Biodiversitas vol. 9, no. 1, January 2008 (abstract in English)

Page 1

ISSN: 1412-033X


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta

ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: unsjournals@yahoo.com; unsjournals@gmail.com. Online: www.unsjournals.com

TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000

ISSN: 1412-033X

TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 55/DIKTI/Kep/2005

PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno

SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo

PENYUNTING PELAKSANA: Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto (Ilmu Lingkungan)

BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.


PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan. Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.

Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya. PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.


ISSN: 1412-033X Januari 2008

BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 1-4

Sintesis Senyawa Flavonoid-α-Glikosida secara Reaksi Transglikosilasi Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan Synthesis of flavonoid-α-glicoside through transglycosylation by enzyme and its activities as antioxidant RINI HANDAYANI♥, JOKO SULISTYO Bidang Mikrobiologi,Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 11 Desember 2007. Disetujui: 30 Januari 2008.

ABSTRACT Flavonoid-α- glycoside was synthesized using enzyme of CGT-ase (EC.2.4.1.19) which was isolated from cultivated of Aspergillus oryzae. CGT-ase enzyme has optimum capability at the temperature of 40°C, pH 7 yielded 1.87 unit/mL while at pH 6 was 1.11 unit/mL. The pretest of CGT-ase transfer activity was carried out using resorcinol as an acceptor and commercial starch solution as the glucosyl donor. Subsequently, acceptor was replaced by crude extract of ginger, and wheat starch as donor. The other product of hydrolysis was separated by column chromatography, monitored by TLC which was showed a single spot. The Rf value was compared with the Rf value of arbutin standard, the Rf values were about the same which were 0.85 for product and 0.87 for arbutin standard. The sugar total of product synthesis was determined by the Dubois method, which was 628.0 ppm. The value is equivalent to 0.032% of the original starch. The antioxidant activity was analyzed by β-carotene method discoloration. The result showed that the strong antioxidant activities were in the following order: BHT>product>arbutin>crude extract of ginger. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Aspergillus oryzae ,CGT-ase, flavonoid-α-glicosidea.

PENDAHULUAN Antioksidan merupakan salah satu senyawa yang dapat menginaktifkan radikal bebas, molekul tidak stabil yang dihasilkan oleh berbagai jenis proses kimia normal tubuh atau oleh radiasi matahari, asap rokok dan pengaruhpengaruh lingkungan lainnya. Dewasa ini penambahan antioksidan sintetik pada berbagai produk kosmetik, farmasi maupun makanan merupakan cara paling efektif untuk mencegah oksidasi lemak pada produk, tetapi penggunaan antioksidan sintetik oleh masyarakat semakin berkurang, karena beberapa penelitian membuktikan adanya efek toksik dan karsinogenik pada tubuh manusia (Osawa et al., 1992). Antioksidan yang memberi efek negatif umumnya adalah butyated hidroxy anisole (BHA), butyated hidroxy toluene (BHT) dan propyle galate (PG) sehingga dilakukan usaha untuk mencari antioksidan alami yang berasal dari tumbuhan yang dianggap lebih baik dari antioksidan sintetik, khususnya apabila ditinjau dari segi kesehatan. Antioksidan alami terdapat dalam bagian daun, buah, akar, batang dan biji dari tumbuh-tumbuhan obat. Bagian tersebut umumnya mengandung senyawa fenol dan polifenol (Pratt,1992). Polifenol dan turunannya telah lama dikenal memiliki aktivitas antibakteri, antimelanogenesis, antioksidan dan antimutagen ( Ahn et al., 1991; Ioku et al., 1992; Funayama et al., 1994). Sebagai antioksidan

♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8765066. Fax. +62-21-8765063/62 e-mail: handayanirini@yahoo.co.uk

polifenol berperan sebagai penangkap radikal bebas penyebab peroksidasi lipid yang dapat menimbulkan kerusakan pada bahan makanan, selain itu menurut Sulistyo dkk. (1998) senyawa antioksidan berfungsi mencegah kerusakan sel dan DNA akibat adanya senyawa radikal bebas. Senyawa flavonoid yang merupakan salah satu golongan dari polifenol sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal dan masih digunakan secara terbatas. Hal ini dikarenakan senyawa flavonoid tidak stabil terhadap perubahan pengaruh oksidasi, cahaya, dan perubahan kimia, sehingga apabila teroksidasi strukturnya akan berubah dan fungsinya sebagai bahan aktif akan menurun bahkan hilang dan kelarutannya rendah. Kestabilan dan kelarutan dapat ditingkatkan dengan cara mengubah senyawa flavonoid menjadi bentuk glikosida melalui reaksi kimia maupun enzimatik dengan bantuan enzim transferase (Kometami et al., 1990). Sintesis senyawa flavonoid-α-glikosida secara kimia, selain tidak ekonomis juga tidak mudah karena akan menghasilkan produk campuran dengan konfigurasi α dan β-glikosida (Funayama et al.,1994). Sebaliknya sintesis senyawa glikosida melalui pemanfaatan reaksi transfer enzimatik dewasa ini telah menarik perhatian para ilmuwan (Kuriyawa et al., 1995). Oleh karena itu, sintesis flavonoidα-glikosida melalui reaksi transfer enzimatik menjadi pilihan untuk memperoleh senyawa yang relatif stabil dan memiliki kelarutan tinggi, Sulistyo et al. (1998) mempublikasikan bahwa enzim CGT-ase dapat dimanfaatkan dalam reaksi transglikosilasi dengan memakai senyawa flavonoid sebagai akseptor. Tujuan penelitian ini adalah untuk men-


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 1-4

BAHAN DAN METODE Biakan yang digunakan. Biakan yang digunakan yaitu Candida rugosa (Cr), Monascus (G3), Aspergillus oryzae (K1A), Rhizopus oryzae (RT1), dan Bacillus subtillis (JII1) adalah isolat dari koleksi Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong-Bogor. Ekstraksi enzim CGT-ase. Ekstraksi enzim CGT-ase dari biakan bakteri dan kapang diperbanyak pada media agar (PDA) dan diinkubasi pada suhu 27°C selama 5 hari. Setelah itu biakan disuspensikan dengan 5 mL akuades steril. Selanjutnya suspensi biakan diinokulasikan menurut metode Mori et al. (1994). Pengujian aktivitas enzim CGT-ase dan aktivitas transglikosilasi. Pengujian aktivitas enzim CGT-ase dilakukan menurut metode Funayama et al. (1993). Masingmasing contoh diukur aktivitasnya dengan spektrofotometer Perkin Elmer pada serapan λ 660 nm. Pengujian aktivitas transglikosilasi dilakukan menurut metode Sulistyo et al. (1998). Sintesis flavonoid-α-glikosida oleh enzim CGT-ase. Flavonoid-α-glikosida disintesis dalam campuran yang mengandung 5% tepung terigu, 5% ekstrak kasar jahe, 100 mL buffer fosfat 0,05 M pH 6,0 dan 50 mL enzim CGT-ase, serta 50 mL 1-heksanol dan diinkubasi pada suhu 400C selama 24 jam. Produk transfer yang dihasilkan dipekatkan dengan cara dievaporasi sampai volume 20 mL. Produk transfer. Kolom kromatografi diisi dengan matrik Okta Desil Silika (ODS) yang telah dilarutkan dalam metanol (1:5) kemudian disetarakan dengan metanol sebanyak tiga kali bed volume. Sampel yang telah dipekatkan dimasukkan ke dalam kolom yang berisi matrik dan disetarakan kembali dengan akuades yang mengandung asam format 1% dan metanol bertingkat 090%. Hasil elusi difraksinasi menggunakan pengumpul fraksi dan dianalisis dengan KLT. Fraksi yang menunjukkan spot tunggal serta nilai Rf sama dengan standar arbutin dikumpulkan untuk diuji aktivitasnya sebagai senyawa antioksidan menurut metode Andarwulan et al.(1999) dan dianalisis kandungan gula total pada produk menurut metode Dubois et al. (1956). Pengukuran aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan diuji menggunakan campuran β-karoten dan asam linoleat. Larutan β-karoten disiapkan dengan melarutkan 2,0 mg β-karoten dalam 10 mL kloroform. Dari larutan tersebut dipipet 1 mL ke dalam Erlenmeyer 100 mL lalu diuapkan sampai kering pada suhu 40°C. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 0,02 mL asam linoleat, 0,184 mL tween 80 dan 50 mL akuades yang sudah diaerasi. Kemudian diaduk menggunakan stirrer sampai terbentuk emulsi. Segera setelah terbentuk emulsi dipipet masingmasing 5 mL emulsi tersebut ke dalam setiap tabung yang sudah diisi dengan antioksidan dengan berbagai konsentrasi. Nilai absorbansi waktu ke-0 dan setiap selang 30 menit setelah diinkubasi pada suhu 50°C dibaca pada λ 470 nm. Nilai aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai nilai faktor protektif (FP) yang dihitung berdasarkan perbandingan nilai absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol pada saat 30 menit inkubasi (Andarwulan et al., 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi enzim CGT-ase Enzim CGT-ase, khususnya dari A. oryzae yang merupakan hasil seleksi dari berbagai biakan mikroba, diproduksi menggunakan media yang mengandung 2% pati terlarut komersial sebagai bahan penginduksi. Penambahan pati bertujuan agar enzim yang dihasilkan memiliki aktivitas terhadap substrat pati baik aktivitas hidrolitik maupun transglikosilasi. Enzim yang diperoleh merupakan enzim kasar CGT-ase, karena diduga ada enzim lain yang dihasilkan dengan penginduksi pati ini, seperti α-amilase. Kedua enzim ini dapat dibedakan dengan cara melakukan uji aktivitas transglikosilasi dari ekstrak enzim yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena α-amilase hanya memiliki aktivitas hidrolitik, sedangkan CGT-ase selain memiliki aktivitas hidrolitik dan transglikosilasi, baik intermolekuler yaitu mentransfer gugus glukosil dari donor ke akseptor yang sesuai maupun intramolekuler, mengubah pati menjadi siklodekstrin. Selanjutnya penginduksi maupun substrat diganti dengan mencoba berbagai jenis tepung yang kemampuannya mirip dengan pati komersial. Pengujian aktivitas enzim CGT-ase dilakukan dengan pati sebagai substrat. Kemampuan menghidrolisis pati diuji dengan menambahkan KI dalam I2 sehingga terbentuk larutan yang berwarna biru. Intensitas warna biru sebanding dengan konsentrasi pati yang tidak terhidrolisis, sehingga semakin banyak pati yang terhidrolisis, warna biru akan semakin memudar. Hasil uji pengaruh suhu dan pH terhadap aktivitas enzim menunjukkan bahwa CGT-ase dari A. oryzae mempunyai kemampuan optimum pada suhu 40°C (1,87 unit/mL) dan pH 6,0 (1,11 unit/mL), dapat diperiksa pada Gambar 1 dan 2.

1.2 Aktivitas Enzim (Unit/mL)

sintesis senyawa flavonoid-α-glikosida secara enzimatik menggunakan CGT-ase dari Aspergillus oryzae serta menguji aktivitas produk hasil reaksi transfer, sebagai antioksidan alternatif.

1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 5.5

6

6.5

7

7.5

8

8.5

9

pH

Gambar 1. Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim CGT-ase dari A. oryzae.

Aktivitas Enzim (Unit/mL)

2

2 1.5 1 0.5 0 35

40

45

50

55

60

65

70

Suhu (oC)

Gambar 2. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim CGT-ase dari A. oryzae.


HANDAYANI dan SULISTYO – Sintesis senyawa antioksidan flavonoid-α-glikosida

Aktivitas enzim CGT-ase sangat dipengaruhi oleh pH dan suhu agar aktivitasnya optimal, tetapi enzim ini akan kehilangan aktivitasnya akibat panas. Berdasarkan uji yang dilakukan diperoleh bahwa aktivitasnya akan menurun dengan meningkatnya suhu dan pH. Aktivitas enzim ini tidak akan meningkat lagi setelah pH >9. Aktivitas transfer Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas transfer CGTase dari berbagai biakan yang dapat mentransfer gugus glukosil pada akseptor resorsinol. Hasil produk resorsinol-αglikosida yang terbentuk diidentifikasi dengan KLT. Fasa diam yang digunakan dalam KLT adalah silika yang bersifat polar, sedangkan fase geraknya adalah larutan pengembang, terdiri dari propanol dan air dengan perbandingan (85:15). Senyawa non polar akan tertahan dengan nilai Rf rendah. Senyawa yang memiliki banyak gugus hidroksil akan bersifat polar, sehingga nilai Rf-nya akan lebih tinggi. Akseptor yang digunakan berasal dari senyawa fenol karena senyawa ini cenderung larut dalam air dan sering bergabung dengan gula glukosida yang memiliki gugus – OH dan tidak bersifat sebagai substrat enzim yang dapat menghambat aktivitas enzim CGT-ase. Nilai Rf produk merupakan perbandingan antara jarak spot produk yang terbentuk dibagi jarak pelarut. Hasil dari uji aktivitas transfer untuk seleksi biakan, di antaranya berasal dari biakan C. rugosa (Cr), Monascus (G3), A. oryzae (K1A), R. oryzae (RT1), dan B. subtillis (JII1), diperoleh dua jenis biakan lain yang mempunyai aktivitas transfer, yaitu Monascus (G3) dan A. oryzae (K1A). Selanjutnya kedua jenis biakan ini diuji aktivitas transfernya dengan mengganti substrat dengan tepung terigu dan

3

4

3

bekatul gandum serta akseptor resorsinol dan hidrokinon. Langkah selanjutnya adalah mengganti penginduksi dalam media produksi enzim CGT-ase dengan tepung terigu dan bekatul gandum, ternyata biakan dari A. oryzae (K1A) dengan penginduksi tepung terigu memberikan intensitas noda yang tinggi dibandingkan dengan bekatul gandum (Gambar 3.). Tahap berikutnya adalah mencoba berbagai jenis tepung sebagai substrat yang memiliki kemampuan mirip dengan pati terlarut komersial, jenis-jenis tepung yang digunakan diantaranya adalah: tepung beras, tepung terigu, tepung gandum, dan tepung kanji serta menggunakan akseptor resorsinol, ternyata tepung terigu merupakan jenis tepung terbaik sebagai pengganti pati terlarut komersial (Gambar 4.). Kemudian dari hasil ini, dicoba lagi dengan menggunakan akseptor yang berasal dari ekstrak kasar tumbuh-tumbuhan yaitu dari jenis temu-temuan di antaranya: jahe, kunir putih, temulawak, lengkuas, dan kencur. Ekstrak kasar temu-temuan ini direaksikan dalam sistem campuran reaksi dua lapisan (double layer) yaitu lapisan air dan alkohol, fungsi penambahan alkohol adalah untuk melarutkan senyawa yang belum larut dalam air. Alkohol yang digunakan adalah 1-heksanol 25%. Pada percobaan selanjutnya dilakukan dua jenis komposisi penambahan 1-heksanol yaitu 25 dan 50%. Setelah diinkubasi selama 24 jam, lalu diuji dengan KLT dari masing-masing lapisan yaitu lapisan air, alkohol, dan campuran keduanya, ternyata lapisan alkohol dengan komposisi 1-heksanol 25% memberikan hasil yang baik dengan nilai Rf 0,81 yang mendekati nilai Rf standar arbutin yaitu sebesar 0,82 seperti terlihat pada Gambar 5.

5

6

Gambar 3. Kromatogram KLT dari biakan G3 dan K1A dengan media penginduksi tepung terigu dan bekatul gandum: standar (S), maltosa (M), glukosa (G), metil-α-glukosida (MG), arbutin (A), oligosakarida (O), resorsinol glukosida (R1), resorsinol glukobiosida(R2), resorsinol glukotriosida (R3), G3 + tepung terigu (A), G3 + bekatul gandum (B), K1A + tepung terigu (C), K1A + bekatul gandum (D), K1A bekatul gandum + 5% bkt gandum (E), G3 bkt gandum + 5% gandum (F). Gambar 4. Kromatogram KLT dari biakan G3 dan K1A dengan media penginduksi tepung terigu dalam berbagai substrat dan akseptor resorsinol: standar (S), maltosa (M), glukosa (G), metil-α-glukosida (MG), arbutin (A), oligosakarida (O), resorsinol glukosida (R1), resorsinol glukobiosida (R2), resorsinol glukotriosida (R3), substrat pati (P), substrat tepung terigu (T), substrat bekatul gandum (B), substrat tepung kanji (K), substrat tepung beras (TB). Gambar 5. Kromatogram hasil uji reaksi transfer menggunakan donor tepung terigu dan akseptor ekstrak jahe: standar (S), maltosa (M), glukosa (G), metil-α-glukosida (MG), arbutin (A), flavonoid-α-glikosida (R1), flavonoid-α-glikobiosida (R2), 1-heksanol 50% (M1,A1,W1), 1heksanol 25% (M2,A2,W2), campuran (M), alkohol (A), air (W). Gambar 6. Kromatogram hasil pemurnian flavonoid-α-glikosida dengan tehnik kromatografi kolom: standar (S), arbutin (A), metil-αglikosida (MG), glukosa (G), maltosa (M), flavonoid-α-glikosida (R1). Fraksi nomor 165, 168, 170, 175, dan 180 adalah fraksi yang keluar pada pemisahan dengan metanol 40% dalam asam format 1%.


4

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 1-4

Sintesis dan pemurnian flavonoid-α-glikosida Hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim CGT-ase dari biakan A. oryzae (K1A) dengan donor tepung terigu dan akseptor ekstrak kasar jahe pada sistem reaksi dua lapisan mempunyai aktivitas transfer gugus glukosil yang tinggi. Produk transfer dan produk-produk hasil hidrolisis lainnya dapat dipisahkan dengan melewatkan campuran produk pada kolom kromatografi yang berisi matriks ODS. Prinsip pemisahan berdasarkan pada perbedaan polaritas dan kelarutan senyawa yang akan dipisahkan, karena matriks ODS sebagai fase stasioner yang bersifat non polar, maka digunakan pelarut organik yang bersifat polar sebagai fase gerak yang mengelusi sampel berdasarkan gradien konsentrasi, pelarut yang digunakan adalah metanol 20, 40, 60, 80% dalam asam format 1%. Senyawa yang polaritasnya tinggi (glukosa) akan keluar lebih awal, sedangkan produk transfer dengan kepolaran rendah akan keluar berikutnya diikuti oleh akseptor dengan kepolaran yang paling rendah. Gambar 6. menunjukkan kromatogram produk transfer hasil pemisahan dengan kromatografi kolom. Spot yang ditunjukkan oleh nomor fraksi 165, 168, dan 170 menunjukkan bahwa produk transfer telah terpisah dengan baik yaitu pada pemisahan dengan metanol 40%, meskipun intensitas noda yang dihasilkan tipis, nilai Rf dari produk transfer 0,85 hampir sama dengan standar arbutin yaitu 0,87. Penentuan konsentrasi produk transfer yang diperoleh dilakukan dengan metode Dubois dengan standar arbutin. Produk yang diperoleh memiliki konsentrasi 628,0 ppm. Aktivitas antioksidan Aktivitas antioksidan diuji dengan menggunakan sistem campuran β-karoten dan asam linoleat. Waktu pemucatan warna kuning dari β-karoten menunjukkan tinggi rendahnya aktivitas antioksidan. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk pemucatan maka kualitas antioksidan semakin baik. Waktu pemucatan kontrol adalah yang tidak ditambahkan antioksidan. Asam linoleat digunakan sebagai substrat penghasil radikal bebas yang akan menyerang β-karoten dan menyebabkan terjadinya pemucatan warna. Apabila suatu senyawa mempunyai aktivitas sebagai penangkap radikal bebas, maka senyawa tersebut melindungi βkaroten dari serangan radikal bebas, sehingga waktu pemucatan akan lebih lama. Tween 80 dalam uji ini berfungsi sebagai pengemulsi. Faktor protektif (Fp) dinyatakan sebagai aktivitas antioksidan. Fp diperoleh dari perbandingan nilai absorbansi sampel dibandingkan nilai absorbansi kontrol pada 30 menit waktu inkubasi. Nilai Fp pada konsentrasi 500 ppm dilakukan terhadap senyawa flavonoid-α-glikosida hasil síntesis, akseptor (jahe), arbutin, dan BHT sebagai senyawa antioksidan sintetik. Dengan berjalannya waktu inkubasi maka nilai absorbansi akan menurun. Hal ini menunjukkan kemampuannya sebagai antioksidan akan berkurang dan nilai faktor protektifnya semakin kecil. Flavonoid-α-glikosida sebagai senyawa antioksidan alternatif menunjukkan aktivitas antioksidan lebih tinggi dari akseptor (jahe), maupun polifenol komersial yaitu arbutin, meskipun aktivitasnya lebih rendah dari BHT (antioksidan komersial) tetapi sebagai senyawa alamiah flavonoid-α-glikosida memiliki aspek keamanan yang lebih baik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Senyawa BHT, sebagai bahan sintetik yang sering digunakan sebagai antioksidan, memiliki nilai protektif paling tinggi dibandingkan flavonoid-

α-glikosida, akseptor, dan arbutin (nilai protektif tidak diuji secara statistik) (Gambar 7).

0.5 0.45 0.4 0.35

Kontrol

0.3

FG

Absorbansi 0.25

Arbutin

0.2

BHT

0.15

Akseptor

0.1 0.05 0 0

30

60

90

120

Waktu inkubasi (m enit)

Gambar 7. Perbandingan absorbansi terhadap waktu inkubasi pada konsentrasi antioksidan 500 ppm.

KESIMPULAN Enzim CGT-ase dari Aspergillus oryzae (K1A) dapat bekerja optimal pada suhu 40°C dan pH 7 yaitu 1,87 unit/mL dan pada pH 6 1,11 unit/mL. Enzim CGT-ase dari A. oryzae (K1A) dapat digunakan untuk mensintesis senyawa flavonoid-α-glikosida dengan donor tepung terigu dan akseptor ekstrak kasar jahe. Hasil pengujian aktivitas antioksidan produk diperoleh nilai faktor protektif (Fp) pada konsentrasi 500 ppm adalah BHT>flavonoid-α-glikosida >arbutin>ekstrak kasar jahe. DAFTAR PUSTAKA Ahn, Y.J., T. Kawamura, M. Kim, T. Kawamoto, and T. Mitsuoka. 1994. Tea poliphenols as inhibitors of Clostridium sp. Agricultural and Biological Chemistry 55 (5): 425-1426. Andarwulan, N., D. Fardiaz, G.A. Wattimena and K. Shetty. 1999. Antioxidant activity associated with lipid and phenolic mobilization during seed germination of Pangium edule Reinw. Journal of Agricultural and Food Chemistry 47 (8):3158-3163. Dubois, M., K. Giles and J.K. Hamilton. 1956. Colorimetric method for determination of sugar. Analytical Chemistry 28: 356-359. Funayama, M., H. Arakawa, R. Yamamoto. T. Nishino, T. Shin and S. Murao. 1994. A new microorganism producing a glucosyl transfer enzyme to polyphenols. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 58 (5): 817821. Ioku, K., J. Terao and N. Nakatami. 1992. Antioxidative activity of arbutin in a solution and liposoma suspensión. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 56 (10): 168-1659. Kometami, T., Y. Terada, T. Nishimura, T. Nakae, H. Takii and Okada. 1996. Acceptor specificity of cyclodextrin glucanotransferase from an alkalophilic Bacillus species and synthesis of glycosyl rhamnose. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 60 (7): 1176-1178. Kuriyawa, K., K. Tsuchitya and T. Murni. 1995. Some properties on transglycosilation activity as sesame β-glucosidase. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 59: 1142-1143. Mori, S., S. Hirose, T. Oya and S. Kitahata. 1995. Purufication and properties of cyclodextrin glucanotransferase from Brevibacterium sp. No. 9605. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 58 (11): 1968-1972. Osawa, T., Katsuzaki, H. Hagiwara, and T. Shibamoto. 1992. A novel antioxidant isolated from young green barley leaves. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 1135. Pratt, D.E. 1992. Natural antioxidant from plant. In: Lee, C.Y. (ed). Phenolic Compounds in Food and their Effect on Health II, Antioxidants and Cancer Prevention. Washington D.C.: American Chemical Society. Sulistyo, J., Y.S. Soeka dan A.K Karim. 1998. Sintesis polifenol-α-glikosida oleh CGT-ase secara reaksi transglikosalasi. Jurnal Biologi Indonesia 2 (3): 156-161.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 5-8

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik Isolat Lokal yang Berpotensi untuk Mengendalikan Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Isolation and selection of local isolates of chitinolitic bacteria that potent to biocontrol of larva stadia of Aedes aegypti L. SRI PUJIYANTO♥, ENDANG KUSDIYANTINI, MOCHAMMAD HADI Jurusan Biologi FMIPA Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang 50275 Diterima: 30 Nopember 2007. Disetujui: 30 Januari 2008.

ABSTRACT The dengue fever was the most dangerously epidemic in Indonesia, so it is important to prevent the population of Aedes aegypti L. The larva stages of Ae. aegypti had an exosceleton from chitin, so if its exosceleton had been degraded the larva would be died. Many bacteria had chitin degradation activities, and the bacteria had potential as a biocontrol for Ae. aegypti larva stages. This research was got many of the local chitinolitic bacteria that had been potential as a biocontrol for Ae. aegypti larva stages. The chitinolitic bacteria were isolated with selective agar medium. The sources of isolates were collected from Central Java and West Java water resources. Selected isolates was done to get the higher chitinolitic activity in mineral water medium. The isolate LMB1-5 was potential as a bioinsecticide for Ae. aegypti larva stages. This isolate decreased 86.7% of the larva population in 7 days. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: chitinolitic bacteria, dengue fever, Aedes aegypti L, biocontrol.

PENDAHULUAN Penyakit demam berdarah dengue merupakan masalah kesehatan paling besar di Indonesia. Penyakit ini adalah penyakit daerah tropis, disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti L. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Laporan yang ada sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue sudah menjadi masalah yang endemis pada 122 daerah tingkat II, 605 daerah kecamatan dan 1800 desa/kelurahan di Indonesia. Berjangkitnya penyakit demam berdarah dengue di berbagai wilayah Indonesia terjadi hampir di sepanjang waktu dalam satu tahun, terutama pada musim hujan (Darmowandono, 2004). Pengendalian populasi nyamuk Ae. aegypti sangat penting dalam rangka pencegahan terjadinya wabah penyakit demam berdarah, karena tanpa perantaraan nyamuk ini, virus dengue penyebab demam berdarah tidak dapat menginfeksi tubuh manusia. Berbagai tindakan yang telah dilakukan masyarakat dalam rangka pencegahan terjadinya wabah demam berdarah antara lain melalui pengasapan (fogging), gerakan “pemberantasan sarang nyamuk” dan abatisasi. Meskipun tindakan-tindakan tersebut sudah sangat sering dilakukan di masyarakat, namun sampai saat ini wabah demam berdarah belum juga dapat teratasi. Untuk itu perlu adanya diversifikasi metode

♥ Alamat korespondensi: Kampus UNDIP Tembalang Semarang 50275 Tel.: +62-24-70799494. Fax.: +62-24-76480923 e-mail: spujiyanto@hotmail.com

pengendalian nyamuk Ae. aegypti dengan metode yang ramah lingkungan, yaitu pengendalian hayati dengan menggunakan musuh alami nyamuk tersebut (Axtell dan Guzman, 1987). Siklus hidup nyamuk ini dari telur sampai dewasa sedikitnya membutuhkan waktu 7 hari, tetapi pada umumnya berkisar antara 10-12 hari (Service, 1996). Pengendalian populasi pada tahap larva lebih mudah dilakukan dibandingkan tahap lain dari fase hidup nyamuk. Pengendalian hayati yang telah dilaporkan pada larva nyamuk ini antara lain menggunakan jamur air Lagenidium giganteum (Banani et al., 2002; May dan Gheynst, 2002). Beberapa bakteri tanah seperti: Streptomyces (Okazaki et al., 1995, Tsujibo et al., 1995), Bacillus (Mitsutomi et al., 1995), Aeromonas (Ueda et al., 1996), Serratia (Krishnan et al., 1999), Enterobacter (Chernin et al., 1995), Pseudomonas (Wang et al., 1997), Arthrobacter (Okazaki et al., 1999) dan Vibrio (Svitil et al., 1997) dilaporkan memiliki aktivitas kitinolitik, yakni mampu menguraikan kitin. Kemampuan ini menyebabkan kelompok bakteri tersebut berpotensi besar untuk dimanfaatkan, misalnya: sebagai penghasil enzim kitinase yang berguna dalam industri pangan, kosmetik, farmasi, dan lain-lain. Bakteri kitinolitik berpotensi pula sebagai pengendali hayati beberapa jenis fungi patogen (Pujiyanto et al., 2004). Potensi lain dari bakteri kitinolitik yang sampai saat ini belum pernah dilaporkan adalah kemungkinannya digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap nyamuk khususnya Ae. aegypti yang merupakan vektor penyebab penyakit demam berdarah. Hal ini didasarkan bahwa komponen eksoskeleton nyamuk tersebut tersusun dari bahan kitin sehingga secara logika dapat didegradasi oleh enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik. Kerusakan struktur eksoskeleton larva nyamuk dapat berakibat pada gangguan pertumbuhan dan kematian.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 5-8

Isolasi bakteri kitinolitik dilakukan dari sampel air yang diperoleh dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada penelitian ini telah dilakukan isolasi bakteri kitinolitik dari 72 contoh air. Dari 72 contoh air tersebut telah diperoleh 151 isolat bakteri kitinolitik. Ke-151 isolat bakteri tersebut dipelihara dalam medium agar kitin dan disimpan o pada suhu 4 C sebelum diuji lebih lanjut. Hasil seleksi ini diperoleh 10 isolat yang memiliki nilai tertinggi dan ditetapkan sebagai isolat untuk diuji kemampuannya dalam mengendalikan larva nyamuk. Kesepuluh isolat tersebut selanjutnya diuji kemampuannya dalam mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti. Sebelum diujicobakan kemampuannya dalam mengendalikan larva nyamuk, kesepuluh isolat ini terlebih dahulu diperbanyak dalam medium cair selama 18 jam. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sel aktif bakteri dalam jumlah yang cukup. Hasil pengujian kesepuluh isolat bekteri kitinolitik dalam mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti dapat dilihat pada Tabel 1 serta diagram pada Gambar 1.

Tabel 1. Mortalitas larva nyamuk Ae. aegypti setelah perlakuan bakteri kitinolitik selama 7 hari No Kode

Mortalitas (%) 6,67 16,67 0,00 6,67 13,33 10,00 3,33 86,67 43,33 10,00 6,67

JtKLT-1 B6 Kontrol Cw KLt-2 NjMGL-8 JPR2-2 MkMGL-2 LMB1-5 LMB2-3 LMB1-3 LMB1-7

100 90 80 70 60 50 40 30 20

LMB1-7

LMB1-3

LMB2-3

LMB1-5

MK MGL2

JPR2-2

CW KLT-2

0

NJ MGL-8

10 K

Bahan dan isolat. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: media agar kitin (0,5 % koloid kitin, 0,1% MgSO4.7H2O, 0,02% K2HPO4, 0,1% ekstrak yeast, 1.5% agar), Media kitin cair (0,3 % koloid kitin, 1% pepton, 0,5% ekstrak yeast, 0,1% NaCl, 0,1% K2HPO4, 0,05% MgSO4.7H2O, 0,001% FeSO4.7H2O, 0,001% ZnSO4.7H2O, dan masing-masing 0,0001% CuSO4.5H2O, MnSO4.nH2O dan CaCl2.2H2O pH 7), larva nyamuk Ae. aegypti (koleksi Balai Penelitian Vektor dan Reservoar Penyakit, Salatiga) Isolasi dan seleksi bakteri kitinolitik. Bakteri kitinolitik diisolasi dan dikoleksi dari sampel air yang diambil dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Satu mililiter sampel diencerkan dalam larutan garam fisiologis steril lalu dicawankan pada media agar kitin dan diinkubasi selama 48-72 jam pada suhu 30oC. Koloni-koloni yang tumbuh dan membentuk zona bening (halozone) di sekitarnya merupakan isolat kitinolitik. Isolat yang diperoleh o disimpan pada suhu 4 C untuk pemeliharaan (Pujiyanto et al., 2002). Seleksi isolat dilakukan dengan cara menumbuhkan kembali secara serentak semua isolat dengan cara ditotolkan pada media agar kitin. Setelah diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30oC, ditentukan indeks kitinolitiknya. Sepuluh isolat yang memiliki nilai tertinggi ditetapkan sebagai isolat terpilih untuk diuji kemampuannya dalam mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti. Pembuatan media kultur bakteri. Media kultur terdiri dari 0,3% koloidal kitin, 1% pepton, 0,5% ekstrak yeast, 0,1% NaCl, 0,1% K2HPO4, 0,05% MgSO4.7H2O, 0,001% FeSO4.7H2O, 0,001% ZnSO4.7H2O, dan masing-masing 0,0001% CuSO4.5H2O, MnSO4.nH2O, CaCl2.2H2O. Selain koloid kitin semua bahan tersebut disterilkan selama 15 o menit pada suhu 121 C lalu pH media ditepatkan 7. Koloid kitin disterilkan secara terpisah dan baru dicampur dalam keadaan steril. Perbanyakan sel bakteri kitinolitik. Sebanyak 1% starter masing-masing isolat diinokulasikan ke dalam 100 mL media kultur (perbanyakan), dan diinkubasi dengan kecepatan 120 rpm dengan rotary shaker pada suhu 30oC sampai mencapai OD 0,5 pada panjang gelombang 600 nm. Bioassay kemampuan bakteri kitinolitik. Uji pengendalian larva nyamuk dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Sebagai perlakuan adalah jenis isolat bakteri kitinolitik (6 isolat) dan konsentrasi inokulum mikroba. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Sepuluh ekor larva nyamuk Ae. aegypti stadium instar kedua dalam 150 mL medium di dalam wadah plastik diinokulasi dengan biakan mikroba sebanyak 0,1, 0,5 dan 1 mL (May dan Gheynst, 2002). Parameter

HASIL DAN PEMBAHASAN

B6

BAHAN DAN METODE

yang diamati adalah mortalitas larva nyamuk selama 5 hari. Viabilitas bakteri kitinolitik dievaluasi dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC) pada medium agar kitin.

JtKLT-1

Mengingat besarnya potensi pemanfaatan bakteri kitinolitik sebagai agen pengendali hayati larva nyamuk Ae. aegypti, perlu dilakukan penelitian awal tentang kemampuan bakteri kitinolitik akuatik isolat lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri kitinolitik yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan populasi larva nyamuk Ae. aegypti pada skala laboratorium. Tujuan jangka panjangnya adalah untuk mendapatkan formula unggul yang dapat digunakan sebagai agen bioinsektisida untuk mengendalikan nyamuk Ae. aegypti sehingga dapat digunakan sebagai cara pencegahan timbulnya wabah demam berdarah.

Mortalitas larva Aedes aegypti (%)

6

Isolat

Gambar 1. Kematian larva nyamuk Ae. aegypti setelah perlakuan bakteri kitinolitik selama 7 hari.


PUJIYANTO dkk. – Bakteri kitinolitik pengendali larva Aedes aegypti Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat LMB1-5 merupakan isolat yang paling berpotensi menyebabkan kematian larva nyamuk Ae. aegypti. Sementara itu sembilan isolat yang lain tidak menunjukkan adanya kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan larva nyamuk. Kemampuan isolat LMB1-5 dalam mengendalikan populasi larva sudah terlihat mulai 48 jam perlakuan. Pada perlakuan 48 jam, isolat ini telah dapat menyebabkan mortalitas larva sebesar 76,7% dan seterusnya meningkat terus sampai mencapai 86,7%. pada hari ke 7. Perbandingan kemampuan masing-masing isolat dalam mengendalikan larva nyamuk disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan data jumlah kematian larva nyamuk, terlihat bahwa isolat LMB1-5 merupakan isolat yang sangat berpotensi digunakan sebagai bioinsektisida. Kematian larva ini diduga disebabkan larva mengalami kerusakan struktur eksoskeleton akibat terdegradasi oleh aktivitas kitinase yang dihasilkan oleh bakteri kitinolitik. Degradasi kitin ini terutama dilakukan oleh mikroorganisme, dimana kitin dapat merupakan sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhannya (Gooday, 1990). Menurut Gooday (1990), terdapat dua macam lintasan perombakan kitin. Lintasan perombakan kitin yang belum diketahui disebut kitinoklastik, sedangkan jika lintasan tersebut melibatkan hidrolisis ikatan β (1,4) glikosida, maka prosesnya disebut kitinolitik. Hidrolisis ikatan ini dilakukan oleh enzim kitinase. Eksokitinase memecah bagian diasetilkitobiosa dari ujung non reduksi dari suatu rantai kitin, sedangkan endokitinase memecah bagian ikatan glikosida rantai kitin secara acak dan menghasilkan diasetilkitobiosa sebagai hasil utama yang bersama-sama dengan triasetil kitobiosa akan dirombak secara perlahan menjadi disakarida dan monosakarida.

A

B

7

Kerusakan stuktur eksoskeleton pada larva dapat berakibat pada terganggunya proses pertumbuhan dan proses metabolisme tubuh lainnya (May dan Vander Gheynst, 2002). Terganggunya proses metabolisme sangat memungkinkan menyebabkan terjadinya kematian larva. Kerusakan struktur ini dapat diamati pada larva yang mati akibat perlakuan bakteri kitinolitik dengan bantuan mikroskop (Gambar 2). Selain berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva, bakteri kitinolitik juga berpengaruh terhadap perubahan morfologi larva yaitu terbentuknya pupa dan imago. Pada perlakuan dengan bakteri isolat LMB1-5 sampai akhir penelitian tidak ada satu ekorpun larva yang dapat berubah menjadi pupa dan imago. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa eksoskeleton dari larva telah mengalami kerusakan sehinggga tidak memungkinkan larva mengalami metamorfosis. Pada perlakuan larva dengan bakteri selain isolat LMB1-5, menunjukkan adanya perubahan morfologi larva yang dapat ditunjukkan oleh banyaknya jumlah larva yang bermetamorfosis menjadi pupa dan imago (Gambar 3). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi inokulum bakteri yang ditambahkan ke dalam media pemeliharaan larva, semakin tinggi mortalitas larva (Gambar 4). Pada larva Ae. aegypti, pemberian 0,1 mL inokulum menyebabkan kematian larva sebesar 56,3%, meningkat menjadi 66,7% pada pemberian inokulum 0,5 mL dan pada pemberian 1 mL inokulum menyebabkan kematian larva sebesar 100%. Potensi bakteri isolat LMB1-5 ini juga didukung oleh viabilitas yang tinggi dari bakteri ini. Hasil pengujian menunjukkan bahwa isolat LMB1-5 ini memiliki viabilitas yang tinggi. Setelah diperlakukan untuk mengendalikan

C

Gambar 2. Kerusakan struktur eksoskeleton pada larva yang mati karena perlakuan bakteri kitinolitik (A) , larva mati pada kontrol (B), larva hidup (C).


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 5-8

8

larva nyamuk selama 132 jam, populasi bakteri ini dalam 8 media menunjukkan jumlah 5,3x10 . Hal ini menunjukkan bahwa viabilitas bakteri ini dalam media air sangat bagus. Viabilitas ini sangat penting jika suatu mikroba akan diaplikasikan di lapangan (Banani et al., 2002). Berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki isolat bakteri LMB15 yang terlihat selama pengujian yaitu: memiliki kemampuan tinggi dalam mengendalikan larva nyamuk, mudah diperbanyak serta memiliki viabilitas yang tinggi maka isolat LMB1-5 ini sangat berpotensi untuk dikaji dan dikembangkan sebagai galur pengendali nyamuk Ae. aegypti sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pencegahan timbulnya wabah demam berdarah.

86,7% dalam waktu 7 hari. Isolat bakteri kitinolitik LMB1-5 ini sangat berpotensi dikaji dan dikembangkan sebagai galur untuk pengendalian larva nyamuk Ae. aegypti. Perlu dilakukan penelitian untuk melihat potensi kitinase dari isolat isolat kitinolitik LMB1-5 ini, dalam mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Negara Riset dan Teknologi melalui Program Insentif Riset Dasar yang telah membiayai penelitian ini.

Pupa dan Imago (%)

70

DAFTAR PUSTAKA

60 50 40

Pupa

30

imago

20 10

K

L N T-2 jM G L8 JP R 2M 2 K M G LLM 2 B 1LM 5 B 2LM 3 B 1LM 3 B 17

K C W

B6

Jt KL T1

0

Isolat

Gambar 3. Perubahan morfologi larva Ae. aegypti setelah pemberian isolat bakteri kitinolitik.

100

Kematian larva (%)

80

60

40

20

0 K

0,1

0,5

1,0

Jum lah inokulum (m L)

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi inokulum isolat bakteri LMB1-5 terhadap kematian larva Ae. Aegypti.

KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi satu isolat bakteri kitinolitik (isolat LMB1-5) yang memiliki kemampuan besar dalam mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti. Bakteri ini dapat menyebabkan kematian larva sebesar

Axtell, R. C., and D.R. Guzman. 1987. Encapsulation of the mosquito fungal pathogen Lagenidium giganteum (Oomycetes:Lagenidiales) in calcium alginate. Journal of the American Mosquito Control Association 3: 450459 Banani, S., V. Bihari, A. Sharma and A.K. Joshi. 2002. Studies on physiology, zoospore morphology and entomopathogenic potential of the aquatic oomycete: Lagenidium giganteum. Mycophatologia. 154: 51-54. Chernin, L., Z. Ismailov, S. Haran and I. Chet. 1995. Chitinolytic Enterobacter agglomerans, antagonistic to fungal plant patogens. Applied and Environmental Microbiology 61: 1720-1726. Darmowandono, W. 2004. Demam Berdarah Dengue. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya: Fakultas Kedokteran. Universitas Airlangga. Gooday, G.W. 1990. Physiology of microbial degradation of chitin and chitosan. Biodegradation 1 (2-3): 177-190. Krishnan, H.B., K.Y. Kim and A.H. Krishnan. 1999. Expression of Serratia marcescens chitinase gene in Sinorhizobium fredii USDA 191 and S. meliloti RCR 201 impedes soybean and alfalfa nodulation. Molecular Plant-Microbe Interactions 12: 748-751. May, B.A., and J. S. Vander Gheynst. 2002. A predictor variable for efficacy of Lagenidium giganteum produced in solid-state cultivation. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology 27: 203-207. Mitsutomi, M., H.Kidoh, H.Tomita and T. Watanabe. 1995. The action of Bacillus circulans WL-12 chitinases on partially N-acetylated chitosan. Biosci. Biotech. Biochem. 59: 529-531. Okazaki, K., F. Kato, N. Watanabe, S. Yasuda, Y. Masui and S. Hayakawa. 1995. Purification and properties of two chitinases from Streptomyces sp. J-13-3. Biosci. Biotech. Biochem. 59: 1586-1587. Okazaki, K., T. Kawabata, M. Nakano and S. Hayakawa. 1999. Purification and Properties of Chitinase from Arthrobacter sp. NHB-10. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 63: 1644-1646. Pujiyanto, S., D.A. Santosa dan M.T. Suhartono. 2002. Kloning shotgun gen penyandi enzim kitinase dari isolat kitinolitik ICBB232 asal ekosistem air hitam, Kalimantan Tengah. Bioma. 4:7-12 Pujiyanto, S., D.A. Suprihadi, Wijanarka dan S. Purwantisari. 2004. Potensi Bakteri Kitinolitik Isolat Lokal untuk Memproduksi Enzim Kitinase dan Mengendalikan Kapang Patogen. [Laporan Penelitian]. Semarang: FMIPA UNDIP. Service, M.W. 1996. Medical Entomology. Chapman and Hall. London. Svitil, A. L., S.M. Chadhain, J. A. Moore and D. L. Kirchman. 1997. Chitin degradation proteins produced by the marine bacterium Vibrio harveyi growing on different forms of chitin. Applied and Environmental Microbiology 63: 408-413. Tsujibo, H., H. Endo, K. Miyamoto and Y. Inamori. 1995. Expression in E. coli of a gene encoding a thermostable chitinase from Streptomyces thermoviolaceus OPC-520. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 59: 145-146. Ueda, M., M. Shiro, T. Kawaguchi and M. Arai. 1996. Expression of chitinase III gen of Aeromonas 10S-24 in E. coli. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry 60: 1195-1197. Wang, S.L., S.H. Chiou and W.T. Chang. 1997. Production of chitinase from shellfish waste by Pseudomonas aeruginosa K-187. Proceeding of the National Science Council of R.O.C. 21: 71-78.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 9-12

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Pertumbuhan In vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) pada Berbagai Bahan Pemadat Alternatif Pengganti Agar The growth of cassava (Manihot esculenta Crantz) on various alternative gelling agents DODY PRIADI♼, HANI FITRIANI, ENNY SUDARMONOWATI Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 20 Nopember 2007. Disetujui: 27 Desember 2007.

ABSTRACT Gelling agents which is an important component in plant tissue culture media is considered expensive which causes high cost of plant micropropagation in developing countries. The objective of the study was to evaluate various commercial starches (hunkue, sago, tapioca, maize and arrowroot) and food agars for substitution of standard technical agar which commonly used in tissue culture medium. Young stem cuttings with five buds of cassava (Manihot esculenta Crantz. genotype Iding and Gebang) cultured on MS hormone-free media solidified with those starches and agars. Parameters observed were total and length of shoots and rate of contamination. Result of study showed that the highest total shoots (2.45) on genotype Iding obtained from Agar Swallow 0.8% (control), meanwhile on Gebang (2.85) obtained from tapioca 25%. The highest shoot length on genotype Iding (17.2 mm) obtained from maize, meanwhile on Gebang obtained from agar Sinar Kencana 2% (8.95 mm). Contamination rate of explants caused by bacteria or fungi on genotype Iding was 30-70%, meanwhile on Gebang was 20-60%. Further study needs to be done to evaluate more gelling agents from different sources and their combinations. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: medium, gelling agents, agar, starch, cassava (Manihot esculenta Crantz).

PENDAHULUAN Bahan pemadat (gelling agents) merupakan salah satu komponen yang penting di dalam media kultur jaringan tanaman maupun mikroorganisme. Media yang dipadatkan secara sempurna dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan jaringan tanaman maupun mikroorganisme, karena dapat memelihara proses biokimia dan fisiologisnya (Maliro dan Lameck, 2004). Bahan pemadat yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman adalah jenis agar standar khusus untuk kultur jaringan tanaman yang umumnya masih diimpor, misalnya merek Bacto, Oxoid atau Gelrite dan Phytagel. Salah satu kendala penggunaan bahan pemadat impor di negara sedang berkembang seperti Indonesia adalah harganya yang mahal, dan kadang kala memerlukan waktu yang relatif lama untuk memperolehnya. Hal ini mendorong para peneliti di negara berkembang untuk mencari bahan pemadat alternatif dari berbagai tumbuhan umbi-umbian dan sereal, misalnya dari pati ubi kayu (Dabai dan Muhammad, 2005) dan guar gum (diisolasi dari endosperma Cyamopsis tetragonoloba), isubgol (diisolasi dari kulit biji Plantago ovata) (Jain dan Babbar, 2004) dan tepung maizena (Henderson dan Kinnersley, 1988; Wattimena et al., 1994), serta menggunakan bahan tanaman anggrek, kentang, ubi kayu dan sebagainya. Derajat kepadatan bahan pemadat media terutama agar ♼ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588 e-mail: d_priadi@telkom.net

teknis standar kultur jaringan tanaman bergantung kepada konsentrasi dan derajat keasaman (pH). Kepadatan yang optimum biasanya tercapai pada pH 5,0-6,0 (Hartmann et al., 1990). Karakteristik pati atau bahan pemadat non agar lainnya berbeda dengan agar, sehingga untuk mencapai kepadatan yang optimum diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi, seperti halnya campuran pati kentang dan gelatin (4% dan 8%) (Ibrahim et al., 2005). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi bahan pemadat alternatif dari beberapa jenis pati (tepung) dan agar-agar bahan kue sesuai perlakuan, serta mengidentifikasi pengaruhnya terhadap pertumbuhan stek muda ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) secara in vitro sebagai tanaman model.

BAHAN DAN METODE Bahan pemadat dan sumber eksplan Bahan pemadat yang diuji adalah berbagai jenis pati dan agar-agar kue yang diperoleh dari pasar tradisional maupun swalayan. Pada penelitian ini, agar Swallow tanpa zat pewarna digunakan sebagai kontrol karena sudah umum digunakan di laboratorium, sebagai alternatif agar standar kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan melalui multiplikasi tunas majemuk. Meskipun harga agar Swallow relatif lebih mahal dari pada agar batangan, penggunaan agar Swallow yang berbentuk serbuk dinilai lebih praktis dan murni, serta diperlukan dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit pula untuk mengolahnya. Masing-masing bahan pemadat dari agar komersial maupun pati yang digunakan pada penelitian ini


10

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal.9-12

ditambahkan ke dalam media sehingga diperoleh kepadatan yang sesuai untuk kultur jaringan tanaman. Sebagai tanaman model digunakan eksplan tunas pucuk dari stek muda ubi kayu (M. esculenta) unggul (mempunyai kandungan amilosa atau amilopektin yang tinggi) yang berdiameter 5 mm dan mempunyai 5 mata tunas, dikoleksi secara langsung dari Kebun Koleksi Ubi Kayu Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong-Bogor. Pertimbangan ubi kayu digunakan sebagai eksplan model pada penelitian ini karena mudah diperoleh dan cepat tumbuh serta teknik sterilisasi dan perbanyakannya sudah diketahui. Secara rinci bahan pemadat dan eksplan yang digunakan pada penelitian ini dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

minggu. Data dianalisis dengan Sidik Ragam dan dilanjutkan dengan DMRT menggunakan paket perangkat lunak statistik SPSS 11.0. Ringkasan rancangan percobaan tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Ringkasan kombinasi perlakuan faktorial pengaruh jenis bahan pemadat terhadap parameter pertumbuhan serta laju kontaminasi. Perlakuan Faktor I

Jenis bahan pemadat (%): 1. Agar kue Swallow (Kontrol) 2. Agar kue Sinar Kencana Argapura 3. Tepung hunkue Achille 4. Tepung sagu Alini 5. Tepung tapioka Alini 6. Tepung maizena Hero Save 7. Tepung ubi garut

Faktor II

Jumlah tunas Tinggi tunas Laju kontaminasi (%)

Tabel 1. Jenis bahan pemadat dan eksplan yang digunakan pada penelitian. Jenis bahan pemadat

Kode

Agar kue Swallow (kontrol) Agar kue Sinar Kencana Tepung hunkue Achille Tepung sagu Alini Tepung tapioka Alini Tepung maizena Hero Save Tepung ubi garut

ASW ASK HUN SAG TAP MAI GAR

Genotipe ubi kayu Iding Iding Iding Iding Iding Iding Iding

Gebang Gebang Gebang Gebang Gebang Gebang Gebang

Persiapan media dan inkubasi Media yang digunakan adalah media basal MS (Murashige-Skoog) ditambah dengan 4% sukrosa komersial (gula pasir) tanpa ditambah zat pengatur tumbuh. Media diatur pH-nya menjadi 5,8 sebelum ditambah bahan pemadat (agar atau pati) sesuai dengan perlakuannya. Media dibuat dengan dua cara. Cara pertama yaitu larutan media dipanaskan di atas alat pemanas sampai mencapai titik didihnya, lalu dituangkan ke botol kultur, kemudian disterilisasi. Cara kedua yaitu media disterilisasi terlebih dahulu kemudian dituangkan ke botol-botol selai yang sudah disterilkan sebelumnya dengan volume sekitar 10 mL. Media disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121ÂşC (1,5 atm) selama 20 menit. Tunas ubi kayu diperoleh dari stek yang ditanam di rumah kaca. Eksplan disterilisasi permukaan menggunakan berbagai sterilan sebagai berikut: air mengalir yang ditambah detergen selama 30 menit, fungisida 4% Dithane M (30 menit), 0,1% fungisida Masalgin (30 menit), 0,1% HgCl2 (3-5 menit) dan etanol 70% (5 menit). Di antara tahapan sterilan, eksplan dicuci beberapa kali menggunakan akuades steril dan dilakukan di dalam laminar air flow. Kultur disimpan pada ruangan kultur bersuhu 25-28ÂşC dengan fotoperiode 8 jam terang dan 16 jam gelap. Pengamatan kontaminasi Pengamatan kontaminasi kultur dilakukan untuk mengetahui saat kontaminasi muncul dan tingkat eksplan yang kontaminasi selama penelitian. Pengamatan dilakukan secara visual setiap hari selama 2 minggu. Disain percobaan Penelitian disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 ulangan (jumlah tunas) dan 4 ulangan (tinggi tunas). Faktor pertama adalah jenis bahan pemadat dan faktor kedua adalah parameter pertumbuhan (jumlah dan tinggi tunas) serta laju kontaminasi. Jumlah tunas dan laju kontaminasi diamati setiap dua hari, sedangkan tinggi tunas diamati setelah kultur berumur 2

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi optimum bahan pemadat Agar Media yang dipadatkan dengan agar secara umum warnanya lebih transparan tergantung dari tingkat kemurniannya, semakin murni agar yang digunakan semakin sedikit jumlah agar yang dibutuhkan untuk membuat media. Agar Swallow (kontrol) lebih murni dari pada agar Sinar Kencana sehingga kebutuhan agar Swallow (0,8 g) lebih sedikit dari pada agar Sinar Kencana (2,0 g). Media yang transparan diperlukan untuk pengamatan perakaran. Keuntungan penggunaan agar sebagai bahan pemadat media adalah karena agar dapat dicairkan kembali sewaktu-waktu menggunakan alat pemanas atau oven “microwave�, setelah disimpan dalam keadaan padat. Sifat negatif agar adalah dapat mengikat air dan menyerap senyawa dari media sehingga dapat mengurangi penyerapan zat pengatur tumbuh (Yaseen, 2001), tetapi konsentrasi agar yang tepat dapat menyebabkan kontak yang baik antara eksplan dengan media serta memperlancar penyerapan hara (Hartmann et al., 1990). Fungsi bahan pemadat secara umum adalah untuk menambah viskositas media sehingga jaringan atau organ tanaman dapat tetap berada di atas permukaan media (Prakash et al., 2004). Pati Media yang dipadatkan dengan pati menjadi berwarna keruh karena pati tersusun dari dua fraksi polimer, yaitu amilose dan amilopektin. Amilose dalam larutan akan segera membentuk ikatan hidrogen untuk membentuk gel yang kaku dan keruh, sedangkan amilopektin mempunyai kemampuan terbatas untuk membentuk ikatan hidrogen sehingga membentuk gel yang lembek dan relatif jernih (Moore et al., 1984). Dengan demikian kemampuan pati untuk menjadi padat ditentukan oleh kadar amilose yang terkandung di dalamnya, sehingga semakin tinggi kadar amilosenya maka akan semakin cepat memadat dan kepadatannya lebih kuat (Zallie, 1988). Tapioka sebagaimana jenis pati yang lain bukan hanya berfungsi sebagai bahan pemadat tetapi juga merupakan sumber karbohidrat di dalam media (Gebre dan Sathyanarayana, 2001). Hasil pengujian beberapa bahan pemadat disajikan


PRIADI dkk. – Pertumbuhan In vitro tunas Manihot esculenta Crantz

Konsentrasi (%)

20 15 10 5 GAR

MAI

TAP

SAG

HUN

ASK

ASW

Jenis bahan pemadat

GAR

MAI

TAP

SAG

ASK

HUN

3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 ASW

Jumlah tunas

Gambar 1. Konsentrasi optimum bahan pemadat yang bersumber dari pati dan agar.

Jenis bahan pemadat Iding

Gebang

Gambar 2. Pengaruh beberapa jenis bahan pemadat alternatif terhadap jumlah tunas ubi kayu.

GAR

M AI

TA P

SAG

HUN

ASW

ASK

20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

Jenis bahan pemadat Iding

Gebang

Gambar 3. Pengaruh beberapa jenis bahan pemadat alternatif terhadap panjang tunas ubi kayu. 100 80 60 40 20

GAR

MAI

TAP

SAG

HUN

ASK

0 ASW

Panjang tunas Seperti halnya pada jumlah tunas, maizena adalah pati yang paling sesuai untuk media pertumbuhan Iding karena menghasilkan rerata jumlah tunas paling tinggi (17,2 mm) dan berbeda nyata (5%) dengan kontrol maupun dengan bahan pemadat lainnya. Tunas yang panjang pada genotip Iding diakibatkan oleh jarak antara buku-buku yang lebih panjang dari pada genotip lainnya. Bahan pemadat yang menghasilkan panjang tunas tertinggi pada Gebang adalah agar Sinar Kencana 2% (8,95 mm) yang lebih tinggi dari kontrol (8,88 mm) sedangkan maizena 8% adalah pati yang menghasilkan tunas tertinggi (8,33 mm) di antara jenis pati lainnya (Gambar 3).

25

0

Panjang tunas (m m )

Jenis bahan pemadat dan pertumbuhan stek ubi kayu Jumlah tunas Media yang paling banyak menghasilkan tunas pada genotip Iding adalah agar Swallow 0,8% (kontrol) yang tidak berbeda nyata dengan sebagian besar jenis bahan pemadat lainnya kecuali sagu 25% dan garut 16%. Hunkue menghasilkan tunas yang sama dengan maizena (2,15), tetapi hunkue menyebabkan permukaan media menjadi tidak rata, dengan demikian maizena adalah pati yang paling sesuai untuk perbanyakan genotip Iding setelah agar Swallow. Jumlah tunas terbanyak pada genotip Gebang dihasilkan dari tapioka 25% (2,85) lebih banyak dari kontrol (2,30), dan hanya dua jenis bahan pemadat yang tidak berbeda nyata dengan kontrol secara statistik (5%) yaitu agar Sinar Kencana 2%, hunkue 12% dan tapioka 25%, sedangkan sebagian besar jenis pemadat lainnya tidak berbeda nyata. Oleh karena itu tapioka adalah pati yang paling sesuai untuk genotip Gebang dari pada agar Swallow dan media pemadat lainnya (Gambar 2). Penelitian Costa et al. (2007) menunjukkan bahwa perbanyakan tunas nanas dengan menggunakan tepung tapioka menghasilkan jumlah yang tidak berbeda dengan apabila menggunakan agar, tetapi apabila tapioka dikombinasikan dengan agar akan menghasilkan jumlah tunas yang lebih sedikit. Media yang dipadatkan dengan sagu menunjukkan angka rerata jumlah tunas yang paling rendah dibandingkan dengan bahan pemadat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sagu bukan merupakan bahan pemadat yang baik, sama seperti hasil penelitian Gebre dan Sathyanarayana (2001) pada tanaman kentang.

30

Kontaminasi akhir (%)

pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi pati yang paling tinggi untuk memadatkan media adalah sagu dan tapioka (masing-masing 25%), diikuti berturut-turut oleh tepung garut (16%), tepung hunkue (12%), dan tepung maizena (8,0%). Penelitian Wattimena et al. (1994) menunjukkan bahwa konsentrasi maizena 8% dapat mensubstitusi agar dan mempengaruhi produksi mikro kentang sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim et al. (2005) menunjukkan bahwa konsentrasi maizena yang lebih tinggi (20-40%) menyebabkan stek tanaman kentang tidak dapat menghasilkan tunas dan meristem yang hidup. Selain itu maizena juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi kultur sel tanaman (Henderson dan Kinnersley, 1998). Kelemahan pati sebagai bahan pemadat adalah permukaan media di dalam botol menjadi tidak rata setelah dingin. Selain itu apabila menggunakan aluminium foil sebagai penutupnya maka akan menjadi sangat lengket melekat pada botol, sehingga mudah robek apabila dibuka.

11

Jenis bahan pemadat Iding

Gebang

Gambar 4. Tingkat kontaminasi rataan yang dihasilkan dari stek ubi kayu genotip Iding dan Gebang pada berbagai jenis bahan pemadat media.


12

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal.9-12

Laju kontaminasi Walaupun prosedur sterilisasi sudah lama dikembangkan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, namun persentase eksplan bersih bervariasi bergantung pada jenis maupun genotip tanaman. Hasil pengamatan laju kontaminasi menunjukkan bahwa kontaminasi bakteri maupun jamur muncul pada kultur Iding dan Gebang, tetapi secara umum kultur Iding (30-70%) lebih banyak yang terkontaminasi daripada Gebang (20-60%) (Gambar 2). Hal ini membuktikan bahwa prosedur sterilisasi dan jenis sterilan yang digunakan pada penelitian ini tidak cukup kuat untuk mematikan bakteri dan jamur karena sumber kontaminan yang kemungkinan ada di dalam epidermis bahkan di ruang intraseluler tidak terkena oleh perlakuan sterilisasi permukaan (Pence dan Sandoval, 2002). Pada umumnya bakteri yang sukar dimusnahkan adalah bakteri endogen yang tidak menunjukkan gejala yang terlihat pada kultur (Wojtania et al., 2005). Menurut Cooke et al. (1992) kontaminasi oleh bakteri tidak muncul selama mikropropagasi karena konsentrasi garam, sukrosa, pH dan temperatur tidak optimal untuk pertumbuhan bakteri. Penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri maupun kapang yang menyebabkan kontaminasi pada setiap genotip atau media yang digunakan seperti yang dilakukan oleh Pirttila et al. (2000) pada eksplan tunas pinus menggunakan teknik hibridisasi. Perbandingan biaya Keuntungan menggunakan bahan pemadat standar (agar) pada kultur jaringan tanaman adalah karena mempunyai warna yang lebih terang daripada bahan pemadat alternatif. Namun penggunaan agar standar pada perbanyakan secara massal akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena di antara komponen penyusun media, biaya bahan pemadat dapat mencapai sekitar 70%, sedangkan komponen lain seperti garam-garam mineral, gula dan zat pengatur tumbuh hanya sedikit berpengaruh terhadap biaya produksi karena harganya relatif murah (Prakash et al., 2004). Pada Tabel 3 disajikan perbandingan harga beberapa jenis bahan pemadat media standar kultur jaringan tanaman dengan bahan pemadat media yang digunakan pada penelitian ini. Tabel 3. Perbandingan biaya berbagai bahan pemadat yang digunakan untuk kultur jaringan tanaman. Harga/g Konsen- Biaya/ (Rp.) trasi (%) L (Rp.) Agar (Oxoid) No.1* 1.740.000/500 0,8 27.840 Phytagel (Sigma)* 294.300/100 0,3 8.829 Tepung hunkue (HK) 2.475/150 12 1.980 Tepung sagu (SG) 5.500/500 25 2.750 Tepung tapioka (TP) 3.850/500 25 1.925 Agar-agar kue “Swallow” (SW) 1.850/7 0,8 2.115 Tepung maizena (MZ) 5.450/400 8 1.090 Tepung ubi garut (GR) 8.000/1000 16 1.280 Agar-agar kue ”Sinar Kencana” (SK) 40.000/500 2 1.600 Keterangan: *: Bahan pemadat standar untuk kultur jaringan tanaman Jenis bahan pemadat

KESIMPULAN Pada penelitian ini jenis pati yang yang paling baik digunakan sebagai bahan pemadat pada kultur jaringan genotip Iding adalah agar Swallow 0,8% (Rp. 2.115,00/L) dan maizena 8% (Rp. 1.090,00/liter), sedangkan untuk Gebang adalah tepung tapioka 25% (Rp. 1.925,00/liter) dan

agar Sinar Kencana 2% (Rp. 1.600,00/liter). Penggunaan tepung maizena dan tapioka sebagai bahan pemadat pengganti agar dapat disarankan, namun harus diperhatikan cara pembuatannya mengingat sifat-sifat pati yang berbeda dengan agar, misalnya tidak bisa dicairkan kembali setelah didinginkan. Oleh karena itu penggunaan bahan pemadat media yang bersumber dari agar kue (Swallow dan Sinar Kencana) masih merupakan pilihan mengingat agar mempunyai karakteristik fisik yang lebih baik dari pada pati. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa jenis pati dan agar dapat digunakan sebagai bahan pemadat media pengganti agar standar kultur jaringan terutama untuk perbanyakan tanaman, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari jenis bahan pemadat alternatif yang lebih baik kualitasnya seperti warna yang lebih jernih dan proses pengolahan yang tidak terlalu rumit serta harganya yang relatif murah.

DAFTAR PUSTAKA Cooke, D.L., W.M. Waites, and C. Leifert. 1992. Effects of Agrobacterium tumefaciens, Erwinia carotovora, Pseudomonas siringae and Xanthomonas campestris on plant tissue cultures of Aster, Cheiranthus, Delphinium, Iris and Rosa; disease development in vivo as a results of latent infection in vitro. Journal of Plant Diseases and Protection 99: 469-481. Costa, F.H. da S., M.A.A. Pereira, J.P. de Oliveira, and J.E.S. Pereira. 2007. Effect of alternative gelling agents in culture medium in the in vitro cultivation of pineapple and banana. Ciência e Agrotecnologia 31 (1): 41-46. Dabai, Y.U. and S. Muhammad. 2005. Cassava starch as an alternative to agar-agar in microbiological media. African Journal of Biotechnology 4 (6): 573-574. Gebre, E. and B.N. Sathyanarayana. 2001. Tapioca-A new and cheaper alternative to agar for direct in vitro shoot regeneration and microtuber production from nodal cultures of potato. African Crop Science Journal 9 (1): 1-8. Hartmann, H.T., D.E. Kester, and F.T. Davies. 1990. Plant Propagation: Principles and Practices. 5th ed. Singapore: Prentice Hall Inc. Henderson, W.E. and A. M. Kinnersley. 1988. Corn starch as an alternative gelling agent for plant tissue culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 15 (1): 17-22. Ibrahim, K.M, M.A. Kazal and K.I. Rasheed. 2005. Alternative gelling agents for potato tissue culture applications. Majalah Al-Istitsmary Al-Zara’y 3: 80-83. www.aaaid.org/pdf/magazine3/ Desiree%20tissue%2080-82.pdf. Jain, R. and S.B. Babbar. 2005. Guar gum and isubgol as cost-effective alternative gelling agents for in vitro multiplication of an orchid, Dendrobium chrysotoxum. Current Science 88 (2): 292-295. Maliro, M.F.A. and G. Lameck. 2004. Potential of cassava flour as a gelling agent in media for plant tissue cultures. African Journal of Biotechnology 3 (4): 244-247. Moore, C.O., J.V. Tuschhoff, C.W. Hastings and R.V. Schanefelt. 1984. Application of starch in foods. In: Whistler, R.L. and J.N. Bemiller (eds.). Starch Chemistry and Technology. 2nd ed. London: Academic Press Inc. Pence, V.C and J.A. Sandoval. 2002. Controlling contamination during in vitro collecting. In: Pence V.C., J.A. Sandoval, V.M. Villalobos A., and F. Engelmann (eds.). In vitro Collecting Techniques for Germplasm Conservation. Rome: IPGRI Technical Bulletin No. 7. Pirttila, A.M., H. Laukkanen, H. Pospiech, R. Myllyla and A. Hohtola. 2000. Detection of intracellular bacteria in the buds of scotch pine (Pinus sylvestris L.) by in situ hybridization. Applied and Environmental Microbiology 66 (7): 3073-3077. Prakash, S., M.I. Hoque, and T. Brinks. 2004. Culture media and containers. In: Low Cost Options for Tissue Culture Technology in Developing Countries. Proceedings of Workshop of FAO-IAEA Division of Nuclear Techniques in Food and Agriculture. Vienna, 26-30 August 2002. Wattimena, G.A., A. Purwito dan D. Permatasari. 1994. Tepung maizena sebagai substitusi agar pada produksi tunas in vitro kentang (Solanum tuberosum L.). Dalam: Soetisna (ed.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. LIPI, Bogor, 6-7 September 1994. Wojtania, A., J. Pulawska and E. Gabryszewska. 2005. Identification and elimination of bacterial contaminants from pelargonium tissue cultures. Journal of Fruit and Ornamental Plant Research 13: 101-108. Yaseen, Y.M. 2001. Influence of agar and activated charcoal on uptake of gibberelin and plant morphogenesis in vitro. In vitro Cellular and Development Biology-Plant 37 (2): 204-205. Zallie, J.P. 1988. New Starches for Gelling and Non-Gelling Applications in the Manufacturing Confectioner. National Starch and Chemical Co. http://www.foodinnovation.com/pdfs/gelling.pdf


ISSN: 1412-033X Januari 2008

BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 13-16

Pengaruh Tingkat Ketuaan Buah, Perlakuan Perendaman dengan Air dan Larutan GA3 terhadap Perkecambahan Brucea javanica (L.) Merr. The effect of maturated stages and soaking treatment of water and GA3 hormone on Brucea javanica (L.) Merr germination NINIK SETYOWATI, NING WIKAN UTAMI♥ Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 23 Nopember 2007. Disetujui: 4 Januari 2008.

ABSTRACT Research on the effect of maturated stages and soaking treatment of water and Giberrelic Acid hormone on Brucea javanica germination was carried out at Macropropagation Laboratory, Research Centre of Biology, LIPI, Cibinong-Bogor. The research study arranged by Factorial in Completely Randomized Design with 2 factors and 3 replications, each replication with 20 seeds sample. The first factor was maturated stage of fruits with 3 levels factor i.e. green, brown and black peels, and the second factor was soaking treatment with 6 levels factor i.e. 0 (control), 1, 3 days in water, 500, 1000, 1500 mg/L in GA3 solution. The results showed that the maturated stage had significant on seeds germination of B. javanica. The black peel of maturated stage of fruit was the best factor on chosen on B. javanica seedling, in comparing with brown and green peels. Soaking treatment in GA3 solution was effective on trigger of seeds germination of B. javanica. The combination treatment of black peel maturated stage with 1500 mg/L GA3 solution were the best result for all parameter observation i.e. on the first germination (4 days), rich germination 50% (10 days), germination percentage (93.33%) and germination value (7.074). But in the control were first germination (10 days), rich germination only 20% (no rich 50%), germination percentage (93.33%) and germination value (0.148). © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: maturity stages, soaking, water, GA3, seeds germination, Brucea javanica (L.) Merr.

PENDAHULUAN Brucea javanica (L.) Merr. yang dikenal dengan nama kuwalot (buah makasar) mempunyai sinonim dengan Brucea sumatrana dan Brucea amarissima termasuk dalam famili Simaroebaceae. Tumbuhan ini berasal dari Ethiopia dan menyebar melalui Sri Langka dan India menuju IndoCina, Cina Selatan, Taiwan, Thailand, Malesia sampai Australia Utara (Padua et al., 1999; Ismadi, 2004). Tumbuhan ini berupa perdu tinggi sampai 10 m, ranting berbulu halus. Daun tersusun spiral, majemuk menyirip ganjil, panjang 20-50 cm, anak daun 3-15, bentuk bundar telur sampai lanset. Perbungaan berupa tandan, bunga uniseksual, perhiasan bunga kelipatan 4, kecil, warna putih kehijauan sampai keunguan. Buah majemuk terdiri dari 1-4 buah kecil-kecil, dengan ukuran 4-5 mm. Biji mempunyai lapisan tipis dan endospema yang tipis. Kecambah muncul di atas tanah (epigeal) (Padua et al., 1999). B. javanica merupakan salah satu jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit penting di daerah tropika seperti untuk malaria. Selain untuk obat

♥ Alamat korespondensi: Jl. Bogor-Cibinong Km.46 Cibinong Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588 e-mail: wikan.utami@yahoo.com

malaria, secara tradisional buah ini juga digunakan untuk mengobati kanker, diare, demam, wasir, untuk mematikan parasit, dan obat keputihan karena Trichomonas (Dalimartha, 1999), serta pemakaian luar untuk obat kutil dan mata ikan di kaki (Anonim, 1977; Syamsyuhidayat dan Hutapea, 1993). Seluruh bagian tumbuhan B. javanica ini mempunyai rasa pahit, terutama bagian bijinya. Hampir semua tumbuhan dalam famili Simaroebaceae mengandung rasa yang pahit. Tumbuhan yang rasanya pahit tersebut biasa digunakan oleh masyarakat untuk bahan obat, terutama sebagai tonik, anti desentri, anti cacing parasit dan insektisida. Zat-zat penting yang terkandung dalam B. javanica antara lain saponin, tanin (Syamsyuhidayat dan Hutapea, 1993), minyak atsiri, lemak, bruseral, brusealin, zat pahit (Anonim, 1977), alkaloid, glukosida, fenol, brusatol, brusein, minyak lemak, asam oleat, asam linoleat, asam stearat, dan asam palmitat (Dalimartha, 1999). Ekstrak buah B. javanica memiliki LC50 (320,83±4,23) μ/mL, sehingga dapat dikatakan memiliki toksisitas yang relatif tinggi dan potensial untuk dilakukan isolasi senyawa toksisnya. Efek antibakteri ditunjukkan dengan luas daerah hambat 14,33±0,16 yang lebih kecil dari daerah hambat kloramfenikol (Sunarni dkk., 2003). Dewasa ini obat-obat herbal sebagai obat alternatif lebih diminati oleh masyarakat, termasuk obat herbal yang berasal dari biji Brucea. Obat herbal yang berbahan baku dari biji B. javanica telah diproduksi oleh pengusaha obat herbal skala industri kecil dan sedang, antara lain dalam kemasan kapsul yang diproduksi oleh PT. Karyasari Bogor


14

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 13-16

dengan nama dagang ’Buah Makasar’ dengan ijin usaha industri Depkes RI No. 448/1129/Kes/V/2002. Dengan makin berkembangnya industri obat herbal yang menggunakan bahan baku dari biji, serta tidak tersedianya penanaman bibit secara besar-besaran, maka semakin lama keberadaan tumbuhan B. javanica di lapangan akan semakin berkurang dan akhirnya punah. Pada umumnya perbanyakan tumbuhan yang dilakukan dengan biji, termasuk perbanyakan B. javanica, akan mempunyai banyak kendala, yaitu tergantung pada musim panen buah, dan pemakaian biji akan berkompetisi dengan kebutuhan industri obat yang menggunakan bahan baku dari biji. Informasi mengenai cara perbanyakan dan pembudidayaan B. javanica sangat sedikit bahkan boleh dikatakan belum ada, karena bukan termasuk tanaman budidaya. Pemilihan benih yang tepat sangat penting dalam perbanyakan dan pembudidayaan tumbuhan, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh tingkat ketuaan buah yang diberi perlakuan untuk mempercepat dan meningkatkan perkecambahan yaitu perendaman biji dalam air dan larutan GA3. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat ketuaan buah yang optimum, lama perendaman menggunakan air dan konsentrasi larutan GA3 dalam meningkatkan dan mempercepat perkecambahan biji B. javanica. Data yang diperoleh diharapkan dapat menambah informasi tentang faktor yang berpengaruh terhadap perkecambahan biji B. javanica yang diperlukan dalam perbanyakan tumbuhan ini.

BAHAN DAN METODE Percobaan dilakukan di Laboratorium Perbanyakan Konvensional, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, CibinongBogor. Buah B. javanica diperoleh dari Kebun Percobaan, Cimanggu, Bogor. Buah dipanen pada tingkat ketuaan yang berbeda berdasarkan warna kulit buah yaitu hijau, coklat dan hitam. Kemudian dibersihkan dari kulit buahnya, dicuci dan ditiriskan. Selanjutnya biji direndam sesuai dengan perlakuan, dan dikecambahkan dalam cawan petri yang dialasi kertas tissue dan diletakkan dalam germinator suhu 0 32 C. Sebelum dikecambahkan, biji direndam dengan larutan Dithane M45 2% selama 5 menit, untuk menghindari tumbuhnya jamur selama perkecambahan. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang disusun secara faktorial. Faktor ke-1 adalah tingkat ketuaan buah yang dicirikan dengan warna kulit buah yaitu: hijau, coklat dan hitam, faktor ke-2 adalah perlakuan untuk mempercepat dan meningkatkan perkecambahan biji terdiri dari kontrol (langsung dikecambahkan), direndam dalam air selama 1 dan 3 hari, direndam dalam larutan GA3 500, 1000, 1500 mg/L selama 24 jam. Masing-masing perlakuan 3 ulangan, setiap ulangan 20 biji. Pengamatan dimulai sejak biji berkecambah sampai tidak ada lagi biji yang berkecambah. Jumlah biji yang berkecambah dihitung setiap 2 hari secara kumulatif. Peubah yang diamati dan dicatat adalah awal biji berkecambah (hari setelah tanam), 50% biji berkecambah (hari setelah tanam), nilai perkecambahan dan daya kecambah (%). Nilai perkecambahan ditetapkan pada akhir pengamatan (90 hari setelah dikecambahkan/hst) dengan rumus Gzabator (Hartman et al.,1997) sebagai berikut: GV = PV x MDG GV = Nilai perkecambahan PV = Nilai puncak MDG = Rata-rata perkecambahan harian

Nilai puncak (PV) yaitu persentase perkecambahan pada titik dimana pertambahan jumlah biji yang berkecambah paling banyak (titik puncak dimana setelah titik tersebut jumlah biji yang berkecambah mulai menurun), dibagi dengan jumlah hari untuk mencapai titik tersebut. Rata-rata perkecambahan harian (MDG) yaitu persentase perkecambahan terakhir dibagi jumlah hari untuk mencapai perkecambahan akhir.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3, secara umum menunjukkan bahwa buah berwarna hitam memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan buah berwarna coklat dan hijau, dilihat dari semua peubah pengamatan berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncans. Rata-rata awal perkecambahan (11,33, 13,39, 22,56) hari, perkecambahan biji 50% (11,33, 24,22, 0) hari, nilai perkecambahan (2,737, 0,984, 0.644), dan persentase perkecambahan (51,39, 35,41, 10,56) berturut-turut untuk buah hitam, coklat dan hijau. Buah yang berwarna hijau tidak ada yang mencapai 50% perkecambahan (Tabel 1). Secara umum pemakaian zat pengatur tumbuh GA3 cukup efektif dalam meningkatkan perkecambahan pada umur buah yang berbeda. Secara statistik berbeda nyata dengan perlakuan perendaman air dan kontrol. Pemakaian GA3 1000 mg/L dapat memacu awal kecambah dengan rata-rata 8,22 hari, perkecambahan biji 50% paling cepat dengan rata-rata 17,34 hari, juga rata-rata persen kecambah paling tinggi 57,78% berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncans dengan perlakuan lain, perendaman air 3 hari ternyata memberikan respon paling lambat berkecambah yaitu dengan rata-rata 30,11 hari. Perlakuan perendaman air 3 hari dan kontrol tidak ada yang mencapai perkecambahan 50%. Perendaman air selama 3 hari menghasilkan persentase perkecambahan paling rendah (rata-rata 8,33%) bahkan dibanding kontrol (rata-rata 16,11%) meskipun secara statistik tidak berbeda nyata (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena perendaman yang terlalu lama akan mengakibatkan kondisi anaerob sehingga banyak biji yang membusuk. Hasil ini seperti yang dilaporkan pada penelitian perkecambahan jelutung (Dyera costulata), bahwa perendaman biji yang terlalu lama pada biji yang sensitif terhadap kondisi anaerob menjadikan biji busuk dan tidak mampu berkecambah (Utami dkk., 2007). Secara individu perlakuan GA3 1500 mg/L pada tingkat ketuaan buah hitam memberikan persentase perkecambahan tertinggi 93,33% (Tabel 3). GA3 merupakan salah satu hormon tumbuh yang sering digunakan untuk memacu perkecambahan biji (Copeland, 1976; Thomson, 1983). Giberelin diproduksi oleh embrio yang merangsang sel-sel pada lapisan aleuron untuk mensintesis dan menghasilkan enzim Îą-amylase yang merubah pati dalam endosperma menjadi gula untuk pertumbuhan biji muda (Davies, 1987). Pendapat ini didukung oleh Hungary dalam Thomson (1983) yang melaporkan bahwa pemberian GA3 dapat meningkatkan aktivitas enzim Îą-amylase dan protease yang diperlukan untuk perkecambahan. Perendaman GA3 juga dapat menghilangkan lapisan pembungkus biji yang menghalangi penetrasi air ke dalam embrio (Copeland, 1976). Awal kecambah Awal berkecambah biji B. javanica bervariasi yaitu berkisar antara 4-53 hari setelah perkecambahan dengan rata-rata berkisar antara 4-38 hari (Tabel 3). Buah yang berwarna hitam memberikan respon terbaik (rata-rata 11,33


PURNOMO dan SITOMPUL – Pengaruh irradiasi pada agroforestri jati dan pinus terhadap kedelai

Berkecambah 50% Buah yang berwarna hitam mencapai 50% perkecambahan paling cepat (11,67 hari) namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan buah yang berwarna coklat (24,22 hari), dan berbeda sangat nyata pada buah yang berwarna hijau (tidak mencapai perkecambahan 50%) (Tabel 1). Secara umum teramati bahwa perlakuan GA3 memberikan hasil terbaik yakni waktu yang diperlukan untuk mencapai perkecambahan 50% lebih singkat dibandingkan tanpa GA3 (Tabel 2). Perlakuan GA3 1000 mg/L mencapai perkecambahan 50% paling cepat yakni 17,34 hari, tidak berbeda nyata dengan GA3 1500 mg/L (18,00 hari) dan GA3 500 mg/L (19,34 hari). Pada kontrol dan perendaman air selama 3

Perkecambahan (%)

Nilai perkecambahan

Berkecambah 50% (hari)

Awal kecambah (hari)

Perlakuan

*) *) *) bc b b c 0,00 0,144 16,11 Kontrol, biji langsung ditanam 16,22 bc c b c Biji direndam air selama 1 hari 14,89 60,00 0,155 17,22 c b b c 0,00 0,317 8,33 Biji direndam air selama 3 hari 30,11 ab a a ab 9,33 19,34 2,295 47,78 Biji direndam GA3 500 mg/L a a a a Biji direndam GA3 1000 mg/L 8,22 17,34 2,298 57,78 ab a a ab Biji direndam GA3 1500 mg/L 15,78 18,00 2,721 47,78 Keterangan: *) Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji ‘Duncans’.

Nilai perkecambahan Nilai perkecambahan tertinggi dicapai pada buah yang berwarna hitam (2,737), berbeda nyata pada taraf 5% uji Duncans dengan buah yang berwarna coklat (0,984) dan hijau (0,644) (Tabel 1). Hasil penelitian pada palem putri (Veitchia montgomeryana H.E. Moore) menunjukkan bahwa semakin tua benih maka nilai perkecambahannya semakin tinggi (Utami dan Hartutiningsih, 1999). Secara umum pemakaian GA3 memberikan nilai perkecambahan yang tinggi 2,721, 2,298 dan 2,295 berturut-turut untuk GA3 1500, 1000, dan 500 mg/L berbeda sangat nyata dengan kontrol dan perlakuan perendaman dalam air 1 dan 3 hari (0,144, 0,155 dan 0,317) (Tabel 2).

Persentase perkecambahan (%)

Nilai perkecambahan

Tabel 3. Pengaruh kombinasi perlakuan tingkat ketuaan buah, perendaman air dan GA3 terhadap perkecambahan biji B. javanica

Hijau

Kontrol Air 1 hari Air 3 hari GA3 500 GA3 1000 GA3 1500

20,67 14,00 38,00 14,00 14,67 33,33

0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

0,205 0,081 0,029 0,040 0,243 0,011

11,67 6,67 10,00 6,67 25,00 3,33

Coklat

Kontrol Air 1 hari Air 3 hari GA3 500 GA3 1000 GA3 1500

14,00 12,67 29,67 10,00 4,00 10,00

0,00 0,00 0,00 24,67 22,00 26,00

0,080 0,054 0,034 2,235 2,425 1,077

16,67 15,00 10,00 60,00 65,00 46,67

Hitam

Kontrol Air 1 hari Air 3 hari GA3 500 GA3 1000 GA3 1500

14,00 18,00 22,00 4,00 6,00 4,00

0,00 60,00 0,00 14,00 12,67 10,00

0,148 0,331 0,032 4,609 4,227 7,074

20,00 30,00 5,00 76,67 83,33 93,33

Berkecambah 50% (hari)

Awal kecambah (hari)

*) *) *) *) b b c a 0,00 0,644 10,56 1. Hijau 22,56 ab a b b 2. Coklat 13,39 24,22 0,984 35,41 a a a c 11,67 2,737 51,39 3. Hitam 11,33 Keterangan: *) Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji ‘Duncans’.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan perendaman air dan GA3 terhadap perkecambahan biji B. javanica.

Perendaman dalam

Persentase perkecambahan (%)

Nilai perkecambahan

Berkecambah 50% (hari)

Awal kecambah (hari)

Tingkat ketuaan buah (warna kulit)

Tabel 1. Pengaruh tingkat ketuaan buah terhadap perkecambahan biji B. javanica

hari tidak mencapai perkecambahan 50%, sedangkan pada perendaman dalam air 1 hari biji berkecambah 50% pada hari ke-60 (Tabel 2), pada buah yang berwarna hitam (Tabel 3).

Tingkat ketuaan buah (warna kulit)

hari) apabila dibandingkan dengan kedua tingkat ketuaan yang lain, secara statistik pada taraf 5% uji Duncans berbeda nyata dengan buah yang berwarna hijau (rata-rata 22,56 hari) namun tidak berbeda nyata dengan buah yang berwarna coklat (rata-rata 13,39 hari) (Tabel 1). Hal ini disebabkan buah yang berwarna hitam sudah mencapai masak fisiologis sempurna, sehingga kandungan nutrisi (karbohidrat, protein dan lemak) sebagai sumber energi di dalam biji sudah siap untuk digunakan berkecambah (Hartman et al., 1997), namun dalam kondisi terpaksa misalnya buah yang berwarna hitam tidak ada, maka dapat digunakan buah berwarna coklat, meskipun agak lebih lambat berkecambah, karena secara statistik tidak berbeda nyata, dan bisa dikatakan buah ini sudah mencapai masak fisiologis meskipum belum sempurna. Tidak dianjurkan penggunaan buah yang masih berwarna hijau untuk tujuan perbenihan, karena kemungkinan besar buah ini belum mencapai masak fisiologis. Secara umum pemakaian GA3 memberikan pengaruh yang positif untuk mempercepat perkecambahan biji B. javanica, analisis statistik pada taraf 5% uji Duncans menunjukkan perbedaan yang sangat nyata dengan kontrol dan perendaman dalam air baik 1 hari maupun 3 hari, namun tidak berbeda nyata di antara konsentrasi GA3 yang dicoba (500, 1000, dan 1500 mg/L). Perlakuan GA3 1000 mg/L memberikan pengaruh yang terbaik (8,22 hari) untuk mempercepat perkecambahan dibandingkan konsentrasi 500 mg/L (9,33 hari) dan 1500 mg/L (15,78 hari). Dari serangkaian perlakuan yang dicobakan, awal berkecambah paling cepat dicapai oleh perlakuan GA3 1000 mg/L (8,22 hari), sedangkan yang paling lambat pada perlakuan perendaman dalam air 3 hari (30,11 hari) (Tabel 2), hal ini disebabkan perendaman yang terlalu lama akan mengakibatkan kondisi anaerob sehingga banyak biji yang membusuk (80%). GA3 cukup efektif dalam meningkatkan perkecambahan.

15


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 13-16

16

Pada pengaruh interaksi antara tingkat ketuaan buah dan perlakuan perendaman, nilai perkecambahan tertinggi dicapai oleh perlakuan perendaman dalam GA3 1500 mg/L pada buah yang berwarna hitam (7,074), dan terendah pada buah yang berwarna hijau dengan perlakuan perendaman dalam air selama 3 hari (0,029) (Tabel 3). Secara umum pemakaian GA3 pada buah yang berwarna hitam memberi nilai perkecambahan lebih tinggi daripada perlakuan yang lain. Persentase perkecambahan Tingkat ketuaan buah berpengaruh nyata terhadap persentase perkecambahan biji B. javanica. Persentase perkecambahan meningkat secara gradasi seiring dengan semakin tuanya buah, pada buah yang berwarna hijau 10,56%, berwarna coklat 35,41% dan paling tinggi adalah buah yang berwarna hitam 51,39% (Tabel 1). Utami dan Hartutiningsih (2000) melaporkan bahwa tingkat ketuaan benih mempengaruhi kecepatan dan daya berkecambah palem putri, persentase perkecambahan tertinggi diperoleh pada benih tua. Hasil penelitian pada palem kipas (Licuala grandis H. Wendl.) juga menunjukkan bahwa kematangan benih berpengaruh nyata terhadap perkecambahnya, benih matang (tua) adalah yang paling baik (Hartutiningsih dan Utami, 1998). Perlakuan GA3 memberikan respon positif terhadap persentase perkecambahan biji, di antara pemakaian konsentrasi GA3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun berbeda sangat nyata dengan kontrol dan perlakuan perendaman dalam air selama 1 atau 3 hari. Persentase perkecambahan biji tertinggi diperoleh pada perlakuan GA3 1000 mg/L (57,78%) dan yang terendah pada perlakuan perendaman dalam air selama 3 hari dengan rata-rata 8,33% (Tabel 2). 100 Hijau

80

Coklat

60

Hitam

40 20 0

Kontrol kontrol Air 1 hari hari

Air 3 hari hari

Ga Ga3 3 500 500

Ga3 Ga3 1000 1000

Ga3 Ga3 1500 1500

Perlakuan Gambar 1. Pengaruh tingkat ketuaan, perlakuan perendaman air dan GA3 terhadap perkecambahan B. Javanica.

Pada Tabel 3. dan Gambar 1. teramati bahwa pada buah yang berwarna hitam, persentase perkecambahan naik secara gradasi seiring dengan naiknya konsentrasi GA3 yaitu 76,67, 83,33, 93,33% berturut-turut untuk GA3 500, 1000, 1500 mg/L. Perlakuan GA3 dapat mempercepat perkecambahan pada ekor tupai (Wodyetia bifurcata) (Utami, 2003) dan palem kuning (Chrysalidocarpus lutecenst H. Wendland) (Utami dan Hartutiningsih, 2001). Giberelin dapat berfungsi sama dengan perlakuan pendinginan awal yang dapat menghilangkan zat

penghambat perkecambahan, mematahkan dormansi, dan mengaktifkan enzim yang mengakibatkan meningkatkan aktivitas metabolik (Salisbury dan Ross, 1995).

KESIMPULAN Biji buah B. javanica yang telah berwarna hitam paling cepat berkecambah dibanding buah yang masih berwarna coklat atau hijau. Perendaman dalam larutan GA3 1000 mg/L efektif untuk mempercepat dan meningkatkan perkecambahan biji B. javanica. Interaksi antara buah berwarna hitam dengan GA3 1500 mg/L menghasilkan perkecambahan terbaik, yakni awal berkecambah dan 50% berkecambah paling cepat, serta persentase dan nilai perkecambahan paling tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Biologi LIPI, yang telah memberikan fasilitas untuk penelitian ini, juga kepada Sri Rahayu dan A’ah yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Copeland, L.O. 1976. Principle of Seed Science and Technology. Minneapolis: Burgess Publishing Company. Dalimartha, S. 1999. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. Jakarta: PT Panebar Swadaya. Davies, P.J. 1987. Plant Hormones and Their Role on Plant Growth and Development. Amsterdam: Martinus Nijhoff Publisher. Hartman, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R.L. Geneve. 1997. Plant Propagation Principles and Practices. 3rd ed. Englewood Cliffts: Prentice-Hall. Hartutiningsih–M. Siregar dan N.W. Utami. 1998. Cara pemanenan benih palem kipas (Licuala grandis H. Wendl.) untuk meningkatkan viabilitasnya. Buletin Kebun Raya Indonesia 9 (1): 26-34. Ismadi, R. 2004. Pengobatan kanker dari Ethiopia. Herba 29: 16-18. Padua, L.S. de., N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds.). 1999. Plant Resources of South-East Asia 12: Medicinal and Poisonous Plant 1. Bogor: PROSEA. Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Bandung: Penerbit ITB. Sunarni, T., B. Iskamto dan Suhartinah. 2003. Uji Toksisitas dan Antiinfeksi ekstrak etanol buah Brucea sumatrana Roxb. terhadap Larva Artemia salina Leach dan Staphylococcus aureus ATCC 25923. BioSMART 5 (1): 65-67. Syamsyuhidayat, S.S. dan J.R. Hutapea. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Thomson, J.R. 1983. Advances in Research and Technology of Seeds. Part 8. Wageningen: Pudoc. Utami, N.W dan Hartutiningsih. 2000. Perkecambahan palem putri (Veitchia montgomeryana H.E. Moore) pada berbagai tingkat ketuaan benih. Prosiding Seminar Nasional Biologi. ITB Bandung, 26-27 Juli 2000. Utami, N.W. dan Hartutiningsih. 2001. Beberapa cara untuk menginduksi perkecambahan biji palem kuning (Chrysalidocarpus lutescens H.Wendl). Biota Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Hayati 6 (2): 57-64. Utami, N.W. 2003. Upaya menginduksi perkecambahan benih palem ekor tupai (Woeditya bifurcata). Jurnal Ilmiah Pertanian GAKURYOKU 9 (2): 153-158. Utami, N.W., E.A. Widjaja, dan A. Hidayat. 2007. Aplikasi media tumbuh dan perendaman biji pada perkecambahan jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook.f). Jurnal Ilmiah Nasional Berita Biologi 8 (4): 291-298.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 17-20

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Alkaloid and Phenolic Compounds of Rafflesia hasseltii Suringar and its host Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb. in Bukit Tigapuluh National Park, Riau: A Preliminary Study

1

NERY SOFIYANTI1,2,♥, NINIK NIHAYATUL WAHIBAH1, DEDEK PURWANTO1, EDY SYAHPUTRA1, KAMARUDIN MAT-SALLEH2

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Riau, Pekanbaru, Riau, Indonesia, 28293 th School of Environmental and Natural Resource Science, Biology Building 4 floor, Room 4117 Faculty of Science and Technology, National University of Malaysia, Bangi 46300, Selangor, Malaysia

2

th

st

Received: 27 December 2008. Accepted: 31 January 2008.

ABSTRACT Two alkaloid compounds (nicotine and caffeine) together with three phenolic compounds (catechin, proanthocyanidin and phenolic acid) were firstly detected in Rafflesia hasseltii and its host, Tetrastigma leucostaphylum in Bukit Tigapuluh National Park, Riau. The content of all compounds is higher in R. hasseltii than its host. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Rafflesia hasseltii, Tetrastigma leucostaphylum, alkaloids, phenolic compounds, HPLC.

INTRODUCTION Rafflesia hasseltii Suringar belongs to a parasitic plant family, Rafflesiaceae. As well as other Rafflesia species, it becomes a public interest due to its unique and extraordinary flower. This plant is notable for its white blotches on reddish perigone lobes. The look of its flower is more akin to tiger face, and due to this pattern it’s known as tiger face mushroom (cendawan muka rimau). As an endophyte holoparasitic plant, it grows completely embedded within its host and relies entirely on their host for all nutrients (Barkman et al., 2004). Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston ex Mabb., a member grapevine family (Vitaceae), is the host of R. hasseltii. The genus Rafflesia, including R. hasseltii in Bukit Tigapuluh National Park, Riau (BTNP), lack of basic biology and related science study especially its chemical compounds. Meiyer (1997) stated that the family of Rafflesiaceae is rich of tannin. Currently, only three out of 26 Rafflesia species had been studied on its chemical compounds. R. hasseltii from Peninsular Malaysia had been screened its antimicrobial by Wiart et al. (2004), while study on its cimetedine that may prevent the acute gastric mucosal lesion on rat conducted by Noor et al. (2006). Based on the current taxonomic treatment, this species is probably R. cantleyi Solm. or R. azlanii Latiff et Wong, as the name of R. hasseltii in Peninsular Malaysia has been revised (Latiff and Wong, 2004). In 2006, Khairunadwa studied the toxicology of R. azlanii. The most current study

♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bangkinang Km 12,5, Pekanbaru 28293 Tel. & Fax.: +62-761-63273 e-mail: sophie_yanti@yahoo.com

by Kanchanapoom et al. (2007), detected four tannin compounds along with phenilpropanoid glucoside in R. kerrii from Thailand. Furthermore, it was explained that R. kerrii is used for Thai traditional medicine to help restore the female uterus after giving birth, as well as for treatment for fever. The use of Rafflesia for traditional treatment also reported In Perak, Peninsular Malaysia. Nevertheless, the phytochemistry study on this genus is poorly known. In the genus Tetrastigma, currently two species in China had been investigated the chemical constituent. T. hemsleyanum Diels et Gilg and T. hypoglaucum are wellknown as Chinese folk medicine (Liu et al. 2002; 2003). Furthermore he stated that T. hemsleyanum possesses the function of antipyretic, detoxification, anti-inflammatory, improving blood circulation and relieving pain. While T. hypoglaucum used for the treatment of fracture, traumatic injury and swelling pain. Yang et al. (1998), Liu and Yang (1999), and Liu et al. (2002) had observed the chemical constituent of T. hemsleyanum. On T. hypoglaucum, 10 chemical compounds had been isolated by Liu et al. (2003). A preliminary survey on phytochemistry of five Tetrastigma species from Sabah, East Malaysia, showed that T. dubium Planch., T. hookeri Planch. and T. pedunculare Planch. gave a positive reaction of saponin, while T. diepenhorstii (Miq.) Latiff and T. glabratum Planch. gave a negative reaction. All of them had a negative reaction of alkaloid and steroid (Din et al., 2002). Currently, no study on chemical compound in both Rafflesia and its host (Tetrastigma) even though Rafflesia is an obligate parasitic plant that depends on its life from its host. In Indonesia, that well-known with its Rafflesia species, many scientists have tried to make ex-situ conservation of Rafflesia by use of tissue culture method. Unfortunately, no tissue can develop to a bud. Therefore, the information of chemical compounds on both plants,


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 17-20

18

hopefully, may help in this effort. This study is proposed to report the preliminary result in detecting the alkaloid and phenolic compounds of R. hasseltii and T. leucostaphylum from BTNP Riau.

trifluoroacetate acid; flow rate: 1mL/min.; detector: UV 280 nm.

RESULT AND DISCUSSION MATERIALS AND METHODS Materials. R. hasseltii. We examined two populations in Datai Atas, BTNP Riau. Due to its rarity in this park, only one individual per population had been extracted. We used bract (the outer black layers that cover Rafflesia bud or flower). This part was used in order to maintain its life cycle. T. leucostaphylum. The infected tree by R. hasseltii had been studied from two populations. The root and stem barks were extracted from one tree per population. Population 1 will be further mentioned as P1, and population 2 as P2. In order to detect the alkaloid and phenolic compounds in those species, we used the flavonoid standard compound. Methods. A 4 g sample were blended to make powder form. Sample were added with 62.5% aqueous methanol, and refluxed for two hours in 900C. Let the sample cool down before filtering with Buchner filter. Methanol liquid was added to obtain 50 mL solution. This solution was dried and diluted with 10 mL methanol. Filtering was done by the use of Whatman 0.45 μm filter paper. And 2 μl of solution were injected to HPLC (High Performance Liquid Chromatography). The analysis of alkaloid and phenolic compounds had been conducted in Laboratory of Biotechnology, Bogor Agricultural Institute, by use of HPLC based on the method of Miean and Mohamed (2001). The HPLC condition is, column: Nova-Pak C18 (3.9 x 150 mm, 4 μm); mobile phase: methanol/water (50:50 v/v, pH 2.5 with

The list of alkaloid and phenolic compounds of R. hasseltii and T. leucostaphylum, is given in Table 1. Based on the data presented in this table, all alkaloid and phenolic compounds that found in R. hasseltii, were also found in its host, T. leucostaphylum, but the contents is higher in R. hasseltii for all compounds. The formula and chemical name of each compound presented in Table 2, while their structure in Figure 1. Alkaloid. Alkaloid is one of major chemical compound in plant and animal, and found as secondary metabolites. These compounds are usually derivates of amino acid and many alkaloids have pharmacological effects on human and animal. It had been previously mentioned that Din et al. (2002) had reported the phytochemistry survey on five Tetrastigma species, and all of them gave negative reaction on alkaloid. They used different species from this study. While in Rafflesia, currently the report of this compound is not available. There many groups that belongs to alkaloid. Nicotine (pyrrolidine group) and caffeine (purine group) are the alkaloid found in the taxa studied. Nicotine was firstly found in tobacco in 1800s and known as an additive drug. It explains why the smokers are difficult to stop smoking because they are addicted to this compound (Anonym, 2006). National Institute on Drugs Abuse reported that nicotine withdrawal symptoms include irritability, craving, cognitive and attention deficits, sleep disturbances, and increased appetite. In 1994, Tang et al. use the nicotine replacement therapy in helping people to stop smoking.

Table 1. Alkaloid and phenolic compounds of R. hasseltii and T. leucostaphylum. R. hasseltii Scale (ppm) P1 P2

Compounds

T. leucostaphylum Root (ppm) Stem (ppm) P1 P2 P1 P2

Alkaloid compounds

1. Nicotine (Pyrrolidine)

146.24

143.49

2. Caffeine (Purine)

275.49

274.25

Phenolic compounds

1. Leucoanthocyanin (Tannin)

60.87

64.87

2. Catechin (Flavonoid)

368.26

364.00

3. Phenolic acid

610.27

572.25

29.68

32.37

71.75

73.12

91.88

86.70

137.13

137.75

12.63

12.25

24.52

25.50

113.75

115.62

182.00

184.13

154.49

149.62

277.38

280.99

Note: ppm = mg/L

Table 2. The formula and chemical name of each compound Compounds

Formula

Synonym

Nicotine

C10H14N2

(-)-3-(1-Methyl-2-pyrrolidyl)pyridine

Caffeine

C8H10N4O2

1,3,7-Trimethyl-2,6-dioxopurine

Leucoanthocyanin (proanthocyanidin)

C31-H28-O12

Polyhydroxyflavan-3-ol

Catechin

C15H14O6

()-2-(3,4-Dihydroxyphenyl)-3,5,7-chromantriol

Phenolic acid

C7-H6-O3

Hydroxybenzoic acid


SOFIYANTI et al. – Alkaloid and phenolics of R. hasseltii and T. leucostaphylum

19

Nicotine Caffeine OH

OH

X O

X Phenolic acid

Catechin

OH Proanthocyanidin

Figure 1. The structure of alkaloid and phenolic compounds found in R. hasseltii and T. leucostaphylum (Croteau et al., 2000).

300 250 200 ppm 150 100 50 0 R1

R2

TR1

TR2

TS

TS2

sample Nicotin

Caffeine

Figure 2. Nicotine and caffeine content in R. hasseltii and T. leucostaphylum (R = R. hasseltii, TR = root bark of T. leucostaphylum, TS = stem bark of T. leucostaphylum 1 = population 1, 2 = population 2).

700 600 500 400 ppm 300 200 100 0 R1

R2

TR1

TR2

TS

TS2

sample Leucoanthocyanin Catechin Phenolic acid

Figure 3. Phenolic compounds in R. hasseltii and T. leucostaphylum (R = R. hasseltii, TR = root bark of T. leucostaphylum, TS = stem bark of T. leucostaphylum 1 = population 1, 2 = population 2).

Caffeine is widely occurred in our consumed beverage and acts as a psychoactive stimulant and diuretic in humans (Anonym, 2007a). Bolton and Null (1981) reported that caffeine affects the psychological state of those who consume it. The effect of caffeine on cognitive decline was studied by Ritchie et al. (2007). In this study, the content of caffeine in R. hasseltii is about two times higher than nicotine (Figure 2.). While in T. leucostaphylum, the different part of bark (root and stem) gave the different result, for both compounds the content is higher in stem bark. The means of caffeine and nicotine content from two populations are, 144.87, 274.87 ppm (R. hasseltii), 31.06, 89.29 ppm (root bark T. leucostaphylum), 72.44, 137.44 ppm (stem bark of T. leucostaphylum), respectively. As well as nicotine, caffeine content in R. hasseltii is higher than T. leucostaphylum. Phenolic compounds. Phenolic compounds that detected in R. hasseltii and T. leucostaphylum, are catechin (flavonoid), leucoanthocyanin (tannin) along with phenolic acid. To our knowledge, this is the first report on those constituent on both species. Many scientists had studied that flavonoid and phenolic acid have antioxidative and anticarcinogenic effects (Hakkinen, 2000). Catechin belongs to flavonoid group, commonly known as bioflavonoid, a secondary metabolites in plant. It is also well-known as tea extract, that have been recognized as health-promoting factors due to its antimutagenic, antioxidative and antibacterial activity (Nakagawa et al. 2005). Modun et al. (2003) and Suzuki et al. (2007) had proved that this compound may support human health. This compound belongs to tannin group. In Tetrastigma, catechin had been firstly isolated by Liu et al. (2003) from T. hyglaucoum. They had obtained 10 compounds from this species including catechin. While in Rafflesia, the first isolation of four hydrolysable tannins (1,2,4,6-tetra-O-galloylb-D-glucopyranoside, 1,2,6-tri-O-galloyl-b-D-glucopyranoside, 1,4,6-tri-O-galloyl-b-D-glucopyranoside; and 1,2,4-tri-Ogalloyl-b-D-glucopyranoside) was conducted by Kanchanapoom et al. (2007).


20

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 17-20

Leucoanthocyanin is also known as oligomericproanthocyanidiol OPC, pycnogenol, leukocyanidin (Anonym, 2007b) and proanthocyanidin (a condensed tannin) (Sun and Sprangler, 2005). The term of proanthocyanidin thus defined because these colorless compounds release colored anthocyanidin, that known to possess broad pharmacological activity and therapeutic potential (Shao et al., 2003). This compound is water soluble vacuolar flavonoid pigments that reflect the red to blue (Anonym, 2007c). It explains why all Rafflesia flowers are reddish in color. Phenolic acids are plant metabolites that widely spread throughout the plant kingdom. Its content is the highest in both taxa studied. For all phenolic compounds, as well as alkaloids, R. hasseltii has higher content than its host (Figure 3). The means of leucoanthocyanin, catechin, and phenolic acid content from two populations are, 62.87, 366.13, 591.26 ppm (R. hasseltii), 12,44, 114,69, 152.055 ppm (root bark T. leucostaphylum), 25.01, 183.07, 297.19 ppm (stem bark of T. leucostaphylum), respectively.

CONCLUSION In this study, R. hasseltii and its host, T. leucostaphylum, showed the same alkaloid and phenolic compounds. Five compounds found in both taxa are nicotine, caffeine, catechin, leucoanthocyanin and phenolic acid. The content of all compounds is higher in R. hasseltii than it host. Eventhough the compound that support health were detected in R. hasseltii, the use of this species for traditional treatment is not recomended, due to the presence of nicotine and caffeine. Moreover it is an endangered species that protected by law. A further study is necessary to detected the detail chemical compounds of both species, especially to support conservation efforts.

ACKNOWLEDGEMENTS We thank to Berbagai Bidang Ilmu (BBI-DIKTI) grant for its financial support, Laboratory of Biotechnology (Bogor Agricultural University) for the assistance in preparing HPLC, Head of Forestry Department (Indonesia) for the permit to conduct this research, Haryono and his staff from Bukit Tigapuluh National Park Riau for their collaboration. Special thanks to Lancar (our guide) and Katak (head of Datai Bawah Village). We also thanks to Prof. Dato. Dr. Abdul Latiff Mohamed (UKM Malaysia) for the identification of Tetrastigma, Dr. Dong Liu (Louisiana State University) and Prof. Dr. Tripetch Kanchanapoom (Khon Kaen University, Thailand).

REFERENCES Anonym. 2006. Tobacco Addiction. Research report serie 3. National Institute on Drugs Abuse. 1-8 Anonym. 2007a. Caffeine. http://en.wikipedia.org/wiki/Caffeine

Anonym. 2007b. Proanthocyanidin. http://en.wikipedia.org/wiki/Proanthocyanidin Anonym. 2007c. Biological_pigment. http://en.wikipedia.org/wiki/Biological_pigment). Barkman, T.J. Seok-Hong L., K. Mat-Salleh, J. Nais. 2004. Mitocondrial DNA sequences reveal the photosyntetic relatives of Rafflesia, the world’s largest flower. Proceeding of the National Academic of Sciences of the United State of America 101 (3): 787-792. Bolton, S. and G. Null. 1981. Caffeine: psychological effects, use and abuse. Arthomolecular Psychiatry 10 (3): 202-211. Croteau, R., T.M. Kutchan, and N.G. Lewis. 2000. Natural products (secondary metabolites). In: Buchanan, B., W. Gruissem, and R. Jones (eds). Biochemistry and Molecular Biology of Plants. New York: American Society of Plant Physiologists. Din, L. bin, N.I. Yusoff, M.W. Samsudin, U. Suki, K. Mat-Salleh, A.Z. Ibrahim, A. Latiff, and I.M. Said. 2002. A preliminary phytochemical survey on plants in Croker range, Sabah, Malaysia. ASEAN Review of Biodiversity and Environmental Conservation (ARBEC). www.arbec.com.my/pdf/art7julysep02.pdf Hakkinen, S. 2000. Flavonols and Phenolic Acids in Berries and Berry Product. [Dissertation]. Kuopio: Faculty of Medicine, Kuopio University. Kanchanapoom T., M.S. Kamel, C. Picheansoonthon, P. Luecha, R. Kasai and K. Yamasaki. 2007. Hydrolyzable tannins and phenylpropanoid from Rafflesia kerrii Meijer (Rafflesiaceae). Journal of Natural Medicines 61: 478-479. Khairunadwa, J. 2006. Penilaian Ketoksikan Rafflesia azlanii (Rafflesiaceae) secara In-Vitro dan In-Vivo. [Tesis]. Selangor: Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia. Latiff, A. and M. Wong. 2004. A New species of Rafflesia from Peninsular Malaysia. Folia Malaysia 4: 135-146. Liu, D., J.-H. Ju, and J.-S. Yang. 2003. Studies on Chemical Constituent on Tetrastigma hypoglaucum. Chinese Traditional and Herbal Drugs 34 (1): 4-6. Liu, D. and J.-S. Yang. 1999. A study on chemical components of Tetrastigma hemsleyanum Diels et Gilg. native to China. ZhongguoZhong-Yao-Za-Zhi 24 (10): 611-612, 638. Liu, D., J.-H. Ju, G. Lin, X.-D. Xu, J.-S. Yang, and G.-Z. Tu. 2002. New Cglycosylflavones from Tetrastigma hemsleyanum (Vitaceae). Acta Botanica Sinica 44 (2): 227-229. Meiyer, W. 1997. Rafflesiaceae. Flora Malesiana Series I. 13: 1-42 Miean, K.H. and S. Mohammed. 2001. Flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin and apigenin) content of edible tropical plants. Jurnal of Agricultural and Food Chemistry 49: 3106-3112. Modun, D., I. Musiæ, V. Kataliniæ, I. Salamuniæ and M. Boban. 2003. Comparison of protective effects of catechin applied in vitro and in vivo on ischemia-reperfusion injury in the isolated rat hearts. Croatian Medical Journal 44 (6): 690-696. Nakagawa, K., S. Fujii, A. Ohgi, and S. Uesato. 2005. Antioxidative activity of 3-O-octanoyl-(+)-catechin, a newly synthesized catechin, in vitro. Journal of Health Science 51 (4): 492-296. Noor, S.M., A.A Mahmood, I. Salmah, and K. Phillip. 2006. Prevention of acute gastric mucosal lession by Rafflesia hasseltii in rats. Journal of Animal and Veterinary Advances 5 (2): 161-164. Ritchie, K., I. Carrière, A. de Mendona, F. Portet, J.F. Dartigues, O. Rouaud, P. Barberger-Gateau, and M.L. Ancelin. 2007. The neuroprotective effects of caffeine-A prospective population study (the Three City Study). Neurology 69: 536-545. Shao, Z.-H.. L.B. Becker, T.L. Vanden Hoek. P.T. Schumacker. C.-Q. Li, D. Zhao, K. Wojcik, T. Anderson, Y. Qin, L. Dey, and C.-S. Yuan. 2003. Grape seed proanthocyanidin extract attenuates oxidant injury in cardiomyocytes. Pharmacological Research 47: 463-469. Sun, B. and M.I. Spranger. 2005. Review: quantitative extraction and analysis of grape bg wine proanthocyanidin and stilbenes. Ciência Téc. Vitiv 20 (2): 59-89. Suzuki, J., M. Ogawa, Y. Maejima, K. Isobe, H. Tanaka, Y. M. Sagesaka, and M. Isobe. 2007. Tea catechins attenuate chronic ventricular remodeling after myocardial ischemia in rats. Journal of Molecular and Celluler Ardiology 42 (2): 432-440 Tang, J.L., M. Law, N. Wald. 1994. How effective is nicotine replacement therapy in helping people to stop smoking? BioMedical Journal 308: 2126. Wiart, C., S. Mogana, S. Khalifah, I. Salmah, A.K. Narayana, M. Sulaiman and M. Buckle. 2004. Antimicrobial screening of plants used for traditional medicine in the State of Perak, Peninsular Malaysia. Fitoterapia 75: 6873 Yang, D., H. Liu, X. Li, X. Huang, and J. Qin. 1998. Chemical constituents of Tetrastigma hemsleyanum Diels. et Gilg. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi 23 (7): 419-421,447-448.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 21-24

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Inventarisasi Anggrek di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat Orchids inventory in Sintang Regency, West Kalimantan ESTI ENDAH ARIYANTI♥, PA’I UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pasuruan 67163

Diterima: 26 Nopember 2007. Disetujui: 22 Januari 2008.

ABSTRACT Orchid is one of ornamental plants which have commercial value. Therefore most species are becoming threatened or even endangered because of over exploitation. In addition, its natural habitat is also decreasing. Conservation must be done urgently, both by in situ and ex situ conservation, which can be started by orchid inventory. The orchid inventory was done in TWA Bukit Kelam, TWA Baning and several places in Regency of Sintang, West Kalimantan. The result showed that there were 40 species belonged to 27 genera, which 32 species of them (20 genera) were epiphytic orchids and 8 species (7 genera) were terrestrial orchids. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: inventory, orchid, Sintang, West Kalimantan.

PENDAHULUAN Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan seluruh pulau Nugini, yang mempunyai potensi keanekaragaman hayati sangat tinggi. Hal ini karena adanya perpaduan beberapa faktor yaitu: topografi, ketinggian, geologi, tanah, iklim serta ketersediaan air terutama air hujan. Selain itu, pulau ini terletak di wilayah katulistiwa yang bersuhu tinggi sepanjang tahun dan merupakan daerah terbasah di Indonesia (MacKinnon, 1996). Salah satu propinsinya yaitu Kalimantan Barat merupakan propinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah dengan luas wilayah 146.807 km² (7,53% dari luas Indonesia) (Anonim, 2006). Kabupaten Sintang merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang mempunyai 2 luas wilayah 32.279 km (terbesar kedua setelah Kabupaten Ketapang). Iklim di wilayah ini dapat dibilang basah dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi (243.1 mm per bulan) dan temperatur berkisar 26,0-35,7°C (Anonim, 2007). Dari 14 kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Kalimantan Barat, dua di antaranya yang menjadi tujuan kegiatan inventarisasi ini adalah TWA (Taman Wisata Alam) Baning dan TWA Bukit Kelam. TWA Baning ditetapkan oleh SK Menhut No. 129/Kpts-II/1990 tanggal 10 April dengan luas ± 213 Ha. Kawasan ini berada di pusat kota Sintang, dengan koordinat antara 1°03’-1°16’ LS dan 110°37’-113°37’ BT.

♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Purwodadi, Purwodadi, Pasuruan 67163 Tel. & Fax.: +62-341-42604616 e-mail: estimudiana@yahoo.com

Topografi daerah ini datar dengan tipe ekosistem hutan rawa gambut. Jenis tanahnya adalah organosol, gley dan gambut (Kayoman, 2005). Sedangkan TWA Bukit Kelam ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 594/Kpts-II/1992 tanggal 6 Juni 1992 dengan luas ± 520 Ha. Kawasan ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Kelam Permai, dengan koordinat 111°34’11”-111°34’13” BT dan 0°05’25”-0°05’27” LU. Topografi kawasan ini datar sampai berbukit dengan jenis tanah dominan podsolik merah kuning. Bagian tengah Bukit Kelam merupakan hutan hujan tropis yang kondisinya tidak primer lagi akibat kebakaran hutan tahun 1997 (Kayoman, 2005). Kegiatan ini juga diarahkan ke kawasan sekitar di dua kecamatan tersebut dan juga di kecamatan lain yaitu Kecamatan Sepauk yang letaknya berbatasan dengan Kecamatan Sintang di sebelah barat. Anggrek merupakan salah satu tumbuhan hias yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan anggrek sering dieksploitasi secara berlebihan. Akibatnya beberapa jenis anggrek menjadi terancam atau bahkan langka keberadaan populasinya. Hal ini juga diperparah dengan semakin rusaknya hutan yang menjadi habitat alami bagi anggrek alam. Kalimantan sendiri diperkirakan memiliki 2.500-3.000 jenis anggrek spesies (Siregar dkk., 2005). UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi merupakan salah satu lembaga konservasi flora ex situ yang salah satu kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan eksplorasi dan inventarisasi tumbuhan di beberapa kawasan di Indonesia, terutama yang berhabitat dataran rendah dengan tujuan mengkonservasi tumbuhan yang langka, endemik dan berpotensi ekonomi serta nilai ilmiah. Inventarisasi anggrek telah dilakukan di TWA Bukit Kelam, TWA Baning dan beberapa kawasan di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat untuk tahap awal pendokumetasian data jenis anggrek yang tumbuh di kawasan tersebut.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 21-24

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil inventarisasi anggrek di beberapa kawasan di kabupaten Sintang didapatkan 40 jenis anggrek yang tergolong dalam 27 marga, 30 jenis di antaranya adalah anggrek epifit dan hanya 10 jenis yang berupa anggrek terestrial atau anggrek tanah (Tabel 1). Dari semua jenis tersebut, 15 jenis di antaranya belum teridentifikasi sampai tingkat jenis (baru diketahui marganya) karena anggrekanggrek tersebut pada waktu pengamatan belum berbunga. Jumlah jenis anggrek epifit di sebagian besar lokasi pengamatan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jenis anggrek terestrial. Menurut Arditti (1992) epifitik merupakan salah satu karakter yang paling menonjol pada anggrek dibandingkan cara hidup yang terestrial. Jenis pohon inang bagi anggrek di lokasi pengamatan antara lain dari marga Durio, Malotus, Artocarpus, Macaranga, Alstonia yang pada umumnya mempunyai struktur batang agak lunak sehingga memudahkan organisme lain untuk menempel misalnya lumut, tumbuhan epifit (anggrek, paku dan lain-lain). Keanekaragaman anggrek TWA Baning Tercatat sebanyak 15 jenis anggrek (tergolong dalam 10 marga) yang terdiri atas 8 jenis anggrek epifit dan 7 jenis anggrek terestrial. Anggrek epifit yang berhasil ditemui adalah dari marga Acriopsis, Bulbophyllum, Dendrobium dan Eria, sedangkan untuk anggrek terestrial dari marga Arundina, Bromheadia, Corymborkis, Dipodium, Aphyllorchis dan Goodyera. Ekosistem kawasan ini sebenarnya lebih mendekati ekosistem hutan rawa gambut (peat swamp forest), namun jenis-jenis yang ditemukan beberapa di antaranya juga merupakan jenis yang biasa tumbuh di ekosistem lain, misalnya marga Goodyera yang biasanya hidup di ekosistem hutan kapur (limestone) dan hutan hujan tropis pegunungan, Arundina dan Corymborkis yang lebih sering ditemukan di ekosistem hutan tropis dataran rendah terutama daerah yang terbuka, sebaliknya jenis-jenis yang biasanya dijumpai di hutan rawa gambut justru tidak ditemukan di kawasan ini misal (menurut Chan dkk., 1994) dari marga Malaxis, Plocoglottis, Grammatophyllum, dan lain-lain. Jalan Sintang-Putusibau Kawasan ini mempunyai tipe ekosistem hutan dataran rendah dengan kondisi hutan yang terbuka dan rusak. Lokasi pengamatan di Jalan Poros Sintang Putusibou ini terbagi menjadi 3 yang kesemuanya sangat berdekatan dengan aktivitas manusia, yaitu KM 1 yang terletak di belakang

SMT

KM10

Habitus

KM2

Nama jenis

KM1

Lokasi BLW

Kegiatan inventarisasi ini dilakukan pada 3-23 Juli 2005 di tujuh lokasi pengamatan di tiga kecamatan yang termasuk wilayah kabupaten Sintang yaitu: (i) Taman Wisata Alam (TWA) Baning; Jalan Sintang-Putusibau KM 1 dan KM 2, Desa Akcaya I, serta KM 10 Desa Jerora, kesemuanya di Kecamatan Sintang; (ii) TWA Bukit Kelam dan Hutan Lindung Bukit Luwit, keduanya di Kecamatan Kelam Permai; serta (iii) Hutan dusun Mengkusai, desa Semuntai, kecamatan Sepauk. Metode yang digunakan adalah metode eksplorasi (jelajah) dengan menelusuri jalur yang sudah ada. Data yang dicatat meliputi: jenis yang ditemukan, morfologi dan habitat.

Tabel 1. Jenis-jenis anggrek di beberapa kawasan di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.

BAN

BAHAN DAN METODE

BKL

22

epifit + + + + + - + Acriopsis indica epifit + - - - - - Aerides odorata terestrial - + - + + + + Arundina graminifolia Acanthephippium sp. terestrial - - - - - - + Agrostophylum sp. * epifit - - - - - - + Aphyllorchis sp. terestrial - + - - - - Bulbophyllum sp.1 (d.pendek) epifit + + + + - - + Bulbophyllum sp.2 (d.lebar) epifit - + - - - - Bulbophyllum sp.3 (d. lonjong) epifit - + - - - - Bulbophyllum sp.4 epifit - + - - - - terestrial + + - + + + + Bromheadia finlaysoniana terestrial - + - - - - Corymborkis veratrifolia epifit + - - + - - + Cymbidium finlaysonianum epifit - - - - - - + Cymbidium aloifolium Cymbidium sp. epifit + - - - - - + epifit + - - - - - + Dendrobium anosmum epifit + + + + + + + Dendrobium crumenatum epifit + - - - - - + Dendrobium secundum epifit + - - - - - Dendrobium bracteosum epifit + - - - - - Dendrobium rhodostele Dendrobium sp. epifit + - - - - - terestrial - + - - - - Dipodium paludosum terestrial - + - - - - + Dipodium scandens epifit + - - - - - Eria ornata * epifit + + + + - - + Eria pannea Eria sp. epifit - + - - - - epifit - - - - - - + Flickingeria auriloba + - - + - - + Grammatophyllum speciosum epifit terestrial - + - - - - Goodyera rubicunda Oberonia sp. epifit + - - - - - Plocoglottis sp. terestrial - - - - - - + epifit - - - - - - + Pteroceras emarginata epifit - - - - - - + Pomatocalpa spicata epifit - - - - - - + Sarcanthus aloifolius Saccolabium sp. epifit + - - - - - epifit + - - - - - Thrixspermum subulatum epifit - - - + - - Thecostele alata Vanda sp. epifit + - - - - - Malaxis sp. terestrial + - - - - - epifit - - - - - - + Phalaenopsis cornucervi Keterangan: *= koleksi baru di Kebun Raya Purwodadi. BKL = TWA Bukit Kelam, BAN = TWA Baning, BLW = Hutan Lindung Bukit Luwit, KM1 = Jl. Sintang-Putusibau Km 1, KM2 = Jl. SintangPutusibau Km 2, KM10 = Jl. Sintang-Putusibau Km 10, MKS = Hutan Mengkusai.

kantor Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkar); KM 2 yang terletak di Desa Akcaya I, dan KM 10 yang terletak di Desa Jerora. Dari ketiga lokasi ini, jumlah jenis anggrek yang paling banyak dijumpai adalah di KM 1 yaitu sebanyak 9 jenis, terdiri atas 7 jenis anggrek epifit dan 2 jenis anggrek terestrial. Anggrek epifit yang ditemukan di lokasi ini antara lain dari marga Acriopsis, Bulbophyllum, Cymbidium, Dendrobium, Eria, Grammatophyllum dan Thecostele. Selanjutnya di KM 2 dijumpai 4 jenis anggrek yang terdiri atas 2 jenis anggrek epifit (Acriopsis dan Dendrobium) dan 2 jenis anggrek terestrial. Lokasi KM 10 dijumpai hanya 1 jenis anggrek epifit yaitu Dendrobium


ARIYANTI dan PA’I – Anggrek di Kabupaten Sintang

crumenatum dan 2 jenis anggrek terestrial. Anggrek terestrial yang dijumpai di ketiga lokasi ini sama, sebanyak 2 jenis yaitu Arundina graminifolia dan Bromheadia finlaysoniana. Keanekaragaman anggrek di KM 2 Desa Akcaya I dan KM 10 Desa Jerora rendah disebabkan kawasan ini banyak mendapat gangguan yaitu aktivitas masyarakat sekitar karena daerah ini berdekatan langsung dengan pemukiman, sedangkan keanekaragaman jenis anggrek di KM 1 masih relatif lebih tinggi karena meskipun berdekatan dengan kantor, namun gangguan terhadap habitat anggrek (termasuk pohon inang) relatif lebih sedikit. TWA Bukit Kelam TWA Bukit Kelam mempunyai ekosistem hutan dataran rendah (dengan ketinggian kurang lebih 10 – 600 m dpl.) dan hutan hujan tropis. Namun pada tahun 1997 terjadi kebakaran di bagian tengah bukit, sehingga banyak pohon besar yang mati (Kayoman, 2005). Kegiatan inventarisasi anggrek di kawasan ini berhasil mendapatkan 20 jenis yang terdiri atas 18 jenis anggrek epifit dan 2 jenis anggrek terestrial. Anggrek epifit yang dijumpai di kawasan ini antara lain dari marga Acriopsis, Cymbidium, Dendrobium, Eria, Vanda, Aerides, Bulbophyllum, Grammatophyllum, Oberonia, Saccolabium dan Thrixspermum, sedangkan anggrek terestrial yang dijumpai hanya 2 marga yaitu Bromheadia (B. finlaysoniana) dan Malaxis. Pada tipe ekosistem ini anggrek terestrial tidak begitu umum dijumpai di lantai hutan yang ternaungi, tetapi jumlahnya meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya, biasanya mendekati sungai kecil atau punggung bukit. Hutan sekunder dan area terbuka merupakan habitat yang lebih sesuai bagi anggrek terestrial seperti Arundina graminifolia, Bromheadia finlaysoniana dan Phaius tankervilleae, satu di antaranya yaitu B. finlaysoniana ditemukan kawasan ini. Jenis-jenis anggrek epifit yang umum ditemukan di hutan tropis dataran rendah antara lain Aerides odorata, Cymbidium finlaysonianum, Dendrobium crumenatum serta beberapa jenis Bulbophyllum dan Thrixspermum (Chan dkk., 1994). Dilihat dari tipe ekosistemnya, kawasan ini kemungkinan mempunyai jenis anggrek yang lebih banyak karena ada dua tipe ekosistem yaitu ekosistem hutan dataran rendah dan hutan hujan tropis. Namun gangguan dan kerusakan hutan akibat kebakaran hutan atau gangguan lain seperti dari pengunjung dan masyarakat sekitar, kemungkinan mengurangi keragaman jenis dan jumlah anggrek alam yang tumbuh di kawasan tersebut. Hutan Lindung Bukit Luwit Tipe ekosistem di kawasan ini adalah hutan dataran rendah. Lokasi HL Bukit Luwit ini berdekatan dengan TWA Bukit Kelam, namun jenis-jenis anggrek yang dijumpai jauh lebih sedikit dibandingkan dengan TWA Bukit Kelam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh daerahnya yang berbatuan dan lebih banyaknya gangguan seperti dari masyarakat sekitar (logging) dan kebakaran hutan sehingga habitat alami anggrek banyak yang rusak, hal ini selain menyebabkan mati atau hilangnya beberapa jenis anggrek juga menyebabkan anggrek tidak dapat hidup dengan subur. Jumlah anggrek yang berhasil diinventarisasi sebanyak 4 jenis yang semuanya merupakan anggrek epifit, yaitu Acriopsis, Bulbophyllum, Dendrobium dan Eria. Hutan Mengkusai, Desa Semuntai Lokasi ini mempunyai tipe ekosistem hutan dataran rendah. Di lokasi ini ditemukan paling banyak jenis anggrek karena kondisi hutannya masih relatif bagus dibandingkan dengan lokasi yang lain, yaitu sebanyak 21 jenis yang

23

terdiri atas 16 epifit dan 5 terestrial. Anggrek epifit yang dijumpai di lokasi ini antara lain dari marga Acriopsis, Acanthephippium, Agrostophyllum, Bulbophyllum, Cymbidium, Dendrobium, Eria, Flickingeria, Grammatophyllum, Pteroceras, Pomatocalpa, Sarcanthus dan Phalaenopsis, sedangkan anggrek terestrial yang ditemukan adalah Arundina, Bromheadia, Plocoglottis dan Dipodium.

Deskripsi Deskripsi singkat beberapa jenis anggrek yang paling menarik di kabupaten Sintang sebagai berikut: Aphyllorchis sp. Jenis ini merupakan anggrek terestrial saprofitik (hidup dari sisa-sisa mahluk hidup lain atau sampah), seperti tak berdaun, mempunyai rizoma kecil memanjang di bawah tanah, berbunga sedikit, letak terminal pada batang yang ramping. Anggrek ini hanya ditemukan di TWA Baning. Pada saat ditemukan, anggrek tersebut belum berbunga, hanya terdapat kuncup bunga dan buah, sehingga menyulitkan untuk diidentifikasi. Hasil identifikasi sementara, anggrek tersebut tergolong marga Aphyllorchis. Jenis ini merupakan koleksi baru bagi Kebun Raya Purwodadi, tetapi mungkin akan sulit dikembangbiakkan karena merupakan tumbuhan yang bersifat saprofit. Phalaenopsis cornucervi (Breda) Bl. & Rchb.f. Jenis ini juga dikenal sebagai anggrek ekor buaya atau anggrek bulan loreng (Siregar dkk., 2005), mempunyai beberapa sinonim: Polychillos cornucervi Bredal, Polystylus cornucervi (Breda) Hassk., Phalaenopsis devriesiana Rchb.f. (Comber, 1990, 2001). Biasa ditemukan pada ketinggian 0-500 m dpl. Bunganya tahan lama sampai berbulan-bulan. Satu tandan dapat menghasilkan 3 tangkai bunga yang masing-masing terdiri atas 1-3 kuntum bunga yang mekar bersamaaan. Warna bunga kuning kehijauan dengan bercak garis-garis coklat. Anggrek ini hanya ditemukan di hutan dusun Mengkusai, Sepauk. Dendrobium secundum (Bl.) Lindl. Anggrek ini disebut juga sebagai anggrek sikat atau anggrek kesumba (Siregar dkk., 2005). Bunganya tumbuh di satu sisi tangkai bunga yang panjangnya kurang lebih 10 cm. Bunga warna ungu muda, merah muda atau kadangkadang putih. Batangnya selebar jari telunjuk. Anggrek ini dijumpai di TWA Bukit Kelam dan hutan dusun Mengkusai, Sepauk yang kondisi hutan relatif bagus sehingga banyak naungan, karena anggrek ini hanya memerlukan cahaya matahari kurang lebih sebesar 50% (Siregar dkk., 2005). Grammatophyllum speciosum Bl. Anggrek ini juga dikenal sebagai anggrek macan, di Kalimantan Barat dikenal sebagai anggrek tebu (Siregar dkk., 2005) dengan beberapa sinonim: G. macranthum (Wight.) Rchb.f., Pattonia macrantha Wight., G. fastuosum Lindl., G. wallisii Rchb.f., G. giganteum Bl. ex Rchb.f. (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Jenis ini mempunyai bunga yang tahan lama, besar dan menarik, sepal dan petalnya mempunyai bercak coklat yang menarik. Penyebaran jenis ini di Kalimantan cukup luas meliputi hutan dataran rendah tropis, hutan gambut dan hutan kerangas (Chan dkk., 1994). Selain ditemukan di TWA Bukit Kelam, G. speciosum juga ditemukan di KM 1 Jalan Poros Sintang-Putusibou dan di hutan dusun Mengkusai, desa Semuntai, kecamatan Sepauk.


24

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 21-24

a

b

c

e

d

g

f

h

i

Gambar 1. Keragaman anggrek dari Sintang Kalimantan Barat. (a) Arundina graminifolia, (b) Bromheadia finlaysoniana, dan (c) kuncup bunganya, (d) Didymoplexis sp., (e) kuncup bunga dan buah serta (f) rizoma, (g) Phalaenopsis cornucervi, (h) Dendrobium secundum, dan (i) Eria ornata.

Eria ornata (Bl.) Lindl. Anggrek epifit ini mempunyai rizoma yang merambat dengan pseudobulb (umbi semu) yang besar dan keras. Setiap bulb terdapat 3-5 daun yang juga keras. Panjang tangkai bunga 40 cm, warna jingga cerah, muncul dari dasar bulb. Sepal dan petal berwarna putih jingga dan bibir (labellum) jingga tua. Anggrek ini ditemukan di TWA Bukit Kelam dan merupakan koleksi baru bagi Kebun Raya Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur.

KESIMPULAN Dari hasil inventarisasi anggrek di 7 lokasi pengamatan di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ditemukan 40 jenis anggrek yang tergolong dalam 27 marga, 32 jenis berupa anggrek epifit dan 8 jenis berupa anggrek terestrial.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Kalimantan Barat. http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_ Barat. Anonim. 2007. Peta Geografi Sintang. http://www.sintang.go.id/map Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. New York: John Wiley and Sons. Chan, C.L., A. Lamb, P.S. Shin, J.J. Wood. 1994. Orchids of Borneo, Vol. 1. Sabah: The Sabah Society Kota Kinabalu and Royal Botanic Gardes Kew. Comber, J.B. 1990. Orchids of Java. London: The Royal Botanic Gardens Kew. Comber, J.B. 2001. Orchids of Sumatra. London: The Royal Botanic Gardens Kew. Kayoman, L. 2005. Informasi kawasan konservasi Kalimantan Barat dan upaya konservasi lainnya. Pontianak: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, A. Mangalir. 1996. The Ecology of Kalimantan. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. Puspitaningtyas, D.M. dan S. Mursidawati. 1999. Koleksi Anggrek Kebun Raya Bogor Vol. 1 No. 2. Bogor: UPT Balai Pengembangan Kebun Raya, LIPI. Siregar, C., A. Listiawati, dan Purwaningsih. 2005. Anggrek Spesies Kalimantan Barat Vol. 1. Pontianak: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Kalimantan Barat (LP3-KB).


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 25-29

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Ecological study on mangrove forest in East Coast of North Sumatra ONRIZAL1,♼, CECEP KUSMANA2 1

Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan 20155. 2 Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. Diterima: 27 Desember 2007. Disetujui: 30 Januari 2008.

ABSTRACT Ecological studies on mangrove forest in East Coast of North Sumatra have been carried out with field work in transect method and laboratory analyses. This study would be covered on floristic composition, abrasion, green belt, soil properties, and water quality of mangroves. Land system map and landsat TM imagery (year 1996 coverage) as main material in this study were used and overlay to determine training area. Based on vegetation inventory found that 20 mangrove species and by vegetation analyses, we known that Avicennia marina was as dominant tree species of seedling and sapling stage. Tree stage was not found in the area, yet. Environment properties of the mangrove area were suitable for mangrove growth and rehabilitation with the exception of pyrite content in the mangrove soil. Average of mangrove green belt was 25 m with range from 10 to 80 m in KJP (Kajapah) land system and 30 m with range 10 to 50 m in PTG (Putting) land system. Abrasion rate in the area was very high, i.e. 6 m per year in KJP land system, and 10 m per year in PTG land system. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: mangrove, abrasion, green belt, soil properties, water quality, North Sumatra.

PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984), dimana sebagian daerah pantai tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa kilometer. Walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia (FAO, 1992), namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada tahun 1993 menjadi 3,73 juta ha (Departemen Kehutanan, 1997) sehingga dalam kurun waktu 11 tahun tersebut hutan mangrove berkurang seluas 0,52 juta ha Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkawatirkan, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, dan meningkatnya angka kejadian malaria. Bahkan di pantai timur Sumatera Utara, kerusakan mangrove di pulau Tapak Kuda yang terletak di pantai timur Langkat, mengakibatkan pulau tersebut sekarang sudah hilang/tenggelam. Purwoko (2005) melaporkan bahwa kerusakan mangrove di pantai kecamatan Secanggang, kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap, dimana 56,32% jenis ikan menjadi langka/sulit ♼ Alamat korespondensi: Jl. Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155. Tel. +62-61-8220605, Facs. +62-61-8201920 e-mail: onrizal03@yahoo.com; onrizal@usu.ac.id

didapat, dan 35,36% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap, disertai penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan, dan sekitar 85,4% respoden kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove. Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara menyebabkan berkurangnya secara nyara kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) (Amala, 2004). Salah satu penyebab utama kondisi tersebut adalah pemanfaatan mangrove yang tidak didasarkan pada kondisi ekologi/daya dukungnya. Dengan demikian masalah utama yang sangat penting dalam pengelolaan mangrove di Indonesia adalah kurangnya data dan pengetahuan tentang ekosistem mangrove. Oleh karena itu, penelitian tentang ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara ini menjadi sangat penting dilakukan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar dan pertimbangan untuk kegiatan (i) rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (ii) pengelolaan mangrove untuk masa kini dan masa mendatang, dan (iii) memperkaya data dan pengetahuan tentang hutan mangrove.

BAHAN DAN METODE Mengingat cukup luasnya areal yang diteliti, maka pengamatan dan pengukuran di lapangan dilakukan pada lokasi terpilih (training area) berdasarkan kombinasi informasi (i) kesesuain lahan dari peta sistem lahan (land system) yang dikeluarkan oleh Bakorsultanal dan (ii) penutupan lahan (land cover) dari peta Landsat TM. Setelah dikombinasikan, diketahui bahwa hutan mangrove


26

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 25-29

Gambar 1. Lokasi pencuplikan data ekologi mangrove di pantai timur Sumatera Utara.

pantai timur Sumatera Utara tumbuh pada sistem lahan KJP (Kajapah) dan PTG (Putting) dengan posisi lokasi terpilih untuk pencuplikan data adalah 3o30'22,44" LU, o o o 99 14'06,0" BT dan 3 13'0,00" LU, 99 34'12,5" BT pada o sistem lahan KJP, dan 3 34'3,24" LU, 99o07'11,06" BT dan o o 3 22'24,09" LU, 99 23'47,03" BT pada sistem lahan PTG (Gambar 1). Data yang dikumpulkan dalam survei lapangan meliputi keanekaragaman jenis, lebar jalur hijau, abrasi, kondisi tanah dan kualitas air. Pencuplikan data flora pada setiap sistem lahan dilakukan dengan dua cara, yaitu inventarisasi flora dan analisis vegetasi. Inventarisasi flora dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum keadaan vegetasi di daerah penelitian, sedangkan analisis vegetasi untuk mengetahui struktur dan komposisi jenis. Analisis vegetasi dilakukan dengan metoda petak, dimana petak ukur (PU) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur pada setiap lokasi terpilih. Di dalam setiap PU secara nested sampling dibuat sub-sub PU untuk permudaan, yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk pohon. Kriteria tingkat permudaan yang digunakan adalah: (i) semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai tingginya ≤ 1,5 m, (ii) pancang adalah anakan pohon dengan diamater < 10 cm dan tinggi > 1,5 m, dan (iii) pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≼ 10 cm (Kusmana, 1997). Pada setiap sub-PU semai dan pancang dilakukan identifikasi jenis dan dicatat jumlah setiap jenisnya, sedangkan pada setiap sub-PU pohon dilakukan identifikasi jenis dan diukur diamater dan tinggi setiap individu pohon.

Indeks nilai penting (INP) (Cox 1985) digunakan untuk mengetahui jenis pohon dominan di setiap tingkat permudaan. Pengambilan data fisik-kimia tanah dan kualitas air dilakukan pada lokasi yang sama dengan pencuplikan data vegetasi. Selain pengukuran dan pengambilan langsung di lapangan, beberapa parameter tanah dan kualitas air dianalisis di laboratorium.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik mangrove pada sistem lahan KJP Struktur dan komposisi jenis Hasil inventarisasi flora menunjukkan bahwa pada sistem lahan KJP dijumpai 16 jenis flora mangrove. Berdasarkan pengelompokan flora mengrove oleh Tomlison (1986), flora mangrove yang dijumpai tersebut terdiri dari 11 jenis mangrove sejati, 4 jenis mangrove pendukung dan 1 jenis asosiasi mangrove (Tabel 1). Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pada sistem lahan KJP dijumpai 6 jenis pohon mangrove, yaitu Avicennia marina, A. alba, Bruguiera sexangula, B.cylindrica, Ceriops tagal dan C. decandra. Berdasarkan tingkat permudaannya, jenis-jenis yang dijumpai berada pada tingkat semai dan tingkat pancang, sedangkan pada tingkat pohon sudah tidak dijumpai lagi. Jenis A. marina merupakan jenis yang mendominasi di semua tingkat permudaan. Pada tingkat semai, A. marina sebagai jenis dominan pada tingkat semai memiliki kerapatan 4.575 ind/ha dengan INP 91,68%, sedangkan


ONRIZAL dan KUSMANA – Mangrove di pantai timur Sumatera Utara

pada tingkat pancang, A. marina memiliki kerapatan 1.212 ind/ha dengan INP 66,96%. Jenis kodominan pada kedua tingkat permudaan tersebut berbeda, dimana pada tingkat semai jenis kodominannya adalah A. alba dengan kerapatan 2.125 ind/ha dan INP 48,32%; dan pada tingkat pancang adalah Bruguiera cylindrica dengan kerapatan 1.748 ind/ha dan INP 55,05%. Kerapatan total seluruh jenis adalah 10.275 ind/ha untuk tingkat semai dan 4.184 ind/ha pada tingkat pancang (Tabel 2). Berdasarkan kriteria yang dikemukan Kusmana (1995), seluruh jenis yang dijumpai tersebar secara tidak merata, dimana sebarannya kurang dari 75%. Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai pada pantai timur Sumatera Utara. Kelompok dan nama jenis

KJP

PTG

Mangrove sejati v v Avicennia alba v v A. marina v v A. officinalis v v Bruguiera gymnorrhiza v B. cylindrica v v B. sexangula v Ceriops tagal v C. decandra v v Nypa fruticans v v Rhizophora apiculata v R. mucronata v Lumnitzera littorea Mangrove pendukung v v Aegiceras corniculatum v v Acrosticum aureum v Excoecaria agallocha v v Xylocarpus granatum v X. mollucensis Asosiasi mangrove v v Acanthus ilicifolius v Terminalia catappa v Hibiscus tiliaceus Keterangan: ms = mangrove sejati, mp = mangrove pendukung, am = asosiasi mangrove, v = dijumpai,-= tidak dijumpai.

Tabel 2. Indeks nilai penting (INP) tingkat semai di sistem lahan KJP dan PTG di pantai timur Sumatera Utara.

Jenis A. marina A. alba B. sexangula B. cylindrica C. tagal C. decandra E. agallocha Jumlah

Sistem lahan KJP Sistem lahan PTG K F INP K F INP (ind/ha) (%) (%) (ind/ha) (%) (%) 4.575 58 91,68 11.850 92 173,83 2.125 34 48,32 675 9 13,26 2.175 8 27,67 550 9 12,67 375 5 7,72 475 9 11,94 400 11 12,91 10.275 12.925

Tabel 3. Indeks nilai penting (INP) tingkat semai dan pancang pada sistem lahan PTG di pantai timur Sumatera Utara

Jenis A. marina A. alba E. agallocha Jumlah

Sistem Lahan KJP Sistem Lahan PTG K F INP K F INP (%) (ind/ha) (%) (%) (ind/ha) (%) 11.850 92 173,83 3.300 94 166,26 675 9 13,26 156 11 13,10 400 11 12,91 168 20 20,64 12.925 3.624

27

Jalur hijau mangrove Hutan mangrove pada sistem lahan KJP pantai timur Sumatera Utara ini terdapat pada kiri-kanan sungai dan tepi pantai dengan lebar rata-rata sekitar 25 m, yang bervariasi dari 10-80 m dengan pola tumbuh terpencar-pencar. Secara umum vegetasi pohon yang ada merupakan sisa hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak sejak tahun 1980. Vegetasi mangrove yang dijumpai saat ini merupakan permudaan yang tumbuh pada areal bekas tambak. Berdasarkan informasi dari masyarakat, diketahui bahwa pengkonversian mangrove menjadi tambak terbuka di sistem lahan ini terjadi sejak tahun 1977 dan hanya bertahan 3-5 tahun, kemudian ditinggalkan karena banyaknya serangan penyakit. Berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990, ditetapkan lebar jalur hijau mangrove (LJHM) suatu daerah ditentukan dengan formula 130 x pps (perbedaan pasang tertinggi dan surut terendah). Pantai timur Sumatera Utara yang memiliki pps rata-rata 1,5 m, maka seharusnya lebar minimum LJHM adalah 195 m. Sehingga dengan LJHM sebesar 80 m pada sistem lahan KJP jauh dari batas minimum LJHM yang diperkenankan. Abrasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan masyarakat di sekitar kawasan, pada sistem lahan KJP, diperkirakan garis pantai pada tahun 1982 mencapai 100 m dari garis pantai yang dijumpai saat penelitian (1997). Dengan demikian, laju abrasi rata-rata adalah 6 m/tahun dalam kurun waktu 15 tahun tersebut. Besarnya laju abrasi yang terjadi dapat dipahami, oleh karena tipisnya LJHM yang tersisa. Sehingga fungsi mangrove sebagai penyangga (buffer) yang salah satunya berupa perlindungan pesisir pantai dari abrasi menjadi berkurang atau malah hilang sama sekali. Kondisi fisik-kimia tanah Sistem lahan KJP ini memiliki landform dataran lumpur antar pasang surut di bawah mangrove dengan kemiringan lereng < 2% dan relief < 2 m. Tanah yang dijumpai adalah sulfaquents yang berbahan induk campuran estuarine dan marine yang masih muda. Tanah sulfaquents dengan kondisi mangrove rapat memiliki tekstur lempung berpasir sampai liat berlempung dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah umumnya sangat buruk dengan kedalaman perakaran 0-48 cm dan kedalaman air tanah 0-30 cm. Warna tanah umumnya abuabu dengan chroma 1. Derajat keasaman tanah umumnya tinggi yaitu sebesar 7. Potensi pirit dijumpai pada kedalaman 22-56 cm dan 56-108 cm yang ditunjukkan oleh penurunan pH H2O sebesar dua satuan setelah tanah tersebut dioksidasi dengan H2O2. Berdasarkan analisis laboratorium, kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tanah tersebut adalah 2,09% dan 0,82%. Pada kondisi mangrove yang telah gundul, tanah sulfaquents memiliki tekstur lempung berpasir sampai liat berlempung dengan konsistensi agak lekat sampai sangat lekat. Drainase tanah umumnya sangat buruk dengan kedalaman air tanah 0-45 cm. Warna tanah pada setiap lapisan adalah abu-abu dengan chroma 2 atau kurang. Derajat keasaman tanah berkisar 6-7. Potensi pirit terdapat pada kedalaman 17-70 cm, yang ditunjukkan oleh penurunan pH H2O sebesar dua satuan setelah tanah tersebut dioksidasi Berdasarkan analisis laboratorium, dengan H2O2. kandungan pirit pada kedalaman tanah tersebut adalah 0,78%.


28

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 25-29

Kualitas air Hasil pengukuran parameter fisik-kimia air pada sistem lahan KJP menunjukkan bahwa untuk parameter suhu (31oC), kecerahan (10 cm), kekeruhan (64,0 NTU), pH o (6,5), salinitas (30 /oo), amonium (0,659 mg/L), Hg (0,002 mg/L), Cd (0,001 mg/L) dan deterjen (0,001 mg/L) telah sesuai dengan baku mutu lingkungan. Parameter COD (198,25 mg/L) dan DO (2,92 mg/L) tidak memenuhi baku mutu lingkungan. Karakterisitik mangrove pada sistem lahan PTG Struktur dan komposisi jenis Pada sistem lahan PTG dijumpai 15 jenis flora mangrove penyusun hutan mangrove. Berdasarkan klasifikasi Tomlison (1986), jenis flora mangrove tersebut terdiri dari 8 jenis mangrove sejati, 4 jenis mangrove pendukung, dan 3 jenis asosiasi mangrove (Tabel 1). Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pada sistem lahan PTG hanya dijumpai 3 jenis pohon mangrove, yakni A. marina, A. alba dan E. agallocha yang berada pada tingkat semai dan pancang. Jenis A. marina merupakan jenis yang sangat dominan pada dua tingkat permudaan tersebut, dimana INP pada tingkat semai mencapai 173,83% dan tingkat pancang mencapai 166,26% dari 200% nilai maksimum INP (Tabel 3). Selain jenis A. marina yang tersebar secara merata, kedua jenis lain yang dijumpai pada sistem lahan PTG tersebar secara tidak merata. Jalur hijau mangrove Hutan mangrove pada sistem lahan PTG ini tumbuh pada kiri-kanan sungai dan pesisir pantai dengan lebar rata-rata sekitar 30 m yang bervariasi dari 10-50 m. Secara umum mangrove yang ada merupakan permudaan yang tumbuh pada areal bekas tambak. Berdasarkan informasi dari masyarakat, sebagaimana pada sistem lahan KJP diketahui bahwa pengkonversian mangrove menjadi tambak terbuka di sistem lahan ini terjadi sejak tahun 1977 dan hanya bertahan 3-5 tahun, kemudian ditinggalkan karena banyaknya serangan penyakit. Berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990, dengan LJHM 50 m pada sistem lahan PTG, maka LJHM tersebut jauh dari batas minimum LJHM yang diperkenankan, yakni 195 m dengan perbedaan pasang surut rata-rata sebesar 1,5 m. Abrasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan masyarakat di sekitar kawasan, pada sistem lahan PTG, diperkirakan garis pantai pada tahun 1982 mencapai 150 m dari garis pantai yang dijumpai saat penelitian. Informasi tersebut menunjukkan bahwa abrasi yang terjadi mencapai 10 m/tahun, didasarkan pada perhitungan tahun 1997. Sebagaimana pada sistem lahan KJP, besarnya laju abrasi yang terjadi pada sistem lahan PTG dapat dipahami, oleh karena tipisnya LJHM yang tersisa. Sehingga fungsi mangrove sebagai penyangga (buffer) yang salah satunya berupa perlindungan pesisir pantai dari abrasi menjadi berkurang atau malah hilang sama sekali. Kondisi fisik-kimia tanah Sistem lahan PTG memiliki landform endapan pasir pesisir pantai dengan keadaan relief 2-10 m dan kemiringan lereng < 2%. Tanah yang dijumpai adalah tropopsamments dengan bahan induk tanah berasal dari batuan aluvium dan pasir pantai marine muda. Tanah tropopsamments pada sistem lahan PTG ini memiliki tekstur lempung berpasir sampai pasir dengan konsistensi agak lekat sampai tidak

lekat. Drainase tanah umumnya sangat buruk dengan kedalaman perakaran 0-90 cm dan kedalaman air tanah 0-5 cm. Warna tanah umumnya abu-abu dengan chroma 1 pada setiap lapisannya. Derajat keasaman tanah berdasarkan H2O berkisar antara 6-7. Potensi pirit diduga terdapat pada kedalaman 9-33 cm dan 66-120 cm, yang ditunjukkan oleh penurunan pH H2O sebesar dua satuan setelah tanah tersebut dioksidasi dengan H2O2. Berdasarkan analisis laboratorium, kandungan pirit pada masing-masing kedalaman tanah tersebut adalah 1,05% dan 1,39%. Kualitas air Hasil pengukuran parameter fisik-kimia air pada sistem lahan PTG menunjukkan bahwa untuk parameter suhu o (32 C), kecerahan (10 cm), kekeruhan (91,0 NTU), pH (6,5), salinitas (10o/oo), COD (44,56 mg/L), amonium (0,631 mg/L), Hg (0.001 mg/L), Cd (0,001 mg/L) dan deterjen (0,000 mg/L) telah memenuhi baku mutu lingkungan. Sehingga semua parameter kualitas air di sistem lahan PTG yang dianalisis memenuhi baku mutu lingkungan. Pembahasan Kekayaan jenis yang dijumpai berbeda dengan mangrove di pantai Morowali, Sulawesi Tengah (Darnedi dan Budiman, 1982), kepulauan Aru, Maluku (Pramudji, 1986), teluk Ambon (Setiadi dan Pramudji, 1986), dan Grajakan, Banyuwangi (Soeroyo dan Sukardjo, 1990) dan Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan (Soehardjono, 1999). Selain berbeda dalam kekakayaan jenis, juga berbeda dalam kerapatan masing-masing jenis pada daerah yang berbeda. Kerapatan total tingkat pancang di Gosong Telaga, yakni 5.820 ind/ha dan 4.863 ind/ha masih yang tertinggi dari daerah lain, termasuk mangrove di lokasi penelitian yang memiliki kerapatan sebesar 4.184 ind/ha dan 3.624 ind/ha. Berdasarkan tingkat permudaannya, jenis-jenis yang dijumpai di kedua sistem lahan tersebut berada pada tingkat semai dan tingkat pancang, sedangkan tingkat pohon sudah tidak dijumpai lagi. Oleh karena itu, hutan mangrove tersebut berada pada taraf perkembangan setelah mengalami gangguan sebelumnya, sama seperti hutan mangrove di Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan yang dilaporkan oleh Soehardjono (1999). Pada hutan mangrove pantai timur Sumatera Utara, gangguan utama perkembangan mangrove adalah konversi lahan untuk tambak dan pengambilan pohon mangrove untuk kayu arang. Jenis utama yang dijadikan arang adalah kelompok Rhizophora spp. dan Bruguiera spp. mulai pohon berdiameter 5 cm. Penggunaan kedua jenis tersebut untuk arang karena kandungan kalornya yang tinggi, sebagaimana dilaporkan oleh FAO (1994). Kayu dari jenis Avicennia spp., Ceriops spp. dan Xylocarpus spp. dijadikan sebagai kayu bakar pada tungku arang atau kayu bakar untuk rumah tangga. Penggunaan jenis-jenis tersebut sebagai bahan bakar juga dilaporkan di Mida Creek, Kenya (Dahdouh-Guebas et al., 2000) dan Andhra Pradesh, India (Dahdouh-Guebas at al., 2006). Oleh karena itu, pada areal tersebut vegetasi mangrove sangat sulit mencapai tingkat pohon karena sebelum mencapai tingkat pohon telah ditebang untuk industri arang. Jenis A. marina diperkirakan akan merajai populasi tingkat pohon mangrove di lokasi penelitian di masa mendatang jika faktor gangguan dapat diatasi. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya populasi dan suksesi tingkat semai dan pancang di lokasi penelitian. Apabila dibandingkan dengan hutan mangrove di Ciasem,


ONRIZAL dan KUSMANA – Mangrove di pantai timur Sumatera Utara

Pamanukan (Saleh, 1986), Kuala Mandah, Riau (Setiabudi, 1986; Silalahi, 1995; Irmansyah, 1997), pulau Batam (Barus, 1998) dan Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan (Soehardjono, 1999) kecenderungan dominasi pohon juga berbeda. Secara umum faktor lingkungan (tanah dan kualitas air) di kedua sistem lahan mendukung pertumbuhan mangrove dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, kecuali kandungan pirit tanah. Kandungan pirit tanah yang dijumpai di kedua sistem lahan tersebut akan berakibat fatal bagi pertumbuhan mangrove, jika tidak segera diatasi. Pemicu utama potensi pirit tersebut adalah terhambatnya aliran air pasang surut, terutama akibat keberadaan tanggul bekas tambak. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat mengurangi potensi pirit tersebut adalah mengupayakan agar berbagai hambatan yang menyebabkan air pasang masuk untuk menggenangi kawasan tersebut dapat dihilangkan, sehingga aliran air saat pasang dan surut dapat mengalir dengan lancar.

KESIMPULAN DAN SARAN Hutan mangrove di pesisir pantai timur Sumatera Utara yang terletak di sistem lahan KJP dan PTG disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling dominan adalah A. marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda. Parameter tanah dan kualitas air yang penting bagi pertumbuhan mangrove, secara umum tidak melampaui ambang batas yang diperkenankan, kecuali potensi pirit yang terdapat di kedua sistem lahan yang dapat mengancam pertumbuhan mangrove jika tidak segera diatasi, karena bersifat racun bagi tumbuhan. Oleh karena itu, dalam rangka kegiatan rehabilitasi, upaya mengurangi potensi pirit merupakan prioritas utama. Potensi pirit tersebut dapat dikurangi jika penghalang aliran air pasang surut dapat dihilangkan, sehingga kawasan tersebut akan digenangi aliran air pasang surut secara teratur. Prioritas utama areal untuk direhabilitasi adalah areal yang seharusnya berupa jalur hijau mangrove, baik di pesisir pantai maupun di areal kirikanan sungai.

DAFTAR PUSTAKA Amala, W.A.L. 2004. Hubungan Konversi Hutan Mangrove dengan Kemelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Pantai Napabalano Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

29

Barus, S. 1998. Studi Mengenai Lebar Jalur Hijau Mangrove di Wilayah Pesisir Pulau Batam. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.. Cox, G.W. 1985. Laboratory Manual of General Ecology. 5th ed. Dubuque: WCM Brown. Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Utilization mangrove wood products aroud Mida Creek (Kenya) among subsistence and comercial users. Economic Botany 54 (4): 513-527. Dahdouh-Guebas, F., S. Collin, D. Lo Seen, P. RÜnnbäck, D. Depommier, T. Ravishankar, and N. Koedam. 2006. Analysing ethnobotanical and fishery-related importance of mangroves of the East-Godavari Delta (Andhra Pradesh, India) for conservation and management purposes. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 2: 24. www.ethnobiomed.com/content/2/1/24 Darnedi, D. dan A. Budiman. 1982. Analisa vegetasi hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB-LIPI, Baturraden, 3-6 Agustus 1982. Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jilid 1: Mangrove di Indonesia: Status Sekarang. Jakarta: Departemen Kehutanan. FAO. 1992. Management and Utilization of Mangrove in Asia and the Pasific. FAO Environmental Paper III. Rome: FAO. FAO. 1994. Mangrove Forests Management Guidelines. FAO Forestry Paper 117. Rome: FAO. Irmansyah. 1997. Mintakat dan Komposisi Hutan Alam Mangrove di Kuala Mandah Areal HPH PT. Bina Lestari I, Riau. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia.. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: IPB Press.. Pramudji. 1986. Studi pendahuluan hutan mangrove di beberapa pulau Kepulauan Aru, Maluku Tenggara. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB-LIPI, Denpasar, 5-8 Agustus 1986. Purwoko, A. 2005. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. [Tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Saleh, M.F.A. 1986. Komposisi dan Struktur Hutan Mangrove CiasemPamanukan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Setiabudi, E. 1986. Pengaruh Penebangan terhadap Suksesi Hutan Mangrove di Propinsi Riau (Studi kasus di HPH PT. Bina Lestari, Riau). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Setiadi, A. dan Pramudji. 1986. Penelitian kecepatan gugur daun dan penguraiannya dalam hutan bakau teluk Ambon. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB-LIPI, Denpasar, 58 Agustus 1986. Silalahi, W.R. 1995. Pengaruh Penebangan terhadap Permudaan Hutan Mangrove di Propinsi Riau (Studi kasus di HPH PT. Bina Lestari, Riau). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Soegiarto, A. 1984. The mangrove ecosystem in Indonesia: Its Problems and management. In: Teas, H.J. (ed). Psysiology and Management of Mangroves. The Hague: W. Junk Publishers. Soehardjono. 1999. Permudaan alami hutan mangrove di Gosong Telaga, Singkil, Aceh Selatan. Dalam: Partomihardjo, T., Y. Purwanto, S. Handini, Koestanto, H. Julistiono, D. Agustiyani, F. Sulawesty, dan T. Widiyanto (ed.). Laporan Teknik 1998/1999: 7-18. Bogor: Proyek Penelitian, Pengembangan dan Pendayagunaan Biota Darat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Soeroyo dan S. Sukardjo. 1990. Struktur dan komposisi hutan mangrove di Grajagan, Banyuwangi. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove: Panitia Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990 Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. London: Cambridge University Press.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 30-34

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Inventarisasi Jenis dan Potensi Moluska Padang Lamun di Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara The inventory of mollusc species and its potent on seagrass bed in Kei Kecil Islands, Southeast Moluccas AGUS KUSNADI, TEDDY TRIANDIZA, UDHI EKO HERNAWAN♥ UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tual-Maluku Tenggara 97611 Diterima: 29 Desember 2007. Disetujui: 30 Januari 2008.

ABSTRACT Inventory of mollusk species and its potential on sea grass bed in Kei Kecil islands, Southeast Moluccas have been conducted by using quadrate-transect line method. The study was carried out in February-August 2007. There were 103 species of mollusk observed, 80 species belong to gastropods and 23 belong to bivalves. From the total species, 72 of them were reported as the potential species and the others still unknown. Most of potential group was used as food resources (55 species) and other species were potential as decoration, souvenir, ornament, and accessories (31 species). Some species were potential for building material, knife tool, barter tool and bioactive compounds. The top shells (Trochus niloticus), the giant clams (Tridacna spp. and Hippopus hippopus) and the abalone (Haliotis spp.) were the major trading commodities for shellfish fisheries. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: inventory, mollusk, potency, Kei Kecil.

PENDAHULUAN Wilayah kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara berada o o o o di antara 5 00’-6 00’ LS dan 131 45’-133 15’ BT. Kepulauan di kawasan laut Banda ini, terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang berjumlah ratusan. Di kawasan perairan ini sering terjadi upwelling yang sangat mempengaruhi kondisi oseanografi perairan tersebut. Oleh karena itu, kawasan perairan di kepulauan Kei Kecil merupakan kawasan dengan ekologi yang dinamis, sehingga muncul berbagai macam ekosistem dengan karakter dan keragaman yang khas. Salah satu ekosistem tersebut adalah ekosistem padang lamun yang dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah pesisir di pulau-pulau kepulauan Kei Kecil. Padang lamun merupakan hamparan vegetasi yang luas dengan komponen penyusun utama tumbuhan lamun. Tidak seperti umumnya flora yang hidup di laut yang tergolong dalam kelompok tumbuhan tingkat rendah, tumbuhan lamun termasuk dalam kelompok tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae; Monokotil). Dari sekitar 50 spesies lamun yang telah diidentifikasi di seluruh dunia, semuanya terbagi menjadi 2 famili, Potamogetonaceae (9 genus, 35 jenis) dan Hydrocharitaceae (3 genus, 15 jenis). Dua familia tersebut dekat hubungannya dengan kelompok tumbuhan jahe-jahean (Zingiberaceae). Dari seluruh jenis yang ada, dilaporkan 7-12 jenis ditemukan di kawasan perairan Indonesia (Erftemeijer, 1993).

♥ Corresponding address: Jl. Merdeka Watdek Tual-Maluku Tenggara 97611 Tel.: +62-916-2339. Fax.: +62-916-23873 e-mail: udhi_e_hernawan@yahoo.com

Padang lamun memiliki peran yang penting sebagai salah satu penyusun ekosistem perairan laut. Secara fisik, padang lamun berperan sebagai penahan abrasi dan stabilisator sedimen. Pantai dengan padang lamun yang kondisinya masih baik, keadaan airnya cenderung tenang dan jernih serta terlindung dari abrasi (Azkab, 1999). Secara ekologi, padang lamun berperan sebagai produsen utama dalam rantai makanan (Susetiono, 2004). Padang lamun juga menjadi tempat naungan, mencari makan, dan berkembangbiak berbagai jenis biota, baik invertebrata maupun vertebrata, yang sebagian bernilai komersial (Aswandy, 1999; Suharti dkk., 1999; Pratiwi dkk., 1997). Salah satu kelompok fauna yang umum dijumpai di padang lamun adalah moluska, baik yang hidup sebagai epifauna (merayap di permukaan) maupun infauna (membenamkan diri di dalam sedimen). Dalam rantai makanan, moluska epifauna merupakan komponen yang memanfaatkan biomassa epifit di daun lamun. Sedangkan moluska infauna menjadi komponen yang memanfaatkan serasah di permukaan sedimen (Tomascik dkk., 1997). Dalam kehidupan manusia, banyak jenis moluska padang lamun yang memiliki arti penting bernilai ekonomi, konsumsi, maupun ornamental (Kinch, 2003; Dharma, 1988, 1992). Di perairan Maluku, beberapa penelitian tentang komunitas moluska padang lamun telah dilakukan, yaitu oleh Setyono (1993) di teluk Ambon, Rahayu dan Kuriandewa (1998) di kepulauan Taliabu, Peristiwady dkk. (1997) di teluk Kotania, Seram Barat, dan Kuriandewa (1997) di Kisar dan Leti, kepulauan Sermata. Selain di beberapa kawasan tersebut, masih terdapat kawasan yang belum diteliti, salah satunya adalah kawasan kepulauan Kei Kecil. Penelitian inventarisasi menjadi penting sebagai bagian dari usaha untuk melengkapi database distribusi dan biogeografi moluska di Indonesia. Dibandingkan dengan wilayah


KUSNADI dkk. – Moluska padang lamun di Kei Kecil

lainnya, penelitian moluska di Indonesia relatif masih belum banyak dilakukan. Pada saat yang sama, Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi (Kuriandewa dkk., 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan potensi moluska di padang lamun kawasan kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam hayati laut yang lestari.

31

pantai sampai zona subtidal. Sampel moluska terutama jenis Gastropoda dan Bivalvia hidup yang terdapat di dalam kuadrat diambil. Selain itu, pengambilan sampel juga dilakukan dengan koleksi bebas, yaitu pengambilan semua sampel moluska hidup yang ditemui sepanjang lokasi penelitian. Identifikasi moluska dilakukan dengan merujuk pustaka-pustaka: Dance (1976), Dharma (1988, 1992), Hinton (1972), Robert dkk. (1982), Wilson dan Gillet (1971), serta Matsuura dkk. (2000). Sampel cangkan disimpan sebagai koleksi kering di UPT LKBL PPO LIPI Tual.

BAHAN DAN METODE HASIL DAN PEMBAHASAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari sampai Agustus 2007. Penelitian lapangan dilakukan pada daerah padang lamun di bagian pesisir kepulauan Kei Kecil, meliputi pulau Adranan-Rumadan, Tamedan, Naam, Dullah Darat, Dullah Laut, Teluk Un, Fair, Ohoidertawun, Raat, Abean, Warhu dan Tetoat (Gambar 1).

Laut Banda

7,201 km 10 km

1 2 5 4

8 7

3

P. Dullah 66

11 12 9 10 P. Nuhuroa

P. Nuhuyut

Laut Arafuru Gambar 1. Peta lokasi penelitian. Skala 1: 721.000 cm: 1. Adranan-Rum, 2. Tamedan, 3. Naam, 4. Dullah Darat, 5. Dullah Laut, 6. Teluk Un, 7. Pulau Fair, 8. Ohoidertawun, 9. Raat, 10. Abean, 11. Warhu, 12. Tetoat.

Cara kerja Pengambilan sampel menggunakan metode transek kuadrat (Loya, 1978 dalam Cappenberg dan Panggabean, 2005). Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus dari tepi pantai ke arah tubir. Pada masingmasing lokasi dilakukan satu kali transek dengan jumlah subplot yang menyesuaikan pada panjang dan kondisi rataan terumbu. Kuadrat kerangka aluminium yang 2 digunakan berupa plot 50 x 50 cm yang berkesinambungan diletakkan sepanjang garis transek dengan arah garis lurus

Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa di kepulauan Kei Kecil terdapat 103 jenis, 40 familia, dan 2 kelas moluska, Gastropoda dan Bivalvia (Tabel 1. dan 2.). Kelas Gastropoda terdiri dari 80 jenis yang mewakili 25 familia, sedangkan Bivalvia terdiri dari 23 jenis mewakili 15 familia. Berdasarkan hasil informasi dari penduduk lokal dan penelusuran pustaka (Dharma, 1988; Calumpong, 1992; Heslinga, 1996; Kinch, 2003; Patterson, 2004), sebanyak 72 dari 103 jenis moluska yang diperoleh di kepulauan Kei Kecil telah diketahui potensi pemanfaatannya, sedangkan 31 jenis lainnya belum diketahui. Sebagian besar moluska dijadikan sebagai sumber makanan (55 jenis). Selain itu, ditemukan moluska yang berpotensi sebagai bahan dekorasi, cinderamata, ornamen dan aksesoris pakaian (31 jenis), bahan baku bangunan (4 jenis), pembuatan pisau (Cypraea spp. dan Ovula ovum), uang (genus Cypraea), dan bioaktif (genus Conus). Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi komoditas utama perdagangan sektor perikanan laut nonikan di perairan kepulauan Kei Kecil dan sekitarnya (7 jenis). Hal ini sesuai dengan Pernetta dan Hill (1981) yang menyatakan bahwa moluska telah dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, alat pertukaran/uang, komoditas perdagangan, pisau, peralatan, serta bahan baku dekorasi dan ornamen. Berikut ini diuraikan beberapa jenis dari kelompok moluska yang berpotensi penting yang ditemukan di kepulauan Kei Kecil. Sumber makanan Pemanfaatan moluska sebagai sumber makanan telah lama dilakukan oleh manusia, terutama oleh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, jauh sebelum moluska menjadi komoditas di pasar internasional. Seperti dilaporkan oleh Kinch (2003) bahwa masyarakat kepulauan Louisiade, Papua Nugini sudah mulai mencari dan mengumpulkan kerang-kerangan untuk diperdagangkan pada tahun 1896. Pengumpulan moluska sebagai bahan makanan umumnya dilakukan oleh kaum wanita dan anakanak. Hasil survei di kepulauan Kei Kecil menunjukkan bahwa aktivitas pengumpulan moluska untuk konsumsi lokal dilakukan oleh kaum wanita terutama ibu-ibu dan anak-anak pada saat air laut surut di daerah padang lamun. Satu alasan yang mendasari pemanfaatan moluska sebagai bahan makanan adalah karena memiliki cita rasa lezat serta kandungan gizi yang tinggi. Dody (2004) menyatakan bahwa hasil analisis proksimat dari daging limpet (Bivalvia) diketahui 50% merupakan protein, 5% lemak, 5% abu, dan sisanya air. Selain itu, daging dari beberapa jenis moluska dipercaya dapat meningkatkan stamina (Setyono, 2006). Bahkan, di kalangan konsumen Asia, daging kima dianggap mempunyai khasiat meningkatkan gairah seksual (Ellis, 1999).


32

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 30-34

Tabel 1. Jenis moluska kelompok Gastropoda di kepulauan Kei Kecil dan potensi pemanfaatannya. Nama familia dan jenis ANGARIIDAE Angaria delphinus L. BUCCINIDAE Engina zonalis Lamarck. BULLIDAE Bulla vernicosa Gould. Bulla ampula L. Atys cylindricus Helbling. Atys naucum L. CERITHIIDAE Cerithium aluco L. Clypeomorus moniliferus Keiner. Rhinoclavis aspera L. Rhinoclavis vertagus L. CONIDAE Conus ebraeus L. Conus catus Hwass. Conus magus L. COSTELLARIIDAE Vexillum deshayesi Reeve. Vexillum plicarium L. Vexillum vulpeculum L. CYPRAEIDAE Cypraea annulus L. Cypraea arabica L. Cypraea caputserpentis L. Cypraea carneola L. Cypraea cylindrica Born. Cypraea erosa L. Cypraea felina Gmelin. Cypraea moneta L. Cypraea tigris L. Cypraea vitellus L. CYMATIIDAE Cymatium pileare L. FASCIOLARIDAE Latirus polygonus Gmelin. OVULIDAE Ovula ovum L. HALIOTIDAE Haliotis asinina L. Haliotis ovina Gmelin. LITTORINIDAE Tectarius pagodus L. Tectarius tectumpersicum L. Littorina scabra L. TURBINIDAE Astraea calcar L. MITRIDAE Mitra (Strigatella) paupercula L. Mitra (Nebularia) tabanula Lamarck. Pterygia fenestrata Lamarck. Pterygia dactylus L. MURICIDAE Chicoreus chicoreum Gmelin. Chicoreus cornucervi Gmelin. Chicoreus crocatus Reeve. Homalochanta scorpio L. MELAMPIIDAE Pythia scarabaeus L. NASSARIIDAE Nassarius coronatus Bruguiere. Nassarius margaritifer Dunker. Nassarius callospira A. Adams. Nassarius distorsus A. Adams. Nassarius pullus L. NERITIDAE Nerita insculpta Recluz. Nerita plicata L. Nerita signata Lamarck. Nerita maxima Gmelin. Nerita polita L. Nerita albicilla L. Nerita exuvia L. Nerita undata L.

Nama lokal

Potensi

Mata bulan

1

Sus loy ngur

-

Yer Yer Yer Yer

1 1 1 1

Bor Kadur Bor Bor

1

Sus loy naam Madwil Diew aleman

1 1 1

Kaloloy ubun Maduwiel Bieb Bieb kaman Bieb kaman Bieb Bieb Bieb Bieb Bieb Bieb

1 1 1 4, 5 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

Mat kabohan

2

Tavur

-

Liel ngiar

2, 3

Ngarun Ngarun

1, 2 1, 2

Rufin Diew aleman Keber ber

-

Matan bulan namet

1

Vat vur Vat vur -

-

Mat kabohan Mat laai -

1 1 1 1

-

-

Boy boy Boy boy

-

Diet diet Diet diet Diet diet Kubat Kubat Kubat Kubat Kubat

-

NATICIDAE Polinices sebae Recluz. Polinices tumidus Swainson. Polinices didyma Roding. Natica vitellus L. OLIVIDAE Oliva oliva L. Oliva tessellata Lamarck. Oliva tricolor Lamarck. PYRAMIDELLIDAE Pyramidella ventricosa Guerin. STROMBIDAE Strombus luhuanus L. Strombus lentiginosus L. Strombus urceus L. Strombus gibberelus Roding. Strombus minimus L. Terebellum terebellum L. Lambis lambis L. TEREBRIDAE Terebra maculata L. Terebra dimidiata L. TROCHIDAE Monodonta labio L. Trochus niloticus L. Tectus fenestratus Gmelin. VASIDAE Vasum ceramicum L. Vasum turbinellus L. VOLUTIDAE Cymbiola (Aulicina) vespertilio L.

Boy boy ngur Boy boy ngur -

2 -

Lakur Lakur Lakur

2 2 2

Maduil Ngeng na met Kaloloy ubun Kaloloy ubun Kaloloy ubun Bor Ngeng

1 1 1 1 1 1 1, 2

Bor Diew burun

2 2

Mas mas Lola/huir Huir

1 1 1

Sed seda uran Sed seda uran

1 1

Kaar

1

Tabel 2. Jenis moluska kelompok Bivalvia di kepulauan Kei Kecil dan potensi pemanfaatannya. Nama familia dan jenis ANOMIIDAE Placuna quadrangualaris Retzius. Placuna ephippium Retzius. ARCIDAE Anadara antiquata L. CARDIIDAE Fragum unedo L. Trachicardium magnum L. FIMBRIDAE Fimbria fimbricata L. GLYCIMERIDIDAE Glycymeris pectunculus L. Glycymeris reevei Mayer. MALLEIDAE Malleus malleus L. MYTILIDAE Modiolus philippinarum Hanley. PECTINIDAE Chlamys senatoria Gmelin. PSAMMOBIIDAE Hiatula chinensis Morch. PINNIDAE Atrina vexillum Born. Pinna muricata L. TRIDACNIDAE Tridacna squamosa Lamarck. Tridacna gigas (small) Tridacna crocea Lamarck. Hippopus hippopus L. SPONDYLIDAE Spondylus sp. TELLINIDAE Telinna virgata L. VENERIDAE Tapes literatus L. Timoclea marica L. VULSELLIDAE Isognomon isognomon L.

Nama lokal Bararan Bararan

Potensi 1, 2 1, 2

Buin

1

Ker Ker

1 1

Kum

1

Kabat bat Kabat bat

1 1

Arut

1, 2

Lisyavun

1, 2

Tar

1

Korlaien

1

Sav-sav vat vat Sav-sav baranran

1, 2 1, 2

Hanoat Hanoat Hanoat Hanoat

1,2,3 1,2,3 1,2,3 1,2,3

Ngimin

1, 2

Mas ngur

1

Ngauna -

1 1

Arut

1,2

Keterangan Tabel 1. dan 2.. Potensi pemanfaatan: (1) sumber makanan, (2) bahan baku hiasan, (3) bahan baku bangunan, (4) peralatan, (5) alat tukar (uang).


KUSNADI dkk. – Moluska padang lamun di Kei Kecil

Dari 55 jenis moluska yang berpotensi sebagai sumber makanan, 8 jenis merupakan komoditas pangan yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Delapan jenis tersebut adalah abalon (Haliotis asinina, H. ovina), lola (Trochus niloticus), kima (Tridacna gigas, T. crocea, T. squamosa, Hippopus hippopus), dan kerang buin (Anadara antiquata). Berdasarkan informasi dari penduduk lokal, diketahui bahwa lola, kima, dan abalon adalah komoditas unggulan masyarakat Maluku Tenggara, khususnya di sektor perikanan laut non-ikan. Abalon terkenal sebagai makanan laut yang lezat, sekaligus juga untuk pengobatan tradisional. Negara yang banyak mengkonsumsinya adalah Jepang, Cina, Amerika Serikat, negara-negara Asia Tenggara, dan Uni Eropa. Untuk kima, daging otot aductor dan mantelnya juga menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Bahkan di beberapa negara, yaitu Jepang, Taiwan, Hongkong, Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat, kima merupakan makanan mewah (Calumpong, 1992). Sedangkan lola dan buin hanya dimanfaatkan untuk konsumsi lokal. Khusus untuk kima dan lola, selain dagingnya dikonsumsi, bagian cangkangnya juga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi. Hampir semua jenis Bivalvia yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan konsumsi lokal masyarakat pesisir di kepulauan Kei Kecil. Beberapa jenis Bivalvia seperti Fimbria fimbricata, Fragum unedo, Chlamys senatoria, Tellina virgata, Maleus maleus, Tapes literatus, dan Timoclea marica merupakan jenis moluska yang paling banyak dimanfaatkan karena langsung dapat diolah menjadi makanan. Sedangkan jenis Modiolus philippinarum, Atrina vexillum, Pinna muricata, dan Spondylus spp. tidak dapat langsung dimanfaatkan karena ada bagian dari dagingnya yang harus dibuang karena mengandung racun. Kerang yang diperoleh biasanya dijual di pasar, sebagian lagi dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi. Patterson (2004) menyatakan kerang remis, kerang simping (Chlamys spp.), dan tiram mutiara merupakan beberapa jenis moluska yang diolah melalui teknik pengasapan dan dijadikan makanan di seluruh belahan dunia. Kerang simping asap merupakan makanan pembuka dan sering dijadikan cemilan. Masyarakat Italia menjadikan kerang ini sebagai bumbu rahasia dalam spaghetti. Bahan baku kerajinan hiasan Pemanfaatan moluska tidak hanya terbatas pada bahan konsumsi saja, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan hiasan dan ornamen, serta kancing baju (lola). Di Kei Kecil, sebagian besar kelas Bivalvia terutama yang memiliki lapisan mutiara dapat dijadikan hiasan, seperti familia Pteriidae, Pinnidae, dan Vulsellidae. Para pengrajin hiasan biasanya membentuk cangkang kerang tersebut menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu dirangkai menjadi berbagai bentuk hiasan seperti lukisan, lampu gantung, hiasan dinding dan lain-lain. Familia Tridacnidae (kima) merupakan kelompok Bivalvia ekonomis penting karena nilai cangkangnya. Calumpong (1992) menyatakan bahwa perdagangan cangkang kima telah berlangsung sejak lama yang akhirnya memicu terjadinya eksploitasi secara besar-besaran untuk mendapatkan cangkangnya. Kini, perdagangan kima dan/atau produknya telah dibatasi secara internasional oleh CITES (The Conservation International Trade in Endangared Species). Heslinga (1996) mendeskripsikan berbagai produk cangkang kima yang menjadi komoditas perdagangan. Masyarakat di kawasan Asia Pasifik telah membentuk cangkang kima, menjadi berbagai hiasan dan peralatan yang indah, tahan lama, dan bermanfaat seperti berbagai

33

ornamen, peralatan masak (untuk salad, sashimi, saus), tempat sabun, asbak, lampu hias, lampu kristal akrilik kulit kerang, tempat lilin, hiasan taman, anting-anting, pin baju (bros), memo magnetik, gantungan kunci, hiasan akuarium dan sebagai substrat akuarium. Pemanfaatan kima oleh masyarakat lokal baru sebatas sebagai sumber makanan dan bahan bangunan. Beberapa Gastropoda yang memiliki permukaan cangkang mengkilap (Cypraea spp., O. ovum, Oliva spp., Terebra spp., T. niloticus) dan unik (Cymatium spp., Murex spp.) juga berpotensi sebagai bahan baku hiasan dan aksesoris pakaian. Hiasan kulit kerang dari kelompok Gastropoda yang di buat oleh masyarakat lokal dapat berupa cangkang utuh atau rangkaian/untaian, dan bingkai foto. Lola telah lama menjadi bahan baku aksesoris pakaian berupa kancing baju berkualitas tinggi. Di kepulauan Kei Kecil, lola menjadi salah satu komoditas ekspor utama dan sumber mata pencarian penduduk lokal yang harga cangkangnya cukup tinggi, mencapai Rp. 45.000/kg. Hal ini, menyebabkan ter-jadinya ekspolitasi lola secara berlebihan guna memenuhi permintaan pasar, sehingga populasi lola di alam menurun drastis. Bahan baku bangunan Tridacnidae merupakan moluska yang cangkangnya terkenal berpotensi sebagai bahan baku bangunan, terutama untuk pembuataan tegel teraso. Pada penelitian ini, ditemukan empat jenis dari familia Tridacnidae yang berpotensi sebagai bahan baku bangunan, yaitu T. gigas, T. crocea, T. squamosa, dan H. hippopus. Calumpong (1992) menyatakan bahwa T. gigas dan H. porcellanus mengalami penurunan jumlah populasi di alam, akibat tingginya permintaan cangkang kima dalam perdagangan internasional. Tingkat pemanfaatan produk dari kima yang tinggi mengakibatkan terjadinya eksploitasi berlebihan. Pengambilan dan pemanfaatan kima semakin meningkat tanpa memperhatikan kelestariannya. Oleh karena itu, kima berada di ambang kepunahan. Bahkan T. gigas mengalami kepunahan di beberapa wilayah perairan Indonesia. Berdasarkan Apendiks II CITES, T. gigas dan H. porcellanus termasuk biota laut yang segala kegiatan pengambilan dan pemanfaatanya di alam diatur dan perdagangannya dibatasi. T. gigas mengalami tekanan eksploitasi relatif lebih besar dibanding jenis Tridacnidae lainnya, karena ukuran cangkang yang paling besar dan mudah diambil. Berbeda dengan jenis lain, misalnya T. crocea yang relatif masih banyak dijumpai karena ukuran cangkangnya kecil dan hidup dengan membenamkan diri di dalam batu karang sehingga sulit diambil. Moluska berpotensi lainnya Di samping jenis-jenis moluska di atas, terdapat kelompok moluska lain yang juga bermanfaat bagi manusia, seperti sebagai alat tukar, bahan baku pembuatan perkakas, dan bahan bioaktif. Cypraea spp. yang umumnya dimanfaatkan sebagai bahan baku perhiasan, juga diketahui memiliki manfaat sebagai alat tukar dan bahan baku pembuatan pisau. Dharma (1988) menyatakan bahwa moluska, khususnya jenis Cypraea spp. sudah sejak lama digunakan di Papua sebagai alat tukar pengganti uang. Nilainya cukup tinggi karena satu keping dapat ditukar dengan seekor babi. Kinch (2003) menyatakan bahwa Cypraea spp. dan O. ovum digunakan sebagai bahan baku pembuatan pisau di pulau Brooker, Papua Nugini. Beberapa jenis Conus spp. dapat dimanfaatkan sebagai bahan bioaktif karena mempunyai sistem pertahanan dengan cara mengeluarkan racun (Romimohtarto dan Juwana, 2005).


34

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 30-34

Pelestarian moluska Pemanfaatan hasil laut yang masih didominasi oleh hasil tangkapan di alam, baik untuk kebutuhan lokal maupun ekspor menyebabkan beberapa jenis moluska terancam punah. Berdasarkan PP No. 7 tahun 1999, dari 12 biota laut yang dilindungi pemerintah, 5 jenis di antaranya dapat ditemukan di perairan kepulauan Kei Kecil, yaitu lola (T. niloticus) dan kima (T. gigas, T. squamosa, T. crocea, H. hippopus). Jenis tersebut merupakan komoditas hasil laut yang memiliki nilai ekonomi penting. Informasi dari masyarakat dan hasil penelusuran pustaka menunjukkan bahwa pemanfaatan lola dan kima di kepulauan Kei Kecil, bahkan wilayah Indonesia secara umum sangat tinggi. Tingginya pemanfaatan dan perdagangan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebihan, ditandai dengan semakin sulitnya menemukan lola dan kima terutama jenis T. gigas di perairan Indonesia. Beberapa usaha konservasi telah dilakukan, yaitu dengan memasukkan jenis-jenis moluska yang populasinya menurun ke dalam daftar satwa yang dilindungi melalui PP No. 7 tahun 1999. Selain itu, Konvensi Perdagangan Internasional (CITES) memasukkan beberapa jenis kelompok Bivalvia dan Gastropoda ke dalam daftar Apendiks I, II, dan III, seperti Haliotis midae (Apendiks III), Tridacnidae (Apendiks II), Strombus gigas (Apendiks II), dan Achatinella spp. (Apendiks I). Menurut IUCN (2000), populasi Tridacna derasa dan T. gigas di alam terancam punah sedangkan populasi T. maxima dan T. squamosa di alam beresiko mengalami penurunan. Bentuk upaya konservasi lainnya adalah melakukan budidaya. Hasil dari budidaya dapat digunakan sebagai sumber pelepasan kembali ke alam, sekaligus untuk memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat (komersial).

KESIMPULAN

Di padang lamun kepulauan Kei Kecil ditemukan moluska sebanyak 103 jenis, 40 familia, dan 2 kelas, Gastropoda dan Bivalvia. Kelompok Gastropoda terdiri dari 80 jenis yang mewakili 25 familia, sedangkan Bivalvia terdiri dari 23 jenis mewakili 15 familia. Dari 103 jenis moluska yang diperoleh di kepulauan Kei Kecil, 72 jenis telah diketahui potensi pemanfaatannya sedangkan 31 jenis belum diketahui. Sebagian besar moluska dijadikan sebagai sumber makanan (55 jenis). Selain itu, ditemukan moluska yang berpotensi sebagai bahan dekorasi, cinderamata, ornamen dan aksesoris pakaian (31 jenis). Moluska juga diketahui berpotensi sebagai bahan baku bangunan (4 jenis), pembuatan pisau (Cypraea spp. dan Ovula ovum), uang (Cypraea spp.), dan bahan bioaktif (Conus spp.). Bahkan beberapa di antaranya telah menjadi komoditas utama perdagangan sektor perikanan laut non-ikan di perairan kepulauan Kei kecil dan sekitarnya (7 jenis).

DAFTAR PUSTAKA Aswandy, I. 1999. Comparative study on the benthic crustaceans in seagrass bed dan bare area at Kuta Bay-Lombok. In: Romimohtarto, K., S. Soemodiharjo and D.P. Praseno (eds.). Proceedings the Ninth Joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences. Mataram, 1998. Azkab, H.M. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana 24: 1-16.

Calumpong, H.P. (ed.). 1992. The giant clam: an ocean culture manual. ACIAR Monograph No. 16. Sidney: ACIAR. Cappenberg, H.A.W., dan M.G.L. Panggabean. 2005. Moluska di perairan terumbu gugus pulau Pari, kepulauan Seribu, teluk Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 37: 69-80. CITES (The Conservation International Trade in Endangared Species). 2007. Appendices I, II and III. http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml. Dance, S.P. 1976. The Collectors Encyclopedia of Shells. Toronto: Mc GrawHill Book Company. Dharma, B., 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). Jakarta: PT. Sarana Graha. Dharma, B., 1992. Siput dan Kerang Indonesia II (Indonesian Shells). Wiesbaden: Verlag Christa Hemmen. Doddy, S. 2004. Biologi Reproduksi Limpet-Tropis (Cellana testudinaria Linnaeus, 1758) di Perairan Pulau-pulau Banda, Maluku. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ellis, S. 1999. Aquafarmer information sheet: lagoon farming of giant clams (Bivalvia: Tridacnidae). Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication 139: 1-6. Erftemeijer, P.L.A. 1993. Factors Limiting Growth and Production of Tropical Seagrasses: Nutrient and Dynamics in Indonesian Seagrasses Beds. [Disertasi]. Nijmegen: University Nijmegen. Heslinga, G. 1996. Clams to cash: How to make and sell giant clam shell products. Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication 125: 1-35. Hinton, A. 1972. Shells of New Guinea and The Central of Indo-Pacific. Hongkong: Charles E. Turtle Co, Inc. IUCN (World Conservation Union). 2000. The Redlist. www.iucnredlist.org/search/search.php. Kinch, J. 2003. Marine mollusc use among the women of Brooker Island, Louisiade Archipelago, Papua New Guinea. SPC Women in Fisheries Information Bulletin 10: 5-12 Kuriandewa, T.E. 1997. Penelitian lamun di perairan Kisar dan Leti. Dalam: Susetiono (ed.). Penelitian Status Ekosistem Pesisir. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Kuriandewa, T.E., W. Kiswara, M. Hutomo, and S. Soemodiharjo. 2003. The Seagrasses of Indonesia. In: Green, E.P. and F.T. Short (eds.). World Atlas of Seagrasses. Berkeley: The UNEP World Conservation Monitoring Centre. University of California Press. USA. Matsuura, K., O.K. Sumadiharga and K. Tsukamoto (eds.). 2000. Field Guide to Lombok Island: Identification Guide to Marine Organisms in Seagrass Bed of Lombok Island, Indonesia. Tokyo: Ocean Research Institute, University of Tokyo. Patterson, J. 2004. Smoking: an ideal method to preserve mollusc meat. SPC Trochus Information Bulletin 11: 8-10 Peristiwady, T., W. Hutahean, J.M. Manik, T.E. Kuriandewa, dan H.A.W. Cappenberg. 1997. Penelitian ekosistem padang lamun di teluk Kotania, Seram Barat: Produksi organisme, sifat kimia dan fisika. Dalam: Susetiono (ed.). Penelitian Status Ekosistem Pesisir. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Pernetta, J. and L. Hill. 1981. A review of marine resource use in coastal Papua. Journal de la Societes des Oceanistes 37: 175-191 Pratiwi, P., I. Al-Hakim, I. Aswdany, A.S. Genisa, dan Mujiono. 1997. Komunitas epibentik padang lamun di pulau Pari, kepulauan Seribu. Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut-Pesisir II. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Rahayu, D.L. dan T.E. Kuriandewa. 1998. Inventarisasi dan evaluasi biota laut di Kepulauan Taliabu. Dalam: Susetiono (ed.). Dinamika Perairan Pesisir Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Robert, D., S. Soemodihardjo, and W. Kastoro. 1982. Shallow Water Marine Mollusc of North-West Java. Jakarta: Lembaga Oseanologi NasionalLIPI. Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2005. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Jakarta: Djambatan. Setyono, D.E.D, 1993. Distribusi dan dominasi lamun di teluk Ambon. Perairan Maluku dan Sekitarnya: 61-68. Setyono, D.E.D. 2006. Karakteristik biologi dan produk kekerangan laut. Oseana 31 (1): 1-7 Suharti, R.S., I. Kinoshita, K. Tsukamoto, and M. Okiyama. 1999. Larval and juvenile fishes in seagrass beds of Lombok Island, Indonesia. In: Romimohtarto, K., S. Soemodiharjo and D.P. Praseno (eds.). Proceedings the Ninth Joint Seminar on Marine and Fisheries Sciences. Mataram, 1998. Susetiono. 2004. Fauna Padang Lamun Tanjung Merah Selat Lembeh. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of Indonesian Seas (Part II). Hongkong: Periplus Editions (HK) Ltd. Wilson, B.R. and K. Gillet. 1971. Australian Shells. Tokyo: Kyodo Printing Company Limited.


ISSN: 1412-033X Januari 2008

BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 35-38

Viabilitas Serbuk sari dan Pengaruhnya terhadap Keberhasilan Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pollen viability and its effect on fruit set of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) 1

ALFIN WIDIASTUTI1,♥, ENDAH RETNO PALUPI2 Program Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor 16680 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor 16680 Diterima: 27 Desember 2007. Disetujui: 31 Januari 2008.

ABSTRACT The research was aimed at studying (1) the decline of pollen viability during storage, and (2) the effect of pollen amount on fruit set of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). The experiment was conducted at PT. Dami Mas Sejahtera and PT. Sinar Mas Agro Resource and Technology (SMART) Tbk, Riau from February to August 2004. The first experiment was investigated up to six months storage period in the refrigerator, whereas in the second experiment a randomized complete block design with two factors was used: length of storage, i.e. 0, 1 and 2 months and amount of pollen, i.e. 0.022, 0.044, 0.066, 0.088, and 0.11 g mixed with powder to 10g to pollinate an inflorescence. The result showed that the viability of pollen started to decline three months after storage from about 92% to 83%, and declined to about 75% after six months of storage. Result of the second experiment showed that storage of pollen up to two months did not affect percentage of normal fruit, although the percentage of parthenocarpic fruits was decreased. This could be due to the high viability of pollen as the viability was remained high (about 90%) after being stored for two months in the refrigerator. Pollen with high viability could be used in a smaller amount to pollinate a female inflorescence without affecting fruit set of about 70-76%.SD037 had a higher reproductive success than SD038 and SD39. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: pollen storage, fruit set, amount of pollen, oil palm, Elaeis guineensis.

PENDAHULUAN Ketersediaan serbuk sari dengan viabilitas yang tinggii merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman. Pengelolaan serbuk sari yang mencakup saat pemanenan yang tepat, pengolahan untuk menjamin kemurniannya, dan penyimpanan untuk mempertahankan viabilitasnya mempunyai peranan penting dalam produksi benih kelapa sawit (Lubis, 1993). Salah satu masalah dalam pengelolaan serbuk sari sawit adalah kontinuitas ketersediaannya sehingga pada saat bunga betina mekar, serbuk sari telah tersedia dan dapat langsung diserbukkan. Untuk mengantisipasi hal ini, perlu dilakukan upaya agar viabilitas serbuk sari dapat dipertahankan untuk jangka waktu lama dalam penyimpanan. Serbuk sari merupakan jaringan hidup yang mengalami kemunduran seiring lamanya waktu penyimpanan. Dengan modifikasi suhu dan kelembaban relatif (RH) rendah, atau salah satu di antaranya, viabilitasnya dapat dipertahankan lebih lama. Viabilitas serbuk sari dapat diuji dengan berbagai metode. Salah satu cara yang paling akurat adalah dengan mengecambahkan serbuk sari pada media yang sesuai. Pada kelapa sawit, terdapat beberapa metode untuk menguji viabilitas serbuk sari. Lubis (1993), misalnya mengecambahkan serbuk sari kelapa sawit pada media cair yang mengandung 8% sukrosa dan 15 mg H3BO3. Keberhasilan penyerbukan sangat dipengaruhi oleh kualitas bunga betina dan bunga jantan (serbuk sari). Keberhasilan penyerbukan ini tampak dari jumlah buah per tandan (fruit set) dan kualitas benih yang dihasilkan (Buana et al., 1994). Jumlah buah yang tinggi dapat dicapai jika pada saat bunga ♥ Alamat korespondensi: Kampus IPB Darmaga Bogor 16680 Tel./Fax.: +62-251-629348 e-mail: alfin_angi@yahoo.com

betina mekar, terdapat serbuk sari yang viabel dalam jumlah cukup, sehingga semua bunga dapat diserbuki. Di samping itu viabilitas serbuk sari juga dapat mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan. Serbuk sari dengan viabilitas tinggi akan lebih dahulu membuahi sel telur, serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih berviabilitas tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) pengaruh lama simpan terhadap viabilitas serbuk sari, serta (ii) hubungan antara lama simpan dan jumlah serbuk sari yang digunakan untuk menyerbuki bunga betina terhadap keberhasilan pembentukan buah per tandan. BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari-Agustus 2004, di kebun benih kelapa sawit PT. Dami Mas Sejahtera, Riau dan PT Sinar Mas Agro Resource and Technology (SMART) Tbk, Riau. Bahan tanaman Subyek penelitian ini adalah tanaman induk sawit SD037, SD038, dan SD039 koleksi PT. Dami Mas Sejahtera, Riau. Lama simpan dan viabilitas serbuk sari Tandan bunga jantan pada pohon induk dibungkus dengan kantong penyerbukan (pollination bag) yang terbuat dari terylene dan bagian bawah dililit dengan karet sekitar satu minggu sebelum mekar. Pemanenan serbuk sari dilakukan pada saat beberapa bunga mulai mekar, ditandai dengan terbukanya kelopak bunga, keluarnya serbuk sari dari sebagian spikelet bunga, dan terciumnya bau yang spesifik. Pemanenan dilakukan pada jam 9-12 siang dengan memotong tangkai tandan di bawah lilitan. Tandan o disimpan pada ruang berpendingain udara (± 20 C) selama 7-8 jam agar kering, lalu tandan yang masih terbungkus kantong penyerbukan dipukul-pukul agar serbuk sari rontok.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 35-38

36

Kemudian serbuk sari diayak dengan ayakan 250 μm dalam peti steril dan diulang 2 kali. Serbuk sari yang telah diayak diletakkan di atas kertas di dalam ayakan. Di bagian bawah ayakan diberi gel silika sebanyak 100-200 g dan di bagian atasnya diberi tutup. Untuk mengeringkan serbuk sari, maka serbuk sari sebanyak sekitar 20 g disebar membentuk lapisan tipis pada ayakan, lalu gel silika yang diletakkan di bawah ayakan. Pengeringan ini dilakukan selama 48 jam. Setelah itu serbuk sari dikeluarkan dari ayakan dan ditimbang, lalu dimasukkan dalam botol penyimpanan yang ditutup rapat dan disimpan pada freezer o dengan suhu (-20)-(-18) C. Kelembaban pada saat penyimpanan dijaga dengan menggunakan gel silika yang diletakkan pada botol tersebut. Viabilitas serbuk sari selama penyimpanan diuji setiap empat minggu dengan mengecambahkannya pada media perkecambahan. Serbuk sari yang akan diuji dikeluarkan dari freezer dan dibiarkan dalam suhu ruang selama 30 menit, lalu dikecambahkan dalam media yang telah disiapkan sebelumnya pada suhu 39-40oC selama 2 jam. Daya berkecambah (DB) serbuk sari diamati dengan mikroskop. Serbuk sari dikategorikan telah berkecambah apabila tabung polen yang terbentuk telah mencapai paling sedikit sama dengan panjang diameter polen. Perhitungan viabilitas serbuk sari adalah:

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak kelompok dengan pohon induk sebagai kelompok. Model matematika untuk penelitian ini adalah:

Viabilitas serbuk sari = __T__ x 100% T+M T = serbuk sari yang tumbuh sampai akhir pengamatan M = serbuk sari yang mati Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) 1 faktor dengan model matematika:

HASIL DAN PEMBAHASAN

Yij = μ + Li + εij Yij = nilai pengamatan yang mendapat perlakuan lama simpan serbuk sari ke-i dan ulangan ke-j μ = nilai tengah umum Mi = pengaruh lama simpan ke-i εij = pengaruh galat percobaan Lama simpan, jumlah serbuk sari dan pembentukan buah Penelitian ini diawali dengan pembungkusan dan pengamatan bunga betina dalam kantong penyerbukan yang dilakukan 8-10 hari sebelum bunga mekar, caranya: bunga betina yang seludangnya masih menutup sekurangkurangnya 80% dibersihkan, seludang bunga dibuka, disemprot dengan formalin dan insektisida, lalu dibungkus dengan kantong penyerbukan. Bagian bawah kantong dibenamkan pada dasar tandan, diikat dengan tali rami dan dililit dengan kapas yang telah ditaburi insektisida. Penelitian ini merupakan percobaan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama simpan serbuk sari, yaitu: 0, 1, dan 2 bulan. Faktor kedua adalah jumlah serbuk sari, yaitu: P1= 0,022 g serbuk sari + 0,978 g talk; P2= 0,044 g serbuk sari + 0,956 g talk; P3= 0,066 g serbuk sari + 0,934 g talk; P4= 0,088 g serbuk sari + 0,912 g talk; dan P5= 0,11 g serbuk sari + 0,89 g talk. Viabilitas serbuk sari pada setiap taraf lama penyimpanan diuji di laboratorium. Setiap kombinasi perlakuan diulang 3 kali, sehingga terdapat 45 unit percobaan. Penyerbukan bunga betina dilakukan apabila sebagian besar kepala putik telah membuka dan berwarna krem. Masa reseptif stigma berlangsung 2-3 hari. Penyerbukan dilakukan dengan melubangi kantong penyerbukan untuk memasukkan pipa botol serbuk sari. Setelah selesai lubang sayatan ditutup dengan plester. Penyerbukan diulang keesokan harinya dengan taraf yang sama. Pembungkus dibuka 21 hari setelah penyerbukan (hsp) karena masa reseptif bunga betina sudah lewat dan tandan sudah aman dari hama.

Yijk = μ + Li + Pj + (LP)ij + Uk + εijk Yij = nilai pengamatan dengan lama simpan serbuk sari ke-i dan jumlah polen ke-j μ = nilai tengah umum Li = pengaruh lama simpan serbuk sari ke-i Pj = pengaruh jumlah serbuk sari ke-j (LP)ij = pengaruh interaksi lama simpan ke-i dan jumlah serbuk sari ke-j Uk = pengaruh ulangan ke-k εijk = pengaruh galat percobaan Jika dalam analisis ragam, perlakuan berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Pengamatan dilakukan dengan memanen tandan pada 90 hsp dan mengamati rasio buah normal, partenokarpi, infertil, serta abnormal (partenokarpi + buah infertil) terhadap total buah per tandan, jumlah spikelet dalam satu tandan, berat tandan, dan berat stalk. Total buah = jumlah buah normal + jumlah buah partenokarpi + jumlah buah infertil.

Kondisi umum penelitian Curah hujan bulanan di lokasi penelitian selama penyerbukan sangat bervariasi. Curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Maret yaitu rata-rata 11,4 mm/hari o dengan rata-rata suhu harian 26,8 C, sedangkan curah hujan yang rendah terjadi selama bulan Mei yaitu rata-rata 6,5 mm/hari dengan suhu rata-rata harian 27,4oC. Suhu rata-rata harian tertinggi pada saat penelitian terjadi pada bulan April yaitu 29,2oC dengan curah hujan rata-rata 7,7 mm/hari. Tanaman yang digunakan untuk penelitian ini, yakni SD037, SD038, dan SD039, merupakan tanaman komersial yang buahnya diambil untuk produksi minyak; bukan tanaman yang khusus diseleksi untuk produksi benih, sehingga perawatan, pemeliharaan kebersihan serta penanganan serangan hama dan penyakit tidak seintensif pada pohon induk untuk produksi benih. Perlakuan terhadap bunga betina pada tanaman ini sama dengan perlakuan pada bunga betina untuk tujuan produksi benih, namun karena kurangnya kebersihan, terjadi serangan hama pada beberapa tandan buah sebagaimana teramati setelah tandan dipanen. Serangan ini dapat menyebabkan terjadinya kegagalan fertilisasi dan perkembangan buah. Lama simpan dan viabilitas serbuk sari Berdasarkan uji F pada taraf 5% diketahui bahwa viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh waktu penyimpanan. Daya berkecambah serbuk sari menurun seiring lamanya waktu penyimpanan. Penurunan daya berkecambah mulai terlihat nyata setelah serbuk sari disimpan 3 bulan. Penurunan daya berkecambah pada penyimpanan 4 bulan tidak berbeda nyata dengan penyimpanan 3 bulan, dan kembali berbeda nyata pada penyimpanan 5 bulan (Tabel 1.). Tabel 1. Daya berkecambah serbuk sari selama penyimpanan. Waktu penyimpanan (bulan) 0 1 2 3 4 5 6

Daya berkecambah (%) d 92,625 d 92,109 cd 90,817 bc 82,927 b 80,730 a 76,103 a 74,873


WIDIASTUTI dan PALUPI – Pembuahan Elaeis guineensis Jacq.

Penurunan daya berkecambah serbuk sari nyata setelah disimpan 3 bulan, dari sekitar 92% menjadi sekitar 83%. Namun sampai 6 bulan, viabilitasnya masih dapat dipertahankan di atas 70% (Tabel 1), yang menunjukkan bahwa serbuk sari tersebut masih dapat digunakan untuk menyerbuk bunga betina, viabilitas serbuk sari kelapa sawit minimum yang masih dapat digunakan untuk menyerbuk sebesar 60% (Lubis, 1993). Serbuk sari merupakan jaringan hidup yang dapat mengalami kemunduran dan kematian. Daya hidup serbuk sari berbeda pada setiap spesies, dari beberapa jam, beberapa bulan, hingga beberapa tahun. Lama simpan serbuk sari dapat ditingkatkan dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Faktor ini mencakup cahaya, suhu, udara, dan kelembaban (Galetta, 1983). Umumnya serbuk sari dapat disimpan lebih lama dalam kondisi kering dan suhu rendah. Menurut Wahyudin (1999) serbuk sari salak yang disimpan pada suhu ruang viabilitasnya hanya bertahan selama 3 minggu, dengan penurunan sampai 20%, sedangkan penyimpanan dalam refrigerator dengan o o suhu 5-12 C dan freezer dengan suhu (-12)-(-8) C viabilitasnya dapat dipertahankan sampai 8 minggu dengan penurunan daya berkecambah berturut-turut 22,85% dan 14,99%. Sementara pada penelitian ini, penyimpanan serbuk sari kelapa sawit dalam freezer dengan suhu (-20)-(18)oC selama 2 bulan penurunan viabilitasnya hanya 1,95% (Tabel 1.). Suhu rendah dapat memperpanjang viabilitas serbuk sari dengan penurunan daya berkecambah yang relatif kecil. Walt dan Littlejohn (1996) membuktikan bahwa viabilitas serbuk sari Protea yang disimpan dalam o nitrogen cair -196 C relatif konstan di atas 90% setelah 1 tahun, sementara pada suhu -18oC penurunan daya berkecambah sekitar 25% setelah 1 tahun. Serbuk sari sebagian besar tanaman dapat dipertahankan viabilitasnya pada kelembaban relatif 0-30%. Kualitas serbuk sari selama penyimpanan berhubungan dengan perubahan fisiologi dan biokimia. Dalam kondisi kering dan suhu rendah aktifitas fisiologi serbuk sari dapat ditekan sehingga sumber energinya dapat disimpan lebih lama. Serbuk sari kelapa sawit yang disimpan dalam botol vakum o pada suhu -18 C dapat bertahan selama 2-3 bulan bahkan sampai 1 tahun dengan daya berkecambah pada awal penyimpanan 89% dan pada akhir penyimpanan 79% (Lubis, 1993). Penyimpanan pada suhu rendah tidak menyebabkan perubahan kandungan air serbuk sari, karena air tersebut terikat dan tidak membeku (Hanna dan Towill, 1995). Viabilitas polen, yang ditunjukkan oleh daya berkecambah, tetap tinggi setelah disimpan enam bulan dan masih dapat digunakan untuk menyerbuk, tetapi panjang tabung sari selama pengecambahan berkurang (data tidak ditunjukkan), yang mengindikasikasikan terjadinya penurunan vigor polen. Wahyudin (1999) melaporkan bahwa penurunan panjang tabung sari salak setelah 8 minggu penyimpanan merupakan indikasi penurunan vigor polen. Analisis regresi menunjukkan bahwa penurunan viabilitas serbuk sari setelah penyimpanan membentuk garis linier dengan persamaan: Y = (-3.4055)x + 97.934, dengan R2 = 0,9455. Nilai R2 yang tinggi memberikan indikasi bahwa lama penyimpanan berkorelasi dengan viabilitas polen. Dari persamaan tersebut diperkirakan serbuk sari dapat disimpan selama 10 bulan, pada saat itu viabilitasnya dapat dipertahankan hingga 60,47%. Pada penyimpanan 11 bulan, viabilitasnya tinggal 57,07% sehingga tidak layak untuk penyerbukan. Lama simpan, jumlah serbuk sari, dan pembentukan buah Berdasarkan uji F pada taraf 5%, diketahui bahwa persentase buah partenokarpi nyata dipengaruhi lama simpan serbuk sari (Tabel 2). Hasil pengamatan pada

37

persentase buah normal menunjukkan penurunan meskipun tidak nyata karena viabilitas serbuk sari tetap tinggi selama penyimpanan 2 bulan. Pada umumnya penurunan buah normal dan peningkatan buah abnormal terjadi dengan semakin rendah viabilitas serbuk sari karena semakin lama disimpan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari persentase buah normal dan buah abnormal , yang mengindikasikan keberhasilan pembentukan buah terus menurun dan pembentukan buah abnormal semakin meningkat seiring lamanya penyimpanan serbuk sari, walaupun penurunan tersebut tidak berbeda nyata. Buah normal merupakan buah yang berkembang sempurna dengan bagian-bagian buah yang meliputi eksokarp, mesokarp, dan biji. Buah normal menunjukkan keberhasilan serbuk sari dalam membuahi sel telur membentuk zigot yang berkembang menjadi embrio. Buah partenokarpi yaitu buah yang berkembang tanpa biji dapat disebabkan karena karena fertilisasi tidak terjadi atau karena faktor eksternal seperti suhu, kekurangan hara, atau infeksi hama dan penyakit. Bagian eksokarp, mesokarp, dan endokarp buah ini berkembang tanpa diikuti perkembangan endosperma dan embrio (Gardner et al, 1939). Buah infertil adalah buah yang tidak berkembang (Corley dan Tinker, 2003). Tabel 2. Pengaruh lama simpan serbuk sari terhadap persentase pembentukan buah normal, partenokarpi, dan infertil. Lama simpan (bulan) 0 1 2

Buah normal 74,5 71,2 70,8

Buah abnormal Partenokarpi Infertil a 11,1 14,4 a 11,0 17,7 b 6,0 23,0

Tabel 3. Pengaruh jumlah serbuk sari terhadap persentase pembentukan buah normal, partenokarpi, dan infertil. Jumlah serbuk sari (g) 0,022 0,044 0,066 0,088 0,11

Buah normal 69,8 69,0 71,1 75,6 76,0

Buah abnormal Partenokarpi Infertil 10,1 20,1 9,6 21,4 13,2 15,7 6,3 18,1 7,2 16,8

Tabel 4. Persentase masing-masing tipe buah pada setiap ulangan (genotipe tanaman induk). Buah Buah abnormal normal Partenokarpi Infertil a b SD037 81,5 5,0 13,5 b a SD038 66,0 12,2 21,8 b a SD039 69,9 10,6 19,5 Keterangan Tabel 1, 2, 4: Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada Îą = 0,05. Tanaman induk

Tabel 5. Karakter setiap tanaman induk berdasarkan komponen penyusun tandan. Tanaman Jumlah Jumlah induk spikelet bunga/spikelet SD037 1888 14,63 SD038 1570 11,68 SD039 2337 17,96 Keterangan: rata-rata dari 15 tandan/tanaman induk.

Berat tandan 137 114 152

Semakin banyak serbuk sari yang digunakan cenderung meningkatkan pembentukan buah normal, berkisar antara 7076%, serta menurunkan buah abnormal yang dapat dibedakan atas buah partenokarpi dan buah infertil (Tabel 3). Hasil pengamatan ini sejalan dengan pernyataan Turner dan Gilbanks (1982) bahwa jumlah buah per tandan dapat mencapai 70% jika dilakukan aplikasi penyerbukan buatan, dan ada kaitan antara jumlah serbuk sari dengan persentase pembentukan buah normal. Di lain pihak, Hartley (1988)


38

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 35-38

menyatakan bahwa aplikasi penyerbukan buatan dapat meningkatkan jumlah buah per tandan sekitar 100-150% pada awal pertanaman dan sekitar 20% setelah pohon berumur 11 tahun, dan jumlah serbuk sari yang digunakan mempengaruhi persentase pembentukan buah normal. Miklos (1989) menyebutkan bahwa buah partenokarpi disebabkan faktor genetik dan lingkungan. Perbedaan genotipe tanaman induk sangat nyata mempengaruhi persentase buah normal dan, persentase buah partenokarpi. Dalam penelitian ini, SD037 menghasilkan persentase buah normal paling tinggi, sebesar 81.5%, walaupun jumlah spikelet, jumlah bunga dalam tandan dan berat tandan termasuk sedang dibandingkan SD038 dan SD039 (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi SD037 lebih tinggi dibandingkan dengan dua tanaman induk lainnya. Sebaliknya SD039 mempunyai potensi reproduksi yang tinggi (Tabel 5) tetapi keberhasilan reproduksi yang rendah sebagaimana ditunjukkan oleh persentase buah normal sebesar 69.9%. Potensi reproduksi SD038 paling rendah diantara ketiga tanaman induk tersebut dan keberhasilan reproduksi yang rendah pula sebagaimana tercermin dari persentase buah abnormal yang tinggi sebesar 34%. Mengingat ketiganya tumbuh di lingkungan yang sama, maka hal ini diyakini karena faktor genetik. Secara genetik, SD037 memiliki mutu yang lebih baik dalam kemampuannya menghasilkan buah normal daripada SD038 dan SD039 sebagaimana dinyatakan Milkos (1989) bahwa kemampuan menghasilkan buah normal dipengaruhi faktor genetik tanaman selain faktor lingkungan. Disamping itu Turner dan Gilbanks (1982) menyatakan bahwa banyaknya buah normal yang terbentuk tergantung pada banyaknya bunga mekar yang terserbuki di dalam satu tandan. Jumlah buah normal yang terbentuk sangat ditentukan oleh jumlah spikelet dalam satu tandan dan jumlah bunga setiap spikelet. Genotipe tanaman induk juga berpengaruh terhadap viabilitas benih yang dihasilkan. Gardner et al. (1939) menyatakan bahwa perkembangan bunga dan buah juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanaman mengabsorbsi zat hara dan menggunakannya secara efektif, serta status kesehatan tanaman induk. Beberapa pohon secara konsisten menghasilkan benih dengan viabilitas rendah dan ada pula yang secara konsisten menghasilkan benih dengan viabilitas tinggi. Menurut Buana et al. (1994), semakin tinggi jumlah biji (buah normal) yang terbentuk dalam satu tandan, semakin tinggi pula viabilitas benih yang berasal dari tandan tersebut. Viabilitas benih tidak diuji dalam penelitian ini, akan tetapi dengan merujuk hasil penelitian Buana et al. (1994), maka diduga viabilitas benih dari tanaman SD037 mempunyai viabilitas yang lebih tinggi daibandingkan dengan SD038 dan SD039. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyerbukan antara lain suhu, curah hujan, serta ada tidaknya hama dan penyakit yang menginfeksi bunga. Azwar dan Woelan (1996) mengungkapkan bahwa keberhasilan pembentukan buah dipengaruhi oleh faktor genetik dan cuaca. Menurut Turner dan Gilbanks (1982), suhu optimum o untuk penyerbukan kelapa sawit adalah 22-33 C. Pada penelitian ini, penyerbukan dilakukan pada suhu rata-rata harian berkisar antara 27-29oC. Kondisi ini mendukung penyerbukan sehingga menghasilkan buah normal rata-rata 70%. Broekmans (1957) membuktikan penyerbukan kelapa sawit pada kondisi optimum dengan jumlah serbuk sari 0,05 g pada viabilitas di atas 60% akan menghasilkan jumlah buah per tandan sekitar 70%. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian ini dimana pada taraf serbuk sari 0.044 g dengan viabilitas di atas 80%, dihasilkan buah normal 69% dan pada taraf 0,066 g dihasilkan buah normal 71%. Bahkan penggunaan polen dalam jumlah yang lebih sedikit (0,022 g) tidak menurunkan persentase buah normal. Buah abnormal yang terdiri atas buah partenokarpi dan buah infertil dapat disebabkan serangan hama dan penyakit. Serangan hama Tirathaba rufivena dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan bunga dan buah kelapa sawit, mulai dari tahap inisiasi bunga hingga buah masak (Corley dan Tinker, 2003). Menurut Harun (2000), serangan T. rufivena dapat menyebabkan buah rontok atau tanpa biji. Serangan hama ini dapat diidentifikasi dari banyaknya feses T. rufivena dan serat-serat tanaman yang hancur karena serangan T. rufivena. Larva T. rufivena hidup di sekitar kotoran ini. Serangan hama yang telah menginfeksi sejak tahap pembungaan menyebabkan kerusakan jaringan di sekitar ovarium, sehingga menghalangi terjadinya pembuahan. Dalam hal ini, meskipun serbuk sari berhasil membentuk tabung serbuk sari namun tidak dapat mencapai sel telur, sehingga tidak terjadi pembuahan, dan terjadi buah tanpa biji (partenokarpi) atau biji tidak berkembang (infertil). KESIMPULAN Serbuk sari kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dapat disimpan sampai 2 bulan dalam lemari es tanpa penurunan viabilitas yang berarti. Penyimpanan sampai 6 bulan akan menurunkan daya berkecambah sekitar 17%. Polen yang telah disimpan selama dua bulan dapat digunakan untuk menyerbuk dengan jumlah yang lebih rendah tanpa menurunkan jumlah buah normal yang terbentuk. Penambahan jumlah serbuk sari dengan viabilitas tinggi (sekitar 90%) untuk menyerbuki bunga betina tidak meningkatkan pembentukan buah. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada PT. Dami Mas Sejahtera, Riau dan PT Sinar Mas Agro Resource and Technology (SMART) Tbk, Riau yang telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Azwar, R dan Woelan. 1996. Karakteristik bunga dan viabilitas serbuk sari beberapa klon karet. Bulletin Perkebunan 8 (3): 77-83. Broekmans, A.F.M. 1957. Studies of factors influencing the succes of controlled pollination of the oil palm. Journal of the West African Institute for Oil Palm Research 11 (6): 133-139. Buana, L., T. Hutomo, dan M. Chairani. 1994. Faktor penentu viabilitas benih kelapa sawit. Bulletin PPKS 2 (2): 71-76. Corley, R.H.V. and P.B. Tinker. 2003. The Oil Palm. Victoria: Blackwell. Gardner, V.R, F.C. Bradford, and H.D. Hooker, Jr. 1939. The Fundamental of Fruit Production. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.. Hanna W.W. and L.E. Towill. 1995. Long-term pollen storage. In: Janick, J. (ed) Plant Breeding Reviews, Vol. 13. New York: John Wiley and Sons. Hartley, C.W.S. 1988. The Oil Palm. London: Longman. Harun, M.H. 2000, Yield and yield components and their physiology. In: Yusof, B., B.S. Jaelani. and K.W. Chan (eds). Advances in Oil Palm Research. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Board. Lubis, U.A. 1993. Pedoman Pengadaan Benih Kelapa Sawit. Pematang Siantar: Pusat Penelitan Kelapa Sawit. Milkos, F. 1989. Physiology of Temperate Zone Fruit Trees. New York: John Wiley and Sons. Turner. P.D and R.A. Gilbanks. 1982. Oil Palm Cultivate and Management. The Incorporated Society of Planters. Kuala Limpur. Malaysian Palm Oil Board Wahyudin, D.S. 1999. Daya Simpan Serbuk Sari Salak (Salacca sp) pada Tingkat Kemasakan yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Walt, I.D. van der and G.M. Littlejohn. 1996. Storage and viability testing of Protea pollen. Journal of American Society and Horticulture Science 12 (5): 804-809.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 39-43

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Kajian Rekrutmen Karang Scleractinia di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Study of Scleractinia coral reef recruitment in Kepulauan Seribu, Jakarta EDI RUDI♥ Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh 23111 Diterima: 21 Nopember 2007. Disetujui: 31 Januari 2008

ABSTRACT This research was conducted at three sites (Lancang, Pari, and Payung Islands) in the coral reef ecosystem of Kepulauan Seribu, from March 2004 to March 2005 in order to study pattern of coral recruitment. Limestone substrata as collectors were laid for 3 months at 5 and 10 m waters depth at each site, and further were taken and replace with new ones. The result shows that significant recruits number were occurred between locations, number of coral recruits became higher in the direction to the outer part of Kepulauan Seribu. Results also show that coral recruitment at Kepulauan Seribu was occurred year around, but recruits number varied significantly among seasons and waters depth. West season (December 2004-March 2005) and 5 meter waters depth were the highest abundance of coral recruits. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: recruitment, coral, Scleractinia, Kepulauan Seribu.

PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu DKI Jakarta adalah salah satu yang terus mengalami degradasi di Indonesia terutama berkaitan dengan polusi dan sedimentasi di Teluk Jakarta. Dalam mengendalikan dan mengelola ekosistem demikian, maka diperlukan pengetahuan dan informasi melalui penelitian. Data dan informasi yang diperoleh dapat dijadikan bahan masukan bagi pengelola dalam mengambil kebijakan di masa yang akan datang. Salah satu faktor yang menentukan kelestarian suatu terumbu karang adalah keberhasilan karang pembangun terumbu (karang hermatipik dari ordo Scleractinia) melakukan regenerasi di suatu terumbu karang melalui rekrutmen karang. Proses rekrutmen itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kemelimpahan populasi karang dewasa baik dari komunitas setempat yang sudah mantap maupun dari komunitas karang di wilayah yang jauh, sirkulasi air laut karena kebanyakan larva karang hidup sebagai plankton sebelum turun ke dasar perairan dan menjadi juvenil, kompleksitas tipe substrat (Richmond, 1997), pemangsaan/herbivora (Richmond dan Hunter, 1990; Thacker et al., 2001), allelopati karang lunak (Maida et al., 1995), dan kompetitor (McCook, 2001). Pemanfaatan substrat tertentu untuk rekrutmen karang anggota ordo Scleractinia merupakan kajian mendasar untuk keperluan rehabilitasi mengingat secara alamiah proses keberhasilan pemulihan terumbu karang yang rusak ditentukan oleh kolonisasi karang baru, sedangkan

♥ Alamat korespondensi: Kampus Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh 23111 Tel. & Fax.: +62-651-7428212; +62-651-7410248 e-mail: edirudi@yahoo.com

kolonisasi sendiri didukung oleh adanya substrat yang sesuai untuk menempel. Dengan kajian ini akan diperoleh gambaran bahwa rekrutmen karang Scleractinia dengan berbagai cara reproduksi akan bervariasi di dalam dan antar lokasi, sehingga data-data tentang pola reproduksi dan rekrutmen karang Scleractinia dapat diaplikasikan untuk kegiatan pengelolaan terumbu karang yang baik dan berkelanjutan. Walaupun kajian rekrutmen karang itu penting, namun hal ini belum banyak dilakukan di wilayah Indonesia. Penelitian rekrutmen karang pada substrat penempelan ini dilakukan pada zona yang memungkinkan untuk dilakukan pengambilan data dan pengamatan selama satu tahun mengingat perairan Kepulauan Seribu sangat fluktuatif dan dipengaruhi oleh angin musim. Wilayah pengamatan ditetapkan mulai dari pulau Lancang sampai ke pulau Payung yang memperlihatkan perbedaan kualitas air dan kondisi penutupan karang hidupnya.

BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan faktorial tersarang. Perlakuannya terdiri dari tiga stasiun penelitian yaitu: pulau Lancang dengan kondisi terumbu karang jelek, posisinya adalah 05026’028” LS dan 0 106 36’038” BT; pulau Pari dengan kondisi terumbu karang sedang, posisinya adalah 05051’112” LS dan 106036’472” BT, serta pulau Payung dengan kondisi terumbu karang baik, posisinya 05049’085” LS dan 106033’747” BT (Gambar 1.) dan dua kedalaman air sebagai blok yang terdiri atas bagian permukaan 4-5 m dan bagian yang dalam 8-10 m. Semua perlakuan tersarang dalam waktu pengambilan yaitu sebanyak empat kali (sekali dalam tiga bulan atau satu musim) selama satu tahun, sedang jumlah ulangan adalah enam kali.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 39-43

40

HASIL DAN PEMBAHASAN P.Payung P. Payung

Dari pengamatan rekrutmen karang pada tiga stasiun P. Pari penelitian di Kepulauan Seribu -5.85 DKI Jakarta selama satu tahun (Maret 2004 s.d. Maret 2005) diperoleh empat familia dengan 10 spesies rekrut karang dari ordo Scleractinia yang terdiri dari P. Lancang Acropora tenuis, A. palifera, A. P.Lancang millepora, Montipora digitata P.Bokor P.Laki (Familia Acroporidae), Pocillopora -5.95 P.Damar damicornis, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata (PocillopoP.Wanara ridae), Porites sp., Goniopora sp. (Poritidae) dan Fungia fungites P.Ayer Tg.Kait (Fungiidae). Beberapa spesies P.Nirwana yang diperoleh ditampilkan pada Gambar 2. -6.05 P.Bidadari Rerata kepadatan rekrut TANGERANG karang yang didapatkan selama TELUK JAKARTA JAKARTA BAY pengamatan berkisar antara 0,3Tg.Priok 13 koloni/substrat, dengan rerata Pel. Sunda Kelapa tertinggi diperoleh di pulau Payung pada musim barat, NORTH OF JAKARTA sedangkan terendah di pulau JAKARTA UTARA ANCOL Waduk Pluit Km Lancang pada musim timur Waduk Sunter -6.15 (Gambar 3). Tingginya 106.50 106.60 106.70 106.80 106.90 kepadatan rekrut karang di pulau Bujur Timur Payung terjadi di musim barat dan nilainya berbeda nyata dengan pengamatan lainnya. Namun, pengamatan di tiga musim Gambar 1. Stasiun penelitian di Kepulauan Seribu DKI Jakarta lainnya di pulau Payung nilainya lebih rendah, misalnya musim peralihan barat ke timur dan peralihan timur ke barat. Hasil pengamatan secara umum mengambarkan Penelitian ini menggunakan batu kapur sebagai substrat terjadinya penurunan jumlah rekrut karang pada wilayah penempelan larva sesuai dengan Rudi et al. (2005). yang semakin dekat daratan utama yaitu pulau Lancang 3 Substrat berukuran 20x20x2 cm terlebih dahulu diberi yang diperkirakan berkaitan dengan kondisi perairan yang lubang di setiap sudutnya untuk mengikatkan kerangka kurang mendukung antara lain kecerahan yang rendah, besi, lalu permukaannya dikasarkan dengan sikat kawat. sedimentasi yang tinggi, serta kandungan Total Organic Substrat ditempatkan pada kerangka besi yang ditanam Matter (TOM) dan Total Suspended Solid (TSS) yang tinggi secara kuat di dasar perairan pada kedalaman sekitar 5 m (data tidak dipublikasikan). Menurut Szmant (2002), tinggidan 10 m. Penempatan substrat pada kerangka besi adalah nya sedimentasi dan rendahnya kecerahan dapat membusecara vertikal (tegak lurus) dengan tujuan memperoleh nuh karang dewasa dan menghalangi terjadinya rekrutmen kelulusan hidup optimum dari larva karang yang menempel karang baru. Hasil yang diperoleh menggambarkan bahwa sesuai dengan Harrison dan Wallace (1990). Jarak antar pulau Lancang sulit menjadi “stepping stones� pemencaran substrat penempelan minimal 5 cm. Substrat penempelan larva karang ke wilayah bagian selatan Kepulauan Seribu. diikatkan pada kerangka besi dengan menggunakan tali Hasil penelitian mengindikasikan bahwa reproduksi tise. Penempatan dan pengambilan substrat dilakukan karang di sekitar wilayah penelitian berlangsung sepanjang dengan menggunakan gunting, keranjang, dan SCUBA. tahun, walaupun terlihat adanya fluktuasi. Fluktuasi terjadi Substrat diambil sekali dalam tiga bulan (satu musim), karena adanya puncak-puncak pemijahan pada waktulalu dilakukan penggantian dengan substrat baru yang akan waktu tertentu. Hal ini diperkirakan serupa dengan yang diambil tiga bulan berikutnya. Substrat diangkat secara hatiterjadi di kepulauan Karimunjawa sepanjang bulan Marethati dengan keranjang, lalu di atas kapal disusun dengan April dan Oktober-Nopember (Edinger et al., 1996; Munasik memberi busa pembatas, selanjutnya dibawa ke dan Azhari, 2002; Munasik dan Widjatmoko, 2005). Hasil laboratorium untuk identifikasi. Identifikasi rekrut karang serupa dilaporkan oleh Guest et al. (2005) bahwa waktu sampai ke tingkat spesies dilakukan dengan bantuan pemijahan massal karang di Singapura terjadi dua kali mikroskop binokuler, mengacu pada English et al. (1997), dalam setahun dengan puncaknya pada Maret-April dan Baird dan Babcock (2000), serta Babcock et al. (2003). diikuti dengan Oktober-Nopember. Namun, untuk rekrutmen Pemotretan rekrut karang dilakukan menggunakan karang pada substrat penempelan, diperkirakan tidak hanya fotomikroskop. Analisis data kepadatan koloni (jumlah waktu reproduksi yang menentukan, namun juga sejumlah koloni/substrat) dilakukan dengan ANOVA. Apabila terdapat faktor lain seperti kompetensi larva, kesesuaian substrat, perbedaan yang nyata antar perlakuan, maka dilakukan uji dan kualitas perairan. lanjut Tukey pada selang kepercayaan 95%.

Lintang Selatan

P.JAWA


RUDI – Rekrutmen karang Scleractinia

500 Îźm

500 Îźm

41

A

1000 Îźm

B

C

500 Îźm

D

Gambar 2. Beberapa spesies rekrut karang yang didapatkan di perairan kepulauan Seribu, Jakarta. A. Pocillopora damicornis, B Acropora tenuis, C. Montipora digitata, dan D. Porites sp.

Musim pengamatan berpengaruh terhadap kepadatan rekrut karang yang menempel pada substrat. Dari rerata rekrut yang berkisar antara 2,5-6,87 koloni/substrat, nilai tertinggi diperoleh pada musim barat (Desember 2004Maret 2005) dan terendah pada musim peralihan barat ke timut (Gambar 4). Gleason (1996) yang melakukan pengamatan rekrutmen karang di Moorea, PolynesiaPerancis dengan pengamatan sekali dalam empat bulan memperoleh hasil serupa, yaitu laju rekrutmen karang tertinggi diperoleh dalam periode Desember sampai April yang diduga berhubungan erat dengan periode suhu perairan tertinggi sebagai pemicu terjadinya reproduksi masal karang. Tingginya kemelimpahan rekrut selama musim barat di kepulauan Seribu diperkirakan berhubungan dengan puncak waktu reproduksi karang, yaitu bulan Maret-April yang merupakan akhir dari musim barat. Selain itu, substrat penempelan yang diletakkan sejak Januari sudah

teradaptasi dengan baik dan dilingkupi oleh lapisan biologis sehingga cocok bagi penempelan dan metamorfosis larva karang. Lapisan biologis ini menjadi penting terutama bagi sebagian larva karang yang memerlukan perangsang kimia berupa mikroalga dan bakteri tertentu. Menurut Baird dan Morse (2004), larva planula karang yang akan menempel bereaksi dengan lapisan biologis, terutama dengan komunitas crustose coralline algae (CCA) yang mendiami permukaan substrat. Hal ini juga didukung hasil pengamatan Harrington et al. (2004) bahwa spesies tertentu dari mikroalga kelompok CCA bertindak sebagai perangsang penting dalam penempelan larva Acropora tenuis dan Acropora millepora. Peranan bakteri tertentu dalam memicu penempelan larva karang telah dilaporkan oleh Samidjan (2005), bahwa spesies Micrococcus luteus memicu terjadinya penempelan rekrut karang P. damicornis dan bakteri Marinomonas communis adalah pionir untuk mendorong terjadinya penempelan karang A. tenuis.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 39-43

42

P. Pari

P. Lancang

P. Payung

16 Rerata kepadatan rekrut (koloni/substrat) Âą SE

14 12 10 8 6 4 2

Barat

Peralihan 2

Timur

Barat

Peralihan 1

Timur

Peralihan 2

Barat

Peralihan 1

Peralihan 2

Timur

Peralihan 1

0

Gambar 3. Rerata kepadatan rekrut karang (koloni/substrat penempelan).

8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0

Peralihan-2 (Sept-Des 04)

Peralihan-1 (Mart-Juni 04)

0.0

Barat (Des 04- Mart 05)

1.0 Timur (Juni-Sept 04)

Rerata Rekrut Rerata Kepadatan Kepadatan Rekrut (koloni/substrat) SE (koloni/substrat) ¹¹SE

9.0

Musim (bulan)

Gambar 4. Rerata rekrut karang menurut empat musim pengamatan.

10 8 6 4

5 meter

Timur

Peralihan-1

Barat

Peralihan-2

Timur

Peralihan-1

0

Barat

2 Peralihan-2

Rerata kepadatan rekrut (koloni/substrat) Âą SE

12

10 meter

Gambar 5. Kepadatan rekrut karang pada dua kedalaman perairan dengan musim tertentu.

Alasan lainnya yang mendukung berlimpahnya rekrut karang di musim barat adalah berkaitan dengan pola arus yang secara umum dari barat laut menuju tenggara. Pola arus yang demikian membawa sumber larva yang berasal

dari ekosistem terumbu karang di bagian utara kepulauan Seribu yang kondisinya cenderung lebih baik sebagaimana dilaporkan oleh Giyanto dan Sukarno (1997), sehingga wilayah bagian selatan kepulauan Seribu menjadi tempat menempelnya larva-larva karang tersebut. Hasil pengamatan rendahnya kepadatan rekrut karang pada waktu musim peralihan barat ke timur (Maret-Juni) memberikan gambaran adanya pengaruh lama penempatan substrat sebelum siap dikolonisasi oleh rekrut karang. Walaupun massa air diperkirakan mengandung cukup banyak larva planula karang, namun yang mampu menempel pada substrat relatif sedikit. Rendahnya kemelimpahan rekrut karang yang ditemukan pada substrat penempelan diperkirakan karena substrat yang belum cukup teradaptasi dan lapisan biologis yang terbentuk belum optimum. Hal ini menjadi penting karena sejumlah larva karang justru menjadikan lapisan biologis tersebut sebagai prasyarat untuk menempel dan bermetamorfosis. Selain itu lamanya larva karang menjalani kehidupan sebagai organisme planktonik dan kompetensi larvanya (periode sepanjang larva melewati kemampuan untuk menempel dan metamorfosis) sangat terbatas pada sejumlah spesies, seperti Acropora. Menurut Richmond (1988) Acropora melakukan reproduksi secara spawning (memijah) dengan masa kompetensi larva hanya selama 20 hari (sekitar 3-4 minggu), sedangkan Pocilloporidae melakukan reproduksi dengan brooding (mengerami), sehingga larva mempunyai zooxanthellae, dengan kompetensi yang lebih lama, yaitu sekitar 100 hari. Diaz-Pulido dan McCook (2002) menyatakan bahwa substrat di lingkungan terumbu karang dengan cepat akan dikolonisasi oleh alga filamen, namun proses suksesi substrat dari alga filamen ke CCA akan memakan waktu berminggu-minggu bahkan tahunan. van Moorsel (1988) mengemukakan bahwa waktu yang diperlukan oleh substrat baru untuk cocok sebagai tempat penempelan larva karang adalah tiga bulan. Namun menurut Glynn et al. (1991) karang Pocilloporidae mampu mengkolonisasi substrat sesegera mungkin, sehingga anggota familia ini merupakan spesies pionir dalam kolonisasi substrat baru. Pocilloporidae mampu memijah sepanjang tahun, sehingga sering mendominasi komunitas karang dewasa yang mantap. Kedalaman perairan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah rekrut karang yang menempel. Hasil pengamatan rekrut karang selama empat musim dengan dua kedalaman perairan, yaitu: 5 m dan 10 m, memperlihatkan bahwa rerata rekrut karang berkisar antara 1,13-9,13 koloni/substrat, nilai tertinggi diperoleh di kedalaman 5 m pada pengamatan musim barat dan nilai terendah di kedalaman 10 m pada musim peralihan timur ke barat (Gambar 5). Hasil ini menunjukkan bahwa faktor cahaya dan kecerahan perairan menjadi penentu penyebaran vertikal organisme karang. Cahaya menjadi penting bagi karang karena sebagai organisme yang bersimbiosis dengan zooxanthellae, cahaya diperlukan untuk fotosintesis simbionnya. Tingginya kemelimpahan rekrut karang di kedalaman 5 m dibandingkan dengan 10 m juga dapat teramati dari lebih baiknya kondisi terumbu karang yang sudah mantap di kedalaman 5 m dibandingkan 10 m. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini didukung oleh laporan Baird et al. (2003), bahwa spesies karang yang mempunyai sebaran vertikal yang luas ,seperti Platygyra daedalea akan lebih memilih untuk menempel pada substrat yang ditempatkan di perairan dangkal (3 m) dibandingkan pada substrat di perairan dalam (10 m). Hal yang sama diperlihatkan oleh karang di reef flat, Goniastrea aspera dan G. retiformis


RUDI – Rekrutmen karang Scleractinia

yang menempel empat kali lebih banyak pada substrat di perairan dangkal. Tingginya kemelimpahan rekrut karang di kedalaman 5 m dibandingkan 10 m diperkirakan dipengaruhi oleh faktor cahaya. Lokasi penelitian mempunyai intensitas cahaya yang terbatas pada kedalaman kurang dari 10 m, terutama di pulau Lancang dan pulau Pari. Kurangnya intensitas cahaya pada kedalaman 10 m membuat organisme simbion, zooxanthellae, yang terdapat di dalam tubuh karang tidak dapat hidup dengan baik dan optimalkarena keterbatasan dalam melakukan fotosintesis. Cahaya sangat diperlukan bagi kehidupan karang mulai dari tahap larva sampai dewasa. Mundy dan Babcock (1998) membuktikan bahwa intensitas cahaya dan kualitas spektrumnya mempengaruhi densitas penempelan larva karang. Hasil penelitian Babcock dan Mundy (1996) pada skala laboratorium dengan menggunakan intensitas cahaya berbeda memperlihatkan bahwa cahaya merupakan variabel yang bertanggungjawab terhadap orientasi penempelan larva karang. Menurut Veron (1995), karang pembangun terumbu memanfaatkan cahaya matahari sehingga cahaya matahari menjadi kunci keberadaannya di wilayah tropis dan menjadi faktor pembatas penyebarannya.

KESIMPULAN Rekrutmen karang Scleractinia pada substrat batu kapur berlangsung sepanjang tahun di ekosistem terumbu karang kepulauan Seribu. Kemelimpahan rekrut karang terlihat berbeda antar lokasi dengan kecenderungan semakin tinggi menuju bagian terluar (arah utara) kepulauan Seribu. Perbedaan kemelimpahan rekrut karang juga terlihat antar musim dan kedalaman, yang tertinggi adalah pada musim barat (Desember 2004-Maret 2005) dan kedalaman perairan 5 meter. Rekrut karang Scleractinia dari Familia Pocilloporidae mendominasi substrat penempelan.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami ucapkan terima kasih kepada Prof Dedi Soedharma, Dr. Harpasis Sanusi dan Dr. John I. Pariwono atas segala masukannya pada tulisan ini. Terima kasih juga ditujukan pada M. Abrar, Abdus Syakur, dan Amirudin yang telah memberikan bantuan terbaiknya untuk pekerjaan di lapangan. Sebagian dari dana untuk penelitian ini diperoleh dari Bantuan Beasiswa Nanggroe Aceh Darussalam (BBNAD).

DAFTAR PUSTAKA Babcock, R.C., A.H. Baird, S. Piromvaragorn, D.P. Thomson, and B.L. Willis. 2003. Identification of Scleractinian coral recruits from Indo-Pacific reefs. Zoological Studies 42: 211-226. Babcock, R.C. and C. Mundy 1996. Coral recruitment: consequences for settlement choice for early growth and survivorship in two scleractinians. Experimental Marine Biology and Ecology 206: 179-201.

43

Baird, A.H. and R.C. Babcock. 2000. Morphological differences among three species of newly settled pocilloporid coral recruits. Coral Reef 19: 179183. Baird, A.H., R.C. Babcock, and C.P. Mundy. 2003. Habitat selection by larvae influences the depth distribution of six common coral species. Marine Ecology Progress Series 252: 289-293. Baird, A.H. and A.N.C. Morse. 2004. Induction of metamorphosis in larvae of brooding corals Acropora palifera and Stylophora pistillata. Marine and Freshwater Research 55: 469-472. Diaz-Pulido, G, and L.J. McCook. 2002. The fate of bleached corals: patterns and dynamics of algal recruitment. Marine Ecology Progress Series 232: 115-128. Edinger, E.N., I. Azhar, W.E. Mallchok, and E.G. Setyadi. 1996. Mass spawning of reef corals in the Java Sea, Indonesia. Proceeding 8th International Coral Reef Symposium, Panama, Abstract: 57. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Giyanto dan Sukarno. 1997. Perbandingan komunitas terumbu karang pada dua kedalaman dan empat zona yang berbeda di pulau-pulau Seribu Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 30: 33-51. Gleason, M.G. 1996. Coral recruitment in Moorea, French Polynesia: the importance of patch type and temporal variation. Experimental Marine Biology and Ecology 207: 79-101. Glynn, P.W., N.J. Gassman, C.M. Eakin, J. Cortes, D.B. Smith, and H.M. Guzman. 1991. Reef coral reproduction in the Eastern Pacific: Costarica, Panama and Galapagos Islands (Ecuador). Marine Ecology 109: 355-368 Guest, J.R., A.H. Baird, B.P.L. Goh, and L.M. Chou. 2005. Reproductive seasonality in an equatorial assemblage of scleractinian corals. Coral Reef 24: 112-116 Harrison, P.L. and C.C Wallace. 1990. Reproduction, dispersal and recruitment of Scleractinian corals. In: Dubinsky (ed.). Ecosystem of the World, Coral Reef. Amsterdam: Elsevier Science. Harrington, L., K. Fabricius, G. De’ath, and A. Negri. 2004. Recognition and selection of settlement substrata determine post-settlement survival in corals. Ecology 85: 3428-3437. Maida, M, P.W. Sammarco, and J.C. Coll. 1995. Effects of soft corals on scleractinian recruitment, directional allelopathy and inhibition of settlement. Marine Ecology Progress Series 121: 191-202. McCook, L.J. 2001. Competition between coral and algal turfs along a gradient of terrestrial influence in the nearshore central Great Barrier Reef. Coral Reef 19: 419-425. Moorsel, G.W.N.M. van. 1988. Early maximum growth of stony corals (Scleractinia) after settlement on artificial substrata on a Caribbean Reef. Marine Ecology Progress Series 50: 127-135. Munasik dan Azhari. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konperensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Bali, 21-24 Mei 2002. Munasik dan Widjatmoko. 2005. Reproduksi karang Acropora aspera di pulau Panjang, Jawa Tengah: Waktu spawning. Ilmu Kelautan 10: 30-34 Mundy, C.N. and R.C. Babcock. 1998. Role of light intensity and spectral quality in coral settlement: implications for depth-dependent settlement? Experimental Marine Biology and Ecology 223: 235-255 Richmond, R.H. 1988. Competency and dispersal potential of planula larvae of aspawning versus a brooding coral. Proceeding 6th International Coral Reef Symposium, Townsville 2: 827-831. Richmond, R.H. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence of reef. In: Birkeland (Ed). Life and Death of Coral Reefs. New York: Chapman & Hall. Richmond, R.H. and C.L. Hunter. 1990. Reproduction and recruitment in corals: comparisons among the Caribbean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Marine Ecology Progress Series 60: 185-203. Rudi, E., E. Soedharma, H. Sanusi, and J.I. Pariwono. 2005. Affinitas penempelan larva karang (Skleraktinia) pada substrat keras. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 12: 129-137. Samidjan, I. 2005. Suksesi Struktur Komunitas pada Terumbu Karang Buatan di Perairan Pulau Menjangan Besar dan Gon Waru, Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Szmant, A.M. 2002. Nutrient enrichment on coral reefs: is it a major cause of coral reef decline? Estuaries 25: 743-766. Thacker, R.W., D.W. Ginsburg, and V.J. Paul. 2001. Effects of herbivore exclusion and nutrien enrichment on coral reef macroalgae and cyanobacteria. Coral Reef 19: 318-329. Veron, J.E.N. 1995. Coral in Space and Time. Townsville: Australian Institute of Marine Science.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 44-47

ISSN: 1412-033X Januari 2008

Pemberian Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica L.) untuk Meningkatkan Kekebalan Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) yang Dipelihara dalam Keramba The use of miswak (Salvadora persica L.) extract to increase immune response of common carp (Cyprinus carpio L.) in cage HENNI SYAWAL♼, SYAFRIADIMAN, SYAUQI HIDAYAH Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau (UNRI), Pekanbaru 28293. Diterima: 30 Nopember 2007. Disetujui: 27 Januari 2008.

ABSTRACT The aim of this research was to increase immune response of common carp (Cyprinus carpio L.) in cage to microbial infection and environmental change. This research used completed randomized (RAL) one factor, four treatments and each of three replicates. This treatment was immersion extract miswak (Salvadora persica L.) dose 0, 4.5, 9, and 13.5 g/L. The cage 1 x 1 x 1.2 m, with density 50 fish/ cage (average initially 10-15 cm). Immersion was done once time a week along three weeks, l0 min, and after it fish reared in cage along 30 days. The response parameters assayed were survival rate, haematocrit, erythrocytes, leukocytes, and water quality. The results of experiment showed that the dose optimum 9 mg/L (P2) with survival rate 99.66% and P0 (70.66%). The level of haemotocrit was 18.933 3 34.36%, erythrocytes 3.597.000-6.112.000 cells/mL , leukocytes 24.748-143.070 cells/mL . It was concluded, which miswak extract at a dosage 9 mg/L can increase survival rate and immune response of common carp. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Salvadora persica L., Cyprinus carpio L., haematology.

PENDAHULUAN Penyakit merupakan salah satu faktor penyebab ketidakberhasilan budidaya ikan karena dapat menyebabkan kematian dalam jumlah besar. Penyakit dapat muncul di suatu perairan akibat ketidakseimbangan antara lingkungan, ikan, dan jasad patogen. Penanganan dalam budidaya yang kurang baik dapat menyebabkan ikan mengalami stres, sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan mudah terserang penyakit. Pencegahan dan pengobatan penyakit ikan selama ini menggunakan bahan kimia dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia secara terus menerus dapat menimbulkan efek samping baik terhadap lingkungan maupun manusia sebagai konsumen. Pemberian antibiotik secara berlebihan dapat menyebabkan resistennya mikroorganisme patogen, dan bahkan dapat menimbulkan galur baru; sedangkan bahan kimia dapat merusak lingkungan yang sulit didegradasi (Baticados dan Paclibare, 1992). Penggunaan bahan alami untuk mengatasi permasalahan di atas merupakan suatu langkah yang tepat pada saat ini karena bahan alami selain berfungsi sebagai

♼ Corresponding address: Jl. Raya Bangkinang Km 12,5 Pekanbaru 28293 Tel. & Fax.: +62-761-63279 e-mail: hernawati_ifoipb@yahoo.co.id

antimikrobia juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap perubahan lingkungan. Salah satu bahan alami yang dapat digunakan adalah ekstrak kayu siwak (Salvadora persica L.) karena terbukti mengandung bahanbahan yang dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antifungi (Pratama, 2005). Kayu siwak mengandung mineral alami yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu dapat dimanfaatkan sebagai: (i) antibakteri karena mengandung astrigen, abrasif, dan detergen yang dapat membunuh bakteri, mencegah infeksi, dan menghentikan pendarahan; (ii) mengandung bahan kimia seperti klorida, kalium, natrium, bikarbonat, fluorida, silika, sulfur, vitamin C, salvadorin, tannin, dan beberapa mineral lainnya; (iii) minyak atsiri yang memiliki rasa dan bau segar; (iv) anti pembusukan dan antikuman yang bertindak seperti penisilin untuk menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya pembusukan (Al-Khateeb et al., 1991; Al-Lafi dan Ababneh, 1995). Insani (2006) mengatakan bahwa penggunaan ekstrak kayu siwak yang diberikan secara perendaman pada ikan mas (Cyprinus carpio L.) terbukti dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan terhadap serangan bakteri Aeromonas septicemia, setelah dilakukan uji tantang dengan sintasan tertinggi 93,33% pada perlakuan dosis perendaman 9 g/L. Penelitian ini bertujuan untuk mencari dosis ekstrak kayu siwak yang optimum untuk meningkatkan kekebalan ikan mas terhadap serangan mikroorganisme patogen dan perubahan lingkungan.


SYAWAL dkk. – Pengaruh Salvadora versica terhadap kekebalan Cyprinus carpio

BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Kolam Percobaan maupun di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Riau pada bulan Nopember 2006 sampai Januari 2007. Bahan yang digunakan adalah ikan mas (C. carpio) berukuran 10-15 cm sebanyak 700 ekor, keramba ukuran 1 x 1 x 1,2 m sebanyak 12 buah dengan kedalaman air 75 cm. Padat tebar 50 ekor/keramba. Bahan lain yang diperlukan adalah kayu siwak, pakan komersil dan lain-lain. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap, satu faktor yaitu perendaman ekstrak kayu siwak, dengan empat perlakuan yaitu: P0 = tanpa perendaman dengan ekstrak siwak, P1 = perendaman dengan ekstrak siwak dosis 4,5 g/L, P2 = perendaman dengan ekstrak siwak dosis 9 g/L, P3 = perendaman dengan ekstrak siwak dosis 13,5 g/L. Untuk mengurangi kekeliruan dilakukan ulangan tiga kali untuk setiap perlakuan. Perendaman dilakukan tiga kali dengan rentang waktu satu minggu, lamanya perendaman 10 menit. Setiap kali setelah perendaman ikan dipelihara dalam keramba dan setelah perendaman ke tiga ikan dipelihara selama 30 hari. Parameter yang diamati adalah: sintasan, kondisi darah ikan (menghitung kadar hematokrit, total eritrosit, dan leukosit), serta kualitas air seperti suhu, oksigen terlarut, pH, dan ammoniak. Pengitungan sintasan mengacu pada rumus Effendie (1979), hematokrit mengacu pada prosedur Anderson dan Siwicki (1993), sedangkan total eritrosit dan leukosit mengacu pada Blaxhall dan Daisley (1973), serta Alifuddin (1999). Pengamatan dilakukan pada hari ke-ke-0 (sebelum diberi perlakuan), hari ke-25, 32, dan ke-60 (akhir penelitian).

45

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan P3 (dosis 13,5 g/L) menghasilkan sintasan terendah dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena tingginya dosis ekstrak siwak yang diberikan menyebabkan ikan tidak mampu beradaptasi dan menjadi stres, dengan demikian daya tahan tubuhnya dapat menurun. Menurut El-Mostehy et al. (1998), tingginya konsentrasi siwak yang diberikan dapat menyebabkan toksik pada ikan, karena siwak mengandung sulfur, tanin, dan saponin yang dalam konsentrasi tinggi dapat menjadi toksik. Efek dari tingginya dosis ekstrak siwak yang diberikan pada saat perendaman, tampak dari ikan yang meloncat-loncat dalam wadah perendaman. Stres pada ikan merupakan upaya yang dilakukan oleh sistem fisiologis untuk mempertahankan diri atau beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan, hal ini juga dipengaruhi umur dan spesies ikan (Robert, 1982). Selanjutnya menurut Anderson (1974) lendir adalah pertahanan terluar dari ikan. Terjadinya iritasi atau rasa membakar pada tubuh ikan dapat dilihat dengan adanya mukus berlebih yang dikeluarkan ikan pada perlakuan P0 (kontrol) dan P1 (4,5 g/L), serta gerakan ikan yang tidak normal. Apabila ada faktor yang mengganggu, baik berupa parasit, bahan kimia maupun rangsangan fisik yang memicu stres pada ikan, lendir akan diproduksi berlebihan. Selain itu, adanya gerakan ikan yang melompat-lompat tidak terkendali pada saat perendaman pada perlakuan P3 (13,5 g/L) menunjukkan bahwa ikan merasa tidak nyaman dengan lingkungannya, sehingga berusaha menghindar. Akibat adanya rasa panas tersebut kemungkinan ikan menjadi terkejut, kondisi tubuh melemah dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Persentase sintasan ikan selama pemeliharaan satu bulan setelah perendaman disajikan pada Tabel 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sintasan Persentase sintasan ikan mas selama perendaman dengan ekstrak kayu siwak disajikan pada Tabel 1.

Tabel 2. Rata-rata sintasan ikan mas (C. carpio) selama pemeliharaan setelah perendaman dengan ekstrak kayu siwak (S. persica). Ulangan

Tabel 1. Rata-rata persentase sintasan ikan mas (C. carpio) selama masa perendaman dengan ekstrak kayu siwak (S. persica). Perlakuan

Perendaman (minggu) 1 2 3 100 100 100 96 96 96 94 92 94

Jumlah

Rata-rata (%)

P0

1 2 3

300 288 280

100 96 93,33

96,66

a

P1

1 2 3

98 96 94

98 96 96

100 98 96

296 290 286

98,66 96,66 95,33

96,88

a

P2

1 2 3

100 100 100

98 96 96

100 100 100

298 296 296

99,33 98,66 98,66

98,88

a

P3

1 2 3

98 76 64

96 60 52

96 54 52

290 190 168

96,66 63,33 56

71,99

b

Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan ada perbedaan antara perlakuan. P0 = kontrol, P1 = perendaman dengan ekstrak kayu siwak konsentrasi 4,5 g/L, P2 = perendaman dengan ekstrak kayu siwak konsentrasi 9 g/L, P3 = perendaman dengan ekstrak kayu siwak konsentrasi 13,5 g/L, 1 = perendaman pertama pada minggu I, 2 = perendaman kedua pada minggu II, 3 = perendaman ketiga pada minggu III.

1 2 3 Jumlah Rata-rata

P0 68 73 71 212 70,66

Sintasan (%) pada perlakuan P1 P2 P3 96 100 91 98 98 92 100 100 88 294 298 271 98 99,66 90,33

Tingginya sintasan pada perlakuan P2 menandakan bahwa pemberian ekstrak kayu siwak dosis 9 g/L yang diberikan tiga kali, mampu meningkatkan kekebalan tubuh ikan terhadap penyakit. Hal ini diduga karena vitamin C, zat antimikrobia, dan saponin pada siwak dapat mengurangi efek stres pada ikan, sehingga nafsu makannya bertambah dan pertumbuhannya menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat El-Mostehy et al. (1998), bahwa pemberian ekstrak kayu siwak dapat mengurangi efek stres, sehingga ikan mudah beradaptasi dengan lingkungan dan dapat memanfaatkan pakan yang diberikan, dengan demikian pertumbuhan dan sintasannya tinggi. Meningkatnya kekebalan ikan terhadap serangan mikroorganisme patogen terlihat dari adanya ikan uji yang terserang jamur pada masa awal pemeliharaan, namun setelah perendaman ketiga ikan tersebut menjadi sehat. Hal ini diduga karena vitamin C dan sulfur yang terkandung dalam ekstrak siwak mampu memperbaiki perubahan fibrin, kolagen, dan polisacharida di dalam retikulum ikan yang


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 44-47

46

terserang mikrobia patogen. El-Mostehy et al. (1998) mengatakan bahwa vitamin C yang ada dalam kayu siwak efektif dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mengurangi efek stres dalam melawan patogen yang masuk ke dalam tubuhnya. Karena dengan meningkatkan sistem kekebabalan tubuh maka nafsu makan akan meningkat. Vitamin C memegang peranan penting dalam membantu reaksi tubuh terhadap stres fisiologi, pertumbuhan dan pencegahan penyakit, serta sebagai katalisator dalam metabolisme tubuh, walaupun bukan sumber tenaga. Kadar hematokrit Pemeriksaan hematokrit berguna untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan, yaitu dengan melihat persentase kandungan volume sel eritrosit dalam darah. Kadar hematokrit ikan uji selama penelitian disajikan pada Tabel 3.

Pada Tabel 4 terlihat adanya peningkatan kadar eritrosit, hal ini menandakan bahwa kondisi fisiologis ikan terganggu. Anderson dan Siwicki (1993) menyatakan bahwa status sel darah merah dapat memberikan informasi penting menyangkut kondisi fisiologis dan menunjukan status kesehatan ikan. Selanjutnya Wedemeyer (1997) menambahkan bahwa total eritrosit yang rendah mengindikasikan bahwa ikan mengalami anemia, sedangkan total eritrosit yang terlalu tinggi mengindikasikan ikan dalam keadaan stres. Pada penelitian ini jelas bahwa tingginya total eritrosit disebabkan ikan mengalami stres akibat perendaman yang dilakukan berulang kali dalam waktu yang relatif singkat, namun hasil pengukuran pada akhir penelitian relatif sama untuk setiap perlakuan. Hal ini diduga ikan tersebut sudah tidak stres lagi karena kandungan bahan ekstrak kayu siwak sudah memberikan pengaruh terhadap kekebalan ikan. Total eritrosit ikan teleostei yang normal berkisar antara 3.000.000-6.000.000 3 sel/mm (Nabib dan Pasaribu, 1989).

Tabel 3. Rata-rata kadar hematokrit (%) ikan uji selama penelitian. Hari kePerlakuan P0 P1 P2 P3

0 20,43 20,43 20,43 20,43

Kadar hematokrit (%) 25 32 18,93 20,78 23,10 26,60 23,10 30,77 22,03 32,36

60 26,69 26,15 27,18 28,20

Adanya fluktuasi kadar hematokrit selama penelitian disebabkan perubahan kondisi lingkungan pada wadah pemeliharaan dan pengaruh perendaman yang berulangulang. Hal ini sesuai dengan pendapat Wedemeyer dan Yasutake (1977) yang menyatakan bahwa kadar hematokrit dapat berubah-ubah tergantung pada musim, suhu, dan pemberian makanan yang sehat. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kadar hematokrit pada semua perlakuan hingga hari ke-32 dan menurun pada hari ke-60, kecuali pada perlakuan kontrol. Kadar hematokrit ikan berkisar antara 24-43%. Hal ini diduga karena penanganan pada saat perendaman, dan adanya bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak kayu siwak, sehingga mempengaruhi tingkat stres ikan uji. Al-Lafi dan Ababneh (1995) menyatakan bahwa siwak mengandung senyawa mustard yang merupakan senyawa antibakteri yang terasa panas. Sedangkan pada pengamatan hari ke-60 kondisi ikan sudah stabil, sehingga kadar hematokritnya kembali normal. Total eritrosit Pemeriksaan total eritrosit bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan ikan dengan cara menghitung total eritrosit dalam darah. Hasil penghitungan total eritrosit ratarata ikan uji disajikan pada Tabel 4. Rata-rata total eritrosit ikan uji yang terendah didapatkan pada perlakuan P0 (kontrol), dan yang tertinggi pada perlakuan P3 (13,5 g/L).

Total leukosit Pemeriksaan total leukosit juga bertujuan untuk melihat status kesehatan ikan. Pemberian ekstrak kayu siwak mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan ratarata total leukosit, untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 5. Terjadinya peningkatan jumlah leukosit dapat dijadikan sebagai tanda adanya infeksi, stres ataupun leukemia. Adanya infeksi akan menyebabkan �inflamasi� yang merupakan karakteristik tanggap kebal nonspesifik. Respon serupa juga akan muncul akibat adanya beberapa faktor seperti trauma, bahan kimia, toksin, parasit, bakteri, dan virus (Anderson dan Siwicki, 1993). Total leukosit dapat meningkat akibat adanya infeksi, penyakit darah, dan stres. Kisaran leukosit pada penelitian ini berkisar antara 24.748113.070 sel/mm3, jumlah ini masih dalam kisaran normal. Tabel 5. Rata-rata total leukosit ikan uji selama penelitian. Hari kePerlakuan P0 P1 P2 P3

0 24.748 24.748 24.748 24.748

Total leukosit (sel/ mm 25 32 27.960 59.910 72.030 76.390 78.520 89.240 79.660 93.540

3)

60 76.510 84.730 102.790 113.070

Kualitas air Parameter kualitas air selama penelitian masih dalam o kisaran normal, yaitu suhu 28-29 C, pH 6,5-7,5, oksigen terlarut 5,7-6,6 ppm, dan ammoniak 0,074-0,078 ppm. Parameter kualitas air ini saling mempengaruhi, yakni apabila suhu meningkat maka kandungan oksigen menurun, demikian juga dengan meningkatnya pH maka kadar amoniak juga meningkat, pada kondisi ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan ikan seperti timbulnya anoreksia, stres, dan hifoksia (Boyd, 1990).

KESIMPULAN 3

Tabel 4. Rata-rata total eritrosit (sel/mm ) ikan uji selama penelitian Hari kePerlakuan P0 P1 P2 P3

3

0 3.597.000 3.597.000 3.597.000 3.597.000

Total eritrosit (sel/mm ) 25 32 3.060.000 4.500.000 3.782.000 4.602.000 4.515.000 4.898.000 5.708.000 5.878.000

60 4.696.000 4.684.000 4.948.000 4.805.000

Pemberian ekstrak kayu siwak dosis 9 g/L yang diberikan sebanyak tiga kali perendaman dengan interval waktu perendaman 7 hari dan lama perendaman 10 menit mampu meningkatkan kekebalan ikan mas dengan angka sintasan 99,66%. Pemberian ekstrak kayu siwak secara umum tidak mengganggu kesehatan ikan, walaupun terjadi peningkatan dari kadar hematokrit, eritrosit, dan leukosit selama penelitian namun masih dalam kisaran normal.


SYAWAL dkk. – Pengaruh Salvadora versica terhadap kekebalan Cyprinus carpio

DAFTAR PUSTAKA Alifuddin, M., 1999. Peran Imunostimulan (Lipopolisakarida, Saccharomyses cerevisiae dan Levamisol) pada Gambaran Respon Imunitas Ikan Jambal Siam (Pangasius hypophthalmus). [Tesis] Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Al-Khateeb, T.L., D.M. O’Mullane., H. Whelton, and M.I. Sulaiman. 1991. Periodontal treatment needs among Saudi Arabian adults and their relationship to the use of the miswak. Community Dental Health 8: 323328. Al-Lafi, T. and H. Ababneh. 1995. The effect of the extract of the miswak (chewing sticks) used in Jordan and the Middle East on oral bacteria. International Dentistry Journal 45: 218-222 Anderson, R.J., 1974, Feeding artificial diets to smallmouth bass. Progress on Fish Culture 36 (3): 145-151. Anderson,D.P., and A.K. Siwicki, 1993. Basic Hematology and Serology for Fish Health Programs. Second Symposium on Diseases in Asian Aquaculture Aquatic Animal Health and the Enviroment. Phuket, Thailand. 25-29th October 1993. Baticados, M.C.L. and J.O. Paclibare. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. Diseases in Asian Aquaculture. 1. Proceedings of the First Symposium on Diseases in Asian Aquaculture, 26-29 November 1990, Bali, Indonesia. Blaxhall, P.C. and K.W. Daisley. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. Journal of Fish Biology 5: 771-781

47

Boyd, C.E., 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Birmingham Publishing. Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. El-Mostehy, D.R., M. Ragai., A.A. Al-Jassem., I.A. Al-Yassin, A.R. El-Gindy, and E. Shoukry, 1983. Siwak as an oral health device (Preliminary chemical and clinical evalution). Journal of Pharmacology 26: 41-50. Insani, A. 2006. Pencegahan Penyakit MAS (Motil Aeromonas septicemia) pada Ikan Mas (Cyprinus carpio) dengan Menggunakan Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica). [Skripsi]. Pekanbaru: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Nabib, R., dan F.H. Pasaribu. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. Pratama, M.R. 2005. Pengaruh Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica) terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococus mutans dan Staphylococus aureus dengan Metode Difusi Agar. [Skripsi]. Surabaya: FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh November. Wedemeyer, G.A. 1997. Fish stres and health in intensive culture. Sociaty for Experimental Biologi Seminar Series 62. Cambridge: Cambridge University Press. Wedemeyer, G.A. and W.T. Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect environmental stres on fish health. Technical Paper of The U.S. Fish and Wildlife Service US. Departement of the Interior 89: 1-17.


ISSN: 1412-033X Januari 2008

BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 48-52

Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas The possibility of palm oil mill effluent for biogas production EDWI MAHAJOENO1,2,♥, BIBIANA WIDIYATI LAY3, SURJONO HADI SUTJAHJO4, SISWANTO4 1

Program Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. 2 Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126. 3 Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680. 4 Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor 16124. Diterima: 22 Desember 2007. Disetujui: 31 Januari 2008.

ABSTRACT The world currently obtains its energy from the fossil fuels such as oil, natural gas and coal. However, the international crisis in the Middle East, rapid depletion of fossil fuel reserves as well as climate change have driven the world towards renewable energy sources which are abundant, untapped and environmentally friendly. Indonesia has abundant biomass resources generated from the agricultural industry particularly the large commodity, palm oil (Elaeis guiinensis Jacq.). The aims of the research were to (i) characterize palm oil mill effluent which will be used as source of biogas production, (ii) know the biotic and abiotic factors which effect POME substrate for biogas production by anaerobic digestion in bulk system. The results show that POME sludge generated from PT Pinago Utama mill is viscous, brown or grey and has an average total solid (TS) content of, 26.5-45.4, BOD is 23.5-29.3, COD is 49.0-63.6 and SS is 17.1-35.9 g/L, respectively. This substrate is a potential source of environmental pollutants. The biotic factors were kind and concentration of the inoculums, i.e. seed sludge of anaerobic lagoon II and 20% (w/v) respectively. Both physical and chemical factors such as pre-treated o POME pH, pH neutralizer matter Ca (OH)2, temperature ≥40 C, agitation effect to increase biogas production, but in both coagulant concentration, FeCl2 were not. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: characteristic of POME, biogas production, biotic and abiotic factors, batch system, laboratory scale.

PENDAHULUAN Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) dalam mengolah setiap ton tandan buah segar (TBS) akan menghasilkan rata-rata 120-200 kg minyak kelapa sawit mentah (CPO), 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat/ fiber, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel, dan 0,7 3 m air limbah. Jika Indonesia berhasil menjadi produsen utama CPO dunia, dengan memproduksi 18 juta ton CPO per tahun sebagaimana yang ditargetkan, maka akan dihasilkan limbah cair pabrik minyak kelapa sawit (LCPMKS) sebanyak >50 juta ton per tahun (Ditjenbibprodbun, 2004). LCPMKS merupakan sumber pencemar potensial yang dapat memberikan dampak serius bagi lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk menangani limbah ini melalui peningkatan teknologi pengolahan (end of pipe). Bahan organik dalam proses fermentasi anaerob (teknologi perombakan anaerob) dirombak oleh aktivitas mikroorganisme menjadi biogas. Produksi biogas dengan bahan LCPMKS memberikan berbagai keuntungan di antaranya pengurangan jumlah padatan organik, jumlah mikrobia pembusuk yang tidak diinginkan, serta kandungan

♥ Corresponding address: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: emasich@yahoo.com

racun dalam limbah (Judoamidjojo et al., 1989). Di samping itu, residu biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik non fitotoksin. Sudradjat et al. (2003) menyatakan bahwa produksi biogas mendapat perhatian karena produk akhir biogas adalah campuran CH4 dan CO2 yang merupakan gas mudah terbakar, sifatnya hampir sama dengan gas alam dan dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan. Fermentasi anaerobik adalah proses perombakan bahan organik yang dilakukan oleh sekelompok mikrobia anaerobik fakultatif maupun obligat dalam suatu reaktor o tertutup pada suhu 35-55 C. Perombakan bahan organik dikelompokkan dalam empat tahapan proses, pertama bakteri fermentatif menghidrolisis senyawa polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat terlarut. Kedua, monomer dan oligomer dirombak menjadi asam asetat, H2, CO2, asam lemak rantai pendek dan alkohol; tahap ini disebut pula tahap asidogenesis. Ketiga, disebut fase nonmetanogenik yang menghasilkan asam asetat, CO2 dan H2. Keempat, pengubahan senyawa-senyawa tersebut menjadi gas metana oleh bakteri metanogenik (Reith et al., 2003; Metcalf dan Eddy, 2003). Proses biokonversi metanogenik merupakan proses biologi yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama suhu, pH, dan senyawa toksik. Secara keseluruhan faktor yang mempengaruhi proses perombakan anaerob bahan organik pada pembentukan biogas, mencakup faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik


MAHAJOENO dkk. – Biogas dari limbah Elaeis guiinensis

berupa mikrobia dan jasad aktif, sedang faktor abiotik meliputi pengadukan, suhu, pH, kadar substrat, kadar air, rasio C/N dan P dalam substrat, dan kehadiran bahan toksik. Proses fermentasi dapat dilakukang dengan beberapa metode, salah satunya adalah sistem fermentasi curah, yaitu dilakukan dalam suatu tangki (digestor), dan dapat diuji dalam skala laboratorium. Tujuan penelitian ini adalah: (i) mengetahui karakteristik limbah cair pabrik minyak kelapa sawit PT. Pinago Utama, Sumatera Selatan, dan menentukan kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum terbaik, serta (ii) pengaruh faktor abiotik terhadap total produksi biogas tiap perlakuan dalam sistem curah.

BAHAN DAN METODE Bahan yang diperlukan berupa: jenis dan konsentrasi inokulum berupa kotoran sapi 10% (KTS-10%); lumpur LCPKMS kolam I, 10 dan 20% (LKLM I-10%, I-20%); kolam II, 10 dan 20% (LKLM II-10%, II-20%), dan kontrol. Sedang bahan perlakuan abiotik berupa NaOH, Ca(OH)2, FeCl3, pH o 4,4, 5,5, dan 7, tanpa agitasi dan peningkatan suhu ≥40 C, dengan LCPMKS sebagai bahan baku substrat. Alat yang diperlukan antara lain jerigen plastik 22 L, botol PET 1,5 L, selang (φ 0,5 cm), kawat. Percobaan dibagi dalam dua sub percobaan yaitu: karakterisasi limbah serta pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap produksi biogas. Percobaan ini dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Bogor. Jerigen 22 L (bioreaktor), diberi berbagai perlakuan inokulum, dan LCPMKS sebagai bahan baku substrat dalam reaktor curah kondisi anaerob. Perlakuan faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum, sedang faktor abiotik berupa pH, suhu, agitasi, waktu, dan bahan penetral. Proses fermentasi diukur setiap interval dua minggu, berlangsung selama 12 minggu. Produksi biogas ditampung dalam botol PET 1,5 L dan selang (φ 0,5 cm). Hasil akhir yang diukur adalah produksi dan konsentrasi metana (Jawed dan Tare, 1999). Parameter yang diukur meliputi pH, suhu, total produksi biogas, laju dan COD, BOD, TS, SS, minyak dan lemak kasar dan total nitrogen (Suzuki et al., 2003; Greenberg et al., 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan dalam beberapa sub percobaan di antaranya karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama Palembang, serta pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap total produksi biogas masing-masing perlakuan dari LCPMKS sistem curah. Karakteristik LCPMKS Hasil analisis karakteristik kimia LCPMKS PT. Pinago Utama menunjukkan bahwa limbah bersifat koloid, kental, coklat atau keabu-abuan, pH 4,4-5,4 dan mempunyai rerata kandungan COD 49,0-63,6; BOD 23,5-29,3; TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g/L (Tabel 1.). Keseluruhan parameter diukur di atas ambang baku mutu peruntukan yang telah ditetapkan MENKLH (1995), sehingga LCPMKS berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Tanpa adanya upaya untuk mencegah atau mengelola secara efektif akan timbul dampak negatif terhadap dilingkungan, seperti timbulnya bau, pencemaran air dan perairan umum di sekitar pabrik, dan gas rumah kaca yang berdampak perubahan iklim global (Ahmad et al., 2003).

49

Tabel 1. Karakteristik LCPMKS PT Pinago Utama Parameter

Nilai kisaran

Ratarata pH (Satuan Internasional) 4,4-4,5 4,4 o Suhu ( C) 50-65 57 BOD (g/L) 23,40-29,28 27,72 COD (g/L) 49,01-63,60 56,20 Padatan total (g/L) 26,57-45,38 28,24 Padatantersuspensi (g/L) 17,00-35,88 15,15 Minyak dan lemak kasar (g/L) 29,00-29,50 29,30 Total Nitrogen (g/L) 27,00-28,70 27,70 Keterangan: *) Berdasarkan Kep-51/MENLH/10/1995.

Baku mutu*) 6-9 0,11 0,25 0,25 0,10 0,03 0,02

Hasil penelitian parameter COD, BOD dan parameter lainnya menunjukkan bahwa kualitas LCPMKS PT. Pinago Utama, Sumatera Selatan jauh di atas baku mutu yang diperkenankan, sehingga berpotensi menjadi bahan pencemar apabila dibuang langsung ke lingkungan. Kisaran karakteristik LCPMKS berfluktuasi karena pengaruh proses produksi pabrik, musim, dan pasca panen (Yacob et al., 2006). Battacharya et al. (2003) menyatakan bahwa LCPMKS dengan perombakan anaerob memiliki COD lebih 3 3 dari 1,5 kg/m . Produksi 1 m LCPMKS dapat menghasilkan 3 20-28 m biogas. Paepatung (2006) menyatakan potensi produksi biogas dapat mencapai > 35 kali lipat dari jumlah 3 LCPMKS atau 1 m LCPMKS dapat dikonversi menjadi 3 38,69 m biogas. Hasil pengukuran penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa COD LCPMKS sebesar 35-95 g/L dan BOD 10-60 g/L. Hasil pengukuran lainnya diperoleh COD 90,4 g/L dan BOD 54,56 g/L (Prasertsan dan Sajjakulnukit, 2006), serta COD 44,3 g/L dan BOD 22,7 g/L (Zinatizadeh et al., 2006). LCPMKS PT Pinago Utama berpotensi sebagai bahan pencemar yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan perairan, di sisi lain limbah ini secara biokimiawi berpotensi ekonomis sehingga perlu diupayakan peningkatan pengelolaan agar lebih berdaya guna. Pengaruh faktor biotik terhadap produksi biogas Hasil yang diperoleh menunjukkan pengaruh faktor biotik jenis dan konsentrasi inokulum terhadap produksi biogas (Gambar 1A), yakni: (i) KTS-10%, (ii) LKLM I-10%, (iii) LKLM II-10%, (iv) LKLM I-20%, (v). LKLM II-20%, dan (vi) kontrol (tanpa inokulum) disajikan pada Gambar 1A. Faktor biotik yang berpengaruh paling baik adalah inokulum LCPMKS PT. Pinago Utama kolam II, dengan konsentrasi 20% (LKLM II-20%) dengan volume substrat sebanyak 15 L. Jenis dan konsentrasi inokulum sangat penting untuk proses pengurangan bahan organik dan laju produksi biogas, karena pada proses biofermentasi LCPMKS, mikrobia yang berperan adalah jasad hidup yang tumbuh berkembang di dalam substrat. Sahirman (1994) menyatakan bahwa inokulum lebih dari 12,5% (b/v) dengan volume substrat 2 L dalam skala laboratorium tidak menunjukkan peningkatan produksi biogas. Sementara hasil penelitian ini mengungkapkan inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya. Faktor jenis dan konsentrasi inokulum sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Dekomposisi anaerob merupakan proses pertumbuhan mikrobia dan menggunakan energi dengan merombak bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana. Menurut Reith et al. (2003) terdapat empat tahap dekomposisi anaerob dimana terjadi proses hidrolisis protein menjadi asam amino, karbohidrat diubah menjadi gula, dan lipid diubah menjadi asam lemak rantai panjang dan gliserol. Halini dapat dilakukan oleh berbagai jenis mikrobia, sehingga banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor abiotik maupun biotik.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 48-52

50

LKLM2-20%

0.045

0.035 0.03 0.025

Laju produk s i biogas ( L/h ari/k g C O D )

Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)

0.04

KTS-10%

0.02

LKLM 2-10%

0.015

LKLM1-20%

0.01

LKLM 1-10%

0.005

Kontrol

0 0

2

4

A

6

8

LKLM 1-10%

LKLM 2-10%

LKLM1-20%

LKLM2-20%

Kontrol

Laju produksi biogas (L/kg COD/hari)

pH 5,5

pH 4,4

0

0

2

4

6

8

10

12

0 0

4

6

8 Ca(OH)2

0.01 0.005 tanpa 0 2

4

6

8

10

12

Waktu fermentasi (minggu ke...)

pH 7

agitasi

tanpa

Tanpa FeCl3

0.15 150mg/L

0.1 0.05

300mg/L

0 0

2

4

6

8

10

12

Laju produk s biogas (L/k g COD/hari)

Laju produksi biogas (L/kg CO D/hari)

0.35

0.2

Tanpa FeCl3

150mg/L

Suhu 40째C

0.3 0.25

Suhu 30째C

0.2 0.15 0.1 0.05 0

Waktu fermentasi (minggu ke ...)

E

12

0.015

0

0.25

10

agitasi

D pH 5,5

2

0.02

Waktu fermentasi (minggu ke).......

C pH 4,4

NaOH

0.005

NaOH

0.015

0.005

0.01

Waktu fermentasi (minggu ke ....)

pH 7

0.01

0.015

B

KTS-10%

Ca(OH)2

0.02

12

Wakt fermentasi (minggu ke ....)

0.02 Laju produksi biogas (L/hari/kg COD)

10

0.025

0

300mg/L

F

2

4

6

8

10

12

Waktu fermentasi (minggu ke....) Suhu 30째C

Suhu 40째C

Gambar 1. Produksi biogas dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit. A. Interaksi jenis, konsentrasi inokulum dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas. B. Interaksi pemberian bahan penetral dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, C. Interaksi pH awal dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, D. Interaksi pemberian agitasi dan waktu fermentasi terhadap laju produksi biogas, E. Interaksi penambahan garam FeCl3 dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas, F. Interaksi peningkatan suhu dan waktu fermentasi terhadap produksi biogas.

Pengaruh faktor abiotik terhadap produksi biogas Pengaruh masing-masing faktor abiotik terhadap produksi biogas dijelaskan dalam Gambar 1B-1F. NaOH dan Ca(OH)2 adalah bahan yang digunakan untuk memacu peningkatan pH substrat LCPMKS yang bersifat asam. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan bahan penetral pH dapat meningkatkan produksi biogas, dan Ca(OH)2 berpengaruh lebih baik dibandingkan NaOH (Gambar 1B). Hal ini dapat dimengerti karena NaOH yang bertemu dengan minyak akan mengalami proses penyabunan menghasilkan gliserol dan asam lemak (Ahmad et al., 2003). LCPMKS kaya akan bahan organik termasuk lemak, sehingga penambahan NaOH kemungkinan dapat mengganggu proses perombakan substrat dan secara tidak langsung akan mengganggu laju produksi biogas. Ca(OH)2 sering digunakan untuk

peningkatan pH larutan. Peningkatan pH optimum akan memacu proses pembusukan, sehingga meningkatkan efektivitas kerja mikrobia dan dapat menungkatkan produksi biogas. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pH substrat awal 7 memberikan peningkatan laju produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pH yang lain (Gambar 1C). Peningkatan pH dapat mempercepat pembusukan, sehingga mempercepat perombakan dan secara tidak langsung mempercepat produksi biogas (Metcalf dan Eddy, 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pH netral memacu perkembangan bakteri metana (metanogen), sehingga pada pH tersebut bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimum, hal ini meningkatkan produksi biogas. Perombakan anaerob merupakan proses biologi yang sangat dipengaruhi oleh


MAHAJOENO dkk. – Biogas dari limbah Elaeis guiinensis

faktor-faktor lingkungan. Faktor pengendali utama antara lain: suhu, pH, dan senyawa beracun (de Mez et al., 2003). Derajat pH netral memacu perkembangan bakteri metana, sehingga dengan pH netral bakteri perombak asam asetat tumbuh dan berkembang secara optimum, hal ini meningkatkan produksi biogas. Faktor abiotik lainnya, agitasi juga berpengaruh terhadap produksi biogas (Gambar 1D), dimana pemberian agitasi berpengaruh lebih baik pada peningkatan laju produksi biogas dibandingkan tanpa agitasi (Gambar 1C). Hal ini terjadi karena dengan agitasi substrat akan homogen, inokulum kontak langsung dengan substrat dan merata, sehingga proses perombakan lebih efektif. Barford (1983) menyatakan bahwa agitasi dapat meningkatkan intensitas kontak antara organisme dan substrat, dibandingkan tanpa agitasi. Pengadukan dimaksudkan agar kontak antara limbah segar dan bakteri perombak lebih baik, dan menghindari padatan terbang atau mengendap, yang akan mengurangi keefektifan digester dan menimbulkan ‘plugging’ gas dan lumpur. Pengadukan atau agitasi 100 rpm dapat meningkatkan produksi biogas. Penambahan FeCl3 tidak berpengaruh terhadap laju produksi biogas, dimana hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tanpa penambahan FeCl3 produksi biogas lebih baik dibandingkan dengan penambahan FeCl3 150 maupun 300 mg/L. Penambahan FeCl3 dimaksudkan sebagai suplemen untuk memacu aktivitas mikrobia, namun hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan FeCl3 kurang efisien terhadap peningkatan laju produksi biogas (Gambar 1E). Bardia dan Gaur (2000) menyatakan bahwa Fe merupakan sumber kation yang berfungsi sebagai katalis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan produksi biogas. Namun pada jumlah yang lebih besar dari kebutuhan minimum mikrobia, Fe akan menjadi racun, sehingga akan menghambat aktivitas mikrobia. Konsentrasi FeCl3 yang optimum adalah 25 mg/L, pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menghambat produksi biogas. de Mez et al. (2003) menyatakan bahwa faktor utama pengendali proses anaerob antara lain suhu, pH dan senyawa racun. Metcalf dan Eddy (2003) menyatakan bahwa FeCl3 sebagai koagulan dapat memacu terjadinya pengendapan, sehingga mengganggu kontak langsung dengan mikrobia dan mempengaruhi aktivitas mikrobia dalam melakukan perombakan, maka secara tidak langsung akan menghambat produksi biogas. Dengan demikian FeCl3 dalam dosis tertentu merupakan suplemen yang dapat mempercepat aktivitas mikrobia dan perombakan, tetapi pada dosis yang berlebihan dapat menjadi racun. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan suhu substrat dapat meningkatkan laju produksi biogas (Gambar 1F). Hal tersebut dapat dipahami karena suhu yang tinggi dapat memacu perombakan secara kimiawi, perombakan yang cepat akan dimanfaatkan oleh bakteri metanogenik untuk menghasilkan gas metana, sehingga meningkatkan produksi biogas. Suhu air limbah yang hangat dapat meningkatkan reaksi biokimia pada kolam anaerob, dimana bahan organik dirombak menjadi biogas o pada kisaran suhu hangat (mesofilik) antara 30-38 C. Secara rinci faktor abiotik yang menghasilkan biogas o tertinggi adalah pH netral yaitu 6,9-7,3, dan suhu 30-38 C (Metcalf dan Eddy, 2003). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa faktor waktu fermentasi dengan interval dua minggu berpengaruh terhadap laju produksi biogas. Hal ini dapat dipahami karena proses perombakan anaerob berjalan empat tahap oleh kelompok masing-masing organisme konsorsium (Werner et al., 1989). Setiap tahap proses perombakan

51

membutuhkan waktu yang cukup, sehingga pengaruh faktor waktu fermentasi terhadap substrat dalam kondisi anaerob memberikan hasil yang berbeda pada produksi biogas, semakin lama proses fermentasi semakin tinggi produksi biogas. Pengaruh faktor biotik dan abiotik terhadap total produksi biogas Pengaruh faktor abiotik dan biotik terhadap total produksi biogas sama dengan faktor yang mempengaruhi laju produksi biogas, yaitu jenis dan konsentrasi inokulum (Tabel 2.). Dalam hal ini kondisi terbaik dihasilkan dari kolam II dengan konsentrasi inokulum 20% (LKLM II-20%), dimana total produksi biogas selama 12 minggu sebesar 121 L. Faktor abiotik Ca(OH)2 dapat meningkatkan total produksi biogas, demikian pula pH netral (7), agitasi, tanpa penambahan FeCl3, dan peningkatan suhu. Perlakuan tersebut berpengaruh meningkatkan total produksi biogas, selama 12 minggu masing-masing sebesar 55 L, sedang pada peningkatan suhu sebesar 65 L. Hal ini dapat dipahami karena proses pembentukan biogas dari perombakan LCPMKS dilakukan oleh mikrobia. Sehingga jenis dan konsentrasi inokulum sangat berpengaruh terhadap produksi biogas (Reith et al., 2003). Substrat dengan pH netral dapat mempercepat pembusukan, sehingga bakteri metanogenik mudah melakukan perombakan substrat membentuk biogas, sehingga produksi biogas meningkat (Metcalf dan Eddy, 2003). Agitasi dapat meningkatkan total produksi biogas, karena dengan agitasi kondisi substrat menjadi homogen dan kontak inokulum dengan substrat menjadi lebih intensif, sehingga inokulum bekerja lebih optimum. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikrobia bekerja dengan optimum (Barford dan Cail 1985). Tabel 2. Jumlah produksi biogas dari LCPMKS secara anaerob sistem curah skala laboratorium, denga waktu fermentasi 12 minggu. Perlakuan Biotik

Abiotik 1 Abiotik 2

Abiotik 3 Abiotik 4 Abiotik 5

Substrat LCPMKS Jenis substrat + inokulum Kotoran sapi 10% LCPMKS kolam I-10% LCPMKS kolam II-10% LCPMKS kolam I-20% LCPMKS kolam II-20% Kontrol Penambahan bahan penetral pH NaOH Ca(OH)2 pH substrat dasar (awal) pH 4,4 pH 5,5 pH 7 Agitasi Tanpa agitasi Tanpa penambahan FeCl3 Penambahan FeCl3 150 mg/L Penambahan FeCl3 300 mg/L 0 Suhu substrat 30 C 0 Peningkatan suhu 40 C

Produksi biogas (L) 64,5 36,5 55 28 121 22 34 55 15,0 20,5 55,0 55 6 55 28 23,5 55 68, 5

Pemberian FeCl3 tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi biogas, boleh jadi karena kadar perlakuan FeCl3 dalam penelitian ini bersifat sebagai racun dan menghambat proses perombakan. Menurut Bardia dan Gaur (1994), kadar optimum FeCl3 adalah 25 mg/L,


52

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 48-52

sehingga pada kadar yang lebih tinggi boleh jadi bersifat racun dan menghambat produksi biogas. Suhu dapat mempercepat proses perombakan, sehingga dapat o meningkatkan produksi biogas. Pada suhu substrat 40 C dihasilkan biogas relatif lebih tinggi dibandingkan suhu 30°C. Hal ini dimungkinkan karena suhu dapat meningkatan reaksi kimia, sehingga memacu peningkatan perombakan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, yang dapat dimanfaatkan lebih cepat dan memudahkan aktivitas bakteri metanogenik membentuk biogas (NAS, 1981; Bitton, 1999; Wellinger 1999).

KESIMPULAN LCPMKS PT. Pinago Utama bersifat koloid, kental, coklat atau keabu-abuan dan mempunyai rerata kandungan COD, 49,0-63,6, BOD 23,5-29,3, TS 26,5-45,4 dan SS 17,1-35,9 g/L, sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Kombinasi jenis dan konsentrasi inokulum terbaik untuk produksi biogas dari LCPMKS, dengan volume substrat sebanyak 15 L, sistem curah skala laboratorium adalah jenis lumpur LCPMKS kolam II dengan konsentrasi 20% (LKLM II-20%), dimana total produksi biogas tertinggi sebesar 121 L. Faktor abiotik yang dapat meningkatkan produksi biogas adalah penambahan bahan penetral pH Ca(OH)2, pH awal substrat = 7, dan pemberian agitasi, dimana total produksi biogas yang diperoleh masingmasing sebesar 55 L. Peningkatan suhu substrat 40oC menghasilkan biogas sebesar 68,5 L, sedang penambahan garam FeCl3 tidak berpengaruh terhadap peningkatan total produksi biogas.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Utama PT. Pinago Utama, Sumatera Selatan yang telah memberikan dukungan fasilitas dan finansial bagi penelitian ini, demikian pula kepada pimpinan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi RI yang telah mensponsori penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, A.L., S. Ismail, and S. Bhatia, 2003. Water recycling from palm oil mill effluent using membrane technology. Desalination 157: 87-95. Bardia, N. and A.C. Gaur. 1994. Iron suplementation enhances biogas generation.In: Klass, D.L. (ed.). Proceedings Biomass Conference of the Americas II. New York: National Renewable Energy Laboratory Golden Co. Barford, J.P. and R.G. Cail. 1985. Mesophilic semi-continuous anaerobic of pal oil mill effluent. Biomass 7: 287-295.

Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. NewYork: Wiley-Liss Inc. de Mez, T.Z.D., A.J.M. Stams, J.H. Reith, and G., Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In: Reith, J.H., R.H. Wijffels and H. Barten (eds.). Biomethane and Biohydrogen Status Add Perspectives of Biological Methane and Hydrogen Production. Wageningen: Dutch Biological Hydrogen Foundation. Ditjenbibprodbun. 2004. Statistik Perkebunan. Jakarta: Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian. Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. Washington, D.C.: APHA, AWWA, and WACF. Jawad, M. and V. Tare. 1999. Microbial composition assessment of anaerobic biomass through methanogenic activity tests. Water S.A. 25 (3): 345-350. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor: PAU Bioteknologi IPB. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep51/MENLH/10/1995. Tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri. Leggett, J., R.E. Graves, and L.E. Lanyon. 2007. Anaerobic Digestion: Biogas Production and Odor Reduction from Manure. Pennsilvania: PennState College of Agricultureal Sciences, Cooperative Extension, Agricultural and Biological Engineering. Metcalf and Eddy Inc. 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse. 4th ed. Singapore: McGraw-Hill. MNKLH-NORAD. 2004. Buku Panduan Penerapan Produksi Bersih pada Industri Kelapa Sawit. Jakarta: KLH-RI-NORAD. National Academy of Sciences (NAS). 1981. Methane Generation from Human, Animal, and Agricultural Wastes. 2nd ed. Washington, D.C.: National Academy of Sciences. O’Faherty, V., G. Collins, and M. Therese, 2006. The Microbiology and biochemistry of anaerobic bioreactors with relevance to domestic sewage treatment. Earth and Environmental Science 5 (1): 39-55. Paepatung, N., P. Kullavanaya, O. Loapitinar, A. Nopparatina, W. Shongkasrri and P Chaiprasert. 2006. Assessment of Palm Oil Mill Effluent as Biogas Energy Source in Thailand. www.cppo.gov.th Prasertsan, S. and B. Sajjakulnukit. 2006. Biomass and biogas energy in Thailand: potential, opportunity and barriers. Renewable Energy 3: 599610. Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken and L. Raamsdonk. 2003. Co-production of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection. Amsterdam, 17 -21 June 2002. Sahirman, S. 1994. Kajian Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Memproduksi Gas Bio. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Sudradjat, R., Y. Erra, K. Umi, dan K .Evi. 2003. Produksi biogas dari limbah pengolahan kelapa sawit dengan proses fermentasi padat. Buletin Penelitian Hasil Hutan 21: 227-237. Suzuki, S., Y. Shiray, and A.M. Hasan. 2003. Research for the reduction of Methane Release from Malaysian Palm oil Mil Lagoon and it’s Countermeasures. CDM Feasibility Study 2001. Tokyo: Ministry of the Environment Japan. Wellinger A, and A. Lindeberg 1999. Biogas Upgrading and Utilization. Task 24. Dublin: IEA Bioenergy. Wellinger, A. 2005. Energy from Biogas and Landfill Gas. Task 37. Dublin: IEA Bioenergy. Werner, U., V. Stochr, and N. Hees. 1989. Biogas Plant in Animal Husbandry. Berlin: Guesllechaft fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. Yacob, S., M.A. Hassan, Y. Shirai M. Wakisaka, and S. Subash. 2006. Baseline study of methane emission from anaerobic ponds of palm oil mill effluent treatment. Science of the Total Environment 366: 187-196. Zinatizadeh, A.A.L., A.R. Mohamed, M.D. Mashitah, A.Z. Abdullah and G.D. Najidfour. 2006. Effect of Physical and Pretreatment on POME Digestion in an Upflow Anaerobic Sludge Fixed Film Bedreactor. http://www.omicron.ch.tulasigov/eemj.docs/145.pdf.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 53-58

ISSN: 1412-033X Januari 2008

REVIEW: Symbiosis between the Giant Clams (Bivalvia: Cardiidae) and Zooxanthellae (Dinophyceae) UDHI EKO HERNAWAN♥ UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tual Maluku Tenggara 97611 th

th

Received: 30 November 2007. Accepted: 6 December 2008.

ABSTRACT Giant clams are the largest bivalves in the world that maintain a mutual relationship with zooxanthellae. Individual giant clam can harbor heterogeneous zooxanthellae, at least four taxa in genus Symbiodinium. The Symbiodinium lives in the zooxanthellal tubular system, a tube structure arising from one of the diverticular duct of the clam’s stomach. Since the numbers of zooxanthellae is the one of some significant factors contributing to the clams growth and survival, the giant clams need to adjust the number of zooxanthellae for physiological reason with unclear mechanism. The important role of the symbiotic relationship to the clams can be seen on the survival, growth and nutrition of the clams. There are at least two significant factors determining the symbiosis, i.e. water temperature in related with level of light intensities and ammonium-phosphate rate. Some topic is still unclear, i.e. the determination of species in genus Symbiodinium, the mechanism for adjusting the population numbers of the algae and what kind of environmental factors determining the symbiosis. Thereby further research is still needed to clarify those missing. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: giant clams, zooxanthellae, Symbiodinium, symbiosis.

INTRODUCTION There are many scientific interesting phenomenon occurs in marine ecosystems. Some of them are biota which maintains symbiotic associations with phototropic dinoflagellates, commonly called zooxanthellae. The symbiotic dinoflagellates are the symbionts with a variety of marine biota as the hosts, included are the reef-building scleractinian corals, radiolarians, flatworms, jellyfish (Hacket et al., 2004), many alcyonarians, soritid foraminiferas, and a few bivalves (Maruyama et al., 1998; Lee et al., 2005). The giant clams (tridacnid bivalves) are also known as the host of symbiotic associations with certain zooxanthellae. They are different from most other bivalves, in that they contain large numbers of zooxanthellae, Symbiodinium (Carlos et al., 2000). It is the member of the class Dinophyceae, a group of single cellprotist (Coffroth and Santos, 2005). Giant clams (Cardiidae, subfamily: Tridacninae) are the largest bivalves mollusks in the world that included on the IUCN red list of threatened species today (IUCN, 2007). Their most characteristic feature is the enlarged, upwardly directed and usually brightly colored mantle (Figure 1.), which is packed with zooxanthellae (Griffiths and Klumpp, 1996). They are presently restricted in association with coral reefs throughout the tropical Indo-Pacific region, with the center of diversity in the Indo-Malayan region (Lucas, 1988). Since their phototropic characteristic, giant clams usually found in shallower habitats (1-20 m) (Chambers,

♥ Corresponding address: Jl. Merdeka Watdek Tual-Maluku Tenggara 97611 Tel.: +62-916-2339. Fax.: +62-916-23873 e-mail : udhi_e_hernawan@yahoo.com

2007), except Tridacna tevoroa which inhabits in relatively deep waters (Klumpp and Lucas, 1994). There are nine described species of the living clams, included only two genera, Tridacna and Hippopus, with seven and two species belong to the genera, respectively. Seven species were distributed in Indonesian waters, i.e. Tridacna squamosa, T. gigas, T. derasa, T. crocea, T. maxima, Hippopus hippopus and H. porcellanus (Newman and Gomez, 2002). Recently phylogenetic research have supported reduction in status of the Tridacnidae to a subfamily of the Cardiidae (Tridacninae), as suggested by recent cladistic analyses based on shell, anatomical, molecular characters, especially DNA gene sequences (Keys and Healey, 2000; Schneider and Foighil, 1999). The symbiotic relationship have become attention many researchers since its important role in supporting the clam’s life while stock depletion on the wild population of giant clam still appear today due to over-fishing and anthropogenic impacts (Ellis, 1999; Kinch, 2002) as well as natural process (Gomez and Mingoa-Licuanan, 1998; Blidberg, 2004). It could make the clams more vulnerable if the relationship between host and algae is damaged (Blidberg et al., 2002). In many cases, mass mortality on giant clams population significantly caused by loss of zooxanthellae, a phenomenon called bleaching (Gomez and Mingoa-Licuanan, 1998; Leggat et al., 2003). The acquisition of zooxanthellae is important factor which significantly determined the survival and growth of the juvenile (Fitt and Trench, 1981; Latama et al., 2001). This paper summarizes on what is known about the zooxanthellae, how the symbiosis does occurs, describes role of the symbiosis to the host and the environmental factors determining the symbiosis. Finally, it concludes the direction for future research on the giant clamszooxanthellae symbiosis.


54

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 53-58

A

B Figure 1. Giant clams from Kei waters Southeast Moluccas with brightly colored mantle. A. Hippopus hippopus, B. Tridacna squamosa (Photo: U.E. Hernawan).


HERNAWAN – Symbiosis between the giant clams and zooxanthellae

55

DIVERSITY OF CLAM’S ZOOXANTHELLAE

Symbiodinium, which describes the in situ symbionts, should be revised (Wakefield et al., 2000). The findings from subsequently studies by Rowan and In historical perspective, all species of giant clams Powers (1991a), Carlos et al. (1999), LaJeunesse and harbor the zooxanthellae symbiont initially identified as Trench (2000), Pochon et al. (2001, 2004), and Symbiodinium microadriaticum Freudenthal within their Takabayashi et al. (2004) have led to the development of a mantle tissue (Taylor, 1969; Kinzie and Chee, 1979; Fitt et new classification scheme for genus Symbiodinium that al., 1986). At the moment, traditional biological methods divides the genus into several large group, called clades, have not provided useful information for identification and i.e. Symbiodinium clade A, B, C, D, E, F, G, and the last classification, though zooxanthellae have traditionally been clade H. Recently, Hunter et al. (2007) has shown difficult to classify. Thereby, little is known about the natural phylogenetic relationship between the major clades of history of this symbiont (Rowan and Powers, 1991a). The Symbiodinium with the other eukaryotes and free living poor status of zooxanthellae taxonomy in turn limits the dinoflagellates using Internal Transcribed Spacer region 2 study of the ecology and evolution of zooxanthellae (Rowan (ITS2) of nrDNA operon as the genetic marker (Figure 2.). and Powers, 1991b). For that reason, further researches The traditional view of zooxanthellae-invertebrate have been done to reveal the classification scheme of symbioses, particularly on giant clams, suggests that one Symbiodinium. host species harbors taxonomically homogeneous symbiont Recent molecular genetic methods have solved many of population (one host-one symbiont). In fact, recently the difficulties in zooxanthellae classification. Tremendous molecular studies have altered that view. Individual giant levels of diversity within the genus Symbiodinium have clams can maintain a symbiotic relationship with revealed using those methods. Numerous studies have heterogeneous Symbiodinium, at least 4 zooxanthellae taxa shown that the genus is comprised of a group of diverse (Carlos et al., 2000). Preliminary molecular genetic study taxa (Carlos et al., 1999). Experimental evidence, however using RAPD patterns demonstrated that giant clams including behavioral, infectivity, physiological and associate with a large number of genetically distinguishable ultrastructural, subsequently challenged the traditionally algal symbionts (Baillie et. al., 2000b). Phylogenetic study view about genus Symbiodinium (Coffroth and Santos, using small-subunit rRNA has shown that there were 2005). So, the formal description of the genus Symbiodinium clade A and C isolated from six species of giant clams (Carlos et al., 1999). Baillie et al. (2000a) has shown the same finding using allozyme and RAPD patterns. The last finding, Symbiodinium clade D has been isolated from giant clam, i.e. Tridacna crocea (Ishikura et al., 2004). Recently, isolation by Lee et al. (2005) characterized 4 symbionts, i.e. Symbiodinium, Aphidinium, Tetraselmis, and unknown chlorophyte. However, the determination of species in genus Symbiodinium still not yet been specified. There is one question remains unresolved: which molecule(s) differentiates a species within this genus? So, the Figure 2. The phylogenetic relationship between the major clades of Symbiodinium. direction for future research within that The dashed lines leading to Symbiodinium clade C, H, B and F represent these clades possessing the secondary structure of ITS2, the five-fingered hand structure genus is to solve the “species problem”. (Hunter et al., 2007).

THE ZOOXANTHELLAL TUBULAR SYSTEM

Figure 3. Diagramatic view on the medial side of the zooxanthellal tubular system (Norton et al., 1992).

Subsequently studies by Fitt and Trench (1981) and Fitt et al. (1986) have shown the zooxanthellae not inherited from parent to offspring. Neither eggs nor sperm released from adult tridacnids contain zooxanthellae and so after fertilization, the symbiotic algae were not present in either the fertilized eggs or trocophore stages. It implied that each generation must acquire their complement of symbionts from the environment. This pattern is called horizontal (“open” system) transmission (Coffroth and Santos, 2005). The acquisition of zooxanthellae by larvae of the clams takes place after the trocophore stage. Initial uptake of zooxanthellae is through the mouth and move into the stomach.


56

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 53-58

For many years before 1992, the zooxanthellae have been assumed to pass and live in the haemal sinuses of the hypertrophied siphon after ingested and move into the stomach (Fankboner, 1971; Fitt and Trench, 1981; Trench et al., 1981; Fitt et al., 1986). But in the next, Norton et al. (1992) has found that the symbiotic algae live in a tubular structure which no direct connection with the haemolymph. In fact, the existence of this tubular structure within clam’s body has been indicated by Mansour (1946). His observation partially indicated that there was a tubular system arising from the clam’s stomach, extending into the mantle and containing large number of zooxanthellae. Through an anatomical and histological study, Norton et al. (1992) has revealed that the symbiotic relationship take place in a tubular system indicated by Mansour (1946), namely zooxanthellal tubular system (Figure 3). One of the digestive diverticular ducts of the stomach develops to be a single primary tube, known as primary zooxanthellal tube (PZT). It passes posteriorly to the dorsal side of the digestive organ. Above the organ, this tube divides into left tube and right one. Each tube travels through the kidney to enter the root of the middle ctenidial suspensory ligament and rounds the adductor muscle wall on posteriorly direction. On the posterior side of the adductor muscle, the tube runs dorsally into the root of siphonal mantle, before branching both anteriorly and posteriorly. Each branch travels inside the root of siphonal mantle and gives off branches, namely secondary zooxanthellal tube (SZT). It travels to the upper level of the inner fold of siphonal mantel and gives off many thin branches, namely tertiary zooxanthellal tube (TZT). The TZT terminates in a convolution with blind ends. The other secondary tubes form tertiary tubes not only in the siphonal mantle but also in other organs, such as in the connective tissue of the bulbus arteriosus of the heart, the pericardium, the ctenidia, and the lateral mantle (Norton et al., 1992). The tertiary tubes contain the large numbers of zooxanthellae. In bleaching giant clam, mantle lacking zooxanthellae, the tertiary zooxanthellal tube atrophy. No zooxanthellae were observed living free in the hemal sinuses since the anatomical and histological evidence showed that the zooxanthellal tubular system has no connection with the haemolymphatic system (Norton et al., 1992). The morphological pattern is similar to the other member of Cardiidae, Corculum cardissa that also known has a tubular system that was seen in tridacnid clams. The zooxanthellae occurred intercellularly within the tertiary tube cell and separated from the haemolymphatic system by a tissue that is one cell layer thick (Farmer et al., 2001). This finding has explained and resolved the confusing discussion about the location and fate of symbiosis between the clam and zooxanthellae. The existence of the zooxanthellal tubular system has also simplified the view on the way of bleaching. In response to the environment condition, i.e. increasing environmental temperature, the algae leave the clam by unknown mechanism, move from the tertiary tubule to the stomach, pass through the intestine and are released within feces via rectum (Norton et al., 1992).

POPULATION DYNAMICS OF ZOOXANTHELLAE The numbers of zooxanthellae have been considered as the one of some significant factors contributing to the clams growth and survival. The clams lacking large number of zooxanthellae were known possessed significantly

decrease in fitness, resulting reduced growth, fecundity and survival (Leggat et al., 2003). On that relevance, further studies about population of zooxanthellae are suggested to focus on the relationship between the zooxanthellae population and various physiological factors in giant clams, such as nutrition and growth performance, rates of filter feeding, respiration, and photosynthetic responses. The population number of zooxanthellae related with allometric parameters, such as projected mantle area and body size, is believed as the best indication of the relative contribution of phototropic production. Griffiths and Klumpp (1996) showed logarithmic increases in total zooxanthellae numbers with increasing clam length, for Tridacna squamosa, T. gigas, T. derasa, T. crocea, and H. hippopus. At the small body size (2 cm length), the zooxanthellae numbers were much lower in T. squamosa and T. gigas than H. hippopus, T. crocea and T. derasa. But by 30 cm, T. gigas and T. squamosa had the largest zooxanthellae population, indeed reflected high relative photosynthetic rates. Maruyama and Heslinga (1997) have studied the daily population dynamics of zooxanthellae living in the mantle of a giant clam. Their population number and Mitotic Index (MI) were calculated by counting the numbers of the zooxanthellae in or not in the cell division stage. The MI increased after sunset and reached the maximum at 03.00 to 05.00 hours. There were population dynamics of zooxanthellae daily took place on the giant clam. Increasing number of zooxanthellae population correlated with the growth of the clam (mantle and shell) and followed with the number of zooxanthellae discharged in the feces. The giant clams need to adjust the number of zooxanthellae for physiological reason, in response to ambient condition. To date, mechanism adjusting the population number is still unclear. Initially, Fankboner (1971) hypothesized that the zooxanthellae were selectively culled from the population in the mantle edge by amoebocytes and are intracellularly digested via amoebocyte lysosomes both in the circulatory system and the interdiverticular spaces of the digestive gland. This process considered as “the low systematic removal and utilization of degenerate zooxanthellae”. As has been stated before, there is no enough evidence supporting hypothesis proposed by Fankboner (1971). According to the hypothesis, there should no healthy zooxanthellae discharged in the feces. In contrast, Trench et al. (1981) showed that many of defecated zooxanthellae were morphologically intact and photosynthetically functional. Even Maruyama and Heslinga (1997) estimated number of the fecal zooxanthellae was up to 1.46% of the population in the mantle. About 64 to 89% of the newly formed zooxanthellae from the population were missing and still unclear. Further research is needed to clarify this missing.

ROLE OF THE SYMBIOSIS TO THE HOST The important role of the symbiotic relationship to the clams could be seen on the survival, growth and nutrition of the clams. Initial observation on the contribution of the zooxanthellae to the survival and growth of the clams has done by Fitt and Trench (1981). The study showed survival and growth of larvae with zooxanthellae was greater than those without zooxanthellae. Juveniles with zooxanthellae can survive with light as the sole energy source for over 10 months. The presence of zooxanthellae in the stomach of the veligers was assumed to increase the survival and growth of the larvae after metamorphosis (Fitt et al., 1986).


HERNAWAN – Symbiosis between the giant clams and zooxanthellae

Subsequently, Molea and Munro (1994), Belda-Bailie et al. (1999) and Latama et al. (2001) showed that different symbiont strains taken from various sources provided significantly different effect to the survival and growth of the tridacnid larvae. The larvae which had been supplied with zooxanthellae taken from the same host species (homologous zooxanthellae) more survive and growth faster than the larvae with zooxanthellae from different host species (heterogonous zooxanthellae). Freshly isolated zooxanthellae from the fast-grower (T. gigas) are recommended for routine use in giant clam hatchery operation. On the nutritional aspect, the giant clams-zooxanthellae relationship is actually shown a mutualistic symbiosis. Giant clams as the host, provide a protected habitat for zooxanthellae. These symbiotic algae live in the mantle tissue, especially the zooxanthellal tubular system (Norton et al., 1992). Simply, the giant clams have an advantage on the nutritional aspect since the zooxanthellae supply energy to their host, mainly in the form of complex sugars (Fitt et al. 1986). The algae represent as the major source of metabolic carbon. An estimated 95% of the carbon fixed by these algal symbionts is translocated to the host. Those amounts are sufficient to fulfill at least the metabolic energy requirement (Klumpp et al., 1992; Klumpp and Griffiths, 1994; Hawkins and Klumpp, 1995). The zooxanthellae also assimilated nitrogen excreted by host tissues. Nearly 100% of the nitrogen product subsequently released from zooxanthellae was incorporated in host tissues, with no significant loss from the clam over at least 10 days. Zooxanthellae therefore conserve and recycle essentially all nitrogenous end-products within the clams, affording giant clams a nutritional advantage over non-symbiotic bivalves (Hawkins and Klumpp, 1995). They can also produce amino acids and fatty acids, a portion of which are translocated through the algal cell wall directly into the blood circulation of the host (Ellis, 2003).

57

ambient are the main causes for bleaching in giant clams. Thus, the study confirmed the four major aspects involved in bleaching: (i) loss of symbiotic algae, (ii) decrease of chl a/c1 in the remaining symbiotic algae, (iii) retention of small zooxanthellae in the tissue, and (iv) release of ammonium (NH4+) into the water column while nutrient uptake of ammonium was largely blocked. The second factor is the ammonium (N) and phosphate (P) rate. While the zooxanthellae in giant clam are ammonium and phosphate-limited, the limiting factor is a function of the availability of ammonium and phosphate to the symbiosis (Belda et al., 1993). Nitrogen addition significantly changed the ultrastructure of the zooxanthellae inhabiting the clams (Ambariyanto and Hoegh-Guldberg, 1996). Exposure of the clams to elevated N (10 µm) increased zooxanthellae density, reduced zooxanthellae size, down-regulated N uptake by zooxanthellae freshly isolated from their hosts, and reduced glutamate in the clam haemolymph, with increased pools of some free amino acids (methionine, tyrosine) in the zooxanthellae. These results confirm that the zooxanthellae in giant clams are Nlimited in situ and have free access to inorganic N from the sea water. There is also corroborating evidence that the zooxanthellae are P limited in situ as well, possibly due to host interference. While the N-P ratios of the animal host reflected ambient N and P concentrations in the sea water, those of the zooxanthellae did not (Belda-Baillie et al., 1998). Of course, the elevated temperature, light intensities, ammonium and phosphate are not the only factor determining the symbiosis, which may also influenced by such factors as reduced salinity, marine pollution (Blidberg, 2004), parasitic infection (Shelley et al., 1988) and bacterial or virus infection, etc. Further studies are needed to understand the environmental limiting factors and stress tolerance in giant clam for restocking the wild population and providing useful information in conservation management.

CONCLUSION ENVIRONMENTAL FACTORS DETERMINING THE SYMBIOSIS There are three environmental factors limiting the mutualistic relationship between the giant clams and zooxanthellae. The first factor is temperature and light intensities, especially elevated water temperature. Globally o elevated sea water temperatures (28-34 C) are believed to lead a breakdown in the zooxanthellae photosynthetic apparatus, either in photosystem II (Warner et al., 1996) or the dark reactions of photosynthesis (Jones et al., 1998) and eventual expulsion of the algae from the host, a phenomenon called bleaching (Leggat et al., 2003). Gomez and Minguo-Licuanan (1998) have reported high mortalities phenomenon on giant clams during El-Nino. Seven species (Tridacna gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, H. hippopus, and H. porcellanus) have been reported bleached and died at the same time as unusually elevated water temperatures and coral bleaching during 1997-1998. The 1998 bleaching event was found to decrease the zooxanthellae population 30-fold when comparing bleached to non-bleached clams (Leggat et al., 2003). There are physiological changes that occur in the giant clams influenced by elevated water temperature (Blidberg et al., 2002) since the photosynthesis of the zooxanthellae o o is impaired above 30 C and ceases completely at 34-36 C (Iglesias-Prieto et al., 1992). Buck et al. (2002) showed that increased light intensity and temperature of 4-6°C from the

The symbiosis between giant clams and zooxanthellae actually shows a mutualistic relationship. Many studies revealed what about the symbiosis, the host and the symbiont. There are three directions for future research: (i) the determination of species in genus Symbiodinium since the tremendous level of that genus, (ii) the population dynamics of zooxanthellae, focusing on the mechanism for adjusting the population numbers of the algae, and (iii) what kind of environmental factors determining the symbiosis.

REFERENCES Ambariyanto and O. Hoegh-Guldberg. 1996. Nutrient enrichment and the ultrastructure of zooxanthellae from the giant clam Tridacna maxima. Marine Biology 125 (2): 359-363 Baillie, B.K., C.A. Belda-Baillie and T. Maruyama. 2000a. Conspecificity and Indo-Pacific distribution of Symbiodinium genotypes (Dinophyceae) from giant clams. Journal of Phycology 36 (6): 1153-1161. Baillie, B.K., C.A. Belda-Baillie, V. Silvestre, M. Sison, A.V. Gomez, E.D. Gomez and V. Monje. 2000b. Genetic variation in Symbiodinium isolates from giant clams based on random-amplified-polymorphic DNA (RAPD) patterns. Marine Biology 136 (5): 829-836. Belda, C.A., J.S. Lucas, and D. Yellowlees. 1993. Nutrient limitation in the giant clam-zooxanthellae symbiosis effects of nutrient supplements on growth of the symbiotic partners. Marine Biology 117: 655-664. Belda-Baillie, C.A., W. Leggat and D. Yellolees. 1998. Growth and metabolic responses of the giant clam-zooxanthellae symbiosis in a reeffertilisation experiment. Marine Ecology Progress Series 170: 131-141.


58

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 53-58

Blidberg, E. 2004. Effects of copper and decreased salinity on survival rate and development of Tridacna gigas larvae. Marine Environmental Research 58 (2-5):793-797. Blidberg, E., T. Elfwing, P. Plantmann and M. Tedengren. 2002. Water temperature influences on physiological behaviour in three species of giant clams (Tridacnidae). In: M.K. Moosa, S. Soemodihardjo, A. Sugiarto, K. Romimohtarto, A. Nontji, Soekarno and Suharsono (eds.) Proceeding of the 9th International Coral Reef Symposium. Bali, 23- 27 October 2000. 1: 561-565. Buck, B.H., H. Rosenthal and U. Saint-Pauli. 2002. Effect of increased irradiance and thermal stress on the symbiosis of Symbiodinium microadriaticum and Tridacna gigas. Aquatic Living Resources 15: 107-117. Carlos, A.A., B.K. Baillie and T. Maruyama. 2000. Diversity of dinoflagellate symbionts (zooxanthellae) in a host individual. Marine Ecology Progress Series 195: 93-100. Carlos, A.A., B.K. Baillie, M. Kawachi and T. Maruyama. 1999. Phylogenetic position of Symbiodinium (Dinophyceae) isolates from Tridacnids (Bivalvia), Cardiids (Bivalvia), a sponge (Porifera), a soft coral (Anthozoa), and a free-living strain. Journal of Phycology 35 (5): 1054-1062. Chambers, C.L.N. 2007. Pasua (Tridacna maxima) size and abundance in Tongareva Lagoon, Cook Islands. SPC Trochus Information Bulletin 13: 7-12. Coffroth, M.A. and S.R. Santos. 2005. Genetic diversity of symbiotic dinoflagellates in the genus Symbiodinium. Protist 156: 19-34. Ellis, S. 1999. Aquafarmer Information Sheet: Lagoon Farming of Giant Clams (Bivalvia: Tridacnidae). Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication 139: 1-6. Ellis, S. 2003. Spawning and early larval rearing of giant clams (Bivalvia: Tridacnidae). Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication 130: 1-55. Fankboner, P.V. 1971. Intracellular digestion of symbiontic zooxanthellae by host amoebocytes in giant clams (Bivalvia: Tridacnidae), with a note on the nutritional role of the hypertrophied siphonal epidermis. The Biological Bulletin 141: 222-234 Farmer, M.A., W.K. Fitt, and R.K. Trench. 2001. Morphology of the symbiosis between Corculum cardissa (Mollusk: Bivalvia) and Symbiodinium corculorum (Dinophyceae). The Biological Bulletin 200: 336-343. Fitt, W.K. and R.K. Trench. 1981. Spawning, development, and acquisition of zooxanthellae by Tridacna squamosa (Mollusk, Bivalvia). The Biological Bulletin 161: 213-235. Fitt, W.K., C.R. Fisher, and R.K. Trench. 1986. Contribution of the symbiotic dinoflagellate Symbiodinium microadriaticum to the nutrition, growth and survival of larval and juvenile tridacnid clams. Aquaculture 55 (1): 522. Gomez, E.D. and S. Mingoa-Licuanan. 1998. Mortalities of giant clams associated with unusually high temperatures and coral bleaching. Reef Encounter 24: 23 Griffiths, C.L. and D.W. Klumpp. 1996. Relationships between size, mantle area and zooxanthellae numbers in five species of giant clam (Tridacnidae). Marine Ecology Progress Series 137: 139-147. Hackett, J.D., D.M. Anderson, D. Erdner and D. Bhattacharya. 2004. Dinoflagellates: a remarkable evolutionary experiment. American Journal of Botany 91 (10): 1523-1534. Hawkins, A.J.S. and D.W. Klumpp. 1995. Nutrition of the giant clam Tridacna gigas (L.). II. Relative contributions of filter-feeding and the ammonium-nitrogen acquired and recycled by symbiotic alga towards total nitrogen requirements for tissue growth and metabolism. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 190 (2): 263-290. Iglesias-Prieto, R., J.L. Matta, W.A. Robins and R.K. Trench. 1992. Photosynthetic response to elevated temperature in the symbiotic dinoflagellate Symbiodinium microadriaticum in culture. Proceedings of the National Academy of Sciences 89: 10302-10305. Ishikura, M., K. Hagiwara, K. Takishita, M. Haga, K. Iwai and T. Maruyama. 2004. Isolation of new Symbiodinium strains from Tridacnid giant clam (Tridacna crocea) and sea slug (Pteraeolidia ianthina) using culture medium containing giant clam tissue homogenate. Marine Biotechnology 6 (4): 378-85. IUCN. 2007. The IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. Jones, R.J., O. Hoegh-Guldberg, A.W.D. Larkum and U. Schreiber. 1998. Temperature-induced bleaching of corals begins with impairment of the CO2 fixation mechanism in zooxanthellae. Plant, Cell and Environment 21: 1219-1230. Keys, J.L. and J.M. Healy. 2000. Relevance of sperm ultrastructure to the classification of giant clams (Mollusk, Cardioidea, Cardiidae, Tridacninae). Geological Society, London, Special Publications. 177: 191-205. Kinch, J. 2002. Giant clams: their status and trade in Milne Bay Province, Papua New Guinea. Traffic Bulletin 19 (2): 1-9. Kinzie, R.A and G.S. Chee. 1979. The effect of different zooxanthellae on the growth of experimentally reinfected hosts. The Biological Bulletin 156:

315-327. Klumpp, D.W., B.L. Bayne and A.J.S. Hawkins. 1992. Nutrition of the giant clam Tridacna gigas (L.). I. Contributions of filter feeding and photosynthesis to respiration and growth. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 155: 105-122. Klumpp, D.W. and C.L. Griffiths. 1994. Contributions of phototrophic and heterotrophic nutrition to the metabolic and growth requirements of four species of giant clam (Tridacnidae). Marine Ecology Progress Series 115:103-115 Klumpp, D.W. and J.S. Lucas. 1994. Nutritional ecology of the giant clams Tridacna tevoroa and T. derasa from Tonga: influence of light on filterfeeding and photosynthesis. Marine Ecology Progress Series 107: 147-156. LaJeunesse, T.C. and R.K. Trench. 2000. Biogeography of two species of Symbiodinium (Freudenthal) inhabiting the intertidal sea anemone Anthopleura elegantissima (Brandt). The Biological Bulletin 199: 126-134. Latama, G., A. Niartiningsih, R. Syam and S. Indriani. 2001. Survival of giant clam larvae (Tridacna squamosa) fed zooxanthellae from three sources. Phuket Marine Biological Center Special Publication. 25 (1):101-104. Lee, J.J., M. Cevasco and G. Medor. 2005. Isolation and characterization of the zooxanthellae from soritid foraminifera and the giant clam Tridacna maxima. The Journal of Eukaryotic Microbiology 52 (2): 7S-27S. Leggat, W., B.H. Buck, A. Grice, and D. Yellowlees. 2003. The impact of bleaching on the metabolic contribution of dinoflagellate symbionts to their giant clam host. Plant, Cell & Environment 26 (12): 1951-1961. Lucas, J.S. 1988. Giant clams: description, distribution, and life-history. In: Copland, J.W. and J.S. Lucas (eds.) Giant clams in Asia and the Pacific. ACIAR Monograph 9: 21-32. Mansour, K. 1946. Communication between the dorsal edge of the mantle and the stomach of Tridacna. Nature (London) 157: 844. Maruyama, T., and G.A. Heslinga. 1997. Fecal discharge of zooxanthellae in the giant clam Tridacna derasa, with reference to their in situ growth rate. Marine Biology 127 (3): 473-477. Maruyama, T., M. Ishikura, S. Yamazaki, and S. Kanai. 1998. Molecular phylogeny of zooxanthellate bivalves. The Biological Bulletin 195: 70-77. Molea, T. and P.E. Munro. 1994. Influence of symbiont strain on early growth of tridacnid. Asian Fisheries Science 7:92-102. Newman, W.A. and E.D. Gomez. 2002. On the status of giant clams, relics of Tethys (Mollusk: Bivalvia: Tridacnidae). In: Moosa, M.K., S. Soemodihardjo, A. Sugiarto, K. Romimohtarto, A. Nontji, Soekarno and Suharsono (eds.). Proceeding of the 9th International Coral Reef Symposium. Bali, 23-27 October 2000. 2: 927-936. Norton, J.H., M.A. Shepherd, H.M. Long and W.K. Fitt. 1992. The zooxanthellal tubular system in the giant clam. The Biological Bulletin 183: 503-506. Pochon, X., J. Pawlowski, L. Zaninetti, and R. Rowan. 2001. High genetic diversity and relative specificity among Symbiodinium-like endosymbiotic dinoflagellates in soritid foraminiferas. Marine Biology 139: 1069-1078. Pochon, X., T.C. LaJeunesse, and J. Pawlowski. 2004. Biogeographic partitioning and host specialization among foraminiferan dinoflagellate symbionts (Symbiodinium, Dinophyta). Marine Biology 146: 17-27. Rowan, R. and D.A. Powers. 1991a. Molecular genetic identification of symbiotic dinoflagellates (zooxanthellae). Marine Ecology Progress Series 71: 65-73 Rowan, R. and D.A. Powers. 1991b. A molecular genetic classification of zooxanthellae and the evolution of animal-algal symbioses. Science 251 (4999): 1348-1351. Schneider, J.A. and D.O. Foighil. 1999. Phylogeny of giant clams (Cardiidae: Tridacninae) based on partial mitochondrial 16S rDNA gene sequences. Molecular Phylogenetic Evolution 13 (1): 59-66. Shelley, C.C, J.S. Glazebrook, E. Turak. L. Winsor and G.R.W. Denton. 1988. Trematode (Digenea: Bucephalidae) infection in the burrowing clam Tridacna crocea from the Great Barrier Reef. Diseases of Aquatic Organisms 4: 143-147. Takabayashi, M., S.R. Santos and C.B. Cook. 2004. Mitochondrial DNA phylogeny of the symbiotic dinoflagellates (Symbiodinium, Dinophyta). Journal of Phycology 40 (1): 160-164. Taylor, D.L. 1969. Identity of zooxanthellae isolated from some Pacific Tridacnidae. Journal of Phycology 5: 336-340. Trench, R.K., D.S. Wethey and J.W. Porter. 1981. Observations on the symbiosis with zooxanthellae among the Tridacnidae (Mollusk, Bivalvia). The Biological Bulletin 161: 180-198. Wakefield, T.S., M.A. Farmer and S.C. Kempf. 2000. Revised description of the fine structure of in situ “zooxanthellae� genus Symbiodinium. The Biological Bulletin 199: 76-84. Warner, M.E., W.K. Fitt and G.W. Schmidt. 1996. The effects of elevated temperature in the photosynthetic efficiency of zooxanthellae in hospite from four different species of reef coral: a novel approach. Plant, Cell and Environment 19: 291-299.


BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 59-63

ISSN: 1412-033X Januari 2008

REVIEW: Research Ethnobotany in Indonesia and the Future Perspectives EKO BAROTO WALUJO♥ "Herbarium Bogoriense", Botany Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 th

st

Received: 4 January 2008. Accepted: 31 January 2008.

ABSTRACT Indonesia is not only rich in its biodiversity but it is also well known as a country with high diversity of ethnicities. Each ethnic group has extensive experienced in the utilization and conservation of biological and ecological diversity. This biocultural richness has provided ethnobotanical researchers with endless research opportunities. Ethnobotanical study has a long history in Indonesia and dates back to the early Dutch colonization period when Dutch explorers and naturalists recorded the uses of plants used by the natives for food, medicine, buildings materials, etc. Based on research on Java, Hasskarl (1845) recorded 900 species of plants used by Indonesian communities. Previously, Rumphius (1750) in his monumental book "Herbarium Amboinense", reported the uses of several hundreds plants from Ambon and its vicinity. Recently, Indonesian scientists from both government and non-government organizations have given more attention to the importance of ethnobotany as a means of elaborating traditional knowledge, especially for economically useful and scientifically undiscovered plants. The talk will focus on ethnobotanical research performed by LIPI scientists at the Research Center for Biology in Bogor and the Indonesia Botanic Gardens. During the last 20 years, since the Indonesia' Ethnobotanical Museum was established. Indonesian scientists have documented the importance of ethnobotany, ethnomedicine, ethnomycology, ethnoentomology, and ethnoecology for conservation of traditional knowledge in relation to the economic botany and to other applied sciences. The meaning and scope of ethnobotany and its status including the future prospects, its contribution to the exploitation and conservation will be discuses in this paper. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: ethnobotany, ethnomedicine, ethnomycology, ethnoecology, traditional knowledge, use of plants, Indonesia.

INTRODUCTION Ethnobotany has always been to some extent an interdisciplinary science. The ideal definition of ethnobotany is, in my view, very broad. The term in derived from "ethno" which means race, people, cultural group, nation, and from "botany" as the science of plants, thus the logical definition is becoming “the science of people's interaction with plants”. Their domain has special relation between man’s vision, cognition, and classification of his plant world, the cultural significance of plants, and the origin, uses and economic value of these plants. The Indonesian archipelago consists of more than 17.000 islands, spread around the equator and between the Indian Ocean and the Pacific Ocean, with mountains up 3.000 meters altitude above sea level, giving opportunity of plant species growing to form rich and invaluable natural resources. The richness of Indonesia flora with more than 30.000 plant species is estimated to about 10% of the global flora. A very large number are native to the archipelago, and hence to Indonesia, and in a large proportion are endemic to Indonesia or to each island or to the group of island where they occur. An additional array of species is non-native exotics, having been introduced by design (as crops or ornamentals) or by accident, and have now been established in the wild, often to the detriment of the indigenous biota (Anonymous, 1993).

♥ Corresponding address: Jl.Raya Jakarta – Bogor Km 46, Cibinong 16911 Tel. & Fax.: +62-21 8765066, 8765062 e-mail: ekolipi@yahoo.com

Within the thousand of islands that make up Indonesia, there are hundreds of ethnic groups. These ethnic groups occupy different areas, and each group has its own culture and traditions of which food, medicinal plants, and spices habits are a part. Each ethnic group has extensive experienced in the utilization and conservation of biological and ecological diversity. This biocultural richness has provided ethnobotanical researchers with endless research opportunities.

BEGINNING OF ETHNOBOTANICAL RESEARCH IN INDONESIA Historically, the field of ethnobotany has belonged to the European explorers and adventures that observed and documented the uses of plants by the native peoples th th encountered on their travels. In the 17 and 18 centuries when the Dutch explorers and naturalists recorded the uses of plants used by the natives in the Indonesia region, the foundation of the botanical knowledge became more obvious and available through the colony-building activities of the European nations. Kalkman (1989) mentioned that Rumphius masterpiece "Herbarium Amboinense", was the first and the only great works of kind, in that period. This remarkable and beautifully illustrated flora of eastern Indonesia written between 1600 and 1650 has provided a comprehensive survey of the eastern Indo-Malayan economic flora in very early days of the colonial era. It was then followed by several numbers of explorers who also given a special attention to the Indonesian flora and documented the subject they have observed in form of


60

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 58-63

rough manuscripts. In the context of ethnobotany, Hasskarl (1845), of the Buitenzorg Botanic Garden (now, Bogor Botanic Garden), was the author of the paper on the use ascribed to some plants of Java by the native inhabitants. Heyne (1922, 1927, 1950), Ochse (1931a, 1931b), and Burkill (1935) were dealing with the exploration, evaluation, conservation, or utilization of plants with strong emphasize on ethnobotany. The information of plant species covered in those publications were linked to its scientific name, the uses of plants by the natives not only for ingredient in food but also as an medicine, magic potions, breath sweeteners, perfumery, and buildings materials.

ETHNOBOTANICAL RESEARCH PERFORMED BY LIPI SCIENTISTS As one of government institutions, the Research Center for Biology (Pusat Penelitian Biologi, LIPI) and the Center for Plant Conservation, Bogor Botanic Garden (Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor) strategic planning have been focused to undertake the exploration and inventory of the biological resources, to study the living processes, to evaluate the utilization of the resources and to provide information as required by the scientific communities, the education sectors, and the general public. With the above considerations, the research programs of the institute aim for the exploration of biological resources to support agriculture, industry, and health simultaneously with the ethnobotanical idea that is concerned with reciprocal influence between people and plants in their environments. These general research activities can be described as ethnobotany, ethnomedicine, ethnomycology, ethnoentomology, and ethnoecology. Historically, the role of Indonesian Botanic Gardens and Herbarium Bogoriense were strongly directed towards ethnobotany. The Indonesian Botanic Gardens (Kebun Raya Indonesia) has initially supports the conservation of traditional plant knowledge in its policy and practice. The staff undertakes research on conserving traditional knowledge follows by the collection and propagation of the germplasm of plant species utilized. While Herbarium Bogoriense, now is under Botany Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Science (LIPI), has contributed a vast number of finding about the Malesian flora. From the labels on the specimens, some very incidental information about local name and local uses can be extracted, which very useful for supporting the ethnobotanical research. Data from the collections are now being collated into a database, linked to database of the zoological collections of the Museum Zoologicum Bogoriense at Cibinong-Bogor. The combined database represents a significant tool for biodiversity management of which to be expected to play an important role in the future, including for the research in ethnobotany and ethnozoology. In connection to ethnobotanical research, the exploration of local perception of plant has also been conducted in many places with references of ethnic groups. An example of this interconnecting study is a catalogue of ethnophytomedica by Sangat et al. (2000) which has provided much useful information on medicinal plants used by 45 ethnic groups in Indonesia. The National Ethnobotanical seminars were held in Bogor, Yogyakarta, and Bali, organized by Botany Division, Research Center for Biology, LIPI. At these seminars, more than 150 papers was presented and published on the Proceedings of Ethnobotanical Seminars (1992, 1995, and 1998).

Indonesian Botanic Garden scientists and their interest of ethnobotanical research From 1977 to the late 1999, the Indonesian Botanic Gardens and the Parks and Wildlife Commission of the Northern Territory, Australia have conducted the joint research. The funding assistance was provided by the Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). This research has focused on ethnobotany and has resulted in the publication of books relating to plant use in West Java (1994), Bali (2000), and Sumba (2001). It has also resulted in the publication of a number of research papers in journals and the presentation of research results in conferences in Australia and Indonesia. First publication was resulted is the Sundanese ethnobotany traditional plant knowledge from Ciamis and Tasikmalaya, West Java. A set of information compiled from the local informants of 86 vascular plant species are provided, including the use of medicine, food and timber (Wightman et al., 1994). In Bali the research of traditional plant usage was conducted in four villages of Bali Aga, i.e. Tenganan, Sepang, Tigawasa, and Sembiran. The most important result of the research is some species of flora in these four villages have become locally rare. In general, the harvesting of ceremonial plants is becoming a problem due to its extensive used in cultural ceremony as is in Aga people with its strong ceremonial lives. In Tenganan, the serious problem on over-harvesting of various Lygodium fern species occurs because the stem of this fern is used extensively for handicraft. In Sepang and Sembiran there are a shortage of timber of the species such as Dysoxylum caulostachyum, Dysoxylum sp. and Garcinia celebica. Various species of bamboo are harvested frequently in Tigawasa for used in handicraft production, and the natural stands are being eroded. Due to the problems above, the research on the cultivation of these over harvested species are carried out by the Indonesian Botanic Garden (Astuti et al., 2000). East Sumba was also chosen as a study site due to the cultural strength of the indigenous people of the region, and their desire to be involved, together with the paucity of previous research undertaken in the area. Hidayat et al. (2001), reported the number of plant species used by the Luku Melolo community. He reported of 81 species of plants used for traditional medicines, 29 species in construction, 5 species for firewood, 4 species for forage, 6 species for fencing, 7 species for rope, 16 species for vegetables, and 6 species for dye. All the findings on the management and conservation of plant species by the botanic garden staff have also been presented during the National Ethnobotanical Seminar held in Bogor, Yogyakarta, and Bali. Herbarium Bogoriense scientists in the context of ethnobotany research Herbarium Bogoriense is a focal point of professional botanists in Indonesia. In general, researchers of Herbarium Bogoriense conduct researches in the taxonomy of a wide range of plant families in the country as well as the researches in ecology, ethnobotany, plant physiology, morphogenetic, and phytochemistry. The researchers also concern with reciprocal influence between people and their environments, thus they are very active in documenting the importance of ethnobotany, ethnomedicine, ethnomycology, and ethnoecology for conservation of traditional knowledge relating to economic botany and other applied sciences, especially to promote a social, botanical and ecological approach.


WALUJO – Research ethnobotany in Indonesia and the future perspectives

Research on ethnoecology Ethnoecologist has been involved with the people and their environment and has been worked with local people in a wide range of projects related to the conservation of both plant resources and its linked traditional ecological knowledge. In line with Man and Biosphere (MAB) Program that is officially established in 1974 the most relevant to the research ethnoecology is the interaction between human activities and the structure and the dynamic of tropical and subtropical forest ecosystems. The theme of the research is "The Impact of Development on Interactions between Peoples and Forest in East Kalimantan" and it was reported by Kartawinata et. al. (1982). In 1976 the Indonesian MAB National Committee, where the herbarium researchers has been participated, a study of the environmental and social effects of human activities in the primary forest areas was launched, with three primary themes, i.e. (i) the environmental effects of different kind of land use; (ii) the effect of timber camps on the economic activities of villagers; and (iii) the comparative studies of cultivators in up-river home-lands and down-river resettlement areas (Kartawinata et al., 1981). In reality, forest resources management by local people in Indonesia shows a great diversity. Apart from being skilled managers of forest resources in wild, using a great variety of the extraction systems, the smallholder farmers are also performing as the main actors in the production and domestication of the resources. Local forest production system including its cyclic forest production such as benzoin gardens integrated in forest successions dynamics was reported by Walujo and Purwanto (2002) and for the evolution of Cinnamon garden management was reported by Purwanto et al. (2003). In relation with ethnoecological study, Walujo (2002, 2004) presented the spatial environmental organization and the life of the Dawan people in Timor, Indonesia. In the study the author recognized 8 types of natural, succession as well as man-made ecosystem based on the physiognomy or the vegetation covers of the habitat. This knowledge is derived from their long interactions with their environment, especially because their way of life is entirely dependent on their surrounding natural resources. Research on ethnomedicine Most of the ethnomedicinal research in Indonesia has been focused mainly on the utilization of plant diversity as traditional medicine. The topic of the study of ethnomedicinal becomes very broad (interdisciplinary), e.g. the society concept and perception on the body condition (health and illness), plant diversity, kind of diseases, social cultural aspect, technological aspect concerning traditional medicine practice, phytochemistry, and all aspects of those related with ecological acid society health aspects (Purwanto, 2002). From 119 papers presented on 2nd National Seminar in Asian Pacific Information Network on Medicinal and Aromatic Plants (APINMAP) held in Bogor, 22 topics were contributed on ethnomedicinal plants used in different ethnic groups. Herbarium researchers presented these 22 research topics. The observation on the women of Malays tribe in Singkep Island concluded that various plants species were used in health care, e.g. acne, lactation, painkiller during menstrual period, abortion (pregnancy), to stop bleeding, etc. (Siagian, 2002). Indigenous knowledge to use plants as Sepa and Nuaulu ethnic groups in South of Seram have practiced medicine since long time ago. More than 57 species of plants recorded as medicine for asthma, after

61

childbirth, and as aphrodisiac (Wardah, 2002). Furthermore, a kind of diseases and other aspects related to medicinal remedy and ecological aspect of 72 plants species used by Sasak tribe at Lombok Island was reported by Rahayu et al. (2002). Research on ethnomycology Recent publications concerning to the Indonesian ethnomycology are rather poor especially in term of bibliography and references. An example of the diversity in Indonesia fungal species traditionally used as food or employed in food production is presented by Rifai (2004) in the 3rd Nasional Scientific Forum, October 1-3, 2004. In his presentation on Indonesian fungi as a nutritional food source, Rifai explained the edible plant pathogen, the woody vegetables, the delicious termite-nest agarics, the nourishing "tempeh" as well as other less known local fermented foods, and a number of further useful tropical fungal curiosities. Further studies on various species of moulds and yeast in the different fermented foodstuffs, particularly the traditionally product in West Java was presented in the highlights of Lembaga Biologi Nasional (now, Research Center for Biology) since 1974. In "ragi", this organism included 8 species of yeasts (Candida sp., C. gulliermondii, C. humicola, C. intermedia, C. japonica, C. parapsilosis, C. pellicola, C. solani), and 5 species of mould (Fussarium sp. Mucor circinelloides, M. rouxii, Rhizophus oryzae). In "tape ketela", included 9 species of yeasts (Candida sp., C. gulliermondii, C. intermedia, C. japonica, C. mycoderma, C. parapsilosis, C. parapsilosis var. intermedia, C. pelliculosa, C. solani) and 2 species of moulds M. circinelloides and M. javanicus), however, the black "tape ketan" comprises only 2 species of yeasts (Candida sp. and C. pelliculosa). Six species of yeasts and 4 species of moulds were isolated from black "oncom", meanwhile in red "oncom" 10 species of yeasts and 5 species of moulds were found. In addition to the yeasts and moulds, most of the products also contained different kinds of bacteria. Subowo (1992) in his work in Habema of Papua, reported that from 30 species of wood fungi, 17 species has been known by the Dani people as wild edible mushrooms (Amanita spisa, Auricularia auricula, Boletus edulis, Cantharellus cibareus, Clavaria inaequalis, Collybia dryophila, Coprinus atramentarius, C. micaceus, Crepidotus mollis, Hineola auricula-yudae, Laccaria proxima, Oudmansiella mucida, Panus chonantus, Poliporus botulinus, Pseudohidnum gelatinosum, Suillus cavipes, Tricholoma columbetta). Research on ethnobotany During the last 20 years, since the Indonesia Ethnobotanical Museum was established, herbarium scientists have documented the importance of ethnobotany, ethnomedicine, ethnomycology, and ethnoecology for conservation of traditional knowledge relating to economic botany and other applied sciences. The earliest reason for human to look for the usefulness of any plant species is because of its value as food source such as in major Indonesian root crops as taro (Colocasia esculenta var. esculenta) and yam (Dioscorea spp.). In the case of the yams, the propagation and its production are not as fast and as high as cassava. Thus, cassava (Manihot utilisima) continues to replace yams, not because it is a better food, but because it is a species that is easy to grow and productive (Martin, 1975). The Sundanese, population in West Java, have food preferences that are specific to their own area. These


62

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 58-63

preferences are characterized by the eating of a lot of leafy vegetables (Sastrapradja and Kartawinata, 1975). More than 25 species was recorded from the area. Some of these are grown wild. Dyes to the people preference to eat European vegetables, the native leafy vegetables are not longer recognized by the younger generations. For some unknown reasons, for the centuries the beauty of orchid failed to trigger the interest of the locals. The Indonesian first found other uses for a few species of orchids. The ornamental purposes of orchids were more recently introduced. Rifai (1975) in his article on the extraordinary uses of orchids in Indonesia noted about 26 species of orchids used for food, medicine, and perfumes. As a food source, the young leaf of Phalaenopsis amabilis and Ceratostylis latifolia has been used as vegetable. The Javanese consumed the pseudo bulb of Hebenaria multipartita, or "uwi-uwi". In herb medicine, Acriopsis javanica, has been applied to the forehead during the fever. The roots of Calanthe rubens and C. triplicata were chewed together with pinang (Areca catechu) and nutmeg (Myristica fragrans) and ginger to cure the chronic diarrhea. The lingkage of PROSEA data with developing research of ethnobotany in Indonesia PROSEA is long term project scheduled to last 10 years to evaluating the existing knowledge on thousands of plant species making it available for education, extension, research, and commercial production. Numerous reports have been produced. Kadarsan et al. (1989) in accordance with the PROSEA publication reported that 1,528 records have been obtained by screening 82 journals and serials, and 13 proceedings of scientific meetings. The basic unit of PROSEA handbook is the species, the family and the classification by commodity group. At present, PROSEA distinguishes 21 commodity groups (Table 1), covering the fields of agriculture, horticulture, forestry and botany are the most relevant to ethnobotany. Jansen et al. (1993) distinguished 39 different commodity groups in their list encompassing 5,952 species of the "PROSEA region" of which comprising Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, the Philippines, and Singapore. According to Erdelen et al. (2000), the majorities of species (1,462) are categories as timber commodity; followed by the medicinal plants (1,135 species) as the second highest category. NGOs and their research in relevant to ethnobotany The Indonesia non governmental organizations (NGOs) have played an active role in stimulating public interest in biodiversity, urging government to strengthen conservation and environmental issues in national legislation, policy documents and development activities. More than 400 NGOs throughout the country working with local communities to resist and counter destruction and simplifying habitats. FORRESASIA has closed link with other projects such as ICRAF based project in Krui Community Forest Management Program sponsored by the Ford Foundation and the Policy Research for Sustainable Upland Systems supported by ADB, and CIFOR project on Sustainable Development and Management of Non Timber Forest Products. WWF studied briefly about Medicinal Plant of Siberut. The knowledge of medicine is mastered through a learning process in which the case of the Kerei's is surrounded by complex ritual. Some medicines are received through dreams. Others are obtained by buying and/or exchanging. The trial and error method is also still applied. According to Ave and Sunito (1990), in general, the

Table 1. The number of species in each commodity groups published by PROSEA. Commodity group Number* Cereals 76 Starch/sugar/alcohol/acid-producing plants 176 Pulses 96 Vegetables oils and fats 135 Edible fruits and nuts 287 Vegetables 199 Spices and condiments 138 Essential oil plants 51 Plants for beverages/chewing/smoking 105 Medicinal/narcotic/poisonous plants 251 Timber trees 234 Fiber plants used for packing thatching wickerwork 111 Feed plants 70 Dye and tannin-producing plants 69 Rattans 34 Bamboos 27 Plants producing exudates/aromatic woods 10 Auxiliary plants in agriculture 124 Ornamental/hedges/wayside trees 179 Fuel plants 26 Lower plants 53 Other plants 17 Total 2,564 Annotation: * Number of time a commodity group is referred to PROSEA publications. A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V

traditional herbal medicines in North Siberut are more complex. The composition often comprising 5 to 15 or in certain cases up to 40 different plants for each remedy, while in South Siberut usually 2 to 5 sometimes up to 10 different plants are utilized. Herbal medicines are taken internally as concoction or decoction and/or applied externally as herb-bath or as massage. Remark and the future research ethnobotany in Indonesia On the basis of what has been illustrated and described in the previous sections in this paper it is summarized that botanical research undertaken in the region has been laid the importance foundation in the increasing knowledge on ethnobotany. The series of botanical publications such as Flora Malesiana Bulletin, PROSEA, other journals and serials, as well as proceedings are contained a vast amount of data and information available for ethnobotanists. Since the last decades, the number of researcher who extensively involve in the ethnobotanical research in Indonesia has been increased. It is reflected through the recent papers written by Rifai (1975), on an extraordinary uses of orchid in Indonesia and Rifai (2004) on Indonesian fungi as a nutritional food source (ethnobotany), by Kartawinata et al. (1981, 1982), on the impact of man on a tropical forest in Indonesia, by Walujo (2002, 2004) and Purwanto et al. (2003) on ethnoecology. These are only a few examples of references that work on the same interest and have been given in the preceding sections. However, the increasing number in the ethnobotanical research in Indonesia has not yet represented the overall coverage on the area and on the ethnical groups (Figure 1).

ANKNOWLEDGEMENT I would like to express my gratitude to Dr. Jeanine Pfeiffer and Prof. Mien A. Rifai for their critical comments to the manuscript. An extended appreciation goes to other reviewers that also contributed positive comments to this article.


WALUJO – Research ethnobotany in Indonesia and the future perspectives

63

Figure 1. Map showing the number of ethnobotanical research conducted by the researchers at LIPI in different sites throughout Indonesia (black dotted).

REFERENCES Anonymous. 1993. Indonesian Country Study on Biological Diversity. Jakarta: Ministry of State for Population and Environment. Astuti, I.P., S. Hidayat, and IBK Arinasa. 2000. Traditional Plant Usage in Four Villages of Bali Aga Tenganan, Sepang, Tigawasa and Sembiran, Bali, Indonesia. Bogor: The John D. and Catherine T. Mac-Arthur Foundation and The Botanic Gardens of Indonesia. Ave, W. and S. Sunito. 1990. Medicinal Plants of Siberut. A World Wide Fund for Nature Report. CH – 1196. Gland, Switzerland: WWF International. Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula. 2 vols. Millbank London: The Crown Agent for the Colonies. Erdelen, W.R., K. Adimardja, H. Moesdarsono, and Sidik. 2000. Biodiversity, Biogeography and Conservation of Indigenous Medicinal Plants in Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Etnobatani III. Puslitbang Biologi LIPI, Universitas Udayana, dan Universitas Mahasaraswati, DenpasarBali, 5-6 Mei 1998. Hasskarl, J.K. 1845. Cyclopedia of Collectors. Flora Malesiana, vol. I: 221. Djakarta: Noordhooff-Kolff N.V. Heyne, K. 1922. De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie. (Anonymous English Translation 1st edition 1913-1917). Kuala Lumpur. Heyne, K. 1927. De Nuttige Planten van Nederlandsch Indie. 3 vols. Batavia: Departement van Landbouw Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indie. Heyne, K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie (The Useful Plants of Indonesia). Bandung: N.V. Uitgeverij W. van Hoeve. Hidayat, S., I.P. Astuti, E. Munawaroh, and G. Wightman. 2001. Useful Plants in the Lukas Melolo Forest, East Sumba, Indonesia. Bogor: Indonesian Botanic Gardens and Parks and Wildlife Commission of the Northern Territory, Australian Centre for International Agricultural Research. Jansen, P.C.M., R.H.M.J. Lemmens, L.P.A. Oyen, J.S. Siemonsma, and J.L.C.H. van Valkenburg (eds.). 1993. Plant Resources of South-East Asia. Basic List of Species and Commodity Grouping. Final version. Bogor: PROSEA. Kadarsan, S., H. Sutarno, and S. Danimihardja. 1989. Plant Resources and Scientific Infrastructure in Indonesia. Proceedings of the First PROSEA International Symposium. Prosea, Jakarta, May 22-25, 1989. Kalkman, C. 1989. Economic botany in South-East Asia. Proceedings of the First PROSE A International Symposium. Prosea, Jakarta, May 22-25, 1989. Kartawinata, K., A.P. Vadya, and R.S. Wirakusumah. 1982. Problems, Objectives and Projects of MAB I Research and Training in Indonesia. Doc. Herb. Kuswata, No. 30. Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Riswan and A.P. Vayda. 1981. The impact of man on a tropical forest in Indonesia. Ambio, Journal of the Human Environment 10 (2-3): 115-119. Martin, F.W. 1975. Yams of South East Asia and their future. Symposium on South East Asian Plant Genetic Resources, FAO & SEAMEOBIOTROP, Bogor, 20 March 1975. Nasution, R.E. 1995 (ed.). Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II. Puslitbang Bio LIPI, Fak. Biologi UGM, Ikatan Pustakawan Indonesia. Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Yogyakarta 24-25 Jan 1995. Nasution, R.E., S. Riswan, P. Tjitropranoto, E.B. Walujo, W. Martowikromo, H. Roemantyo, and S.S. Wardoyo (ed.). 1992. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. LIPI, Cisarua Bogor, 19-20 Pebruari 1992.

Ochse, J.J. 1931a. Indische Groenten (Met inbegrib van Aardvruchten en Kruiderijen). Batavia: Departement van Landbouw Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indie. Ochse, J.J. 1931b. Vegetables of the Dutch East Indies. Reprinted in 1980. Amsterdam: A. Asher & Co., B.V. Purwanto, Y. 2002. Studi Etnomedisinal dan Farmakope Tradisional di Indonesia. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. Bogor, 8-10 Agustus 2001. Purwanto, Y. dan E.B. Walujo (ed.). 1998. Prosiding Seminar Nasional Etnobotani III. Denpasar Bali, 5-6 Mei 1998. Purwanto, Y., E.B. Walujo, F.M. Setyowati and S. Susiarti. 2003. The evolution of Cinnamon garden management at Upper Bahau River, East Kalimantan: from extractivism to cultivation. Proceeding on the 3rd Conference "Science Council of Asia". Denpasar, May 13-15, 2003. Rahayu, M., Rugayah, Praptiwi dan Hamzah. 2002. Keanekaragaman pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat Suku Sasak di T.N. Gunung Rinjani, Lombok-NTB. Prosiding Symposium Nasional 11 Tumbuhan Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. Bogor, 8-10 Agustus 2001. Rifai M.A. 1975. Extraordinary uses of orchids In Indonesia. The Fist ASEAN Orchid Congress. Bangkok, 17-21 January 1975. Rifai, M.A. 2004. Jamur Indonesia sebagai sumber gizi pangan. Temu Ilmiah Nasional III. Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indonesia. Semarang, 13 Oktober 2004. Sangat, H.M., E.A.M. Zuhud, dan E.K. Damayanti. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia (Etnofitomedika). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sastrapradja, S. and K. Kartawinata. 1975. Leafy vegetables in the Sundanese diet. Symposium on South East Asian Plant Genetic Resources, FAO & SEAMEO-BIOTROP, Bogor, 20 March 1975. Siagian, M.H. 2002. Usaha perawatan kesehatan dengan berbagai jenis tumbuhan: telaah pemanfaatannya oleh wanita Suku Melayu di Pulau Singkep, Riau. Prosiding Symposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. Bogor, 8-10 Agustus 2001. Walujo, E.B. 2002. Les ecosystemes domestiques par I'homme and I'ancien royaume insana Timor. Reinwardtia 11 (5): 295-417. Walujo, E.B. 2004. The spatial environmental organization and the life of the Dawan People in Timor, Indonesia. Journal of Tropical Ethnobiology 1 (1): 67-76. Walujo, E.B. and Y. Purwanto. 2002. The impact of traditional benzoin garden on floristic diversity: case study at Pusuk District, North Tapanuli of North Sumatra. Proceedings of the International Symposium on Land Management and Biodiversity in Southeast Asia. LIPI, Denpasar, September 17-20, 2002. Wardah. 2002. Pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan obat pada beberapa etnis di pulau Buru dan Seram Selatan, Maluku Tengah. Prosiding Symposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, APINMAP, UNESCO, JICA. Bogor, 8-10 Agustus 2001. Wightman, G., I.P. Astuti, and E. Munawaroh. 1994. Sundanese ethnobotany: traditional plant knowledge from Ciamis and Tasikmalaya, West Java, Indonesia. Northern Teritory Botanical Bulletin No. 19. Darwin: Conservation Commission of the Northern Territory.


ISSN: 1412-033X Januari 2008

BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 1 Halaman: 64-81

REVIEW: Senyawa Biflavonoid pada Selaginella Pal. Beauv. dan Pemanfaatannya Review: Biflavonoid compounds of Selaginella Pal. Beauv. and its benefit

1

AHMAD DWI SETYAWAN1,2,♥, LATIFAH KOSIM DARUSMAN3

Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. 2 Program Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor 16680. 3 Departemen Kimia, FMIPA, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor 16680. Diterima: 2 Januari 2008. Disetujui: 31 Januari 2008.

ABSTRACT In the present day, medicinal plants increasingly play important role in human health, while about 60-75% of world population depending on plants and their extracts for medication. Selaginella Pal. Beauv. (Selaginellaceae Reichb.) is a potent medicinal plant source. This plant contains biflavonoid compounds, a dimeric form of flavonoids. Flavonoids are secondary metabolite that is most used in medical purposes. They are often occurred in daily consumed vegetables and fruits. Chemical constituents of flavonoids are very diverse, because they are generated in many biosynthetic methods. There are many biflavonoid compounds of Selaginella, i.e. amentoflavone, 2',8''-biapigenin, ginkgetin, heveaflavone, hinokiflavone, isocryptomerine, kayaflavone, podocarpusflavone A, robustaflavone, sumaflavone, and taiwaniaflavone. For the plants, these biflavonoid are used to response environmental condition such as defense against pests, diseases, herbivory, and competitions; while for the people, these compounds are used as antioxidant, anti-inflammatory, anti cancer, antimicrobial (antivirus, antibacterial, anti fungal, antiprotozoan), neuroprotective, vasorelaxant, anti UV-irradiation, antispasmodic, anti allergic, antihaemorrhagic, antinociceptive, etc. The antioxidant purpose of biflavonoid is the most important activities of this secondary metabolite. It is related to the anti cancer and anti-inflammatory functions. The antioxidant of biflavonoid is more powerful than β-carotene, vitamin C and E. In the future, Selaginella research exhaustively needs to be conducted on morphological and molecular characteristics. It deeply needs to explore on biflavonoid and other natural products constituents, and it also needs to search on their bioactivities. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: flavonoid, biflavonoid, Selaginella.

PENDAHULUAN Tumbuhan obat sejak jaman dahulu hingga kini menjadi penyokong utama kesehatan umat manusia. Sekitar 6075% penduduk bumi menggantungkan kesehatannya pada tumbuhan (Farnsworth, 1994; Joy dkk., 1998; Harvey, 2000). Tumbuhan dan mikrobia merupakan sumber utama metabolit sekunder (Hayashi dkk., 1997; Armaka dkk., 1999; Lin dkk., 1999; Basso dkk. 2005), dan secara konsisten menjadi sumber utama obat-obatan terbaru (Harvey, 2000), baik berupa senyawa fenolat, alkaloid, terpenoid, maupun asam amino non protein (Smith, 1976). Di bumi terdapat 250.000-500.000 spesies tumbuhan (Borris, 1996), 1-10%-nya digunakan untuk bahan makanan (Moerman, 1996), 80.000 spesies untuk pengobatan, dan 5000 spesies untuk mengobati penyakit tertentu. Sebagian besar tumbuhan obat dikoleksi langsung dari alam, sehingga memerlukan budidaya agar kelestariannya terjamin (Joy dkk., 1998). Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling beragam dan tersebar luas. Sekitar 5-10% metabolit sekunder tumbuhan adalah flavonoid, dengan struktur kimia dan peran biologi yang sangat beragam (Macheix dkk., ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: unsjournals@gmail.com

1990). Senyawa ini dibentuk dari jalur shikimate dan fenilpropanoid (Harborne, 1989), dengan beberapa alternatif biosintesis (Robards dan Antolovich, 1997). Flavonoid merupakan turunan fenol yang memiliki struktur dasar fenilbenzopiron (tokoferol) (Middleton dkk., 2000), dicirikan oleh kerangka 15 karbon (C6-C3-C6) yang terdiri dari satu cincin teroksigenasi dan dua cincin aromatis (Gambar 1). Substitusi gugus kimia pada flavonoid umumnya berupa hidroksilasi, metoksilasi, metilasi dan glikosilasi (Harborne, 1980). Klasifikasi flavonoid sangat beragam, di antaranya ada yang mengklasifikasikan flavonoid menjadi flavon, flavonon, isoflavon, flavanol, flavanon, antosianin, dan kalkon (Porter, 1994; Ferreira dan Bekker, 1996, 1999; Ferreira dkk., 1999). Lebih dari 6467 senyawa flavonoid telah diidentifikasi dan jumlahnya terus meningkat (Harborne dan Baxter, 1999). Kebanyakan flavonoid berbentuk monomer, tetapi terdapat pula bentuk dimer (biflavonoid), trimer, tetramer, dan polimer (Perruchon, 2004). Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan dengan warna kuning, kuning jeruk, dan merah (Timberlake dan Henry, 1986; Brouillard dan Cheminant, 1988); dapat ditemukan pada buah, sayuran, kacang, biji, batang, bunga, herba, rempah-rempah, serta produk pangan dan obat dari tumbuhan seperti minyak zaitun, teh, cokelat, anggur merah, dan obat herbal (Middleton dkk., 2000; Herrmann, 1976). Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna, rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan (Macheix dkk., 1990). Tumbuhan umumnya hanya menghasilkan


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada tingkat spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama, penyakit (Dixon, 2002), herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia (Madhuri dan Reddy, 1999), dormansi biji (Debeaujon dkk., 2000; Pourcel dkk., 2005), pelindung terhadap radiasi sinar UV (Winkel-Shirley dkk., 2002), molekul sinyal pada berbagai jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan (Madhuri dan Reddy, 1999). Bagi manusia, flavonoid berguna sebagai antioksidan (Letan 1966; Nakatani, 1990), antimikrobia (Nishino dkk, 1987; Harborne dan Williams, 2000), antibakteri (Middleton dan Kandswami, 1993), antivirus (Harborne dan Williams, 2000), anti-inflamasi, anti allergi (Middleton dan Kandswami, 1992, 1993), anti mutagenik (Edenharder dkk., 1993), anti klastogenik (Heo dkk., 1992) anti kanker (Verma dkk., 1988; Dreschner dkk., 1991; Middleton dan Kandswami, 1993), anti-platelet (Harborne dan Williams, 2000), dan lainlain. Di sisi lain dilaporkan pula bahwa flavonoid dapat menyebabkan kerusakan DNA (Shimoi dkk., 1996; Leung dkk., 2005), mutasi (Rueff dkk., 1992) dan apoptosis (Salti dkk., 2000; Leung dkk., 2005). Kajian terhadap flavonoid tidak hanya karena peran biologinya, tetapi lebih karena potensinya sebagai obat (Ross dan Kasum, 2002). Salah satu struktur flavonoid yang bernilai tinggi sebagai bahan obat adalah biflavonoid. Di Asia Timur biflavonoid banyak dihasilkan dari daun Ginkgo biloba L. dengan kandungan utama ginkgetin (Krauze-Baranowska dan Wiart, 2002; Dubber, 2005). Di Afrika sub Sahara biflavonoid banyak dihasilkan dari biji Garcinia cola Heckel dengan kandungan utama kolaviron (Iwu dan Igboko, 1982; Iwu, 1985, 1999; Iwu dkk., 1987, 1990; Braide, 1989, 1993; Forombi dkk., 2005). Di Eropa biflavonoid banyak dihasilkan dari herba Hypericum perforatum L. dengan kandungan utama amentoflavon (Berghofer dan Holzl, 1987, 1989; Nahrstedt dan Butterweck, 1997; Borlis dkk., 1998; Tolonen, 2003; Kraus, 2005). Selaginella Pal. Beauv. (Selaginellaceae Reichb.) sangat berpotensi sebagai sumber biflavonoid. Tumbuhan ini dapat menghasilkan berbagai jenis biflavonoid, tergantung spesiesnya, serta memiliki sebaran yang bersifat kosmopolitan sehingga dapat dibudidayakan hampir di seluruh permukaan bumi. Dalam tulisan berikut dibahas keanekaragaman senyawa biflavonoid pada Selaginella dan pemanfaatannya. Peristilahan yang digunakan merujuk pada Glossarium Istilah Asing-Indonesia (2006). BIOKIMIA BIFLAVONOID Definisi Biflavonoid (atau biflavonil, flavandiol) merupakan dimer flavonoid yang dibentuk dari dua unit flavon atau dimer campuran antara flavon dengan flavanon dan/atau auron (Geiger dan Quinn, 1976; DNP, 1992; Ferreira dkk., 2006). Struktur dasar biflavonoid adalah 2,3-dihidroapigeninil-(I3′,II-3′)-apigenin (Gambar 1.). Senyawa ini memiliki ikatan interflavanil C-C antara karbon C-3′ pada masing-masing flavon. Beberapa biflavonoid dengan ikatan interflavanil CO-C juga ada (Bennie dkk., 2000; Bennie dkk., 2001; Bennie dkk., 2002; Ferreira dkk., 2006). Biflavonoid terdapat pada buah, sayuran, dan bagian tumbuhan lainnya. Senyawa ini mula-mula ditemukan oleh Furukawa dari ekstrak daun G. biloba berupa senyawa berwarna kuning yang dinamai ginkgetin (I-4’, I-7-dimetoksi, II-4’, I-5, II-5, II-7-tetrahidroksi [I-3’, II-8] biflavon) (Baker dan Simmonds, 1940). Hingga kini jumlah biflavonoid yang

65

diisolasi dan dikarakterisasi dari alam terus bertambah (Oliveira dkk., 2002; Ariyasena dkk., 2004; Chen dkk., 2005a;), namun yang diketahui bioaktivitasnya masih terbatas. Biflavonoid yang paling banyak diteliti adalah ginkgetin, isoginkgetin, amentoflavon, morelloflavon, robustaflavon, hinokiflavon, dan ochnaflavon. Senyawasenyawa ini memiliki struktur dasar yang serupa yaitu 5,7,4’-trihidroksi flavanoid, tetapi berbeda pada sifat dan letak ikatan antar flavanoid (Rahman dkk., 2007).

Fenol

B C Flavonoid

Biflavonoid

Gambar 1. Struktur dasar fenol, flavanoid dan biflavanoid. Sistem cincin bisiklis dinamai cincin A dan C, sedangkan cincin unisiklis dinamai cincin B. Kedua unit monomer biflavonoid ditandai dengan angka Romawi I dan II. Posisi angka pada masing-masing monomer dimulai dari cincin yang mengandung atom oksigen, posisi ke-9 dan ke-10 menunjukkan karbon pada titik penyatuan (Rahman dkk., 2007).

Senyawa biflavonóid berperan sebagai antioksidan, anti-inflamasi, anti kanker, anti alergi, antimikrobia, antifungi, antibakteri, antivirus, pelindung terhadap iradiasi UV, vasorelaksan, penguat jantung, anti hipertensi, anti pembekuan darah, dan mempengaruhi metabolisme enzim (Havsteen, 1983, 2002; Kandaswami dan Middleton, 1993, 1994; Lale dkk., 1996; Bisnack dkk., 2001; Duarte dkk., 2001; Kromhout, 2001; Kang, 2004; Moltke dkk., 2004; Arts dan Hollman, 2005; Martens dan Mithofer, 2005; Yamaguchi dkk., 2005). Sebagian besar peran di atas dapat dipenuhi oleh berbagai senyawa biflavonoid yang diekstraksi dari berbagai spesies Selaginella (Tabel 1). Tatanama biflavonoid Banyaknya senyawa biflavonoid yang ditemukan menyebabkan timbulnya berbagai tata cara penamaan senyawa ini. Dua di antaranya yang paling sistematis adalah sistem Loksley dan sistem IUPAC, namun hingga kini nama yang paling banyak digunakan adalah nama biasa yang diberikan oleh masing-masing penemunya. Locksley (1973) mengajukan istilah generik ‘biflavanoid’ untuk menggantikan istilah ‘biflavonil’ yang lebih dahulu digunakan. Istilah ‘biflavanoid’ dianggap lebih akurat dari pada ‘biflavonoid’ karena menunjukkan sifatnya yang jenuh. Akhiran ‘oid’ untuk menunjukkan tipe dimernya yang homogen, seperti biflavanon, biflavon, biflavan, dan lainlain. Namun hingga kini penyebutan ‘biflavonoid’ lebih sering digunakan karena lebih mudah dilafalkan. Sistem Locksley. Locksley (1973) membakukan tatanama cincin dan letak penomoran karbon pada cincin kerangka biflavonil. Setiap unit monomer ditandai dengan angka Romawi I dan II. Ikatan antar monomer ditandai dengan angka Romawi yang menunjukkan unit monomernya, dan angka Arab yang menunjukkan letak


66

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

ikatan. Kedua numeral dari kedua unit monomer penyusun dimer, dipasangkan dengan tanda hubung dan ditelakkan dalam kurung untuk menunjukkan letak ikatan antar monomer. Jumlah gugus substitusi pada unit monomer mengikuti sistem IUPAC untuk flavon. Dalam sistem ini, amentoflavon dinamai I-4’, II-4’, I-5, II-5, I-7, II-7heksahidroksi [I-3’, II-8] biflavon, sedangkan hinokiflavon yang unit flavonnya berikatan dengan sebuah atom oksigen dinamai II-4’, I-5, II-5, I-7, II-7-pentahidroksi [I-4’-O-II-6] biflavon. Menurut Rahman dkk. (2007), sistem ini bersifat intuitif, logis, dan menggambarkan struktur kimianya. Sistem IUPAC. Perbedaan mendasar antara sistem Locksley dan IUPAC adalah rujukan struktur kerangkanya. Sistem Locksley menggunakan struktur flavanoid, sedangkan sistem IUPAC menganggap biflavonoid merupakan turunan dari struktur kromen, sehingga tatanamanya lebih kompleks. Dalam tatanama IUPAC, amentoflavon dinamai 8-[5-(5,7-dihidroksi-4-okso-4H-kromen-2-il)- 2-hidroksifenil]5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksi-fenil)-kromen-4-on, sedangkan hinokiflavon dinamai 6-[4-(5,7-dihidroksi-4-okso-4H-kromen2-il)-fenoksi]-5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)- kromen-4-on (Rahman dkk., 2007). Nama biasa. Kedua sistem tatanama di atas jarang digunakan karena kerumitannya. Nama yang sering digunakan adalah nama biasa yang diberikan oleh para penemunya. Nama ini lebih mudah digunakan, meskipun tidak sistematis dan tidak menggambarkan struktur kimianya, misalnya amentoflavon, hinokiflavon, dan lain-lain. Sintesis biflavonoid Biosintesis flavonoid di alam secara in vivo relatif masih menjadi misteri, namun terdapat beberapa pendekatan secara in vitro untuk menjelaskan sintesisnya. Menurut Rahman dkk. (2007) terdapat sembilan cara sintesis biflavonoid, yaitu: (i) penggabungan Ullmann dari flavon terhalogenasi; (ii) pembentukan biflavonoid melalui bifenil; (iii) penggabungan silang flavon dengan katalis metal; (iv) penyusunan ulang Wessely-Moser; (v) penggabungan fenol oksidatif dari flavon; (vi) kondensasi Ullmann garam flavon dan flavon terhalogenasi; (vii) substitusi nukleofilik; (viii) dehidrogenasi biflavanon menjadi biflavon; dan (ix) hidrogenasi biflavon menjadi biflavanon. Penggabungan Ullmann dari flavon terhalogenasi. Penggabungan Ullmann merupakan suatu reaksi aril halida yang dimediasi oleh tembaga. Suatu biflavonoid simetris, cupressuflavon heksametil eter telah dibuat dua tahun (Locksley, 1973; Zheng dkk., 2004) sebelum cupressuflavon alami ditemukan Seshadri (Murti dkk., 1967). (Gambar 2a). Reaksi Ullmann juga digunakan untuk mensintesis biflavon tak simetris ginkgetin dan amentoflavon (Nakazawa, 1962; Nakazawa dan Ito, 1963), meskipun hasilnya rendah karena adanya resinifikasi (Rahman dkk., 2007). Pembentukan biflavonoid melalui bifenil. Pembentukan biflavonoid melalui bifenil pertama kali dilakukan oleh Mathai dkk., (1967), dimana 4,4’-dimetoksi-3,3’diformilbifenil dikondensasi dengan 2-hidroksiasetofenon dalam hidroksida kalium beretanol menghasilkan turunan bikalkonil. Penggojokan senyawa ini dengan selenium dioksida dalam amil alkohol menghasilkan 3’,3’-biflavonil yang simetris (Gambar 2b). Hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan sintesis I-6, II-6-biapigenin dan 6,6’’binarigenin heksametil eter (Chen dkk., 1976, 1985). Penggabungan silang flavon dengan katalis metal. Terdapat banyak reaksi penggabungan silang untuk membentuk ikatan C−C dengan katalis metal, tetapi dalam sintesis biflavonoid hanya mencakup penggabungan Stille dan Suzuki, keduanya memanfaatkan palladium untuk

menggabungkan gugus aril. Stille mensintesis biflavonoid melalui penggabungan silang antara flavon triflate dengan distannan (Echavarren dan Stille, 1987) (Gambar 2c1), sedangkan Suzuki dengan asam arilboronat (Muller, 1991) (Gambar 2c2). Metode Suzuki dapat digunakan untuk menjelaskan sintesis robustaflavon dan robustaflavon heksametil eter (Zembower dan Zhang, 1998), serta hinokiflavon (Flavin dkk., 2001). Penyusunan ulang Wessely-Moser. Penyusunan ulang Wessely-Moser dapat terjadi pada monoflavanoid dalam kondisi asam, ditandai dengan reorganisasi substitusi 5,7,8 ke 5,6,7. Dalam reaksi ini, asam hidroiodat dalam asetat anhidrid dapat mengubah hinokiflavon pentametil eter menjadi hinokiflavon (Nakazawa, 1968). Dengan metode yang sama, (+) cupressuflavon heksametil eter dapat digunakan untuk menghasilkan (±)cupressuflavon heksametil eter dan (±)-agathisflavon heksametil eter (Pelter dkk., 1971) (Gambar 2d). Penggabungan fenol oksidatif dari flavon. Biflavonoid dapat disintesis melalui penggabungan oksidatif monomer fenol menggunakan satu elektron teroksidasi. Pada apigenin, dimerisasi oksidatif apigenin-4’,7-dimetil eter dengan besi klorida dalam dioksan mendidih dapat menghasilkan sepasang biflavon (Locksley, 1973) (Gambar 2e). Hal ini juga dapat dilakukan pada flavanon untuk menghasilkan biflavanon (Berge dkk., 1979; 1980). Kondensasi Ullmann dengan garam flavon. Reaksi Ullmann dengan katalis tembaga dapat menggabungkan flavon terhalogenasi dan garam flavon nukleofilik menjadi biflavonoid. Reaktivitas atom halogen dalam kondensasi Ullmann dapat diperkuat dengan memasukkan elektron ke dalam gugus orto nitro halogen. Eliminasi reduktif gugus nitro menghasilkan biflavonoid terikat oksigen dengan kerangka C4’−O−C8 (Nakazawa, 1968) (Gambar 2f). Sintesis isomer biflavonoid hinokiflavon pentametil eter yang berkerangka C4’−O−C6 dapat dilakukan dengan cara ini (Rahman dkk., 2007). Substitusi nukleofilik. Reaksi substitusi nukleofilik sering digunakan untuk menghasilkan biflavon yang terikat dialkil dan biflavanon. Reaksi ini digunakan oleh Seshadri dkk. untuk menghasilkan biflavonil metan (Gambar 2g). Reaksi dari resasetofenon dengan metilen iodida di bawah kondisi alkali menghasilkan C-termetilenasi, yang dapat diubah menjadi biflavonoid (Grover dkk., 1964). Hingga kini reaksi ini sulit dilakukan karena terjadinya resinifikasi, misalnya pada percobaan sintesis biflavonoid dari apigenin dimetil eter (Rahman dkk., 2007). Dehidrogenasi biflavanon menjadi biflavon. Dehidrogenasi cincin biflavonoid jenuh menjadi tak jenuh dapat menghasilkan senyawa biflavonoid baru. Reaksi ini dikatalisasi dengan reagen Fenton, kalium ferisianida alkalin, SeO2, atau N-bromosuksinimida (NBS). Oksidasi 4(hidrooksimino) flavan dengan SeO2 dalam dioksan berair menghasilkan flavan, yang selanjutnya dalam penggabungan oksidatif menghasilkan [I-3,II-3] biflavon (Berge dkk., 1979). Oksidasi flavanon hidrazon dengan SeO2 dalam dioksan berair menghasilkan flavon, yang selanjutnya dengan penggabungan oksidatif dan dehidrogenasi dengan NBS menghasilkan beberapa biflavon (Berge dkk., 1980) (Gambar 2h). Hidrogenasi biflavon menjadi biflavanon. Hidrogenasi juga merupakan strategi penting untuk menghasilkan biflavonoid analog dengan cepat. Namun berbeda dengan dehidrogenasi, hidrogensi dapat diatur untuk menghasilkan biflavonoid yang lebih beragam dengan struktur mono- dan dihidrogenasi. Hidrogenasi biflavon pada suhu 80oC dalam asam asetat glasial selama 4 jam hanya menghasilkan


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

struktur monohidrogenasi, dengan memperlama prosesnya maka akan dihasilkan biflavanon yang lebih beragam (Gambar 2i). Namun hasil proses ini relatif sedikit, karena ikatan ganda harus terus disubstitusi (Wang dkk., 1990). BIFLAVONOID PADA SELAGINELLA Deskripsi Selaginella Selaginella diperkirakan telah hadir di bumi sejak lebih dari 320 juta tahun yang lalu, sebagian besar jenisnya telah punah, yang tersisa tereduksi menjadi herba (Czeladzinski, 2003). Selaginellaceae Reichb. hanya memiliki satu genus, Selaginella Pal. Beauv. yang terdiri dari 700 spesies (Tryon dan Tryon, 1982) atau 750 spesies (Jermy, 1990) dan tersebar di seluruh dunia. Karakter khasnya adalah adanya percabangan menggarpu dan sebagian besar spesies memiliki daun-daun kecil menyerupai sisik, dengan dua ukuran yang berbeda (Jermy, 1990). Selaginella dapat tumbuh pada berbagai tipe iklim dan tanah, dengan keanekaragaman tertinggi di hutan hujan tropis. Tingginya keanekaragaman Selaginella diduga akibat sifatnya yang heterospor, sehingga memungkinkan terjadinya persilangan antar spesies. Indonesia dan negara-negara Malesia memiliki sejumlah spesies Selaginella, tetapi informasi mengenai takson ini masih terbatas. Jawa, pulau dengan penduduk paling padat dan paling terdegradasi, memiliki 22 spesies. Spesies ini juga ditemukan pada pulau-pulau yang lebih besar, yaitu Kalimantan (58), Nugini (55), Sumatera (29), dan Sulawesi (21), serta pulau-pulau yang kecil, yaitu Maluku (18) dan Sunda Kecil (9). Sejumlah spesies juga ditemukan di negara-negara lain di kawasan Malesia, yaitu: Filipina (48), Thailand (29), Semenanjung Malaya (25) dan Kepulauan Salomon (8) (Camus, 1997). Selaginella memiliki banyak nama lokal, seperti: rumput Solo, cemara kipas gunung, cakar ayam (Jawa), paku rane (Sunda), menter (Jakarta), tai lantuan (Madura), usia (Ambon), sikili batu, lingonai (Minangkabau) (Heyne, 1927), dan shi shang be atau juan bai (Cina)(Bensky dkk., 2004). Dalam bahasa Indonsia tumbuhan ini biasa disebut cakar ayam atau paku rane. Selaginella dinamai cakar ayam karena daunnya tersusun di bagian kiri-kanan batang dan cabang, bersisik-sisik seperti sisik pada kaki ayam. Daun berbentuk sisik ini menyebabkan tumbuhan ini sering tampak seperti Bryophyta, namun sejatinya merupakan Pteridophyta karena memiliki berkas pengangkut dan menggunakan spora untuk berkembang biak. Jenis-jenis Selaginella memiliki banyak kesamaan, tetapi umumnya dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan pigmentasinya. Selaginella memiliki beragam habitus, seperti merayap (Selaginella kraussiana (G. Kunze) A. Braun, Selaginella martensii Spring, Selaginella denticulata (L.) Spring), roset dengan rimpang dan buku-buku pendek (Selaginella pallescens (C. Presl) Spring, Selaginella lepidophylla (Hook. & Grev.) Spring, Selaginella tamariscina (Beauv.) Spring), rimpang tegak hingga 4 m dengan tunas di pangkal bagian yang memiliki strobilus (S. denticulata, Selaginella gigantea Steyerm. & A. R. Sm.), memanjat dengan rimpang yang melekat pada tumbuhan inang (Selaginella willdenowii (Desv.) Baker), tegak, pendek, bertumpuk-tumpuk (Selaginella selaginoides (L.) Schrank & C. F. P. Mart.), serta merayap dengan cabang tegak membentuk payung (Selaginella vogelii Spring, Selaginella haematodes (Kunze) Spring, Selaginella erythropus (Mart.) Spring). Selaginella memiliki beragam pigmentasi, terdapat kelompok berwarna biru (Selaginella uncinata (Desv. ex Poir.) Spring, S.

67

wildenowii, S. vogelii, Selaginella lyallii (Hook. & Grev.) Spring), merah darah (S. erythropus), variegata (S. martensii f. albovariegata, S. martensii var. watsonii S. kraussiana var. variegata, S. tamariscina), kuning emas (S. kraussiana var. aurea), dan perak (Selaginella viticulosa Klotzsch). Umur Selaginella sangat beragam, beberapa spesies dapat hidup selama ratusan tahun, seperti S. tamariscina, tetapi beberapa spesies hidup musiman (setahun), seperti Selaginella tenerrima A. Br. ex Kuhn, Selaginella tuberosa B. McAlpin & Lellinger, Selaginella pygmaea (Kaulf.) Alston, dan Selaginella gracillima (Kunze) Spring ex Salom. Keanekaragaman morfologi dan pigmentasi merupakan karakter utama dalam taksonomi Selaginella (Czeladzinski, 2003). Keragaman warna menunjukkan keragaman kandungan biflavonoid dan bahan alam lain di dalamnya. Keragaman biflavonoid pada Selaginella Metabolit sekunder utama pada Selaginella adalah biflavonoid. Distribusi senyawa ini terbatas pada Selaginellales, Psilotales, dan Gymnospermae (Seigler, 1998), namun beberapa Bryophyta dan sekitar 15 familia Angiospermae juga memiliki senyawa ini (DNP, 1992). Kandungan metabolit sekunder Selaginella dapat bervariasi tergantung faktor lingkungan tempat tumbuh seperti iklim, lokasi, dan tanah; prosedur pemanenan dan ekstraksi (Nahrstedt dan Butterweck, 1997); serta faktor di dalam tumbuhan tersebut seperti spesies atau varietas, bagian yang diekstraksi dan umurnya. Pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa beberapa spesies Selaginella dari Jawa mengandung alkaloid, steroid, saponin, tanin, dan flavonoid, meskipun ada tidaknya senyawa-senyawa tersebut sangat bervariasi tergantung spesiesnya (ADS, 2007, data tidak ditunjukkan). Dibandingkan dengan senyawa biflavonoid, keragaman dan kadar senyawa-senyawa tersebut pada Selaginella relatif lebih rendah, meskipun demikian diyakini memiliki bioaktivitas tertentu, baik sama dengan biflavonoid ataupun berbeda sama sekali. Pada S. lepidophylla dilaporkan terdapat pula kandungan minyak atsiri (Andrade-Cetto dan Heinrich, 2005). Pada S. deliculata, Selaginella doederleinii Hieron., Selaginella moellendorffii Hieron., Selaginella nipponica Franch. & Sav., Selaginella involvens (Sw.) Spring (=Selaginella pachystachys Koidz.), Selaginella stauntoniana Spring (=Selaginella pseudo-involvens Hayata), Selaginella remotifolia Spring var. japonica, S. tamariscina, dan S. uncinata terkandung steroid tipe ekdisteroid (Takemoto dkk., 1967, Hikino dkk., 1973; Yen dkk., 1974). Biflavonoid yang telah diidentifikasi dari Selaginella antara lain amentoflavon, 2',8''-biapigenin, ginkgetin, heveaflavon, hinokiflavon, isokriptomerin, kayaflavon, podocarpusflavon A, robustaflavon, sumaflavon, dan taiwaniaflavon (Gambar 3). Beberapa senyawa biflavonoid dengan mudah ditemukan pada berbagai spesies Selaginella, sedang beberapa senyawa biflavonoid lainnya hanya ditemukan pada spesies tertentu. Amentoflavon dan ginkgetin merupakan senyawa biflavonoid Selaginella yang paling melimpah, paling luas sebarannya, dan paling mudah ditemukan. Sekurang-kurangnya 11 spesies Selaginella telah diuji kandungan amentoflavonnya (Sun dkk., 2006). Adapun sumaflavon baru dilaporkan dari S. tamariscina (Yang dkk., 2006; Lee dkk., 2008). Terdapat pula biflavonoid yang jarang ditemukan pada Selaginella namun dapat ditemukan pada tumbuhan lain. Pada Selaginella keberadaan taiwaniaflavon baru dilaporkan dari S. tamariscina (Pokharel dkk., 2006), namun senyawa ini ditemukan pula pada tumbuhan lain seperti Taiwania cryptomerioides Hayata (Kamil dkk., 1981).


c1 a

R

R

c2

R R

R

b f

d h

e i

g

Gambar 2. Sintesis biflavonoid. a. Penggabungan Ullmann dari flavon terhalogenasi, b. Pembentukan biflavonoid melalui bifenil, c. Penggabungan silang flavon dengan katalis metal (c1. Stille, c2. Suzuki), d. Penyusunan ulang Wessely-Moser, e. Penggabungan fenol oksidatif dari flavon, f. Kondensasi Ullmann dengan garam flavon, g. Substitusi nukleofilik, h. Dehidrogenasi biflavanon menjadi biflavon, i. Hidrogenasi biflavon menjadi biflavanon (Rahman dkk., 2007).


OH

OH

OCH3 OH

OH HO

OH

O HO

HO OH

HO

2’

8”

CH3O HO

CH3O CH3O

O OH

Amentoflavon

O

OCH3

OH

O

2’,8”-biapigenin

Ginkgetin

Heveaflavon

OCH3

OCH3

OCH3 CH3O

HO

HO

HO

CH3O Hinokiflavon OH

O

Hinokiflavon

Isokriptomerin

Podocarpusflavon A

Kayaflavon

OH

OH

HO

OH OH

Robustaflavon

Sumaflavon

HO

Taiwaniaflavon

Gambar 3. Struktur biflavonoid Selaginella yang telah diidentifikasi: amentoflavon, 2',8''-biapigenin, ginkgetin, heveaflavon, hinokiflavon, isokriptomerin, kayaflavon, robustaflavon, sumaflavon, taiwaniaflavon, dan podocarpusflavon A.


B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

70

Tabel 1. Keanekaragaman senyawa biflavonoid pada beberapa spesies Selaginella dan bioaktivitasnya. Spesies S. articulata

Pelarut -

Senyawa -

Bioaktivitas

Menetralkan pendarahan dan menghambat aktivitas proteolisis racun ular terhadap kasein (Otero dkk., 2000) S. bryopteris H2O (Sah dkk., 2005) Amentoflavon, hinokiflavon (Swamy dkk., 2006) Membantu pertumbuhan sel dan melindungi tubuh dari cekaman radikal bebas hidrogen peroksida (Sah dkk., 2005) S. chrysocaulos Amentoflavon, hinokiflavon (Swamy dkk., 2006) S. delicatula Robustaflavon 7,4',4'''-trimetil eter; robustaflavon Sitotoksik terhadap sel kanker P-388 dan HT-29 (Chen dkk., 2005b), 4',4'''-dimetil eter; 2,3-dihidroamentoflavon 7,4',7''- sel kanker Raji dan Calu-1, serta sel limfoma dan leukemia (Lin dkk., trimetil eter; 2,3-dihidroamentoflavon 7,4'-dimetil 2000) eter; 2'',3''-dihidroisokriptomerin 7-metil eter (Chen dkk., 2005b); robustaflavon 4'-metil eter; robustaflavon 7,4'-dimetil eter; 2",3"dihidrorobustaflavon 7,4',-dimetil eter; 2",3" 'dihidrorobustaflavon 7,4', 7"-trimetil eter; robustaflavon; amentoflavon (Lin dkk., 2000); S. denticulata Robustaflavon (Lopez-Saez dkk., 1994) Anti mutagenik moderat (Lee dan Lin 1988), sitotoksik terhadap sel S. doederleinii H2O mendidih (Lee dan Amentoflavon, 7,7''-di-O-metilamentoflavon, Lin 1988); EtOH (Lin 7,4',7'',4'''-tetra-O-metilamentoflavon, heveaflavon kanker L 929 (Lin dkk., 1994) dan kanker (cholangiocarcinoma), tetapi dkk., 1994) (Lin dkk., 1994) kemungkinan mengandung senyawa tertentu yang menekan kondisi sumsum tulang (Pan dkk., 2001); juga bersifat S. involvens Menghambat produksi dan efek radikal bebas dari nitrat oksida (NO) dan ekspresi iNOS/IL-1 β; anti jerawat non-antibiotic, dan antiinflamasi (Joo dkk., 2007) S. labordei Antioksidan yakni menghambat ekspresi gen COX-2 pada sel kanker usus besar (Chen dkk., 2005b). S. lepidophylla Robustaflavon (Qosim dkk., 1985) S. moellendorffii EtOH (Sun dkk., 1997; Ginkgetin, amentoflavon 7,4',7",4"'-tetrametil eter, Memiliki penghambatan moderat terhadap sel kanker ovarian Su dkk., 2000) kayaflavon, podocarpusflavon A, amentoflavon adenocarcinoma (OVCAR-3)(Sun dkk., 1997); anti-metastasis pada (Sun dkk., 1997; Su dkk., 2000) sel kanker paru-paru A549 dan Lewis lung carcinoma (LLC) (Yang dkk., 2007); apoptosis akibat aktivasi caspase oleh hidrogen peroksida (Su dkk., 2000) S. pallescens Kloroform-MeOH Antimikrobia moderat dan anti spasmodik karena dapat menghambat (Rojas dkk., 1999) kontraksi spontan usus ileum (Rojas dkk., 1999) Antispasmodik terhadap usus ileum; dan mampu memperkuat tekanan S. rupestris Amentoflavon (Chakravarthy dkk., 1981) jantung pada kasus nor-modinamik dan hipodinamik (Chakravarthy dkk., 1981) S. sinensis. EtOH (Dai dkk., 2006) Amentoflavon (Ma dkk., 2001), hinokiflavon; 2,3- Antivirus terhadap respiratory syncytial virus (RSV) (Ma dkk., 2001) dihidroamentoflavon (Dai dkk., 2006) S. tamarascina H2O, n-BuOH (Zheng Amentoflavon (Ogawa dkk., 1971; Lee dkk.,. • Anti kanker (Kang dkk., 1998, 2001, 2004; Woo dkk., 2006; Jung dkk., 2006) 1996; Blake, 2004; Kang dkk., 2004; Woo dkk., dkk., 2006, 2007); anti kanker terhadap sel leukemia, mereduksi 2005; Abla dkk., 2006; Swamy dkk., 2006; Jung EtOAc (Jung dkk., pertumbuhan sel epithelium kanker, tidak mempengaruhi limfosit dkk., 2006, 2007; Lee dkk., 2008); sumaflavon 2006, 2007); MeOH normal; serta kemopreventif terhadap kanker lambung (Lee dkk., (Lee dkk., 2008); EtOH (Yang dkk., 2005; Lee dkk., 2008); robustaflavon 1999); menghambat aktivitas fosfolipase Cγ1 dan proliferasi sel (Dai dkk., 2005); H2O, (Yang dkk., 2005); hinokiflavon (Ogawa dkk., kanker (Lee dkk.,. 1996); menghambat proliferasi sel mesangial 1971; Abla dkk., 2006; Swamy dkk., 2006); pelarut organik (Lee yang diaktivasi IL-1β dan IL-6; Mengurangi produksi IL-1β dan dkk., 1999); EtOAc, n- taiwaniaflavon (Pokharel, dkk., 2006); 2',8''TNF-α (Kuo dkk., 1998); BuOH (Yin dkk., 2005); biapigenin (Woo dkk., 2006); isokriptomerin • Anti-inflamasi (Kang dkk., 1998; Pokharel, dkk., 2006; Woo dkk., (Ogawa dkk., 1971; Kang dkk., 1998; Abla dkk., MeOH-EtOAc (Kang 2005, 2006; Jung dkk., 2006, 2007); mempengaruhi induksi iNOS 2006). dkk., 1998) dan COX-2 pada makrofage RAW264.7 yang dirangsang lipopolisakarida (Pokharel, dkk., 2006); menghambat pembentukan NO dengan menghambat kinerja lipopolisakarida yang menginduksi pembentukan NO (Yang dkk., 2005); menghambat kinerja NF-κB dengan mengeblok degradasi I-κBα (Woo dkk., 2005); • Antioksidan, menginduksi apoptosis sel HL-60 yang diaktifkan caspase (Ahn dkk., 2006) • Antifungi (Woo dkk., 2005; Jung dkk., 2006, 2007) • Anti iradiasi UV, menghambat aktivitas MMP-1 pada fibroblast kulit setelah iradiasi UV (Lee dkk., 2008) • Anti alergi (Dai dkk., 2005) • Memiliki aktivitas estrogenik (Zheng dkk., 2006) • Memacu aktivitas vasorelaksan (Kang dkk., 2004; Yin dkk., 2005) • Meningkatkan kadar insulin dan menurunkan kadar gula darah penderita diabetes (Miao dkk., 1996); • Immunosuppressan dan analgesik (Kang dkk., 1998; 2001) • Neuroprotektan (Han dkk., 2006) S. willdenowii 4',7"-di-O-metilamentoflavon, isokriptomerin, 7"- Sitotoksik terhadap sel kanker (Silva dkk., 1995) O-metilrobustaflavon (Silva dkk., 1995); Selaginella spp. Meningkatkan radiosensitisasi sel kanker (terminal nasopharyngeal carcinoma) terhadap radioterapi, namun tidak meningkatkan toksisitas akut radioterapi (Zheng dkk., 2006). Keterangan: Bagian tumbuhan yang digunakan adalah seluruh bagian aerial, seluruh tumbuhan, atau daun saja. * = penemuan senyawa baru.


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

Amentoflavon, biflavonoid paling umum ditemukan pada Selaginella, memiliki berbagai aktivitas biologi, termasuk antioksidan (Mora dkk., 1990; Cholbi dkk., 1991), antivirus (HIV: Lin dkk., 1997; influenza, herpes, RSV: Lin dkk., 1999; Ma dkk., 2001), anti-fosfolipase CÎł1 (Lee dkk., 1996), vasorelaksan (Kang dkk., 2005), anti kanker (Silva dkk., 1995; Lin dkk., 2000), anti-inflamasi (Gambhir dkk., 1978; Baureithel dkk., 1997; Gil dkk., 1997; Kim dkk., 1998), antimikrobia (Woo dkk., 2005; Jung dkk., 2007), anti tukak lambung (Kim, 1998), anti depresi (Baureithel dkk., 1997), anksiolitik (penenang) (Cassels dkk., 1998, 1999), dan analgesik (Silva dkk., 2001). Gugus tambahan akibat proses hidroksilasi, metoksilasi, metilasi, dan glikosilasi sangat mempengaruhi bioaktivitas biflavonoid. Kandungan biflavonoid pada beberapa spesies Selaginella disajikan pada Tabel 1. Selaginella umumnya diekstraksi dari keseluruhan bagian tumbuhan, meskipun kadang-kadang hanya disebut sebagai daun atau herba. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam pelarut, mulai dari pelarut polar, semi polar hingga non polar, misalnya dengan memasak dalam air mendidih, isolasi dengan metanol, etanol, butanol, etil asetat, kloroform, atau isolasi dengan pelarut campuran seperti alkohol-air, alkohol-etil asetat, dan alkohol-kloroform. Metanol dan etanol merupakan pelarut yang paling sering digunakan untuk mengisolasi biflavonoid. Pelarut dan cara isolasi yang digunakan untuk mengekstraksi Selaginella sangat mempengaruhi keragaman struktur kimia yang diperoleh. Keragaman struktur kimia biflavonoid ini sangat mempengaruhi bioaktivitas ekstrak tersebut. Penyakit yang paling banyak dijadikan sasaran pengobatan dengan ekstrak Selaginella adalah kanker. Di samping itu, ekstrak Selaginella juga memiliki berberapa kegunaan lagi, yaitu sebagai antioksidan, anti-inflamasi, antimikrobia (virus, bakteri, fungi, dan protozoa), anti iradiasi sinar UV, anti alergi, vasorelaksan, anti diabetes, menjaga tekanan darah, anti hemoragik, dan antinosiseptif. Peran bioaktivitas biflavonoid yang diekstraksi dari beberapa spesies Selaginella disajikan pada Tabel 1. Penggunaan Selaginella secara luas dalam pengobatan tradisional umumnya dilakukan di Asia Timur, yaitu Cina, Jepang dan Korea. Spesies yang paling banyak digunakan adalah S. tamariscina, hal ini didukung oleh tingginya keanekaragaman biflavonoid pada spesies tersebut. S. tamariscina mengandung amentoflavon, hinokiflavon, 2',8''biapigenin, isokriptomerin, sumaflavon, dan taiwania-flavon. Ekstrak S. tamariscina memiliki beragam kegunaan antara lain: anti kanker, antioksidan, anti-inflamasi, antifungi, menghambat iradiasi sinar UV, anti alergi, vasorelaksan, meningkatkan kadar insulin dan menurunkan gula darah pada penderita diabetes, serta mempengaruhi siklus reproduksi. Pengaruh terakhir kemungkinan merupakan efek dari kandungan steroid (Zheng dkk., 2007). Kandungan biflavonoid pada beberapa spesies Selaginella dan peran bioaktivitasnya disajikan pada Tabel 1.

SELAGINELLA DALAM OBAT TRADISIONAL Selaginella telah dimanfaatkan oleh berbagai peradaban di dunia sebagai tumbuhan obat sejak dahulu kala. Tumbuhan ini telah dikenal dalam pengobatan Cina maupun India sejak ribuan tahun yang lalu. Pemanfaatan Selaginella relatif merata di seluruh dunia. Di banyak daerah di Indonesia, tumbuhan ini digunakan untuk perawatan pasca persalinan atau mengobati luka. Tunas

71

muda Selaginella plana (Desv. ex Poir.) Hieron. dapat dimakan sebagai lalapan dan untuk pengobatan (Heyne, 1927). Masyarakat Dayak di sekitar TN Kayan Mentarang, Kalimantan Timur menggunakan S. plana untuk mengobati pendarahan (Uluk dkk., 2001). Masyarakat Sunda dan Kasepuhan di sekitar TN Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat menggunakan berbagai spesies Selaginella untuk mengobati luka (Nasution, 1993), pasca persalinan dan gangguan menstruasi (ADS, 2008, pengamatan pribadi). Daun S. plana yang direbus diminum sebagai tonik untuk perawatan pasca persalinan (Harada dkk., 2002). Di Malaysia, Selaginella digunakan untuk meningkatan daya tahan tubuh (Batugal dkk., 2004). Di Sabah, Selaginella argentea (Wall. ex Hook. & Grev.) Spring dan S. plana digunakan untuk mengobati sakit kepala dan demam tinggi (Ahmad dan Raji, 1992). S. tamariscina digunakan di Korea untuk mengobati nyeri haid, luka memar, dan asma, sedangkan di Sri Lanka digunakan untuk mengobati sakit kepala, kelumpuhan, dan santet. S. myosurus digunakan untuk mengobati asma, demam dan kelelahan (Bouquet dkk., 1971). Di Vanuatu, Selaginella firmuloides Warb. digunakan untuk membantu persalinan (Bourdy dan Walter, 1992). Di Rusia bagian timur S. tamariscina digunakan untuk menghambat proses penuaan (Mamedov, 2005). Di Cina dan Korea Selatan S. doederleinii digunakan sebagai obat anti kanker (Lee dkk., 1992; Lin dkk., 1994b). Di Asia Tenggara spesies ini digunakan obat berbagai penyakit dan suplemen makalan (ARCBC, 2004). Di India, S. involvens digunakan untuk memperpanjang usia dan menghindari penyakit-penyakit yang timbul akibat lanjut usia (Dixit dan Bhatt, 1974; Sequiera, 1998). Selaginella delicatula (Desv. ex Poir.) Alston digunakan untuk mengobati penyakit lambung, sedangkan Selaginella wightii Hieron untuk mengobati infeksi saluran kemih (Dixit dan Bhatt, 1974; Mathew dkk., 1999). Di Laos, S. delicatula digunakan sebagai obat penenang (ARCBC, 2004). Di Brazil, Selaginella convoluta (Arn.) Spring digunakan untuk mencegah dan mengobati penyakit-penyakit yang terkait sistem reproduksi perempuan (de Almeida-Agra dan Dantas, 2004). Di Guyana, herba kering Selaginella parkeri (Hook. & Grev.) Spring (= Selaginella pedata Klotzsch) dibakar dengan api dan ditekankan ke tumit bayi dengan lembut agar segera dapat berjalan (van Andel, 2000); S. parkeri dan Selaginella epirrhizos Spring juga digunakan untuk mengobati sakit kepala (DeFilipps dkk., 2004). Secara tradisional Selaginella digunakan sebagai obat beberapa penyakit seperti: kanker, infeksi saluran pernafasan, perlukaan, gangguan hati, infeksi saluran kencing, patah tulang dan rematik. Bagian yang digunakan adalah seluruh bagian tumbuhan, meskipun kadang-kadang hanya disebut daun (herba). Pemakaiannya dapat dilakukan secara tunggal maupun kombinasi, segar atau dikeringkan dalam bentuk serbuk, langsung dimakan atau dimasak dahulu (Dalimartha, 1999; Wijayakusuma, 2004). Tumbuhan ini berasa manis dan memeberi efek hangat (Bensky dkk., 2004). Berikut dideskripsikan beberapa resep jamu tradisional yang menggunakan Selaginella sebagai bahan utamanya. Pada pengobatan kanker paru-paru, sebanyak 60 g herba kering S. doederleinii, 15 g daun sambiloto (Andrographis paniculata Ness.) kering, dan 5 g buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) kering direbus pada api kecil dengan 800 mL air, hingga tersisa separuh, lalu disaring, setelah dingin diminum 2-3 kali sehari. Dalam kasus radang paru-paru dapat digunakan 30 g herba kering dan 30 g daun pegagan (Centella asiatica (L.) Urb.) segar yang direbus dengan sekitar 800 mL air hingga tersisa


72

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

separuhnya, lalu disaring dan diminum dua kali sehari, dosis setiap kali minum 200 mL. Pada kanker rahim, nasofaring, paru-paru, dan kanker lainnya, sebanyak 60 g herba kering direbus selama 3-4 jam dengan api kecil, lalu disaring dan diminum setelah dingin. Pada infeksi saluran nafas, batuk, radang paru, radang amandel, dan kasus infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) lainnya, sebanyak 30 g herba kering direbus, lalu diminum. Pada jari bengkak misalnya akibat gigitan ular atau keseleo, herba segar dilumatkan dan ditempel di tempat yang sakit. Pada tulang patah sebanyak 15-30 g herba segar direbus, lalu diminum, serta diperkuat dengan pemakaian luar, dengan menempelkan herba segar yang telah dilumatkan pada tempat yang patah tulang. Pada gangguan hati dan infeksi saluran kencing, herba kering sebanyak 15-30 g direbus selama 3-4 jam, disaring, setelah dingin diminum sekaligus. Untuk obat eksim, sebanyak 10 g herba segar S. uncinata, dicuci, dan ditumbuk halus kemudian ditempelkan pada bagian yang sakit, dibiarkan mengering, lalu diganti lagi dengan yang masih segar (Dalimartha, 1999; Wijayakusuma, 2004). Manfaat obat Selaginella membuka peluang usaha komersial. Di Indonesia banyak ditawarkan Selaginella dalam bentuk serbuk kering, baik Selaginella lokal maupun impor dari Cina, khususnya S. tamariscina dan S. doederleinii. Di beberapa negara Afrika, seperti Zambia dan Zimbabwe, Selaginella imbricata (Forsk.) Spring ex Decaisne diperjualbelikan sebagai bahan obat hingga mengancam kelestariannya di alam (Cunningham, 1993). Pemanfaatan Selaginella tidak hanya terbatas untuk pengobatan. Di Gabon, Selaginella myosurus (Sw.) Alston digunakan untuk kepentingan ritual atau budaya (Sassen dan Wan, 2006).

PERAN BIOMEDIS BIFLAVONOID Sifat-sifat biflavonoid memerlukan evaluasi nilai medis dan nutrisinya (Harborne dan Williams, 2000). Penggunaan Selaginella dalam pengobatan tradisional Cina memiliki sejarah panjang selama ratusan tahun, meskipun pemanfaatannya relatif terbatas pada beberapa spesies yaitu: S. tamariscina, S. tamariscina var. pulvinata, S. doederleinii, S. moellendorffii, S. uncinata dan S. involvens (Chang dkk., 2000; Lin dkk.,1991; Wang dan Wang, 2001). Dari kajian pustaka diketahui terdapat sejumlah spesies Selaginella dengan beragam kandungan biflavonoid dan dengan beragam khasiat medis (Tabel 1). Kajian biokimia dan etno-farmakologi terhadap spesies Selaginella dari Indonesia jarang dilakukan, meskipun beberapa spesies digunakan dalam obat tradisional, misalnya S. plana. Peran medis biflavonoid yang terpenting adalah sebagai antioksidan, anti-inflamasi, dan anti kanker. Ketiganya pada dasarnya bekerja pada lingkungan yang sama dan saling berkaitan, dimana antioksidan dapat mencegah kanker, sedangkan inflamasi merupakan respon tubuh terhadap kanker. Antioksidan Oksidasi merupakan kejadian alamiah dalam proses metabolisme tubuh untuk menghasilkan energi, namun proses ini menghasilkan sampah radikal bebas yang dapat menyebabkan berbagai penyakit (Halliwell dan Gutteridge, 1984). Secara alamiah semua organisme memiliki mekanisme untuk mengatasi radikal bebas, misalnya dengan enzim superoksida dismutase (SOD) dan katalase, atau dengan senyawa asam askorbat, tokoferol, dan glutation

(Mau dkk., 2002). Namun mekanisme pertahanan diri oleh antioksidan ini dapat melemah akibat penuaan atau penyakit, sehingga sangat diperlukan asupan antioksidan dari luar melalui makanan (Turkoglu dkk., 2006). Cekaman oksidatif diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS), yaitu berbagai radikal bebas seperti anion -2 superoksida (O ), radikal perhidroksi (HOO ) dan radikal hidroksil (HO*). Radikal-radikal ini terbentuk akibat reduksi elektron molekul oksigen. ROS dapat menyebabkan peroksidasi pada membran lipid, sehingga menyebabkan kerusakan fosfolipid dan lipoprotein (Pryor, 1973). Keikutsertaan antioksidan dalam metabolisme aerob dapat mengimbangi kerusakan oksidatif ini. Pada dasarnya, makhluk hidup memiliki pertahanan diri terhadap cekaman oksidatif (Sato dkk., 1996), namun asupan antioksidan dari tumbuhan dapat meningkatkan daya tahan tubuh (Stajner dkk., 1998; Sanchez-Moreno dkk., 1999; Malencic dkk., 2000), Cekaman oksidatif dapat memicu timbulnya penuaan dini dan penyakit degeneratif seperti kanker, rematik, aterosklerosis, sirosis, dan lain-lain (Freeman dan Crapo, 1982; Halliwell dan Gutteridge, 1984; Maxwell dan Lip, 1997). Tumbuhan menghasilkan berbagai senyawa antioksidan untuk menangkal radikal bebas, di antaranya biflavonoid, βkaroten, vitamin C dan E (Gaspar dkk., 1994). Para peneliti menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan biflavonoid lebih baik dari pada vitamin C, E, dan β-karoten (Canada dkk., 1990; Myara dkk., 1993). Pemberian antioksidan dapat menurunkan tingkat cekaman oksidatif dan mencegah terjadinya komplikasi berbagai penyakit (Rose dkk., 1982). Ekstrak air Selaginella bryopteris (L.) Bak. dapat meningkatkan pelindung terhadap cekaman oksidatif. Perlakuan kultur sel mamalia dengan 1-2,5% ekstrak air dapat melindungi kultur sel dari hidrogen peroksida (Sah dkk., 2005). Aktivitas antioksidan Selaginella labordei Hieron ditunjukkan dari kemampuannya untuk menghambat enzim xantin oksidase dan lipoksigenase, serta memakan radikal bebas (Chen dkk., 2005b). Ekstrak S. involvens mampu menghambat produksi nitrat oksida (NO) dan ekspresi iNOS/IL-1β (Joo dkk., 2007). Ekstrak air dari S. involvens, S. delicatula dan S. wightii bersifat antioksidan, meskipun yang berpengaruh secara signifikan terhadap lipid peroksidase hanya S. involvens (EC50 = 2 μg/mL). Hal ini mendukung pandangan tradisional yang menganggap tumbuhan ini dapat memperpanjang usia. Ekstrak ini secara umum tidak beracun, namun pada kadar tinggi dapat menurunkan kadar kolesterol darah (Gayathri dkk., 2005). Amentoflavon yang diisolasi dari S. tamariscina menghambat produksi NO pada makrofage melalui inaktivasi nuclear factor-κB (NF-κB). Sumaflavon juga mampu menghambat produksi NO, namun dengan mengeblok lipopolisakarida yang menginduksi ekspresi gen iNOS, sedangkan robustaflavon tidak dapat menghambat produksi NO (Yang dkk., 2006). Ginkgetin dilaporkan juga berkhasiat sebagai antioksidan (Sah dkk., 2005), namun laporan lain menyatakan senyawa ini dapat mengalami oksidasi spontan sehingga meningkatkan kadar hidrogen peroksida (Su dkk., 2000). Di sisi lain, ginkgetin dapat menggantikan caffein dalam bahan makanan dan obat tanpa menimbulkan kecanduan (Zhou, 2002). Anti-inflamasi Inflamasi merupakan pembengkakan akibat respon tubuh terhadap luka, kebakaran, infeksi mikrobia, dan lainlain. Proses ini menyebabkan perubahan aliran darah, peningkatan tekanan darah, dan kerusakan jaringan,


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

karena terbentuknya ROS dan berbagai mediator inflamasi lokal seperti prostaglandin, leukotriena, fosfolipase A-2 (PLA-2), siklooksigenase-2 (COX-2), dan lipoksigenase (Wiart, 2007). PLA-2 dan COX-2 merupakan penyebab utama inflamasi (Berghofer dan Holzl, 1989; Ariyasena dkk., 2004; Chen dkk., 2006; Lim dkk., 2006; Son dkk., 2006). Amentoflavon, taiwaniaflavon, dan ginkgetin dari S. tamariscina mampu menghambat inflamasi dengan mempengaruhi induksi iNOS dan COX-2 pada makrofage RAW 264.7 yang distimulasi dengan lipopolisakarida. Ketiganya menghambat transaktivasi gen iNOS dan COX-2 dengan mengeblok translokasi sub unit p65 dari NF-κB. Aktivasi NF-κB dipengaruhi oleh fosforilasi dan degradasi IκBα yang juga dihambat oleh ketiganya (Grijalva dkk., 2004; Woo dkk., 2005; Pokharel dkk., 2006). Amentoflavon yang diisolasi dari S. tamariscina dapat menghambat aktivitas fosfolipase Cγ1 dengan IC50 = 29 uM, tetapi tidak menghambat aktivitas protein kinase (Lee dkk., 1996). Amentoflavon merupakan senyawa anti-inflamasi dengan menghambat aktivitas PLA-2 dan COX-2 (Kim dkk., 1988). Penelitian lain menunjukkan bahwa senyawa 2',8''biapigenin dapat menghambat transaktivasi gen iNOS dan COX-2 melalui inaktivasi NF-κB dengan mencegah translokasi inti p65 (Woo dkk., 2006). Amentoflavon, gingetin, 2',8''-biapigenin, dan taiwaniaflavon dapat dikembangkan untuk terapi anti-inflamasi. Hal ini sejalan dengan resep tradisional Cina yang menggunakan ekstrak S. tamariscina untuk mengatasi inflamasi (Grijalva dkk., 2004; Woo dkk., 2005, 2006; Pokharel dkk., 2006). Anti kanker Penyakit kanker merupakan akibat terganggunya homeostasis metabolisme tubuh, hal ini terkait erat dengan fungsi antioksidan dan anti-inflamasi. Produksi berlebihan NO dan prostaglandin, akibat aktivitas iNOS dan COX-2, mendorong terjadinya penyakit kanker (Catero dkk., 2006). Senyawa biflavonoid yang berguna untuk mengatasi kedua masalah tersebut, semestinya berguna pula untuk mengatasi kanker, namun ternyata tidak semua biflavonoid yang berperan sebagai antioksidan dan anti-inflamasi bermanfaat pula sebagai anti kanker. Biflavonoid yang paling kuat menghambat kanker adalah ginkgetin, sedangkan senyawa lainnya memberikan hasil bervariasi, tergantung jenis sel kankernya. Aktivitas sitotoksik yang menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan sel kanker menjadi landasan pengembangan obat anti kanker (Kim dkk., 2002). Agen anti kanker dapat diperoleh dari bahan alam dan turunan-turunannya (Rocha dkk., 2001). Tumbuhan merupakan sumber utama obat anti kanker (Newman dkk., 2000; Cragg dan Newman, 2005). Beberapa ekstrak kasar dan senyawa murni biflavonoid dari Selaginella memiliki efek anti kanker. Ginkgetin yang diekstrak dengan etanol dari S. moellendorffii mampu menghambat pertumbuhan sel kanker ovarian adenocarcinoma (OVCAR-3) (IC50 = 1,8 μg/mL). Biflavonoid lain dari tumbuhan yang sama, seperti amentoflavon, amentoflavon 7,4',7",4"'-tetrametil eter, kayaflavon, dan podocarpusflavon A, tidak memiliki bioaktivitas tersebut (Sun dkk., 1997). Pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa efek sitotoksik ginkgetin dapat menyebabkan kematian sel-sel kanker OVCAR-3, cervical carcinoma (HeLa) dan foreskin fibroblast (FS-5) secara berturut-turut dengan EC50 = 3,0, 5,2, dan 8,3 μg/mL. Pemberian ginkgetin sebanyak 3 μg/mL selama 24 jam menyebabkan terjadinya fragmentasi dan terlepasnya ikatan jalin ganda DNA. Namun pemberian ginkgetin sebanyak 5 μg/mL selama 30 menit menyebabkan

73

peningkatan hidrogen peroksida karena oksidasi spontan ginkgetin, hal ini dapat dihambat dengan senyawa antioksidan seperti vitamin C, vitamin E dan katalase (Su dkk., 2000). Pemberian amentoflavon pada sel kanker melanoma B16F-10, secara signifikan mereduksi pembentukan nodus tumor sejalan dengan tereduksinya tingkat kolagen paruparu, asam sialat, dan γ-glutamil transpeptidase. Pemberian amentoflavon meningkatkan penghambat ekspresi matriks metalloprotease-1 dan -2 (MMP-1 dan -2), mempengaruhi sitokin, menghambat aktivasi dan translokasi sub unit p65, p50, c-Rel dari NF-κB, dan faktor transkripsi lainnya seperti c-fos, factor-2, dan adenosina monofosfatase siklis (Guruvayoorappan dan Kuttan, 2007). Terbukti, amentoflavon yang tidak mampu menghambat pertumbuhan sel OVCAR3 (Sun dkk., 1997), ternyata mampu menghambat pertumbuhan sel melanoma B16F-10, aktivitas sitokrom P450 (Moltke dkk., 2004), DNA topoisomerase I dan II, serta menginduksi kerusakan DNA dan kromosom, sehingga berpotensi sebagai kandidat anti kanker (Catero dkk., 2006). Biflavonoid dari ekstrak S. delicatula, yaitu robustaflavon 4'-metil eter dan 2",3"-dihidrorobustaflavon 7,4',-dimetil eter secara signifikan dapat menghambat pertumbuhan sel tumor Raji dan Calu-1 (Lin dkk., 2000). Ekstraksi bagian aerial S. delicatula yaitu: robustaflavon 4',4'''-dimetil eter dan 2,3-dihidroamentoflavon 7,4'-dimetil eter menunjukkan aktivitas sitotoksik (EC50 < 4 μg/mL) terhadap sel kanker P388 dan HT-29 (Chen dkk., 2005b). Ekstrak etanol S. doederleinii yang bertipe amentoflavon dan heveaflavon bersifat sitotoksik terhadap sel kanker murine L 929 (Lin dkk., 1994). Ekstrak air S. doederleinii memiliki aktivitas anti mutagenik sedang terhadap sel kanker (Lee dan Lin, 1988). Hal ini mendukung kegunaan S. doederleinii sebagai anti kanker dalam pengobatan Cina. Pemberian ekstrak S. tamariscina dapat menurunkan ekspresi MMP-2 dan -9, menurunkan ekspresi aktivator urokinase plasminogen, serta menghambat pertumbuhan sel metastatik A549 dan Lewis lung carcinoma (LLC) (Yang dkk., 2007). Ekstrak metanol S. tamariscina dapat menghambat proliferasi sel mesangial yang diaktivasi oleh IL-1α dan IL-6 (IC50 = 56,0 ± 2,0 μg/mL), namun tidak terjadi sitotoksisitas. Mekanisme penghambatannya kemungkinan terkait dengan perusakan ekspresi gen dan produksi sitokin pada sel mesangial (Kuo dkk., 1998). Ekstrak S. tamariscina dengan pelarut organik secara signifikan menunjukkan efek anti kanker pada kultur sel leukemia HL-60, dan tidak mempengaruhi sel limfosit normal. Sedangkan ekstrak air dapat meningkatkan ekspresi gen penekan tumor p53 dan menahan induksi G1 pada siklus sel. Pemberian S. tamariscina sebanyak 1% dari makanan harian dapat mereduksi secara signifikan (P < 0,05) proliferasi sel inti antigen dari epitelium lambung (Lee dkk., 1999). Ekstrak S. tamariscina dapat menyebabkan fragmentasi DNA dan penggumpalan inti, semuanya ini merupakan sifat apoptosis, namun sitotoksisitas terhadap sel kanker leukemia HL-60 tertekan oleh ROS, termasuk SOD dan katalase. (Ahn dkk., 2006). Fraksi kloroform, etil asetat dan butanol dari ekstrak air S. tamariscina dapat merusak sel kanker leukemia U937, dan tidak berpengaruh pada limfosit normal. Ketiga fraksi tersebut kemungkinan secara genotoksik khusus menyerang sel kanker yang sedang aktif membelah. Fraksi air dari ekstrak air S. tamariscina dapat menginduksi ekspresi gen supresor tumor p53, sedangkan fraksi lain tidak. Fraksi air dapat mematikan sel leukimia U937, sedang fraksi lainnya hanya menghambat pertumbuhan sel


74

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

tersebut (Lee dkk., 1996). Fakta di atas mendukung penggunaan ekstrak S. tamariscina untuk terapi anti kanker dalam pengobatan tradisional Cina. S. tamariscina berpotensi sebagai kandidat anti metastatik kanker paruparu (Yang dkk., 2007) dan agen kemopreventif kanker lambung (Lee dkk., 1999). Isokriptomerin dan amentoflavon dari S. tamariscina berkhasiat sebagai anti kanker yang efektif disamping sebagai anti-inflammasi, immunosuppressan dan analgesik (Kang dkk., 1998, 2001). Ekstrak daun S. willdenowii mengandung 4',7"-di-Ometilamentoflavon, isokriptomerin dan 7"-O-metilrobustaflavon yang secara signifikan sitotoksik terhadap berbagai sel kanker (Silva dkk., 1995). Pada pasien terminal nasopharyngeal carcinoma (NPC) yang dikenai radioterapi, kecepatan hilangnya NPC pada pasien yang diberi Selaginella sebanyak 30 g per hari secara signifikan lebih tinggi dari pada tanpa perlakuan. Ekstrak Selaginella dapat meningkatkan radiosensitivitas NPC dan tidak meningkatkan toksisitas akut radioterapi (Zheng dkk., 2006). Sifat anti kanker terhadap sel leukemia HL60 juga dimiliki beberapa senyawa steroid dari S. tamariscina (Gao dkk., 2007). Antimikrobia (virus, bakteri, fungi, dan protozoa) Penemuan senyawa-senyawa antibiotik baru perlu terus dilakukan, karena mikrobia cenderung membangun resistensi terhadap antibiotik dengan melakukan mutasi dan hadir dalam bentuk baru yang lebih resisten. Ketidakefektifan suatu antibiotik akan semakin meningkatkan resistensi mikrobia (Iwu dkk., 1999; Levy dan Marshall, 2004; Hancock, 2005). Penggunaan antimikrobia dari tumbuhan semakin mendapatkan tempat karena antimikrobia tradisional yang dihasilkan oleh mikrobia mulai tidak efektif karena beberapa penyakit baru tahan terhadap obat tersebut, khususnya penyakit yang diakibatkan virus (Lewis dkk., 1995; Borris, 1996). Sifat antimikrobia Selaginella umumnya lemah kecuali beberapa biflavonoid tertentu. Antivirus. Amentoflavon memiliki aktivitas antivirus terhadap virus influenza, herpes, dan respiratory syncytial virus (RSV) (Lin dkk., 1999; Ma dkk., 2001). Amentoflavon yang diisolasi dari ekstrak etanol S. sinensis menunjukkan penghambatan terhadap RSV (IC50 = 5,5 μg/mL) (Ma dkk., 2001). Senyawa ini juga menunjukkan penghambatan yang signifikan terhadap reseptor serotonin, terutama 5-HT(1D) dan 5-HT(2C), serta reseptor benzodiazepina dan reseptor opioid subtipe h-δ (Butterweck dkk., 2002). Amentoflavon dari ekstrak S. doederleinii dan S. tamariscina berpotensi sebagai antivirus dan anti-inflamasi (Lin dkk., 2000). Amentoflavon secara signifikan menghambat virus influenza A dan B, serta menunjukkan penghambatan sedang terhadap HSV-1 dan -2 (IC50 = 8,5 dan 8,6 μg/mL) (Rayne dan Mazza, 2007). Senyawa biflavonoid lainnya, hinokiflavon mampu menghambat virus influenza sialidase (Yamada dkk., 2007; Miki dkk., 2008) dan memiliki daya hambat yang tinggi terhadap HIV-1 secara in vivo (Lin dkk., 1997). Robustaflavon dan hinokiflavon yang diisolasi dari ekstrak etanol memiliki daya hambat yang tinggi terhadap polimerase HIV-1 RTase secara in vitro (Lin dkk., 1997). Ginkgetin mampu menghambat virus herpes dan sitomegalovirus (Hayashi dkk., 1992), dengan cara menurunkan sintesis protein virus dan menekan transkripsi gen, tanpa menimbulkan keracunan (Middleton dkk., 2000). Sifat antivirus juga dapat diberikan oleh senyawa non biflavonoid, misalnya uncinoside A dan B, suatu glikosida dari S. uncinata, bersifat antivirus kuat terhadap RSV (IC50 = 6,9 dan 1,3 μg/mL), serta antivirus sedang terhadap parainfluenza tipe 3 (PIV-3) (IC50 = 13,8 dan 20,8 μg/mL) (Ma dkk., 2003). Lin dkk. (1998; 1999; 2002) dan Flavin

dkk. (2002) mematenkan efek antivirus beberapa biflavonoid dan turunannya, termasuk robustaflavon, hinokiflavon, dan amentoflavon terhadap virus influenza (A, B), hepatitis (B), human immunodeficiency virus (HIV-1), herpes (HSV-1, HSV-2), dampa zoster (VZV), dan campak. Antibakteri. Ekstrak S. involvens menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes pada kadar di atas 100 μg/mL. Bakteri P. acnes bertanggungjawab atas kondisi inflamasi pada penderita jerawat. Oleh karena itu meskipun tidak bersifat antibiotik, ekstrak S. involvens dapat dikembangkan menjadi obat jerawat karena dapat mencegah inflamasi (Joo dkk., 2007). Di sisi lain, menurut Sannomiya dkk., (2007) amentoflavon menunjukkan aktivitas mutagenik terhadap bakteri Salmonella typhimurium. Lin (2004) mematenkan beberapa senyawa biflavonoid sintetik yang diklaim anti Mycobacterium. Antifungi. Amentoflavon dari ekstrak etil asetat S. tamariscina menunjukkan potensi antifungi melawan beberapa fungi patogen, tanpa menyebabkan hemolisis pada sel eritrosit (Woo dkk., 2005; Jung dkk., 2007). Amentoflavon pada kadar 5 dan 10 μg/mL mampu menghambat pembentukan aflatoksin B1 dan B2 (P<0,001) dari Aspergillus flavus, sehingga dapat dikembangkan untuk menghasilkan agen pengontrol produksi aflatoksin, meskipun tidak mampu menghambat pertumbuhan fungi tersebut (P>0,05) (Gonçalez dkk., 2001). Di sisi lain, amentoflavon dapat menginduksi akumulasi trehalosa pada Candida albicans dan mengganggu transisi dimorfismenya sehingga tidak tumbuh tetapi membentuk hifa semu (Jung dkk., 2006). Amentoflavon menahan siklus pembelahan sel C. albicans pada fase-S, sehingga fungi ini tidak berkembang lebih lanjut. Oleh karena itu, amentoflavon berpotensi menjadi kandidat antifungi, khususnya candidiasis (Jung dkk., 2006; 2007). Antiprotozoa. Turunan amentoflavon memiliki aktivitas anti malaria sedang terhadap Plasmodium falciparum strain W2 (IC50 = 0,98 μg/mL), namun aktivitasnya lemah terhadap strain D6 (IC50 = 2,8 μg/mL) (Rayne dan Mazza, 2007). Amentoflavon dan podocarpusflavon A tidak menunjukan penghambatan terhadap Trypanosoma cruzi (Abe dkk., 2004), sedangkan ginkgetin menunjukkan penghambatan pada IC50 = 11 uM (Weniger dkk., 2006). Neuroprotektif Amentoflavon dan ginkgetin pada Selaginella dapat meningkatkan aktivitas neuroprotektif melawan cekaman sitotoksik, sehingga berpotensi untuk obat penyakit neurodegeneratif seperti stroke dan Alzheimer (Han dkk., 2005; Kang dkk., 2005). Ekstrak S. tamariscina merupakan ramuan yang efektif untuk mencegah dan mengobati penyakit degeneratif otak baik akut seperti stroke maupun kronis seperti demensia. Keduanya menyebabkan hilangnya fungsi otak akibat kerusakan sel-sel syarat secara terus-menerus, sehingga menurunkan daya ingat, kemampuan bahasa, dan kepercayaan diri (Han dkk., 2006). Kemampuan untuk mencegah kerusakan otak ini terutama diberikan oleh kandungan amentoflavon (Kang, 1998). Vasorelaksan Ekstrak etil asetat dan n-butanol dari S. tamariscina dapat memperkuat aktivitas vasorelaksasi. Ekstrak ini dapat melemaskan otot polos vaskular melalui endotelium yang terkait dengan aktivitas NO (Yin dkk., 2005). Amentoflavon dari ekstrak etil asetat S. tamariscina dapat menginduksi relaksasi fenilefrin yang bertanggungjawab terhadap kontraksi aorta. Aktivitas vasorelaksan ini dapat hilang atau


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

terhambat dengan denudasi endotelium atau praperlakuan jaringan aorta dengan N(G)-nitro-L-arginina metil ester (LNAME), 1 H-oksadiazolo[4,3-α]quinoksalin-1-on (ODQ), tetraetilammonium (TEA), metilen biru, dan verapamil, namun tidak dihambat oleh indometasin, glibenklamid, atropin, atau propranolol. Inkubasi cincin aorta berendotelium lengkap dengan amentoflavon meningkatkan produksi cGMP. Senyawa ini dapat mengendorkan otot polos vaskular melalui pemberian sinyal pada endotelium yang terkait dengan NO-cGMP, dengan ikut sertanya saluran non spesifik K+ dan Ca2+ (Kang dkk., 2004; Yin dkk., 2005). Anti iradiasi UV Senyawa flavonoid dikenal memiliki peran sebagai pelindung terhadap iradiasi sinar ultra violet (UV), termasuk beberapa senyawa biflavonoid (Harborne dan Williams, 2000). Ekstrak metanol dari S. tamariscina yang mengandung sumaflavon dan amentoflavon secara signifikan dapat menghambat kemampuan iradiasi sinar UV untuk menginduksi aktivitas MMP-1 dan-2 pada fibroblast primer kulit manusia. Nilai penghambatan sumaflavon dan amentoflavon terhadap iradiasi sinar UV secara berturut turut adalah IC50 = 0,78 dan 1,8 mμM, sedangkan asam retinoat yang digunakan sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 = 10 mμM (Lee dkk., 2008). Potensi kematian sel akibat iradiasi sinar UV juga secara signifikan tereduksi pada sel yang diperlakukan dengan ekstrak air S. bryopteris. Radiasi panas menekan pertumbuhan sel hingga 50%, praperlakuan dengan ekstrak air selama satu jam dapat melindungi sel terhadap tekanan pertumbuhan akibat panas (Sah dkk., 2005). Beberapa kegunaan lain Antispasmodik. Ekstrak kloroform-metanol S. pallescens dapat menghambat kontraksi spontan otot polos ileum (Rojas dkk., 1999). Amentoflavon yang diisolasi dari daun S. rupestris juga memiliki efek antispasmodik yang sama (Chakravarthy dkk., 1981). Amentoflavon juga bersifat anti tukak lambung (Gambhir dkk., 1987; Berghofer dan Holzl, 1989) dan dapat berikatan dengan ROS pada permukaan mukosa lambung, sehingga melindungi sel lambung dari kerusakan (Sannomiya dkk., 2005), dan dapat digunakan untuk pengobatan penyakit lambung (Rojas dkk., 1999). Ekstrak etanol S. bryopteris dapat mengobati tukak lambung (Pandey dkk., 1993). Senyawa non-biflavonoid yang diisolasi dari ekstrak metanol Selaginella lepidophylla (Hook. & Grev.), 3-metilenhidroksi-5-metoksi-2,4-dihidroksi tetrahidrofuran, juga memiliki efek penghambatan ringan terhadap kontraksi uterus, namun tidak pada otot polos ileum dan duodenum (Perez dkk., 1994). Anti alergi. Ekstrak etanol S. tamariscina memiliki aktivitas anti allergi. Ekstrak ini secara signifikan dapat menghambat anafilaksis pada kulit akibat pemberian histamin dan serotonin. Ekstrak ini dapat mereduksi pelepasan histamin dari sel mast peritoneal dan dapat menaikkan tingkat cAMP intraseluler secara signifikan pada kadar 200 μg/mL. Ekstrak ini menghambat sel mast yang menyebabkan reaksi alergi. Efek ini dipercepat oleh reduksi pelepasan amina vasoaktif seperti histamin dari sel mast dengan memperkuat membran sel dan melemahkan aktivitas amina ini. S. tamariscina berguna untuk mengobati alergi dan penyakit lain yang berkaitan dengan alergi (Dai dkk., 2005). Anti diabetes. Ekstrak S. tamariscina yang disuntikkan secara intraperitoneal (25 g/kg) selama 12 hari dapat menurunkan kadar gula darah dan lipid peroksida, serta

75

meningkatkan konsentrasi insulin. Secara histologi penyuntikan ini dapat memperbaiki struktur sel pankreas yang rusak akibat aloksan (Miao dkk., 1996). Ekstrak S. lepidophylla bersifat hipoglikemik (Andrade-Cetto dan Heinrich, 2005). Amentoflavon dari ekstrak metanol S. tamariscina dapat digunakan untuk menangani diabetes tipe-2 dan obesitas melalui penghambatan aktivitas protein tirosina fosfatase 1B (PTP1B) (Na dkk., 2007). Anti hemoragik. Ekstrak S. articulata menunjukkan tingkat netralisasi moderat terhadap efek hemoragik racun ular Bothrops atrox (10 μg/tikus) dengan dosis ekstrak 4 mg/tikus melalui oral (Otero dkk., 2000). Antinosiseptif. Biflavonoid menghasilkan aktivitas antinosiseptif yang signifikan (Ramesh dkk., 1998; Bittar dkk., 2000; Calixto dkk., 2000). Aktivitas antinosiseptif 13,118binaringenin lebih tinggi dari pada beberapa obat analgesik pasaran. Mekanismenya tidak berkaitan dengan reseptor opioid (Bittar dkk., 2000).

KEAMANAN SENYAWA BIOAKTIF Keamanan obat herbal yang dibuat dari bahan alam diyakini lebih tinggi dari pada obat sintetis, bahkan bahan alam ini sering dinyatakan sebagai “aman”, “alamiah” dan “tidak mengandung bahan kimia”. Padahal produk herbal merupakan produk fitokimia, dan beberapa senyawa fitokimia dapat mendorong, menghambat atau meracuni sistem metabolisme manusia (Joy dkk., 1998; Middleton dkk., 2000), sehingga keamanannya perlu diperhatikan (Deegan, 2000; Thadani, 2002). Secara evolusioner, manusia telah membangun pertahan diri terhadap asupan bahan makanan, dimana sebagian besar senyawa kimia akan diubah pada tahap awal metabolisme. Biflavonoid merupakan senyawa yang dapat bertahan dari proses ini sehingga dapat langsung diserap tubuh dan digunakan (Okuda, 1962). Keamanan bahan alam dapat bervariasi pada pasien yang berbeda. Pernah dilaporkan, pemberian ekstrak S. doederleinii sebagai obat anti kanker menyebabkan kinerja tulang sumsum tertekan, serta menimbulkan tanda-tanda pendarahan pada kulit dan gusi. Gangguan ini berhenti setelah pemberian ekstrak dihentikan (Pan dkk., 2001). Senyawa hordenin, suatu glikosida yang diisolasi dari S. doederleinii dapat meningkatkan tekanan darah (hipertensi) (Lin dkk.,1991), suatu efek yang bertentangan dengan flavonoid pada umumnya (Okuda, 1962). Senyawa biflavonoid yang paling melimpah pada Selaginella, amentoflavon, dapat menekan kemampuan lipopolisakarida dalam menginduksi pembentukan TNF-α dan IL-1β yang mengatur produksi senyawa-senyawa anti-inflamasi, sebaliknya pemberian amentoflavon dapat menyebabkan pembentukan COX-2 dan iNOS yang bertanggungjawab terhadap produksi senyawa-senyawa oksidan (Grijalva dkk., 2004).

PENELITIAN SELAGINELLA DI MASA DEPAN Penelitian Selaginella masih terbuka luas untuk dilakukan mengingat masih banyaknya aspek ilmiah yang belum terungkapkan. Dalam kajian yang paling mendasar, taksonomi tumbuhan, masih terdapat banyak kesalahan identifikasi terhadap taksa ini. Dalam kajian ekologi, adanya keragaman morfologi akibat perbedaan lingkungan serta adanya tuntutan pelestarian akibat konversi habitat yang


76

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati sangat menarik untuk diteliti. Dalam kajian fisiologi, adanya perubahan fluoresensi dan pigmentasi akibat faktor lingkungan dan usia masih menunggu untuk dijelaskan. Dalam kajian biokimia masih terdapat banyak jenis bahan alam, baik biflavonoid maupun lainnya, yang belum dieksplorasi. Salah satu senyawa non-biflavonoid dari Selaginella yang menarik diteliti adalah trehalose. Kajian molekuler juga perlu dilakukan untuk memperjelas kajiankajian di atas. Morfologi dan molekuler. Banyak penulis melakukan kesalahan dalam identifikasi Selaginella, khususnya pada tulisan-tulisan populer. Mereka secara sembarangan mengidentikkan semua spesies Selaginella sebagai S. doederleinii, termasuk spesies liar dari Jawa. Padahal S. doederleinii bukan tumbuhan asli Indonesia, sebaran alamiahnya adalah India, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, Cina, Hongkong, Taiwan, dan Jepang (Huang, 2006; USDA, ARS, NGRP, 2008). Spesies ini tidak ditemukan di pulau Jawa (Alston, 1935a). Pengecekan terhadap koleksi Selaginella di Herbarium Bogoriense tidak menemukan adanya S. doederleinii di Jawa (ADS dan Tatik Chikmawati, 2007, data tidak ditunjukkan). Kesalahan ini kemungkinan akibat perujukan yang tidak cermat terhadap buku Dalimartha (1999), yang menelaah manfaat obat S. doederleinii dan memasukkannya dalam tumbuhan obat Indonesia. Kesalahan serupa terjadi pada buku Harada dkk. (2002), yang menyebutkan S. plana sebagai salah satu tumbuhan obat di TN Gunung Halimun (kini TNGHS), namun gambar utama yang ditampilkan adalah S. wildenowii. Pengamatan di lapangan menunjukkan S. wildenowii sangat mudah ditemukan di tepi jalan menuju Cikaniki (Stasiun Penelitian TNGHS), baik pada persawahan, semak belukar, hutan primer maupun sekunder, sebagaimana deskripsi habitat S. plana pada buku tersebut; sedangkan S. plana lebih mudah dijumpai di perkampungan pada ketinggian yang lebih rendah (ADS, 2008, pengamatan pribadi). Kesalahan identifikasi sangat berpengaruh terhadap khasiat obat, mengingat adanya perbedaan kandungan kimia antar spesies tumbuhan. Pengamatan di laboratorium menunjukkan kehadiran dan kadar alkaloid, steroid, tanin, flavonoid dan saponin pada beberapa Selaginella sangat bervariasi tergantung spesiesnya (ADS, 2007, data tidak ditunjukkan). Meskipun hal ini tidak selalu sejalan dengan pemanfaatan di masyarakat. Masyarakat asli di sekitar TN Gunung Halimun-Salak menggunakan beberapa Selaginella secara komplementer atau subtitusi untuk pengobatan pasca persalinan, antara lain S. ornata (Hook & Grev.) Spring, S. involvens, dan S. wildenowii, namun untuk keperluan yang sama masyarakat di sekitar Bogor umumnya hanya menggunakan S. plana (ADS, 2008, pengamatan pribadi). Tingginya keragaman morfologi pada tingkat infra spesies, serta terjadinya perubahan pigmentasi akibat umur, kekeringan dan faktor lingkungan lainnya dapat merancukan identifikasi berdasarkan karakter morfologi, sehingga perlu adanya identifikasi berdasarkan karakter molekuler, seperti yang dilakukan oleh Korall dkk. (1999) serta Korall dan Kenrick (2002, 2004). Di sisi lain, pada kasus taksonomi Selaginella di Malesia perlu diakukan revisi, karena masih didasarkan pustaka-pustaka lama seperti Alderwereld van Rosenburgh (1915a,b; 1916, 1917, 1918, 1920, 1922) dan Alston (1934, 1935a,b; 1937, 1940). Keragaman biflavonoid dan bioaktivitasnya. Hingga kini belum ada penelitian yang lengkap mengenai keragaman jenis dan kadar masing-masing biflavonoid pada berbagai spesies Selaginella dengan berbagai pelarut

organik dan air. Penelitian yang dilakukan umumnya hanya dalam batasan tertentu, baik terbatas pada ragam spesies, ragam biflavonoid, maupun ragam pelarut. Kadar suatu jenis metabolit sekunder pada suatu tumbuhan sangat menentukan nilai keekonomiannya untuk diusahakan dalam skala industri farmasi modern. Suatu spesies dengan beragam metabolit sekunder tetapi kadar masing-masing rendah relatif kurang ekonomis untuk diusahakan dibandingkan dengan suatu spesies dengan ragam metabolit sekunder yang terbatas, tetapi kadarnya tinggi, karena industri farmasi modern memanfaatkan metabolit sekunder pada tingkat molekuler. Sebaliknya dalam pengobatan tradisional, hal tersebut tidak selalu menjadi pertimbangan karena obat tradisional umumnya dalam bentuk ekstrak kasar, sehingga kekurangan khasiat dari suatu tumbuhan akan dengan mudah ditutupi tumbuhan lain. Dalam studi fitokimia dan kemotaksonomi, keragaman jenis metabolit sekunder yang tinggi sangat membantu proses identifikasi, meskipun kadar masing-masing tidak terlalu tinggi. Namun pada kadar yang sangat rendah, suatu jenis metabolit sekunder tidak berarti dalam studi ini, karena hadir dan tidaknya sering dipengaruhi kondisi lingkungan, bukan hanya faktor genetis. Di sisi lain, bioaktivitas setiap biflavonoid juga perlu dipertegas mengingat hingga kini baru amentoflavon dan ginkgetin yang kajian bioaktivitasnya relatif lengkap. Senyawa kimia lain. S. lepidophylla sering disebut resurrection plant karena mampu bertahan hidup terhadap kekeringan yang panjang dan pulih kembali melalui proses rehidrasi (Crowe dkk., 1992), bahkan apabila 99% air dari tubuhnya telah terambil (van Dijck dkk., 2002). Kekeringan dapat menyebabkan perubahan fluoresensi dan pigmentasi, tetapi tidak menyebabkan kematian (Casper dkk., 1992). Kemampuan bertahan ini diberikan oleh trehalose, suatu bentuk gula sederhana yang tidak reaktif dan sangat stabil. Trehalose merupakan hasil ikatan antara glukosida oksigen dengan dua cincin heksosa berenergi rendah (1 kcal/mol) (Paiva dan Panek, 1996). Trehalose banyak ditemukan pada bakteri, fungi dan invertebrata (Elbein, 1974; Crowe dkk., 1984), namun jarang dijumpai pada tumbuhan, bahkan Angiospermae tidak mampu mensintesisnya (Muller dkk., 1995). Beberapa spesies Selaginella telah dilaporkan mengandung trehalose dengan kadar yang relatif tinggi, yaitu: S. lepidophylla (Adams dkk., 1990; Mueller dkk., 1995; Zentella dkk., 1995) dan Selaginella sartorii Hieron (Iturriaga dkk., 2000). Kadar trehalose dapat mencapai sekitar 10-15% dari berat kering sel (Grba dkk., 1975). Kadar trehalose yang tinggi bertanggungjawab atas daya tahan terhadap kekeringan dan cekaman panas (Avigad, 1982). Tingginya akumulasi trehalose menyebabkan spesies ini sangat prospektif sebagai biostabilisator molekuler untuk berbagai penggunaan, seperti kosmetik, farmasi dan pangan (Roser, 1991; Kidd dan Devorak, 1994).

PENUTUP Kemajuan peradaban telah menimbulkan berbagai bentuk cekaman dalam metabolisme sel, sehingga menurunkan daya tahan tubuh dan memicu munculnya berbagai penyakit baru. Tumbuhan, beserta mikrobia, merupakan sumber utama senyawa fitokimia untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber obat-obatan adalah Selaginella. Khasiat tumbuhan ini terutama disebabkan oleh kandungan senyawa biflavonoid, suatu bentuk dimer dari flavonoid. Cara biosintesis biflavonoid sangat beragam sehingga


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella

senyawa yang dihasilkan juga beragam. Selaginella mengandung amentoflavon, 2',8''-biapigenin, ginkgetin, heveaflavon, hinokiflavon, isokriptomerin, kayaflavon, podocarpusflavon A, robustaflavon, sumaflavon, dan taiwaniaflavon. Amentoflavon merupakan senyawa paling penting dan paling luas sebarannya dalam Selaginella, adapun sumber biflavonoid yang paling beragam adalah S. tamariscina. Secara tradisional, Selaginella terutama digunakan untuk pengobatan luka, pasca persalinan, dan gangguan menstruasi. Secara medis, biflavonoid berguna sebagai antioksidan, anti-inflamasi, anti kanker, antimikrobia (antivirus, antibakteri, antifungi, antiprotozoa), neuroprotektif, vasorelaksan, anti iradiasi UV, antispasmodik, anti-alergi, anti hemoragik, dan antinosiseptif. Kemampuan antioksidan biflavonoid ini merupakan peran paling penting, serta terkait dengan kemampuan anti kanker dan anti inflamasi. Sifat antioksidan biflavonoid lebih kuat dari pada β-karoten, vitamin C dan E. Kajian biflavonoid pada Selaginella masih menyisakan banyak pertanyaan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini antara lain: (i) perlunya mempertegas identitas spesies, mengingat tingginya keragaman morfologi, termasuk dengan menggunakan metode molekuler; (ii) perlunya memperluas cakupan penelitian dengan memperbanyak jenis bahan alam, ragam spesies, dan metode ekstrasinya; serta (iii) perlunya memperluas pengujian bioaktivitas, termasuk pada senyawa non-biflavonoid, yang juga berpotensi ekonomi tinggi seperti trehalose.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Keon Wook Kang dan Dr. Yuba Raj Pokharel dari Universitas Chosun, Gwangju, Korea Selatan yang telah mengirimkan sejumlah publikasi ilmiah yang sangat berharga terkait dengan kimia biflavonoid dan pemanfaatannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Umesh R. Desai dari Universitas Persemakmuran Virginia, Richmond, Amerika Serikat atas perkenannya untuk mensitasi telaah pustaka yang sangat menarik tentang sintesis biflavonoid. Penulis mengucapkan terimakasih pula kepada Dr. Petra Korall dari Universitas Stockholm dan Museum Sejarah Alam Swedia atas kiriman sejumlah publikasi penelitian molekuler. Terima kasih juga disampaikan kepada mitra bestari naskah ini. DAFTAR PUSTAKA Abe, F., S. Nagafuji, H. Okabe, H. Akahane, E. Estrada-Muniz, and M. Huerta-Reyes. 2004. Trypanocidal constituents in plants 3. Leaves of Garcinia intermedia and heartwood of C. brasiliense Biological and Pharmaceutical Bulletin 27 (1): 141-143. Abla, A., H. Sayipzat, and S. Ababakri. 2006. Flavonoids compounds and advances in the research on pteridophyte’s (fern) flavonoids. Biotechnology (Harbin) 16 (6): 95-98. Adams, R.P., E. Kendall, and K.K. Kartha. 1990. Comparison of free sugars in growing and desiccated plants of Selaginella lepidophylla. Biochemical Systematics and Ecology 18: 107-110. Ahmad, F. bin and H. Raji. 1992. Medicinal Plants of the Murut Community in Sabah. In: Ghazzaly, I., O. Siraj, and M. Murtedza. (eds.). Forest Biology and Conservation in Borneo. Kota Kinabalu: Centre for Borneo Studies. Ahn, S.-H., Y.-J. Mun, S.-W. Lee, S. Kwak, M.-K. Choi, S.-K. Baik, Y.-M. Kim, W.-H. Woo. 2006. Selaginella tamariscina induces apoptosis via a caspase-3-mediated mechanism in human promyelocytic leukemia cells. Journal of Medicinal Food 9 (2): 138-144. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1915a. Malayan Fern Allies. Batavia: The Department of Agriculture, Industry, and Commerce. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1915b. New or interesting Malay ferns 7. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 2 (20): 1-28.

77

Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1916. New or interesting Malay ferns 8. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 2 (23): 1-27. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1917. New or interesting Malay ferns 9. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 2 (24): 1-8. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1918. New or interesting Malay ferns 10. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 2 (28): 1-66. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1920. New or interesting Malay ferns 11. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (2): 129-186. Alderwereld van Rosenburgh, C.R.W.K. van. 1922. New or interesting Malay ferns 12. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (5): 179-240. Alston, A.H.G. 1934. The genus Selaginella in the Malay Peninsula. Garden Bulletin Strait Settlements 8: 41-62. Alston, A.H.G. 1935a. The Selaginella of the Malay Islands: I. Java and the Lesser Sunda Islands. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (13): 432-442. Alston, A.H.G. 1935b. The Philippines species of Selaginella. The Philippines Journal of Science 58: 359-383. Alston, A.H.G. 1937. The Selaginella of the Malay Islands: II. Sumatra. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (14): 175-186. Alston, A.H.G. 1940. The Selaginella of the Malay Islands: III. Celebes and the Moluccas. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (16): 343-350. Andrade-Cetto, A. and M. Heinrich. 2005. Mexican plants with hypoglycaemic effect used in the treatment of diabetes. Journal of Ethnopharmacology 99: 325-348. ARCBC. 2004. Checklist of Medicinal Plants in Southeast Asia. Manila: ASEAN Regional Centre for Biodiversity Conservation. www.aseanbiodiversity.org/medicinal_plants/page7.htm Ariyasena, J., S.-H. Baek, N. B. Perry, and R. T. Weavers. 2004. Ether-linked biflavonoids from Quintinia acutifolia. Journal of Natural Products 67: 693-696. Armaka, M., E. Papanikolaou, A. Sivropoulou. 1999. Antiviral properties of isoborneol, a potent inhibitor of herpes simplex virus type 1. Antiviral Research 43: 79-92. Arts, I.C. and P.C. Hollman. 2005. Polyphenols and disease risk in epidemiologic studies. American Journal of Clinical Nutrition 81: 317-325. Avigad, G. 1982. Sucrose and other disaccharides. In Loewus, F.A. and W. Tanner (eds.). Encyclopedia of Plant Physiology, New Series.New York: Springer-Verlag. Baker, W., and W.H.C. Simmonds 1940. Derivatives of 5,6,4’- and 5,8,4’trihydroxyflavones, and a note on the structure of ginkgetin. Journal of Chemical Society 1370-1374. Basso, L.A., L.H. da Silva, A.G. Fett-Neto, W.F. de Azevedo Jr., I.S. de Moreira, M.S. Palma, J.B. Calixto, S. Astolfi-Filho, R.R. dos Santos, M.B. Soares, and D.S. Santos. 2005. The use of biodiversity as source of new chemical entities against defined molecular targets for treatment of malaria, tuberculosis, and T-cell mediated diseases; A Review. Memio Instituto do Oswaldo da Cruz 100: 475-506. Batugal, P.A., J. Kanniah, L.S. Young and J.T. Oliver (eds.). 2004. Medicinal Plants Research in Asia, Volume 1: The Framework and Project Workplans. Serdang, Selangor DE, Malaysia: International Plant Genetic Resources Institute-Regional Office for Asia, the Pacific and Oceania (IPGRI-APO). Baureithel K. H., K.B. Buter, A. Engesser, W. Burkard, and W. Schaffner. 1997. Inhibition of benzodiazepine binding in vitro by amentoflavone, a constituent of various species of Hypericum. Pharmaceutica Acta Helvetiae 72 (3): 153-157. Bennie, L., Coetzee, J., Malan, E. and Ferreira, D. 2002. (4-6)-Coupled proteracacinidins and promelacacinidins from Acacia galpinii and Acacia caffra. Phytochemistry 60: 521-532. Bennie, L., J. Coetzee, E. Malan, and D. Ferreira, 2001. Structure and stereochemistry of triflavanoids containing both ether and carbon-carbon interflavanyl bonds. Phytochemistry 57: 1023-1034. Bennie, L., Malan, E., Coetzee, J. and Ferreira, D. 2000. Structure and synthesis of ether-linked proteracacinidin and promelacacinidin proanthocyanidins from Acacia caffra. Phytochemistry. 53: 785-793. Bensky, D., S. Clavey, and E. Stöger. 2004. Chinese Herbal MedicineMateria Medica. 3rd ed. Seattle, W.A.: Eastland Press. Berge, D.D., A.V. Kale, T.C. Sharma. 1979. Chemistry and Industry: 282-283. Berge, D.D., A.V. Kale, T.C. Sharma. 1980. Chemistry and Industry: 787-788. Berghofer, R. and J. Holzl. 1987. Biflavonoids in Hypericum perforatum. Part 1. Isolation of I3,II8-biapigenin. Planta Medica 216-217. Berghofer, R. and J. Holzl. 1989. Isolation of 13',II8-biapigenin (amentoflavone) from Hypericum perforatum. Planta Medica 55: 91. Bisnack, R., B.J. Boersma, R.P. Patel, M. Kirk, C.R. White, V. Darley-Usmar, S. Barnes, F. Zhou, and D.A. Parks. 2001. Enhanced antioxidant activity after chlorination of quercetin by hipochlorous acid. Alcoholism Clinical and Experimental Research 25 (6): 434-443. Bittar, M., M.M. de Souza, R.A. Yunes, R. Lento, F. Delle Monache, and V. Cechinel-Filho. 2000. Antinociceptive activity of I3,II8-binaringenin, a biflavonoid present in plants of the Guttiferae. Planta Medica 66 (1): 84-86. Blake, S. 2004. Constituents of Medicinal Plants. London: LifeLong Press. Borris, R.P. 1996. Natural products research: perspectives from a major pharmaceutical company. Journal of Ethnopharmacology 51: 29-38. Bouquet, A., A. Cave, and R. Paris 1971. Plantes medicinales du CongoBrazzaville (III) plantes medicinales et phytotherapie. Tome 5 (2): 154-158. Bourdy, G. and A. Walter. 1992. Maternity and medicinal plants in Vanuatu I. The cycle of reproduction. Journal of Ethnopharmacology 37: 179-196


78

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

Braide, V.B. 1989. Antispasmodic extracts from seeds of Garcinia kola. Fitoterapia 9: 123. Braide, V.B. 1993. Antiinflammatory effect of kolaviron, a biflavonoid extract of Garcinia kola. Fitoterapia 64 (5): 433. Brolis, M., B. Gabetta, and N. Fuzzati. 1998. HPLC-DAD-MS identification and HPLC-UV quantification of the major constituents of Hypericum perforatum. Fitoterapia 69 (5): 27-28. Brouillard, R. and A. Cheminant. 1988. Flavonoids and plant color. In: Cody, V., E. Middleton, and J.B. Harborne (eds.). Plant Flavonoids in Biology and Medicine: Biochemical, Cellular and Medicinal Properties. New York: Alan R. Liss. Calixto, J.B., A. Beirith, J. Ferreira, A.R. Santos, V. Cechinel-Filho, and R.A. Yunes. 2000. Naturally occurring antinociceptive substances from plants. Phytotheraphy Research 14: 401-418 Camus, J. M. 1997. The genus Selaginella (Selaginellaceae) in Malesia. In Dransfield, J. (ed.). Plant Diversity of Malesia III: 59-69. Canada, A.T., E. Gianmella, J.D. Nguyen, and R.P. Mason. 1990. The production of reactive oxygen species by dietary flavonols. Free Radical in Biology and Medicine 9 (5): 441-449. Casper, C., W.G. Eickmeier, and C.B. Osmond. 1993. Changes of fluorescence and xanthophyll pigments during dehydration in the resurrection plant Selaginella lepidophylla in low and medium light intensities. Oecologia 94, 528-533. Cassels, B.K., F.J. Dajas, J.H. Medina, A.C. Paladini, and R.H. Silveira. 1998. Flavonoid and biflavonoid derivatives, their pharmaceutical compositions, their anxiolytic activity. United States Patent 5756538 (May 26, 1998). Cassels, B.K., F.J. Dajas, J.H. Medina, A.C. Paladini, and R.H. Silveira. 1998. Flavonoid and biflavonoid derivatives, their pharmaceutical compositions, their anxiolytic activity. United States Patent 6004998 (December 21, 1999). Catero, G., C. Campanella, S. Mateos and F. Cortes. 2006. Topoisomerase II inhibition and high yield of endoreduplication induced by the flavonoids luteolin and quercetin. Mutagenesis 21 (5): 321-325. Chakravarthy, B.K., Y.V. Rao, S.S. Gambhir, and K.D. Gode. 1981. Isolation of amentoflavone from Selaginella rupestris and its pharmacological activity on central nervous system, smooth muscles and isolated frog heart preparations. Planta Medica. 43 (9): 64-70. Chang, C-Y, X-D. Chen, X-Y. Xiao, and R-C. Lin. 2000. Studies on micromorphology and its significance in anatomy and identification of Selaginella. Journal of Medication Analysis 20 (2): 75-78. Chen, F.C.L, Y.-M. Lin, S.-K. Huang, and T. Ueng. 1976. Heterocycles. 4: 1913-1915. Chen, J., H.W. Chang, H.P. Kim, and H. Park, 2006. Synthesis of phospholipase A2 inhibitory biflavonoids. Bioorganic and Medicinal Chemistry Letters 16: 2373-2375. Chen, J.-J., C.-Y. Duh, and J.-F. Chen. 2005a. New cytotoxic biflavonoids from Selaginella delicatula. Planta Medica. 71 (7): 659-665 Chen, K., G.W. Plumb, R.N. Bennett, and Y. Bao. 2005b. Antioxidant activities of extracts from five anti-viral medicinal plants. Journal of Ethnopharmacology 96 (1-2): 201-205 Cholbi M. R., M. Paya, and M.J. Alcaraz. 1991. Inhibitory effect of phenolic compounds on CCl4 induced microsomal lipid peroxidation. Experientia 47: 195-199. Cragg, G.M., and D.J. Newman. 2005. Plants as a source of anti-cancer agents. Journal of Ethnopharmacology 100: 72-79. Crowe, J.F., F.A. Hoekstra, and L.M. Crowe. 1992. Anhydrobiosis. Annual Review of Physiology 54. 579-599. Crowe, J.H., L.M. Crowe, and D. Chapman. 1984. Preservation of membranes in anhydrobiotic organisms: the role of trehalose. Science 223: 701-703. Cunningham, A.B. 1993. African medicinal plants: setting priorities at the interface between conservation and primary health care. People and Plants Working Paper 1. Paris. UNESCO. Czeladzinski, S. 2003. Selaginella at the Barbican. Plant Heritage 10 (2): 472-476. Dai, Y., P.P.-H. But, L.-M. Chu, and Y.-P. Chan. 2005. Inhibitory effects of Selaginella tamariscina on immediate allergic reactions. American Journal of Clinical Medicine 33 (6): 957-966. Dai, Z., S.-C. Ma, G.-L. Wang, F. Wang, R.-C. Lin. 2006. A new glucoside from Selaginella sinensis. Journal of Asian Natural Products Research 8 (6): 529-533. Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Yogyakarta: Trubus Agriwidya. de Almeida-Agra, C. and I.C. Dantas. 2004. Identificacao dos Fitoterapicos Indicados Pelos Raizeiros e Utilizados Pelas Mulheres no Combate a Enfermidades do Aparelho Geniturinario na Cidade de Campina Grande - PB. Paraiba: Universidade Estadual da Paraíba Debeaujon, I., K.M. Léon-Kloosterziel, and M. Koomneef. 2000. Influence of the testa on seed dormancy, germination and longevity in Arabidopsis. Plant Physiology 122: 403-414. Deegan, A.E. 2000. “Natural” but not necessarily safe. Guardian 2 (3): 1-2. DeFilipps, R.A., S.L. Maina and J. Crepin. 2004. Medicinal Plants Index of the Guianas (Guyana, Surinam, French Guiana). Washington, D.C.: Smithsonian Institution. Dixit, R.D. and G.K. Bhatt. 1974. Ferns: A much neglected group of medicinal plants II. Journal of Research Indian Medicine 9: 59-68.

Dixon, R.A. L. Achnine, P. Kota, C. J. Liu, M. S. S. Reddy, and L. J. Lang, 2002. The phenylpropanoid pathway and the plant defence-A genomic perspective. Molecular Plant Pathology 3: 371-390. DNP. 1992. Dictionary of Natural Products. New York: Chapman and Hall. Dreschner, E.E., J. Ruperto, G. Wong, and H.L. Newmark. 1991. Quercetin and rutin as inhibitors of azoxymethanol-induced colonic neoplasia. Carcinogenesis 7: 1193-1196. Duarte, J., R. Perez-Palencia. F. Vargas, M.A. Ocete, F. Perez-Viscaio, A. Zarzuelo, and J. Tamargo. 2001. Antihypertensive effects of the flavonoids quercetin in spontaneously hypertensive rats. British Journal of Pharmacology 133 (1): 117-124. Dubber, M.J. 2005. Application of CE, HPLC and LC-MS-MS for the Analysis and Quality Control of Ginkgo biloba Dosage Forms. [Dissertation]. Rhodes: Rhodes University. Echavarren, A.M. and J.K. Stille. 1987. Palladium-catalized coupling of aryl triflates with organostannes Journal of American Chemical Society 109: 5478-5486. Edenharder, R., I. von Petersdorff, and R. Rauscher. 1993. Antimutagenic effects of flavonoids, chalcones and structurally related compounds on the activity of 2 amino-3-methylimidazo-4,5-f quinoline (IQ) and other heterocyclic amine mutagens from cooked food. Mutant Research 28: 261-274. Elbein, A.D. 1974. The metabolism of alpha,alpha-trehalose. Advances in Carbohydrate Chemistry and Biochemistry 30: 227-256 Farnsworth, N.R. 1994. Ethnobotany and the Search for New Drugs. New York: John Wiley and Sons. Farombi, E.O., B.F. Adepoju, O.E. Ola-Davies, and G.O. Emerole, 2005. Chemoprevention of aflatoxin B1-induced genotoxicity and hepatic oxidative damage in rats by kolaviron, a natural biflavonoid of Garcinia kola seeds. European Journal of Cancer Prevention 14 (3): 207-214. Ferreira, D. and R. Bekker. 1996. Oligomeric proanthocyanidins: naturally occurring O-heterocycles. Natural Products Report 13: 411-433. Ferreira, D., D. Slade, and J.P.J. Marais. 2006. Flavans and Proanthocyanidins. In: Anderson, O.M. and K.R. Markham, (eds.). Flavonoids: Chemistry, Biochemistry and Applications. Boca Raton, FL.: CRC Press, Ferreira, D., R.J.J. Nel, and R. Bekker. 1999. In: Barton, D.H.R., K. Nakanishi, O. Meth-Cohn, and B.M. Pinto. (eds.). Comprehensive Natural Products Chemistry. New York: Elsevier. Ferreira, D.E., V. Brandt, J. Coetzee, and E. Malan, 1999. Condensed tannins. In: Zechmeister, L., W. Herz, H. Falk, G.W. Kirby, and R.E. Moore. (eds.). The Chemistry of Organic Natural Products. Wien: Springer. Flavin, M.T., Y.-M. Lin, D.E. Zembower, and H. Zhang. 2001. Robustaflavone, intermediates and analogues and method for preparation there of and a method for synthesizing the same are provided. United States Patent 6225481 (May 1, 2001). Flavin, M.T., Y.-M. Lin, D.E. Zembower, R. Schure, and G.-X. Zhao. 2002. Biflavanoids and derivatives thereof as antiviral agents. United States Patent 6399654 (June 4, 2002). Freeman B.A., and J.D. Crapo. 1982. Biology of diseases, free radicals and tissue injury. Laboratory Investigation 47: 412-426. Gambhir, S.S., R.K. Goel, and G. Dasgupta. 1987. Anti-inflammatory and antiulcerogenic activity of amentoflavone. Indian Journal of Medicinal Research 85: 689-693. Gao, L.-L., S.-L. Yin, Z.-L. Li, Y. Sha, Y.-H. Pei, G. Shi, Y.-K. Jing, and H.-M. Hua. 2007. Three novel sterols isolated from Selaginella tamariscina with antiproliferative activity in leukemia cells. Planta Medica 73: 11121115. Gaspar, J., A. Rodrigues, A. Laires, F. Silva, S. Costa, M.J. Monteiro, C. Monteiro, and J. Rueff. 1994. On the mechanism of genotoxicity and metabolism of quercetin. Mutagenesis 9: 445-449. Gayathri, V., V. Asha, and A. Subromaniam, 2005. Preliminary studies on the immunomodulatory and antioxidant properties of Selaginella spesies. Indian Journal of Pharmacology 37 (6): 381-385. Geiger, H. and C. Quinn. 1976. Biflavonoids. In: Harborne, J.B., T.J. Mabry, and H. Mabry. (eds). The Flavonoids. London: Chapman and Hall. GIAI. 2006. Glossarium Istilah Asing-Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Gil, B., M.J. Sanz, M.C. Terencio, R. Gunasegaran, M. Paya, and M.J. Alcaraz. 1997. Morelloflavone, a novel biflavonoid inhibitor of human secretory phospholipase A2 with antiinflammatory activity. Biochemical Pharmacology 53: 733-740. Gonçalez, E., J.D. Felicio, and M.M. Pinto. 2001. Biflavonoids inhibit the production of aflatoxin by Aspergillus flavus. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 34: 1453-1456. Grba, S., E. Oura, and H. Suomalainen. 1975. On the formation of glycogen and trehalose in baker’s yeast. European Journal of Applied Microbiology 2: 29-31. Grijalva, V., S. Navarro, A. Rhule, and D.M. Shepherd. 2004. The immunomodulatory effects of amentoflavone on cultured macrophages (RAW264.7) and dendritic cells (DC2.4). In: Abstracts of 21st Annual Meeting. Pacific Northwest Association of Toxicologists (Panwat). Oregon, September 17-19, 2004. Grover, S.K., A.C. Jain, and T.R. Seshadri. 1964.Tetrahedron 20: 555-564. Guruvayoorappan, C. and G. Kuttan. 2007. Effect of amentoflavone on the inhibition of pulmonary metastasis induced by B16F-10 melanoma cells in C57BL/6 mice. Integrated Cancer Theraphy 6 (2): 185-197.


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella Halliwell, B., and J.M.C. Gutteridge. 1984. Lipid peroxidation, oxygen radicals, cell damage, and antioxıdant therapy. The Lancet 323 (8391): 1396-1397. Han, B.-H., S.-S. Kang, and K.-H. Son. 2006. Composition for preventing or treating acute or chronic degenerative brain diseases including extract of Selaginella tamariscina Spring. World Intellectual Property Organization Publication Number: WO/2006/001664 (January 5, 2006). Hancock, E.W. 2005. Mechanisms of action of newer antibiotics for Grampositive pathogens. Lancet Infection Diseases 5 (4): 209-218. Harada, K., M. Rahayu, and A. Muzakkir. 2002. Medicinal Plants of Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Bogor: Biodiversity Conservation Project -JICA, PHPA & LIPI. Harborne, J.B. 1980. Plant phenolics. In: Bella, E.A. and B.V. Charlwood (eds.). Encyclopedia of Plant Physiology. Berlin: Springer. Harborne, J.B. 1989. Methods in Plant Biochemistry I. Plant Phenolics. London: Academic Press. Harborne, J.B. and C.A. Williams. 2000. Advances in flavonoid research since 1992. Phytochemistry 55: 481-504. Harborne, J.B. and H. Baxter. 1999. Hanbook of Natural Flavonoids. Chichester: John Wiley and Sons. Harvey, A. 2000. Strategies for discovering drugs from previously unexplored natural products. Drug Discovery Today 5 (7): 294-300. Havsteen, B. 1983. Flavonoids, a class of natural products of high pharmacological potency. Biochemical Pharmacology 32 (7): 1141-1148. Havsteen, B.H. 2002. The biochemistry and medical significance of the flavonoids. Pharmacology and Therapeutics 96: 67-202. Hayashi, K., T. Hayashi and N. Morita. 1992. Mechanism of action of the antiherpes virus biflavone ginkgetin. Antimicrobial Agents Chemotheraphy 36: 1890-1893. Hayashi, K., T. Hayashi, H. Otsuka, (dkk.) 1997. Antiviral activity of 5,6,7trimethoxyflavone and its potentiation of the antiherpes activity of acyclovir. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 39, 821-4. Heo, M.Y., K.S. Yu, K.H. Kim, H.P. Kim, and W.W. Au. 1992. Anticlastogenic effect of flavonoids against mutagen-induced micronuclei in mice. Mutant Research 284: 243-249. Herrmann, K. 1976. Flavonols and flavones in food plants: A review. Journal of FoodTechnology 11: 433-448. Heyne, K. 1927. De Nuttige Planten van Nederlands-Indie. 2nd ed. Vol. 1. ‘sGravenhage: Departement van Landbouw, Nijverheid en Handed in Nederlands-Indie. Hikino, H., T. Okuyama, H. Jin, and T. Takemoto. 1973. Screening of Japanese ferns for phytoecdysones. I. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 21: 2292-2302. Huang, T.-C. 2006. Flora of Taiwan Vol. 6. 2nd ed. Taipei: National University of Taiwan. Iturriaga, G., D.F. Gaff, and R. Zentella. 2000. New desiccation-tolerant plants, including a grass, in the central highlands of Mexico, accumulate trehalose. Australian Journal of Botany 48: 153-158. Iwu, M.M, and O.A. Igboko. 1982. Flavonoids of Garcinia kola seeds. Journal of Natural Products 45: 650-651. Iwu, M.M. 1985. Antihepatotoxic constituents of Garcinia kola seeds. Experientia 41: 699-670. Iwu, M.M. 1999. Garcinia kola: a new adaptogen with remarkable immunostimulant, anti-infective and antinflammatory properties. Abstract of the International Conference on Ethnomedicine and Drug Discovery; Silver Spring, Maryland, USA, November 3-5, 1999. Iwu, M.M., O.A. Igboko and C.O. Okunji, and M.S. Tempesta. 1990. Antidiabetic and aldose reductase activities of biflavones of Garcinia kola. Journal of Pharmacy and Pharmacology 42: 290-292. Iwu, M.M., O.A. Igboko, U.A. Onwuchekwa, and C.O. Olaniyi. 1987.. Evaluation of the hepatotoxic activity of the biflavonoids of G. kola seed. Journal of Ethnopharmacology 21 (2): 127-138. Iwu, M.W., A.R. Duncan and C.O. Okunji. 1999. New antimicrobials of plant origin. In: Janick, J. (ed.). Perspectives on New Crops and New Uses. Alexandria, VA.: ASHS Press. Jermy, A.C. 1990. Selaginellaceae. In: Kubitzki, K., K.U. Kramer and P.S. Green (eds.). The Families and Genera of Vascular Plants, 1. Pteridophytes and Gymnosperms. Berlin: Springer. Joo, S.S., S.K. Jang, S.G. Kim, J.-S. Choi, K.W. Hwang, and D.I. Lee. 2007. Anti-acne activity of Selaginella involvens extract and its non-antibiotic antimicrobial potential on Propionibacterium acnes. Phytotherapy Research. www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/abstract/116328562/ ABSTRACT Joy P.P., J. Thomas, S. Mathew, and B.P. Skaria. 1998. Medicinal Plants. Kerala: Kerala Agricultural University. Jung, H.J., K. Park, I.-S. Lee, H.S. Kim, S.-H. Yeo, E.-R. Woo, and D.G. Lee. 2007. S-Phase accumulation of Candida albicans by anticandidal effect of amentoflavone isolated from Selaginella tamariscina. Biological and Pharmaceutical Bulletin 30 (10): 1969-1971. Jung, H.J., W.S. Sung, S.-H. Yeo, H.S. Kim, I.-S. Lee, E.-R. Woo, and D.G. Lee. 2006. Antifungal effect of amentoflavone derived from Selaginella tamariscina. Archives of Pharmacal Research 29 (9): 746-751. Kamil, M., M. Ilyas, W. Rahman, N. Hasaka, M. Okigawa, and N. Kawano. 1981. Taiwaniaflavone and its derivatives: a new series of biflavones from Taiwania cryptomerioides Hayata. Journal of Chemical Society Perkin Transaction 1: 553-559. Kandaswami, C. and E. Middleton. 1994. Free radical scavenging and

79

antioxidant activity of plant flavonoids. In: Armstrong, D. (ed.). Free Radicals in Diagnostic Medicine. New York: Plenum Press. Kang, D.G., M.H. Yin, H. Oh, D.H. Lee, and H.S. Lee. 2004. Vasorelaxation by amentoflavone isolated from Selaginella tamariscina. Planta Medica 70 (8): 718-722. Kang, S.-S. ( et al) 2001. Korean Patent No. 267060 (March 2, 2001). Kang, S.-S. (et al) 1998. Korean Patent No. 137179 (April 25, 1998) Kidd, G. and J. Devorak. 1994. Trehalose is a sweet target for agrobiotech. Biotechnology 12: 1328-1329. Kim, H.K, K.H. Son, H.W. Chang, S.S. Kang, and H.P. Kim. 1998. Amentoflavone, a plant biflavone: a new potential anti-inflammatory agent . Archives of Pharmacal Research 21 (4): 406-410. Kim, J. and E.J. Park. 2002. Cytotoxic anticancer candidates from natural resources. Current Medicine in Chemical Anti-Cancer Agents 2: 485-537 Korall, P. and P. Kenrick. 2002. Phylogenetic relationships in Selaginellaceae based on rbcL sequences. American Journal Botany. 89: 506–517. Korall, P. and P. Kenrick. 2004. The phylogenetic history of Selaginellaceae based on DNA sequences from the plastid and nucleus: extreme substitution rates and rate heterogeneity. Molecular Phylogenetics and Evolution 31: 852–864 Korall, P., P. Kenrick and J.P. Therrien. 1999. Phylogeny of Selaginellaceae: evaluation of generic/subgeneric relationships based on rbcL gene sequences. International Journal of Plant Science. 160, 585–594. Kraus, B. 2005. Der Einfluss von Johanniskraut (Hypericum perforatum L.) – Extrakt auf immunologische Prozesse in Mikroglia-Zellkulturen [Disertation]. Munchen: Technischen Universität München. Krauze-Baranowska M. and Wiwart M. (2002), Antifungal activity of biflavones from Taxus baccata and Ginkgo biloba. Zeitschrift für Naturforschung 58: 65-69. Kromhout, D. 2001. Diet and cardiovascular diseases. Journal of Nutrition, Health and Aging 5: 144-149. Kuo, Y.-C., C.-M. Sun, W.-J. Tsai, J.-C. Ou, W.-P. Chen and C.-Y. Lin. 1998. Chinese herbs as modulators of human mesangial cell proliferation: Preliminary studies. Journal of Laboratory and Clinical Medicine 132 (1): 76-85. Lale, A., J.M. Herbert, J.M. Augereau, M. Billon, M. Leconte, and J.J. Gleye. 1996. Journal of Natural Products 59: 273-276. Lee H, and JY. Lin. 1988. Antimutagenic activity of extracts from anticancer drugs in Chinese medicine. Mutation Research 204 (2): 229-234. Lee, C.-W., H.-J. Choi, H.-S. Kim, D.H. Kim, I.-S. Chang, H.T. Moon, S.-Y. Lee, W.K. Oh, and E.-R. Woo. 2008. Biflavonoids isolated from Selaginella tamariscina regulate the expression of matrix metalloproteinase in human skin fibroblasts. Bioorganic and Medicinal Chemistry 16 (2): 732-738. Lee, H.S., W.K. Oh, B.Y. Kim, S.C. Ahn, D.O. Kang, D.I. Shin, J. Kim, T.I. Mheen, and J.S. Ahn. 1996. Inhibition of phospholipase Cγ1 activity by amentoflavone isolated from Selaginella tamariscina. Planta Medica 62 (4): 293-296. Lee, I.R., Song, J.Y., Lee, Y.S., 1992. Cytotoxicity of folkloric medicines in murine and human cancer cells. Korean Journal of Pharmacognosy 23, 132-136. Lee, I.S., A. Nishikawa, F. Furukawa, K. Kasahara, and S.U. Kim. 1999. Effects of Selaginella tamariscina on in vitro tumor cell growth, p53 expression, G1 arrest and in vivo gastric cell proliferation. Cancer Letters 144 (1): 93-99. Lee, I.S., S.H. Park, and I.J. Rhee. 1996. Molecular-based sensitivity of human leukemia cell line U937 to antineoplastic activity in a traditional medicinal plants (Selaginella tamariscina). www.papersearch.net/ KissShop/search/Sh_se_DetailView.aspx?strAtclKey=181590 Letan, A. 1966. Relation of structure to antioxidant activity of quercetin and some of its derivatives. Journal of Food Science 31: 518-523. Leung, H.W.-C., Wu,C.-H., Lin,C.-H. and Lee,H.-Z. 2005, Luteolin induced DNA damage leading to human lung squamous carcinoma CH27 cell apoptosis. European Journal of Pharmacology 508: 77-83. Levy, S.B., and B. Marshall. 2004. Antibacterial resistance worldwide: causes, challenges and responses. Natural Medicine 10: S122-S129. Lewis, W.H., and M.P. Elvin-Lewis. 1995. Medicinal plants as sources of new therapeutics. Annals of Missouri Botanical Garden 82: 16-24. Lim, H., K.H. Son, H.W. Chang, S.S. Kang, and H.P. Kim. 2006. Effects of anti-inflammatory biflavonoid, ginkgetin, on chronic skin inflammation. Biological and Pharmaceutical Bulletin 29: 1046-1049. Lin, L.C., Y.C. Kuo, and C.J. Chou. 2000. Cytotoxic biflavonoids from Selaginella delicatula. Journal of Natural Products 63 (5): 627-630. Lin, L.-G, Q.-Q. Zhang, and Y.-Q. Huang. 1991. Pteridophyta. In: Lin, L.-G. (ed.). Flora Fujianica. 2nd ed. Fuzhou: Fujian Science and Technology Press. Lin, R., A.-L. Skaltsounis, E. Seguin, F. Tillequin, and M. Koch. 1994. Phenolic Constituents of Selaginella doederleinii. Planta Medica 60 (2): 168-170. Lin, R.C., J. Peyroux, E. Seguin, and M. Koch. 1991. Hypertensive effect of glycosidic derivatives of hordenine isolated from Selaginella doederleinii hieron and structural analogues in rats. Phytotherapy Research 5 (4): 188-190. Lin, Y.M. 2004. Beta-fluoroethyl thiourea compounds and use. United States Patent 6677350 (January 13, 2004). Lin, Y.M., D.E. Zembower, M.T. Flavin, R. Schure, and G.-X. Zhao. 2002. Biflavanoids and derivatives there of as antiviral agents. United States Patent 6339654 B1 (June 4, 2002) Lin, Y.M., H. Anderson, M.T. Flavin, Y.H. Pai, E. Mata-Greenwood, T. Pengsuparp,


80

B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 1, Januari 2008, hal. 64-81

J.M. Pezzuto, R.F. Schinazi, S.H. Hughes, and F.C. Chen. 1997. In vitro anti-HIV activity of biflavonoids isolated from Rhus succedanea and Garcinia multiflora. Journal of Natural Products 60: 884-888. Lin, Y.M., H. Anderson, M.T. Flavin, Y.S.H. Pai. 1997. In vitro anti-HIV activity of biflavonoids isolated from Rhus succedanea and Garcinia multiflora. Journal of Natural Products 60: 884-888. Lin, Y.-M., M.T. Flavin, R. Schure, D.E. Zembower, and G.-X. Zhao. 1998. Biflavanoids and derivatives thereof as antiviral agents. United States Patent 5773462 (June 30, 1998). Lin, Y.M., M.T. Flavin, R. Schure, D.E. Zembower, and G.-X. Zhao. 1999. Biflavanoids and derivatives there of as antiviral agents. United States Patent 5948918 (September 7, 1999). Lin, Y.M., M.T. Flavin, R. Schure, F.C. Chen, R. Sidwell, D.L. Barnard, J.H. Huffman and E.R. Kern. 1999. Antiviral activities of bioflavonoids. Planta Medica 65: 120-125. Locksley, H.D. 1973. Fortschritte der Chemie Organischer Naturstoffe (Progress in the Chemistry of Organic Natural Products) 30: 207-312. Lopez-Saez, J.A., M. Perez-Alonso, A.V. Negueruela. 1994. Biflavonoids of Selaginella denticulata in Spain. Naturforsch. 49c: 267-270. Ma, S.C., P.P. But, V.E. Ooi, Y.H. He, S.H. Lee, S.F. Lee, and R.C. Lin. 2001. Antiviral amentoflavone from Selaginella sinensis. Biological and Pharmaceutical Bulletin 24 (3): 311-312. Macheix, J.J., A.Fleuriet, and J. Billot. 1990. Fruit Phenolics. Boca Raton, FL: CRC Press. Madhuri, G. and A.R. Reddy. 1999. Plant blotechnology of flavonolds. Plant Biotechnology 16 (3): 179-199. Malencic, D., O. Gasic, M. Popovic and P. Boza. 2000. Screening for antioxidant properties of Salvia reflexa Hornem. Phytotheraphy Research 14: 546-548. Mamedov, N. 2005. Adaptogenic, geriatric, stimulant and antidepressant plants of Russian Far East. Journal of Cell and Molecular Biology 4: 71-75. Mantani, N., T. Andoh, H. Kawamata, K. Terasawa, and H. Ochiai. 1999. Inhibitory effect of Ephedrae herba, an oriental traditional medicine, on the growth of influenza A/PR/8 virus in MDCK cells. Antivirus Research 44: 193-200. Martens, S. and A. Mithofer. 2005. Flavones and flavone synthases, Phytochemistry 66: 2399-2407. Mathai, K.P., B. Kanakalakshmi, and S. Sethna. 1967. Journal of Indian Chemical Society 44: 148-152. Mathew, P.J., D. Mathew, C.M. Unnithan, and P. Pushpangadan. 1999. Ethnomedical information of some Pterydophytes of Kerala sector of Western Ghats. In: Sasikumar, B., B. Krishnamurti, J. Rema, P.N. Ravindren and K.V. Peter. Biodiversity Conservation and Utilization of Spices, Medicinal and Aromatic Plants. Calicut: Indian Institute of Spices Research. Mau, J.L., H.C. Lin, and S.F. Song. 2002. Antioxidant properties of several specialty mushrooms. Food Research International 35: 519-526. Maxwell, S.R., and G.Y. Lip. 1997. Free radicals and antioxidants in cardiovascular disease. Brittish Journal of Clinical Pharmacology 44: 307-317. Mayr, G.W., S. Windhorst, and K. Hillemeier. 2005. Antiproliferative plant and synthetic polyphenolics are specific inhibitors of vertebrate inositol-1,4,5trisphosphate 3-kinases and inositol polyphosphate multikinase. Journal of Biological Chemistry 280 (14): 13229-13240. Miao, N., H. Tao, C. Tong, H. Xuan, and G. Zhang. 1996. The Selaginella tamariscina (Beauv.) Spring complex in the treatment of experimental diabetes and its effect on blood rheology. Zhongguo Zhong Yao Za Zhi. 21 (8): 493-495. Middleton E J and C. Kandaswami. 1993. The impact of plant flavonoids on mammalian biology: implications for immunity, inflammation and cancer. In: Harborne, J.B. (ed.). The Flavonoids: Advances in Research since 1986. London: Chapman and Hall. Middleton, E. and C. Kandaswami. 1992. Effects of flavonoids on immune and inflammatory cell functions. Biochemistry and Pharmacology 43: 1167-1179. Middleton, E., C. Kandaswami, and T.C. Theoharides. 2000. The effects of plant flavonoids on mammalian cells: implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacological Reviews 52: 673-751. Miki, K., T. Nagai, T. Nakamura, M. Tuji, K. Koyama, K. Kinoshita, K. Furuhata, H. Yamada, and K. Takahashi. 2008. Synthesis and evaluation of influenza virus sialidase inhibitory activity of hinokiflavonesialic acid conjugates. Heterocycles 75 (4): (article in press, published online 11th January 2008). Moerman, D.E. 1996. An analysis of the food plants and drug plants of native North America. Journal of Ethnopharmacology 52: 1-22. Moltke, L.L. von, J.L. Weemhoff, E. Bedir, I.A. Khan, J.S. Harmatz, P. Goldman, and D.J. Greenblatt. 2004. Inhibition of human cytochromes P450 by components of Ginkgo biloba. Journal of Pharmacy and Pharmacology 56: 1039-1044. Mora A., M. Paya, J.L. Rios, dan M.J. Alcaraz. 1990. Biochemistry and. Pharmacology 40: 793-797. Mueller, J., T. Boller, and A. Wiemken. 1995. Trehalose and trehalase in plants: recent developments. Plant Science 112, 1-9. Muller, D., and J.P. Fleury. 1991. A new strategy for the synthesis of biflavonoids via arylboronic acids. Tetrahedron Letters 32: 2229-2232. Murti, V.V.S., P.V. Raman. and T.R. Seshadri. 1967. Tetrahedron 23: 397-404. Myara, I., I. Pico, B. Vedie, and N. Moatti. 1993. A method to screen for the

antioxidant effect of compounds on low-density lipoprotein (LDL): illustration with flavonoids. Journal of Pharmacology and Toxicology Methods 30 (2): 69-73. Na, M., K.A. Kim, H. Oh, B.Y. Kim, W.K. Oh, and J.S. Ahn. 2007. Protein tyrosine phosphatase 1B inhibitory activity of amentoflavone and its cellular effect on tyrosine phosphorylation of insulin receptors. Biological and Pharmaceutical Bulletin 30 (2): 379-381. Nahrstedt, A. and V. Butterweck 1997. Biologically active and other chemical constituents of the herb of Hypericum perforatum L. Pharmacopsychiatry 30: 129-134. Nakatani, N. 1990. Recent advances in the study on natural antioxidants. Nippon Shokuhin Kogyo Gakkaishi 37: 569-576. Nakazawa, K. 1962. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 10: 1032-1038. Nakazawa, K. 1968. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 16: 2503-2511. Nakazawa, K., and M. Ito. 1963. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 11: 283-288. Nasution, R.E. 1993. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani II. Yogyakarta 24-25 Jan. 1995. Buku 1 : Tumbuhan Obat. Jakarta: Puslitbang Biologi LIPI, Fakultas Biologi UGM, Ikatan Pustakawan Indonesia dan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Newman, D.J., G.C. Cragg, and K.M. Snader. 2000. The influence natural products upon drug discovery. Natural Products Report 17: 215-234. Nishino, C., N. Enoki, S. Tawata, A. Mori, K. Kobayashi, and M. Fukusima. 1987. Antibacterial activity of flavonoids against Staphylococcus epidermidis, a skin bacterium. Agriculture Biology and Chemistry 51: 139-143. Okigawa, M., C.W. Hwa and N. Kawano. 1971. Biflavones in Selaginella species. Phytochemistry 10 (12): 3286-3287. Okuda, T. 1962. Flavonoids. In: Mitsuhashi, H., O. Tanaka. S. Nazoe, and M. Nagai (eds.). Chemistry of Organic Natural Products. Tokyo: Nankodo. Oliveira, M.C.C. de, M.G. de Carvalho, C.J. da Silva, and A.A. Werle. 2002. New biflavonoid and other constituents from Luxemburgia nobilis (EICHL). Journal of Brazilian Chemical Society 13 (1): 119-123. Otero, R., V. Núñez, J. Barona, R. Fonnegra, S.L. Jiménez, R.G. Osorio, M. Saldarriaga, and A. Díaz. 2000. Snakebites and ethnobotany in the northwest region of Colombia. Part III: neutralization of the haemorrhagic effect of Bothrops atrox venom. Journal of Ethnopharmacology 73 (1-2): 233-241 Paiva, C.L.A. and A.D. Panek. 1996. Biotechnological applications of the disaccharide trehalose. Biotechnology Annual Review 2: 293-314 Pan, K.Y., J.L. Lin, and J.S. Chen. 2001. Severe reversible bone marrow suppression induced by Selaginella doederleinii. Journal of Clinical Toxicology 39 (6): 637-639. Pandey, S., A.A. Khan, K. Shankar, and N. Singh. 1993. An experimental study on the anti-stress and anti-oxidant activity of Selaginnella bryopteris. J Biol Chem Research 12: 128-9. Pelter, A., R. Warren, B. K. Handa, K. K. Cheksal, and W. Rahman. 1971. Indian Journal of Chemistry 9: 98-100. Perez, S., R.M. Perez, C. Perez, M.A. Zavala, and R. Vargas. 1994. Inhibitory activity of 3-methylenhydroxy-5-methoxy-2,4-dihydroxy tetrahydrofurane isolated from Selaginella lepidophylla on smooth muscle of Wistar rat. Pharmaceutica Acta Helvetiae 69 (3): 149-152. Perruchon, S. 2004. Synthese und Struktur-Aktivitäts-Beziehungen von Flavonoiden. [Dissertation]. Darmstadt: Technischen Universität Darmstadt Pokharel, Y.R., J.W. Yang, J.Y. Kim, H.W. Ohb, H.G. Jeong, E.-R. Woo, and K.W. Kang. 2006. Potent inhibition of the inductions of inducible nitric oxide synthase and cyclooxygenase-2 by taiwaniaflavone. Nitric Oxide 15 (3): 217-225 Porter, L.J. 1994. Flavans and proanthocyanidins. In: Harborne, J.B. (ed.). The Flavonoids, Advances in Research Since 1986. New York: Chapman and Hall. Pourcel, L., J.-M. Routaboul, L. Kerhoas, M.Caboche, and L. Lepiniec. 2005. Transparent testa 10 encodes a laccases-like enzyme involved in oxidative polymerization of flavonoids in Arabidopsis seed coat. The Plant Cell 17: 2966-2980. Pryor, W.A. 1973. Free radical reactions and their importance in biochemical systems. Fed Proceedings 32: 1862-1869. Qosim, M.A., S.K. Roy and M. Ilyas. 1985. Phenolic constituens of Selaginellaceae. Indian Journal of Chemistry 24B: Rahman, M., M. Riaz and U.R. Desai. 2007. Synthesis of biologically relevant biflavanoids-A review. Chemistry and Biodiversity 4: 2495-2527. Ramesh, M., Y.N. Rao, A.V. Rao, M.C. Prabhakar, C.S. Rao, N. Muralidhar, and B.M. Reddy. 1998. Antinociceptive and anti-inflammatory activity of a flavonoid isolated from Caralluma attenuata. Journal of Ethnopharmacology 62: 63-66 Rayne, S. and G. Mazza. 2007. Biological Activities of Extracts from Sumac (Rhus spp.): A Review. Summerland BC.: National Bioproducts and Bioprocesses Program, Pacific Agri-Food Research Centre, Agriculture and Agri-Food Canada. Robards, K. and M. Antolovich. 1997. Analytical chemistry of fruit bioflavonoids. Analyst. 122: 11R-34R. Rocha, A.B. da, and R.M. Lopes, G. Schwartsmann. 2001. Natural products in anti cancer therapy. Curren Opinion of Pharmacology 1: 364-369. Rojas, A., M. Bah, J.I. Rojas, V. Serrano, and S. Pacheco. 1999. Spasmolytic activity of some plants used by the Otomi Indians of Quéretaro (México)


SETYAWAN dan DARUSMAN – Biflavonoid pada Selaginella for the treatment of gastrointestinal disorders. Phytomedicine 6 (5): 367-371. Rose, W.M., M.O. Creighton, D.H.P.J. Stewart, M. Sanwal, and G.R. Trevithick. 1982. In vivo effects of vitamin E on cataractogenesis in diabetic rats. Canadian Journal of Ophtalmology 17: 61-66. Roser, B. 1991. Trehalose a new approach to premium dry food. Trends in Food Science and Technology 7: 166-169 Ross, J.A. and C.M. Kasum. 2002. Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic effects, and safety. Annual Reviews in Nutrition 22:19-34. Rueff, J., A. Laires, J. Gaspar, H. Borba, and A. Rodrigues. 1992. Oxygen species and the genotoxicity of quercetin. Mutant Research 265: 75-81. Sah, N.K., S.N.P. Singh, S. Sahdev, S. Banerji, V. Jha, Z. Khan, and S.E. Hasnain. 2005. Indian herb 'Sanjeevani' (Selaginella bryopteris) can promote growth and protect against heat shock and apoptotic activities of ultra violet and oxidative stress. Journal of Bioscience 30 (4): 499-505 Salti, G.I., S. Grewal, R.R. Mehta, T.K. Das Gupta, A.W. Boddie, and A.I. Constantinou. 2000. Genistein induces apoptosis and topoisomerase II mediated DNA breakage in colon cancer cells. European Journal of Cancer 36: 796-802. Sanchez-Moreno, C., J.A. Larrauri, and F. Saura-Calixto. 1999. Free radical scavenging capacity an inhibition of lipid oxidation of wines, grape juices and related polyphenolic constituents. Food Research International 32: 407-412. Sannomiya, M., C.R.P. Cardoso, M.E. Figueiredo, C.M. Rodrigues, L.C. dos Santos, F.V. dos Santos, J.M. Serpeloni, I.M.S. Colus, W. Vilegas, Eliana and A. Varanda. 2007. Mutagenic evaluation and chemical investigation of Byrsonima intermedia A. Juss. leaf extracts. Journal of Ethnopharmacology 112: 319-326. Sannomiya, M., P. Montoro, S. Piacente, C. Pizza, A.R.M.S. Brito and W. Vilegas. 2005. Application of liquid chromatography/electrospray ionization tandem mass spectrometry to the analysis of polyphenolic compounds from an infusion of Byrsonima crassa Niedenzu. Rapid Communications in Mass Spectrometry 19: 2244-2250 Sassen M. and M. Wan. 2006. Biodiversity and Local Priorities in a Community Near the Ivindo National Park Makokou, Gabon. Makokou/Ipassa, Gabon: Project IRET/CENAREST and CIFOR. Sato, M., N. Ramarathnam, Y. Suzuki, T. Ohkubo, M. Takeuchi, and H. Ochi. 1996. Varietal differences in the phenolic content and superoxide radical scavenging potential of wines from different sources. Journal of Agriculture Food Chemistry 44: 37-41. Seigler, D.S. 1998. Plant Secondary Metabolism. Dodrecht: Kluwer. Sequiera, K.M. 1998. Diversity, systematics, distribution, and taxonomy of epiphytic pterydophytes of Kerala part of Western Ghats, South India. Indian Fern Journal 15: 106-130. Shimoi, K., S. Masuda, B. Shen, M. Furugori, and N. Kinae. 1996. Radioprotective effects of antioxidative plant flavonoids in mice. Mutant Research 350: 153-161. Silva, G.L., H. Chai, M.P. Gupta, N.R. Farnsworth, G.A. Cordell, J.M. Pezzuto, C.W. Beecher, and A.D. Kinghorn. 1995. Cytotoxic biflavonoids from Selaginella willdenowii. Phytochemistry 40 (1): 129-134 Silva, K.L., da, A.R. dos Santos, P.E. Mattos, R.A. Yunes, F. Delle-Monache, and V. Cechinel-Filho. 2001. Chemical composition and analgesic activity of Calophyllum brasiliense leaves. Therapie 56: 431-434. Simoes, C.M., M. Falkenberg, L. Auler-Mentz, E.P. Schenkel, and M. Amoros. 1999. Antiviral activity of South Brazilian medicinal plant extracts. Phytomedicine 6: 205-214. Smith, P.M. 1976. The Chemotaxonomy of Plants. London: Edward Arnold. Son, M.J., T.C. Moon, E.K. Lee, K.H. Son, H.P. Kim, S.S. Kang, J.K. Son, S.H. Lee, and H.W. Chang. 2006. Naturally occurring biflavonoid, ochnaflavone, inhibits cyclooxygenases-2 and 5-lipoxygenase in mouse bone marrow-derived mast cells. Archives of Pharmacal Research 29: 282-286. Stajner D., N. Milic, N. Mimica-Dukic, B. Lazic and R. Igic. 1998. Antioxidant abilities of cultivated and wild species of garlic. Phytotheraphy Research 12: 513-514. Su, Y., C.M. Sun, H.H. Chuang, and P.T. Chang. 2000. Studies on the cytotoxic mechanisms of ginkgetin in a human ovarian adenocarcinoma cell line. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol. 362 (1): 82-90 Sun, C.M., W.J. Syu, Y.T. Huang, C.C. Chen, and J.C. Ou. 1997. Selective cytotoxicity of ginkgetin from Selaginella moellendorffii. Journal of Natural Products 60 (4): 382-384. Sun, D.-M., W.-H. Luo, and Z.-Y. Li. 2006. Determination of amentoflavone in 11 species of Selaginella medicinal material by HPLC. Zhong-Yao-Cai. 29 (1): 26-28. Swamy, R.C., O. Kunert, W. Schuhly, F. Bucar, D. Ferreira, V.S. Rani, B.R. Kumar, and A.V.N.A. Rao. 2006. Structurally unique biflavonoids from Selaginella chrysocaulos and Selaginella bryopteris. Chemistry and Biodiversity 3 (4): 405-414. Takemoto, T., S. Ogawa, N. Nishimoto, S. Arihara, and K. Bue. 1967. Insect moulting activity of crude drugs and plants (1). Yakugaku Zasshi 87, 1414-1418. Thadani, M.B. 2002. Not all herbs are remedies. Canadian Journal of CME (February): 67-72. Timberlake, C.F. and B.S. Henry. 1986. Plant pigments as natural food colours. Endeavour 10: 31-36. Tolonen, A. 2003. Analisys of Secondary Metabolites in Plant and Cell Culture Tissue of Hypericum perforatum L. and Rhodiola rosea L.

81

[Dissertation]. Oulu: Faculty of Science, University of Oulu, Tryon, R.M. and A.F. Tryon. 1982. Fern and Allied Plants, with Special Reference to Tropical America. New York: Springer. Turkoglu, A., I. Kivrak, N. Mercan, M.E. Duru, K. Gezer, and H. Turkoglu. 2006. Antioxidant and antimicrobial activities of Morchella conica Pers. African Journal of Biotechnology 5 (11): 1146-1150. Uluk, A., M. Sudana, dan E. Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang. Bogor: Cifor. USDA, ARS, NGRP. 2008. Selaginella doederleinii Hieron. In: Germplasm Resources Information Network-(GRIN) [Online Database]. Beltsville, Maryland: National Germplasm Resources Laboratory. www.ars-grin.gov/cgi-bin/npgs/html/taxon.pl?423542 (22 February 2008) van Andel, T.R. 2000. Non-Timber Forest Products of the North-West District of Guyana. Part I & Part II (A field guide). Georgetown, Guyana: Tropenbos-Guyana Programme. van Dijck, P., J.O. Mascorro-Gallardo, M. de Bus, K. Royackers, G. Iturriaga, and J.M. Thevelein. 2002. Truncation of Arabidopsis thaliana and Selaginella lepidophylla trehalose-6-phosphate synthase unlocks high catalytic activity and supports high trehalose levels on expression in yeast. Biochemistry Journal 366: 63-71 Verma, A.K., J.A. Johnson, M.N. Gould, and M.A. Tanner. 1988. Inhibition of 7,12 dimethylbenz(a)anthracene and N-nitrosomethylurea induced rat mammary cancer by dietary flavonol quercetin. Cancer Research 48: 5754-5788. Wang, P.-S, and X.-Y. Wang. 2001. Pteridophyte. In: Wang, P-S. (ed.). Flora of Guizhou. Guiyang: Guizhou Science and Technology Press. Wang, Q., J. Zhu, and Y. Li. 1990. Study on the synthesis of some new biflavonoids. Chinese Science Bulletin 35 (9): 744-746. Weniger. B., C. Vonthron-Senecheau, M. Kaiser, R. Brun and R. Anton. 2006). Comparative antiplasmodial, leishmanicidal and antitrypanosomal activities of several biflavonoids. Phytomedicine 13, 176-180. Wiart, C. 2007. Anti-inflammatory plants. In: Ethnopharmacology of Medicinal Plants Asia and the Pacific. Berlin: Humana Press Wijayakusuma, H.M. 2004. Mengatasi dan Mencegah Kanker Paru-paru Secara Alamiah. http://cybermed.cbn.net.id/ Winkel-Shirley, B. 2002. Biosynthesis of flavonoids and effects of stress. Current Opinion of Plant Biology 5: 218-223. Woo, E.R., J.Y. Lee, I.J. Cho, S.G. Kim, and K.W. Kang. 2005. Amentoflavone inhibits the induction of nitric oxide synthase by inhibiting NF-κB activation in macrophages. Pharmacological Research 51 (6): 539-546. Woo, E.-R., Y. Pokharel, J.W. Yang, S.Y. Lee, and K.W. Kang. 2006. Inhibition of Nuclear Factor-κB activation by 2',8''-biapigenin. Biological and Pharmaceutical Bulletin 29 (5): 976-980. Yamada, H., T. Nagai, and K. Takahashi. 2007. Anti-influenza virus compound comprising biflavonoid-sialic acid glycoside. United States Patent & Trademark Office (USPTO) No. 20070004649 (January 4, 2007). Yamaguchi, L.F., D.G. Vassao, M.J. Kato, and P. Mascio. 2005. Biflavonoids from Brazilian pine Araucaria angustifolia as potentials protective agents against DNA damage and lipoperoxidation. Phytochemistry. 66: 2238-2247. Yang, J.W., Y.R. Pokharel, M.-R. Kim, E.-R. Woo, H.K. Choi and K.W. Kang. 2006. Inhibition of inducible nitric oxide synthase by sumaflavone isolated from Selaginella tamariscina. Journal of Ethnopharmacology 105 (1-2): 107-113. Yang, S.F., S.C. Chu, S.J. Liu, Y.C. Chen, Y.Z. Chang, and Y.S. Hsieh. 2007. Antimetastatic activities of Selaginella tamariscina (Beauv.) on lung cancer cells in vitro and in vivo. Journal of Ethnopharmacology 110 (3): 483-489 Yen, K-Y., L-L. Yang, T. Okuyama, H. Hikino and T. Takemoto. 1974. Screening of Formosan ferns for phytoecdysones. 1. Chemical and Pharmaceutical Bulletin 22: 805-808. Yin, M.H., D.G. Kang, D.H. Choi, T.O. Kwon, and H.S. Lee. 2005. Screening of vasorelaxant activity of some medicinal plants used in Oriental medicines. Journal of Ethnopharmacology 99 (1): 113-117. Zembower, D.E., and H. Zhang. 1998. Total synthesis of robustaflavone, a potential anti-hepatitis B agent. Journal of Organic Chemistry 63: 93009305. Zentella, R., J.O. Mascorro-Gallardo, P. Van Dijck, J. Folch-Mallol, B. Bonini, C. van Vaeck, R. Gaxiola, A.A. Covarrubias, J. Nieto-Sotelo, J.M. Thevelein, and G. Iturriaga. 1999. A Selaginella lepidophylla trehalose6-phosphate synthase complements growth and stress-tolerance defects in a yeast tps1 mutant. Plant Physiology 119: 1473-1482. Zheng, J.-X., T.-C. Zhou, K. Xu, and L.-N. Li. 2006. Effect of Selaginella combined with radiotherapy on nasopharyngeal carcinoma. Nan Fang Yi Ke Da Xue Xue Bao 26 (2): 247-248. Zheng, X., J. Du, Y. Xu, B. Zhu, and D. Liao. 2007. A new steroid from Selaginella pulvinata. Fitoterapia 78 (7-8): 598-599. Zheng, X., W.-D. Meng, and F.-L. Qing. 2004. Synthesis of gemdifluoromethylenated biflavonoid via the Suzuki coupling reaction. Tetrahedron Letters 45: 8083-8085. Zheng, X., Y. Bi, W. Feng, S. Shi, J. Wang, and J. Niu. 2004a. Study on the chemical constituents of Selaginella tamariscina (Beauv.) Spring. Yao Xue Xue Bao. 39 (4): 266-268. Zhou, J.H. 2002. Herbal caffeine replacement composition and food products incorporating same. United States Patent 6416806 (July 9, 2002).


ISSN: 1412-033X

Biotransformasi Pirokatekol Glikosida Menggunakan Kultur Suspensi Sel Solanum mammosum L. YATI SUDARYATI SOEKA, JOKO SULISTYO Skrining Isolat-isolat Bakteri untuk Agen Biokontrol Rhizoctonia solani dan Penghasil Surfaktin YULIAR Pengaruh Pemberian Ekstrak Pauh Kijang (Irvingia malayana Oliv ex. A. Benn) terhadap Tingkat Penurunan Parasitemia pada Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei PRAPTIWI, CHAIRUL Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tepung Kulit Pisang Hasil Pengeringan Oven dan Jemur HERNAWATI, ANY ARYANI Pendugaan Keragaman Genetik Amorphophallus titanum Becc. Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA YUYU SURYASARI POERBA, YUZAMMI The Note on Morphology of Rafflesia hasseltii Suringar from Bukit Tigapuluh National Park, Riau NERY SOFIYANTI, KAMARUDIN MAT-SALLEH, NINIK NIHAYATUL WAHIBAH, DEDEK PURWANTO, EDY SYAHPUTRA Studi Perkecambahan Biji dan Pola Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L) dari Beberapa Pohon Induk di Kabupaten Belu, Propinsi NTT ALBERTUS HUSEIN WAWO Studi Vegetasi di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara AGUNG KURNIAWAN, NI KADEK EROSI UNDAHARTA, I MADE RAHARJA PENDIT Keanekaragaman Selaginella di Jawa; Tinjauan Morfologi, Ekologi dan Kondisi Lingkungan AHMAD DWI SETYAWAN, ALEX HARTANA, TATIK CHIKMAWATI, MIFTAHUDDIN Struktur dan Komposisi Vegetasi Zona Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ARRIJANI Keanekaragaman Tanaman pada Hutan Rakyat di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO, SUYANTO, HAFIZIANNOOR, AAN PURNAMA, AHMAD RAFIQI, SYUKRAINY SJUKRAN Interpretation of Mangrove Ecosystem Dynamic in Bintuni Bay Nature Reserve Using Geographic Information System YOSIAS GANDHI, MARTHIN HARDIONO, YOHANES YOSEPH RAHAWARIN, JULIUS NUGROHO Gambaran Umum Konsumsi dan Penggunaan Pakan pada Tarsius (Tarsius bancanus) Betina di Penangkaran WARTIKA ROSA FARIDA, KHIKMAH KUSUMA WARDANI, ANITA SARDIANA TJAKRADIDJAJA, DIDID DIAPARI Pengamatan Habitat, Pakan, dan Distribusi Tarsius tarsier (Tarsius) di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan WIRDATETI, HADI DAHRUDIN Studi Makan dan Populasi Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) di Percut Sei Tuan, Sumatera Utara ERNI JUMILAWATY, TEUKU ALIEF ATHTHORICK REVIEW: Penggalian Kearifan Budaya Lokal dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi EKO BAROTO WALUJO

83-88

89-92 93-96

97-100 101-106

107-111

112-116

117-121 122-131 132-139 140-144

145-148

149-152

153-157

158-161 162-165

Gambar sampul depan: Selaginella sp. (FOTO: AHMAD DWI SETYAWAN)

Terbit empat kali setahun


potong di sini

Yth.: Pembaca dan Kolega Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut: ☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal: Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

potong di sini

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

: ………………………………….……..

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com


Bersama ini saya kirimkan kopi bukti transfer biaya berlangganan jurnal:

dengan besar biaya: Lama waktu Jawa Rp. 100.000,00 1 tahun Rp. 200.000,00 2 tahun Rp. 300.000,00 3 tahun

Kirim dengan perangko

Luar Jawa Rp. 130.000,00 Rp. 260.000,00 Rp. 390.000,00

Untuk dikirimkan kepada: Nama

: …………………………………………

Alamat

: ………………………………..……….

………………………………………………………… ………………………………………………………… Tel. & Fax : ………………………………………… E-mail

KEPADA Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas d.a. Laboratorium Pusat MIPA UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax. +62-271-663375; E-mail: unsjournals@yahoo.com Website: www.unsjournals.com

potong di sini

Biodiversitas, Journal of Biological Diversity

: ………………………………….……..

Yth.: Pembaca dan Kolega

☻Jawa: Rp. 100.000,00. ☺ Luar Jawa: Rp. 130.000,00. Adapun pengiriman sample jurnal secara terbatas dan bebas tagihan (free on charge) sebagaimana telah dilakukan selama ini, untuk selanjutnya hanya akan dilakukan khusus kepada institusi yang secara periodik juga mengirimkan materi publikasinya kepada Pemimpin Umum Jurnal-jurnal UNS, c.q. Pemimpin Redaksi Biodiversitas. Biaya berlangganan dapat dibayarkan secara tunai atau transfer via BNI KC. Sebelas Maret Surakarta, a.n. Solichatun, M.Si. No. Rekening: 274.000146652.941. Surakarta, 1 Januari 2005

potong di sini

Mulai tahun 2005, Biodiversitas, Journal of Biological Diversity (teakreditasi) terbit empat nomor setiap tahun pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober. Selanjutnya untuk memperluas cakupan pembaca, jurnal ini dapat menerima langganan pribadi atau institusi dengan membayar. Ketentuan pengganti biaya pencetakan dan pengeposan per tahun sebagi berikut:


THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK


ISSN: 1412-033X

Sintesis Senyawa Flavonoid-α-Glikosida secara Reaksi Transglikosilasi Enzimatik dan Aktivitasnya sebagai Antioksidan RINI HANDAYANI, JOKO SULISTYO

1-4

Isolasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik Isolat Lokal yang Berpotensi untuk Mengendalikan Larva Nyamuk Aedes aegypti SRI PUJIYANTO, ENDANG KUSDIYANTINI, MOCHAMMAD HADI

5-8

Pertumbuhan In Vitro Tunas Ubi Kayu (Manihot Esculenta Crantz) pada Berbagai Bahan Pemadat Alternatif Pengganti Agar DODY PRIADI, HANI FITRIANI, ENNY SUDARMONOWATI

9-12

Pengaruh Tingkat Ketuaan Buah, Perlakuan Perendaman Air dan GA3 terhadap Perkecambahan Brucea javanica L. Merr. NINIK SETYOWATI, NING WIKAN UTAMI

13-16

Alkaloid and Phenolic Compounds of Rafflesia hasseltii Suringar and its host Tetrastigma mutabile (Blume) Planchon in Bukit Tigapuluh National Park, Riau: A Preliminary Study NERY SOFIYANTI, KAMARUDIN MAT-SALLEH, DEDEK PURWANTO, EDY SYAHPUTRA

17-20

Inventarisasi Anggrek di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat ESTI ENDAH ARIYANTI, PA’I

21-24

Studi Ekologi Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara ONRIZAL, CECEP KUSMANA

25-29

Inventarisasi Jenis dan Potensi Moluska Padang Lamun di Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara AGUS KUSNADI, TEDDY TRIANDIZA, UDHI EKO HERNAWAN

30-34

Viabilitas Serbuk Sari dan Pengaruhnya terhadap Keberhasilan Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ALFIN WIDIASTUTI, ENDAH RETNO PALUPI

35-38

Kajian Rekrutmen Karang Scleractinia di Kepulauan Seribu DKI Jakarta EDI RUDI

39-43

Pemberian Ekstrak Kayu Siwak (Salvadora persica L.) untuk Meningkatkan Kekebalan Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang Dipelihara dalam Karamba HENNI SYAWAL, SYAFRIADIMAN, SYAUQI HIDAYAH

44-47

Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas EDWI MAHAJOENO, BIBIANA WIDIYATI LAY, SURJONO HADI SUTJAHJO, SISWANTO

48-52

REVIEW: Symbiosis between the Giant Clams (Bivalvia; Tridacninae) and Zooxanthellae (Dinoflagellatae) UDHI EKO HERNAWAN

53-58

REVIEW: Research Ethnobotany in Indonesia and the Future Perspectives EKO BAROTO WALUJO

59-63

REVIEW: Senyawa Biflavonoid pada Selaginella dan Pemanfaatannya AHMAD DWI SETYAWAN, LATIFAH KOSIM DARUSMAN

64-81

Gambar sampul depan: Karang Scleractinia (FOTO: EDI RUDI)

Terbit empat kali setahun


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.