1
Bahan Masukan Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., pada Kegiatan Webinar di FSH UIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa, 3 Agustus 2021, dengan tema:
“Mentransparansikan Kualitas Legislator Demi Terwujudnya Efisiensi Hukum di Indonesia”
Filosofi Efektivitas dan Efisiensi Hukum Efektivitas dan efisiensi hukum merupakan salah satu bidang kaji dalam studi hukum. Efektivitas dan efisiensi hukum merupakan kemampuan atau kapasitas hukum untuk mewujudkan keadaan atau situasi seperti yang dikehendaki oleh hukum tersebut. Dalam bahasa yang sederhana, efektivitas dan efisiensi hukum adalah kapasitas hukum untuk mencapai objektif atau tujuan dari keberadaan hukum itu sendiri. Eksistensi hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melakukan sosial kontrol, tapi juga sebagai instrumen untuk melakukan fungsi rekayasa sosial. Dalam menjalankan kedua fungsi tersebut, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas hukum antara lain: (1) faktor hukumnya sendiri, (2) faktor penegak hukum, (3) faktor fasilitas pendukung penegakan hukum, (4) faktor masyarakat sebagai lingkungan tempat hukum berlaku atau diterapkan, serta (5) faktor kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia, yang mempengaruhi dinamika atau perubahan hukum itu sendiri (Ibi Societas Ibi Ius - hukum berubah seiring dengan perkembangan masyarakat). Kelima faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi hukum tersebut sifatnya saling berkaitan, sehingga analisis mengenai efektivitas dan efisiensi hukum harus melihat keterkaitan di antara faktor-faktor tersebut. Efektivitas dan efisiensi hukum dalam konteks fungsi hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial dan perubahan perlu mencermati berbagai kondisi yang mempengaruhi, sebagai berikut: 1. Apakah hukum yang dibuat memang memiliki kewenangan untuk diimplementasikan? 2. Apakah hukum yang dibuat sudah memiliki dasar yang tepat, baik dari sudut hukum maupun dari sudut sosio-historis? 3. Apakah hukum yang dibuat sudah disosialisasikan kepada masyarakat? 4. Apakah model-model ketaatannya mudah dikenali oleh masyarakat dan mudah untuk dipublikasikan? 5. Apakah para penegak hukum sudah memahami dan berkomitmen untuk menegakkan hukum itu sendiri? 6. Apakah sanksi-sanksi yang dirumuskan bagi pelanggaran hukum tersebut dapat dijalankan dengan efektif?
2
7. Apakah sudah dirancang mekanisme perlindungan bagi orang-orang yang potensial menjadi korban akibat pelanggaran hukum tersebut? Dengan merujuk pada berbagai kondisi tersebut, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa disrkursus mengenai efektivitas dan efisiensi hukum adalah: (1) Sebuah persoalan yang menyangkut aspek holistik dalam hukum itu sendiri, mulai dari penyusunan hingga implementasi, termasuk penekanan adanya sanksi apabila ada pelanggaran dalam implementasi hukum tersebut, dan; (2) Efektivitas dan efisiensi hukum juga menyangkut para pemangku kepentingan secara keseluruhan, mulai dari para perumus hukum, penegak hukum, serta masyarakat sebagai objek hukum. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan efektivitas dan efisiensi hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka analisis akan diarahkan pada dua aspek utama yang melekat pada hukum itu sendiri, yakni tahapan formulasi hingga implementasi, serta peran dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan. Efektivitas dan efisiensi hukum akan terwujud apabila: 1. Hukum yang dibuat merefleksikan kebutuhan masyarakat, yakni hukum yang dirancang untuk mengatur persoalan konkret yang dihadapi oleh masyarakat. (Contoh, UU TPPU dibuat untuk meregulasi tindak pidana pencucian uang beserta sanksi-sanksi yang melekat, kebijakan PPKM Darurat dibuat untuk melindungi masyarakat dari penyebaran Covid-19 yang kian meluas, dsb). 2. Hukum diformulasikan secara baik dan benar sesuai dengan kaidah yang berlaku. (contoh, UU yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi / UUD NRI 1945). 3. Hukum diformulasikan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. (contoh, UU ditetapkan oleh presiden bersama DPR RI). 4. Hukum yang dibuat harus dirumuskan setajam mungkin (Lex Certa), sehingga tidak menimbulkan multitafsir atau bias dalam implementasi. (contoh, UU ITE jangan disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat masyarakat, harus fokus pada pengaturan dan pengelolaan transaksi elektronik saja). 5. Hukum yang dibuat harus memiliki kompatibilitas atau kesesuaian dengan nilai sosial dan budaya masyarakat. (contoh, hukum positif (UU) tidak bertentangan dengan hukum adat, demikian juga sebaliknya). 6. Hukum memiliki mekanisme sanksi apabila terjadi pelanggaran. Sanksi yang dibuat harus memenuhi rasa keadilan masyarakat. 7. Hukum yang dibuat harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat sebagai objek hukum, sebelum implementasi dilakukan. 8. Para penegak hukum memiliki integritas yang tinggi dan komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum, bukan bertindak sebagai pelaku pelanggaran hukum itu sendiri.
3
9. Penegakan hukum harus didukung oleh fasilitas penegakan hukum, seperti kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum, gedung pengadilan, gedung kejaksaan, penjara, lembaga pemasyarakatan, dll). 10. Masyarakat sebagai objek hukum mengetahui dan memahami eksistensi hukum yang berlaku. 11. Masyarakat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan dalam hukum yang berlaku tersebut. Dengan demikian, maka terwujud efektivitas dan efisiensi hukum. Transparansi Kualitas Legislator Dalam Mewujudkan Efektivitas dan Efisiensi Hukum Legislatif merupakan salah satu dari tiga Trias Politika bernegara selain eksekutif dan yudikatif. Legislatif secara umum memainkan peran sebagai pengawas terhadap eksekutif dan yudikatif agar dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya selaras dengan konstitusi dan kehendak rakyat. Secara rinci, legislatif memiliki tiga fungsi, yakni fungsi pengawasan, fungsi legislasi atau pembuatan undang-undang, serta fungsi anggaran (budgeting). Dalam konteks efektivitas dan efisiensi hukum, legislatif memainkan peranan baik sebagai perumus hukum maupun sebagai pengawas pelaksanaan hukum. Hukum yang dimaksudkan di sini adalah undang-undang (UU) sebagai produk legislasi anggota parlemen. UU sendiri didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat/ditetapkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah bersama legislatif. Dalam kaitannya dengan tugas dan fungsi sebagai perumus hukum, efektivitas dan efisiensi hukum dapat terwujud apabila pihak legislatif (legislator) memiliki kapasitas yang baik dalam perumusaan suatu undang-undang. Kapasitas di sini merujuk kepada teknik legislasi atau teknik penyusunan undang-undang yang harus dikuasai, serta pemahaman yang komprehensif terhadap isu yang hendak diregulasi. Kompetensi dalam hal legislasi atau penyusunan undang-undang adalah kompetensi yang mutlak harus dikuasai oleh legislator. Partai politik yang mengusung legislator dalam Pemilu biasanya melakukan pembekalan kepada kadernya terkait dengan penguasaan teknik legislasi, terutama setelah kader tersebut dinyatakan terpilih dalam Pemilu (Pileg). Pembekalan ini dapat berupa legal drafting maupun legislative drafting. Seiring dengan berjalannya waktu, dalam dinamika sebagai legislator di parlemen, akan terjadi knowledge sharing antar-anggota parlemen dalam hal penyusunan undang-undang, sehingga kompetensi yang dimiliki akan semakin bertambah seiring dengan dinamika yang diikuti. Dalam hal penguasaan isu yang hendak diregulasi, maka kesesuaian antara latar belakang pendidikan/pekerjaan/pengalaman sang legislator dengan bidang kerja yang diampu menjadi kata kunci. Kompetensi yang dimiliki harus meet and match dengan tugas dan tanggung jawab yang diemban. Komisi I DPR RI
4
misalnya, yang mengurusi bidang pertahanan, politik luar negeri, serta komunikasi dan informasi, seyogianya diisi oleh legislator yang memiliki latar belakang pendidikan/pekerjaan/pengalaman di ketiga bidang tersebut. Kesesuaian tersebut akan mendukung kinerja legislator dalam merumuskan undang-undang yang sifatnya reliable dalam mengatur dan mengelola isu yang ada. Untuk menjamin mutu legislasi yang diproduksi oleh legislator, dibutuhkan penguatan peran partai politik. Problematika yang dihadapi oleh partai politik dalam plotting anggota di komisi-komisi yang ada di parlemen adalah minimnya kompatibilitas atau kesesuaian tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari sistem Pemilu yang berlaku, yang mana para calon dipilih langsung oleh rakyat dalam skema Pemilu Langsung. Akibatnya, kerapkali ditemukan situasi dan kondisi ketika tidak ada kader yang cocok dari segi latar belakang pendidikan/pengalaman untuk mengampu komisi tertentu di parlemen. Problematika ini sejatinya bisa diselesaikan dengan tetap menunjuk kader di komisi tersebut tapi didukung dengan mekanisme pendampingan yang kuat seperti adanya tenaga ahli yang mumpuni yang melekat pada fraksi atau anggota dengan latar belakang pendidikan atau kompetensi yang sesuai. Isu lainnya yang krusial untuk dicermati dalam relasi antara legislator dan efektivitas/efisiensi hukum di Indonesia adalah kapasitas organisasional legislatif/parlemen dalam memanajemen penyusunan undang-undang sebagai produk legislasi. Di DPR RI dikenal istilah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagai pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat yang mengikat lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Penyusunan Prolegnas antara DPR RI dan pemerintah dikoordinasikan oleh DPR RI melalui AKD yang khusus menangani legislasi. Dengan adanya Prolegnas, diharapkan pembentukan undang-undang baik yang berasal dari DPR RI, pemerintah, maupun DPD RI, dapat terlaksana secara terencana, terarah, terpadu, sistematis, dan menyeluruh. Dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan efektivitas dan efisiensi hukum, penyusunan dan ekskeusi Prolegnas di DPR RI tidak selalu berjalan mulus, atau dengan kata lain terkadang menemui kendala. Problematika yang kerap disorot oleh kalangan masyarakat sipil terkait Prolegnas antara lain: (1) jumlah undang-undang yang dijadikan target legislasi terlalu banyak, sehingga terkesan tidak realistis, (2) kerapkali ada isu atau muatan materi yang tidak perlu diatur dalam undang-undang, akan tetapi tetap dimasukkan ke dalam Prolegnas, (3) banyaknya judul atau ruang lingkup pengaturan yang sama, serta (4) hal ini diperburuk oleh disparitas antara pencapaian dan target legislasi yang ditetapkan. Keempat permasalahan ini merupakan kontributor terbesar bagi adanya inefektivitas dan inefisiensi hukum dalam dinamika pelaksanaan tugas badan legislatif. Dengan demikian, secara umum, efektivitas dan efisiensi dalam relasinya dengan legislator pada tahap formulasi akan dapat terwujud apabila legislator memiliki
5
kecakapan yang mumpuni dalam penyusunan undang-undang, serta badan legislatif yang mampu memanajemen dengan baik penyusunan undang-undang sebagai produk legislasi. Pada tataran selanjutnya, yakni pada tahap implementasi, legislator berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi undang-undang tersebut di masyarakat, apakah mampu mencapai objektif yang ditetapkan dalam undang-undang atau menemui kendala/resistensi yang dapat berujung pada uji materiil dan uji formil terhadap undang-undang, atau bahkan JR di Mahkamah Konstitusi.
Bekasi, 2 Agustus 2021 Disusun oleh, signed Boy Anugerah, S.IP., M.Si., MPP. Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI (JF)