1
BAHAN MASUKAN TERKAIT PANDANGAN TERHADAP RUU HALUAN IDEOLOGI PANCASILA (RUU HIP) 1
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang terdiri atas 9 (Sembilan) bab dan 60 (enam puluh) pasal ini sebaiknya ditunda pembahasannya dan ditinjau ulang kembali mengingat terdapat beberapa hal penting yang dianggap belum sesuai. Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan untuk penundaan, sebagai berikut: Pertama, dalam sistem hukum tata negara dan sistem perundang-undangan, merupakan suatu hal yang kurang sesuai apabila Pancasila yang berfungsi sebagai landasan penyusunan UUD NRI 1945 yang berlaku sebagai konstitusi dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, justru diatur tafsirannya, pelembagaannya (institusionalisasi), serta haluan implementasinya dalam sebuah undang-undang yang kedudukannya dalam sistem perundang-undangan justru berada di bawah UUD NRI 1945 itu sendiri. Hal ini berpotensi mereduksi kesakralan nilai-nilai Pancasila itu sendiri menjadi sekedar aturan teknis yang sangat rentan untuk ditafsirkan secara berbeda, direvisi, atau bahkan dihilangkan pemaknaannya oleh rezim yang berkuasa. Kedua, Pancasila pada hakikatnya memiliki aspek historis dan filosofis yang tidak bisa direduksi eksistensinya dalam sebuah regulasi teknis. Pancasila dirumuskan oleh beberapa pendiri bangsa seperti Soekarno, Yamin, dan Soepomo. Pancasila juga melalui beberapa tahap perumusan yang dimulai pada periode waktu Mei dan Juni 1945, berlanjut hingga 22 Juni 1945 dengan beragam pertentangan dan dinamikanya waktu itu, hingga sepakat bulat ditetapkan sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945. Artinya, perumusan Pancasila bukan merupakan olah cipta, rasa, dan karsa satu penggagas tunggal saja, melainkan melibatkan banyak elemen bangsa. Upaya mengkonstruksi Pancasila ke dalam Trisila dan Ekasila, serta kalimat ketuhanan yang berkebudayaan yang sangat kental dengan ide dan gagasan awal Soekarno pada saat perumusan, akan menimbulkan kesan bahwa Pancasila merupakan produk tunggal pemikiran Soekarno saja dan menegasikan gagasan tokoh lainnya dan dinamika pada saat perumusan. Dalam dinamika kebangsaan, Pancasila juga dihadapkan pada batu ujinya ketika terjadi pemberontakan PKI pada 1965 yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi Komunisme. Komunisme secara sederhana berinduk pada pemikiran Karl Marx yang menekankan sentralisasi alat-alat produksi dari masyarakat kepada negara yang secara langsung memberangus kebebasan individu dan kemanusiaan. Komunisme juga menegasikan eksistensi agama dengan menganggap agama sebagai candu masyarakat. Inilah yang menjadi raison d’etre mengapa Komunisme 1
Disusun oleh Boy Anugerah, sebagai bahan masukan kepada Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A. pada 17 Juni 2020.
2
tidak layak eksis di Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan yang beradab, serta kebebasan yang bertanggung jawab. Pemahaman inilah yang menuntun bangsa Indonesia untuk merumuskan penolakannya secara legal konstitusional dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme dan Marxisme. Tidak dimasukkannya regulasi ini sebagai konsideran dalam RUU HIP dapat dipandang sebagai upaya untuk menegasikan aspek historis dalam dinamika eksistensi Pancasila itu sendiri. Ketiga, terdapat upaya untuk membentuk sebuah kelembagaan khusus yang melakukan pembinaan ideologi Pancasila di Indonesia, yang mana kelembagaan ini sudah eksis dengan nama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, disingkat BPIP. Upaya ini dapat dilihat pada batang tubuh RUU HIP dari pasal 44 hingga pasal 54. Upaya ini dapat dimafhumi mengingat eksistensi BPIP hanya berlandaskan pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 7/2018 yang dalam sistem hukum tata negara dan sistem perundang-undangan, posisinya berada di bawah undang-undang. Jika benar terdapat intensi penguatan posisi hukum dan kelembagaan BPIP melalui RUU HIP ini, maka disarankan kepada pemerintah untuk membuat undang-undang khusus tentang penguatan BPIP saja. Hal ini lebih sesuai dengan prinsip hukum lex certa (hukum dirumuskan setajam mungkin) dan lex specialist derogat lex generali (hukum khusus menegasikan hukum umum). Keempat, pembahasan RUU HIP di tengah situasi pandemi COVID-19 juga dirasa tidak tepat. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan PSBB transisi sebagai ‘media antara’ atau intervening medium dalam menyongsong penerapan Kebijakan Normal Baru mendapat sorotan dari banyak pihak merujuk pada peningkatan angka penderita COVID-19 di berbagai daerah seperti DKI Jakarta dan Sulawesi Selatan. Pemerintah juga diterpa isu otoritarianisme merujuk pada banyaknya kasus pelarangan diskusi bertema kenegaraan, take down listrik di Papua, serta pembajakan situs jaringan YLBHI baru-baru ini. Upaya melempar diskursus RUU HIP ke publik dianggap sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik (decoy). Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa RUU HIP ini sebaiknya ditunda pembahasannya dan ditinjau kembali pengusulannya. Resistensi publik dan kepelikan masyarakat menghadapi dampak pandemi COVID-19 harus dijadikan sebagai pertimbangan. Selain empat poin di atas, ada sisi yang perlu diapresiasi dari usulan ini. Sisi positifnya adalah reason of being dari regulasi ini menjadi semacam omnibus law atau undang-undang payung untuk mengatur implementasi Pancasila di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang kompleks, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan, termasuk isu-isu arus baru seperti lingkungan hidup dan teknologi informasi dan komunikasi. Upaya pengaturan ini relevan dengan kondisi bangsa Indonesia hari ini yang mana nilai-nilai Pancasila belum diejawantahkan secara konsisten dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun demikian, upaya penciptaan haluan dan penyediaan pijakan bagi implementasi Pancasila ini seyogianya
3
dilakukan melalui penguatan kelembagaan yang sudah eksis saja seperti BPIP, MPR RI, Lemhannas RI, Kemendikbud RI, dan lainnya yang notabane menjalankan dan mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut.
*****