcis (Jack.) Muell. Arg. B. edulis Merr. B. kunstleri King ex Gage B. lanceolata (Miq.) Muell. Arg. B. macrocarpa (Miq.) Muell. Arg. B. motleyana Muell. Arg. B. parviflora (Muell. Arg.) Muell. Arg. B. puberula (Miq.) Muell. Arg. B. racemosa (Reinw. Ex Bl.) Muell. Arg. B. trigonocarpa Merr. Belucia axinanthera Triana Blumeodendron tokbrai (Bl.) J.J. Smith Bouea oppositifolia (Roxb.) Meisn. Canarium sp. Chisocheton sandoricarpus Citrus aurantifolia (Chris. & Panz.) Swi. C. aurantium L. C. maxima (Burm.) Merr. C. microcarpa Bunge. C. nobilis Lour. C. reticulata Blanco. Dacryodes rostrata (Bl.) H.J. Lam Dialium indum L. Dimocarpus longan Lour. var. malaiensis Diospyros bantamensis Dracontomelon dao (Bl.) Merr. & Rolfe. Durio dulcis Becc. D. graviolens Becc. D. griffithii D. kutejensis (Hassk.) Becc. D. oxleyanus Griff. D. zibethinus Murray Durio sp. Elaeocarpus floribundus Bl.

Species harvested from natural forest + +

+ + + + + + + + + + + + +

Species harvested from forest garden + + + + + + + + + + + + + + +

+ + + + + + + + + + + +

+ + + + + + + + + + + + +

Edible non economic Habitat species

+ + + + + + + + + + +

+ + +

+ +

Species harvested for sale

+ +

+ + + + + + + +

+ + + + + + + + + + + +

+ + +

+ + + +

+

+ + + + + + +

+ + + + +

F F A A A F, A A A F, A F F, A A F, A F, A A F, A F, A F, A F F, A F F A A F F, A A F F F, A F, A F, A F, A F, A F, A F F F F, A A A A A A A A A F, A F, A F, A F F, A F, A F F F, A F, A A F, A F, A


B I O D I V E R S I T A S Vol. 7, No. 1, Januari 2006, hal. 93-98

98

Table 2. Species of fruits trees found in Kalimantan (lanjutan).

No. 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101

Species

Elaeocarpus glaber Blume Elaeocarpus petiolatus (Jack.) Wallich. Eugenia spicata Lamk. Euodia minahasae Ficus glomerata Roxb. Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi Garcinia bancana Miquel G. dulcis (Roxb.) Kurz. G. forbesii King G. havilandii G. nervosa Miq. G. parvifolia (Miq.) Miq. G. prainiana King G. rostrata G.mangostana L. Garcinia sp. Garcinia sp. Garcinia sp. Lansium domesticum Corr. Lepisanthes alata (Bl.) Leenh. Lepisanthes amoena (Hassk.) Leenh. Litsea garciae Vidal Madhuca betis Mangifera applanata M. caesia Jack. M. casturi M. decandra Ding Hou M. foetida Lour. M. gedebe Miq. M. indica L. M. laurina M. longipes Griff. M. odorata Griff. M. pajang Kosterm. M. parvifolia (Boerl. & Koords.) M. quadrifida Jack. Manilkara kauki (L.) Dubard. Manilkara zapota (L.) P. van Royen Microcos hirsuta Burret Muntingia calabura L. Nephellium cuspidatum Bl. (N. cuspidatum Bl. var. cuspidatum) 102 N. lappaceum L. 103 N. maingayi Hiern. 104 N. ramboutan-ake (Labill.) Leenh. 105 N. reticulata Radlk. 106 N. uncinatum Radlk. Ex Leenh. 107 Palaquium leiocarpum 108 ParArtocarpus venenosus (Z. & M.) Becc. 109 Passiflora quadrifida 110 Persea americana Miller 111 Phyllanthus acidus (L.) Skells. 112 Phyllanthus emblica L. 113 Pogostemon hortensisi 114 Pometia pinnata J.R. Forster & J.G. Forster 115 Psidium guajava L. 116 Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. var tomentosa 117 Sandoricum borneense Miq. 118 Sandoricum emarginatum 119 Sandoricum koetjapi (Burm.f) Merr. 120 Sarcotheca diversifolia (Miq.) Hall.f. 121 Spondias dulcis Soland. ex Forst.f. 122 Spondias mombin L. 123 Syzygium aqueum (Burm.f) Alston. 124 Syzygium malaccense (L.) Merr. & Perry. 125 Syzygium polyanthum (Wight) Walp. 126 Tamarindus indica L. 127 Tetramerista glabra Miquel. 128 Willughbeia coriacea Wallich 129 Willughbeia firma Bl. 130 Xerospermum noronhianum (Bl.) Bl. Notes: + = presence; F = forest; A = indigenous agroforestry.

Species harvested from natural forest + +

Species harvested from forest garden

Species harvested for sale

Edible non economic Habitat species

+ + + + + + + + + + + +

+ + + + +

+

+ + + + + + + + + +

+ + + + + + + + + +

+ + + + + + + + + + + + + + + + + +

+ + + + + +

+ + + + +

+ + + +

+ + + +

+ + +

+

+

+ + +

+

+

+

+ + + +

+ + + +

+ + + + + + + +

+ +

F F A A F F F F, A F, A F F F, A F F A F A A A F, A F F, A F F F, A F, A A F, A F, A F, A A A A A F, A F, A A A F F, A F, A A F, A A F F, A F F A A A F F, A F, A A F F F A F A A A A F, A A A F F, A F


SIREGAR – Diversity of local Kalimantan fruit trees

CHALLENGES IN THE FUTURE AND THEIR SOLUTIONS Basically, local societies in the inland of Kalimantan had known the agroforestry system for a long time. This indigenous knowledge were passed from generation to generation as a major effort in supporting the needs of their family. Some form of agroforestry aged thousand of years and formed a climax forest vegetation. But most of this farming business are still managed subsistently, only to fulfill their own needs. This kind of agroforestry model is generally indicated by the varies composition of species and having less economic value. The agroforestry system that is market oriented generally have more homogen composition and have more economic value, such as rubber (Hevea brasiliensis), coconut (Cocos nucifera), Arenga pinnata, banana (Musa spp.) and oil palm (Elaeis guinensis). Some modernization efforts and the development of an indigenous agroforestry done by the government and plantation companies also follow this model. Modernization of an agroforestry system to improve land productivity is not a wrong step. But if this system develop quickly without regard or neglecting those species of local fruits, we can say for sure that the local fruits which fill those agroforestry system sooner or later they will not be around anymore. The farmers will be cutting away these local fruits due to their low economic value. With the increasing of the population number, limited farm land, and the existence of a better commodity from outside region, the local fruits will be victimized. The government policy in plantation and forestry to develop a commercial plants are economically pleasant, but in the same time it is the beginning of a serious local gene pool erotion. The existence of 35 species that can only be found in the forest and haven't been cultivated by the local societies will be critical as progressively the increasing rate of forest destruction in Kalimantan. Indonesian Botanic Garden under the management of Indonesian Institute of Science (Bogor, Cibodas Purwodadi and Bali), have just collected 53% from all the species found in this study. However, not all of those collections came from cultivar/variety that grew in Kalimantan. In reality the traditional societies in Kalimantan with their traditional garden plays an important roles in saving the gene pool of local fruits in Kalimantan. By giving more attention to the condition, concept of exsitu concervation (conservation outside original habitat) for local fruits is becoming an option and a best decision to take. This concept does not need wide land and can be monitored tightly, compared to in-situ conservation concept (conservation in original habitat) that requirs very wide land. Generally local fruit trees are grows spreadly in their original habitat and it is quite difficult to determine a precise area for its in-situ conservation. Some efforts of ex-situ conservation for the local fruits of Kalimantan, i.e. (i) Arboretum or botanic garden. Botanic garden concept has been developed by Indonesian Institute of Science (LIPI) by the name of "Kebun Raya" in West Java (Bogor and Cibodas), East Java (Purwodadi) and Bali (Bedugul). Besides their function in conservation, the concept of “Kebun Raya" also plays a part in conducting activities such as inventaritation, eksploration, collection, research and development of species which economicaly potential for their sustainable use in the future. By selecting

99

an appropriate habitat for these fruits species, hence we will be able to collect many species. Today “Kebun Raya” has also rounded into an education and recreation target, so that enabled it to yield income from ticket selling, which is very useful in defraying management of garden. Challenges in establishing a new “Kebun Raya” possibly comes from the availability of a standard location for a botanic garden, human resource in certain skills such as management, research and development and also the availability of fund. (ii) Development of an indigenous agroforestry (such as lembo, munan, simpukng, pulong bua′, dalung bua′, tundang kemurlan, karloka kemurlan, tembawang and pedukuhan) to be come a conservation area with an adequate incentive for its owner. A complex of indigenous agroforestry could occupied hectares of area and own by some family in the same offspring. We can select from the existing agroforestry complex for developing and enriching in its species diversity. Local societies or garden owner with their local knowledge in flora can be trained in the field of taxonomy and Ianguage to become gardener, researcher assistant or guide with adequate incentive. (iii) Conservation through cultivation in parks, town garden, campus, roadside, experimental gardens and yard.

REFERENCES Airy Shaw, H.K. 1975. The Euphorbiaceae of Borneo. Kew Bulletin Additional Series IV, London: Royal Botanic Gardens Kew. Bompard, J.M. and A.J.G.H. Kostermans.1985. Wild Mangifera species in Kalimantan, Indonesia. In Mehra, K.L.and S. Sastrapradja (eds.) Proceeding of the International Symposium on South East Asian Plant Genetic Resources, Jakarta. Indonesia. LBN-LIPI, Bogor. Bompard, J.M. and A.J.G.H. Kostermans. 1992. The genus Mangifera in Borneo. In Ghazally, Murtedza and Siraj (eds.) Forest Biology and Conservation in Borneo. Kinabalu, Sabah: IUCN-WWF/IBPGR project 61-71. Jarrett, F.M. 1959a. Studies in Artocarpus and allied genera, I. General considerations. Journal of the Arnold Arboretum 40: 1-29. Jarrett, F.M. 1959b. Studies in Artocarpus and allied genera, III. A revision of Artocarpus subgenus Artocarpus. Journal of the Arnold Arboretum 40: 113-155; 298-368. Jarrett, F.M. 1960. Studies in Artocarpus and allied genera, IV. A revision of Artocarpus subgenus Pseudojaca. Journal of the Arnold Arboretum 41: 73-88 Kostermans, A.J.G.H. 1958. The genus Durio Adans. (Bombacaceae) Herbarium Bogoriense, Bogor. Reinwardtia 4 (3): 357-460. Kostermans, A.J.G.H and W. Soegeng-Reksodihardjo. 1958. A monograph of the genus Durio Adans. (Bombacaceae) part I. Bornean species. Bogor: Communication Forest Research Institute. Levang, P and H. de Foresta. 1991. Economic plants of Indonesia. A Latin, Indonesian, French and English dictionary of 728 species. Bogor: ORSTOM and Seameo Biotrop. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, dan A. Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Seri ekologi Indonesia Buku III. Jakarta: Prenhallindo. Prosea. 1992. Edible Fruits and Nuts. Bogor: Plant Resources of South-East Asia. Prosea.1993. Basic List of Species and Commodity Grouping. Final version. Bogor: Plant Resources of South-East Asia. Riswan, S. and E. Suzuki. 1992. Agroforestry and other land-use systems at Serimbu. In Suszuki, E. (ed.) Structure and Regeneration Dynamics of Tropical Dipterocarp Rain Forest in Varying Degrees of Management. [Tentational final report to LIPI]. Kagoshima, Japan: Kagoshima University Japan. Seibert, B. 1988. Agroforestry untuk pengawetan sumber genetika. Prosiding Seminar Agroforestry untuk Pengembangan Daerah Pedesaan di Kalimantan Timur. Samarinda: Siregar, M., Z. Fanani, dan S. Riswan. 1995. Konsep pelestarian pohon buah-buahan dengan sistem lembo pada masyarakat Kutai: Studi kasus di Kecamatan Kota Bangun dan Kenohan, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II. Buku 2. Yogyakarta:


Ralat: Biodiversitas 6 (2): Naskah berikut dianggap tidak pernah terbit. BIODIVERSITAS Volume 6, Nomor 2 Halaman: 118-122

ISSN: 1412-033X April 2005

Keanekaragaman Spesies Tingkat Pohon di Taman Wisata Alam Ruteng, Nusa Tenggara Timur The diversity of trees species in Taman Wisata Alam Ruteng, East Nusa Tenggara DEDE SETIADI♼ Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi FMIPA Institut Pertanian Bogor, Bogor 16144 Diterima: 17 Maret 2004. Disetujui: 26 Desember 2004.

ABSTRACT The objectives of this research were to know important value, diversity index, evenness index, and similarity index species of tree in Taman Wisata Alam of Ruteng. This research use Centered Quatered Method with transek longly is band follow the example of 200 m with parallel direction of contour. At entire all area specified by 7 station of perception that is station I area of Mocok with height 600 m asl, station II area of Ponggeok with height 750 m asl, station III area of Lempang Paji with height 900 m asl, station IV area of Uluwae with height 1050 m asl, station V area of Nggalakleleng 1200 m asl, station VI area of Gololalong with height 1350 m asl, and station VII area of Mano with height 1500 m asl. From result data analysis hence can be taken by some conclusion of the following: (i) In each height perceived by species having highest important value different each other. Species having high important value at entire all station of present is Elaeocarpus floribundus, Podocarpus amarus, Ehretia timorensis, Knema cinerea, Elaeocarpus sp., Prunus sp., and Litsea sp. (ii). Diversity index was between 0,98-1,51, the value enter in low category. (iii). Eveness index of species at entire all station of perception relative is of equal was between 0,847-1,020. (iv). According of similarity index at entire all station which compared of generally lowering. There are no combination of station of perception which compared yield value of similarity index at > 75%. Š 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: diversity, trees, Taman Wisata Alam Ruteng, East Nusa Tenggara.

Biodiversitas 7 (1): No.

Halaman

Kolom

Paragraf

Baris dari atas

Baris dari bawah

Tertulis

Seharusnya

1.

Sampul belakang

-

-

-

11

84-88

85-89

2.

Sampul belakang

-

-

-

9

89-92

90-93

3.

Sampul belakang

-

-

-

7

93-98

94-99


ISSN: 1412-033X

Seleksi Mikroorganisme Potensial untuk Fermentasi Pati Sagu RUTH MELLIAWATI, ROHMATUSSOLIHAT, FERRA OCTAVINA Marga Candida, Khamir Tanah Pelarut Fosfat yang Diisolasi dari Tanah Kebun Biologi Wamena, Papua ATIT KANTI Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) di Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa, serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat di Media Pikovskaya Padat SRI WIDAWATI, SULIASIH Uji Viabilitas Lactobacillus sp. Mar 8 Terenkapsulasi EVI TRIANA, EKO YULIANTO, NOVIK NURHIDAYAT Uji Fisiologis Probiotik Lactobacillus sp. Mar 8 yang Telah Dienkapsulasi dengan Menggunakan Spray Dryer untuk Menurunkan Kolesterol TITIN YULINERY, EKO YULIANTO, NOVIK NURHIDAYAT Pemanfaatan Isolat Lokal Monascus purpureus untuk Menurunkan Kolesterol Darah pada Tikus Putih Galur Sprague Dawley ERNAWATI KASIM, YETY KURNIAWATI, NOVIK NURHIDAYAT Pengaruh Pemberian Pakan Hiperkolesterolemia terhadap Bobot Badan Tikus Putih Wistar yang Diberi Bakteri Asam Laktat RIYANI HARDININGSIH, NOVIK NURHIDAYAT Toksisitas Racun Laba-laba Nephila sp. terhadap Aedes aegypti YAYAN SANJAYA Evaluasi Penggunaan Inokulum Bakteri Asam Laktat terhadap Kualitas Silase Rumput Gajah (Pennisetum purpureum) SHANTI RATNAKOMALA, RONI RIDWAN, GINA KARTINA, YANTYATI WIDYASTUTI Keanekaragaman Jenis Hoya (Asclepiadaceae) di Hutan Lindung Bukit Batikap Kalimantan Tengah SRI RAHAYU Estimasi Kemelimpahan dan Distribusi Plantago major L. di Gunung Lawu SUGIYARTO, AHMAD DWI SETYAWAN, ARI PITOYO Domination and Composition Structure Change at Hemic Peat Natural Regeneration Following Burning; A Case Study in Pelalawan, Riau Province BAMBANG HERO SAHARJO, ATI DWI NURHAYATI Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ARRIJANI, DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM Karakter Fisiologi, Morfologi, dan Produksi Umbi Talas sebagai Tanaman Sela di Bawah Tegakan Karet DJUKRI Jenis Kuskus di Taman Wisata Gunung Meja Kabupaten Manokwari, Irian Jaya Barat (Papua) ANTON SILAS SINERY Diversitas dan Bioekologi Biawak (Varanus indicus) di Pulau Pepaya Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Irian Jaya Barat (Papua) DENY ANJELUS IYAI, FREDDY PATTISELANNO Lokasi Makan Tiga Jenis Kuntul Casmerodius albus, Egretta garzetta, dan Bubulcus ibis di Sekitar Cagar Alam Pulau Dua Serang, Banten DEWI ELFIDASARI Penyimpanan Benih Damar (Agathis damara Salisb.) dalam Nitrogen Cair DHARMAWATI FERRY DJAM’AN, DODY PRIADI, ENNY SUDARMONOWATI Pengaruh Jenis Media terhadap Pertumbuhan Begonia imperialis dan Begonia ‘Bethlehem Star’ DYAN MEININGSASI SISWOYO PUTRI Pengaruh Kalium dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan Bibit Panili (Vanilla planifolia Andrew) I GEDE TIRTA REVIEW: Criticizing Iron Fertilization in Oceans and its Effects on Reducing Atmospheric CO2 EKO AGUS SUYONO

100-103 104-107 108-112

113-116 117-121

122-124

125-128

129-133 134-139

140-143 144-148 149-153

154-160 161-164 165-170 171-177

177-180

181-185 186-189 190-193 194-198

Gambar sampul depan: Varanus indicus (FOTO: DENY ANJELUS IYAI)

Terbit empat kali setahun


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


potong di sini

Yth.: Pembaca dan Kolega Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut: ☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal: Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

potong di sini

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

: ………………………………….……..

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com


Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal:

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com

potong di sini

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

: ………………………………….……..

Yth.: Pembaca dan Kolega

☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

potong di sini

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut:


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


ISSN: 1412-033X

Soil Fungi in an Over-burned Tropical Rain Forest in Bukit Bangkirai, East Kalimantan 1-3 SUCIATMIH Potensi Centrocema pubescence, Calopogonium mucunoides, dan Micania cordata dalam 4-6 Membersihkan Logam Kontaminan pada Limbah Penambangan Emas NURIL HIDAYATI, FAUZIA SYARIF, TITI JUHAETI Kandungan Pigmen dan Lovastatin pada Angkak Beras Merah Kultivar Bah Butong dan BP 1804 IF 9 7-9 yang Difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba ERNAWATI KASIM, NANDANG SUHARNA, NOVIK NURHIDAYAT Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica 10-14 caventis Oed.) di Tanah Marginal SRI WIDAWATI, SULIASIH Isolasi dan Uji Resistensi Beberapa Isolat Lactobacillus pada pH Rendah 15-17 RIANI HARDININGSIH, ROSTIATI NONTA RETINA NAPITUPULU, TITIN YULINERY Selenium dari Ekstrak Biji dan Akar Pinang (Areca catechu L.) yang Difermentasi dengan Konsorsium 18-20 Acetobacter–Saccharomyces sebagai Antiseptik Obat Kumur TITIN YULINERI, ERNAWATI KASIM, NOVIK NURHIDAYAT Pengkajian Kandungan Fitosterol pada Tanaman Kedawung (Parkia roxburgii G. Don.) 21-24 DJADJAT TISNADJAJA, SUCI LESTARI HIDAYAT, SUKMA SUMIRJA, PARTOMUAN SIMANJUNTAK Pemeriksaan Farmakognosi dan Penapisan Fitokimia dari Daun dan Kulit Batang Calophyllum 25-29 inophyllum dan Calophyllum soulattri SRI BUDI SULIANTI, EMA SRI KUNCARI, SOFNIE M. CHAIRUL Inventarisasi Anggrek di Cagar Alam Tinombala, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah 30-33 DYAN MEININGSASI SISWOYO PUTRI Jenis dan Komposisi Pakan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, 34-38 Kalimantan Selatan MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO, HADI SUKADI ALIKODRA, MUHAMMAD BISMARK, HERU SETIJANTO Variasi Jenis dan Kultivar Mangga di Madiun dan Sekitarnya; Pengembangan dan Permasalahannya 39-43 NURUL SUMIASRI, JITNO RIJADI, DODY PRIADI Hubungan antara Kerapatan Stomata dengan Ketahanan Kekeringan pada Somaklon Padi 44-48 Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64 ENDANG GATI LESTARI Analisis Vegetasi Hutan pada Beberapa Ketinggian Tempat di Bukit Wawouwai, Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara 49-53 PURWANINGSIH Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah 54-58 WAHYU WIDODO Morphological Study for Identification Improvement Tambra Fish (Tor spp.: Cyprinidae) from Indonesia 59-62 HARYONO, AGUS HADIAT TJAKRAWIDJAJA Keragaman Burung Air di Kawasan Hutan Mangrove Peniti, Kabupaten Pontianak 63-66 DEWI ELFIDASARI, JUNARDI Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman 67-72 Hutan Raya Ngurah Rai Bali YULIA RAHMA FITRIANA Pertumbuhan Vegetatif Padi Gogo dan Beberapa Varietas Nanas dalam Sistem Tumpangsari di Lahan 73-76 Kering Gunung Kidul Yogyakarta MUJI RAHAYU, DJOKO PRAJITNO, ABDUL SYUKUR Pengaruh Tiga Jenis Pupuk Nitrogen terhadap Tanaman Sayuran 77-80 WIDIATI HADI ADIL, NOVIANTI SUNARLIM, IKA ROOSTIKA Pengaruh Beberapa Jenis Media Tanam dan Pupuk Daun terhadap Pertumbuhan Vegetatif Anggrek 81-84 Jamrud (Dendrobium macrophyllum A. Rich.) I GEDE TIRTA 85-89 Perkecambahan Spora dan Siklus Hidup Paku Kidang (Dicksonia blumei Moore) pada Berbagai Media Tumbuh SRI HARTINI Fire Behavior in Pelalawan Peatland, Riau Province 90-93 BAMBANG HERO SAHARJO 94-99 REVIEW: Species Diversity of Local Fruit Trees in Kalimantan: Problems of Conservation and Its Development MUSTAID SIREGAR Gambar sampul depan: Vanda tricolor (FOTO: ALFIN WIDIASTUTI)

Terbit empat kali setahun


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.