Alquran, Perempuan, dan Moderasi Beragama di Era Wabah

Page 1

BAHAN MASUKAN WAKA MPR RI, DR. H. JAZILUL FAWAID, S.Q., M.A., PADA PEMBEKALAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL) IIQ JAKARTA TAHUN AKADEMIK 2020/2021 DENGAN TEMA “AL-QUR’AN, PEREMPUAN, DAN MODERASI BERAGAMA DI ERA WABAH’”, 25 JUNI 2021

Memaknai KKL di Era Pandemi COVID-19 Kuliah Kerja Lapangan atau lazim disebut KKL merupakan suatu proses dalam pendidikan tinggi yang berbentuk pelatihan terstruktur dan terencana. KKL ini terdiri atas kuliah dan kerja lapangan, berbentuk praktik, sebagai wahana untuk menerapkan pengetahuan dan teori yang telah didapatkan selama pendidikan dan pelatihan. KKL di perguruan tinggi bertujuan untuk memberikan wawasan secara langsung kepada peserta sebagai tambahan ilmu pengetahuan, baik secara teori maupun praktik, yang telah diperoleh sebelumnya. KKL juga dimaksudkan untuk mendukung kompetensi mahasiswa sehingga mampu memiliki kecakapan dalam menganalisis, mengatasi, serta mencari solusi terhadap permasalahan riil yang terjadi di masyarakat. KKL dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Apabila dalam satu instansi beberapa kelompok diterima, masing-masing kelompok harus memiliki topik pekerjaan berbeda sehingga kegiatan KKL berlangsung secara mendalam (In-Depth Learning). Setiap mahasiswa atau kelompok akan didampingi oleh seorang dosen pembimbing agar setiap tahapan KKL dan permasalahan yang dihadapi bisa dikonsultasikan. KKL merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Tri Dharma Peguruan Tinggi, yakni mengabdi kepada masyarakat, selain pendidikan dan pengajaran, serta penelitian dan pengembangan. Hanya saja pelaksanaan KKL di era sekarang terhalang oleh pandemi COVID-19. Pelaksanaan KKL tidak bisa dilaksanakan seperti biasanya mengingat ada protokol kesehatan yang harus dipenuhi seperti menggunakan masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan sebagainya. Beberapa mekanisme diberlakukan oleh perguruan tinggi agar pelaksanaan KKL di era pandemi ini tetap terlaksana dengan minim risiko. Pelaksanaan KKL dilaksanakan secara daring (online) dan non-daring, dengan mekanisme sebagai berikut: a) KKL Daring  Bisa dilaksanakan 100 persen mulai dari proses persiapan KKL, pelaksanaan KKL, hingga laporan, dan seminar KKL. Pelaksanaan daring tersebut harus tetap memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana tercantum dalam buku pedoman KKL yang diterbitkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Melalui metode daring, para peserta KKL akan banyak menggunakan instrumen teknologi komunikasi seperti pembuatan video 1


yang memuat konten-konten yang akan disharing kepada objek KKL, yakni masyarakat yang menjadi target sasaran. b) KKL Non-Daring Beberapa peguruan tinggi tetap menjalankan KKL secara langsung atau non-daring dengan menetapkan syarat: (1) lokasi institusi KKL berada dalam satu kota/kabupaten dengan tempat tinggal atau domisili mahasiswa saat ini, (2) institusi KKL menerapkan protokol kesehatan (Prokes) secara resmi dan ketat, (3) orang tua/wali mahasiswa wajib menandatangani form persetujuan KKL non-daring atau lapangan, serta (4) mahasiswa wajib menyerahkan form persetujuan orang tua tersebut kepada pihak universitas (dosen pembimbing). Islam dan Moderasi Beragama Moderasi beragama dapat dimaknai sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengamalkan esensi ajaran-ajaran agama yang hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan menebarkan kemaslahatan bersama. Moderasi beragama berlandaskan prinsip keadilan dan keseimbangan, serta mentaati kesepakatan berbangsa yang dikukuhkan konstitusi. Sedikitnya ada empat hal yang menjadi muatan utama moderasi beragama, yakni (1) cara pandang, sikap, dan praktik keberagamaan, (2) pengamalan esensi agama, yakni kemanusiaan dan kemaslahatan bersama, (3) prinsip keadilan dan keseimbangan yang diterapkan dalam kehidupan beragama, serta (4) taat pada konstitusi, yakni pada kesepakatan bersama bangsa Indonesia di tengah masyarakat yang beragam. Dalam masyarakat Indonesia yang bersifat plural atau beragam, sikap keberagaman yang eksklusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak tentu dapat menimbulkan konflik antarkelompok agama. Konflik keagamaan yang banyak terjadi umumnya dipicu oleh praktik keberagamaan yang eksklusif, serta adanya kontestasi antarkelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi oleh sikap toleran karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga menimbulkan terjadinya konflik. Konflik kemasyarakatan dan pemicu disharmoni masyarakat seperti yang pernah terjadi di masa lampau berasal dari kelompok ekstrem kiri (Komunisme) dan kelompok ekstrem kanan (Islamisme). Namun dewasa ini, ancaman disharmoni dan ancaman terhadap negara berasal dua dua hal, yakni globalisasi dan praktik beragama yang tidak toleran dan tidak moderat. Hal ini lazim disebut sebagai fundamentalisme, baik dalam konteks pasar maupun agama. Dalam konteks beragama, untuk mencegah terjadinya disharmoni, maka dibutuhkan praktik beragama yang moderat, penerapan ajaran Islam yang inklusif, yang mana hal ini lazim disebut sebagai moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, tidak ekstrem, tidak berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman.

2


Kata moderat dalam Bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 143 yang artinya: dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. Kata al-wasath bermakna terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Dengan demikian, moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi sejatinya merupakan budaya nusantara yang berjalan seiring dan tidak saling menegasikan antara ajaran agama dan kearifan lokal. Tidak saling mempertentangkan, melainkan mencari penyelesaian dengan toleran. Untuk mewujudkan moderasi beragama, harus dihindari sikap eksklusif dan mengembangkan sikap inklusif. Konsep Islam inklusif tidak hanya sebatas pada pengakuan atas kemajemukan masyarakat saja, tapi harus dikontekstualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif atas realitas empirik keberagaman tersebut. Sikap inklusivisme dalam Islam adalah memberikan ruang bagi keberagaman pemikiran, pemahaman, dan persepsi keIslaman. Moderasi Beragama di Era Wabah Beberapa kegiatan ibdaha rutin masyarakat Muslim antara lain melakukan pengajian dan doa bersama di masjid atau mushola. Akan tetapi merujuk pada situasi saat ini yang diterpa wabah COVID-19, kegiatan-kegiatan yang notabene mengumpulkan orang banyak tersebut sebaiknya dikurangi karena berpotensi menjadi wahana penyebaran COVID-19. Untuk mengurangi kegiatan-kegiatan tersebut diperlukan campur tangan pemerintah dalam bentuk larangan atau himbauan. Larangan dan himbauan tersebut tentu saja memerlukan pendekatan khusus yang bermuatan edukasi positif sehingga tidak terjadi konflik antara pemerintah dan masyarakat, konflik internal umat beragama, maupun konflik antar-umat beragama. Salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan moderasi agama di tengah pandemi adalah Kemenag RI. Kemenag RI misalnya menerbitkan Edaran Menteri Agama RI Nomor. SE. 1 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Protokol Penanganan COVID-19 Pada Rumah Ibadah. SE ini memuat pentingnya mencegah penyebaran COVID-19 di rumah ibadah dengan mengajak jajaran instansi di bawah Kemenag RI untuk menyosialisasikan dan menyinergikan SE tersebut di tengah masyarakat. SE tersebut berfokus pada upaya untuk mengajarkan kepada

3


masyarakat agar lebih mengutamakan sikap moderat dalam menjalankan ajaran agama masing-masing. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai lembaga independen yang mengayomi umat Islam Indonesia telah mengeluarkan berbagai fatwa yang secara langsung dapat menghambat penyebaran wabah. Namun demikian, MUI harus bekerja lebih keras lagi dalam mencerdaskan umat tentang pentingnya melakukan moderasi beragama agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan tersebut tidak menyisakan konflik di tengah masyarakat atau bahkan akan menjadi lebih baik lagi apabila dapat merangkul semua kalangan sesuai dengan kondisi yang ada. Setiap umat Islam harus memprioritaskan sikap moderat dalam beragama pada masa pandemi COVID-19 karena menjadi suatu keharusan. Pembiasaan diri untuk menerima sesuatu yang ditimbulkan oleh COVID-19 dari berbagai aspek terutama pembiasaan beribadah umat adalah keharusan tersebut. Pertimbangan kaidah menghindari kemudaratan lebih utama dibandingkan melaksanakan maslahat menjadi cara dalam Islam untuk tetap menjaga moderasi beragama. Mahasiswa dan Peran Dalam Moderasi Beragama Mahasiswa, khususnya mahasiswa IIQ (yang notabene sangat kompeten dalam ilmu keagamaan), dapat memainkan peran penting dalam melakukan moderasi agama, seperti halnya yang dilakukan oleh para penyuluh agama yang diplot oleh Kemenag RI sebagai ujung tombak dalam melakukan penyuluhan tentang moderasi beragama di masyarakat, khususnya di era wabah saat ini. Dalam teori strukturisasi, peran mahasiswa dapat dilihat sebagai agen yang dapat membentuk struktur dalam masyarakat. Aktivitas mahasiswa dalam melakukan penyuluhan tentang moderasi beragama yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi contoh bagi masyarakat. Agar moderasi beragama yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut dapat berjalan dengan baik, maka mahasiswa dapat menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut: a) Fungsi Informatif dan Edukatif: Mahasiswa IIQ memposisikan diri sebagai juru dakwah yang berkewajiban mendakwahkan ajaran agamanya, menyampaikan penerangan agama, dan mendidik masyarakat sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama. b) Fungsi Konsultatif: Mahasiswa IIQ menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat umum. c) Fungsi Administratif: Mahasiswa IIQ memiliki tugas untuk merencanakan, melaporkan, dan mengevaluasi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan yang telah dilakukannya.

4


Untuk menjalankan penyuluhan moderasi beragama dengan baik, khususnya melalui KKL/KKN, maka kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa IIQ adalah sebagai berikut: a) Kemampuan untuk mengidentifikasi atau memonitor isu-isu penting di masyarakat, serta meletakkan isu-isu tersebut sebagai bahan dasar dalam formulasi program kerja. b) Kemampuan untuk menghormati keberagaman yang ada di masyarakat. c) Kemampuan manajemen yang baik, baik dalam bentuk PDCA (Plan, Do, Check, dan Action) maupun POACE (Planning, Organizing, Actuating, Controlling, dan Evaluating). d) Kemampuan untuk mengidentifikasi segala sumber daya yang ada untuk merealisasikan program kerja. e) Kemampuan komunikasi yang baik, baik secara verbal maupun tulisan, termasuk penguasaan teknologi tinggi agar program kerja lebih efektif dan efisien. f) Kemampuan interaksi secara efektif, baik terhadap individu maupun kelompok, sehingga objektif penyuluhan atau bimbingan kepada masyarakat sasaran dapat tercapai dengan baik. g) Kemampuan untuk melakukan persuasi kepada objek sasaran. h) Kemampuan untuk melakukan negosiasi, mediasi, dan resolusi konflik. i) Kemampuan untuk bersikap profesional, fokus pada target, serta berorientasi pada tercapainya objektif dari program kerja yang dilaksanakan.

Bekasi, 24 Juni 2021

Boy Anugerah Tenaga Ahli Waketu MPR RI

5


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.