ISSN: 1412-033X
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
PENERBIT: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta, Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas Universitas Sebelas Maret Surakarta
ALAMAT PENERBIT/REDAKSI: L AB O R AT O R I U M P U S AT M I P A U N I V E R S I T AS S E B E L AS M AR E T Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126. Tel. & Fax.: +62-271-663375; Tel.: +62-271-646994 Psw. 398, 339; Fax.: +62-271-646655. E-mail: unsjournals@yahoo.com; unsjournals@gmail.com. Online: www.unsjournals.com
TERBIT PERTAMA TAHUN: 2000
ISSN: 1412-033X
TERAKREDITASI BERDASARKAN KEPUTUSAN DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS RI No. 55/DIKTI/Kep/2005
PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNGJAWAB: Sutarno
SEKRETARIS REDAKSI: Ahmad Dwi Setyawan, Ari Pitoyo
PENYUNTING PELAKSANA: Suranto (Biologi Molekuler), Marsusi, Solichatun (Botani), Edwi Mahajoeno, Sugiyarto (Zoologi), Wiryanto (Ilmu Lingkungan)
BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity mempublikasikan tulisan ilmiah, baik hasil penelitian asli maupun telaah pustaka (review) dalam lingkup keanekaragaman hayati (biodiversitas) pada tingkat gen, spesies, dan ekosistem. Setiap naskah yang dikirimkan akan ditelaah oleh redaktur pelaksana, redaktur ahli, dan redaktur tamu yang diundang secara khusus sesuai bidangnya. Dalam rangka menyongsong pasar bebas, penulis sangat dianjurkan menuliskan karyanya dalam Bahasa Inggris, meskipun tulisan dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar tetap sangat dihargai. Jurnal ini terbit empat kali setahun, setiap bulan Januari, April, Juli, dan Oktober.
PEDOMAN UNTUK PENULIS Format penulisan pada nomor ini merupakan acuan utama bagi para penulis, adapun pedoman ini hanya merupakan ringkasannya. Setiap naskah harus disertai surat pengantar yang menyatakan bahwa tulisan merupakan hasil karya penulis atau para penulis dan belum pernah dipublikasikan. Penulis diminta mengirimkan dua kopi naskah dan satu disket ukuran 3½” atau compact disc (CD), kecuali naskah yang dikirim melalui e-mail. Pada koreksi terakhir kembali diminta satu disket untuk pencetakan. Tulisan diketik pada satu sisi kertas putih, ukuran A4 (210x297 mm2), dalam satu kolom, menggunakan spasi ganda, jenis huruf Times New Roman, ukuran 12 point, dengan jarak tepi 2 cm di semua sisi. Program pengolah kata atau jenis huruf tambahan dapat digunakan, namun harus PC compatible dan berbasis Microsoft Word. Nama ilmiah (genus, spesies, author), dan kultivar atau strain disebutkan secara lengkap pada penyebutan pertama kali. Nama genus dapat disingkat setelahnya penyebutan yang pertama, kecuali menimbulkan kerancuan. Nama author dapat dihilangkan setelah penyebutan pertama. Misalnya pertama kali ditulis Rhizopus oryzae L. UICC 524, selanjutnya ditulis R. oryzae UICC 524. Nama daerah dapat dicantumkan apabila tidak menimbulkan makna ganda. Penyebutan nama ilmiah secara lengkap dapat diulang pada bagian Bahan dan Metode. Tatanama kimia dan biokimia mengikuti aturan IUPAC-IUB. Simbol-simbol kimia standar dan penyingkatan untuk nama kimia dapat dilakukan apabila jelas dan umum digunakan, misalnya pertama kali ditulis lengkap butilat hidroksitoluen (BHT) selanjutnya ditulis BHT. Ukuran metrik menggunakan satuan SI, penggunaan satuan lain harus diikuti nilai ekuivalen dengan satuan SI pada penyebutan pertama. Penyingkatan satuan, seperti g, mg, ml, dan sebagainya tidak diikuti titik. Indek minus (m-2, l-1, h-1) disarankan untuk digunakan, kecuali dalam hal-hal seperti “per-tanaman” atau “per-plot”. Persamaan matematika tidak selalu dapat dituliskan dalam satu kolom dengan teks, untuk itu dapat ditulis secara terpisah. Angka satu hingga sepuluh dinyatakan dengan kata-kata, kecuali apabila berhubungan dengan pengukuran, sedangkan nilai di atasnya dituliskan dalam angka, kecuali di awal kalimat. Pecahan sebaiknya dinyatakan dalam desimal. Dalam teks digunakan “%” bukannya “persen”. Pengungkapan ide dengan kalimat yang rumit dan berteletele perlu dihindari, sebaiknya digunakan kalimat yang efektif dan efisien. Naskah hasil penelitian diharapkan tidak lebih dari 25 halaman (termasuk gambar dan tabel), naskah telaah pustaka menyesuaikan, masing-masing halaman berisi 700-800 kata, atau sebanding dengan naskah dalam nomor penerbitan ini. Judul ditulis secara padat, jelas, dan informatif, maksimum 20 kata. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Naskah yang terlalu panjang dapat dibuat berseri, tetapi naskah demikian jarang diterbitkan jurnal ini. Judul pelari (running title) sekitar lima kata. Nama penulis atau para penulis pada naskah kelompok ditulis secara lengkap dan tidak disingkat. Nama dan alamat institusi ditulis lengkap dengan nama dan nomor jalan (lokasi), kode pos, nomor telepon, nomor telepon genggam, nomor faksimili, alamat e-mail, dan website. Pada naskah kelompok perlu ditunjukkan penulis untuk korespondensi beserta alamat dengan urutan seperti di atas. Abstract sebaiknya tidak lebih dari 200 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah dalam bahasa Indonesia (teks dalam bahasa Indonesia hanya untuk kepentingan keredaksian) atau bahasa Inggris saja untuk naskah dalam bahasa Inggris. Kata kunci (Keywords) sekitar lima kata, meliputi nama ilmiah dan daerah (apabila ada), topik penelitian dan metode-metode khusus yang digunakan. Pendahuluan (Introduction) sekitar 400-600 kata, meliputi latar belakang, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian. Bahan dan Metode (Materials and Methods) sebaiknya ditekankan pada cara kerja dan cara analisis data. Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion) ditulis sebagai satu rangkaian, pada tulisan yang cukup panjang sebaiknya dibuat beberapa sub judul. Pembahasan merupakan jawaban pertanyaan mengapa dan bagaimana hasil penelitian dapat terjadi, bukan sekedar mengungkapkan kembali hasil penelitian dalam bentuk kalimat. Pembahasan yang lengkap dan menyeluruh lebih disukai dari pada pembahasan yang tidak tuntas. Naskah telaah pustaka tanpa sub judul Bahan dan Metode, serta Hasil dan Pembahasan. Kesimpulan (Conclusion) sebaiknya tetap diberikan, meskipun biasanya sudah terungkap pada Hasil dan Pembahasan. Ucapan terima kasih (Acknowledgments) apabila diperlukan ditulis secara singkat. Gambar dan Tabel maksimum tiga halaman, dapat dibuat dengan tinta cina atau printer laser. Judul gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan judul table ditulis di atas tabel. Foto dicetak pada kertas glossy dan diberi keterangan. Gambar berwarna dapat diterima apabila informasi ilmiah dalam naskah dapat hilang tanpa gambar tersebut. Setiap gambar dan foto sebaiknya menyertakan file digital.
Penulis dianjurkan menyertakan foto atau gambar untuk sampul depan, meskipun tidak dimuat dalam naskah sendiri. Tidak ada lampiran, semua data atau analisis data dimasukkan dalam Hasil dan Pembahasan. Pustaka dalam naskah ditulis dalam bentuk nama belakang penulis dan tahun. Pada kalimat yang diacu dari beberapa penulis, maka nama penulis diurutkan berdasarkan kebaharuan pustaka. Naskah yang ditulis oleh dua penulis, maka nama keduanya disebutkan, sedang naskah yang ditulis oleh tiga penulis atau lebih, maka hanya nama penulis pertama ditulis diikuti et al. atau dkk., misalnya: Sprent dan Sprent (1990) atau (Smith 1982a, b; Baker and Manwell, 1991; Suranto et al., 1998). Pada sitasi bertingkat digunakan kata cit atau dalam, misalnya (Gyorgy, 1991 cit Coward, 1999) atau Gyorgy (1991, dalam Coward, 1999). Daftar Pustaka diketik dengan spasi ganda. Sitasi mengikuti CBE-ELSE-Vancouver style dengan modifikasi sebagai berikut: Jurnal: Suranto, S., K.H. Gough, D.D. Shukla, and C.K. Pallaghy. 1998. Coat protein sequence of Krish-infecting strain of Johnson-grass mosaic potyvirus. Archives of Virology 143: 1015-1020. Buku: Sprent, J.l., and P. Sprent. 1990. Nitrogen Fixing Organisms: Pure and Applied Aspects. London: Chapman and Hall. Bab dalam buku: Baker, C.M.A. and C. Manwell. 1991. Population genetics, molecular markers and gene conservation of bovine breeds. In: Hickman, C.G. (ed.). Cattle Genetic Resources. Amsterdam: Elsevier Science Publishers B.V. Abstrak: Liu, Q., S. Salih, J. Ingersoll, R. Meng, L. Owens, and F. Hammerschlag. 2000. Response of transgenic ‘Royal Gala’ apple (Malus x domestica Borkh.) shoots, containing the modified cecropin MB39 gene to Erwinia amylovora [084]. Abstracts of 97th Annual International Conference of the American Society for Horticultural Science. Lake Buena Vista, Florida, 23-26 July 2000. Prosiding: Alikodra, H.S. 2000. Keanekaragaman hayati bagi pembangunan daerah otonom. Dalam: Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Nasional Gunung Lawu, Prosiding Semiloka Nasional Konservasi Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah di Pulau Jawa. Surakarta, 17-20 Juli 2000. Skripsi, Tesis, Disertasi: Purwoko, T. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae UICC 524 dan Aktivitas Antioksidan Isoflavon Aglikon dari Tempe terhadap Oksidasi Minyak Kedelai. [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia. Informasi dari Internet: Rosauer, D. 1998. Forest Disturbance and Succession. http:// www.anu.edu.au/ Forestry/silvinative/ daniel/chapter1/1.1.html Naskah publikasi “in press” dapat disitasi dan dicantumkan dalam daftar pustaka. “Komunikasi pribadi” dapat disitasi, tetapi tidak dapat dicantumkan dalam daftar pustaka. Penelitian yang tidak dipublikasikan atau sedang dalam tahap pengajuan publikasi tidak dapat disitasi. Beberapa catatan tambahan. Naskah diketik tanpa tanda hubung (-), kecuali kata ulang. Penggunaan huruf “l” (el) untuk “1” (satu) atau “O” (oh) untuk “0” (nol) perlu dihindari. Simbol α, β, χ, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, bukan mengubah jenis huruf. Kata-kata dan tanda baca sesudahnya tidak diberi spasi. Kemajuan naskah. Pemberitahuan naskah dapat diterima atau ditolak akan diberitahukan sekitar satu bulan setelah pengiriman. Naskah dapat ditolak apabila materi yang dikemukakan tidak sesuai dengan misi jurnal, kualitas materi rendah, format tidak sesuai, gaya bahasa terlalu rumit, terjadi ketidakjujuran keaslian penelitian, dan korespondensi tidak ditanggapi. Penulis atau penulis pertama pada naskah kelompok akan mendapatkan satu eksemplar jurnal yang memuat tulisannya selambat-lambatnya sebulan setelah naskah diterbitkan. Penulis akan kembali mendapatkan satu eksemplar jurnal nomor penerbitan berikutnya. PENTING: Penulis atau para penulis dalam naskah kelompok setuju memindahkan hak cipta (copyright) naskah yang diterbitkan BIODIVERSITAS, Journal of Biological Diversity kepada Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta. Penulis tidak lagi diperkenankan menerbitkan naskah secara utuh tanpa ijin penerbit. Penulis atau pihak lain diperkenankan memperbanyak naskah dalam jurnal ini selama tidak untuk tujuan komersial. Untuk penemuan baru, penulis disarankan mengurus hak patennya sebelum mempublikasikan dalam jurnal ini.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 245-249
Keragaman Genetik berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphophallus muelleri Blume di Jawa Genetic variability of Amorphophallus muelleri Blume in Java based on Random Amplified Polymorphic DNA YUYU SURYASARI POERBA♥, DIYAH MARTANTI Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong Science Center - Bogor 16911. Received: 16 Agustus 2008. Accepted: 25 September 2008.
ABSTRACT Amorphophallus muelleri Blume (Araceae) is valued for its glucomanan content for use in food industry (healthy diet food), paper industry, pharmacy and cosmetics. The species is triploid (2n=3x=39) and the seed is developed apomictically. The present research is aimed to identify genetic variability of six population of A. muelleri from Java (consisted of 50 accessions) using random amplified polymorphic DNA (RAPD). The six populations of the species are: East Java: (1) Silo-Jember, (2) Saradan-Madiun, (3) IPB (cultivated, from SaradanMadiun), (4) Panti-Jember, (5) Probolinggo; and Central Java: (6) Cilacap. The results showed that five RAPD primers generated 42 scorable bands of which 29 (69.05%) were polymorphic. Size of the bands varied from 300bp to 1.5kbp. The 50 accessions of A. muelleri were divided into two main clusters, some of them were grouped based on their populations, and some others were not. The range of individual genetic dissimilarity was from 0.02 to 0.36. The results showed that among six populations investigated, Saradan population showed the highest levels of genetic variation with mean values of na = 1.500+0.5061, ne = 1.3174+0.3841, PLP = 50% and He = 0, 0.1832+0.2054, whereas Silo-Jember population showed the lowest levels of genetic variation with mean values na = 1.2619+0.4450, ne = 1.1890+0.3507, PLP = 26.19% and He = 0.1048+0.1887. Efforts to conserve, domesticate, cultivate and improve genetically should be based on the genetic properties of each population and individual within population, especially Saradan population which has the highest levels of genetic variation, need more attention for its conservation. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Amorphophallus muelleri, RAPD, genetic variability.
PENDAHULUAN Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) adalah satu dari 27 jenis Amorphophallus di Indonesia dan dari 170 jenis yang dikenal di dunia. Jenis ini merupakan tanaman sumber karbohidrat alternatif yang mengandung glukomanan tertinggi di antara jenis Amorphophallus lainnya di Indonesia (Jansen et al., 1996; Sumarwoto, 2004). Sebagian besar iles-iles Indonesia diekspor ke Jepang, yang membutuhkan iles-iles sedikitnya 3000 ton/tahun. Kebutuhan tersebut belum terpenuhi sehingga prospek pengembangan dan peluang ekspor iles-iles ini masih cukup tinggi (Suara Merdeka 22/11/2001). Amorphophallus muelleri merupakan tanaman tahunan dan beregenerasi melalui organ vegetatif yaitu umbi atau potongan umbi, bulbil, stek daun dan secara generatif yaitu dengan biji. Jenis ini merupakan tanaman triploid dengan kromosom dasar x = 13 (Jansen et al., 1996; Ishida, 2002). Walaupun tanaman ini dapat bereproduksi melalui biji, namun biji yang terbentuk adalah apomik (Jansen et al., 1996). Dengan demikian keturunan dari tanaman ini secara genetik akan identik dengan induk betinanya. Penanda molekuler banyak digunakan dalam analisis
♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong Bogor 16911 Tel.: +62-21-8765066/7, Fax.: +62-21-8765063 e-mail: yyspoerba@yahoo.com
keragaman genetik tumbuhan, salah satunya adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD). Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi genotipe tumbuhan, karena memiliki kelebihan dalam pelaksanaan dan analisisnya. Dibandingkan dengan penanda DNA yang lain, seperti restriction fragment length polymorphisms (RFLP) dan simple sequence repeats (SSR), teknik RAPD lebih murah, mudah dilakukan, cepat memberikan hasil, menghasilkan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak, tidak memerlukan pengetahuan tentang latar belakang genom yang dianalisis dan mudah memperoleh primer acak yang diperlukan untuk menganalisis genom semua jenis organisme (Tingey et al., 1994). Walaupun metode ini kurang sempurna dan memiliki kelemahan dalam konsistensi produk amplifikasi (Jones et al., 1997), tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan mengoptimalkan ekstraksi, dan kondisi PCR serta pemilihan primer yang tepat. Marka RAPD sudah banyak digunakan pada jenisjenis tumbuhan tropis, khususnya dari suku Araceae (Irwin et al., 1998; Jiménez et al., 2002; Prana dan Hartati, 2003; Nowbuth et al., 2005; Poerba dan Yuzammi, 2008). Hingga saat ini, pengetahuan tentang genetika populasi tanaman ini A. muelleri belum terungkap. Diharapkan dengan diketahuinya informasi genetik ini akan membantu dalam pelestarian maupun dalam upaya pemuliaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari karakter genetik populasi A. muelleri yang ada di Jawa dengan menggunakan marka RAPD.
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 245-249
246
BAHAN DAN METODE Bahan penelitian yang digunakan adalah sampel A. muelleri yang dikoleksi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur serta koleksi Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahan penelitian tersebut terdiri atas enam populasi, yaitu Jawa Timur: (1) Silo, Jember, (2) Saradan, Madiun, (3) IPB (budidaya, dikoleksi dari Saradan), (4) Panti, Jember, (5) Probolinggo; dan Jawa Tengah: (6) Cilacap, dengan masing-masing populasi terdiri atas 7-10 individu (Tabel 1). Bahan penelitian dikoleksi dari habitat alami, kecuali koleksi IPB dari lahan budidaya. Metode pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan panduan pengambilan sampel DNA di lapangan (Widjaja dan Poerba, 2004). Tabel 1. Koleksi sampel Amorphophallus muelleri Blume dari enam populasi di Jawa. No. populasi/No. sampel 1/1 1/2 1/3 1/4 1/5 1/6 1/7 1/8 1/9 Jumlah sampel 2/10 2/11 2/12 2/13 2/14 2/15 2/16 2/17 2/18 2/19 Jumlah sampel 3/20 3/21 3/22 3/23 3/24 3/25 3/26 3/27 3/28 Jumlah sampel 4/29 4/30 4/31 4/32 4/33 4/34 4/35 Jumlah sampel 5/36 5/37 5/38 5/39 5/40 5/41 5/42 5/43 Jumlah sampel 6/44 6/45 6/46 6/47 6/48 6/49 6/50 Jumlah sampel Jumlah sampel total
Populasi Silo Silo Silo Silo Silo Silo Silo Silo Silo Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan Saradan IPB IPB IPB IPB IPB IPB IPB IPB IPB Panti Panti Panti Panti Panti Panti Panti Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap Cilacap
No. aksesi DM004 DM005 DM006 DM008 DM009 DM010 DM011 DM012 DM013 9 YSP101 YSP127 YSP129 YSP130 YSP144 YSP146 YSP147 YSP158 YSP159 YSP160 10 YSPR-1 YSPB-1 YSPB-4 YSPB-6 YSPB-7 YSPB-9 YSPB-13 YSPB-15 YSPB-19 9 DM014 DM015 DM016 DM017 DM018 DM019 DM021 7 DM068 DM069 DM070 DM073 DM074 DM079 DM080 DM083 8 DM088 DM089 DM090 DM091 DM092 DM093 DM094 7 50
Ekstraksi dan isolasi DNA Ekstraksi dan isolasi DNA genom A. muelleri dilakukan berdasarkan metode CTAB (Delaporta et al., 1983) yang dimodifikasi. Kuantitas setiap DNA hasil isolasi diukur dengan Flourometer (Shimadzu UV1201), sedangkan kualitasnya dilihat pada gel elektroforesis 0.8%. Hasil ekstraksi DNA yang menghasilkan kuantitas dan kualitas DNA yang cukup baik, dilanjutkan dengan polymerase chain reaction (PCR). Optimasi PCR dan Amplifikasi DNA DNA genom A. muelleri diamplifikasi menggunakan primer acak yang terdiri dari 10 basa (dekamer) (Operon Tech). Optimasi PCR dilakukan untuk mendapatkan kondisi PCR yang optimal. Beberapa variabel seperti konsentrasi primer, konsentrasi cetakan DNA, dan suhu penempelan primer yang digunakan untuk PCR dipelajari dan dicoba untuk mendapatkan produk PCR yang optimal. Untuk memilih primer yang akan digunakan dalam analisis RAPD, setiap populasi A. muelleri diwakili oleh satu individu yang diambil secara acak dan diamplifikasi menggunakan 12 primer dari Operon Tech. (OPA 11, OPA 19, OPB 17, OPC 04, OPC-07, OPD-04, OPU 03, OPU 06, OPU 07, OPU 14, OPN 19 dan OPN-18E). Primer yang memberikan pita amplifikasi yang tegas dan jelas serta menghasilkan pita DNA polimorfik dipilih untuk mengamplifikasi DNA seluruh contoh A. muelleri. Amplifikasi DNA dilakukan berdasarkan metode Williams et al. (1990) yang dimodifikasi. Selanjutnya PCR dilakukan pada total volume 15 Îźl. Primer yang digunakan pada penelitian selanjutnya adalah lima primer dari Operon Technology (Tabel 2). Masing-masing tabung PCR berisi 0.2 nM dNTPs; 1.5 Îźl bufer reaksi; 2mM MgCl2; 10 ng DNA ; 5 pmol primer tunggal; dan 1 unit Taq DNA polymerase (Promega). Reaksi PCR dengan menggunakan thermocycler 0 (Takara) selama 45 siklus. PraPCR pada suhu 94 C selama 5 menit, kemudian diikuti oleh 45 siklus yang terdiri atas denaturasi 1 menit pada suhu 940C, penempelan primer 1 0 menit pada suhu 36 C, dan 2 menit pemanjangan pada 0 suhu 72 C. Setelah 45 siklus selesai, kemudian diikuti 0 pascaPCR 4 menit pada suhu 72 C dan pendinginan pada 0 suhu 4 C selama 30 menit. Hasil amplifikasi difraksinasi secara elektroforesis dengan menggunakan Mupid Mini Cell pada gel agarosa 2.0% dalam bufer TEA (Tris-EDTA) selama 60 menit pada 50 V. Kemudian direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi akhir 1Îźg ml-1 selama 10 menit. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dan difoto menggunakan gel documentation system. Sebagai standar digunakan 100 bp DNA ladder (Promega) untuk menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Analisis data Setiap pita RAPD dianggap sebagai satu lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang digunakan untuk skoring: ada (1) dan kosong (0). Matriks binari fenotipe RAPD ini kemudian disusun untuk digunakan pada analisis kluster individu dengan menggunakan UPGMA (unweighted pair group with arithmeatic average) program NTSYS-pc (numerical taxonomy system) versi 2.0 (Rohlf, 1997). Nilai kesamaan genetika diambil dari Simple Matching Coefficient (Dunn dan Everitt, 1982), sedangkan nilai ketidaksamaan genetik merupakan pengurangan nilai dalam matrik kemiripan oleh nilai 1 (Dunn dan Everitt, 1982). Matrik jarak genetik antar populasi dihitung dengan menggunakan Nei's unbiased genetic distances (Nei, 1978) dengan program POPGENE (Yeh et al., 1997). Dendrogram populasi yang dihasilkan dari analisis dilihat menggunakan program TREEVIEW software (Page, 1996).
POERBA dan MARTANTI – Keragaman RAPD pada Amorphophallus muelleri
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil RAPD Hasil amplifikasi total genom DNA dengan menggunakan lima primer RAPD pada 50 sampel A. muelleri menghasilkan produk PCR yang dapat dibaca dan diskor, sehingga hasilnya dapat dianalisis. Hasil PCR dengan salah satu primer (OPB-17) dapat dilihat pada Gambar 1. Sekuens dari kelima primer ini dan jumlah marka RAPD yang dihasilkan tertera pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa diperoleh 42 fragmen DNA yang berukuran dari 300bp hingga 1.5 kb, dengan 29 fragmen DNA (69.05%) polimorfik dan hanya 13 fragmen DNA (30.95%) yang monomorfik. Hal ini menunjukkan marka RAPD yang digunakan memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi (>50% pita polimorfik). Kelima primer menghasilkan 6-11 pita DNA yang dapat dideteksi dan diskor. Jumlah maksimum pita polimorfik 9 terdapat pada primer OPD-04 (Tabel 2). Tabel 2. Primer yang digunakan dan jumlah pita DNA hasil amplifikasi dan tingkat polimorfisme pada 50 aksesi Amorphophallus muelleri Blume
Primer OPB-17 OPC-07 OPD-04 OPU-03 OPN-18E
Urutan basa 5’-3’ AGGGAACGAG CACACTCCAG TCTGGTGAGG CTATGCCGAC AAGGTGAGGTCA Jumlah
Pita polimorfik 7 5 9 3 5 29 (69.05%)
Pita monomorfik 1 3 2 6 1 13 (30.95%)
Jumlah 8 8 11 9 6 42 (100%)
Jumlah dan intensitas pita DNA yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA dengan PCR sangat tergantung bagaimana primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan (Tingey et al., 1994). Hasil amplifikasi DNA A. muelleri menggunakan lima primer acak diatas tidak selalu memperoleh pita dengan intensitas yang sama. Intensitas pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer sangat dipengaruhi oleh kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA. Cetakan DNA yang mengandung senyawa-senyawa seperti polisakarida dan senyawa fenolik, serta konsentrasi DNA cetakan yang terlalu kecil sering menghasilkan pita DNA amplifikasi yang redup atau tidak jelas (Weeden et al.,
247
1992). Sebaran situs penempelan primer pada cetakan DNA dan adanya kompetisi tempat penempelan primer pada cetakan DNA menyebabkan satu fragmen diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit. Proses amplifikasi mungkin saja diinisiasi pada beberapa tempat, namun hanya beberapa set yang dapat dideteksi sebagai pita sesudah diamplifikasi (Weeden et al., 1992). Pemilihan primer pada analisis RAPD berpengaruh terhadap polimorfisme pita yang dihasilkan, karena setiap primer memiliki situs penempelan tersendiri, akibatnya pita DNA polimorfik yang dihasilkan setiap primer menjadi berbeda, baik dalam ukuran banyaknya pasang basa maupun jumlah pita DNA. Analisis kluster antar individu dan antar populasi Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. muelleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama, yaitu (A) koefisien kesamaan 0.86 dan (B) koefisien kesamaan 0.83. Kluster A terdiri atas dua subkluster yaitu subkluster yang terdiri atas H (aksesi no 9 dan 10 masing-masing dari populasi Silo dan Saradan) dan subkluster lain yang terdiri atas beberapa kelompok kecil yang sebagian besar mengelompok mayoritas berdasarkan populasinya (D, E, F dan G), dan mengelompok secara acak (C). Kluster B terdiri atas dua subkluster, yaitu I dan J. Subkluster I terbagi lagi menjadi dua kelompok kecil yang terdiri L (populasi Cilacap) dan K yang mengelompok lagi berdasarkan populasinya (N, populasi IPB) dan mengelompok secara acak (M). Subkluster J terbagi atas aksesi nomor 29 (Panti) dan O yang mengelompok berdasarkan populasinya (R, populasi Probolinggo) dan mengelompok secara acak (P dan Q). Amorphophallus muelleri merupakan jenis triploid, apomiksis, dan diperbanyak secara vegetatif. Nampaknya, apomiksis memegang peranan penting pada jenis tanaman ini. Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. muelleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama yang sebagian mengelompok berdasarkan populasinya dan sebagian lainnya mengelompok secara acak (Gambar 2). Fenomena yang menarik dari hasil analisis kluster ini adalah mengelompoknya individu dari populasi yang berlainan ke dalam satu kluster. Hal ini mengindikasikan adanya keragaman genetik pada A. muelleri yang mungkin disebabkan adanya rekombinasi genetik. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa biji A. muelleri yang bersifat apomiktik bukan merupakan obligat apomiktik.
Gambar 1. Hasil PCR 50 sampel Amorphophallus muelleri Blume dengan primer OPB-17. Keterangan: M = DNA marker (100 bp ladder Promega); Aksesi:1-9 = Silo, 10-19 = Saradan, 20-28 = IPB, 29-35 = Panti, 36-43 = Probolinggo, 44-50 = Cilacap. = pita monomorfik, = pita polimorfik.
248
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 245-249
menjadi satu yang menunjukkan kesamaan properti genetik. Kelompok lainnya, dua populasi yaitu populasi 5 (Probolinggo) dan 6 (Cilacap) mengelompok menjadi satu, sedangkan populasi 4 (Panti) dan populasi 3 (IPB) berdiri sendiri-sendiri. POP 1 POP 2 POP 3 POP 4 POP 5 POP 6 Gambar 3. Dendrogram enam populasi Amoprhophallus muelleri Blume berdasarkan jarak genetic Nei (1978). Populasi: (1) = Silo, 2 = Saradan 3 = IPB, 4 = Panti-Jember, 5 = Probolinggo dan 6 = Cilacap.
Koefisien kesamaan genetik
Gambar 2. Dendrogram 50 aksesi Amorphophallus muelleri Blume. Keterangan: Aksesi: 1-9 = Silo, 10-19 = Saradan, 20-28 = IPB, 2935 = Panti, 36-43 = Probolinggo, 44-50 = Cilacap.
Nilai ketidaksamaan genetik (Dunn and Everitt, 1982) untuk ke-50 aksesi berkisar dari 0.02 hingga 0.36 dengan yang tertinggi (0.36) terdapat antara aksesi 16 (Saradan) dan 21 (IPB) dan paling rendah 0.02 antara aksesi 20 dan 26 (keduanya termasuk dalam populasi IPB). Hal ini menunjukkan adanya keragaman genetik antar individu dan antar populasi. Pendugaan pertama adalah lokus polimorfik yang digunakan dalam analisis ini sudah dipilih yang memiliki polimorfisme yang tinggi. Keragaman genetik antar aksesi pada tiap populasi bervariasi (Tabel 3). Populasi Saradan memiliki nilai na, ne, dan He tertinggi dibandingkan dengan populasi lainnya yaitu na = 1.500+0.5061, ne = 1.3174+0.3841, PLP = 50% dan He = 0, 0.1832+0.2054. Populasi Silo menunjukkan nilai keragaman genetik yang paling rendah dengan nilai ratarata na = 1.2619+0.4450, ne = 1.1890+0.3507, PLP = 26.19% dan He = 0.1048+0.1887. Hubungan kekerabatan genetik antar populasi dianalisis dengan jarak genetik Nei (1978) dengan metode UPGMA (Gambar 4). Secara umum, populasi A. muelleri membentuk dua kelompok utama. Kelompok pertama, terdiri atas populasi 1 (Silo) dan 2 (Saradan) mengelompok
Nilai pasangan jarak genetik (Nei, 1978) di antara populasi yang diuji tertera pada Tabel 4. Jarak genetik tertinggi terdapat antara populasi Silo dengan populasi IPB (0.3593), dan yang terkecil terdapat antara populasi Probolinggo dan Cilacap (0.0255). Tabel 4. Nilai jarak genetik (Nei, 1978) pada enam populasi Amorphophallus muelleri Blume Populasi 1 2 1 **** 2 0.0862 **** 3 0.3593 0.1736 4 0.2849 0.1408 5 0.2958 0.1225 6 0.2777 0.1084 Keterangan: Populasi 1=Silo, 2 Probolinggo dan 6 = Cilacap.
3
4
5
6
**** 0.1086 **** 0.1184 0.0283 **** 0.0849 0.0491 0.0255 **** = Saradan 3 = IPB, 4 = Panti, 5 =
Populasi Saradan memiliki nilai keragaman genetik tertinggi 0.1832+0.2054 (Tabel 3) dibandingkan populasi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah Saradan merupakan salah satu pusat keragaman A. muelleri di Jawa. Analisis lebih mendalam diperlukan dengan menggunakan aksesi dari populasi lain dan primer yang lebih banyak untuk membuktikan hasil ini. Walaupun tanaman ini merupakan triploid apomiksis, nampak adanya fakultatif apomiksis dalam jenis ini yang memelihara keragaman genetik melalui reproduksi seksual, yang memungkinkan genotipe baru berkembang dalam kondisi Tabel 3. Keragaman genetik enam populasi Amorphophallus muelleri Blume lingkungan yang baru. Keragaman genetik pada A. muelleri lebih rendah Persentase Ukuran dibandingkan dengan A. titanum Populasi na Ne lokus He*) sampel (tumbuhan yang menyerbuk silang) yang polimorfik berkisar antara 0,14-0,59 (Poerba dan Silo 9 1.2619+0.4450 1.1890+0.3507 26.19 % 0.1048+0.1887 Saradan 10 1.500+0.5061 1.3174+0.3841 50.0% 0.1832+0.2054 Yuzammi, 2008). Populasi Panti 30.95% 0.1130+0.1927 IPB 9 1.3095+0.4679 1.2048+0.3663 merupakan populasi yang memiliki 30.95% 0.1019+0.1727 Panti 7 1.3095+0.4679 1.1708+0.3076 keragaman genetik yang paling rendah. 45.24% 0.1270+0.1728 Probolinggo 8 1.4524+0.5038 0.1270+0.3090 Hal ini mengindikasikan bahwa populasi 42.86% 0.1404+0.1858 Cilacap 7 1.4286+0.5009 1.2336+0.3387 mungkin berasal dari induk yang terbatas Keterangan: * na = jumlah alel yang diamati, * ne = Jumlah alel yang efektif (Kimura atau sama. dan Crow, 1964), * He = Heterozigitas harapan = keragaman gen (Nei, 1978)
POERBA dan MARTANTI – Keragaman RAPD pada Amorphophallus muelleri
Nilai jarak genetik di antara populasi berkisar dari 0.0255-0.3593. Jarak genetik tertinggi terdapat antara populasi Silo dengan populasi IPB (0.3593). Hal ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan populasi IPB berasal dari Silo. Jarak genetik terdekat terdapat antara populasi Probolinggo dan Cilacap (0.0255) yang menunjukkan bahwa populasi Probolinggo dan Cilacap berkerabat dekat, kemungkinan kedua populasi berasal dari sumber yang sama. Upaya konservasi dan pembudidayan dan pemuliaan A. muelleri hendaknya didasarkan atas kondisi properti genetika setiap populasi dan individu dalam setiap populasi, khususnya populasi Saradan yang memiliki keragaman genetik tertinggi perlu mendapat perhatian dalam pelestariannya.
KESIMPULAN Hasil pengamatan genetik A. muelleri dengan menggunakan lima primer RAPD menunjukkan bahwa 50 aksesi yang digunakan dalam penelitian memiliki 42 fragmen DNA yang berukuran dari 300bp hingga 1.5kb. Dari 42 fragmen DNA, 29 fragmen (69.05%) diantaranya polimorfik, dengan indeks marka tertinggi terdapat pada primer OPD-04. Ke-50 aksesi memiliki ketidaksamaan genetik antara 0.02-0.36. Analisis kluster kesamaan genetik pada 50 aksesi A. mulleri menunjukkan pemisahan aksesi ke dalam dua kluster utama, sebagian mengelompok berdasarkan populasinya dan sebagian lainnya mengelompok secara acak. Populasi Saradan memiliki nilai keragaman genetik tertinggi 0.1832+0.2054 dibandingkan populasi lainnya, sedangkan populasi Panti merupakan populasi yang memiliki keragaman genetik yang paling rendah 0.1019+0.1727. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya keragaman genetik pada A. muelleri, walaupun lebih rendah apabila dibandingkan dengan A. titanum. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai keragaman genetik A. muelleri sebaiknya penelitian dilanjutkan dengan menggunakan primer yang lebih banyak dan/atau dengan menggunakan primer yang lain dengan jumlah populasi serta jumlah individu dalam populasi lebih banyak.
UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dibiayai oleh Proyek Kompetitif Domestikasi Flora dan Fauna Indonesia, LIPI Tahun 2006 dan 2007.
249
DAFTAR PUSTAKA Delaporta, S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation. Version II. Plant Molecular Biology Reporter 4: 19-21. Dunn, G. dan B.S. Everitt. 1982. An Introduction to Mathematical Taxonomy. Cambridge: Cambridge University Press. Irwin, S.V., P. Kaufusi, L. Banks, R. de la Pena, and J.J. Cho. 1998. Molecular characterization of taro (Colocasia esculenta) using RAPD markers. Euphytica 99 (3): 183-189. Ishida G. 2002. Karyomorphological observations on some Aroids cultivated in the Hiroshima Botanical Garden II. Amorphophallus. Bulletin of the Hiroshima Botanocal Garden 21:7-30. Jansen, P.C.M., C. van der Wilk, and W.L.A. Hetterscheid. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In: Flach M dan F. Rumawas (eds.). Plant Resource of South East Asia, No 9, Plant Yielding nonSeed Carbohydrates. Bogor: Prosea. Jiménez, J.F., P. Sánchez-Gómez, J. Güemes, O. Werner, and J.A. Rosselló. 2002. Genetic variability in a narrow endemic snapdragon (Antirrhinum subbaeticum, Scrophulariaceae) using RAPD markers. Heredity 89 (5): 387-393. Jones, C.J., K.J. Edwards, S. Castagiole, M.O. Winfield, F. Sala, C. van del Wiel, G. Bredemeijer, B. Vosman, M. Matthes, A. Daly, R. Brettsshneider, P. Bettini, M, Buiatti, E. Maestri, A. Malcevschi, N. Marmiroli, R. Aert, G. Volckaert, J. Rueda, R. Linacero, A. Vasquez and A. Karp. 1997. A reproducibility testing of RAPD, AFLP and SSR markers in plants by a network of European laboratories. Molecular Breeding 3 (5): 382-390. Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small numbers of individuals. Genetics 89: 583-590. Nowbuth, P., G. Khittoo, T. Bahorun, and S. Venkatasamy. 2005. Assessing genetic diversity of some Anthurium andraeanum Hort. cut-flower cultivars using RAPD markers. African Journal of Biotechnology 4 (10): 1189-1194. Page, RDM. 1996. TREEVIEW: An application to display phylogenetic trees on personal computers. Computer Applications in the Biosciences 12: 357-358. Poerba, Y.S. dan Yuzammi. 2008. Pendugaan keragaman genetik Amorphophallus titanum Becc. berdasarkan marka Random Amplified DNA. Biodiversitas 9 (2): 103-107. Prana, T.K. dan N.S. Hartati. 2003. Identifikasi sidik jari DNA talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan teknik (RAPD): Skrining primer dan optimalisasi kondisi PCR. Jurnal Natur Indonesia 5 (2): 107-112. Rohlf, F.J. 1997. NTSYS-pc. Numerical taxonomy and multivariate analysis. Version 2.0. New York: Exeter Software. Suara Merdeka 22/11/2001. Tanaman Iles-iles Bernilai Ekspor Tinggi. Sumarwoto. 2004. Beberapa Aspek Agronomi Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tingey, S.V., J.A. Rafalski, and M.K. Hanafey. 1994. Genetic analysis with RAPD markers. In: Coruzzi, C. and P. Puidormenech (eds.). Plant Molecular Biology. Belin: Springer-Verlag. Weeden, N.F., G.M. Timmerman, M. Hemmat, B.E. Kneen, and M.A. Lodhi. 1992. Inheritance and reliability of RAPD markers. In: Applications of RAPD Technology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia Series, November 1, 1992, Minneapolis, MN. Crop Science Society of America, Madison, WI. Widjaja, E.A. dan Y.S. Poerba. 2004. Pengumpulan data plasma nutfah dan genetika. Dalam: Rugayah, EA Widjaya dan Praptiwi (ed.). Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi, LIPI. Williams, J.G., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalsky, and S.V. Tingev. 1990. DNA plolymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research 18 (22): 6531-6535. Yeh, F.C., Y. Rongcai and T. Boyle. 1997. POPGENE version 1.2: Microsoft Window-based Software for Population Genetic Analysis. A Quick User’s Guide. Alberta: University of Alberta and CIFOR.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Pages: 250-254
Implikasi Genetik Metode Pembiakan Tanaman Shorea johorensis Foxw pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Genetic implication of Shorea johorensis Foxw propagation methods in selective cutting and line planting silvicultural system ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR♼, TEDI YUNANTO, PRIJANTO PAMOENGKAS Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Kampus Darmaga, Bogor 16680. Diterima: 13 Agustus 2008. Disetujui: 3 September 2008.
ABSTRACT Attempt to rehabilitate degraded natural forests in Indonesia is recently carried out by applying selective cutting and line planting (TPTJ) silvicultural system. One of the most important aspects of TPTJ silvicultural system is the procurement methods of large number of planting stocks. Shorea johorensis Foxw was investigated in this regards as one of promising Shorea species for rehabilitating degraded forests due to its fast growing character. The species is usually propagated by three different propagation techniques, namely up-rooted seedlings, seeds and cuttings. Genetic consequences due to different propagation methods in this species are poorly known and need to be studied in order to determine genetic variation and differentiation. Material from five origins (populations), namely: (i) up-rooted seedlings, (ii) seeds, (iii) cuttings, (iv) young plantation and (v) natural forest were randomly taken in the field and subsequently assessed by RAPD using three previously tested random primers of OPO-11, OPO-13 and OPO-16. Results showed that natural tree populations showed the highest levels of genetic variation with mean values na = 1.2593, ne = 1.2070, PLP = 25.93% and He = 0.1109. Cutting populations showed the lowest levels of genetic variation with mean values na = 1.1111, ne = 1.0773, PLP = 11.11% and He = 0.0445. Meanwhile, according to the propagation techniques, up-rooted seedling population revealed the highest levels of genetic variation with mean values na = 1.2222, ne = 1.1613, PLP = 22.22% and He = 0.0886. Particular methods of plant propagation in this company, especially cutting method, reduced significant genetic variation of S. johorensis. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Shorea johorensis Foxw, RAPD, genetic variation, silvicultural system.
PENDAHULUAN Selama tiga dasawarsa terakhir sejak dimulainya pemanfaatan dan pengusahaan hutan secara komersial dalam skala besar pada tahun 1970-an, sektor kehutanan telah menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi nasional yang memberikan dampak positif; namun di sisi lain, pada dasawarsa terakhir, hutan di Indonesia juga menghadapi tekanan yang sangat berat sebagaimana ditunjukkan oleh adanya perubahan penutupan vegetasinya. Menurut Poernama (2004) areal yang perlu direhabilitasi baik yang ada di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan adalah 46,3 juta ha. Pembalakan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu cenderung terus meningkat terutama jenis meranti (Shorea spp.), namun kurang diimbangi dengan rehabilitasi lahan, sehingga menjadi salah satu penyebab tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Untuk menanggulangi kerusakan hutan, perlu dilakukan rehabilitasi. Salah satu upaya rehabilitasi adalah dengan penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Sistem ini dipandang berhasil dalam pengelolaan hutan karena tidak memberikan dampak buruk terhadap
♼ Alamat korespondensi: Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 Tel. +62-251-8624065, Fax. +62-251-8626886, email:siregar@ipb.ac.id, izsiregar@yahoo.com
lingkungan (tanah dan biodiversitas) (Pamoengkas, 2006). Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian yang berhubungan dengan dampak penerapan sistem silvikultur TPTJ ini, tetapi dampak baik atau buruk penerapan sistem silvikultur TPTJ dari sudut pandang genetik belum banyak diteliti. Terdapat tiga jenis utama meranti yang dikembangkan oleh beberapa perusahaan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) di Indonesia saat ini, yaitu S. leprosula, S. parvifolia dan S. johorensis. Ketiganya secara umum diperbanyak dengan tiga metode perkembangbiakkan, yaitu dari biji, stek dan cabutan. Secara teoritis perbedaan teknik perkembangbiakan akan menyebabkan perbedaan struktur genetik. Mengingat daur hidup pohon hutan lebih lama dibandingkan tanaman pertanian, maka dari sudut pandang genetik, teknik pengadaan bibit memegang peranan penting pada sistem silvikultur TPTJ. Dampak ketidaktepatan pemilihan metode perbanyakan bibit untuk hutan tanaman tidak dapat diketahui secara langsung, tetapi baru diketahui beberapa tahun setelah penanaman (Finkeldey, 2005). Untuk menghindari resiko penanaman bibit dari variasi genetik yang sempit, maka informasi mengenai pengaruh teknik perkembangbiakkan bibit terhadap struktur genetik menjadi penting bagi pengelolaan hutan. Salah satu metode yang digunakan untuk penelusuran sifat tanaman dari segi genotipe adalah teknik analisis Deoxyribose Nucleic Acid (DNA), misalnya Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Teknik RAPD
SIREGAR dkk. – Variasi genetik pada Shorea johorensis
merupakan teknik analisis DNA yang sederhana dan mudah diaplikasikan dibandingkan dengan teknik analisis DNA lainnya. Teknik ini merupakan modifikasi dari Polymerase Chain Reactions (PCR) yang dikembangkan oleh Williams et al. (1990). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode perkembangbiakkan tanaman terhadap variasi genetik S. johorensis dengan membandingkan variasi genetik antara metode biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam.
BAHAN DAN METODE Tempat penelitian Pengambilan sampel daun Shorea johorensis Foxw dari biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam, masing-masing dengan jumlah sampel minimum 6 individu berbeda secara acak, dilakukan di PT. Sari Bumi Kusuma, o o o Kalimantan Tengah pada 111 18’-114 42’ BT dan 01 59’o 00 36’ LU. Penelitian elektroforesis dan analisis DNA dilakukan di Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan adalah daun S. johorensis dari biji, stek, cabutan, hasil tanaman dan pohon di hutan alam. Bahan-bahan yang digunakan untuk proses ekstraksi DNA dan RAPD adalah silika gel, nitrogen cair, bahanbahan kimia seperti Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB 10%, etanol, propanol, kloroform, fenol, HotStarTaq Master Mix (Qiagen), primer (Operon Technology) dan DNA, sedangkan untuk proses uji kualitas DNA hasil ekstraksi dan RAPD dilakukan proses elektroforesis dengan gel agarose dan ethidium bromide (EtBr) untuk proses pewarnaan. Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi DNA, RAPD dan analisis data di laboratorium meliputi mortar dan pestel, sarung tangan, pipet, pipet mikro, tips, mesin sentrifugasi, tube 2 mL dan mikrotube 0,2 mL, vortex, cetakan gel, bak elektroforesis, microwave, power supply, pH meter, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnet, desikator, freezer, water bath, ultraviolet transilluminator, kamera digital, mesin PCR dan komputer. Ekstraksi DNA Kegiatan ekstraksi dan isolasi DNA dari daun dilakukan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi untuk mendapatkan DNA 2 yang cukup murni. Sampel daun (2x2 cm ) digerus menggunakan nitrogen cair di dalam pestel bersih, lalu dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL dan ditambahkan 500700 uL larutan buffer ekstrak dan 100 uL PVP 2%, kemudian hasil gerusan divortex agar menjadi homogen, selanjutnya diinkubasi dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 uL dan fenol 10 uL, lalu dikocok hingga homogen. Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan fase air dan fase bahan organik (supernatan) pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tube baru, ditambahkan isopropanol dingin 500 uL dan NaCl 300 uL, kemudian dikocok. Campuran supernatan dengan isopropanol dingin dan NaCl disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA.
251
Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 uL, lalu disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 2 menit. Cairan etanol dibuang dengan hati-hati agar pelet DNA tidak ikut terbuang, kemudian pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit, selanjutnya ditambahkan larutan buffer TE 20 uL, setelah itu divortek dan disentrifugasi kembali. Seleksi primer Primer adalah rantai pendek DNA yang dihasilkan secara buatan biasanya terdiri antara 10-25 nukleotida (Finkeldey, 2005). Primer berfungsi sebagai titik pemula terjadinya reaksi. Segmen DNA di antara kedua titik pertemuan primer akan diamplifikasi dalam reaksi PCR. Dalam teknik RAPD, umumnya primer yang digunakan berupa oligonukleotida yang memiliki panjang sebesar 10mer yang dipilih secara acak dan minimum memiliki lima basa G dan C. Primer yang mempunyai panjang kurang dari 9-mer dapat digunakan, tetapi akan menghasilkan produk amplifikasi yang lebih sedikit dan diperlukan metode pewarnaan yang lebih sensitif untuk mendeteksinya. Seleksi primer dimaksudkan untuk mencari primer acak yang menghasilkan penanda polimorfik, karena tidak semua primer nukleotida dapat menghasilkan produk amplifikasi (primer positif) dan dari primer positif tidak semuanya menghasilkan fragmen DNA polimorfik. Pada penelitian ini dilakukan survei terhadap 35 primer, yaitu primer dari golongan OPO dan OPY yang diproduksi oleh Operon Technology. Primer dari golongan OPO yaitu dengan memiliki kode primer O.1, O.2, O.4, O.5, O.6, O.7, O.8, O.9, O.10, O.11, O.12, O.13, O.14, O.15, O.16, O.18, O.19, dan O.20. Primer dari golongan OPY memiliki kode primer Y.1, Y.2, Y.3, Y.4, Y.5, Y.6, Y.8, Y.9, Y.11, Y.12, Y.13, Y.14, Y.15, Y.16, Y.17, Y.18, dan Y.20, dari hasil seleksi hanya dipilih 3 primer yaitu O.11, O13 dan O.16. Urutan nukleotida dari masing-masing primer adalah OPO.11 (5'-GACAGGAGGT-3'), OPO.13 (5’GTCAGAGTCC-3’), dan OPO.16 (5’-TCGGCGGTTC-3’). Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Menurut Bernard (1998) PCR merupakan suatu teknik untuk memperbanyak potongan DNA spesifik. Ada 4 komponen utama yang dibutuhkan untuk melakukan proses PCR yaitu (i) DNA target, (ii) Primer, (iii) DNA polymerase, dan (iv) 4 dNTP. Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Teknik RAPD tidak membutuhkan informasi awal tentang urutan basa suatu jenis, yang diperlukan adalah DNA yang relatif murni dan dalam jumlah yang relatif kecil dibandingkan RFLP. RAPD dapat diterapkan pada hampir semua jenis tanaman (Rimbawanto et al., 2001). Jumlah DNA yang diperlukan dalam proses PCR-RAPD sangat sedikit yaitu sekitar 1 µL atau ≤ 10 ng/µL (Promega, 2003). Reaksi PCR-RAPD dilakukan menggunakan 13 uL volume larutan yang terdiri dari H2O 2 uL, primer 1,5 uL, HotStarTaq Master Mix 7,5 uL dan 2 uL genomik DNA. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses RAPD dilakukan menggunakan primer hasil dari seleksi. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi PCR didasarkan atas penelitian Ratih et al. (1998) yang dimodifikasi (Tabel 1).
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 250-254
252
Tabel 1. Tahapan-tahapan dalam proses RAPD. Tahapan Pre-denaturation Denaturation Annealing Extension Final extension
Suhu 0 95 C 0 95 C 0 37 C 0 72 C 0 72 C
Waktu 15 menit 1 menit 2 menit 2 menit 10 menit
Jumlah siklus 1 45 1
Uji kuantitas dan kualitas DNA Karakteristik pita DNA hasil ekstraksi dan RAPD dapat diamati dengan melakukan elektroforesis menggunakan gel agarose dalam larutan buffer 1x TAE. Karakteristik pita DNA hasil ekstraksi dapat diamati dengan gel agarose konsentrasi sebesar 1% (b/v), sedangkan hasil RAPD dianalisis dengan melakukan elektroforesis menggunakan 2,0 % (b/v) gel agarose. Analisis data Hasil RAPD yang telah dielektroforesis selanjutnya difoto dan dianalisis dengan melakukan scoring pola pita yang muncul. Pola pita yang muncul (positif) diberi nilai 1 dan pola pita yang tidak muncul (negatif) diberi nilai 0. Hasil scoring kemudian dianalisis untuk mengetahui frekuensi dan keragaman dalam dan antar populasi S. johorensis menggunakan software POPGENE Versi 1.2 (Yeh et al., 1997). Pendugaan hubungan kekerabatan dilakukan berdasarkan jumlah pita polimorfik yang dimiliki bersama, sedangkan pengelompokan kerabat berdasarkan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic mean) dengan software NTSYS Versi 2.0 (Rohlf, 1998).
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis RAPD Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi 3 primer (OPO11, OPO-13, dan OPO-16) berkisar antara 1-10 pita tergantung pada jenis primer yang digunakan dan DNA yang dianalisis. Untuk primer OPO-11 dan OPO-13 ukuran fragmen yang didapatkan berkisar antara 400-2500 bp, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1 (biji, stek, tanaman dan alam). Variasi genetik Variasi genetik dalam populasi Data keragaman genetik S. johorensis di dalam populasi ditunjukkan oleh nilai parameter keragaman genetik seperti disajikan pada Tabel 2. Parameter keragaman genetik yang
biji
stek
tanaman
diukur adalah jumlah alel yang diamati (na), jumlah alel yang efektif (ne), jumlah lokus polimorfik, persentase lokus polimorfik (PLP), dan heterozigitas harapan (He). Tabel 2. Pengukuran variasi genetik dalam populasi. Populasi Jumlah Na Ne PLP He Biji 6 1,1852 1,1281 18,52% 0,0710 Stek 6 1,1111 1,0773 11,11% 0,0445 Cabutan 6 1,2222 1,1613 22,22% 0,0886 Tanaman 6 1,2593 1,1609 25,93% 0,0896 Alam 6 1,2593 1,2070 25,93% 0,1109 Keterangan: na: Jumlah alel yang diamati; ne: Jumlah alel yang efektif; He: Heterozigitas harapan = keragaman gen (Nei, 1973); PLP: Persentase Lokus Polimorfik.
Pada Tabel 2 terlihat bahwa populasi alam memiliki nilai rata-rata na = 1,2593, ne = 1,2070, PLP = 25,93% dan He = 0,1109, nilai ini merupakan nilai yang paling besar di antara 4 populasi yang lainnya, sedangkan populasi stek memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan He yang paling kecil (na = 1,1111, ne = 1,0773, PLP = 11,11% dan He = 0,0445) dibandingkan dengan nilai rata-rata 4 populasi lainnya. Dilihat dari teknik perkembangbiakkannya, populasi cabutan memiliki nilai rata-rata na, ne, PLP dan He lebih besar (na = 1,2222, ne = 1,1613, PLP = 22,22%, He = 0,0886) dari populasi biji (na = 1,1852, ne = 1,1281, PLP = 18,52%, He = 0,0710) dan populasi stek (na = 1,1111, ne = 1,0773, PLP = 11,11%, He = 0,0445). Berdasarkan parameter keragaman genetik pada Tabel 2, dapat dikatakan populasi alam memiliki keragaman genetik (He) paling tinggi, tetapi nilai keragaman genetik tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan jenis Shorea sp. lainnya (Tabel 3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kerapatan populasi yang rendah. Kerapatan populasi yang rendah menyebabkan suatu jenis kurang bervariasi. Populasi alam memiliki keragaman genetik paling tinggi di antara 4 populasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika struktur genetik akibat seleksi viabilitas, ukuran populasi, dan lain-lain. Menurut Alvarez-Buylla (1996) struktur genetik setiap siklus tanaman dari benih sampai dewasa berbeda-beda. Nilai heterozigositas meningkat seiring dengan perkembangan tanaman. Populasi biji dan cabutan memiliki keragaman genetik lebih tinggi dibandingkan dengan stek, karena biji dan cabutan merupakan hasil perkembangbiakan secara seksual. Menurut Finkeldey (2005) reproduksi seksual menghasilkan sejumlah keturunan yang secara genetik berbeda pada kebanyakan pohon hutan. Populasi stek
biji
alam
tanaman
stek
alam
M
M
2642 bp 2642 bp 1000 bp 1000 bp 500 bp
500 bp
100 bp
100 bp
A
B
Gambar 1. Hasil proses RAPD dengan primer OPO-11 (A) dan OPO-13 (B) pada S. johorensis yang didapat dari populasi biji, stek, tanaman dan hutan alam (data dari cabutan tidak ditunjukkan).
SIREGAR dkk. – Variasi genetik pada Shorea johorensis
Tabel 3. Variasi genetik famili Dipterocarpaceae. Jenis Metode He Sumber Isozim 0,369 Lee et al., 2000 S. leprosula Mikrosatelit 0,723 Stacy et al., 2001 S. cordifolia Mikrosatelit 0,639 Ujino et al., 1998 S. curtisii Mikrosatelit 0,622 Lee et al., 2004 S. leprosula Mikrosatelit 0,686 Isoda et al., 2001 S. leprosula AFLP 0,161 Siregar et al., 2005 S. leprosula AFLP 0,138 Siregar et al., 2005 S. parvifolia Keterangan: AFLP: Amplified Fragment Lenght Polymorphism.
merupakan populasi yang memiliki keragaman genetik paling rendah. Menurut Suryo (1986) stek merupakan hasil dari perkembangbiakan secara aseksual yang umumnya secara genetik lebih seragam. Metode pembiakan vegetatif dapat menghasilkan sejumlah ramet dari genotipe tertentu saja yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkat keragaman genetik. Variasi genetik cabutan hidup di alam lebih besar dibandingkan dengan variasi genetik biji, hal ini disebabkan antara lain oleh seleksi kemampuan hidup (viabilitas), jumlah individu yang banyak dari multigenerasi, sehingga seleksi viabilitas dalam merespon perubahan kondisi lingkungan lebih intensif dibandingkan dengan biji yang dikembangkan di persemaian. Variasi genetik antar populasi Berdasarkan analisis gerombol dan nilai jarak genetik (Tabel 4) menggunakan metode pemasangan kelompok aritmatika tidak berbobot (Unweighted Pair-Grouping Method with Aritmatic Averaging, UPGMA) dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi seperti terlihat pada Gambar 2. Populasi biji dan stek membentuk kelompok (klaster) pertama, setelah itu populasi cabutan bergabung dengan kelompok pertama. Populasi alam membentuk kelompok ketiga dengan populasi tanaman. Akhirnya kelompok kedua dengan kelompok ketiga menyatu membentuk kelompok yang lebih besar. Tabel 4. Jarak genetik antar populasi S. johorensis. Populasi Biji Cabutan Stek Tanaman Alam
Biji **** 0,1382 0,0590 0,3573 0,2382
Cabutan
Stek
Tanaman
Alam
**** 0,2011 0,2779 0,2016
**** 0,2974 0,1693
**** 0,1243
****
Gambar 2. Dendrogram jarak genetik antar populasi S. johorensis.
253
Berdasarkan Tabel 4 hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa jarak genetik terdekat adalah antara populasi stek dengan biji yaitu 0,0590. Hal ini menunjukkan populasi stek dikembangbiakkan dari populasi biji. Populasi stek dikembangbiakkan dari biji karena stek harus dikembangbiakkan dari induk yang memiliki fisiologis yang masih muda. Cabutan di alam walaupun memiliki tinggi yang sama dengan bibit yang dikembangbiakkan dari biji, tetapi umurnya bisa mencapai 1-2 tahun. Dilihat dari teknik perkembangbiakkan populasi tanaman memiliki jarak genetik terdekat dengan populasi cabutan yaitu 0,2779. Hal ini sesuai dengan data penanaman dari PT. Sari Bumi Kusuma yang menyebutkan bahwa penanaman berasal dari cabutan sebanyak 70% dari total bibit yang ditanam setiap tahunnya pada saat musim tak berbuah (Suparna, 2004). Tidak menentunya musim berbunga dan berbuah pada famili Dipterocarpaceae menyebabkan perlunya pengembangan teknik perkembangbiakkan vegetatif (Smits, 1993). Implikasi genetik pada S. johorensis Kegiatan tebang pilih dalam penerapan sistem silvikultur dapat menyebabkan ukuran populasi menjadi kecil dan jarak antar individu menjadi semakin jauh, sehingga aliran gen dan migrasi rendah serta penghanyutan genetik tinggi. Kegiatan tebang pilih yang sudah dilakukan selama kurang lebih 25 tahun menyebabkan ukuran populasi menjadi semakin kecil. Resiko hilangnya variasi genetik akibat penghanyutan akan meningkat pada populasi berukuran kecil (Finkeldey, 2005). Ada dua aspek penting yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis untuk pembangunan hutan tanaman yaitu ekonomi dan ekologi. Dari segi ekonomi pembangunan hutan tanaman didasarkan atas sifat fenotipe yang �unggul� sesuai dengan tujuan penanaman, bersifat lestari, efisien, bersifat multifungsi dan untuk kegiatan persilangan. Dari segi ekologi aspek yang sangat penting dari pengelolaan hutan tanaman adalah tingginya kemampuan adaptabilitas tanaman terhadap kondisi lingkungan yang heterogen baik pada tingkat jenis maupun populasi. Pengelolan hutan dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. Menurut Namkoong et al. (1996) salah satu indikator genetik dalam praktek manajemen hutan yang lestari adalah besarnya variasi genetik. Variasi genetik yang besar sangat mempengaruhi kemampuan suatu jenis untuk beradaptasi. Jenis dengan variasi genetik yang sempit akan rentan terhadap kondisi lingkungan yang heterogen. Sempitnya variasi genetik menyebabkan tanaman mudah terserang hama dan penyakit. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan tanaman adalah metode pengadaan bibit. Dalam pengelolaan dan pembangunan hutan tanaman dibutuhkan jumlah bibit yang banyak. Salah satu cara pengadaan bibit dalam jumlah banyak dan cepat adalah menggunakan teknik perkembangbiakan secara vegetatif, misalnya stek. Teknik perkembangbiakan vegetatif cenderung memiliki keragaman genetik yang rendah dan tergantung jumlah pohon induk ataupun bibit yang digunakan sebagai sumber bahan vegetatif. Pemilihan bahan reproduktif untuk bahan penanaman harus berasal dari bibit yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tapak yang akan ditanami. Hal ini bertujuan agar pohon-pohon mampu hidup dalam jumlah cukup sampai akhir daur. Pemilihan bahan reproduktif yang tidak sesuai tidak dapat diperbaiki dengan segera karena baru terlihat jelas setelah beberapa tahun sehingga mengancam keberhasilan penanaman.
254
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 250-254
Berdasarkan hasil penelitian ekploratif ini, bibit yang dikembangbiakkan melalui cabutan memiliki nilai keragaman genetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit lainnya (stek dan biji). Di hutan alam, bibit famili Dipterocarpaceae dari cabutan tersedia dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman, maka perlu ditingkatkan proporsi penggunaan bibit cabutan serta dicari metode baru untuk menyimpan bahan tanaman bibit cabutan dalam jumlah banyak.
KESIMPULAN Perbedaan teknik perkembangbiakkan bibit S. johorensis menyebabkan perbedaan variasi genetik, dimana He ketiga bibit menunjukkan nilai yang berbedabeda. Nilai He paling tinggi adalah dari populasi cabutan (0,0886), disusul biji (0,0710) dan stek (0,0445). Dilihat dari nilai He tanaman (0,0896) dan alam (0,1109) yang lebih tinggi dibandingkan ketiga metode di atas, penerapan sistem silvikultur TPTJ dengan metode perbanyakan bahan tanamannya memberikan indikasi awal terjadinya penurunan variasi genetik pada jenis S. johorensis. Nilai parameter genetik S. johorensis secara umum lebih rendah dibandingkan Shorea spp. lainnya yang pernah diteliti.
DAFTAR PUSTAKA Alvarez-Buylla, E.R., A. Chaos, D. Piñero, and A.A. Garay. 1996. Demographic genetic of a pioneer tree species: patch dynamics, seed dispersal, and seed banks. Evolution 50, 1155-1166. Bernard, J. 1998. Molecular Biotechnology, Principles and Application of Recombinant DNA. Waterloo Ontario: University of Waterloo, Canada:. Finkeldey, R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Penerjemah: Jamhuri, E. I.Z. Siregar, U.J. Siregar, dan A.W. Kertadikara. Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding, Georg-August-UniversityGöttingen. Isoda, K., I. Yasman, R. Anto, and P. Istiana. 2001. Estimation of genetic variation of Shorea leprosula in the hedge orchard of PT. INHUTANI I Dipterocarp center, East Kalimantan using DNA markers. Proceedings of the International Conference on Ex-situ and In-situ Conservation of Comercial Tropical Trees. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement. Yogyakarta: 11-13 June 2001. Lee, S.L., R. Wickneswari, M.C. Mahani and A.H. Zakri. 2000. Genetic Diversity of a tropical tree species, Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae), in Malaysia: implications for conservation of genetic resources and tree improvement. BIOTROPICA 32 (2): 213-224.
Lee, S.L., N. Tani, K.K.S. Ng, and Y. Tsumura. 2004. Isolation and characterization of 20 microsatelit loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to Shorea parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: 222-225. Namkoong, G., T. Boyle, H-R. Gregorius, H. Joly, O. Savolainen, W. Ratnam, and A. Young 1996: Testing Criteria and Indicators for Assessing the Sustainability of Forest Management: Genetic Criteria and Indicators. CIFOR Working Paper No. 10. Bogor: CIFOR. Nei, M. 1972. Genetic distance between populations. American Naturalist 106: 283-292. Pamoengkas, P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Poernama, B.M. 2004. Kehutanan Indonesia Saat Ini (seminar nasional). [Makalah]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Seminar Nasional Pelepasan Prof. Dr. Soekotjo, Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta, 4-5 Maret 2004. Promega. 2003. PCR Core System. USA: Promega Corporation Ratih, P., G. Rajaseger, J.G. Chong and P.K. Prakash. 1998. Phylogenetic analysis of dipterocarps using Random Amplified Polymorphic DNA markers. Annals of Botany 82: 61-65. Rimbawanto, A., K. Isoda, Y. Irsyal, and P. Istiana. 2001. Estimation of Genetic Variation of Shorea leprosula in the Hedge-Orchad of the Inhutani I Dipterocarp Center East Kalmantan using DNA Markers. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Rohlf, F.J. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York. Siregar, I.Z., U.J. Siregar, C.Cao, G. Gailing, and R. Finkeledey. 2005. Genetic Variation of Indonesian Dipterocarps Assesed by Amplified Fragment Length Polymorphisms. www.afapri.go.id. Smits, W.T.M. 1993. Mass Propagation of Dipterocarps by Vegetative Methods in Indonesia. In: Davidson, J. (ed.). Proceedings of the Symposium on Mass Clonal Multiplication of Forestry Trees for Plantation Programmes. Indonesia, 1-8 December 1992. Stacy, E.A., S. Dayanandan, B.P. Dancik, and P.D. Khasa. 2001. Microsatelite DNA markers for the Sri Lankan rainforest tree species, Shorea cordifolia (Dipterocarpaceae), and cross-species amplification in Shorea megistophylla. Molecular Ecology Notes 1: 53-54. Suparna, N. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti di PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah (seminar nasional). [Makalah]. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Seminar Nasional Pelepasan Prof. Dr. Soekotjo, Fak. Kehutanan UGM, Yogyakarta, 4-5 Maret 2004. Suryo. 1986. Genetika. Yogyakarta: UGM Press. Ujino, T., T. Kawahara, Y. Tsumura, T. Nagamitsu, H. Yoshimaru, and W. Ratnam. 1998. Development and polymorphism of Simple Sequence Repeat DNA markers for Shorea curtisii and other Dipterocarpaceae species. Heredity 81: 422-428. Williams, J.G.K., A.R. Kubelik, K.J. Livak, J.A. Rafalski, and S.V. Tingey. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18: 6531-6535. Yeh, F.C., Y. Rongcai and T. Boyle. 1997. POPGENE version 1.2: Microsoft Window-based Software for Population Genetic Analysis. A Quick User’s Guide. Alberta: University of Alberta and CIFOR.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 255-258
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco The evaluation of carrier material for increasing qualities of gel inoculum for nata de coco RUTH MELLIAWATI♥ Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 13 Juli 2008. Disetujui: 28 September 2008.
ABSTRACT Producion of nata de coco is growing fast, in line with increasing product of biocellulose demand. It is requrire a pure inoculum to reach the best biocellulose product. The aim of this reseach is to evaluate the most appropriate carrier material of gel inoculum for nata de coco. The four carrier material are Carboxy Methyl Cellulose (CMC), Agar, Sagu starch and biocellulose pap and its inoculated by Acetobacter sp. RMG-2 and Acetobacter xylium. After inoculation, then put in the plastic bag (50 g/bag) and stored in 4°C. The texture of gel, population of cell and biocellulose production were observer in 7 days. The result shown that all matterial were suitable to used as carrier for gel 9 inoculum. Both CMC and biocellulose pap have good texture as standard qualities. Population of Ac. xylium was 1.28x10 cfu/mL (in CMC 6 carrier), 1.6x10 cfu/mL (in biocellulose pap carrier) after 15 weeks. The weight of biocellulose production was 500 g/L and 740 g/L media 8 7 respectively. While the population of Acetobacter sp. RMG-2 on CMC carrier was 1.79x10 cfu/mL and 7.75x10 cfu/mL on cellulose carrier with the weight of biocellulose production 630 g/L and 775 g/L media respectively. Thus, the carrier material (CMC and Biocellulose pap) are able to keep bacteria without loss their capability to produce cellulose. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Acetobacter sp. RMG-2, Acetobacter xylinum, carrier material, gel inoculum, nata de coco.
PENDAHULUAN Nata de coco atau bioselulosa merupakan salah satu produk pangan di negara kita, dengan kualitas yang berbeda-beda. Di negara maju bioselulosa bukan hanya sekedar untuk keperluan pangan, melainkan dapat digunakan untuk beberapa macam keperluan. Salah satu produk yaitu kristalin murni sangat penting untuk bahan baku industri, sebagai bahan material baru untuk digunakan dalam memproduksi kertas berkualitas (Johnson dan Winslow, 1990). Disamping itu bahan ini juga dapat digunakan sebagai bahan aditif (Cannon dan Anderson, 1991), baik digunakan untuk diet dan sebagai makanan penutup. Uji coba lainnya, selulosa bakteri dibuat sebagai kulit buatan (Fontana dkk., 1990), dan sebagai membran ultrafiltrasi (Takai dkk., 1991). Beberapa tahun terakhir ini permintaan produk nata de coco untuk diekspor cukup besar, sehingga jumlah pengrajin nata de coco berkembang dengan cepat, di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Akibatnya kebutuhan bibit meningkat, sedangkan untuk memperoleh bibit semakin sulit. Permasalahan lain adalah sulitnya pengemasan dan transportasi dalam pengiriman bibit sampai ke lokasi, karena bibit yang ada saat ini berupa cairan dalam botol. Kendala yang dihadapi para pengrajin adalah kualitas bibit tidak stabil, produksi mudah menurun dan persentase kegagalan tinggi.
Hasil pengamatan dan penelitian terhadap bibit yang digunakan oleh produsen menunjukkan bahwa bibit tersebut tidak murni mengandung bakteri selulosa. Beberapa bakteri yang dapat menghasilkan selulosa, di antaranya dari genus Acetobacter, Rhizobium, Agrobacterium, dan Sarcina (Ross dkk., 1991). Umumnya bakteri yang digunakan untuk membuat nata de coco adalah bakteri Acetobacter xylium, bakteri tersebut termasuk bakteri gram negatif, aerob, dan dapat mensintesis selulosa secara ekstraseluler (Schramm dan Hestrin, 1954). Berbagai aspek telah dipelajari untuk meningkatkan produksi selulosa yaitu skrining terhadap agitasi kultur (Toyosaki dkk., 1995), kultivasi dalam stirred fermenter (Krusong dkk., 1998; Yang dkk., 1998), kultivasi dalam air-lift reactor (Chao dkk., 1997), dan penambahan bahan pembawa mikroaerofilik (Krusong dkk., 1998, 1999). Beberapa penelitian telah dilakukan di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI terhadap Acetobactner sp. RMG-2, Acetobacter sp. EMN-1 dan Ac. xylium sebagai inokulum cair nata de coco untuk produksi selulosa (Melliawati dkk. 1998, 1999, 2000, 2001a, 2001b, 2003). Penelitian yang telah dilakukan Melliawati dkk. (2001b) termasuk membuat inokulum pasta menggunakan bahan pembawa carboxy methyl cellulose. Penelitian ini bertujuan untuk menguji beberapa bahan pembawa untuk meningkatkan kualitas inokulum pasta nata de coco. BAHAN DAN METODE
♥ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588 e-mail: ruthmell2000@yahoo.com, ruth.melliawati@lipi.go.id
Alat dan bahan Peralatan yang digunakan adalah botol skot ukuran 250 mL yang diisi media 100 mL, baki plastik transparan
256
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 255-258
3 dengan ukuran 25x40x7 cm yang diisi media 1000 mL. Media untuk pembiakan Acetobacter digunakan media HB (Hassid and Backer Media) dalam Jusuf dan Suwanto (1982) yang terdiri dari glukosa 50 g, ekstrak yeast 1,25 g K2HPO4 2,50 g, (NH4)2SO4 0,30 g, MgSO4. 7 H2O 0,1 g air kelapa 500 mL dan media GAA terdiri dari glukosa 3 g, ZA 5 g dan cuka 5 mL.
Cara kerja Seleksi bahan pembawa Bahan pembawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu, agar, bubur bioselulosa dan CMC. Bahan ini mempunyai daya ikat atau menjadi kental apabila dilarutkan dalam air hangat/panas, kecuali bubur bioselulosa. Bahan tersebut dilarutkan dengan akudes dan dibuat beberapa konsentrasi (4%, 5%, 7,5%, 10%, 12% dan 15%) untuk mendapatkan kekentalan yang diinginkan, kemudian disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121°C, 1 atm selama 15 menit. Dipelajari perbandingan yang tepat dalam pencapuran antara bahan pembawa dengan kultur Acetobacter sp RMG-2 dan Ac. xylium, sehingga mendapatkan inokulum nata de coco dalam bentuk pasta. Kultivasi bakteri Acetobacter Acetobacter sp. RMG-2 dan Ac. xylium masing masing diinokulasikan pada dua macam media (media HB dan GAA), disimpan dalam shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm pada suhu ruang. Kultur bakteri dipanen setelah 3 hari. Pertumbuhan bakteri terlihat dengan terbentuknya bioselulosa. Membuat inokulum pasta Kultur bakteri yang sudah dipanen dicampurkan ke dalam bahan pembawa steril yang sudah diketahui konsentrasi kekentalannya, lalu diaduk sampai homogen sehingga campuran tersebut berbentuk pasta, kemudian dikemas dalam kemasan plastik tebal 50 g/sachet dan disimpan pada suhu 4º C. Inokulum siap diuji. Pengujian inokulum Inokulum diuji dengan cara membuka kemasan, ditumbuhkan dalam media padat melalui pengenceran bertingkat untuk melihat populasi bakteri tersebut dengan cara menghitung jumlah sel yang hidup. Inokulum pasta diuji juga untuk mengetahui kemampuannya dalam memproduksi bioselulosa menggunakan botol skott berisi 100 mL media dan dalam baki berisi 1000 mL media masing-masing dilakukan dua ulangan, selanjutnya diinkubasikan selama 7 hari. Pemanenan dilakukan untuk melihat tebal dan berat bioselulosa yang terbentuk. Dilanjutkan pengeringan terhadap bioselulosa setelah dilakukan pencucian dan perendaman lebih dulu dalam larutan NaOH 0,1% selama 24 jam. Pengeringan dilakukan menggunakan oven 60-70ºC selama 2-3 hari, lalu ditimbang untuk mengetahui berat kering bioselulosa tersebut. Analisis data Data penelitian dianalisis dengan Anova yang dilanjutkan dengan metode DMRT menggunakan perangkat lunak SPSS Versi 11.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari beberapa konsentrasi kekentalan yang dicoba terhadap keempat bahan pembawa, maka konsentrasi
kekentalan untuk pati sagu yang paling baik adalah 7,5 dan 10%, sedang untuk agar dan CMC menggunakan konsentrasi 4%, sementara konsentrasi untuk bubur bioselulosa (produk akhir perbandingan antara bubur bioselulosa: inokulum = 2: 1). Tekstur inokulum pasta Inokulum pasta yang dibuat menggunakan 4 macam bahan pembawa menghasilkan 4 macam inokulum pasta dengan tekstur yang berbeda. Bahan pembawa CMC memperlihatkan tekstur yang lembut berbentuk pasta/jelly dan apabila disimpan pada suhu 4ÂşC dalam waktu 1 minggu pasta berubah menjadi agak cair. Bahan pembawa agar, menghasilkan tekstur kurang bagus karena agar tidak dapat larut dengan sempurna, sehingga antara inokulum dan bahan pembawa tidak dapat bersatu (terlihat kasar). Bahan pembawa pati sagu, memiliki tekstur cukup baik tetapi ikatan inokulum pasta terlalu lengket sehingga apabila diinokulasikan dalam media cair, antara inokulum dengan media tidak homogen. Pada bahan pembawa bubur bioselulosa, tekstur cukup baik tetapi tidak membentuk pasta seperti bahan pembawa CMC (inokulum semi padat) namun populasi bakteri cukup stabil berada dalam bubur bioselulosa dan tekstur inokulum pasta setelah melalui penyimpanan tidak mengalami perubahan yang berarti. Bahan pembawa yang paling sesuai adalah CMC dan bubur bioselulosa. Pengkajian bahan pembawa terhadap populasi sel bakteri Hasil analisis data (Tabel 1) menunjukkan bahwa pengaruh bahan pembawa CMC terhadap populasi bakteri Ac. xylium (16 minggu) berbeda nyata terhadap populasi bakteri Acetobacter sp. RMG-2 dan Ac. xylium (3, 6 dan 10 minggu) dan bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (16 minggu), sedang pada bahan pembawa agar, populasi bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (10 dan 16 minggu) dan Ac. xylium (16 minggu) tidak berbeda nyata. Pada bahan pembawa sagu, populasi bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (16 minggu) berbeda nyata terhadap populasi bakteri Ac. xylium maupun Acetobacter sp. RMG-2 pada perlakuan tersebut. Pengaruh bahan pembawa bubur selulosa terhadap populasi bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (10 minggu) tidak berbeda nyata terhadap populasi bakteri Ac. xylium (16 minggu). Dari analisis tersebut diketahui bahwa bahan pembawa sagu menghasilkan populasi tertinggi, tetapi tekstur hasil campuran bahan pembawa sagu dan bakteri (menjadi inokulum pasta) terlalu lengket, sehingga populasi bakteri di dalam bahan karier tidak homogen. Dengan demikian, sagu tidak direkomendasikan sebagai inokulum pasta. Tabel 1. Populasi sel baktei Acetobacter xylinum (AX) dan Acetobacter sp. RMG-2 (RMG-2) dalam 4 macam bahan pembawa. Perlakuan Populasi bakteri dalam bahan pembawa Waktu/ Bubur Bakteri CMC Agar Sagu minggu bioselulosa d b cd c 3 AX 350 300 300 19,5 d b cd bc 3 RMG-2 395 950 545 895 e b d c 870 13,5 2 6 AX 86 c b c c 950 785 620 6 RMG-2 960 b b d c 1000 0 3,5 10 AX 3315 c a b a 4900 4450 6650 10 RMG-2 1030 a ab d ab 4000 50 4250 16 AX 4000 d ab a c 1430 32050 595 16 RMG-2 430 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT; 5 Angka rerata dalam 10 . Angka 0 = tidak diuji.
MELLIAWATI – Inokulum nata de coco
Tabel 2. Produksi bioselulosa oleh Acetobacter xylinum (AX) dan Acetobacter sp. RMG-2 (RMG-2) dalam 100 mL media (botol Scot) Berat bioselulosa dalam 100 mL media (botol Scot) menggunakan inokulum dengan bahan pembawa CMC Agar Sagu Bubur bioselulosa Waktu/ Bakteri Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat Berat minggu basah kering basah kering basah kering basah kering d bc d bc a ab ab 0,40 25,10 0,30 b 23,15 0,35 27,30 0,40 3 AX 24,55 a bc b cde a a ab 3 RMG-2 39,15 0,35 42,0 0,40 b 21,10 0,35 31,30 0,50 c a e b a c b 1,10 19,65 0,45 b 25,50 0,40 18,50 0,25 6 AX 32,75 ab a a cde a bc b 1,0 0 46,15 0,90 a 19,95 0,20 21,15 0,20 6 RMG-2 35,15 c c e a a ab a 0,30 19,90 0,30 b 29,20 0,35 27,85 0,70 10 AX 29,20 c c ab de a a ab 0,25 43,80 0,40 b 19,55 0,20 31,30 0,60 10 RMG-2 31,85 e b d bcd a abc ab 0,50 26,40 0,35 b 22,55 0,45 25,10 0,60 16 AX 19,70 de bc c e a ab ab 0,40 35,90 0,40 b 18,65 0,35 26,65 0,50 16 RMG-2 22,30 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT Perlakuan
A B Gambar 1. Inokulum pasta nata de coco dari bakteri A. xylinum pada bahan pembawa bubur bioselulosa (A) dan CMC (B)
A B Gambar 2. Inokulum pasta nata de coco dari Acetobacter sp. RMG-2 pada bahan pembawa bubur bioselulosa (A) dan CMC (B)
Uji inokulum pasta terhadap produksi bioselulosa Analisis terhadap produksi bioselulosa (Tabel 2) memperlihatkan bahwa pengaruh bahan pembawa CMC menggunakan bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (3 dan 6 minggu) terhadap produksi bioselulosa basah tidak berbeda nyata, demikian juga terhadap bioselulosa kering Ac. xylium dan Acetobacter sp. RMG-2 (6 minggu) tidak berbeda nyata. Pada bahan pembawa agar dengan bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (6 dan 10 minggu) tidak berbeda nyata terhadap produksi bioselulosa basah, sedangkan terhadap bioselulosa kering berbeda nyata (6 minggu). Pada bahan pembawa sagu menggunakan bakteri Ac. xylium (10 minggu) berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain tetapi tidak berbeda nyata terhadap berat kering. Pada bahan pembawa bubur selulosa dengan bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (3, 10, dan 16 minggu) tidak berbeda nyata terhadap produksi bioselulosa basah, demikian juga dengan bakteri Ac. xylium (10 dan 16 minggu). Pengaruhnya terhadap bioselulosa kering dari bakteri Ac. xylium dan Acetobacter sp. RMG-2 (6 minggu) berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain.
257 Inokulum pasta terpilih dan uji ulang terhadap populasi dan produksi bioselulosa Dengan melihat hasil populasi sel dan tekstur inokulum pasta, maka dua inokulum pasta terpilih (bahan pembawa CMC dan bubur bioselulosa) diteliti lebih lanjut dan kultur bakteri dipersiapkan pada media HB. Inokulum pasta dibuat kembali menggunakan kedua bahan pembawa tersebut dan dikemas 50 g/sachet. Gambar 1 dan 2 memperlihatkan kemasan inokulum pasta yang dibuat dari bahan pembawa CMC dan bubur bioselulosa. Pengaruh dua bahan pembawa terhadap kedua bakteri diperlihatkan pada Tabel 3. Pengaruh bahan pembawa terhadap populasi kedua bakteri dengan perlakuan lama penyimpanan inokulum pasta, menghasilkan beda nyata terhadap populasi Ac. xylium (5 mnggu) baik pada bubur selulosa maupun pada CMC (3 minggu), sementara itu jumlah populasi bakteri Acetobacter sp. RMG-2 pada kedua bahan pembawa tersebut ada di bawah jumlah populasi Ac. xylium, namun keduanya mampu menyimpan bakteri dengan aman dan tidak kehilangan potensinya dalam membentuk bioselulosa. Populasi bakteri dan produksi bioselulosa berhubungan erat dengan media dan kemampuan bakteri mensintesis bahan nutrisi yang ada di dalam media.
Tabel 3. Populasi sel babteri Acetobacter xylinum (AX) dan Acetobacter sp. RMG-2 (RMG-2) pada dua macambahan karier. Populasi sel bakteri dalam bahan pembawa Waktu/minggu Bakteri Bubur selulosa CMC 3 AX 0b 27500 a 3 RMG-2 0b 6700 b 5 AX 32950 a 0b 5 RMG-2 4500 b 5650 b 7 AX 0b 7,5 b 7 RMG-2 2800 b 975 b 9 AX 8b 8b 9 RMG-2 2345 b 400 b 11 AX 31 b 31 b 11 RMG-2 645 b 645 b 13 AX 5b 7b 13 RMG-2 4780 b 850 b 15 AX 13 b 12950 b 15 RMG-2 775 b 1790 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT. 5 Angka rerata dalam 10 . Angka 0 = tidak diuji. Perlakuan
258
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 255-258
Tabel 4. Produksi bioselulosa oleh Acetobacter xylinum (AX) dan Acetobacter sp. RMG-2 (RMG-2) dalam 1000 mL media. Berat bioselulosa menggunakan bakteri Acetobacter Acetobacter sp. Waktu/ Bahan xylinum RMG-2 minggu pembawa Berat Berat Berat Berat basah kering basah kering ab cd de b 1 BS 700 8,40 660 10,75 a bc f def 1 CMC 725 9,45 545 7,20 a bc cde bc 9,95 685 9,45 3 BS 725 c ab bcd 5,90 f 800 9,05 3 CMC 575 bc ef a bc 7,0 840 9,45 5 BS 640 e g ab efg 0 805 6,65 5 CMC 0 b f ab g 7,0 770 5,0 8 BS 650 e g bcd a 0 725 14,45 8 CMC 0 a b cde b 10,40 690 10,45 9 BS 770 bc de ab b 7,70 770 9,75 9 CMC 640 bc de bc bc 7,67 750 9,40 11 BS 645 de ab b 775 10,65 11 CMC 650 b 7,75 ab bc ab bcd 9,20 790 9,05 13 BS 700 ab a ab efg 12,50 775 6,60 13 CMC 700 a a ab fg 13,25 775 5,85 15 BS 740 d cd e cde 8,35 630 7,80 15 CMC 500 Keterangan:-Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan nyata (5%) menurut DMRT. Angka 0 = tidak diuji.
dan kesempatan dalam melakukan penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada Nuryati dan Nuriyanah serta semua pihak yang membantu kelancaran penelitian ini.
Perlakuan
KESIMPULAN CMC dan bubur selulosa merupakan bahan pembawa terbaik yang dapat digunakan untuk menyimpan bakteri dengan kondisi stabil dan mampu memproduksi bioselulosa. Populasi sel bakteri Ac. xylium pada inokulum pasta bahan pembawa CMC mencapai 1,28x109 cfu/mL, dan pada bubur 6 selulosa 1,6x10 cfu/mL setelah penyimpanan 15 minggu, dengan berat bioselulosa masing-masing sebesar 640 g/L dan 770 g/L media. Untuk bakteri Acetobacter sp. RMG-2 8 pada bahan pembawa CMC populasi sel diperoleh 1,79x10 7 cfu/mL, pada bubur selulosa 7,75x10 cfu/mL dengan berat bioselulosa masing masing 630 g/L dan 775 g/L media. Pengaruh bahan pembawa bubur selulosa dengan bakteri Ac. xylium (1, 3, 9, 13, 15 minggu) terhadap produksi bioselulosa basah tidak berbeda nyata, demikian juga terhadap bioselulosa kering yang menggunakan bahan pembawa CMC (3 minggu) dan bubur selulosa (15 minggu). Pengaruh bahan pembawa CMC dengan bakteri Acetobacter sp. RMG-2 (3, 5, 9, 11, 13, 15 minggu) tidak berbeda nyata, sedangkan terhadap bioselulosa kering hanya bahan pembawa CMC (8 minggu) yang berbeda nyata.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Pimpinan Proyek Penelitian Bioteknologi yang telah memberikan dana
DAFTAR PUSTAKA Cannon, E. and S.M. Anderson. 1991. Biogenesis of bacterial cellulose. Critical Reviews in Microbiology. 17: 435-447. Chao, Y.P., Y. Sugano, T. Kaoda, F. Yoshinaga, and M. Shoda. 1997. Production of bacterial cellulose by Acetobacter xylinum with an air-lift reactor. Biotechnology Techniques. 11: 829-832. Fontana, J.D., A.M. Souza, C.K. Fontana, I.L. Torriani, J.C. Moreschi, B.J. Gallotti, S.J. Souza, G.P. Narcisco, J.A. Bichara, and L.F.X. Farah, 1990. Acetobacter cellulose pellicle as a temporary skin substitute. Applied Biochemistry and. Biotechnology 24-25: 253-264. Johnson, D.C. and A.R. Winslow. 1990. Bacterial cellulose has potential application as new paper coating. Pulp and Paper News: 105-107. Krusong, W., N. Phapinyo and T. Yoshida. 1998. Counteraction of negative effect on cellulose production in agitated submerged culture of Acetobacter xylinum. Proceedings of International Conference on Asian Network on Microbiology Researches. Gajah Maga University, Yogyakarta, 23-25 Februar 1998. Krusong, W., N. Phapinyo, M. Tagaki, M. Nakajima, and T. Yoshida. 1999. Comparision of cellulose porous beads and cellulose powder as microaerophilic carrier for bacterial cellulose production in continuous stirred tank reactor. Biotechnology for Sustainable Utilization of Biological Resources in the Topics 13: 169-179. Melliawati, R., N.R. Prayitno, dan E. Sukara. 1998. Pengaruh cara sterilisasi dan jenis air kelapa terhadap produksi bioselulosa oleh Acetobacter sp. EMN-1. Prosiding Simposium Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bandar Lampung, Desember 1997. Melliawati, R., N.R. Prayitno, Ardiansyah, Rohmatussolihat, dan K. Sufiantini. 1999. Pengaruh campuran ekstrak buah buahan dan air kelapa terhadap biomasa sel Acetobacter sp. EMN-1 dan produk selulosa. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Bioteknologi Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta, 31 Agustus-1 September 1999. Melliawati, R., F. Octavina dan Masrih. 2000. Pengaruh derajat keasaman media terhadap pertumbuhan sel dan selulosa oleh bakteri Acetobacter sp. EMN-1 dan RMG-2. Prosiding seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi III, Cibinong, 7-9 Maret 2000. Melliawati, R., W.Y. Komara, E. Sukara. 2001a. Fermentation process for the production of Acetobacter sp. EMN-1 biomass. JSPS-NCRT/DOST/VCC Meeting and seminar on BioThailand 2001 from research to market. The First International Biotechnology Trade Exhibition & Conference. JSPSNRCT/DOST/LIPI/VCC, Bangkok, 7-10 November 2001. Melliawati, R., E. Sukara, F. Octavina. 2001b. Inokulum Pasta Nata de Coco. Paten Indonesia no. P00200101012. Melliawati, R., S. Kurniawati, F. Octavina, 2003. Kultivasi Acetobacter sp. RMG-2 pada beberapa sumber karbon dan nitrogen serta pengaruhnya terhadap produksi selulosa. Jurnal Biosfera 2 (2): 43-49. Ross, P., R. Mayer, and M. Benziman. 1991. Cellulose biosynthesis and function in bacteria. Microbiologicall Reviews: 35-58. Schramm, M., and S. Hestrin. 1954. Factor affecting production of cellulose at the air/liquid interface of culture of Acetobacter xylinum. Journal Genetic Microbiology 11: 123-129 Takai, M., F. Nonomura, T. Inukai, M. Fujiwara, and J. Hayashi. 1991. Filtration and permeation characteristics of bacterial cellulose composite. Sen�i Kaghaishi 47: 119-129. Toyosaki, H., T. Naritomi, A. Seto, M. Matsuoka, T. Tsuchida, and F. Yoshinaga. 1995. Screenin of bacterial cellulose-producing Acetobacter strains suitable for agitated culture. Bioscience, Biotechnology and Biochemicemistry 59: 1498-1502. Yang, Y.K., S.H. Park, J.W. Hwang, Y.R. Pyun, and Y.S. Kim. 1998. Cellulose production by Acetobacter xylinum BRC5 under agitated condition. Journal Fermentation Bioengenering 85: 312-317. Jusuf, A. dan A. Suwanto. 1982. Mempelajari Pembuatan Nata de Coco di CV Tunas Sari, Bogor. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 259-263
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
The Indonesian Species of Rennellia Korth. (Rubiaceae) SURATMAN♥ Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Science, Sebelas Maret University, Surakarta 57126. Received: 14 July 2008. Accepted: 26 September 2008.
ABSTRACT The objective of the research was to investigate the Indonesian species of Rennellia Korth. based on their morphological characters. The investigation on morphological characters was based on herbarium specimens at the Herbarium Bogoriense and Herbarium Andalas University. Additional specimens also were collected during the course of the field work. There are four species recognized, i.e., Rennellia elliptica Korth., Rennellia elongata (King & Gamble) Ridl., Rennellia morindiformis (Korth.) Ridl. and Rennellia speciosa (Wall. ex Kurz) Hook.f. An identification key to the species was produced and detailed description of the taxa was also provided. The natural history data including habitat, distribution, uses and vernacular names were also presented. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Rennellia Korth., Indonesia, morphological characters.
INTRODUCTION Rennellia Korth. is a small genus native to South East Asia, with eight species recorded. Rennellia was firstly established by Korthals (1851) based on the name of an English oceanographer, J. Rennell (1742-1830). He recorded two species from Sumatra, namely as R. elliptica Korth. and R. ovalis Korth. At the same time he also proposed a new monotypic genus Tribrachya Korth. based on the type specimen collected by himself from Mount Singgalang, West Sumatra. This new taxon only consists of one species, T. morindaeformis Korth. Ridley (1939) then considered T. morindaeformis as a basionym for his new combination, R. morindiformis (Korth.) Ridl. In 1869, Miquel stated that Rennellia and Tribrachya were similar with Morinda and placed them in the section Sphaerophora, as a part of the genus Morinda. Then, he removed R. elliptica as M. sumatrana Miq. and T. morindaeformis as M. korthalsiana Miq. Johansson (1989) rejected Miquel’s opinion. He argued that material was collected by Korthals and also used by Miquel for his description of M. sumatrana lacked flowers and only had young unripe fruits so Miquel’s species concept about this species is still questioned. Finally, Johansson stated that M. sumatrana is a synonym of R. elliptica and M. korthalsiana is a synonym of R. morindiformis. In his account, Boerlage (1899) only recorded two species of Rennellia in Sumatra (R. elliptica and R. ovalis). Wong (1984, 1989) only treated Rennellia in the Malay Peninsula and recorded five species and two varieties of the genus, i.e. R. paniculata King & Gamble var. paniculata, R. paniculata King & Gamble var. condensa Wong, R. microcephala (Ridl.) Wong, R. elongata (King & Gamble) Ridl., R. speciosa Hook.f. and Rennellia sp. In Borneo (Kalimantan), Puff and Wong (1993) only recorded one species, Rennellia elliptica. Until now, the range of
♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir Sutami 36A Surakarta 57126; Tel.: +62-271-663375, Fax.: +62-271-663375. e-mail: suratmanmipauns@yahoo.com
variation and distribution of the Indonesian species of Rennellia is not complete yet, therefore a study of the taxa for this region will seem a worthy subject of investigation.
MATERIALS AND METHODS The research was conducted at the Herbarium Bogoriense (BO) and Herbarium Andalas University (ANDA) in September 2006 until April 2007. The study was based on herbarium specimens of the genus Rennellia in Indonesia. Additional specimens also were collected during the course of the field work. Some specimens from Malay Peninsula were also studied for comparison. All materials were examined based on their morphological characters and the terminologies of morphological characters followed Lawrence (1955), Veldkamp (1987), Stearn (1996) and Harris and Harris (1994). Information on the habitat, ecology, distribution, vernacular names, uses etc. were noted from the specimens label and literature.
RESULTS AND DISCUSSION Rennellia Korth. Rennellia Korth., Nederl. Kruidk. Arch. II. (1851) 255; Miq., Fl. Ned. Ind. II (1856) 248; Benth. & Hook.f, Gen. Pl. II (1873) 118; Hook.f., Fl. Brit. Ind. III (1880) 158; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 94-95; Ridl., Fl. Malay. Penins. II (1923) 119; Pitard in Lecomte & Humbert, Fl. Gen. IndoChine III (1924) 426-427; Burkill, A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula (1935) 18881889; Corner, Ways. Trees Malay. I (1940) 558; Henderson, Malayan Wild Flow. (1959) 219-220; K.M. Wong, Gard. Bull. Sing. 37 (2) (1984) 193-198; K.M. Wong in Ng, Tree Fl. Malay. IV (1989) 404-405. Type species: Rennellia elliptica Korth. Tribrachya Korth., Nederl. Kruidk. Arch. II. (1851) 254; Miq., Fl. Ned. Ind. II (1856) 247; Benth. & Hook.f, Gen. Pl. II
260
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 259-263
(1873) 118; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 95. Type species: Tribrachya morindaeformis Korth. Shrubs or small trees or trees, 1.5-10 m height. Trunk with divaricating branchlets, quadrangular to subterete, bark glabrous, glossy or not, grey to pale yellow-brown. Stipules interpetiolar, persistent, triangular to broadly triangular or ovate or suborbicular, short-connated or almost free, margin entire and glabrous, apex shortly bifid, glabrous, submembraneous or subchartaceous, veins distinct or not. Petioles subterete or subquadrangular, flattened or protruded, glabrous. Leaves decussate, simple; lamina oblong or broadly oblong to obovate or lanceolate or elliptic; base cuneate, margin entire, apex acute or acuminate to shortly cuspidate; glabrous on both sides, chartaceous to coriaceous when dry, pale yellow or dark yellow brownish or greyish brown on both sides when drying; penninerved, secondary veins 6-13 pairs, glabrous, curved, mostly alternate, anastomosed at margin, slightly to prominently raised below and flat to prominently raised above; midribs prominently raised below, flat to prominently raised above, glabrous; tertiary veins flat to prominently raised below, indistinct to moderately raised above; domatia absent in vein axils on both sides. Bracts persistent or not, narrowly triangular to broadly triangular or elliptic, margin entire, apex shortly bifid or acute or acuminate or obtuse, glabrous or slightly papillose, submembraneous or subchartaceous, veins indistinct. Inflorescence axis slender, subquadrangular or thin subquadrangular, glabrous; peduncle absent or present, slender, subterete or thin subquadrangular or subquadrangular, glabrous; pedicels always lacking. Inflorescences erect, terminal in origin; flowering heads arranged in a spike or spike-like or subraceme-like or raceme-like structure, each tier with 2-3 flowering heads, each head with (1-)2-3(-4) flowers. Flowers bisexual, homostylous or heterostylous; calyx tube subcampanulate or campanulate, truncate, glabrous on both sides; calyx lobes absent or present, very short or indistinct; corolla tube cylindric, glabrous; corolla lobes 4-5, thick, valvate, elliptic or elliptic-oblong or obovate to lanceolate or linear-lanceolate, margin entire and glabrous, apex obtuse or acute, glabrous; corolla throat glabrous; stamens 4-5(-6), inserted at corolla throat, alternated with corolla lobes, subsessile or sessile; anthers dorsifixed, lanceolate or linear-lanceolate, glabrous; filaments slender, thin, short, glabrous, exserted; stigma bifid, lobes ovate to elliptic or linear-lanceolate, glabrous; style slender, thin subterete, glabrous, ovary inferior. Fruits subglobose, ellipsoid or ovoid, glabrous, exocarp thin, mesocarp fleshy and thick, endocarp thin, locules 1-3. Stalks absent or present, subterete to subquadrangular, glabrous. Seeds ovoid or subglobose, glabrous, 1-2 per locule.
Key to the species of Rennellia in Indonesia 1. a. Flowering heads arranged in a spike-like to subraceme-like structure ............................................ 2 b. Flowering heads arranged in a raceme-like structure ..3 2. a. Heads never sessile; flowers homostylous ................... ..................................................... 1. R. elliptica Korth. b. Heads sessile; flowers heterostylous............................ .……………......... 2. R. elongata (King & Gamble) Ridl. 3. a.Flowers homostylous; anthers 1.1-1.5 mm long ............. ................................ 3. R. morindiformis (Korth.) Ridl. b. Flowers heterostylous; anthers 2.25 - 4 mm long .......... ......................... 4. R. speciosa (Wall. ex Kurz) Hook.f.
1. Rennellia elliptica Korth. Rennellia elliptica Korth., Nederl. Kruidk. Arch. II. (1851) 257; Miq., Fl. Ned. Ind. II (1856) 248; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 94-95. Type: Sumatra occidentalis, Korthals s.n. (Neotype L). Morinda sumatrana Miq., Ann. Mus. Bot. Lugd. Bat. IV (1869) 213; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 94-95; Johansson, Blumea 34 (1989) 7-9. Type: Korthals s.n. (Lectotype L; Isolectotype L, U). Small tree or shrub, 1.5-2 m height. Branchlets when young quadrangular and becoming subquadrangular or quadrangular with age, bark glossy or not, pale yellow to brown coloured when dry; internodes 3-89 mm long, 1.5-5 mm wide, 0.5-5 mm thick. Stipules triangular or ovate or suborbicular, short-connated or almost free, apex short-bifid or obtuse or acute-acuminate or rounded, subchartaceous or submembraneous, veins distinct or not, 2-5 mm long, 2-6 mm wide. Petioles subterete or semi-terete or subquadrangular, flattened or protruded, 6-38 mm long, 0.75-2 mm wide. Lamina obovate or obovate-oblong or oblong or elliptic-oblong or oblong-lanceolate or lanceolate, 5.3-25.6 cm long, 1-8.2 cm wide, apex acuminate or shortcuspidate, chartaceous when dry, drying pale yellow or pale yellow brownish below, pale yellow or pale yellow greenish to brown or pale yellow brownish coloured above when dry; secondary veins 7-9(-10) pairs, slightly to prominently raised below, flat to moderately raised above; midribs flat to moderately raised above and prominently raised below; tertiary veins flat to slightly raised below and indistinct to slightly raised above. Bracts triangular or narrowly triangular or elliptic, apex short-bifid, acute or obtuse, glabrous, membraneous, 0.25-0.75 mm long, 0.1-1 mm wide. Inflorescence axis subquadrangular, 5-51 mm long, 1-2 mm wide, internodes 0.75-7 mm long; peduncles subterete or subquadrangular, (0.75-)1.5-2.5 mm long, 0.5-1.5 mm wide. Flowering heads arranged in a spike-like to subraceme-like structure, never sessile, in 2-12 tiers along the inflorescence axis, each head with 2-3 flowers, 1.5-3.5 mm long, 2-5 mm wide. Flowers homostylous, 2.5-6 mm long, 0.75-2.25 mm wide; calyx tube subcampanulate or campanulate, 0.75-2 mm long, 1-2.25 mm wide; corolla tube 1 mm long, 0.5-1 mm wide; corolla lobes 4-5, lanceolate or linear-lanceolate or oblong or elliptic, (1.75-)34.25 mm long, 0.5-1.5 mm wide, apex obtuse or acute; stamens 4-5; anthers linear-lanceolate, (1-)1.5-1.75(-2.25) mm long, 0.2-0.4 mm wide; filaments 0.25-0.75 mm long, 0.1-0.3 mm wide; stigma lobes ovate-elliptic, 0.2-0.5(-0.75) mm long, 0.1-0.25 mm wide; style 1-1.75(-2.1) mm long, 0.1-0.3 mm wide. Fruits subglobose or ovoid, 2-7 mm long, 2-9 mm wide, glabrous, locules 2-3. Stalks subterete, 1.253.25 mm long, 1-1.5 mm wide. Seeds ovoid or globose, 3.75-6 mm long, 3.5-4.75 mm wide, 0.5-1 mm thick, 1-2 per locule. Field notes. Small tree or shrub, 1.5-2 m height; stem lignosus; leaves elliptic, 8-23 cm long, glabrous, dark green or pale green coloured; petiole long; inflorescences terminal; flowers white or dark purple coloured, very fragrant; corolla tube purple coloured; infructescence terminal; fruit globose, green coloured.. Distribution. Sumatra, Borneo, and Malay Peninsula. In Indonesia, this species is recorded from North Sumatra, West Sumatra and South Sumatra. Habitat and ecology. They can be found along riverbanks or lowland forest, at altitude 40-650 m above sea level. Vernacular names. Jarum-Jarum Betina, Kayu Kuni, Kayu Kemik (Minangkabau).
SURATMAN – Indonesian species of Rennellia Korth.
Specimens examined. North Sumatra: Lumut, Jughuhn s.n. (BO!). West Sumatra: Indrapura, alt. 200 m, fl. bud, fr., 4 Jan. 1983, Ninik Mulyati Rahayu 566 (BO!); Bt. Gajabuih, Ulu Gadut, about 15 km east from Padang, alt. 40-650 m, fl. bud, 14 Dec. 1980, M. Hotta 25293 (BO!); ibid., 00 55’ S 1000 30’ E, alt. 500-800 m, fl., 27 Aug. 1988, H. Nagamasu 3157 (ANDA!); ibid., alt. 600-650 m, fl., fr., 31 Aug. 1989, R. Tamin & H. Hasnah 275 (ANDA!); ibid., alt. 500 m, fl., fr., 14 Jan. 1981, R. Tamin 140 (ANDA!); Bukit Pinang-Pinang, Ulu Gadut, about 15 km east from Padang, alt. 250-600 m, fl., 19 Dec.1995, Aulia 142 (ANDA!); Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Univ. Andalas, 12 km east from Padang, alt. 300-400 m, fr., 3 Dec.1993, Rosni, Nirma, Nanik & Yon 40 (ANDA!); ibid., fr., 3 Dec. 1993, Rita, Delfia, Riri & Ari 10 (ANDA!); ibid., fr., 4 Dec. 1993, B. Surbakti, Betsy, Asdelina & Wiwid 72 (ANDA!); ibid.., fr., 4 Dec. 1993, Feny, Rista, Rini, Main & Win 31 (ANDA!); ibid., fr., 4 Dec. 1993, Yarsi, Eva, Esi, Yul & Zeti 27 (ANDA!); ibid., alt. 250450 m, fl., 12 Oct. 1994, Iskandar 10 (ANDA!); ibid., alt. 330-450 m, fl., fr., 30 Sept. 1990, Owa 18 (ANDA!); Limau Manis, Botanical Garden of Andalas University, about 18 km eastern of Padang City, fl., 8 April 2007, Suratman & Ari Anggara 1 (ANDA!); Bukit Tambun Tulang, Kec. 2 x 11 Enam Lingkung, Kab. Padang Pariaman, about 60 km north from Padang, alt. 250-450 m, fr., 14 Nov. 1999, Yesi, Elvi, Rini & Nita 14 (ANDA!); ibid., fr., 7 Nov. 1998, Mince, Reni, Hafizah & Asri 35 (ANDA!); Lembah Anai, Kab. Tanah Datar, about 63 km north from Padang, alt. 250-500 m, fl., fr., 1-2 April 2000, Win Atriosa & Tim Herbarium 37 (ANDA!); Ds. Sipisang, Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman, about 55 km north from Padang, alt. 100-400 m, fl., fr., 26 Nov. 1995, Shinta, Tristina & Feri 36 (ANDA!); ibid., alt. 100-400 m, fl., fr., 6 April 1997, Venny, Emi, Silvia, Anti & Yel 74 (ANDA!); Ds. Geringging Malampah, about 60 km south from Lubuk Sikaping, Kab. Pasaman, alt. 250-500 m, fr., 5 Nov. 1995, Lia, Liza & Elsa 39 (ANDA!); ibid., alt. 200-500 m, fl., fr., 5 Nov. 1995, Ken, Susi & Vita 41 (ANDA!); Kampung Tangah, Anduring Kayu Tanam, about 55 km north from Padang City, alt. 80-210 m, fl., 6 May 1995, Dwi, Deri & Desi 17 (ANDA!); Pesisir Selatan, about 50 km south from Padang City, alt. 100 m, fr., 6 June 1996, Nius K. 56 (ANDA!); Ds. Cindakir, Kec. Bungus, Tl. Kabung, about 25 km east from Padang City, alt. 50-100 m, fl., fr., 3 April 1994, Sureni, Deti & Jumi 10 (ANDA!); along river of Batang Asam Pulau, about 9 km South West Lubuk Alung, alt. 60-100 m, fl., 2-3 Nov. 1991, NAS 022 (ANDA!); Batu Busuk, Limau Manis, about 14 km from Padang City, alt. 200-450 m, fl., fr., 20 Oct. 1994, Iskandar 17 (ANDA!) Puncak Anai, Malibou Anai, Kab. Padang Pariaman, about 55 km north from Padang City, alt. 450-600 m, fr., 12 June 2004, Chichilia, Yoze, Leni D, Maimunah, Dewi & Indah 29 (ANDA!). South Sumatra: Kota Agung, fl. bud, 20 Feb. 1971, Soegeng Reksodihardjo 667 (BO!). Sumatra: without locality, fr., anonymus 18469 HB (BO!); ibid., fr., anonymus s.n. (BO!). 2. Rennellia elongata (King & Gamble) Ridl. Rennellia elongata (King & Gamble) Ridl., Kew Bull. (1939) 608; K.M. Wong, Gard. Bull. Sing. 37 (2) (1984) 195196; K.M. Wong in Ng, Tree Fl. Malay. IV (1989) 405. Rennellia speciosa var. elongata King & Gamble, Journ. As. Soc. Beng. 73 (1904) 90; Ridl., Fl. Malay. Penins. II (1923) 120. Type: Malay Peninsula, Pahang, Tahan River, Ridley 5834 (Lectotype SING). Shrub or small tree or tree, 1.5-10 m height, 7-10 cm wide at breast high. Branchlets quadrangular or subquadrangular when young and becoming
261
subquadrangular or quadrangular or subterete with age, bark not glossy; internodes 3-285 mm long, 1-9 mm wide, 1-7 mm thick; wood yellow coloured. Stipules broadly triangular or triangular, short-connated or almost free or connated along edges when young growth, apex short-bifid or acute or acuminate, submembraneous or chartaceous or subcoriaceous, veins indistinct, 2-9(-10) mm long, 2-6(-8) mm wide. Petioles sub semiterete or semiterete or subterete or subquadrangular, flattened or protruded, 5-35 (-40) mm long, 0.5-3(-5) mm wide. Lamina oblong or broadly oblong or elliptic-oblong or oblong-lanceolate or obovate or obovate-oblong or obovate-lanceolate or lanceolate, 8.5-30.5(-40.8) cm long, 2.5-14 cm wide, apex acuminate or acute, chartaceous to coriaceous when dry, drying colour pale yellow to brown when dry; secondary veins 6-13 pairs, raised prominently below, flat to prominently raised above; midribs flat to prominently raised above; tertiary veins flat to prominently raised below, indistinct to moderately raised above. Bracts triangular or narrowly triangular or broadly triangular, apex short-bifid or acute or acuminate, subchartaceous or chartaceous or submembraneous when dry, glabrous or slightly papillose, 0.25-2.75 mm long, 0.2-1.5(-2) mm wide. Inflorescences axis subquadrangular or thin subquadrangular, (37-)47-155 mm long, (0.75-)1-3 mm wide, internodes 0.5-15 mm long; peduncles absent or present, thin subqudrangular or subterete or thin subterete, 0.25-1 mm long, 0.5-1.5(-2) mm wide. Flowering heads arranged in a spike or spike-like, sessile or subsessile, 3-18 tiers along the inflorescence axis, each head with (1-)2-3(-4) flowers, 2-8 mm long, 2.5-8 mm wide. Flowers heterostylous, 5-22.5 mm long, 1-3.5 mm wide; calyx tube campanulate or subcampanulate, 0.52.25(-3) mm long, 1-3.5(-4) mm wide; corolla tube 1-10 mm long and 1-2 mm wide in the bud stage but can reach 11-21 mm long in mature open flowers; corolla lobes 4-5, oblong to lanceolate or lanceolate or oblong-elliptic or linier-oblong or linier-lanceolate, apex obtuse or acute, 3-6 mm long and 0.5-2 mm wide in the bud stage but can reach 6.5-9 mm long in mature open flowers; stamens (4-)5(-6); anthers linear-lanceolate or lanceolate or linear, (1.75-)2 (-4.25) mm long and (0.1-)0.2-0.5 mm wide in immature flowers but can reach (2.5-)3.75-4.5(-5) mm long in mature open flowers; filaments 0.5-2 mm long, 0.1-0.5 mm wide; stigma lobes oblong-lanceolate or linear-lanceolate or elliptic or ellipticoblong, 0.5-1.75(-2.25) mm long, (0.1-) 0.2-0.5 mm wide; style (1.75-)2-8(-10) mm long and 0.1-0.3(-0.5) mm wide in the bud stage but can reach 11.5-20.5 mm long in mature open flowers. Fruits subglobose or ellipsoid or ovoid, 6-14 mm long, 5-13 mm wide, 1-2 locule. Stalks none or very short, thin subterete or subterete or thin subquadrangular, 1(-2) mm long, 0.5-1(-2.5) mm wide. Seeds subglobose, 4-8 mm long, 3.5-9.5 mm wide, (0.25-)1-5(-6) mm thick, 1 per locule. Field notes. Shrub or small tree or tree, 1.5-10 m height, 7-10 cm wide at breast high; bark light grey-brown, inner bark brown, thin, slightly rugose; wood yellow. Leaves fleshy, dark green. Flowers terminally. Corolla violet and white greenish at base. Calyx dark violet. Fruits compound and aggregated in 3’s; ripening purple or bluish-black or black from green or dark green; smooth. Individual fruit with one seed. Seeds semi-transluscent, white coloured in cross section. Distribution. Sumatra, Borneo and Malay Peninsula. In Indonesia, this species can be found in North Sumatra, West Sumatra, West Kalimantan, Central Kalimantan and East Kalimantan.
262
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 259-263
Habitat and ecology. They can be found in primary forest or primary mountain forest, very gentle slope, hilly terrain, red clay soil, by river, mixed primary Dipterocarpaceae forest, sandy soil, associates includes Shorea, Knema, Lithocarpus and Artocarpus at altitude 751000 m above sea level. Vernacular names. Kayu Karap (Dayak). Specimens examined. North Sumatra: Masihi, fl.bud, Aug. 1927, H.S Yates 2642 (BO!). West Sumatra: Bt. Gajabuih, Ulu Gadut, about 15 km east from Padang, alt. 400-650 m, fl. bud, fr., 5 Jan. 1981, M Hotta 25841(BO!). West Kalimantan: Mt. Damoes, fl. bud, fr.,1893-1894, H. o o Hallier 445 (BO!); Bukit Raya, 0 45' S, 112 45' E, alt.130 m, fr. immature, 4 Dec. 1982, Nooteboom 4136 (BO!); ibid., o o 0 39' S, 112 42' E, alt. 400-1000 m, fr., 24 Jan. 1983, Nooteboom 4626 (BO!); ibid., 0o 45' S, 112o 47' E, alt.150 o m, 6 Nov. 1983, Nooteboom 4861 (BO!); Serawai, 0 30' o 57.9'' S, 112 36' 7.1'' E, alt. 120 m, fr., 26 Jan. 1995, Church, A.C., Mahyar, U.W. & Afriastini 1499 (BO!). Central Kalimantan: Kuala Kurun, alt. 75 m, fr. immature, o 10 March 1979, Tukirin P. 524 (BO!); Samba, 0 43' 22.5'' o S, 112 50' 37.5'' E, alt. 265 m, fr., 27 Jan. 1995, Jarvie, o o J.K. & Ruskandi, A. 5429 (BO!); ibid., 0 43' 5.2'' S, 112 50' 37.3'' E, alt. 270 m, fr., 29 Jan. 1995, Jarvie, J.K. & Ruskandi, A. 5652 (BO!); ibid., 0o 42' 39.6'' S, 112o 50' 17.7'' E, alt. 250 m, fr., 4 Feb.1995, Jarvie, J.K. & Ruskandi, A. 5978 (BO!). East Kalimantan: Magne River, fl.bud, 1896-1897, Jaheri 604 (BO!); Dingei River, fl. bud, 18961897, Jaheri 796 (BO!); Pary River, fl. bud, 1896-1897, Jaheri 1409 (BO!); Mt. Tenampak, fr., Sept.1912, Amdjah 609 (BO!); Malinau, Kayan Mentarang National Park, alt. 200-500 m, fr., 12 Sept. 2002, Miyako Koizumi & Lam MK 961 (BO!). 3. Rennellia morindiformis (Korth.) Ridl. Rennellia morindiformis (Korth.) Ridl., Kew Bull.(1939) 609; Johansson, Blumea 34 (1989) 15. Tribrachya morindaeformis Korth., Nederl. Kruidk. Arch. II (1851) 255; Miq., Fl. Ned. Ind. II (1856) 247; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 95. Morinda korthalsiana Miq., Ann. Mus. Bot. Lugd. Bat. IV (1869) 212-213; Boerl., Handl. Fl. Ned. Ind. II (1899) 95. Morinda tribrachya K. Schum., in Engler & Prantl, Nat. Pflanzenfam. 4 (1891) 138. Rennellia sp., K.M. Wong, Gard. Bull. Sing. 37 (2) (1984) 197-198. Type: Sumatra, Mount Singgalang, Korthals s.n. (Lectotype L; Isolectotype K, L). Tree or shrub. Branchlets when young quadrangular and becoming subquadrangular or quadrangular with age, bark pale yellow whitish or pale yellow to brown coloured when dry, glossy; internodes 9-60 mm long, 1-2.5 mm wide, 0.5-2 mm thick. Stipules triangular, short-connated, apex shortly bifid or acute or acuminate, submembraneous or subchartaceous, veins indistinct, 4-4.5 mm long, 2-3 mm wide. Petioles semi-terete, flattened, 11-19 mm long, 1-1.2 mm wide. Lamina obovate-oblong or oblong, 7.3-14.6 cm long, 2.4-4.3 cm wide, apex acuminate or shortly cuspidate, chartaceous when dry, drying colour pale yellow to light brown below and light brown above; secondary veins 6-8 pairs, raised prominently; midribs flat to moderately raised above; tertiary veins flat to raised prominently below and raised slightly above. Bracts triangular, apex short-bifid or acute, glabrous, submembraneous, 1-1.5 mm long, 0.5-0.75 mm wide. Inflorescences axis thin subquadrangular, 34-35 mm long, 1-1.75 mm wide, internodes 9-14 mm long; peduncles (8-)9.5-20 mm long, 0.9-1.5 mm wide. Flowering heads arranged in a raceme-like structure, 2-4 tiers along the inflorescence axis, each head with (2-)3 flowers, 4-6
mm long, 4-6 mm wide. Flowers homostylous, 8-12.25 mm long, 1-3 mm wide; calyx tube subcampanulate, 1.25-2 mm long, 1.75-3 mm wide; corolla tube 1-2 mm long and 0.5-1.5 mm wide; corolla lobes 4, linear-lanceolate, 7-10.5 mm long and 0.5-2 mm wide, apex acute; stamens 4-5; anthers linear or linear-lanceolate, 1.10-1.5 mm long, 0.1 mm wide; filaments very short; stigma lobes ovate or elliptic, 0.2-0.3 mm long, 0.1 mm wide; style 1.25-2 mm long, 0.1-0.2 mm wide. Fruits and seeds not seen. Field notes. Tree or shrub; stem lignosus; flower terminal, yellow or yellow greenish or dark purple coloured; leaves glabrous. Distribution. Sumatra and Malay Peninsula. In Indonesia, this species can be found in West Sumatra. Habitat and ecology. They can be found in rain forest, at altitude 400-650 m above sea level. Specimens examined. West Sumatra: Taman Hutan Raya Dr. Moh. Hatta, Ladang Padi, about 21 km east from Padang City, alt. 400-650 m, fl., 7 May 1994, Abi, Erni, Betty, Nius & Zeti 99 (ANDA!); ibid., Feri, Lani, May & Yuli 58 (ANDA!); ibid., 8 May 1994, Deden, Fera, Reni, Is & Wiwin 62 (ANDA!). Sumatra: unknown locality, fl. bud, Korthals s.n. (BO!); ibid., fl., anonymous s.n. (BO!) 4. Rennellia speciosa (Wall. ex Kurz) Hook.f. Rennellia speciosa (Wall. ex Kurz) Hook.f., Fl. Brit. Ind. III (1880) 158; King & Gamble, Journ. As. Soc. Beng. 73 (1904) 89; Ridl., Fl. Malay. Penins. II (1923) 120; Pitard in Lecomte & Humbert, Fl. Gen. Indo-Chine III (1924) 427; Burkill, A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula (1935) 1888-1889; Corner, Ways. Trees Malay. I (1940) 558; Henderson, Malayan Wild Flow. (1959) 220; K.M. Wong, Gard. Bull. Sing. 37 (2) (1984) 197; K.M. Wong in Ng, Tree Fl. Malay. IV (1989) 405; Johansson, Blumea 34 (1989) 11. Morinda speciosa [Wallich 1847, no. 8436, nom. nud] ex Kurz, Prel. Rep. (1875) 60; Kurz, For. Fl. British Burm. 2 (1877) 62. Type: Burma, Tenaserrim, Chappadong Hill, Wall. Cat. 8436 (Holotype K). Shrub, 1.5 m height. Branchlets when young quadrangular and becoming subquadrangular or quadrangular or subterete with age, bark glossy or not, pale yellow to brown coloured when dry; internodes 5-79 mm long, 1-5 mm wide, 1.5-5.5 mm thick. Stipules broadly triangular or ovate, short-connated or almost free, apex short-bifid or obtuse or acute or acuminate, submembraneous or subchartaceous, veins distinct on inner surface or indistinct on both sides, 2-10 mm long, 2-8 mm wide. Petioles semiterete or sub semiterete or sub terete, flattened or slightly protruded, 13-45 mm long, 0.5-2 mm wide. Lamina obovate or obovate-oblong or oblong, 11.2-25.5 cm long, 3-8.8 cm wide, apex acuminate, chartaceous when dry, drying colour pale yellow brownish or light brown or brown or brown greyish below and pale yellow whitish or pale yellow brownish or grey brownish or brown above; secondary veins 6-12 pairs, slightly to prominently raised below and flat to moderately raised above; midribs slightly to prominently raised above; tertiary veins flat to slightly raised below and slightly raised to indistinct above. Bracts triangular, apex short-bifid, glabrous, membraneous, 0.5 mm long, 0.25 mm wide. Inflorescences axis thin subquadrangular, 11-26(-70) mm long, 0.75-2 mm wide, internodes 0.5-6(-9) mm long; peduncles subterete or thin subquadrangular or subquadrangular, (2.5-)3.5-9 mm long, (0.5-)0.75-1.5 mm wide. Flowering heads arranged in a raceme-like structure, (2-)4-6(-9) tiers along the inflorescence axis, each head with (1-)2-3 flowers, 1.5-3(-6) mm long, 1.5-3.5(-7) mm
SURATMAN – Indonesian species of Rennellia Korth.
wide. Flowers heterostylous, 2.75-12(-22) mm long and 12.5 mm wide in the bud stage but can reach 25-27 mm long in mature open flowers; calyx tube campanulate or subcampanulate, (0.5-)1-2(-4) mm long, 1-2.5(-4) mm wide; corolla tube (1-)9-20 mm long and (0.5-) 1-2.5 mm wide in the bud stage but can reach 22-26 mm long in mature open flowers; corolla lobes 4-5, elliptic-oblong or obovate-oblong or oblong or lanceolate or linear-lanceolate, (1.75-)5-8.5 mm long and (0.75-)1.5-2.75 mm wide in immature flowers but can reach 9 mm long and 2-3.5(-4.5) mm wide in mature open flowers, apex obtuse or acute; stamens 4-5; anthers linear-lanceolate or linear, 2.25-4 mm long, 0.250.75 mm wide; filaments 0.5-1.5 mm long, 0.1-0.25 mm wide; stigma lobes ovate or elliptic or linear-lanceolate, 0.50.75(-3) mm long, 0.1-0.5 mm wide; style 1-2.75 mm long and 0.1-0.3 mm wide in immature flowers but can reach 525 mm long in mature flowers. Fruits and seeds not seen. Field notes. Shrub 1.5 m, understroy, monocaulous or not; leaves fleshy, dark green above and light green below; inflorescences dark purple; flowers very fragrant, corolla pentamerous and white coloured. Distribution. Burma, Thailand, Borneo, Sumatra and Malay Peninsula. In Indonesia, this species is recorded from North Sumatra, Bengkulu and Lampung. Habitat and ecology. They can be found commonly in the primary and secondary forest, closed canopy lowland forest, lowlands and mountains, altitude 335-700 m above sea level. Vernacular names. Mengkudu Rimba, Lempedu Tanah, Semboran Angin, Meroyan Kemput, Meroyan Metemak (Malay). Uses. The decoction of the bark or roots of R. speciosa is administrated for dropsy and pains in the bones, and one made from the leaves and roots may be used in a bath to cure rheumatism. The plants are also given after childbirth as a protective medicine (Burkill, 1935). o Specimens examined. North Sumatra: Batangtoru, 01 o 30' 41'' N, 99 04' 32'' E, alt. 400 m, fl., 4 June 2003, W. Takeuchi & E. Sambas 18181 (BO!); ibid., 01o 31' 23'' N, o 99 03' 39'' E, alt. 335 m, fl., 12 June 2003, W. Takeuchi & E. Sambas 18397 (BO!). Bengkulu: Simpangloenik, alt. 500 m, fl. bud, 26 May 1931, v.d. Pyl 369. Lampung: Krui, alt. 700 m, fl., 16 July 1936, de Voogd 1485 (BO!).
CONCLUSION Based on the investigation of morphological characters, there were four species of Rennellia in Indonesia that can be recognized, i.e., Rennellia elliptica Korth., Rennellia elongata (King & Gamble) Ridl., Rennellia morindiformis (Korth.) Ridl., and Rennellia speciosa (Wall. ex Kurz) Hook.f.
263
ACKNOWLEDGMENTS I would like to express my gratitude to the Keepers of the Herbarium Bogoriense (BO) and Herbarium of Andalas University (ANDA) who gave the opportunity and facilities to study specimens. My sincere thanks are due to Prof. Dr. Khoon Meng Wong from the Institute of Biological Sciences, University of Malaya, Malaysia for a critical reading of the manuscripts and also provided his article for my references. Thanks are also due to Dr. Jan Thomas Johansson at Department of Botany, University of Stockholm, Sweden who was so kindly to provide some important literatures. I am also grateful to Prof. Dr. Mien A. Rifai from Herbarium Bogoriense for his valuable criticism.
REFERENCES Bentham, G. and J. D. Hooker. 1873. Genera Plantarum 2. Londini: L. Reeve and Co. Boerlage, J.G.1899. Handleiding tot de Kennis der Flora van Nederlandsch Indië. Tweede Deel. Leiden: E.J.Brill. Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. London: Government of The Straits Settlement and Federated Malay States by The Crown Agent for The Colonies. Corner, E.J.H. 1940. Wayside Trees of Malaya. Volume I. Singapore: W.T. Cherry, Government Printer. Harris, J.G. and M.W. Harris. 1994. Plant Identification Terminology: An Illustration Glossary. Utah: Springe Lake Publishing. Henderson, M.R.1959. Malayan Wild Flowers: Dicotyledons. Kuala Lumpur: The Malayan Nature Society. Hooker, J.D. 1880. The Flora of British India. Volume III: Caprifoliaceae to Apocynaceae. London: L. Reeve and Co. Johansson, J.T. 1989. Revision of the genus Rennellia Korth. (RubiaceaeRubioideae). Blumea 34: 3-19. King, G. and J.S. Gamble. 1904. Materials for a flora of the Malayan Peninsula. Journal of the Asiatic Society of Bengal 73: 89 -90. Korthals, P.W. 1851. Overzigt der Rubiaceën van de Nederlandschoostindische Kolonien. Nederlandsch Kruidkundig Archief 2: 255-257. Kurz, W.S. 1875. Preliminary Report on the Forest and Other Vegetation of Pegu. Appendix B. General Key to The Burmese Trees. Calcutta: Baptist Mission Press Kurz, W.S. 1877. Forest Flora of British Burma 2. Calcutta: Office of the Superintendent of Government Printing Lawrence, G.H.M. 1955. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The Macmillan Company. Miquel, F.A.W. 1856. Flora van Nederlandsch Indië. Tweede Deel. Amsterdam: Leipzig, bij Fried Fleischer. Miquel, F.A.W. 1869. Ecloge rubiacearum archipelagi Indici. Annales Musei Botanici Lugduno-Batave 4: 212-213. Pitard, J. 1924. Rubiacées. In: Lecomte, H. and H. Humbert (eds.). Flore Générale de L’Indo-Chine III. Paris: Masson et Cie, Editeurs. Puff, C. and K.M. Wong. 1993. A synopsis of the genera of Rubiaceae in Borneo. Sandakania 2: 13-34. Ridley, H.N. 1923. The Flora of the Malay Peninsula. Volume II: Gamopetalae. London: L.Reeve and Co.Ltd. Ridley, H.N. 1939. Notes on some Malayan Rubiaceae. Morindeae. Kew Bulletin: 600-611. Schumann, K.M. 1891. Rubiaceae. In: Engler, A. and K. Prantl (eds.). Die Natürlichen Pflanzenfamilien. IV Teill. Leipzig: Wilhelm Engelmann. Stearn, W.T.1996. Botanical Latin. 4th ed. England: Redwood Press Ltd. Veldkamp, J.F.1987. Sequence of organs and terminology of characters. In Vogel, E.F. (ed.). Manual of Herbarium Taxonomy Theory and Practice. Jakarta: UNESCO. Wong, K.M. 1984. A Revision of Rennellia (Rubiaceae) in the Malay Peninsula. Gardens’ Bulletin Singapore 37 (2):193-198. Wong, K.M. 1989. Rennellia Korth. (Rubiaceae). In Ng, F.S.P. (ed.). Tree Flora of Malaya Volume IV: A Manual for Foresters. Selangor: Longman Malaysia Sdn Berhad.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 264-268
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Karakter Fisiologi Kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) pada Variasi Naungan dan Ketersediaan Air Physiological characters of kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) in various of light intensity (shading) and water availability ENDANG ANGGARWULAN♥, SOLICHATUN, WIDYA MUDYANTINI Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta 57126. Diterima: 26 Juli 2008. Disetujui: 18 September 2008.
ABSTRACT The aim of this research was to study the physiological characters of kimpul [Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott] in various light intensity (shading) and water availability. The physiological characters are growth, photosynthetic apparatus, tissue nitrogen and polyphenol content. Information about physiological character of tannia is important in order to their cropping development. The research done in randomize complete block design with 2 factors and 3 replicates. The first factor was light intensity (shading) in 3 levels (0%, 55%, and 75%). The second factor was water availability in 4 different fields capacities (40%, 60%, 80% and 100%). The treatments were be done in 6 weeks. There were 8 parameters measured (plant height, dry plant weight, total chlorophyll content, stomata index, nitrogen and polyphenol content. The data were analyzed by analysis of varians, followed by DMRT in 5% confident level. The result showed that the plant height significantly affected by the combinations of treatment (shading and water availability). The treatment also influenced the total chlorophyll content and leaf nitrogen content. The treatment didn’t give significantly effect on stomata index, and pholyphenol content. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott, light intensity, water availability, growth, nitrogen content, polyphenol.
PENDAHULUAN Pola konsumsi makanan pokok masyarakat Indonesia pada saat ini didominasi kelompok padi-padian (padi, jagung, terigu) yang ketergantungannya pada negara lain masih cukup besar. Untuk mengurangi ketergantungan pada negara lain, diperlukan adanya diversifikasi makanan pokok. Selain itu juga perlu upaya peningkatan produksi pangan dengan cara mengembangkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang ada. Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, memiliki banyak tanaman pangan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan lebih optimal. Diantaranya adalah umbiumbian yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat. Salah satu umbi-umbian yang layak untuk dikembangkan sebagai bahan pangan adalah kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott). Kimpul umumnya ditanam di pedesaan sebagai tanaman sela diantara tanaman palawija lain. Umbi kimpul biasanya diolah secara sederhana dengan dikukus, direbus, atau dengan sedikit variasi dibuat berbagai produk olahan antara lain getuk, keripik, perkedel dan sebagainya (Marinih, 2005). Harijono et al., (1994) melaporkan bahwa umbi kimpul dapat pula dimanfaatkan untuk pembuatan chip dan tepung. Di Jepang umbi kimpul telah menjadi bahan makanan sehari-hari yang sangat dibutuhkan, akan tetapi Jepang sendiri baru dapat memenuhi kebutuhan tersebut kurang dari satu persen. Salah satu ♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: e_anggarwulan@yahoo.co.id
permasalahannya adalah iklim yang tidak mendukung yaitu adanya musim gugur yang menyebabkan kimpul mudah membusuk. Kimpul merupakan tanaman yang mudah ditanam dan cukup potensial, sehingga sangat layak untuk dikembangkan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Budidaya tanaman kimpul yang intensif memerlukan pengetahuan mengenai karakter fisiologinya. Produktivitas tanaman dapat mengalami gangguan manakala tidak sesuai dengan persyaratan tumbuh optimalnya. Tumbuhan akan memberikan tanggapan terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai atau lazim disebut sebagai stress atau cekaman. Pada umumnya tumbuhan dihadapkan pada dua atau lebih cekaman yang terjadi secara bersamaan, seperti terbatasnya ketersediaan air dengan cahaya yang diterima tumbuhan (Soltani et al., 2004; Hong-bo et al., 2006). Pengaruh tunggal penurunan ketersediaan air akan menurunkan pertumbuhan (Fazeli et al., 2007), namun kadar polifenol tumbuhan tidak terpengaruh (Cheruiyot et al., 2007) sedangkan peningkatan penerimaan cahaya akan meningkatkan kadar klorofil, nitrogen dan densitas stomata (Mendes et al., 2001). Penelitian mengenai pengaruh naungan terhadap densitas stomata dan ukuran daun kimpul telah dilakukan Johnston dan Onwueme (1998). Namun pengaruh kombinasi naungan dengan ketersediaan air terhadap kimpul belum banyak diteliti. Penelitian ini dilakukan dalam upaya mempelajari pengaruh kombinasi variasi naungan dan ketersediaan terhadap pertumbuhan, kadar klorofil dan indeks stomata, serta kadar nitrogen dan polifenol daun kimpul.
ANGGARWULAN dkk. – Karakter fisiologi Xanthosoma sagittifolium
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Pengamatan pertumbuhan dan analisis kandungan nitrogen dilakukan di Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Pengukuran kadar klorofil dan polifenol, dilakukan di Sub Lab Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Alat dan bahan Alat utama yang diperlukan untuk penanaman adalah pot plastik ukuran 5 L. Alat utama untuk mengukur indeks stomata adalah mikroskop dan mikrometer, sedangkan untuk analisis aktivitas nitrat reduktase, kandungan nitrogen daun, polifenol, dan kadar klorofil adalah seperangkat tabung Kjeldahl dan spektrofotometer UV-VIS. Bahan yang digunakan adalah umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott.), pupuk kandang, tanah, dan bahan-bahan kimia untuk analisis kandungan nitrogen, polifenol, klorofil, dan indeks stomata. Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial dengan 2 faktor yaitu naungan sebagai faktor I, dan pemupukan sebagai faktor II. Faktor I dalam 3 aras, masing-masing sebagai berikut: N0 = tanpa naungan ; N1 = 55% naungan, dan N3=75% naungan. Faktor II yaitu ketersediaan air dalam 4 aras, A1= 40% kapasitas lapang (KL), A2= 60% KL; A3= 80% KL; dan A4= 100% KL. Masingmasing perlakuan dengan 3 ulangan. Pelaksanaan penelitian Penyiapan bibit kimpul Penyiapan bibit kimpul dilakukan dengan menanam potongan umbi yang ada mata tunasnya dan memiliki berat 200 g. Media yang digunakan adalah campuran tanah: kompos = 2: 1 sebanyak 3 kg dimasukkan dalam pot berukuran 5 L. Perlakuan naungan dan ketersediaan air diberikan setelah bibit berumur 2 minggu. Pengamatan pertumbuhan Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada hari ke 45 setelah perlakuan, dan parameter yang diukur adalah berat kering tanaman dan tinggi tanaman. Pengukuran kadar klorofil Pengukuran kadar klorofil dilakukan berdasarkan Hendry dan Grime (1993). Daun segar sebanyak 500 mg dihaluskan dalam mortar yang diberi 2 mL aceton 80%. Hasil gerusan daun ditambahkan aceton hingga volume larutan 10 mL, kemudian disaring menggunakan kertas filter Whatman 41. Pengukuran klorofil dilakukan dengan spektrofotometer, absorbansi pada panjang gelombang 663 dan 645 nm. Penghitungan indeks stomata Perhitungan indeks stomata menurut Sass (1958) adalah sebagai berikut: Permukaan epidermis atas pada daun tanaman disayat menggunakan tusuk gigi. Lapisan yang telah disayat diletakkan di atas gelas benda, kemudian ditetesi larutan safranin dan didiamkan sesaat agar terserap. Masing-masing preparat diamati menggunakan mikroskop yang telah dilengkapi mikrometer pada lensa okulernya. Tiga daerah berbeda pada permukaan daun diamati dan dihitung jumlah sel epidermis (E) dan stomata (S). Indeks stomata dihitung menggunakan rumus:
S x 100 E +S
265
Penghitungan kandungan nitrogen Kandungan nitrogen dalam jaringan diukur menggunakan metode Kjeldahl (Helrich, 1990). Bahan kering daun seberat 1 g disaring dengan saringan ukuran 20 mesh, selanjutnya ditambahkan 50 mL sulfuric-salicylic acid, dan kemudian didiamkan semalam. Pada larutan ditambahkan 5 g sodium thiosulfat, dipanaskan selama 5 menit. Setelah dingin ditambahkan 10 g asam sulfat, dan dimasukkan dalam tabung Kjeldahl pada suhu maksimum. Setelah terlarut sempurna lalu didinginkan, kemudian ditambahkan 300 mL aquades dan 100 mL sodium hidroksida. Distilasi dilakukan dan 150 mL hasilnya ditambahkan pada 50 mL 2% asam borat. Selanjutnya ditambahkan brom cresol green-methyl red, dan dititrasi dengan asam sulfat hingga warna memucat. Kadar nitrogen dalam persen ditentukan dengan menghitung selisih volume larutan sampel dengan blanko dikalikan 1,4 (faktor pengali), kemudian dibagi berat sampel. Penghitungan kadar polifenol Penghitungan kadar polifenol menggunakan metode Folin-Denis (Thompson et al., 1984). Lima ratus mg berat kering daun untuk setiap sampel diekstraksi dalam 20 mL metanol 70% (v/v) yang diberi beberapa tetes 1 M HCl. Larutan dibiarkan selama 1,5 jam pada temperatur kamar, kemudian difiltrasi. Penghitungan total fenol dilakukan dengan reagen Folin-Denis. Pengukuran dilakukan setelah 1 jam pada panjang gelombang 720 nm dengan spektrofotometer. Hasil pengukuran menggunakan referensi galic acid. Analisis data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varian (ANAVA). Uji lanjut menggunakan Duncan�s Multiple Range Test (DMRT) taraf uji 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Berat kering dan tinggi tanaman Hasil analisis sidik ragam perlakuan variasi naungan dan ketersediaan air menunjukkan bahwa interaksinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat kering tanaman kimpul. Berbeda dengan hasil tersebut, perlakuan variasi naungan dan ketersediaan air ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tinggi tanaman kimpul sebagaimana tersaji pada Tabel 1 dan Gambar 2. Kombinasi perlakuan naungan 75% memberikan tinggi tanaman yang paling baik, sedangkan pada perlakuan tanpa naungan, menghasilkan tinggi tanaman yang rendah. Perlakuan selama 45 hari memberikan pertumbuhan kimpul yang terbaik pada ketersediaan air 60% kombinasi dengan semua taraf naungan (Gambar 1). Berat kering tertinggi pada perlakuan tanpa naungan, kemudian berturut-turut mengalami penurunan sejalan dengan menurunnya intensitas cahaya yang diterima tumbuhan. Pada kombinasi perlakuan naungan dengan taraf ketersediaan air lainnya (40%, 80%, dan 100%) tanggapan kimpul terhadap perlakuan tersebut menunjukkan pola yang serupa yaitu rendah pada naungan 55%, tetapi tinggi pada tanpa naungan dan naungan 75%. Cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi. Intensitas cahaya yang dibutuhkan tumbuhan cukup beragam, ada tanaman yang membutuhkan cahaya matahari penuh dan ada tanaman yang tidak tahan terhadap cahaya yang berlebih. Intensitas cahaya rendah menurunkan hasil pada tanaman-tanaman berikut ini,
266
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 264-268
Tabel 1. Hasil analisis data berat kering, tinggi tanaman, klorofil, indeks stomata, kandungan nitrogen dan kadar polifenol daun kimpul pada variasi naungan dan ketersediaan air. Berat kering Tinggi tanaman Klorofil total Indeks Kandungan Kadar polifenol (g) (cm) (mg/L) stomata nitrogen (%) (mg/g brt kering) a abc a N0A1 46,34 17,34 72,02 8,23 2,75 0,6003 bc a b N0A2 64,22 36,24 67,35 8,34 3,45 0,6827 ab c bcde 47,25 30,10 74,69 10,06 3,79 0,6787 N0A3 bc ab bcd 37,76 43,76 68,78 10,67 3,65 0,7029 N0A4 abc c bcd 37,70 35,45 77,09 6,97 3,67 0,6522 N1A1 cd bc bc 53,70 53,68 74,22 7,08 3,59 0,5497 N1A2 bc c bcd 28,49 43,30 75,75 7,85 3,62 0,4410 N1A3 bc abc de 31,97 39,40 72,79 8,70 4,04 0,5480 N1A4 bc c bcd 42,27 41,36 76,31 6,02 3,70 0,6293 N2A1 d bc e 48,63 64,12 74,30 6,94 4,15 0,5567 N2A2 ab c cde 42,52 33,34 75,08 7,25 3,97 0,4477 N2A3 e c bcd 42,52 87,25 75,37 7,54 3,62 0,3993 N2A4 Keterangan: *N: Naungan; N0: 0%; N1: 55%; N2: 75%; *A: Ketersediaan air % kapasitas lapang (KL); A1: 40% KL; A2: 60% KL; *A3: 80% KL; A4: 100% KL; *Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom menunjukkan tidak ada beda nyata dengan uji DMRT pada taraf uji 5%. Perlakuan
kedelai (Glycine soya) (Asadi et al., 1997) dan padi gogo (Oryza sativa) (Supriyono et al., 2000). Klorofil total, dan indeks stomata Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa naungan, ketersediaan air dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap kadar klorofil total daun tanaman kimpul. Dari Tabel 1. dan Gambar 3 kadar klorofil yang tinggi terdapat pada perlakuan naungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aarti et al. (2007). Dinyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan menghambat biosintesis klorofil, khususnya pada biosintesis 5-aminolevulinat sebagai prekursor klorofil. Menurut Johnston dan Onwueme (1998) dengan semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan, tanaman akan melakukan adaptasi dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit luas daun. Semakin meningkatnya laju fotosintesis maka semakin banyak karbohidrat yang terbentuk. Karbohidrat dalam bentuk gula digunakan untuk sintesis klorofil. Karbohidrat yang tersedia dalam jumlah banyak akan meningkatkan sintesis klorofil sehingga kadar klorofil lebih tinggi pada daun yang ternaungi. Hasil ini berbeda dengan Mendes et al. (2001) yang meneliti pengaruh cahaya sebagai faktor tunggal pada Myrtus communis. Perlakuan tanpa naungan memberikan kadar klorofil lebih tinggi dibanding perlakuan 70% naungan. Hal tersebut menjadi bukti dari keanekaragaman hayati. Setiap jenis tumbuhan memberi tanggapan yang tidak sama terhadap intensitas cahaya yang diterima. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan naungan dan ketersediaan air tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada indeks stomata. Indeks stomata tertinggi yaitu 10,67 terdapat pada interaksi perlakuan tanpa naungan dan ketersediaan air 100% kapasitas lapang, sedangkan indeks stomata terendah yaitu 6,02 terdapat pada kombinasi perlakuan naungan 75% dan ketersediaan air 40% kapasitas lapang. Ada kecenderungan semakin meningkat cahaya yang diterima tumbuhan, maka indeks stomatanya semakin tinggi (Gambar 5). Hasil yang signifikan perlakuan selama musim semi- panas pada daun yang memperoleh paparan penuh sinar matahari (tanpa naungan) memiliki densitas stomata
yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memperoleh naungan 70%, sebagaimana yang ditunjukkan tanaman Myrtus communis (Mendes et al., 2007). Keadaan yang demikian dapat dijelaskan bahwa kondisi lingkungan dalam jangka waktu yang relatif lama dapat mempengaruhi jumlah stomata terkait dengan proses transpirasi. Intensitas cahaya tinggi pada waktu siang hari akan meningkatkan suhu daun tanaman. Peningkatan suhu yang berlebihan dapat mengganggu proses metabolisme tanaman dan dalam waktu lama dapat menyebabkan daun terbakar. Dalam adaptasinya tanaman akan meningkatkan jumlah stomata agar proses transpirasi menjadi optimal. Transpirasi berfungsi untuk menjaga stabilitas suhu daun, menjaga turgiditas sel tumbuhan agar tetap pada kondisi optimal dan mempercepat laju pengangkutan unsur hara melalui pembuluh xilem (Lakitan, 2004). Kandungan nitrogen daun Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi variasi naungan dan ketersediaan air pengaruh yang signifikan terhadap kandungan nitrogen tanaman kimpul (Tabel 1). Cahaya dan air memegang peranan penting dalam proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan berpengaruh pada kadar nitrogen (N) daun. Hubungan laju fotosintesis dengan enzim ribulose bifosfat karboksilase oksigenase tercermin pada N daun. Secara keseluruhan cahaya mempengaruhi pertumbuhan tanaman, struktur anatomi dan kandungan N. Daun yang tidak menerima cukup cahaya, nitrogennya akan tertimbun dalam bentuk glutamine sehingga tidak dapat dimanfaatkan dan bahkan dapat menjadi racun. Cahaya mempengaruhi reduksi nitrogen menjadi nitrogen organik yang dapat dimanfaatkan dalam proses sintesis protein, klorofil, asam nukleat dan proses metabolisme yang lain. Peran cahaya disini sebagai sumber energi kimia yang berupa ATP dan NADPH, selain itu cahaya juga berperan dalam aktifitas enzim serta mempercepat reaksi. Manakala ketersediaan air terbatas maka fotosintesis akan mengalami gangguan. Mengingat air adalah sebagai sumber donor elektron, apabila terbatas ketersediaannya maka pembentukan ATP juga akan terhambat. Sebagaimana yang diuraikan Lawlor (2002), ATP berperan penting dalam terjadinya siklus Calvin. Air merupakan faktor yang penting bagi tanaman, karena berfungsi sebagai pelarut hara, berperan dalam
ANGGARWULAN dkk. – Karakter fisiologi Xanthosoma sagittifolium
Berat kering (g)
60 50
40% KL
40
60% KL
30
80% KL
20
100% KL
10 0 N0
N1
N2
Naungan
Tinggi tanaman (cm)
Gambar 1. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada berat kering tanaman.
100 80 40% KL 60
60% KL
40
80% KL 100% KL
20 0 N0
N1
N2
Naungan Gambar 2. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada tinggi tanaman.
Kadar klorofil total (mg/L)
Kadar polifenol Kombinasi perlakuan naungan dan ketersediaan air tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap kadar polifenol kimpul (Tabel 1). Kadar polifenol tertinggi ditunjukkan oleh tanaman yang mendapat perlakuan tanpa naungan dan ketersediaan air 100% KL, sedangkan kadar polifenol terendah ditunjukkan oleh tanaman yang memperoleh perlakuan naungan 75% dan ketersediaan air 100% KL. Ada kecenderungan kadar polifenol meningkat, sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya (Gambar 8.). Hasil yang serupa ditunjukkan penelitian Sofo et al. (2003) pada tanaman zaitun (olive) yang mendapat perlakuan naungan dan ketersediaan air yang terbatas. Pengukuran enzim antioksidan seperti superoksid dismutase (SOD), katalase (CAT), malondialdehid (MDA), menunjukkan peningkatan pada perlakuan tanpa naungan, namun sebaliknya polifenol oksidase (PPO) rendah. Aktivitas PPO yang rendah menghasilkan akumulasi polifenol yang tinggi. Enzim PPO berperan dalam oksidasi polifenol, yang menentukan kadar akumulasi polifenol. Akumulasi polifenol yang tinggi juga ditunjukkan tanaman teh (Camelia sinensis L) yang yang mendapat perlakuan ketersediaan air terbatas (14% kapasitas lapang) selama 12 minggu (Cheruiyot et al. 2007). Kadar polifenol yang tinggi pada ketersediaan air yang rendah, menunjukkan bahwa tanaman tersebut toleran pada lahan kering. Penelitian Wolgast (2004) menunjukkan bahwa pada lingkungan yang mengalami cekaman akan meningkatan biosintesis polifenol. Pada sejumlah tumbuhan, polifenol berperan sebagai antimikroba (Stoilova et al., 2005) dan antioksidan (Arruda et al., 2004). Polifenol sebagai antioksidan, bekerja dengan melindungi komponen kimia tubuh dan sel dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, yaitu atom-atom reaktif yang berperan dalam kerusakan jaringan tubuh. Dari berbagai riset yang telah dilakukan, mengindikasikan bahwa polifenol memiliki karakteristik antioksidan yang berpotensi untuk dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, diantaranya dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskuler dan kanker (Matuschek dan Svanberg, 2002).
70
78 76 74 72 70 68 66 64 62
40% KL 60% KL 80% KL 100% KL
N0
N1
N2
Naungan Gambar 3. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada kadar klorofil total.
12 10 Indeks stomata
translokasi hara dan fotosintesis (Fitter dan Hay, 1998). Translokasi melalui xylem berupa unsur hara yang dimulai dari akar terus ke organ-organ, seperti daun untuk diproses dengan kegiatan fotosintesis. Stress air memperlihatkan pengaruhnya melalui terhambatnya proses translokasi. Pengaruhnya tidak langsung terhadap produksi adalah berkurangnya penyerapan hara dari tanah. Berkurangnya penyerapan unsur hara akan menghasilkan laju sintesis bahan kering (antara lain protein) yang rendah pula. Cahaya dan air memegang peranan penting dalam proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan berpengaruh pada kadar N daun. Hubungan laju fotosintesis dengan enzim ribulose bifosfat karboksilase oksigenase tercermin pada kadar N daun (Sitompul dan Purnomo, 2005). Hasil penelitian Foyer et al. (1998) pada jagung yang mendapat perlakuan kekeringan, menunjukkan adanya koordinasi antara metabolisme nitrogen dan karbon. Ketersediaan air yang rendah, mengakibatkan nitrat (NO3) hanya sedikit terlarut. NO3 yang dapat diserap tumbuhan jumlahnya terbatas, dan hal ini mengakibatkan rendahnya kadar nitrogen yang ada pada tumbuhan. Hasil yang sedikit berbeda, yaitu pada perlakuan tunggal intensitas cahaya. Perlakuan naungan tanpa kombinasi ketersediaan air pada Myrtus communis selama 3 bulan, menunjukkan bahwa pada tanaman yang tanpa naungan kadar nitrogennya lebih tinggi dibanding yang diberi naungan 70% (Mendes et al., 2007).
267
40% KL
8
60% KL
6
80% KL
4
100% KL
2 0 N0
N1
N2
Naungan Gambar 4. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada indeks stomata.
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 264-268
DAFTAR PUSTAKA 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
40% KL
(%)
Kandungan nitrogen daun
268
60% KL 80% KL 100% KL
N0
N1
N2
Naungan
Kadar polifeno (mg/g berat kering)
Gambar 5. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada kandungan nitrogen daun.
0,8 0,7 0,6
40% KL
0,5
60% KL
0,4
80% KL
0,3
100% KL
0,2 0,1 0 N0
N1
N2
Naungan Gambar 6. Pengaruh variasi naungan dan ketersediaan air pada kadar polifenol daun.
KESIMPULAN Kombinasi perlakuan variasi naungan dan ketersediaan air secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan khususnya ditunjukkan pada tinggi tanaman. Perlakuan tidak memberikan beda nyata pada berat kering tanaman. Terdapat perbedaan nyata antar perlakuan pada kadar klorofil total, tetapi tidak demikian halnya dengan indeks stomata. Ada kecenderungan terjadi penurunan indeks stomata, pada peningkatan naungan. Kombinasi perlakuan naungan dan ketersediaan air berpengaruh secara signifikan pada kadar nitrogen daun. Kadar nitrogen menurun sejalan dengan penurunan tingkat naungan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan pada kadar polifenol daun kimpul, namun ada kecenderungan peningkatan naungan menurunkan kadar polifenol.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai Tim Pelaksana Program Hibah Kompetisi A2 Jurusan Biologi. Tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada Farah Aldila, Nureisa Swastika Prasanti, dan Lina Emiliasari yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Aarti, P.D., R. Tanakaand A. Tanaka. 2007. High-light inhibit chlorophyll biosynthesis at the level of 5-aminolevulinate synthesis during deetiolation in cucumber (Cucumis sativus) cotyledons. Photochemistry and Photobiology 83 (1): 171-176. Arruda, S.F., E.M.A. Siqueira, and E.M.T. Souza. 2004. Malanga (Xanthosoma sagittifolium) and purslane (Portulaca oleracea) leaves reduce oxidative stress in vitamin A-defisient rats. Annals of Nutrition & Metabolism 48:288-295. Asadi, D., M. Arsyad, H. Zahara, and Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan dan tumpangsari. Buletin Agrobio 1 (2): 15-20. Cheruiyot, E.K., L.M. Mumera, W.K. Ng�Etich, A. Hassanali, F. and Wachira. 2007. Polyphenols as potential indicators for drought tolerance in tea (Camelia sinensis L.). Bioscience, Biotechnology and Biochemistry 71 (9): 2190-2197 Fitter, A.H. dan R.K.M. Hay. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman Penerjemah: Andani, S. dan E.D. Purbayanti. Yogyakarta: UGM Press. Fazeli, F., M. Ghorbanli, and V. Nikham. 2007. Effects of drought on biomass, protein content, lipid peroxidation and antioxidant enzymes in two sesame cultivars. Biologia Plantarum 5 (1): 98-103. Foyer, C.H., M-H. Valadier, A. Migge, and T.H. Becker. 1998. Droughtinduced effects on nitrat reduktase activity and mRNA and on the coordination of nitrogen and carbon metabolism in maize leaves. Plant Physiolology 117: 283-292. Harijono, S. Wijana, N.H. Pulungan, dan S.S. Yuwono. 1994. Pemanfaatan umbi kimpul (Xanthosoma sagittifolium Schott.) untuk pembuatan chip dan tepung. Jurnal Universitas Brawijaya 6 (2): 47- 58. Helrich, K. 1990. Official Methodes of Analysis. Virginia: Assosiation of Official Analytical Chemists, Inc. Hendry, G.A.F. and J.P. Grime. 1993. Methods on Comparative Plant Ecology, A Laboratory Manual. London: Chapman and Hill. Hong-bo, S., C. Li-ye, Z. Chang-xing, G. Qing-jie, L. Xian-an, R. JeanMarcel. 2006. Plant gene regulatory network system under abiotic stress. Acta Biology Szegediensis 50 (1-2): 1-9. Lakitan, B.2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Grafindo Persada, Jakarta. Lawlor, D.W. 2002. Limitation to photosynthesis in water-stress leaves: stomata vs metabolism and role of ATP. Annals of Botany 89: 871-885. Lingga, P., dan Marsono. 2002. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya. Matuschek, E. dan U. Svanberg. 2002. Oxidation of polyphenols and the effect on in vitro iron accessibility in a model food system, Journal of Food Science 67: 420-424. Marinih. 2005. Pembuatan Keripik Kimpul Bumbu Balado dengan tingkat Pedas yang Berbeda. Semarang: Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi, Universitas Negeri Semarang Mendes, M.M., L.C. Gazarini, M.L. Rodrigues. 2001. Acclimation of Myrtus communis to contrasting Mediteranean light environments-effects on structure and chemical composition of foliage and plant water relation. Environment Experimental. Botany 45(2): 165-178. Johnston, M. and I.C. Onwueme. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in the tropicak root crops: yam, taro, tannia, cassava and sweet potato. Experimental Agriculture 34(3)301-312. Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia I: Prinsip, Produksi dan Gizi. Penerjemah: Herison, C. Bandung: Penerbit ITB. Sass, J.E. 1958. Botanical Microtechnique. Ames: Iowa State University Press. Sitompul, S.M. dan D. Purnomo. 2005. Increasing function agronomy in Teak, Pines Agroforstry System using low irradiation in maize variety. Agrosains 7(2): 93-100. Sofo, A., B. Dichio, C. Xiloyannis, and A. Masia. 2003. Effect of different irradiance levels on some antioxidant enzymes and on malondialdehyde content during rewatering in olive. Plant Science 166 (2): 293-302. Soltani A, M. Gholipoor, and E. Zeinali. 2004. Seed reserve utilization and seedling growth of wheat as affected by drought and salinity. Environmental and Experimental Botany 55:195-200. Stoilova, I., S. Gargova, A. Stoyanova, and L. Ho. 2005. Antimicrobial and antioxidant activity of the polyphenol mangiferin. Herba Polonica 51 (1/2): 37-44 Supriyono, B., M.A. Chozin., D. Sopandie, dan L.K. Darusman. 2000. Perimbangan pati-sukrosa dan aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi Gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7 (2): 31-34. Thompson, L.U., J.H. Yoon, D.J.A. Jenkins, T.M.S. Wolever, and A.L. Jenkins. 1984. Relationship between polyphenol intake and blood glucose response of normal and diabetics individuals. American Journal of Clinical Nutrition 39: 745-751. Wolgast, J. 2004. The Content and Effect of Polyphenol in Chocholate. [Dessertation]. Gieben: Faculty of Agricultural and Nutritional Sciences, Home Economics and Environmental Masagement. University of Gieben. Germany.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 269-274
Pertumbuhan, Kandungan Selulosa, dan Lignin pada Rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan Pemberian Asam Giberelat (GA3) Growth, cellulose, and lignin content of ramie (Boehmeria nivea L. Gaudich) with treatment of Gibberelic Acid (GA3) WIDYA MUDYANTINI♥, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. Diterima: 7 Juli 2008. Disetujui: 12 September 2008.
ABSTRACT The aims of this research were to: (i) study the effects of gibberellic acid (GA3) to the growth of Boehmeria nivea L. Gaudich, and (ii) study the effects of gibberellic acid (GA3) to the cellulose and lignin content of B. nivea. GA3 could delivered starch hydrolysis that could support α-amylase formation that would increase glucose. Increasing glucose concentration caused the rising of osmotic pressure inside the cell so that the cells expand. The initial synthetic path of cellulose was glucose, as well as lignin. If GA3 could increased the glucose amount in plant, then the cellulose and lignin amount also increased. This experiment use Completely Random Design with one factor, they are concentration gibberellic acid that consist of 6 treatment concentration are GA3 0 ppm, GA3 50 ppm, GA3 100 ppm, GA3 150 ppm, GA3 200 ppm, and GA3 250 ppm. The treatment to the rhizome had been done before it was planted. Some parameters like growth and anatomy parameter are measured. The results showed that treatment GA3 affect to the improvement of bud stem diameter, length of bud stem, the wet weight, dry weight, length of phloem bundle, phloem number, and lignin content but they does not affect to the change of bud number, leaf number, and cellulose content. The treatment of GA3 on GA3 200 ppm show the maximum result to the improvement of bud stem diameter, length of bud stem, the wet weight, dry weight, length of phloem bundle, phloem number, and cellulose content The treatment of GA3 on GA3 250 ppm show maximum result to the improvement of bud number, leaf number, and lignin content. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: gibberellic acid, Boehmeria nivea L. Gaudich, growth, cellulose content, lignin content.
PENDAHULUAN Industri tekstil di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada tahun 1992 menjadi penghasil devisa tertinggi di antara komoditas non migas dengan nilai ekspor sebesar US $ 3,5 miliar. Industri tekstil tersebut tidak berbasis pada industri bahan baku domestik yang kuat. Bahan baku tekstil yang berupa serat kapas harus diimpor. Setiap tahun Indonesia mengimpor 414.000 ton atau di atas 96% total kebutuhan nasional dan kurang dari 4% yang dapat disediakan dari hasil kapas dalam negeri (Baharsjah, 1993). Indonesia sebagai negara agraris dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sampai saat ini masih mendatangkan kapas sebagai bahan baku industri tekstil sebanyak 92%-95% dari kebutuhan nasional, karena kapas dalam negeri hanya mampu memenuhi 5%-8% dari kebutuhan tersebut (Sumarno, 1980). Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan pada kapas adalah penggunaan serat alami yang berasal dari tanaman rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) yang memiliki karakteristik mirip kapas dan dapat digunakan sebagai bahan baku
♥ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: widyamudyantini@yahoo.com
tekstil (Buxton dan Greenhalg, 1989). Keunggulan lain dari rami adalah produktivitas per hektar yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kapas, yaitu 5,6:1 (Sumarno, 1980). Rami sebagai salah satu sumber kenekaragaman hayati adalah jenis tanaman tropis yang sesuai dengan iklim Indonesia dan menghasilkan serat. Rami bisa tumbuh di dataran rendah maupun perbukitan dengan ketinggian 1001.500 dpl. Rami memiliki kekuatan dan daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan kapas serta memiliki warna dan kilau serat setara sutera alam. Sekarang ini busana berbahan baku rami mulai digunakan sebagai pengganti kapas oleh para pengusaha tekstil. Serat rami digolongkan sebagai serat lunak yang tidak berlignin karena sangat sedikit kadar ligninnya (Brink dan Escobin, 2003). Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dikendalikan oleh berbagai hal yang salah satunya adalah zat pengatur tumbuh, contohnya adalah asam giberelat (GA) (Kastono, 2005). Senyawa ini merupakan hormon pada tanaman yang mempunyai pengaruh memacu pertumbuhan, serta dapat meningkatkan ukuran daun, bunga, dan buah. Respon tanaman terhadap GA meliputi peningkatan pembelahan sel dan pembesaran sel (Heddy, 1989). Asam giberelat diketahui dapat mendukung proses pembentukan RNA baru serta sintesis protein (Abidin, 1994). Asam giberelat merupakan hormon tanaman yang mempunyai efek fisiologis dapat mempengaruhi diferensiasi kambium dalam proses pembentukan berkas pengangkut. Pemberian GA dapat meningkatkan jumlah floem yang
270
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 269-274
terbentuk (Davies, 1995). Selulosa dan lignin sebagai penyusun dinding sel akan meningkat jumlahnya seiring peningkatan jumlah floemnya. Selulosa dan lignin merupakan penentu kualitas serat. Hormon ini juga dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta memperpendek siklus hidup tanaman. Pengaruh GA3 terhadap diferensiasi sel telah dilaporkan oleh Maryani (1992), bahwa perlakuan GA3 pada konsentrasi 30 ppm memacu pembentukan sklerenkim batang Hibiscus cannabius. Perlakuan giberelin juga berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, masa primordial, masa panen, diameter bunga, dan panjang tangkai bunga krisan (Chrysantheum morifolium) (Zuhriyah, 2004). Pemberian GA3 pada konsentrasi 50 ppm optimum untuk meningkatkan luas daun dan pada konsentrasi 75 ppm optimum untuk meningkatkan berat kering dan kadar saponin pada tanaman daun sendok (Plantago major) (Khristyana dkk., 2005). Penelitian ini dilakukan selama 6 minggu untuk mengetahui pengaruh perlakuan GA3 terhadap pertumbuhan, kandungan selulosa dan lignin pada tanaman rami. Adanya diharapkan dapat meningkatkan perlakuan GA3 pertumbuhan, kandungan selulosa dan lignin pada rami sehingga kualitas serat yang dihasilkan meningkat dan memiliki produktivitas yang tinggi serta mampu meningkatkan efisiensi waktu tunggu panen.
BAHAN DAN METODE Alat dan bahan Bahan yang digunakan meliputi: rhizoma rami (Boehmeria nivea L. Gaudich), media tanam yang berupa campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang, GA3, FAA (Formalin-Aceto-Alcohol), akuades, fast green 1% dalam akuades, xilol, Canada Balsam, Mayer’s albumin, parafin, dan alkohol dalam akuades (20%, 40%, 60%, 70%, 80%, 95%, dan 96 %), safranin 0,5% dalam alkohol 70%, xilol, Canada Balsam, H2O panas, H2SO4 1 N, dan H2SO4 72%, Cara kerja Persiapan media. Media dipersiapkan dengan mencampur tanah, pasir dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1. Campuran media ditimbang untuk masing-masing polibag ½ kg. Persiapan dan penanaman rimpang rami. Dalam penelitian ini 30 rhizome rami dipilih yang seragam secara umur dan morfologinya kemudian dipotong-potong sepanjang 10 cm. Potongan rhizome tersebut kemudian ditanam pada media di dalam polibag sedalam 5 cm dengan posisi agak miring (± 45º) kemudian disiram air. Perlakuan Pemberian GA3. Pemberian GA3 dilakukan sekali sebelum penanaman. Masing-masing rhizoma disemprot dengan hormon sebanyak 5 mL. Setelah penyemprotan, tanaman langsung disimpan di tempat yang gelap dan tertutup sebelum ditanam dalam polibag agar hormon tidak rusak terkena cahaya dan tidak menguap. Penanaman dilakukan 2 hari setelah perlakuan. Pemeliharaan. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman 2 kali sehari setiap pagi dan sore dengan volume air yang sama. Pengamatan Pertumbuhan. Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi: (i) Penghitungan jumlah tunas dilakukan setiap 1 minggu sekali dimulai hari ke-0 (hari pertama perlakuan) sampai 6 minggu. (ii) Pengukuran tinggi tunas dilakukan setiap 1 minggu sekali dimulai hari ke-0 (hari pertama perlakuan) sampai 6 minggu. (iii) Pengukuran
diameter batang pada tunas ini dilakukan pada preparat mikroskopis batang pada saat panen. (iv) Jumlah daun dihitung setiap 1 minggu sekali dimulai hari ke-0 (hari pertama perlakuan) sampai 6 minggu. (iv) Berat basah tanaman diukur dengan penimbangan semua tunas yang muncul pada masing-masing rhizome pada akhir perlakuan. (v) Semua tunas yang muncul pada masing-masing rhizome dikeringkan dengan cara dioven pada suhu 60 ºC sampai kering kemudian baru ditimbang. (vi) Pembuatan preparat dan pengamatan dilaksanakan pada saat panen. Pembuatan preparat batang rami dilakukan dengan membuat preparat permanen dan semipermanen. Pembuatan preparat permanen dari penampang melintang batang rami dilakukan dengan menggunakan metode parafin (embedding), sedangkan preparat semipermanen dibuat dengan menggunakan metode free hand section (Prakash, 1986). Pengamatan mikroskopis terdiri atas panjang berkas 2 floem, dan jumlah floem tiap 0,04 mm dilakukan dengan menggunakan mikrometer di bawah mikroskop. Pengamatan pada tiap-tiap parameter tersebut dilakukan dengan tiga ulangan kemudian dirata-rata. Preparat dipotret dengan menggunakan kamera digital. Analisis kandungan selulosa dan lignin. Analisis selulosa dan lignin dilakukan dengan metode Chesson (Datta, 1981). Satu g (a) sampel kering ditambahkan 150 o mL H2O. Direfluk pada suhu 100 C dengan water bath selama 1 jam. Hasilnya disaring, residu dicuci dengan air panas (300 mL). Residu kemudian dikeringkan dengan oven sampai konstan kemudian ditimbang (b). Residu ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N kemudian direfluk dengan water bath selama 1 jam suhu 100oC. Hasilnya disaring sampai netral (300 mL) dan dikeringkan (c). Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO4 72% dan direndam pada suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H2SO4 1 N dan direfluk pada water bath selama 1 jam pada pendingin balik. Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 mL) kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 105oC dan hasilnya ditimbang (d), selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (e). Perhitungan kadar selulosa dan kadar lignin sebagai berikut: Kadar selulosa = c-d x 100% a Kadar lignin = d-e x 100% a Analisis data Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis statistik. Jika data normal dan atau homogen dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anava). Jika data tidak normal dan atau tidak homogen dianalisis dengan Kruskal Wallis. Untuk mengetahui beda nyata diantara perlakuan, dilanjutkan dengan uji Duncans Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tanaman Pertumbuhan merupakan proses yang mengolah masukan substrat menghasilkan produk pertumbuhan. Hasil produk pertumbuhan dapat diukur secara sederhana dengan pertambahan bobot keseluruhan tanaman atau bagian-bagian tanaman termasuk bagian yang dipanen dan parameter lain (Sitompul dan Guritno, 1995). Pertumbuhan
MUDYANTINI – Karakter pertumbuhan Boehmeria nivea
dalam pengertian yang lebih luas merupakan perkembangan sel-sel baru sehingga terjadi pertambahan ukuran dan differensiasi jaringan. Pertumbuhan juga dapat ditunjukkan oleh ukuran daun; berat basah dan berat kering tanaman yang mencakup akar, batang, daun dan buah; jumlah sel dan kandungan senyawa kimia tertentu, misalnya asam nukleat, nitrogen terlarut, lipid dan karbohidrat di dalam jaringan (Noggle dan Fritz, 1983). Parameter pertumbuhan yang diamati dalam penelitian ini meliputi: jumlah tunas, tinggi batang tunas, diameter batang tunas, jumlah daun, berat basah, berat kering, panjang berkas floem dan jumlah floem. Hasil pengukurannya disajikan pada Tabel 1. Jumlah tunas Hasil rerata jumlah tunas tanaman rami (B. nivea) dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Dari hasil analisis sidik ragam (Anava) diperoleh nilai signifikansi 0,102 dimana angka ini lebih tinggi dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan jumlah tunas yang muncul. Adanya pengaruh yang tidak signifikan tersebut diduga disebabkan karena jumlah tunas yang muncul ditentukan oleh jumlah mata tunas yang sudah ada pada rhizoma. Jumlah mata tunas pada setiap potongan rhizoma ditentukan oleh jarak antar ruas-ruas pada rhizoma yang merupakan faktor internal dari tanaman rami itu sendiri. Antara potongan rhizoma yang satu dengan yang lain dengan panjang yang sama dapat mempunyai jumlah mata tunas yang berbeda, meskipun mata tunas yang sudah muncul telah dipotong sebelum perlakuan. GA3 diketahui dapat mendukung proses pembentukan RNA baru serta sintesis protein (Abidin, 1994). Adanya peningkatan sintesis protein ini nantinya akan mempengaruhi pembentukan klorofil, karena protein merupakan salah satu komponen penyusun klorofil. Kandungan klorofil yang banyak dalam tanaman akan mempengaruhi peningkatan proses fotosintesis, sehingga dapat dihasilkan fotosintat yang lebih banyak dalam hal ini glukosa yang merupakan karbohidrat. Menurut Lyndon, (1998) kandungan karbohidrat yang terdapat pada bahan stek, yaitu rhizoma, merupakan faktor utama untuk perkembangan primordia tunas dan akar. Tinggi batang tunas Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Sitompul dan Guritno, 1995). Rerata tinggi batang tunas tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Anava) diperoleh
271
nilai signifikansi 0,01. Angka ini lebih rendah dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 berpengaruh nyata terhadap tinggi batang tunas tanaman B. nivea. Rerata tinggi batang tunas hampir selalu meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi GA3 hingga 200 ppm. Menurut Salisbury dan Ross (1995) pertumbuhan berarti pertambahan ukuran. Pertambahan ukuran (volume) pada batang merupakan hasil perbesaran ke satu arah, yaitu ke arah memanjangnya, sehingga tanaman tampak memanjang atau bertambah tinggi. Menurut Davies (1995) penggunaan GA3 akan mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan tryptophan sebagai bentuk awal dari auksin. Hal ini berarti bahwa kehadiran giberelin tersebut akan meningkatkan kandungan auksin. Mekanisme lain menyebutkan bahwa giberelin akan menstimulasi pemanjangan sel karena adanya hidrolisis pati yang dihasilkan dari giberelin akan mendukung terbentuknya Îą-amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik di dalam sel menjadi naik, sehingga ada kecenderungan sel tersebut berkembang. Efek fisiologis yang khas pada tanaman yang diperlakukan dengan GA3 adalah terjadinya pemanjangan batang, akibat adanya aktivitas kambium di internodus, sehingga tanaman yang diperlakukan menjadi lebih tinggi daripada tanaman normal. Pemanjangan batang selain dipengaruhi oleh aktivitas kambium juga disebabkan oleh peningkatan mitosis di daerah meristem sub apikal batang, sehingga jumlah sel pada masing-masing internodus meningkat. Peningkatan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan batang lebih cepat, sehingga dihasilkan batang yang lebih panjang. Respon ini pada batang biasanya hanya berupa peningkatan panjang internodus, dan umumnya tidak meningkatkan jumlah internodus yang terbentuk (Wareing dan Phillips, 1970). Diameter batang tunas Pengaruh perlakuan GA3 pada batang, diharapkan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan luasan diameter batang. Hasil rerata diameter batang tunas tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Dari hasil uji Kruskal Wallis diperoleh nilai signifikansi 0,000. Angka ini lebih rendah dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan diameter batang tunas. Pada perlakuan GA200 menunjukkan diameter batang rata-rata sebesar 94,7 Îźm dan perlakuan ini merupakan hasil diameter batang tunas yang paling tinggi diantara berbagai perlakuan yang lain. Pada perlakuan GA250 menunjukkan diameter batang tunas ratarata sebesar 69,96 Îźm dimana angka ini merupakan hasil diameter tunas yang paling rendah diantara semua perlakuan bahkan lebih rendah dari kontrol yang mempunyai rerata diameter batang 76,7 Îźm.
Tabel 1. Rerata parameter fisiologi B. nivea dengan perlakuan GA3 pada umur 6 minggu setelah tanam. Rerata Rerata tinggi Rerata diameter Rerata Rerata Rerata Rerata panjang Rerata jumlah jumlah batang tunas batang tunas jumlah bobot basah bobot berkas floem floem (per 0,04 2 tunas (cm) (um) daun (g) kering (g) (um) mm ) ab b a a a a GA0 12 36,78 76,7 23 6,961 0,739 5,12 10,4 ab b a a ab ab GA50 12 36,42 77,4 21 7,708 0,766 5,82 11,4 bc bc a a bc bc GA100 9 47,54 90,6 25 8,103 0,776 6,16 12,6 c cd ab ab d cd GA150 9 48,22 92,8 26 9,547 0,860 7,24 13,2 c d b b e d GA200 10 55,12 94,7 34 12,576 1,201 9,2 14,2 a a a a a ab GA250 14 30,38 69,9 21 6,066 0,630 5,12 10,8 Keterangan: GA = konsentrasi GA3(ppm), GA0=0, GA50=100, GA100=100, GA150=150, GA200=200, GA250=250. Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf uji DMRT 5%. Perlakuan GA3
272
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 269-274
Adanya pengaruh yang signifikan dari perlakuan GA3 terhadap perubahan diameter batang tunas diduga karena pengaruh GA3 yang dapat menyebabkan pembelahan dan pembesaran sel (Gardner, et al., 1991). Pembelahan sel yang dipengaruhi GA3 terjadi pada meristem apikal dari kuncup terminal. Meristem apikal secara langsung membentuk jaringan ikatan pembuluh yang berupa xilem primer dan floem primer. Menurut Wareing dan Phillips (1973), kombinasi IAA dan GA3 akan meningkatkan aktivitas pembelahan kambium dan diferensiasi penuh pada xilem dan floem. Komposisi GA3 yang lebih tinggi akan menyebabkan pembentukan floem yang lebih banyak daripada xilem. Dengan demikian, diameter batang dapat menjadi bertambah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Fahn (1995) yang menyatakan bahwa pertambahan lebar batang juga disebabkan oleh aktivitas kambium dalam menghasilkan xilem dan floem sekunder. Jumlah daun Daun secara umum merupakan tempat sintesis karbohidrat bagi tanaman, sehingga pengamatan daun sangat diperlukan sebagai indikator pertumbuhan dan sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil rerata jumlah daun tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Dari hasil uji Anava diperoleh nilai signifikansi 0,191. Angka ini lebih tinggi dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. GA3 diketahui dapat memacu pertumbuhan seluruh tanaman, termasuk daun dan akar. GA3 yang diberikan dengan cara apapun (penyemprotan, perendaman, dan lain-lain) di tempat yang dapat mengangkutnya ke ujung tajuk, maka akan terjadi peningkatan pembelahan sel dan pertumbuhan sel yang mengarah kepada pemanjangan batang dan perkembangan daun muda (Salisbury dan Ross, 1995). Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi juga oleh genotip yang merupakan faktor internal dari tanaman dan lingkungan (Gardner et al., 1991). Tanaman yang berasal dari induk berdaun sedikit dan lebar biasanya menghasilkan anakan yang tidak jauh berbeda dengan induknya, begitu juga sebaliknya. Salah satu pengaruh faktor lingkungan adalah cahaya. Tanaman yang berada pada lingkungan dengan penyinaran yang baik bisa menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak sebagai akibat dari proses fotosintesis yang berjalan lancar sehingga fontosintat yang dihasilkan banyak. Adanya fotosintat yang banyak salah satunya digunakan untuk meningkatkan aktivitas meristematis pada pembentukan primordia daun. Bobot basah Bobot basah tanaman menunjukkan besarnya kandungan air dalam jaringan atau organ tumbuhan selain bahan organik (Sitompul dan Guritno, 1995). Salisbury dan Ross (1995) juga menyebutkan bahwa bobot basah tanaman menunjukkan aktivitas metabolisme tanaman dan nilai bobot basah ini dipengaruhi oleh kadar air jaringan, unsur hara dan hasil metabolisme. Rerata berat basah tanaman B. nivea disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam (Anava) bobot basah tanaman diperoleh nilai signifikansi 0,006. Angka ini lebih rendah dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 berpengaruh nyata terhadap bobot basah tanaman. GA3 selain mempengaruhi pembesaran sel (peningkatan ukuran) juga mempengaruhi pembelahan sel (peningkatan jumlah). Adanya pembesaran sel mengakibatkan ukuran sel yang baru lebih besar dari
sel induk. Pertambahan ukuran sel menghasilkan pertambahan ukuran jaringan, organ dan akhirnya meningkatan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan maupun berat tanaman tersebut. Peningkatan pembelahan sel menghasilkan jumlah sel yang lebih banyak. Jumlah sel yang meningkat, termasuk di dalam jaringan pada daun, memungkinkan terjadinya peningkatan fotosintesis penghasil karbohidrat, yang dapat mempengaruhi bobot tanaman (Wareing dan Phillips, 1970; Salisbury dan Ross, 1995). Bobot kering Hasil bobot kering tanaman adalah keseimbangan antara pengambilan CO2 (fotosintesis) dan pengeluaran CO2 (respirasi) (Gardner et al., 1991). Pengeringan bertujuan untuk menghentikan metabolisme sel dari bahan tersebut (Sitompul dan Guritno, 1995). Data bobot kering B. nivea dengan perlakuan GA3 pada umur 6 minggu tersaji pada Tabel 1. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa dari penelitian ini bobot kering tertinggi diperoleh pada konsentrasi 200 ppm, namun pada konsentrasi 250 ppm memperlihatkan adanya penurunan nilai bobot kering bahkan nilainya lebih rendah dari kontrol. Hasil ini sesuai dengan nilai bobot basah tanaman yang juga menunjukkan nilai tertinggi pada konsentrasi 200 ppm. Penurunan berat pada perlakuan GA250 merupakan efek kejenuhan terhadap hormon. GA3 yang diberikan akan memberikan efek pada pertumbuhan tanaman. Respon tanaman akan terus meningkat sampai mencapai titik jenuh pada konsentrasi GA3 yang optimum. Pada saat konsentrasi hormon yang diberikan terus meningkat, respon tanaman akan terus meningkat sampai mencapai titik jenuh sehingga pertumbuhan tanaman akan mulai menurun menjadi bersifat menghambat (Salisburry dan Ross, 1995). Mekanisme penghambatan GA3 ini terjadi karena adanya pengaturan umpan balik (feedback control). Taiz dan Zeiger (1998) menjelaskan bahwa pemberian GA3 yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan transkripsi GA20 oksidase. GA20 oksidase merupakan target utama dalam pengaturan umpan balik. Apabila transkripsi GA20 oksidase menurun, maka akan terjadi pengeblokan biosintesis GA3, yang akan menyebabkan aktivitas GA3 menjadi menurun. Panjang berkas floem Hasil rerata panjang berkas floem tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam (Anava) pada panjang berkas floem diperoleh nilai signifikansi 0,000. Angka ini lebih rendah dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 berpengaruh nyata terhadap perubahan panjang berkas floem. Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5%, semua perlakuan menunjukkan adanya peningkatan panjang berkas floem yang beda nyata dengan kontrol kecuali pada perlakuan GA50. Panjang berkas floem selalu menunjukkan peningkatan untuk setiap kenaikan pemberian konsentrasi GA3. Berkas floem terpanjang diperoleh pada perlakuan GA200 sebesar 9,2 Îźm dan merupakan panjang berkas optimum. Pemberian konsentrasi GA3 yang lebih tinggi lagi justru menurunkan panjang berkas floem yang terbentuk. Penurunan ini disebabkan karena salah satu sifat GA3 adalah mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan triptofan sebagai prekusor auksin sehingga kandungan kadar auksin meningkat (Abidin, 1994). Kandungan auksin yang lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan lebih terkonsentrasi pada pembentukan xilem daripada floem.
MUDYANTINI – Karakter pertumbuhan Boehmeria nivea
Jumlah floem Hasil rerata jumlah floem B. nivea dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis sidik ragam (Anava) pada jumlah floem diperoleh nilai signifikansi 0.001. Angka ini lebih rendah dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah floem tanaman rami. Berdasarkan hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5%, semua perlakuan GA3 menyebabkan adanya peningkatan jumlah floem yang beda nyata dengan kontrol. Jumlah floem selalu meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi GA3. Peningkatan jumlah floem optimum terdapat pada GA200 sebanyak 14. Jumlah floem kemudian menurun pada perlakuan GA250. Hal ini disebabkan karena salah satu sifat GA3 adalah mendukung pembentukan enzim proteolitik yang akan membebaskan triptofan sebagai prekusor auksin sehingga kandungan kadar auksin meningkat (Abidin, 1994). Kandungan auksin yang lebih tinggi menyebabkan pertumbuhan lebih terkonsentrasi pada pembentukan xilem daripada floem. Kandungan selulosa dan lignin Selulosa dan lignin merupakan salah satu kriteria yang menunjukkan kekuatan serat. Sifat mekanik yang luar biasa dari selulosa adalah regangan, kekuatan, ketahanan terhadap tekanan, mengembang dan sifat permeabilitasnya bertambah terus selama proses pembentukan dinding. Di bawah tekanan komprehensif, fibril-fibril selulosa itu membengkok. Perbedaan struktur dapat disebabkan karena perbedaan arah dan kerapatan mikrofibril selulosa, perbedaan kandungan lignin dan lain-lain. Lignin menambah ketahanan dinding terhadap tekanan dan mencegah melipatnya mikrofibril selulosa. Arah mikrofibril yang berbeda-beda pada dinding sel merupakan faktor penting penentu kekuatan dinding (Fahn, 1991). Wickens (2001) menyatakan bahwa besarnya kadar selulosa, lignin dan pektin pada serat mempengaruhi kualitas serat. Kandungan selulosa Hasil rerata kandungan lignin tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata kandungan selulosa dan lignin B. nivea dengan perlakuan GA3 pada umur 6 minggu setelah tanam dalam % b/b. Rerata kandungan Rerata kandungan selulosa (% b/b) lignin (% b/b) a GA0 24,76 17,78 a GA50 25,37 16,35 bc 22,13 20,59 GA100 a 24,19 18,16 GA150 ab 26,33 18,44 GA200 c 25,82 20,94 GA250 Keterangan: GA = konsentrasi GA3 (ppm), GA0=0, GA50=100, GA100=100, GA150=150, GA200=200, GA250=250. Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf uji DMRT 5% Perlakuan GA3
Hasil analisis uji Kruskal Wallis kandungan selulosa diperoleh nilai signifikansi 0,162. Angka ini lebih tinggi dari 0,05 yang berarti bahwa perlakuan GA3 tidak berpengaruh terhadap kandungan selulosa tanaman rami. Menurut Abidin (1994) GA3 dapat menghasilkan hidrolisis pati yang akan mendukung terbentuknya Îą-amilase. Sebagai akibat dari proses tersebut, maka konsentrasi glukosa akan meningkat. Hal tersebut juga diperkuat oleh Salisbury dan Ross (1995) bahwa peningkatan GA3 endogen juga dapat meningkatkan hidrolisis pati, fruktan, dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan fruktosa. Selulosa merupakan
273
penggabungan unit-unit glukosa menjadi senyawa makromolekul yang tidak larut dalam semua pelarut yang biasa digunakan (Fengel dan Gerd, 1995). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa jika pemberian GA3 dapat meningkatkan kandungan glukosa dalam tanaman maka kandungan selulosa juga akan meningkat. Kandungan lignin Hasil rerata kandungan lignin tanaman rami dengan perlakuan GA3 disajikan pada Tabel 2. Analisis kandungan lignin pada rami dilakukan 6 minggu setelah penanaman dengan menggunakan metode chesson (Datta, 1981). Salah satu peran GA3 bagi tanaman adalah mempercepat pembentangan sel. Caranya adalah dengan menghasilkan hidrolisis pati yang akan mendukung terbentuknya Îąamilase sehingga konsentrasi gula meningkat yang mengakibatkan tekanan osmotik dalam sel meningkat sehingga terjadi pembentangan sel (Abidin, 1994). Bonner dan Varner (1966) menyebutkan bahwa biosintesis lignin dimulai dari glukosa. Dengan pemberian GA3, kandungan glukosa dalam tanaman meningkat yang dapat digunakan untuk biosintesis lignin akhirnya kandungan lignin dalam tanaman juga ikut meningkat.
KESIMPULAN Pemberian GA3 meningkatkan pertumbuhan rami (B. nivea) untuk parameter tinggi batang tunas, diameter batang, bobot basah, bobot kering, panjang berkas floem, jumlah floem; tetapi meningkatkan jumlah tunas dan jumlah daun tanaman rami. Hasil tertinggi pada perlakuan konsentrasi GA3 200 ppm. Pemberian GA3 meningkatkan kandungan lignin. Konsentrasi tertinggi pada perlakuan GA3 200 ppm, tetapi tidak meningkatkan kandungan selulosa tanaman rami.
DAFTAR PUSTAKA Abidin. 1994. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung: CV. Angkasa. Baharsjah, S. 1993. Pidato pengarahan Menteri Muda Pertanian pada Seminar Rami di Malang. Prosiding Seminar Rami. Malang: Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat. Borner, J. and J.E .Varner. 1966. Plant Biochemistry. New York: Academic Press. Brink, M. and R.P. Escobin. (eds). 2003. Plant Resurces of South-East Asia No.17. Fibre Plants. Bogor: Prosea Foundation. Buxton, A., and P. Greenhalg. 1989. Ramie, short live curiosity or fibre, the future textile outlook international. The Economist Intellegence Unit 5: 52-71 Datta, R. 1981. Acidogenic fermentation of lignocellulose-acid yield and conversion of components. Biotechnology and Bioengineering 23 (9): 2167-2170. Davies, J.P. 1995. Plant hormone: their nature, occurrence and function. In: P.J. Davies (ed.): Plant Hormones: Phisiology, Biochemistry, and Moleculer Biology. Boston: Kluwer Academic Publisher. Fahn, A. 1995. Anatomi Tumbuhan. Penerjemah: Soediarto, A. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Fengel, D. dan W. Gerd. 1995. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Penerjemah: Hardjono S. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.I. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H.. Jakarta: UI Press. Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. Jakarta: C.V.Rajawali. Kastono, D. 2005. Pengaruh jumlah batang bawah dan kadar IAA terhadap pertumbuhan bibit durian sambung pucuk. Agrivet. 9 (1): 1-8 Khristyana, L., E. Anggarwulan, dan Marsusi. 2005. Pertumbuhan, kadar saponin dan nitrogen jaringan tanaman daun sendok (Plantago mayor L.) pada pemberian Asam Giberelat (GA3). Biofarmasi. 3 (1): 11-15. Maryani, 1992. Pengaruh IAA dan GA3 terhadap Perkembangan Serabut Sklerenkim Batang Hibiscus cannabius. L. [Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM. Lyndon, R.F.1998. The shoot apical meristem its growth and development. Cambridge: Cambridge University Press.
274
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 269-274
Noggle, G.R. and G.J. Fritz. 1983. Introductory Plant Physiology. 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Prakash, N. 1986. Methode in Plant Microtechnique. 2nd ed. Armidale: University of New England Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan, Biokimia Tumbuhan, jilid 2. Penerjemah: Lukman, D.R. dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press Sumarno. 1980. Suatu Studi Kemungkinan Penggunaan Serat Rami sebagai Bahan Baku Tekstil. Bandung: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil.
Taiz, L. and E. Zeiger. 1998. Plant Physiology, 2nd ed. Sunderlan: Sinauer Associates, Inc. Wareing, P.F. and I.D.J. Pillips, 1978. The Control of Growth and Differentiation in Plants. Toronto: Pergamon Press. Wickens, 2001. Economic Botany: Principles and Practices. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Zuhriyah, D.T. 2004. Pengaruh Konsentrasi Giberelin (GA3) dan Pupuk Daun terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Krisan (Chrysantheum morifolium Ram). [Tesis]. Bandar Lampung: Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 275-279
Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat Tree species distribution along the environmental gradients in Pananjung Pangandaran Nature Reserve, West Java AGUNG KURNIAWAN♥,1, PARIKESIT♥♥,2
1
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan Bali – 82191 2 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung 45363 Diterima: 4 Juli 2008. Disetujui: 16 September 2008.
ABSTRACT The research of tree species distribution along the environmental gradients in Lowland Tropical Rainforest Pananjung Pangandaran Nature Reserve had been conducted. The study aimed to elucidate the relationship between tree species distribution with ≥10 cm dbh and some measured environmental gradients, namely soil pH and moisture, soil depth, litter thickness, light intensity, altitude, slope, and the distance 2 of plot from coastal line. A number of 125 of 10x10 m quadrats were established randomly in four transects. The results indicated that Rhodamnia cinerea was the species having the highest presence. Ordination technique using Canonical Correspondence Analysis (CCA) suggested that tree species were less evenly distributed along the measured environmental factors with Eigenvalue 0,387. Altitude was the most important environmental factor affected tree species distribution, soil moisture as well as light intensity. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: canonical correspondence analysis, distribution, lowland tropical rainforest, Pananjung Pangandaran.
PENDAHULUAN Syafei (1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut. Korner (1999, dalam Dolezal dan Srutek, 2002) mengungkapkan bahwa persebaran suatu jenis tumbuhan secara tidak langsung dipengaruhi oleh interaksi antara vegetasi dengan suhu, kelembaban udara, dan kondisi topografi seperti ketinggian dan kedalaman tanah. Parikesit (1994), melaporkan bahwa pada kondisi lingkungan tertentu, setiap jenis tumbuhan tersebar dengan tingkat adaptasi yang beragam, sehingga menyebabkan hadir atau tidaknya suatu jenis tumbuhan pada lingkungan tersebut. Menurut Resosoedarmo et al. (1985), teknik ordinasi dinilai cukup handal untuk mengungkapkan hubungan antara persebaran jenis tumbuhan dengan faktor lingkungan. Canonical Correspondence Analysis (CCA) adalah teknik ordinasi yang digunakan untuk menentukan persebaran jenis tumbuhan berdasarkan variabel lingkungan ataupun respon tumbuhan terhadap variabel ♥ Alamat korespondensi: ♥ Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 Tel. +62-368-21273. Fax. +62-368-22051 email: agung.kurniawan@lipi.go.id ♥♥ Gedung D2-Jurusan Biologi FMIPA Unpad, Jl. Raya Bandung Sumedang km 21, Jatinangor, Sumedang 45363 Tel. & Fax. +62-22-7796412 email: parikesit@unpad.ac.id
lingkungan (Kent dan Coker, 1992; Kent dan Ballard, 1988; ter Braak, 1987). Di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, hutan hujan tropis dataran rendah dapat dijumpai di kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran (CAPP), yang juga merupakan salah satu kawasan konservasi dengan ekosistem hutan yang dominan. Sejauh ini belum banyak diketahui mengenai hubungan persebaran jenis tumbuhan terutama pepohonan dengan faktor-faktor lingkungan yang terdapat pada ekosistem hutan di kawasan tersebut. Teknik ordinasi Canonical Correspondence Analysis (CCA) (ter Braak, 1987) digunakan untuk mengkaji hubungan antara persebaran jenis pohon dan faktor edafik (keasaman [pH], kelembaban, kedalaman tanah dan ketebalan serasah), intensitas cahaya, kemiringan, ketinggian serta jarak plot dari pantai di CAPP.
BAHAN DAN METODE Area studi Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2003 di Cagar Alam Pananjung Pangandaran (CAPP). CAPP merupakan kawasan konservasi seluas 470 ha yang terletak di Desa Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan kondisi hutan dataran rendah yang utuh. Penelitian difokuskan di kawasan hutan bagian barat dari pantai barat hingga di sebelah timur dan selatan padang penggembalaan Cikamal. Daerah tersebut terletak pada o o 108o39’00”BTkoordinat 108 39’00”BT-07 42’30”LS, o 108o39’30”BT-07o42’30” LS, dan 07 43’00”LS, 108o39’30”BT-07o43’00”LS.
276
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 275-279
Desain sampling Desain sampling yang digunakan adalah metode kuadrat. Petak contoh ditempatkan secara acak di dalam transek. Empat transek dibuat tegak lurus garis pantai dengan kisaran panjang 400-900 m (total 2,5 km) mengarah 100o utara-timur. Interval antar transek adalah 100-200 m, yang di dalamnya ditempatkan 125 petak 2 contoh berukuran 10x10 m secara proporsional (jumlah petak contoh setiap transek disesuaikan dengan panjang transek). Pada setiap petak dibuat sub-petak contoh 2 berukuran 5x2 m sebanyak 10 buah. Pada setiap sub petak contoh dicacah data kehadiran (frekuensi lokal) jenis pohon dengan diameter setinggi dada (Diameter at Breast Height/dbh) ≥10 cm atau yang tergolong pada kategori tiang (pole) dan pohon dewasa (Wyat-Smith, 1968 dalam Soerianegara dan Indrawan, 1983). Frekuensi lokal adalah jumlah sub petak contoh yaitu: setiap jenis pohon hadir di setiap petak contoh dibagi jumlah seluruh sub petak dalam setiap petak contoh. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana setiap jenis pohon hadir dibagi jumlah seluruh petak contoh. Untuk jenis tumbuhan yang belum teridentifikasi dibuat herbariumnya, dicocokkan dengan koleksi herbarium yang dimiliki Satuan Kerja CAPP. Faktor lingkungan yang diukur adalah keasaman (pH) tanah, kelembaban tanah, kedalaman tanah, ketebalan serasah, intensitas cahaya, kemiringan, ketinggian (altitude) dan jarak plot dari pantai. Keasaman (pH) dan kelembaban tanah diukur menggunakan soiltester. Kedalaman tanah diukur menggunakan stick berskala. Ketebalan lapisan serasah diukur menggunakan mistar. Intensitas cahaya diukur antara pukul 10.00-14.00 WIB menggunakan luxmeter dengan asumsi bahwa pada rentang waktu tersebut penerimaan cahaya di lantai hutan berada pada tingkat yang tinggi (Longman dan Jenik, 1990). Pengukuran kelima faktor lingkungan tersebut dilakukan di setiap plot sebanyak tiga kali di tempat yang dipilih secara acak. Kemiringan diukur menggunakan clinometer. Ketinggian diukur menggunakan altimeter. Jarak dari garis pantai pada titik pasang tertinggi hingga plot pertama diukur di setiap transek. Analisis ordinasi dengan CCA Analisis ordinasi dengan Canonical Correspondence Analysis (CCA) dilakukan dengan software PC-Ord versi 4. Output dari analisis berupa nilai Eigenvalue, diagram ordinasi, Raw correlation dan Intraset correlation. Nilai Eigenvalue berkisar antara 0-1 yang menunjukkan tingkat persebaran jenis maupun plot dalam diagram ordinasi. Semakin mendekati angka 1 (satu) maka persebaran jenis tumbuhan di sepanjang gradien yang diukur semakin merata. Nilai ini tidak menunjukkan pola spasial distribusi jenis. Diagram ordinasi terdiri dari jenis tumbuhan dan plot yang digambarkan berupa titik serta faktor lingkungan berupa anak panah. Raw correlation menunjukkan hubungan antar faktor lingkungan yang diukur dan Intraset correlation menunjukkan hubungan antara faktor-faktor lingkungan dengan sumbu ordinasi. Raw correlation dan Intraset correlation memiliki interval antara -1 sampai 1, semakin mendekati angka 1 (satu) ataupun -1 (minus satu) korelasinya semakin kuat. Nilai minus atau negatif tersebut tidak menunjukkan tingkat melainkan menunjukkan arah anak panah pada diagram ordinasi (Kent dan Coker, 1992; Jongman et al., 1987; ter Braak, 1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi jenis pohon Dari penelitian ini diperoleh 51 jenis pohon yang tercakup ke dalam 29 suku (Tabel 1). Rhodamnia cinerea merupakan jenis pohon dengan frekuensi tertinggi, yang berarti paling sering muncul di setiap plot dibandingkan jenis pohon lainnya. Vitex pubescens dan Sterculia urceolata merupakan jenis pohon dengan frekuensi tertinggi berikutnya setelah R. cinerea. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 33% merupakan jenis-jenis pohon dengan nilai kehadiran sangat rendah, antara lain Ficus sumatrana dan Gluta renghas. Meskipun kehadiran jenis F. sumatrana sangat minim, jenis ini mempunyai karakter yang khas dengan basal area yang besar. Selain itu, jenis ini dan jenis Ficus lainnya cukup banyak ditemukan di luar lokasi penelitian, sehingga berperan sebagai indikator air tanah. Faktor lingkungan Pada umumnya faktor lingkungan memiliki variasi yang cukup tinggi, misalnya intensitas cahaya yang berkisar antara 247-35.557 lux (Tabel 2). Di setiap transek intensitas cahaya juga menunjukkan variasi yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan variasi struktur tajuk (tinggi dan lebatnya tajuk) pohon di setiap transek (Longman dan Jenik, 1990; Richard et al.,1952 dalam Yoda, 1974). Tinggi rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh lantai hutan berpengaruh pada kelembaban tanah. Hal ini terlihat pada kisaran nilai kelembaban tanah yang cukup tinggi, misalnya pada transek II. Pada daerah yang bertajuk rapat (intensitas cahaya rendah), kelembaban tanah cenderung lebih basah dibandingkan dengan di daerah terbuka. Keasaman (pH) tanah menunjukkan kisaran yang seragam, antara 5,8-6,8. Hal ini berarti tanah bersifat asam sedang hingga netral (Rafi’i, 1994; Foth, 1990; Singer dan Munns, 1987). Pada kisaran ini diperkirakan tanah mengandung mangan, boron, tembaga, dan seng dengan kadar lebih tinggi dibandingkan unsur lainnya; nitrogen, kalium dan belerang mempunyai kadar cukup tinggi; fosfor, kalsium dan magnesium mempunyai kadar lebih rendah dibandingkan unsur lainnya (Foth, 1990). Kondisi topografi pada umumnya landai, namun di sebagian tempat yang lebih tinggi mempunyai kemiringan cukup ekstrim. Hal ini terlihat dari kisaran kemiringan tempat setiap transek yang cenderung bertambah sejalan dengan bertambahnya ketinggian. Apabila dibandingkan, ketinggian tempat setiap transek cenderung berbeda, khususnya antara transek I yang berada dekat dengan pantai yang landai, dan transek IV yang kondisinya lebih berbukit. Canonical Correspondence Analysis (CCA) Dari hasil analisis ordinasi CCA diperoleh nilai Eigenvalue sebesar 0,387. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum persebaran jenis pohon kurang merata di sepanjang gradien lingkungan yang diukur. Pengertian “kurang merata” ini tidak sama dengan “acak” pada pola persebaran spasial yang digunakan untuk analisis pada level populasi jenis tumbuhan, sedangkan objek pada analisis ordinasi ini adalah persebaran pada level komunitas jenis tumbuhan berdasarkan pengaruh faktorfaktor lingkungan yang diukur. Kent dan Coker (1992) serta Jongman et al. (1987) menyatakan bahwa persebaran jenis dikatakan merata apabila nilai Eigenvalue >0,5. Nilai ini menunjukkan bahwa ada beberapa faktor lingkungan lain yang lebih berperan dalam persebaran jenis pohon namun tidak diukur dalam penelitian ini.
KURNIAWAN dan PARIKESIT – Jenis-jenis pohon di CA Pananjung Pangandaran
Berrie et al. (1987) dan Resosoedarmo et al. (1985), mengungkapkan bahwa komponen dalam faktor edafik diperkirakan menjadi faktor yang memegang peranan penting dalam hadir atau tidaknya suatu jenis tumbuhan di hutan hujan tropis. Hutchinson et al. (1999) dan Sollins (1998) menyatakan bahwa kandungan hara dan unsur kimia tanah, keasaman (pH) tanah, batuan induk serta topografi memegang peranan penting dalam persebaran
277
jenis pohon di hutan hujan tropis dataran rendah. Aber et al. (1989, dalam Hutchinson et al., 1999) melaporkan bahwa kandungan Nitrogen dalam tanah merupakan faktor utama yang membatasi pertumbuhan pohon pada ekosistem hutan. Ashton dan Hall (1992, dalam Sollins, 1998) menegaskan bahwa kandungan fosfor dan kation tanah sangat mendukung pertumbuhan pohon.
Tabel 1. Jenis pohon dan frekuensinya di hutan dataran rendah bagian barat CAPP. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Nama Ilmiah Rhodamnia cinerea Jack Vitex pubescens Vahl. Sterculia urceolata J. E. Smith Buchanania arborescens (Bl.) Bl. Acronychia laurifolia Bl. Baccaurea javanica (Bl.) M.A. Dillenia excelsa (Jack) Gilg. Flacourtia rukam Z. & M. Decaspermum fruticosum J. R. & G. Guioa diplopetala Bl. Grewia acuminata Juss. Garcinia celebica L. Taraktogenos heterophylla (Bl.) Shloot. Litsea mappacae (Bl.) Boerl. Pterospermum javanicum Jungh. Memecylon intermedium Bl. Diospyros polyalthioides KORTH Euphorbia chasembila Disoxylum caulostachyum Miq. Syzygium lineatum (DC.) Merr. & Perry Tectona grandis L. Mallotus phillipinensis Ternstroemia jaoquianum Cratoxylum formosum (Jack) Dyer Dracontomelon mangiferum Bl. Ficus tinctoria L. Neonauclea excelsa Bl. Corypha gebang Bl. Garcinia dioica Bl. Crypteronia paniculata Bl. Artocarpus elasticus Reinw. ex. Bl. Myristica guatterifolia DC. Pandanus furcatus Roxb. Xerospermum noronhianum (Bl.) Bl. Gluta renghas L. Mangifera sp. Polyalthia micrantha (Boerl) Hassk. Arenga obtusifolia Bl. ex. Mart. Diospyros truncata Z.& M. Casearia grewiaefolia Vent. Planchonia valida Blume Aglaia barbatula K. & V. Disoxylum amooroides Miq. Stephania capitata (Bl.) Wolf Ficus sumatrana Miq. Ardisia eymosa Bl. Syzygium racemosum (Bl.) DC. Dalbergia pinnata (Lour.) Prain Plectronia glabra (Bl.) B. & H. Pterospermum diversifolium Bl. Debregeasia longifolia (Burm.f.) Wedd.
Nama lokal Andong Laban Ki Jebug Poh-pohan Jejerukan Ki Pancar Ki Segel Rukem Ipis kulit Ki Hoe Derewak Manggu Leuweung Buntut Lutung Huru manuk Bayur Ki Beusi Balung ijuk Ki Hapit Pisitan Monyet Ipis kulit Jati Parengpeng Umpang Marong Dahu Kondang Cangcaratan Gebang Ceuri Ki Banen Benda/Teureup Ki Mokla Pandan Hutan/Cangkuang Tutundunan Renghas Mangga Pari Cengal Langkap Ki Calung KI Minyak Putat Siloar Kadoya Ki Minyak Kiara Beas Ki Ajag Kopo Bulu Munding Kokopian Cerelang Ki Paray
Suku Myrtaceae Verbenaceae Sterculiaceae Anacardiaceae Rutaceae Euphorbiaceae Dilleniaceae Flacourtiaceae Myrtaceae Sapindaceae Tiliaceae Clusiaceae Flacourtiaceae Lauraceae Sterculiaceae Melastomataceae Ebenaceae Euphorbiaceae Meliaceae Myrtaceae Verbenaceae Euphorbiaceae Theaceae Hypericaceae Meliaceae Moraceae Rubiaceae Arecaceae Clusiaceae Crypteroniaceae Moraceae Myristicaceae Pandanaceae Sapindaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Annonaceae Arecaceae Ebenaceae Flacourtiaceae Lecythidaceae Meliaceae Meliaceae Menispermaceae Moraceae Myrsinaceae Myrtaceae Fabaceae Rubiaceae Sterculiaceae Urticaceae
Frekuensi (%) 46,4 32,8 32 22,4 22,4 21,6 20 12,8 12,8 11,2 10,4 8 8 7,2 6,4 5,6 4,8 4,8 4,8 4 4 3,2 3,2 2,4 2,4 2,4 2,4 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 1,6 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Kode jenis pohon Rho.cin. Vit.pub. Ste.urc. Buc.arb. Acr.lau. Bac.jav. Dil.exc. Fla.ruk. Dec.fru. Gui.dip. Gre.acu. Gar.cel. Tar.het. Lit.map. Pte.jav. Mem.int. Dio.pol. Eup.cha. Dis.cau. Syz.lin. Tec.gra. Mal.phi. Ter.jao. Cra.for. Dra.man. Fic.tin. Neo.exc. Cor.geb. Gar.dio. Cry.pan. Art.ela. Myr.gua. Pan.fur. Xer.nor. Glu.ren. Man.sp. Pol.mic. Are.obt. Dio.tru. Cas.gre. Pla.val. Agl.bar. Dis.amo. Ste.cap. Fic.sum. Ard.eym. Syz.rac. Dal.pin. Ple.gla. Pte.div. Deb.lon.
Tabel 2. Faktor lingkungan yang diukur di transek I, II, III dan IV. Faktor Lingkungan pH Tanah Kelembaban Tanah (%) Kedalaman Tanah (cm) Ketebalan Serasah (cm) Intensitas Cahaya (lux) o Kemiringan ( ) Ketinggian (m dpl) Jarak Plot dari Pantai (m)
Transek I 6,2-6,7 39 - 72 21 - 108 2,3-7,5 671-35.557 2 - 21 3-9 29 - 409
Transek II 6,1-6,5 24 - 77 30 - 98 2,3-6,0 698-17.223 11 - 28 27 - 33 35 - 415
Transek III 5,8-6,8 32-75 13-158 2,6-9,2 556-28.207 10-38 85.5 - 93.5 163-903
Transek IV 6,0-6,8 21-70 21 - 172 2,2-7,8 247-26.028 5-45 60 - 102 199 - 1049
Kisaran total 5,8-6,8 21-77 13 -172 2,3-9,2 247-35.557 2-45 3-102 29-1049
278
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 275-279
Tabel 3. Nilai raw correlation di antara faktor lingkungan yang diukur.
Intensitas cahaya pH tanah Kelembaban tanah Ketebalan serasah Kedalaman tanah Ketinggian Kemiringan Jarak plot dari pantai
Intensitas cahaya 1 0,206 -0,267 0,107 -0,066 0,038 -0,137 0,191
pH tanah 0,206 1 -0,466 -0,004 -0,219 0,067 0,047 0,322
Kelembaban tanah -0,267 -0,466 1 -0,135 0,192 -0,323 -0,157 -0,408
Berdasarkan hasil analisis korelasi, hubungan di antara faktor lingkungan terkuat ditunjukkan oleh ketinggian dan jarak plot dari pantai, dengan nilai korelasi 0,653 yang menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi positif (Tabel 3). Dalam kondisi ini, semakin jauh jarak plot dari pantai, umumnya semakin tinggi letak plot dari permukaan laut. Ketinggian dan kemiringan juga memiliki hubungan yang cukup kuat dengan nilai raw correlation sebesar 0,523 yang menunjukkan bahwa keduanya berkorelasi positif. Daerah yang letaknya lebih tinggi cenderung memiliki kondisi topografi yang lebih ekstrim. Fenomena ini tidak dapat dijadikan acuan baku karena nilai korelasi keduanya berada pada kisaran 0,500 sehingga kondisi-kondisi tersebut belum tentu sepenuhnya terjadi di lokasi penelitian. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap persebaran jenis pohon adalah ketinggian dengan nilai intraset correlation sebesar 0,839 (Gambar 1). Kuatnya pengaruh ketinggian memperlihatkan bahwa persebaran vegetasi di daerah tropis terbagi menjadi beberapa wilayah penyebaran sesuai dengan ketinggian tempat sehingga komposisi jenis tumbuhannya menunjukkan perbedaan (Dolezal dan Srutek, 2002; Ewusie, 1990). Berubahnya ketinggian di suatu tempat menyebabkan berubahnya iklim mikro di tempat tersebut seperti intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara (Polunin, 1990; Kaufman, 1989; Heddy et al., 1986). Kelembaban tanah dan intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan yang cenderung dipengaruhi oleh keberadaan jenis pohon, dengan nilai korelasi berturut-turut 0,691 dan -0,618. Variasi tajuk pohon akan menyebabkan beragamnya intensitas cahaya yang diterima lantai hutan, hal ini akan berpengaruh juga pada tingkat kelembaban tanah di bawahnya. Nilai korelasi yang tidak jauh berbeda
Ketebalan serasah 0,107 -0,004 -0,135 1 0,038 0,060 0,129 0,160
Kedalaman Jarak plot Ketinggian Kemiringan tanah dari pantai -0,066 0,038 -0,137 0,191 -0,219 0,067 0,047 0,322 0,192 -0,323 -0,157 -0,408 0,038 0,060 0,129 0,160 1 0,228 0,096 0,135 0,228 1 0,523 0,653 0,096 0,523 1 0,389 0,135 0,653 0,389 1
ini membuktikan bahwa kedua faktor lingkungan ini sangat berkaitan erat satu sama lain. Diagram ordinasi CCA Diagram ordinasi CCA (Gambar 2) menunjukkan persebaran 51 jenis pohon di sepanjang gradien lingkungan yang diukur yaitu kelembaban tanah, ketinggian, kemiringan dan intensitas cahaya. Faktor lingkungan lainnya yaitu keasaman (pH) tanah, ketebalan serasah, kedalaman tanah dan jarak plot dari pantai tidak ditampilkan karena memiliki nilai raw correlation dan korelasi terhadap sumbu-sumbu CCA sangat rendah sehingga kurang berpengaruh terhadap persebaran jenis pohon (Hutchinson et al., 1999). Berdasarkan nilai intraset correlation, ketinggian merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap persebaran jenis pohon. Hal tersebut terlihat dari anak panah faktor lingkungan ini lebih panjang dibandingkan faktor-faktor lingkungan lainnya (Gambar 2). Jenis-jenis pohon yang sering ditemukan di daerah yang elevasinya lebih tinggi adalah Sterculia urceolata dan Taraktogenos heterophylla, dengan kisaran ketinggian antara 93,5-99 m dpl. Kondisi seperti ini ditemukan di Transek IV, dengan demikian kedua jenis ini cenderung hidup pada kondisi yang serupa di Transek IV (Tabel 2). Keberadaan jenis pohon dapat dikaitkan dengan ketinggian dan kelembaban. Jenis-jenis pohon yang sering ditemukan pada daerah yang lebih tinggi dan lebih basah dibandingkan daerah lainnya antara lain Rhodamnia cinerea, Decaspermum fruticosum, Baccaurea javanica dan Dillenia excelsa. Keempat jenis ini ditemukan pada kisaran ketinggian antara 82-102 m dpl dengan kelembaban tanah antara 50-68%. Berdasarkan kisaran faktor lingkungan
Gambar 1. Nilai intraset correlation pada faktor lingkungan yang diukur.
KURNIAWAN dan PARIKESIT – Jenis-jenis pohon di CA Pananjung Pangandaran
(Tabel 2), kondisi seperti ini ditemukan pada Transek IV, dengan demikian kedua jenis ini cenderung hidup pada kondisi yang serupa di Transek IV. Jenis pohon yang cenderung ditemukan di daerah yang lebih rendah adalah Guioa diplopetala, dengan kisaran antara 4,5-8,5 m dpl. Kondisi seperti ini ditemukan pada Transek I (Tabel 2), dengan demikian jenis ini cenderung hidup pada kondisi yang serupa di Transek I. Jenis-jenis pohon yang terdapat di daerah kering atau kelembabannya rendah antara lain adalah Acronychia laurifolia, Buchanania arborescens dan Grewia acuminata, dengan kisaran kelembaban tanah antara 33-50%. Kondisi seperti ini dapat ditemukan di semua transek, dengan demikian kedua jenis ini cenderung hidup di semua transek pada kondisi yang serupa (Tabel 2). Anomali terjadi pada jenis Casearia grewiaefolia dan Ternstroemia jaoquianum. Jenis C. grewiaefolia ditemukan di daerah yang sangat kering dengan intensitas cahaya sangat tinggi. Sebaliknya T. jaoquianum berada pada kondisi intensitas cahaya yang sangat rendah dengan kelembaban tanah yang sangat tinggi dan elevasi yang cenderung tinggi. Namun kondisi-kondisi di atas tidak sesuai untuk kedua jenis tersebut karena keduanya memiliki nilai frekuensi yang sangat rendah yaitu hanya ditemukan pada satu petak contoh.
279
Kaufman, P.B. 1989. Plants: Their Biology and Importance. New York: Harper & Row Publishers, Inc. Kent, M. and J. Ballard. 1988. Trends and problems in the application of classification and ordination methods in plant ecology. Vegetatio 78: 109-1244. Kent, M and P. Coker. 1992. Vegetation Description and Analysis: A Practical Approach. London: Belhaven Press. Longman, K.A. and J. Jenik. 1990. Tropical Forest and Its Environment, 2nd ed. New York: Longman Scientific & Technical and John Wiley & Sons. Parikesit, P. 1994. Composition and Structure of Cliff-Edge Forest in Relation to Some Environmental Gradients and Human Trampling. [Tesis]. Ontario: University of Guelph. Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rafi’i, S. 1994. Ilmu Tanah. Bandung: Penerbit Angkasa. Resosoedarmo, S., K. Kartawinata, dan Soegianto. 1985. Pengantar Ekologi. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta & BKKBN Jakarta. Singer, M.J. and D.N. Munns. 1987. SOILS An Introduction. New York: Macmillan Publishing Company. Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Departemen Kehutanan IPB. Sollins, P. 1998. Factors influencing species composition in tropical lowland rainforest: does soil matter? (The structure and functioning of montane: control by climate, soils and disturbance). Ecology 79 (1): 23-30 Syafei, E.S. 1994. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung: FMIPA ITB. ter Braak, C.J.F. 1987. The analysis of vegetation-environmental relationships by Canonical Correspondence Analysis. Vegetatio 69: 69-77. ter Braak, C.J.F. 1986. Canonical Correspondence Analysis: A new eigenvector technique for multivariate direct gradient analysis. Journal of Ecology 67 (5): 1167-1179. Yoda, K. 1974. Three dimensional distribution of light Intensity in a tropical rainforest of West Malaysia. Japanese Journal of Ecology 24 (4): 247254.
KESIMPULAN Frekuensi atau kehadiran jenis pohon berdiameter batang ≥10 cm dbh tertinggi di lokasi penelitian ditunjukkan oleh jenis Rhodamnia cinerea dengan nilai frekuensi sebesar 46,4%. Sebagian besar jenis pohon memiliki frekuensi di bawah 10%. Ketinggian merupakan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap persebaran jenis pohon, diikuti kelembaban tanah dan intensitas cahaya. Persebaran jenis pohon kurang merata di sepanjang gradien lingkungan yang diukur dengan nilai Eigenvalue 0,387, yang menunjukkan bahwa ada beberapa faktor lingkungan lain yang lebih berperan dalam persebaran jenis pohon namun tidak diukur dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Berrie, G.K., A. Berrie and J. M. O. Eze. 1987. Tropical Plant Science. Hongkong: Longman Scientific & Technical Dolezal, J. and M. Srutek. 2002. Altitudinal Changes in Composition and Structure of Mountain-Temperate Vegetation: A Case Study from Western Carpathians. Journal of Plant Ecology 158(16): 201-221. Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika, Membicarakan Alam Tropis Afrika, Asia, Pasifik dan Dunia Baru. Bandung: ITB. Foth, H. D. 1990. Fundamentals of Soil Science, 8th ed. New York: John Wiley & Sons. Heddy, S., S.B. Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: C.V. Rajawali. Hutchinson, T. F., R. E. J. Boerner, L. R. Iverson, S. Sutherland and E. K. Sutherland. 1999. Landscape patterns of understory composition and richness across a moisture and nitrogen mineralization gradient in Ohio (U.S.A) Quercus forests. Plant Ecology 144(14): 177189. Jongman, R.H.G., C.J.F. ter Braak, and O.F.R. van Tongeren. 1987. Data Analysis in Community and Landscape Ecology. Wageningen: Pudoc.
Gambar 2. Ordinasi CCA persebaran jenis pohon berdiameter batang ≥10 cm DBH terhadap faktor lingkungan yang diukur. Lokasi relatif setiap jenis ditunjukkan oleh kode jenis pohon (Kode jenis pohon terdapat pada Tabel 1). Faktor lingkungan ditunjukkan oleh anak panah dengan keterangan sebagai berikut: 1= kelembaban tanah; 2=ketinggian; 3= kemiringan; 4= intensitas cahaya.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 280-283
Riap Tahunan Rata-rata Jenis Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali Mean annual increment of Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. in “Eka Karya” Botanical Garden, Bali
1
NI KADEK EROSI UNDAHARTA♥,1, BRAMANTYO TRI ADI NUGROHO1, MUSTAID SIREGAR2
UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan Bali 82191. 2 UPT. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor 16122. Diterima: 28 Mei 2008. Disetujui: 26 Agustus 2008.
ABSTRACT Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. including into the tribe of Meliace. The society in Bali calls this plant with majegau. It gives a special characteristic for Balinese and has advantages in their religion. In Bali, it is more known as divine tree (kayu dewa), which able to be used for purified building. The objective of this research was to measure the mean annual increment of height, diameter and volume of D. parasiticum. Recognizing the characteristic of this plant is an important step to get information about the growth of majegau. Estimation of age harvest and also the conservation effort as one of effort to take care of its continuity. The results showed that highest height increment in XIVA garden bed, and the highest diameter increment in XVIIIA garden bed. The height increment is more optimal in the area with high light intensity (XIV A bed garden) and the diameter increment is more optimal in low light intensity area (XVIIIA bed garden). The 2 increment of height is more influentially to create volume increment. The model showed that height and volume increment have higher R adjusted value than diameter and volume (0.645 and 0.132, respectively). © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm., mean annual increment, “Eka Karya”- Bali Botanical Garden.
PENDAHULUAN Marga Dysoxylum terdiri dari 80 spesies yang berasal dari India dan Sri Lanka yang kemudian tersebar luas di Birma, Indo-China, Cina selatan, Thailand dan hampir di seluruh Malesia, hingga Australia dan Selandia Baru. Jenis endemik paling tinggi terdapat di Papua Nugini dan sedikitnya 46 jenis terdapat di Malesia. Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. dengan sinonim D. caulostachyum Miq., D. ramiflorum Miq. dan D. sericeum (Blume) Adelb. termasuk dalam suku Meliaceae (Sosef dkk., 1998). D. parasiticum merupakan satu jenis Dysoxylum yang dikenal oleh masyarakat di Bali atau lebih dikenal dengan sebutan majegau. Jenis ini dianggap sebagai jenis tanaman khusus, karena menghasilkan suatu kesegaran dan keharuman yang sangat berbeda. Masyarakat Bali menggolongkan majegau sebagai kayu dewa (divine trees) yang menjadi salah satu unsur yang harus ada di suatu bangunan suci. Masyarakat Bali mengenal jenis ini sebagai flora yang memberikan kekhasan bagi Bali dan bermanfaat dalam ritual keagamaan. Kayu D. parasiticum banyak pula digunakan oleh masyarakat Bali sebagai bahan dasar kerajinan ukir, dan menjadi salah satu penggerak perekonomian, khususnya sektor pariwisata. Di luar Propinsi Bali, kayu dari jenis D. parasiticum ♥ Alamat korespondensi: Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 Tel. +62-368-21273. Fax. +62-368-22051 e-mail: undaharta@yahoo.co.id
banyak digunakan sebagai konstruksi umum, konstruksi perahu, geladak kapal berat, bahan untuk lantai, tonggak, pintu, kusen jendela, moulding, mebel bermutu tinggi, lemari, peti mayat, tongkat bilyard, serta kotak korek api. Jenis ini juga dapat digunakan sebagai bahan dalam memproduksi vinir, kayu lapis, papan tulis dan pulp (Sosef dkk., 1998). Kualitas kayu D. parasiticum tergolong pada kelas kuat II-III dan berada pada kelas awet II, sehingga memiliki potensi besar dalam pemanfaatannya. Efek yang timbul adalah jenis ini banyak diburu dan diminati banyak orang, menjadikan proses kelangkaannya semakin besar. Saat ini jenis D. Parasiticum merupakan jenis yang tergolong genting (PIKA,1981; Sarna dkk., 1993). Pengetahuan mengenai sifat pertumbuhan jenis D. parasiticum merupakan suatu tahapan yang penting untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai pertumbuhannya, sebagai bagian analisis pemanfaatan kayu D. parasiticum. Parameter pola pertumbuhan yang diamati adalah riap pertumbuhan, meliputi pertambahan tinggi, diameter dan volume selama ditanam di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali. BAHAN DAN METODE Area studi Penelitian ini dilakukan di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali dengan material tanaman D. parasiticum yang ditanam pada tahun 1992 sampai dengan 1994. Pengamatan dilakukan selama bulan Juni 2006. Parameter yang diamati meliputi tinggi, diameter, serta volume D. parasiticum. Alat utama yang digunakan adalah Christen meter, sedangkan
UNDAHARTA dkk.– Riap tahunan Dysoxylum parasiticum di KREK Bali
bahan yang digunakan adalah koleksi D. parasiticum di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali yang terdiri dari 34 spesimen. Pengamatan diawali dengan menginventarisasi jenis D. parasiticum di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali yang memiliki data lengkap, lalu dilakukan pengukuran dari jenis terpilih; parameter yang diamati adalah tinggi total dan diameter setinggi dada (DBH) (Departemen Kehutanan, 1997). Pengamatan mencakup semua populasi D. parasiticum di Kebun Raya “Eka Karya “ Bali di dua petak koleksi dengan karakteristik yang berbeda. Koleksi D. parasiticum di petak XIV.A umumnya tidak banyak terdapat pohon naungan, sehingga intensitas cahayanya relatif tinggi, sementara pada petak XVIII.A, sebagian besar koleksi D. parasiticum ternaungi oleh pohon rasamala (Altingia excelsa Norona), sehingga intensitas cahaya yang diterima lebih kecil, serta mempunyai kelembaban tanah yang lebih tinggi. Analisis data Analisis riap diameter V = LBDS x T x F V LBDS T F
= volume = luas bidang dasar = ¼ πd2 = tinggi = faktor bentuk bernilai 0.6 berdasar metode Pressler (Brack, 2001)
Pola pertumbuhan sepanjang suatu generasi secara khas dicirikan oleh suatu fungsi pertumbuhan yang disebut kurva sigmoid (bentuk seperti huruf S) yang terdiri dari 4 fase, yaitu: fase eksponensial, fase linier meningkat, fase linier menurun dan fase mantap (pematangan fisiologis). Untuk mengurangi bias, maka dapat digunakan perhitungan laju pertumbuhan menggunakan riap tahunan rata-rata (mean annual increment, MAI). Riap rata-rata tahunan dapat dihitung dengan membaginya dengan umur pohon (Loestch dkk., 1973; Gardner dkk., 1991; Budiharta dan Mukaromah, 2006) Analisis regresi Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan pertambahan riap tinggi, yaitu: riap diameter sebagai variabel bebas dengan riap volume sebagai variabel tak bebasnya. Model regresi yang digunakan adalah simple linear regression model (regresi sederhana), dengan hubungan stokhastik variabel-variabelnya sebagai berikut: Log Yt = A0 + A1log Xt + e Log Yt = B0 + B1lox Zt + e Yt = Variabel tak bebas (Riap volume per tahun) A0 = Intercept B0 = Intercept A1 = Koefisien regresi B1 = Koefisien regresi Xt = Variabel bebas (riap tinggi per tahun) = Variabel bebas (riap diameter per tahun) Zt E = Error Analisis regresi dengan model fungsi logaritma didasarkan nilai riap diameter per tahun yang relatif kecil, sehingga analisis logaritma akan mengurangi bias karena nilai yang terlalu kecil. Model regresinya dikerjakan dengan teknik ordinary least square (OLS).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil inventarisasi di Kebun Raya Bali, terdapat 34 spesimen dari jenis D. parasiticum yang memiliki data
281
lengkap. Pertumbuhan D. parasiticum di beberapa petak koleksi Kebun Raya Bali menggambarkan laju pertumbuhan yang beragam. Pertumbuhan merupakan fenomena biologi berupa pertambahan dimensi per satuan waktu. Pertumbuhan melibatkan kegiatan pembentukan, pengembangan dan diferensiasi sel jaringan atau organ (Brack, 2001). Sedangkan menurut Davis dan Jhonson (1987) pertumbuhan tegakan didefinisikan sebagai perubahan ukuran dan sifat terpilih tegakan (dimensi tegakan) yang terjadi selama periode waktu tertentu, sedangkan hasil tegakan merupakan banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen yang dikeluarkan pada waktu tertentu. Perbedaan antara pertumbuhan dan hasil tegakan terletak pada konsepsinya, yaitu: produksi biologi untuk pertumbuhan tegakan dan pemanenan untuk hasil tegakan. Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil, apabila besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung terus-menerus. Dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum hasil yang diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah kumulatif pertumbuhan sampai waktu tersebut, sedangkan jumlah maksimum hasil yang dapat dipanen secara terus-menerus setiap periode sama dengan pertumbuhan dalam periode waktu tersebut. Pertumbuhan terjadi secara simultan dan bebas dari bagian-bagian pohon dan dapat diukur dengan berbagai parameter seperti pertumbuhan diameter, tinggi, luas tajuk, volume dan sebagainya. Pertumbuhan dapat diukur dalam unit-unit fisik seperti volume, luas bidang dasar dan berat. Selain itu juga dapat diukur dalam bentuk nilai penting (Davis dan Jhonson, 1987). Pertumbuhan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat tumbuh seperti: kerapatan tegakan, karakteristik umur tegakan, faktor iklim (temperatur, presipitasi, kecepatan angin dan kelembaban udara), serta faktor tanah (sifat fisik, komposisi bahan kimia, dan komponen mikrobiologi tanah). Riap tinggi (m/tahun) Riap didefinisikan sebagai pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu, tetapi ada kalanya juga digunakan untuk menyatakan pertambahan nilai tegakan atau pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun. Riap tegakan dibentuk oleh pohon-pohon yang masih hidup di dalam tegakan, tetapi penjumlahan dari riap pohon ini tidak akan sama dengan riap tegakannya, karena dalam periode tertentu beberapa pohon dalam tegakan dapat saja mati, busuk atau beberapa lainnya mungkin ditebang. Sebagian besar pepohonan pada inventarisasi awal tumbuh naik ke kelas diameter berikutnya yang lebih besar (upgrowth). Pada kelas diameter kecil, penambahan pohon pada inventarisasi berikutnya berasal dari ingrowth yang tidak terhitung pada inventarisasi awal. Jumlah pohon dalam tegakan berkurang akibat kematian yang terjadi pada keseluruhan diameter, dimana laju kematian terbesar terjadi pada kelas diameter terkecil (Davis dan Jhonson, 1987). Hasil perhitungan riap tinggi berada pada kisaran 0,2 m per tahun sampai 1,28 m per tahun (Gambar 1). Secara rata-rata (Gambar 2), pertumbuhan riap tertinggi jenis D. parasiticum berada di petak XIV.A. Kondisi ini diperkirakan karena pada petak XIV.A, kondisi naungan yang lebih terbuka. Kurang optimalnya pertumbuhan dapat juga disebabkan fase eksponensial pertumbuhan tidak berjalan sempurna karena persaingan ruang, substrat atau nutrisi (Gardner dkk., 1991). Intensitas cahaya mempunyai efek yang signifikan terhadap peningkatan tinggi tanaman. Tanaman yang
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 280-283
282
berada di tempat dengan intensitas cahaya rendah secara signifikan mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan tempat yang memiliki intensitas cahaya yang lebih tinggi. Respon terhadap penurunan intensitas cahaya adalah penurunan dalam peningkatan pertumbuhan tinggi, penurunan dalam memproduksi daun serta area daun (Court dan Mitchell, 1989). Jenis Myrsine australis (A.Rich) Allan dan Pseudopanax crassifolius (Sol. ex A. Cunn.) C. menunjukkan rata-rata pertumbuhan secara stabil dengan peningkatan intensitas cahaya (Pook, 1979).
Riap Tinggi (m/thn)
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Petak
R a t a - ra t a R ia p T in g g i ( m /t h n )
Gambar 1. Riap tinggi D. parasiticum di Petak XIV.A dan XVIII.A.
0.76 0.75 0.74 0.73 0.72 0.71 0.7 0.69 XIVA
XVIIIA Petak
Riap Diameter (cm/thn)
Gambar 2. Riap tinggi rata-rata D. parasiticum di Petak XIV.A dan XVIII.A. 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Petak
Rata-Rata Riap Diameter (cm/thn)
Gambar 3. Riap diameter D. parasiticum di Petak XIV.A dan XVIII.A. 0.5 0.49 0.48 0.47 0.46 0.45 XIVA
XVIIIA Petak
Gambar 4. Riap diameter rata-rata D. parasiticum di Petak XIV.A dan XVIII.A.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi riap pertumbuhan tinggi koleksi D. parasiticum pada koleksi
Kebun Raya Bali adalah nilai pH dan kelembaban tanah. Nilai pH tanah berkisar pada 6.1, yang menunjukkan sifat sedang sampai netral. Pada kisaran ini diperkirakan tanah mengandung mangan, boron, tembaga, dan seng dengan kadar lebih tinggi dibandingkan dengan unsur lainnya; unsur nitrogen, kalium dan belerang mempunyai kadar cukup tinggi; sedangkan unsur fosfor, kalsium dan magnesium mempunyai kadar lebih rendah (Singer dan Munns, 1987; Foth, 1990; Rafi’i, 1994). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel pH tanah lebih berpengaruh terhadap riap pertumbuhan tinggi per tahun D. parasiticum dibandingkan dengan variabel 2 kelembaban tanah, dengan nilai R mencapai 0.62, sedangkan untuk kelembaban mempunyai nilai R2 sebesar 0.14. Kondisi rata-rata pH tanah di petak XIV.A serta XVIII.A adalah 6.1, sementara kondisi kelembaban rata-rata tanahnya mencapai 60%. Pertumbuhan tinggi pohon dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan pembentukan dedaunan yang sangat sensitif terhadap kualitas tempat tumbuh. Setidaknya terdapat tiga faktor lingkungan dan satu faktor genetik (intern) yang sangat nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi yaitu kandungan nutrien mineral tanah, kelembaban tanah, cahaya matahari, serta keseimbangan sifat genetik antara pertumbuhan tinggi dan diameter suatu pohon. Perlu diperhatikan juga bahwa status mineral tanah dapat mempunyai efek yang penting terhadap jenis-jenis yang toleran dengan naungan untuk tumbuh di tempat dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi (Murray dan Nicholas, 1966; Davis dan Jhonson, 1987). Riap diameter (cm/tahun) Diameter adalah ukuran utama (dasar) dari pohon yang memiliki hubungan dengan volume pohon (Spurr, 1952). Riap diameter menunjukkan bahwa riap tertinggi mencapai 1.45 cm/tahun sedangkan riap terendah mencapai 0.23 cm/tahun (Gambar 3). Riap diameter rata-rata pada petak XVIII.A lebih besar dibandingkan dengan petak XIV.A. Kondisi ini diduga dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang lebih rendah di petak XVIII.A, yang disebabkan banyaknya pohon naungan. Tingginya riap diameter di petak XVIII.A juga disebabkan pada lokasi ini sebagian besar jenis D. parasiticum mempunyai lebar tajuk yang besar. Gambar 1-4 memperlihatkan bahwa D. parasiticum mempunyai riap tinggi per tahun yang lebih besar pada daerah tidak terlindung dan menghasilkan riap diameter per tahun yang lebih besar pada wilayah ternaung. Hubungan riap tinggi dan riap diameter terhadap riap volume Analisis ini berguna untuk menentukan faktor yang dominan dalam mempengaruhi riap volume D. parasiticum. Variabel bebas yang dipilih adalah riap pertumbuhan tinggi dan riap pertumbuhan diameter. Regresi riap tinggi terhadap riap volume Hubungan korelasi ini digambarkan dari fungsi regresi sederhana antara variabel riap tinggi (variabel bebas) dengan variabel riap volume (variabel tak bebas). Data pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa fungsi regresi sederhana untuk pertumbuhan riap volume yang dipengaruhi riap tinggi dapat dimodelkan dengan fungsi: Log Y = -2.532 + 2.847 log X. Hasil analisis regresi tersebut memperlihatkan, bahwa model dapat menjelaskan hubungan antara riap tinggi dengan riap volume sebesar 64.5%, sedangkan sisanya dijelaskan di luar model, serta nyata pada rentang kesalahan 1%. Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan jumlah pohon yang menyusun tegakan
UNDAHARTA dkk.– Riap tahunan Dysoxylum parasiticum di KREK Bali
tersebut (degree of stocking), jenis dan kesuburan tanah. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis mempunyai laju (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua jenis, pada waktu muda umumnya mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi, kemudian semakin tua semakin menurun sampai akhirnya berhenti (Simon, 2007).
283
riap tinggi. Pemacuan pertumbuhan tinggi D. parasiticum, akan secara linier memacu pertumbuhan riap volume yang lebih besar dibandingkan dengan memacu pertumbuhan diameter batang D. parasiticum. Pertumbuhan riap volume akan lebih besar jika jenis D. parasiticum berada di tempat yang sedikit terdapat naungan, dengan intensitas cahaya yang lebih tinggi.
Tabel 1. Fungsi regresi antara riap tinggi dengan riap volume. Standardized coefficients Beta
Unstandardized coefficients Model B SE 1 (Constant) -2.532 0.090 LOGX 2.847 0.365
t
Sig.
-28.165 0.000 7.802 0.000
0.810
10 2
R adjusted = 0.645 F = 60.879 Sig = 0.000
8
Log Y = -2.532 + 2.847 log X 6
Frequency
4
2
Std. Dev = .98 Mean = 0.00 N = 34.00
0 -2.50
-1.50 -2.00
-.50
.50
-1.00
0.00
1.50 1.00
2.00
Regression Standardized Residual
Gambar 5. Regression standardized residual dengan fungsi: Log Y = -2.532 + 2.847 log X.
Regresi riap diameter dengan riap volume Hubungan korelasi ini digambarkan dari fungsi regresi sederhana antara variabel riap diameter (variabel bebas) dengan variabel riap volume (variabel tak bebas). Data pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa fungsi regresi sederhana untuk model pertumbuhan riap volume yang dipengaruhi riap diameter dapat dimodelkan dengan fungsi: Log Y = 0.590 + 1.515 log Z. Tabel 2. Fungsi regresi antara riap diameter dengan riap volume. Standardized coefficients Beta
Unstandardized coefficients Model B SE 1 (Constant)0.590 1.462 LOGZ 1.515 0.616
t
Sig.
0.404 0.689 2.457 0.020
0.398
10
Frequency
8
Log Y = 0.590 + 1.515 log Z
6
2
R adjusted = 0.132 F = 6.039 Sig = 0.020
4
2
Std. Dev = ,98 Mean = 0,00 N = 34,00
0 -2,50
-2,00 -2,25
-1,50 -1,75
-1,00 -1,25
-,50 -,75
0,00 -,25
,50 ,25
1,00 ,75
Regression Standardized Residual
Gambar 6. Regression standardized residual dengan fungsi: Log Y = 0.590 + 1.515 log Z.
Hasil analisis dua model regresi antara riap tinggi dan riap diameter terhadap riap volume memperlihatkan bahwa riap tinggi lebih mempengaruhi riap volume, sehingga untuk menghasilkan pertumbuhan riap volume yang relatif besar, dibutuhkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
KESIMPULAN Riap pertumbuhan tinggi batang D. parasiticum lebih optimal pada daerah dengan intensitas cahaya yang tinggi tepatnya di petak XIV.A sebesar 6390 lux dan di lokasi tersebut tidak banyak dijumpai pohon naungan. Sementara di petak XVIII.A. riap pertumbuhan diameternya lebih optimal dan di lokasi tersebut intensitas cahaya lebih rendah yaitu sebesar 2560 lux. Riap pertumbuhan tinggi batang lebih mempengaruhi pembentukan riap volume batang, hal ini didasarkan model regresinya yang mempunyai nilai R2 adjusted sebesar 0.645, sedangkan model regresi antara riap diameter dengan riap volume hanya sebesar 0.132. D. parasiticum banyak dimanfaatkan di Bali, namun selama ini belum diketahui sifat tumbuhnya. Sifat pertumbuhan dapat digunakan untuk mendukung pengembangan D. parasiticum karena jenis yang dimanfaatkan dalam upacara keagamaan Hindu ini mulai langka di Bali.
DAFTAR PUSTAKA Brack, C.L. 2001. Forest Measurement and Modeling - Measuring trees, stands and forests for effective forest management. Computer-based course resources for Forest Measurement and Modeling (FSTY2009) at the Australian National University. http://fennerschool.anu.edu.au/associated/mensuration/home.htm Budiharta, S dan L. Mukaromah, 2006. Riap Tahunan Rata-Rata Jenis Polong-Polongan (Fabaceae) Koleksi Kebun Raya Purwodadi. Prosiding Seminar Sehari Konservasi dan Pendayagunaan Keanekaragaman Tumbuhan Daerah Kering II. Court, A.J., and N.D. Mitchell. 1989. the growth responses of Dysoxylum spectabile (Meliaceae) to a shaded environment. New Zealand Journal of Botany. 27: 353-357. Davis, L.S and K. N. Jhonson. 1987. Forest Management. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Departemen Kehutanan, 1997, Handbook of Indonesian Forestry. Jakarta: Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan. Foth, H. D. 1990. Fundamentals of Soil Science. 8ht ed. New York: John Wiley & Sons. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Loestch, F., F.Zohrer and K.E. Haller. 1973. Forest Inventory. Volume II. Blv. Munchen: Verlagsgesselhaft. PIKA. 1981. Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. Yogyakarta: Kanisius. Murray, D.B., R. Nicholas. 1966. light, shade and growth in some tropical plants. British Ecological Society Symposium. No 6. Oxford: Blackwell. Pook, E.W. 1979. The effects of shade growth of seedlings of tanekaha (Phyllocladus trichomanoides) a comparative study. New Zealand Journal of Forestry Science 9: 193-200. Rafi’i, S. 1994. Ilmu Tanah. Bandung: Penerbit Angkasa. Sarna, K., I M. Rideng, dan N. Sumardika. 1993. Inventarisasi dan Pelestarian Tanaman Langka di Bali dalam Usaha Menunjang Obyek Wisata dan Studi. [Laporan penelitian]. Denpasar: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Udayana. Simon, H., 2007. Metode Inventore Hutan. Cetakan I.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Singer, M. J. and D. N. Munns., 1987. SOILS An Introduction. New York: Macmillan Publishing Company. Sosef, M.S.M., L.T. Hong and S. Prawirohatmodjo. 1998. Plant Resources of South-east Asia No 5 (3). Timber trees: Lesser-known timbers. Bogor: Prosea. Spurr, S.H. 1952. Forest Inventory. New York: The Ronald Press Company.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 284-287
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat Litterfall production of mangrove forest in the beach waters of Sepi Bay, West Lombok YULIADI ZAMRONI♼, IMMY SUCI ROHYANI 1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Mataram (UNRAM), Mataram 83125. Diterima: 17 Juni 2008. Disetujui: 9 September 2008.
ABSTRACT Litterfall production of mangrove forest study was carried out in the beach water of Sepi Bay, West Lombok, from July to October 2007. The o collection of litter was done every 10 days, and then the litter was dried at 75 C to constant weight and separated into leaves, reproduction 2 organs, and wood part components. The total mangrove litter fall average was 2.71 g/m /day or 9.9 ton/ha/year, with the leaf, reproduction 2 organs, and branch components being 87.56%, 11.33% and 1.54%. Contribution of Rhizophora mucronata litter fall was 1.48 g/m /day, R. 2 2 2 2 apiculata 0.49 g/m /day, Sonneratia alba 0.48 g/m /day, R. stylosa 0.25 g/m /day, and Aegiceras corniculatum 0.01 g/m /day. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: mangrove, litterfall, Sepi Bay.
PENDAHULUAN Hutan mangrove sebagai sumberdaya alam khas daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis bagi ekosistem pantai, yaitu: sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut. Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Kavvadias et al., 2001; Moran et al., 2000). Analisis dari komposisi hara dalam produksi serasah dapat menunjukkan hara yang membatasi dan efisiensi dari nutrisi yang digunakan, sehingga siklus nutrisi dalam ekosistem hutan mangrove akan terpelihara (Vitousek, 1982; Rahajoe et al., 2004). Teluk Sepi merupakan salah satu kawasan ekosistem mangrove dan daerah pengembangan budidaya laut dan tambak yang berada di Kabupaten Lombok Barat. Hutan ♼ Alamat korespondensi: Jl. Majapahit 62, Mataram 83125. Tel. +62-370-631166, 633007. Fax.: +62-370-636041 e-mail: zom-zom@plasa.com
mangrove Teluk Sepi memiliki luas sekitar 128,74 ha dengan tingkat kerusakan sedang (70 ha). Vegetasi yang dominan adalah Rhizophora mucronata L. dan Avicennia lanata (Dinas Kehutanan NTB, 2003). Teluk Sepi merupakan bagian dari pantai Sekotong yang menghadap ke arah selatan Pulau Lombok. Potensi perairan Teluk Sepi berupa rumput laut dari jenis Euchema sp. yang dapat dipanen dari alam ataupun dari kegiatan budidaya (Dinas Perikanan NTB, 1991). Menyadari pentingnya peranan produksi serasah terhadap ekosistem perairan pantai dan masih terbatasnya informasi yang ada khususnya di pulau Lombok, maka perlu dilakukan penaksiran jumlah produksi serasah hutan mangrove di Teluk Sepi, mengingat di sekitar wilayah ekosistem mangrove ini terdapat budidaya tambak dan budidaya laut yang potensial untuk ditingkatkan.
BAHAN DAN METODE Penelitian tentang produksi serasah hutan mangrove di Teluk Sepi, Lombok Barat (Gambar 1) telah dilakukan selama bulan Juli-Oktober 2007. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi vegetasi yang menyusun hutan mangrove Teluk Sepi. Pengambilan data vegetasi dilakukan menggunakan metode transek berplot 2 yaitu dengan cara membuat plot berukuran 10x10 m kontinyu di sepanjang garis transek. Transek dibuat tegak lurus dengan garis pantai. Metode ini bertujuan untuk mengetahui jenis tumbuhan mangrove dan pola pemintakatannya. Dari petak-petak tersebut kemudian dicatat data vegetasi mangrove yang meliputi jenis tumbuhan mangrove, kerapatan tegakan, dan basal area jenis. Struktur dan komposisi vegetasi hutan mangrove ditentukan dengan rumus (Soegianto, 1994):
ZAMRONI dan ROHYANI – Serasah mangrove Teluk Sepi, Lombok Barat
Kerapatan =
Jumlah individu . Luas petak sampel
Basal area =
Jumlah luas bidang dasar Luas petak sampel
Penelitian utama dilakukan untuk mengukur jumlah serasah yang dihasilkan hutan mangrove Teluk Sepi. Serasah yang jatuh dari pohon di tampung dengan perangkap serasah (litter trap) sebanyak 45 buah yang di pasang secara acak di bawah kanopi pohon pengamatan pada ketinggian 1,5 m di atas permukaan tanah, sehingga terhindar dari jangkauan air pasang. Jaring penampung serasah terbuat dari jaring polyetilen berbentuk kotak 3 dengan ukuran 1x1x0,5 m . Serasah yang tertampung dalam perangkap serasah diambil setiap 10 hari, sampel serasah dikering-anginkan, lalu dipisahkan berdasarkan jenis vegetasi dan komponen-komponennya seperti daun, ranting dan organ reproduktif. Sampel serasah kemudian dioven pada suhu 75oC sampai beratnya konstan. Selain data jenis vegetasi dan data serasah mangrove, dicatat pula data parameter lingkungan seperti kecepatan angin, kelembaban, pH tanah, suhu udara, dan intensitas cahaya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan di hutan mangrove Teluk Sepi diperoleh 3 famili yang meliputi 5 genus dan 8 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari Rhizophora apiculata Blume, R. mucronata, R. stylosa Griff, Ceriops tagal, C. decandra, Brugueria sp., Sonneratia alba J. Sm., dan Aegiceras corniculatum. Hutan mangrove Teluk Sepi di dominasi oleh R. mucronata dan R. apiculata. Berdasarkan hasil perhitungan tegakan mangrove tercatat tingkat kerapatan vegetasinya sebesar 480 pohon/ha 2 dengan luas basal area sebesar 7,64 m /ha. Komposisi R. mucronata terbesar sebanyak 392 pohon/ha, diikuti R. apiculata sebesar 72 pohon/ha, dan vegetasi lainnya sebesar 16 pohon/ha.
285
Spesies mangrove yang dipasangi litter trap adalah R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Sonneratia alba, dan Aegiceras corniculatum. Ceriops tagal dan C. decandra berbentuk semak sehingga tidak memungkinkan untuk dipasang litter trap, sedangkan Brugueria sp. pada analisis vegetasi hanya ditemukan dalam bentuk anakan dan semaian sehingga tidak dipasangi litter trap. Hasil perhitungan guguran serasah hutan mangrove Teluk Sepi selama penelitian tersaji pada Tabel 1. Dari tabel ini diketahui bahwa produksi serasah di Teluk Sepi sebesar 9,9 ton/ha/tahun dengan kontribusi R. mucronata terbesar (5,41 ton/ha/tahun atau 54,7%), diikuti oleh R. apiculata (1,8 ton/ha/tahun atau 18,2%), S. alba (1,75 ton/ha/tahun atau 17,6%), R. stylosa (0,92 ton/ha/tahun atau 9,3%) dan Aegiceras sp. (0,02 ton/ha/tahun atau 0,2%). Tabel 1. Rata-rata produksi serasah mangrove (ton/ha/tahun) di Teluk Sepi, Lombok. Jenis
Serasah (Ton/ha/tahun) Daun
Organ reproduktif
Persen-
Ranting Total
R. mucronata
4,87
0,46
0,08
5,41
R. apiculata
1,50
0,29
0,07
1,8
54,7% 18,2%
S. alba
1,47
0,28
0
1,75
17,6%
R. stylosa Aegiceras sp.
0,82
0,10
0,01
0,92
9,3%
0,02
0
0
0,02
0,2%
Total
8,67
1,12
0,16
9,9
100%
Produksi serasah di wilayah penelitian didominasi famili Rhizophoraceae, diikuti Sonneratiaceae. Tingginya produksi serasah famili Rhizophoraceae karena tingkat kerapatannya (468 pohon/ha) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan famili lainnya, hal ini sesuai dengan pernyataan Moller dalam Soeroyo (2003) bahwa kerapatan pohon mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Teluk Sepi, Lombok Barat (Bakosurtanal, 2004).
286
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 284-287
maka semakin rendah produksi serasahnya. Selain tingkat kerapatan, laju produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan umurnya. Jenis mangrove yang berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Rata-rata laju produksi serasah daun setiap jenis mangrove di Teluk Sepi untuk R. stylosa sebesar 3.94 g/pohon/hari, S. alba sebesar 4,22 g/pohon/hari, R. mucronata sebesar 2,1 g/pohon/hari dan R. apiculata sebesar 1,67 g/pohon/hari. Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001), R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi (1991) pada tegakan Rhizophora menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun. Tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Penelitian Zamroni dan Rohyani (2007), berdasarkan hasil pengamatan rata-rata diameter batang R. apiculata di kawasan mangrove Dusun Selindungan (Pantai Sekotong bagian barat) sebesar 14,51 cm (10,19-22,61 cm) memiliki produksi serasah daun sebesar 1,85 g/pohon/hari, sedangkan rata-rata diameter batang R. apiculata di Teluk Sepi (Pantai Sekotong bagian selatan) sebesar 12,12 cm (10,51-16,24 cm) memiliki produksi serasah daun sebesar 1,67 g/pohon/hari. Produksi serasah daun R. apiculata yang memiliki umur yang hampir sama pada tempat berbeda memiliki laju produksi serasah yang hampir sama pula. Serasah daun memberikan kontribusi yang terbesar (8,67 ton/ha/tahun atau 87,56%) diikuti oleh organ reproduktif (1,12 ton/ha/tahun atau 11,33%) dan ranting (0,16 ton/ha/tahun atau 1,54%). Tingginya kontribusi daun terhadap produktifitas serasah yang dihasilkan terkait dengan salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi. Menurut Murdiyanto (2003), terdapat 3 cara mangrove untuk bertahan terhadap air garam: (i) Mangrove menghindari penyerapan garam berlebihan dengan cara menyaring melalui bagian akarnya, (ii) Secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui daun, (iii) Menumpuk kelebihan garam pada kulit pohon dan daun tua lalu segera digugurkan. Persentase guguran serasah daun berkorelasi positif dengan salinitas perairan ekosistem mangrove, semakin tinggi salinitas perairan maka semakin tinggi pula produksi serasah mangrove. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Affandi (1996), persentase guguran serasah daun mangrove sebesar 57% di kawasan sungai, 65% di kawasan tambak, dan 81% dikawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap. Serasah mangrove yang dihasilkan berupa daun merupakan serasah yang paling penting peranannya dibandingkan dengan organ lain. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001) dalam aliran energi hutan mangrove, daun memegang peranan penting karena merupakan sumber nutrisi bagi organisme. Persentase kadar nitrogen dan fosfat pada daun R. apiculata di hutan mangrove Thailand selatan sebesar 0,80 dan 0,038% berat kering, sehingga mangrove menyumbang nitrogen, fosfat, potasium, kalsium, dan magnesium berturut-turut sebesar
116, 7, 146, dan 71 kg/ha/tahun. Seluruh bahan organik ini merupakan sumber nutrisi bagi organisme perairan. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan (khususnya detritifor) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaringjaring makanan. Affandi dan Ni'matuzahrah (2000) melaporkan bahwa kemelimpahan biota yang berperan dalam proses dekomposisi serasah mangrove di pantai utara Surabaya adalah Insekta 32,61%; Crustacea 31,62%; Mollusca 19,01%; Nematoda-Polychaeta 11,69% dan Myriapoda 0,05%. Jenis-jenis jamur yang bersifat asosiatif dalam proses degradasi serasah mangrove adalah Aspergillus, Trichoderma, Penicillium, Paecilomyces, Gliocladium, Gonatobotryum dan Syncephalastrum (Affandi et al., 2001). Total produksi serasah pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan produksi serasah di kawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap sebesar 8,62 ton/ha/tahun (Affandi, 1996), di ekosistem mangrove pantai utara Kabupaten Subang sebesar 7-8 ton/ha/tahun (Kawaroe, 2001) dan di Teluk Kayeli, Pulau Buru, Maluku Tengah sebesar 9 ton/ha/tahun (Pulumahuny, 1997). Tetapi hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kawasan sungai dan tambak di hutan payau RPH Tritih Cilacap sebesar 16,44 ton/ha/tahun dan 13,37 ton/ha/tahun (Affandi, 1996), hutan mangrove primer Thailand selatan sebesar 13,76 ton/ha/tahun (Bunyavejchewin dan Nuyim, 2001), Teluk Kotania, Seram Barat sebesar 12,75 ton/ha/tahun (Supriadi dan Wouthuyzen, 2005), dan Kawasan Suaka Marga Satwa Sembilang, Sumatera Selatan sebesar 13,76 ton/ha/tahun (Soeroyo, 2003). Perbedaan jumlah produksi serasah setiap daerah dapat dipengaruhi oleh lokasi geografi, variasi kondisi vegetasi dan struktur penyusun hutan serta tinggi rendahnya tingkat kerapatan hutan. Selain faktor internal dari mangrove, guguran serasah juga dipengaruhi faktor eksternal berupa parameter fisik lingkungan. Data-data parameter fisik lingkungan selama penelitian tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter fisik lingkungan di hutan mangrove Teluk Sepi, Lombok Barat. Parameter o Suhu udara ( C) Kelembaban (%) pH tanah Kecepatan angin (m/s)
Teluk Sepi o 27,8-31,7 C 50-88% 5-6,6 0,6-4,1 m/s
Suhu dan kelembaban udara mempengaruhi jatuhan serasah tumbuhan. Naiknya suhu udara akan menyebabkan menurunnya kelembaban udara sehingga transpirasi akan meningkat, dan untuk menguranginya maka daun harus segera digugurkan (Salisbury, 1992). Dari hasil pengukuran paremeter fisik lingkungan didapatkan suhu udara 27,8-31,7oC dengan tingkat kelembaban 50-88%. Menurut Triswanto (1997) tumbuhan mangrove akan mengugurkan daun segarnya di bawah suhu optimum dan menghentikan produksi daun baru apabila suhu lingkungan di atas suhu optimum. Penelitian Hutchings dan Saenger (1987) menunjukkan bahwa temperatur optimum untuk R.
ZAMRONI dan ROHYANI – Serasah mangrove Teluk Sepi, Lombok Barat o stylosa dan Ceriops spp. adalah 26-28 C, dan Bruguera o spp. adalah 27 C. Suhu hutan mangrove Teluk Sepi (27,8o 31,7 C) masih merupakan suhu yang optimum bagi famili Rhizophoraceae. Menurut Soeroyo (2003), faktor lain yang mempengaruhi guguran serasah mangrove adalah curah hujan. Guguran serasah mangrove Sembilang, Sumatera Utara jauh lebih tinggi di musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini sejalan dengan penelitian Bunyavejchewin dan Nuyim (2001), guguran serasah daun di hutan mangrove primer Thailand selatan sangat fluktuatif. Selama musim panas serasah meningkat pada bulan Januari-Maret, Pertengahan musim hujan serasah meningkat di bulan Juli-Agustus, dan di akhir musim hujan serasah meningkat di bulan Nopember-Desember. Penelitian guguran serasah hutan mangrove di Teluk Sepi dilakukan pada musim kemarau sehingga curah hujan tidak mempengaruhi besarnya serasah yang dihasilkan. Kecepatan angin di Teluk Sepi sangat fluktuatif setiap harinya, berkisar antara 0,6-4,1 m/s. Rata-rata laju guguran serasah daun mangrove di Teluk Sepi sebesar 2,29 g/pohon/hari dengan laju guguran serasah daun jenis R. apiculata sebesar 1,67 g/pohon/hari. Penelitian Zamroni dan Rohyani (2007) pada waktu yang bersamaan di hutan mangrove Dusun Selindungan yang memiliki kisaran kecepatan angin 0,2-1,3 m/s, rata-rata laju guguran serasah daun mangrove sebesar 1,96 g/pohon/hari dengan laju guguran serasah daun jenis R. apiculata sebesar 1,85 g/pohon/hari. Adanya perbedaan laju guguran serasah di hutan mangrove Teluk Sepi dan Dusun Selindugan lebih disebabkan perbedaan tingkat kerapatan dan diameter pohon dari pada perbedaan kecepatan angin.
KESIMPULAN Produksi serasah hutan mangrove di Teluk Sepi, Lombok sebesar 9,9 ton/ha/tahun. Jenis dominan yang memberikan hara terbesar di hutan mangrove ini adalah Rhizophora mucronata dengan produksi serasah sebesar 5,41 ton/ha/tahun. Parameter fisik lingkungan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi serasah hutan mangrove di Teluk Sepi.
287
DAFTAR PUSTAKA Affiandi, M. 1996. Produksi dan Laju Penghancuran Serasah di Hutan Mangrove Alami dan Binaan Cilacap Jawa Tengah. [Tesis]. Bandung: ITB. Affandi, M. dan Ni'matuzahroh. 2000. Perubahan suksesif biota dekomposer dalam proses dekomposisi serasah mangrove. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 1 (1): 33-44. Affandi, M., Ni'matuzahroh, dan A. Suprianto. 2001. Diversitas dan visualisissi karakter jamur yang bersosiasi dengan proses degradasi serasah di lingkungan mangrove. Jurnal Penelitian Medika Eksakta 2 (1): 40-53. Bakosurtanal. 2004. NTB Frome Space Volume 2. Bogor: Bakosurtanal Publishing. Bunyavejchewin, S. dan T. Nuyim. 2001. Litterfall production in a primary mangrove Rhizophora apiculata forest in Southern Thailand. Silvicultural Research Report: 28-38. Dinas Kehutanan NTB. 2003. Laporan Tahunan Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Mataram: Dinas Kehutanan Provinsi NTB. Dinas Perikanan NTB. 1991. Laporan Tahunan Dinas Perikanan Provinsi NTB. Mataram: Dinas Perikanan Provinsi NTB. Hutchings, P.A., and P. Saenger. 1987. Australian Wetlands. Brisbane: Queensland University Press Kavvadias, V.A., D. Alifragis, A. Tsiontsis, G. Brofas, and G. Stamatelos. 2001. Litterfall, litter accumulation and litter decompotion rates in four forest ecosystem in Notern Greece. Forest Ecology and Management. Oxford: Blackwell Scientific. Kawaroe, M. 2001. Kontribusi ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Laut 3 (3): 13-26 Moran, J.A., M.G. Barker, and P. Becker. 2000. A Comparison of the soil water, nutrien status, and litterfall characteristics of tropical heath and mixed-dopterocarp forest sites in Brunei. Biotropica 32: 2-13 Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosisitem Bakau. Jakarta: Direktotat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Pulumahuny, F. 1997. Studi Komunitas Mangrove di Teluk Kayeli, Pulau Buru, Kabupaten Maluku Tengah. [Tesis]. Makasar: Universitas Hasanudin. Rahajoe, J.S., H. Simbolon., dan T. Kohyama. 2004. Variasi musiman produksi serasah jenis-jenis dominan hutan pegunungan rendah di Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 7 (1): 65-71. Salisbury. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Bandung: ITB Press. Sediadi, A. 1991. Pengaruh hutan bakau terhadap sedimentasi di Pantai Teluk Jakarta. Prosiding Seminar IV Ekosisitem Mangrove. Jakarta, Panitia Nasional Program MAB-LIPI. Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra Selatan. P3O-LIPI: 38-44 Supriadi, I.H., dan S. Wouthuyzen. 2005. Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 38: 1-21. Triswanto, A. 1997. Tinjauan Pendekatan Ekologis dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove di Provinsi NTB. [Tesis]. Bogor: IPB. Vitousek, P.M. 1982. Nutrient cycling and nutrient use efficiency. American Naturalist 119: 53-72. Zamroni, Y. dan I. S. Rohyani. 2007. Produksi serasah hutan mangrove di perairan pantai Dusun Selindungan, Lombok Barat. Seminar Nasional Perkembangan MIPA dan Pendidikan MIPA Menuju Profesionalisme Guru dan Dosen. Universitas Mataram, Mataram, 3 November 2007.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 288-291
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Exploration and Inventory of Araceae Genera in Silui Mountain and Uluisimbone Forest, Kolaka Regency, South-East Sulawesi 1
2
BRAMANTYO TRI ADI NUGROHO1, YESSI SANTIKA2
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tabanan Bali 82191 ”Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 th
th
Received: 6 July 2008. Accepted: 11 September 2008.
ABSTRACT The island of Sulawesi has been highlighted as a globally important conservation area, across a range of evaluation criteria. Collection rates on the Sulawesi Island are the lowest among in Indonesia area. Taxonomic study also has been limited, with most experts reporting large numbers of undescribed species. The research of Araceae diversity in Sulawesi is subject which in general has not been studied critically. The main purpose of this research is concerned to inventory the diversity of Araceae genera. The exploration was conducted in each location used exploring method. The Araceae genera in Silui Mountain and Uluisimbone forest consist of 30 numbers, 24 species and 14 genera, including into 3 sub families (Aroideae, Monsteroideae and Pothoideae). Mostly Araceae were found at humid location, the river flows. Schismatoglottis calyptrata Zoll. & Mor. and Aglaonema simplex Bl. are dominant species for terrestrial Araceae, where as Scindapsus spp. and Pothoidium spp. are dominant species for climbing Araceae. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: Araceae, Silui, Uluisimbone, Sulawesi.
INTRODUCTION Indonesia is the fifth biggest country for the biodiversity richness, has more than 38.000 species and 55 percents of them are endemic (Newman et al., 1999). On the other hand, the forest damage in Indonesia attained 43 million hectares (Bappenas, 2003). The increment of deforestation for the last 4 years (1999-2002) was 2.1 million hectares per year. The deforestation in Kalimantan reached 0.94%, Java (0.42%), Papua (0.7%) and the biggest was Sulawesi, (1%) (Badan Planologi Kehutanan, 2002). Approximately of 100.000 species had been extinct and 2.5 centuries latter, approximately 25% of living will be disappeared from the earth (Rugayah et al., 2005). The decrease of this biodiversity can be done if the society yet the benefit from the conservation efforts and sustained uses from the biodiversity (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003) The island of Sulawesi has been highlighted as a globally important conservation area, across a range of evaluation criteria (Dinerstein and Wikramanayake, 1993; Olson and Dinerstein, 2002; Shi et al., 2005). This status is a result of its long history as a large oceanic island (Cannon et al., 2007), position at the biogeographic crossroads between East Asia and Australasia (Wallace, 1869), and complex geology, including the largest mafic outcrops in the world (Cannon et al., 2007). These processes have resulted in high levels of endemism, particularly of the fauna, at both the continental and local scales (Olson et al., 2001; Evans et al., 2003; Eken et al., 2004). A recent survey of plant species richness and endemism across Malesia, using
♥ Corresponding address: Jl. Kebun Raya, Desa Candikuning, Kec. Baturiti, Tabanan, Bali, 82191 Tel. & Fax.: +62-368-21273 / +62-368-21251 e-mail: bram001@lipi.go.id, bram_shearer@yahoo.com
National Herbarium of Netherlands collections data base (Roos et al., 2004), indicated that Sulawesi was intermediate for these measures. This mediocrity is actually remarkable for several reasons. Firstly, collection rates on the island are the lowest in Indonesia and taxonomic study has been limited, with most experts reporting large numbers of undescribed species (Coode, 1994; Kleijn and Donkelaar, 2001). Additionally, its historical isolation from the Sunda Shelf islands through the Quaternary Period (Voris, 2000; Cannon et al., 2007) prevented the continental enrichment experienced by Borneo, Sumatra, and Java. The research of Araceae diversity in Sulawesi is subject which in general has not been studied critically. Sulawesi is one of the important conservation areas including to genera of Araceae. The main threat to the long term survival of many Araceae is the loss and reduction inquality of their natural habitats, especially in the rain forest regions of Asia and the Malay Archipelago (Mayo et al., 1997) Members of the Araceae are highly diverse in life forms, leaf morphology, and inflorescence characteristics. Life forms range submerged or free-floating aquatics to terrestrial (sometimes tuberous), and to epiphytic or hemiepiphytic plants or climbers. Leaves range from simple and entire to compound and highly divided, and may be basal or produced from an aerial stem. The family Araceae is defined by bearing small flowers on a fleshy axis (spadix) subtended by a modified leaf (spathe). There is much variation on this theme. The family is predominantly tropical in distribution, with 90% of genera and c. 95% of species restricted to the tropics, with over 3300 species and 105 genera of herbs veins. The Araceae is one of the dominant tropical families. The Araceae is strongly supported as a monophytelic group with the inclusion of Lemnaceae (Grayum, 1990; Mayo et al., 1997; Tam et al., 2004). It also distributed mostly in sub tropic with a few reaching temperate latitudes (Leimbeck
NUGROHO and SANTIKA – Araceae in Kolaka
and Balslev, 2001). There are two major centers of species diversity, tropical Asia (with 44 indigenous genera), and tropical America (with 36 genera) (Croat, 2004). Some of them, 33 genera (75%) are endemic to the American tropics and 32 genera (89%) are endemic to Asia. Africa, a less important center of species diversity, has only 19 indigenous genera, 12 genera (63%) of them are endemic (Croat, 2004). There were 31 genera occurred in Indonesia and 20 genera with 80 species of them is widely distributed in East Indonesia such as Sulawesi, West Papua, Moluccas Island, and Lesser Sunda island (Mayo et al., 1997). The main objective of this research is concerned to inventory the diversity of Araceae genera. It can also give information about live characteristics of Araceae in the wild, and illustration for next research in Silui Mountain and Uluisimbone forest. Silui Mountain and Uluisimbone forest are a type of mountain forest which have steep slope. Based on the observation in the field, the color of soil is reddish, be found layers of limestone. Generally the soil type in north Kolaka regency is complex soil (Whitten et al., 1987). Inside of the forest of Silui mountain and Uluisimbone can be found many river flows. It has hydrological function for the villages and regions below. Based on the climate distribution according to Schmidt and Ferguson, Southeast Sulawesi has B climate type, with annual rainfall is 2.500-3.000 mm, almost without arid month (Whitten et al., 1987).
MATERIALS AND METHODS The exploration was conducted in 2 places, Silui Mountain at Silui village, Uluiwoi sub district, Kolaka regency. The other is Uluisimbone forest at Lalingato village, Tirauta sub district, Kolaka regency. The exploration was conducted on May 7-29, 2008. The exploration, in each location used “Exploring Method” (Rugayah et al., 2005). The plant materials which collected in this research include seeds, seedlings or cuttings. The plant number which taken was 5 of each collection number. The data and information about the plants in the field, such as plant species name, local name, family, abiotic environment, altitude, and number of species were recorded in the field book. The information that used to determine the location and priority of plant species to be collected based on literature studies and herbarium collections and also personal communication with experts who ever doing research activity in Sulawesi.
RESULTS AND DISCUSSIONS The diversity of Araceae Genera Silui Mountain included into 23 numbers, 18 species, and 14 genera. In Uluisimbone forest can be identified 7 numbers, 6 species and 4 genera. Those collections belong to 3 sub families (Aroideae, Monsteroideae and Pothoideae), table 1. Each collections of Araceae have not identified completely yet up to species level because the plants have not bloomed yet when be taken in the wild. The Araceae species can be found easily are Schismatoglottis calyptrata Zoll. & Mor. and Aglaonema simplex Bl. These species can be found in Silui Mountain and Ulusimbone forest which have many river flows. These species usually grow at tropical humid forest, terrestrial on humid forest floor, limestone, and river flows (Backer and
289
Bakhuizen, 1965; Mayo et al., 1997; Tsukaya et al., 2004). S. calyptrata generally grows in lowland and lower mountain rain forest (Hay, 1996). Table 1. The Araceae collections from Silui Mountain and Uluisimbone Forest, Kolaka Regency. Name
Sub Family
Aglaonema simplex Bl. Alocasia sp. Amorphophallus plicatus Bok & H.J.Lam. Amorphophallus sp. Amydrium sp. Anadendrum montanum Schott Anadendrum montanum Schott Epipremnum nobile Engl. Homalomena sp. Homalomena sp 1 Homalomena sp 2 Pothoidium lobbianum Schott Pothoidium sp Pothos junghuhnii De Vriese. Rhaphidopora celebica K.Krause Schismatoglottis calyptrata Zoll.&Mor. Schismatoglottis sp 1 Schismatoglottis sp. Scindapsus sp 1 Scindapsus sp 2 Scindapsus sp. Spathiphyllum commutatum Schott Typhonium roxburghii Baker
Aroideae Aroideae Aroideae
Scindapsus sp 3 Homalomena sp 3 Homalomena sp 4 Homalomena sp 5 Spathiphyllum sp Alocasia sp 1 Homalomena sp 6
Aroideae Monsteroideae Monsteroideae Monsteroideae Monsteroideae Aroideae Aroideae Aroideae Pothoideae Pothoideae Pothoideae Monsteroideae
Origin
Silui Mountain, at Silui village, Uluiwoi sub district, Kolaka regency
Aroideae Aroideae Aroideae Monsteroideae Monsteroideae Monsteroideae Monsteroideae Aroideae Monsteroideae Monsteroideae Aroideae Aroideae Monsteroideae Aroideae Aroideae
Uluisimbone forest at Lalingato village, Tirauta sub district, Kolaka regency
In Silui Mountain, S. calyptrata becomes dominant plant of Araceae species. It usually grows along the river flow or the wall of the river and waterfall r. The growth of Araceae is dependent on abundant available water and prevailing atmospheric humidity. They are not well adapted structurally and physiologically for growth in arid or cold conditions. Hence here, they do not occur in the most extreme environments. Araceae are most diverse and abundant in the humid tropics and it is there that richest variety of their life forms is found (Mayo et al., 1997) In Ulisimbone forest, A. simplex becomes dominant species in the undergrowth of the forest and only found in lowland forest, no more than 200 m above sea level (asl). This species can grow in primary, secondary and teak forest, shady and humid location, and limestone. In Seram, the density of A. simplex is 680 plants/ha (Backer and Bakhuizen, 1965; Setyowati, 2003). Climbing Araceae species that easily found in Silui Mountain and Uluisimbone forest is Scindapsus genera. This species usually climbs in the tree with mid light intensity and not be found at more than 700 m asl altitude. The Scindapsus genera occurs in tropical humid forest or dry, deciduous or evergreen forest, lowland and lower mountain, as climbing hemiepiphyte (Darmakusuma, 2003; Mayo et al., 1997). Pothoidium is also dominates for climbing Araceae, especially in Silui mountain. They can be
290
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 288-291
found in tropical humid forest as climbing hemiepiphyte (Mayo et al., 1997). The entire Araceae collections were found below of 700 m asl altitude. The very few genera of Araceae were found at high altitudes exist in a warm temperate climatic regime and are also geophytic. The species can be found at high altitudes are Gorgonidium, (c. 3000 m asl), Arisaema ruwenzoricum (occurs at up to 3000 m asl), and A. flavum, A. jacquemontii, A. lobatum (at 4400-4500 m asl) (Mayo et al., 1997). Some species have been identified and become dominant species are: Aglaonema simplex Bl. Synonyms: Aglaonema angustifolium N.E.Br., Aglaonema latius Aldrew. An erect herb up to 120 cm tall; leaves obtuse, rounded or subtruncate at base, not variegated, margin of petiole usually with a membranous margin; peduncle 2-6 cm, fruiting ones up to 11 cm. Stalk of the spadix 0.5-1 cm, after anthesis slightly elongate; spadix erect, 2.5-4 cm. Fruit ellipsoid, obtuse, crowned by persistent stigma, ripe 1.51.75 cm, orange to red; pericarp thin; well developed fruits in each spadix 2 to many; staminodes with a roundish upper surface (Backer and Bakhuizen, 1965; Setyowati, 2003). Schismatoglottis calyptrata Zoll. & Mor. Peduncle (5-)10-17 cm; spathe when still enrolled constricted distinctly below the middle, 8-11 cm the part enclosing the male flowers narrowly lanceolate, acuminate, 5.75 cm long, 0.75 cm diameter, yellow. Leaves elongateovate-triangular in outline from a contracted base, with subpatent basal lobes 1.5-4.5 cm long, 3.5-9 cm broad, green, rarely maculate or flushed with reddish brown beneath, 11-33 cm by 7.5-24 cm; petiole slenderish to rather stout, 12-56 cm; superterranean stem-part elongate, 1.5-1.75 cm diameter (Backer and Bakhuizen, 1965). Spathiphyllum commutatum Schott Evergreen herbs usually with short, erect to creeping stem. Spathe at first white on both sides, at last becoming entirely green, narrowly ovate, with decurrent base, acutely acuminate, 15-20 cm by 6-8 cm; ovary cells containing more than 2 ovules; peduncle 60-70 cm or longer; spadix cylindric, obtuse, white and afterwards becoming greenish, 3,5-10 cm; stalk of the spadix 2,5-4 cm; stigma flat; berry white, c. 2 mm; seeds c. 1.5 cm. Leaves broadly elliptic oblong, with acutely decurrent base, shortly acutely acuminate, with numerous side nerves, widely cancellateveined on lower surface, rather thin when dry, 36-45 cm by 17-26 cm; petiole 45-50 cm, about as long as leaf blade; sheath extending upwards to far beyond the middle of the petiole (Backer and Bakhuizen, 1965). Amorphophallus spp. Seasonally dormant (sometimes irregularly so) or rarely semi-evergreen herbs, often large, sometimes gigantic, tuber usually depressed-globose, sometimes irregularly elongate-cylindric, rarely rhizomatous or stoloniferous. Leaves usually solitary (rarely 2-3) in adult plants, sometimes 2-3 in seedlings. Petiole long, degree of asperity similar to the peduncle, usually smooth, sometimes very thick, usually conspicuously spotted and marked in a variety of patterns, sheath very short. Blade dracontioide. Inflorescence always solitary, preceded by cataphylls, usually flowering without leaves, rarely with the leaves. Peduncle is very short to long, similar to petiole. Spathe
variously colored, marcescent and finally deciduous. Seed ellipsoid, testa smooth, thin, endosperm absent (Backer and Bakhuizen, 1965). Scindapsus spp. Evergreen climbing herbs, sometimes very robust, sometimes producing flagelliform shoots. Leaves spirally arranged, undivided, pinnately nerved, with very numerous, parallel, thin lateral nerves, juvenile plants often of single form. Petiole geniculate apically, sheath usually broad, rarely decomposing to form persistent net-fibrous mass with abundant, stinging sclereids. Blade always entire, lanceolate, elliptic or ovate to obovate, acuminate. Inflorescence always solitary. Peduncle shorter than petiole. Spathe boat-shaped, gaping only slightly, caduceus to deciduous. Spadix sessile to shortly stipitate, cylindric. Stamens 4, free, filaments oblong, flattened, broadish, connective slender. Pollen fully zonate. Seed rounded, subreniform, compressed, testa thickish, endosperm presents (Backer and Bakhuizen, 1965). Pothoidium spp. Climbing herbs, stems somewhat woody, flowering branches free and hanging. Leaves distichous. Petiole oblong, entirely flattened, resembling blade, venation parallel. Blade much shorter than petiole, triangularlanceolate, midrib absent, no primary veins differentiated, veins parallel, running into apex. Inflorescence borne in the terminal branching system, lower inflorescence axillary to a foliage leaf. Peduncle slender, composed of one to several internodes. Spathe occurrence irregular, often absent, linear-lanceolate, widely spreading. Spadix apparently often functionally unisexual, cylindric. Flowers apparently usually unisexual, sometimes bisexual, perigoniate, male flowers with well developed anthers and apparently sterile ovary, female flowers with large fertile ovary and lacking stamens, tepals 6, fornicate. Stamens 3-6 free. Seed ellipsoid, testa smooth, endosperm absent (Mayo et al., 1997).
CONCLUSION The Araceae genera in Silui Mountain and Uluisimbone forest consist of 30 numbers, 24 species and 14 genera, included to 3 sub families (Aroideae, Monsteroideae and Pothoideae). The most Araceae were found at humid location along the river flows. Schismatoglottis calyptrata and Aglaonema simplex are dominant species for terrestrial Araceae, where as Scindapsus spp and Pothoidium spp are dominant species for climbing Araceae.
ACKNOLEDGEMENTS This expedition was largely supported and funded by Herbarium Bogoriense, Research Center of Biology, Indonesian Institute of Sciences and New England Tropical Conservatory, as part of their research of Sulawesi plant species. My greatest debt to Dr. Harry Wiriadinata, who professionalism, patience and guidance to recognize and collect the plants in the wild and also for all his knowledge sharing during the expedition. I am very grateful to Mustaid Siregar, the director of Bali Botanic Garden for the supports in this expedition. I would also like to thank to the researcher members of the Herbarium Bogoriense for their
NUGROHO and SANTIKA – Araceae in Kolaka
expertise, knowledge and essential support: Arief Hidayat, Deden Girmansyah, Ina, and Abdulrokhman.
REFERENCES Backer, C.A and R.C. Bakhuizen. 1965. Flora of Java, Vol. III. Leyden: The Rijksherbarium. Badan Planologi Kehutanan. 2002. Statistik Badan Planologi Kehutanan Tahun 2001. Jakarta. Departemen Kehutanan. Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. IBSAP. Dokumen Nasional. Jakarta: Bappenas. Cannon, C.H., M. Summers, J.R. Harting, and P.J.A. Kessler. 2007. Developing conservation priorities based on forest type, condition, and threats in a poorly known ecoregion: Sulawesi, Indonesia. BIOTROPICA 39 (6): 747-759. Coode, M. J. E. 1994. Elaeocarpus in the flora Malesiana area—E. kraengensis and ten new species from Sulawesi. Kew Bulletin 50: 267293. Croat, T.B. 2004. History and Current Status of Systematic Research with Araceae. http://www.aroid.org/literature /croat /croat_araceae_history04. pdf Darmakusuma, D. 2003. Scindapsus hederacens Schott. In: Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.): Plant Resources of SouthEast Asia No. 12(3). Medicinal and Poisonous Plants 3. Bogor: Prosea Foundation. Dinerstein, E. and E.D. Wikramanayake. 1993. Beyond hotspots—how to prioritize investments to conserve biodiversity in the Indo-Pacific region. Conservation Biology 7: 53-65. Eken, G., l. Bennun, T. M. Brooks, W. Darwall, l. D. C. Fishpool, M. Foster, D. Knox, P. Langhammer, P. Matiku, E. Radford, P. Salaman, W. Sechrest, M. L. Smith, S. Spector, and A. Tordoff. 2004. Key biodiversity areas as site conservation targets. Bioscience. 54: 1110-1118. Evans, B. J., J. Supriatna, N. Andayani, M. I. Setiadi, D. C. Cannatella, and D. J.Melnick. 2003. Monkeys and toads define areas of endemism on sulawesi. Evolution. 57: 1436-1443. Grayum, M.H. 1990. Evolution and phylogeny of the Araceae. Annals of the Missouri Botanical Garden. 77: 628-697. Hay, A. 1996. The Genus Schismatoglottis Zoll. & Moritzi (Araceae: Schismatoglottideae) in Peninsular Malaysia and Singapore. Sandakania 7: 1-30. Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
291
Kleijn, D., and R. Van Donkelaar. 2001. Notes on the taxonomy and ecology of the genus Hoya (Asclepiadaceae) in Central Sulawesi. Blumea. 46: 457- 483. Leimbeck. R.M., and H. Balslev. 2001. Species richness and abundance of epiphytic Araceae on adjacent floodplain and upland forest in Amazonian Ecuador. Biodiversity and Conservation. 10: 1579-1593. Mayo, J.S., J. Bogner, and P.C. Boyce. 1997. The Genera of Araceae. London: The European Union and Royal Botanic Gardens, Kew. Newman. M.F., P.F. Burgess, and T.C. Whitmore. 1999. Pedoman identifikasi pohon-pohon Dipterocarpaceae Jawa sampai Niugini. In: Sutarno, H. and A. Kartikasari (eds.). Bogor: Yayasan Prosea. Olson, D.M., and E. Dinerstein. 2002. The global 200: Priority ecoregions for global conservation. Annals of the Missouri Botanical Garden. 89: 199224. Olson, D.M., E. Dinerstein, E.D. Wikramanayake, N.D. Burgess, G.V.N. Powell, E. C. Underwood, J. A. D’amico, I. Itoua, H. E. Strand, J. C. Morrison, C. J. Loucks, T. F. Allnutt, T. H. Ricketts, Y. Kura, J. F. Lamoreux, W. W. Wettengel, P. Hedao, and K. R. Kassem. 2001. Terrestrial ecoregions of the worlds: a new map of life on earth. Bioscience 51: 933-938. Roos, M.C., P.J. Kessler, S. R. Gradstein, and P. Baas. 2004. Species diversity and endemism of five major Malesian islands: diversity-area relationships. Journal of Biogeography. 31: 1893-1908. Rugayah, E.A. Widjaja, and Praptiwi. 2005. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Setyowati, F.M. 2003. Aglaonema simplex Blume. In: Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.): Plant Resources of South-East Asia No. 12 (3). Medicinal and Poisonous Plants 3. Bogor: Prosea. Shi, H., A. Singh, S. Kant, Z. L. Zhu, and E. Waller. 2005. Integrating habitat status, human population pressure, and protection status into biodiversity conservation priority setting. Conservation Biology 19: 12731285. Tam, S.H., P.C. Boyce, T.M. Upson, D.Barabe, A. Bruneau, F. Forest and J.S. Parker. 2004. Intergeneric and inframilial phylogeny of subfamily Monsteroideae (Araceae) revealed by chloroplast trnL-F squences. American Journal of Botany. 91(3): 490-498. Tsukaya, H., H. Okada, and M. Mohamed. 2004. A novel feature of structural variegation in leaves of the tropical plant Schismatoglottis calyptrata. Journal of Plant Research. 117: 477-480. Voris, H. K. 2000. Maps of pleistocene sea levels in Southeast Asia: shorelines, river systems and time durations. Journal of Biogeography. 27: 1153-1167. Wallace, A.R. 1869. The Malay Archipelago. New York: Harper and Brothers. Whitten, A.J., M. Mustafa, and G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 292-295
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Penyerbukan Buatan pada Acung (Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R.) Artificial pollination in acung (Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R.) MADE SRI PRANA♼ Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911. Diterima: 27 Agustus 2008. Disetujui: 15 September 2008.
ABSTRACT A study was conducted on artificial pollination, both self and cross pollinations, of Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R. planted in a house yard in Bogor. It was observed that no fruit set was resulted from self pollination. On the other hand cross pollination successfully produced numerous fruits. It was suggested that phenomena was due to protogenic character rather than self incompatibility mechanism of the species. The stigmas mature 1-2 days earlier than the anthers (pollen shedding). Such a case was also reported earlier by other authors in A. titanium Becc. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: acung, Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R., pollination, fertilization, fruit, seed.
PENDAHULUAN Ubi-ubian merupakan salah satu kekayaan sumberdaya nabati Indonesia yang sangat potensial untuk dikembangkan terutama dalam upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sejauh ini perhatian yang diberikan pemerintah, termasuk para peneliti, baru menyentuh kelompok ubi-ubian yang tergolong utama (major root crops), seperti ubi kayu dan ubi jalar. Padahal kedua jenis ini tergolong tanaman pendatang. Jenis-jenis ubi-ubian yang benar-benar asli Indonesia relatif masih terabaikan. Kelompok iles-iles (Amorphophallus spp.) adalah satu diantaranya. Yuzammi dan Hay (1998) memperkirakan lebih dari 100 jenis yang termasuk ke dalam marga ini, sedangkan sumber lain (Anonim, 2008) menyebutkan jumlahnya 170 jenis. Purseglove (1972) hanya mengulas secara singkat dua jenis Amorphophallus dari Indonesia, yaitu A. titanium Becc. dan A. campanulatus (Roxb) Blume, meskipun hanya A. campanulatus yang benar-benar dapat dianggap jenis budidaya. Dari enam jenis Amorphophallus yang ditemukan di Jawa (Backer dan Backhuizen v.d. Brink, 1968) hanya tiga jenis yang diketahui telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan sumber karbohidrat (glucomannan), yaitu A. phaeoniifolius (sinonim A. campanulatus), A. blumei (sinonim A. muelleri) dan A. variabilis (Flach dan Rumawas, 1996), sedangkan yang lainnya belum dimanfaatkan secara luas karena daerah sebarannya terbatas dan populasinya juga tidak besar. Acung atau bunga bangkai jangkung (A. decus-silvae Back. & v.A.v.R.) barangkali merupakan contoh tepat dari
♼ Alamat korespondensi: Jl. Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588 e-mail: msprana_bio@yahoo.com
kelompok ini. Jenis ini pertama kali dilaporkan ada di Pulau Nusakambangan (Backer dan Backhuizen v.d. Brink, 1968), penulis menemukannya di Leuweng Sancang, Garut selatan. Jenis ini adalah satu dari 6 jenis Amorphophallus yang ada di Jawa (Widjaja, 1980). Berdasarkan pengamatan penulis terhadap spesimen koleksi Herbarium Bogoriense (BO), A. decus-silvae juga ditemukan di Sukabumi, Jawa Barat (dikumpulkan oleh J.H.N. Wiersma, 24 Juni 1938), Rimbo Panti, Sumatera Barat (J. Dransfield, 19 Maret 1974), dan Rinondoran, Minahasa, Sulawesi Utara (Mansur, Nopember 1994). Catatan lain menunjukkan kehadiran jenis ini di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Supriatna, 2008) dan Taman Nasional Kerinci Seblat (Departemen Kehutanan, 2002), namun populasinya di alam semakin terkikis karena berbagai faktor, terutama akibat degradasi habitat. Jenis ini termasuk dalam daftar jenis yang dilindungi (Lampiran PP RI No. 7/1999). Berbeda dengan beberapa kerabatnya, seperti suweg raksasa (A. titanium), suweg (A. phaeoniifolius), cocooan oray (A. variabilis), dan iles-iles (A. muelleri), yang relatif sudah lebih banyak mendapatkan perhatian (Widjaja dan Lester, 1987; Roemantyo, 1991; Rosman dan Rusli, 1991; Suhirman dan Savitri, 1995) pemahaman masyarakat tentang acung (A. decus-silvae) masih sangat terbatas. Setelah pertelaannya yang dimuat dalam Flora of Java (Backer dan Backhuizen v.d. Brink, 1968) tidak banyak lagi informasi tertulis, terutama hasil penelitian, yang diterbitkan baik di dalam maupun di luar negeri. Informasi yang ada (Hegnauer, 1963) antara lain menyebutkan bahwa kandungan glucomannan pada umbinya 9%, lebih tinggi daripada A. campanulatus/A. phaeniifolius (5%), namun lebih rendah daripada A. muelleri (14%). Aspek biologi pembungaan acung belum banyak diungkapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek penyerbukan dan pembentukan buah pada A. decus-silvae sebagai upaya untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang jenis langka ini.
PRANA – Penyerbukan buatan pada Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R.
293
BAHAN DAN METODE
HASIL DAN PEMBAHASAN
Umbi A. decus-silvae diperoleh pada tahun 2005 dari Leuweng Sancang, Garut selatan, Jawa Barat, diambil dari tanaman yang pada saat itu sedang dalam fase vegetatif, tingginya sekitar 2 m dengan berat umbi 3,8 kg. Umbi ini dibelah-belah menjadi 6 bagian. Setelah luka-luka bekas irisan dilumuri fungisida dan dikeringanginkan selama tiga hari, masing-masing potongan ditanam dalam pot berukuran diameter 20 cm berisi media tanah dicampur kompos dengan perbandingan 1 : 1. Tahun berikutnya (2006) hanya tiga umbi yang bertahan hidup, tetapi dengan bentuk yang tidak beraturan kemungkinan karena serangan hama nematoda yang memang biasa menyerang umbi dari marga ini. Ketiga umbi tersebut dipindahkan ke lahan pekarangan di Bogor dan ditanam dalam lubang berukuran 3 sekitar 20x20x20 cm . Ketika tumbuh membentuk rumpun masing-masing dengan 3, 5 dan 6 tanaman yang tingginya bervariasi antara 100-140 cm. Sekitar bulan Oktober 2007 kuncup-kuncup perbungaan mulai muncul. Rumpun pertama menghasilkan dua perbungaan (inflorescence), rumpun kedua yang tumbuh paling subur menghasilkan 4 perbungaan, sedangkan rumpun ketiga yang tumbuhnya paling terbelakang (kurus) sama sekali tidak/belum berbunga. Setelah perbungaan mekar dan putik serta kepala sarinya masak, dilakukan upaya penyerbukan, baik secara serumah (serbuk sari digunakan untuk menyerbuki putik dari perbungaan yang sama) maupun silang (serbuk sari dari perbungaan yang lain). Proses penyerbukan dilakukan dengan menggunakan kuas halus. Penyerbukan serumah dilakukan pada dua perbungaan dari rumpun I dan satu perbungaan dari rumpun II yang mekar paling awal. Penyerbukan silang dilakukan pada tiga perbungaan lainnya dari rumpun II. Pengaturan penyerbukan silang dilakukan sesuai ilustrasi pada Tabel 1. Untuk mencegah terjadinya persilangan secara alami, maka segera setelah dilakukan penyerbukan, kedua perbungaan diisolasi dengan kain kasa tipis. Ketika perbungaan pertama dari rumpun II mekar dan setelah kepala sari masak (2 hari sesudahnya) penyerbukan serumah dilakukan pada perbungaan ini. Sebagian serbuk sari dari perbungaan ini digunakan untuk menyerbuki perbungaan kedua dari rumpun yang sama. Serbuk sari dari perbungaan kedua digunakan untuk menyerbuki putik dari perbungaan ketiga dan serbuk sari dari perbungaan ketiga digunakan untuk menyerbuki perbungaan keempat yang mekar 1-2 hari berikutnya. Perkembangan perbungaan setelah penyerbukan diikuti dan dicatat sebagaimana mestinya. Setelah buah masak, lalu dipetik dan dicatat jumlah buah serta biji yang dihasilkan.
Tumbuhan berumpun Amorphophallus spp. yang tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur dan berbatu akan mengalami perkembangan tanaman dan umbi tidak optimal. Umbi yang relatif kecil-kecil itulah yang kemudian tumbuh membentuk beberapa perbungaan yang tumbuh berdekatan. Akibatnya ukuran perbungaan yang dihasilkan juga kurang maksimal, tangkainya pendek-pendek (1,351,55 m) begitu pula perbungaannya. Dalam kondisi normal umbi Amorphophallus spp. cukup besar (2 kg atau lebih), tinggi tanaman mencapai 1,5 m atau lebih sehingga perbungaan yang terbentuk dapat mencapai 3 m. Kondisi pertumbuhan pembungaan yang tidak optimal seperti itu (tinggi sekitar 1,60 m) juga pernah terjadi pada koleksi A. decus-silvae milik Kebun Raya Bogor yang ditanam dalam pot. Selain itu warna perbungaan serta bagian-bagiannya pada Amorphophallus spp. juga sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya, terutama terkait dengan intensitas sinar matahari. Kasus seperti itu juga dapat terjadi pada A. decus-silvae. Hasil pengamatan A. decus-silvae menunjukkan bahwa menjelang perbungaan mekar (anthesis) sebenarnya putik sudah dalam keadaan reseptif (masak lebih dahulu), ditandai dengan kondisi kepala putik yang basah oleh lendir sehingga agak lengket. Ketika perbungaan mekar, yang ditandai dengan keluarnya aroma menyengat mirip bau bangkai, kepala sari menyusul masak dan melepaskan serbuk sari dalam jumlah banyak. Perbedaan waktu masaknya putik dan kepala sari berkisar 1-2 hari. Fenomena masaknya putik yang mendahului masaknya kepala sari ini lazim disebut sebagai protogeni. Dalam banyak kasus, pada jenis yang sama, waktu antara masaknya kepala putik dan masaknya kepala sari (lepasnya serbuk sari) tidak selalu berbeda jauh melainkan dapat juga tumpang tindih. Dalam keadaan seperti itu maka penyerbukan serumah/sendiri dimungkinkan terjadi. Dengan kata lain ada kalanya penyerbukan sendiri lebih berpeluang dan ada saatnya penyerbukan silang yang lebih dimungkinkan (Proctor, 1975). Penetapan untuk melakukan penyerbukan serumah pada perbungaan dari rumpun I didasarkan pada kenyataan bahwa kedua perbungaan dari rumpun ini mekar lebih dahulu dibandingkan dengan rumpun perbungaan pada rumpun II. Penyerbukan silang mudah dilakukan pada perbungaan dari rumpun II karena secara kebetulan empat perbungaan yang dihasilkan mekar secara berurutan dengan selang waktu 1-2 hari. Terbukti pula bahwa semua percobaan penyerbukan serumah, baik pada kedua perbungaan dari rumpun I maupun satu perbungaan dari rumpun II gagal membentuk buah. Hal ini ditandai dengan perbungaan yang secara berangsur-angsur layu diiringi dengan perubahan warna dari kehijauan, menguning, agak coklat, dan akhirnya seluruh struktur perbungaan rebah. Semua perbungaan yang dikawinkan melalui penyerbukan silang (serbuk sari dari perbungaan yang lain) berhasil membentuk buah. Selintas terkesan bahwa gagalnya pembentukan buah pada dua perbungaan dari rumpun I dan satu perbungaan dari rumpun II disebabkan oleh faktor inkompatibilitas (self incompatibility), namun keberhasilan tiga perbungaan lainnya yang diserbuki secara silang untuk membentuk buah secara tegas telah meruntuhkan dugaan tersebut. Kalau penyebab kegagalan terbentuknya buah itu adalah karena self incompatibility, maka seluruh penyerbukan silang juga pasti gagal membentuk buah, mengingat kedua rumpun yang diteliti, dan seluruh perbungaan yang dihasil-
Tabel 1. Pengaturan pasangan pada percobaan penyerbukan
Rumpun/ perbungaan
Penyerbukan Serumah, Silang, dengan serbuk dengan serbuk sari dari: sari dari:
Rumpun no. 1 •
Perbungaan 1 (A1)
A1
•
Perbungaan 2 (A2)
A2
Rumpun no. 2 •
Perbungaan 1 (B1)
•
Perbungaan 2 (B2)
B1
•
Perbungaan 3 (B3)
B2
•
Perbungaan 4 (B4)
B3
B1
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 292-295
294
3
2
1
A
B
C
D
E
Gambar 1. Perbungaan, buah dan biji A. decus-silvae. A. Perbungaan, B. Tongkol: 1. Bagian tongkol dengan bunga-bunga betina 2. Bagian tongkol yang steril dan 3. Bagian tongkol dengan bunga-bunga jantan. Buah menjelang matang, D. Buah matang penuh, E. Buah dengan 1, 2, dan 3 biji.
kan, secara genetik adalah identik, karena semuanya berasal dari satu umbi induk yang sama yang diperbanyak secara vegetatif (klonal). Buah-buah yang dihasilkan berkembang secara bertahap. Awalnya kecil-kecil berwarna hijau muda, kemudian menjadi hijau tua seiring dengan bertambahnya umur dan ukuran buah. Ketika buah-buah sudah mencapai ukuran optimal warnanya berubah menjadi hijau kekuningan, kuning, oranye kekuningan, dan akhirnya menjadi merah oranye ketika buah sudah matang penuh. Perkembangan morfologis dari perbungaan sebelum penyerbukan dilakukan sampai terbentuknya buah dan buah menjadi matang penuh diperlihatkan pada Gambar 1. Pengamatan lebih mendalam pada buah yang dihasilkan menunjukkan adanya variasi jumlah biji per buah. Ada buah yang berisi 1, 2 atau 3 biji (Gambar 1E). Seandainya self incompatibility ini merupakan sifat umum pada A. decus-silvae, maka tentunya di alam buah baru dapat terbentuk apabila pada setiap musim berbunga ada lebih dari satu perbungaan yang tumbuh berdekatan, dengan selang waktu mekar 1-2 hari dan di lokasi yang sama harus ada banyak serangga penyerbuk (pollinators) yang berperan secara efektif. Menurut data Kebun Raya Bogor, dari 5 nomer tanaman koleksi A. decus- silvae yang ada, satu diantaranya, yaitu No. XII.B.III.140, tercatat cukup sering berbunga (Tabel 3). Hal tersebut tidak secara khusus dicatat dalam laporan pengamatan berapa perbungaan yang terbentuk pada saat pengamatan dilakukan. Pengamatan juga hanya dilakukan sewaktu (saat tertentu) karena perkembangan perbungaan tidak diikuti sehingga data yang ada tidak cukup informatif. Indikator adanya kuncup sedikit pada pengamatan tanggal 29 Juni 2000 pastilah mencerminkan jumlah perbungaan yang ada pada waktu pencatatan dilakukan dan bukannya jumlah bunga (individual flower). Dengan kata lain, serupa halnya dengan obyek penelitian ini, tanaman A. decus-silvae Kebun Raya dengan nomer koleksi tersebut di atas tumbuhnya kemungkinan besar juga membentuk rumpun sehingga kemudian menghasilkan beberapa perbungaan. Pembentukan rumpun ini biasanya
didahului oleh fraksinasi umbi (terbelahnya umbi utama menjadi beberapa bagian) yang kemungkinan disebabkan oleh gangguan hama atau pembentukan umbi-umbi samping (kernels). Tabel 3. Data hasil pengamatan pembungaan dan pembuahan koleksi A. decus-silvae No. XII.B.III.140. di Kebun Raya Bogor. Tanggal pengamatan 29-06-2000 13-05-2002 09-04-2004 14-08-2006 14-06-2007
Kuncup
Buah muda
Buah masak
Banyak Banyak Banyak Banyak
Sedikit Sedikit
Sedikit
KESIMPULAN DAN SARAN Kegagalan pembentukan buah A. decus-silvae sebagai hasil dari penyerbukan serumah bukanlah disebabkan oleh faktor inkompatibilitas (self incompatibility) yang biasanya dikendalikan oleh faktor genetik. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya buah-buah yang sempurna dari hasil penyerbukan “silang�. Padahal kedua rumpun Amorphophallus yang digunakan dalam percobaan ini secara genetik memiliki genotipe yang sama karena berasal dari satu umbi yang diperbanyak secara vegetatif (klonal). Kegagalan tersebut disebabkan oleh sifat protogeni, yaitu putik masak lebih dahulu (1-2 hari) daripada serbuk sari, sehingga ketika serbuk sari masak dan siap menyerbuki putik, putik sudah melewati masa reseptifnya (kepala putik sudah tidak segar dan tidak reseptif lagi). Hasil percobaan ini membuka peluang dilakukannya pemuliaan A. decus-silvae termasuk dengan memanfaatkan sumberdaya genetika (plasma nutfah) dari jenis-jenis Amorphophallus lainnya. Untuk mengatasi masalah yang timbul sebagai akibat dari sifat protogeni disarankan untuk menanam tanaman induk dalam jumlah rumpun yang lebih banyak. Semakin banyak tanaman induk semakin banyak
PRANA – Penyerbukan buatan pada Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R.
perbungaan yang dapat tumbuh, sehingga proses penyilangan akan semakin leluasa dilakukan. Selain itu disarankan pula agar pengamatan mengenai pembungaan dan pembuahan koleksi jenis ini di Kebun Raya Bogor dapat dilakukan secara lebih cermat sehingga data yang diperoleh akan lebih bermakna.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2008. Amorphophallus. www.zipcodezoo.com Backer, C.A and R.C. Backhuizen v.d. Brink, Jr. 1968. Flora of Java, Vol. III. Groningen: Wolters-Noordhoff N.V. Dephut. 2002. Data dan Informasi Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan. Jakarta: Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan Flach, M. and F. Rumawas. 1996. Amorphophallus Blume ex Decaisne. In: Jansen, P.C.M., C. van der Wilk and W.L.A. Hetterscheid (eds.). Plant resources of South East Asia: 9. Plant Yielding Non-seed Carbohydrates. Leiden: Backhuis Publisher.
295
Hegnauer, R. 1963. Chemotaxonomie der Pflanzen. Band 2. Monocotyledonae. Basel: Berkhäuser Verlag,. Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tanggal 27 Januari 1999, tentang: Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi Proctor, M. 1975. The Pollination of Flowers. London: Collins. Purseglove, J.W. 1972. Tropical Crops Monocotyledons. London: Longman Group Limited. Roemantyo. 1991. Konservasi ex-situ Amorphophallus titanium Becc. di Kenun Raya Bogor. Buletin Kebun Raya Indonesia 7 (2): 45-51. Rosman, R. dan S. Rusli. 1991. Tanaman Iles-iles. LITTRO (edisi khusus) 7 (2): 7-26. Suhirman, S. dan T.H. Savitri. 1995. Penanganan Pasca Panen Amorphophallus spp. Medkom Litbangiri 15: 18-22. Supriatna, J.. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Widjaja, E. dan R.N. Lester. 1987. Morphological, anatomical and chemical analyses of Amorphophallus phaeoniiflolius and related taxa. Reinwardtia 10 (3): 271-280. Widjaja, E.A. 1980. Penelitian Morfologi Marga Amorphophallus di Jawa. [Laporan Teknis 1979/1980]. Bogor: Lembaga Biologi Nasional, LIPI. Yuzammi and A. Hay. 1998. Alocasia flemingiana Yuzammi & A. Hay, sp. nov. In Hay, A. The genus Alocasia (Araceae Colocasieae) in West Malesia and Sulawesi. Gardens' Bulletin Singapore 50: 292-297.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 296-300
Komposisi dan Model Kemelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai Ciliwung, Jakarta Composition and abundance model of phytoplankton in water of Ciliwung River, Jakarta MELATI FERIANITA-FACHRUL♥, SETIJATI HARTINAH EDIYONO, MONIKA WULANDARI JurusanTeknik Lingkungan, Universitas Trisakti (USAKTI), Jakarta 11440 Diterima: 16 Juni 2008. Disetujui: 18 Agustus 2008.
ABSTRACT The research was conducted in Ciliwung River, from Bogor until Jakarta. The aims of this research were to (i) identify the species of phytoplankton were occupied in the Ciliwung River and (ii) determine the river ecosytem condition using ecological modeling by composition and distribution of abundance model. This research was conducted in two period sampling which on July 2005 (1st period) and August 2005 (2nd period). The river ecosystem was devided into three segments, which covered 10 stations, namely: Cisarua, Gadog, Kedung Halang (Segment I), Kelapa Dua, Kalibata, Kampung Melayu, Guntur (Segment II), Pejompongan, K.H. Mas Mansyur, and Teluk Gong (Segment III). The result on the first period obtained 4 divisions that consist of 41 species, such as 12 species from Cyanophyta, 25 species from Chlorophyta, 4 species from Chrysophyta and 1 species from Euglenophyta. Thus, from the second period, obtained 4 divisions that consist of 45 species, such as 8 species from Cyanophyta, 28 species from Chlorophyta, 5 species from Chrysophyta and 4 species from Euglenophyta. The result of analysis on phytoplankton abundance distribution showed that, both on first and second periods an appropriate model is Motomura Model. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: composition, abundance model, phytoplankton, Ciliwung River.
PENDAHULUAN Lingkungan perairan sungai terdiri dari komponen abiotik dan biotik (algal flora) yang saling berinteraksi melalui arus energi dan daur hara (nutrien). Bila interaksi ke duanya terganggu, maka akan terjadi perubahan atau gangguan yang menyebabkan ekosistem perairan itu menjadi tidak seimbang (Soylu dan Gönülol, 2003). Seperti halnya Sungai Ciliwung yang lahan di sekitar bantaran sungainya telah dimanfaatkan untuk permukiman dan aktivitas lainnya yaitu pertanian, industri, perkantoran dan perdagangan. Kegiatan pada lahan tersebut pada umumnya mengeluarkan limbah dan menghasilkan sampah yang langsung dibuang ke dalam perairan sungai sehingga masuknya sumber-sumber pencemar tersebut menyebabkan penurunan kualitas perairan (Hendrawan dkk., 2004). Buangan tersebut pada umumnya mengandung zat-zat yang bersifat racun yang menyebabkan deoksigenasi, naiknya temperatur, serta meningkatnya padatan tersuspensi, terlarut dan partikulat bahan organik. Masuknya limbah ke dalam perairan akan mengubah kondisi ekologi perairan dan komunitas di dalamnya (Stoddard dkk., 2003; Bledsoe dkk., 2004; Tuvikene dkk., 2005). Salah satu biota alga yaitu fitoplankton merupakan organisme yang mempunyai peranan besar dalam ekosistem perairan dan menjadi produsen primer (Lacerda dkk., 2004). Keberadaan fitoplankton dapat dijadikan ♥ Alamat korespondensi: Kampus A USAKTI, Gd. K. Lt. 7, Jl. Kyai Tapa 1 Grogol, Jakarta 11440 Tel. +62-21-5663232 ext. 676, Fax. +62-21-5602575 email: melati@trisakti.ac.id, melatif_99@yahoo.com
sebagai bioindikator adanya perubahan lingkungan perairan yang disebabkan ketidakseimbangan suatu ekosistem akibat pencemaran (Oxborough dan Baker, 1997; Ekwu dan Sikoki, 2006). Analisis struktur, kemelimpahan dan model distribusi kemelimpahan fitoplankton juga dapat memberikan gambaran kondisi perairan Sungai Ciliwung (Fachrul, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai kondisi ekosistem perairan Sungai Ciliwung. Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengidentifikasi jenis-jenis fitoplankton yang terdapat di perairan Sungai Ciliwung sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator lingkungan perairan, (ii) menentukan tingkat pencemaran perairan Sungai Ciliwung menggunakan model-model ekologis dengan mengetahui komposisi dan model distribusi kemelimpahannya.
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2005 (periode I) dan Agustus 2005 (periode II). Lokasi penelitian di sepanjang aliran Sungai Ciliwung, mulai dari hulu di daerah Cisarua, Jawa Barat, hingga hilir/muara di Teluk Gong, DKI Jakarta. Pengambilan sampel dilakukan pada 10 stasiun, yang dibagi dalam 3 segmen, yaitu: segmen I mewakili daerah hulu (Cisarua, Gadog, Kedung Halang), segmen II mewakili daerah tengah (Kelapa Dua, Kalibata, Kampung Rambutan, Guntur), dan segmen III mewakili daerah hilir (Pejompongan, K.H. Mas Mansur, Teluk Gong) (Tabel 1, Gambar 1).
FERIANITA-FACHRUL dkk.– Fitoplankton di Sungai Ciliwung
297
mewakili bagian tengah, tepi kiri, dan tepi kanan sungai. Fitoplankton yang terkumpul pada botol konsentrat pada plankton net dipindahkan ke dalam botol sampel serta diberi bahan pengawet Lugol sebanyak ± 10 tetes (APHA, 1995). Analisis laboratorium Sampel fitoplankton kemudian dicacah menggunakan Sedgwick-Rafter Cell, yaitu berupa gelas preparat berbentuk empat persegi panjang (APHA, 1995). Jenis-jenis fitoplankton yang terdapat di perairan Sungai Ciliwung diamati dengan mikroskop dan diidentifikasi menggunakan buku dari Edmondson (1963) dan Mizuno (1978), di Laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, BRKP-DKP RI, Jakarta. Analisis data Dilakukan perhitungan kemelimpahan dan distribusi fitoplankton sebagai berikut: Kemelimpahan fitoplankton: V t N =--------x--------x F Vd Vs N = Kemelimpahan plankton (ind/mL) Vd = Volume air yang disaring (mL) Vt = Volume air dalam obyek gelas (mL) Vs = Volume air pada Sedgwick-Rafter (mL) F = Jumlah plankton yang tercacah (ind) Distribusi kemelimpahan jenis: (i) Model Motomura (Model Geometrik) Menggambarkan keadaan ekosistem dimana terjadi persaingan kuat oleh salah satu jenis tertentu, pemanfaatan sumber daya alam tidak merata, dan lingkungan sangat terganggu. Persamaan yang digunakan adalah: Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan sampel fitoplankton di Sungai Ciliwung. Tabel 1. Lokasi stasiun pengambilan sampel fitoplankton di Sungai Ciliwung. No. Segmen Lokasi stasiun
Letak geografis
1. 2. I 3. 4. 5. II 6. 7. 8. 9. III 10.
06 25’37” LS o 06 33’45,8” LS o 06 39’05,1” LS o 06 21’06,2” LS o 06 15’29,3” LS o 06 13’34,4” LS o 06 12’26,8” LS o 06 12’15” LS o 06 10’23” LS o 06 08’31” LS
Cisarua Gadog Kedung Halang Kelapa Dua Kalibata Kampung Melayu Guntur Pejompongan K.H. Mas Mansyur Teluk Gong
o
o
106 60’15” BT o 106 52’02,1” BT o 106 48’27,4” BT o 106 50’21,5” BT o 106 51’38,3” BT o 106 51’51,3” BT o 106 50’36,2” BT o 106 50’17,5” BT o 106 48’26” BT o 106 45’28” BT
Metoda pengambilan sampel Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda survey pada 10 stasiun yang telah ditentukan dengan menggunakan GPS. Pengambilan sampel fitoplankton menggunakan plankton net nomor 25 dengan cara menyaring air sebanyak 100 L. Pengambilan air dilakukan secara komposit pada tiga titik sampel yang
ni = N . Ck . k(1-k)
i-1
ni = jumlah individu dalam jenis ke i N = jumlah keseluruhan individu s -1 Ck = [1-(1-k )] (ii) Model McArthur (Model Broken Stick) Menggambarkan organisasi komunitas yang merata dan stabil, tidak ada persaingan, tidak ada relung yang kosong dan jumlah jenis tetap. Persamaan yang digunakan adalah: N Ni =-------------------S∑1/n N = jumlah keseluruhan individu S = jumlah keseluruhan dari jenis Semua data yang telah dianalisis dengan kedua model tersebut, dilakukan uji kesesuaian model menggunakan Model Uji Jarak Matsusita (DM), dengan persamaan sebagai berikut: pi = qti / ∑ qti . DM ai = qoi / ∑ qoi qti = ∑ (pi-ai) = kemelimpahan jenis teori. qoi = kemelimpahan jenis yang diperoleh.
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 296-300
Tabel 3. Komposisi fitoplankton periode II (Ind/L).
S1 CYANOPHYTA Anabaena sp. Apanocapea sp. Chroococcus sp. Gloeotrichia sp. Hapalasiphon sp. Lyngbya sp. Merismopedia sp. Microcystis sp. Spirulina sp1. Spirulina sp2. Stigonema sp. Tabellaria sp. CHLOROPHYTA Actinastrum sp. Ankistrodesmus sp. Chodatel sp. Chaetopora sp. Closteriopasis sp. Closterium sp1. Closterium sp2. Closterium sp3. Closterium sp4. Closterium sp5. Closterium sp6. Crucigenia sp. Elakatothrix sp. Golenkinia sp. Microspora sp. Microspora sp. Oscillatoria sp1. Oscillatoria sp2. Pediastrum sp. Penium sp. Selenastrum sp. Spirogyra sp. Staurastrum sp. Stigeoclonium sp. CHRYSOPHYTA Nitzschia sp. Synedra sp. Fragilaria sp. Melosira sp EUGLENOPHYTA Lepocynclis sp. Jumlah Taksa N (Ind/L)
S2
S3
S4
S7
S6
S8
30
85 32 116 143 86
38
66
S9
S10 50 20
42 30 35 11 57 219 231 299 505 554 35 35 15 11 5
28
24 11
26 7
49
33
68
67 55
180 157 235 194 185 160 255 382 405 424 451 635 508 497 35 33 59 60 82 77 62
2 425 533 578 430 731 601 820 804 916 5 3 30 70 1082 950 854 8 20 137 51 5 10 15 7 1 5 3 78 441 47 41 17 68 3
20 65 93 81 55 58 70 664 574 773 717 798 709 756
42
275 399 247 75 97 189 85
16
25
18
101 65
99
75
45
557 527 616 679 893 785 431 13 60 55 159 271 22 90 100 170 112 8 13 256 182 147 114 8 7
8 15 22
8 5
6 75 10
291
166 241 243 15
11
37 42 11 24 45 20 16 19 16 15 14 16 15 17 19 1697 2338 3212 2858 2785 3845 3943 4124 4012 4049
CYANOPHYTA Anabaena sp. Aphanocapea sp. Aphanothece sp. Gloeotrichia sp. Melosira sp. Merismopedia sp. Microcystis sp. Spirulina sp. CHLOROPHYTA Actinastrum sp. Ankistrodesmus sp. Chaetopora sp. Closteriopasis sp. Closterium sp1. Closterium sp2. Coelastrum sp. Crucigenia sp. Cystodinium sp. Elakathothrix sp. Gloeocystis sp. Hapolosiphon sp. Maugeotia sp. Micratinium sp. Microspora sp. Oscillatoria sp1. Oscillatoria sp2. Oscillatoria sp3. Oscillatoria sp4. Pediastrum sp. Penium sp. Pachycladon sp. Rizoclonium sp. Scenedesmus sp. Sphaeroplea sp. Spirogyra sp. Staurastrum sp. Stigeoclonium sp. CHRYSOPHYTA Bacillaria sp. Fragillaria sp. Lemanea sp. Synedra sp1. Synedra sp2. EUGLENOPHYTA Astasia sp. Entosiphon sp. Euglena sp. Heteronema sp. Jumlah Taksa N (Ind/L)
Pejompongan
Mas Mansyur
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9 S10
25
10 37
8 28
47 123 247 22
18 125 120 620 512 45 76
1058 36 1080 32 117 31 13
1212 7 1352 16 80 7
1308 26 1264 15 132 7 5
17 20 3 73
5 11 2 90
50 12
210 150 298 83 2 3
57
104 2
111 7 18 40
8 53 109 160 175 272 354 461 40 72 75
18 185 346 33
11 170 251 12
30 5 195 674 40
47 360 718 28
17 1106 102 980 80
1093 21 1054 27
934 42 1048 13
1134 62 1426 18
5 1194 56 1092 50
711 38 682 58
5 1172 52 1034 33
3 13 54 52 15
18 50 6 27
15 45 24 11
30 17
28 10 20
18 164 422 595 587 550 805 117 164 263 50 105 122 372 85 70
48 17 110 232
Teluk Gong
Guntur
Teluk Gong
Mas Mansyur
Pejompongan
Guntur
Kalibata S5
20 22
Kampung Melayu
Kelapa Dua
Kedung Halang
Gadog
Cisarua
Organisme
Kampung Melayu
Organisme
Stasiun
Kalibata
Tabel 2. Komposisi fitoplankton periode I (Ind/L).
Kelapa Dua
Stasiun Kedung Halang
Komposisi fitoplankton Komposisi komunitas fitoplankton diperlihatkan pada Tabel 2 dan 3. Pada periode I terdapat 4 divisi dengan 41 jenis yaitu Cyanophyta 12 jenis, Chlorophyta 25 jenis, Crysophyta 4 jenis dan Euglenophyta 1 jenis. Pada periode II lebih beragam dan terdapat penambahan jumlah jenis yaitu terdapat 4 divisi dengan 45 jenis yang terdiri dari Cyanophyta 8 jenis, Chlorophyta 28 jenis, Chrysophyta 5 jenis, dan Euglenophyta 4 jenis. Dari kedua periode tersebut terdapat jenis dominan. Pada Chlorophyta jenis dominannya adalah Ankistrodesmus sp., Chaetopora sp., Closteriopasis sp., dan Closterium sp., sedangkan pada
Cyanophyta yang dominan adalah Merismopedia sp., Microcystis sp., dan Spirulina sp. Komposisi fitoplankton pada pengambilan periode I terlihat lebih sedikit, karena sebelum pengambilan terjadi hujan sehingga kondisi perairan sungai berarus deras dan fitoplankton terbawa oleh aliran air tersebut, sedangkan pada periode II perairan lebih tenang kecepatan arus 0,4 m/detik dan komposisi lebih banyak. Menurut Odum (1988) dan Abel (1989), perairan relatif tenang merupakan habitat yang cocok untuk fitoplankton.
Gadog
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cisarua
298
18
18
89 10 1136 656 604 560 60 51 86 245 5 42 8
84 11
8
91 145 10
18 5
14 15
13
2
18 17 50 43 68 30 42 150 110 132 93 147 225 131 88 194 161 153 185 41
2
7
58
98 37 145 213 45 56
3 26 6 10 85 32 59 19 19 26 20 21 20 24 24 29 25 2629 3942 4633 3934 4348 5109 5907 3940 4738 4733
9
13
13
11
17 55
21 24
FERIANITA-FACHRUL dkk.– Fitoplankton di Sungai Ciliwung
Di samping itu terdapat komposisi jenis yang berbeda pada setiap segmen, ada beberapa jenis yang hanya terdapat di hulu, di hilir ataupun di bagian tengah sungai (Tabel 2 dan 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Onyema (2007) dan Zalocar de Domitrovic dkk. (2007), bahwa komposisi fitoplankton tidak selalu merata pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, dimana pada suatu ekosistem sering ditemukan beberapa jenis melimpah sedangkan yang lain tidak. Keberadaan fitoplankton sangat tergantung pada kondisi lingkungan perairan yang sesuai dengan hidupnya dan dapat menunjang kehidupannya. Kemelimpahan fitoplankton Kemelimpahan fitoplankton digunakan untuk mengetahui banyaknya jumlah individu pada suatu perairan. Hasil perhitungan kemelimpahan fitoplankton diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4. Kemelimpahan fitoplankton (Ind/L) di perairan Sungai Ciliwung pada bulan Juli dan Agustus 2005. Stasiun S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10
Segmen I
II
III
Lokasi Cisarua Gadog Kedung Halang Kelapa Dua Kalibata Kampung Melayu Guntur Pejompongan KH. Mas Mansyur Teluk Gong
Periode I
Periode II
1697 2338 3212 2858 2785 3845 3943 4124 4012 4049
2629 3942 4633 3934 4348 5109 5907 3940 4738 4733
Segmen I (Cisarua, Gadog, Kedung Halang) Segmen I merupakan daerah hulu Sungai Ciliwung. Hasil pengambilan sampel periode I diperoleh kemelimpahan terkecil pada S1 yaitu 1697 Ind/L, kemelimpahan terbesar terdapat pada S3 yaitu 3212 Ind/L. Pada periode II, diperoleh kemelimpahan terkecil S1 yaitu 2629 Ind/L dan kemelimpahan yang terbesar adalah S3 yaitu 4633 Ind/L. Perbedaan kemelimpahan pada stasiun tersebut disebabkan kondisi fisik perairan yang berbeda. Pada S1 dan S2 arus sungai sangat deras dengan kecepatan arus 0,9 m/detik dan masih berbatu, sehingga penyebaran fitoplankton tidak merata karena terbawa arus. Kandungan unsur hara di lokasi tersebut sangat sedikit sehingga tidak dapat mendukung pertumbahan dan perkembangan fitoplankton. Memasuki S3 perairan lebih tenang dengan kecepatan arus 0,5 m/detik. Menurut Odum (1988) dan Abel (1989) perairan yang relatif tenang merupakan habitat yang cocok untuk fitoplankton. Pada segmen I ini, terdapat jenis-jenis fitoplankton dalam jumlah relatif kecil, yaitu < 20 Ind/L, terdiri dari Chroococcus sp., Lyngbya sp., Spirulina sp2, Stigonema sp., dan Tabellaria sp. Terdapat pula Chlorophyta yang terdiri dari Actinastrum sp., Chodatel sp., Closterium sp1, Closterium sp2, Closterium sp5, Crucigenia sp., Elakaothrix sp., Golenkinia sp., Microspora sp., Penium sp., dan Spirogyra sp. Hal ini disebabkan jenis-jenis tersebut tidak dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan di segmen ini. Terdapat jenis yang mendominasi perairan yaitu Cyanophyta yang tersdiri dari Mycrocystis sp. dan Merimopedia sp., sedangkan pada Chlorophyta ditemukan Closteriopasis sp. dan Ankistrodesmus sp. Adanya jenisjenis dominan karena jenis fitoplankton tersebut mempunyai daya toleransi tinggi dan dapat hidup di dalam keadaan ekosistem seperti pada segmen I tersebut.
299
Segmen II (Kelapa Dua, Kalibata, Kampung Rambutan, Guntur) Segmen II merupakan daerah tengah perairan Sungai Ciliwung. Hasil pengambilan sampel periode I, diperoleh bahwa kemelimpahan terkecil pada S5 yaitu 2785 Ind/L dan kemelimpahan terbesar terdapat pada S7 yaitu 3943 Ind/L. Hasil pengambilan sampel periode II kemelimpahan terkecil pada S4 yaitu 3934 Ind/L, terbesar pada S7 yaitu 5907 Ind/L. Jenis-jenis fitoplankton yang melimpah pada segmen ini adalah Microcystis sp dan Merismopedia sp., Ankistrodesmus sp., Closteriopasis sp. Jenis-jenis fitoplankton yang melimpah adalah jenis yang mempunyai daya toleransi tinggi, selain itu didukung oleh kondisi perairan Sungai Ciliwung yang cukup tenang dengan kecepatan arus 0,4 m/detik. Kondisi perairan cukup mengandung unsur hara yang diperlukan untuk perkembangan fitoplankton yaitu nitrat dan fosfat yang berasal dari buangan limbah rumah tangga dan industri (Phlips dkk., 1997; Piirsoo dkk., 2008). Segmen III (Pejompongan, K.H. Mas Mansur, Teluk Gong) Segmen III merupakan daerah hilir perairan Sungai Ciliwung. Hasil pengambilan sampel periode I menunjukkan bahwa kemelimpahan terkecil terdapat pada S9 yaitu 4012 Ind/L, kelimpahan terbesar pada S8 yaitu 4124 Ind/L. Pada periode II kemelimpahan terkecil pada S8 yaitu 3940 Ind/L dan terbesar terdapat pada S9 yaitu 4738 Ind/L. Pada segmen III ini kemelimpahan fitoplankton relatif tinggi dibandingkan pada segmen lainnya. Hal ini disebabkan kecepatan arus perairan Sungai Ciliwung cukup tenang yaitu 0,4 m/detik, dimana kondisi perairan seperti itu merupakan habitat fitoplankton. Kondisi pada segmen III relatif sama dengan kondisi pada segmen II yaitu terdapat aktivitas di sekitar sungai yang berupa perumahan, kantor, dan perdagangan yang banyak membuang limbah ke perairan sungai. Limbah rumah tangga, industri, perkantoran dan perdagangan di antaranya berupa deterjen dan limbah organik nonlogam berat, yang merupakan penyedia utama fosfat dan nitrogen (Hendrawan dkk., 2004), sedangkan untuk pertumbuhannya fitoplankton membutuhkan unsur nitrogen dan fosfat (Phlips dkk., 1997; Piirsoo dkk., 2008). Jenis fitoplankton yang mempunyai kemelimpahan besar adalah Microcystis sp., Merismopedia sp., Ankistrodesmus sp., Closteriopasis sp.,dan Microspora sp. Pada segmen II dan III, jenis fitoplankton dengan jumlah terbesar merupakan jenis yang mempunyai daya toleransi terhadap kondisi perairan tersebut yaitu perairan tenang dan adanya unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan. Buangan limbah ke dalam perairan menyebabkan perairan menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan lingkungan tersebut akibat dari pencemaran akan memunculkan organisme yang dominan dan tidak dominan dalam suatu komunitas perairan (Soedarti dkk., 2006). Terjadinya kemelim-pahan yang tinggi dari jenis-jenis fitoplankton tertentu pada perairan tercemar mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan degradasi lingkungan (Ekwu dan Sikoki, 2006). Model distribusi kemelimpahan fitoplankton Hasil analisis distribusi kemelimpahan fitoplankton terlihat pada Tabel 5 dan 6. Setelah dilakukan Uji Jarak Matsusita (DM), diketahui bahwa di setiap stasiun pada perairan Sungai Ciliwung baik pada periode I dan II memiliki model yang sama yaitu Model Motomura.
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 296-300
300
Tabel 5. Distribusi kemelimpahan jenis fitoplankton periode I (Juli 2005) di perairan Sungai Ciliwung. N Motomura MacArthur (Ind/L) m DM m DM S1 Cisarua 1697 1716,9 19,93 120 -1577 S2 Gadog 2338 3959 15,46 668 -1670 S3 Kedung Halang 3212 3232,5 20,46 3892 680 S4 Kelapa Dua 2858 2872,2 14,20 2132 -726 S5 Kalibata 2785 2792,4 7,36 4330 1545 S6 Kapung Melayu 3845 3860,3 15,34 27005 23160 S7 Guntur 3943 3959,3 16,29 28112 24169 S8 Pejompongan 4124 4152 27,96 8860 4736 S9 KH.Mas Mansyur 4012 4026,2 14,22 4599 587 S10 Teluk Gong 4049 4106,4 57,70 4004 -45 Keterangan: model yang sesuai pada seluruh stasiun pada periode I dan II adalah Motomura. Stasiun
Lokasi
Tabel 6. Distribusi kemelimpahan jenis fitoplankton periode II (Agustus 2005) di perairan Sungai Ciliwung. N Motomura MacArthur (Ind/L) m DM m DM S1 Cisarua 2629 2631 2,46 2387 -242 S2 Gadog 3942 3959 16,98 4911 969 S3 Kedung Halang 4633 4671 6,28 11470 6837 S4 Kelapa Dua 3934 3951,3 17,28 3292 -642 S5 Kalibata 4342 4359,3 11,29 2750 -1598 S6 Kapung Melayu 5109 5130,1 21,11 1979 -3130 S7 Guntur 5907 5951 44 3051 -2856 S8 Pejompongan 3940 3980,8 40,79 1513 -2427 S9 KH. Mas Mansyur 4679 4939 88,25 569 -4169 S10 Teluk Gong 4733 4735,2 2,22 823 -3910 Keterangan: model yang sesuai pada seluruh stasiun pada periode I dan II adalah Motomura. Stasiun
Lokasi
Menurut Magurran (1988), Model Motomura menggambarkan keadaan ekosistem dimana terjadi persaingan yang kuat, terjadi dominansi oleh salah satu spesies tertentu, pemanfaatan sumber daya alam tidak merata dan lingkungan sangat terganggu atau mungkin berada dalam tingkat suksesi permulaan. Dengan demikian model ini sesuai dengan kondisi fitoplankton diperairan Sungai Ciliwung yaitu adanya dominansi dari jenis-jenis tertentu yaitu Microcystis sp dan Merismopedia sp., Ankistrodesmus sp., Closteriopasis sp.,dan Microspora sp. Barange dan Campos (1991) menjelaskan bahwa adanya dominansi memperlihatkan adanya persaingan atau kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya dan kondisi lingkungan perairan yang tidak seimbang.
KESIMPULAN Penelitian pada periode I diperoleh 4 divisi yang terdiri dari 42 jenis, yaitu 12 jenis Cyanophyta, 25 jenis Chlorophyta, 4 jenis Chrysophyta, dan 1 jenis Euglenopyta. Pada periode II, diperoleh 4 divisi yang terdiri dari 45 jenis, yaitu 8 jenis Cyanophyta, 28 jenis Chlorophyta, 5 jenis Chrysophyta dan 4 jenis Euglenophyta. Kemelimpahan fitoplankton terbanyak baik pada periode I dan II adalah Microcystis sp. dan Merismopedia sp. dari Cyanophyta, sedangkan pada Chlorophyta jumlah yang besar terdapat
pada Closteriopasis sp. dan Ankistrodesmus sp. Jenis-jenis fitoplankton tersebut merupakan jenis yang melimpah dan dominan, serta selalu muncul pada setiap titik pengambilan sampel. Hasil analisis model distribusi kemelimpahan menunjukkan bahwa model yang sesuai adalah Model Motomura, baik pada periode I maupun II, yang berarti terjadi ketidakseimbangan ekosistem perairan Sungai Ciliwung.
DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. London: Ellis Horwood. American Public Health Association (APHA). 1995. Standards Methods for The Examination of Water and Wastewater. 19th ed. Washington DC: American Public Health Association Inc. Barange, M and B. Campos. 1991. Model of spesies abundance: a critique of and an alternative to the dynamic model. Marine Ecology Progress Series 69: 293-298. Bledsoe, E., E.J. Phlips, C.E. Jett, and K.A. Donnelly. 2004. The relationships among phytoplankton biomass, nutrient loading and hydrodinamics in an inner shelf estuary. Ophelia 58 (1):20-47. Edmondson, W.T. 1963. Freshwater Biology. 2nd ed. New York: John Wiley and Son. Ekwu, A.O. and F.D. Sikoki. 2006. Phytoplankton diversity in the cross river estuary of Nigeria, Journal of Applied Sciences & Environmental Management 10 (1): 89-95. Fachrul, M.F. 2003. Kajian biologi monitoring pencemaran sungai. Seminar Nasional Sistem Monitoring Pencemaran Lingkungan Sungai dan Teknologi Pengolahannya. Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi-LIPI, Bandung, 8-9 July 2003. Hendrawan, D., M.F. Melati, and B. Bestari. 2004. Kajian Kualitas Perairan Sungai Ciliwung, Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lemlit Usakti 3 (15): 54-66. Lacerda, S R., M.L. Koening, S. Neumann-Leitão, and M.J. Flores-Montes. 2004. Phytoplankton Nyctemeral variation at a tropical river estuary (Itamaracá-Pernambuco-Brazil). Brazilian Journal of Biology 64 (1): 8194. Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Mizuno, T. 1978. Illustration of The Fresh Water Plankton. Japan: Heikusha Publishing, co. Ltd Osaka. Odum, E.P. 1988. Fundamental of Ecology. Phidelphia: W.B. Sounders Company. Onyema, I.C. 2007. The phytoplankton composition, abundance and temporal variation of a polluted estuarine creek in Lagos, Nigeria, Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 7: 89-96. Oxborough, K. and N.R. Baker. 1997. Resolving chlorophyll a fluorescence images of photosynthetic efficiency into photochemical and nonphotochemical components-calculation of qP and Fv0/Fm0 without measuring Fo-. Photosynthesis Research 54: 135-142. Phlips, E.J., M. Cichra, K. Havens, C. Hanlon, S. Badylak, B. Rueter, M. Randall, and P. Hansen. 1997. Relationship between phytoplankton dymamics and the availability of light and nutrient in a shallow subtropical lake. Journal of Plankton Research 19 (3): 319-342. Piirsoo, K., P. Peeter, A. Tuvikene, and V. Malle. 2008. Temporal and spatial patterns of phytoplankton in a temperate lowland river (Emajo˜gi, Estonia). Journal of Plankton Research 30 (11): 1285-1295. Soedarti, T., J. Aristiana, dan A. Soegianto. 2006. Diversitas fitoplankton pada ekosistem perairan Waduk Sutami, Malang. Berkala Penelitian Hayati 11 (2): 97-103. Soylu, E.N., and A. Gönülol. 2003. Phytoplankton and seasonal variations of the River Ye ilırmak, Amasya, Turkey. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 3: 17-24. Stoddard, A., J.B. Harcum, J.T. Simpson, J.R. Pagenkopf, and R.K. Bastian. 2003, Municipal Wastewater Treatment: Evaluating Improvements in National Water Quality. Published by John Wiley and Sons, Inc. Tuvikene, A., K. Piirsoo, and Pall. 2005. Effect of nutrient load on the planktonic biota in the River Narva drainage area. In Russo, R. C. (ed.), 2005. Modelling Nutrient Loads and Responses in River and Estuary Systems. Report No. 271. Brussels: Committee on the Challenges at Modern Society, NATO. Zalocar de Domitrovic, Z.Y., A.S.G. Poi de Neiff, and S.L. Casco. 2007. Abundance and diversity of phytoplankton in the Paraná River (Argentina) 220 km downstream of the Yacyretá reservoir. Brazilian Journal of Biology 67 (1): 53-63.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 301-305
Perilaku Agresif Monyet, Macaca fascicularis (Raffles, 1821) terhadap Wisatawan di Hutan Wisata Alam Kaliurang, Yogyakarta Aggressive behavior of macaques, Macaca fascicularis (Raffles, 1821) on tourists at Kaliurang nature recreation forest, Yogyakarta
1
DJUWANTOKO1,â&#x2122;Ľ, RETNO NUR UTAMI2, WIYONO3
Laboratorium Satwa Liar, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 55281. 2 Laboratorium Wisata Alam, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 55281. 3 Laboratorium Dendrologi, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 55281. Diterima: 21 Juli 2008. Disetujui: 11 September 2008.
ABSTRACT Research was conducted in Kaliurang nature recreation forest area, in Gunung Merapi National Park, Yogyakarta. The research aim to investigate the proportion of aggressive behavior of monkeys [Macaca fascicularis (Raffles, 1821)] to tourists. Direct observation method was used to observe the monkeys behavior in the interaction to the tourists. And questioners were distributed to the tourists to know expectation of the tourists which related to the existence of the monkeys in that conservation area. Analyses of the interactions suggest that monkeys respond differentially to tourists according to the age/sex classes involved. Additionally, adult and subadult male monkeys participated in more aggressive behaviors than expected, while adult female monkeys and immature participated in such behaviors less than expected. These variations in interaction patterns between monkeys and tourists may have substantial implications for management issues and that the potential for gaining or reducing the tourists to visit in that forest recreation. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: monkey, Macaca fascicularis (Raffles, 1821), tourists, aggression; tourists-monkeys interactions.
PENDAHULUAN Di Indonesia, sebaran populasi monyet [Macaca fascicularis (Raffles, 1821)] cukup luas, sejak dari kawasan bagian barat sampai ke Nusa Tenggara Timur, termasuk di kawasan Hutan Wisata Alam Kaliurang Daerah Istimewa Yogyakarta (Djuwantoko, 2000; Suprijatna, dan Edy, 2000; UKSDA, 2001; Courchamp et al., 2002). Kehidupan monyet ternyata memiliki nilai yang cukup tinggi bagi manusia, seperti antara lain memiliki nilai ekologi, estetika, rekreasi dan komersial. Indonesia termasuk salah satu negara pengeksport monyet terbesar di dunia (Djuwantoko, 2000; Suprijatna, 2000). Berbagai manfaat sumber daya biologi ini dimanfaatkan, diantaranya yang terbesar untuk penelitian bidang farmasi dan kedokteran (farmacy and biomedical reseach) (Suprijatna, 2000). Selain itu satwa liar ini juga bisa memberikan manfaat yang tidak kecil dalam gatra kepariwisataan (Shackley, 1996; Newsome et al., 2005). Beberapa daerah tujuan wisata memiliki daya tarik disebabkan oleh adanya satwa liar monyet ini, seperti diantaranya daerah tujuan wisata Pura Sangeh di Bali, Hutan wisata Kalirang, Hutan Wisata Pangandaran, Hutan Wisata dan Taman Nasional Bali Barat, Wisata Alam Grojogan Sewu di Tawangmangu, Wisata Alam Telaga Sarangan (UKSDA, 2001; Muhibbuddin, 2005) dan wisata alam yang lain. Nilai sumber daya hayati yang berupa
â&#x2122;Ľ Alamat korespondensi: Jl Agro No.1 Bulaksumur Yogyakarta 55281 Tel. & Fax.: +62-274-548815, 550541 e-mail: juwantoko@yahoo.com
satwa liar termasuk monyet, ternyata memiliki nilai yang tidak kecil, termasuk nilai yang dapat dihitung dan tidak dapat dihitung dengan ukuran nilai uang (Suprijatna, 2000). Secara alami perilaku monyet dan satwa liar lainnya tidak meresahkan masyarakat (Gillingham and Lee, 1999, 2003; Hoare, 2000; Chalise, 2001), apabila mereka hidup pada habitat aslinya dan relatif tidak berdampingan dengan kehidupan masyarakat. Keadaan perilaku monyet mungkin mengalami perubahan tatkala kehidupan monyet pindah pada kawasan lain (Naughton et al., 1998), atau berdampingan dengan kehidupan masyarakat, termasuk pada kawasan Hutan Wisata Alam di Kaliurang (Chaty, 1979; Suratmo, 1979; Alikodra, 1990; Kyes et al., 1998; UKSDA, 2001). Sebagai misal, beberapa kasus adanya dampak yang merugikan bagi lingkungan dan masyarakat (Butler, 2000; Hill, 2000), termasuk masyarakat petani, pengunjung wisata alam dan mungkin kerugian yang lain oleh adanya keberadaan populasi monyet ini (Djuwantoko, 1993; Shackley 1996; Siex and Struhsaker, 1999; Fuentes et al., 2000; Courchamp et al., 2002; Fandeli, 2002; Kemp and Burnett, 2003; Muhibbuddin, 2005; Newsome et al., 2005). Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap perilaku agresif monyet yang hidup dalam Kawasan Hutan Wisata Alam Kaliurang, termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Agresif monyet ini diamati terhadap keberadaan pengunjung. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar yang terbaik, guna melestarikan sumber daya satwa liar yang berupa monyet, tetapi kelangsungan kegiatan kepariwisataan alam juga masih dapat berjalan dengan baik.
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 301-305
302
Z = statistik uji standar normal pˆ1 = estimasi proporsi populasi 1 pˆ 2 = estimasi proporsi populasi 2 pˆ = estimasi proporsi populasi gabungan Sp(D) = standar error dari perbedaan antara kedua proporsi X1 = banyaknya sampel populasi 1 yang memiliki karakteristik yang diamati X2 = banyaknya sampel populasi 2 yang memiliki karakteristik yang diamati n1 = jumlah sampel populasi 1 n2 = jumlah sampel populasi 2
Gambar 1. Lokasi penelitian HWA Kaliurang, Yogyakarta.
Uji statistik dilakukan untuk mengetahui korelasi berbagai faktor, yang antara lain sebagai berikut: (i) Sikap (tingkat kekhawatiran) wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dan ketertarikan wisatawan terhadap kehadiran monyet sebagai obyek wisata alam. (ii) Ketertarikan wisatawan untuk mengikuti (melakukan) ekowisata primata. Korelasi itu menggunakan Tata Jenjang Kendall (tau), sebagai berikut:
tau = BAHAN DAN METODE Lokasi penelitian di Hutan Wisata Alam Kaliurang, Yogyakarta, termasuk di dalam zona pemanfaatan intensif kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Secara administratif kawasan ini termasuk dalam Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Sebagai bahan kajian adalah satwa monyet dan wisatawan yang berada pada kawasan Hutan Wisata Alam Kaliurang. Guna mendapatkan data proporsi populasi monyet yang menunjukkan perilaku agresif dan juga proporsi wisatawan yang terkena perilaku agresif monyet, digunakan metode Fuetes dan Gamerl (2005). Perilaku monyet yang diamati dipisahkan ke dalam empat kelompok jenis perilaku, yaitu: (i) perilaku berupa mengancam, monyet menyeringai (AG1), (ii) mendekati wisatawan dan mengejar tanpa kontak fisik (AG2), (iii) bentuk ancaman menyebabkan wisatawan merasa tidak nyaman, merasa takut, sehingga perlu pindah atau menyinggkir (AG3), dan (iv) berupa kontak fisik, misal menggigit, atau mencakar, atau merebut apa yang dibawa wisatawan (AG4). Data dikumpulkan dengan membagikan kuesioner kepada pengunjung setiap hari minggu, selama empat minggu dengan jumlah 100 ekslempar kuesioner. Pemilihan hari minggu ini diharapkan memperoreh data wisatawan yang melimpah. Pembagian kuesioner kepada wisatawan dilakukan secara acak. Untuk membandingkan antara proporsi sampel yang memiliki karakteristik yang diamati (dalam hal ini karakteristik agresif, tetapi tidak dibedakan antara perilaku AG1, AG2, AG3 atau AG4) dengan proporsi populasi sampel yang diharapkan memiliki karakteristik yang diamati, menurut jenis kelamin, dan kelompok umur monyet ekor panjang, dan juga jenis kelamin serta kelompok umur wisatwan yang terserang agresif monyet, digunakan rumus sebagai berikut;
Z=
pˆ 1 − pˆ 2 ; S p (D)
Sp(D) =
⎛1 1⎞ pˆ (1 − pˆ )⎜⎜ + ⎟⎟ ; ⎝ n1 n2 ⎠
pˆ =
X1 + X 2 n1 + n2
P−Q N ( N − 1) 2
P = jumlah angka peringkat yang lebih tinggi Q = jumlah angka peringkat yang lebih rendah N = jumlah seluruh anggota HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi monyet dengan wisatawan Pengamatan terhadap kehadiran monyet dan wisatawan yang memungkinkan terjadinya interaksi, diperoleh hasil bahwa populasi monyet yang teramati selama penelitian (dalam perhitungan rumus statistik Z dianggap sebagai jumlah sampel populasi monyet, n) di Hutan Wisata Alam TNGM adalah sebanyak 141 ekor, dengan rincian 75 ekor jantan dewasa, 26 betina dewasa, 25 jantan remaja, 6 ekor betina remaja, dan 5 ekor anak-anak. Adapun populasi wisatawan yang teramati sejumlah 166 wisatawan, yaitu: laki-laki dewasa sejumlah 89 orang, perempuan dewasa sebanyak 38 orang, anak-anak laki-laki 25 anak, dan anakanak perempuan sebanyak 14 anak. Proporsi populasi monyet menurut jenis kelamin dan kelompok umurnya adalah sebesar 0,560; 0,184; 0,177; 0,043; dan 0,035 berturut-turut untuk jantan dewasa, betina dewasa, jantan remaja, betina remaja, dan anak-anak (Tabel 1). Angka-angka proporsi yang diperoleh ini dalam istilah statistik yang tengah digunakan dianggap sebagai angka proporsi dari populasi monyet yang diharapkan akan menunjukkan perilaku agresif; yang nantinya akan menjadi angka pembanding bagi hasil observasi (Tabel 2), kemudian diuji signifikansi perbedaannya melalui skor Z. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai proporsi populasi monyet berperilaku agresif dari yang terbesar hingga nilai terkecil. Nilai-nilai itu adalah monyet jantan dewasa (terbesar), betina dewasa, dan anak-anak (terkecil); yakni sebesar 0,728; 0,235; dan 0,037. Melalui Tabel 3 besarnya proporsi populasi wisatawan menurut jenis kelamin dan kelompok umur (dalam perhitungan rumus statistik Z dianggap sebagai jumlah sampel populasi wisatawan, n). Dari tabel itu terlihat bahwa wisatawan laki-laki dewasa
DJUWANTOKO dkk.– Perilaku agresif Macaca fascicularis pada wisatawan
paling dominan (0,535), kemudian diikuti berturut-turut oleh perempuan dewasa (0,229), anak-anak laki-laki (0,151), dan anak-anak perempuan (0,084). Angka-angka proporsi yang diperoleh ini dalam istilah statistik yang tengah digunakan dianggap sebagai angka proporsi dari populasi wisatawan yang diharapkan akan terkena perilaku agresif monyet; yang nantinya akan menjadi angka pembanding bagi hasil observasi (Tabel 4), kemudian diuji signifikansi perbedaannya melalui skor Z. Tabel 4 dapat diketahui hasil observasi di lapangan yang mengindikasikan bahwa proporsi populasi wisatawan yang menerima perilaku agresif monyet dari terbesar hingga terkecil adalah wisatawan laki-laki dewasa, perempuan dewasa, anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan; yakni sebesar 0,714; 0,219; 0,048 dan 0,019. Tabel 1. Monyet yang teramati di Hutan Wisata Alam TNGM*). Jantan dewasa 79 0,560
Betina dewasa 26 0,184
Jantan remaja 25 0,177
Betina remaja 6 0,043
Anak- Total anak 5 141 0,035
Individu Proporsi populasi Keterangan: *) angka pada setiap kolom menunjukkan monyet (menurut jenis kelamin dan kelompok umurnya) yang teramati Tabel 2. Monyet yang menunjukkan perilaku agresif di Hutan Wisata Alam TNGM *). Jantan dewasa 59 0,728
Betina dewasa 19 0,235
Jantan remaja -
Betina remaja -
Anak- Total anak 3 81 0,037
Individu Proporsi populasi Keterangan: *) angka pada setiap kolom menunjukkan monyet berperilaku agresif, tanpa dibedakan tipe agresifnya. Tabel 3. Proporsi populasi wisatawan yang teramati di Hutan Wisata Alam TNGM *). Laki-laki Perempuan Anak Anak Total dewasa dewasa laki-laki perempuan Individu 89 38 25 14 166 Proporsi 0,536 0,229 0,151 0,084 populasi Keterangan: *) angka pada setiap kolom menunjukkan wisatawan yang teramati. Tabel 4. Proporsi populasi wisatawan terkena perilaku agresif monyet di Hutan Wisata Alam TNGM *). Laki-laki Perempuan Anak Anak Total dewasa dewasa laki-laki perempuan Individu 75 23 5 2 105 Proporsi 0,714 0,219 0,048 0,019 populasi Keterangan: *) angka pada setiap menunjukkan wisatawan yang terkena perilaku agresi monyet tanpa dibedakan tipe agresifnya.
Uji statistik melalui penilaian skor Z Penilaian skor Z digunakan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perbedaan signifikan antara proporsi populasi yang diharapkan dan hasil observasi, baik untuk satwa monyetnya maupun wisatawannya. Melalui Tabel 5 dan 6, disajikan hasil uji statistik melalui perhitungan skor Z. Pada Tabel 5 terlihat bahwa monyet jantan dewasa menunjukkan perilaku agresif yang lebih besar dari pada yang diharapkan secara signifikan. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Fuentes dan Gamerl (2005) di Hutan Padangtegal, Bali. Pada monyet betina dewasa dan monyet anak-anak menunjukkan perilaku agresif seperti yang
303
diharapkan, dalam arti tidak ada beda yang signifikan antara proporsi populasi monyet yang menunjukkan perilaku agresif dengan proporsi populasi monyet yang diamati. Pada Tabel 6 diketahui bahwa wisatawan laki-laki dewasa menerima perilaku agresif monyet lebih besar secara sangat signifikan daripada yang diharapkan; sedang pada wisatawan perempuan dewasa tidak signifikan. Wisatawan anak-anak laki-laki menerima perilaku agresif monyet kurang dari yang diharapkan secara sangat signifikan, sedangkan pada anak-anak perempuan perilaku agresif monyet kurang dari yang diharapkan secara signifikan. Selain untuk wisatawan anak-anak laki-laki, hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sesuai dengan penelitian Fuentes dan Gamerl (2005) di Hutan Padangtegal, Bali. Khusus untuk wisatawan anak-anak lakilaki, pada hasil penelitian di Padangtegal ditunjukkan bahwa kelompok wisatawan ini menerima perlakuan agresif monyet yang tidak menyimpang dari yang diharapkan. Tabel 5. Perbandingan perilaku agresif monyet, menurut jenis kelamin dan kelompok umurnya. Perbandingan menurut Skor Status jenis kelamin dan Probabilitas Z signifikansi kelompok umur Monyet jantan dewasa 2,51 0,0102 S Monyet betina dewasa 0,91 0,3174 NS Monyet anak-anak 0,08 0,9362 NS Keterangan: NS = tidak signifikan pada α = 5%. S = signifikan pada α = 5% Tabel 6. Perbandingan wisatawan yang terkena perilaku agresif monyet. Perbandingan menurut Skor Status Probabilitas umur dan jenis kelamin Z signifikansi Laki-Laki dewasa 2,93 2,93 SS Perempuan dewasa 0,19 0,0548 NS Anak laki-laki 2,64 0,0082 SS Anak perempuan 2,22 0,0264 S Keterangan: NS = tidak signifikan pada α = 5%, S = signifikan pada α = 5%, SS = sangat signifikan pada α = 1%.
Berdasarkan hasil penelitian ini, tampaknya monyet jantan dewasa merupakan kelompok populasi yang paling intensif menunjukkan perilaku agresif. Demikian pula wisatawan laki-laki dewasa merupakan kelompok populasi yang paling sering menerima perilaku agresif monyet. Hal ini dapat menjadi peringatan bagi pengelola untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, seperti wisatawan digigit monyet. Perilaku agresif monyet Informasi tentang perilaku agresif monyet, berikut ini secara deskriptif disajikan berdasarkan kelompok jenis kelamin dan kelompok umur monyet yang menunjukkan berbagai macam perilaku agresif, juga berdasarkan kelompok jenis kelamin dan umur wisatawan yang terkena perilaku agresif monyet (Tabel 7 dan 8). Ditunjukkan dalam Tabel 7 bahwa proporsi populasi wisatawan yang menjadi target perilaku agresif monyet, yang dalam hal ini jenis perilaku agresif dikelompokkan menjadi empat; yakni: (i) dalam bentuk mengancam ringan/menyeringai (AG1), (ii) mendekati/mengejar tanpa kontak fisik (AG2), (iii) bentuk ancaman yang menyebabkan posisi wisatawan berpindah karena takut (AG3), dan (iv) kontak fisik termasuk menggigit (AG4). Dari tabel tampak bahwa wisatawan laki-laki dewasa memperoleh variasi bentuk serangan monyet yang paling lengkap (AG1 s.d. AG4), kemudian diikuti wisatawan
304
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 301-305
perempuan dewasa (AG1 s.d. AG3), serta wisatawan anakanak laki-laki dan perempuan yang masing-masing hanya memperoleh satu macam bentuk serangan (AG1). Apabila dilihat dari setiap bentuk serangan monyet terlihat bahwa AG1 menimpa baik pada wisatawan laki-laki dewasa, perempuan dewasa, anak-anak laki-laki, maupun pada anak-anak perempuan; dengan proporsi masingmasing sebesar 0,62; 0,24; 0,1; dan 0,04. Bentuk serangan AG2 menimpa wisatawan laki-laki dewasa dan perempuan dewasa, masing-masing dengan proporsi sebesar 0,722 dan 0,278. Demikian pula kedua kelompok wisatawan yang sama menerima serangan dalam bentuk AG3 dengan proporsi sebesar 0,937 untuk laki-laki dewasa dan 0,063 untuk perempuan dewasa. Serangan jenis AG4 hanya menyerang wisatawan laki-laki dewasa dengan proporsi sebesar 0,1 dalam bentuk AG3 sebesar 0,937; berturutturut diikuti serangan dalam bentuk AG2 (0,722), dan AG1 (0,62).
Uji korelasi tata jenjang Kendall (tau) Korelasi antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan tingkat ketertarikan wisatawan terhadap kehadiran monyet sebagai ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) alam Dari hasil uji korelasi tata jenjang Kendall (Tabel 9A) dapat diketahui adanya korelasi negatif yang signifikan antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan tingkat ketertarikan wisatawan terhadap kehadiran monyet sebagai ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) alam. Hal ini berarti bahwa semakin kawatir wisatawan terhadap perilaku agresif monyet, maka semakin tidak tertarik ia dengan kehadiran monyet sebagai ODTW alam; demikian pula sebaliknya. Hasil ini berarti sesuai dengan harapan, bahwa monyet yang berperilaku agresif cenderung tidak menarik sebagai ODTW alam, karena akan membuat wisatawan merasa tidak nyaman dan terancam.
Tabel 7. Wisatawan yang terkena perilaku agresif monyet.
Korelasi antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan tingkat persetujuan wisatawan terhadap wisata alam /ekowisata Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan tingkat persetujuan wisatawan terhadap wisata alam /ekowisata (Tabel 9B). Hal ini menunjukkan bahwa wisatawan yang menjadi responden tidak konsisten dalam menjawab pertanyaan tentang tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dan tingkat persetujuan wisatawan terhadap wisata alam (ekowisata).
Laki-laki Perempuan Anak Anak laki-laki dewasa dewasa perempuan AG 1 0, 62 0,24 0,1 0,04 AG 2 0, 722 0,278 AG 3 0,937 0,063 AG 4 0,1 Keterangan: AG1, AG2, AG3, AG4 = Perilaku monyet Tabel 8. Perilaku agresif monyet. Jantan dewasa Betina dewasa Jantan anak Betina anak AG 1 0,667 0,256 0,077 AG 2 0,714 0,286 AG 3 0,91 0,09 AG 4 0,1 Keterangan: AG1, AG2, AG3, AG4 = Perilaku monyet
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap monyet yang berperilaku agresif dapat diketahui bahwa perilaku serangan AG1 ditunjukkan oleh monyet jantan dewasa, betina dewasa, dan jantan anak; masing-masing dengan proporsi/frekuensi sebesar 0,667; 0,256; dan 0,077. Jenis serangan AG2 dan AG3 ditunjukkan oleh monyet jantan dewasa dan betina dewasa, dengan proporsi masingmasing sebesar 0,714 dan 0,286 untuk AG2 dan 0,91 dan 0,09 untuk AG3. Perilaku AG4 dengan proporsi sebesar 0,1 ditunjukkan oleh monyet jantan dewasa. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa baik pengunjung maupun pengelola perlu mewaspadai pada kemungkinan munculnya serangan AG1 s.d. AG4 pada monyet jantan dewasa dan munculnya serangan AG1 s.d. AG3 pada monyet betina dewasa. Hal ini penting untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan pengunjung selama melakukan aktivitas wisatanya. Belum adanya keluhan yang berarti dari pengunjung tentang perilaku monyet yang masih dianggap menyenangkan, bukan berarti pengelola boleh berpangku tangan. Adanya kejadian 3 kali monyet jantan dewasa menggigit pengunjung selama pengamatan, cukup menjadi bukti bahwa perilaku monyet tidak selamanya menyenangkan dan aman bagi kesehatan. Prinsip konservasi menghendaki adanya keterpeliharaan keaslian gen, jenis, dan ekosistem, termasuk perilaku satwanya, maka sudah saatnya kontak antara pengunjung dan monyet di kawasan TNGM perlu dicegah sedini mungkin.
Korelasi antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan ketertarikan wisatawan untuk ikut dalam program ekowisata primata Seperti pada hasil uji sebelumnya, hasil uji korelasi kali ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat kekawatiran wisatawan terhadap perilaku agresif monyet dengan ketertarikan wisatawan untuk ikut dalam program ekowisata primata (Tabel 9C). Prospek pengembangan ekowisata primata Apabila mencermati hasil penelitian sebagaimana terpapar sejak dari butir satu sampai dengan empat, dapat diketahui bahwa pengembangan ekowisata primata (monyet) di Hutan Wisata Alam TNGM sangat prospektif untuk dapat dilakukan. Ditunjukkan antara lain oleh adanya: (i) Sebagian besar wisatawan tertarik terhadap kehadiran monyet sebagai ODTW alam. (ii) Sebagian besar wisatawan setuju terhadap wisata alam terbatas/ekowisata. (iii) Sebagian besar wisatawan peduli terhadap konservasi lingkungan. (iv) Sebagian besar wisatawan tertarik untuk ikut program ekowisata. (v) Bagi sebagian besar wisatawan, hutan wisata alam di TNGM merupakan tujuan utama, sehingga penawaran program ekowisata primata dapat menjadi daya tarik tambahan bagi wisatawan. Agar prospek ekowisata tidak suram, prakondisi yang disarankan segera dibenahi adalah pencegahan perilaku agresif monyet dengan cara mengatur jarak interaksi antara monyet dengan wisatawan. Khususnya monyet jantan dewasa dan wisatawan laki-laki dewasa. Cara yang mungkin dapat ditempuh dengan pengaturan kembali tempat berjualan makanan, pelarangan wisatawan membawa dan memberi makan monyet (Fa, 1992; Oâ&#x20AC;&#x2122;Leary and Fa, 1993), dan juga pelarangan mengganggu ketenangan monyet, kemudian meningkatkan daya dukung kawasan sehubungan dengan dinamika populasi monyet.
DJUWANTOKO dkk.â&#x20AC;&#x201C; Perilaku agresif Macaca fascicularis pada wisatawan
305
Tabel 9. Uji korelasi tata jenjang Kendall. Nonparametric correlations. A B C TTRK KWTR STJU KWTR TTRK_IKUT KWTR Kendall's tau_b TTRK Correlation Coefficient 1.000 -.228* 1.000 -.164 1.000 -.046 Sig. (2-tailed) . .012 . .068 . .642 N 81 80 80 80 80 80 KWTR Correlation Coefficient -.228* 1.000 -.164 1.000 -.046 1.000 Sig. (2-tailed) .012 . .068 . .642 . N 80 80 80 80 80 88 Spearman's rho TTRK Correlation Coefficient 1.000 -.306** 1.000 -.200 1.000 -.052 Sig. (2-tailed) . .006 . .075 . .645 N 81 80 80 80 80 80 KWTR Correlation Coefficient -.306** 1.000 -.200 1.000 -.052 1.000 Sig. (2-tailed) .006 . .075 . .645 . N 80 80 80 80 80 88 Keterangan: *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed); **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). A. Korelasi antara kekhawatiran wisatawan terhadap agresivitas monyet (KWTR) dengan ketertarikan wisatawan terhadap kehadiran monyet sebagai ODTW alam (TTRK). Nonparametric correlations. B. Korelasi antara kekhawatiran wisatawan terhadap agresivitas monyet (KWTR) dengan sikap kesetujuan wisatawan terhadap wisata alam/ekowisata (STJU). Nonparametric correlations. C. Korelasi antara kekhawatiran wisatawan terhadap agresivitas monyet (KWTR) dengan ketertarikan wisatawan untuk mengikuti program ekowisata (TTRK_IKUT). Nonparametric correlations.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (i) Monyet jantan dewasa menunjukkan perilaku agresif yang paling intensif dibanding kelompok jenis kelamin dan kelompok umur yang lain. (ii) Wisatawan laki-laki dewasa sebagai kelompok wisatawan yang paling intensif menerima perilaku agresif monyet. (iii) Terdapat korelasi signifikan yang menunjukkan bahwa semakin khawatir wisatawan terhadap perilaku agresif monyet, maka semakin tidak menarik monyet tersebut menjadi ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata) alam. (iv) Program ekowisata primata (monyet) memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan, dengan catatan perilaku agresif monyet terkendali.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S., 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati IPB. Butler, J.R.A. 2000. The economic costs of wildlife predation on livestock in Gokwe communal land, Zimbabwe. African Journal of Ecology, 38: 23-30. Chalise, M.K. 2001. Crop raiding by wildlife, especially primates, and indigenous practices for crop protection in Lakuwa Area, East Nepal. Asian Primates, IUCN/SSC Primate Specialist Group 7: 4-9. Chaty, J.D. 1979. The Study of Behaviour. 2nd ed. Revised by P.E. Howsw. London: Edward Arnold. Courchamp, F., J.I. Chapuis, and M. Pascal. 2002. Mammals invaders on islands: impact, control, and control impact. Biological Reviews 78: 347383. Djuwantoko. 1993. Ekologi Perilaku Kera Pengganggu Tanaman Pertanian dan Kemungkinan Pengelolaan Konfliknya di Daerah Kapur Gunung Kidul. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Djuwantoko. 2000. Pendekatan ekosistem dalam konservasi primata. Seminar Primatologi Indonesia 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM. Fa, J.E. 1992. Visitor-directed aggression among the Gibraltar macaques. Zoo Biology 11:43-52. Fandeli, C. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Fuentes, A., I.D.K. Harya-Putra, K.G. Suaryana, A. Rompis, I.G.A. ArthaPutra, N. Wandia, G. Soma, and N.L. Watiniasih. 2000. The Balinese Macaques Project: background and stage one field school report. Jurnal Primatologi Indonesia 3:29-24. Fuentes, A. and S. Gamerl. 2005. Disproportionate participation by age/sex classes in aggressive interactions between long-tailed macaques
(Macaca fascicularis) and human tourists at Padangtegal monkey forest, Bali, Indonesia: Brief Report. American Journal of Primatology 66: 197-204. Gillingham, S. and P.C. Lee. 1999. The impact of wildlife related benefits on the conservation attitudes of local people around the Selous Game Reserve, Tanzania. Environmental Conservation 26: 218-228. Gillingham, S. and P.C. Lee. 2003. People and protected areas: a study of local perceptions of wildlife crop damage conflict in an area bordering the Selous Game Reserve, Tanzania. Oryx 37: 316-325. Hill, C. 2000. Conflict of interest between people and baboons: crop raiding in Uganda. International Journal of Primatology 21: 299-315. Hoare, R.E. 2000. African elephants and humans in conflict: the outlook for coexistence. Oryx 34: 34-38. Kemp, N.J. and J.B. Burnett. 2003. A Biodiversity Risk Assessment and Recommendations for Risk Management of Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis) in New Guinea [Final Report]. Washington DC: Indo-Pacific Conservation Alliance. Kyes, R.C., D. Sajuthi, E. Iskandar, D. Iskandriati, J. Pamungkas, and C.M. Crockett. 1998. Management of a natural habitat breeding colony of long-tailed macaques. Tropical Biodiversity 5(2): 317-327. Muhibbuddin. 2005. Studi Perilaku Satwa liar Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis Raffles, 1821) untuk Pengembangan Ekowisata di Kawasan Hutan Wisata Kaliurang Yogyakarta. [Tesis]. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Kehutanan. Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. Sekolah Pascasarjana UGM. Naughton-Treves L, A. Treves, C. Chapman, and R. Wrangham. 1998. Temporal patterns of crop raiding by primates: lingking food availibility in croplands and adjacent forest. Journal of Applied Ecology 35: 596-604. Newsome, D., R. Dowling, and S. More. 2005. Wildlife Tourism, Aspects of Tourism. Clevedon: Channel View Publications. Oâ&#x20AC;&#x2122;Leary, H. and J.E. Fa. 1993. Effects of tourists on Barbary macaques at Gibraltar. Folia Primatology 61: 77-91. Shackley, M. 1996. Wildlife Tourism. London: ITP, International Thomson Business Press. Siex, K.S. and T.T. Struhsaker. 1999. Colobus monkeys and coconut: a study of perceived human-wildlife conflicts. Journal of Applied Ecology 36: 1009-1020. Suprijatna, J. 2000. Konservasi Satwa Primata. Tinjauan Aspek Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Seminar Primatologi Indonesia 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM. Suprijatna, J. and H.W. Edy. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suratmo, G.F. 1979. Konservasi Alam dan Pengelolaan Margasatwa Bagian II (Tingkah Laku Margasatwa). Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. UKSDA, 2001. Laporan Kegiatan Pengumpulan Data Kera Ekor Panjang dan Lutung di Cagar Alam/Taman Wisata Alam Plawangan Turgo Tanggal 16 s.d. 19 Oktober 2001. Yogyakarta: Unit Konservasi Sumberdaya Alam, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Propinsi DIY.
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 306-309
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
Populasi dan Habitat Ikan Tambra, Tor tambroides (Bleeker, 1854) di Perairan Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah The population and habitat of Tambra fish, Tor tambroides (Bleeker, 1854) in Muller Mountain waters Central Kalimantan HARYONO1,â&#x2122;Ľ, JOJO SUBAGJA2 1
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911. 2 Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Bogor 16122. Diterima: 11 Agustus 2008. Disetujui: 19 September 2008.
ABSTRACT Study about tambra fish, Tor tambroides (Bleeker, 1854) or mahseer were conducted in Muller Mountain areas Central Kalimantan. The aims of study were to know status and structure of population, habitat types, and preferences. The methods are catch per unit of effort, visual, and experimental. The results were caught 29 tambra fish, consist of 4 males, 8 females, and 17 juvenile size; the population is rare; the habitat type were grouped to three groups; this fish more prefer to deep waters, the water quality was suitable for living of tambra fish. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: tambra fish, Tor tambroides (Bleeker, 1854), population, habitat types, preferences, Muller Mountain.
PENDAHULUAN Tambra, Tor tambroides (Bleeker, 1854), merupakan ikan konsumsi bernilai tinggi dengan tekstur daging yang tebal dan lezat, sehingga banyak digemari masyarakat. Hal ini diindikasikan oleh tingginya permintaan terhadap daging ikan tambra dengan harga yang tinggi pula. Rachmatika dan Haryono (1999) melaporkan bahwa harga ikan tambra di Malaysia mencapai 80 ringgit/kg, bahkan menurut Kiat (2004) dapat mencapai 300 ringgit/kg. Di Kalimantan, yang menjadi habitat utamanya, harga ikan tambra sekitar Rp. 50.000/kg, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jenis ikan lain yang hanya sekitar Rp. 15.000/kg (Haryono, 2005a). Jenis ikan ini sangat dikenal sebagai ikan konsumsi dan untuk olahraga memancing (Desai, 2003). Populasi ikan tambra di alam sudah jarang, bahkan dikhawatirkan telah mendekati kepunahan. Di sisi lain, eksploitasinya terus berlangsung secara besar-besaran dan belum ada kegiatan budidaya. Data dasar biologi dan ekologi ini juga belum banyak diketahui. Ikan tambra termasuk jenis yang terancam punah akibat penggundulan hutan dan penangkapan yang berlebihan (Kottelat et al., 1993). Kelompok ikan tambra/mahseer merupakan penghuni sungai pada hutan tropis terutama pada kawasan pegunungan. Habitat asli ikan tambra umumnya pada bagian hulu sungai di daerah perbukitan dengan air yang jernih dan berarus kuat (Kiat, 2004, Haryono, 1994, 2005b; Nontji, 1992). Ikan tambra bersifat pemakan segala atau omnivora (Sulastri dkk., 1985, Haryono, 1992). Di habitat aslinya, ikan tambra memakan tumbuhan dan hewan yang
â&#x2122;Ľ Alamat korespondensi: Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911 Tel. & Fax.: +62-21-8765056 & 8765068 e-mail: ikharyono@yahoo.com
terdapat di substrat/kerikil (Kiat, 2004), sedangkan pada kondisi ex-situ Haryono dan Subagja (2007) melaporkan bahwa ikan tambra memakan cacing dan pellet dengan baik. Mengingat tingginya permintaan dan makin kritisnya populasi ikan tambra di alam, maka diperlukan penelitian yang mengarah pada upaya pemanfaatan secara berkelanjutan, salah satunya mengenai kondisi populasi dan habitatnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui populasi ikan tambra dan habitatnya di perairan kawasan Pegunungan Muller, Kalimantan Tengah, serta preferensi terhadap habitat buatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan proses konservasi ex-situ melalui kegiatan domestikasi. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di DAS Hulu Barito, sekitar Bukit Batikap yang merupakan kawasan Pegunungan Mulller. Sungai yang diamati adalah S. Tabulus, bagian hulu dan hilir, yang bermuara di S. Joloi, serta salah satu anak S. Tabulus, yaitu: S. Kenohan. Lokasi tersebut secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Gambar 1). Waktu penelitian antara bulan AgustusSeptember 2006. Penghitungan populasi menggunakan metode jumlah tangkapan per satuan upaya (catch per unit of effort). Alat yang digunakan jala dengan diameter 3 m dan mata jaring 1 cm yang ditebar 30 kali pada setiap titik 2 pengambilan sample dengan luas sekitar 100 m . Jumlah titik pengambilan sampel pada lokasi yang diteliti sebanyak 19 titik. Penentuan titik pengambilan sampel secara transek mengikuti alur sungai dari arah hilir ke hulu. Selain itu digunakan pukat (gill net) dengan mata jaring 2 cm yang dipasang selama 12 jam. Ikan yang tertangkap dihitung jumlah individu dan diukur panjang totalnya.
HARYONO dan SUBAGJA â&#x20AC;&#x201C; Tor tambroides dari perairan Pegunungan Muller
SERAWAK KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN BARAT
S. Kenohan S. Tabulus S. Joloi KALIMANTAN TENGAH
307
tubuh 31-40 cm sebanyak 3 ekor (10,34%), dan dewasa dengan panjang tubuh di atas 51 cm sebanyak 9 ekor (31,03%) (Gambar 2). Tingginya jumlah anakan tersebut lebih banyak tertangkap di S3 (S. Kenohan) yang tipe habitatnya lebih mendukung bagi ukuran anakan. Pada saat penelitian termasuk ke dalam musim kemarau sehingga ukuran remaja sampai indukan diduga banyak menuju ke sungai utama (S. Joloi) yang airnya lebih dalam. Ikan tambra yang tertangkap paling besar panjangnya sekitar 90 cm dengan bobot 8,7 kg (Gambar 3). Ukuran tersebut belum maksimum karena menurut informasi penduduk setempat, di S. Tabulus terkadang masih tertangkap indukan ikan tambra seberat 15 kg, di S. Joloi tertangkap indukan seberat 20 kg, bahkan diinformasikan ada yang dapat mencapai lebih dari 50 kg (Haryono, 2005b).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Pegunungan Muller. Tabel 2. Jumlah dan ukuran ikan tambra yang tertangkap selama penelitian. Kelas panjang Frekuensi Jenis kelamin total ( cm) (ekor) Jantan Betina I: 1-10 2 * * II: 11-20 9 * * 6 * * III: 21-30 1 IV: 31-40 3 2 V: 51-60 1 1 2 VI: 61-70 2 3 1 2 VII: 71-80 3 VIII: 81-90 3 Jumlah 29 4 8 Keterangan: *: belum dapat diidentifikasi jenis kelaminnya. 70.00 60.00
Jumlah Ikan (%)
Pengamatan terhadap habitat ikan tambra dilakukan secara langsung dengan membagi ke dalam tiga kelompok/stasiun, yaitu bagian hilir (S1), hulu (S2), dan anak sungainya, yaitu: S. Kenohan (S3). Parameter yang diamati meliputi: suhu air, suhu udara, pH, kandungan oksigen terlarut, warna air, kedalaman air, dasar perairan, lingkungan sekitar sungai, lebar sungai, dan kecepatan arus. Untuk parameter kekeruhan, kesadahan, alkalinitas, nitrat, nitrit, besi, dan merkuri dianalisis di Laboratorium Balai Besar Industri Agro (BBIA), Bogor. Uji coba preferensi habitat dilakukan di laboratorium ikan, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong-Bogor. Percobaan menggunakan tiga perlakuan seperti tertera pada Tabel 1. Bak yang digunakan sebanyak tiga buah dengan ukuran 140 cm x 60 cm x 60 cm, setiap bak terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dalam dan dangkal tanpa disekat, dan untuk sirkulasi air menggunakan sistim pompa tunggal. Ikan yang dipelihara sebanyak 1 ekor pada setiap bak dengan kisaran panjang total 33,5-34,0 cm dan bobot 320-345 g. Pengamatan terhadap posisi ikan pada bak percobaan dilakukan setiap jam mulai pukul 9-15 WIB selama satu bulan. Dalam percobaan ini, ikan tambra cepat beradaptasi baik terhadap kondisi lingkungan maupun pakan yang diberikan. Pada awalnya ikan tambra diberi pakan berupa cacing beku dan dilanjutkan dengan pellet.
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Anakan
Remaja
Dew asa
Kelas Ukuran Ikan
Gambar 2. Struktur populasi ikan tambra berdasarkan kelas ukuran.
Tabel 1. Perlakuan uji preferensi habitat di laboratorium. Perlakuan 1 2 3
Bagian yang dalam dasar bak terdapat batu dan kerikil dasar bak tidak terdapat batu kerikil dasar bak terdapat batu dan kerikil
Bagian yang dangkal dengan dasar bak tidak terdapat batu kerikil dasar bak dengan substrat batu kerikil dasar bak terdapat batu dan kerikil
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi ikan tambra Selama penelitian tertangkap sebanyak 29 ekor ikan tambra dengan panjang total berkisar antara 9,7-89 cm dan bobot tubuh antara 19,5-8.700 g yang dikelompokkan menjadi 8 kelas. Ukuran yang paling banyak tertangkap berkisar antara 11-20 cm sebanyak 9 ekor (31,03%). Berdasarkan jenis kelaminnya, dapat diidentifikasi 4 jantan, 8 betina, dan sisanya belum diketahui (Tabel 2). Dari hasil pengamatan pada Tabel 2 diketahui bahwa struktur populasi ikan tambra di lokasi tersebut terdiri dari anakan dengan panjang tubuh di bawah 30 cm sebanyak 17 ekor (58,62%), ukuran remaja dengan kisaran panjang
Gambar 3. Morfologi dan ukuran ikan tambra dewasa.
Menurut Krebs (1989) salah satu parameter populasi adalah kepadatan, yaitu jumlah individu per satuan luas. Populasi ikan tambra di habitat asli yang diteliti rata-rata 1 ekor per 30 kali tebaran jala dan 0,5 ekor per 12 jam 2 pemasangan pukat pada areal seluas 100 m , sehingga kepadatan populasinya rata-rata 1,5 ekor/100 m2. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kepadatan populasi beberapa jenis ikan lain di habitat yang sama (Tabel 3). Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa populasi ikan tambra sudah sangat jarang dengan jumlah tangkapan per satuan upaya hanya 1,5 ekor, sebaliknya jenis-jenis ikan yang lain kepadatan populasinya cukup tinggi mulai dari sedang (3-5 ekor) sampai sangat melimpah (>15 ekor).
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 306-309
308
Rendahnya populasi ikan tambra di lokasi penelitian di antaranya diduga akibat tingginya tingkat penangkapan oleh penduduk karena jenis ikan ini menjadi target utama perburuan mereka. Hal ini sangat terkait dengan tingkat kelezatan daging ikan tambra yang enak dan mahal harganya. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (setrum) juga mulai ada. Adanya kegiatan penebangan hutan di sekitar perairan yang diteliti baik oleh perusahaan HPH maupun masyarakat diduga secara tidak langsung berpengaruh terhadap berkurangnya populasi ikan tambra, karena menurunnya kualitas air sungai. Tabel 3. Kepadatan populasi jenis ikan lain yang ditemukan di lokasi penelitian. Kemelimpahan/ populasi Barbodes collingwoodii (Gunther, 1868) melimpah Barbichthys laevis (Valenciennes, 1842) sedang Crossocheilus sp. Kuhl & van Hasselt, 1823 sedang Cyclochelichthys apogon (Valenciennes, 1842) sangat melimpah C. repasson (Bleeker, 1853) sangat melimpah Garra borneensis (Vaillant, 1902) sedang Epalzeorhynchos kallopterus (Bleeker, 1850) jarang Hampala bimaculata (Popta, 1905) melimpah Hampala macrolepidota (Valenciennes, 1842) melimpah Lobocheilos bo (Popta, 1904) sedang Lobocheilos falcifer (Kuhl & Van Hasselt, 1823) sedang Paracrossochilus vittatus (Boulenger, 1894) melimpah Parachela oxygastroides (Bleeker, 1852) sedang Homaloptera spp. (Hoeven, 1833) melimpah Gastromyzon borneensis (Gunther, 1874) melimpah Gastromyzon fasciatus (Inger & Chin, 1961) melimpah Nemacheilus spp. (Bleeker, 1863) melimpah Mystus nemurus (Valenciennes, 1839) sedang Keterangan: kepadatan populasi, yaitu sangat jarang: 1-2 ekor, jarang: 3-5 ekor, sedang 6-10 ekor, melimpah: 11-15 ekor, sangat melimpah >15 ekor. Jenis ikan
Kondisi populasi ikan tambra seperti di atas sesuai dengan pendapat Kottelat et al. (1993) dan Rupawan (1999) yang menyatakan bahwa kebanyakan anggota marga Tor yang tersebar di Asia telah mengalami ancaman yang cukup serius, akibat perdagangan yang intensif disertai kerusakan habitat yang makin parah. Ingram et al. (2005) menegaskan bahwa tambra merupakan ikan air tawar bernilai tinggi dan pelu segera dikonservasi. Populasi ikan tambra di sebagian besar wilayah Indonesia juga telah mengalami tekanan yang cukup serius, akibatnya saat ini hanya tersisa pada spot-spot kecil dengan tingkat populasi yang rendah terutama di daerah perbukitan yang sulit dijangkau. Di sekitar Bukit Batikap kawasan Pegunungan Muller, ikan tambra hanya ditemukan pada bagian hulu sungai yang letaknya jauh dari pemukiman (Haryono, 2005b, 2006). Kondisi serupa terjadi pada ikan kancera (Tor soro) yang merupakan kerabat dekat ikan tambra. Di wilayah Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang merupakan pusat distribusinya ikan ini hanya ditemukan pada kolam-kolam yang dikeramatkan, sebaliknya di perairan umum sudah sangat sulit ditemukan (Haryono, 2006). Kancera merupakan ikan yang selamat dari ancaman berkat kepercayaan masyarakat setempat yang mengkeramatkan secara turun temurun. Mereka menamakan kancera sebagai â&#x20AC;&#x2DC;Ikan Rajaâ&#x20AC;&#x2122; atau â&#x20AC;&#x2DC;Ikan Dewaâ&#x20AC;&#x2122; karena semula hanya keluarga kerajaan yang diperbolehkan menikmati kelezatan dagingnya. Hal ini secara tidak langsung berdampak positif terhadap keberadaan populasi ikan kancera, sehingga masih tersisa dan dapat hidup dengan bebas pada kolamkolam pemandian tua di Cigugur, Pasawahan, Cibulan, dan Waduk Darmaloka. Di Pemalang, Jawa Tengah, tambra ditemukan di aliran sungai yang sumber airnya berasal dari lereng Gunung
Slamet. Populasinya sudah jarang, dan tingkat penangkapan semakin meningkat. Hal ini disebabkan beberapa tahun belakangan ini penduduk setempat mulai mencoba mengumpulkan anakan ikan tambra untuk dibesarkan di kolam pekarangan, mengingat belum adanya pembibitan jenis ikan ini. Sistem pemeliharaannya secara polikultur, yaitu dalam satu kolam dicampur dengan jenis ikan lain di antaranya ikan mas, gurami dan nila (Haryono, 2005a). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa hampir di semua wilayah Indonesia, ikan tambra sudah cukup sulit diperoleh, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa status populasi ikan tambra sudah termasuk langka. Tingginya harga daging ikan tambra yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jenis ikan lain sehingga memicu eksploitasi yang lebih intensif. Habitat ikan tambra Hasil pengamatan terhadap habitat ikan tambra di S. Tabulus secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut: dasar perairan umumnya berupa batuan, substrat kerikil dan pasir, warna air jernih, arus air lambat sampai deras, dan lingkungan sungai sebagian besar berupa hutan primer. Kondisi perairan seperti diatas merupakan karakteristik dari hulu sungai. Habitat ikan tambra di S. Tabulus dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan ukurannya, yaitu habitat untuk larva/juvenil, anakan sampai remaja, dan dewasa dengan karakteristik sebagai berikut: (i) Habitat larva/juvenil umumnya pada bagian tepi sungai yang ditandai oleh substrat/dasar perairan pasir, arus tenang, warna air jernih, dan dangkal (<50 cm). Hal ini diduga terkait dengan kemampuannya yang masih rendah untuk melawan arus air. Habitat seperti ini juga merupakan tempat bertelurnya ikan tambra (spawning ground). (ii) Habitat ikan ukuran kecil sampai sedang/remaja dengan karakteristik sebagai berikut dasar perairan batuan berdiameter <50 cm, arus air sedang sampai deras, warna air jernih, lebar sungai 15-20 m, kedalaman air <1 m, substrat tersusun dari kerikil dan pasir, penutupan kanopi 50-75%. (iii) Habitat ikan ukuran besar/indukan, umumnya merupakan lubuk sungai dengan lebar sungai antara 15-20 m, panjang 20-60 m, arus tenang sampai lambat, kedalaman air >1,5 m, dasar perairan batuan, substrat tersusun dari pasir dan kerikil, warna air jernih, dan penutupan kanopi >75%. Menurut Effendie (2002) habitat pemijahan ikan dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu phytophils (mempersyaratkan adanya vegetasi), lithophils (mempersyarat dasar perairan batuan dan pasir), dan pelagophils (mempersyaratkan perairan terbuka). Berdasarkan kriteria tersebut maka ikan tambra termasuk ke dalam kelompok lithopils karena memijah pada sungai yang dasarnya batuan dan bersubstrat pasir/kerikil. Hasil pengukuran terhadap parameter fisika-kimia, yaitu o o kisaran suhu udara 25-31 C, suhu air 25-26 C, pH 6-7, oksigen terlarut 5,8-8,5 ppm, kedalaman air maksimum 2,3m, dan lebar sungai maksimum 25m (Tabel 4). Hasil pengamatan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa lokasi yang layak bagi kehidupan dan perkembangbiakan ikan tambra terutama pada bagian pertengahan sampai hulu sungai (S2) yang ditandai oleh warna air jernih dan lingkungan sekitarnya berupa hutan primer. Pada bagian hilir (S1) kondisi hutannya kurang baik karena ada kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan HPH dan juga terdapat areal pertanian (ladang). Di bagian hilir sungai kadangkadang masih dijumpai ikan tambra dengan ukuran relatif besar (sekitar 10 kg). Sungai Kenohan yang merupakan anak sungai Tabulus (S3) kondisinya belum banyak terganggu oleh aktivitas manusia. Kedalaman air sungai
HARYONO dan SUBAGJA â&#x20AC;&#x201C; Tor tambroides dari perairan Pegunungan Muller
Kenohan relatif dangkal sehingga ikan tambra yang tertangkap kebanyakan berukuran anakan. Tabel 4. Hasil pengamatan parameter lingkungan di S. Tabulus. S1 (S. Tabulus hilir) o Suhu udara ( C) 26-31 o Suhu air ( C) 26 pH air 6-7 Oksigen terlarut (ppm) 5,8-6,2 Warna air agak keruh Kedalaman air maksimum (m) 2,3 Dasar perairan kerikil-pasir Lingkungan sekitar sungai ladang Lebar sungai maksimum (m) 25 Kecepatan arus lambat Kekeruhan (NTU) 6,43 Kesadahan (mg/L) 33,0 Alkalinitas: CaCO3 (mg/L) 15,4 Nitrat: NO3-N (mg/L) 3,10 Nitrit: NO2-N (mg/L) 0,01 Besi: Fe (mg/L) 0,77 Merkuri: Hg (mg/L) <0,0005 Parameter
S2 (S. Tabulus hulu) 26-31 25 6-7 7,1-8,2 jernih 1,8 batu-kerikil hutan 15 deras 1,41 19,2 9,91 1,49 0,02 0,46 <0,0005
S3 (S. Kenohan) 25-31 25 6-7 7,6-8,5 jernih 1,25 batu-kerikil hutan 15 deras 1,51 11,9 8,92 1,46 0,004 0,58 <0,0005
Pengamatan kualitas air pada Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum ketiga stasiun yang diteliti masih dapat mendukung kehidupan ikan tambra maupun jenis ikan lainnya. Menurut KPPL (1992) bahwa suhu perairan o yang baik bagi kehidupan ikan kurang dari 30 C, kandungan oksigen terlarut (DO) > 5 ppm; kekeruhan < 50 mg/L, kesadahan < 60 mg/L, alkalinitas 25-40 mg/L, nitrat <10, Besi < 1 mg/L, merkuri < 0,002 mg/L. Pescod (1973) menyatakan bahwa kisaran pH yang baik bagi kehidupan ikan antara 6,5-8,5. Preferensi habitat Penelitian ini merupakan tahap awal untuk mengetahui kesukaan habitat ikan tambra pada kondisi ex-situ. Adanya keterbatasan sampel ikan tambra hidup maka dalam penelitian ini tidak dilakukan ulangan. Hasil pengamatan selama satu bulan menunjukkan bahwa sepanjang hari (pukul 9-15) ikan tambra lebih banyak mendiami bagian bak yang airnya dalam baik terdapat batu maupun tidak berbatu, yaitu dijumpai antara 20-30 kali dari ketiga bak percobaan. Kadang-kadang ikan ini bergerak ke bagian yang dangkal terutama pada pagi hari (pukul 9-11) dengan kisaran hunian 1-10 kali, sedangkan pada siang hari lebih jarang lagi dengan kisaran 0-7 kali (Tabel 5). Lebih banyaknya ikan tambra dijumpai pada bagian yang dalam diduga karena pada bagian tersebut volume airnya lebih besar sehingga mereka dapat leluasa bergerak. Hal ini berkaitan dengan ukuran ikan yang sudah termasuk sedang (> 30 cm). Di habitat aslinya, ikan tambra yang berukuran sedang/remaja lebih banyak dijumpai pada bagian sungai yang relatif dalam, sebaliknya pada bagian yang dangkal lebih banyak dihuni oleh ikan tambra ukuran anakan. Tabel 5. Preferensi habitat ikan tambra pada bak percobaan selama penelitian. Waktu (Pukul) 9 10 11 12 13 14 15
FREKUENSI HUNIAN BAK I BAK II BAK III Dangkal Dalam Dangkal Dalam Dangkal Dalam +Batu +Batu +Batu +Batu 22 8 25 5 23 7 20 10 29 1 24 6 21 9 29 1 27 3 25 5 30 0 28 2 24 6 30 0 26 4 24 6 30 0 28 2 23 7 30 0 28 2
309
KESIMPULAN Populasi ikan tambra di perairan kawasan Pegunungan Muller sudah jarang dan termasuk langka, struktur populasinya sebagian besar ukuran anakan. Habitat ikan tambra terutama pada hulu sungai yang jauh dari pemukiman, dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe habitat (habitat untuk juvenil/larva, anakan sampai sedang, dan dewasa/indukan). Pada kondisi ex-situ, ikan tambra berukuran sedang cenderung menyukai badan air yang lebih dalam dan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Kondisi habitat ikan tambra di kawasan Pegunungan Muller secara umum masih cukup baik.
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat terselenggara melalui Program Kompetitif LIPI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati, Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan LIPI beserta jajaran pengurus Program Kompetitif, Kabid Zoologi, dan Kapuslit Biologi-LIPI. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan naskah ini.
DAFTAR PUSTAKA Desai, V.R. 2003. Synopsis of biological data on the Tor mahseer Tor tor (Hamilton, 1822). FAO Fisheries Synopsis No. 158. Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Haryono. 1992. Perikanan dan aspek budayanya pada masyarakat Dayak di sekitar Cagar Alam Kayan Mentarang Kalimantan Timur. Seminar Borneo Research Council Second Biennial. Kota Kinabalu, Sabah, Mei 1992. Haryono. 1994. Komunitas Ikan di Perairan Cagar Alam Kayan Mentarang. [Laporan Perjalanan]. Bogor: WWF-IP dan Puslit Biologi-LIPI. Haryono. 2005a. Domestikasi Ikan Tambra [Tor tambroides] yang sangat Langka dan Mahal untuk Pemanfaatan Berkelanjutan. [Laporan Akhir Program Kompetitif]. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Haryono. 2005b. Keanekaragaman Iktiofauna di kawasan Pegunungan Muller. Dalam Hendrian, D.M. Puspitaningtyas dan Sutrisno (eds.). Pegunungan Muller Warisan Dunia di Jantung Kalimantan. Bogor: PKT Kebun Raya Bogor. Haryono. 2006. Mengenal tambra (Tor tambroides) ikan raja dari Pegunungan Muller Kalimantan Tengah. Fauna Indonesia 6 (1): 27-30. Haryono dan J. Subagja. 2007. Pertumbuhan ikan tambra (Tor tambroides) dan kancera (Tor soro) pada proses domestikasi dengan jenis pakan yang berbeda. Jurnal Biologi Indonesia 4 (3): 167-175. Ingram, B., S. Stephen, T. David, S. Sih-yang, D. Silva and S. Sena. 2005. Indiced spawning, larval development and rearingof two indigenous Malaysian mahseer, Tor tambroides and T. douronensis broodfish in captivity. Aquaculture Research 36 (10): 983-995. Kiat, Ng Chi. 2004. The kings of the rivers Mahseer in Malayan and the region. Selangor: Inter Sea Fishery. Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari and S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Singapore: Periplus Editions Limited. KPPL. 1992. Booklet Masalah Perkotaan dan Lingkungan. Jakarta: Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta. Krebs,C.J. 1989. Ecological methodology. New Yor: Harper & Row. Nontji, A. 1992. Lake Kerinci: Fisheries and Aquatic Weeds Problems. Bogor: Asian Wetland Bureu-Indonesia Project Report No. 37. Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standards for Tropical Countries. Bangkok: Asia Institute of Technology. Rachmatika, I. dan Haryono. 1999. Iktiofauna dan pengembangan perikanan di Taman Nasional Bentuang Karimun Kalimantan Barat. Dalam Herwasono, H. (ed). Prosiding Rencana Pengelolaan TN. Bentuang Karimun. Jakarta: WWF-IP, PHPA dan ITTO. Rupawan. 1999. Beberapa sifat biologi dan ekologi ikan semah (Tor douronensis) di Danau Kerinci dan Sungai Merangin. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 5 (4): 1-6. Sulastri, I. Rachmatika dan D.I. Hartoto. 1985. Pola makan dan reproduksi ikan Tor spp. sebagai dasar budidayanya. Berita Biologi 3(3): 84-91.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 310-314
Kajian Etnobotani Pandan Samak (Pandanus odoratissimus L.f.): Pemanfaatan dan Peranannya dalam Usaha Menunjang Penghasilan Keluarga di Ujung Kulon, Banten The ethnobotanical study on screwpine (Pandanus odoratissimus L.f.): usage and importance in supporting the domestic economy of the local people in Ujung Kulon, Banten MULYATI RAHAYU♥, SITI SUNARTI, ARY PRIHARDHYANTO KEIM ”Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor 16911 Diterima: 16 Juli 2008. Disetujui: 7 September 2008.
ABSTRACT The local people of Ujung Kulon use the leaves of screwpine (Pandanus odoratissimus L.f.) for their daily purposes, especially making mats. The people recognise two entities of pandanus/screwpine as two different taxa, the “pandan samak” and “pandan laut”. Both are identified here as belonging to P. odoratissimus. The two taxa are regarded closely related, in which the “pandan laut” is believed to be the wild type of the domesticated “pandan samak”. Its cultivated in Ciundil. Although P. furcatus Roxburgh and P. dubius Sprengel are also recognised, neither is used as source of mats. © 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: ethnobotany, pandan, Pandanus odoratissimus L.f., Ujung Kulon.
PENDAHULUAN Alam Indonesia cukup banyak tersedia keanekaragaman tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kerajinan, antara lain anyaman. Untuk menghasilkan produk anyaman dari bahan tumbuhan diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mengenal tumbuhan yang memiliki serat yang panjang dan kuat. Salah satu ragam tumbuhan yang memenuhi kedua persyaratan tersebut adalah pandan, yaitu salah satu anggota suku pandan-pandanan (Pandanaceae), terutama dari marga Pandanus. Jenis-jenis dari marga Pandanus merupakan anggota Pandanaceae yang paling luas persebarannya dan kisaran habitat yang ditempatinya. Tumbuhan tersebut dapat ditemukan mulai dari pantai berpasir hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 3500 m dari permukaan laut; dan mulai dari hutan sekunder dan padang rumput dengan corak ragam tanah mulai dari tanah basah subur berhumus, kapur, rawa gambut hingga tanah berpasir yang relatif kering dan miskin zat-zat hara (Stone, 1982). Marga Pandanus tercatat memiliki anggota sekitar 700 jenis (Stone, 1982 dan 1983). Di Jawa diperkirakan terdapat 16 jenis (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr,. 1968). Dari hasil eksplorasi terbaru di Ujung Kulon tercatat empat jenis (Keim et al,. 2006). Dari sekitar 700
♥ Alamat korespondensi: Jl. Bogor-Cibinong Km.46 Cibinong, Bogor 16911 Tel. +62-21-8754587; Fax. +62-21-8754588 e-mail: mulyati_r@yahoo.com
jenis tersebut, pandan samak (Pandanus odoratissimus L.f.) adalah jenis yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk berbagai macam keperluan, mulai dari bumbu masak, bahan obat, hingga keperluan keagamaan (Rumphius, 1743; Grimble, 1934; Powell, 1976a, 1976b; Stone, 1982, 1984; Rose, 1982; Sillitoe, 1983; Hyndman, 1984; French, 1986; Haberle, 1991a, 1991b; Milliken, 1994; Leigh, 2002; Walter dan Sam, 2002; Englberger et al,. 2003; Thomson et al,. 2006). Terkait dengan industri kerajinan, Hofstede (1925) melaporkan bahwa awal abad ke-20 kawasan Tangerang merupakan salah satu pusat produksi kerajinan pandan di Indonesia, yang pada saat itu produknya sudah dipasarkan hingga ke mancanegara, seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Italia, Perancis, dan Singapura. Perubahan tata kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan yang semakin pesat dewasa ini tentu akan berdampak pada budaya, pola hidup, dan kelestarian sumberdaya alam hayati, termasuk pandan. Pengetahuan tradisional tentang tata cara pemanfaataan pandan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi akan mengalami erosi dengan masuknya teknologi modern. Di sisi lain eksploitasi sumberdaya alam akan meningkat seiring dengan perkembangan industri yang semakin maju. Hasil pengkajian lapangan mengemukakan bahwa usaha pelestarian pandan melalui pola budidaya belum banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia umumnya dan Ujung Kulon khususnya. Didasarkan hal tersebut di atas dilakukan kajian penelitian etnobotani tentang pemanfaatan dan peranan ekonomi pandan samak (Pandanus odoratissimus) di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon dan sekitarnya.
RAHAYU dkk. – Etnobotani Pandanus odoratissimus di Ujung Kulon
311
pucat-krem, panjang mencapai 50 cm; bunga jantan sangat banyak, tersusun kompak dan berjejalan dalam satu cabang perbungaan, wangi, membuka hanya dalam 1 hari, Lokasi penelitian etnobotani pandan pantai di Ujung dalam 3-4 hari perbungaan jantan layu. Perbuahan Kulon, Banten dilakukan di 3 lokasi yaitu Ciundil (di luar tunggal, di ujung, bentuk gada, panjang ca. 1 m atau lebih. kawasan taman nasional), Legon Pakis dan Tanjung Lame Buah berupa buah majemuk dua tingkat (cephalium), (di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon). membulat hingga bulat melonjong, keras, berat mencapai Masyarakat yang menghuni ke-3 lokasi tersebut di atas 15 kg, panjang 8-30 cm, diameter 4-20 cm, hijau berubah sebagian besar adalah suku Sunda. Suku-suku pendatang menjadi oranye kemerahan bila masak, tersusun atas antara lain. Jawa dan Bugis. Mata pencaharian utama jejalan 38-200 buah majemuk tingkat satu (phalange); penduduknya adalah bertani padi sawah (lahan basah). antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya dipisahkan Metode kerja dilakukan dengan pengamatan langsung oleh relung. Phalange bulat melonjong hingga membulat di lapangan dan wawancara semi structural dan open telur, menyempit di bagian bawah, hijau hingga oranye di ended dengan subyek beberapa informan yang meliputi bagian atas, kuning hingga oranye kemerahan di bagian pengrajin pandan dan tokoh adat. Data yang dicatat bawah, 2.5-11 cm x 1.5-6.5 cm, terdiri dari 4-15 daun buah; mencakup keberadaan dan kepemilikan tanaman pandan tiap phalange terdiri dari jejalan 4-15 buah tunggal (drupa), samak (P. odoratissimus) di lapangan, proses pembuatan tersusun kompak dan rapat. Drupa bulat melonjong hingga anyaman, dan aspek sosial-ekonomi produk anyaman membulat telur, bentuk-ukuran-warna sama dengan tersebut bagi masyarakat setempat. phalange; pangkal putik pendek, coklat hingga coklat kehitaman, menghadap ke dalam. Karakter morfologi P. odoratissimus -terutama bentuk, HASIL DAN PEMBAHASAN warna dan ukuran phalange- sangat bervariasi. Sedemikian bervariasinya sehingga banyak nama jenis baru diterbitkan Gatra botani pandan samak untuk tiap variasi tersebut (Jebb, 1992). Beberapa nama Pandanus odoratissimus L.f. – Supplementum jenis yang dipublikasi untuk takson dari Jawa saja antara Plantarum 1782. Type: Srilangka (Ceylon), Thunberg s.n. lain P. littoralis Junghuhn dan P. samak Hasskarl. Kedua “Zeylan” (holotype U). nama tersebut sudah dinyatakan sebagai sinonim untuk P. Perawakannya berupa pandan pohon berukuran sedang odoratissimus (Warburg, 1900a dan 1900b). Selain itu hingga besar. Batang tingginya mencapai tinggi 15 m. Akar keabsahan nama jenis P. odoratissimus sendiri masih penopang tampak jelas, mencapai tinggi 1 m atau lebih, merupakan kontroversi hingga saat ini, terutama terkait berbintil tajam, kulit luar abu-abu kecoklatan. Dedaunan dengan polemik di antara para ahli akan mana nama yang tersusun dalam karangan rapat, di ujung atas batang, lebih valid P. odoratissimus atau P. tectorius Parkinson tersusun melingkar dalam 3 lingkarann; helaian daun ex.Z. berukuran 50-300 cm x 5-16 cm, kaku, agak berlilin putih, Heyne (1927) mencatat banyak nama daerah untuk ujung meruncing, tepinya berduri kaku-sangat tajam, duri takson yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, antara kuning pucat; permukaan atas hijau, halus, duri pada lain pandan laut, pandan samak, pandan tebu, pandan lipatan daun bagian atas tidak jelas, pertulangan daun nipah, pandan bau-bau, pandan putih, pandan kapur, halus; permukaan bawah hijau pucat, pertulangan daun pandan abu, pandan cucuk, pandan duri, dan masih banyak lebih jelas, duri di sepanjang tulang daun utama, duri lagi. Pemberian nama daerah merujuk kepada tiga hal membalik sangat jelas. Perbungaan jantan di ujung, penting, yaitu morfologi (termasuk kemiripan dengan jenis panjang ca. 1 m, tandan dengan ca. 10 cabang tumbuhan lain yang lebih dikenal misalnya tebu, nipah), perbungaan, masing-masing cabang dengan daun tempat tumbuh, dan kegunaannya. Pemberian nama pelindung, daun pelindung kuning pucat hingga kuning daerah merujuk kepada ketiga hal tersebut merupakan praktek yang sangat umum dalam berbagai kebudayaan (Berlin, 1973, 1992). Secara tradisional pandan digunakan oleh masyarakat di kawasan Malesia dan Pasifik untuk berbagai macam keperluan sehari-hari. P. Panaitan Pemanfaatan padan di bagian barat Malesia (termasuk kawasan barat Indonesia)tidak seluas di bagian timur Malesia (termasuk kawasan timur Indonesia) dan Pasifik (Powel, 1976a, 1976b; Stone, 1982, 1984; Leigh, 2002). Di bagian barat Indonesia umumnya hanya P. Peucang daun pandan yang digunakan, seperti untuk P. Handeuleum •1 bahan penyedap makanan (pandan wangi P. Semenanjung amaryllifolius Roxb.) dan pemanfaatan lain Ujung Kulon hanya sebatas untuk peralatan rumah tangga •3 •2 seperti tikar, topi, keranjang, dan upacara adat (pandan samak P. odoratissimus; pandan bidur P. dubius Spreng. dan cangkuang P. furcatus Roxb.). Di Lombok (Nusa Tenggara Barat), daun pandan digunakan dalam upacara adat perang-perangan yang berkaitan Gambar 1. Lokasi penelitian etnobotani pandan samak: 1 = Ciundil, 2 = Legon dengan prosesi kesuburan tanah (Keim, Pakis, 3 = Tanjung Lame, Ujung Kulon, Banten. 2007). BAHAN DAN METODE
312
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 310-314
Hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa pemanfaatan pandan samak di lokasi penelitian hanya untuk kebutuhan bahan baku anyaman seperti tikar dan keperluan rumah tangga lainnya dan tidak dijumpai adanya tradisi penggunaan pandan samak untuk upacara adat. Selain pandan samak, masyarakat di Jawa Barat khususnya di daerah Tasikmalaya, juga mengenal takson lain yang dibudidayakan guna dimanfaatkan daunnya sebagaimana layaknya pada pandan samak. Takson ini dikenal dengan nama daerah jaksi atau pandan jaksi, jaksi jalu dan pandan temen (Susiarti dan Rahayu, 2006). Perbedaan ketiga takson tersebut didasarkan pada ukuran panjang daun, warna, tektur dan duri pada daun serta sistem perakaran. Di antara ketiga tanaman pandan budidaya ini, pandan jaksi adalah yang paling umum ditanam dan digunakan pengrajin pandan Tasikmalaya karena tektur daunnya lebih halus sehingga lebih mudah untuk dianyam untuk berbagai keperluan. Berbeda dengan pandan samak, pandan-pandan tersebut di atas ditemukan dan dibudidayakan di daerah pegunungan. Lebih jauh lagi, pandan-pandan ini ditemukan tidak pernah berbunga, ukuran daun lebih pendek, tekstur yang lebih halus dan lunak sehingga lebih mudah untuk dianyam. Menurut Keim (komunikasi pribadi) pandan jaksi kemungkinan besar adalah cangkuang, jenis yang juga diketahui terdapat di Jawa Barat, tumbuh di pedalaman (termasuk dataran agak tinggi), dan juga dibudidayakan serta dimanfaatkan daunnya (Backer, 1925; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink Jr., 1968). Cangkuang diketahui ditanam oleh masyarakat Sunda pada tempat-tempat suci Hindu-Sunda atau yang dikeramatkan seperti yang ditemukan di Subang yang dikenal sebagai situs candi Cangkuang. Berbeda dengan masyarakat di Tasikmalaya dan Subang, masyarakat di Ujung Kulon hanya mengenal tanaman budidaya pandan laut (P. odoratissimus) -mereka menyebutnya dengan pandan samak (Gambar 2) dan pandan wangi (P. amaryllifolius Roxb.) sebagai jenis-jenis pandan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Meski di Ujung Kulon juga ditemukan P. furcatus dan bidur P. dubius Spreng. (Keim et al,. 2006), masyarakat setempat tidak membudidayakan serta memanfaatkannya sebagaimana pandan samak. Dalam kaitan dengan P. odoratissimus, masyarakat Ujung Kulon mengenal dua entitas yang berbeda di mana mereka membedakan antara takson yang dibudidayakan (disebut dengan pandan samak) dan yang liar (disebut dengan pandan laut). Masyarakat Ujung Kulon memahami dengan baik meskipun menempatkan keduanya ke dalam dua entitas yang berbeda, mereka menempatkan keduanya sebagai berkerebat sangat dekat, lebih dekat daripada dengan cangkuang atau bidur. Pembubuhan kata “laut” dalam nama daerah pandan “laut” dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Ujung Kulon memahamniya sebagai takson liar darimana pandan samak dahulu diambil oleh leluhur mereka untuk dibudidaya. Poses pembuatan bahan anyaman Daun muda pandan yang masih lentur dengan panjang 1 m atau lebih diambil untuk bahan anyaman. Bagian ujung dan pangkal daun dipotong sehingga berukuran 80-100 cm. Duri di bagian tepi daun dihilangkan dengan menggunakan alat yang disebut “panyucuk”, kemudian daun dibelah memanjang dengan “panyoak” menjadi 4 bagian. Daun yang telah dibelah menjadi 4 tersebut dikenal dengan sebutan “aray”. Lebar aray dapat diatur dengan panyoak. Makin sempit lebar array, hasil anyaman semakin halus,
kemudian getah atau lendir yang terdapat pada aray dihilangkan dengan menggunakan “pamaut” sehingga aray menjadi lentur dan mudah untuk dianyam. Setelah aray terkumpul sebanyak 1 genggam (dihasilkan dari sekitar 20 lembar daun pandan), lalu diikat, dijemur atau dikering anginkan selama sekitar 2-3 jam, kemudian dilipat menjadi 4 bagian, selanjutnya direbus selama 6 jam. Setelah itu didiamkan atau direndam dalam air selama 2 jam dengan tujuan untuk menghilangkan sisasisa lendir yang masih menempel pada daun. Aray yang telah dimasak, dijemur kembali di bawah sinar matahari selama 2 hari dan hasilnya disebut “aray putihan” atau “aray bodas” (bodas artinya putih). Sebelum dianyam aray putihan ini dipukul-pukul perlahan-lahan atau dipaut kembali agar menjadi lemas dan permukaannya halus. Proses awal menganyam disebut ”ngelabang” -karena bentuknya seperti kaki kelabang- dan akhir menganyam disebut”ngaput” yaitu menutup bagian tepi anyaman. Sebelum dipasarkan, hasil anyaman tikar dijemur kembali agar terlihat tidak kusam (Gambar 3). Lamanya perebusan dan ukuran aray merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil anyaman. Jika pada penjemuran kurang sinar atau cuaca mendung maka hasil anyaman tampak berwarna putih kusam, sedangkan jika perebusan aray kurang lama maka aray mudah patah pada saat dianyam. Proses menganyam “samak” tikar atau “kaneron” tas membutuhkan waktu selama 2 hari. Setiap 1 lembar tikar dengan ukuran 1,20 x 2 m memerlukan 3 ikatan aray bodas, sementara untuk kaneron sebanyak 2 ikatan. Menurut penuturan penduduk, selain pandan samak, daun cangkuang dan bidur juga dapat dianyam, namun kurang umum dilakukan karena hasil anyaman daun kedua jenis tersebut kurang halus dan kurang awet (hanya bertahan sekitar 2 tahun saja), sementara hasil anyaman pandan samak dapat bertahan hingga 4 tahun. Pandan “laut” (hidupan liar dari pandan samak) tidak diminati sebagai bahan baku anyaman karena struktur daunnya yang kaku dan getas (mudah patah) sehingga proses pemasakannya akan memakan waktu yang jauh lebih lama. Nilai sosial ekonomi Kebiasaan menganyam tampaknya merupakan tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di Jawa (Backer 1925; Hofstede 1925), termasuk di Ujung Kulon. Menurut informasi masyarakat, saat ini kegiatan menganyam pandan di Ujung Kulon hanya dijumpai di beberapa daerah seperti Ciundil, Legon Pakis, Tanjung Lame dan Cegok. Hanya di Ciundil bahan baku daun pandan untuk kerajinan anyaman dipanen dari tanaman yang dibudidaya, sementara di kedua lokasi lainnya diambil dari tumbuhan liar. Menurut keterangan masyarakat, pandan samak pertama kali dibudidayakan di Ciundil pada tahun 1950-an. Kegiatan budidaya tersebut ditengarai sudah jauh lebih tua dari yang diketahui, karena Hofstede (1925) dan Backer (1925) telah mencatat bahwa masyarakat di Jawa Barat, termasuk Ujung Kulon, telah lama menanam pandan samak untuk kebutuhan seharihari. Catatan di seputar tahun 1950-an lebih mengacu kepada penanaman secara luas untuk kegiatan perekonomian. Kegiatan menganyam daun pandan di Ciundil sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria umumnya membantu dalam pengambilan daun dan memasarkan hasil anyaman. Sekitar 90% dari jumlah KK di Ciundil dapat menganyam daun pandan samak untuk tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk diperdagangkan. Dalam 1 bulan pengrajin dapat
RAHAYU dkk. â&#x20AC;&#x201C; Etnobotani Pandanus odoratissimus di Ujung Kulon
A
B
313
C
Gambar 2. Pandan samak (P. odoratissimus) di Ujung Kulon. A. Struktur cephalium dari P. odoratissimus tampak jelas beserta daun yang berlilin putih. B. Anakan atau â&#x20AC;&#x153;sengketâ&#x20AC;?. C. Populasi pandan samak yang siap dipanen.
A
F
B
G
C
H
D
I
Gambar 3. Tahap-tahap pembuatan bahan anyaman tikar dengan bahan dasar daun P. odoratissimus (A-J).
E
J
314
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 310-314
menghasilkan 10-15 lembar tikar samak yang diperdagangkan dengan harga jual Rp. 10.000-15.000 per lembarnya. Karena tidak semua penduduk mempunyai pohon pandan samak, maka pembagian hasil penjualan antara pemilik pohon dan pengrajin adalah 2 : 1. Kendala yang dihadapi pengrajin pandan adalah pemasarannya. Menurut mereka saat ini dalam 1 bulan hanya terjual 5-10 tikar. Berdasarkan hasil pengamatan penyebab rendahnya daya jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon terutama disebabkan oleh masih sederhananya teknik penganyaman serta tidak digunakannya pewarna sehingga tikar masih nampak kusam dan kurang menarik. Penyuluhan tentang teknik penganyaman yang lebih baik dengan ditunjang oleh pewarnaan yang lebih kaya dan variatif sangat dianjurkan dengan harapan dapat meningkatkan nilai jual tikar produksi masyarakat Ujung Kulon tersebut. Berbeda dengan Ciundil, di Legon Pakis dan Tanjung Lame kegiatan menganyam tikar samak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kedua lokasi tersebut terletak di dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, sehingga pengambilan daun sangat dibatasi karena eksploitasi yang berlebihan dikhawatirkan dapat mengganggu pelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional. Budidaya pandan samak Budidaya pandan samak tidak memerlukan persyaratan khusus. Anakan atau tunas-tunas yang keluar dari batang dan dikenal dengan sebutan “sengket” dapat dijadikan bibit (Gambar 1b, 1c). Bibit ditanam pada lahan yang agak basah dengan kedalaman 20-30 cm dengan jarak tanam 80-100 cm Penyiangan atau pembersihan gulma tidak diperlukan setelah 1 tahun masa tanam. Pengambilan daun pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 tahun atau setelah keluar daun 19-15 lembar. Pemanenan dapat dilakukan setiap 2 bulan sekali selama lebih dari 20 tahun.
KESIMPULAN Masyarakat Ujung Kulon memanfaatkan daun pandan pantai (Pandanus odoratissimus) untuk pembuatan aneka kebutuhan rumah tangga, terutama tikar. Masyarakat mengenal dua entitas yang berbeda untuk dua taksa yang diidentifikasi sebagai P. odoratissimus, pandan samak dan pandan “laut”. Keduanya dianggap berkerabat dekat dengan pandan “laut” yang merupakan hidupan liar untuk pandan samak. Meskipun mengenal dengan baik cangkuang (P. furcatus) dan bidur (P. dubius), keduanya tidak dipakai sebagai bahan baku anyaman. Hanya di Ciundil pandan samak tercatat dibudidayakan masyarakat. Perlu adanya penyuluhan tentang teknik menganyam dan penerapan model (design) dan tata warna yang lebih bervariasi guna meningkatkan nilai jual tikar samak masyarakat Ujung Kulon. Peningkatan nilai jual diharapkan akan meningkatkan volume penjualan dan pada akhirnya akan menarik lebih banyak keterlibatan anggota masyarakat dalam industri kerajinan tersebut serta akhirnya akan melestarikan tradisi kerajinan daun pandan Ujung Kulon.
DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. 1925. Handboek voor de Flora van Java. vol. 1. Batavia: Drukkerijen Ruygrok. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java (Spermatophytes only). vol. 3. Groningen: NV. P. Noordhoff. Berlin, B. 1973. Folk systematics in relation to biological classification and nomenclature. Annual Review of Ecology & Systematic 4: 250-271. Berlin, B. 1992. Ethnobiological Classification: Principles of Categorization of Plants and Animals in Traditional Societies. Princeton: Princeton University Press. Englberger, L., M.H. Fitzgerald and G.C. Marks. 2003. Pacific Pandanus fruit: An ethnographic approach to understanding an overlooked source of provitamin A carotenoids. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 12: 38-44. French, B.R. 1986. Food Plants of Papua New Guinea: A Compendium. Tasmania: Sheffield. Grimble, A. 1934. The migration of a Pandanus people. Memoirs of the Polynesian Society 12: 1-185. Haberle, S.G. 1991a. Ethnobotanical research in the Tari Basin, Papua New Guinea. Program & Abstract of New Perspectives on the Papua New Guinea Highlands: An Interdisciplinary Conference on the Duna, Huli and Ipili Peoples. Canberra: Australian National University. Haberle, S.G. 1991b. Ethnobotany of the Tari Basin, Southern Highlands Province, Papua New Guinea: Monograph, Biogeography and Geomorphology. Canberra: Australian National University. Heyne, K. 1927. De Nuttige Planten van Nederlandsch Indië. 2nd ed. vol. 1. Batavia: Department van Landbouw, Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indië. Hofstede, H.W. 1925. Het Pandanblad: Als Grondstof voor de Pandanhoedenindustrie op Java. Eibergen: H. Heinen. Hyndman, D.C. 1984. Ethnobotany of Wopkaimin Pandanus: Significant Papua New Guinea plant resources. Economic Botany 38 (3): 287-303. Jebb, M. 1992. A Field Guide to Pandanus in New Guinea, the Bismarck Archipelago & the Solomon Islands. Madang: Christensen Research Institute. Leigh, C. 2002. Baining Dances and Bark Cloth Masks, East Britain Province-Papua New Guinea. Tucson: Art-Pacific. Keim, A.P., Rugayah, S. Prawiroatmodjo, M. Rahayu, F.I. Windadri, S. Sunarti, K. Kramadibrata, Y. Santika, Dewi, Sunardi, dan Hamzah. 2006. Keanekaragaman suku pandan (Pandanaceae) di beberapa wilayah terpilih dalam lingkup Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Revisi Suku-suku Terpilih, Taman Nasional Ujung Kulon-Banten. Herbarium Bogoriense, Bogor. Bogor: Puslit Biologi LIPI. Keim, A.P. 2007. 300 tahun Linnaeus: Pandanaceae, Linnaeus dan Koneksi Swedia.”Memperingati 300 tahun Carolus Linnaeus”. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor, 24 Mei 2007. Milliken, W. 1994. Ethnobotany of the Yali of West Papua. Edinburgh: Royal Botanic Garden. Powell, J.M. 1976a. Ethnobotany. In: Paijmans, K. (ed.). New Guinea Vegetation. Amsterdam: Elsevier. Powell, J.M. 1976b. Some useful wild and domesticated plants of the Huli of Papua. Science in New Guinea 4: 173-201. Rose, C.J. 1982 Preliminary observations on the Pandanus nut (Pandanus julianettii Martelli). Proceedings of the Second Papua New Guinea Food Crops Conference. Port Moresby: Department of Primary Industry, PNG. Rumphius, G.E. 1743. Herbarium Amboinense. Vol. 4. Amsterdam: Franciscus Changuion. Sillitoe, P. 1983. Natural resources exploited by the Wola in the manufacture of artifacts. Science in New Guinea 10: 112-133. St. John, H. 1963. The proposal (93) to conserve Pandanus L.f. Taxon 12 (5): 201-204. Stone, B.C. 1982. New Guinea Pandanaceae: First approach to ecology and biogeography. In: Gressitt, J.L. (ed.). Biogeography and Ecology of New Guinea. Vol. 1. Monographiae Biologicae 42. The Hague: Dr. W. Junk Publ. Stone, B.C. 1983. A guide to collecting Pandanaceae (Pandanus, Freycinetia and Sararanga). Annals of the Missouri Botanical Garden 70: 137-145. Stone, B.C. 1984. Pandanus from Ok Tedi Region, Papua New Guinea, collected by Debra Donoghue. Economic Botany 38: 304-313. Susiarti, S. dan M. Rahayu. 2006. Kajian Etnobotani Pandanaceae di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Laporan Perjalanan Eksplorasi dan Pengungkapan Pemanfaatan Flora untuk Refisi Suku-suku Terpilih. Bogor: Puslit Biologi LIPI. Thomson, L.A.J., L. Englberger, L. Guarino, R.R. Thaman and C.R. Elevitch. 2006. Pandanus tectorius (pandanus). Hōlualoa-Hawai’i: Permanent Agriculture Resources (PAR). Walter, A. and C. Sam. 2002. Fruits of Oceania. ACIAR Monograph No. 85. Canberra: ACIAR Warburg, O. 1900a. (1 Oct.). Pandanaceae. In: Schum K. and Lauterbach (eds.). Die Flora der Deutschen Schutzgebiete. pp: 159-162. Leipzig: Gebrüder Borntraeger. Warburg, O. 1900b. (21 Dec.). Pandanaceae. In: Engler, A. (ed.). Pflanzenreich 4, 9 (3): 1-100. Berlin: Engelmann.
ISSN: 1412-033X Oktober 2008
BIODIVERSITAS Volume 9, Nomor 4 Halaman: 315-321
Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 3. Diagram Profil Vegetasi Mangrove plants in coastal area of Central Java: 3. Horizontal and vertical diagram of vegetation profile AHMAD DWI SETYAWAN1,4,â&#x2122;Ľ, KUSUMO WINARNO (Alm)1,3, INDROWURYATNO1,2, WIRYANTO1,3, ARI SUSILOWATI1 1
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. 3 Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. 4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126. 2
Diterima: 11 September 2004. Disetujui: 26 Januari 2004.
ABSTRACT The study was intended to observe the horizontal and vertical diagrams of mangrove vegetation profile on southern and northern coast of Central Java Province. This research was conducted in July until December 2003, at 20 sites. Analysis of profile diagram was done in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt transect method, from coast line into landward. The result indicated that the diagram profile of vegetation showed the height of anthropogenic influence, where the vegetation was dominated by young plants; there were only (1)-2-(3-4) strata of canopy (storey). Human disturbance caused most of the vegetation in the secondary succession level; almost it has not in the climax condition level. The area in the belt transect that used to build diagram usually have canopy gap or bare land caused by logging, or to be converse into another land use, especially sawah (rice field) and tambak (fish pond and salt extraction). The resistance of young plant gives hope to the sustainability of the mangrove plant in Central Java, but width scale of environmental changes can degrade this habitat completely. Š 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Key words: vegetation profile, horizontal and vertical diagrams, Central Java Province.
PENDAHULUAN Kawasan pesisir pantai utara dan selatan Jawa Tengah, merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis mengalami perubahan. Kegiatan antropogenik telah merambah hampir seluruh jengkal permukaan tanah Jawa, termasuk kawasan mangrove yang sering dianggap terpencil, kotor, dan dijauhi. Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam, karena perbedaan fisiografi pantainya. Pantai utara cenderung berlumpur dengan hempasan gelombang yang relatif kecil, sedangkan pantai selatan cenderung bertanah pasir dan berbatu-batu dengan kondisi gelombang yang sangat kuat. Tumbuhan mangrove memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap kondisi ini (Steenis, 1958; 1965). Kondisi lingkungan di masa depan dapat diprediksi dari komposisi dan struktur biota pada saat ini. Spesies atau komunitas tertentu yang interaksinya unik dalam ekosistem dapat digunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui kualitas lingkungan, mengidentifikasi permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi pada masa depan. Pengetahuan tentang pola pertumbuhan berbagai vegetasi hutan dapat menjadi dasar untuk memprediksi â&#x2122;Ľ Alamat korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126 Tel. & Fax.: +62-271-663375 e-mail: unsjournals@gmail.com
kemungkinan perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan (Aumeeruddy, 1994). Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera (Chapman, 1992; Nybakken, 1993). Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga Xylocarpus, dan Heritieria, bagian dalam Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans (Odum, 1971; Sukardjo, 1985; Tomlison, 1986). Pada masa kini pola zonasi tersebut jarang ditemukan karena tingginya laju konversi habitat mangrove menjadi tambak, penebangan hutan, sedimentasi/reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Walsh, 1974; Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera, 1993). Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa, serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem (Dubayah dkk., 1997). Kanopi/tajuk hutan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Keberhasilan sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung karakter/ penampakan anak pohon (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi ketersediaan cahaya dan perbedaan
316
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 315-321
kemampuan antar spesies anak pohon dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi dinamika hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996). Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan tropis. Konsep ini telah dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun masih menjadi perdebatan (Richards, 1996; Smith, 1973; Whitmore, 1985). Beberapa peneliti menyatakan adanya strata pada kanopi hutan (Davis dan Richards, 1933; Ashton dan Hall, 1992), namun peneliti lain tidak menemukannya (Paijmans, 1970). Penyebab utama kerancuan ini adalah subyektivitas definisi dan metode yang digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga perbedaan yang saling terkait, yaitu: stratifikasi vertikal biomassa (Ashton dan Hall, 1992), stratifikasi vertikal kanopi (Grubb dkk., 1963), dan stratifikasi vertikal spesies (Oliver, 1978). Stratifikasi boleh jadi ada berdasarkan salah satu definisi, tetapi tidak ada berdasarkan definisi lainnya. Misalnya, biomassa dapat saja terstratifikasi, tetapi kanopi tidak dapat ditentukan stratifikasinya, atau kanopi spesies yang sama terletak pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Namun ada atau tidaknya strata kanopi, konsep stratifikasi tetap merupakan alat yang sangat berguna untuk mengkaji distribusi vertikal tumbuhan dan hewan (Halle dkk., 1978). Metode tertua dan paling banyak digunakan untuk mengkaji stratifikasi/arsitektur kanopi adalah diagram profil hutan secara vertikal dan horizontal (Baker dan Wilson, 2000). Teknik ini pertama kali diterapkan oleh Watt (1924) pada hutan temperate, sedangkan Davis dan Richards (1933) adalah orang pertama yang menerapkannya pada hutan tropis. Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan kualitatif (Aumeeruddy, 1994; Baker dan Wilson, 2000). Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan (Grubb dkk., 1963; Ashton dan Hall, 1992). Stratifikasi di hutan tropis memiliki beberapa variasi, tetapi umumnya terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan pertama terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 30-45 m, lapisan kedua terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 1827 m, lapisan ketiga terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 8-24 m, lapisan semak terdiri dari anak pohon dan semak dengan ketinggian < 10 m, serta lapisan herba (Euwise, 1980). Hingga kini diagram profil hutan masih merupakan standard untuk mengidentifikasi stratifikasi kanopi hutan, meskipun memiliki beberapa kekurangan, yaitu interpretasinya dapat subyektif, membutuhkan banyak tenaga untuk mengerjakannya, dan dipengaruhi kondisi lokasi (Baker dan Wilson, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diagram profil vertikal dan horizontal vegetasi mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah; sehingga dapat menggambarkan preferensi habitat, strata kanopi, dan pengaruh antropogenik terhadap kelestarian ekosistem ini.
BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli s.d. Desember 2003, pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai. Cara kerja Pada setiap lokasi di atas dibuat profil hutan secara vertikal dan horizontal, memanjang dari arah bibir pantai atau muara sungai ke arah daratan dengan menggunakan belt transect, dengan tiga kali ulangan. Pemilihan titik untuk meletakkan belt transect didasarkan atas kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan di tempat tersebut, serta dengan mempertimbangkan penampakan umum tegakan, sehingga profil diagram yang dibuat dapat mewakili vegetasi mangrove di lokasi tersebut. Ukuran belt transect 60x10 m2, untuk memudahkan penghitungan di dalamnya dibuat 6 2 plot kuadrat, masing-masing berukuran 10x10 m . Arah memanjang transek dari laut/muara menuju ke daratan dinyatakan sebagai sumbu x, arah melebar transek sebagai sumbu y, dan arah ke atas sebagai sumbu z, sehingga diperoleh sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 10 m, sumbu tegak: z = 20 m. Penentuan sumbu tegak yang hanya 20 m, didasarkan kenyataan bahwa pepohonan mangrove di lokasi penelitian bertinggi < 20 m. Belt transect ini juga digunakan dalam analisis komposisi dan struktur vegetasi (Setyawan dkk., 2005). Semua spesies pohon, anak pohon, dan semak di dalam plot diambil sampelnya untuk herbarium dan diidentifikasi. Pembuatan herbarium merujuk pada Lawrence (1951), sedang identifikasi merujuk pada Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Selanjutnya semua pohon, anak pohon, dan semak (θ â&#x2030;Ľ 5 cm) diberi nomor dan ditentukan posisinya terhadap sumbu x dan y, lalu diukur tinggi total, tinggi cabang pertama, lebar dan panjang kanopi, serta diameter setinggi dada (diameter at breast high; DBH; 130 cm), serta digambar posisi vertikalnya pada kertas grafik. Pohon yang tumbang dicatat panjang, diameter, dan posisinya terhadap sumbu x dan y, serta digambar. Kemudian data ditabulasi, gambar masingmasing individu pohon dan semak disatukan berdasarkan posisinya dan dibuat gambar diagram profil vegetasi secara vertikal, dilanjutkan diagram profil vegetasi secara horizontal dengan memproyeksikan kanopi ke permukaan lantai hutan. Berdasarkan profil hutan ini ditentukan jumlah strata pohon yang terbentuk (Baker dan Wilson, 2000; Aumeeruddy, 1994). Penentuan jumlah strata sangat tergantung keputusan pribadi peneliti (Grubb dkk., 1963). Dalam penelitian ini, stratifikasi ditentukan berdasarkan modus tinggi kanopi, kemudian dibuat jangkauan tertentu yang tidak tumpang tindih dengan strata di bawah atau di atasnya. Salah satu di antara ketiga diagram pada setiap lokasi ditunjukkan dalam tulisan ini.
SETYAWAN dkk. â&#x20AC;&#x201C; Diagram profil mangrove di Jawa Tengah
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang dijumpai di area penelitian tercakup dalam diagram profil vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif terbatas, serta hanya dilakukan (0-60 m) di dari bibir pantai atau bibir muara sungai ke arah daratan. Dalam penelitian ini ditemukan delapan spesies pohon dan semak yang memberi bentuk pada profil vegetasi, tediri dari tujuh spesies berhabitus pohon, termasuk satu palem, dan satu spesies berhabitus semak. Sebanyak lima spesies tergolong dalam kategori tumbuhan mangrove mayor, dan tiga tumbuhan mangrove minor (Tabel 1.). Hasil ini sama dengan jenis-jenis pohon yang ditemukan dalam analisis komposisi dan struktur vegetasi, mengingat keduanya menggunakan belt transect yang sama (Setyawan dkk., 2005). Adapun gambar profil vegetasi dari keduapuluh lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1A s.d. 1T. Dalam hal ini hanya ditunjukkan satu gambar yang paling mewakili untuk setiap lokasi mengingat keterbatasan halaman. Tabel 1. Kenekaragaman jenis tumbuhan yang memberi bentuk diagram profil vegetasi. Nama jenis
Habitus
Kategori
Avicennia spp. Sonneratia spp. Rhizophora spp. Excoecaria agallocha Aegiceras corniculatum Nypa fruticans Xylocarpus spp. Bruguiera spp.
Pohon Pohon Pohon Pohon Semak Pohon/palem Pohon Pohon
Mayor Mayor Mayor Minor Minor Mayor Minor Mayor
Diagram horizontal (preferensi habitat; zonasi) Kedelapan jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya variasi yang luas pada habitat mangrove di Jawa Tengah. Tumbuh-tumbuhan mangrove tersebut tidak sepenuhnya membentuk zonasi berdasarkan toleransinya terhadap periode penggenangan dan salinitas, sebagaimana pendapat umum yang dipegang banyak peneliti (misalnya: de Haan dalam Steenis, 1958). Dalam penelitian ini, mangrove tumbuh baik pada tepian garis pantai (marine environment) maupun tepian muara sungai (riverine environment). Bagian terdepan dari vegetasi mangrove (0-60 m dari tepi pantai atau muara sungai) tidak selalu didominasi tiga besar tumbuhan mangrove mayor, yakni Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., namun dapat pula berisi Nypa fruticans yang secara tradisional dinyatakan sebagai tumbuhan rawa burit (back swamp), yang biasa tumbuh pada garis paling belakang ekosistem mangrove, berbatasan dengan perairan tawar dan daratan (Steenis, 1958; 1965; Tomlison, 1986). Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, N. fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna (Ng dan Sivasothi, 2001). Pada beberapa lokasi, N. fruticans tumbuh pada perbatasan dengan area persawahan, yang pada masa lalu diperkirakan merupakan area rawa burit. Di Cingcingguling dan Serayu, spesies ini ditemukan baik pada bibir muara sungai yang terpengaruh langsung oleh arus pasang surut, maupun pada areal persawahan yang jauh dari pantai dan relatif tidak terpengarung arus pasang-surut karena adanya
317
tanggul-tanggul buatan. Tumbuhan ini membentuk kantungkantung yang rimbun di antara persawahan yang ditanami padi. Tidak terbentuknya zonasi, diperkirakan merupakan akibat dari besarnya pengaruh antropogenik, sehingga tumbuhan mangrove tidak lagi tumbuh secara alami, tetapi menjadi bagian dari kultur yang dikembangkan masyarakat khususnya pada kawasan dengan intensitas kegiatan manusia yang tinggi, seperti pantai utara Jawa; atau sekurang-kurangnya telah melakukan adaptasi terhadap aktivitas manusia, khususnya pada lokasi dengan aktivitas manusia lebih rendah seperti Segara Anakan. Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, hampir selalu dijumpai dalam plot penelitian. Hal ini wajar mengingat ketiganya merupakan tumbuhan mangrove mayor yang selalu berada di garis terdepan berhadapan dengan garis pantai atau muara sungai. Tumbuh-tumbuhan ini telah beradaptasi terhadap pengaruh fluktuasi arus pasang surut yang menyebabkan variasi genangan dan salinitas. Sebaliknya Bruguiera spp., yang juga termasuk tumbuhan mangrove mayor, umumnya hanya dijumpai pada arah daratan yang cenderung lebih kering, bahkan di belakang tanggul-tanggul buatan maupun alami. Spesies ini telah beradaptasi terhadap fluktuasi pasang surut yang lebih rendah, sehingga tanahnya memiliki kadar garam yang cenderung tinggi karena besarnya penguapan. Dalam penelitian ini Bruguiera spp. hanya ditemukan di Muara Dua dan Tritih, yang terletak di laguna Segara Anakan. Suatu kawasan mangrove yang sedang mengalami suksesi menuju ekosistem daratan akibat tingginya sedimentasi. Di Tritih, yang merupakan ekosistem mangrove buatan, spesies ini ditanam pada pematang jalan yang juga menjadi sarang kepiting lumpur (Thalassina anomala), akibat kurangnya perawatan, berupa gundukan-gundukan tanah dengan tinggi 1-1,8 m. Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. dapat ditemukan di pantai utara maupun selatan, namun preferensi Sonneratia spp. terhadap tanah berpasir menyebabkannya lebih mudah ditemukan di pantai selatan, sedangkan preferensi Rhizophora spp. terhadap tanah berlumpur menyebabkannya lebih mudah ditemukan di pantai utara. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwasanya pantai selatan Jawa didominasi pasir, sedangkan pantai utara didominasi lumpur (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Secara umum, Avicennia dan Sonneratia dapat tumbuh dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik (Ng dan Sivasothi, 2001). Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, dan Xylocarpus spp. merupakan tumbuhan mangrove minor, umumnya tumbuh pada arah daratan, jauh dari fluktuasi genangan pasang-surut, namun dalam penelitian ini tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dijumpai pada barisan terdepan, berbatasan langsung dengan tepi pantai atau muara sungai. Hal ini merupakan akibat terjadinya pengeringan area mangrove, baik secara sengaja maupun secara alami. Pengeringan area mangrove secara buatan umumnya terkait dengan pembuatan tambak atau sawah. Tumbuhan mangrove dapat menginvasi pematang/tanggul atau bahkan sengaja ditanam di tempat tersebut untuk memperkuatnya, misalnya E. agallocha di Juwana. Spesies-spesies ini juga dapat tumbuh pada tanah yang mengering karena naiknya permukaan tanah akibat sedimentasi atau pada gundukan-gundukan tanah yang dibuat kepiting lumpur, misalnya Xylocarpus spp. dan A. corniculatum di Segara Anakan.
318
B I O D I V E R S I T A S Vol. 9, No. 4, Oktober 2008, hal. 315-321
Diagram vertikal (stratifikasi kanopi) Dalam penelitian ini secara keseluruhan dapat ditemukan empat strata kanopi, dengan pohon tertinggi sekitar 18 m, namun pada masing-masing lokasi umumnya hanya ditemukan dua strata kanopi. Dalam penelitian ini, stratifikasi ditentukan berdasarkan modus tinggi kanopi. Di lapangan tinggi strata kanopi sangat terkait dengan spesies dan umur pohon. Setiap spesies memiliki tinggi maksimum yang berbeda-beda, namun mengingat jumlah spesies pohon yang hadir sangat terbatas, seringkali perbedaan ketinggian strata lebih disebabkan umur pohon dari pada jenis pohon. Dalam hal ini kanopi spesies yang sama terletak pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Dalam penelitian ini, strata pertama terdiri dari pohon dan semak dengan tinggi 2-6 m, strata berikutnya hanya berupa pohon, yakni strata kedua 7-10 m, strata ketiga 11-14 m, dan strata keempat 15-18 m. Tingkat kerusakan vegetasi atau sebaliknya tingkat kelestarian dan pemeliharaan vegetasi mangrove mempengaruhi jumlah strata kanopi, di samping faktor-faktor lingkungan fisik, seperti jenis tanah dan iklim. Pantai utara Wulan (Gambar 1A) merupakan lokasi dengan jumlah strata kanopi paling banyak, keempat strata di atas semuanya hadir, dengan jenis tumbuhan Avicennia spp. dan sebagian kecil Rhizophora spp. Panjang vegetasi ini mencapai lebih dari 60 m dari bibir muara sungai. Kawasan yang diteliti merupakan bekas tambak yang ditinggalkan dan mengalami regenerasi mangrove kembali, sehingga terdapat pohon dari yang berusia paling muda hingga pohon tua yang pada masa lalu disisakan sebagai naungan dan penahan tanggul. Pada lokasi yang dulunya merupakan kolam tambak, pepohonan telah mencapai strata pertama dan kedua. Pepohonan ini diperkirakan tumbuh secara bersamaan pada saat tambak tersebut ditinggalkan sehingga memiliki ketinggian yang relatif sama. Tambak yang ditinggalkan merupakan fenomena umum di pantai utara Jawa akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan. Sigrogol (Gambar 1B) memiliki sejumlah kecil mangrove yang hampir mencapai kondisi klimaks. Panjang vegetasi ini mencapai sekitar 60 m dari bibir muara sungai. Tumbuhan mangrove di area ini hanya terdiri dari Avicennia spp. dan berhasil tumbuh hingga usia tua karena menjadi penyangga tanggul-tanggul di bibir muara sungai dan pantai. Pepohonan yang ada hampir semuanya berada pada strata ketiga. Hal ini menimbulkan dugaan adanya kesengajaan pada saat penanamannya dahulu, namun berdasarkan letak pancang batang pohon di tanah yang cenderung tidak membentuk pola tertentu, maka pepohonan ini kemungkinan tumbuh secara alamiah namun dijaga kelestariannya dan terpelihara. Kondisi pepohonan yang mendekati klimaks, menyebabkan lantai hutan relatif bersih dari herba, semak, maupun anak pohon, karena adanya kompetisi yang kuat dari tumbuhan dewasa dalam hal cahaya matahari, ruang, dan unsur hara. Serang (Gambar 1C) memiliki vegetasi mangrove dalam kondisi muda. Vegetasi ini secara monokultur tersusun atas Avicennia spp., dengan dua strata, yakni strata pertama dan kedua. Panjang vegetasi ini hanya sekitar 30 m dari bibir pantai, lahan selanjutnya merupakan areal pertambakan ikan bandeng. Area kosong di antara kanopi ditumbuhi bibit Avicennia, sedangkan area kosong ke arah darat merupakan tambak ikan. Bulak (Gambar 1E) memiliki vegetasi mangrove monokultur Rhizophora spp. yang tersusun atas satu strata,
yakni strata kedua. Vegetasi ini tumbuh rapat dengan jarak yang relatif teratur. Hal ini merupakan hasil restorasi sejak beberapa tahun sebelumnya untuk menahan laju abrasi. Rapatnya penanaman tumbuhan ini menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara pepohonan, namun panjang vegetasi ini hanya sekitar 20 m dari bibir pantai, lahan selanjutnya ke arah darat merupakan tambak udang. Terdapat beberapa individu Avicennia spp., yang tumbuh kerdil di pematang-pematang tambak. Telukawur (Gambar 1E) memiliki vegetasi dengan dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Tumbuhan yang hadir adalah Avicennia spp., Rhizophora spp., dan A. corniculata. Mengingat penampakannya yang teratur, Rhizophora spp. kemungkinan merupakan hasil penanaman, sedangkan Avicennia spp. dan A. corniculata tumbuh secara liar. Pada arah laut terdapat area tanpa kanopi yang merupakan bekas tambak dan selalu becek, sedangnya pada arah daratan terdapat area kosong di selasela A. corniculata yang didominasi rerumputan. Area ini merupakan tanah daratan yang kering. Muara sungai Tayu (Gambar 1F) yang langsung berhadapan dengan laut Jawa memiliki vegetasi mangrove dalam jumlah sangat terbatas. Di sepanjang pantai Tayu vegetasi mangrove hampir sepenuhnya dibersihkan dari tepian pantai. Masyarakan tidak terlalu peduli dengan kelestariannya, mengingat secara fisik abrasi pantai tidak mengancam kawasan ini, bahkan kawasan pantai timur Tayu merupakan area pengendapan lumpur dari banyak sungai kecil. Vegetasi mangrove di tempat ini tebalnya hanya sekitar 10-20 m, didominasi oleh Avicennia spp. dan Rhizophora spp. Pertumbuhannya juga masih sangat muda, bahkan hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke arah daratan telah diubah menjadi tambak ikan. Sama halnya dengan Tayu, vegetasi mangrove di Juwana (Gambar 1G), sangat terbatas, umumnya hanya terletak di tepi sungai Juwana dengan tebal hanya sekitar 10 m, didominasi oleh Avicennia spp. dan Sonneratia spp. Pertumbuhannya juga masih sangat muda, hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke arah daratan telah diubah menjadi tambak ikan. Kondisi dan penggunaan lahan di Juwana dan Tayu relatif sama mengingat kedua kawasan pesisir pantai ini letaknya bersambungan, serta menjadi area sedimentasi sungai Juwana. Pecangakan (Gambar 1H) memiliki area mangrove yang agak luas di bibir muara sungai yang sekaligus berhadapan langsung dengan laut Jawa. Diagram profil vegetasinya didominasi oleh Avicennia spp. secara monokultur. Hal ini terjadi karena adanya upaya penanaman mangrove untuk menjebak lumpur dan memperluas area mangrove ke arah laut yang selanjutnya dapat diubah menjadi tambak ikan. Tebal vegetasi ini sekitar 30 m, dengan dua strata, yaitu pertama dan kedua. Pasar Banggi (Gambar 1-I) merupakan kawasan pantai yang relatif jauh dari aliran sungai besar. Ke arah laut kawasan ini bertanah pasir putih, sedangkan ke arah daratan bertanah lumpur. Kawasan ini memiliki area mangrove yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah setempat, sehingga kondisinya relatif terjaga. Tumbuhan yang hadir meliputi Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. Tumbuhan terakhir relatif dominan karena merupakan hasil restorasi beberapa tahun sebelumnya (10-15 tahun, terbaru tahun 2002), sehingga cenderung rapat dan teratur, baik jarak tanam maupun ketinggiannya. Di arah laut yang bertanah pasir tumbuh Sonneratia spp., sedangkan Avicennia spp. terdapat di arah daratan. Diagram profil vegetasi memiliki dua strata yaitu strata pertama dan kedua, dengan tebal vegetasi sekitar 40-50 m. Lahan tanpa
SETYAWAN dkk. â&#x20AC;&#x201C; Diagram profil mangrove di Jawa Tengah
vegetasi di arah daratan merupakan area tambak garam. Rapatnya penanaman Rhizophora spp. menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara pepohonan. Lasem (Gambar 1J) menyisakan vegetasi mangrove yang agak baik di sepanjang tepian sungai-sungai kecil. Vegetasi ini didominasi oleh Rhizophora spp. yang merupakan hasil penanaman untuk memperkuat tepian sungai kecil tersebut, sehingga cenderung memiliki penampilan seragam. Diagram profil vegetasi menunjukkan hanya terdapat strata pertama saja. Area mangrove ini memanjang mengikuti garis tanggul sungai. Area kosong di antara kanopi merupakan bagian tepian sungai yang tidak bervegetasi. Pantai selatan Bogowonto (Gambar 1K) memiliki vegetasi mangrove yang secara alamiah didominasi oleh Sonneratia spp. Hal ini merupakan akibat dari tanahnya yang berpasir-lempung. Di samping itu terdapat pula Nypa fruticans yang tumbuh alami dan sejumlah kecil Rhizophora spp. yang merupakan hasil introduksi. Diagram profil hutan menunjukkan adanya dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Vegetasi ini cukup panjang karena mengikuti sungai kecil di dalamnya. Kuatnya angin dari laut selatan, tampaknya menyebabkan pepohonan dewasa di lingkungan ini relatif pendek. Lahan tanpa kanopi di dalam diagram profil didominasi rerumputan. Kawasan mangrove ini merupakan area merumput ternak kerbau penduduk setempat. Cakrayasan (Gambar 1L) menyisakan sedikit sekali vegetasi mangrove, dengan panjang hanya sekitar 10 m. Sama halnya dengan Bogowonto, vegetasi ini secara alamiah didominasi oleh Sonneratia spp., mengingat tipe tanahnya yang berpasir-lempung. Diagram profil vegetasi menunjukkan adanya strata pertama saja. Area tanpa pohon pada arah ke daratan merupakan padang gembalaan ternak penduduk, yang pada musim hujan kadang-kadang ditanami padi. Lukulo (Gambar 1M) hampir tidak menyisakan lagi vegetasi mangrove. Kawasan mangrove yang ada hanya menyisakan beberapa batang pohon Sonneratia spp., dikelilingi dataran rumput yang menjadi area penggembalaan sapi penduduk. Upaya restorasi ekosistem mangrove beberapa tahun sebelumnya (tahun 2000) di kawasan ini dengan menanam beberapa jenis mangrove tidak berhasil, kemungkinan karena perumputan oleh ternak, di samping kesalahan pemilihan spesies yang ditanam. Cingcingguling (Gambar 1N) hanya menyisakan N. fruticans sebagai penyusun vegetasi mangrove. Palem ini tumbuh secara monokultur membentuk tegakan murni karena mampu berkembangbiak secara vegetatif dengan membentuk rhizhoma. Vegetasi ini hanya mencakup strata pertama saja. Panjang vegetasi sekitar 30-40 m. Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi perairan tawar, sehingga ditemukan sebagai kantung-kantung mangrove di antara lahan persawahan. Lahan tanpa penutupan kanopi pada diagram profil merupakan sawah. Ijo (Gambar 1-O) memiliki lingkungan mangrove dengan jenis tumbuhan lebih bervariasi, pada diagram profil tercakup Avicennia spp., Rhizophora spp., dan N. fruticans. Pada arah bibir sungai terdapat dominasi Rhizophora spp., sedangkan pada arah daratan terdapat dominasi N. fruticans. Vegetasi didominasi tumbuhan muda dengan strata pertama saja. Panjang vegetasi sekitar 30 m. Area tanpa penutupan kanopi pohon merupakan lahan kosong/ terbuka atau lahan tegalan yang dibiarkan tidak terawat, pada beberapa tempat ditumbuhi Acanthus ilicifolius. Bengawan (Gambar 1-P) memiliki habitat mangrove dengan dominasi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Pada arah bibir sungai didominasi Sonneratia spp. sedangkan
319
pada arah daratan didominasi N. fruticans. Vegetasi ini hanya terdiri dari strata pertama saja, dengan panjang vegetasi sekitar 30 m. Sama halnya dengan Ijo, area tanpa penutupan kanopi pohon merupakan lahan kosong/terbuka atau lahan tegalan yang tidak dikelola secara intensif. Serayu (Gambar 1Q) memiliki habitat mangrove yang hanya ditumbuhi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Palem ini cenderung tumbuh secara monokultur dan mendominasi area, namun pada tempat-tempat tertentu terdapat Sonneratia spp. yang tumbuh menjulang ke atas. Panjang vegetasi hanya sekitar 20-30 m, dengan dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Lahan tanpa penutupan kanopi pada diagram profil merupakan sawah. Tritih (Gambar 1R) merupakan area wisata mangrove buatan, yang pada akhirnya cenderung dibiarkan tumbuh alami. Jajaran pepohonanya yang rapat dan teratur menunjukkan bahwa tegakan ini merupakan hasil campur tangan manusia. Kawasan yang berbatasan dengan bibir laguna didominasi Avicennia spp. yang sebagian tumbuh secara alami, sedang area pada arah daratan didominasi oleh Rhizophora spp. yang merupakan hasil penanaman. Pada tanggul-tanggul yang semula dibuat untuk mengatur drainase dan jalan pengunjung ditanam Bruguiera spp. Sebagian tanggul ini sering dibongkar kepiting lumput untuk bersarang. Diagram profil menunjukkan adanya dua strata, yaitu strata pertama dan kedua, dengan panjang 60 m, memenuhi seluruh plot. Area kosong tanpa penutupan vegetasi umumnya merupakan tanggul buatan. Motean (Gambar 1S) dan Muara Dua (Gambar 1T) sama-sama merupakan vegetasi mangrove yang pernah mengalami kerusakan berat akibat penebangan hutan. Spesies mangrove yang hadir adalah Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp. dan A. corniculata. Di Motehan yang berdekatan dengan pulau Nusakambangan terdapat pula Bruguiera spp. Keberadaan A. corniculata cukup menyolok mengingat kawasan ini sedang dalam tahapan suksesi sekunder. Area kosong tanpa penutupan vegetasi pohon atau semak, pada kenyataannya didominasi A. ilicifolius. Pengaruh antropogenik dan suksesi Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik terhadap kawasan mangrove di pesisir Jawa Tengah. Dari 20 lokasi penelitian, hampir tidak ditemukan lagi lokasi dengan pepohonan dalam kondisi klimaks, yakni ekosistem yang didominasi tumbuh-tumbuhan tua, kebanyakan berada dalam tahapan suksesi sekunder, dengan dominasi pohonpohon muda, setelah kerusakan hutan yang umumnya disebabkan penebangan hutan. Gambar-gambar diagram profil vegetasi menunjukkan tingginya dominasi tumbuhan muda (tinggi < 10 m), serta cukup banyak ditemukan anak pohon (θ < 10 cm). Diagram profil dengan kondisi mendekati klimaks, hanya ditemukan di Sigrogol. Kawasan ini merupakan tepian sungai yang dijaga kelestariannya oleh penduduk untuk melindungi tebing sungai dari erosi akibat gelombang laut. Diagram profil vegetasi menunjukkan adanya ruangruang kosong di antara kanopi. Area kosong ini dapat berisikan herba, bibit (seedling) pohon dan bibit semak, namun dapat pula berupa lahan yang betul-betul kosong tanpa vegetasi (Jawa: bera). Sedangkan area kosong pada arah menuju daratan umumnya merupakan lahan yang telah dikonversi menjadi sawah dan tambak. Secara ekologi, celah di antara kanopi tumbuhan (canopy gap), sangat penting untuk mengelola keanekaragaman hayati. Celah tersebut memungkinkan sinar matahari mencapai
z
z
0
x
z
0
x
y
y
0
x
x
x
x
y
0
x
x
x
0
0
x
x
x
0
x
0
x
P
x
0
x
0
x
x
Q
x
R
0
x
z
0
x
0
x
y
0
x
0
x
O z
0
x
y
0
x
J
z
y
0
x
N
z
y
y
0
y
0
M
z
x
y
0
L
z
x
x
z
z
0
0
I
y
0
K
x
x
E
y
z
y
y
x
0
H
z
0
0
D
x
0
0
y
z
0
F
z
x
y
0
F
x
y
z
0
z
0
C
z
y
x
0
B
z
0
0
y
0
A
z
0
x
y
0
x
S
0
x
T
Gambar 1. Diagram vertikal dan horizontal profil vegetasi di 20 lokasi pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A. Wulan, B. Sigrogol, C. Serang, D. Bulak, E. Telukawur, F. Tayu, G. Juwana, H. Pecangakan, I. Pasar Bangi, J. Lasem, K. Bogowonto, L. Cakrayasan, M. Lukulo, N. Cincingguling, O. Ijo, P. Bengawan, Q. Serayu, R. Tritih, S. Motean, T. Muara Dua; 1. Avicennia spp., 2. Sonneratia spp., 3. Rhizophora spp., 4. Excoecaria agallocha, 5. Aegiceras, 6. Nypa fruticans, 7 (-), 8. Xylocarpus spp., 9. Bruguiera spp.; Sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y = 10 m, sumbu tegak: z = 20 m.
SETYAWAN dkk. – Diagram profil mangrove di Jawa Tengah
lantai hutan, sehingga memicu pertumbuhan bibit dan anakan pohon. Bibit pohon umumnya masih dapat bertahan hidup pada kondisi ternaungi oleh pohon dewasa, karena masih adanya persediaan makanan dari hipokotil, namun anakan pohon akan mati tanpa adanya celah kanopi, karena kalah dalam berkompetisi dengan pohon dewasa untuk mendapatkan sinar matahari. Dalam kasus tertentu area kosong tersebut didominasi semak yang membentuk massa sangat rapat, sehingga dapat menghambat regenerasi bibit dan anakan pohon, semak ini tidak terekam dalam diagram profil karena ukuran batangnya yang kecil (θ < 5 cm). Semak A. ilicifolius di Segara Anakan dan Derris trifoliata di Wulan, hampir sepenuhnya menutupi area ko-song di antara kanopi pepohonan, baik ruang-ruang kosong ini akibat pembabatan pepohonan maupun sedimentasi dan akresi yang menyebabkan terbentuknya tanah timbul. Di Wulan dan Bogowonto, D. trifoliata dapat merambat hingga di atas kanopi, bersaing untuk mendapat sinar matahari. Kehadiran semak dalam suksesi sekunder maupun primer merupakan keniscayaan, karena tersedianya sinar matahari yang cukup dan terbukanya lantai hutan. Semak umumnya dapat memenangi kompetisi terhadap herba karena memiliki habitus yang lebih kuat dan lebih tinggi. Semak juga dapat mengalahkan bibit pohon yang masih berada dalam strata herba dalam memperebutkan ruang, namun dengan adanya sisa-sisa pohon tua atau adanya bibit dan anakan pohon yang selamat hingga mencapai usia dewasa, maka akan terbentuk naungan dan – pada kasus tertentu – allelopati, yang mendesak keberadaan semak. Ketersediaan bibit yang cukup dan kemenangan pohon dewasa dalam berkompetisi dengan semak, akan memungkinkan terbentuknya ekosistem klimaks. Namun, di lokasi penelitian kondisi klimaks ini sulit terjadi mengingat tingginya intensitas penebangan pohon, sehingga pepohonan hampir selalu dalam kondisi muda.
KESIMPULAN Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, dimana vegetasi didominasi tumbuhan muda, yang hanya memiliki (1)-2-(3-4) strata kanopi. Disturbansi oleh aktivitas manusia menyebabkan sebagian besar vegetasi dalam kondisi suksesi sekunder, dan hampir tidak ada yang berada dalam kondisi klimaks. Area yang tercakup di dalam belt transect yang digunakan untuk menyusun diagram tersebut seringkali terdapat celah kanopi, tanah kosong akibat penebangan, atau bahkan tanah yang telah diubah menjadi kegunaan lain, terutama sawah dan tambak. Adanya resisitensi tumbuhan muda untuk terus bertahan, pada lingkungan yang mengalami disturbansi ini memberikan harapan akan tetap lestarinya tumbuhan mangrove di Jawa Tengah, namun apabila terjadi perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam skala luas, boleh jadi ekosistem ini akan sepenuhnya rusak.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis pertama mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tjut Sugandawaty Djohan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan bimbingan teknis terkait kajian diagram profil hutan.
321
DAFTAR PUSTAKA Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed dipterocarp forests of north-western Borneo. Journal of Ecology 80: 459-481. Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park, Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris: UNESCO. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the identification of canopy stratifikasi in tropical and temperate forests. Forest Ecology and Management 127: 77-86 Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and PapuaNew Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology 79: 447-457. Davis, T.A.W. and P.W. Richards. 1933. Vegetation of Moraballi Creek, British Guiana: an ecological study of a limited area of tropical rain forest. Part I. Journal of Ecology 21: 350-384. Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S. Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112. Euwise, W. 1980. Pengantar Ekologi Tropis. Jakarta: Djambatan. Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early successional hardwood forests to changes in nutrient availability. Ecology Monograph 68 (2): 183-212. Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Ecology and Management 131: 153-165. Grubb, P.J., J.R. Lloyd, T.D. Pennington, and T.C. Whitmore. 1963. A comparison of montane and lower rain forest in Ecuador. I. The forest structure, physiognomy and floristics. Journal of Ecology 51: 567-601. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance. Ecology Applied 5 (2): 517-532. Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling performance with resources varied experimentally. Ecology 73: 2129-2144. Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: John Wiley and Sons. Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Rico and the US Virgin Islands. In: Kusler J.A. and M.E. Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed. Philadelphia: W.B. Saunders. Oliver, C.D. 1978. The development of northern red oak in mixed stands in central New England. Yale University School of Forestry and Environmental Studies Bulletin 91: 63. Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1): 1-44. Paijmans, K. 1970. An analysis of four tropical rain forest sites in New Guinea. Journal of Ecology 58: 77-101. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201 Richards, P.W. 1996. The Tropical Rain Forest. Cambridge: Cambridge Univ. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. komposisi dan struktur vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. Smith, A.P. 1973. Stratification of temperate and tropical forests. American Naturalist 107: 671-683. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: Noordhoff-Kollf. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-137. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge Univ. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer saccharum seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin: effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research 27: 237-247. Watt, A.S. 1924. On the ecology of British beechwoods with special reference to their regeneration. Part II. The development and structure of beech communities on the Sussex Downs. Journal of Ecology 12: 10-202. Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford: Clarendon. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
Indeks Penulis Anggarwulan, E. Ariyanti, E.E. Darusman, L.K. Dinata, Y. Djuwantoko Ediyono, S.H. Ferianita-Fachrul, M. Fitriani, H. Hadi, M Handajani, N.S. Handayani, R. Haryono Hernawan, U.E. Hidayah, S. Hidayat, A. Imelda, M. Indrowuryatno Junardi Keim, A.P. Kurniawan, A. Kurniawan, K. Kusdiyantini, E. Kusmana, C. Kusnadi, A. Lay, B.W. Mahajoeno, E. Martanti, D. Mat-Salleh, K. Melliawati, R. Mudyantini, W. Naiola, E. Nugroho, B.T.A Nurcahyani, N. Onrizal Paâ&#x20AC;&#x2122;i Palupi, E.R. Pamoengkas, P. Parikesit Pendit, I.M.R. Pirzan, A.M. Poerba, Y.S. Pong-Masak, P.R. Prana, M.S. Priadi, D Pujiyanto, S. Purwanto, D. Purwoko, Tj. Rahayu, M. Rakhmawati, R. Rohyani, I.S.
177, 264 21 64 222 301 296 296 9 5 161 1 306 30, 53 44 194 173 315 213 310 199 275 5 25 30 48 48 245 17 255 264, 269 165 227, 280, 288 177 25 21 35 250 275 199 217 173, 245 217 292 9 5 17 161 310 169 284
Rudi, E. Rugayah Ruseani, N.S. Santika, Y. Santosa, Dj. Setiadi, J. Setyawan, A.D. Setyono, P. Setyowati, N. Siregar, I.Z. Siregar, M. Siswanto Soekotjo Sofiyanti, N. Solichatun Subagja, J. Subijanto, A.A. Sudarmonowati, E. Sugardjito, J. Sugiyarto Suharyanto Sulandjari Sulistyo, J. Sunarti, S. Supriyono Suratman Susilowati, A. Sutjahjo, S.H. Syafriadiman Syahputra, E. Syawal, H. Triandiza, T. Undaharta, N.K.E. Utami, N.W. Utami, R.N. Wahyuni, D.S.C. Wahyuningsih, M.S.R. Wahyuono, S. Walujo, E.B. Wardoyo, E.R.P. Widiastuti, A. Widiastuti, S.M. Winarno, K. Wiryanto Wiyono Wulandari, M. Wulansari, A. Yulia, N.D. Yunanto, T. Zamroni, Y.
39 194 190 288 169 169 64, 215 232 13 250 227, 280 48 169 17 177, 264 306 237 9 222 204 209 180 1 194, 310 184 259 315 48 44 17 44 30 199, 227, 280 13 301 169 169 169 59 213 35 169 315 315 301 296 173 190 250 284
Keywords Index abrasion abundance model acclimatization Acetobacter sp. RMG-2 Acetobacter xylinum acid hydrolysis Actinomycetes acung Aedes aegypti L agar alkaloids Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R. Amorphophallus titanum Becc. Amorphophalus muelleri Blume amount of pollen amylase antibacterial activity antimalarial Araceae Araliaceae Aspergillus oryzae Aspergillus spp. asthma Bacillus brevis Bacillus pantotheinticus Bacillus sp. bark Barranglompo Island batch system Bauluang Island Bedugul-Pancasari Belu benzyl amino purine (BAP) biflavonoid Bintuny bay bioactive compound biochemistry analysis biocontrol bioethanol biogas production biotic and abiotic factors Boehmeria nivea L. Gaudich Bojonegoro Brine Shrimp Lethality Test Brucea javanica (L.) Merr callus growth Canna edulis Ker canonical correspondence analysis captivity carrier material cassava (Manihot esculenta Crantz). cellulose content Central Java Province Central Kalimantan CGT-ase characteristic of POME chemical chitinolitic bacteria Ciliwung River coconut oil community structure composition consumption coral covering percetage CPO creeper-pole
25 296 123 255 255 112 87 292 5 9 17 292 103 173, 245 35 165 91 96 288 123 1 161 237 83 83 83 204 209 48 217 227 117 173 64 156 169 91 5, 83 112 48 48 269 190 169 13 177 112 275 148 255 9 269 315 169 1 48 108 5 296 87 213 296 148 39 209 233 184
2+
Cu Cucumis sativus L. cultivars Cyprinus carpio L. Dendrobium capra J.J.Smith dengue fever distribution diversity domination Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. East Nusa Tenggara East Waigeo Nature Reserve ED50 Eka Karya - Bali Botanical Garden Elaeis guineensis elicitor ethnobotany ethnoecology ethnomedicine ethnomycology farm forestry feed feed utilisation fermentation fermented palm sap (laru) fertilization flavonoid flavonoid-Îą-glicoside forest habitat forest fruit set fruit Fusarium moniliforme GA3 galangal rhizome extract gel inoculum gelling agents genetic diversity genetic variability genetic variation germination giant clams gibberellic acid GIS glucose green belt growth habitat habitat types haematology horizontal and vertical diagrams HPLC Indonesia inventory Irvingia malayana isozyme Kei Kecil Kepulauan Seribu laboratory scale leaf petiole culture light intensity lignin content Litterfall lowland tropical rainforest Macaca fascicularis (Raffles, 1821) Madiun malaria
177 99 184 44 190 5 152, 209, 275 217 119 280 165 128 96 280 35 177 59,310 59 59 59 142 152 148 91, 112,165 165 292 64 1 222 194,227 35 292 161 13 161 255 9 237 245 250 117 53 269 156 87 25 264, 269 128, 152, 190, 209 306 44 315 17 59, 259 21, 30 96 99, 204, 233 30 39 48 173 264 269 284 275 301 190 96
management mangrove mangrove ecosystem maturity stages mean annual increment medium Merapi mount minimum growth inhibitory concentration mollusk monkey montane zone morphological characters mother seed trees Mt. Gede-Pangrango National Park Muller Mountain naphthalene acetic acid (NAA) nata de coco nitrogen content North Sumatra Nutrient oil palm orchid Palaquium sp. palm sap (nira) Pananjung Pangandaran pandan Pandanus odoratissimus L.f. phenolic compounds phosphate solubilizer phosphomonoesterase phytoplankton plant diversity plant exploration planted seasons plasmodium pollen storage pollination Polychaete polyphenol population potency preferences pregnancy prey animals Rafflesia hasseltii random amplified polymorphic DNA RAPD RAPD-PCR rattan Rauvolfia serpentina recruitment Rennellia Korth. reserpine Rhizoctonia solani root yield Salvadora persica L.
237 25, 213, 284 156 13 280 9 204 161 30 301 134 259 117 134 306 173 255 264 25 180 35 21 119 165 275 310 310 17 87 87 217, 296 142 169 184 96 35 292 213 264 306 30 306 237 222 17 103 245, 250 99 108 177, 180 39 259 177, 180 83 180 44
Santalum album L. Scleractinia seed seedling growth seeds germination Selaginella Selayar Island Sepi Bay Shorea johorensis Foxw Silui silvicultural system Sintang soaking society interaction soil properties Southeast Sulawesi species association species diversity sponge starch structure and composition Styphelia abnormis substrate characteristic Sulasih Talang Nature Reserve Sulawesi Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) surfactin Symbiodinium symbiosis tambra fish Tanah Laut District Tangkoko Nature Reserve Tarsius bancanus Tarsius tarsier Tetrastigma leucostaphylum Tor tambroides (Bleeker, 1854) tourists aggression tourists-monkeys interactions traded traditional knowledge Ujung Kulon Uluisimbone use of plants vegetation vegetation profile velvet bean (Mucuna pruriens (L.) DC.) water water availability water quality Wawonii Waworete West Kalimantan white grubs Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott zooxanthellae
117 39 292 117 13 64 152 284 250 288 250 21 13 227 25 194 119 194 209 9 134 128 213 123 288 222 83 53 53 306 142 199 148 152 17 306 301 301 108 59 310 288 59 134 315 184 13 264 25, 217 194 194 21 204 264 53
Daftar Mitra Bestari Ahmad Dwi Setyawan, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Ari Pitoyo, S.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Bambang Sulistiyarto, Dr. – Universitas Kristen Palangkaraya (UKP), Palangkaraya. Dahlanuddin, Dr. – Fakultas Peternakan, Universitas Mataram (UNRAM), Mataram. Dedy Darnaedi, Dr. – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Dewi Ratih Agungpriyono, Dr. – Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor. Djadja Siti Hazar Hoesin, Ir. – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Dwi Murti Puspitaningtyas, Dra. – UPT. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor
Edi Rudi, Dr. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Edwi Mahajoeno, Dr. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Endah Retno Palupi, Dr. – Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor. Endang Anggarwulan, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Endang Gati Lestari, Dr. – Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), Bogor. Enny Widyati, Dr. – Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Freddy Pattiselanno, M.Sc. – Fakultas Peternakan, Perikanan, dan Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Manokwari. Haryono, M.Si. – Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Iskandar Zulkarnaen Siregar, Dr. – Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga, Bogor. Joko Ridho Witono, Dr. – UPT. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor Joko Sulistyo, Dr. – Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor Karden Mulya, Dr. – Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (Balitbiogen), Bogor. Lily Surayya Eka Putri, Dr. – Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan.
Mochamad Arief Soendjoto, Prof. Dr. – Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), Banjarbaru. Muchlisin Z.A., M.Sc. – Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH), Banda Aceh. Muhammad Ahkam Subroto, Dr. – Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Nery Sofiyanti, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Riau (UNRI), Pekanbaru. Prabang Setyono, Dr. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Praptiwi, Dr. – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Solichatun, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Sri Mulyaningsih, M.Si. – Fakultas Farmasi, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Sri Widawati, Dra. – Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Sudarmono, Dr. – UPT. Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Sugiyarto, Dr. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Suhardjono, Drs. – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Sutarno, Prof. Dr. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Syamsul Arifin Siradz, Dr. – Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Tjahjadi Purwoko, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Widya Mudyantini, M.Si. – Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Yuyu Suryasari Purba, Dr. – Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor.
THIS PAGE INTENTIONALLY LEFT BLANK
ISSN: 1412-033X
Keragaman Genetik berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA pada Amorphophallus muelleri Blume di Jawa YUYU SURYASARI POERBA, DIYAH MARTANTI Implikasi Genetik Metode Pembiakan Tanaman Shorea johorensis Foxw pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) ISKANDAR ZULKARNAEN SIREGAR, TEDI YUNANTO, PRIJANTO PAMOENGKAS Kajian Bahan Pembawa untuk Meningkatkan Kualitas Inokulum Pasta Nata de Coco RUTH MELLIAWATI The Indonesian Species of Rennellia Korth. (Rubiaceae) SURATMAN Karakter Fisiologi Kimpul [Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott] Pada Variasi Naungan Dan Ketersediaan Air ENDANG ANGGARWULAN, SOLICHATUN, WIDYA MUDYANTINI Pertumbuhan, Kandungan Selulosa, dan Lignin pada Rami (Boehmeria nivea L. Gaudich) dengan Pemberian Asam Giberelat (GA3) WIDYA MUDYANTINI Persebaran Jenis Pohon di Sepanjang Faktor Lingkungan di Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Jawa Barat AGUNG KURNIAWAN, PARIKESIT Riap Tahunan Rata-rata Jenis Dysoxylum parasiticum (Osbeck) Kosterm. di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali NI KADEK EROSI UNDAHARTA, BRAMANTYO TRI ADI NUGROHO, MUSTAID SIREGAR Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat YULIADI ZAMRONI, IMMY SUCI ROHYANI Exploration and Inventory of Araceae Genera in Silui Mountain and Uluisimbone Forest, Kolaka Regency, South-East Sulawesi BRAMANTYO TRI ADI NUGROHO, YESSI SANTIKA Penyerbukan Buatan pada Acung (Amorphophallus decus-silvae Back. & v.A.v.R.) MADE SRI PRANA Komposisi dan Model Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Sungai Ciliwung, Jakarta MELATI FERIANITA FACHRUL, SETIJATI HARTINAH EDIYONO, MONIKA WULANDARI Perilaku Agresif Monyet, Macaca fascicularis (Raffles, 1821) terhadap Wisatawan di Hutan Wisata Alam Kaliurang, Yogyakarta DJUWANTOKO, RETNO NUR UTAMI, WIYONO Populasi dan Habitat Ikan Tambra, Tor tambroides (Bleeker, 1854) di Perairan Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah HARYONO, JOJO SUBAGJA Kajian Etnobotani Pandan Samak (Pandanus odoratissimus L. f.): Pemanfaatan dan Peranannya dalam Usaha Menunjang Penghasilan Keluarga di Ujung Kulon, Banten MULYATI RAHAYU, SITI SUNARTI, ARY PRIHARDHYANTO KEIM Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 3. Diagram Profil Vegetasi AHMAD DWI SETYAWAN, KUSUMO WINARNO (ALM), INDROWURYATNO, WIRYANTO, ARI SUSILOWATI
245-249
250-254
255-258 259-263 264-268
269-274
275-279
280-283
284-287 288-291
292-295 296-300 301-305
306-309
310-314
315-321
Gambar sampul depan: Tor tambroides (Bleeker, 1854) (FOTO: HARYONO
Terbit empat kali setahun