1
POIN-POIN KRUSIAL PADA UU NO. 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UU NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK Disusun Oleh : Boy Anugerah, S.IP., M.Si., MPP. (C). Sebagai Bahan Masukan Kepada Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A.
POIN-POIN KRUSIAL DALAM REVISI UU KPK 2
PERMASALAHAN DALAM REVISI UU KPK 3
Pasal 1 UU KPK 4
Dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini”. Dalam Pasal 1 ayat (6) UU No. 19 Tahun 2019 disebutkan bahwa “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara”. Hal yang dikritisi oleh banyak pihak pada pasal revisi ini adalah pelemahan independensi KPK karena KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Pasal ini juga menempatkan Pegawai KPK sebagai ASN, sehingga terdapat risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran, dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya. Status ASN pada Pegawai KPK juga menjadikan Pegawai KPK lebih mudah untuk dikontrol.
Pasal 12 UU KPK 5
Terdapat perubahan pada Pasal 12 UU KPK dalam UU No. 19 Tahun 2019 berupa penyisipan pasal 12A, 12B, 12C, dan 12D terkait izin melakukan penyadapan. Pasal 12B ayat (1) misalnya, berbunyi sebagai berikut, “penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas�. Merujuk pada revisi ini, kewenangan teknis KPK untuk melakukan penyadapan, harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK. Hal ini secara eksplisit bermakna bahwa Dewan Pengawas KPK masuk kepada teknis penanganan perkara.
Yang menjadi pertanyaan kritis banyak pihak adalah bagaimana langkah yang ditempuh oleh KPK jikalau Dewan Pengawas KPK tidak memberikan izin dan bagaimanakah sistem pengawasan terhadap Dewan Pengawas KPK itu sendiri.
Pasal 37 UU KPK 6
Terdapat perubahan pada Pasal 37 UU KPK berupa penyisipan pasal 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, dan 37G terkait peran dan fungsi Dewan Pengawas KPK dalam UU No. 19 Tahun 2019. Merujuk pada pasal-pasal tambahan tersebut, terdapat kritik terhadap Dewan Pengawas KPK, sebagai berikut: ď ą Dewan Pengawas KPK terkesan lebih berkuasa dari Pimpinan KPK, namun demikian syarat untuk menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibandingkan Dewan Pengawas KPK. Misalnya, berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun di bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. ď ą Standard larangan etik dan anti konflik kepentingan untuk Dewan Pengawas KPK lebih rendah dibandingkan dengan Pimpinan dan Pegawai KPK. Pasal 36 tidak berlaku untuk Dewan Pengawas KPK, sehingga: 1) Dewan Pengawas KPK tidak dilarang untuk menjadi komisaris, direksi, organ yayasan, hingga jabatan profesi lainnya. 2) Dewan Pengawas KPK tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK. 3) Sementara itu, pihak yang diawasi diwajibkan untuk memiliki standard etik yang tinggi dengan sejumlah larangan dan ancaman pidana di UU KPK. ď ą Dewan Pengawas KPK untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
Pasal 40 UU KPK 7
Pasal 40 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 berbunyi “Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan pernuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun�. Pasal 40 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2019 berbunyi “Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan�. Merujuk perubahan pasal ini, terdapat potensi penghentian penanganan kasus-kasus besar apabila telah melebihi dua tahun. Padahal aturan lama melarang KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dengan tujuan agar selektif mengkonstruksikan perkara sehingga terbukti di pengadilan.
Pasal 69 UU KPK 8
Pasal 69B ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 berbunyi “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan�.
Pasal 69C UU No. 19 Tahun 2019 berbunyi “pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan�. Merujuk pada perubahan tersebut, kritik yang disampaikan oleh banyak pihak adalah perihal ketidakpastian status Pegawai KPK, apakah menjadi aparatur sipil negara atau PPPK (pegawai kontrak), serta terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi Penyelidik dan Penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap, kemudian harus menjadi aparatur sipil negara tanpa adanya kepastian mekanisme peralihan untuk menjadi aparatur sipil negara tersebut.
9