Arcandra, BG dan Cerita Kekuasaan Posted September 16, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah masyarakat Indonesia disodori berita hangat perihal rencana pengangkatan kembali Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM di kabinet Presiden Joko Widodo. Sedikit berbeda dengan Arcandra, Komjen Budi Gunawan yang karib disapa BG dan sekarang menjabat sebagai Wakapolri melenggang mulus sebagai Kepala BIN setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan di Komisi I DPR dan mendapat persetujuan bulat dalam rapat paripurna. Ini cerita tentang kekuasaan. Pengangkatan Arcandra Tahar, putera Minang yang lama bermukim di Amerika Serikat (AS), oleh Presiden Joko Widodo telah memantik kontroversi di masyarakat. Setelah dilantik, Arcandra diketahui memiliki paspor Amerika dan dwi kewarganegaraan. Arcandra akhirnya diberhentikan dengan hormat oleh presiden setelah mendapat tekanan yang kuat dari publik. Terlepas dari kompetensi dan kapabilitas Arcandra yang mumpuni di bidang pengelolaan energi, pemberhentiannya dari jabatan publik merupakan opsi yang sangat tepat. Status sebagai warga negara Amerika secara implisit mengindikasikan bahwa Arcandra pernah mengucap sumpah setia kepada pemerintah Amerika. AS dikenal sebagai penganut ius solli, yang artinya orang yang lahir di AS akan diberikan paspor. Sedangkan Arcandra baru mendapat paspor saat berusia 39 tahun. Hal ini berarti Arcandra secara sadar dan memang memiliki niat yang kuat untuk menjadi warga negara Amerika. Upaya pemerintah untuk memasukkan kembali Arcandra ke orbit kekuasaan dengan menduduki jabatan Menteri ESDM muncul setelah Arcandra telah melepaskan kewarganegaraan Amerika berdasarkan Certificate of Loss of United State sejak 12 Agustus 2016. Hilangnya status kewarganegaraan tersebut sudah disahkan oleh Pemerintah AS dan Kedutaan Besar AS pada 31 Agustus 2016. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Menkumham RI, Yasonna Hamonangan Laoly. Lain Arcandra, lain BG. Jika upaya pengangkatan kembali Arcandra sebagai menteri berpotensi menjadi polemik, maka pengangkatan BG sebagai Kepala BIN berjalan lancar tanpa hambatan yang berarti. BG justru mendapat persetujuan bulat dalam rapat paripurna DPR.
Sebelumnya, mantan ajudan Megawati Soekarnoputri ini mendapat sorotan luas dari publik setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi dan kepemilikan rekening tidak wajar beberapa saat setelah dicalonkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai Calon Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, BG akhirnya mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang hasilnya BG ditetapkan tidak layak menjadi tersangka oleh hakim tunggal Sarpin Rizaldi. Kasus ini akhirnya dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung yang kemudian dilemparkan ke Bareskrim Polri. Bareskrim Polri akhirnya menetapkan kasus BG case closed atau tutup buku. Ada hal menarik yang patut dicermati dari kasus pengangkatan Arcandra dan BG ini. Baik Arcandra maupun BG memiliki persamaan, yakni sama-sama dicalonkan oleh presiden. Arcandra sebagai Menteri ESDM dan BG sebagai Kapolri (pencalonan sebelum Kepala BIN). Keduanya juga memiliki persamaan yakni sama-sama mendapatkan penolakan yang luas dari publik. Jika Arcandra dianggap sebagai pengkhianat dan tidak memiliki nasionalisme, maka BG dianggap kurang bersih untuk menduduki jabatan Trunojoyo I karena terindikasi memiliki rekening gendut. Keduanya lagi-lagi memiliki persamaan setelah muncul wacana Arcandra akan diangkat kembali sebagai menteri dan BG akhirnya dilantik sebagai Kepala BIN setelah dicalonkan oleh Presiden dan mendapat persetujuan dari DPR. Arcandra dan BG tak selalu memiliki persamaan. Ada perbedaan yang bisa dicermati dari keduanya. Arcandra lama bermukim di negeri orang, sedangkan BG sudah puluhan tahun mengabdi di Polri. Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah, butuh waktu untuk mengetahui rekam jejak Arcandra, setidaknya bagi masyarakat awam. Sedangkan tak butuh waktu banyak untuk mengetahui rekam jejak BG. Setiap pos yang diduduki BG di berbagai daerah di Indonesia pasti menyisakan cerita yang mudah diakses oleh publik. Perbedaan kedua, sangat jelas mengetahui siapa yang ada di belakang BG. Rekam jejak sebagai ajudan Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri secara eksplisit menggambarkan bahwa pencalonannya baik sebagai Kapolri pada waktu itu dan Kepala BIN saat ini mendapat sokongan penuh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang notabene partai penguasa saat ini. Sedangkan Arcandra belum jelas diketahui siapa penyokong kuatnya. Pengangkatan Arcandra sebagai menteri lebih dikarenakan hak prerogatif presiden. Ketiga, perbedaan keduanya terletak pada respon publik. Jika pencalonan BG sebagai Kepala BIN berlangsung mulus dan masyarakat seakan terkena amnesia, maka rencana pengangkatan Arcandra sebagai menteri kembali berpotensi menuai halangan dan rintangan. Cerita tentang Arcandra dan BG ini merupakan studi kasus yang menarik untuk
dipelajari. Sudah merupakan kisah klasik bahwa pengangkatan pejabat di republik ini kerap gonjang ganjing dan sarat muatan kekuasaan. Motif pengangkatan pejabatpun selalu sama, yakni sebagai reward politik karena mendukung pencalonan presiden, afiliasi dengan partai politik sebagai mesin demokrasi utama, kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, dan masih banyak lagi. Tanpa menegasikan faktor kompetensi dan kapabilitas, penulis yakin faktor tersebut bukanlah faktor utama atau faktor tunggal dalam menilai kelayakan seseorang untuk menduduki jabatan publik, apalagi jika berbicara nasionalisme, loyalitas kepada negeri dan tetek bengeknya. Kualifikasi tersebut mungkin manis diucapkan di mimbar akademik atau gedung DPR pada saat uji kepatutan dan kelayakan, namun menjadi omong kosong secara praksis riil politik. Baiknya kita menyimak kata-kata Filsuf Yunani tempo dulu, Aristoteles bahwa politik sejatinya untuk kehidupan yang baik dan kebaikan bagi umat manusia, good life and good for mankind. Definisi ini sudah seharusnya diterjemahkan ke dalam realitas politik termasuk dalam pemilihan pemimpin atau pejabat publik. Yang menjadi pemimpin haruslah mereka yang jujur, bersih, berintegritas, loyal kepada negara dan bangsa, serta mampu menggendong rasa dan asa masyarakat, bukan sebaliknya mencederai perasaan dan logika publik. Mereka yang menjadi pemimpin dan pejabat publik haruslah orang yang lahir dari rahim masyarakat, tumbuh berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Jika benar presiden hendak mengangkat kembali Arcandra Tahar sebagai menteri, tentu menjadi sebuah keputusan yang patut disayangkan. Pernahkah terbetik pertanyaan apa yang menjadi alasan yang bersangkutan mengucapkan sumpah setia kepada pemerintah Amerika? Bagaimana posisi Indonesia di hati yang bersangkutan pada saat mengucapkan sumpah setia tersebut? Jikalau pengangkatan lebih berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, tanah air ini tak kekurangan putera-puteri terbaik untuk berbakti kepada negeri. Masih banyak yang lebih cerdas dan nasionalis. Dalam kasus Arcandra setidaknya ada dua kesalahan fatal pemerintah. Pertama, ketidakhati-hatian dalam mengangkat pejabat publik. Kedua, kasus ini menjadi pembelajaran bahwa ada kesalahan sistemik di negeri ini dalam konteks penyediaan lapangan pekerjaan, penghargaan atas kaum terdidik dan terpelajar, serta sistem demokrasi dalam melahirkan pemimpin. Mungkin saja banyak orang pandai, loyal kepada negara, namun mereka berjuang di ruang-ruang sunyi, jauh dari radar kekuasaan. Atau juga mereka tak punya modal dan akses politik untuk masuk ke perut kekuasaan. Pengangkatan BG sebagai Kepala BIN juga patut disesali.
Tak ada bedanya menjadi Kapolri dan Kepala BIN. Dua-duanya sama-sama jabatan publik, prestisius karena bertanggung jawab langsung kepada presiden, dan tentunya membutuhkan karakter yang jujur, bersih, dan berintegritas. Logikanya, jika tak pantas memimpin Polri juga tak pantas memimpin BIN. Lagi-lagi ini cerita tentang kekuasaan. Kekuasaan yang tidak menimbang logika, asa, dan perasaan masyarakat.
*)Penulis Alumnus Program Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia